PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

102
1 PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1 MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA COMBINATION EFFECT COMPARISON BETWEEN PARACETAMOL AND KETAMINE WITH PARACETAMOL AND PETHIDINE AS A MULTIMODAL ANALGESIA ON POST- CAESAREAN SECTION SURGERY FAISAL KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Transcript of PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

Page 1: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

1

PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA

PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1 MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM

DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA

COMBINATION EFFECT COMPARISON BETWEEN PARACETAMOL AND KETAMINE WITH PARACETAMOL

AND PETHIDINE AS A MULTIMODAL ANALGESIA ON POST-CAESAREAN SECTION SURGERY

FAISAL

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

Page 2: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

2

PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA

PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1 MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM

DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Biomedik

Disusun dan Diajukan Oleh

FAISAL

kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

Page 3: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

3

PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1

MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL

ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Biomedik

Disusun dan Diajukan Oleh

FAISAL

kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

Page 4: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

4

TESIS

PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1

MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL

ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA

Disusun dan diajukan oleh :

FAISAL

Nomor Pokok: P1507210169

telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

pada tanggal 28 Februari 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasihat,

Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD, SpAn Dr. dr. Muh. Ramli A, SpAn-KAP-KMN Ketua Anggota

Ketua Program Studi Biomedik Direktur Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Prof. dr. Rosdiana Natzir, Ph.D Prof. Dr. Ir. Mursalim

Page 5: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

5

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Faisal

No.Stambuk : P1507210169

Program Studi : Biomedik / PPDS Terpadu ( Combined

Degree) Degree) Fakultas Kedokteran UNHAS

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, 28 Februari 2013

Yang menyatakan

Faisal

Page 6: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

6

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan

Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dan

merupakan karya akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis pada

Program Pendidikan Spesialis I (PPDSI) dibagian Anestesiologi, Unit

Perawatan Instensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran dan

Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree)

Program Studi Biomedik, Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin

Makassar.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini tidak akan

terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada

kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih pada

Bapak Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD, SpAn-KIC-KMN, dan Bapak

Dr. dr. Muh Ramli Ahmad, SpAn-KAP-KMN selaku pembimbing tesis yang

telah banyak membimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran,

senantiasa memberikan dorongan kepada penulis sejak awal penyusunan

hingga penelitian ini rampung.

Ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya juga kepada

Bapak Dr. dr. Syafri K Arif, SpAn-KIC-KAKV, dr. Syafruddin Gaus, PhD,

SpAN-KMN dan Dr. dr. Burhanuddin Bahar, Ms ditengah kesibukannya

masih menyempatkan diri membantu penulis.

Page 7: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

7

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ketua Bagian, Ketua Program Studi, dan seluruh staff pengajar

di Bagian Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan Manajemen

Nyeri FK UNHAS. Rasa hormat dan penghargaan setinggi-

tingginya penulis haturkan atas bantuan dan bimbingan yang

telah diberikan selama ini, kiranya dapat menjadi bekal hidup

dalam mengabdikan ilmu saya di kemudian hari.

2. Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi Biomedik, beserta

seluruh staff pengajar pada Konsentrasi Pendidikan Dokter

Spesialis Terpadu (Combined degree) Program Biomedik Pasca

Sarjana Universitas Hasanuddin atas bimbingannya selama

penulis menjalani pendidikan.

3. Direktur dan staf RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

atas segala bantuan fasilitas dan kerjasama yang diberikan

selama penulis mengikuti pendidikan.

4. Semua Teman sejawat peserta Combined Degree dan Teman

sejawat PPDS-1 Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan

Manajemen Nyeri FK UNHAS atas bantuan dan kerja samanya

selama ini.

5. Para penata anestesi dan perawat ICU serta semua paramedis

di Bagian Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan Manajemen

Nyeri atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti

pendidikan.

Page 8: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

8

6. Istri saya tercinta dr. Amirah M dan ananda Naura AR Faisal

yang selalu dengan penuh kesabaran dan pengertian

mendampingi saya dalam mengikuti pendidikan.

7. Ibunda tercinta Hj. Nurmin yang tidak henti-hentinya selalu

mendoakan dan memberi dukungan, tanpanya penulis tak akan

mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik.

8. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu

yang telah banyak membantu penulis secara langsung maupun

tidak dalam menyelesiakan tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna bagi

perkembangan Ilmu anestesi dimasa yang akan datang. Tidak lupa

penulis juga mohon maaf bilamana ada hal-hal yang kurang berkenan

dalam penulisan tesis ini, karena penulis menyadari sepenuhnya tesis ini

masih jauh dari kesempurnaan.

Makassar, 28 Februari 2013

Faisal

Page 9: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

9

DAFTAR ISI

PRAKATA iv

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

DAFTAR SINGKATAN xii

ABSTRAK xiv

ABSTRACT xv

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 8

1.3. Tujuan Penelitian 8

1.4. Hipotesis 9

1.5. Manfaat Penelitian 10

II. Tinjauan Pustaka 11

2.1. Nyeri Pascabedah 11

2.1.1. Mekanisme Nyeri Akut Pascabedah 14

2.1.2. Sensitisasi Perifer 19

2.1.3. Sensitisasi Sentral 22

2.2. Multimodal Analgesia 23

2.3. Farmakologi 26

2.3.1. Parasetamol 26

2.3.2. Ketamin 30

2.3.3. Petidin 32

2.3.4. Morfin 36

2.4. Numerical Rating Scale 37

III. Kerangka Konsep 41

IV. Metodologi Penelitian 42

Page 10: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

10

4.1. Desain Penelitian 42

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 42

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 43

4.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 43

4.5. Perkiraan Besar Sampel 43

4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 44

4.7. Izin Penelitian dan Etical Clearence 45

4.8. Cara Kerja 45

4.8.1. Alokasi Subyek 45

4.8.2. Cara Penelitian 46

4.9. Alur Penelitian 49

4.10.Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Penelitian 51

4.11.Definisi Operasional 52

4.12.Kriteria Obyektif 54

V. Hasil Penelitian 58

5.1. Analisis Karakteristik Sampel 58

5.2. Analisis Intensitas Nyeri Pascabedah 60

5.3. Analisis Perubahan Tekanan Arteri Rerata, Laju jantung 63

5.4. Analisis Kebutuhan Analgetik Tambahan (morfin) 66

5.5.Analisis Efek Samping 69

VI. Pembahasan 70

VII. Kesimpulan dan Saran 75

Daftar Pustaka 77

Page 11: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

11

DAFTAR TABEL

nomor Halaman

1. Karakteristik sampel 59

2. Intesitas nyeri pascabedah 61

3. Perubahan tekanan arteri rerata 64

4. Perubahan laju jantung 65

5. Perubahan laju napas 66

6. Jumlah analgetik tambahan morfin 24 jam 67

7. Jumlah Penderita yang mengalami efek samping 69

Page 12: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

12

DAFTAR GAMBAR

nomor Halaman

1. Inflamatory soup 20

2. Sensitisasi Perifer 21

3. Sensitisasi Sentral 23

4. Nosiseptif dan Multimodal Analgesia 26

5. Reseptor NMDA 32

6. Mekanisme penghambatan opioid terhadap pelepasan neurotran

Mittter 35

7. Lokasi dari reseptor opioid pada tiga level pain pathway 37

8. Numerical Rating Scale 38

9. Kerangka Teori 40

10. Kerangka Konsep 41

11. Alur Penelitian 49

12. Grafik insetitas nyeri istirahat 62

13. Grafik intesitas nyeri bergerak 63

14. Grafik perubahan tekanan arteri rerata 64

15. Grafik perubahan laju jantung 65

16. Grafik perubahan laju napas 66

17. Grafik proporsi pasien yang mendapat rescue analgesia 68

Page 13: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

13

DAFTAR LAMPIRAN

nomor halaman

1. Persetujuan mengikuti penelitian 81

2. Lembar pengamatan 82

3. Advers event form 84

4. Contoh surat ke dokter primer 85

5. Ethical Clearance 86

Page 14: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

14

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/singkatan Arti dan keterangan

ATP

AINS

AMPA

ASA PS

BB

Ca+

COX-2

Da

DOP

µg, mg, kg

G

GCPR

Glu

H+

5 HT

K+

KOP

IM

IV

IASP

LLD

MOP

Adenosin Tri Phosfat Anti Inflamasi Non Steroid α-amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-isoxazole-propionate American Society Anestesiologist Phisical Status Berat Badan Calcium Cyclooxygenase- 2 Dalton Delta Opioid Receptor Microgram, milligram, kilogram Gauge Guanine (G) Protein-Coupled Receptor Glutamate Hidrogen 5-hydroxytriptamine Kalium Kappa Opioid Receptor Intra Muskular Intra Vena International Association for the Study of Pain Left Lateral decubitus Mu Opioid Receptor

Page 15: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

15

Na+

NK

NMDA

NSAIDs

NOP

AINS

NS

NRS

ORL1

PONV

PACU

PCA

PG

PGE2

PGE2EP1

RSIA

S.C.

SC.

WDR

Natrium Neurokinin N-methyl-D-Aspartic Acid Non Steroid Anti Inflamasi Drugs Nociceptin Opioid Receptor NonSteroidAnti InflamasiDrugs Normal Salin/ Neuron specific Numeric Rating Scale Orphan Opioid Like Reseptor Post Operatif Nausea and Vomiting Post anesthesia Care Unit Patient Control analgesia Prostaglandin Prostaglandin E2 Prostaglandin E2 subtype EP1 Rumah Sakit Ibu dan Anak Seksio Caesaria Sub Cutaneus Wide Dinamic Range

Page 16: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

16

Abstrak

Nyeri pascabedah seksio sessaria masih menjadi masalah oleh

karena masih tingginya angka nyeri sedang-berat dan akan berpengaruh

terhadap ibu dan pengasuhan bayi. Penelitian ini bertujuan untuk

membandingkan efek ketamin 0,1mg/kgBB/jam dengan petidin 0,1

mg/kgBB/jam sebagai kombinasi terhadap parasetamol 1gr/8 jam sebagai

multimodal analgesia pascabedah seksio sesaria. Dilakukan penelitian

eksperimental secara acak tersamar tunggal terhadap 60 pasien hamil

dengan status fisik (ASA PS) I-II yang akan menjalani persalinan seksio

sessaria dengan anestesi spinal. Subyek penelitian dibagi dalam dua

kelompok perlakuan yang masing-masing ketamin 0,1 mg/kgBB/jam

perinfus (n=30) atau petidin 0,1 mg/kgBB/ jam perinfus (n=30) sebagai

analgesia pascabedah yang dikombinasikan dengan parasetamol tablet

oral 1 gr/8 jam peroral. Penilaian terhadap nyeri dengan NRS selama 24

jam pengamatan. Perubahan tekanan arteri rerata, laju jantung, efek

samping dan kebutuhan analgesia tambahan dicatat. Data diolah dan

dianalisa dengan uji statistik menggunakan uji t dan chi-square dengan

derajat kemaknaan p<0,05. Hasil penelitian menunjukkan sebaran nyeri

sedang-berat pada saat istirahat hanya sekitar 10% dengan kebutuhan

analgesia tambahan (morfin) yang cukup rendah. Perubahan tekanan

arteri rerata dan laju jantung dan efek samping minimal. Secara statistik

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari kedua kelompok

perlakuan. Disimpulkan bahwa tidak perbedaan efek dari pemberian

kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan ketamin 0,1

mg/kgBB/jam dengan kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan

petidin 0,1 mg/kgBB/jam, serta memiliki efek yang baik dalam

menurunkan nyeri pascabedah seksio sesaria

Kata kunci : Parasetamol, ketamin, petidin, seksio sesaria, nyeri

pascabedah

Page 17: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

17

Abstract:

Pain after cesarean still a problem because of the high number of

moderate to severe pain and will affect maternal and infant care. This

research aimed to compare the effects of ketamine 0.1 mg/kgBW/hr and

pethidine 0.1 mg/kgBW/ hr as the combination of the acetaminophen 1

gr/8 hrs as the multimodal analgesia of the post section cesarean surgery.

This was an experimental study single-blind random sampling on 60

pregnant patients with the physical status of I-II who underwent the

cesarean section with the spinal anesthesia. The research subjects were

divided into two treatment groups, i.e. ketamine 0.1 mg/kgBW/hr per

infusion (n = 30) or pethidine 0.1 mg / kg / hr per infusion (n = 30) as the

post surgery analgesia which was combined with tablet oral paracetamol 1

gram/8 hours per oral. The assessment of pain with NRS was carried out

for 24 hours of observation. The change in mean arterial pressure and

heart rate, side effects and additional analgesic necessity (morphine) were

recorded. The data were processed and analyzed by the statistic test

using t-test and chi-square test with the significance level of p <0.05. The

research results indicates that the number of moderate and severe pain at

rest about 10%, and additional analgesic necessity is minimal. The

changes of the blood pressure, the heart rate, and side effects are minimal

or absent. Statistically they are not significantly different (p> 0.05). The

conclusion is there‟s no difference from the combination of tablet oral

paracetamol 1 gr/8 hrs with ketamine infusion0,1mgkgbw/hr and

paracetamo tablet oral 1gr/8 hrs with pethidine 0,1 mg/kgbw/hr and they

has a good effect in reducing postoperative pain cesarean section

Keywords: Paracetamol, ketamine, pethidine, cesarean section,

postoperative pain

Page 18: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Penangan nyeri pascabedah seksio sesaria memerlukan perhatian

tersendiri oleh karena harus mempertimbangkan dua faktor, yakni ibu dan

bayinya. Penanganan nyeri akut yang efektif akan memperbaiki mobilitas

ibu sehingga mengurangi resiko tromboemboli yang meningkat selama

kehamilan, juga memungkinkan ibu menyusui dan merawat bayinya.

Nyeri akut akibat pembedahan akan memberi dampak luas pada pasien

seperti gangguan kardiovaskuler, respirasi, sistem endokrin, keterbatasan

dalam merawat bayi yang penting di masa awal persalinan, bahkan dapat

berkembang menjadi nyeri kronik yang juga berdampak terhadap

gangguan fungsi sosial. Penanganan nyeri akut pascabedah yang efektif

diperlukan agar dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas,

memperpendek lama tinggal di rumah sakit dan masa penyembuhan

pasien pascabedah, dan memperbaiki fungsi sosial ibu terutama dalam

merawat bayinya serta mencegah terjadinya nyeri kronik (Voscopous &

Lema, 2010).

Meskipun pengetahuan tentang penanganan nyeri akut

pascabedah mengalami kemajuan yang sangat pesat, tetapi dari hasil

penelitian Apfelbaum dkk (2003) pada 250 pasien di Amerika Serikat yang

Page 19: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

19

menjalani pembedahan, terdapat sekitar 80% pasien mengalami nyeri

akut pascabedah. Beauregard dkk melaporkan bahwa 40% pasien

mengalami nyeri sedang hingga berat selama 24 jam pertama setelah

operasi (Apfelbaun et al., 2003).

Hal yang sama dilaporkan oleh Sommers dkk (2008), bahwa

prevalensi nyeri pascabedah di University Hospital Maastrict Belanda

pada 1490 pasien pascabedah yang menerima penatalaksanaan nyeri

sesuai standar protokol, hasilnya adalah 41% mengalami nyeri sedang

dan berat pada hari 1-4. Prevalensi nyeri pascabedah abdominal

kelompok nyeri sedang dan berat pada hari 0-1 adalah 30-55%.

Prevalensi nyeri pascabedah ekstremitas kelompok nyeri sedang dan

berat pada hari 1-4 adalah 20-71% dan 30-64% pada operasi tulang

belakang (Sommers et al., 2008).

Penelitian untuk mendapatkan obat analgesik yang ideal masih

terus berlanjut, dimana diharapkan adanya obat atau kombinasi obat yang

mempunyai analgesia kuat dengan efikasi yang tinggi dan efek samping

yang sedikit. Konsep multimodal analgesia telah diperkenalkan lebih dari

satu dekade yang lalu, untuk mencapai analgesia yang adekuat dengan

menggunakan beberapa jenis analgetik yang berbeda, sehingga

kebutuhan penambahan dosis analgetik dan efek samping menurun.

Sekarang ini the American Society of Anesthesiology Task Force on Acute

Pain Management dan the Agency for Health Care research and Quality

Page 20: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

20

menganjurkan penggunaan pendekatan multimodal analgesia dalam

penangan nyeri akut (Ashburn et al., 2004).

Parasetamol merupakan obat analgesik antipiretik yang bekerja

secara sentral, bukan golongan opioid ataupun AINS, dapat diberikan

peroral, intravena, maupun rektal. Dalam beberapa penelitian

menunjukkan bahwa pemberian paracetamol sebagai analgesia pasca

bedah, baik diberikan secara tunggal ataupun kombinasi memperlihatkan

efek yang sangat baik dengan efek samping yang sangat minimal.

Parasetamol atau sering disebut acetaminophen merupakan obat yang

sangat murah, terdapat diseluruh wilayah Indonesia dengan rentang dosis

yang sangat besar dan efek samping yang hampir tidak ada. Dengan

demikian parasetamol menjadi salah satu agen terpilih penatalaksanaan

nyeri pasca bedah (Smith, 2009). Hal yang sama dengan Christopher dkk

(1997) mendapatkan bahwa parsetamol lebih efektif dalam manajemen

nyeri pasca bedah setelah membandingkan antara parasetamol dengan

kodein dan ibuprofen pada operasi tonsilektomi usia muda. Sejalan

dengan Varrassi dkk (1999) mendapatkan efikasi analgesia yang sama

antara proparasetamol 2 gram dengan ketorolac 30 mg yang dikombinasi

morfin PCA pada pasien pasca operasi gynekologik. Demikian pula

dengan Koppert dkk (2006) memperlihatkan bahwa tidak perbedaan yang

bermakna terhadap fungsi ginjal setelah membandingkan efek

parasetamol dan parecoxib dengan kontrol plasebo terhadap fungsi ginjal

pada pasien geriatrik yang menjalani pembadahan ortopedik. Dan

Page 21: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

21

diperkuat oleh Maund dkk (2011) dengan mixed treatment comparison

(MTC) analysis, tidak ada perbedaan dalam penurunan komsumsi morfin

antara parasetamol, COX selektif dan AINS yang diberikan sebagai ajuvan

PCA morfin sebagai multimodal analgesia pasca operasi mayor.

Ketamin merupakan turunan dari phencyclidine, mulai ditemukan

pada tahun 1965 dan digunakan pertama kali dalam praktek klinik pada

tahun 1970. Penggunaan sebagai analgesia pasca bedah dengan dosis

rendah atau subanestesik dose (0,1-0,3 mg/kgBB) juga mulai popular

dalam beberapa tahun terakhir, baik digunakan secara tunggal

(konsentrasi dalam darah 150 ng/ml) ataupun sebagai kombinasi dengan

opioid atau agen lainnya. Saat ini telah diketahui bahwa mekanisme kerja

ketamin adalah pada reseptor µ spinal, jalur inhibisi desenden, dan yang

utama sebagai antagonis reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA)

berikatan secara spesifik terhadap tempat fensiklidin pada saluran ion

reseptor NMDA. Reseptor NMDA memainkan peranan penting dalam

hipersensitifitas medula spinalis akibat cedera, termasuk akibat

pembedahan. sensitisasi sistem saraf sentral ini yang berperan dalam

mekanisme nyeri akut ataupun kronik akibat trauma pascabedah (Craven,

2007; Suzuki, 2009).

Suzuki dkk (2006) memperlihatkan bahwa infus dosis rendah

ketamin pasca bedah menurunkan secara signifikan nyeri akut pada

pasien thorakotomi yang mendapatkan epidural analgesia ropivacain dan

morfin. Gurnani dkk (1996) infus dosis rendah ketamin memberikan

Page 22: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

22

analgesia yang lebih bagus dibandingkan intermitten morfin pada trauma

muskuloskeletal akut, Bell dkk (2006) infus kontinyus ketamin dosis

rendah sampai 48 jam pasca bedah abdomen memberbaiki nyeri dan

menurunkan kebutuhan morfin PCA dan menurunkan efek samping mual

muntah.demikian pula Zakina dkk (2008) memperlihatkan penurunan skor

nyeri, kebutuhan morfin PCA dan efek samping mual muntah dengan

penambahan ketamin dosis rendah dibanding plasebo. Sebaliknya

Galinski dkk (2007) memperlihatkan adanya sparing efect antara ketamin

dan morfin pada nyeri trauma yang hebat, namun tidak ada perubahan

dalam skor nyeri, Michelet dkk (2007) mendapatkan bahwa penambahan

ketamin terhadap morfin PCA pada pasien pasca thorakotomi gagal

memperbaiki analgesia, namun mempelihatkan parameter respirasi yang

lebih baik pada kelompok ketamin (Macintyre, 2010).

Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa blokade

reseptor NMDA sebelum atau selama cedera dapat mencegah atau

menurunkan perkembangan sensitisasi sentral, blokade reseptor NMDA

setelah cedera juga dapat menurunkan atau menghilangkan sensitisasi

sentral. Dengan demikian ketamin sebagai antagonis reseptor NMDA

dapat digunakan sebagai analgetik untuk nyeri akut atau pun pencegahan

terjadinya nyeri kronik. Penggunaan antagonis reseptor NMDA sebagai

balans analgesia, memiliki efek potensiasi dengan analgetik yang lain

seperti opioid, anestetik lokal, parasetamol atau AINS yang memberi

Page 23: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

23

keuntungan dalam penatalaksanaan nyeri (Suzuki, 2009; macintyre,

2010).

Petidin merupakan salah satu opiod yang umum digunakan

sebagai balans analgesia yang cukup efektif pada penanganan nyeri

pembedahan ataupun pascabedah, dengan mekanisme penghambatan

nyeri melalui ikatan terhadap reseptor opiat pada presynaps dan post-

synaps, ataupun melalui mekanisme anti-reuptake serotonin pada

presynaps. Oleh karena petidin merupakan obat yang relatif murah dan

tersedia banyak di Indonesia, sehingga merupakan agen balans analgesia

lazim digunakan dalam penanganan nyeri pascabedah.

Penggunaan opioid tunggal secara sistemik dalam

penatalaksanaan nyeri saat ini mulai banyak ditinggalkan oleh karena

samping yang kurang menyenangkan seperti depresi napas, mual

muntah dan konstipasi yang cenderung membuat dokter jadi takut

menggunakannya apabila tidak dalam pengawasan yang ketat. Sehingga

pendekatan dengan metode multimodal dalam penanganan nyeri

pascabedah adalah cara yang efektif dalam mengurangi efek samping

yang timbul dengan efek analgesia yang optimal (Ashburn et al., 2004).

Kula A (dkk) interaksi antara petidin, ketamin dan parasetamol

memberikan keuntungan dengan penurunan dosis dan efek samping pada

percobaan tail-flick test pada hewan coba tikus, sehingga kombinasi dari

ketiga obat tersebut diharapkan menjadi pilihan antinosiseptik pada nyeri

Page 24: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

24

akut pada peneitian hewan coba dan uji klinis selanjutnya (Kula et al.,

2009).

Untuk alasan tersebut, maka pada penelitian ini, peneliti ingin

mendapatkan kombinasi multimodal analgesia yang memiliki efek yang

baik dalam penatalaksanaan nyeri pascabedah dengan cara

membandingkan efek antara kombinasi Paracetamol tablet oral 1 gr/8 jam

IV dan ketamin dosis 0,1 mg/kgBB/jam terhadap kombinasi Parasetamol

tablet oral 1 gr/8 jam dan Petidin 0,1 mg/kgBB/jam sebagai multimodal

analgesia dalam pengelolaan nyeri pascabedah seksio sesaria.

Berdasarkan sifat-sifat dari obat-obat tersebut diatas, maka dapat

diasumsikan dengan mengkombinasi dua obat yang berbeda jenis dan

fungsi akan memberikan sinergisme yang baik dalam penatalaksanaan

nyeri yang lebih baik dan efesien. Parasetamol yang bekerja secara

sentral dan ketamin mampu mencegah baik sensitisasi sentral maupun

sensitisasi perifer serta dapat meredam respon inflamasi yang terjadi

setelah trauma jaringan akibat pembedahan. Dengan pemilihan dosis

parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan ketamin 0,1 mg/kgBB/jam

diharapkan akan menghasilkan analgesia yang efektif, aman dan murah.

Penelitian ini memenuhi syarat kelayakan karena bersifat wajar,

menarik dan memungkinkan untuk dilakukan. Data mengenai penanganan

nyeri pascabedah dengan menggunakan kombinasi parasetamol tablet

oral dan ketamin infus masih kurang.

Page 25: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

25

1.2. Rumusan Masalah

Apakah efek kombinasi paracetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan

ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam lebih baik dari pada kombinasi

paracetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1 mg/kgBB/jam

sebagai multimodal analgesia pada pascabedah seksio sesaria?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Membandingkan efek kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/ 8 jam

dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kombinasi parasetamol tablet

oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1 mg/kgBB/jam sebagai multimodal

analgesia pada pasien pascabedah seksio sesaria.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Membandingkan intesitas nyeri dengan Numerical Rating Scalea

(NRS) antara kelompok kombinasi paracetamol tablet oral 1 gr/8

jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kelompok

kombinasi paracetamol tablet oral 1gr/ 8 jam dan Petidin infus 0,1

mg/kgBB/jam dari pasien - pasien pascabedah seksio sesaria.

2. Membandingkan perubahan hemodinamik laju nadi dan tekanan

arteri rerata antara kelompok kombinasi parasetamol tablet oral 1

gram/8 jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kelompok

Page 26: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

26

kombinasi parasetamol tablet oral 1 gram/8 jam dan petidin infus

0,1 mg/kgBB/jam dari pasien - pasien pascabedah seksio sesaria.

3. Membandingkan kejadian efek samping (mual, muntah, pruritus

dan halusinasi) antara kelompok kombinasi parasetamol tablet oral

1 gr/8 jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kelompok

parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1

mg/kgBB/jam dari pasien-pasien pascabedah seksio sesaria.

4. Membandingkan jumlah kebutuhan analgetik tambahan (morfin)

antara kelompok kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan

ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kelompok kombinasi

parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1

mg/kgBB/jam pada pasien pascabedah seksio sesaria.

1.4. Hipotesis

Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa

kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan ketamin infus dosis 0,1

mg/kgBB/jam, memiliki efek yang lebih baik dibandingkan dengan

kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1

mg/kgBB/jam sebagai multimodal analgesia pada pengelolaan nyeri

pascabedah seksio sesaria.

Page 27: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

27

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh kombinasi

parasetamol-ketamin dan kombinasi parasetamol-petidin dalam

pengelolaan nyeri akut pascabedah.

2. Dapat menjadi alternatif dalam pengelolaan nyeri akut pascabedah

khususnya operasi seksio sesaria untuk mencegah morbiditas,

mortalitas dan terjadinya nyeri kronik.

3. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya sehubungan

dengan multi modal analgesia pada penanganan nyeri akut

pascabedah.

Page 28: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nyeri Pascabedah

Menurut International Association for the Study of Pain (IASP),

nyeri didefinisikan sebagai “ suatu pengalaman sensoris dan emosional

yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan

yang nyata atau berpotensi rusak atau tergambar sebagai adanya

kerusakan itu. Dengan demikian nyeri merupakan pengalaman subyektif

yang melibatkan faktor-faktor sensoris, emosional, dan tingkah laku yang

berhubungan dengan cedera jaringan yang nyata atau berpotensi untuk

itu (Ashburn et al., 2001).

Trauma jaringan akibat pembedahan dan nyeri yang

ditimbulkannya menyebabkan respon endokrin yang kemudian berlanjut

dengan peningkatan sekresi kortisol, katekolamin, prostaglandin dan

hormon stress lainnya. Peningkatan hormon stress tersebut akan memacu

timbulnya respon simpatis berupa takikardi, hipertensi, penurunan aliran

darah regional, penurunan respon imunitas, hiperglikemi, lipolisis dan

negative nitrogen balance dapat terjadi sebagai akibat respon ini dan juga

akan disertai dengan perubahan metabolik. Respon stres memegang

peranan penting dalam morbiditas dan mortalitas pascabedah (Ashburn et

al., 2001).

Page 29: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

29

Segera setelah terjadi kerusakan jaringan, ujung saraf sensorik

seketika terpapar oleh sejumlah produk kerusakan sel dan mediator

inflamasi yang memicu aktivasi nosiseptif. Inflammatory soup ini

mencakup prostaglandin (PG), proton H, serotonin, histamin, bradikinin,

purin, sitokin, eicosanoids, dan neuropeptida yang bekerja pada reseptor

spesifik pada saraf sensorik dan juga memiliki interaksi yang penting

dalam proses nosiseptif. Pada awal inflamasi, terjadi sensitasi serabut

saraf C dan A- oleh produk-produk inflammatory soup menyebabkan

terjadinya sensitisasi, peningkatan aktivitas nosiseptor yang normalnya

“tenang” dan perubahan aktivitas ion channels dan reseptor membran.

Jika inflamasi tidak berkepanjangan, fungsi saraf akan segera kembali

normal. Peningkatan intensitas dan durasi, menyebabkan pelepasan

growth factors dan sitokin oleh sel-sel setempat, monosit, dan sel-sel

vaskuler dan akan memasuki badan sel sensorik secara transport aksonal

retrograde. Hal ini kemudian menimbulkan banyak perubahan pada fungsi

neuronal yang teridentifikasi pada tiap subgrup akson perifer. Selain itu

pelepasan neurotransmitter prostaglandin akibat trauma jaringan selama

pembedahan juga menyebabkan pelepasan substansi P (SP) oleh

serabut A-β yang normalnya sangat sedikit bahkan tidak ada, serta

peningkatan ekspresi reseptor α2-adrenergik akibat pelepasan

norepinefrin (NE) melalui jalur simpatis (Byres & Bonica, 2001).

Pembedahan merupakan suatu peristiwa yang bersifat bifasik

terhadap tubuh yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri. Pertama,

Page 30: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

30

selama pembedahan berlangsung, terjadi kerusakan jaringan tubuh yang

menghasilkan suatu stimulus noksius akibat pelepasan ion H, K dan

prostaglandin serta pelepasan Bradikinin akibat kerusakan pembulu

darah. Kedua, pascabedah, terjadi respon inflamasi pada jaringan

tersebut yang bertanggung jawab terhadap munculnya stimulus noksius.

Kedua proses yang terjadi ini, selama dan pascabedah akan

mengakibatkan sensitisasi susunan saraf sensorik. Pada tingkat perifer,

terjadi penurunan nilai ambang reseptor nyeri (nosiseptor) yang disebut

sebagai sensitasi perifer, sedangkan pada tingkat sentral terjadi

peningkatan eksitabilitas neuron spinal yang terlihat dalam transmisi nyeri

atau sering disebut sebagai sensitasi sentral. Akibat perubahan sensitisasi

ini, secara patofisiologi nyeri pascabedah ditandai dengan gejala

hiperalgesia artinya suatu stimulus noksius lemah yang normal

menyebabkan nyeri ringan namun kini dirasakan sebagai nyeri hebat,

allodinia artinya suatu stimulus lemah yang normal tidak menyebabkan

nyeri kini terasa nyeri dan prolonged pain artinya nyeri menetap walaupun

stimulus sudah dihentikan. Sehingga untuk mengatasi nyeri dengan baik,

harus dicegah terjadinya sensitisasi perifer maupun sensitisasi sentral

(Cousins, 2005).

Sensitisasi nyeri pascabedah selain akan membuat penderitaan

akibat nyeri yang dirasakan oleh penderita juga merupakan sumber stress

pascabedah akibat aktifasi saraf otonom simpatis dengan segala akibat

yang ditimbulkan pada gilirannya akan meningkatkan morbiditas dan

Page 31: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

31

mortalitas. Oleh karena itu pengelolaan nyeri pascabedah ditujukan pada

pencegahan atau meminimalkan terjadinya kedua proses tersebut (Byers

& Bonica, 2001; Cousins, 2005).

2.1.1. Mekanisme Nyeri Akut Pascabedah

Nyeri akut pascabedah adalah terjadi akibat kerusakan jaringan

yang nyata (actual tissue damage) akibat trauma pembedahan. Antara

mulainya stimulus noksius sampai dengan adanya proses persepsi nyeri

di thalamus, Terdapat 4 rangkaian proses elektrofisiologis (Morgan et al.,

2006):

1. Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri

menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung saraf.

Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu, atau

kimia. Sebagai mediator noksious perifer di sini bisa karena bahan

yang dilepaskan dari sel-sel yang rusak selama perlukaan, ataupun

sebagai akibat reaksi humoral dan neural karena perlukaan.

Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang dan ligamentum

mengakibatkan dilepasnya ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta

asam arakidonat (AA) sebagai akibat lisis dari membrane sel.

Penumpukan asam arakidonat memicu pengeluaran enzim COX-2

yang akan mengubah asam arakidonat menjadi PGE2, PGG2, dan

PGH2. PGE2 dan mediator yang lain ini akan menyebabkan

sensitisasi saraf perifer (Kleinman & Mikhail, 2006).

Page 32: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

32

2. Proses transmisi, merupakan penyaluran isyarat listrik yang terjadi

pada proses transduksi melalui serabut A-δ bermielin dan serabut

C tak bermielin dari perifer ke medulla spinalis. Proses ini dapat

dihambat oleh anestetik lokal (Kleinman & Mikhail, 2006; Vadivelu

et al., 2009).

Saraf sensorik aferen primer dikelompokkan menurut

karakteristik anatomi dan elektrofisiologi. Serabut Aβ, merupakan

serabut bermielin, berdiameter besar, dengan konduksi yang cepat.

Saraf ini secara khusus mengirimkan informasi non nosisepsi.

Nosiseptor aferen primer adalah cabang terminal serabut A delta

dan C di mana badan sel bertempat di ganglia dorsalis. Pada

proses transmisi impuls noksious dari nosiseptor primer diteruskan

ke sel di dalam kornu dorsalis medulla spinalis. Serabut saraf A

delta dan serabut saraf C memiliki proyeksi di distal yang dikenal

sebagai ujung nosiseptif, sedangkan ujung proksimalnya akan

masuk ke dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan bersinaps

dengan second-order neuron yang berlokasi dominan dalam lamina

II (substansia gelatinosa) dan dalam lamina V (nucleus proprius)

(Morgan et al., 2006).

Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang

merupakan akhir dari serabut aferen pertama (presinaptik) dan

second order neuron yang menerima rangsang dari neuron

pertama (pascasinaptik). Proses modulasi nyeri diperankan oleh

Page 33: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

33

second order neuron ini, yang memfasilitasi atau menghambat

masuknya suatu rangsang noksious. Second-order neuron terdiri

atas dua jenis, yaitu (Morgan et al., 2006):

a. Nociceptive-specific neuron (NS) yang berlokasi dalam

lamina I dan bereaksi terhadap rangsang dari serabut saraf

A delta dan serabut saraf C.

b. Wide-dynamic range neuron (WDR) yang berlokasi dalam

lamina V dan bereaksi terhadap rangsang noksious ataupun

rangsang non noksious, dan yang menyebabkan

menurunnya respon threshold serta meningkatnya receptive

field, sehingga terjadi peningkatan sinyal transmisi ke otak

dan terjadi persepsi nyeri. Perubahan ini terjadi karena

perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan

jaringan serta proses inflamasi, dan disebut sensitisasi

sentral.

Sensitisasi sentral ini akan menyebabkan neuron-neuron

menjadi lebih sensitive terhadap rangsang lain dan menimbulkan

gejala-gejala hiperalgesia dan alodinia (Kleinman et al., 2006).

Hal ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bersifat

kaku, tetapi bersifat seperti plastik (plastisitas) yang dapat berubah

sifatnya karena ada kerusakan jaringan atau inflamasi. Stimulus

dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi dari neuron wide

Dynamic Range (WDR) berupa transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi

Page 34: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

34

stimulus dengan frekuensi yang lebih tinggi akan menghasilkan

transmisi sensoris nyeri. Neuron WDR ini dihambat oleh sel inhibisi

lokal di substansia gelatinosa dan dari sinaptik desendens. Sintesis

protein pada fase akut bersama dengan meningkatnya PGE dan

NO intra dan ekstraselular berperan pada sensitisasi sentral dan

plastisitas neural serta melakukan fasilitasi transmisi nyeri (Morgan

et al., 2006).

3. Proses Modulasi, adalah proses interaksi antara sistem analgetik

endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan isyarat nyeri yang

masuk di medulla spinalis. Analgetik endogen (enkefalin, endorfin,

serotonin) dapat menahan impuls nyeri pada kornu posterior

medulla spinalis. Kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan

tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen

tersebut. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh pendidikan,

motivasi, status emosional dan kultur seseorang (Kleinman &

Mikhail, 2006).

Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri

menjadi sangat subyektif orang per orang dan sangat ditentukan

oleh makna atau arti suatu impuls nyeri (Morgan et al., 2006).

Proses modulasi dinyatakan sebagai mekanisme hambatan

(inhibisi) terhadap nyeri di dalam kornu dorsalis medulla spinalis

dan di tingkat lebih tinggi di brain stem dan mid brain. Di medulla

spinalis mekanisme inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada

Page 35: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

35

sinaps pertama antara aferen noksious primer dan sel-sel WDR

dan NS dari second order, dengan demikian mengurangi

penghantaran spinotalamus dari impuls noksious. Modulasi spinal

dimediasi oleh kerja inhibisi dari senyawa endogen yang

mempunyai efek analgetik, yang dilepaskan dari interneuron spinal

dan dari ujung terminal akson yang mempunyai sifat inhibisi yang

turun (desendens) dari central gray locus ceruleus dan dari

supraspinal yang lain. Analgesik endogen itu adalah enkephalin

(ENK), norepinephrine (NE), dan gamma aminobutyric acid

(GABA). Analgesik endogen ini akan mengaktifkan reseptor opioid,

alfa adrenergik, dan reseptor yang lain, yang bekerja melakukan

inhibisi terhadap pelepasan glutamate dari aferen nosiseptif primer

atau mengurangi reaksi pasca sinaptik dari neuron second order

NS atau WDR. Proses modulasi adalah proses interaksi antara

mediator yang menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari

analgesik endogen (Kleinman & Mikhail, 2006).

4. Persepsi, hasil akhir dari interaksi yang komplek dari proses

transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya

menghasilkan suatu proses subyektif yang dikenal sebagai

persepsi nyeri. Serabut aferen nosisepsi dari second order neuron

mempunyai badan sel pada kornu dorsalis dari medulla spinalis,

yang berfungsi memproyeksi axon ke susunan saraf pusat yang

lebih tinggi dan bertanggung jawab terhadap proses informasi

Page 36: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

36

nosisepsi. Seperti yang disebutkan sebelumnya terbanyak serabut

asending menyilang sebelum berjalan kearah kranial pada traktus

spinotalamikus. Umumnya saraf pada traktus spinotalamikus

adalah wide dinamic range atau saraf high threshold, berjalan

melewati pons, medulla dan otak tengah ke daerah spesifik di

thalamus. Dari thalamus informasi aferen dibawa ke korteks

somatosensorik. Traktus spinotalamik juga mengirimkan cabang

kolateral ke formasio retikular. Impuls yang ditransmisikan melalui

traktus ini berperan terhadap perbedaan nyeri dan respon emosi

yang ditimbulkan. Formasio retikularis mungkin berperan terhadap

peningkatan aspek emosional dari nyeri seperti refleks somatik dan

otonomik. Aktivasi dari struktur supraspinal diperantarai oleh EAAs,

tapi neurotransmitter-neurotransmiter yang terlibat dalam proses

sentral dari informasi nosisepsi masih belum dapat dijelaskan

(Katzet & Clarke, 2008; Cousins, 2005).

2.1.2. Sensitisasi Perifer

Kerusakan jaringan akut akibat suatu pembedahan akan

menyebabkan rangkaian reaksi-reaksi neurohumoral dideskripsikan oleh

Lewis dan disebut “Triple Response”. Respon klasik tersebut ditandai

dengan peningkatan aliran darah (kemerahan), edema jaringan (wheal)

dan sensitisasi nosiseptor. Lisis sel akibat kerusakan jaringan tadi

ditandai dengan terlepasnya potassium intraselluler, ion-ion hidrogen dan

pembentukan/pelepasan prostaglandin, bradikinan, glutamat, ATP dan

Page 37: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

37

adenosin. Terlepasnya zat-zat tersebut akan menyebabkan pelepasan

subtansi P dari ujung presinaptik yang akan menginduksi pelepasan

mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Mediator kimia

seperti IL-1β, NGF, Bradikinin, histamin, PGE2, serotonin yang disebut

sebagai inflamatory soup yang akan mensensitasi nosiceptor presinaptik

sehingga terjadi depolarisasi ditingkat saraf afferen primer yang disebut

sebagai first order neuron (Asburn et al., 2001; Katz & Clark, 2008; Maund

et al., 2011).

Gambar 1. Inflamatory soup. Coniam S, Mendham J. Principle of pain

management.New York. Oxford University Press. 2006.

Akibat dari sensitisasi ini menyebabkan rangsang pada serabu C

dan Aδ yang akan meneruskan inpuls ke cornu dorsalis dan

menyebabkan modulasi yang disebut sebagai second order neuron.

Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan

Page 38: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

38

meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah

jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh

adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak

maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer

ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya

demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-

steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase dan

penggunaan opiat karena reseptor opiat juga terdapat pada presinaptik

(Ashburn et al., 2001; Katz & Clark, 2008).

Gambar 2. Sensitisasi Perifer (Raja SN, Dougherty PM. Anatomy and physiology

of somatosensory and pain processing. In Benzon HT, Raja SN, Liu

SS, Fisman SM, Cohen SP, Hurley RW et all. Essensial of pain

medicine 3rd edition. Philadelpia. Saunders;2011.p.12

Page 39: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

39

2.1.3. Sensitisasi Sentral

Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat

pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis

medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama

dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan

sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus

noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang

merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron

sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah

yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau

menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di

kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific

neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut

Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron

(WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus

non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta

meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal

transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-

perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu

dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini

disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat

menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap

stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan

Page 40: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

40

bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired”

yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya akibat

adanya kerusakan jaringan atau inflamasi (Ashburnet al., 2001; Katz &

Clark, 2008).

Gambar 3. Sensitisasi Sentral. Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS. Pain

Pathways and Acute pain processing. In: Sinatra RS, Casasola OA,

Ginsberg B, Viscusi ER editors. Acute Pain Management.

Cambridge. Cambridge University Press; 2009.p.23

2.2. Multi Modal Analgesia

Nyeri pascabedah harus mendapatkan pengelolaan nyeri yang

optimal untuk memberikan kenyamanan subjektif terhadap penderita,

mencegah transmisi aferen nyeri yang dipicu oleh trauma, menumpulkan

refleks otonomik dan somatik terhadap nyeri. Dengan demikian, maka

pasien dapat dengan mudah untuk bernafas, batuk, dan bergerak

sehingga proses pemulihan fungsi meningkat. Yang selanjutnya, efek-efek

tersebut meningkatkan luaran pascabedah secara keseluruhan. Atas

dasar teori perjalanan nyeri tersebut maka prinsip dasar penatalaksanaan

Page 41: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

41

nyeri pascabedah (akut) harus ditujukan untuk mencegah terjadinya

sensitisasi perifer dan sentral melalui keempat proses perjalanan nyeri

tersebut (Buvanendran & Kroin, 2009).

Konsep multimodal analgesia telah diperkenalkan lebih dari satu

dekade yang lalu sebagai suatu tekhnik untuk meningkatkan efek

analgesia dan mengurangi insiden yang tidak diharapkan terkait dengan

penggunaan opioid. Strategi ini menitik beratkan tercapainya analgesia

yang optimal dengan cara penggunaan secara simultan kelas atau mode

analgesia yang berbeda pada jalur dan reseptor nyeri untuk memberikan

kontrol nyeri yang optimal. Hal ini menyebabkan dosis obat individual

berkurang dan menurunnya efek yang tidak diharapkan dari obat tertentu

yang digunakan pada perioperatif. Penggunaan multimodal analgesia

memberi berbagai keuntungan terhadap pasien-pasien post operasi.

Pertama, penggunaan agen obat-obatan dengan mekanisme analgesia

yang berbeda akan memberikan sinergisme efek yang menghasilkan

efikasi yang besar. Kedua, sinergisme antara obat-obat tersebut

menyebabkan pemberian dosis yang lebih rendah dari masing-masing

obat, sehingga mencegah efek samping yang berkaitan dengan dosis,

serta menurunkan penggunaan dosis opioid. Telah banyak penelitian yang

menunjukan dengan penggunaan multimodal analgesia dapat

menurunkan insiden yang tidak diharapkan dari obat, mempercepat waktu

pemulihan dan waktu rawat inap rumah sakit, serta mengurangi biaya

kesehatan. Saat ini American Society of Anesthesiologist Task Force on

Page 42: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

42

Acute Pain Management menganjurkan pengguanaan analgesia multi

modal ini (Buvanendran & Kroin, 2009).

Teristimewa pada pasien pascaoperasi seksio sesaria,

penanganan nyeri sangatlah penting, dimana bebas nyeri pada pasien

pasca operasi seksio sesaria akan meningkatkan mobilisasi dan

rehabilitasi pasien yang lebih dini dan mengurangi resiko tromboemboli

yang resikonya meningkat pada saat kehamilan, mempercepat masa

rawat, dan akhirnya mengurangi biaya perawatan. Bebas dari rasa nyeri

dapat memperbaiki kemampuan dan interaksi ibu untuk memperhatikan

bayinya dengan optimal segera pada periode postpartum, serta

membantu memperbaiki kondisi bayi oleh karena kemampuan ibu untuk

menyusui lebih efektif (Buvanendran & Kroin, 2009).

Multimodal analgesia modern terdiri dari teknik analgesia ataupun

penggunaan agen farmakologi yang bekerja dengan potensi analgesia

lebih dari satu terhadap mekanisme penghantaran nyeri, misalnya

epidural analgesia dengan kombinasi parasetamol atau COX2.

Keuntungan dari multimodal analgesia adalah analgesia yang optimal

dengan dosis yang minimal sehingga mengurangai efek samping darai

dari obat yang yang digunakan, seperti penurunan resiko perdarahan,

penurunan resiko mual muntah akibat dosis opiat dll. Pemberian opioid

secara sistemik, baik intramuskuler maupun intravena dapat mengontrol

nyeri pasien, namun terhambat dengan efek samping yang sering muncul

akibat pemberian opioid sistemik, demikian pula dengan penggunaan

Page 43: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

43

AINS jangka panjang membuat penerapan multi modal anestesia menjadi

pilihan. Modalitas yang sering digunakan adalah parasetamol, NMDA

reseptor antagonis, anestesi lokal, alfa 2 agonis dll (Wee et al., 2005).

Gambar 4. Nociception and Multimodal Analgesia. Durkin B, Glass P. The future

of acute pain management. In: Sinatra RS, Casasola OA,

Ginsberg B, Viscusi ER editors. Acute Pain Management.

Cambridge. Cambridge University Press; 2009.p.672.

2.3. Farmakologi

2.3.1. Parasetamol

Parasetamol dikenal juga sebagai acetaminofen dan telah

digunakan sebagai obat analgesia lebih dari 30 tahun. Penggunaan yang

luas dikarenakan oleh karena rentang dosis yang aman dengan efek

samping yang sangat minimal. Tahun 2000 oleh the Committee on Safety

of Medicine, mempublikasikan bahwa paracetamol adalah obat yang

aman digunakan sebagai analgetik termasuk pada pasien asma yang

Page 44: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

44

sebelumnya dianggap bahwa parasetamol kurang efektif. Pemakaian

parasetamol pada binatang percobaan dianggap menurunkan level

glutation pada jaringan paru, namun tidak tidak terjadi pada manusia, oleh

karena itu aman digunakan termasuk pada pasien asma (Smith, 2009).

Sebagaimana obat yang lain, efektifitas parasetamol telah terbukti

namun mekanisme kerja yang belum diketahui, tidak seperti opiat dan

AINS, parasetamol tidak memiliki binding sites endogen dan tidak

menghambat aktivitas siklooksigenasi perifer secara bermakna. Ada

peningkatan bukti efek antinosiseptif sentral, dan mekanisme potensial

untuk hal ini meliputi inhibisi COX-2 sistem saraf sentral, inhibisi terhadap

dugaan siklooksigenasi sentral „COX-3‟ yang selektif rentan terhadap

parasetamol, modulasi dari aktivasi canabinoid sistem dan jalur

serotonergik descending. Parasetamol juga menurunkan hiperalgesia

yang dimediasi oleh substans P, dan menghambat pembentukan nitric

oxide yang merupakan akibat dari aktivasi substans P dan stimulasi

reseptor N-methyl D-aspartate. selain itu parasetamol juga menghambat

produksi prostaglandin pada level transkpsi seluler, sehingga memiliki efek

siklooksigenasi perifer (Smith, 2009; Davis & Graham, 2005).

Potensi analgesik parasetamol relatif rendah dan kerjanya terkait

dengan dosisnya (dose-related); terdapat efek „ceiling‟ dimana tidak ada

penambahan efek analgesia ataupun antipiretik meskipun dosis

ditingkatkan. Dari sifatnya ini, parasetamol dapat digunakan untuk

mengobati dan mencegah kebanyakan dari nyeri ringan dan beberapa

Page 45: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

45

nyeri sedang. Pada kombinasi dengan AINS atau opiat lemah seperti

kodein, parasetamol dapat dipakai untuk mengobati atau mencegah

kebanyakan dari nyeri sedang (Davis & Graham, 2005; Varrassi et

al.,1999).

Interaksi dengan sistem neurotransmiter-neurotransmiter, dapat

menjelaskan efek analgesik dari parasetamol, meliputi sistem

serotonergik, opioidergik, noradrenergik, kolinergik, sistem sintesa nitric

acid. Parasetamol dapat mengganggu nosisepsi berkaitan dengan aktivasi

reseptor NMDA spinal. Efek ini dapat menyebabkan suatu aksi inhibisi

pada mekanisme nitric acid. Peranan parasetamol dalam menimbulkan

antinosisepsi tampaknya diperoleh dari sinergisme antara tingkat perifer,

spinal, dan supraspinal. Komponen supraspinal memberikan mekanisme

analgesik dari parasetamol yang meliputi opioid-like dan serotonergi

(Smith, 2009).

Parasetamol tersedia dalam berbagai formulasi seperti tetes, sirup,

tablet, suppositoria, dan intravena. Ketersediaan dari parasetamol i.v.

akan meningkatkan dan memperluas penggunaan obat ini sebagai

komponen dasar dari analgesia multimodal setelah pembedahan. Sediaan

intravena memiliki keuntungan dan keamanan dibanding sediaan oral,

karena lebih dapat diprediksi konsentrasinya dalam plasma pada periode

dini pascabedah. Formulasi intravena pro-paracetamol dipecah oleh

plasma esterase untuk menghasilkan setengah massa dari obat aktif.

Penggunaan parasetamol intravena memberikan beberapa keuntungan

Page 46: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

46

dimana konsentrasi effect site yang lebih tinggi yang dicapai di otak dalam

waktu singkat yakni sekitar 5 – 1- menit setelah pemberian intravena dan

memberikan menghasilkan potensi analgesik yang lebih besar, dimana

puncak efek analgesia dicapai dalam waktu 1 jam denga durasi 4 – 6 jam

(Davis & Graham, 2005; Varrassi et al., 1999).

Parasetamol Intravena tersedia dalam bentuk cair 10 mg/mL (50

mL dan 100 mL untuk infus selama 15 menit) yang mengandung manitol,

natrium fosfat, dibasic dihydrate, cysteine hydrochloride 25 mg per 100mL.

Parasetamol IV dikontraindikasikan pada kasus-kasus insufisiensi

hepatoselluler berat dan gagal hati, dan hati-hati diberikan pada pasien-

pasien dengan klirens kreatinin < 30ml/menit, alkoholisme kronik,

malnutrisi kronik (cadangan glutation hepatic rendah) dan dehidrasi. The

British National Formula (BNF) menganjurkan bahwa dosis maksimum

untuk pasien dengan insufisiensi hepatoseluler, kronik malnutrisi, kronik

alkoholisme atau dehidrasi adalah maksimal 3 gram per 24 jam. Efek

analgesia parsetamol intravena tercapai dengan cepat antara 5–10 menit

setelah pemberian dengan efek puncak analgesia dicapai dalam 1 jam

dan durasi mencapai 4 - 6 jam. Sedangkan parasetamol oral juga

memiliki bioavailabilitas yang baik (63–89%) meski beberapa kasus

plasma konsentrasi subterapeutik. Level minimal konsentrasi plasma

untuk analgetik dan antipiretik dari parasetamol sekitar 10 mcg/ml atau 66

mmol/L) sehingga level terapeutik umumnya tercapai antara 10 – 20

Page 47: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

47

mcg/ml, sehingga dibutuhkan dosis besar untuk mendapatkan efek

analgesia yag optimal (Davis & Graham, 2005).

Sebuah studi kecil membandingkan bioavailabitas antara

pemberian parasetamol intravena dengan oral pada 35 pasien yang

menjalani operasi, diberikan 1–2 gr parasetamol tablet oral atau 1–2 gr

parasetamol bikarbonat tablet atau 2 gram proparasetamol,

memperlihatkan bahwa konsentrasi plasma parasetamol oral lebih lambat

dicapai, sekitar 40 menit efek analgesia kesemuanya memperlihatkan efek

yang tidak jauh berbeda. Sehingga parasetamol intravena

direkomendasikan diberikan pada kondisi dimana jalur oral

tidakmemungkin akibat pembedahan atau puasa, atau dibutuhkan onset

yang cepat (Blanshard,2010).

Pemberian parasetamol pada wanita hamil dan menyusui aman

menurut FDA, bahwa tidak ada bukti yang membahayakan terhadap

perkembangan janin selama kehamilan atau selama masa menyususi

(kategori B), dan terlihat adanya peningkatan total parasetamol klerens

pada saat persalinan oleh karena peningkatan disproporsi klerens

glukoronidasi dan peningkatan proporsi klerens dari parasetamol yang

tidak berubah dan klerens oksidatif yang memungkinkan peningkatan limit

dosis pada pasien tersebut (Kulo et al., 2012; Briggs et al., 1994).

2.3.2. Ketamin

Ketamin merupakan derivat fensiklidin yang diketemukan pada

tahun 1965 dan digunakan untuk pertama kalinya dalam praktek klinik

Page 48: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

48

pada tahun 1970. Ketamin bekerja dengan mengikat secara nonkompetitif

pada reseptor NMDA. Ketamin menghambat aktivasi reseptor NMDA

melalui glutamat sehingga menurunkan pelepasan glutamat presinaptik

yang menyebabkan potensiasi efek neurotransmitter inhibitoris GABA.

Ketamin juga berefek pada reseptor opioid mu (µ) dan kappa, dapat

menekan produksi neutrofil dan meningkatkan aliran darah serta secara

langsung menghambat sitokin sehingga menghasilkan efek analgesik.

Ketamin dapat diberikan dalam berbagai rute pemberian oleh karena

kelarutan terhadap air dan lemak. Intravena, intramuskuler, oral, rektal,

subkutaneus, epidural, transnasal merupakan rute pemberian ketamin

yang umum dilakukan (Craven, 2007).

Bioavailabilitas ketamin intravena dapat mencapai 90% dengan

efek puncak dicapai dalam 1–5 menit, sedang pada rute oral

bioavailabilitas hanya 16 % dengan efek puncak dicapai dalam 15–30

menit. Analgesia kuat dapat dicapai dengan dosis subanestetik, yaitu 0,1-

0,5 mg/kgBB intravena. Analgesia diyakini lebih kuat untuk nyeri somatik

dibanding nyeri viseral. Efek analgesik ketamin utamanya pada

aktivitasnya di talamus dan sistem limbik, yang bertanggung jawab pada

interpretasi sinyal nyeri. Sensitisasi medulla spinalis (reseptor NMDA pada

kornu posterior) bertanggung jawab terhadap nyeri yang berhubungan

dengan sentuhan atau gerakan pada bagian tubuh yang cedera (Byers &

Bonica, 2001; Wee et al., 2005).

Page 49: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

49

.

Gambar 5. Reseptor NMDA. In: Freye E. Opioid in medicines. A comprehensive

review on the mode of action and the use of analgetics in different

clinical pain stases. Netherland. Springer: 2008. p.41.

2.3.3. Petidin/meperidin

Petidin adalah sintetik opiod pertama yang ditemukan sejak 1932,

analgesic petidin bekerja pada reseptor opioid (mirip morfin), yang

bekerja secara sentral pada reseptor opiod, dapat diberikan peroral,

intravena, maupun intramuskular. Dibandingkan dengan morfin, petidin

lebih efektif pada penanganan kolik biliar dan ginjal dengan efek adiktisi

yang lebih kecil, disamping sering digunakan juga sebagai anti shivering.

Diberbagai negara, seperti Australia, penggunaan petidin mulai dibatasi,

namun diIndonesia petidin masih merupakan opiat yang umum digunakan

sebagai balans analgesia (Morgan et al., 2006).

Page 50: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

50

Petidin merupakan senyawa piperidine yang mempunyai beberapa

sifat yang sama dengan morfin dan opioid sintetik, struktur meperidin

sama dengan atropin dan mempunyai sifat anti spasmodik seperti atropin.

Potensinya 1/8 sampai 1/10 morfin dengan rumus kimia etil 1metil 4 fenil

piperidin 4 karboksilat.

Sifat fisikokimia sama dengan obat anestesi lokal dengan berat molekul

247, pKa 8,5 dan koefisien partisi 38,8. Kekuatan analgesia 1/10 morfin,

dengan pemberian intramuskuler(im) 100 mg ekuivalent dengan10 mg

morfin. Durasi analgesia sekitar 2-4 jam, dengan onset lebih cepat

dibanding morfin 15-30 menit setelah injeksi im dan efek puncak terjadi

dalam 45-90 menit, menimbulkan efek analgesia, sedasi dan euforia serta

menyebabkan depresi pusat nafas. Efek analgesia menonjol dan pada

dosis 50-75 mg im dapat meningkatkan ambang nyeri sampai 50%

(Morgan et al., 2006).

Metabolisme petidin di hati dan kira-kira 90% obat mengalami

dimetilasi menjadi normeperidine dan hidrolisa menjadi asam meperidin

yang merupakan bentuk metabolit yang non aktif dan mengalami

konjugasi serta eliminasi di urine kurang dari 5%. Normoperidin eliminasi

half life 15-40 jam dan dapat dideteksi dalam urin untuk waktu yang

panjang yaitu 3 hari setelah pemberian pethidin. Normeperidine

mempunyai efek toksik dengan manifestasi mioklonus dan kejang untuk

pemberian meperidin yang lama khususnya pada pasien dengan

gangguan ginjal. Pada pasien yang menyusui, pemberian petidin pasca

Page 51: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

51

persalinan akan terlihat pada air susu sekitar 1,7%-3,5% dari dosis ibu,

yang juga dapat berefek pada bayi sehingga membutuhkan monitoring

ketat. Efek samping yang mungkin muncul adalah sedasi, sianotik,

bradikardia, dan kejang. Karenanya pemberian petidin selama persalinan

dan masa menyusui harus hati-hati atau dihindari (Montgomery & Hale,

2006).

Efek samping depresi pernafasan sebanding dengan besarnya

dosis obat yang diberikan. Efek utamanya menurunkan ventilasi semenit

dan volume tidal dan menurunkan laju pernafasan. Pada dosis yang besar

dapat menyebabkan apnea, pasien tetap sadar dan dapat bernafas jika

diperintah. Petidin menyebabkan stimulasi pelepasan histamin dan

menyebabkan hipotensi orthostatik karena hilangnya refleks sistem saraf

simpatis kompensatorik. Laju jantung dapat meningkat, petidin dosis tinggi

dapat menurunkan kontraktilitas jantung, volume sekuncup dan

peningkatan tekanan pengisian jantung. Efek penggunaan petidin pada

gastrointestinal menyebabkan timbulnya mual dan muntah karena efek

petidin pada sentral dan perifer. Motilitas usus berkurang dan

menimbulkan konstipasi, menurunkan tonus dan amplitude kontraksi

ureter dan dapat mengurangi spasme bronkus. Peningkatan tonus otot

sphincter oddi akan menyebabkan peningkatan tekanan intra biliaris yang

menyebabkan nyeri (Morgan et al., 2006).

Mekanisme kerja opioid termasuk petidin pada reseptor opioid

berikatan dengan reseptor G-protein dan bekerja sebagai regulator positif

Page 52: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

52

maupun negatif dari transmisi sinaps melalui G-protein yang mengaktivasi

protein efektor. Ikatan dengan opioid menstimulasi perubahan GTP

menjadi GDP pada kompleks G-protein. Karena sistem efektor adalah

adenylate cyclase dan cAMP terletak pada permukaan dalam membrane

plasma, opioid akan menurunkan cAMP intraseluler dengan menginhibisi

adenylat cyclase. Kemudian, terjadi inhibisi pelepasan neurotransmitter

nosiseptif seperti substansi P, GABA, dopamine, asetilkolin, dan

noradrenalin. Opioid juga menginhibisi pelepasan vasopressin,

somatostatin, insulin dan glukagon. Opioid menutup saluran kalsium tipe-

N yang dipengaruhi oleh voltage (OP2-reseptor agonis) dan membuka

saluran kalium yang dependen kalsium di bagian dalam (OP3 dan OP1

reseptor agonis). Hal ini menimbulkan hiperpolariasi dan penurunan

eksitabilitas neuronal (Morgan et al., 2006; Peng & Sandler, 1999).

Gambar 6. Mekanisme penghambatan opioid terhadap pelepasan Neurotransmitter. In: Freye E. Opioid in medicines. A comprehensive review on the mode of action and the use of analgetics in different clinical pain stases. Netherland. Springer: 2008. p.106.

Page 53: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

53

2.3.4. Morfin

Morfin merupaka obat opioid yang lazim digunakan sebagai analgesia

pascabedah termasuk seksio sesaria, baik sebagai obat tunggal maupun

bersama dengan penggunaan obat adjuvan. Istilah opioid berhubungan

dengan suatu bagian senyawa yang berasal dari opium. Senyawa ini

diklasifikasikan sbb: (1) natural (misalnya: morfin), (2) semisintetis

(misalnya: dihydromorphone), (3) sintetis (misalnya: fentanyl). Hanya ada

tiga opioid natural yang bermakna secara klinis yaitu morfin, codein dan

papaverine. Substansi ini berasal dari tanaman poppy dikenal sebagai

Papaver somniferum (Morgan et al., 2006).

Opioid merupakan analgesik yang efektif terutama untuk nyeri

sedang sampai nyeri berat pascabedah. Efek opioid terhadap

penghataran nyeri dimediasi oleh reseptor opioid pada susunan saraf

pusat dengan menghambat signal yang berhubungan nyeri. Demikian

pula dengan reseptor opioid perifer juga akan memberikan efek analgesia

pada pada manusia. Potensi analgesia dari opioid berkorelasi langsung

dengan affinitas terhadap reseptor opioid terhadap masing-masing

individu. Persepsi nyeri adalah suatu kompleks transmisi nosisepsi yang

berasal dari stimulasi saraf sensoris diperifer, menghasilkan aksi potensial

di medulla spinalis dan transmisi sinaps ke daerah supraspinal lainnya.

Pemberian sistemik opioid dosis besar menghasilkan aktivasi multiple baik

reseptor sentral dan perifer untuk menghasilkan analgesia, tetapi dengan

efek samping yang tidak diinginkan (Morgan et al., 2006).

Page 54: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

54

Gambar 7. Lokasi dari reseptor opiod pada tiga level pain pathway. Suatu densitas tinggi reseptor opioid terdapat pada hypothalamus, periaquaductal gray, locus coeruleus, kornu dorsalis medulla spinalis, dorsal root ganglia dan peripheral nerve endings saraf sensoris. (Dikutip dari: Schafer M. Essential drugs in anesthetic practice : mechanisme of action of opioids. In: Evers AS, Maze M, Kharasch ED, editors. Anesthetic Pharmacology. Cambridge: Cambridge University Press; 2011. p. 493-508)

2.4. Numeric Rating Scale

Skor nyeri sering digunakan untuk menilai adekuasi analgesia pada

kajian penelitian. Berdasarkan perubahan pada skor nyeri atau skor nyeri

akhir, seorang peneliti dapat menentukan bahwa suatu medikasi atau

pengobatan dengan analgetik lebih superior dibandingkan dengan yang

lain. Numeric rating scale (NRS) adalah salah satu contoh skala nyeri

yang digunakan pada kajian penelitian. NRS diberikan dengan

menanyakan perkiraan intensitas nyeri kepada pasien secara verbal pada

skala 0 sampai 10, dengan angka 0 menunjukkan nyeri tidak dirasakan

Page 55: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

55

dan 10 menunjukkan nyeri paling berat yang dibayangkan (Gambar 5).

Pada uji klinis dari pasien dengan arthritis rheumatoid atau kanker,

menunjukkan bahwa penilaian nyeri dengan NRS adalah realistis, mudah

bagi pasien untuk dimengerti, dan mudah bagi peneliti untuk menilai.

Dibandingkan dengan VAS, NRS memiliki keuntungan secara klinis

sehubungan dengan validitas dan kesederhanaan, dimana VAS

membutuhkan peralatan khusus dan ketepatan dalam pengukuran.

Sementara itu hasil pengukuran tidak menunjukkan kemaknaan secara

klinis (Beillin et al., 2003).

Digunakan pada dewasa dan anak-anak (>9 tahun) pada semua

kondisi dimana pasien yang dirawat mampu menggunakan angka dalam

menilai intensitas nyeri (Beillin et al., 2003; Fletcher et al., 2008).

Gambar 5. Numeric Rating Scale dikutip dari : Beillin Y, Hossain S, Bodian CA. Numeric rating scale and labor epidural analgesia. Anesth Analg. Fig. 3. Numeric Rating Scale.2003.p;945

Instruksi:

1. Pasien diajukan pertanyaan berikut:

a. Angka berapa yang akan anda berikan untuk menilai nyeri

anda sekarang?

b. Angka berapa pada skala diantara 0 sampai 10 yang akan

anda berikan?

Page 56: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

56

c. Pada angka berapa nyeri tersebut berada pada kondisi yang

dapat anda terima?

2. Jika penjelasan pada poin pertama tidak cukup untuk pasien,

umumnya sangat membantu untuk lebih jauh menjelaskan atau

mengajukan konsep NRS dengan urutan sebagai berikut:

a. 0 = Tidak nyeri

b. 1 - 3 = Nyeri ringan

c. 4 - 6 = Nyeri sedang

d. 7 - 10 = Nyeri berat

3. Tim yang bersifat interdisipliner dengan bekerja sama dengan

pasien/keluarga (jika dibutuhkan), dapat menentukan intervensi

yang sesuai sebagai respon dari hasil penilaian dengan NRS.

Page 57: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

57

KERANGKA TEORI

NYERI

TRANSDUKSI

TRANSMISI (serabut saraf aferent &

Eferant: Aα, C, Aδ)

MODULASI Sensitasi Sentral

PERSEPSI Korteks Serebri

TRAUMA

BEDAH

PARASETAMOL

PETIDIN

Direct & indirect inhibition:

Central COX, Aktivation of the

canabinoid syst & spinal

serotonergic pathways

Prevent Pg production at

the celuller transcription

level

KETAMINE

Anti sensitasi sentral dan

inhibisi interpretasi sinyal

pada Thalamus dan Limbik

Binding to opioid receptors:

Inhibits the presynaptic release

and postsynaptic respon to

excitatory neurotransmitters

Page 58: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

58

BAB III

KERANGKA KONSEP

VARIABEL ANTARA

TRAUMA PEMBEDAHAN

Persepsi

Modulasi

Transmisi

Transduksi

VARIABEL KENDALI

PS ASA

BMI Lama Operasi

Umur

VARIABEL BEBAS

PARASETAMOL +

KETAMIN

PARASETAMOL

+

PETIDIN

PEMBEDAHAN

SEKSIO SESARIA

VARIABEL TERGANTUNG

NRS TD, HR

Efek samping

Keb. Analgetik tambahan

Page 59: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

59

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang

bersifat uji klinis, single blind. dimana subyek yang memenuhi kriteria

inklusi dibagi menjadi

2 grup, masing-masing 30 orang secara acak, yakni pasien pascabedah

seksio sesaria dengan anestesi subarakhnoid blok (SAB).

Penderita dibagi menjadi 2 grup yaitu :

Grup A : Diberikan paracetamol tablet oral 1 gr/8 jam dalam 24 jam

dan ketamin bolus 0,3 mg/kgBB i.v, dilanjutkan ketamin

perinfus 0,1 mg/kgBB/jam dalam 24 jam.

Grup B : Diberikan parasetamol tablet oral 1 gr/8jam selam 24 jam dan

petidin 0,5 mg/kgBB i.v dilanjutkan petidin perinfus 0,1

mg/kgBB/jam dalam 24 jam.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Wahidin Sudirohusodo makassar

dan rumah sakit jejaringnya, mulai November - Desember 2012.

Page 60: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

60

4.3. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien yang akan menjalani bedah

seksio sesaria, berumur 18 sampai 45 tahun, yang dilakukan di ruang

bedah RSUP Wahidin Sudirohusodo dan atau rumah sakit jejaringnya

selama masa penelitian.

4.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

4.4.1. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian populasi yang memenuhi kriteria

penelitian dan telah menandatangani surat persetujuan terlibat dalam

penelitian.

4.4.2. Cara Pengambilan Sample

Sampel diambil dengan cara consecutive sampling, dimana

subjek yang datang dan memenuhiu kriteria inklusi dimasukkan

dalam penelitian sampai jumlah sampel penelitian terpenuhi. Sampel

kemudian dibagi dalam dua kelompok yang dilakukan dengan

random berdasarkan nomor urut kedatangan ke kamar operasi.

4.5. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus :

n1=n2= [(Zα x √2PQ) + (Zβ x √P1Q1+P2Q2)]2

(P1-P2)2

n1=n2= [(1,96 x √2(0,25)(0,75)) + (0,842 x √0,4(0,6) + 0,1(0,9))]2

(0,4-0,1)2

n1=n2= [(1,96 x 0,612) + (0,842 x 0,574)]2

(0,4-0,1)2

n1=n2= 31,5 (besar sampel masing-masing kelompok)

Page 61: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

61

Keterangan:

P1 = Proporsi efek standar (diambil dari data pustaka).

Pada penelitian ini didapatkan P1=0,4

P2 = Proporsi efek dari obat yang diteliti, yang ditentukan berdasarkan

beda hasil klinis terkecil yang dianggap penting, didasarkan pada

clinical judgment peneliti (sebaiknya tidak diambil dari data pustaka).

Pada penelitian ini ditetapkan P2=0,1

Zα = Tingkat kemaknaan (ditetapkan oleh peneliti).

Pada penelitian ini ditetapkan tingkat kemaknaan 5% sehingga

Zα=1,96

Zβ = Power (ditetapkan oleh peneliti).

Pada penelitian ini ditetapkan sebesar 80%

P = ½(P1+P2)

Q = 1 - P

n1 = Besar sampel kelompok 1

n2 = Besar sampel kelompok 2

4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.6.1. Kriteria Inklusi

a. Telah menandatangani persetujuan terlibat dalam penelitian.

b. Umur 18-45 tahun.

c. BMI 18 - 30.

d. PS ASA I-II.

e. Anestesi subarakhnoid blok.

f. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawat.

Page 62: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

62

4.6.2. Kriteria Eksklusi

a. Tidak kooperatif.

b. Alergi terhadap anestesi lokal, paracetamol, ketamin, petidin atau

fentanil.

c. Menderita penyakit kardiovaskuler, gangguan ginjal, gangguan hati,

asma bronkial, diabetes mellitus dan atau rinitis alergi.

d. Preeklampsia atau eklampsia.

4.7. Izin Penelitian dan Ethical Clearance

Penelitian ini telah mendapatkan rekomendasi persetujuan etik

(ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada manusia

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.sesuai dengan nomor

register UH12110341.

Semua penderita yang memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan secara

lisan dan menandatangani lembar persetujuan untuk ikut dalam penelitian

secara sukarela. Bila karena suatu alasan penderita berhak

mengundurkan diri dari penelitian ini.

4.8. Cara Kerja

4.8.1. Alokasi Subjek

Penelitian dilakukan pada semua pasien yang memenuhi kriteria

inklusi dan telah menandatangani persetujuan tindakan penelitian, dan

dibagi dalam dua kelompok:

Page 63: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

63

a. Kelompok PCT-Ketamin adalah kelompok yang sebelum

pembedahan seksio sesaria yang mendapatkan parasetamol 1

gram i.v dan dilanjutkan pasca bedah mendapatkan parasetamol

tablet oral 1gram/8 jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam.

b. Kelompok PCT-Petidin adalah kelompok yang sebelum

pembedahan seksio sesaria yang mendapatkan parasetamol 1

gram i.v dan dilanjutkan pasca bedah mendapatkan parasetamol

tablet oral 1 gram/8 jam dan petidin infus 0,1 mg/kgBB/jam.

4.8.2. Cara Penelitian

4.8.2.1. Pencatatan

Melakukan pendataan identitas subjek yang akan menjalani

pembedahan seksio sesaria dan masuk kriteria inklusi, memberikan

penjelasan dan informed consent yang jelas tentang tindakan yang akan

diberikan dan subjek yang setuju akan mengisi dan manandatangani

informed consent.

Pencatatan terhadap perubahan nyeri dalam NRS, perubahan TAR, laju

jantung dan laju napas, serta adanya efek samping mual muntah dan

halusinasi pada jam 1, 4, 8, 24.

Page 64: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

64

4.8.2.2. Pengukuran

Melakukan pemeriksaan tekanan darah, laju jantung, frekuensi

napas dan derajat intensitas nyeri dengan NRS (numerical rating scale)

pada waktu-waktu yang telah ditentukan selam 24 jam pengamatan.

4.8.2.2.1. Prosedur

Pengambilan sampel dengan cara random dikelompokkan menjadi

grup PCT-Ketamin dan PCT-Petidin. Kedua kelompok sebelum

pembedahan mendapatkan parasetamol infus 1 gram selama 15 menit,

senjutnya anestesi dengan subarakhnoid blok menggunakan bupivakain

0,5% 10 mg+clonidin 30 mcg, setelah pembedahan selesai, kedua grup

tetap mendapatkan paracetamol tablet oral 1 gr/8jam, kemudian grup

PCT-Ketamin diberikan bolus ketamin 0,3 mg/kgBB i.v, dilanjutkan

ketamin perinfus 0,1 mg/kgBB/jam dalam 24 jam. sedangkan grup PCT-

Petidin diberikan petidin bolus 0,5 mg/kgBB i.v, dilanjutkan petidin

perinfus 0,1 mg/kgBB/jam dalam 24 jam.

Nyeri pascabedah yang dirasakan oleh subyek dinilai dengan

menggunakan skor NRS (Numerical Rating Scale) yaitu sebuah garis

skala numerik 0-10 dari kiri ke kanan. Pada ujung kiri (angka 0) diberi

tanda TIDAK NYERI, dan pada ujung kanan (angka 10) diberi tanda

NYERI BERAT. Penderita diinstruksikan untuk menilai sendiri tingkatan

nyeri yang dirasakan dengan menunjuk angka yang tertera pada skala

numerik. Nilai NRS 0-3 sesuai untuk keadaan tidak nyeri sampai nyeri

Page 65: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

65

ringan, NRS 4-7 sesuai untuk keadaan nyeri sedang, dan NRS 8-10

sesuai untuk keadaan nyeri hebat sekali atau nyeri tak tertahankan.

Perubahan hemodinamik (tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,

tekanan darah rerata dan laju jantung), efek samping obat (depresi napas,

mual muntah, dan halusinasi),

4.8.2.3. Intervensi

Subjek yang mengalami nyeri dengan nilai NRS >4, akan diberikan

bolus morfin 0,05mg/kgBB sebagai rescue analgesia. Kebutuhan analgetik

tambahan (morfin) diamati dan dicatat dalam lembar pengamatan selama

24 jam.

Page 66: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

66

4.9. ALUR PENELITIAN

PASIEN YANG MEMENUHI KRITERIA PENELITIAN

SUBARAKHNOID BLOK

BUPIVAKAIN 0,5%

10mg+clonidin 30 mcg

PEMBEDAHAN

SEKSIO CESARIA

KELOMPOK A&B

Parasetamol i.v 1 gram

sebelum operasi dan

dilanjutkan 1 gram /8 jam p.o

OPERASI SELESAI

KELOMPOK B

petidin 0,5 mg/kgBB i.v

dilanjutkan kontinyu 0,1

mg/kgBB/jam dalam 24

am.

KELOMPOK A

Ketamin 0,3 mg/kgBB i.v

dilanjutkan kontinyu 0,1

mg/kgBB/jam dalam 24 jam.

ANALISA DATA &

PELAPORAN

PENGAMATAN &

PENGUMPULAN DATA

KESIMPULAN

Page 67: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

67

4.10. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Penelitian

4.10.1. Identifikasi variabe

a. Parasetamol 1 gram / 8 jam + Ketamin 0,1 mg/kgBB/jam

b. Parasetamol 1 gram / 8 jam + Petidin 0,1 mg/kgBB/jam

c. PS ASA

d. Usia

e. Indeks Massa Tubuh (IMT)

f. Lama operasi

g. NRS

h. Kebutuhan analgetik tambahan

i. Efek pada sistem kardiovaskuler (tekanan darah sistolik,

tekanan darah diastolik, tekanan darah rerata dan laju

jantung)

g. Efek samping yang ditimbulkan (mual muntah, pruritus dan

halusinasi)

Page 68: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

68

4.10.2. Klasifikasi variabel

4.10.2.1. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya

1). Variabel kategorikal

a. Variabel nominal

1. Parasetamol 1 gram/ 8 jam + ketamin 0,1 mg/kgBB/jam

2. Parasetamol 1 gram/ 8 jam + petidin 0,1 mg/kgBB/jam

b. Variabel ordinal

PS ASA, NRS, Status Pendidikan

2). Variabel numerik

a. Variabel rasio

Umur, berat badan, lama operasi, kebutuhan analgesia tambahan

4.10.2.2. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya

1. Variabel bebas

a. Parasetamol-Ketamin

b. Parasetamol-Petidin

2. Variabel antara

a. Transduksi c. Modulasi

b. Transmisi d. Persepsi

3. Variabel Kontrol

a. lama pembedahan b. IMT

c. PS ASA d. Umur

Page 69: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

69

4. Variabel tergantung

a. Intensitas nyeri pascabedah

b. Efek pada sistem kardiovaskuler (tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan darah rerata

dan laju jantung)

c. Efek samping yang ditimbulkan (depresi napas, mual

muntah dan halusinasi)

4.11. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

4.11.1. Kelompok PCT-Ketamin

Kelompok yang mendapat Parasetamol infus 1 gram sebelum

pembedahan dan dilanjutkan pasca bedah parasetamol tablet oral

1 gram/8 jam dan ketamin bolus 0,3 mg/kgBB dilanjutkan ketamin

infus 0,1 mg/kgBB/jam selama 24 jam.

4.11.2. Kelompok PCT-Petidin

Kelompok yang mendapat parasetamol infus 1 gram sebelum

pembedahan dan dilanjutkan pasca bedah parasetamol tablet oral

1 gram/8 jam dan petidin bolus 0,5 mg/kgBB dan dilanjutkan

petidin infus 0,1 mg/kgBB perjam selama 24 jam.

4.11.3. Numerical Rating Scale (NRS)

Penilaian nyeri pascabedah saat istirahat dan bergerak selama

24 jam di ruang pemulihan dan ruang perawatan pada jam ke-1,

4, 8, dan 24. NRS dinilai dengan skala nyeri berdasarkan nomor,

Page 70: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

70

menanyakan pada penderita berapa nilai rasa nyeri yang dialami.

Diberikan nilai 0 sampai 10, angka 0 = tidak nyeri sama sekali

sampai 10 = nyeri sangat hebat. NRS dikonfirmasi dengan skala

nyeri ekspresi wajah yang dinilai oleh perawat atau bagi pasien

yang tidak bisa menilai angka.

4.11.4. Tekanan darah sistolik dan diastolik

Diukur dengan cara manual dengan tensimeter air raksa merek

reister pada waktu yang sama dilakukan pemeriksaan NRS.

4.11.5. Laju jantung

Dihitung dengan cara manual dengan bantuan stopwatch pada

waktu yang sama dilakukan pemeriksaan NRS.

4.11.6. IMT

Dihitung berdasarkan berat badandan tinggi badan subyek

penelitian.

4.11.7. Umur

Dihitung berdasarkan tahun kelahiran yang tercantum dalam

status penderita dan dikonfirmasi kembali dengan penderita.

4.11.8. Lama operasi

Mulai dilakukan insisi kulit sampai jahitan terakhir kulit.

Page 71: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

71

4.11.9. Analgetik tambahan

Obat analgetik lain (Morfin) yang diberikan ketika pasien

merasakan intensitas nyeri yang mulai mengganggu (NRS ≥ 4).

Fentanil diberikan 1 mcg/kgBB secara intravena dengan interval

15 menit hingga NRS < 4.

4.11.10. Efek samping obat

Efek lain yang tidak diinginkan dari pemberian obat berupa

depresi napas, mual muntah dan halusinasi.

4.11.11. Jam ke-1

Waktu awal mulai dilakukan pemberian obat dan observasi,

segera setelah operasi selesai.

4.11.12. Efek Kombinasi lebih baik

Nilai NRS dari hasil pengamatan lebih rendah, efek samping lebih

sedikit, jumlah analgetik tambahan yang lebih sedikit dan harga

obat lebih murah.

4.12. Kriteria Obyektif

4.12.1. Skala nyeri berdasarkan NRS

a. 0-3 :sesuai untuk keadaan tidak nyeri sampai nyeri ringan.

b. 4-7 :sesuai untuk keadaan nyeri sedang.

c. 8-10 :sesuai untuk keadaan nyeri berat atau tidak tertahankan.

Page 72: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

72

4.12.2. Skor nausea

a. 0 : tidak ada mual dan muntah

b. 1 : mual

c. 2 : muntah

4.12.3. Tekanan darah sistolik

a. Hipertensi >140 mmHg

b. Normotensi 100-139 mmHg

c. Hipotensi < 100

4.12.4. Tekanan darah diastolik

a. Hipertensi > 95 mmHg

b. Normotensi 60-95 mmHg

c. Hipotensi < 60 mmHg

4.12.5. Laju jantung

a. Takikardi > 100 kali/menit

b. Normal 60-100 kali/menit

c. Bradikardi < 60 kali/menit

4.12.6. IMT

Menggunakan satuan angka

4.12.7. Lama operasi

Menggunakan satuan menit

Page 73: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

73

4.12.8. Halusinasi

a. 0 : tidak ada gangguan halusinasi

b. 1: gangguan halusinasi ringan

c. 2: gangguan halusinasi berat sampai mimpi buruk

4.12.9. Pruritus/urtikaria

a. 0: Tidak ada urtikaria

b. 1: Urtikaria ringan.

c. 2: Urtikaria sedang, urtikaria hampir separuh badan dan tidak ada

gangguan sistemik .

d. 3: Urtikarial berat, urtikaria lebih dari separuh bagian tubuh dan

atau ada gangguan sistemik.

4.12.10. Sedasi

Menggunakan skor sedasi dari Ramsay

a. 1: Cemas, tidak kooperatif

b. 2: Kooperatif

c. 3: Respon terhadap perintah

d. 4: respon terhadap stimulus ringan

e. 5: respon terhadap stimulus kuat

f. 6: tidak berespon terhadap stimulus

Page 74: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

74

4.13. Pelaporan dan Analisa Data

Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk

narasi, tabel atau grafik. Analisis statistik menggunakan piranti lunak

statistik yakni sebagai berikut :

a. Nilai NRS, Analgetik tambahan dan efek samping dengan uji

Pearson Chi-Square test.

b. Perubahan hemodinamik, TAR dan laju nadi, diuji dengan

Levene‟s test dan dilanjutkan dengan uji T Independent,

Page 75: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

75

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, dari bulan Desember 2012

sampai dengan Januari 2013 di RSIA. St. Fatimah Makassar. Dilakukan

terhadap 60 pasien wanita hamil yang akan menjalani persalinan dengan

operasi seksio sesaria, bersedia mengikuti penelitian dan memenuhi

kriteria inklusi. Enam puluh pasien dibagi ke dalam 2 kelompok secara

acak agar variasi individu terbagi secara merata pada kedua kelompok.

Semua pasien ibu hamil yang akan menjalani operasi seksio sesarea

dengan prosedur spinal anestesi blok, dimana sebelumnya diberikan

infus parasetamol 1 gram selama 15 menit sebelum dilakukan anestesi

spinal. Selanjutnya pasca bedah kedua kelompok yang mendapatkan

parasetamol 1 gr/ 8 jam peroral (p.o). Kelompok yang mendapatkan bolus

ketamin 0,3 mg dan dilanjutkan ketamin infus 0,1mg/kgBB/jam i.v disebut

Kelompok PCT-Ketamin dan kelompok yang menerima bolus petidin 0,5

mg/kgBB dan dilanjutkan petidin infus 0,1 mg/kgBB/jam i.v disebut

Kelompok PCT-Petidin.

5.1. Analisis Karakteristik Sampel

Karakterikstik sampel kedua kelompok berupa umur, BMI, dan

durasi operasi diuji homogenitas dengan Independent T Test, sedang

ASA PS, paritas dan pendidikan diuji homogenitas dengan Pearson Chi-

Page 76: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

76

Square Test. Hasil uji homogenitas antara kedua kelompok dapat dilihat

dari Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Karakteristik sampel

Variabel

Kelompok A

PCT-Ketamin

(n=30)

Kelompok B

PCT-Petidin

(n=30)

Kemaknaan

(nilai p)

Mean±SD Mean ±SD.

Umur (tahun) 27,3± 5,1 29,3± 6,2 0,204

IMT (kg/m2) 24,7± 3,5 24,0± 3,1 0,488

Durasi Operasi

(menit) 63± 9 64± 8 0,201

Data disajikan dalam bentuk nilai rerata/mean (standar deviasi) kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Independent T Test, p<0,05 dinyatakan

signifikan.

Tabel 2. Karakteristik status fisik, paritas dan pendidikan

Variabel Kelompok A

PCT-Ketamin

(n=30)

Kelompok B

PCT-Petidin

(n=30)

Kemaknaan

(nilai p)

n % n %

PS ASA 1 1 3,3 2 6,7

0,554 2 29 96 28 93,3

Paritas

I 12 40,0 8 26,7

0,278

II 13 43,3 11 36,7

III 4 13,3 4 13,3

IV 0 0 4 13,3

V 1 3,3 2 6,7

VI 0 0 1 3,3

Pendidikan

SLTP 3 10.0 4 13,3

0,735 SLTA 17 56,6 14 46,7

Dipl/Sarjana 10 33,3 12 40.0

Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase subjek kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Pearson Chi-SquareTest, dinyatakan signifikan

bila nilai p<0,05.

Page 77: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

77

Dari Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa tidak didapatkan

perbedaan bermakna dari data demografi pada kedua kelompok

penelitian. Sehingga karakteristik dari 60 sampel penelitian tersebut

dinyatakan homogen.

5.2. Analisis Intensitas Nyeri Pascabedah

Untuk menilai perbedaan intesitas nyeri terhadap kedua kelompok,

dilakukan pengukuran skor nyeri (NRS) secara berkala, yaitu menilai skor

nyeri istirahat dan nyeri saat bergerak pada saat akhir pembedaan (jam

pertama), 4 jam, 8 jam, 12 jam dan 24 jam pascabedah. Hasil

pengukuran skor nyeri dengan NRS kemudian diinterpretasikan sebagai

berikut:

a. Tidak nyeri = nilai NRS 0

b. Nyeri ringan = nilai NRS 1 - 3

c. Nyeri sedang = nilai NRS 4 - 6

d. Nyeri berat = nilai NRS 7 - 10

Bila dalam rentang pengamatan didapatkan nilai NRS > 4, maka akan

diberikan analgesia tambahan morfin 0,05mg/kgBB intravena.

Hasil analisis insitas nyeri pada kedua kelompok dapat dilihat pada

Tabel 3, dimana terlihat intensitas nyeri ringan, sedang dan berat, baik

istirahat maupun bergerak pada setiap jam observasi tidak berbeda

bermakna dengan hasil uji Pearson Chi-Square, nilai p >0,05.

Dari tabel intensitas bergerak (tabel 3) dari kelompok A terdapat 5 subyek

yang menderita nyeri berat, 5 dari 30 (16,7%). Sedang dari kelompok B

Page 78: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

78

terdapat 3 dari 30 subyek (10%) yang menderita nyeri berat. Secara

distribusi biologis bermakna namun secara statistik tidak berbeda

bermakna.

Tabel 3. Intensitas nyeri pascabedah

Nyeri

Kelompok PCT-Ketamin (A)

(n=30)

Kelompok B PCT-Petidin (B)

(n=30)

p T R S B T R S B

N % n % N % N % n % N % n % n %

Isti

rah

at

1Jam 29 96,7 1 3,3 0 0 0 0 30 100 0 0 0 0 0 0 0,313

4 jam 2 6,7 15 50

13 43,3 0 0 1 3,3 19 63,3 10 33,3 0 0 0,550

8 jam 2 6,7 16 53 12 40 0 0 0 0 21 70 9 30

0 0 0,212

12jam 4 13,3 23 76,7 3 10 0 0 1 3,3 28 93,3 1 3,3

0 0 0,193

24jam 2 6,7 28 93,3 0 0 0 0 1 3,3 29 96,7 0 0

0 0 0,554

Be

rge

rak

1jam 25 83,3 4 13,3 1 3,3 0 0 27 90 3 10 0 0 0 0 0,543

4jam 4 13,3 24 80 2 6,7 0 0 5 16,7 22 73,3 3

10 0 0 0,820

8jam 0 0 0 0 27 90 3 10 0 0 3 10 24

80 3 10 0,204

12jam 0 0 7 23,3 21 70 2 6,7 0 0 11 36,7 19

63,3 0 0 0,224

24jam 0 0 14 46,7 16 53,3 0 0 0 0 15 50 15

50 0 0 0,796

Ket : T: Tidak nyeri, R : Nyeri ringan, S: Nyeri sedang, B: Nyeri berat. Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase subyek yang mengalami nyeri dan nilai p diuji dengan Pearson Chi-Square Test, dinyatakan signifikan jika p<0,05.

Grafik 1 menunjukkan intesitas nyeri istirahat pada kedua kelompok

mulai dari 1 jam hingga 24 jam pascabedah. Terlihat sebaran intesitas

nyeri tertinggi pada 4 jam – 8 jam pascabedah. Pada kelompok A terdapat

nyeri sedang pada 4 jam pascabedah 13 dari 30 subyek (43%) dan pada

8 jam pascabedah terdapat 12 dari 30 subjek (40%) lebih tinggi bila

dibandingkan kelompok B 10 dari 30 subjek (33,3%) dan 9 dari 30 subjek

(30%) masing-masing pada 4 jam dan 8 jam pascabedah, ada perbedaan

Page 79: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

79

namun tidak berbeda secara statistik. Uji Pearson Chi-Square, nilai

p>0,05.

Grafik 1. Intensitas nyeri istirahat dari kedua kelompok

Grafik 2 menunjukkan sebaran instensitas nyeri saat bergerak pada

kedua kelompok selama pengamatan 24 jam dan puncak nyeri terjadi

pada 8 jam sampai dengan 24 jam pascabedah. Pada kelompok PCT-

Ketamin terdapat subyek dengan nyeri intensitas sedang sebanyak 27

dari 30 subjek (90%) pada 8 jam pascabedah, pada 12 jam pascabedah

terdapat 21 dari 30 subjek (70%) dan 16 dari 30 subjek (53%) pada 24

jam pascabedah lebih tinggi dibanding sebaran nyeri intesitas sedang

pada kelompok PCT-Petidin, sekitar 24 dari 30 subjek (80%), 19 dari 30

(63,3%) dan 15 dari 30 (50%) masing-masing dari 8 jam, 12 jam dan 24

jam pascabedah. Ada perbedaan, namun tidak bermakna secara statistik

dari kedua kelompok perlakuan. Uji Pearson Chi-Square, nilai p>0,05.

Page 80: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

80

Tidak nyeri

Nyeri ringan

Nyeri sedang

Nyeri berat

Grafik 2. Intensitas nyeri bergerak selama 24 jam pengamatan.

5.3. Analisis Perubahan Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan

Laju Napas

Berdasarkan data perubahan tekanan arteri rerata (TAR), laju

jantung dan laju napas dari masing-masing kelompok selanjutnya akan

dinilai pergerakan arah dan besarnya dinamika atau velocity dari waktu ke

waktu yang diuji dengan uji Levene‟s dan dilanjutkan dengan uji T

Independent. Hasil uji dianggap bermakna bila probabilitas p <0,05.

Tabel 4 menggambarkan perubahan / velocity TAR, kedua

kelompok selama pengamatan. Hasil uji Levene‟s test dan Independent T

tes memperlihatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua

kelompok perlakuan, dimana nilai p>0,05.

Grafik 3 memperlihatkan perubahan hemodinamik tekanan arteri rerata

selama pengamatan dari kedua kelompok pelakuan, meskipun terlihat

perbedaan darigrafik, namun tidak ada perbedaan bermakna secara

statistik, nilai p>0,05.

Page 81: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

81

Tabel 4. Perubahan tekanan arteri rerata (TAR)

Kelompok

PCT-Ketamin

Kelompok

PCT-Petidin

Nilai p

Perubahan Mean ±SD Mean ±SD

jam 0–jam 1 -2,5±11,3 -3,5±5,8 0,616

jam 0-jam 4 0,1±11,3 -2,3±3,9 0,285

Jam 0-jam 8 -4,3±11,5 -2,3±11,5 0,483

Jam 0-jam12 -4,9±11,3 -5,3±9,8 0,904

Jam 0-jam24 -5,6±8,8 -5,9±9,6 0,917

Data disajikan dalam bentuk velocity TAR selama pengamatan. Velocity diukur

dengan Levene‟s Test dan dilanjutkan dengan Independent Sample Test, Nilai

p<0,05 dinyatakan bermakna.

Grafik 3. Gambaran perubahan Tekanan Arteri Rerata (TAR)

Tabel 5 memperlihatkan perubahan atau velocity laju jantung dari

kedua kelompok perlakuan, dan tidak ada perbedaan yang bermakna

p>0,05. Grafik 4 memperlihatkan gambaran perubahan laju jantung dari

kedua kelompok perlakuan selama pengamatan, gambaran Perubahan

laju jantung kelompok PCT-ketamin lebih stabil dinadingkan kelompok

PCT-petidin, namun tidak berbeda bermakna secara statistik.

-14

-12

-10

-8

-6

-4

-2

0

2

0-1 0-4 0-8 0-12 0-24

VelocityTAR

Jam

PCT-Pet

PCT-Ket

0-1 0-4 0-8 0-12 0-24

Page 82: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

82

Tabel 5. Perubahan laju jantung Kelompok

PCT-Ketamin

Kelompok

PCT-Petidin

Nilai p

Perubahan Mean ±SD Mean ±SD

jam 0–jam 1 -13,6±9,8 -11,9±9,8 0,898

jam 0-jam 4 -10,4±9,9 -9,9±11,7 0,440

Jam 0-jam 8 -12,7±10,9 -11,7±10,4 0,967

Jam 0-jam12 -12,7±10,9 -15,3±8,2 0,281

Jam 0-jam24 -12,1±7,6 -14,5±8,7 0,359

Data disajikan dalam bentuk velocity Laju Jantung selama pengamatan. Velocity diukur dengan Levene‟s Test dan dilanjutkan dengan Independent Sample Test, Nilai p<0,05 dinyatakan bermakna.

Grafik 4. Gambaran perubahan laju jantung

Dari hasil uji perubahan laju napas dengan uji Levene‟s yang

dilanjutkan dengan uji independent (tabel 6), didapatkan bahwa tidak ada

perbedaan dari kedua kelompok perlakuan dimana nilai p>0,05. Grafik 5

menggambarkan perubahan laju napas dari kedua kelompok perlakuan,

terlihat perubahan laju napas dari kelompok PCT-ketamin lebih stabil

dibandingkan dengan kelompok PCT-petidin, namun secara statistik tidak

berbeda bermakna p>0,05.

-30

-25

-20

-15

-10

-5

0

0-1 0-4 0-8 0-12 0-24

VelocityNadi

Jam

PCT-Pet

PCT-Ket

0-1 0-4 0-8 0-12 0-24

Jam

Page 83: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

83

Tabel 6. Perubahan laju napas Kelompok

PCT-Ketamin

Kelompok

PCT-Petidin

Nilai p

Perubahan Mean ±SD Mean ±SD

jam 0–jam 1 7,1±12,9 0,9±10,0 0,075

jam 0-jam 4 7,5±10,8 2,7±12,1 0,396

Jam 0-jam 8 5,8±10,7 4,6±10,4 0,802

Jam 0-jam12 2,5±7,6 -0,1±11,2 0,269

Jam 0-jam24 3,6±9,8 -3,9±8,9 0,769

Data disajikan dalam bentuk velocity laju Napas selama pengamatan. Velocity diukur dengan Levene‟s Test dan dilanjutkan dengan Independent Sample Test, Nilai p<0,05 dinyatakan bermakna.

Grafik 5. Gambaran perubahan laju napas.

5.4. Analisis Kebutuhan Analgetik Tambahan (morfin)

Kebutuhan konsumsi analgetik tambahan pada penelitian ini

dijelaskan dalam jumlah konsumsi analgetik tambahan morfin selama 24

jam, jumlah proporsi pasien yang mendapatkan rescue dalam 24 jam

pada masing-masing kelompok.

Tabel 7 menunjukkan jumlah kebutuhan konsumsi analgesia

tambahan morfin dalam waktu 24 jam pascabedah. Terlihat bahwa

-2

0

2

4

6

8

10

12

0-1 0-4 0-8 0-12 0-24

Velocitylaju napas

Jam

PCT-Pet

PCT-Ket

Page 84: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

84

kebutuhan analgetik tambahan pada kedua kelompok sangat kecil dimana

pada Kelompok PCT-Ketamin konsumsi analgesia hanya morfin 3,18 ±

2,62 mg dan Kelompok PCT-Petidin 2,33 ± 2,81 mg dan kedua kelompok

tidak berbeda secara signifikan (p=0,231).

Tabel 7. Jumlah analgetik tambahan morfin dalam 24 jam pascabedah

Kelompok PCT-Ketamin Kelompok PCT-Petidin P

Mean±SD Mean±SD

3,18 ± 2,62 2,33 ± 2,81 0,231

Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan simpangan deviasi, nilai p diuji dengan Independent sample T Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.

Dari tabel 8 memperlihatkan proporsi subjek yang mendapatkan

analgetik tambahan dalam 24 jam pascabedah. Uji Pearson Chi-Square

tidak berbeda bermakna dimana nilai p=0,078.

Tabel 8. Proporsi subjek yang mendapat analgetik tambahan

Pemberian analgetik tambahan (rescue)

Kemaknaan Kelompok PCT-Ketamin Kelompok PCT-Ketamin

Dapat Rescue Tidak Dapat Dapat Rescue Tidak Dapat

n % n % n % n %

20 66,7 10 33,3 17 56,7 13 43,3 p=0,078

Data disajikan dalam bentuk jumlah dan presentase subyek mendapatkan rescue dan tidak mendapatkan rescue, nilai p diuji dengan Pearson Chi-Square Test, p<0,05 dinyatakan signifikan

Grafik 6 adalah proporsi pasien yang mendapatkan analgetik

tambahan pada Kelompok A sedang grafik 7 menunjukkan proporsi

pasien pada Kelompok B yang mendapatkan analgesia tambahan, dimana

Page 85: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

85

jumlah pasien kelompokPCT-ketamin yang mendapat rescue analgesia

morfin sekitar 67%, sedang pada kelompok PCT-petidn sekitar 57%,

namun secara statistik keduanya tidak berbeda bermakna.

Grafik 6. Proporsi pasien yang mendapatkan rescue pada Kelompok PCT- Ketamin.

Grafik 7. Proporsi pasien yang mendapatkan rescue pada Kelompok PCT-Petidin.

33%

67%

Tidak Dapat Rescue

43%

57%

Rescue Tidak Dapat

Page 86: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

86

5.5. Analisis Efek Samping

Efek samping dari penggunaan obat pada penelitian ini adalah efek

samping pada pemakaian petidin, yaitu urtikaria. Insiden urtikaria yang

terjadi hanya pada 3 orang dari 30 orang yang menggunakan obat petidin

yaitu 10%. Dengan pearson Chi-Square tidak ada perbedaan bermakna

secara statistik p=0,076, namun bermakna secara klinis.

Tabel 9. Jumlah penderita yang mengalami efek samping pruritus dalam 24 jam pascabedah

Kelompok A

(n=30)

Kelompok B

(n=30)

Kemaknaan

N % n %

Pruritus 0 0% 3 10 p=0,076

Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase kejadian. Nilai p diuji dengan Pearson Chi-SquareTest. Nilai p<0,05 dinyatakan signifikan.

Page 87: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

87

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan efek kombinasi parasetamol oral 1 gr/8

jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam memiliki efek yang sama baiknya

dengan kombinasi parasetamol oral 1 gram/8 jam dengan petidindi infus

0,1 mg/kgBB/jam dalam penatalaksanaan nyeri pascabedah seksio

sesaria. Secara statistik tidak ditemukanan perbedaan secara bermakna

dari derajat intensitas nyeri istirahat maupun bergerak, kebutuhan

anlagetik tambahan (morfin) dan pengaruh terhadap hemodinamik serta

kejadian efek samping dari kedua kelompok perlakuan.

Dari data terlihat bahwa sebaran intesitas nyeri sedang-berat pada

kedua kelompok setelah 12 jam pascabedah hanya berisar 10% dengan

analgetik tambahan minimal hanya 3,18±2,62 pada kelompok PCT-

ketamin dan 2,33±2,81 pada kelompok PCT-petidin, tidak ditemukan

perbedaan bermakna secara statistik, dimana p>0,05. Hal ini

membuktikan bahwa dengan dosis ketamin 0,1 mg/kgBB/jam atau petidin

0,1 mg/kgBB/jam yang dikombinasikan dengan parasetamol tablet oral 1

gr/8 jam cukup efektif untuk nyeri saat istirahat, namum masih

memerlukan dosis tambahan untuk mengatasi nyeri pada saat bergerak.

Demikian pula halnya dengan efek terhadap perubahan hemodinaki,

kedua kelompok tidak memperlihatkan pengaruh buruk terhadap tekanan

Page 88: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

88

arteri rerat dan laju jantung, bahkan maupun efek samping dari kedua

kelompok sangat kecil, bahkan tidak ada.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa kedua kombinasi dari

penelitian ini memiliki efek yang baik dalam penanganan nyeri

pascabedah seksio sesaria. Penelitian ini sejalan dengan penelitian

Varrassi dkk (1999) yang mendapatkan efikasi analgesik yang sama

antara proparasetamol dengan ketorolac yang dikombinasi morfin PCA

pada pasien pasca operasi gynekologik. Demikian pula dengan

penelitian Maund dkk (2011) yang meneliti tentang mixed treatment

comparison (MTC) analysis dan mendapatkan tidak ada perbedaan dalam

penurunan konsumsi morfin antara parasetamol, COX selektif dan AINS

yang diberikan sebagai adjuvant PCA morfin sebagai multimodal

analgesia pasca operasi mayor. Bell dkk (2006) menyimpulkan bahwa

pemberian infus kontinyu ketamin dosis rendah sampai 48 jam pasca

bedah abdomen memberbaiki nyeri dan menurunkan kebutuhan morfin

PCA serta menurunkan efek samping mual muntah. Hal ini memberikan

bukti bahwa penggunaan analgetik parasetamol dan ketamin pascabedah

memiliki efek yang baik dalam menurunkan nyeri pascabedah, meski

belum didapatkan publikasi tentang kombinasi keduanya.

Parasetamol merupakan antinosiseptif sentral yang menghambat

nosisepsi melalu jalur modulasi dengan mengaktivasi canabinoid sistem

dan jalur serotonergik descending serta menurunkan hiperalgesia dengan

menghambat pembentukan nitric oxide akibat aktivasi substans P dan

Page 89: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

89

stimulasi reseptor N-methyl D-aspartate. Ada peningkatan bukti bahwa

parasetamol memiliki efek antinosiseptif sentral, dan mekanisme potensial

untuk inhibisi COX-2 sistem saraf sentral, inhibisi terhadap dugaan

siklooksigenasi sentral „COX-3‟ yang selektif terhadap parasetamol,

sehingga sangat baik digunakan sebagai analgesia pascabedah, baik

secara diberikan secara tunggal ataupun secara kombinasi (Christopher et

all., 1997; Davis, 2005; Varassi et al.,1999).

Ketamin merupakan turunan dari phencyclidin, mulai ditemukan pada

tahun 1965 dan digunakan pertama kali dalam praktek klinik pada tahun

1970. Penggunaan sebagai analgesia pasca bedah dengan dosis rendah

atau subanestesik dose (0,1-0,3 mg/kgBB) juga mulai popular dalam

beberapa tahun terakhir, baik digunakan secara tunggal (konsentrasi

dalam darah 150 ng/ml) ataupun sebagai kombinasi dengan opioid atau

agen lainnya (Suzuki., 2009). Saat ini telah diketahui bahwa mekanisme

kerja ketamin adalah pada reseptor µ spinal, jalur inhibisi desenden, dan

yang utama sebagai antagonis reseptor NMDA berikatan secara spesifik

terhadap tempat fensiklidin pada saluran ion reseptor N-Metil-D-Aspartat

(NMDA). Reseptor NMDA memainkan peranan penting dalam

hipersensitifitas medula spinalis akibat cedera, termasuk akibat

pembedahan. sensitisasi sistem saraf sentral ini yang berperan dalam

mekanisme nyeri akut ataupun kronik akibat trauma pascabedah (Craven,

2007).

Page 90: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

90

Multimodal analgesia sebagai suatu tekhnik untuk meningkatkan efek

analgesia dan mengurangi insiden yang tidak diharapkan terkait dengan

penggunaan opioid. Strategi ini menitik beratkan tercapainya analgesia

yang optimal dengan cara penambahan analgetik yang bekerja sinergis

dari kelas analgetik yang berbeda dan mekanisme yang berbeda. Hal ini

menyebabkan dosis obat individual berkurang dan menurunnya efek yang

tidak diharapkan dari obat tertentu yang digunakan pada perioperatif

(Ashburn et al., 2004).

Oleh karena itu, kombinasi antara parasetamol dengan ketamin ataupun

parasetamol dengan petidin mempunyai efek potensiasi sehingga dapat

digunakan sebagai multimodal analgesia pascabedah yang sama baiknya.

Pada penelitian ini juga didapatkan efek terhadap hemodinamik

tekanan arteri rerata dan laju jantung serta laju napas tidak berbeda pada

kedua kelompok. Hal ini terlihat dari velocity tekanan arteri rerata, laju

jantung dan laju napas pada kedua kelompok perlakuan tidak berbeda

bermakna, p>0,05. Hal ini sejalan dengan penelitian Park dkk, (2007)

bahwa penggunaan ketamin dosis subanestetik 0,1 mg/kgBB sebagai

adjuvan pada anestesi umum tidak memberikan efek perubahan

hemodinamik pada pasien ortopedik yang menjalani operasi dengan

tourniquet. Meskipun secara umum pemberian ketamin akan memberikan

efek kardiovaskuler seperti takikardi, peningkatan tekanan darah dan

cardiak output akibat pengaruh simpatis respon, namun efek terhadap

Page 91: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

91

kardiovaskuler dapat dihilangkan dengan pemberian dosis rendah , infus

kontinyu dan pemberian diazepam. (Pai & Heining,. 2007).

Sebagaimana obat-obat yang lain, maka parasetamol, ketamin, petidin

juga memiliki efek samping. Keterbatasan penggunaan obat tersebut oleh

karena efek samping seperti mimpi buruk, halusinasi, urtikaria dll. Pada

penelitian ini, efek samping yang muncul hanya muncul pada PCT-

ketamin petidin, yaitu urtikaria. Insiden urtikaria yang terjadi hanya pada 3

orang dari 30 orang yang menggunakan obat petidin yaitu 10%, tidak ada

perbedaan bermakna secara statistik dimana nilai p=0,076, namun

bermakna secara klinis. Hal serupa juga dijelas pada sebuah penelitian

acak tersamar ganda yang mendapatkan frekuensi pruritus pada

kelompok petidin sekitar 5 dari 16 subyek yang dibandingkan dengan 1

dari 10 subyek pada kelompok morfin dan tidak ada kejadian pruritus pada

kelompok fentanyl oleh Davis & Graham (2004). Hal ini dapat dijelaskan

bahwa kejadian pruritus pada kelompok petidin disebabkan oleh efek

histamine release yang terjadi oleh karena reaksi hipersensitif atau reaksi

alergi akibat respon immun dari antibodi Ig E, limfosit atau keduanya,

pelepasan histamin dari sel mast terjadi melalui mekanisme tersebut

(Davis & Graham, 2004).

Analisis secara umum pada penelitian ini adalah bahwa kombinasi

parasetamol dan ketamin memberikan efek yang baik pada pembedahan

seksio sesaria dengan menurunkan intesitas nyeri tanpa efek samping

dan pengaruh terhadap hemodinamik.

Page 92: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

92

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

6.1.1. Tidak ada perbedaan efek dari kombinasi parasetamol tablet oral

1 gr/8 jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dibandingkan

kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8jam dan petidin infus 0,1

mg/kgBB/jam. Baik dari derajat intensitas nyeri, kebutuhan

analgestik tambahan dan efek samping.

6.1.2. Kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dengan ketamin infus

0,1mg/kgBB/jam atau petidin infus 0,1mg/kgBB/jam, memiliki efek

yang baik sebagai multimodal analgesia pascabedah seksio

sessaria.

6.2. Saran

6.2.1. Saran akademik

a. Perlu adanya penelitian lanjutan pada penggunaan

kombinasi parasetamol dan ketamin pada jenis operasi lain

yang dominan nyeri somatik.

b. Perlu pemeriksaan biomarker seperti kadar prostaglandin

dan mediator proinflamasi seperti IL-1B, dan IL-6 untuk

mengetahui efek kombinasi tersebut secara biomolekuler.

Page 93: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

93

6.2.2. Saran klinik

a. Menggunakan kombinasi parasetamol dengan ketamin dosis

rendah sebagai multimodal analgesia pada jenis operasi lain

dengan intesitas nyeri setara dengan seksio sesaria.

b. Menggunakan kombinasi parasetamol-ketamin dosis rendah atau

kombinasi parasetamol-petidin atau kombinasi ketiganya sebagai

analgesia preventif pada penanganan nyeri pascabedah.

Page 94: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

94

DAFTAR PUSTAKA

Apfelbaum, J.L., Chen, C., Mehta, S.S. & Gan, T.J. 2003. Postoperatif pain experience: result from a national survey suggest postoperatif continues to be undermanage. Anesth Analg, 97,534-540.

Ashburn, M.A., Caplan, R.A. & Carr, D.B. 2004. Practice guidelines for acute pain management in the perioperative setting: an updated reported by the American Society of Anesthesiologiest task force on acute pain management. Anesthesiology,100,1573-81.

Ashburn, M.A. & Ready, L.B. 2001. Postoperative pain. In: Loeser, J.D., Butler, S.H., Chapman, C.R. & Truck, D.C. (eds.) Bonica‟s Management of pain. 3rd ed. New York: Lippincot Williams & Wilkins.

Beillin, Y., Hossain, S. & Bodian, C.A. 2003. Numeric rating scale and labor epidural analgesia. Anesth Analg,109, 943-950.

Bell, R.F., Dahl, J.B.,Moore, R.A. & Kalso, E. 2006. Perioperative ketamin for acute postoperative pain. Cochrane Database Syst Rev.

Blanshard, H. 2010. What is the evidence to support the use of IV paracetamol for the treatment of pain? Prepared by UK Medicines Information (UKMi) pharmacists for NHS healthcare professionals.

Briggs, G., Freeman, R.K. & Yaffe, S.J. 1994. A reference guide to fetal

and neonatal risk. Drug in Pregnanancy and Lactation. 4th ed. Baltimore: Williams & Wilkins.

Buvanendran, A. & Kroin, J.S. 2009. Multimodal analgesia for controlling acute postoperative pain. Curr Opin Anaesthesiol, 22, 588-593.

Byers, M.R. & Bonica, J.J. 2001. Peripheral pain mechanism and nociceptor plasticity. In: Loeser, J.D., Butler, S.H., Caplan, R.A. & Truck, D.C. (eds.) Bonica‟s management of pain. 3rd ed. New York: Lippincot Williams & Wilkins.

Christopher, S.T., Matt, B. & Hamilton, M.1997. A comparison of ibuprofen versus acetaminophen with codein in the young tonsillectomy patient. Otolaryngol Head Neck Surg,117, 76-82.

Cousins, M.J. 2005. Acute pain management : scientific evidence. 2nd ed. Melbourne: Australian and New Zealand College of Anesthetics and Faculty of Pain Medicine.

Page 95: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

95

Craven, R. 2007. Ketamine: review. Anaesthesia, 62,48-53. Davis, S. & Graham, G. 2005. IV paracetamol- where does it sit in hospital

practice?. NSW Therapeutic Advisory Group. Curr Opin Anaesthesiol, 1-6.

Fletcher, D., Fermanian, C., Mardaye, A. & Aegerter, P. 2008. Patient-

based national survey on postoperative pain management in France reveals significant achievements and persistent challenges. Pain,137,441-451.

Freye, E. 2008. Opioid in medicines. A comprehensive review on the

mode of action and the use of analgetics in different clinical pain

stases. Netherland: Springer.

Galinski, M., Dolveck, F., Combes, X. et al. 2007. Management of severe acute pain in emergency settings: ketamin reduces morphine consumption. Am J Emerg Med, 25, 385-390.

Gurnani, A., Sharma, P.K., Routella, R.S. & Bhattacharya A. 1996. Analgesia for acute musculoskeletal trauma: low dose subcutaneus infusion of ketamin. Anaes and intesive care, 24, 32-36.

Katz, J. & Clarke, H. 2008. Preventive analgesia and beyond: current status. evidence, and future directions. In: Rice, A.S., Justins, D., Newton, T., Howard, R.F. & Miaskowski, C.A. (eds.) Clinical pain management. 2nd ed. London: Hodder Arnold.

Kleinman, W. & Mikhail, M. 2006. Regional anesthesia & pain management. In: Morgan, G.E., Mikhail, M.S. & Murray, M.J. (eds.) Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.

Koppert, W., Katrin, F., Huzurudin, N. & Schmieder, R. 2006. The efects of paracetamol and parecoxib on kidney function inelderly patiens undergoing orthopedic surgery. Anesth Analg, 103,1170-1176.

Kula, A., Durmus, N. & Altum, A. 2009. Analysis of the antinociceptive

effect of pethidine combination with ketamine or paracetamol in tail-flick test in mice. Cumhuriyet Med J, 31, 1-7.

Kulo, A., Peeters, M. & Allegaert, K. 2012. Pharmakokinetics of paracetamol and its metabolites in women at delivery and post partum (abstract). Br J Clin Pharmacol.

Page 96: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

96

Macintyre, P.E. 2010. Acute pain management : scientific evidence. 3th ed. Melbourne: Australian and New Zealand College of Anesthetics and Faculty of Pain Medicine.

Maund, E., Rice, S., Wright, K. & Woolacott, N. 2011. Paracetamol and selective and non-selective non steroidal anti-inflamatory drug for the reduction in morphine-related side-efects after major surgery: a systemic review. Br J Anaesth,106, 292-7.

Michelet, P., Guervilly, C., Helaine, A., et al. 2007. Adding ketamin to

morphine for patient-controlled analgesia after thoracic surgery: influenceon morphine consumption, respiratory function, and nocturnal desaturation. Br J Anaesth, 99, 396-403.

Montgomery, A. & Hale, T.W. 2006. Analgesia and anesthesia for the breastfeeding mother. Breastfeeding Med,1, 271-277.

Morgan, E.M., Mikhail, M.S. & Murray, M.J. 2006. Nonvolatille anesthetic

agents. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.

Morgan, E.M., Mikhail, M.S. & Murray, M.J. 2006. Pain management. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.

Pai, A. & Heining, M. 2007. Ketamine. Continuing Educationin Anesthesia, Critical Care & Pain, 7, 59-63.

Park, J.W., Kim, D.H. & Lee, W.K. 2007. The efficacy of low-dose ketamine added to postoperative patient-controlled analgesia. Korean J Anesthesiol, 83, 657-662.

Peng, P. & Sandler, A. 1999. A review of the use of fentanyl analgesia in the management of acute pain in adults. Anesthesiology, 90, 576-599.

Smith, H.S. 2009. Potential Analgesic Mechanism of Acetaminophen. Pain

Physician, 12, 269-280.

Sommers, M., Rijkea, J.M., Kleefa, M., Kesselsa, A.G.H., Petersa, M.L., Geurtsa, J. et al. 2008. The prevalence of postoperative pain in a sample of 1490 surgical inpatients. Eur J Anaesthesiol, 25, 267-74.

Suzuki, M. 2009. Perioperative ketamine for better postoperative pain

outcome. In: Sinatra, R., Oscar, A., Ginsberg, B. & Viscusi, E. (eds.) Acute pain management. New York: Cambridge University Press.

Page 97: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

97

Vadivelu, N., Whitney, C.J. & Sinatra, R.S. 2009. Pain pathway and acute pain processing. In: Sinatra, R.S., Leon-casasola, O., Ginsberg, B. & Viscusi, E.R. (eds.) Acute pain management. New York: Cambridge University Press.

Varrassi, G., Marinamgeli, F., Agro, F. & Luigi, A. 1999. Adouble-blinded evaluation of proparacetamol versus ketorolac in combination with patient-control analgesia morphine: analgesic efficacy and tolerability after gynecologic surgery. Anesth Analg, 88, 611-616.

Voscopous, C. & Lema, M. 2010. When does acute pain became chronic?. Br J Anaesth, 105, 169-185.

Wee, M.Y.K., Brown, H. & Reynolds, F. 2005. The National Insdtitute of Clinical Excellence (NICE) guidelines for caesarean sections: implications for the anaesthetist. Int J Obstet Anesth, 14, 147-158.

Page 98: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

98

LAMPIRAN 1

PERSETUJUAN SEBELUM PERSIAPAN DIMULAI

EFEK KOMBINASI PARASETAMOL-KETAMIN VS PARASETAMOL PETIDIN SEBAGAI BALANS ANALGESIA POST SEKSIO SESSARIA

Yang bertandatangan dibawah ini : Nama/Umur : A l a m a t : No. Rekam Medis : MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA BAHWA SAYA TELAH

MENDAPATKAN PENJELASAN DAN KESEMPATAN BERTANYA HAL-HAL YANG

BELUM SAYA MENGERTI TENTANG PENELITIAN INI. PENJELASAN TERSEBUT

MELIPUTI MANFAAT DAN KEUNTUNGAN SERTA EFEK SAMPING DARI

KOMBINASI PARASETAMOL-KETAMIN ATAU PARASETAMOL-PETIDIN SERTA

TEKNIK ANESTESI SPINAL YANG AKAN SAYA DAPATKAN SELAMA PENELITIAN

INI.

Setelah mendapat penjelasan tersebut, dengan ini saya menyatakan secara sukarela ikut serta dalam penelitian ini dan saya berhak mengundurkan diri bila ada alasan sehubungan dengan kesehatan saya. Demikian pula jika terjadi perselisihan saya akan melakukan musyawarah dengan peneliti untuk mencari jalan keluar yang terbaik tentang perselisihan tersebut. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

Makassar, November 2012

Saksi, Tanda Tangan Yang Menyatakan, 1. ………………………... ……………….. 2. ………………………… ……………….. (……………………….) Penanggung Jawab Medik, Penanggung Jawab Penelitian, Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD-SpAn dr. Faisal Hertasning B3 no. 7 Makassar Telp.081355771298/(0411) 5469447

. Hartaco Indah 1Y no 7 Makassar

Page 99: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

99

Lampiran 2. Lembar Pengamatan

LEMBAR PENGUMPUL DATA

I. Identitas Pasien

Nama : Umur : thn Pendidikan : BB : kg Alamat : TB : cm Pekerjaan : BMI : kg/m2 No. Rekam Medis:

II. Data Klinis 1. Diagnosis MRS : 2. ASA PS : 3. Tanda Vital : TD = mmHg N = x/mnt P = x/mnt S = ºC VAS = 4. Mulai SAB : 5. Mulai Operasi : 6. Selesai Operasi : ` 7. Ketinggian Blok Maksimal :

- Blok Sensorik “pinprick” :

- Blok Sensorik Dingin :

1. Jenis operasi :

LEMBAR PENGAMATAN

PENGAMATAN JAM 1 4 8 12 24

TDS

TDD

N

Tanggal : RM :

No. Urut :

Page 100: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

100

P

NRSI

NRS2

ANALGETIK TAMBAHAN ( RESCUE ) FENTANIL 1 μgr/kgBB

JAM

EFEK SAMPING

JAM

MUAL

MUNTAH

Keterangan :

TDS : Tekanan darah Sistolik

TDD : Tekanan Darah Diastolik

N : Nadi

P : Pernafasan

NRSI : Numerical Rating Scale Istirahat.

NRS2 : Numerical Rating Scale Bergerak

Page 101: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

101

LAMPIRAN 3. ADVERSE EVENT FORM

Identitas

Nama (Inisial) / Umur :

No. MR :

Diagnosis :

Adverse event

No. Gejala Berat Ringan Tidak Ada

1 sedasi

2 Halusinasi

3 Mual

4 Muntah 5 pruritus

Penanganan adverse event

No. Gejala Penanganan

1 Sedasi Hentikan infus ketamin atau petidin 2 Halusinasi Hentikan infus ketamin

3 Mual Ondansetron 4 mg/iv

4 Muntah Ondansetron 4mg.iv

5 Pruritus Dexametason 4 mg iv

Peneliti,

dr. Faisal

Page 102: PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 …

102

LAMPIRAN 4. Contoh Surat

Kepada Yang Terhormat

Teman Sejawat Dokter Obstetri dan Gynecology

Di -

Tempat

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Sehubungan dengan akan dilakukan penelitian yang berjudul

PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI PARASETAMOL-KETAMIN DENGAN

PARASETAMOL-PETIDIN SEBAGAI BALANS ANALGESIA POST SEKSIO SESSARIA.

Penelitian ini bertujuan untuk Melihat perbandingan efek kombinasi

parasetamol-ketamin dengan parasetamol-petidin sebagai balans analgesia post

seksio sesaria. Tugas ini dijalankan sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan pendidikan di bagian Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif dan

Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran UNHAS.

Dengan ini kami meminta persetujuan untuk melakukan penelitian pada

pasien yang dokter rawat.

Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

Makassar, Juni 2011

Peneliti,

dr. Faisal