TATA PERDAGANGAN DUNIA DAN UPAYA INDONESIA...

23
Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian 3 TATA PERDAGANGAN DUNIA DAN UPAYA INDONESIA MEMACU EKSPOR HASIL PERTANIAN World Trade Arrangements and Indonesia’s Attempt to Boost Agricultural Products Export Erwidodo 1) dan Deny Wachyudi Kurnia 2) 1) Duta Besar Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO dan Organisasi-Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa 2) Minister Consellor pada PTRI, Jenewa WTO SEBAGAI PENGELOLA TATA PERDAGANGAN DUNIA Organisasi WTO Tata perdagangan dunia dibangun oleh WTO/World Trade Organisation (pengganti GATT/ General Agreement on Tariffs and Trade) sebagai satu-satunya organisasi internasional yang memiliki kapasitas untuk menerapkan aturan- aturannya. Aturan WTO dapat berupa Agreements, Protocols, Keputusan/ Deklarasi Konferensi Tingkat Menteri/KTM, atau Keputusan General Council (GC), Dewan-Dewan/Councils dan Komite-komite di bawah naungan WTO. Sistem Aturan WTO dirundingkan dan disepakati secara konsensus oleh seluruh anggota (“fungsi legislatif” WTO). Di samping itu, WTO juga mengembangkan “jurisprudensi” keputusan-keputusan “Pengadilan” (Dispute Settlement Body/DSB) yang mengikat anggota dan selanjutnya dapat mempengaruhi proses negosiasi/legislasi pembentukan aturan baru WTO. 1 Secara singkat, WTO berfungsi sebagai wadah bagi anggota dalam: 1. mengelola dan memperkuat MTS melalui penerapan dan penegakan seluruh aturan WTO (fungsi eksekutif), 2. merundingkan aturan MTS (fungsi legislatif), 3. mengadili/menyelesaikan sengketa dagang antara anggota (fungsi yudikatif), 4. mengelola bantuan teknis guna meningkatkan kapasitas negara berkembang dalam perundingan dan pelaksanaan aturan WTO (peningkatan integrasi dan partisipasi negara berkembang dalam MTS). Mengenai struktur organisasi, badan pengambilan keputusan yang tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM), yang bersidang 1 Sekretariat WTO menerbitkan tiga buku/booklet yang menjelaskan secara lebih rinci namun sederhana mengenai berbagai aspek tentang WTO (juga tersedia online yang dapat diunduh gratis dari website WTO)

Transcript of TATA PERDAGANGAN DUNIA DAN UPAYA INDONESIA...

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

3

TATA PERDAGANGAN DUNIA DAN UPAYA INDONESIAMEMACU EKSPOR HASIL PERTANIAN

World Trade Arrangements and Indonesia’s Attempt to BoostAgricultural Products Export

Erwidodo1) dan Deny Wachyudi Kurnia2)

1)Duta Besar Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO danOrganisasi-Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa

2)Minister Consellor pada PTRI, Jenewa

WTO SEBAGAI PENGELOLA TATA PERDAGANGAN DUNIA

Organisasi WTO

Tata perdagangan dunia dibangun oleh WTO/World Trade Organisation(pengganti GATT/ General Agreement on Tariffs and Trade) sebagai satu-satunyaorganisasi internasional yang memiliki kapasitas untuk menerapkan aturan-aturannya. Aturan WTO dapat berupa Agreements, Protocols, Keputusan/Deklarasi Konferensi Tingkat Menteri/KTM, atau Keputusan General Council (GC),Dewan-Dewan/Councils dan Komite-komite di bawah naungan WTO.

Sistem Aturan WTO dirundingkan dan disepakati secara konsensus olehseluruh anggota (“fungsi legislatif” WTO). Di samping itu, WTO jugamengembangkan “jurisprudensi” keputusan-keputusan “Pengadilan” (DisputeSettlement Body/DSB) yang mengikat anggota dan selanjutnya dapatmempengaruhi proses negosiasi/legislasi pembentukan aturan baru WTO.1

Secara singkat, WTO berfungsi sebagai wadah bagi anggota dalam:

1. mengelola dan memperkuat MTS melalui penerapan dan penegakan seluruhaturan WTO (fungsi eksekutif),

2. merundingkan aturan MTS (fungsi legislatif),

3. mengadili/menyelesaikan sengketa dagang antara anggota (fungsi yudikatif),

4. mengelola bantuan teknis guna meningkatkan kapasitas negara berkembangdalam perundingan dan pelaksanaan aturan WTO (peningkatan integrasi danpartisipasi negara berkembang dalam MTS).

Mengenai struktur organisasi, badan pengambilan keputusan yangtertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM), yang bersidang

1 Sekretariat WTO menerbitkan tiga buku/booklet yang menjelaskan secara lebih rinci namunsederhana mengenai berbagai aspek tentang WTO (juga tersedia online yang dapat diunduh gratisdari website WTO)

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

4

minimal tiap dua tahun. Jika tidak sedang bersidang, peran KTM digantikan olehGeneral Council (GC), yang bersidang lima kali per tahun. Di bawah KTM/GC,terdapat empat Dewan/Badan Utama WTO (Dewan) serta 29 Komite/WorkingGroup yang dapat dimanfaatkan anggota guna menjalankan fungsi eksekutif (dankadangkala fungsi legislatif) WTO serta memperjuangkan kepentinganperdagangan masing-masing anggota. Keempat Dewan/Badan WTO adalah:a. Council for Trade in Goods (CTG).b. Council for Trade in Services (CTS).2c. Council for Trade-Related Intellectual Property Rights (Council for TRIPS).d. Trade Policy Review Body (TPRB).

Terdapat dua jenis Komite/Working Group di WTO, yaitu yang langsungbertanggung jawab kepada GC, misalnya Committee on Trade and Environment(CTE), Committee on Trade and Development (CTD),3 Working Group on Tradeand Transfer of Technology (WG-TTT), dan Working Group on Trade, Debt andFinance (WG-TDF). Jenis yang kedua adalah yang merupakan subsidiary bodiesdari CTG dan CTS, misalnya Committee on Trade-Related Investment Measures(C-TRIMS), Committee on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPSCommittee)4 dan Committee on Technical Barriers to Trade. Badan/komitedimaksud dipimpin oleh ketua yang dipilih dari anggota WTO, di mana subsidiarybodies lazimnya diserahkan keketuaannya kepada pejabat lebih rendah dari DutaBesar.

Dalam menjalankan berbagai fungsinya, WTO dibantu oleh birokrasi/sekretariat yang berjumlah sekitar 650 staf. Sekretariat WTO dipimpin oleh DirekturJenderal, yang dipilih oleh anggota untuk masa jabatan 4 tahun (dapat dipilihkembali). Dirjen WTO/Sekretariat harus netral dan tidak memberikan pandanganpolitik/hukum. Untuk membiayai Sekretariat dan bantuan teknis, WTO menarikiuran dari anggota dengan prosentase yang disesuaikan dengan nilai perdagangannegara tersebut. Iuran Indonesia tahun 2011 adalah 1,47 juta Swiss Frank (sekitar0,86% dari total iuran anggota).

Mengingat keanggotaan WTO yang belum universal, tatanan perdaganganglobal yang dikelolanya lazim disebut Multilateral Trading System (MTS). Agarmenjadi organisasi universal, WTO memiliki aturan tentang aksesi anggota baruberdasarkan Pasal XII Agreement Establishing the WTO (lazim disebut WTOAgreements). Anggota baru diterima melalui persyaratan tertentu (terms) danproses (Working Party) yang melibatkan pihak pelamar dan anggota WTO. Dalampraktek, anggota WTO menetapkan persyaratan yang “semena-mena” sehinggamenyulitkan kelulusan pelamar. Akibatnya, saat ini terdapat 30 negara/pelamaryang telah bertahun-tahun merundingkan proses keanggotannya tanpa kejelasankapan akan dapat bergabung dengan 153 negara/wilayah Kepabeanan lain yangtelah lebih dulu menjadi anggota WTO.

2 Saat ini (2011), Ketua CTS dijabat oleh Duta Besar Erwidodo. Selain menjadi WNI pertama yangpernah menjabat Ketua CTS, Dubes Erwidodo juga merupakan orang Indonesia pertama yangmenduduki jabatan ketua pada badan-badan di WTO, yaitu sebagai Ketua Committee on Trade andDevelopment (CTD) tahun 2010.

3 Dubes Erwidodo adalah Ketua CTD tahun 20104 Saat ini, 2011, Ketua SPS Committee dijabat oleh wakil Indonesia/PTRI Jenewa, Deny Wachyudi

Kurnia

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

5

Indonesia terhindar dari kerumitan proses aksesi karena menjadi salahsatu dari 128 Pendiri WTO. Memanfaatkan kedudukan sebagai wilayah bekasjajahan Belanda (pendiri GATT tahun 1947), Indonesia menjadi anggota GATTsejak 24 Februari 1950 dan meratifikasi WTO Agreements melalui Undang-undangNomor 7 Tahun 1994. Sebagai Pendiri WTO, Indonesia terhindar dari tekananuntuk menetapkan rejim tariff/bound-tariff yang rendah. Berdasarkan perundinganPutaran Uruguay, Indonesia menetapkan bound tariff untuk bidang pertanian, non-pertanian dan total masing-masing sebesar 47,1 persen: 35,5 = 37,1 persen.Sedangkan negara yang masuk melalui aksesi (termasuk negara miskin/less-developed countries) memiliki rejim bound-tariff yang lebih rendah, misalnyaKamboja (28,1%: 17,7% = 19,1%), Cote d’Ivoire (14,9%: 8,6% = 11,1%), FYRMacedonia (13%: 6,3% = 7,2%), dan Ukraina (11%: 5% = 5,8%).5

Negosiasi Membangun Aturan Baru WTO

Sebagaimana dijelaskan di atas, anggota memanfaatkan WTO sebagaiwadah untuk merundingkan atau memperjuangkan disepakatinya aturan-aturanyang sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekaligus mendukung kokohnyaMTS. Upaya yang sifatnya terbatas dapat dilakukan sewaktu-waktu melalui GC,Dewan, atau Komite. Sedangkan untuk merundingkan aturan baru yang lingkup-nya multidimensi, anggota WTO dapat menyepakati diluncurkannya PutaranPerundingan (Round) sebagaimana telah sembilan kali terjadi pada masa GATT.

Sejak 2002, melalui Deklarasi KTM IV di Doha tahun 2001, anggota WTObersepakat meluncurkan Putaran Doha (Doha Development Agenda/DDA) yangmencakup perundingan atas 21 isu. Perkembangan selanjutnya (Sidang GC bulanJuli 2004) menghapus isu competition policy, government procurement, daninvestment dari perundingan. Guna melaksanakan perundingan, dibentuk TradeNegotiations Committee (TNC) yang membawahi sembilan NegotiatingGroups/Special Sessions sebagai berikut:

1. Committee on Agriculture Special Session (COA-SS)2. Council on Trade in Services Special Session (CTS-SS)3. Council on TRIPS Special Session (CTRIPS-SS)4. Committee on Trade and Environment Special Session (CTE-SS)5. Committee on Trade and Development Special Session (CTD-SS)6. Negotiating Group on Non-Agriculture Market Access (NG-NAMA)7. Negotiating Group on Rules (NG-Rules)8. Negotiating Group on Trade Facilitation (NG-TF)9. Dispute Settlement Body Special Session (DSB-SS)

Pada akhir 2008, Direktur Jenderal WTO menggambarkan bahwakesenjangan yang masih harus ”dijembatani” perundingan Putaran Doha tinggal 20persen. Selanjutnya anggota WTO terus melakukan perundingan intensif padatataran teknis di Jenewa maupun tataran politis di tingkat Menteri dan Leaders(KTT G20) guna mengupayakan penyelesaian DDA secepatnya. Namun sampaitahun 2011, kesenjangan 20 persen tersebut tidak terbukti berkurang.

5 Trade Profiles 2010, WTO Publications, Geneva, 2010: halaman 82, 31, 44, 54, 174

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

6

Kecewa dengan perundingan intensif yang tidak membuahkan hasil,anggota WTO sejak pertengahan 2011 mencoba memikirkan cara lain untukmendorong kemajuan WTO dan memperkuat MTS tanpa harus selalu tergantungpada penyelesaian Putaran Doha yang secepat-cepatnya. Untuk itu anggota WTOmencoba merancang adanya keputusan-keputusan yang berbobot pada KTM VIIIdi Jenewa, 15-17 Desember 2011, agar WTO terus dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara efektif dan efisien.

Pengaturan Perdagangan Non-multilateral

Seretnya proses perundingan di WTO menjadi salah satu faktor yangmendorong negara (yang sebagian besar justru anggota WTO) untukmengembangkan format-format kerja sama perdagangan pada jalur non-multilateral. Misalnya preferential trade agreements (PTA) atau free-tradeagreements (FTA) yang melibatkan dua atau lebih negara/wilayah kepabeanan.Model kerja sama seperti ini sebenarnya memiliki sejarah yang lebih panjangdibanding GATT-WTO, yaitu sejak disepakatinya Cobden-Chevalier Treaty(Inggris-Perancis) tahun 1860. Dengan perkembangan zaman, jumlah PTA/FTAdalam 20 tahun terakhir telah membengkak lebih dari empat kali lipat, mencapailebih dari 300.6

WTO membolehkan anggota mengembangkan kerja sama/pengaturanPTA/FTA/regional trade agreements sepanjang tidak bertentangan dengan AturanWTO, misalnya terkait Pasal XXIV GATT 1994. Berdasarkan aturan WTO,PTA/FTA/RTA dibolehkan sepanjang memberikan sumbangan (tambahan) padapeningkatan dan penguatan perdagangan global. Pengaturan perdagangansemacam ini memang sulit dihindari karena memiliki daya tarik yang tidak kentarapada sistem multilateral, misalnya kedekatan geo-politik dan solidaritas kawasanserta pembatasan jumlah anggota (plurilateralisme).

Analisis Sekretariat WTO menyimpulkan bahwa sebenarnya pangsa pasarglobal yang tersisa untuk diliberalisasikan melalui PTA/FTA hanya sekitar 16persen. Hal ini disebabkan oleh relatif tingginya kualitas keterbukaan pasar globalyang telah dicapai melalui perundingan multilateral/WTO (besarnya prosentasezero duty MFN rates). Oleh karena itu, agar lebih bermanfaat, disarankan agarpengaturan PTA/FTA jangan banyak dihambat oleh product exclusions.7

UPAYA INDONESIA MEMACU EKSPOR HASIL PERTANIAN

Pentingnya Diplomasi Perdagangan

Perdagangan internasional memberikan sumbangan penting bagipertumbuhan dan pembangunan Indonesia maupun lingkungan di mana Indonesiaberada. Dengan demikian Indonesia berkepentingan untuk senantiasa

6 World Trade Report 2011: the WTO and Preferential Trade Agreements – from Co-existence toCoherence, WTO Publications, Geneva, 2011: halaman 3

7 Ibid, halaman 86

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

7

memperjuangkan peningkatan perdagangan melalui cara-cara yang efektif danefisien, termasuk diplomasi, negosiasi, dan promosi. Guna memperjuangkankondisi terbaik bagi perdagangan Indonesia dan lingkungan internasional di manaIndonesia berada, diplomasi Indonesia senantiasa berupaya memperjuangkanterbukanya pasar global, arus lalu-lintas ekspor-impor, dan terpeliharanya aturannasional dan internasional yang sesuai kebutuhan.

Kualitas keterbukaan pasar dan aturan perdagangan dunia banyakditentukan oleh bekerjanya MTS yang dikelola oleh WTO. Oleh sebab itu,Pemerintah/Negara di dunia, termasuk Indonesia, selalu memandang pentingketerlibatan diplomasi yang maksimal dalam forum-forum yang relevan di WTO.Setiap hasil perundingan di forum-forum WTO tersebut tidak hanya menentukanaturan-aturan dagang dan trade-related rules yang wajib dipatuhi negara,melainkan juga menentukan tingkat kualitas keterbukaan pasar global yangdibutuhkan bagi pengembangan ekspor nasional. Karena dampaknya yang besarterhadap pembangunan nasional, Indonesia melakukan keputusan strategis untukmenjadi anggota WTO sejak 1995 (melanjutkan keanggotaan pada GATT sejak 24Februari 1950), yang disahkan melalui UU 7 Nomor 1994.

Cara pandang diplomasi perdagangan Indonesia tidak berbeda denganpandangan umum yang menyatakan bahwa keterbukaan pasar dunia memberikandampak kesejahteraan bagi semua pihak, termasuk konsumen dan importirprodusen. Konsumen mempunyai kesempatan dan pilihan untuk memperolehproduk dengan kualitas yang lebih baik, harga lebih murah/kompetitif, dan jenisyang lebih beragam. Selanjutnya pasar dunia yang lebih besar akan meningkatkanlaju ekspor-impor, dan selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan dunia. Duniayang terus tumbuh akan makin meningkatkan ekspor negara, sehingga semuapihak memperoleh manfaat dari terus meningkatnya ukuran pasar danpertumbuhan yang berkelanjutan. Tentang hal ini, OECD memberikan penjelasanlebih lanjut:

“Trade liberalisation afects growth in a number of ways. It gives producersaccess to bigger markets and allows them to increase the scale of their production.It gives consumers access to a wider range of goods at lower prices. It helpedknowledge to circulate and encourages finance to seek new outlets. Trade policyalso has an effect on growth by influencing the extent to whcih opprtunities areseized.”8

Di bidang pertanian, cara pandang seperti ini banyak dikembangkanscholars, misalnya ABARE (Australia), yang menyimpulkan: “The evidence is clearthat coutries with the most open economies have experienced the most rapidgrowth, with greater gains arising from both specialisation and greater opennes toadvances in ideas and technology.”9

Pihak yang memakai cara pandang keterbukaan mencoba membuktikanfakta sejarah, misalnya melalui fenomena kebangkitan ekonomi China yang sejak

8 OECD Insights, International Trade: Free, Fair and Open? (Patrick Love & Ralph Lattimore), OECDPublications, Paris 2009: Hal. 138

9 ABARE (Australian Bureau of Agricultural and Resource Economics), The Impact of AgriculturalTrade Liberalisation on Developing Countries, Canberra: hal.1

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

8

2001 menjadi anggota WTO. Para pihak tersebut meyakini bahwa partisipasinegara berkembang dalam proses pembukaan pasar global melalui perundinganPutaran Uruguay 1986-1994 telah menjadi penopang utama munculnya banyakemerging economies (EE) serta peningkatan perdagangan Selatan-Selatan yangmembuat mereka kini menyumbang hampir mencapai 50 persen GDP dunia.10

Fakta tentang kemajuan dunia dalam beberapa dasawarsa pasca PerangDunia II akibat pengembangan perdagangan dicatat pada Marrakesh Agreementyang membentuk WTO maupun Deklarasi Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTOdi Doha, 14 November 2001. Paragraf 1 Deklarasi Doha menyatakan “Themultilateral trading system embodied in the World Trade Organisation hascontributed significantly to economic growth, development and employmentthroughout the past fifty years.“

Tidak hanya WTO yang mengakui peran penting perdagangan bagipembangunan. UNCTAD, lembaga yang banyak mencerminkan suara negaraberkembang dalam memperjuangkan pembangunan, senantiasa menyerukanpentingnya “trade as an engine of development.“ Goal 8 dari MillenniumDevelopment Goals (MDGs) dengan jelas mencerminkan pentingnya hal ini, yaitutentang tekad dunia untuk senantiasa mengembangkan “an open, rule-based,predictable, non-discriminatory trading and financial system.”

Di sektor pertanian, tambahan ekspor yang tercipta dari langkah ofensifperdagangan diharapkan memberikan dampak pengentasan kemiskinan yanglebih besar dibanding pada sektor-sektor lain. Pandangan scholars mengatakanbahwa pertumbuhan produksi dan produktifitas di sektor pertanian “is the surestway to end poverty. The historical evidence confirms this logic.”11

Diplomasi Indonesia dalam rangka memelihara tingkat keterbukaan pasardilakukan dengan mencoba mempertahankan status quo atau standstill komitmenketerbukaan pasar Negara Anggota sesuai aturan WTO, serta memperkuat tingkatketerbukaan, predictability dan non-discrimination MTS secara keseluruhan. MTSyang memiliki ciri-ciri seperti ini, dibanding yang sebaliknya, diyakini memberikankeuntungan paling besar bagi kepentingan perdagangan dan pembangunan. Atasdasar pandangan ini, Indonesia mengembangkan kerja sama, konsultasi danberpartisipasi dalam proceedings WTO guna turut mencegah atau mengatasimunculnya proteksionisme perdagangan.

Musuh utama perdagangan dunia adalah proteksionisme, baik secaraterbuka maupun terselubung, melalui penetapan tingkat tarif tinggi, subsididomestik dan ekspor, atau NTB/non-tariff barriers. Berbagai forum WTO dapatdimanfaatkan untuk memperjuangkan keterbukaan pasar/perdagangan dunia,termasuk Trade Policy Review Body (TPRB), SPS Commitee, TBT Committee, danDispute Settlement Body.

10 Susan C. Schwab, After Doha: Why the Negotiations Are Doomed and What We should Do About It,Foreign Affairs My/June 2011: hal. 107

11 C. Peter Timer, dalam The Evolving Structure of World Agricultural Trade: Implications for TradePolicy and Trade Agreements (editors: Alexander Sarris & Jamie Morrison), Trade and MarketsDivision , FAO, Roma 2009: halaman: 43

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

9

Dalam rangka lebih meningkatkan tingkat keterbukaan pasar dunia,diplomasi Indonesia juga mendukung perundingan khusus untuk mengupayakanpeningkatan komitmen keterbukaan pasar (liberalisasi) negara-negara mitra. Inidapat dilakukan misalnya melalui perundingan bilateral, regional serta multilateral.Di forum WTO, Putaran Perundingan yang saat ini dilakukan adalah melalui DDA(Doha Development Agenda).

Berdasarkan penjelasan di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwaterdapat dua langkah utama Indonesia dalam diplomasi perdagangan multilateral.Pertama, memelihara tingkat keterbukaan pasar, yang dilakukan denganmempertahankan status quo/standstill tingkat keterbukaan pasar dunia. Kedua,mengupayakan peningkatan keterbukaan pasar (liberalisasi) melalui perundinganPutaran DDA.

Memelihara Tingkat Keterbukaan PasarDibentuknya WTO tahun 1995 menandai lahirnya pengaturan

perdagangan multilateral di bidang pertanian yang lebih teratur dibandingpengelolaan sebelumnya yang diatur secara longgar oleh GATT Agreement 1947.Pada masa GATT, Anggota dibolehkan untuk menggunakan subsidi ekspor atasproduk pertanian primer sepanjang tidak mengganggu prinsip “equitable share”dari pangsa pasar dunia atas produk bersangkutan (Pasal XVI:3 GATT). AturanGATT juga memungkinkan anggota menggunakan restriksi impor (seperti kuota)jika memenuhi persyaratan tertentu, khususnya jika dimaksudkan untukmenerapkan kebijakan yang membatasi produksi domestik secara efektif [PasalXI:2(c)]. Langkah ini dikaitkan dengan syarat bahwa terdapat proporsi imporminimal dibanding produksi domestik.12

Pada prakteknya, anggota GATT menerapkan berbagai hambatan non-tarif (non-tariff border restrictions) tanpa pembatasan yang efektif atas produksidomestik atau memelihara akses minimal impor. Ini dilakukan antara lain melaluipenggunaan langkah/measures yang tidak secara jelas diberikan pada Pasal XIGATT (misalnya variable levies). Banyak juga praktek non-tariff import restrictionstanpa dasar hukum (justifikasi) yang jelas. Akibatnya terdapat proliferasi hambatanperdagangan terhadap produk pertanian, termasuk larangan impor (import bans),kuota yang menetapkan batas maksimum impor, variable import levies, minimumimport prices, dan non-tariff measures yang diterapkan State Trading Enterprises.

WTO Agreement on Agriculture (AOA) lahir untuk menerapkan aturan-aturan yang diharapkan dapat mengendalikan perilaku anggota yang pada masaGATT lebih leluasa menerapkan instrumen-instrumen penghambat impor. Sejakmasa perundingan, Putaran Uruguay, disadari kebutuhan untuk mengatasi praktek“insulation of domestic markets” sepanjang masa berlaku GATT yang utamanyamerupakan warisan “perang dagang” pasca Great Depression 1930. Selainmasalah tarif, Putaran Uruguay juga mencoba mengatasi “akar masalah” lain yangsangat mengganggu perdagangan pertanian, yaitu kebijakan subsidi domestik danekspor. Persoalan besar lain yang dicoba dicarikan pemecahannya adalah NTBs(sanitary & phitosanitary measures/SPS) atas nama kesehatan makanan,binatang, dan tumbuhan.

12 Bahan WTO Workshop, Agriculture, halaman 4.2

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

10

Atas pertimbangan itu, perundingan pembentukan AOA dijalankan paralleldengan penciptaan Agreement on the Application of Sanitary and PhytosanitaryMeasures (SPS Agreement). Hasilnya, perundingan Putaran Uruguay menyangkutpertanian tidak hanya menghasilkan AOA dan SPS ( di bawah Annex IA tentangMultilateral Agreements on Trade in Goods), namun juga mempengaruhi hasilakhir Covered Agreements lainnya seperti TBT, Safeguard, Import LicensingProcedures, Cutoms Valuation, dan Pre-shipment Inspection. Di samping itu,sektor pertanian juga dicakup oleh Covered Agreements di luar Annex 1A, yaituTRIPS Agreement dan GATS (General Agreement on Trade in Services), danDispute Settlement Understanding.

Sebagai payung utama pengatur perdagangan pertanian, AOA padamukadimahnya menetapkan tujuan dasar yang harus dicapai dalam jangkapanjang melalui rangkaian putaran perundingan di masa datang: “to establish a fairand market-oriented agricultural trading system,” yang akan dicapai melalui“substantial progressive reductions in agricultural support and protection sustainedover an agreed period of time, resulting in correcting and preventing restrictionsand distortions in world agricultural markets.” Tujuan dasar ini memberikan ruangbagi pencapaian tujuan-tujuan lain yang bersifat “non-trade concerns” seperti foodsecurity dan perlindungan lingkungan, serta menetapkan “special and differentialtreatment” bagi negara berkembang sebagai “an integral part of the negotiations.”

Pada Batang Tubuh, AOA menetapkan berbagai disiplin terkait disiplin“border measures/import access” serta subsidi domestik dan ekspor. Sasarannyauntuk meningkatkan akses pasar dan mengurangi subsidi yang mendistorsi pasar.Sedangkan Persetujuan SPS lebih diarahkan pada pendisiplinan aturan anggotaterkait hubungan antara perdagangan dengan kesehatan, yaitu mengawasipenerapan aturan domestik yang sengaja dirancang untuk membatasiperdagangan/impor. Melalui penetapan Schedule of Concessions yang melekatpada Persetujuan WTO, masing-masing anggota WTO menerapkan komitmenpenurunan tariff (36% untuk negara maju dan 24% untuk negara berkembang)serta subsidi ekspor yang dilaksanakan secara bertahap. Negara berkembangdiberi keleluasaan untuk melakukannya selama 9 tahun (sampai 2005).

Pasal 4.2 AOA menyatakan bahwa penggunaan “agriculture-specific non-tariff measures” sebagaimana dilakukan zaman GATT dilarang. Border measureslain selain “normal customs duties” juga tidak lagi dibolehkan.13 Pengecualiandilakukan dalam batas-batas yang diatur dalam GATT 1994 dan CoveredAgreements.

Pasal 3.3. AOA menetapkan aturan dasar tentang subsidi ekspor, yanghanya membolehkan empat jenis langkah subsidi sesuai pasal dimaksud. Disamping itu, AOA (Pasal 6) juga menetapkan disiplin atas subsidi domestik yangmempengaruhi harga dan produksi (aggregate measurement of support/AMS, ataulazim disebut amber box). Pengecualian atas subsidi, yang dibolehkan,dicantumkan jelas pada Annex 2.

13 Termasuk quantitative import restrictions, minimum import prices, discretionary imprt licensingprocedures, voluntary export restraint agreements, dan non-tariff measures melalui state tradingenterprises.

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

11

Pada SPS Agreement, upaya mendisiplinkan regulasi impor anggotaantara lain dilakukan dengan memberikan kewajiban bahwa langkah SPS suatuanggota harus dapat dibuktikan secara ilmiah memang memiliki legitimasi yangjelas (diperlukan bagi pencapaian tujuan kesehatan), tidak diskriminatif (MFNmaupun national treatment) dan sedapat mungkin memilih langkah yang least-trade restrictive.

Dengan lahirnya berbagai aturan tersebut, pasca pembentukan WTO telahberkembang seperangkat aturan/governance multilateral yang lebih konsudif bagilalu-lintas perdagangan global, yang pangsanya terus meningkat. Peningkatanperdagangan ini tidak hanya memberikan nilai tambah bagi masing-masing negaradan pelaku ekspor-impor, namun juga membantu upaya pemenuhan food securitypada tingkat global.

Dari sudut pandang ekspor pertanian Indonesia, terbentuknya WTOmerupakan langkah maju dalam upaya memberikan manfaat lebih banyak bagiakses pasar dan peningkatan pendapatan. Dengan demikian partisipasi Indonesiadalam Putaran Uruguay merupakan prestasi para pengambil keputusan di masalalu guna ikut mendorong adanya tingkat kepastian yang lebih besar dalamperdagangan global untuk produk pertanian.

Dalam kaitan ini, Indonesia memiliki kelebihan dalam hal daya saingproduk-produk cash crops. Kepentingan stakeholders di bidang ini memerlukandukungan Pemerintah. Bank Dunia (2009) menggarisbawahi pentingnya negaraberkembang menembus wilayah-wilayah baru pasar (breaking into new markets)yang didukung “comprehensive trade policy strategy.” Bank Dunia terutamamemandang penting peran pemerintah dalam mendukung tahap akselerasi eksporsuatu produk (dibanding “discovery hypothesis” yang mementingkan lahirnyaekspor jenis-jenis baru yang pada akhirnya hanya berujung pada tingginya “deathrate” jenis-jenis ekspor dimaksud). Produk ekspor yang akseleratif dipandang akanlebih mampu melakukan “proses belajar” di tujuan pasar, meningkatkan kapasitasstandar, dan membangun infrastruktur.14

Dalam kaitan ekspor pertanian, laporan Sekretariat WTO memberikanperspektif tentang posisi Indonesia pada 22 jenis produk/kelompok produk yangdianalisis. Indonesia tercantum sebagai eksportir penting pada tujuhproduk/kelompok produk, yaitu: oilseed (peringkat 16), vegetable oils (peringkat 2),oilcakes (peringkat 5), skim milk powder (peringkat 23), other milk product(peringkat 15), live animals (peringkat 23), dan tobacco (peringkat 9).15

Upaya Memperluas Keterbukaan Pasar: DDA

Dalam rangka memperluas peluang akses pasar, Indonesia turutberpartisipasi secara aktif dalam Putaran Perundingan pasca Putaran Uruguay,yaitu DDA. Memang sejauh ini perjuangan bersama para anggota WTO untukmenyelesaikan DDA masih belum menentu. Di bidang pertanian, perundingan

14 Richard Newfarmers, William Shaw & Peter Walkenhorst (editors): Breaking into New Markets –Emerging Lessons for Export Deversification, The World Bank, Washington DC, 2009: xxi-xxii

15 WTO Document G/AG/W/76, 16 Agustus 2010

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

12

DDA telah menghasilkan berbagai kompromi yang dituangkan ke dalam draftModalitas Revisi 4 yang terbit bulan Desember 2008.16

Meski dirundingkan secara intensif sejak 2002, perundingan di sektorpertanian termasuk yang paling sulit diselesaikan. Hal ini mencerminkan tentangbesarnya arti sektor pertanian dan perdagangan pertanian dalam meningkatkantaraf hidup petani di semua negara di dunia. Terdapat pandangan luas bahwaperundingan di bidang ini bersifat multi-dimensi dan sangat menyentuh isu sosial-politik. Dokumen PBB menggambarkan permasalahan kemiskinan yang terkaitdengan sektor pertanian, di mana 1,5 miliar food-insecure people harus mampumeningkatkan taraf hidup dengan mengandalkan sekitar 500 juta lahan yangmasing-masing besarnya tidak lebih dari 2 hektar.17

Masalah di sektor pertanian inilah yang sesungguhnya yang turutmelahirkan DDA. Pasal 20 AOA memberikan amanat kepada anggota WTO untukmelakukan peninjauan atas keberhasilan pelaksanaan persetujuan dimaksud dansetelah itu melaksanakan perundingan lebih lanjut untuk melakukan reformasiyang lebih cocok dengan kebutuhan. Dengan demikian, perundingan di bidangpertanian diluncurkan sejak 2000 (selanjutnya menjadi bagian dari DDA sejak2001) dengan tujuan menyempurnakan tingkat kemanfaatan AOA bagi seluruhanggota WTO, baik negara maju maupun negara berkembang dan LDCs. Mandatperundingan pertanian, yang disepakati Konferensi Tingkat Menteri di Doha padatanggal 9-14 November 2001 (Doha Ministerial Declaration) mengatakan bahwaanggota WTO berkomitmen untuk melakukan negosiasi secara komprehensifuntuk:

“….substantial improvement in market access, reduction of with a view tophasing out, all forms of export subsidies, substantial reductions in trade-distortingdomestic support. We agree that special and differential treatment for developingcountries shall be an integral part of all elements of the negotiations and shall beembodies in the Schedules of concessions and commitment and as appropriate inthe rules and disciplines to be negotiated, so as to be operationally effective and toenable developing countries to effectively take account of their developmentneeds, including foods security and rural development. We take note of the non-trade concerns reflected in the negotiating proposals submitted by Members andconfirm that non-trade concerns will be taken into account in the negotiations asprovided for in the Agreement of Agriculture”.

Sesuai dengan mandat Doha tersebut di atas, negara berkembangmemperjuangkan Special and Differential Treatment (S&D), yaitu perlakuankhusus dan berbeda, dengan harapan negara berkembang akan dapat lebihberpartisipasi dan berkompetisi secara adil, seimbang, dan efektif di pasarinternasional. Bersamaan dengan itu, diharapkan akan terdapat jaminan bagipemberian perlindungan yang masih dibutuhkan negara berkembang terhadapproduk-produk pertanian yang umumnya dihasilkan petani kecil dan miskin.

16 Tahun Juli 2008 Dirjen WTO menaksir bahwa isu-isu pending dalam perundingan pertanian tinggal5%. SP & SSM, yang diperjuangkan kelompok G-33 dipandang termasuk isu yang paling sulit dicapaikomprominya.

17 UN General Assembly, Document Number A/HRC/9/23, 8 September 2008

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

13

Perundingan pertanian untuk memperbaiki distorsi sistem perdagangandunia akibat hambatan pasar di negara maju mendorong kekompakan di antarasesama negara berkembang dalam pengelompokan seperti G-20. Bersamakelompok eksportir yang tergabung dalam Cairns Group, G-20 memperjuangkanpenghapusan atau penurunan secara substansial tingkat tariff dan subsidi dinegara maju, khususnya negara eksportir seperti AS dan Uni Eropa. Proteksi tinggiterhadap sektor pertanian yang terutama dilakukan negara maju, berupa tarif dannon-tarif serta pemberian subsidi berlebihan, dipandang menyebabkan distorsipasar pertanian global yang merugikan banyak pihak, terutama negara anggotaberkembang. Unsur inilah yang perlu menjadi agenda penting penyelesaianDDA.18

Di lain pihak, perundingan DDA bidang pertanian juga menyangkut“keseimbangan” kepentingan antara negara eksportir (baik negara maju maupunberkembang) yang bersifat ofensif mencari akses pasar dan negara importir (baiknegara maju maupun berkembang) yang bersifat defensif mempertahankanperlindungan. Karena itu, terdapat berbagai konfigurasi pengelompokan negaraberdasarkan kepentingan dan isu yang diperjuangkan. Di dalamnya termasukKelompok G-33 (yang memperjuangkan perlindungan dan kepentingan defensifbagi sektor pertanian negara berkembang), Cairns Group (ofensifmemperjuangkan keterbukaan pasar pertanian melalui penghapusan subsidi danpenurunan tarif), dan G20 (ofensif mendorong penghapusan distorsi terhadapperdagangan pertanian yang disebabkan oleh kebijakan defensif negara maju).Indonesia menjadi Koordinator G-33 dan anggota G20 serta Cairns Group.

Dari segi isu perundingan, secara garis besar terdapat tiga pilarperundingan di sektor pertanian yaitu Domestic Support, Market Access danExport Competition. Beberapa isu utama pada masing-masing pilar perundingantersebut adalah:

1) Domestic Support: pemotongan Overall Trade Domestic Support (OTDS), cappada blue box dan disiplin dalam new blue box payments, konsentrasi bantuanpada satu atau lebih produk, green box serta isu kapas/cotton;

2) Market Access: tingkat pemotongan tarif produk pertanian pada umumnya,sensitive products, Special Products (SP) dan Special Safeguard Mechanism(SSM), tariff escalation, tariff simplification, tariff quotas and its administration,special agricultural safeguard (SSG), tropical products dan preference erosion;

18 Subsidi domestik dan ekspor menjadi permasalahan besar tidak hanya dilihat dari distorsi pasardunia yang mengurangi atau menghapus peluang ekspor produk Negara berkembang. Dimensilainnya yang penting, yang memberikan pembenaran bagi perjuangan G-33 atas SP dan SSM,adalah terganggunya pembangunan sektor pertanian negara berkembang akibat limpahan produkmurah bersubsidi. Martin Khor menggambarkan kasus Ghana, yang menikmati swasembada beras,tomat, dan ayam pada tahun 1970an sampai 1980an, namun kemudian dibanjiri impor dari AmerikaSerikat dan Uni Eropa. Tahun 2003, ekspor beras AS ke Ghana mencapai 64% dari total produksiberas dalam negeri Ghana. Pada periode tersebut (2002-2003), subsidi industri beras di ASmencapai USD 1,6 miliar, sehingga cost of production beras AS yang USD 415 per ton dapat dijualke Ghana dengan harga USD 274 per ton (34% di bawah ongkos produksi). Lihat Martin Khor, TheFood Crisis, Climate Change and the importance of Sustainable Agriculture, Third World Network,Penang Malaysia, 2009

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

14

3) Export Competition: subsidi terhadap pelaksanaan ekspor produk pertaniandalam bentuk credit export dan credit guarantee, State Trading Enterprises(STEs) terutama aspek single marketing board system serta Food Aidtermasuk elemen monetization;

Untuk pilar Domestic Support, AS dan beberapa negara maju menjadisorotan utama serta mendapat tekanan untuk menurunkan OTDS secara nyatadan efektif. Pelaku subsidi tersebut juga dituntut untuk dapat memenuhi keinginannegara anggota C-4 untuk lebih drastis menurunkan subsidi di sektor cotton.Upaya untuk lebih mendisiplinkan provisi blue box bagi negara anggota majubeserta provisi green box yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan negaraanggota berkembang, juga telah menyita perhatian perundingan.

Pilar Export Competition merupakan yang paling banyak mengalamikemajuan dibandingkan dua pilar lainnya. Proses perundingan mengarah padakesediaan negara anggota untuk lebih menunjukkan fleksibilitasnya, kecualibeberapa elemen minor seperti credit export, credit guarantee, single marketingboard system serta monetization. Melalui HKMD 2005 disepakati bahwa elemenexport subsidies di negara maju akan dihapuskan paling lambat tahun 2013.Namun kemandegan perundingan DDA pasca 2008 menyebabkan kesepakatan initerancam menguap kembali.

Di pilar Market Access, negara yang memiliki kepentingan defensifmendapatkan tekanan dari beberapa Anggota Cairns Group dan G20 misalnyadalam isu sensitive products, SPs dan SSM, SSG, tropical products, danpreference erosion. Mengenai formula pemotongan tarif, umumnya telah dicapaitahap perundingan yang stabilized. Namun pada isu-isu yang lain, sebagaimanadisebutkan di atas, masih terdapat berbagai perbedaan pandangan politis danteknis yang belum dapat dicapai kompromi. Karena itu secara keseluruhansubstansi pilar akses pasar dipandang belum “stabil” dan “arsitektur” atasbeberapa isu belum memadai untuk didorong menuju proses “end-game.”

Menyangkut isu seperti SP dan SSM, negara net-importer, yang umumnyamerupakan negara berkembang besar ataupun kecil dengan jumlah petani miskinyang signifikan, menuntut fleksibilitas tertentu (baik dalam kerangka S&D ataupuntidak) bagi upaya pemberian perlindungan yang masih dibutuhkan. Sementaranegara anggota eksportir menuntut bahwa pada setiap produk pertanian harusmemberikan “new market access” atau “new trade flows” baik itu di negara majumaupun di negara berkembang. Perundingan tentang isu ini merefleksikanpertarungan yang sesungguhnya dalam proses perundingan akses pasar.

Tentunya keterkaitan kemajuan/fleksibilitas di dalam serta antara ketigapilar pertanian itu sendiri tetap pula menjadi suatu “barometer” bagi semua pihakdalam melakukan perundingan. Dengan kata lain, kemajuan/fleksibilitas pada pilarmarket access, selain akan bergantung pada isu lainnya di pilar tersebut juga akanbergantung pada kemajuan/fleksibilitas pada kedua pilar lainnya. Begitupunsebaliknya di antara ketiga pilar dimaksud. Karena itu, dapat dipahami bahwaproses perundingan pertanian berjalan rumit dan menyulitkan.

Dalam rangka memperjuangkan S&D Treatment bagi negara berkembang,khususnya dimensi defensif dari perdagangan pertanian, Indonesia bertindak

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

15

sebagai ketua/koordinator kelompok yang khusus memperjuangkan kepentinganperlindungan atas sektor pertanian negara berkembang dari dampak banjir imporatau gejolak harga komoditi internasional, yaitu instrumen SSM (special safeguardmechanism) dan SP (special products). Kelompok tersebut bernama G-33, yangberanggotakan 46 negara berkembang seperti Indonesia, China, India, KoreaSelatan, Turki, Filipina, dan Pakistan.

Dalam kegiatan sehari-hari untuk mempengaruhi jalannya perundinganpertanian DDA, G-33 memiliki mekanisme kerja dan struktur kepemimpinansebagai berikut. Pertama, Ketua/Koordinator G-33 pada Tingkat Menteri, yaituMenteri Perdagangan RI, memimpin pertemuan-pertemuan G-33 tingkat menteridan bertindak sebagai Juru Bicara G-33. Di bawah itu, Indonesia juga menjadiKoordinator G-33 di Tingkat Duta Besar dan tingkat teknis.

Menghadapi DDA, Indonesia sebenarnya tidak mengalami kesulitan berartiuntuk jual beli (trade off) peningkatan liberalisasi sektor pertanian. Hal ini karenabound-tariff Indonesia pada produk pertanian adalah 47,1 persen, sedangkanactual tariff adalah 8,4 persen. Artinya terdapat ruang gerak yang cukup besaruntuk mendukung posisi tawar Indonesia dalam perundingan DDA.

Misalnya, dengan rancangan general formula cut bagi negara berkembangsebesar maksimal 36 persen, maka Indonesia hanya akan dikenai kewajibanmengurangi tingkat “water” yang tidak sampai ke actual tariff. Sedangkan di pihakmitra dagang, yaitu negara maju, formula penurunan tarif yang mereka harusturunkan adalah minimal 54 persen, atau lebih tinggi lagi jika “formula tier“mengharuskan pos tarif tertentu dipotong lebih besar lagi.

Di samping itu, sebagai negara berkembang, Indonesia juga akanmendapat keringanan dalam kewajiban penurunan tingkat tarif, yaitu denganmemperoleh hak untuk menetapkan beberapa jenis pos tarif atas produk-produkkhusus (special products) yang akan dikenakan pemotongan lebih rendah atautidak dipotong sama sekali. Prosentase dari pos tarif yang masuk dalam kategoriini masih dirundingkan.

Indonesia juga akan mendapat keuntungan dari peningkatan daya saingekspor produk pertanian jika DDA berhasil menerapkan formula penurunan tingkatsubsidi domestik dan penghapusan subsidi ekspor di negara-negara mitra. Subsididimaksud selama ini telah menciptakan distorsi yang menyebabkan produk-produkpertanian negara maju memiliki daya saing di pasar dunia. Penurunan subsididiharapkan akan mengubah konstelasi menuju keunggulan di pihak negaraberkembang, termasuk Indonesia.

PENUTUP

WTO merupakan wadah bagi anggota untuk memperjuangkankepentingan perdagangannya, baik ofensif untuk meningkatkan ekspor dan aksespasar maupun defensif bagi pengamanan pasar domestik dan perlindungankepada produsen yang masih lemah. Dari sudut pandang peningkatan ekspor

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

16

pertanian Indonesia dan pembukaan pasar, terbentuknya WTO perlu dipandangsebagai suatu langkah maju. Lahirnya WTO berjalan seiring dengan tambahanakses pasar yang penting bagi ekspor pertanian anggota, termasuk Indonesia.Partisipasi Indonesia dalam Putaran Uruguay merupakan prestasi para pengambilkeputusan di masa lalu guna ikut mendorong adanya tingkat kepastian yang lebihbesar dalam perdagangan global untuk produk pertanian.

Ke depan, mengingat pentingnya WTO sebagai wadah untuk menegakkanaturan dan mengembangkan peluang akses pasar, Indonesia perlu terus aktifmemperjuangkan kepentingan perdagangan di WTO. Terbentuknya berbagaiaturan baru di bidang pertanian, beserta penurunan tingkat tarif yang terjadi pascapembentukan WTO, merupakan buah usaha bersama yang mendukung upayapeningkatan volume dan nilai ekspor nasional khususnya di bidang pertanian.Peran diplomasi Indonesia dalam memperjuangkan sisi ofensif pencarian ekspor dipasar perlu terus ditingkatkan, khususnya untuk melengkapi kinerja Tim NasionalPerundingan Perdagangan Internasional (Timnas PPI) yang dominanmemperjuangkan kepentingan defensif. Perangkat diplomasi dan pemangkukepentingan dalam negeri perlu memberikan energi lebih besar pada kepentinganekspor.

Indonesia memiliki kelebihan dalam hal daya saing produk-produk cashcrops. Kepentingan stakeholders di bidang ini memerlukan dukungan Pemerintah.Presiden RI mengatakan dengan jelas bahwa peningkatan kerja sama danperundingan perdagangan merupakan langkah yang diperlukan untuk lebihmembuka peluang pasar produk-produk Indonesia.19 Arti penting pengembanganperdagangan bagi pertumbuhan nasional ditekankan pula oleh MenkoPerekonomian, khususnya terkait kemungkinan terjadinya pelesuan ekonomiglobal.20

Dalam rangka peningkatan ofensi ke luar, agar menjadikan Indonesiasebagai trading nation sebagaimana dicontohkan beberapa emerging economieslain yang sukses, para pemangku kepentingan dari sisi diplomasi maupun pelakuusaha perlu menyatukan persepsi dan langkah. Pandangan sekilas ataspemberitaan di media massa memperlihatkan tidak seragamnya pemahamandimaksud. Stakeholders perlu meyakini pentingnya memelihara aturan bersama(rules of the game) MTS agar memungkinkan perdagangan terus berkembang.

Sejak 24 Februari 1950, ketika Indonesia memutuskan untuk menjadianggota GATT, kita memilih jadi bagian dari globalisasi. Jadi sejak 61 tahun lalu

19 Kutipan pemberitaan TEMPO Interaktif, 21 April 2010: “Presiden meminta pelaku usaha percaya dirimenghadapi pasar bebas ACFTA. Permintaan ini … akan disertai langkah-langkah strategispemerintah yang akan bekerja keras untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Presidenmenegaskan kesepakatan pasar bebas … harus dilihat sebagai peluang dan kesempatan untukmeningkatkan investasi ke Indonesia ... saat ini memang waktu transisi menuju ke era perdaganganbebas. "Karena itu kita harus menciptakan fondasi bersama." Fondasi itu, adalah suatu polaarsitektur perekonomian yang tidak saja bebas tapi juga lebih adil.

20 Menghadapi risiko kelesuan ekonomi dunia, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan(detik.com 14/9/2011) bahwa kebijakan menahan krisis harus dipersiapkan. Di antaranyamemperkuat sisi ekspor. "Perdagangan dalam negeri harus kita benahi. Supaya efesien, infrastrukturmaupun transportasi harus dibenahi, tidak boleh ada korupsi dan pungutan liar" ... Indonesia harusmemperkuat diversifikasi ekspor ... "Indonesia juga terus meningkatkan nilai perdagangannya …"

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

17

kita memilih untuk berbenah dan membangun diri. Langkah tersebut relatif mampumemberikan ruang lebih besar bagi kehidupan ekonomi rakyat dan menempatkankita pada peringkat eksportir ke 27 terbesar di dunia dan perekonomian ke-18terbesar dunia. Jalan yang kita tempuh sudah tepat, yaitu bukan menutup diri.Yang diperlukan sekarang adalah meningkatkan upaya pembenahan agar seluruhlapisan masyarakat dan pelaku usaha menikmati hasil kebijakan keterbukaan ini.

Mungkin tidak akan ada satu negara pun di dunia yang paling unggul padasemua sektor ekonomi. Hal ini akan terjadi juga di Indonesia. Tidak perlu mencarikambing hitam, termasuk menyalahkan stakeholders penentu kebijakanperdagangan, ketika kita tidak berhasil membangun seluruh lini ekonomi. Sebagaitanggapan, di sini diperlukan langkah pemerintah, melalui kebijakan anggaran,untuk memberikan trade adjustment program yang sesuai. Dalam batas-batasyang dibolehkan oleh aturan main MTS, pemerintah perlu membantu keberhasilankita sebagai trading nation.

Kealpaan mematuhi aturan main global akan berdampak paling tidak padadua hal. Pertama, menghadapi risiko pembalasan dari mitra dagang, dan bahkanancaman Pengadilan WTO, yang pada akhirnya malah merugikan eksportir.Kedua, akan menyumbang pada kecenderungan proteksionisme yang padaakhirnya menghancurkan aturan main MTS. Sejarah mencatat hancurnya sistemperdagangan dunia akibat Great Depression 1930 (beggar thy neighbour policy)yang baru teratasi setelah kerja sama masyarakat global berhasil membanguntatanan Bretton Woods (termasuk GATT) pasca Perang Dunia II. Capaian inijangan lagi dihancurkan.

Alam demokrasi baru di Indonesia memudahkan orang untukmenyampaikan opini dengan bebas di ruang publik. Banyak opini tersebut validuntuk ditindaklanjuti pengambil keputusan, misalnya agar kebijakan perdaganganIndonesia lebih memperhatikan standar dan aturan SPS (sanitary andphitosanitary rules) guna melindungi kesehatan dan kepentingan konsumen.Banyak juga permintaan dari berbagai kalangan agar kita mengurangi impor. Adajuga pandangan yang mengkambinghitamkan kebijakan perdagangan ataskeputusan kita menjadi bagian dari MTS sejak 61 tahun lalu. Endnote di bawah inimencoba memotret sebagian di antara pandangan itu.i

Berdasarkan aturan main MTS, pengurangan impor tentu dapat dilakukansepanjang produksi dalam negeri lebih kompetitif, namun tidak dengan caramembentuk aturan-aturan yang dilarang WTO Agreements. Penerapan aturanSPS juga sahih sepanjang didukung pembuktian ilmiah yang memadai. Penerapanstandar tentu diperlukan oleh negeri ini, namun tidak dengan melanggar asasnational treatment, di mana produsen lokal pun akan terkena pemberlakuanperaturan standar kita.

Akhir kata, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menarik manfaatmaksimal dari keanggotaan Indonesia di WTO, diperlukan peningkatanpemaknaan dan pemahaman secara mendalam dari semua pihak (pemangkukepentingan) menyangkut hak dan kewajiban Indonesia sebagai anggota WTO.Dalam melakukan pengamanan pasar domestik maupun perlindungan kepadaprodusen yang masih lemah, pemerintah harus tetap mengacu kepada aturanWTO agar tidak dipermasalahkan atau dipersengketakan oleh mitra dagang kita.

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

18

ENDNOTE:

KEBERAGAMAN PANDANGAN DI MEDIA MASSA

1. Menlutkan RI menulis di Suara Karya, 31.3.11 : Saya sedih, geram, dankecewa. Muka saya serasa tertampar. Ikan impor itu ternyata jenis ikan yangsudah ada di dalam negeri. Saya hanya mengizinkan impor ikan jenis tertentuuntuk konsumen ekspatriat. Di perbatasan seperti Batam dan Kalimantan, leleimpor membanjiri pasar kita dengan harga relatif lebih murah. Akibat serbuanimpor, pembudi daya tidak bergairah karena tidak ada peluang berpendapatan.Inilah bencana pasar bebas, orang lebih mudah tergoda untuk mencari renteketimbang melakukan kegiatan ekonomi produktif. Kita jangan hanyut denganpemikiran bahwa rakyat akan mendapat produk berharga murah. Tidak adagunanya jika usaha pertanian, peternakan, dan perikanan masyarakat gulungtikar. Kita harus melakukan intervensi kepada pasar yang liar. Kitaterperangkap jebakan pasar bebas. Jika hambatan tarif sudah tidakdibolehkan, harus membuat hambatan nontarif. Harus berani melakukanregulasi pasar dalam negeri dengan membuat perlakuan yang berbeda untukproduk impor. Penerapan regulasi yang konsisten akan membuat ciut nyalipara pemburu rente, manusia yang mementingkan kepentingan sendiri tanpapeduli masa depan rakyat, bangsa, dan negara. Bukan hanya beras,ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan nasional utama lainnyaterhadap impor juga cukup besar seperti kedelai (70%), garam (50%), dagingsapi (23%), dan jagung (11,23%). Padahal sebelumnya kita swasembadajagung. Impor buah-buahan juga cenderung meningkat. Tahun 2005 217,5 jutadolar AS, pada 2006 sudah 327,8 juta dolar AS. Kondisi ini (jangan) disikapikebijakan pragmatis dan jangka pendek. Jika terjadi kesenjangan antaraproduksi dan konsumsi, (jangan) diselesaikan dengan impor. Kebijakan inimematikan spirit memproduksi. Kebijakan ini dimanfaatkan dengan sangatcerdas oleh pemburu rente.

2. Suara Karya: Liberalisasi ekonomi sudah memporak-porandakanperekonomian nasional. Kesepakatan perdagangan bebas yang diperluasdengan implikasi terbukanya pasar dalam negeri sudah merontokkan industrinasional. Akibatnya, puluhan juta orang menganggur atau menjadi pekerjainformal. Saat ini, produk impor menguasai pasar dalam negeri dibandingproduk lokal. Demikian rangkuman pendapat terkait kinerja setahun MendagMari Elka Pangestu (10/10/2010).

3. Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto mempertanyakan kebijakanpemerintah terkait Peraturan Mendag tentang izin untuk industri (produsen)mengimpor barang jadi. Secara tidak langsung berdampak serius pada nasibpara karyawan/buruh/pekerja di sektor industri. Ekspansi barang impor kianmerajalela dan menggerus produk dalam negeri. "Artinya, MenteriPerdagangan tidak berpihak ke nasib buruh/pekerja di pabrik. Impor sudahmerontokkan banyak industri dan UKM nasional. Apalagi sekarang, produsen(industri) didorong untuk menjadi pedagang." Deindustrialisasi tak bisa lagidibendung.

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

19

4. Ketua Umum Apegti M Natsir Mansyur : selama enam tahun menjadi Mendag(KIB Jilid I dan Jilid II), Mari Elka Pangestu justru melanggengkan liberalisasitanpa memperhatikan kepentingan masyarakat dan negara. Ini denganmempercepat proses kesepakatan perdagangan bebas dan pembukaan pasarberbagai sektor/produk di Indonesia. "Tidak ada perhatian dan kepeduliansedikit pun dari Mari Elka Pangestu untuk misalnya merumuskan kebijakanproteksi yang masih bisa diupayakan. Kini pasar Indonesia menjadi ladangempuk produk impor." Sekitar 60 persen komoditas pangan yang dikonsumsimasyarakat merupakan impor, mulai dari beras, gula, terigu, kedelai, kacang,jagung, hingga buah-buahan serta komoditas tanaman pangan lainnya. "Sayaberharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencopot Mari Elka Pangestusebagai Menteri Perdagangan karena terbukti kinerjanya buruk."

5. Ketua DPP PKB, Marwan Jafar: Mendag dinilai tidak optimal dalam mengaturkebijakan ekspor impor sehingga merugikan pengusaha tanah air. "Kemendagtidak punya grand design yang disiapkan sejak awal dalam melindungi pasarekspor produk nasional. Ketika ada produk nasional yang bermasalah di luarnegeri, Kemendag terlihat gagap menyikapinya." (19/10/2010). Untukmelindungi pasar dalam negeri, Kemendag harus lebih tegas dalammengamankan serbuan produk impor. Kegagalan Kemendag melindungiproduk lokal menjadi PR yang harus segera diselesaikan. "Mengingat begitubesarnya potensi pasar dalam negeri, maka ketegasan regulasi yangmengatur pasar dalam negeri sangat dibutuhkan baik bagi pelaku maupunkonsumen."

6. Pengamat industri rokok dari UI, Abdillah Ahsan (30/06/2010 ). "Saya taruhankalau perundingan (melawan AS soal larangan impor rokok kretek di WTO)pasti kita kalah. Salah satu cara membalas tindakan Amerika itu, kalauAmerika melarang rokok kretek, kita larang juga rokok putih atau mentol. Itudibolehkan. Tapi masalahnya apakah pemerintah berani atau tidak." Abdillah:satu-satunya cara untuk menyelesaikan perseteruan tersebut adalah denganpelarangan impor rokok juga oleh Pemerintah Indonesia. Alasannya pun bisasama, demi kesehatan.

7. Anggota Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi (9/4/2011): Kemendag tak bolehmelakukan impor daging bila tidak ada rekomendasi volume impor dariKementan. Pemerintah diminta bersungguh-sungguh menjalankan komitmenuntuk mengurangi importasi daging secara bertahap sehingga akan tercapaitarget swasembada daging 2014. "Impor daging itu jangan mematikanpeternak lokal karena mereka menanggung dampak dari tingginya hargadaging lokal akibat membanjirnya daging impor," jelas Yoga.

8. Siswono Yudohusodo dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IV denganDirut Bulog Sutarto Alimoeso, (10/3/2011): " Saya alergi bila kebijakan Bapakdiwarnai oleh Menteri Perdagangan saat ini. Seluruh bea masuk nol persen.Lihat China-China itu, membeli beras dari pasar kemudian menjualnya dengancara biasa. Ini soal manajemen stok. Tidak boleh impor beras. Kalau kita mausetujui anggaran 2012, dengan catatan tidak boleh ada impor." Ralat Siswono:

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

20

"Yang saya maksud adalah impor barang-barang China yang menghancurkanindustri dalam negeri kita. Bea masuk barang China itu nol persen sehinggabarang China murah," kata Siswono saat dikonfirmasi (10/3/2011).

9. Menlutkan, Fadel Muhammad, dalam peninjauan mendadak ke PelabuhanTanjung Priok: meminta Komisi VI DPR menegur Menteri Perdagangan, agarjangan asal memberi izin impor ikan. Anggota Komisi VI, Iskandar Syaichu,mengapresiasi langkah Fadel. Ia berjanji akan mengecek proses perizinanimpor ikan. "Itu bagian dari tugas Komisi VI untuk memeriksa. Kami akan tegurMenteri Perdagangan jika diperlukan." (23/3/2011). Perairan Indonesiamemiliki persediaan ikan sangat banyak. Apalagi jenis ikan yang diimporadalah yang dimiliki Indonesia. Besar kemungkinan itu adalah hasil curian dariIndonesia. "Saya sebagai anggota Komisi VI sangat terenyuh melihat caraseperti ini. Jelas ini akan mematikan nelayan lokal." Pemerintah hanyamengizinkan impor ikan untuk jenis tertentu, yang dimakan orang asingsebagai bahan baku restoran.

10. (Wartawan salah tafsir atas ucapan Sofyan Wanandi. Judul: “Cuma IndonesiaYang Terpukul Oleh ACFTA,' Bisnis Indonesia, 13 April 2011 Oleh RudiAriffianto): Indonesia hanya satu-satunya negara di Asean yang mengalamidampak buruk penerapan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA)terhadap kinerja industri domestiknya. Ketua Asosiasi Pengusaha IndonesiaSofjan Wanandi mengatakan …. sekritis apapun situasi yang menimpa industriIndonesia, termasuk membanjirnya produk impor China ke Indonesia, hal itumerupakan bagian dari konsekuensi. Apalagi, tuturnya, dari negara-negaraAsean, hanya Indonesia yang mengeluhkan dampak dari ACFTA tersebut.“Membanjirnya produk impor dari China merupakan bagian konsekuensiACFTA yang telah disetujui Asean. Hal ini juga tidak etis jika dibawa keKonferensi Tingkat Tinggi Asean karena anggota yang lain semuanya happydan Indonesia saja yang mengeluh,” katanya. Melihat kenyataan itu, katanya,kesalahan juga sebagiannya bersumber pada pihak Indonesia sendiri yangtidak mempersiapkan diri dengan baik sebelum kesepakatan ACFTA tersebutdirealisasikan sejak awal 2010. “Sehingga tidak pada tempatnya mengeluhkankesalahan sendiri di KTT Asean karena itu hanya akan memalukan Indonesia.”(trd).

11. Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khairon (Suara Karya, 8/3/11):pemerintah harus menerapkan standardisasi barang/produk impor. Pengetatanpengawasan barang masuk hingga optimalisasi peran karantina, untukmenghindari kian maraknya produk impor yang mutunya tidak baik, sehinggabisa menghantam kelangsungan industri dan UKM nasional. "Kalau Indonesiadiserbu oleh barang murah asal China yang kualitasnya tidak jelas, tentu sajaakan kalah." Herman mempertanyakan mengapa produk impor, khususnyadari China, yang kualitasnya rendah bisa dengan mudah masuk ke Indonesia.Padahal di negara-negara lainnya, masalah standardisasi produk impor sangatdiperhatikan. "Memang perjanjian pasar bebas ASEAN dan China tidak dapatlagi dihindarkan. Begitu juga dengan perjanjian mengikat dengan WTOmengenai pangan. Namun, untuk mengantisipasi dampak buruknya,

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

21

pemerintah harus menyiapkan standardisasi yang memadai." "Jika situasibelum memungkinkan dan membahayakan ekonomi nasional, pengkajianulang dan evaluasi harus dilakukan. Jangan berlagak siap, padahal kebijakanmemang dipaksakan. Hasilnya pasti tidak akan baik. "

12. Pengamat ekonomi Hendrawan Supratikno: Pemerintah tidak lagi berdayamelawan perjanjian yang telah disepakati dengan WTO dan kesepakatanperdagangan bebas. Liberalisasi ekonomi, khususnya di bidang perdaganganpangan atau produk lainnya, tidak dapat lagi dibendung. "Sekarang tinggalbagaimana pemerintah menyiasati perjanjian tersebut agar tidak memporak-porandakan perekonomian Indonesia." Kebijakan ekonomi lepas tanganmerupakan kelanjutan dari prinsip liberalisasi yang mengusung mekanismepasar. Pemerintah sekarang tampak tidak berdaya menghadapi perdaganganbebas yang sudah tidak terkendali lagi, meski dampaknya sudahmenghancurkan industri dan UKM nasional. "Paradigma pembangunanekonomi seharusnya segera dikoreksi pemerintah. Jika tidak, Indonesia akanterus tersandera oleh kebijakan yang memang ditanamkan sejak lama olehasing dan itu akan menghancurkan perekonomian nasional."

13. 17 Mei 2010, TEMPO: "Daya saing masih kurang," kata Atte Sugandhi,Anggota Komisi VI. "Pangsa pasar sayuran di Singapura hanya 6 persen.Padahal beberapa tahun lalu, pangsa pasar bisa mencapai 35 persen.""Produk juice merk dari Australia yang diproduksi di Indonesia seharga Rp 23ribu per liter." Sedangkan, produk yang sama yang diimpor langsung dariAustralia seharga Rp 19 ribu per liter. "sangat terlihat dari satu merk saja,produk Indonesia tidak kompetitif."

14. Ketua Komisi Perdagangan, Perindustrian, dan Investasi, Airlangga Hartarto:Pemerintah terlalu mengutamakan pasar bebas dengan China. "Kenapadengan yang China didahulukan sementara dengan Australia dan SelandiaBaru tidak aktif." "Renegosiasi belum mencerminkan Indonesia incorporatedkarena tidak melibatkan kementerian lain," tutur Airlangga. Ia menyayangkanterlalu cepatnya proses pembicaraan dengan China untuk perjanjian yangsebenarnya bersifat multilateral. Organisasi Perdagangan Dunia memberitenggang waktu 180 hari untuk membicarakan kembali perjanjian pasar bebas."Pemerintah tidak pernah mengusulkan renegosiasi secara formal kepadanegara ASEAN. Kami di Dewan tidak pernah menerima (surat mengenairenegosiasi)," ujar Airlangga. "Kami akan membuat panitia kerja untukmembahas perjanjian pasar bebas (yang disetujui Indonesia), baik ACFTAmaupun pasar bebas lainnya."

15. (10/08/2011 detikFinance) Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dikecamjadi 'biang kerok' derasnya importasi garam dan produk pertanian keIndonesia. Padahal Indonesia merupakan negara agraris dan memiliki garispantai luas. Ketua Umum Dewan Tani Indonesia Ferry Juliantono mengatakan,alasan klise yang selalu dikemukakan Kementerian Perdagangan adalahkarena stok di dalam negeri kurang sehingga untuk mencegah harga-hargaproduk tersebut melambung tinggi harus melakukan impor. "Seharusnya

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

22

Kementerian Perdagangan menjadi penjaga gawang bagi berbagai produkekspor dan impor bukan malah berpandangan menyerahkan segalanya padamekanisme pasar." Menurut Ferry, lebih tepat pemerintah meningkatkanproduksi garam di dalam negeri dengan terlebih dahulu melakukanperlindungan terhadap para petani garam, dengan memberikan dukunganpermodalan, pendampingan manajerial pengelolaan, dan menarik minat petaniadalah kepastian harga dan jaminan pembelian dari pemerintah. Yang palingpenting adalah menghentikan segala importasi garam dan produk pertanianlainnya sambil melakukan langkah pencegahan naiknya harga-harga dipasaran. "Sebaiknya Menteri Perdagangan adalah menteri pertama yangharus di-reshuffle oleh Presiden, karena bisanya hanya 'mendagangkan'negeri ini bukan mendagangkan produk dalam negeri alias neolib," tukasnya.

16. 06 MEI 2011 TEMPO Interaktif : Serikat Petani Indonesia mengkhawatirkanbakal terjadi peningkatan angka kelaparan di seluruh dunia sejak berlakunyaperundingan yang menggunakan pandangan neoliberal. "Rencana menghapuskrisis pangan hingga 50 persen akan sulit terealisasi," kata Ketua SPI HenrySaragih. Kedaulatan pangan harus menjadi otoritas penuh pemerintah demikesejahteraan rakyatnya, bukan dibiarkan dalam satu mekanisme danmembiarkan sumber penghasil pangan diprivatisasi. Di bawah rezim WTO,masalah pangan sudah masuk ke mekanisme pasar. Pada 1995-2000 yangdiperdagangkan hanya 10 persen, dan dari 2000 sampai sekarang yangdiperdagangkan mencapai 30 persen. Meski pemerintah mengklaim produksimakanan dan pertanian mengalami peningkatan, namun faktanya hasilkomoditas pertanian kini tak lagi dikuasai petani, melainkan dikuasaiperusahaan besar terutama, asing. Hal senada dilontarkan pendiri AsosiasiEkonomi Politik Indonesia (AEPI) Doni Mantra. Menurut dia, peranan negaradalam mengatur ketahanan pangan telah tergerus haknya oleh mekanismepasar yang bebas dan kuat, sehingga krisis pangan terus melanda. "Pasarmenjadi tirani karena sudah merajalela dalam basis kehidupan manusia.Berbagai kebutuhan manusia digantikan oleh sistem pasar. Segala sesuatudimodifikasikan menjadi barang yang dapat diperjualbelikan." Donimenjelaskan, sekitar 60 persen penerima bantuan beras miskin adalah petaniyang notabene produsen pangan. "Bagaimana ini bisa terjadi jika bukankarena tatanan yang tergantikan tirani pasar," tuturnya. Senior ResearchAssociate Focus on the Global South India Afsar H. Jafri mengatakan India takjauh beda. Sejumlah kebijakan di India yang pro liberalisasi pasarmenyebabkan krisis pangan di negara itu. India yang sebelumnyaswasembada minyak nabati, saat ini malah menjadi importir minyak sawit dariIndonesia dan Malaysia yang mencapai 50 persen dari total kebutuhan negaraitu. "Padahal sebelumnya India penghasil minyak nabati," ujar Afsar.

17. 10 April 2011: Pemerintah dianggap gagal karena tidak mampu membendungbanjirnya produk impor terkait pemberlakuan perjanjian perdagangan bebasASEAN-China. Pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy menyayangkansikap pemerintah yang tidak sesuai dengan konstitusi, termasuk pemberlakuanACFTA. Dalam hasil studinya, Noorsy membuktikan … pemerintah …menjadikan Indonesia hanya sebagai pasar. “Itulah mengapa Jepang sangat

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

23

luar biasa memproduksi makanan yang dimasukkan ke Indonesia. Kita jugabisa lihat, diam-diam Malaysia dengan produknya memasukan Indonesiasebagai pangsa pasarnya. Apalagi China, kita pasti akan kalah denganserbuan barang impor mereka,” ujar Noorsy. Menurutnya, di tengah kebijakanindustrialisasi di Indonesia pasti terjadi deindustrialisasi. Bukan cumapersoalan produksi pangan, kebijakan ACFTA juga berpengaruh kuat terhadapsektor industri lainnya. “Sudah tidak ada lagi pilihan. Suka tidak suka, ACFTAhanya akan membesarkan impor pangan. Saya nggak melihat antisipasi daripemerintah.” Dari indikator pembenahan, pemerintah memang terbukti gagal.Itu tercermin dari ketidakmampuan pemerintah memprediksi danmengantisipasi setiap kebijakan yang diambil. “Akibatnya, Indonesia bakalterus dijajah habis-habisan. Mustahil tercipta kedaulatan ekonomi apalagipangan. Kita hanya menjadi babu di rumah sendiri. Terlambat untuk berbicaraantisipasi,” kritiknya.

18. (19/05/2011) detikNews : Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo,mengkritik pemerintahan SBY-Boediono. Sampai-sampai ia melepaskanpernyataan tidak mengenakkan untuk Menteri Perdagangan Marie ElkaPangestu. "Masyarakat selalu bilang hidup sekarang lebih susah dibandingkanzaman Soeharto. Ini menurut saya mungkin akumulasi dari kekecewaanterhadap pemerintahan sekarang. Kabinet diisi menteri-menteri akibat politikbalas budi. Makanya presiden didampingi oleh para pembantu yang tidakkredibel," tuturnya. "Beda dengan zaman Soeharto. Ada seleksi yang cukupketat … Jangan heran kalau kebijakan Elka membeli pesawat MA 60 dari Cinaitu lebih mengacu ke nenek moyangnya," kritiknya.

19. Perdagangan Bebas Bikin Ekonomi Nasional Buruk - Rakyat Merdeka,13.2.2011 Kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral dan multilateralyang agresif dijalankan pemerintah makin memperburuk perekonomiannasional. “Kepentingan industri nasional jadi terpinggirkan. Bisa saja dalambeberapa tahun ke depan tidak ada lagi pelaku usaha yang maumenginvestasikan modalnya untuk membangun industri. Karena kebijakantidak mendukung industri untuk menciptakan produk yang berdaya saingtinggi,” ujar ekonom Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Ekonomi UniversitasBrawijaya. Pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas sudah salah arah.Setelah membahas dan merumuskan kesepakatan perdagangan bebas,pemerintah justru bergerak lamban mempersiapkan pelaku industri dan duniausaha nasional, khususnya untuk mendukung upaya peningkatan daya saing.“Seharusnya kita mempersiapkan diri sebaik mungkin atau menjadikan industridalam negeri mempunyai daya saing. Sayangnya, begitu perjanjianperdagangan bebas disepakati, pemerintah tidak melakukan investasi danmenerbitkan kebijakan apa pun untuk menciptakan daya saing tersebut,” jelasErani.

20. Feb. 22 (Xinhua) : A senior Indonesian official said on Monday thatimplementation of ACFTA has increased Indonesian government revenue frominternational trade tax by 29.9 percent as of Feb. 12 compared to the sameperiod in 2009. Indonesian Tax Office Director General Thomas Sugijata said

Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia

24

that Indonesia received increasing international trade revenue to 11.21 trillionrupiah (about 1.2 billion U.S. dollars) by Feb. 12 from 8.14 trillion rupiah (about872.4 million U.S. dollars) in the corresponding period a year earlier after theimplementation of ACFTA. "The implementation of ACFTA has increased thetax related to raw material import by 37.7 percent that makes our netinternational trade tax revenue increased by 29.9 percent," According toThomas, the tax revenue increase came from reducing cost in the country'sreal sector due to the zero percent tax import regime set in the ACFTA. Iteventually gives positive impacts to the real sector's business profit that makesit a potential to the country's internal tax revenue.

21. Kepala BPS melaporkan kontributor terbesar impor Indonesia (Januari 2011) :bahan baku/penolong 75,08 persen, barang modal : 16,71 persen, dan barangkonsumsi: 8,21 persen.

22. Mendag Mari Elka Pangestu: Pemerintah tidak bisa menghentikanperdagangan bebas ACFTA yang telah berlangsung sejak 2004. “Kalau kitatidak masuk dalam bagian tersebut, kita akan ketinggalan dengan negara lain.Lagi pula ada atau tidak adanya FTA, kita tetap akan menghadapi pola yangsama.” Mari menambahkan, ACFTA sangat membantu Indonesia dalammenghadapi krisis, terutama saat pasar Amerika dan Eropa mengalamiketerpurukan. Di sisi lain, potensi ekspor dan investasi sangat berpeluangbesar terutama dari China dan India. Yang menyuarakan kekhawatiran ituhanya beberapa sektor saja, seperti elektronik dan baja. “Kita tidak bisamenunda atau membatalkan komitmen dan akan jalan terus,” tegasnya.

23. Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar mengatakan baru 1 tahunkesepakatan penanggulangan dampak negatif dari kerja sama Asean-ChinaFTA : "tadi disoroti di bagian tertentu garmen, khususnya low range [hargamurah] ada masalah, tetapi kalau lihat ujungnya di hulu tak segawat danmencemaskan, [masih] berimbang. Namun, bukan berarti kita abaikan". Sektoralas kaki belum meningkat nilai dan volume ekspor ke China, karena eksporproduk itu masih kecil. "Yang jadi soal kita tidak tahu di mana persoalan terjadidan bagaimana mengatasinya. Ekspor sepatu kira-kira 10 persen, itu kecil.China daya beli makin naik, tidak mau pakai low range." "Kita luar biasapeningkatannya tahun lalu. Ini tak pernah terjadi sepanjang sejarah, Namun, dilain pihak, kita perhatikan importasi kita dari China meningkat tajam,Terutamadi kelompok yang nilai maupun harga jual produknya relatif murah, low range,Ini tentu cukup merisaukan karena pertanyaannya apakah ada injury[kerugian]." Yang low range tentu berhadapan dengan produsen yangkemungkinan besar UKM sehingga bukan saja persoalan terhadap masuknyaimpor tapi berhadapan dengan UKM.

24. Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) Hary Priyonomengatakan, Indonesia sudah terlanjur terikat dalam perjanjian internasionaltersebut. Itu artinya, secara bertahap melaksanakan perjanjian itu. “Jangankhawatir, kita tetap berprinsip atas perlindungan komoditi yang ada diIndonesia, terutama untuk komoditi yang diproduksi oleh petani kurang

Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian

25

mampu. Ini tetap harus kita lindungi,” ungkap Hary. Menurut Hary, untukmengantisipasi itu, ada instrumen yang diterapkan, antara lain instrumen tarifdan instrumen teknis. Namun, yang sekarang diterapkan lebih banyak fokuspada instrumen teknis, yakni mengenai standar, kemudian sanitary (bebaspenyakit, baik penyakit hewan maupun tumbuhan). Guna mengantisipasipenurunan tarif beberapa komoditi tertentu, kata Hary, Indonesia secarabertahap juga memperketat persyaratan mendatangkan impor. Nantinya,secara bertahap tarif diturunkan namun secara bertahap juga instrumen teknisdinaikkan. “Rugi atau tidaknya ACFTA itu tergantung pada kemampuan kitamemproduksi pangan dalam negeri. Kita juga nggak bisa tahan nggak impor.Nah, cara menahannya kita harus memproduksi dengan harga kualitas yangrelatif sama dengan impor, pasti yang impor akan kalah bersaing. Karenatransportation cost-nya pasti akan sangat tinggi,” jelas Hary. Sebelumnya,Menteri Perindustrian MS Hidayat mengungkapkan, barang-barang impor yangberasal dari China banyak di bawah standar. Hasil survei yang dilakukanKemenperin menyimpulkan, ACFTA telah berdampak pada penurunanproduksi sektor industri dalam negeri. Selain itu, terjadi penurunan keuntungandan pengurangan jumlah tenaga kerja dengan tingkat korelasi yang berbeda-beda untuk setiap responden dan juga produk. [RM]