Bahan kuliah 3

51
EVOLUSI PEMIKIRAN MODAL SOSIAL A. Pendahuluan Teori modal sosial dapat dirujuk dari hasil karya tiga teoritisi utama, yakni James Coleman, Robert Putnam dan Pierre Bourdieu. Ketiganya sering disebut sebagai teoritisi modal sosial kontemporer. Bourdieu dikenal dengan karyanya Outline of a theory of Practice (1977); Cultural Reproduction in Education, Society and Culture (1977); Cultural Reproduction and Sosial Reproduction (1977), dan berbagai karyanya bersama penulis lain telah membuktikan bahwa Bourdieu banyak memberikan kontribusi pada pengembangan teori modal sosial. James Coleman, dalam karyanya Social capital in the Creation of Human Capital (1988); Foundations of Sosial Theory (1990), atau Some Points on Choice in Education (1992) menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti modal sosial dalam perspektif ekonomi dan pendidikan. Selanjutnya, Robert Putnam dalam karyanya seperti Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy (1993) The Prosperous Community: Social capital and Public Life (1993); Bowling Alone: America's Declining Social capital (1995); Bowling Alone - The Collapse Panji Suminar 19

description

jhdjsd

Transcript of Bahan kuliah 3

Page 1: Bahan kuliah 3

EVOLUSI PEMIKIRAN MODAL SOSIAL

A. Pendahuluan

Teori modal sosial dapat dirujuk dari hasil karya tiga teoritisi utama, yakni James

Coleman, Robert Putnam dan Pierre Bourdieu. Ketiganya sering disebut sebagai teoritisi

modal sosial kontemporer. Bourdieu dikenal dengan karyanya Outline of a theory of

Practice (1977); Cultural Reproduction in Education, Society and Culture (1977);

Cultural Reproduction and Sosial Reproduction (1977), dan berbagai karyanya bersama

penulis lain telah membuktikan bahwa Bourdieu banyak memberikan kontribusi pada

pengembangan teori modal sosial. James Coleman, dalam karyanya Social capital in the

Creation of Human Capital (1988); Foundations of Sosial Theory (1990), atau Some

Points on Choice in Education (1992) menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti

modal sosial dalam perspektif ekonomi dan pendidikan. Selanjutnya, Robert Putnam

dalam karyanya seperti Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy

(1993) The Prosperous Community: Social capital and Public Life (1993); Bowling Alone:

America's Declining Social capital (1995); Bowling Alone - The Collapse and Revival of

American Community (2000) menjadi karya monumental Putnam yang banyak dirujuk

oleh teoritisi modal sosial lainnya. Karya ketiga teoritisi modal sosial kontemporer

tersebut menjadi acuan bahkan kritikan dan atau cabaran teoritisi lain yang ingin

mengembangkan konsep dan teori modal sosial yang saat ini berkembang sangat pesat.

Pemikiran Pierre Bourdieu banyak dikutip dalam literatur pendidikan. Dalam

tulisannya, dia menampilkan perbedaan pandangan terkait modal sosial terutama dalam

ranah pendidikan. Dia percaya bahwa modal sosial beroperasi sebagai alat reproduksi

kultural dalam menjelaskan pencapaian pendidikan yang tidak seimbang. Teorinya benar-

Panji Suminar 19

Page 2: Bahan kuliah 3

benar memiliki akar sosio-kultural yang kuat yang ada dalam pengalaman pendidikan dari

dialektika individu melalui sejarah material dan sosial mereka. Selain itu, perspektif

Bourdieu tentang modal sosial didesain untuk memandu kajian-kajian empirik. Ada tiga

kunci konsep teoritik untuk menjelaskan perspektif Bourdieu tentang modal sosial:

habitus, capitals, dan fields

Pertama-tama, konsep habitus digunakan untuk menjelaskan bagaimana dampak

struktur obyektif dan persepsi subyektif terhadap tindakan manusia. Konsep ini dapat

dijelaskan sebagai serangkaian skema regulasi pemikiran dan tindakan, yang dalam tataran

tertentu sebagai produk dari pengalaman sebelumnya. Menurut Bourdieu yang dikutip

O’Brien dan ÓFathaigh (2005) habitus berisi serangkaian disposisi atau kesiapan

bertindak yang kuat dan sama yang mengatur aktivitas mental ke titik dimana individu

sering tidak menyadari akan dampak dari tindakannya. Intinya, konsep habitus merupakan

cara untuk menjelaskan bagaimana pesan-pesan sosial dan kultural baik aktual maupun

simbolik membentuk pemikiran dan tindakan individu-individu. Konsep ini tidak statis

karena memungkinkan individu-individu untuk menjembatani pesan-pesan tersebut, dan

bahkan menempatkan resistensi kepercayaan personal. Habitus bukan terstruktur secara

total, meskipun habitus masih tetap dipengaruhi oleh konteks kesejarahan, sosial dan

kultural. Untuk mengilustrasikan pentingnya konsep habitus, seseorang dapat berfikir

bagaimana kelompok-kelompok sosial tertentu lebih mampu untuk memobilisasi

kepercayaan yang ada pada diri mereka ke dalam nilai-nilai pendidikan. Seringkali

beberapa nilai dibentuk oleh serangkaian umum pandangan dalam lingkungan sesaat yang

menyediakan beberapa keuntungan dalam pemanfaatan sistem pendidikan formal. Nilai-

nilai tersebut tidak harus datang secara sadar, melainkan memang sudah menyatu dalam

budaya individu-individu yang sudah terbentuk. Faktor kelas sosial pada umumnya sangat

kuat untuk menjembatani pemikiran dan tindakan, Bourdieu menyebutnya sebagai habitus

Panji Suminar 20

Page 3: Bahan kuliah 3

kelas. Hal ini disebabkan karena kelas sosial secara kuat mempengaruhi pola konsumsi

dan gaya hidup.

Tema kedua dari teori Bourdieu adalah capitals. Konsep ini dibagi ke dalam

kategori modal economic, social, cultural, dan symbolic. Modal ekonomi merujuk pada

pendapatan dan sumberdaya finansial dan aset lainnya. Modal ini bersifat lebih

memungkinkan dapat dikonversi ke dalam bentuk modal-modal lainnya. Modal ekonomi,

bagaimanapun, tidak cukup untuk membeli status atau posisi dalam masyarakat, kecuali

tergantung pada interaksi dengan unsur modal lainnya. Modal sosial dirumuskannya

sebagai serangkaian relasi sosial yang sudah berlangsung lama, jaringan dan kontak-

kontak. Seperti halnya Coleman dan Putnam, pandangan tentang hubungan timbal balik

(reciprocity) sangat penting, meskipun Bourdieu lebih menekankan individu, dan tidak

selalu komunal untuk mendapatkan yang mungkin diharapkan. Modal kultural terdiri dari

tiga bentuk, yakni objectified, embodied, dan institutionalized. Menurut Bourdieu, masing-

masing bentuk berfungsi sebagai instrumen untuk kecocokan kemakmuran simbolik

secara sosial yang akhirnya bermuara pada nilai untuk menjadi yang diharapkan dan

dimiliki (seperti dikutip O’Brien dan Ó Fathaigh, 2005). Bentuk keobyektifan merupakan

manifestasi seperti buku-buku, kualifikasi, computer; bentuk embodied dihubungkan

dengan karakter edukatif individu seperti kesiapan bertindak untuk memasuki proses

belajar; bentuk institutionalised direpresentasikan tempat untuk belajar yang mungkin

akan dimasuki seperti sekolah, universitas, lembaga teknologi dan sebagainya. Symbolic

capital digunakan Bourdieu untuk menjelaskan cara dalam mana modal dipandang dalam

struktur sosial seperti nilai status yang melekat pada buku-buku tertentu, nilai atau tempat

belajar. Dalam hubungannya dengan modal, perlu dicatat bahwa semua bentuk modal

(kategori economic, sosial, cultural, dan symbolic) merupakan factor kunci yang

mendefinisikan posisi dan kemungkinan bagi individu untuk terlibat dalam berbagai arena,

Panji Suminar 21

Page 4: Bahan kuliah 3

termasuk di dalamnya area pengelolaan sumberdaya hutan. Lebih jauh, efek pengganda

seringkali muncul terkait dengan bentuk akumulasi modal misalnya satu modal seringkali

merubah modal lainnya.

Konsep yang ketiga adalah fields. Dalam bahasa Bourdieu, konsep ini

berhubungan dengan ruang struktur kekuatan dan perjuangan, yang berisi sistem teratur

dan jaringan yang dapat diidentifikasi dari hubungan yang berdampak pada habitus

individu. Bourdieu mengklaim bahwa individu-individu tertentu masuk ke dalam fields,

secara sadar lebih memperhatikan aturan main atau memiliki kapasitas yang lebih besar

untuk memanipulasi aturan-aturan tersebut melalui bangunan kesesuaian modal. Individu-

individu tersebut dengan kualifikasi yang kuat atau pekerjaan dan status yang kuat

mungkin dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Berbagai strategi baik dalam bentuk

aktual atau simbolik kemudian diterapkan oleh individu-individu untuk membedakan diri

mereka dari kelompok lain dan menempatkan mereka ke dalam posisi yang

menguntungkan melalui efektivitas penggunaan dan eksploitasi modal. Beberapa strategi

hanya akan bermakna apabila mereka menunjukkan relevansi simbolik. Kekuasaan

simbolik dikatakan memiliki ekspresi yang besar dalam penerimaan umum bahwa aturan

main berjalan dengan adil. Misrecognition, prase yang dipinjam Bourdieu dari ide Marx

tentang ‘false consciousness’, terjadi ketika individu-individu yang berada dalam

ketidakberuntungan bermain tanpa mempertanyakan aturan. Untuk hal ini Bourdieu

menyebutnya sebagai ‘symbolic violence’ (O’Brien dan Ó Fathaigh, 2005).

Bourdieu dipandang bertanggung jawab untuk membawa konsep dan terminologi

modal sosial ke dalam diskursus hingga sekarang ini. Adam and Roncevic (2003) menyitir

salah satu karya Bourdieu Distinction yang diterbitkan di Perancis tahun 1979 sebagai

karya orisinal perspektif modal sosial modern. Definisi modal sosial dari Bourdieu dapat

digambarkan sebagai egosentris seperti yang dipertimbangkan dalam framework modal

Panji Suminar 22

Page 5: Bahan kuliah 3

simbolik dan teori kelas dalam masyarakat (Wall et al. 1998). Bourdieu mendefinisikan

modal sosial sebagai agregasi sumberdaya aktual dan potensial yang terkait dengan

kepemilikan jaringan yang kuat dan terlembagakan dari hubungan yang saling

menguntungkan. Dengan kata lain, bagi anggota kelompok, modal sosial menyediakan

dukungan kepemilikan modal secara kolektif (Bourdieu 1986).

Sementara itu, James S. Coleman memasukkan konsep modal sosial ke dalam

teori sosialnya dalam tulisannya ‘Social Capital in the Creation of Human Capital’

(1988). Menurutnya, konsep modal financial, modal fisik, dan modal manusia yang

terbentuk dalam relasi di antara orang-orang adalah paralel dengan pendapatnya tentang

modal sosial (Coleman, 1988: 118). Coleman yang sangat kuat keterikatannya dengan

pemikiran ekonomi melalui karyanya rational-choice theory, menggambarkan

pemahaman bersama antara sosiologi dan ekonomi dalam pendefinisian tentang modal

sosial. Dia mengintegrasikan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan struktur

sosial untuk menjelaskan tindakan individu dalam konteks tertentu berbarengan dengan

pertimbangan organisasi sosial melalui pengenalan prinsip tindakan rasional dan

maksimalisasi penggunaan sumberdaya ke dalam konteks sosial tertentu (Coleman, 1988:

seperti yang dikutip dalam Khrisna, 2005: 22).

Bagi Coleman, modal sosial didefinisikan berdasarkan fungsinya, yakni

memfasilitasi pertukaran social, sama seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi.

Logika ini mengikuti fenomena bahwa uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi

dalam kondisi ketiadaan pola sistem barter, sementara modal sosial meningkatkan

efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna, 2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat

bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan merupakan refleksi dari sikap teoritis

Coleman yang memberikan penekanan pada aspek positif kontrol sosial sebagai fungsi

modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian

Panji Suminar 23

Page 6: Bahan kuliah 3

sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial

kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial anak dan generasi

muda (Coleman 1990:300).

Menurut Coleman (1990: 302), modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,

melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a)

sebuah aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal

sosial merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang

pada gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur

sosial. Seperti bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif yang

memiliki kemungkinan pencapaian tujun-tujuan tertentu yang mungkin tidak akan tercapai

apabila ketiadaan modal sosial. Selain itu, tidak seperti bentuk modal lainnya, modal

sosial melekat dalam struktur hubungan antara orang per orang. Dengan kata lain, modal

sosial tidak berada dalam individu (Coleman 1990:302).

Coleman mencatat bahwa modal sosial mengambil variasi bentuk seperti

kewajiban, harapan atau ekspektasi, sifat dapat dipercaya dari lingkungan sosial atau

struktur , artinya kewajiban akan dihargai; sebagai sumber informasi dalam relasi sosial

atau saluran informasi yang berarti mengurangi biaya informasi; dan sebagai norma dan

sanksi efektif yang mengurangi biaya monitoring dan penghukuman (seperti yang dikutip

Krishna, 2005: 22; Coleman, 1988: 102-104).

Bagi Coleman (1988; 1990), modal sosial memfasilitasi pertukaran sosial sama

seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti fenomena bahwa

uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan pola sistem

barter, sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna,

2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan

merupakan refleksi dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek

Panji Suminar 24

Page 7: Bahan kuliah 3

positif kontrol sosial sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan

modal sosial sebagai serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan

dalam organisasi sosial kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau

sosial anak dan generasi muda (Coleman 1990:300).

Interpretasi Coleman (1988; 1990; 1992) terhadap konsep modal sosial banyak

dikutip dalam literatur di bidang pendidikan. Bagi Coleman, modal sosial ada dalam

struktur relasi antara individu-individu dan sebagian besar tidak dapat disentuh. Potensi

modal sosial diwujudkan dalam kapasitasnya untuk memfasilitasi aktivitas produktif. Hal

ini dapat dicapai melalui formasi hubungan sosial yang dibangun sejak lama yang

memungkinkan individu-individu mencapai kepentingan mereka yang dicapai secara

independen. Empat bentuk modal sosial dari Coleman yang diidentifikasi: (a) kewajiban

dan ekspektasi/harapan seperti melakukan sesuatu dengan harapan untuk mendapatkan

sesuatu dari orang lain; (b) potensi informasional seperti membagi informasi yang berguna

yang menginformasikan sesuatu untuk aksi-aksi pada masa mendatang; (c) norma-norma

dan sanksi-sanksi yang efektif seperti bangunan nilai-nilai komunitas dan standar perilaku

yang diakui bersama; (d) hubungan kekuasaan seperti keahlian kepemimpinan yang

menginformasikan tindakan-tindakan individu lain. Perlu dicatat bahwa modal sosial

dengan demikian dapat menguntungkan individu lain yang tidak berpartisipasi secara

langsung dalam sebuah kegiatan atau tindakan. Coleman (1990, p 313) mengilustrasikan

contoh terkait dengan pekerjaan asosiasi guru dan orang tua yang menyusun standar atau

ukuran disiplin untuk kebaikan bersama dalam sebuah sekolah komunitas.

Satu sisi, modal sosial dapat diciptakan, namun sisi lain dapat juga dirusak.

Coleman menyitir kurangnya relasi antara orang tua dan tidak adanya ideologi bersama

memiliki potensi negatif terhadap konsekuansi-konsekuansi sosialnya (lihat Coleman:

1990, pp 318-321). Teori modal sosial yang digunakan oleh Coleman memiliki akar

Panji Suminar 25

Page 8: Bahan kuliah 3

struktural fungsional yang sangat kuat. Oleh karenanya, karya dia sering disitir untuk

mendukung kajian tentang masyarakat yang spesifik seperti masyarakat yang ditandari

oleh nilai-nilai tradisional kaku, disiplin yang ketat, dan kontrol serta perintah hierarkis

(Dika dan Singh: 2002, p 34). Selanjutnya, konsep modal sosial Coleman diperlukan

sebagai pra-kondisi untuk mempromosikan (melalui norma-norma keluarga)

pengembangan sumberdaya manusia dan pencapaian pendidikan.

Karya Coleman merepresentasikan pergeseran yang sangat penting dari produk

individualnya Bourdieu (termasuk dalam pendekatan berbasis jaringan) ke produk

kelompok, organisasi, kelembagaan, ataupun masyarakat yang mewakili pergeseran

tentatif dari egocentric menjadi sociocentric (Adam and Roncevic 2003; Cusack 1999;

McClenaghan 2000). Coleman juga menambahkan bahwa seperti bentuk modal-modal

lainnya, modal sosial bersifat produktif, memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan tertentu

yang tidak akan dicapai apabila tidak ada modal tersebut (Coleman 1988). Kebanyakan

teoritisi setuju bahwa modal sosial berkaitan dengan aspek tertentu dari struktur yang

memungkinkan terbentuknya tindakan sosial (Adam and Roncevic 2003).

Tidak seperti Bourdieu, Coleman secara luas melibatkan penelitian empirik dan

formulasi indikator-indikator. Schuller, et al (2000) mendeskripsikan bahwa kunci

kontribusi penting Coleman terhadap diskursus modal sosial terletak pada cara yang

mudah dan sederhana untuk mengilustrasikan konsep modal sosial. Coleman

mengeksplorasi bagaimana karakter produktif modal sosial dapat menyeimbangkan

modal lainnya seperti modal kultural dan modal manusia (Teachman et al. 1997).

Sementara itu, teori modal sosial dari Putnam (1993, 1995), seorang ilmuwan

politik, juga memiliki akar fungsional struktural yang kuat, khususnya difokuskan pada

integrasi sosial, tetapi teori Putnam lebih jauh dipengaruhi oleh pandangan pluralisme dan

komunitarianisme. Tesis sentral dia adalah bahwa keberfungsian ekonomi regional

Panji Suminar 26

Page 9: Bahan kuliah 3

dibarengi dengan integrasi politik yang tinggi merupakan hasil dari kapasitas regional

untuk mengakumulasikan modal sosial (Siisiainen, 2000). Putnam mengajukan tiga

komponen modal sosial: (a) kewajiban moral dan norma-norma; (b) nilai sosial,

khususnya trust; dan (c) jaringan sosial, khususnya keanggotaan dalam asosiasi-sosiasi

sukarela. Bentuk-bentuk modal sosial ini merupakan sentral untuk mempromosikan

masyarakat sipil secara umum. Menurut Putnam, aktivitas produktif modal sosial

merupakan manifestasi dari kapasitasnya untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama

yang saling menguntungkan (Putnam: 1995, p 2). Ancaman kapasitas produktif ini

bersumber dari kecenderungan perubahan sosial yang mengindikasikan bahwa koordinasi

dan kerjasama telah bergeser ke dalam keanggotaan kelompok keagamaan, organisasi

orangtua-guru, dan kelompok-kelompok asosiasi lainnya. Putnam menyimpulkan

kecenderungan tersebut sebagai sebuah gejala dimana modal sosial sedang mengalami

erosi. Dampak erosi tersebut antara lain kehilangan ikatan keeratan dalam keluarga dan

menurunnya hubungan saling percaya dalam masyarakat. Putnam menghubungkan secara

langsung antara tingkat kerekatan sipil dengan kapasitas masyarakat untuk menangani

masalah-masalah sosial dan ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, rendahnya

partisipasi bersekolah, dan kriminalitas. Dengan demikian, seperti Coleman, Putnam

mengklaim bahwa jaringan hubungan timbal balik yang terorganisasi dan solidaritas sosial

merupakan pra-kondisi untuk modernisasi sosial dan ekonomi.

Robert Putnam mempopulerkan konsep modal sosial melalui studi tentang

komitmen sipil di Italia (Boggs 2001; Schuller et al. 2000). Seperti halnya pengaruh

Coleman terhadap diskursus teoritik tentang modal sosial, Putnam menyitir Foundations

of Sosial Theory dari Coleman sebagai sumber utamanya (Routledge and Amsberg 2003).

Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti hubungan

saling percaya (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat

Panji Suminar 27

Page 10: Bahan kuliah 3

meningkatkan efisiensi masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang terkoordinasi (Putnam

et al. 1993).

Dalam karya Making Democracy Work (Putnam et al. 1993), para penulis

menggali perbedaan antara pemerintahan regional di utara dan selatan Italia terkait dengan

penjelasan variabel tentang masyarakat sipil. Karya Putnam berikutnya difokuskan pada

penurunan komitmen sipil di Amerika. Dalam Bowling Alone (1995), Putnam

mengidentifikasi penurunan umum tingkatan spiritual modal sosial yang diindikasikan

melalui keikutsertaan dalam organisasi organisasi-organisasi sukarela (Schuller et al.

2000). Karya akademik tersebut mengambil contoh dari olah raga bowling sebagai sebuah

aktivitas yang biasanya menjadi organisasi yang asosiatif tinggi, dipresentasikan tidak

hanya untuk saluran rekreasi tetapi juga sumber interaksi sosial, sebagai salah satu

komponen modal sosial (Putnam 1999; 2000).

Seperti halnya Coleman, Putnam juga terlibat dalam penelitian empiric dan

formulasi indicator-indikator serta bertanggung jawab untuk pengembangan instrument

aplikatif yang sering disebut 'Putnam instrument' (Adam and Roncevic 2003; Paldam and

Svendsen 2000). Instrumen tersebut dikenal sebagai alat yang terbaik dan banyak

digunakan meliputi empat indikator: hubungan saling percaya dalam masyarakat dan

kelembagaan, norma-norma pertukaran timbal balik, jaringan-jaringan, dan keanggotaan

dalam asosiasi sukarela.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran ketiga teoritisi tersebut di atas

memberikan inspirasi kepada teoritisi lain untuk lebih mengembangkan konsep dan teori

modal sosial serta penerapannya dalam berbagai dimensi kehidupan. Melalui

pengembangan karya Bourdieu dan Coleman, Alejandro Portes (1998), misalnya,

mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan aktor untuk mengamankan keuntungan-

keuntungan melalui keikutsertaan dalam jaringan-jaringan dan struktur sosial lainnya.

Panji Suminar 28

Page 11: Bahan kuliah 3

Portes dan Landolt (1996) mengidentifikasi sisi negatif modal sosial dan mengilustrasikan

bahwa teoritisi sebelumnya telah memfokuskan pada sisi positif, yakni efek keuntungan

dari interaksi sosial tanpa mempertimbangkan gambaran-gambaran yang kurang menarik

dan tidak menguntungkan.

Demikian juga, pendekatan penelitian Ronald Burt (1998) didasarkan pada

pemikiran Bourdieu dan Coleman dengan fokus pada variabel-variabel yang

mengindikasikan posisi individu dalam jaringan sosial. Burt memfokuskan pada

aksesabilitas sumberdaya melalui pengukuran modal sosial dalam kaitannya dengan

hambatan-hambatan jaringan. Hambatan yang lebih besar terletak pada peluang struktural

yang merupakan sumberdaya dari modal sosial. Pendekatan penelitian tersebut dikenal

sebagai pendekatan jaringan seperti terlihat dalam variable jaringan. Nan Lin (2001a;

2001b) menggambarkan tiga program penelitian yang berbeda, yakni memfokuskan pada

dokumentasi tentang distribusi sumberdaya dalam struktur sosial, dengan tujuan untuk

menggambarkan distribusi relatif dari sumberdaya sebagai aset kolektif dalam struktur.

Michael Foley dan Bob Edwards (1999) menghasilkan beberapa bukti yang

ditemukan dari karya teoritisi lain yang melakukan studi empirik mengenai modal sosial.

Penemuan mereka meliputi konteks konseptualisasi modal sosial, seperti akses dan

sumberdaya, dan bahwa karya yang memfokuskan pada generalisasi sosial hubungan

saling percaya (trust) menurut mereka tidaklah relevan. Francis Fukuyama melalui

penggunaan pendekatan yang berasal dari Putnam, memfokuskan pada variabel tingkah

laku dan sikap (contohnya trust, norma, dan nilai) sebagai ukuran dalam berbagai

penelitiannya (Adam and Roncevic 2003). Dalam prakteknya, Fukuyama menyamakan

modal sosial dengan trust. Dia sangat mengagungkan bahwa trust menjadi kunci utama

modal sosial yang telah mempengaruhi kehidupan ekonomi. Trust yang dibangun menjadi

Panji Suminar 29

Page 12: Bahan kuliah 3

faktor fundamental modal sosial banyak dikritik sebagai kelemahan Fukuyama yang

menggunakan indikator tunggal sebagai ukuran modal sosial.

Stephen Knack dan Paul Keefer (1997) mengadopsi dua ukuran modal sosial; rata-

rata nilai trust yang diekspresikan secara umum; dan mengkomposisikan indeks norma

kerjasama sipil. Pamela Paxton (1999: 93) mengkonseptualisasikan modal sosial agak

berbeda dari teoritisi sebelumnya dengan mengajukan dua komponen modal sosial yang

dapat diukur: asosiasi obyektif antara individu, dan tipe subyektif dari ikatan. Komponen

pertama diukur dengan tiga variabel; pertukaran timbal balik, hubungan saling percaya,

dan pelibatan emosi-emosi positif, dan komponen kedua diukur dengan hubungan saling

percaya (trust) dalam individu dan kelembagaan. Konsep modal sosial Paxton ini banyak

mengacu pada pemikiran Putnam dengan cara memadukan modal sosial struktural dan

modal sosial kognitif.

Pada umumnya, teoritisi kontemporer mengaitkan modal sosial dengan jaringan-

jaringan sosial, mengikat orang yang sama dan menjembatani orang-orang yang beragam

melalui norma-norma timbal balik (Dekker dan Uslaner, 2001; Uslaner, 2001). Adler dan

Kwon (2002) mengidentifikasi bahwa instuisi utama yang memandu penelitian modal

sosial adalah kemauan baik (goodwill) sebagai sumberdaya yang sangat berharga. Oleh

karenanya mereka mendefinisikan bahwa modal sosial sebagai kemauan baik yang

tersedia bagi individu atau kelompok yang bersumber dari struktur dan substansi

hubungan sosial aktor. Hubungan tersebut mempengaruhi aliran informasi, pengaruh, dan

solidaritas yang tersedia bagi aktor (Adler dan Kwon 2002: 23).

Pada akhir 1990-an, kontribusi teoritisi terhadap pengembangan teori modal sosial

tumbuh pesat. Pada umumnya teori-teori yang dikembangkan merupakan turunan dari

pemikiran-pemikiran teoritisi kontempotrer modal sosial tersebut di atas. Namun

demikian, tidak ada satupun kesepakatan umum terkait dengan definisi modal sosial,

Panji Suminar 30

Page 13: Bahan kuliah 3

khususnya definisi yang diadopsi dari studi. Semuanya tergantung kepada disiplin dan

tingkat investigasi (Robinson et al, 2002). Oleh karenanya sangat tidak mengejutkan

apabila terdapat perbedaan framework modal sosial yang digunakan sehingga banyak

menimbulkan ketidaksepakatan bahkan kontradiksi dalam pendefinisian modal sosial

(Adler dan Kwon, 2002). Karena kesulitan-kesulitan tersebut, banyak teoritisi cenderung

hanya mendiskusikan konsep, asal mula intelektualitasnya, keberagaman penerapannya

dan beberapa isu yang tidak terpecahkan sebelum mengadopsi konsep yang ada dan

menambahkannya ke dalam definisinya sendiri (Adam dan Roncevic, 2003). Penyebab

utama dari variasi definisi tersebut disebabkan oleh terfokusnya diskusi pada bentuk, dan

sumber atau konsekuensi modal sosial. Menurut Eastis (1998) modal sosial bersifat multi

dimensi dan oleh karenanya harus dikonseptualisasi sebagai sesuatu yang memiliki nilai

penjelas.

Definisi modal sosial dari beragam teoritisi cenderung berbeda berdasarkan sudut

pandang masing-masing. Baker (1990: 619), misalnya, mendefinsikan modal sosial

sebagai sebuah sumberdaya yang diperoleh aktor dari struktur sosial yang spesifik

kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan mereka. Menurutnya, modal sosial

diciptakan melalui perubahan dalam hubungan antar aktor. Bourdieu (1986: 248)

menyatakan bahwa modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya aktual dan potensial

terkait dengan kepemilikan jaringan permanen dari hubungan yang terlembagakan atau

berlangsung sejak lama. Portes (1986: 6) memandang modal sosial sebagai kemampuan

aktor untuk mengamankan keuntungan-keuntungan melalui keanggotaan dalam jaringan

sosial dan struktur sosial lainnya. Coleman (1990: 302) mendefinisikan modal sosial

berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah unit yang tunggal, melainkan

berbagai unit yang bervariasi dan umumnya memiliki dua karakteristik: unit tersebut

terdiri dari beberapa aspek struktur sosial; dan berfungsi untuk memfasilitasi tindakan

Panji Suminar 31

Page 14: Bahan kuliah 3

individu yang berada dalam struktur. Fukuyama (1995: 10) menyebut modal sosial

sebagai kemampuan orang untuk bekerja bersama bagi pencapaian tujuan bersama dalam

kelompok dan organisasi. Selanjutnya Fukuyama menjelaskan bahwa modal sosial dapat

didefinisikan secara sederhana sebagai eksistensi serangkaian norma-norma informal atau

norma-norma bersama di antara anggota sebuah kelompok yang memungkinkan terjadinya

kerjasama antar mereka. Putnam (1995: 67) menyebut modal sosial sebagai gambaran

organisasi sosial seperti jaringan-jaringan, norma-norma, dan hubungan saling percaya

yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan. Sementara

Woolcock (1998: 153) menyebut modal sosial terdiri dari informasi, hubungan saling

percaya, dan norma-norma hubungan timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial

seseorang.

Teoritisi modal sosial mempelajari elemen-elemen modal sosial- ikatan sosial,

pertukaran timbal balik, kewajiban moral dan tanggung jawab kolektif- yang memotivasi

kontribusi individu bagi kebaikan bersama. Kewajiban, ekspektasi (Coleman, 1990), dan

kebiasaan untuk saling percaya (Fukuyama, 1995) akan menjadi penghalang bagi tingkah

laku yang mementingkan diri sendiri dan menginspirasi spirit kerjasama.

Harus diakui bahwa teori modal sosial banyak dikritik memiliki kelemahan dalam

definisi dan konseptualisasi. Beragamnya kajian aspek tersebut mengakibatkan relatif

sulitnya dicapai kesepakatan tentang definisi maupun konsep modal sosial itu sendiri.

Namun demikian, dari hasil lacakan beberapa literatur, terdapat dimensi utama modal

sosial yang selama ini umumnya digunakan untuk kajian pada tataran empirik. Dimensi

modal sosial umumnya dilihat sebagai trust atau hubungan saling percaya (Coleman 1988;

Putnam 1993); aturan-aturan dan norma-norma yang menata tindakan sosial (Coleman

1988; Fukuyama 2001; Portes and Sensenbrenner 1993); Tipe-tipe interaksi sosial (Collier

1998); sumberdaya jaringan (Kilpatrick 2000; Snijders 1999); aturan kelembagaan yang

Panji Suminar 32

Page 15: Bahan kuliah 3

sedang digunakan (Ostrom, 1992); hubungan saling percaya dan norma jaringan

komitmen masyarakat sipil (Putnam, 1993); hubungan saling percaya, nilai bersama,

toleransi, norma, dan kolaborasi (Adam and Someshwar (1996); hubungan saling percaya,

resiprositas atau hubungan timbal balik, aturan bersama, norma dan sanksi, relasi, dan

kelompok (Pretty and Ward 1999); norma, jaringan, dan organisasi (Grootaert, 1998).

Dimensi modal sosial dari Krishna dan Uphoff (1999) relatif jauh lebih

komprehensif. Keduanya menyatakan bahwa dimensi pokok modal sosial terdiri dari

bentuk-bentuk struktural (structural forms): aturan-aturan, jaringan sosial, peranan,

prosedur, dan standar-standar. Bentuk-bentuk Kognitif (cognitive forms) yang

dikategorikan menjadi dua bagian, yakni primary forms: hubungan saling percaya dan

timbal balik, solidaritas, kerjasama, kemurahan hati; secondary forms: kejujuran,

egalitarianisme, kewajaran, partisipasi, pemerintahan yang demokratik, dan mengingat

masa depan. Teoritisi lain telah mengidentifikasi perbedaan kelompok dimensi modal

sosial. Misalnya, Liu dan Besser (2003) yang mengelompokkan dimensi modal sosial ke

dalam ikatan sosial informal, ikatan sosial formal, hubungan saling percaya, dan norma-

norma tindakan kolektif.

Sementara itu, Pretty (2003) mengemukakan tiga sifat dimensi modal sosial, yakni

“bonding, bridging, and linking social capital.” Pretty menggambarkan bonding social

capital sebagai kohesi sosial dalam kelompok atau masyarakat yang menghasilkan

hubungan antara individu dari etnis yang sama, hubungan status sosial berdasarkan pada

ikatan lokal, saling percaya dan nilai moral bersama yang diperkuat oleh tindakan kolektif

(collective action). Bridging social capital digambarkannya sebagai jaringan dan

hubungan structural lintas kelompok, melibatkan kordinasi atau kolaborasi dengan

kelompok lain, asosiasi eksternal, mekanisme-mekanisme dukungan sosial dan informasi

lintas komunitas dan kelompok. Sementara linking social capital menunjuk pada

Panji Suminar 33

Page 16: Bahan kuliah 3

kemampuan kelompok untuk melibatkan agen-agen eksternal sebagai sumberdaya yang

berguna atau yang mampu mempengaruhi kebijakan. Dimensi ini dilakukan dalam lintas

status, kelompok miskin dan mereka yang berada dalam posisi menentukan atau

berpengaruh. Dalam aplikasinya, perbedaan dimensi modal sosial menentukan apakah

komunitas dapat bertindak sebagai sebuah unit yang kohesif (bonding); apakah individu

bertindak sesuai dengan norma dan hukum (structural); apakah mereka berhubungan

dengan organisasi kemasyarakat (bridging) ataukah mereka dapat mengakses dan

mempengaruhi kelembagaan dengan kekuatan dan sumberdaya yang lebih (linking) untuk

mengelola sumberdaya yang ada. Secara umum, pemikiran Pretty ini merupakan

pengembangan dari pembagian modal sosial dari Putnam.

Teoritisi lain telah mengidentifikasi dimensi modal sosial ke dalam

pengelompokan yang berbeda. Misalnya, Liu dan Besser (2003) mengidentifikasi empat

dimensi modal sosial: ikatan sosial informal, ikatan sosial formal, hubungan saling

percaya, dan norma-norma tindakan kolektif.

Ketidaksesuaian teknik pengukuran yang diterapkan telah menyebabkan masalah

dalam memahami modal sosial pada tingkatan konseptual, dan hal ini menjadikan

perdebatan apakah konsep yang ada relevan atau sesuai dengan kondisi empirik yang ada.

Collier (1998) merumuskan langkah awal yang baik untuk konseptualisasi. Dia

mengidentifikasi bahwa model konseptual modal sosial sebaiknya mengidentifikasi

konsep di dalam kompleksitas dunia sosial seperti yang didefiniskikan oleh hubungan

dinamis antara komponen modal sosial dibandingkan apa yang terjadi saat ini yang

muncul cenderung kumpulan variabel kondisional yang tidak seragam atau kontradiktif.

Edwards dan Foley (1998) menambahkan pandangan bahwa kompleksitas

pengidentifikasian norma-norma dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu akan menjadi

modal sosial hanya apabila mereka memfasilitasi tindakan individu lain. Dengan kata lain,

Panji Suminar 34

Page 17: Bahan kuliah 3

nilai dan norma yang dimiliki individu tidak akan menjadi modal social apabila individu

yang bersangkutan tidak mampu memfasilitasi tindakan yang dilakukan individu lainnya.

Selain itu, faktor lain yang penting adalah perbedaan antara dua mekanisme dalam mana

aktor mendapaatkan modal social; transaksi timbal balik dan hubungan saling percaya

yang dapat diperkuat, dipertahankan oleh perbedaan norma, dan karakteristik ikatan sosial

di antara aktor yang terlibat (Frank and Yasumoto 1998).

Pada dasarnya modal sosial bersifat milik bersama (public good) dan bukan milik

perseorangan. Komponen modal sosial seperti saling percaya, norma-norma, dan jaringan-

jaringan diyakini Putnam (1999) cenderung menguat sendiri dan bersifat kumulatif. Modal

sosial, dengan demikian, cenderung akan terus meningkat apabila sering digunakan.

Modal sosial merupakan sumberdaya moral, yakni sumberdaya yang persediaannya

bertambah melalui pemanfaatan, dan tidak seperti modal fisik yang menjadi berkurang

apabila digunakan (Putnam, 1999). Artinya, modal sosial akan membangun kekuatannya

sendiri dan tidak sangat tergantung pada investasi dari luar. Oleh karena itu, komponen

modal sosial pada umumnya berupa potensi dan prakarsa komunitas lokal, dan oleh

karenanya memiliki daya pengikat yang sangat kuat.

Woolcock dan Narayan (2000) telah mengidentifikasi empat pendekatan dalam

merumuskan konseptualisasi modal sosial, yakni pendekatan-pendekatan komunitarian

(communitarian approach), jaringan (network approach), institusional (institutional

approach), dan sinergi (synergy approach). Menurut mereka, dari keempat pendekatan

tersebut, pendekatan sinergi dengan menekankan pada tingkat dan dimensi modal sosial

serta hasil positif dan negatif yang diperoleh melalui modal sosial telah dibuktikan sebagai

cara pandang yang komprehensif dan koheren terkait dengan preskripsi kebijakan

pembangunan.

Panji Suminar 35

Page 18: Bahan kuliah 3

Woolcock and Narayan (2000, p. 229) mengidentifikasi bahwa communitarian

perspective berhubungan erat dengan organisasi lokal seperti klub, asosiasi, dan kelompok

sipil. Perspektif ini sebenarnya sudah dirintis sejak awal oleh Putnam (1993, 1995) dan

Fukuyama (1995, 1997). Perspektif komunitarian, yang melihat jumlah dan kepadatan

kelompok-kelompok tersebut pada sebuah komunitas, memandang bahwa modal sosial

secara inheren bersifat sangat baik, dan kehadirannya selalu memiliki dampak positif pada

kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini berasumsi bahwa komunitas bersifat homogen

secara keseluruhan yang secara otomatis menguntungkan seluruh anggota dan tidak

membuat perbedaan antara modal sosial produktif dan negatif.

Sementara itu, Woolcock dan Narayan (2000) mengidentifikasi bahwa network

approach memperhitungkan keuntungan dan kerugian modal sosial. Pendekatan ini

menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal dan hubungan individu-individu

secara keseluruhan diantara berbagai unit organisasi seperti kelompok dan perusahaan.

Sandefur dan Laumann (1998, p. 484) telah membuktikan deskripsi pendekatan jaringan.

Ditemukan bahwa potensi modal sosial individu berisi koleksi dan karakteristik hubungan

dalam mana seseorang menjadi bagian dan memiliki akses terhadap asosiasinya pada

ruang yang lebih luas. Pendekatan ini memfokuskan pada pentingnya istilah bonding and

bridging social capital dalam beberapa literatur saat ini. Istilah ini terkait dengan teori-

teori structural holes dan network closure of social capital (Adler dan Kwon 2002). Teori

closure of social capital menyatakan bahwa sebuah jaringan yang memiliki inter koneksi

yang kuat antar elemen dapat menciptakan modal sosial. Sebaliknya, teori structural hole

berargumen bahwa modal sosial diciptakan oleh jaringan dalam mana individu-individu

dapat menjembatani koneksi antara segmen-segmen yang tidak memiliki koneksi satu

dengan lainnya (Burt 2001). Bagi Ronald Burt, the structural hole theory memberikan arti

yang konkrit terhadap metafora modal sosial yang dia yakini bahwa modal sosial

Panji Suminar 36

Page 19: Bahan kuliah 3

berfungsi sebagai penyalur lintas lubang struktur dibandingkan dengan inter koneksi

dalam sebuah jaringan.

Pendekatan sinergi (Synergy Approach) berusaha untuk mengintegrasikan

kekuatan kinerja yang muncul dari pendekatan jaringan dan kelembagaan (Woolcock dan

Narayan 2000). Mereka mengidentifikasi bahwa tiga kunci sentral tugas teoritisi sinergi,

peneliti dan pengambil kebijakan adalah (1) mengidentifikasi karakteristik dan tingkatan

hubungan sosial komunitas dan institusi formal, serta interaksi antar mereka; (2)

mengembangkan strategi institusional berbasiskan hubungan-hubungan sosial tersebut;

dan (3) menetukan bagaimana manifestasi positif kerjasama modal sosial, hubungan saling

percaya, dan efisiensi institusional dapat menghilangkan sektarian dan isolasi.

2.1. Konteks Modal Sosial dan Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Alam

Terkait dengan peranan modal sosial dalam pembangunan secara umum, beberapa

teoritisi telah berhasil mengidentifikasi peranan yang dimainkan modal sosial dalam

menunjang keberhasilan pembangunan. Woolcock dan Narayan 2000, misalnya,

menemukan bahwa modal sosial menawarkan potensi untuk lebih partisipatoris,

keberlanjutan dan pendekatan perkuatan dalam teori dan praktek. Sementara Krishna dan

Uphoff (2002) menemukan bahwa indeks modal sosial bersifat positif dan konsisten

berhubungan erat dengan hasil-hasil pembangunan yang lebih baik. Modal sosial dan

modal manusia yang menyatu dalam kelompok-kelompok partisipatoris pada masyarakat

desa telah menjadi pusat penyelesaian masalah pembangunan pada tingkat lokal yang adil

dan berlanjut (Pretty dan Frank 2000; Pretty dan Ward 2001). Grootaert dan Van Bastelaer

(2002: 344) menyatakan bahwa modal sosial telah menimbulkan dampak yang luar biasa

terhadap berbagai dimensi kehidupan dan pembangunan; transformasi prospek

pembangunan pertanian; pengaruh ekspansi usaha-usaha swasta; meningkatkan

manajemen sumberdaya bersama; membantu peningkatan pendidikan; mengkontribusi

Panji Suminar 37

Page 20: Bahan kuliah 3

recovery dari konflik; dan membantu kompensasi kekurangan negara. Modal sosial sangat

membantu untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan ekonomi dan masyarakat

yang berkelanjutan (Dolfsma dan Dannreuther 2003). Modal sosial merepresentasikan

keterkaitan antara pemikiran kebijakan dengan aksi pada tingkatan masyarakat (Pretty dan

Ward 2001). Mobilisasi modal sosial membutuhkan tingkatan yang tinggi terkait dengan

sensitivitas pada karakteristik spesifik masyarakat yang dilibatkan agar menimbulkan

dampak positif (McHugh dan Prasetyo 2002). Modal sosial mengurangi biaya yang

berhubungan dengan bekerja bersama yang menghasilkan tindakan kolektif (Ostrom

1999). Dia menemukan peranan modal sosial yang signifikan dalam kegiatan proyek-

proyek pembangunan.

Beberapa kajian, meskipun dalam jumlah terbatas, yang mencoba untuk

mengelaborasi perspektif modal sosial dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya

hutan. Diyakini bahwa perkayaan modal sosial pada gilirannya mampu meningkatkan

konservasi lingkungan melalui pengurangan biaya aksi kolektif, peningkatan pengetahuan

dan informasi, peningkatan kerjasama, pengurangan kerusakan lingkungan, lebih banyak

investasi sumberdaya lahan dan air bersama, meningkatkan monitoring dan perkuatan

bersama (Anderson et al. 2002; Daniere et al. 2002; Koka dan Prescott 2002). Sementara

itu, Pretty dan Ward (2001) mengidentifikasi bahwa dimana modal sosial telah

dikembangkan dengan baik, kelompok lokal dengan aturan dan sanksi lokal dapat lebih

menjamin keberadaan sumberdaya dibandingkan dengan individu-individu yang bekerja

sendiri atau berada dalam kompetisi. Modal sosial mengindikasikan potensi masyarakat

untuk melakukan aksi kerjasama untuk memecahkan persoalan-persoalan pada tingkat

lokal (Fukuyama 2001). Karena modal sosial berbiaya lebih murah untuk melakukan

bekerja bersama, maka modal sosial mampu memfasilitasi kerjasama dengan aturan-aturan

yang ada (Isham and Kahkonen 2002). Norma-norma hubungan timbal balik, misalnya,

Panji Suminar 38

Page 21: Bahan kuliah 3

mampu membantu dalam pemecahan masalah aksi kolektif. Adler dan Kwon (2002)

mengidentifikasi bahwa modal sosial mentransformasikan individu-individu dari agen

yang egosentris dan mementingkan diri sendiri dengan menampikkan tanggung jawab

sosial menjadi anggota masyarakat yang diwarnai oleh kepentingan bersama, satu identitas

bersama, dan komitmen untuk kebaikan bersama. Brewer (2003) percaya bahwa jaringan

yang lebih solid meningkatkan kesempatan bahwa orang akan terikat dengan aksi kolektif.

Namun demikian, perkayaan khasanah kajian modal sosial yang dikaitkan dengan

masalah-masalah kekinian yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia relatif masih belum

menunjukkan keragaman yang signifikan. Salah satu fenomena yang saat ini penuh

dengan kompleksitas permasalahan adalah pengelolaan sumberdaya hutan, baik dari

dimensi sosial, ekonomi, politik dan bahkan budaya. Kajian tentang modal sosial dalam

kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dapat ditemukan dalam

jumlah yang terbatas. Lubis (2002), misalnya, melakukan upaya elaborasi konsep modal

sosial ke dalam kajian pengelolaan sumberdaya milik bersama (common property) yang

mengambil setting pada pengelolaan lubuk larangan di Sumatera Utara. Ditemukan bahwa

modal sosial dapat dijadikan media transmisi yang cukup efektif dalam pengelolaan

sumberdaya tersebut. Selanjutnya, Suminar et al (2005) mengkaji penerapan konsep

modal sosial ke dalam pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat meskipun

masih bersifat parsial. Tesis yang dijadikan landasan pemikiran bahwa perilaku manusia

dijembatani oleh pola kebudayaannya. Tesis tersebut didukung oleh Oakley (1992) bahwa

pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (community-based natural resource

management) ditandai oleh adanya partisipasi yang tinggi dari anggota masyarakat yang

mengacu pada institusi atau aturan-aturan yang mereka kembangkan dan disepakati

bersama. Sejalan dengan hal tersebut, Uphoff (1998) meyakini bahwa suatu partisipasi

dikatakan tinggi apabila warga komunitas memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat

Panji Suminar 39

Page 22: Bahan kuliah 3

dalam tahap-tahap pengelolaan sumberdaya. Dengan kata lain, elemen-elemen pokok

modal sosial menjadi dasar bagi pengelolaan sumberdaya alam.

Pengelolaan sumberdaya hutan sedang mengalami perubahan paradigma yakni

didorongnya partisipasi masyarakat secara independen melalui adopsi kebijakan

pengelolaan yang bersifat inklusif sehingga dihasilkan peranan tindakan kolektif

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang ada. Meskipun demikian, tindakan

kolektif tersebut banyak tergantung pada berbagai faktor, salah satunya modal sosial

(Baland dan Platteau 1996; Pretty 2003; Pretty dan Ward 2001). Dipahami bahwa

kecenderungan aksi kolektif yang saling menguntungkan berbeda diberbagai aspek dan

komunitas (Krishna 2002). Persoalannya, faktor apa yang membedakan kecenderungan

masyarakat untuk bekerjasama? Dengan kata lain, faktor apa yang membantu untuk

membangun modal pada masyarakat yang berbeda agar memungkinkan mereka

melestarikan sumberdaya, dan faktor apa yang membantu mereka untuk melestarikan dan

mempertahankan modal tersebut? Pertanyaan tersebut sangat relevan untuk mengetahui

perbedaan karakteristik pengelolaan sumberdaya hutan seiring dengan bertambahnya

tanggung jawab pelestarian yang diberikan kepada masyarakat lokal.

Perlindungan dan konservasi hutan telah menjadi isu sentral terkait dengan

fenomena konservasi sumberdaya alam (Gibson et al 1999; Pretty 2003). Di Negara-

negara berkembang, misalnya, konservasi sumberdaya hutan akan menyentuh persoalan

hajat hidup orang banyak yang selama ini sangat tergantung kepada keberadaan hutan.

Oleh karenanya, ketika hutan tidak terlindungi, maka berdampak pada kualitas hidup dan

pekerjaan, pendapatan, dan substansi sistem tradisional di desa. Selain itu, keberadaan

sumberdaya hutan memainkan peranan kehidupan bagi masyarakat yang tergantung pada

hutan. Masyarakat pinggiran hutan, misalnya, memiliki peranan yang penting dalam

konservasi hutan sebab masyarakat lokal hidup dengan hutan merupakan pengguna utama

Panji Suminar 40

Page 23: Bahan kuliah 3

hasil hutan, dan menciptakan aturan yang secara signifikan mempengaruhi kondisi hutan

(Gibson et al 2000). Dengan kata lain, interaksi masyarakat dengan alam akan

mengembangkan pemahaman bersama dan kemampuan untuk bekerjasama yang secara

luas menghindarkan diri dari kerusakan sumberdaya bersama, seperti hutan. Kemampuan

ini menurut (Ostrom, 1990) disebut sebagai modal sosial masyarakat lokal.

Salah satu parameter untuk melihat apakah modal sosial dalam komunitas lokal

bekerja dengan baik ataukah tidak dapat dilihat dalam kaitannya dengan aksi kolektif

dalam pengelolaan sumberdaya. Pada dasarnya, kajian tentang aksi kolektif dalam

pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, telah banyak menggunakan kerangka

konseptual modal sosial dari Putnam dengan tiga alasan utama. Pertama, Putnam

menghubungkan modal sosial dengan tingkatan meso (kolektif) seperti asosiasi-asosiasi,

komunitas, dan wilayah. Kedua, Putnam menampilkan modal sosial sebagai solusi untuk

dilemma aksi kolektif. Ketiga, Putnam menerapkan kerangka konseptual modal sosial

dalam studi tentang kinerja kelembagaan seperti pemerintahan daerah. Secara lebih luas,

pada dimensi analisis, penerapan kerangka konseptual modal sosial dalam kajian

pengelolaan isu-isu kolektif sangat berguna sebab hal tersebut menyangkut di dalamnya

jaringan baik formal maupun informal, yangmeliputi kelompok-kelompok pengguna

sebagai modal sosial structural yang memfasilitasi aksi kolektif (Uphoff, 2000; Pretty,

2002); dan variasi norma-norma informal dan formal dan kelembagaan seperti norma

hubungan timbal balik, dan hubungan saling percaya) sebagai modal sosial kognitif yang

memfasilitasi kelompok untuk bekerjasama dan melakukan aksi kolektif (Uphoff, 2000).

Persoalan tindakan kolektif memang menjadi perhatian bagi teoritisi modal sosial.

Hal ini disebabkan karena tindakan kolektif inilah yang menjadi parameter apakah potensi

modal sosial dalam komunitas tertentu dapat berjalan ataukah tidak. Terdapat beberapa

persyaratan agar tindakan kolektif berjalan secara efektif. (1) Komponen modal sosial

Panji Suminar 41

Page 24: Bahan kuliah 3

sebaiknya diberikan peralatan dan perkuatan secara internal (Ostrom 2000; Wade, 1994;

Baland dan Platteau, 1996; Tang 1992); (2) sebaiknya dikaitkan dengan sanksi-sanksi

(Coleman 1987); (3) sebaiknya ada jaminan distribusi keuntungan atau manfaat yang adil

sehingga dapat membantu untuk membangun hubungan saling percaya (Bowles 1998); (4)

sebaiknya tindakan kolektif tidak terlalu banyak tetapi diperjelas ekspektasi dari tindakan

yang ingin dicapai (Ostrom, 1992b); dan (5) sebaiknya tidak melakukan perubahan secara

drastis melainkan harus mengikuti perubahan berdasarkan dimensi waktu (Ostrom,

1992a). Hal yang sama pentingnya adalah bahwa aturan-aturan diformulasikan dalam

pengambilan keputusan tindakan kolektif yang akan banyak dipengaruhi oleh aturan-

aturan yang bersangkutan. Oleh karenanya partisipasi di semua tahapan kegiatan menjadi

sangat penting. Kesalahan interpretasi dari aturan-aturan dan ketidaksesuaian kepentingan

dapat mengarah pada konflik pengelolaan sumberdaya hutan. Oleh karenanya mekanisme

penyelesaian konflik menjadi sangat esensial untuk menjamin kontinuitas tindakan

kolektif dan kerjasama. Namun demikian, mekanisme tersebut nampaknya akan lebih

efektif apabila didasarkan pada bentuk-bentuk kearifan lokal.

Pendukung keberlangsungan modal sosial struktural adalah modal sosial kognitif

yang meliputi nilai-nilai seperti pertukaran timbal balik, hubungan saling percaya, dan

pengertian bersama. Erosi nilai-nilai tersebut akan mengarah pada kerusakan sumberdaya

sebagai public good (Oakerson, 1992). Hubungan timbal balik, misalnya, dapat rusak

karena konflik, aturan yang tidak adil, regulasi dan sanksi, termasuk didalamnya

ketidakseimbangan manfaat atau keuntungan dari penggunaan modal sosial secara

keseluruhan berdampak pada erosi modal sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan

keroposnya kerjasama (Putnam, 1993). Komunitas yang memiliki tingkatan kepercayaan

yang tinggi tidak terlalu tergantung kepada lembaga eksternal ataupun lembaga formal

untuk memperkuat konsensus (Knack dan Keefer, 1997). Selain itu, nilai-nilai seperi

Panji Suminar 42

Page 25: Bahan kuliah 3

pengertian bersama atau homogenitas tujuan menjadi penting dan dapat dipertanggung

jawabkan untuk kerjasama dalam masyarakat yang heterogen secara ekonomi dan sosial

(Poteete dan Ostrom, 2004).

Seperti halnya modal konvesional, modal sosial juga membutuhkan investasi.

Modal sosial akan mengalami erosi atau kerusakan apabila tidak digunakan ataupun salah

penggunaan (Woolcock 1998; Ostrom dan Ahn 2001; Throsby 2001). Tidak mungkin

membangun modal sosial dalam jangka waktu yang singkat seperti hubungan saling

percaya, hubungan timbal balik, dan kelembagaan membutuhkan waktu untuk dibangun

dan dikembangkan secara efektif. Banyak sumberdaya yang dapat memperkuat untuk

membangun modal sosial, misalnya, kepemimpinan efektif; populasi yang homogen;

tradisi partisipasi atau eksistensi kelembagaan tradisional; pengetahuan tradisional; dan

praktek pengelolaan yang berkelanjutan; pandangan terhadap kelangkaan sumberdaya;

kelompok lokal; komitmen pejabat pemerintah (Baland dan Platteau 1996; Krishna 2001).

Sementara itu, premis Hardin tentang tragedy of the common menginspirasi semua

pihak bahwa diperlukan adanya perlindungan terhadap kerusakan sumberdaya alam.

Asumsinya adalah bahwa manusia tidak bisa menghindarkan diri dari kecenderungan

untuk merusak sumberdaya alam yang ada, semakin banyak manusia maka akan semakin

besar kemungkinan kerusakan sumberdaya tersebut.

Hutan, dengan segala hasil ikutannya, merupakan sumberdaya yang sarat

kepentingan berbagai pihak. Oleh karenanya, pengelolaan sumberdaya tersebut selalu

dibarengi dengan konflik, baik bersifat vertikal maupun horizontal. Dalam tataran tertentu,

justru yang lebih banyak ”dikorbankan” adalah masyarakat lokal yang tinggal dan

bermukim di sekitar kawasan hutan. Pertanyaan yang sangat penting adalah dapatkah

masyarakat lokal memainkan peranan positif dalam konservasi dan pengelolaan

sumberdaya hutan? Beberapa kajian telah menunjukkan bahwa masyarakat lokal memiliki

Panji Suminar 43

Page 26: Bahan kuliah 3

peranan yang sangat menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan melalui kelompok-

kelompok lokal yang dibentuk secara swadaya. Bahkan beberapa peneliti secara tegas

menyebutkan bahwa kelompok lokal menjadi pilihan alternatif yang paling efektif untuk

pengelolaan sumberdaya alam dibandingkan dengan regulasi formal yang kaku dan ketat

(Pretty, 2003). Temuan ini menjadi ”jalan lain” untuk merumuskan kerangka berfikir

dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama dengan mengintegrasikan komponen modal

sosial (Ostrom, et al, 2002). Kelompok lokal yang memiliki pengetahuan tentang

sumberdaya lokal yang baik; kesesuaian kelembagaan lokal yang ada; dan proses-proses

pengelolaan yang mendorong pencapaian tujuan pengelolaan yang lebih hati-hati, mampu

bekerja bersama secara kolektif untuk menggunakan sumberdaya alam secara

berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama (Uphoff, 2002).

Terminologi modal sosial menangkap ide bahwa ikatan-ikatan dan norma-norma

sosial sangat penting bagi individu, kelompok dan masyarakat (Coleman, 1988). Hal ini

disebabkan karena modal sosial mengeluarkan biaya aksi kolektif jauh lebih rendah

sehingga mampu memfasilitasi kerjasama. Orang memiliki keyakinan untuk berinvestasi

dalam kegiatan kolektif dan meyakini orang lain pun akan melakukan hal yang sama.

Modal sosial juga terbukti mampu mengurangi kegiatan-kegiatan individu yang tidak

terkontrol yang akan menyebabkan kerusakan lingkungan (Pretty dan Ward, 2001). Empat

gambaran modal sosial yang penting terkait dengan tindakan kolektif (Pretty, 2003),

yakni: hubungan saling percaya (relation of trust); hubungan tukar menukar dan timbal

balik (reciprocity and exchange); aturan bersama (common rules); norma-norma dan

sanksi (norms and sanctions); dan keterhubungan dalam jaringan dan kelompok

(connectedness in network and groups).

Menurut Pretty (2003), hubungan saling percaya menghasilkan kerjasama, dan

mengurangi biaya transaksi antara orang per orang. Sebagai pengganti investasi dalam

Panji Suminar 44

Page 27: Bahan kuliah 3

memonitor orang lain, individu-individu dapat mempercayai orang lain untuk melakukan

seperti yang mereka harapkan sehingga mampu menghemat uang dan waktu. Tetapi

hubungan saling percaya membutuhkan waktu dan sangat mudah runtuh. Ketika sebuah

masyarakat ditandai oleh adanya ketidakpercayaan dan konflik, maka kerjasama akan sulit

terwujud. Sementara itu, resiprositas meningkatkan hubungan saling percaya, dan

menunjuk pada pertukaran barang dan pengetahuan yang simultan dengan disertai nilai-

nilai keadilan dan relasi yang berkelanjutan (Putnam, 1993). Resiprositas berkontribusi

pada pembangunan tanggung jawab sosial dalam jangka waktu yang lama.

Aturan-aturan bersama, nilai-nilai dan sanksi-sanksi yang disetujui bersama secara

turun temurun menjamin adanya aturan main dalam mengelola sumberdaya yang ada dan

memberikan keyakinan pada individu untuk berinvestasi dalam komoditas kolektif. Sanksi

yang ada meningkatkan keyakinan individu-individu bahwa yang melanggar akan kena

hukuman. Keterhubungan dalam jaringan dan kelompok (bonding, bridging, dan lingking

social capital) telah diidentifikasi sebagai faktor yang penting bagi jaringan dalam dan

antar komunitas1.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa modal sosial menunjuk pada gambaran

organisasi sosial (jaringan sosial, interaksi sosial, norma, kepercayaan sosial, hubungan

timbal balik, kerjasama) yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama, serta yang mampu

menjadikan orang untuk bertindak secara kolektif untuk tujuan saling menguntungkan

(Woolock dan Narayan, 2000). Oleh karena itulah sifat modal sosial pada hakekatnya

menyangkut persoalan (1) sifat dan kekuatan hubungan antar anggota, (2) kemampuan

anggota untuk mengorganisasikan dirinya sendiri untuk melakukan tindakan kolektif yang

1 Bonding social capital menggambarkan hubungan antara individu, dan menunjuk pada kohesi sosial dalam kelompok. Bridging social capital menunjuk pada hubungan horizontal antara anggota masyarakat, keluarga atau rumah tangga, dan antar masyarakat yang berbeda dan antar kelompok. Bridging social capital menggambarkan kapasitas kelompok atau masyarakat untuk membangun jaringan dengan kelompok lain, sementara linking social capital menggambarkan kemampuan kelompok untuk berhubungan dengan agen-agen eksternal, baik untuk pemanfaatan sumberdaya ataupun mempengaruhi kebijakan

Panji Suminar 45

Page 28: Bahan kuliah 3

saling menguntungkan pada area kebutuhan bersama, (3) pengaturan struktur sosial yang

dibutuhkan untuk mengimplementasikan berbagai rencana, (4) keterampilan dan

kemampuan yang memungkinkan anggota masyarakat dapat berkontribusi pada proses

pembangunan (Uphoff dan Mijayaratna, 2000).

Sementara itu, upaya-upaya untuk mengkaji aspek teoritis dan metodologis

pengukuran modal sosial relatif masih baru (World Bank, 2000). Memperoleh pengukuran

modal sosial yang komprehensif, multidimensi, dan dinamis sangatlah sulit. Namun

demikian, dalam penelitian ini akan dikaji parameter modal sosial berdasarkan pada

pembagian dua bentuk modal sosial, yakni modal sosial struktural (structural social

capital) dan modal sosial kognitif (cognitive social capital) yang memayungi tiga dimensi

modal sosial, yakni (1) kelembagaan (institutions); yang meliputi nilai yang dimiliki

bersama (shared values), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan

aturan-aturan (rules); (2) jaringan sosial (social networks); yang meliputi adanya

partisipasi (participation), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity),

kerjasama (collaboration/cooperation), dan keadilan (equality); dan (3) hubungan saling

percaya (trust); yang meliputi kejujuran (honetsy), kewajaran (fairness), sikap egaliter

(egalitarianism), toleransi (tolerance), dan kemurahan hati (generousity).

2.2. Tingkatan Analisis Modal Sosial

Sementara itu, Grootaert dan Van Bastelaer (2002) mengidentifikasi dimensi

konseptualisasi modal sosial: tingkatan mikro ke tingkatan makro, dan kontinum dari

modal sosial kognitif ke modal sosial struktural. Menurut mereka, modal sosial pada

tingkat makro terdiri dari kelembagaan negara dan aturan hukum (bersifat struktural), dan

pola pengelolaan negara (bersifat kognitif). Sementara, modal sosial pada tingkat mikro

Panji Suminar 46

Page 29: Bahan kuliah 3

meliputi kelembagaan lokal dan jaringan (bersifat struktural), dan hubungan saling

percaya, norma lokal, dan nilai-nilai (bersifat kognitif).

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bain dan Hicks (1998) yang

mengembangkan konseptualisasi modal sosial ke dalam dua tingkatan: tingkatan makro

dan mikro. Tingkatan makro menunjuk pada konteks institusional dalam mana organisasi

beroperasi, sementara tingkatan mikro merujuk pada kontribusi yang potensial organisasi

dan jaringan sosal horizontal terhadap pembangunan. Pada tingkatan makro terdapat unsur

aturan hukum, tipe rejim pemerintahan, tingkatan desentralisasi, tingkat partisipasi dalam

pengambilan keputusan, dan kerangka kerja legal/formal. Tingkatan mikro yang terdiri

dari aspek kognitif dan aspek struktural. Aspek kognitif terdiri dari nilai-nilai hubungan

saling percaya, solidaritas, dan hubungan timbal balik, norma sosial, tingkah laku, dan

sikap. Aspek struktural terdiri dari struktur organisasi horizontal, proses pengambilan

keputusan kolektif yang transparan, akuntabilitas pemimpin, praktek tindakan kolektif dan

tanggung jawab sosial

Dalam banyak literatur, teoritisi menempatkan modal sosial pada tingkatan

individu, beberapa pada tingkat komunitas, dan lainnya lebih memiliki pandangan yang

dinamis dan bersifat fleksibel. Kilby (2002), misalnya, menyatakan bahwa modal sosial

berada dalam tingkatan atau skala individu yang menjadi bagian dari keluarga, komunitas,

organisasi profesi, negara dan sebagainya secara simultan. Adler dan Kwon (2002)

mendukung pernyataan tersebut bahwa sumberdaya modal sosial terletak dalam struktur

sosial dimana seorang aktor berada. Dengan demikian, modal sosial dapat dipandang

sebagai milik individu sebagai bagian dari agregasi komponen sosial. Kilpatrick et al

(1998) dan Sander (2002) menyatakan bahwa modal sosial pada dasarnya milik kelompok

dan dapat digunakan oleh kelompok atau individu-individu yang menjadi anggota

kelompok bersangkutan. Brewer (2003) menyatakan bahwa meskipun pada dasarnya

Panji Suminar 47

Page 30: Bahan kuliah 3

modal sosial dipandang sebagai konsep masyarakat yang lebih luas, modal sosial dapat

juga diobservasi pada tingkatan individu.

Dalam posisi yang berbeda, Coleman (1988) berpendapat bahwa modal sosial

bukanlah atribut dari individu-individu melainkan aspek tergantung dari struktur sosial.

Pendapat tersebut merupakan cerminan dari perspektif Coleman terhadap analisis modal

sosial yang cenderung bersifat struktural fungsional. Dalam perspektif ini individu

merupakan representasi dari masyarakat. Oleh karenanya individu bersifat pasif, atau

masyarakat merupakan hasil konstruksi individu-individu. Asumsi Coleman juga

didukung oleh Newton (2001) bahwa modal sosial secara esensial merupakan kekayaan

kolektif dari sistem sosial, bukan karakteristik dari individu. Demikian juga (Edwards dan

Foley 1998) meyakini bahwa perbedaan antara modal manusia dan modal sosial adalah

bahwa modal sosial inheren dalam hubungan antara individu dan kelompok, dan bukan di

dalam hubungan antar individu.

Dari penjelasan tentang konseptualisasi modal sosial tersebut, secara tidak

langsung akan berdampak pada tingkatan analisisnya pada tataran empirik. Kajian-kajian

yang telah dilakukan, modal sosial pada dasarnya ditempatkan pada tingkatan masyarakat,

kelompok, dan individu (makro-mikro). Namun demikian, konsensus umum dalam

berbagai literatur sangat jelas bahwa modal sosial dapat diidentifikasi dari tingkatan

individu ke tingkatan masyarakat dan bahkan negara (mikro-makro). Putnam dan

Coleman, misalnya, melakukan kajian modal sosial dalam perspektif tingkatan analisis

makro-mikro. Oleh karenanya kedua teoritisi tersebut dikenal sebagai penganut struktural

fungsional dalam analisis modal sosialnya.

Panji Suminar 48