pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif
Transcript of pengukuran kinerja strategik: perspektif tradisional dan alternatif
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 13
PENGUKURAN KINERJA STRATEGIK: PERSPEKTIF
TRADISIONAL DAN ALTERNATIF
Afifah Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga
email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this paper is to describe variety of strategic performance measurement indicators. In addition, this paper also discuss challenges and implications of the company's strategic measurements with other scale. Discussing begin with review on literature from various sources which related to strategic performance measurement. The objective of strategic performance measurement is to determine the level of adaptation strategies adopted by the company. From literature, researcher know that Known from literature that the strategic performance initially measured by financial indicators only. In fact, increasingly competitive world of business, these indicators are not sufficient to measure the strategic performance of the business. For example, strategic performance measured by financial and non-financial indicators. Recent developments of this indicator measured by integrating the working system. In the implication, strategic performance measures to deal with various challenges including: human resources, processes, systems and culture. The wide range of these challenges will lead to the application of different measurement indicators for companies of various scales Keywords: Strategicperformance measurement, financialmeasurementandmeasurementunfinansial
1. PENDAHULUAN
Pengukuran kinerja adalah bahagian dari tahap evaluasi dan kontrol strategik
yang sekaligus merupakan tahap akhir dari keseluruhan proses manajemen strategik.
Pengukuran kinerja didefinisikan oleh para ahli dari berbagai perspektif yang pada
intinya merupakan evaluasi dari suatu strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Pengukuran kinerja menjadi isu yang menarik disebabkan karena
kegiatan bisnis dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan diantaranya: penciptaan
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan,mempertahankan kredibilitas perusahaan
dimata investor, memuaskankonsumen serta memenuhi kepentingan stakeholder
lainnya. Keberhasilan perusahaan dalam menghadapi tantangan tersebut tercermin dari
hasil pengukuran kinerja perusahaan.
Vishvesh Pathak (2009) berpendapat bahwa kinerja sangatterkait dengan
strategi, kinerja adalah hasil tindakan sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan
strategi. Kedua hal ini dihubungkan melalui proses kegiatan bisnis, akan tetapi antara
kinerja dan strategi dapat terjadi sebuah gap. Untuk membantu menemukan celah/gap
diperlukan pengukuran kinerja yang sesuai dan penentuan sasaran yang tepat. Vishvesh
Pathak (2009) juga berpendapat pengukuran kinerja adalah variabel sangat penting
sebagai komponen yang dapat menyelesaikan setengah dari permasalahan yang
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 14
dihadapi perusahaan. Oleh sebab itu penting untuk mengetahui lebih dalam tentang
pengukuran kinerja dan perkembangannya, agar dapat memilih alat ukur yang tepat
untuk strategi yang akan diterapkan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kinerja
Kinerja didefinisikan secara singkat oleh Wholen dan Hunger sebagai hasil
kerja. Amstrong dan Baron (1998) mendefinisikan kinerja dengan lebih luas, kinerja
merupakan hasil kerja yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Definisi kinerja
juga dikemukakan oleh Lebas dan Euske (2002 dalam Kellen 2003), performance as doing today what will lead to measured value outcomes tomorrow. Dapat disimpulkan
bahwa kinerja merupakan pencapaian dari suatu kegiatan yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi pada tujuan strategis yang dicanangkan. Kinerja tersebut
diketahui setelah melalui proses pengukuran.
Pengukuran kinerja dalam kontek manajemen strategik didefinisikan sebagai
serangkaian proses manajemen yang terhubung dengan pelaksanaan strategi, McGee
(1992 dalam Monica, Mike, Andy, et all 2007). Sebuah studipada Conference Boardmen definisikan pengukuran kinerja strategis sebagai suatu sistem
menerjemahkan strategi bisnis ke dalam penyampaian hasil. Ittner, Larcker & Randall
(2003) berpendapat yang bahwa sebuah sistem pengukuran kinerja strategis dapat:
(1) Memberikan informasi yang memungkinkan perusahaan untuk mengetahui
strategi yang menawarkan potensi tertinggi untuk mencapai tujuan perusahaan,
(2) Menyelaraskan proses manajemen, seperti penetapan target, pengambilan
keputusan, dan evaluasi kinerja dengan pencapaian tujuan strategis yang
dipilih.
Pengukuran kinerja dapat dilakukan diberbagai tingkatan unit perusahaan
sepertiditingkat: divisi, strategic business units (SBU) dan fungsional.Vetraman dan
Ramanujam (1986) pada Gambar 2.1 memperlihatkan bagaimana pengukuran kinerja
diaplikasikan pada masing-masing tingkatan.
Daerah pengukuran kinerja terbagi atas tiga ruang lingkup dengan tiga alat ukur.
Ruang lingkup dasar/inti usaha (Domain of financial performance). Indikator
pengukurnya adalah indikator kinerja keuangan seperti: profit atau keuntungan diukur
menggunakan Return on Equity (ROE), Return on Total Capital (ROTC) dan Return on Sales (ROS), Chakravarty (1986). Pengukuran keuangan lainnya adalah Market/book
ratio atau M/B ratio.Rasio ini memberikan petunjuk pada investor mengenai kinerja
perusahaan di masa lalu serta prospeknya dimasa datang.
Ruang lingkup kedua adalah ruang lingkup kegiatan usaha atau business operation, ruang ini mengukur kinerja dari segi kinerja keuangan dan kinerja
operasional. Kinerja operasional dapat juga dimaknai sebagai kinerja ditingkat
fungsional. Pengukuran kinerjadilevel ini dapat dilakukan pada fungsi: pemasaran,
produksi, sumberdaya manusia dan keuangan. Pengukuran kinerja di level fungsional
menggunakan pengukuran yang lebih spesifik sesuai dengan aktivitas yang dilakukan di
level fungsional tersebut. Pengukuran kinerja di fungsi pemasaran menggunakan
indikator: market share, sales per employee dan sebagainya. Pengukuran kinerja di
fungsi produksi dapat menggunakan ukuran biaya perunit produksi, persentase
kerusakan. Pada fungsi sumberdaya manusia dapat menggunakan indikator turn over
karyawan, tingkat absensi dan lain-lain. Pengukuran kinerja yang spesifik juga akan
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 15
ditemui pada fungsi-fungsi lainnya. Pengukuran kinerja pada level dua ini sering juga
disebut dengan level mengukuran kinerja bisnis karena mengukur kinerja keuangan dan
kinerja operasional.
Ruang lingkup ketiga merupakan ruang lingkup kinerja terluas, dimana
keseluruhan aspek usaha diukur sehingga terlihat apakah strategi organisasi sudah
berjalan dengan efektif dan mencapai hasil tertinggi. Pengukuran dengan ruang lingkup
ini sering disebut dengan pengukuran kinerja strategik.
Sumber :N. Venkatraman V., Vasudevan R., 1986
Gambar 2.1
Circumscribing the domain of business performance
2.2 Pengukuran Kinerja Strategik
Seperti yang disampaikan pada paragraf sebelumnya, pengukuran kinerja
strategik merupakan pengukuran kinerja yang mempunyai ruang lingkup terluas.
Pengukuran ini ditujukan untuk memastikan perusahaan dapat beradaptasi dengan baik
dengan lingkungannya dalam jangka waktu panjang, Chakravarthy (1986). Dengan kata
lain pengukuran kinerja strategik adalah langkah terakhir dari proses manajemen
strategik yang dilakukan oleh manajer yang terhubung dengan strategi yang dipilih oleh
perusahaan, McGee (1992 dalam Monica et al 2007).
Secara teori kualitas perusahaan dalam beradaptasi dapat dievaluasi melalui
beberapa dimensi, Chakravarthy (1986) dalam artikelnya menyimpulkan sebagai
berikut:
a) Strategi perusahaan sesuai dengan struktur industri (Porter 1980) dan suasana persaingan (Buzzel, Gale & Sultan,1975; Henderson 1979)
b) Struktur organisasi sesuai dengan lingkungannya (Lawrence & Lorsch 1967)
dan strategi (Chander 1962, Rumelt 1974)
c) Sistem manajemen sesuai dengan strategi dan struktur organisasi (Mile & Snow
1978, Vancil 1979)
d) Gaya manajemen disesuikan dengan kontek strategi (Mintzberg & Waters 1983)
Pascale dan Anthos (1981 dalam Chakravarty 1986) mengatakan bahwa
perusahaan yang beradaptasi dengan baik (well-adapted firm) adalah perusahaan yang
mampu menyesuaikan kekuatan yang dipunyai dengan kesempatan yang ada di
lingkungannya dan menyelaraskan berbagai sistem administratifnya dengan strategi
yang dipilih. Bahasa yang lebih popular menyebutkan, perusahaan yang mempunyai
strategi efektif dan efisien dalam mensingkronisasikan 7 Ss. Kerangka kerja 7Ss Mc
Kinsey meliputi: Hard Ss (strategy, structure, system) dan Soft Ss (style, shared value,
Domain of financial
performance
Domain of financial performance +
Operational performance (Business performance)
Domain of Organizational
Effectiveness
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 16
staff and skill). Kerangka kerja ini dijadikan sebagai panduan riset oleh Peter dan
Waterman pada tahun 1982 yang mempopulerkan istilah “excellent”. Istilah bagi
perusahaan yang mampu beradaptasi dengan baik. Kaplan (2005) menjelaskan bahwa
kerangka kerja 7Ss Mc Kinsey adalah :
� Strategi adalah penempatan dan tindakan yang dilakukan dalam mengantisipasi
perubahan lingkungan dan bertahan dalam persaingan.
� Struktur adalah cara bagaimana orang-orang yang berada di dalam organisasi
tersebut dibagi atas tugas, bidang keahlian, dan tanggung jawab dan bagaimana
merekasaling berhubungan.
� Sistem adalah prosedur formal dan informal yang mengatur kegiatan sehari-
harimeliputi: segala sesuatu dari sistem informasi manajemen,
pengukuran kinerja, sistem penghargaan, perencanaan, biaya dan pengalokasian
sumberdaya
• Keterampilan adalah kemampuan dan kompetensi unik yang ada dalam
perusahaan.
• Shared value adalah nilai dan kepercayaan perusahaan yang pada akhirnya
menjadi panduan karyawan dalam berprilaku
• Staff adalah sumberdaya manusia yang dimiliki perusahaan
• Styleadalah gaya pendekatan pimpinan atau manajemen puncak terhadap
keseluruhan operasional perusahaan
3. PEMBAHASAN
3.1 Pengukuran Perspektif Tradisional
Pengukuran kinerja strategik pada awalnya dikembangkan dengan berlandaskan
pada perhitungan keuangan (financial) seperti: Return on Investment (ROI), Market Share, Market Share Gain, Return on Sales, Growth in Revenues, Cash Flow/Invesment dan sebagainya. Pengukuran kinerja dengan basis perhitungan keuangan (financial) dikelompokkan pada perspektif tradisional.Perspektif ini banyak menuai kritikan karena
memiliki beberapa kelemahan, salah satunya indikator financial dinilai hanya
mempertimbangkan sisi stockholder dan mengabaikan kepentingan stakeholder lainnya.
Secara umum pengukuran kinerja perspektif tradisional tidak mampu memberi
gambaran kinerja perusahaan dimasa depan, sedangkan pengukuran kinerja strategik
membutuhkan pengukuran yang dapat menggambarkan kinerja perusahaan saat ini dan
masa datang. Kelemahan pengukuran perspektif ini menjadi perhatian para peneliti,
salah satunya Cakravarthy.
Pada tahun 1986 Chakravarthy melakukan studi yang didasari oleh penelitian
Peter dan Waterman (1982). Studi ini ditujukan untuk mengevaluasi kinerja strategik
dan mengklasifikasikan perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent dengan
berbagai perspektif pengukuran kinerja strategik yang berkembang. Unit analisis
penelitiannya adalah industri komputer. Pemilihan industri komputer sebagai sampel
penelitian dengan alasan industri ini dapat mewakili perusahaan yang dapat beradaptasi
dengan baik dan pengukuran kinerja akan lebih objektif apabila dilakukan pada satu
jenis industri.
Industri komputer yang dijadikan sampel berjumlah 14 (empat belas) perusahaan
computer yang terdiri dari:
� 7 (tujuh) sampel perusahaan komputer yakni: IBM, HP, DEC, NCR, Amdahl,
Wang dan Data General diambil berdasarkan sampel penelitian yang dilakukan
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 17
oleh Peter dan Waterman. Hasil penelusuran awal diketahui bahwa tujuh
perusahaan komputer ini digolongkan sebagai perusahaan yang excellent. � 4 (empat) sampel lain diambil dari studi Fortune yang melakukan pemeringkatan
perusahaan komputer yang memiliki reputasi baik yaitu: perusahaan CDC,
Honeywell, Burroughs dan Sperry.
� 3 (tiga) sampel terakhir yang ditambahkan adalah: Commodore, Prime
Computer dan Cray Research. Pemilihan tiga sampel terakhir dengan alasan :
a) Kurang cermatnya penelitian Peter dan Waterman yang mengangap
perusahaan-perusahaan ini tersebut tergolong pada perusahaan yang kurang
baik dalam beradaptasi dan bereputasi rendah pada studi Fortune
b) Masing-masing perusahaan yang dipilih belum memperlihatkan publisitas
yang baik pada saat Peters dan Waterman mulai melakukan survei.
c) Perusahaan yang dipilih tergabung dalam SIC grup sebagai perusahaan yang
terbaik dalam: electronic computing equipment (SIC 3680), mini and micro
computers (SIC 3681) dan mainframes (SIC 3682)
Untuk menguji pernyataan bahwa pengukuran kinerja strategik perspektif
tradisional mempunyai banyak kelemahan Chakravarthy melakukan satu penelitian.
Dalam penelitian tersebut 14 (empat belas) indikator pengukur keuangan
dikelompokkan kemudian dengan analisis faktor terklasifikasi menjadi 4 (empat)
kelompok yaitu:
1. Profitabilitas 2. Reactive market position, 3. Change in profitability and cash flow 4. Growth in sales and market share
Dimensi profitability dinilai menjadi faktor penentu utama sementara tiga
dimensi lainnya (Reactive market position, Change in profitability and cash flow Growth in sales and market share) lainnya tidak dapat digunakan pada semua bisnis.
Indikator ukuran yang dihubungkan dengan pengukuran profitabilitas adalah: Return on Equity (ROE), Return on Total Capital (ROTC) dan Return on Sales (ROS). Hasil
penelitian menunjukkan tiga indikator profitability tidak mampu menjadi indikator
pembeda bagi perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent. ROE tidak
signifikan membedakan perusahaan yang excellent dan non excellent. ROTC mampu
menjadi faktor pembeda tetapi sangat kecil sekali. ROS juga tidak dapat menjadi faktor
pembeda. Kegagalan indikator profitabilitas sebagai pembeda perusahaan yang
tergolong excellent dan non excellent sekaligus membuktikan berbagai kritikan terhadap
pengukuran berbasis perhitungan akuntansi diantaranya: a) adanya ruang untuk
manipulasi akuntasi, b) kurang memperhitungkan/menghargai asset, c) terdistorsi oleh
kebijakan penyusutan, penilaian persediaan, pendapatan serta pengeluaran, d) perbedaan
metode penyesuaian dan e) perbedaan karena kurangnya standarisasi dalam konvensi
akuntansi internasional
Pengukuran kinerja lain yang masih digolongkan pada pandangan tradisional
menurut Chakravarty (1986) adalah pengukuran kinerja dengan menggunakan
dimensifinancial marketmeasures. Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi
ini adalah M/B ratio atau rasio harga pasar terhadap nilai buku. Pengukuran ini dapat
meminimalisir kegagalan pengukuran kinerja profitabilitas, sebab pengukuran ini
dapatmemprediksi kemampuan perusahaan untuk memberikan return
kesejumlahpemegang saham di masa mendatang. Akan tetapi pengukuran keuangan
pasar initidak dapat memperlihatkan prospek perusahaan secara keseluruhan dimasa
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 18
datang dan tidak terbebas dari manipulasi akuntansi khususnya untuk nilai buku
perusahaan.
Dari dimensi profitability dan financial marketmeasuresyang berbasis keuangan
Chakravarty menyimpulkan pandangan tradisional gagal membedakan antara kinerja
perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent. Kegagalan ini disebabkan: a)
fokus hanya pada hasil dari proses perubahan didalam perusahaan, b) mengabaikan
stakeholder,c)asumsi bahwa pengukuran kinerja dengan single measurement tidak
mencukupi sebagai penjelas kinerja perusahaan dimasa datang.
Kritikan Chakravarty di tahun 1986 ini juga didukung oleh para peneliti ditahun-
tahun berikutnya. Eccles (1991) mengatakan bahwa pengukuran kinerja berbasis
keuangan mengalami keusangan dan sering gagal mendukung investasi dalam teknologi
baru dan pasar yang merupakan kunci sukses kinerja di pasar global.Kennerley dan
Neely (2003) juga sepakat dengan berbagai kritikan pengukuran berbasis keuangan
seperti: a) pengukuran kinerja keuangan bersifat historical (Dixxon et al 1990), b)
sangat sedikit memberikan petunjuk pada kinerja masa depan, pendorong dalam jangka
pendek (Hayes dan Abernathy, 1980; Kaplan, 1986); c) fokus pada internal daripada
ekternal dengan sedikit perhatian pada pesaing atau konsumen (Kaplan and Norton,
1992; Neely et al., 1995); d) kurang fokus pada strategi (Skinner, 1974); e) sering
menghambat inovasi (Richardson and Gordon, 1980)
Kelemahan pengukuran kinerja pandangan tradisional berbasis pada perhitungan
keuangan mendasari pemikiran banyak ahli untuk mencari bagaimana mengukur kinerja
dengan lebih baik.Berdasarkan pada pendapat Nelly (1999) terdapat beberapa alasan
mendasar perlunya perubahan pengukuran kinerja perlu untuk dilakukan yakni:(1)
perubahan lingkungan kerja, (2) peningkatan persaingan, (3) inisiatif peningkatan yang
semakin spesifik, (4) penghargaan nasional dan internasional, (5) perubahan peran
organisasi, (6) perubahan permintaan ekternal dan kekuatan teknologi informasi.
3.2 Pengukuran Kinerja Alternatif
Chakravarty (1986) mengusulkan tiga pengukuran kinerja alternatif untuk
mengatasi kegagalan pengukuran kinerja tradisional menjadi faktor pembeda kinerja
perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent.Pengukuran kinerja alternatif
pertama yang diusulkan adalah penggabungan pengukuran atau composite measures.Pengukuran kinerja gabungan ini disimbolkan dengan Z. Nilai Z adalah
fungsi pembeda ganda yang dapat juga sebagai index penentu kepailitan (bankruptcies)
perusahaan. Argenti (1976dalam Chavakarty 1986) memberikan score terhadap nilai Z,
apabila nilai Z < 1.8 maka perusahaan akan mengalami kegagalan/bangkrut tetapi
apabila score Z> 3 perusahaan tersebut tergolong sehat atau tidak gagal. Dalam hal ini
nilai Z menjadi indek pengganti kinerja strategik.
Z = 0.012X1 + 0.014 X2 + 0.033 X3 + 0.006 X4 + 0.010 X5
Keterangan :
X1 = working capital /total asset, X2 = the retained earning/total asset, X3 = earning before interest and taxes/total assets,
X4 = market value of equity/book value of total debt, X5 = sales/total assets
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 19
Hal yang perlu diperhatikan bahwa perusahaan yang tergolong excellent tidak
saja perusahaan yang fokus pada kinerja jangka pendek tetapi harus mampu bertahan
dalam jangka panjang. Perusahaan yang mempunyai skor Z tinggi dapat dikatakan
sebagai perusahaan yang sehat atau tidak dihadapkan pada kebangkrutan akan tetapi
indikator itu saja belum cukup bagi perusahaan yang tergolong pada excellent. Pengukuran kinerja alternatif kedua adalah mengukur kinerja dengan indikator
kepuasan keseluruhan stakeholder atau satisflying multiple stakeholder. Kepuasan
stakeholder yang terjamin merupakan keuntungan dalam jangka pendek dan investasi
perusahaan dimasa datang. Chakravarty (1986) mengatakan bahwa perusahaan yang
digolongkan excellent adalah perusahaan yang mampu meminimalisir ketidakpuasan
stakeholder sebagai tujuan perusahaan. Penelitian Chakravarty mendasarkan pemilihan
stakeholder yang dipentingkan pada survey Fortune tentang reputasi
perusahaan.Indikator yang digunakan adalah:
a) kepuasan pemegang saham melalui: kualitas manajemen, nilai investasi jangka
panjang, pengukuran keuangan dan penggunaan asset,
b) kepuasan konsumen melalui: kualitas produk dan inovatif,
c) kepuasan tenaga kerja melalui: kemampuan untuk merekrut dan menjaga,
d) kepuasan komunitas dengan respon sosial yang dilakukan.
Pengukuran kinerja alternatif ketiga adalah pengukuran kinerja melalui kualitas
perusahaan melakukan perubahan atau Measuring the quality of a firm’s transformation. Pengukuran kinerja melalui kualitas perusahaan melakukan perubahan
didasari oleh pemikiran Evan (1976 dalam Chakravarty 1986) yang berpendapat bahwa
mengevaluasi kualitas perusahaan melakukan perubahan adalah faktor utama untuk
menentukan perusahaan yang disebut excellent dan non excellent. Proses pendorong
perubahan sebuah perusahaan diklasifikasikan atas dua yaitu : a) adaptive specialization
dan b) adaptive generalization.
Adaptive specialization adalah pemanfaatan keuntungan perusahaan untuk
kondisi saat ini, Bernard (1938 dalam Chakravarty 1986). Pengukuran ini dilakukan
untuk menilai perubahan yang dilakukan perusahaan dalam jangka pendek. Hal ini
ditegaskan oleh Chakravarty (1986) bahwa pengukuran kinerja yang dibahas pada awal
artikelnya (pengukuran kinerja perspektif tradisional) ditujukan untuk menilai kualitas
perusahaan melakukan adaptive specialization.
Adaptive generalization, berkaitan dengan investasi perusahaan disebabkan
masih tersedianya sumberdaya/kelebihan sumberdaya (Slack) yang dapat dimanfaatkan
untuk melakukan R & D. Proses adaptasi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
menghadapi lingkungan masa depan yang tidak pasti atau bahkan tidak diketahui, Cyert
and March (1963 dalam Chakravarty 1986). Adaptive generalization adalah untuk
memastikan perusahaan dapat survive untuk jangka panjang tetapi tidak mengurangi
profitability dalam jangka pendek, Chakravarty (1981,1986). Adaptasi generalis
biasanya diikuti oleh adaptasi spesialis untuk mengontrol agar perusahaan tidak saja
memproritaskan pada investasi jangka panjang yang membawa perusahaan pada
kebangkrutan.
Slack atau kelebihan sumber daya perusahaan dapat diukur akan tetapi sulit
menilai seberapa baik slack tersebut dimanfaatkan. Pengukuran slack yang dimiliki oleh
perusahaan dapat dilakukan melalui: profitabilitas, produktifitas dan kemampuan
perusahaan meningkatkan modal dalam jangka panjang (Chakravarty 1986).
Profitabiltas adalah faktor pengukur yang paling jelas, dimana ukuran yang digunakan
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 20
adalah aliran kas dari ratio investasi. Semakin tinggi rasionya maka semakin besar slack
yang dimiliki oleh perusahaan. Faktor pengukur slack kedua adalah produktifitas,
indikator yang digunakan adalah sales revenue per employee dan firm revenue per dollar ofasset total. Produktifitas adalah surplus yang didapat dari karyawan, berbeda
dengan profitabilitas yang merupakan surplus yang berasal dari konsumen. Faktor
pengukur ketiga adalah kemampuan perusahaan meningkatkan modal dalam jangka
panjang dengan indikator pengukur adalah market to book ratio dan debt to equity ratio. Faktor pengukur slack yang dimiliki perusahaan lain dapat berupa: R&D by sales ratio, working capital by sales ratio dan devident payout ratio.
Tiga pengukuran jumlah slack diatas akan mendasari analisis bagaimana slack
tersebut digunakan sehingga dapat menjadi pembeda untuk perusahaan yang
digolongkan excellent dan non excellent. Terdapat 8 (delapan) variabel yang digunakan
sebagai indikator pembeda, yang dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu:
sumber slack dan penggunaan slack. Kedelapan variabel tersebut akan dijelaskan pada
Tabel 3.1:
Tabel 3.1 Sumber dan Penggunaan Slack
Kelompok Variabel Definisi Variabel Sumber
Slack
CFBYIN Cashflow/Investment ratio a measure of the firm's ability to
generate cash in the short run
SABYTA Sales by Total Assets capital productivity of the firm
MBYB Market to Book value firm's ability to raise equity capital
SABYEM Sales per Emnployee labor productivity of the firm
DTBYEQ Debt by Equity ratio firm's ability to raise loan capital.
Penggunaan
Slack
RDBYSA R&D by Sales ratio measures the firm's investment in
research and development.
WCBYSA Working capital by sales ratio indicates the slack resources invested
in working capital
DIVPAY Dividend Payout ratio the percentage of earnings that the
firm pays out as dividends.
Sumber : Chakravarty 1986
Sumber slack variabel (CFBYIN, SABYTA, MBYB, SABYEM) apabila
rasionya mengalami kenaikkan akan diimbangi oleh turunya variabel DTBYEQ. Hal
yang sama juga akan terjadi pada penggunaan slack. Apabila slack banyak digunakan
untuk R&D dan modal kerja, rasionya meningkat maka rasio pembayaran deviden akan
menurun. Penurunan rasio pembayaran deviden ini disebabkan karena : a) modal kerja
lebih dibutuhkan perusahaan untuk meningkatkan pendapatan; b) perusahaan fokus
pada pengembangan dan pertumbuhan.
Kombinasi perhitungan antara sumber slack dan penggunaan slack akan
menghasilkan sebuah fungsi pembeda, dimana skor fungsi yang diperoleh > 0,14 maka
perusahaan akan dikategorikan sebagai perusahaan yang excellent sebaliknya untuk
kategori perusahaan non excellent. Fungsi diskriminan untuk perusahaan excellence
0.12 CFBYIN -0.19 SABYEM -0.10 SABYTA +0.12 MBYB -0.28 DTBYEQ
+0.34 RDBYSA +0.19 WCBYSA +0.29 DIVPAY > = 0.14
Fungsi deskriminan ini tidak sama dengan Z faktor, fungsi ini dinilai lebih
rasional karena melalui pengelolaan sumber dan penggunaan slack walaupun tidak
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 21
sepenuhnya benar mengkategorikan perusahaan yang tergolong excellent dan non excellent, (Chakravarty 1986).
Perusahaan yang excellent tidak dapat dicerminkan dari satu pengukuran kinerja
tetapi dari kemampuan perusahaan mensimultankan beberapa pengukuran kinerja
sebagai parameternya, Ashby (1971 dalam Chakravarty 1986 ). Pandangan ini selaras
dan lebih diperinci oleh dengan pendapat Chakravarty (1986) bahwa, perusahaan yang
dikategorikan excellent membutuhkan kondisi kinerja keuangan diatas rata-rata kinerja
industri dan batas kebangkrutan.Kinerja keuangan tersebut dapat dinilai dari indikator
ROI, ROE, M/B rasio dan Z faktor. Kondisi lain yang dibutuhkan oleh perusahaan yang
tergolong excellent adalah pemaksimalan kepuasan stakeholder kunci perusahaan.
Kondisi ini akan disempurnakan oleh kemampuan perusahaan dalam melakukan
perubahan menghadapi lingkungan. Kemampuan itu tergambarkan dengan semakin
besarnya perusahaan menghasilkan kelebihan sumberdaya (slack) dan menginvestasikan
slack tersebut. Slackakan dapat dimanfaatkan untuk fleksibilitas perusahaan dalam
menghadapi masa depan.
3.3 Pengukuran Kinerja Multi Dimensi Revolusi pengukuran kinerja selanjutnya adalah pengukuran kinerja dalam
bentuk kerangka kerja/framework atau membentuk sebuah sistem seperti: SMART
pyramid (Lynch dan Cross, 1991), Balance Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996),
Performance Prims (Adam dan Nelly, 2001). Kinnerly dan Nelly (2002) mengatakan
bahwa pengukuran kinerja dalam bentuk kerangka kerja (framework) ditujukan untuk
membantu perusahaan menentukan seperangkat ukuran yang mencerminkan tujuan
mereka dan menilai kinerja mereka secara tepat. Framework adalah system yang
multidimensi, menyeimbangkan ukuran keuangan dan non keuangan.
Balance Scorecard sebagai salah satu framework atau sistem pengukuran kinerja
yang banyak diadopsi oleh berbagai perusahaan. Balanced Scorecard dikembangkan
oleh Norton & Kaplan tahun 1996. Balance Scorecard dikenal sebagai frame work
pengukuran kinerja yang menyeimbangkan antara pengukuran kinerja keuangan dan
non keungan, mempertimbangan internal dan ekternal perusahaan. Kaplan (2001)
menjelaskan bahwa pengukuran kinerja dilakukan dengan melihat empat perspektif
yakni: perspektif keuangan, pelanggan, bisnis internal, inovasi dan belajar. Keseluruhan
perspektif ini saling berhubungan atau berintegrasi. Survey menunjukkan bahwa lebih
dari 50 persen dari perusahaan yang disurvei di seluruh dunia telah mengadopsi
Balanced Scorecard pada pertengahan tahun 2001 (Kennerly dan Nelly, 2003).
Pendekatan sistem pengukuran kinerja multi dimensi lain diperkenalkan oleh
Nelly tahun 2002 dengan konsep “ Performance Prims”. Neely, Adams & Crowe
(2001) mengatakan bahwa pengukuran kinerja ini dapat dilihat dari lima perspektif
yakni: kepuasan stakeholder, kontribusi stakeholder, strategi, proses dan kapabilitas.
Lima pertanyaan penting dalam pengukuran kinerja “Performance Prims”
1. Stakeholder satisfaction: Siapa yang menjadi stakeholder kunci dan apa yang
mereka inginkan serta apa yang mereka perlukan ?
2. Strategy: Strategi apa yang seharusnya diterapkan untuk memenuhi apa yang
menjadi kinginan dan kebutuhan stakeholder ?
3. Process: Proses kritis apakah yang diperlukan untuk menjalankan strategi tersebut ?
4. Capability: Kemampuan apa yang harus kita operasikan untuk meningkatkan
proses tersebut ?
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 22
5. Stakeholder contribution: Kontribusi apakah dari stakeholder yang kita perlukan
jika kita akan mengembangkan kemampuan tersebut ?
Nelly (1998) dalam Kennerley dan Nelly (2003) menyebutkan apabila
pengukuran kinerja sudah dibentuk dalam satu framework atau sistem, maka
didalamnya terdapat tiga elemen yang saling berkaitan yaitu:
1. Ukuran individu yang mengukur efisiensi dan efektivitas tindakan
Kriteria dari ukuran kinerja secara individu adalah:
� berasal dari strategi;
� sederhana untuk dipahami;
� memberikan umpan balik yang tepat waktu dan akurat;
� didasarkan pada jumlah yang dapat dipengaruhi, atau dikendalikan, oleh
pengguna sendiri atau bekerja sama dengan orang lain;
� mencerminkan proses bisnis;
� berhubungan dengan tujuan tertentu (target) dan relevan;
� menjadi bagian dari sebuah lingkaran manajemen tertutup;
� didefinisikan secara jelas;
� memiliki dampak visual;
� berfokus pada perbaikan;
� konsisten;
� memberikan umpan balik yang cepat;
� memiliki tujuan yang jelas;
� didasarkan pada suatu formula jelas didefinisikan dan sumber data;
� mempekerjakan rasio bukan angka mutlak;
� menggunakan data yang dikumpulkan secara otomatis sebagai bagian dari
proses;
� memungkinkan;
� dilaporkan dalam format yang konsisten sederhana;
� didasarkan pada tren bukan pada satu gambaran;
� memberikan informasi tepat tentang apa yang diukur;
� obyektif-bukan berdasarkan pendapat.
2. Sekumpulan ukuran yang dikombinasikan untuk menguji kinerja organisasi secara
keseluruhan.
Prinsip pemilihan seperangkat pengukuran kinerja harus sesuai dengan strategi,
filosofi, dan skema insentif, komprehensif dan konsisten. Pemilihan seperangkat
pengukuran kinerja dilakukan oleh perusahaan. Pemilihan seperangkat pengukuran
kinerja tersebut dapat dilakukan dengan banyak cara salah satunya dengan cara
menghimpun jawaban melalui keusioner.
3. Infrastruktur pendukung yang memungkinkan data untuk diperoleh, disusun, disortir,
dianalisis, ditafsirkan dan disebarluaskan
Dukungan infrastruktur ditujukan untuk mengetahui apakahproses dan sistem telah
dipastikan mengumpulkan dan menyebarkan data secara efektif dan efisien. Hal ini
dapat dinilai dari :
� akuisisi data, bagaimana data mentah yang dikumpulkan
� kolasi data, bagaimana data disusun menjadi sebuah data tunggal yang
ditetapkan
� penyortiran data, bagaimana data mentah dipilah sehingga data dapat dianalisis
� analisis data, bagaimana pola yang ada dalam sekumpulan data
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 23
� interpretasi data, bagaimana implikasi dari setiap pola yangtelah diidentifikasi
dalam sekelompok data dapat dijelaskan
� penyebaran data, bagaimana sekumpulan data tersebut dikomunikasikan
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam sistem pengukuran kinerja yakni audit pada
sistem.Proses ini dilakukan untuk mengidentifikasi kapasitas (proses, manusia, sistem,
budaya) signifikan relevan pada setiap tahapan perubahan, Kennerley dan Nelly (2002).
3.4. Tantangan Pengaplikasian Sistem Pengukuran Kinerja
Dalam pengimplementasian sistem pengukuran kinerja, perusahaan dihadapkan
pada perubahan lingkungan dan tingkat persaingan yang semakin tinggi.Hal ini
membuat pengukuran kinerja juga mengalami perubahan, Nelly (1999).Perubahan itu
tentunya senantiasa diselaraskan dengan perubahan strategi yang dilakukan oleh
perusahaan. Dengan kata lain perubahan sistem pengukuran kinerja tetap mencerminkan
kontek organisasi dan strateginya, Kennerly dan Nelly (2003).
Tabel 3.2 Pendukung Perubahan Sistem Pengukuran Kinerja Proses Sistem Manusia Budaya
Proses yang teratur
meninjau
pengukuran dengan
waktu dan alokasi
sumberdaya yang
telah ditetapkan
Integrasi
pengukuran dengan
inisiatif perbaikkan
dan perumusan
strategi
Pengelolaan
pengukuran untuk
memastikan
pendekatan yang
konsisten
berkelanjutan
Proses proaktif
mengidentifikasi
internal
daneksternal
sebagai
pemicuperubahan
Ketersediaan
mekanismeuntuk
transferpraktikterba
ik
Pengembangan
pembangunan
pemeliharaan IT
Sistem IT yang fleksibel,
memungkinkan
modifikasi pengumpulan
data,
analisis dan alat
pelaporan (mis. Sistem
rumahan)
IntegrasiITterhadap
tujuan operasional
dansumber daya
Sumberdayayang
didedikasi untuk
mengembangkan
sistem pengukuran.
Memaksimalkanketersed
iaan data, meminimalkan
pelaporan
Ketersediaan
sumber dayayang
didedikasikan untuk
memfasilitasipenin
jauandanmodifikasi
pengukuran
Pemeliharaan kapasitas
pengukuran kinerja
internal
Ketersediaan
keterampilan yang tepat
untuk penggunaan
pengukuran yang
efektif dan mengukur
kinerja tujuan
(pengetahuan mendalam
tentang operasiona l&
kebutuhan stakeholder;
sistempengembangan
keterampilan, dll)
Pengembangan
komunitaspengguna
pengukuran untuk
praktik transferterbaik(e-
mail, user groups
benchmarking)
Budaya kondusif yang
mengerakkan
manajemen
memahamai manfaat
pengukuran
Kebutuhan akan
perubahan
Komunikasi efektif
tentang pengukuran
dan penggunaan
mediaditerima
Penggunaan
pengukuran untuk
tindakan yang tepat
dan mencerminkan
strategidanproses, dll
Pengukuran yang
terbuka danjujur
Sumber :Kennerley dan Nelly (2003)
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 24
Fakta lain yang muncul ditengah terjadinya revolusi tentang pengukuran kinerja,
banyak perusahaan melakukan perubahan terhadap pengukuran kinerjanya tetapi tidak
mampu mengelola perubahan tersebut dengan baik atau tidak mampu menjaga relevansi
sistem pengukuran kinerja sepanjang waktu. Syarat agar pengukuran kinerja relevan
sepanjang waktu didasarkan pada ketersediaan faktor penentu perubahan sistem
pengukuran (Kennerley dan Nelly 2002) dan mengikuti fase-fase perubahan sistem
yang efektif, (Kennerley dan Nelly 2003).
Faktor penentu perubahan sistem pengukuran kinerja meliputi: kemampuan
manusia, proses, sistem dan budaya tersedia. Faktor manusia sangat menentukan
dimana tersedianya sumber daya manusia terampil dibutuhkan untuk menggunakan,
merefleksikan, memodifikasidan menerapkan sistem pengukuran kinerja. Faktor proses
untuk mengkaji, memodifikasi dan menghapus sistem pengukuran kinerja. Faktor
sistem, ketersediaan sistem yang fleksibel memungkinkan pengumpulan, analisis dan
pelaporan data yang sesuai. Faktor budaya, keberadaan budaya pengukuran dalam
perusahaan memastikan bahwa nilai pengukuran dan pentingnya menjaga ukuran yang
relevan serta tepat dihargai. Tabel 3.2 menggambarkan faktor-faktor yang mendukung
terjadinya perubahan sistem pengukuran kinerja.
Perubahan sistem pengukuran kinerja juga akan berjalan dengan efektif apabila
proses perubahan tersebut mengikuti fase-fase yang telah ditentukan. Fase-fase
perubahan sistem pengukuran kinerja dapat dilihat pada Gambar 3.1:
� Fase pertama Reflection,
Fase ini mengidentifikasi sistem pengukuran kinerja yang telah ada.
Pengidentifikasian meliputi bahagian pengukuran yang tidak sesuai dan
perubahan apa yang akan dilakukan.
� Fase kedua adalah Modification,
Fase memodifikasi sistem pengukuran kinerja untuk memastikan selaras dengan
keadaan organisasi yang baru.
� Fase ketiga adalah Deployment,
Fase menyebarkan sistem pengukuran kinerja yang telah dimodifikasi untuk
digunakan sebagai pengelola kinerja organisasi.
Sumber :Kennerley dan Nelly (2002)
Gambar 3.1
Fase-Fase Perubahan Sistem Pengukuran Kinerja
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 25
4. IMPLEMENTASI
Pengukuran kinerja strategik mengalami perkembangan sering dengan semakin
ketatnya persaingan usaha dan kompleknya strategi yang digunakan oleh perusahaan.
Pada awalnya kinerja strategik diukur dengan indikator keuangan saja, perspektif ini
ternyata mempunyai banyak kelemahan. Atas dasar itu pengukuran kinerja strategik
dikembangkan dengan melibatkan indikator non finansial. Pengukuran dengan
melibatkan dua jenis indikator ini diyakini dapat mengukur kinerja strategik dengan
lebih baik. Perkembangan terakhir, pengukuran kinerja strategik sudah dimasukkan
dalam sistem kerja atau dibentuk dalam sebuah frame work. Hal ini tentu membawa
dampak baik bagi pengukuran kinerja strategik suatu perusahaan. Tantangan yang
dihadapi tentulah pada proses pelaksanaannya. Perusahaan harus mempersiapkan
indikator yang jelas untuk digunakan, infrastruktur yang mendukung dan sumberdaya
manusia yang paham dan mampu melaksanakan. Terkait dengan hal tersebut, muncul
pertanyaan apakah memungkinkan sistem pengukuran kinerja strategik tersebut
diterapkan pada perusahaan diberbagai skala usaha di Indonesia.
Penerapan pengukuran kinerja strategik multi dimensi dan terkait dalam sistem
kerja untuk perusahaan berskala menengah dan besar mempunyai peluang besar dapat
diterapkan. Hal ini disebabkan perusahaan berskala menengah dan besar sudah
mempunyai kemampuan mempersiapkan semua elemen pendukung penerapannya.
Perusahaan mempunyai sumberdaya manusia yang handal, mempunyai sumberdaya
modal yang cukup untuk mempersiapkan infrastruktur dan mampu menentukan
indikator kinerja untuk setiap kegiatannya. Lain halnya dengan perusahaan berskala
kecil, penerapannya agak lebih sulit. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya: terbatasnya kepemilikan sumberdaya manusia dan sumberdaya modal,
pengetahuan lebih banyak berasal dari pengalaman dan tidak punya kemampuan
manajerial. Walaupun demikian perusahaan berskala kecil seyogyanya tetap
menentukan indikator pengukur kinerjanya seperti indikator finansial, indikator yang
berada di level basik. Apabila indikator ini sudah teraplikasi dengan baik maka dapat
dikembangkan pada indikator pengukur lainnya. Indikator yang berpotensi adalah
ikator kinerja strategik non finansial seperti tingkat kepuasan stakeholder. Kesempatan
ini tercipta karena perusahaan berskala kecil lebih dekat dengan konsumen, struktur
organisasi yang lebih sederhana serta mudah melakukan kontrol. Asumsi-asumsi ini
tentu memerlukan penelitian lebih mendalam dan menggunakan metode yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, M. Baron, A. 1998.Managing Performance: Performance Management in Action. Chartered Institute of Personnel and Development
Chakravarty, Balaji,S. 1986. Measuring Strategic Performance. Strategic Management
Journal. (7: 437-458)
Eccles, Robert, G. 1991.The Performance Measurement Manifesto, Harvard Business
Review
Ittner, C.D. Larcker, D.F & Randall. 2003. Performance implications of strategic performance measurement in financial services firms. Vol 28:7-8
Kennerley, M., and Neely, A. 2002, A Framework of The Factors Affecting The Evolution of Performance Measurement System, International Journal of
Operations & Production Management
__________________. 2003, Measuring Performance In a Changing Business Environment, International Journal of Operations & Production Management
Polibisnis, Volume 5 No. 1 April 2013
ISSN 1858–3717 26
Kellen, V. 2003. Business Performance Management: At the Crossroads of Strategy, Decision-Making, Learning and Information Visualization.
Kaplan. R., 2005, How The Balanced Scorecard Complements The McKinsey 7-S Model, Strategy & Leadership
Lynch, R.L and Cross, K.F. 1991. Measure Up – The Essential Guide to Measuring Business Performance. Mandarin. London
Monica, F. Kennerley. Micheli. Martinez. Mason. Marr. Gray. Neely. 2007. Towards A Definition Of A Business Performance Measurement System. International
Journal of Operations and Production Management. (27:784-801)
Neely, A. Chris, Adams. Paul, Crowe. 2001.The Performance Prism In Practise.
Measuring Business Excellence.2:6
Neely , A., 1999, The Performance Measurement Revolution: Why Now and What Next ? International Journal of Operations & Production Management, Vol. 19 No. 2,
pp. 205-228
Pathak, Vishvesh. 2009. Strategic performance measurement: Need of a new ratings approach. BBS Doctoral Symposium University of Brunel
Venkatraman V., Vasudevan R., 1986. Measurement of Business Performance in Strategy Research: A Comparison of Approaches. The Academy of
Management Review, (11: 803)