SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN...

25
204 SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN PEMBIAYAAN USAHATANI Benny Rachman, I Wayan Rusastra, dan Ketut Kariyasa Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT Lift of fertilizer subsidy and liberalization of fertilizer distribution channel make fertilizer market became more competitive indicated by fertilizer price referring to market mechanism. The study aims to analyze marketing system of rice seed and fertilizer. The results revealed that restructuring rice seed industry is necessary through increasing roles of private rice seed producers. The government needs to monitor fertilizer price periodically to assure that market mechanism well goes on. Key words : distribution, price dynamics, marketing PENDAHULUAN Pengembangan pertanian erat terkait de- ngan aspek kebijakan sarana produksi, dianta- ranya kebijakan pengadaan dan distribusi benih dan pupuk serta dukungan pembiayaan usaha- tani, baik kredit program bersubsidi maupun kredit komersial. Pada saat ini pengadaan dan distribusi benih padi masih didominasi oleh PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan PT. Pertani, dan hanya sebagian kecil benih diproduksi oleh penangkar swasta lokal. Tumbuhnya penangkar swasta yang memproduksi benih tak berlabel dengan kualitas cukup memadai dan harga relatif murah mengindikasikan besarnya potensi permintaan akan benih padi. Umumnya penang- kar swasta lokal tidak memiliki fasilitas yang memadai seperti pengeringan, gudang dan alat pengujian. Kecenderungan meningkatnya per- mintaan benih padi yang bermutu di tingkat petani, dan volume benih padi yang diproduksi oleh penangkar swasta lokal menyebabkan pasar benih padi semakin kompetitif. Sejalan dengan semakin ketatnya per- saingan pasar benih, mekanisme pasar pupuk juga mengalami penyesuaian. Dalam upaya menciptakan peningkatan efisiensi dalam tata- niaga pupuk, pemerintah menerapkan paket kebijaksanaan Desember 1998 yang meliputi : (1) menghapus perbedaan harga pupuk yang dialokasikan untuk tanaman pangan dan perke- bunan, (2) menghapus secara penuh subsidi pu- puk, dan (3) menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor pen- datang baru. Kebijakan sistem perpupukan ini, khususnya penghapusan subsidi pupuk dan dibebaskannya jalur distribusi pupuk membawa perubahan besar dalam distribusi pupuk dan tingginya persaingan di semua lini dalam pema- saran pupuk, sehingga harga pupuk mengacu pada mekanisme pasar. Penyesuaian kebijakan pemerintah di bi- dang input pertanian, tidak hanya menyangkut aspek perbenihan dan pupuk, namun juga menyentuh aspek pembiayaan usahatani. Seba- gai salah satu unsur pelancar, pembiayaan usahatani merupakan instrumen kebijakan pemerintah yang dipandang relevan dalam men- dukung petani yang tergolong petani berlahan sempit dengan modal terbatas. Sumber pem- biayaan usahatani yang tersedia di pedesaan meliputi, kredit program bersubsidi, kredit bank komersial, dan kredit informal. Adanya pengha- pusan kebijakan fasilitas KLBI untuk usahatani (KUT), maka mulai musim tanam 2000/2001 petani tidak lagi menerima kredit program bersubsidi. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah pada periode yang sama melaksa- nakan program pemberdayaan petani melalui pemberian bantuan kredit ketahanan pangan (KKP) dan proyek ketahanan pangan (PKP). Bantuan ini merupakan modal kelompok tani untuk mengembangkan permodalan yang dike- lola sendiri. Komponen dana bantuan mencakup pembelian sarana produksi dan pengembangan usaha dan modal kelompok. Namun demikian, mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah, maka program tersebut hanya mampu menyentuh sebagian kecil petani se- hingga pengaruhnya terhadap pemberdayaan petani belum optimal.

Transcript of SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN...

Page 1: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

204

SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN PEMBIAYAAN USAHATANI

Benny Rachman, I Wayan Rusastra, dan Ketut Kariyasa

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Lift of fertilizer subsidy and liberalization of fertilizer distribution channel make fertilizer market became more competitive indicated by fertilizer price referring to market mechanism. The study aims to analyze marketing system of rice seed and fertilizer. The results revealed that restructuring rice seed industry is necessary through increasing roles of private rice seed producers. The government needs to monitor fertilizer price periodically to assure that market mechanism well goes on.

Key words : distribution, price dynamics, marketing

PENDAHULUAN

Pengembangan pertanian erat terkait de-ngan aspek kebijakan sarana produksi, dianta-ranya kebijakan pengadaan dan distribusi benih dan pupuk serta dukungan pembiayaan usaha-tani, baik kredit program bersubsidi maupun kredit komersial. Pada saat ini pengadaan dan distribusi benih padi masih didominasi oleh PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan PT. Pertani, dan hanya sebagian kecil benih diproduksi oleh penangkar swasta lokal. Tumbuhnya penangkar swasta yang memproduksi benih tak berlabel dengan kualitas cukup memadai dan harga relatif murah mengindikasikan besarnya potensi permintaan akan benih padi. Umumnya penang-kar swasta lokal tidak memiliki fasilitas yang memadai seperti pengeringan, gudang dan alat pengujian. Kecenderungan meningkatnya per-mintaan benih padi yang bermutu di tingkat petani, dan volume benih padi yang diproduksi oleh penangkar swasta lokal menyebabkan pasar benih padi semakin kompetitif.

Sejalan dengan semakin ketatnya per-saingan pasar benih, mekanisme pasar pupuk juga mengalami penyesuaian. Dalam upaya menciptakan peningkatan efisiensi dalam tata-niaga pupuk, pemerintah menerapkan paket kebijaksanaan Desember 1998 yang meliputi : (1) menghapus perbedaan harga pupuk yang dialokasikan untuk tanaman pangan dan perke-bunan, (2) menghapus secara penuh subsidi pu-puk, dan (3) menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor pen-datang baru. Kebijakan sistem perpupukan ini,

khususnya penghapusan subsidi pupuk dan dibebaskannya jalur distribusi pupuk membawa perubahan besar dalam distribusi pupuk dan tingginya persaingan di semua lini dalam pema-saran pupuk, sehingga harga pupuk mengacu pada mekanisme pasar.

Penyesuaian kebijakan pemerintah di bi-dang input pertanian, tidak hanya menyangkut aspek perbenihan dan pupuk, namun juga menyentuh aspek pembiayaan usahatani. Seba-gai salah satu unsur pelancar, pembiayaan usahatani merupakan instrumen kebijakan pemerintah yang dipandang relevan dalam men-dukung petani yang tergolong petani berlahan sempit dengan modal terbatas. Sumber pem-biayaan usahatani yang tersedia di pedesaan meliputi, kredit program bersubsidi, kredit bank komersial, dan kredit informal. Adanya pengha-pusan kebijakan fasilitas KLBI untuk usahatani (KUT), maka mulai musim tanam 2000/2001 petani tidak lagi menerima kredit program bersubsidi. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah pada periode yang sama melaksa-nakan program pemberdayaan petani melalui pemberian bantuan kredit ketahanan pangan (KKP) dan proyek ketahanan pangan (PKP). Bantuan ini merupakan modal kelompok tani untuk mengembangkan permodalan yang dike-lola sendiri. Komponen dana bantuan mencakup pembelian sarana produksi dan pengembangan usaha dan modal kelompok. Namun demikian, mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah, maka program tersebut hanya mampu menyentuh sebagian kecil petani se-hingga pengaruhnya terhadap pemberdayaan petani belum optimal.

Page 2: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

205

Atas dasar latar belakang dan permasa-lahan tersebut, kajian ini bertujuan untuk mem-pelajari keragaan pasar input pertanian (benih padi, pupuk, dan pembiayaan usahatani). Seca-ra spesifik, kajian difokuskan pada : (1) sistem distribusi dan pemasaran benih padi dan pupuk, (2) dinamika harga benih padi dan pupuk, dan (3) keragaan pembiayaan usahatani

METODOLOGI

Lokasi Penelitian, Informasi dan Data

Basis informasi primer dalam studi ini difokuskan d tujuh kabupaten yang tersebar di lima provinsi, yaitu Majalengka, Indramayu, (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), Kediri dan Ngawi (Jawa Timur), Agam (Sumatera Barat), dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Pemilihan ini berdasarkan pertimbangan adanya perbedaan sistem usahatani padi menurut teknologi pro-duksi. Dalam hal ini faktor pembeda teknologi adalah derajat pengendalian air, yang berbeda menurut ketersediaan air dan kehandalan sara-na irigasi.

Pengumpulan data dan informasi pasar input pertanian di pedesaan dilakukan secara berkala dengan menggunakan kuesioner semi terstruktur, meliputi kelembagaan pasar benih padi, pupuk dan pembiayaan usahatani. Kelem-bagaan pasar benih padi dan pupuk, terutama menyangkut aspek pengadaan dan distribusi dan dinamika harga. Sedangkan pembiayaan usahatani, khususnya menyangkut aspek kera-gaan sumber-sumber pembiayaan untuk kegiat-an usahatani. Penggalian informasi kunci lain-nya dilakukan secara berlapis mulai dari tingkat lokal desa, kabupaten dan provinsi. Sampel responden diantaranya tokoh formal dan infor-mal, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang eceran, dan penggilingan beras (RMU).

Pendekatan Analisis

Dalam penelitian ini, pendekatan analisis deskriptif-kualitatif digunakan untuk menelaah sistem kelembagaan pasar input pertanian, khususnya benih padi, pupuk dan pembiayaan usahatani. Analisis secara mendalam akan difo-kuskan pada beberapa aspek sebagai berikut: sistem pengadaan dan distribusi, dinamika har-ga, dan keragaan sumber-sumber pembiayaan

usahatani. Di samping itu, ketiga aspek utama tersebut dianalisis seiring dengan adanya pe-nyesuaian kebijakan pemerintah.

KELEMBAGAAN PASAR BENIH PADI

Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih

Dalam suatu sistem produksi pertanian baik ditujukan untuk memenuhi konsumsi sendiri maupun yang berorientasi komersial diperlukan adanya ketersediaan benih dengan varietas yang berdaya hasil tinggi dan mutu yang baik. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya terdapat pada varietas unggul. Namun manfaat dari suatu varietas akan dirasa-kan oleh petani atau konsumen apabila benih tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang sesuai. Dengan demikian, dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keung-gulan teknologi kepada clients (petani dan konsumen lainnya).

Untuk menghasilkan produk pertanian yang berkualitas tinggi harus dimulai dengan penanaman benih bermutu, yaitu benih yang menampakkan sifat-sifat unggul dari varietas yang diwakilinya. Kemurnian suatu varietas se-cara berangsur-angsur bisa hilang karena ter-campur benih varietas lain. Secara fisik terjadi penyerbukan yang tidak dikehendaki sehingga identitasnya berubah. Identitas suatu varietas dapat hilang karena genetic shift, yaitu peru-bahan sifat genetis pada varietas tertentu kare-na pengaruh lingkungan atau varietas tersebut memiliki nama yang berbeda-beda. Dalam sis-tem pengadaan dan distribusi, mutu suatu benih dapat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: (1) sistem produksi, (2) pengolahan hasil, (3) penyimpanan hasil, dan (4) penanganan selama distribusi benih (Gambar 1).

Dibanding dengan sistem perbenihan padi yang diperbanyak dan disebarkan dengan sistem sertifikasi secara ketat, beberapa komoditas palawija dan hortikultura masih relatif tertinggal. Walaupun sistem perbenihan padi relatif lebih maju, namun secara keseluruhan petani padi yang menggunakan benih berlabel sekitar 30-40 persen, sisanya merupakan benih produksi sendiri yang dipilih dari hasil panen sebelumnya (PSE, 2000). Pengolahan dan penyimpanan benih dikalangan petani relatifsama dengan cara penanganan hasil untuk kon-

Page 3: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

206

sumsi, sehingga kualitasnya diragukan. Penye-baran benih berlabel umumnya melalui program intensifikasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Peranan perusahaan pembina dalam menen-tukan kualitas benih unggul berlabel cukup besar. Pengawasan dan pembinaan yang lebih intensif terhadap perusahaan ini perlu dilakukan untuk menjamin kualitas benih berlabel yang digunakan petani. Di sisi lain, jalinan arus benih antar lapang dan musim (JABALSIM) yang ber-langsung saat ini masih terbatas untuk palawija khususnya kedelai.

Kinerja industri perbenihan nasional diciri-kan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) pangsa pasar benih didominasi oleh padi, (2) benih unggul bersertifikat dikontrol oleh peme-rintah melalui subsidi harga, (3) Balai Penga-wasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) bertang-gung jawab dalam pengawasan mutu benih, dan PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan PT. Pertani merupakan pemasok terbesar kebutuhan benih nasional, (4) eksistensi pasar benih padi masih lemah, karena sebagian besar (60–70%) petani memproduksi benih sendiri untuk keperluan usahataninya, dan (5) persepsi petani terhadap penggunaan benih bersertifikat merupakan fak-tor dominan yang mempengaruhi pengembang-an sistem perbenihan nasional.

Belum meluasnya penggunaan benih ber-sertifikat sebagai akibat terbatasnya kapasitas produksi dari PT SHS dan PT Pertani, sehingga diharapkan peranan swasta dalam memasok benih bersertifikat semakin meningkat. Peran swasta perlu terus dikembangkan guna menun-

jang pengembangan sistem perbenihan nasio-nal. Peranan pemulia tanaman (Breeder) akan semakin penting dalam menciptakan varietas-varietas unggul baru sesuai dengan permintaan pasar, yang mempertimbangkan aspek produkti-vitas, kualitas, dan selera konsumen.

Alur produksi benih, dimulai dengan galur yang telah dilepas menjadi varietas unggul baru, secara otomatis menjadi benih penjenis (breeder seed/BS) yang merupakan hasil temu-an pemulia. Benih tersebut kemudian diperba-nyak dengan sistem sertifikasi yang menghasil-kan benih dasar (foundation seed/FS) atau benih pokok (stock seed/SS) dan seterusnya benih tersebut diperbanyak untuk menghasilkan benih sebar (extension seed/ES). Benih sebar inilah yang digunakan petani dalam proses pro-duksi, baik untuk memenuhi kebutuhan konsum-si maupun komersial.

Sistem pengadaan dan distribusi benih meliputi berbagai aspek yang saling terkait dan mencakup berbagai kegiatan yang dimulai dari inovasi penemuan jenis/varietas unggul baru sampai dengan diadopsinya benih unggul ter-sebut oleh petani. Upaya mendukung kelancar-an sistem pengadaan dan distribusi benih diper-lukan berbagai upaya peningkatkan dan pe-ngembangan secara kontinu, yaitu mulai dari penelitian dan pengembangan varietas, penilai-an dan pelepasan varietas, serta produksi, pengolahan dan distribusi benih, pengawasan mutu dan sertifikasi benih, pengembangan kelembagaan dan sumberdaya manusia yang

Gambar 1. Faktor-faktor Penentu Kualitas Benih Suatu Komoditas Pertanian

Subsistem produksi

Subsistem penyimpanan

Subsistem pengolahan

Subsistem distribusi

Mutu benih

Page 4: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

207

melibatkan institusi pemerintah, semi pemerin-tah/BUMN, koperasi dan swasta.

Penciptaan varietas unggul baru melalui proses penelitian dan pengembangan merupa-kan tahap awal dari upaya penyediaan bibit unggul yang kebutuhannya berkembang secara dinamis, baik dari segi jumlah, potensi dari produktivitas dan kualitas komoditas yang diha-silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi perbenihan, sebelum benih dapat diproduksi dan diproses serta didistribusikan ke petani pengguna. Pro-ses penilaian dan pelepasan varietas ini memer-lukan kelembagaan, pengaturan dan prosedur yang dapat menjamin tersedianya benih ber-mutu bagi petani dan pengguna lainnya. Dalam pengawasan mutu, Balai Pengawasan dan Serifikasi Benih (BPSB) merupakan lembaga pemerintah yang diberi mandat pengawasan benih yang beredar di pasaran. Kinerja BPSB, baik dari aspek kualitas dan intensitas penga-wasan maupun dari jangkauan dan kapasitas pelayanannya, merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kelembagaan perbenihan secara keseluruhan.

Mekanisme pengendalian mutu yang se-cara resmi diterapkan di Indonesia adalah melalui sertifikasi benih. Standar yang diterap-kan dalam sertifikasi benih adalah: (1) pengen-dalian mutu dalam produksi benih otentik (breeder seed/BS) yang terdiri dari kelayakan varietas yaitu distinct, uniform and stable (DUS) dan variety maintenance untuk menjamin konti-nuitas pasokan benih sumber untuk perbanyak-an benih lebih lanjut, (2) pengendalian mutu dalam produksi benih bersertifikat (FS, SS, dan ES) yang meliputi penyimpanan benih sumber, verifikasi sumber benih, inspeksi lapangan, pengambilan contoh, pengujian mutu dan pemasangan label, (3) penentuan standar mutu, dan (4) pengawasan mutu selama pemasaran. Sanksi dalam bentuk stop selling order dapat direkomendasikan oleh BPSB apabila contoh benih yang diambil dilapangan selama pemasar-an tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.

Pada Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat sistem pengadaan dan distribusi benih yang berlaku di lima provinsi penelitian (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan). Dalam sistem pengadaan dan distribusi benih secara formal tampak bahwa varietas unggul yang baru dilepas (BS)

yang dihasilkan oleh Puslitbang/Balai Komodi-tas, diteruskan oleh Direktorat Benih untuk disebarkan ke Balai Benih Induk (BBI) yang selanjutnya diperbanyak untuk menghasilkan FS. Benih FS tersebut kemudian diperbanyak oleh BUMN (PT SHS dan PT Pertani), Penang-kar Swasta, dan Balai Benih Utama (BBU) yang masing-masing memproduksi SS atau ES. Kecuali di BBU, benih jenis SS tersebut selan-jutnya diperbanyak menjadi benih jenis ES. Dari penangkar swasta benih jenis ES ini langsung disebarkan ke petani, sedangkan dari PT SHS dan PT Pertani disebarkan ke daerah melalui penyalur yang telah ditunjuk. Sementara dari BBU benih SS diteruskan ke BPP yang seka-rang di beberapa wilayah sudah satu atap dengan Dinas Pertanian Kabupaten. Di tingkat BPP, benih SS ini diperbanyak menjadi benih ES yang selanjutnya diteruskan kepada petani.

Sementara pada sistem pengadaan dan distribusi benih yang terdapat di lapangan menunjukkan bahwa varietas unggul baru yang dilepas oleh Puslitbang Komoditas di samping diteruskan oleh Direktorat Benih ke BBI, seperti yang terjadi pada sistem pengadaan dan distri-busi secara formal, Puslitbang Komoditas pun melalui Balai-Balai komoditasnya dapat mem-perbanyak benih BS ini di masing-masing kebun percobaannya. Pada sistem ini, BUMN dan penangkar swasta selain mendapatkan benih jenis FS dari BBI bisa juga memperolehnya langsung ke Puslitbang/Balai Komoditas yang selanjutnya diperbanyak menjadi benih SS dan ES. Tampak bahwa pada sistem tersebut benih yang dijual ke petani oleh penangkar swasta umumnya merupakan jenis benih SS, seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat , dan Sulawesi Selatan jenis benih yang diproduksi penangkar swasta pada umum-nya ES.

Perbedaan jenis benih yang diproduksi tersebut sangat terkait dengan respons pasar benih. Para penangkar lokal/petani penangkar benih untuk kasus Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah terdapat dua jenis benih yang dihasilkan oleh penangkar lokal, yaitu benih SS yang bahan bakunya (benih jenis FS) ber-sumber dari BBI dan benih jenis ES yang bahan bakunya (benih jenis SS) bersumber dari BBU atau dari BPP (dinas pertanian kabupaten setempat). Pada beberapa wilayah selain BPP (dinas pertanian kabupaten) memberikan benih

Page 5: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

208

Page 6: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

209

Page 7: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

210

kepada penangkar lokal, sekaligus juga mela-kukan pembinaan dan bimbingan dalam upaya mendapatkan produksi benih dengan mutu yang tinggi. Sementara itu, untuk kasus Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, penangkar lokal pada umumnya hanya mempro-duksi benih jenis ES. Benih yang ditanam petani di semua lokasi penelitian pada MH umumnya benih berlabel, akan tetapi pada MK I atau MK II hampir sebagian besar petani menggunakan benih tidak berlabel. Benih jenis ini pada umum-nya berasal dari hasil panen sebelumnya, per-tukaran antar petani, ataupun membeli dari pasar lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan benih berlabel hanya berjalan efek-tif pada MH dan sebaliknya kurang efektif pada MK.

Ketersediaan dan Kebutuhan Benih

Hasil kajian di lima provinsi studi (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan) secara umum menunjukkan bahwa ketersediaan benih baik dari aspek kuantitas dan kualitas masih perlu ditingkatkan. PT SHS dan PT Pertani sebagai produsen benih utama hanya mampu berpro-duksi sekitar 40-60 persen Dari aspek kualitas, banyak petani yang mengeluh dan memperta-nyakan jaminan daya tumbuh dan produktivitas benih berlabel. Kurangnya respon petani ter-hadap benih berlabel ES tercermin dari banyaknya petani yang menggunakan benih hasil produksi sendiri, khususnya pada musim kemarau. Pemanfaatan benih sendiri pada MK merupakan hasil seleksi dari hasil panen pada MH. Umumnya petani membeli benih berlabel hanya sekali dalam setahun, yaitu pada MH, sedangkan pada MK I dan MK II petani menggunakan benih produksi sendiri.

Rendahnya kualitas benih berlabel tidak terlepas dari adanya proyek-proyek pemerintah yang bersifat dadakan (diadakan pada tahun berjalan) yang membutuhkan benih dalam jum-lah yang cukup besar, sementara lahan milik PT SHS dan PT Pertani tidak mencukupi, sehingga kekurangannya harus didatangkan dari perta-naman padi petani yang sebelumnya ditujukan untuk konsumsi, bukan untuk benih. Benih yang diproduksi dari hasil panen padi untuk konsumsi mutunya tidak akan jauh berbeda dari benih produksi petani sendiri yang bersumber dari hasil seleksi panen sebelumnya.

Petani cukup respon terhadap kualitas benih, hal ini dapat dicermati pada petani padi di kabupaten Kediri dan Ngawi (Jawa Timur) dan kabupaten Klaten (Jawa Tengah). Petani cukup responss memakai benih padi jenis SS, padahal dari segi harga benih padi jenis ini tentunya lebih mahal dari jenis ES. Menurut petani, benih padi jenis SS memiliki kualitas, daya tumbuh serta kemurnian varietas yang tinggi. Di samping itu, tinggi pertanaman padi relatif homogen, dan hasil panen dapat dipilih untuk benih musim berikutnya (MK) yang kualitasnya setara dengan benih jenis ES.

Tingginya respon petani di Jawa Timur dan Jawa Tengah terhadap penggunaan benih padi jenis SS dapat dipandang sebagai feno-mena positif maupun negatif. Segi positifnya, petani sangat respon terhadap kualitas benih yang akan ditanamnya, sementara segi negatif-nya adalah dapat menghambat penyebaran penggunaan benih ES, mengingat sampai saat ini PT SHS dan PT Pertani hanya mampu memasok sekitar 40-60 persen benih ES, dan sisanya diharapkan dari pihak swasta. Semen-tara itu pihak swasta lebih tertarik memproduksi benih jenis SS, karena respon pasar terhadap permintaan jenis benih ini cukup tinggi. Responpetani terhadap benih SS perlu diantisipasi secara bijaksana. Dengan demikian, upaya pe-merintah dalam meningkatkan penggunaan benih berlabel perlu disertai dengan perbaikan mutu benih jenis ES, sehingga penggunaan benih padi jenis SS di tingkat petani dapat dikurangi.

Penemuan varietas unggul baru yang mempunyai daya hasil tinggi dan sesuai dengan permintaan pasar di Indonesia terkesan menga-lami stagnasi. Kondisi ini di samping disebabkan oleh semakin berkurangnya dana dan fasilitas untuk melakukan penelitian dan penemuan sua-tu varietas, juga karena kurangnya penghargaan pemerintah terhadap para breeder, seperti tidak adanya kejelasan akan property right (hak paten) akan penemuan suatu varietas baru. Penghargaan dan pengakuan akan hak paten yang telah dilakukan oleh beberapa negara telah memicu terjadinya persaingan sehat dalam melakukan inovasi dan penelitian antar sesama breeder, sehingga terjadi percepatan penciptaan varietas unggul baru dengan mutu yang lebih baik. Belajar dari pengalaman beberapa negara yang sukses dalam menciptakan varietas baru, maka sebaiknya ada kejelasan akan hak paten

Page 8: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

211

seorang breeder dalam penemuan varietas unggul baru.

Selanjutnya, keragaan penggunaan varie-tas dominan di lima provinsi penelitian pada MH 2001/02 disajikan dalam Tabel 1. Luas tanam padi varietas IR-64 di Kabupaten Kediri sekitar 64 persen, kemudian varietas Memberamo dan Way Apo Buru masing-masing 20 persen dan 10 persen, dan sisanya 5,7 persen varietas lainnya, seperti Cisadane dan Widas. Di Kabupaten Ngawi luas tanam padi varietas IR-64 mencapai 70 persen, dan hanya 27 persen merupakan padi varietas Way Apu Buru, dan sisanya tiga persen varietas lainnya. Demikian juga di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah luas tanam padi varietas IR-64 sekitar 75 persen dari total luas pertanaman padi. Luas tanam padi varietas IR-64 di Kabupaten Majalengka dan Indramayu, Jawa Barat masing-masing menca-pai 50 persen dan 24 persen.

Kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dimana luas pertanam-an padi didominasi oleh varietas PB-42 dan Cisokan masing-masing 35 persen dan 25 persen. Kedua varietas ini memang sesuai de-ngan selera masyarakat setempat yang senang dengan nasi pera (low glutenous). Sedangkan luas pertanaman varietas IR-64 hanya sekitar 10 persen, dan hasilnya sebagian besar dipa-sarkan ke luar wilayah Sumatera Barat. Varietas lainnya yang ditanam masyarakat setempat, seperti Digul, IR-70, Semeru, dan Cirata. Di Sidrap, Sulawesi Selatan, total volume pen-jualan benih padi selama periode Januari-Juli 2002 tercatat 2,1 juta kg yang terdiri dari

delapan jenis varietas yang diminati petani. Dari delapan varietas tersebut, terdapat lima varietas yang diadopsi cukup luas oleh petani, yaitu Ciliwung (70,2%), Sintanero (9,7%), IR-64 (5,6%), Way Apu Buru (4,9%), IR-42 (4,4%), dan Memberamo (2,0%). Sisanya 3,2 persen adalah varietas IR-66 dan Ciherang.

Setiap musim, jenis varietas dominan yang ditanam petani mengalami perubahan. Untuk kasus Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, pada MH petani umumnya menanam padi varietas IR-64, dan jarang petani yang menanam padi varietas Memberamo dan Way Apu Buru dengan pertimbangan mudah rebah. karena perakarannya kurang kuat untuk menopang jumlah malai yang relatif banyak. Disamping itu, pemupukan yang tidak berimbang, dimana petani cenderung berlebih dalam meng-gunakan pupuk Urea dan ZA, juga menjadi faktor pertimbangan memilih varietas IR-64.

Dinamika Harga Benih

Keragaan harga benih di lima provinsipenelitian pada MH 2000/01 dan MH 2001/02 disajikan pada Tabel 2. Pada MH 2000/01 harga benih jenis ES di Kabupaten Kediri berkisar Rp 2.500 – Rp 2.950/kg dan pada MH 2001/02 berkisar Rp 2.800-Rp 3.000/kg, atau terjadi peningkatan harga benih 1,7 – 12,0 persen per tahun. Sementara itu, harga benih jenis SS pada MH 2001/02 berkisar Rp 3.500 – Rp 4.000/kg, atau sekitar Rp 700 – Rp 1.000/kg lebih mahal dari benih ES. Harga benih ES di Klaten-Jawa Tengah pada MH 2000/01 berkisar Rp 2.575 – Rp 2.725/kg dan pada MH 2001/02

Tabel 1. Jenis Varietas Padi Dominan yang Ditanam Petani di Lima Provinsi Penelitian, MH 2001/2002

Varietas (%)Provinsi/kabupaten

IR-64 IR/PB-42 Membe-ramo

Ciso-kan

W. A. Buru

Cili-wung

Sinta-nero

Lain-nya

Provinsi Jawa TimurKabupaten Kediri 64,3 - 20,0 - 10,0 - - 5,7Kabupaten Ngawi 70,0 - - - 27,0 - - 3,0

Provinsi Jawa TengahKabupaten Klaten 75,0 - 10,0 - 5,0 - - 10,0

Provinsi Jawa BaratKabupaten Indramayu 24,5 - - - 38,4 - - 37,1KabupatenMajalengka

50,0 - - - 30,0 - - 20,0

Provinsi Sumatera BaratKabupaten Agam 10,0 35,0 - 25,0 - - - 30,0

Provinsi SulselKabupaten Sidrap 5,6 4,4 2,0 - 4,9 70,0 9,7 3,2

Sumber : Data primer

Page 9: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

212

meningkat menjadi Rp 2.800 – Rp 3.000/kg atau mengalami peningkatan sebesar 8,7 – 10,0 per-sen. Harga benih jenis SS pada MH 2001/02 berkisar Rp 3.000 – Rp 3.200/kg. Selisih harga benih SS dengan ES yang relatif kecil tentunya akan berdampak pada permintaan benih jenis SS yang semakin meningkat.

Gambaran yang sama, harga benih padi jenis ES yang diterima petani di Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Indramayu dan Majalengka), sekitar Rp 2650 pada MH 2000/01 dan Rp 2.850– RP 2.900/kg pada MH 2001/02. Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, harga benih padi ES nampak relatif sama dengan harga yang diterima petani di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Kondisi ini dimung-kinkan oleh keadaan infrastruktur yang relatif sama sehingga ketersediaan dan arus barang berjalan dengan baik. Sementara itu, harga benih ES eceran di Kabupaten Agam, Sumatera Barat relatif tinggi, baik pada MH 2000/01 maupun MH 2001/02 dibanding wilayah lainnya.

Struktur Pasar, Tataniaga dan Marjin Pemasaran

Struktur pasar benih secara umum dicir-ikan oleh: (1) pangsa pasarnya terkonsentrasi pada dua BUMN, yaitu PT SHS dan PT Pertani, (2) terdiferensiasi dari segi kualitas, jenis varie-tas, dan tingkatan jenis benih (SS dan ES), (3) tidak adanya hambatan masuk keluar pasar, dan (4) informasi harga benih menurut jenis dan kualitas relatif mudah diperoleh. Pangsa pro-

duksi benih dari PT SHS, PT Pertani, dan Pe-nangkar swasta/lokal di lima provinsi penelitian disajikan pada Tabel 3. Di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Jawa Timur pangsa pasar PT SHS masing-masing 35 persen dan 44 persen, PT Pertani masing-masing 15 persen dan 22 persen, sedangkan penangkar swasta/lokal ma-sing-masing 50 persen dan 33 persen. Di Kabu-paten Kediri peranan penangkar swasta/lokal cukup besar, karena di kabupaten ini keba-nyakan petani terutama MH menanam benih padi jenis SS yang umumnya hanya diproduksi oleh penangkar swasta/lokal. Kondisi yang sama terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sekitar 55 persen pangsa pasar benih dikuasai oleh penangkar swasta/lokal, karena di wilayah ini pun petani lebih respon menggunakan benih padi jenis SS.

Di Majalengka dan Indramayu ProvinsiJawa Barat, pangsa pasar benih dari PT SHS dan PT Pertani mencapai 36,5 persen dan 19,5 persen, sedangkan pangsa pasar dari penang-kar swasta sekitar 44 persen. Gambaran ber-beda untuk Kabupaten Agam, Sumatera Barat, di mana pangsa pasar dari PT SHS mencapai 70 persen, diikuti pangsa PT Pertani 20 persen, penangkar swasta lokal hanya 10 persen. Demikian pula di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, peran BUMN, tampak dominan dalam pemasaran benih, sebaliknya, peran non-BUMN relatif kecil. Produsen benih non-BUMN di kedua kabupaten tersebut adalah PP. Kerja asal Klaten, BBI dan kelompok tani binaan dinas pertanian.

Tabel 2. Harga Benih SS dan ES di Lima Provinsi Penelitian

Harga benih jenis (Rp/Kg)MH 01/02Provinsi/kabupaten MH 00/01

(ES) SS ESPerkembangan harga

ES (%/th)Provinsi Jawa Timur

Kabupaten Kediri 2500-2950 3500-4000 2800 - 3000 1,7-12,0Kabupaten Ngawi - - 2800 -

Provinsi Jawa TengahKabupaten Klaten 2575-2725 3000-3200 2800 - 3000 8,7-10,0

Provinsi Jawa BaratKabupaten Indramayu - - 2850 -

Kabupaten Majalengka 2650 - 2900 9,4

Provinsi Sumatera BaratKabupaten Agam 3300-3400 - 3400 -3500 1,5-2,9

Provinsi SulselKabupaten Sidrap 2650-2800 - 2850-3000 7,1-7,5

Sumber : Data primer

Page 10: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

213

Gambar 4. Saluran Tataniaga Benih Padi PT SHS

Saluran tataniaga benih padi, kasus pada PT SHS disajikan pada Gambar 4. Dalam memproduksi benih, PT SHS melakukannya di lahan sendiri atau bekerja sama/bermitra dengan petani di lokasi terpilih. Pemilihan lokasi dan petani mitra secara formal harus melibatkan dan disetujui oleh BPSB. Dalam kerja sama ini

PT SHS menyediakan benih jenis SS dan sekaligus melakukan pembinaan dan penga-wasan, sedangkan petani menyediakan lahan, sarana produksi dan tenaga kerja. Harga jual hasil yang diterima petani biasanya 10 persen di atas harga gabah yang berlaku di pasar. Setelah jadi benih jenis ES, kemudian benih ini diteruskan ke distributor yang telah ditunjuk. Masing-masing distributor mempunyai agen/subdistributor yang berkedudukan di tingkat kecamatan. Dari agen ini, selanjutnya didistri-busikan ke kios-kios/pengecer. Petani sebagai konsumen benih pada umumnya membeli benih dari kios/pengecer.

Dalam pemasaran benih, keuntungan yang diterima PT SHS tanpa subsidi dalam melakukan penjualan benih di Kabupaten Kediri dan Ngawi masing-masing Rp 75/kg dan Rp 50/Kg (Tabel 4). Besarnya marjin keuntungan PT SHS ini sekitar 2,5–2,7 persen terhadap harga eceran untuk kasus Kabupaten Kediri dan 1,9 persen untuk kasus Kabupaten Ngawi atau sekitar 3,1 persen terhadap biaya produksi benih untuk kasus Kabupaten Kediri dan 2,0 persen untuk kasus Kabupaten Ngawi. Semen-tara itu marjin keuntungan yang diperoleh distri-butor, subdistributor, dan pengecer di Kabupa-ten Kediri berturut-turut Rp 75/kg; Rp 125/kg; dan Rp 100–Rp 150/kg. Sedangkan di Kabupa-ten Ngawi marjin keuntungan para pelaku pasar masing-masing Rp 100/kg; Rp 100/kg; dan Rp 150/kg.

Tabel 3. Pangsa Produksi Benih Padi Berlabel dari PT SHS, PT. Pertani dan Penangkar Swasta di Lima Provinsi Penelitian, 2002

Pangsa (%)Provinsi/kabupaten

PT. SHS PT. Pertani Penangkar swastaProvinsi Jawa Timur

Kabupaten Kediri 35,0 15,0 50,0

Kabupaten Ngawi 44,5 22,2 33,3

Provinsi Jawa TengahKabupaten Klaten 30,0 15,0 55,0

Provinsi Jawa Barat

Kabupaten Indramayu 38,0 19,0 43,0

Kabupaten Majalengka 35,0 20,0 45,0

Provinsi Sumatera BaratKabupaten Agam 70,0 20,0 10,0

Provinsi Sulawesi Selatan

Kabupaten Sidrap 50,0 30,0 20,0

Sumber : Data primer

PT. SHS

Distributor

Sub Distributor/ Agen

Kios/Pengecer

Petani

Lahan PT. SHS

Lahan petani mitra

PT. SHS

Page 11: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

214

Sementara itu, hasil kajian di ProvinsiJawa Tengah menunjukkan bahwa marjin keun-tungan yang diterima PT SHS tanpa subsidi, distributor, dan agen sebesar Rp 100/kg benih yang diperdagangkan atau sekitar 3,4 persen terhadap harga eceran atau 4,2 persen ter-hadap biaya produksi benih. Sedangkan marjinkeuntungan yang diperoleh para pengecer dua kali dari para pelaku lainnya (Rp 200/kg). Marjinkeuntungan tingkat pengecer relatif tinggi, namun volume benih yang dijual sangat kecil (Tabel 5).

Keragaan marjin keuntungan yang diper-oleh para pelaku tataniaga benih padi di dua kabupaten-Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa marjin keuntungan yang diperoleh PT SHS dalam memproduksi benih untuk tujuan penjualan di Kabupaten Indramayu adalah se-besar Rp 68/kg atau masing-masing 2,8 persen terhadap harga eceran dan 2,4 persen terhadap harga pokok produksi. Besarnya marjin keuntu-ngan yang diperoleh distributor, subdistributor dan pengecer berturut-turut 3,5 persen; 4,5 persen; dan 5,3 persen terhadap harga eceran

atau berturut-turut 3,1 persen; 3,9 persen; dan 4,6 persen terhadap harga pokok produksi.

Sementara itu, besarnya marjin keuntu-ngan PT SHS untuk penjualan wilayah Kabu-paten Majalengka Rp 60/kg atau setara 2,4 persen terhadap harga pokok produksi atau 2,1 persen terhadap harga eceran. Di kabupaten ini marjin keuntungan yang diperoleh distributor dan subdistributor sekitar 3,1-3,4 persen terha-dap harga eceran dan 3,7-4,1 persen terhadap harga pokok produksi. Sedangkan marjin keun-tungan pengecer hampir dua kali lipat dari mar-jin keuntungan distributor atau subdistributor.

Sementara itu marjin keuntungan yang diperoleh para pelaku bisnis benih padi di Provinsi Sumatera Barat cukup bervariasi diban-ding pada kasus Provinsi Lainnya (Tabel 7). Marjin keuntungan terbesar diterima oleh PT SHS tanpa subsidi sebesar Rp 385/Kg, diikuti kios/pengecer dan distributor masing-masing Rp 350/kg dan Rp 250/kg, dan terakhir adalah agen sebesar Rp 150/kg. Gambaran ini menunjukkan bahwa tanpa pemberian subsidi PT SHS sudah mampu memperoleh keuntungan dalam produk-si benih.

Tabel 4. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Provinsi Jawa Timur, 2002

Keterangan PT. SHSDistibu-

tor besar

Agen/sub-distributor

Kios/ pengecer Petani

Kabupaten KediriHarga benih (Rp/kg) 2425 2500 2575 2700 2800-3000Marjin keuntungan (Rp/kg) 75 (475)* 75 125 100-150 -Persen thp harga eceran (%) 2,5-2,7 (16-17)* 2,5-2,7 4,2-4,5 3,5-5,0 -Persen thp harga PT SHS (%) 3,1 (19,6)* 3,1 5,2 4,1-6,2 -Kabupaten NgawiHarga benih (Rp/kg) 2450 2500 2600 2700 2850Marjin keuntungan (Rp/kg) 50 (450) 100 100 150 -Persen thp harga eceran (%) 1,9 (16,7) 3,7 3,7 5,6 -Persen thp harga PT SHS (%) 2,0 (18,4) 4,1 4,1 6,1 -

Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/Kg

Tabel 5. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2002

Keterangan PT. SHS Distibutor besar

Agen/sub-distributor

Kios/pengecer Petani

Harga benih (Rp/kg) 2400 2500 2600 2700 2900Marjin keuntungan (Rp/kg) 100 (500)* 100 100 200 -Persen thp harga eceran (%) 3,45

(17,24)*3,45 3,45 6,90 -

Persen thp harga PT SHS (%) 4,17 (20,83)*

4,17 4,17 8,33 -

Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg

Page 12: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

215

Di Kabupaten Sidrap biaya pokok benih PT SHS adalah sebesar Rp 2.453/kg (Tabel 8). Harga jual di loko pabrik adalah Rp 2.600/kg, sedangkan harga di pedagang penyalur atau distributor adalah sebesar Rp 2.750/kg, semen-tara itu harga jual oleh pedagang pengecer mencapai Rp 2.850-Rp 3.000 per kg. Dengan demikian marjin keuntungan distributor dan pengecer masing-masing sebesar Rp 150/kg

dan Rp 100-Rp 250/kg. Marjin yang diterima distributor dan pengecer nampak tidak berbeda dengan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Perbedaannya adalah dari pelaku tata-niaga benih, dimana di Sidrap tidak terdapat subdistributor, dikarenakan Sidrap merupakan wilayah kerja PT SHS, sehingga distributor skala besar langsung menyalurkan ke pengecer.

Tabel 6. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat, 2002

Keterangan PT. SHS Distibutor besar

Agen/sub-distributor

Kios/ pengecer

Petani

Kabupaten Indramayu

Harga Benih (Rp/kg) 2457 2525 2610 2720 2850

Marjin keuntungan (Rp/kg) 68 (468) 85 110 130 -

Persen thp harga eceran (%) 2,4 (16,4) 3,1 3,9 4,6 -

Persen thp harga PT SHS (%) 2,8 (19,0) 3.5 4,5 5,3 -

Kabupaten Majalengka

Harga Benih (Rp/kg) 2450 2510 2600 2700 2900

Marjin keuntungan (Rp/kg) 60 (460) 90 100 200 -

Persen thp harga eceran (%) 2,1 (15,9) 3,1 3,4 6,9 -

Persen thp harga PT SHS (%) 2,4 (15,7) 3,7 4,1 8,2 -

Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg

Tabel 7. Marjin Keuntungan Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 2002

Keterangan PT. SHS Distibutor besar

Agen/sub-distributor

Kios/ pengecer

Petani

Harga benih (Rp/kg) 2315 2700 2950 3100 3450

Marjin keuntungan (Rp/kg) 385 (785)* 250 150 350 -

Persen thp harga eceran 11,16 (22,75)*

7,25 4,35 10,14 -

Persen thp harga PT SHS 16,63 (33,91)*

10,80 6,48 15,12 -

Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg

Tabel 8. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, 2002

Keterangan PT. SHSDistibutor

besarAgen/sub-distributor

Kios/ pengecer Petani

Harga benih (Rp/kg) 2453 2600 - 2750 2850-3000

Marjin keuntungan (Rp/kg) 57 (457)* 150 - 100-250 -

Persen thp harga eceran (%) 1,9-2,0

(15-16)*

5,6-5,3 - 3,5-8,3 -

Persen thp harga PT SHS (%) 2,2 (18,0)* 5,9 - 3,9-9,8 -Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg

Page 13: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

216

PT SHS Sidrap sebagai kantor wilayah, mempunyai distributor untuk wilayah Sidrap sebanyak 20 buah, sehingga dalam satu kabu-paten hanya ada satu-dua distributor. Khusus untuk Sidrap terdapat juga penyalur Koperasi PT SHS untuk mengantisipasi penyalur atau pengecer yang tidak bisa menjangkau kelompok tani. Jumlah distributor untuk Sulawesi Selatan dirasakan masih kurang, sehingga direncanakan untuk menambah 20 distributor. Menurut PT SHS, harga jual benih produsen swasta lebih rendah karena alat pengolahan benih swasta relatif sederhana sehingga biaya pokok lebih murah, tetapi dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan benih produksi PT SHS.

Beberapa persepsi petani terhadap benih padi dapat disarikan sebagai berikut : (1) harga benih bersertifikat dipandang terlalu mahal dibandingkan produksi benih oleh petani (Rp 3.000/kg vs Rp 1.250/kg); (2) harga yang di-pandang moderat dan sesuai dengan daya beli petani adalah sekitar Rp 2.000–Rp 2.500/kg; (3) pedagang menyalurkan berdasarkan pesanan, karena khawatir akan risiko mati-label (kada-luwarsa); (4) masih lemahnya daya kreativitas para pedagang dalam penyaluran benih ber-sertifikat kepada petani melalui mediasi PPL; (5) daya tahan benih bersertifikat sekitar enambulan, sedangkan pola tanam di Sidrap hanya dua kali dalam setahun dan relatif bersamaan untuk semua wilayah kecamatan.

KELEMBAGAAN PASAR PUPUK

Sistem Pengadaan Pupuk

Keberadaan industri pupuk di dalam negeri memiliki peranan sangat strategis dalam menunjang program pembangunan perekonomi-an Indonesia. Secara nasional keberadaan industri pupuk mampu memberikan andil yang cukup besar tidak saja bagi perkembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan, namun juga memberikan dampak bagi perkem-bangan di sektor perkebunan, industri kimia dan bidang jasa lain. Pengadaan pupuk untuk subsektor tanaman pangan dilakukan oleh PT Pusri dengan produsen dalam negeri lain yang tergabung dalam satu Holding Company. Lima produsen pupuk dalam negeri yaitu, PT Pusri, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik, dengan kapasitas produksi keseluruhan pada

tahun 1998 sebesar 5,75 juta ton pupuk. Khusus untuk produsen Urea AAF (Aceh Asean Fertilizer) produk yang dihasilkan ditujukan untuk keperluan ekspor bagi negara negara ASEAN. Pada tahun yang sama, PT. Petrokimia Gresik memproduksi SP-36 dan ZA masing-masing berjumlah 1 juta ton dan 660 ribu ton. Sampai dengan tahun 1998 importir pupuk untuk kebutuhan subsektor tanaman pangan hanya melakukan distribusi sampai ke pela-buhan utama. Penyaluran pupuk sampai ke lini III dan IV tetap dilakukan oleh PT Pusri.

Berbagai permasalahan yang terjadi pada saat itu adalah : (a) adanya aliran pupuk subsidi ke nonsubsidi (subsektor tanaman ke subsektorperkebunan), (b) adanya ekspor pupuk (urea) akibat perbedaan harga antara pasar dalam negeri dan luar negeri, (c) tingginya harga pupuk impor (KCL, TSP, dan ZA) karena melemahnya nilai rupiah. Permasalahan di atas menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk pada musim tanam MH 1998/99 dan MH 2000/2001. Kondisi ini juga mendorong semakin berkembangnya produksi pupuk alternatif dan juga pupuk palsu (Rachman et al., 2001). Hilangnya pupuk di lapangan dan beredarnya pupuk palsu serta harga pupuk dan pestisida yang dirasakan mahal oleh sebagian besar petani merupakan fenomena klasik yang sering muncul dalam penyediaan pupuk dilapangan.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penghapusan subsidi pupuk (Desember 1998). Harga eceran tertinggi KUT untuk pupuk urea naik dari Rp 450/kg menjadi Rp 1.115/kg (kenaikan 147%). SP-36 dari Rp 675 menjadi Rp 1.600/kg (kenaikkan 137%), KCL Rp 1.650/kg (sebelum kebijaksanaan Desember 1998, tidak ditetapkan harganya), untuk pupuk ZA naik dari Rp 506/kg menjadi Rp 1.000/kg (kenaikkan 98%). Kenaik-an harga yang tinggi tersebut sebagai dampak dari dihapuskannya subsidi dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (Adnyana dan Kariyasa, 2000).

Dengan diterapkannya kebijaksanaan pencabutan subsidi dan pembebasan tataniaga pupuk sejak 1 Desember 1998, diharapkan kelangkaan pupuk, keterlambatan pasokan, dan keterbatasan jangkauan wilayah dapat diatasi. Kebijakan tersebut juga membuka peluang bagi kalangan industri pupuk skala kecil menengah dan koperasi (IKMK) untuk semakin memacu daya saing dengan produsen pupuk skala

Page 14: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

217

besar. Hal ini didorong oleh semakin mening-katnya kebutuhan pupuk dalam negeri sekitar 4,6 persen per tahun (PT Pusri, 2000). Kondisi ini telah dimanfaatkan oleh IKMK dengan ber-edarnya berbagai jenis pupuk di pasaran. Pada tahun 1998 jumlah IKMK yang memproduksi pupuk tercatat 257 unit dengan jumlah 299 merk, sementara pada akhir tahun 1999 tercatat 324 unit IKMK yang menghasilkan 646 merk pupuk, berupa aneka pupuk alternatif mulai dari bentuk cair, powder, granul hingga tablet. Dengan demikian, selama tahun 2000 terjadi tambahan jumlah IKMK pupuk sebesar 67 unit atau meningkat 26 persen, sedangkan jumlah merk yang beredar bertambah menjadi 347macam atau meningkat 61 persen.

Sistem Distribusi Pupuk

Sejak diterapkannya kebijaksanaan peng-hapusan subsidi pupuk dan dibebaskannya distribusi/pemasaran pupuk pada bulan Desem-ber 1998, PT Pusri tidak lagi menjadi distributor tunggal dalam penyaluran pupuk melainkan dapat dilakukan oleh distributor swasta. Namun demikian, pupuk yang disalurkan untuk KUT (hingga MH 1999/2000) masih tetap melalui sistem lama, yaitu dari Lini I sampai Lini III oleh PT Pusri dan dari Lini III ke Lini IV oleh KUD penyalur dan LSM (NGOs).

Dihapuskannya subsidi pupuk dan dibe-baskannya jalur distribusi memberi dampak positif terhadap jalur tataniaga pupuk, dimana pedagang besar (wholesale) dapat langsung membeli pupuk di Lini II. Kondisi ini juga menciptakan iklim kondusif terhadap pasar pupuk, dengan terjadi persaingan yang sehat antar pelaku bisnis pupuk, sehingga harga pu-puk ditentukan oleh mekanisme pasar. Sistem tataniaga pupuk sebelum dan setelah kebijak-sanaan disajikan pada Gambar 5 dan 6.Dibebaskannya tataniaga pupuk, maka tidak ada lagi perbedaan harga antar subsektortanaman pangan dan nontanaman pangan. Persaingan harga di Lini III dipengaruhi oleh kekuatan modal masing-masing penyalur. Penyalur swasta yang memiliki modal relatif besar dapat membeli pupuk di Lini II dan III atau di Gudang pabrik non-Pusri, sehingga bisa memperoleh harga beli dan harga jual yang lebih murah.

Kebijaksanaan sistem tataniaga ini mem-buka peluang berkembangnya penyalur dan

kios-kios swasta hingga ke tingkat pedesaan. Dampak positif dari kebijaksanaan ini terlihat dari tersedianya pupuk dalam jumlah yang cukup di kios-kios (Lini IV). Saat ini kios besar membeli pupuk dari PT Pusri di Lini II dan III dengan harga yang relatif lebih murah. Tinggi-nya persaingan di semua Lini dalam pemasaran pupuk, menyebabkan harga pupuk bergeser pada keseimbangan pasar. Kondisi ini memberi-kan dampak positif bagi petani antara lain: (a) pupuk tersedia dalam jumlah yang cukup di tingkat petani, dan jarang terjadi kelangkaan pupuk, (b) harga pupuk relatif stabil, dan (c) berkembangnya kios-kios pengecer pupuk de-ngan harga kompetitif. Sementara itu, dampak negatif dari kebijakan tersebut: (a) dengan mahalnya harga pupuk, membawa konsekuensi munculnya pupuk alternatif yang relatif murah, namun diragukan kualitasnya, (c) menurunnya penggunaan pupuk SP-36, KCL, dan ZA oleh petani karena harganya relatif mahal, dan (d) pasar pupuk yang mengarah ke oligopolistik, dimana hanya distributor bermodal kuat yang mampu membeli pupuk di lini I dan II, serta bebas menyalurkan pupuk ke daerah yang bukan wilayah kerjanya.

Sejalan dengan perkembangannya, pe-merintah kembali melakukan penyesuaian dalam sistem distribusi pupuk. Saat ini pabrik pupuk harus melayani pasokan ke tingkat kabupaten. Sebelumnya produsen pupuk hanya bertanggung jawab hingga pemasaran di lini II (pemasokan di tingkat provinsi). Saat ini, pembelian pupuk oleh umum di lini I dan II tidak diperbolehkan. Selain dilarang melakukan pem-belian pupuk di lini I dan II, distributor diwajibkan membuat manajemen stok pupuk. Kebijakan pembelian pupuk di lini I (pabrik) dan lini II (distributor provinsi) ditetapkan atas usulan ‘Tim Interdep’ yang terdiri dari; pengusaha (pro-dusen), Deptan, Depperindag, Dephut, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menegkop, dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Tugas Tim Interdep adalah merumuskan rencana kebu-tuhan pupuk untuk sektor pertanian.

Untuk distributor di wilayah Jawa diharus-kan menyediakan stok untuk kebutuhan satu minggu, sedangkan untuk distributor di luar Jawa harus menyediakan stok untuk kebutuhan dua minggu. Upaya menanggulangi harga pu-puk yang dirasakan mahal oleh petani, maka pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan subsi-di transportasi pupuk, khusus untuk daerah terpencil (remote areas) sebesar Rp 200 per kg.

Page 15: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

218

Seiring dengan itu, pada tahun 2001 diprogramkan kegiatan pengembangan Unit Usaha Pelayanan Saprodi. Sebagai rintisan awal dilaksanakan di delapan provinsi yaitu; Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, NTB, dan Sulsel. Kegiatan tersebut di-

arahkan agar unit-unit usaha pelayanan saprodi mampu menjadi unit usaha yang mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan. Demikian pula, alokasi kegiatan difokuskan untuk daerah-daerah yang memiliki keterbatasan dalam hal jasa pelayanan saprodi (remote area), sehingga

Gambar 5. Jalur Distribusi Pupuk Sebelum Kebijaksanaan Penghapusan Subsidi

Gambar 6. Jalur Distribusi Pupuk Setelah Kebijaksanaan Penghapusan Subsidi (Desember 1998)

Importir

PT. PUSRILini I

Produsenlain

Lini II

Kios kecil 1

Petani pangan

Lini III

Kios kecil 2

Penyalurswasta

Lini IV KUDpenyalur

Kios besar

Petani nonpangan

Importir

PT. PUSRILini I

Produsenlain

Lini II

Kios kecil 1

Petani panganLini III

Kios kecil 2

Penyalurswasta

Lini IV KUDpenyalur

Kios besar

Petani nonpangan

Perdagangswasta

Page 16: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

219

diharapkan dapat membantu kelancaran penye-diaan pupuk.

Penanggungjawab distribusi pupuk untuk wilayah Aceh, Sumut, dan Riau adalah PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Pupuk Sriwijaya (Pusri). Untuk wilayah Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jateng, DI. Yogyakarta, Bali, Kalbar, Sultra, Sulteng, Sulut, NTB, NTT, dan Irja adalah PT Pusri. Khusus untuk wilayah Jawa Barat yang bertanggung-jawab adalah PT Pupuk Kujang dan PT Pusri. Sedangkan untuk wilayah Jawa Timur penang-gung jawab adalah PT Petro Kimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim dan PT Pusri. Penanggung-jawab distribusi pupuk untuk Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan Sulsel adalah PT Pupuk Kaltim dan PT Pusri. Distribusi pupuk yang ditetapkan Tim Interdep tahun 2001, disajikan pada Gambar 7.

Berlakunya kebijakan rayonisasi penya-luran pupuk mengharuskan penebusan pupuk dilakukan pada Lini III, meskipun DO tetap dikeluarkan pada PPD lini II (Provinsi). Implika-sinya ketersediaan pupuk antar PPK (Pema-

saran Pupuk Kabupaten) menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari PT Pusri/Perwakilan Pemasaran dari perusahaan pupuk. Implemen-tasi dari dari kebijakan distribusi pupuk tersebut menyebabkan berubahnya rantai pemasaran pupuk (Gambar 8). Namun demikian, implemen-tasi kebijakan sistem rayonisasi dalam penya-luran pupuk masih belum jelas efektivitasnya dan cenderung menyebabkan terjadinya misalo-kasi penyaluran pupuk antar wilayah, bahkan diduga sebagai salah satu faktor pemicu terjadi-nya ketidakstabilan distribusi pupuk.

Dinamika Harga Pupuk

Selama kurun waktu MH 98/99 sampai MH 00/01 di lima provinsi kajian yaitu, Jabar, Jateng, Jatim, sulsel dan Sumbar, mekanisme

pasar pupuk berjalan lancar, efisien dan pupuk senantiasa tersedia di tingkat petani (PSE-DAI, 2001). Harga pupuk Urea dan SP-36 relatif stabil bahkan sedikit mengalami penurunan masing-masing sekitar 20-25 persen dan 10-15

Gambar 7. Jalur Distribusi Pupuk yang Ditetapkan Tim Interdep, April 2000

Tim Interdep Produsen

Urea PT. Perkebunan Nusantara

PUSRIUnit Niaga

Lini II

Lini IIIPetani

Distributorkabupaten Pengecer

Instansiterkait

Page 17: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

220

persen. Pada periode tersebut harga Urea di tingkat petani, berkisar Rp 980-Rp1.100 per kg, sementara SP-36 Rp 1.600/kg, KCL Rp 1.800/kg dan ZA pada harga Rp 1.100/kg. Penurunan harga pupuk tertinggi terjadi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sedangkan penurunan terendah terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Fenomena ini dikarenakan tingginya persaingan pasar di semua Lini dalam pemasaran pupuk, sehingga harga pupuk ber-gerak pada keseimbangan pasar (Tabel 9).

Memasuki musim tanam MK-1 2002 (tepatnya pada periode pemupukan bulan April-Mei) terjadi kenaikan harga pupuk (Urea) yangcukup tajam di tingkat petani dengan kisaran harga Rp 1.300 – Rp 1.400 per kg. Hasil kajian di lima provinsi studi melalui pengamatan secara berlapis mulai dari tingkat desa hingga provinsi menyimpulkan bahwa ketersediaan pupuk di tingkat petani tergolong memadai, dalam arti petani mudah memperoleh pupuk, namun dengan harga relatif diatas harga nor-mal. Peningkatan harga ini bukan dikarenakan

oleh adanya kelangkaan pupuk dipasaran atau kurangnya pasokan pupuk, tetapi disebabkan oleh adanya kebijakan internal PT Pusri, dimana distributor diwajibkan untuk melakukan pem-belian pupuk Urea, KCL, dan SP-36 dengan perbandingan 5:1:1, dan kebijakan ini efektif berlaku mulai April 2002. Persyaratan ini diber-lakukan pada saat pembelian pupuk di Gudang Pusri (Lini III). Kebijakan paket penjualan ini juga diterapkan oleh distributor ke subdistri-butor dengan perbandingan yang bervariasi antar wilayah.

Permasalahan di tingkat petani adalah rendahnya daya serap dalam penggunaan pupuk KCL dan SP-36, sehingga penyaluran kedua jenis pupuk tersebut mengalami ham-batan. Sebagian dari para pedagang/distributor menurunkan harga jual KCL sampai dibawah harga penebusan. Untuk menutupi kerugian ter-sebut, para pedagang memperhitungkan dalam penjualan Urea, sehingga terjadi peningkatan harga Urea mulai dari tingkat distributor sampai pengecer. Sebagai ilustrasi, untuk pembelian

Gambar 8. Jalur Distribusi Pupuk Setelah Kebijaksanaan April 2001.

Pabrik pupuk Pabrik ZA, SP36 Gresik

Importir KCL, ZA

Pedagang besar swasta Lini II

Lini IIIAgen/wholesale Koperta/KUD

Retailer

Petani

Page 18: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

221

KCL sebesar 10 ton (tiap pembelian 50 ton Urea) pedagang mengalami kerugian sebesar Rp 200/kg. Untuk menutupi kerugian sebesar Rp 2 juta, maka pedagang berupaya mening-katkan harga Urea sekitar Rp 40/kg dari harga jual normal pada setiap level pemasaran. Dengan jalur distribusi pupuk yang berlaku saat ini, maka harga urea di tingkat pengecer/petani cenderung mengalami kenaikan sekitar 15-20 persen. Suatu kenaikan yang fantastis dan sangat memberatkan petani bilamana dikaitkan dengan kondisi petani yang semakin mem-prihatinkan.

Adanya pemikiran petani bahwa pupuk Urea merupakan pupuk utama, sedangkan jenis

pupuk KCL dan SP-36 hanya bersifat pelengkap telah menyebabkan tingkat penggunaan pupuk Urea berlebih di tingkat petani, dan diduga telah memicu terjadinya peningkatan harga pupuk Urea secara signifikan. Umumnya petani meng-gunakan pupuk Urea antara 500 - 700 kg per ha, sementara untuk pupuk KCL dan SP-36 banyak petani yang tidak menggunakan. Dosis anjuran penggunaan pupuk Urea, KCL dan SP-36 per hektar yaitu, 300 : 100 : 100. Kebiasaan petani yang menggunakan pupuk Urea secara berlebih telah menyebabkan petani tidak ber-produksi pada tingkat yang optimal.

Untuk kasus Kabupaten Kediri dan Pro-vinsi Jawa Timur, apabila petani mengurangi

Tabel 9. Rata-Rata Harga Eceran Pupuk periode MH 1998/1999 – MK 2002

Harga Pupuk (Rp/kg)Uraian MH 98/99 MK

1999MH

99/00MK

2000MH

00/01MK

2001MH

01/02MK

2002Majalengka, Jabar

UreaSP-36KCLZA

Indramayu, Jabar Urea SP-36 KCL ZAKlaten, Jateng

UreaSP-36KCLZA

Kediri, JatimUreaSP-36KCLZA

Ngawi, Jatim a. Urea b. SP-36 c. KCL d. ZAAgam, Sumbar

UreaSP-36KCLZA

Sidrap, SulselUreaSP-36KCLZA

1.2001.7001.9001.000

1.1001.7001.900 920

1.1501.8002.0001.000

1.3001.8002.1001.100

1.1001.6001.8001.100

1.0001.7001.8001.000

9301.5201.800 860

1.0801.6001.9001.000

1.1001.6001.7501.100

1.0001.5401.7001.000

1.0501.4001.5001.000

9451.3501.450 900

9801.5001.900 960

9601.4801.340 900

1.0501.4501.5001.050

1.0001.4001.5001.000

1.0501.3501.500 950

1.0001.5001.800 960

1.0001.4001.500 950

1.0501.5001.5001.000

1.1501.5001.6001.100

1.1501.5501.6001.100

1.0501.4001.6001.000

1.0501.5001.7001.000

1.1001.6001.7001.100

1.0501.5001.5001.000

1.1001.5001.5001.050

1.2001.6001.8001.100

1.1001.5501.7001.100

1.2001.6001.8001.100

1.2001.6001.8001.050

1.2001.6001.8001.100

1.2501.8001.9001.300

1.2001.8002.0001.150

1.2001.6001.8001.100

1.2001.6001.7001.100

1.2001.6001.8001.100

1.2001.6001.8001.050

1.2001.6001.8001.100

1.2501.7001.9001.300

1.2001.8002.0001.150

1.4001.6001.6001.200

1.3001.6001.6001.150

1.3001.6001.7001.150

1.4001.6001.6001.100

1.3501.6001.8001.150

1.4001.6001.7001.300

1.3501.7001.8001.200

Sumber : CASERD – DAI, 2002

Page 19: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

222

penggunaan pupuk Urea sebesar 150 kg per ha, maka permintaan akan pupuk urea di Kabupa-ten Kediri dan provinsi Jawa Timur masing-masing berkurang sebesar 8,7 ribu ton dan 250,4 ribu ton per tahun. Pengurangan penggu-naan pupuk Urea tersebut dapat digunakan untuk membeli pupuk KCL dan SP-36, sehingga diharapkan terjadi peningkatan penggunaan ke-dua jenis pupuk masing-masing 51 kg dan 61 kg per hektar. Pola yang mengarah kepada peng-gunaan pupuk secara berimbang ini (tanpa mengubah besarnya alokasi biaya pupuk) tentu-nya akan berpengaruh positif terhadap tingkat produksi padi yang dihasilkan petani.

KELEMBAGAAN KREDIT FORMAL DAN INFORMAL

Ketersediaan modal yang memadai meru-pakan salah satu unsur pelancar dalam kegiatan usahatani. Sumber pembiayaan petani dalam mengelola usahataninya dapat berasal dari modal petani sendiri (hasil panen sebelumnnya, tabungan, pendapatan di luar usahatani, kiriman dari anggota keluarga, dan lain sebagainya) dan

kredit atau pinjaman. Secara umum sumber pembiayaan petani dari kredit dapat dikelom-pokkan menjadi tiga yaitu : (1) kredit program bersubsidi dari pemerintah, (2) kredit formal, dan (3) kredit informal. Berikut akan dibahas keragaan partisipasi petani contoh dalam me-manfaatkan sumber-sumber perkreditan yang merupakan hasil kajian di tujuh kabupaten.

Pada MH 2000/01 tercatat 65 persen petani contoh di Kabupaten Kediri-Jawa Timur membiayai usahatani padinya dengan meng-gunakan modal sendiri. Sisanya 35,5 persen petani memanfaatkan jasa perkreditan, yang terdiri dari: kredit program bersubsidi (12,5%); kredit formal (7,0%), dan kredit informal (13,5%) (Tabel 10). Sedangkan pada MH 2001/02 jumlah petani contoh yang menggunakan modal sendiri dalam membiayai usahataninya mening-kat, yaitu menjadi 89,7 persen.

Bagi petani yang meminjam modal dari pedagang hasil pertanian/tengkulak, sebagai ikatannya petani diwajibkan menjual hasil produksinya ke pedagang/tengkulak tersebut dengan harga yang relatif lebih murah diban-dingkan harga pasar yang berlaku. Sementara bagi petani yang memanfaatkan jasa perkredit-

Tabel 10. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Jawa Timur dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani)

Kediri

Keterangan MH 00/01

Suku bunga (%/th)

MH 01/02

Suku bunga (%/th)

Ngawi MH 01/02

Suku bunga (%/th)

I. Modal Sendiri 65,0 8 89,7 8 65,0 8

II. Kredit 35,0 10,3 35,0 1. Program Bersubsidi

a. KUT 6,5 10,5 0,0 10,5 0,0 10,5

b. PKP 6,0 10,5 0,0 10,5 0,0 10,5

c. KKP 0,0 10,5 0,0 10,5 6,3 10,5

2. Formal a. Bank Komersial 5,0 32 3,8 32 20,3 32

b. Koperasi 2,0 40 0,0 40 0,0 40

c. Pegadaian 2,0 30 1,3 30 1,3 30

3. Informal

a. Pedagang Saprodi 0,0 - 0,0 - 0,0 - b. Tetangga 0,0 - 0,0 - 7,5 0

c. RMU 0,0 40 1,4 40 1,3 40

d. Pedagang Hasil Pertanian 3,5 40 1,3 40 0,0 -

e. Pelepas Uang 7,8 120 0,3 120 0,0 120

f. Lumbung Desa 2,2 40 2,2 40 0,0 40

Page 20: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

223

an Bank Komersial yaitu BRI dan BPR harus membayar bunga masing-masing 2,6 persen dan 3,0 persen per bulan ditambah biaya administrasi sebesar Rp 30.000 – Rp 50.000. Sumber pembiayaan tradisional yang masih dimanfaatkan petani di Desa Mojokerep, Kediri, tercatat 2,2 persen petani memanfaatkan lumbung desa sebagai sumber pembiayaan usahataninya.

Sementara itu, keragaan dan partisipasi petani di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dalam memanfaatkan jasa perkreditan disajikan pada Tabel 11. Pada MH 2000/01 sekitar 70 persen petani membiayai usahatani padinya menggunakan modal sendiri, dan pada MH 2001/02 meningkat menjadi 90 persen. Seba-liknya jumlah petani yang memanfaatkan jasa perkreditan mengalami penurunan, yaitu dari 30 persen menjadi 10 persen. Penurunan ini terjadi pada semua jenis kredit, baik pada jenis kredit program bersubsidi dari pemerintah, formal, maupun informal.

Hasil kajian di dua kabupaten di ProvinsiJawa Barat menunjukkan bahwa sebanyak 65 persen petani di Kabupaten Majalengka pada MH 2000/01 sumber permodalan dalam pem-biayaan usahatani berasal dari modal sendiri, dan 35 persen petani memanfaatkan jasa

perkreditan (Tabel 12). Pada musim tersebut sebanyak 15 persen petani yang mendapatkan kredit program bersubsidi dari pemerintah, baik dalam bentuk KUT maupun PKP. Di kabupaten ini, sebanyak 12,5 persen petani yang meman-faatkan jasa perkreditan informal, dan hanya 7,5 persen petani yang memanfaatkan jasa perkreditan formal. Pada MH 2001/02 proporsi petani relatif tidak banyak berubah. Sama halnya dengan di Kabupaten Kediri, kredit informal dalam bentuk lumbung desa di kabu-paten ini cukup berjalan dengan baik, terbukti sekitar 4,5–5,0 persen petani yang memanfaat-kan jasa jenis kredit informal.

Pada MH 2001/02, hampir 97,5 persenpetani di Kabupaten Indramayu dalam menge-lola usahataninya menggunakan modal sendiri, dan hanya sekitar 2,5 persen petani yang memanfaatkan jasa perkreditan KUT (Tabel 12). Petani di kabupaten ini tampaknya belum tertarik untuk memanfaatkan kredit formal. Alasan klasik petani kurang tertarik pada kredit formal adalah : (1) prosesnya terlalu birokratis, sehingga butuh waktu yang cukup lama, (2) perlu jaminan (agunan), (3) biaya adminsitrasi yang harus ditanggung cukup besar. Sementara alasan petani mengapa tidak memanfaatkan jasa kredit informal, karena bunganya relatif

Tabel 11. Keragaan Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani)

Keterangan MH 00/01 Suku bunga (%)

MH 01/02 Suku bunga

I. Modal Sendiri 70,0 8 90,0 8

II. Kredit 30,0 10,0

1. Program Bersubsidi

a. KUT 10,0 10,5 2,5 10,5 b. PKP 0,0 10,5 0,0 10,5

c. KKP 0,0 10,5 0,0 10,5

2. Formal

a. Bank Komersial 5,0 24 3,8 24

b. Koperasi 4,0 30 2,5 30 c. Pegadaian 0,0 30 1,2 30

3. Informal

a. Pedagang Saprodi 0,0 - 0,0 -

b. Tetangga 0,0 - 0,0 -

c. RMU 0,0 - 0,0 - d. Pedagang Hasil Pertanian 5,0 40 0,0 40

e. Pelepas Uang 6,0 120 0,0 120

f. Lumbung Desa 0,0 - 0,0 -

Page 21: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

224

tinggi bisa mencapai 40 persen per tahun, sedangkan belum adanya jaminan hasil yang memadai.

Partisipasi petani terhadap jasa kredit di Kabupaten Agam, Sumatera Barat senada de-ngan terjadi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dimana peningkatan yang cukup tinggi jumlah petani yang menggunakan modal sendiri dalam mem-biayai usahatani pada MH 2001/02 dibanding pada MH 2000/01. Di kabupaten tersebut jumlah petani yang menggunakan modal sendiri ter-catat 60 persen pada MH 2000/01 dan pada MH 2001/02 menjadi 81 persen, sementara, sehing-ga pada MH 2002 jumlah petani yang meman-faatkan jasa perkreditan hanya 19,0 persen petani (Tabel 13). Dari jenis jasa perkreditan yang ada, petani di Kabupaten Agam cenderung memilih jenis kredit informal. Petani yang menggunakan kredit informal berkisar 8,9–25 persen, sedangkan yang menggunakan kredit formal berkisar 0–1,3 persen.

Kondisi yang terjadi di Kabuapten Sidrap-Sulawesi Selatan agak berbeda dengan enam kabupaten contoh lainnya. Di kabupaten ini

jumlah petani yang memanfaatkan kredit dan menggunakan modal sendiri dalam membiayai kegiatan usahatani masing-masing tercatat 50 persen dan 50 persen (Tabel 14). Khusus untuk pembiayaan yang berasal dari kredit, petani tampaknya lebih menyukai kredit jenis informal terutama dari pedagang saprodi dan RMU, dan disusul kredit program bersubsidi (KUT), dan relatif kurang pada kredit formal. Petani yang memanfaatkan kredit informal melalui pedagang saprodi biasanya diwajibkan membayar setelah panen (yarnen) dengan tingkat bunga berkisar Rp 5.000 – Rp 10.000 per 50 kg pupuk yang dipinjam, dan jika menunggak akan dikenakan bunga dua kali lipat. Sedangkan petani yang menggunakan jasa perkreditan informal melalui RMU, biasanya ada ikatan untuk menjual hasil produksinya ke RMU dengan tingkat harga lebih murah dari harga pasar yang berlaku. Secara implisit selisih harga pasar yang berlaku dengan harga yang diterima petani tersebut merupakan jumlah bunga yang harus ditanggungnya. Per-bedaan harga yang diterima petani tersebut bervariasi sesuai dengan jumlah pinjaman dan jumlah produk yang dihasilkan.

Tabel 12. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani)

Kediri

Keterangan MH 00/01

Suku bunga (%/th)

MH 01/02

Suku bunga (%/th)

Ngawi MH 01/02

Suku bunga (%/th)

I. Modal Sendiri 65,0 8 75,4 8 97,5 8

II. Kredit 35,0 24,6 2,5 1. Program Bersubsidi

a. KUT 10,0 10,5 2,5 10,5 2,5 10,5

b. PKP 5,0 10,5 1,3 10,5 0,0 10,5

c. KKP 0,0 10,5 2,5 10,5 0,0 10,5

2. Formal a. Bank Komersial 2,5 24 6,3 24 0,0 24

b. Koperasi 2,5 40 0,0 40 0,0 -

c. Pegadaian 2,5 25 2,5 25 0,0 25

3. Informal

a. Pedagang Saprodi 0,0 - 0,0 - 0,0 - b. Tetangga 0,0 - 0,0 - 0,0 -

c. RMU 2,5 40 0,0 40 0,0 40

d. Pedagang Hasil Pertanian 0,0 - 0,0 - 0,0 -

e. Pelepas Uang 0,0 40 0,0 40 0,0 40

f. Lumbung Desa 12,5 25 9,5 25 0,0 25

Page 22: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

225

Tabel 13. Keragaan Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani)

Keterangan MH 00/01 Suku bunga (%)

MH 01/02 Suku bunga

I. Modal Sendiri 60,0 8 81,0 8

II. Kredit 40,0 19,0

1. Program Bersubsidi

a. KUT 10,0 10,5 7,6 10,5

b. PKP 5,0 10,5 1,3 10,5

c. KKP 0,0 10,5 0,0 10,5

2. Formal

a. Bank Komersial 0,0 - 1,3 32

b. Koperasi 0,0 - 0,0 36

c. Pegadaian 0,0 - 0,0 -

3. Informal

a. Pedagang Saprodi 10,0 50 1,3 50

b. Tetangga 0,0 0 3,8 0

c. RMU 15,0 50 2,5 50

d. Pedagang Hasil Pertanian 0,0 50 1,3 50

e. Pelepas Uang 0,0 - 0,0 -

f. Lumbung Desa 0,0 - 0,0 -

Tabel 14. Keragaan Sumber Pembiayaan Usahatani Padi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan dalam MH 2000/01 dan MH 2001/02 (% petani)

Keterangan MH 00/01 Suku bunga (%)

MH 01/02 Suku bunga

I. Modal Sendiri 50,0 8 98,7 8

II. Kredit 50,0 1,3

1. Program Bersubsidi

a. KUT 20,0 10,5 1,3 10,5

b. PKP 0,0 10,5 0,0 10,5

c. KKP 0,0 10,5 0,0 10,5

2. Formal

a. Bank Komersial 5,0 24 0,0 24

b. Koperasi 1,0 32 0,0 32

c. Pegadaian 0,0 - 0,0 -

3. Informal

a. Pedagang Saprodi 12,0 50 0,0 50

b. Tetangga 0,0 - 0,0 -

c. RMU 12,0 50 0,0 50

d. Pedagang Hasil Pertanian 0,0 - 0,0 -

e. Pelepas Uang 0,0 - 0,0 -

f. Lumbung Desa 0,0 - 0,0 -

Page 23: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

226

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKSANAAN

1. Peningkatan kinerja industri benih dengan sasaran output benih padi bersertifikat label biru (benih ES) perlu terus diupayakan melalui pemantapan beberapa aspek: (a) perbaikan pelaksanaan sertifikasi, sehingga petani mendapatkan benih padi ES ber-kualitas sesuai dengan standar yang berla-ku, dan (b) program restrukturisasi industri benih perlu terus diupayakan melalui peningkatan peran penangkaran swasta se-hingga industri benih semakin kompetitif, dan (c) ketersediaan dana dan fasilitas yang memadai guna menunjang terobosan tek-nologi benih dalam upaya mengatasi gejala stagnasi inovasi teknologi lembaga peneliti-an, dan (d) adanya kejelasan ‘hak patent’ bagi para breeder dalam menemukan suatu varietas baru.

2. Mekanisme pasar pupuk berjalan lancar, efisien dan ketersediaannya memadai dengan harga yang kompetitif di tingkat petani. Guna terus mendukung mekanisme pasar pupuk bekerja baik perlu difasilitasi dengan beberapa instrument sebagai beri-kut: (a) perbaikan sistem sertifikasi sehingga petani terhindar dari pemanfaatan pupuk palsu, (b) peningkatan efisiensi dan daya saing industri pupuk dalam negeri perlu terus diupayakan agar mampu berkompen-tisi dengan pupuk impor, dan (c) kontrol yang ketat dari pemerintah dalam rangka antisipasi mencegah terjadinya kartel yang dibentuk oleh penyalur-penyalur swasta.

3. Sumber pembiayaan informal banyak di-manfaatkan petani dalam upaya mengatasi

masalah pembiayaan usahatani. Salah satu sumber pembiayaan dalam membiayai kegiatan usahataninya berasal dari lumbung desa. Keberadaan lumbung desa tidak hanya mengandung nilai sosial dalam komunitas setempat, namun juga mengan-dung unsur manfaat ekonomi, sekaligus mampu menunjang ketahanan pangan bagi masyarakat setempat. Pengembangan dan pemberdayaan lumbung desa dapat meru-pakan salah satu alternatif untuk mendu-kung perekonomian daerah, khususnya sumber permodalan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O., dan Kariyasa, K. 2000. Perumusan Kebijaksanaan Harga Gabah dan Pupuk Dalam Era Pasar Bebas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Sudaryanto, Tahlim. 2001. Perkembangan Industri Pupuk, Investasi Irigasi dan Konservasi Lahan. LPEM – FEUI).

PT Pusri. 2000. Perkembangan Industri Pupuk di Indonesia.

PSE. 2000. Dampak penghapusan Subsidi Benih Terhadap Usahatani Dan Usaha Perbenihan Serta Implikasinya Bagi Pengembangan Industri Perbenihan Padi Nasional.

PSE–DAI. 2001. Kelembagaan Pasar Input-Output Pertanian.

Rachman Benny, Saptana, Supena, dan I Wayan Rusastra. 2001. Situasi Pasar Sarana Produksi dan Gabah Serta Kemampuan Daya Saing Sistem Usahatani Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Page 24: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

Gambar 2. Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih Padi Secara Formal

Puslitbang Komoditas

PT. SHS PT. Pertani

BBPBBU

Ditjen Benih BBI

Penangkar swasta

Penyalur

BSES

SS

ES

FSBSPetani

SS

SS

ES

ES

Keterangan :BS = breeder seedFS = foundation seedSS = stock seedES = extension seedBBI = Balai Benih IndukBBU = Balai Benih UtamaBBP = Balai Benih Pembantu

Page 25: SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-08_2004.pdf · silkan. Penilaian dan pelepasan varietas meru-pakan proses selanjutnya dari segi

Gambar 3. Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih Padi Aktual di Lapangan

Puslitbang komoditas

Kebun percobaan

BPPBBU

Petani penangkar

BBIDitjen Benih

BS BS FS SS/ES

BS

FS SS/ES SS/ES

SS/ES

Petani

SS

ES

DsitributorPenangkar swasta Penyalur

Petani menyimpan benih sendiri Pertukaran benih antar petani Petani membeli benih dari pasar lokal

BUMN PT. SHS

PT. Pertani

ES

SS

SS

Keterangan :BS = breeder seedFS = foundation seedSS = stock seedES = extension seedBBI = Balai Benih IndukBBU = Balai Benih UtamaBBP = Balai Benih Pembantu