pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

14
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013 ISSN 1858–3717 13 PENGUKURAN KINERJA STRATEGIK: PERSPEKTIF TRADISIONAL DAN ALTERNATIF Afifah Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga email: [email protected] ABSTRACT The purpose of this paper is to describe variety of strategic performance measurement indicators. In addition, this paper also discuss challenges and implications of the company's strategic measurements with other scale. Discussing begin with review on literature from various sources which related to strategic performance measurement. The objective of strategic performance measurement is to determine the level of adaptation strategies adopted by the company. From literature, researcher know that Known from literature that the strategic performance initially measured by financial indicators only. In fact, increasingly competitive world of business, these indicators are not sufficient to measure the strategic performance of the business. For example, strategic performance measured by financial and non-financial indicators. Recent developments of this indicator measured by integrating the working system. In the implication, strategic performance measures to deal with various challenges including: human resources, processes, systems and culture. The wide range of these challenges will lead to the application of different measurement indicators for companies of various scales Keywords: Strategicperformance measurement, financialmeasurementandmeasurementunfinansial 1. PENDAHULUAN Pengukuran kinerja adalah bahagian dari tahap evaluasi dan kontrol strategik yang sekaligus merupakan tahap akhir dari keseluruhan proses manajemen strategik. Pengukuran kinerja didefinisikan oleh para ahli dari berbagai perspektif yang pada intinya merupakan evaluasi dari suatu strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja menjadi isu yang menarik disebabkan karena kegiatan bisnis dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan diantaranya: penciptaan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan,mempertahankan kredibilitas perusahaan dimata investor, memuaskankonsumen serta memenuhi kepentingan stakeholder lainnya. Keberhasilan perusahaan dalam menghadapi tantangan tersebut tercermin dari hasil pengukuran kinerja perusahaan. Vishvesh Pathak (2009) berpendapat bahwa kinerja sangatterkait dengan strategi, kinerja adalah hasil tindakan sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan strategi. Kedua hal ini dihubungkan melalui proses kegiatan bisnis, akan tetapi antara kinerja dan strategi dapat terjadi sebuah gap. Untuk membantu menemukan celah/gap diperlukan pengukuran kinerja yang sesuai dan penentuan sasaran yang tepat. Vishvesh Pathak (2009) juga berpendapat pengukuran kinerja adalah variabel sangat penting sebagai komponen yang dapat menyelesaikan setengah dari permasalahan yang

Transcript of pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Page 1: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 13

PENGUKURAN KINERJA STRATEGIK: PERSPEKTIF

TRADISIONAL DAN ALTERNATIF

Afifah Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga

email: [email protected]

ABSTRACT

The purpose of this paper is to describe variety of strategic performance measurement indicators. In addition, this paper also discuss challenges and implications of the company's strategic measurements with other scale. Discussing begin with review on literature from various sources which related to strategic performance measurement. The objective of strategic performance measurement is to determine the level of adaptation strategies adopted by the company. From literature, researcher know that Known from literature that the strategic performance initially measured by financial indicators only. In fact, increasingly competitive world of business, these indicators are not sufficient to measure the strategic performance of the business. For example, strategic performance measured by financial and non-financial indicators. Recent developments of this indicator measured by integrating the working system. In the implication, strategic performance measures to deal with various challenges including: human resources, processes, systems and culture. The wide range of these challenges will lead to the application of different measurement indicators for companies of various scales Keywords: Strategicperformance measurement, financialmeasurementandmeasurementunfinansial

1. PENDAHULUAN

Pengukuran kinerja adalah bahagian dari tahap evaluasi dan kontrol strategik

yang sekaligus merupakan tahap akhir dari keseluruhan proses manajemen strategik.

Pengukuran kinerja didefinisikan oleh para ahli dari berbagai perspektif yang pada

intinya merupakan evaluasi dari suatu strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Pengukuran kinerja menjadi isu yang menarik disebabkan karena

kegiatan bisnis dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan diantaranya: penciptaan

keunggulan kompetitif yang berkelanjutan,mempertahankan kredibilitas perusahaan

dimata investor, memuaskankonsumen serta memenuhi kepentingan stakeholder

lainnya. Keberhasilan perusahaan dalam menghadapi tantangan tersebut tercermin dari

hasil pengukuran kinerja perusahaan.

Vishvesh Pathak (2009) berpendapat bahwa kinerja sangatterkait dengan

strategi, kinerja adalah hasil tindakan sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan

strategi. Kedua hal ini dihubungkan melalui proses kegiatan bisnis, akan tetapi antara

kinerja dan strategi dapat terjadi sebuah gap. Untuk membantu menemukan celah/gap

diperlukan pengukuran kinerja yang sesuai dan penentuan sasaran yang tepat. Vishvesh

Pathak (2009) juga berpendapat pengukuran kinerja adalah variabel sangat penting

sebagai komponen yang dapat menyelesaikan setengah dari permasalahan yang

Page 2: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 14

dihadapi perusahaan. Oleh sebab itu penting untuk mengetahui lebih dalam tentang

pengukuran kinerja dan perkembangannya, agar dapat memilih alat ukur yang tepat

untuk strategi yang akan diterapkan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kinerja

Kinerja didefinisikan secara singkat oleh Wholen dan Hunger sebagai hasil

kerja. Amstrong dan Baron (1998) mendefinisikan kinerja dengan lebih luas, kinerja

merupakan hasil kerja yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis

organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Definisi kinerja

juga dikemukakan oleh Lebas dan Euske (2002 dalam Kellen 2003), performance as doing today what will lead to measured value outcomes tomorrow. Dapat disimpulkan

bahwa kinerja merupakan pencapaian dari suatu kegiatan yang diharapkan dapat

memberikan kontribusi pada tujuan strategis yang dicanangkan. Kinerja tersebut

diketahui setelah melalui proses pengukuran.

Pengukuran kinerja dalam kontek manajemen strategik didefinisikan sebagai

serangkaian proses manajemen yang terhubung dengan pelaksanaan strategi, McGee

(1992 dalam Monica, Mike, Andy, et all 2007). Sebuah studipada Conference Boardmen definisikan pengukuran kinerja strategis sebagai suatu sistem

menerjemahkan strategi bisnis ke dalam penyampaian hasil. Ittner, Larcker & Randall

(2003) berpendapat yang bahwa sebuah sistem pengukuran kinerja strategis dapat:

(1) Memberikan informasi yang memungkinkan perusahaan untuk mengetahui

strategi yang menawarkan potensi tertinggi untuk mencapai tujuan perusahaan,

(2) Menyelaraskan proses manajemen, seperti penetapan target, pengambilan

keputusan, dan evaluasi kinerja dengan pencapaian tujuan strategis yang

dipilih.

Pengukuran kinerja dapat dilakukan diberbagai tingkatan unit perusahaan

sepertiditingkat: divisi, strategic business units (SBU) dan fungsional.Vetraman dan

Ramanujam (1986) pada Gambar 2.1 memperlihatkan bagaimana pengukuran kinerja

diaplikasikan pada masing-masing tingkatan.

Daerah pengukuran kinerja terbagi atas tiga ruang lingkup dengan tiga alat ukur.

Ruang lingkup dasar/inti usaha (Domain of financial performance). Indikator

pengukurnya adalah indikator kinerja keuangan seperti: profit atau keuntungan diukur

menggunakan Return on Equity (ROE), Return on Total Capital (ROTC) dan Return on Sales (ROS), Chakravarty (1986). Pengukuran keuangan lainnya adalah Market/book

ratio atau M/B ratio.Rasio ini memberikan petunjuk pada investor mengenai kinerja

perusahaan di masa lalu serta prospeknya dimasa datang.

Ruang lingkup kedua adalah ruang lingkup kegiatan usaha atau business operation, ruang ini mengukur kinerja dari segi kinerja keuangan dan kinerja

operasional. Kinerja operasional dapat juga dimaknai sebagai kinerja ditingkat

fungsional. Pengukuran kinerjadilevel ini dapat dilakukan pada fungsi: pemasaran,

produksi, sumberdaya manusia dan keuangan. Pengukuran kinerja di level fungsional

menggunakan pengukuran yang lebih spesifik sesuai dengan aktivitas yang dilakukan di

level fungsional tersebut. Pengukuran kinerja di fungsi pemasaran menggunakan

indikator: market share, sales per employee dan sebagainya. Pengukuran kinerja di

fungsi produksi dapat menggunakan ukuran biaya perunit produksi, persentase

kerusakan. Pada fungsi sumberdaya manusia dapat menggunakan indikator turn over

karyawan, tingkat absensi dan lain-lain. Pengukuran kinerja yang spesifik juga akan

Page 3: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 15

ditemui pada fungsi-fungsi lainnya. Pengukuran kinerja pada level dua ini sering juga

disebut dengan level mengukuran kinerja bisnis karena mengukur kinerja keuangan dan

kinerja operasional.

Ruang lingkup ketiga merupakan ruang lingkup kinerja terluas, dimana

keseluruhan aspek usaha diukur sehingga terlihat apakah strategi organisasi sudah

berjalan dengan efektif dan mencapai hasil tertinggi. Pengukuran dengan ruang lingkup

ini sering disebut dengan pengukuran kinerja strategik.

Sumber :N. Venkatraman V., Vasudevan R., 1986

Gambar 2.1

Circumscribing the domain of business performance

2.2 Pengukuran Kinerja Strategik

Seperti yang disampaikan pada paragraf sebelumnya, pengukuran kinerja

strategik merupakan pengukuran kinerja yang mempunyai ruang lingkup terluas.

Pengukuran ini ditujukan untuk memastikan perusahaan dapat beradaptasi dengan baik

dengan lingkungannya dalam jangka waktu panjang, Chakravarthy (1986). Dengan kata

lain pengukuran kinerja strategik adalah langkah terakhir dari proses manajemen

strategik yang dilakukan oleh manajer yang terhubung dengan strategi yang dipilih oleh

perusahaan, McGee (1992 dalam Monica et al 2007).

Secara teori kualitas perusahaan dalam beradaptasi dapat dievaluasi melalui

beberapa dimensi, Chakravarthy (1986) dalam artikelnya menyimpulkan sebagai

berikut:

a) Strategi perusahaan sesuai dengan struktur industri (Porter 1980) dan suasana persaingan (Buzzel, Gale & Sultan,1975; Henderson 1979)

b) Struktur organisasi sesuai dengan lingkungannya (Lawrence & Lorsch 1967)

dan strategi (Chander 1962, Rumelt 1974)

c) Sistem manajemen sesuai dengan strategi dan struktur organisasi (Mile & Snow

1978, Vancil 1979)

d) Gaya manajemen disesuikan dengan kontek strategi (Mintzberg & Waters 1983)

Pascale dan Anthos (1981 dalam Chakravarty 1986) mengatakan bahwa

perusahaan yang beradaptasi dengan baik (well-adapted firm) adalah perusahaan yang

mampu menyesuaikan kekuatan yang dipunyai dengan kesempatan yang ada di

lingkungannya dan menyelaraskan berbagai sistem administratifnya dengan strategi

yang dipilih. Bahasa yang lebih popular menyebutkan, perusahaan yang mempunyai

strategi efektif dan efisien dalam mensingkronisasikan 7 Ss. Kerangka kerja 7Ss Mc

Kinsey meliputi: Hard Ss (strategy, structure, system) dan Soft Ss (style, shared value,

Domain of financial

performance

Domain of financial performance +

Operational performance (Business performance)

Domain of Organizational

Effectiveness

Page 4: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 16

staff and skill). Kerangka kerja ini dijadikan sebagai panduan riset oleh Peter dan

Waterman pada tahun 1982 yang mempopulerkan istilah “excellent”. Istilah bagi

perusahaan yang mampu beradaptasi dengan baik. Kaplan (2005) menjelaskan bahwa

kerangka kerja 7Ss Mc Kinsey adalah :

� Strategi adalah penempatan dan tindakan yang dilakukan dalam mengantisipasi

perubahan lingkungan dan bertahan dalam persaingan.

� Struktur adalah cara bagaimana orang-orang yang berada di dalam organisasi

tersebut dibagi atas tugas, bidang keahlian, dan tanggung jawab dan bagaimana

merekasaling berhubungan.

� Sistem adalah prosedur formal dan informal yang mengatur kegiatan sehari-

harimeliputi: segala sesuatu dari sistem informasi manajemen,

pengukuran kinerja, sistem penghargaan, perencanaan, biaya dan pengalokasian

sumberdaya

• Keterampilan adalah kemampuan dan kompetensi unik yang ada dalam

perusahaan.

• Shared value adalah nilai dan kepercayaan perusahaan yang pada akhirnya

menjadi panduan karyawan dalam berprilaku

• Staff adalah sumberdaya manusia yang dimiliki perusahaan

• Styleadalah gaya pendekatan pimpinan atau manajemen puncak terhadap

keseluruhan operasional perusahaan

3. PEMBAHASAN

3.1 Pengukuran Perspektif Tradisional

Pengukuran kinerja strategik pada awalnya dikembangkan dengan berlandaskan

pada perhitungan keuangan (financial) seperti: Return on Investment (ROI), Market Share, Market Share Gain, Return on Sales, Growth in Revenues, Cash Flow/Invesment dan sebagainya. Pengukuran kinerja dengan basis perhitungan keuangan (financial) dikelompokkan pada perspektif tradisional.Perspektif ini banyak menuai kritikan karena

memiliki beberapa kelemahan, salah satunya indikator financial dinilai hanya

mempertimbangkan sisi stockholder dan mengabaikan kepentingan stakeholder lainnya.

Secara umum pengukuran kinerja perspektif tradisional tidak mampu memberi

gambaran kinerja perusahaan dimasa depan, sedangkan pengukuran kinerja strategik

membutuhkan pengukuran yang dapat menggambarkan kinerja perusahaan saat ini dan

masa datang. Kelemahan pengukuran perspektif ini menjadi perhatian para peneliti,

salah satunya Cakravarthy.

Pada tahun 1986 Chakravarthy melakukan studi yang didasari oleh penelitian

Peter dan Waterman (1982). Studi ini ditujukan untuk mengevaluasi kinerja strategik

dan mengklasifikasikan perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent dengan

berbagai perspektif pengukuran kinerja strategik yang berkembang. Unit analisis

penelitiannya adalah industri komputer. Pemilihan industri komputer sebagai sampel

penelitian dengan alasan industri ini dapat mewakili perusahaan yang dapat beradaptasi

dengan baik dan pengukuran kinerja akan lebih objektif apabila dilakukan pada satu

jenis industri.

Industri komputer yang dijadikan sampel berjumlah 14 (empat belas) perusahaan

computer yang terdiri dari:

� 7 (tujuh) sampel perusahaan komputer yakni: IBM, HP, DEC, NCR, Amdahl,

Wang dan Data General diambil berdasarkan sampel penelitian yang dilakukan

Page 5: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 17

oleh Peter dan Waterman. Hasil penelusuran awal diketahui bahwa tujuh

perusahaan komputer ini digolongkan sebagai perusahaan yang excellent. � 4 (empat) sampel lain diambil dari studi Fortune yang melakukan pemeringkatan

perusahaan komputer yang memiliki reputasi baik yaitu: perusahaan CDC,

Honeywell, Burroughs dan Sperry.

� 3 (tiga) sampel terakhir yang ditambahkan adalah: Commodore, Prime

Computer dan Cray Research. Pemilihan tiga sampel terakhir dengan alasan :

a) Kurang cermatnya penelitian Peter dan Waterman yang mengangap

perusahaan-perusahaan ini tersebut tergolong pada perusahaan yang kurang

baik dalam beradaptasi dan bereputasi rendah pada studi Fortune

b) Masing-masing perusahaan yang dipilih belum memperlihatkan publisitas

yang baik pada saat Peters dan Waterman mulai melakukan survei.

c) Perusahaan yang dipilih tergabung dalam SIC grup sebagai perusahaan yang

terbaik dalam: electronic computing equipment (SIC 3680), mini and micro

computers (SIC 3681) dan mainframes (SIC 3682)

Untuk menguji pernyataan bahwa pengukuran kinerja strategik perspektif

tradisional mempunyai banyak kelemahan Chakravarthy melakukan satu penelitian.

Dalam penelitian tersebut 14 (empat belas) indikator pengukur keuangan

dikelompokkan kemudian dengan analisis faktor terklasifikasi menjadi 4 (empat)

kelompok yaitu:

1. Profitabilitas 2. Reactive market position, 3. Change in profitability and cash flow 4. Growth in sales and market share

Dimensi profitability dinilai menjadi faktor penentu utama sementara tiga

dimensi lainnya (Reactive market position, Change in profitability and cash flow Growth in sales and market share) lainnya tidak dapat digunakan pada semua bisnis.

Indikator ukuran yang dihubungkan dengan pengukuran profitabilitas adalah: Return on Equity (ROE), Return on Total Capital (ROTC) dan Return on Sales (ROS). Hasil

penelitian menunjukkan tiga indikator profitability tidak mampu menjadi indikator

pembeda bagi perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent. ROE tidak

signifikan membedakan perusahaan yang excellent dan non excellent. ROTC mampu

menjadi faktor pembeda tetapi sangat kecil sekali. ROS juga tidak dapat menjadi faktor

pembeda. Kegagalan indikator profitabilitas sebagai pembeda perusahaan yang

tergolong excellent dan non excellent sekaligus membuktikan berbagai kritikan terhadap

pengukuran berbasis perhitungan akuntansi diantaranya: a) adanya ruang untuk

manipulasi akuntasi, b) kurang memperhitungkan/menghargai asset, c) terdistorsi oleh

kebijakan penyusutan, penilaian persediaan, pendapatan serta pengeluaran, d) perbedaan

metode penyesuaian dan e) perbedaan karena kurangnya standarisasi dalam konvensi

akuntansi internasional

Pengukuran kinerja lain yang masih digolongkan pada pandangan tradisional

menurut Chakravarty (1986) adalah pengukuran kinerja dengan menggunakan

dimensifinancial marketmeasures. Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi

ini adalah M/B ratio atau rasio harga pasar terhadap nilai buku. Pengukuran ini dapat

meminimalisir kegagalan pengukuran kinerja profitabilitas, sebab pengukuran ini

dapatmemprediksi kemampuan perusahaan untuk memberikan return

kesejumlahpemegang saham di masa mendatang. Akan tetapi pengukuran keuangan

pasar initidak dapat memperlihatkan prospek perusahaan secara keseluruhan dimasa

Page 6: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 18

datang dan tidak terbebas dari manipulasi akuntansi khususnya untuk nilai buku

perusahaan.

Dari dimensi profitability dan financial marketmeasuresyang berbasis keuangan

Chakravarty menyimpulkan pandangan tradisional gagal membedakan antara kinerja

perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent. Kegagalan ini disebabkan: a)

fokus hanya pada hasil dari proses perubahan didalam perusahaan, b) mengabaikan

stakeholder,c)asumsi bahwa pengukuran kinerja dengan single measurement tidak

mencukupi sebagai penjelas kinerja perusahaan dimasa datang.

Kritikan Chakravarty di tahun 1986 ini juga didukung oleh para peneliti ditahun-

tahun berikutnya. Eccles (1991) mengatakan bahwa pengukuran kinerja berbasis

keuangan mengalami keusangan dan sering gagal mendukung investasi dalam teknologi

baru dan pasar yang merupakan kunci sukses kinerja di pasar global.Kennerley dan

Neely (2003) juga sepakat dengan berbagai kritikan pengukuran berbasis keuangan

seperti: a) pengukuran kinerja keuangan bersifat historical (Dixxon et al 1990), b)

sangat sedikit memberikan petunjuk pada kinerja masa depan, pendorong dalam jangka

pendek (Hayes dan Abernathy, 1980; Kaplan, 1986); c) fokus pada internal daripada

ekternal dengan sedikit perhatian pada pesaing atau konsumen (Kaplan and Norton,

1992; Neely et al., 1995); d) kurang fokus pada strategi (Skinner, 1974); e) sering

menghambat inovasi (Richardson and Gordon, 1980)

Kelemahan pengukuran kinerja pandangan tradisional berbasis pada perhitungan

keuangan mendasari pemikiran banyak ahli untuk mencari bagaimana mengukur kinerja

dengan lebih baik.Berdasarkan pada pendapat Nelly (1999) terdapat beberapa alasan

mendasar perlunya perubahan pengukuran kinerja perlu untuk dilakukan yakni:(1)

perubahan lingkungan kerja, (2) peningkatan persaingan, (3) inisiatif peningkatan yang

semakin spesifik, (4) penghargaan nasional dan internasional, (5) perubahan peran

organisasi, (6) perubahan permintaan ekternal dan kekuatan teknologi informasi.

3.2 Pengukuran Kinerja Alternatif

Chakravarty (1986) mengusulkan tiga pengukuran kinerja alternatif untuk

mengatasi kegagalan pengukuran kinerja tradisional menjadi faktor pembeda kinerja

perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent.Pengukuran kinerja alternatif

pertama yang diusulkan adalah penggabungan pengukuran atau composite measures.Pengukuran kinerja gabungan ini disimbolkan dengan Z. Nilai Z adalah

fungsi pembeda ganda yang dapat juga sebagai index penentu kepailitan (bankruptcies)

perusahaan. Argenti (1976dalam Chavakarty 1986) memberikan score terhadap nilai Z,

apabila nilai Z < 1.8 maka perusahaan akan mengalami kegagalan/bangkrut tetapi

apabila score Z> 3 perusahaan tersebut tergolong sehat atau tidak gagal. Dalam hal ini

nilai Z menjadi indek pengganti kinerja strategik.

Z = 0.012X1 + 0.014 X2 + 0.033 X3 + 0.006 X4 + 0.010 X5

Keterangan :

X1 = working capital /total asset, X2 = the retained earning/total asset, X3 = earning before interest and taxes/total assets,

X4 = market value of equity/book value of total debt, X5 = sales/total assets

Page 7: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 19

Hal yang perlu diperhatikan bahwa perusahaan yang tergolong excellent tidak

saja perusahaan yang fokus pada kinerja jangka pendek tetapi harus mampu bertahan

dalam jangka panjang. Perusahaan yang mempunyai skor Z tinggi dapat dikatakan

sebagai perusahaan yang sehat atau tidak dihadapkan pada kebangkrutan akan tetapi

indikator itu saja belum cukup bagi perusahaan yang tergolong pada excellent. Pengukuran kinerja alternatif kedua adalah mengukur kinerja dengan indikator

kepuasan keseluruhan stakeholder atau satisflying multiple stakeholder. Kepuasan

stakeholder yang terjamin merupakan keuntungan dalam jangka pendek dan investasi

perusahaan dimasa datang. Chakravarty (1986) mengatakan bahwa perusahaan yang

digolongkan excellent adalah perusahaan yang mampu meminimalisir ketidakpuasan

stakeholder sebagai tujuan perusahaan. Penelitian Chakravarty mendasarkan pemilihan

stakeholder yang dipentingkan pada survey Fortune tentang reputasi

perusahaan.Indikator yang digunakan adalah:

a) kepuasan pemegang saham melalui: kualitas manajemen, nilai investasi jangka

panjang, pengukuran keuangan dan penggunaan asset,

b) kepuasan konsumen melalui: kualitas produk dan inovatif,

c) kepuasan tenaga kerja melalui: kemampuan untuk merekrut dan menjaga,

d) kepuasan komunitas dengan respon sosial yang dilakukan.

Pengukuran kinerja alternatif ketiga adalah pengukuran kinerja melalui kualitas

perusahaan melakukan perubahan atau Measuring the quality of a firm’s transformation. Pengukuran kinerja melalui kualitas perusahaan melakukan perubahan

didasari oleh pemikiran Evan (1976 dalam Chakravarty 1986) yang berpendapat bahwa

mengevaluasi kualitas perusahaan melakukan perubahan adalah faktor utama untuk

menentukan perusahaan yang disebut excellent dan non excellent. Proses pendorong

perubahan sebuah perusahaan diklasifikasikan atas dua yaitu : a) adaptive specialization

dan b) adaptive generalization.

Adaptive specialization adalah pemanfaatan keuntungan perusahaan untuk

kondisi saat ini, Bernard (1938 dalam Chakravarty 1986). Pengukuran ini dilakukan

untuk menilai perubahan yang dilakukan perusahaan dalam jangka pendek. Hal ini

ditegaskan oleh Chakravarty (1986) bahwa pengukuran kinerja yang dibahas pada awal

artikelnya (pengukuran kinerja perspektif tradisional) ditujukan untuk menilai kualitas

perusahaan melakukan adaptive specialization.

Adaptive generalization, berkaitan dengan investasi perusahaan disebabkan

masih tersedianya sumberdaya/kelebihan sumberdaya (Slack) yang dapat dimanfaatkan

untuk melakukan R & D. Proses adaptasi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

menghadapi lingkungan masa depan yang tidak pasti atau bahkan tidak diketahui, Cyert

and March (1963 dalam Chakravarty 1986). Adaptive generalization adalah untuk

memastikan perusahaan dapat survive untuk jangka panjang tetapi tidak mengurangi

profitability dalam jangka pendek, Chakravarty (1981,1986). Adaptasi generalis

biasanya diikuti oleh adaptasi spesialis untuk mengontrol agar perusahaan tidak saja

memproritaskan pada investasi jangka panjang yang membawa perusahaan pada

kebangkrutan.

Slack atau kelebihan sumber daya perusahaan dapat diukur akan tetapi sulit

menilai seberapa baik slack tersebut dimanfaatkan. Pengukuran slack yang dimiliki oleh

perusahaan dapat dilakukan melalui: profitabilitas, produktifitas dan kemampuan

perusahaan meningkatkan modal dalam jangka panjang (Chakravarty 1986).

Profitabiltas adalah faktor pengukur yang paling jelas, dimana ukuran yang digunakan

Page 8: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 20

adalah aliran kas dari ratio investasi. Semakin tinggi rasionya maka semakin besar slack

yang dimiliki oleh perusahaan. Faktor pengukur slack kedua adalah produktifitas,

indikator yang digunakan adalah sales revenue per employee dan firm revenue per dollar ofasset total. Produktifitas adalah surplus yang didapat dari karyawan, berbeda

dengan profitabilitas yang merupakan surplus yang berasal dari konsumen. Faktor

pengukur ketiga adalah kemampuan perusahaan meningkatkan modal dalam jangka

panjang dengan indikator pengukur adalah market to book ratio dan debt to equity ratio. Faktor pengukur slack yang dimiliki perusahaan lain dapat berupa: R&D by sales ratio, working capital by sales ratio dan devident payout ratio.

Tiga pengukuran jumlah slack diatas akan mendasari analisis bagaimana slack

tersebut digunakan sehingga dapat menjadi pembeda untuk perusahaan yang

digolongkan excellent dan non excellent. Terdapat 8 (delapan) variabel yang digunakan

sebagai indikator pembeda, yang dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu:

sumber slack dan penggunaan slack. Kedelapan variabel tersebut akan dijelaskan pada

Tabel 3.1:

Tabel 3.1 Sumber dan Penggunaan Slack

Kelompok Variabel Definisi Variabel Sumber

Slack

CFBYIN Cashflow/Investment ratio a measure of the firm's ability to

generate cash in the short run

SABYTA Sales by Total Assets capital productivity of the firm

MBYB Market to Book value firm's ability to raise equity capital

SABYEM Sales per Emnployee labor productivity of the firm

DTBYEQ Debt by Equity ratio firm's ability to raise loan capital.

Penggunaan

Slack

RDBYSA R&D by Sales ratio measures the firm's investment in

research and development.

WCBYSA Working capital by sales ratio indicates the slack resources invested

in working capital

DIVPAY Dividend Payout ratio the percentage of earnings that the

firm pays out as dividends.

Sumber : Chakravarty 1986

Sumber slack variabel (CFBYIN, SABYTA, MBYB, SABYEM) apabila

rasionya mengalami kenaikkan akan diimbangi oleh turunya variabel DTBYEQ. Hal

yang sama juga akan terjadi pada penggunaan slack. Apabila slack banyak digunakan

untuk R&D dan modal kerja, rasionya meningkat maka rasio pembayaran deviden akan

menurun. Penurunan rasio pembayaran deviden ini disebabkan karena : a) modal kerja

lebih dibutuhkan perusahaan untuk meningkatkan pendapatan; b) perusahaan fokus

pada pengembangan dan pertumbuhan.

Kombinasi perhitungan antara sumber slack dan penggunaan slack akan

menghasilkan sebuah fungsi pembeda, dimana skor fungsi yang diperoleh > 0,14 maka

perusahaan akan dikategorikan sebagai perusahaan yang excellent sebaliknya untuk

kategori perusahaan non excellent. Fungsi diskriminan untuk perusahaan excellence

0.12 CFBYIN -0.19 SABYEM -0.10 SABYTA +0.12 MBYB -0.28 DTBYEQ

+0.34 RDBYSA +0.19 WCBYSA +0.29 DIVPAY > = 0.14

Fungsi deskriminan ini tidak sama dengan Z faktor, fungsi ini dinilai lebih

rasional karena melalui pengelolaan sumber dan penggunaan slack walaupun tidak

Page 9: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 21

sepenuhnya benar mengkategorikan perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent, (Chakravarty 1986).

Perusahaan yang excellent tidak dapat dicerminkan dari satu pengukuran kinerja

tetapi dari kemampuan perusahaan mensimultankan beberapa pengukuran kinerja

sebagai parameternya, Ashby (1971 dalam Chakravarty 1986 ). Pandangan ini selaras

dan lebih diperinci oleh dengan pendapat Chakravarty (1986) bahwa, perusahaan yang

dikategorikan excellent membutuhkan kondisi kinerja keuangan diatas rata-rata kinerja

industri dan batas kebangkrutan.Kinerja keuangan tersebut dapat dinilai dari indikator

ROI, ROE, M/B rasio dan Z faktor. Kondisi lain yang dibutuhkan oleh perusahaan yang

tergolong excellent adalah pemaksimalan kepuasan stakeholder kunci perusahaan.

Kondisi ini akan disempurnakan oleh kemampuan perusahaan dalam melakukan

perubahan menghadapi lingkungan. Kemampuan itu tergambarkan dengan semakin

besarnya perusahaan menghasilkan kelebihan sumberdaya (slack) dan menginvestasikan

slack tersebut. Slackakan dapat dimanfaatkan untuk fleksibilitas perusahaan dalam

menghadapi masa depan.

3.3 Pengukuran Kinerja Multi Dimensi Revolusi pengukuran kinerja selanjutnya adalah pengukuran kinerja dalam

bentuk kerangka kerja/framework atau membentuk sebuah sistem seperti: SMART

pyramid (Lynch dan Cross, 1991), Balance Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996),

Performance Prims (Adam dan Nelly, 2001). Kinnerly dan Nelly (2002) mengatakan

bahwa pengukuran kinerja dalam bentuk kerangka kerja (framework) ditujukan untuk

membantu perusahaan menentukan seperangkat ukuran yang mencerminkan tujuan

mereka dan menilai kinerja mereka secara tepat. Framework adalah system yang

multidimensi, menyeimbangkan ukuran keuangan dan non keuangan.

Balance Scorecard sebagai salah satu framework atau sistem pengukuran kinerja

yang banyak diadopsi oleh berbagai perusahaan. Balanced Scorecard dikembangkan

oleh Norton & Kaplan tahun 1996. Balance Scorecard dikenal sebagai frame work

pengukuran kinerja yang menyeimbangkan antara pengukuran kinerja keuangan dan

non keungan, mempertimbangan internal dan ekternal perusahaan. Kaplan (2001)

menjelaskan bahwa pengukuran kinerja dilakukan dengan melihat empat perspektif

yakni: perspektif keuangan, pelanggan, bisnis internal, inovasi dan belajar. Keseluruhan

perspektif ini saling berhubungan atau berintegrasi. Survey menunjukkan bahwa lebih

dari 50 persen dari perusahaan yang disurvei di seluruh dunia telah mengadopsi

Balanced Scorecard pada pertengahan tahun 2001 (Kennerly dan Nelly, 2003).

Pendekatan sistem pengukuran kinerja multi dimensi lain diperkenalkan oleh

Nelly tahun 2002 dengan konsep “ Performance Prims”. Neely, Adams & Crowe

(2001) mengatakan bahwa pengukuran kinerja ini dapat dilihat dari lima perspektif

yakni: kepuasan stakeholder, kontribusi stakeholder, strategi, proses dan kapabilitas.

Lima pertanyaan penting dalam pengukuran kinerja “Performance Prims”

1. Stakeholder satisfaction: Siapa yang menjadi stakeholder kunci dan apa yang

mereka inginkan serta apa yang mereka perlukan ?

2. Strategy: Strategi apa yang seharusnya diterapkan untuk memenuhi apa yang

menjadi kinginan dan kebutuhan stakeholder ?

3. Process: Proses kritis apakah yang diperlukan untuk menjalankan strategi tersebut ?

4. Capability: Kemampuan apa yang harus kita operasikan untuk meningkatkan

proses tersebut ?

Page 10: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 22

5. Stakeholder contribution: Kontribusi apakah dari stakeholder yang kita perlukan

jika kita akan mengembangkan kemampuan tersebut ?

Nelly (1998) dalam Kennerley dan Nelly (2003) menyebutkan apabila

pengukuran kinerja sudah dibentuk dalam satu framework atau sistem, maka

didalamnya terdapat tiga elemen yang saling berkaitan yaitu:

1. Ukuran individu yang mengukur efisiensi dan efektivitas tindakan

Kriteria dari ukuran kinerja secara individu adalah:

� berasal dari strategi;

� sederhana untuk dipahami;

� memberikan umpan balik yang tepat waktu dan akurat;

� didasarkan pada jumlah yang dapat dipengaruhi, atau dikendalikan, oleh

pengguna sendiri atau bekerja sama dengan orang lain;

� mencerminkan proses bisnis;

� berhubungan dengan tujuan tertentu (target) dan relevan;

� menjadi bagian dari sebuah lingkaran manajemen tertutup;

� didefinisikan secara jelas;

� memiliki dampak visual;

� berfokus pada perbaikan;

� konsisten;

� memberikan umpan balik yang cepat;

� memiliki tujuan yang jelas;

� didasarkan pada suatu formula jelas didefinisikan dan sumber data;

� mempekerjakan rasio bukan angka mutlak;

� menggunakan data yang dikumpulkan secara otomatis sebagai bagian dari

proses;

� memungkinkan;

� dilaporkan dalam format yang konsisten sederhana;

� didasarkan pada tren bukan pada satu gambaran;

� memberikan informasi tepat tentang apa yang diukur;

� obyektif-bukan berdasarkan pendapat.

2. Sekumpulan ukuran yang dikombinasikan untuk menguji kinerja organisasi secara

keseluruhan.

Prinsip pemilihan seperangkat pengukuran kinerja harus sesuai dengan strategi,

filosofi, dan skema insentif, komprehensif dan konsisten. Pemilihan seperangkat

pengukuran kinerja dilakukan oleh perusahaan. Pemilihan seperangkat pengukuran

kinerja tersebut dapat dilakukan dengan banyak cara salah satunya dengan cara

menghimpun jawaban melalui keusioner.

3. Infrastruktur pendukung yang memungkinkan data untuk diperoleh, disusun, disortir,

dianalisis, ditafsirkan dan disebarluaskan

Dukungan infrastruktur ditujukan untuk mengetahui apakahproses dan sistem telah

dipastikan mengumpulkan dan menyebarkan data secara efektif dan efisien. Hal ini

dapat dinilai dari :

� akuisisi data, bagaimana data mentah yang dikumpulkan

� kolasi data, bagaimana data disusun menjadi sebuah data tunggal yang

ditetapkan

� penyortiran data, bagaimana data mentah dipilah sehingga data dapat dianalisis

� analisis data, bagaimana pola yang ada dalam sekumpulan data

Page 11: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 23

� interpretasi data, bagaimana implikasi dari setiap pola yangtelah diidentifikasi

dalam sekelompok data dapat dijelaskan

� penyebaran data, bagaimana sekumpulan data tersebut dikomunikasikan

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam sistem pengukuran kinerja yakni audit pada

sistem.Proses ini dilakukan untuk mengidentifikasi kapasitas (proses, manusia, sistem,

budaya) signifikan relevan pada setiap tahapan perubahan, Kennerley dan Nelly (2002).

3.4. Tantangan Pengaplikasian Sistem Pengukuran Kinerja

Dalam pengimplementasian sistem pengukuran kinerja, perusahaan dihadapkan

pada perubahan lingkungan dan tingkat persaingan yang semakin tinggi.Hal ini

membuat pengukuran kinerja juga mengalami perubahan, Nelly (1999).Perubahan itu

tentunya senantiasa diselaraskan dengan perubahan strategi yang dilakukan oleh

perusahaan. Dengan kata lain perubahan sistem pengukuran kinerja tetap mencerminkan

kontek organisasi dan strateginya, Kennerly dan Nelly (2003).

Tabel 3.2 Pendukung Perubahan Sistem Pengukuran Kinerja Proses Sistem Manusia Budaya

Proses yang teratur

meninjau

pengukuran dengan

waktu dan alokasi

sumberdaya yang

telah ditetapkan

Integrasi

pengukuran dengan

inisiatif perbaikkan

dan perumusan

strategi

Pengelolaan

pengukuran untuk

memastikan

pendekatan yang

konsisten

berkelanjutan

Proses proaktif

mengidentifikasi

internal

daneksternal

sebagai

pemicuperubahan

Ketersediaan

mekanismeuntuk

transferpraktikterba

ik

Pengembangan

pembangunan

pemeliharaan IT

Sistem IT yang fleksibel,

memungkinkan

modifikasi pengumpulan

data,

analisis dan alat

pelaporan (mis. Sistem

rumahan)

IntegrasiITterhadap

tujuan operasional

dansumber daya

Sumberdayayang

didedikasi untuk

mengembangkan

sistem pengukuran.

Memaksimalkanketersed

iaan data, meminimalkan

pelaporan

Ketersediaan

sumber dayayang

didedikasikan untuk

memfasilitasipenin

jauandanmodifikasi

pengukuran

Pemeliharaan kapasitas

pengukuran kinerja

internal

Ketersediaan

keterampilan yang tepat

untuk penggunaan

pengukuran yang

efektif dan mengukur

kinerja tujuan

(pengetahuan mendalam

tentang operasiona l&

kebutuhan stakeholder;

sistempengembangan

keterampilan, dll)

Pengembangan

komunitaspengguna

pengukuran untuk

praktik transferterbaik(e-

mail, user groups

benchmarking)

Budaya kondusif yang

mengerakkan

manajemen

memahamai manfaat

pengukuran

Kebutuhan akan

perubahan

Komunikasi efektif

tentang pengukuran

dan penggunaan

mediaditerima

Penggunaan

pengukuran untuk

tindakan yang tepat

dan mencerminkan

strategidanproses, dll

Pengukuran yang

terbuka danjujur

Sumber :Kennerley dan Nelly (2003)

Page 12: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 24

Fakta lain yang muncul ditengah terjadinya revolusi tentang pengukuran kinerja,

banyak perusahaan melakukan perubahan terhadap pengukuran kinerjanya tetapi tidak

mampu mengelola perubahan tersebut dengan baik atau tidak mampu menjaga relevansi

sistem pengukuran kinerja sepanjang waktu. Syarat agar pengukuran kinerja relevan

sepanjang waktu didasarkan pada ketersediaan faktor penentu perubahan sistem

pengukuran (Kennerley dan Nelly 2002) dan mengikuti fase-fase perubahan sistem

yang efektif, (Kennerley dan Nelly 2003).

Faktor penentu perubahan sistem pengukuran kinerja meliputi: kemampuan

manusia, proses, sistem dan budaya tersedia. Faktor manusia sangat menentukan

dimana tersedianya sumber daya manusia terampil dibutuhkan untuk menggunakan,

merefleksikan, memodifikasidan menerapkan sistem pengukuran kinerja. Faktor proses

untuk mengkaji, memodifikasi dan menghapus sistem pengukuran kinerja. Faktor

sistem, ketersediaan sistem yang fleksibel memungkinkan pengumpulan, analisis dan

pelaporan data yang sesuai. Faktor budaya, keberadaan budaya pengukuran dalam

perusahaan memastikan bahwa nilai pengukuran dan pentingnya menjaga ukuran yang

relevan serta tepat dihargai. Tabel 3.2 menggambarkan faktor-faktor yang mendukung

terjadinya perubahan sistem pengukuran kinerja.

Perubahan sistem pengukuran kinerja juga akan berjalan dengan efektif apabila

proses perubahan tersebut mengikuti fase-fase yang telah ditentukan. Fase-fase

perubahan sistem pengukuran kinerja dapat dilihat pada Gambar 3.1:

� Fase pertama Reflection,

Fase ini mengidentifikasi sistem pengukuran kinerja yang telah ada.

Pengidentifikasian meliputi bahagian pengukuran yang tidak sesuai dan

perubahan apa yang akan dilakukan.

� Fase kedua adalah Modification,

Fase memodifikasi sistem pengukuran kinerja untuk memastikan selaras dengan

keadaan organisasi yang baru.

� Fase ketiga adalah Deployment,

Fase menyebarkan sistem pengukuran kinerja yang telah dimodifikasi untuk

digunakan sebagai pengelola kinerja organisasi.

Sumber :Kennerley dan Nelly (2002)

Gambar 3.1

Fase-Fase Perubahan Sistem Pengukuran Kinerja

Page 13: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 25

4. IMPLEMENTASI

Pengukuran kinerja strategik mengalami perkembangan sering dengan semakin

ketatnya persaingan usaha dan kompleknya strategi yang digunakan oleh perusahaan.

Pada awalnya kinerja strategik diukur dengan indikator keuangan saja, perspektif ini

ternyata mempunyai banyak kelemahan. Atas dasar itu pengukuran kinerja strategik

dikembangkan dengan melibatkan indikator non finansial. Pengukuran dengan

melibatkan dua jenis indikator ini diyakini dapat mengukur kinerja strategik dengan

lebih baik. Perkembangan terakhir, pengukuran kinerja strategik sudah dimasukkan

dalam sistem kerja atau dibentuk dalam sebuah frame work. Hal ini tentu membawa

dampak baik bagi pengukuran kinerja strategik suatu perusahaan. Tantangan yang

dihadapi tentulah pada proses pelaksanaannya. Perusahaan harus mempersiapkan

indikator yang jelas untuk digunakan, infrastruktur yang mendukung dan sumberdaya

manusia yang paham dan mampu melaksanakan. Terkait dengan hal tersebut, muncul

pertanyaan apakah memungkinkan sistem pengukuran kinerja strategik tersebut

diterapkan pada perusahaan diberbagai skala usaha di Indonesia.

Penerapan pengukuran kinerja strategik multi dimensi dan terkait dalam sistem

kerja untuk perusahaan berskala menengah dan besar mempunyai peluang besar dapat

diterapkan. Hal ini disebabkan perusahaan berskala menengah dan besar sudah

mempunyai kemampuan mempersiapkan semua elemen pendukung penerapannya.

Perusahaan mempunyai sumberdaya manusia yang handal, mempunyai sumberdaya

modal yang cukup untuk mempersiapkan infrastruktur dan mampu menentukan

indikator kinerja untuk setiap kegiatannya. Lain halnya dengan perusahaan berskala

kecil, penerapannya agak lebih sulit. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya: terbatasnya kepemilikan sumberdaya manusia dan sumberdaya modal,

pengetahuan lebih banyak berasal dari pengalaman dan tidak punya kemampuan

manajerial. Walaupun demikian perusahaan berskala kecil seyogyanya tetap

menentukan indikator pengukur kinerjanya seperti indikator finansial, indikator yang

berada di level basik. Apabila indikator ini sudah teraplikasi dengan baik maka dapat

dikembangkan pada indikator pengukur lainnya. Indikator yang berpotensi adalah

ikator kinerja strategik non finansial seperti tingkat kepuasan stakeholder. Kesempatan

ini tercipta karena perusahaan berskala kecil lebih dekat dengan konsumen, struktur

organisasi yang lebih sederhana serta mudah melakukan kontrol. Asumsi-asumsi ini

tentu memerlukan penelitian lebih mendalam dan menggunakan metode yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, M. Baron, A. 1998.Managing Performance: Performance Management in Action. Chartered Institute of Personnel and Development

Chakravarty, Balaji,S. 1986. Measuring Strategic Performance. Strategic Management

Journal. (7: 437-458)

Eccles, Robert, G. 1991.The Performance Measurement Manifesto, Harvard Business

Review

Ittner, C.D. Larcker, D.F & Randall. 2003. Performance implications of strategic performance measurement in financial services firms. Vol 28:7-8

Kennerley, M., and Neely, A. 2002, A Framework of The Factors Affecting The Evolution of Performance Measurement System, International Journal of

Operations & Production Management

__________________. 2003, Measuring Performance In a Changing Business Environment, International Journal of Operations & Production Management

Page 14: pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif

Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013

ISSN 1858–3717 26

Kellen, V. 2003. Business Performance Management: At the Crossroads of Strategy, Decision-Making, Learning and Information Visualization.

Kaplan. R., 2005, How The Balanced Scorecard Complements The McKinsey 7-S Model, Strategy & Leadership

Lynch, R.L and Cross, K.F. 1991. Measure Up – The Essential Guide to Measuring Business Performance. Mandarin. London

Monica, F. Kennerley. Micheli. Martinez. Mason. Marr. Gray. Neely. 2007. Towards A Definition Of A Business Performance Measurement System. International

Journal of Operations and Production Management. (27:784-801)

Neely, A. Chris, Adams. Paul, Crowe. 2001.The Performance Prism In Practise.

Measuring Business Excellence.2:6

Neely , A., 1999, The Performance Measurement Revolution: Why Now and What Next ? International Journal of Operations & Production Management, Vol. 19 No. 2,

pp. 205-228

Pathak, Vishvesh. 2009. Strategic performance measurement: Need of a new ratings approach. BBS Doctoral Symposium University of Brunel

Venkatraman V., Vasudevan R., 1986. Measurement of Business Performance in Strategy Research: A Comparison of Approaches. The Academy of

Management Review, (11: 803)