PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI PARACETAMOL -...
Transcript of PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI PARACETAMOL -...
PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI PARACETAMOL - KETAMIN DENGAN PARACETAMOL - PETIDIN SEBAGAI MULTIMODAL
ANALGESIA PADA PASCABEDAH SEKSIO SESAREA
THE COMPARISON OF COMBINATION EFFECT BETWEEN PARACETAMOL AND KETAMINE WITH PARACETAMOL
AND PETHIDINE AS A MULTIMODAL ANALGESIA ON POST-CAESAREAN SECTION SURGERY
Faisal,1 Husni Tanra,1 Ramli Ahmad,1 Burhanuddin Bahar.2
1Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar
2Bagian Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat korespondensi: dr. F a i s a l Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081355771298 Email: [email protected]
Abstrak
Nyeri pascabedah seksio sessaria masih menjadi masalah oleh karena masih tingginya angka nyeri sedang-berat dan akan berpengaruh terhadap ibu dan pengasuhan bayi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek ketamin 0,1mg/kgBB/jam dengan petidin 0,1 mg/kgBB/jam sebagai kombinasi terhadap parasetamol 1gr/8 jam sebagai multimodal analgesia pascabedah seksio sesaria. Dilakukan penelitian eksperimental secara acak tersamar tunggal terhadap 60 pasien hamil dengan status fisik (ASA PS) I-II yang akan menjalani persalinan seksio sessaria dengan anestesi spinal. Subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok perlakuan yang masing-masing ketamin 0,1 mg/kgBB/jam perinfus (n=30) atau petidin 0,1 mg/kgBB/ jam perinfus (n=30) sebagai analgesia pascabedah yang dikombinasikan dengan parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam peroral. Penilaian terhadap nyeri dengan NRS selama 24 jam pengamatan. Perubahan tekanan arteri rerata, laju jantung, efek samping dan kebutuhan analgesia tambahan dicatat. Data diolah dan dianalisa dengan uji statistik menggunakan uji t dan chi-square dengan derajat kemaknaan p<0,05. Hasil penelitian menunjukkan sebaran nyeri sedang-berat pada saat istirahat hanya sekitar 10% dengan kebutuhan analgesia tambahan (morfin) yang cukup rendah. Perubahan tekanan arteri rerata dan laju jantung dan efek samping minimal. Secara statistik Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari kedua kelompok perlakuan. Disimpulkan bahwa Pemberian kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan ketamin 0,1 mg/kgBB/jam serta kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin 0,1 mg/kgBB/jam memiliki efek yang baik dalam menurunkan nyeri pascabedah seksio sesaria Kata kunci : Parasetamol, ketamin, petidin, seksio sesaria, nyeri pascabedah
Abstract: Pain after cesarean still a problem because of the high number of moderate to severe pain and will affect maternal and infant care. This research aimed to compare the effects of ketamine 0.1 mg / kgBW / hr and pethidine 0.1 mg / kgBW / hr as the combination of the acetaminophen 1 gram / 8 hours as the multimodal analgesia of the post section cesarean surgery. This was an experimental study single-blind random sampling on 60 pregnant patients with the physical status of I-II who underwent the cesarean section with the spinal anesthesia. The research subjects were divided into two treatment groups, i.e. ketamine 0.1 mg / kgBW / hr per infusion (n = 30) or pethidine 0.1 mg / kg / hr per infusion (n = 30) as the post surgery analgesia which was combined with tablet oral paracetamol 1 g / 8 hours per oral. The assessment of pain with NRS was carried out for 24 hours of observation. The change in mean arterial pressure and heart rate, side effects and additional analgetic necessity (morfin) were recorded. The data were processed and analyzed by the statistic test using t-test and chi-square test with the significance level of p <0.05. The research results indicates that the number of moderat and severe pain at rest about 10%, and additional analgesic necessity is minimal. The changes of the blood pressure, the heart rate, and side effects are minimal or absent. Statistically they are not significantly different (p> 0.05). The conclusion is the combination of tablet oral paracetamol 1 gr/8 hrs with ketamin infusion0,1mgkgbw/hr and paracetamo tablet oral 1gr/8 hrs with pethidine 0,1 mg/kgbw/hr has a good effect in reducing postoperative pain cesarean section Keywords: Paracetamol, ketamine, pethidine, cesarean section, postoperative pain
PENDAHULUAN
Penangan nyeri pascabedah seksio sesaria memerlukan perhatian tersendiri oleh
karena harus mempertimabngakan dua faktor, yakni ibu dan bayinya. Penanganan nyeri
akut yang efektif akan memperbaiki mobilitas ibu sehingga mengurangi resiko
tromboemboli yang meningkat selama kehamilan dan memungkinkan ibu menyusui dan
merawat bayinya dengan baik. Nyeri akut akibat pembedahan akan memberi dampak luas
pada pasien seperti gangguan kardiovaskuler, respirasi, sistem endokrin, keterbatasan
dalam merawat bayi yang penting di masa awal persalinan, bahkan dapat berkembang
menjadi nyeri kronik yang juga berdampak terhadap gangguan fungsi sosial. Oleh karena
itu diperlukan penanganan nyeri akut pascabedah yang efektif untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas, memperpendek masa penyembuhan pasien pascabedah dan
lama tinggal di rumah sakit, memperbaiki fungsi sosial ibu terutama dalam merawat
bayinya dan juga mencegah terjadinya nyeri kronik. (Vascopous., 2010)
Meskipun pengetahuan tentang penanganan nyeri akut pascabedah mengalami
kemajuan yang sangat pesat, tetapi dari hasil penelitian Apfelbaum dkk (2003) pada 250
pasien di Amerika Serikat yang menjalani pembedahan, terdapat sekitar 80% pasien
mengalami nyeri akut pascabedah. Hal ini sejalan dengan penelitian Sommer dkk (2007)
yang melaporkan prevalensi nyeri pascabedah di University Hospital Maastrict Belanda
pada 1490 pasien pascabedah yang menerima penatalaksanaan nyeri sesuai standar
protokol, hasilnya adalah 41% mengalami nyeri sedang dan berat pada hari 1-4. Prevalensi
nyeri pascabedah abdominal kelompok nyeri sedang dan berat pada hari 0-1 adalah 30-
55%. Prevalensi nyeri pascabedah ekstremitas kelompok nyeri sedang dan berat pada hari
1-4 adalah 20-71% dan 30-64% pada operasi tulang belakang.
Penelitian untuk mendapatkan obat analgesik yang ideal masih terus berlanjut,
dimana diharapkan adanya obat atau kombinasi obat yang mempunyai analgesia kuat
dengan efikasi yang tinggi dan efek samping yang sedikit. Konsep multimodal analgesia
telah diperkenalkan lebih dari satu dekade yang lalu, dengan menggunakan beberapa jenis
analgetik yang berbeda untuk mencapai analgesia yang adekuat, sehingga kebutuhan
penambahan dosis analgetik dan efek samping menurun. Sekarang ini the American
Society of Anesthesiology Task Force on Acute Pain Management dan the Agency for
Health Care research and Quality menganjurkan penggunaan pendekatan multimodal
analgesia dalam penangan nyeri akut. (Ashburn et al., 2004)
Dalam penelitian Christopher dkk (1997) mendapatkan bahwa parasetamol lebih
efektif dalam manajemen nyeri pasca bedah setelah membandingkan antara parasetamol
dengan kodein dan ibuprofen pada operasi tonsilaketomi usia muda, sebuah penelitian
yang diperkuat oleh Varrassi dkk (1999) mendapatkan efikasi analgesik yang sama antara
proparasetamol 2 gram dengan ketorolac 30 mg yang dikombinasi morfin PCA pada pasien
pasca operasi gynekologik.
Suzuki dkk (2006) memperlihatkan bahwa infus low dose ketamin pasca bedah
menurunkan secara signifikan nyeri akut pada pasien thorakotomi yang mendapatkan
epidural analgesia ropivacain dan morfin, hal yang sama juga didapatkan oleh Gurnani dkk
(1996) infus low dose ketamin memberikan analgesia yang lebih bagus dibandingkan
intermitten morfin pada trauma muskuloskeletal akut dan diperkuat oleh temuan Bell dkk
(2006) infus kontinyus ketamin low dose sampai 48 jam pasca bedah abdomen
memberbaiki nyeri dan menurunkan kebutuhan morfin PCA dan menurunkan efek
samping mual muntah, demikian pula Michelet dkk (2007) mendapatkan bahwa
penambahan ketamin terhadap morfin PCA pada pasien pasca thorakotomi memperbaiki
analgesia dan menurunkan konsumsi morfin, serta mempelihatkan parameter respiratory
yang lebih baik.. Sebaliknya Galinski dkk (2007) memperlihatkan adanya sparing efect
antara ketamin dan morfin pada nyeri trauma yang hebat, namun tidak ada perubahan
dalam skor nyeri. Kula (2009) interaksi antara petidin, ketamin dan parasetamol
memberikan keuntungan dengan penurunan dosis dan efek samping pada percobaan tail-
flick test pada hewan coba tikus, sehingga kombinasi dari ketiga obat tersebut diharapkan
menjadi pilihan antinosiseptik pada nyeri akut pada peneitian hewan coba dan uji klinis
selanjutnya.
Dengan latar belakang tersebut, maka pada penelitian ini, peneliti ingin
mendapatkan kombinasi multimodal analgesia yang memiliki efek yang baik dalam
penatalaksanaan nyeri pasca bedah dengan membandingkan efek kombinasi Paracetamol 1
gr/8 jam dan ketamin dosis 0,1 mg/kgbb/jam terhadap kombinasi Parasetamol 1 gr/8 jam
dan Petidin 0,1 mg/kgbb/jam sebagai multimodal analgesia dalam pengelolaan nyeri
pascabedah seksio sesaria.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kamar bedah RSIA ST. Fatimah Makassar selama 2
(dua) bulan (Desember 2012- Januari 2013). Penelitian ini merupakan uji klinis acak
tersamar tunggal (single blind randomized control trial).
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah ibu hamil yang menjalani persalinan melalui operasi
seksio sesaria di RSIA ST. FATIMAH selama masa penelitian. Sampel sebanyak 60
orang yang dipilih secara acak yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu:pasien yang akan
menjani persalinan dengan seksio sessarea dengan prosedure anestesi spinal, ASA PS 1–2,
usia 20 – 45 tahun, IMT 18 – 30 kg/cm2, tidak mempunyai penyakit janung, diabetes,
hipertensi dalam kehamilan dan bersedia untuk mengikuti penelitian ini dan
menandatangani informed consent yang telah dikeluarkan oleh Komisi Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan oleh PPDS anestesiologi Unhas dan perawat RSIA.
ST. FATIMAH. Data pasien, derajat nyeri dengan NRS, perubahan hemodinamik (tekanan
arteri rerata, laju jantung), kebutuhan analgesia tambahan morfin, efek samping dicatat
pada lembar pengamatan selama periode pengamatan.
Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk narasi, tabel
atau grafik. Analisis statistik menggunakan piranti statistik elektronik. Bila simpangan
baku sangat beragam, data diuji dengan Independen sampel t test dan Pearson Chi-Square
test. Tingkat kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p < 0,05.
HASIL
Karakteristik sampel
Pada Tabel 1 dan tabel 2 dapat dilihat bahwa tidak didapatkan perbedaan
bermakna dari data demografi pada kedua kelompok penelitian. Dari tabel 1, Karakteristik
umur, IMT dan lama operasi dari 60 sampel penelitian dinyatakan homogen dengan nilai
p>0,05. Terlihat bahwa untuk kategori umur didapatkan nilai rerata umur untuk kelompok
PCT-ketamin (27,3± 5,1) tahun dan kelompok PCT-petidin (29,3± 6,2) tahun dengan nilai
(p=0,204), kategori IMT didapatkan nilai rerata IMT untuk kelompok PCT-ketamin (24,7±
3,5) kg/m2 dan kelompok PCT-petidin (24,0± 3,1) kg/m2 dengan nilai (p=0,488), kategori
durasi operasi didapatkan nilai rerata pada kelompok PCT-ketamin (63± 9) menit dan pada
kelompok PCT-petidin (64±8) dengan nilai (p=0,201). Pada tabel 2, klasifikasi status fisik
berdasarkan penggolongan dari American Society of Anesthesiologist (ASA PS), sampel
penelitian dibatasi pada kategori ASA PS 1 dan 2. Tidak ditemukan perbedaan bermakna
secara statistik pada kedua kelompok (p=0,554). Demikian halnya juga dengan paritas atau
jumlah melahirkan pada kelompok PCT-ketamin dan paritas kelompok PCT-petidin tidak
berbeda bermakna dimana nilai p=0,278. begitu pula dengan tingkat pendidikan pada
kedua kelompok tingkat tidak berbeda secara bermakna dengan p=0,735.
Analisis Intensitas Nyeri Pascabedah
Analisis tentang intensitas nyeri pascabedah dari kombinasi parasetamol-ketamin
dan kombinasi parasetamol-petidin digambarkan pada tabel 3. Dimana pada kedua
kelompok perlakuan terlihat intensitas nyeri sedang – berat pada saat istrihat tertinggi pada
4 jam dan 8 jam pascabedah, dimana persentase masih sekitar 40%, namun secara umum
setelah 12 jam pascabedah terlihat sebaran nyeri sedang-berat kurang dari 10%. Sebaran
nyeri sedang-berat yang sedikit ini memberi gambaran bahwa kedua kombinasi tersebut
memiliki efek yang baik dalam memberbaiki nyeri pascabedah seksio sesaria, meski pada
sebaran sebaran nyeri sedang-berat pada saat bergerak masih tinggi (sekitar 50%).
Kebutuhan Analgetik Tambahan (Morfin)
Gambaran kebutuhan analgetik tambahan morfin untukkedua kelompok
digambarkan pada tabel 4, dimana kelompok PCT-ketamin kebutuhan analgetik tambahan
rata-rata (3,18 ± 2,62) dan kelompok PCT-petidin (2,33 ± 2,81) secara statistik dengan uji
independet t test tidak berbeda bermakna p=0,231. Secara umum terlihat bahwa kebutuhan
analgetik tambahan morfin sangat sedikit.
Pengaruh terhadap Hemodinamik Tekanan Arteri Rerata (TAR), Laju Jantung dan
Laju Napas.
Pengaruh kedua kombinasi terhadap perubahan hemodinamik tidak berbeda secara
bermakna, dimana tidak ada perbedaan terhadap velocity perubahan tekanan arteri rerata,
laju jantung, dan laju napas dari kedua kelompok perlakuan setelah uji Levenes test dan
dilanjutkan dengan uji Independent T test nilai p>0,05.
Efek Samping
Efek samping yang muncul pada penelitian ini adalah efek samping pruritus,
dimana hanya 3 pasien dari kelompok petidin yang mendapatkan efek samping tersebut,
dapat dilihat pada tabel 5, dimana dengan Chi-Square test juga tidak berbeda bermakna
dengan p=0,076.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan efek kombinasi parasetamol oral 1 gr/8 jam dan ketamin
infus 0,1 mg/kgBB/jam memiliki efek yang sama baiknya dengan kombinasi parasetamol
oral 1 gram/8 jam dengan petidindi infus 0,1 mg/kgBB/jam dalam penatalaksanaan nyeri
pascabedah seksio sesaria. Secara statistik tidak ditemukanan perbedaan secara bermakna
dari derajat intensitas nyeri istirahat maupun bergerak, kebutuhan anlagetik tambahan
(morfin) dan pengaruh terhadap hemodinamik serta kejadian efek samping dari kedua
kelompok perlakuan.
Dari data terlihat bahwa sebaran nyeri sedang-berat pada kedua kelompok setelah 12
jam pascabedah hanya berisar 10% dengan analgetik tambahan minimal hanya 3,18 ± 2,62
pada kelompok PCT-ketamin dan 2,33 ± 2,81pada kelompok PCT-petidin, tidak
ditemukan perbedaan bermakna secara statistik, dimana p>0,05. Hal ini membuktikan
bahwa dengan dosis ketamin 0,1 mg/kgBB/jam atau petidin 0,1 mg/kgBB/jam yang
dikombinasikan dengan parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam cukup efektif untuk nyeri saat
istirahat, namum masih memerlukan dosis tambahan untuk mengatasi nyeri pada saat
bergerak. Demikian pula halnya dengan efek terhadap perubahan hemodinaki, kedua
kelompok tidak memperlihatkan pengaruh buruk terhadap tekanan arteri rerat dan laju
jantung, bahkan maupun efek samping dari kedua kelompok sangat kecil, bahkan tidak
ada.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa kedua kombinasi dari penelitian ini memiliki
efek yang baik dalam penanganan nyeri pascabedah seksio sesaria. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Varrassi dkk (1999) yang mendapatkan efikasi analgesik yang sama
antara proparasetamol dengan ketorolac yang dikombinasi morfin PCA pada pasien pasca
operasi gynekologik. Demikian pula dengan penelitian Maund dkk (2011) yang meneliti
tentang mixed treatment comparison (MTC) analysis dan mendapatkan tidak ada
perbedaan dalam penurunan konsumsi morfin antara parasetamol, COX selektif dan
NSAIDs yang diberikan sebagai adjuvant PCA morfin sebagai multimodal analgesia pasca
operasi mayor. Bell dkk (2006) menyimpulkan bahwa pemberian infus kontinyu ketamin
low dose sampai 48 jam pasca bedah abdomen memberbaiki nyeri dan menurunkan
kebutuhan morfin PCA serta menurunkan efek samping mual muntah. Hal ini memberikan
bukti bahwa penggunaan analgetik parasetamol dan ketamin pascabedah memiliki efek
yang baik dalam menurunkan nyeri pascabedah, meski belum didapatkan publikasi tentang
kombinasi keduanya.
Parasetamol merupakan antinosiseptif sentral yang menghambat nosisepsi melalu jalur
modulasi dengan mengaktivasi canabinoid sistem dan jalur serotonergik descending serta
menurunkan hiperalgesia dengan menghambat pembentukan nitric oxide akibat aktivasi
substans P dan stimulasi reseptor N-methyl D-aspartate. Ada peningkatan bukti bahwa
parasetamol memiliki efek antinosiseptif sentral, dan mekanisme potensial untuk inhibisi
COX-2 sistem saraf sentral, inhibisi terhadap dugaan siklooksigenasi sentral ‘COX-3’ yang
selektif terhadap parasetamol, sehingga sangat baik digunakan sebagai analgesia
pascabedah, baik secara diberikan secara tunggal ataupun secara kombinasi. (Christopher
et all., 1997; Davis., 2005; Varassi et al.,1999)
Ketamin merupakan turunan dari phencyclidine, mulai ditemukan pada tahun 1965
dan digunakan pertama kali dalam praktek klinik pada tahun 1970. Penggunaan sebagai
analgesia pasca bedah dengan low dose atau subanestesik dose (0,1-0,3 mg/kgbb) juga
mulai popular dalam beberapa tahun terakhir, baik digunakan secara tunggal (konsentrasi
dalam darah 150 ng/ml) ataupun sebagai kombinasi dengan opioid atau agen lainnya
(Suzuki., 2009). Saat ini telah diketahui bahwa mekanisme kerja ketamin adalah pada
reseptor µ spinal, jalur inhibisi desenden, dan yang utama sebagai antagonis reseptor
NMDA berikatan secara spesifik terhadap tempat fensiklidin pada saluran ion reseptor N-
Metil-D-Aspartat (NMDA). Reseptor NMDA memainkan peranan penting dalam
hipersensitifitas medula spinalis akibat cedera, termasuk akibat pembedahan. sensitisasi
sistem saraf sentral ini yang berperan dalam mekanisme nyeri akut ataupun kronik akibat
trauma pascabedah. (Craven., 2007)
Multimodal analgesia sebagai suatu tekhnik untuk meningkatkan efek analgesia dan
mengurangi insiden yang tidak diharapkan terkait dengan penggunaan opioid. Strategi ini
menitik beratkan tercapainya analgesia yang optimal dengan cara penambahan analgetik
yang bekerja sinergis dari kelas analgetik yang berbeda dan mekanisme yang berbeda. Hal
ini menyebabkan dosis obat individual berkurang dan menurunnya efek yang tidak
diharapkan dari obat tertentu yang digunakan pada perioperatif.( Ashburn., 2004)
Oleh karena itu, kombinasi antara parasetamol dengan ketamin ataupun parasetamol
dengan petidin mempunyai efek potensiasi sehingga dapat digunakan sebagai multimodal
analgesia pascabedah yang sama baiknya.
Pada penelitian ini juga didapatkan efek terhadap hemodinamik tekanan arteri rerata
dan laju jantung serta laju napas tidak berbeda pada kedua kelompok. Hal ini terlihat dari
velocity tekanan arteri rerata, laju jantung dan laju napas pada kedua kelompok perlakuan
tidak berbeda bermakna, p>0,05. Hal ini sejalan dengan penelitian Park JW dkk, (2007)
bahwa penggunaan ketamin dosis subanestetik 0,1 mg/kgBB sebagai adjuvan pada anestesi
umum tidak memberikan efek perubahan hemodinamik pada pasien ortopedik yang
menjalani operasi dengan tourniquet. Meskipun secara umum pemberian ketamin akan
memberikan efek kardiovaskuler seperti takikardi, peningkatan tekanan darah dan cardiak
output akibat pengaruh simpatis respon, namun efek terhadap kardiovaskuler dapat
dihilangkan dengan pemberian low dose , infus kontinyu dan pemberian diazepam. (Pai et
al,.2007)
Sebagaimana obat-obat yang lain, maka parasetamol, ketamin, petidin juga memiliki
efek samping. Keterbatasan penggunaan obat tersebut oleh karena efek samping seperti
mimpi buruk, halusinasi, urtikaria dll. Pada penelitian ini, efek samping yang muncul
hanya muncul pada PCT-ketamin petidin, yaitu urtikaria. Insiden urtikaria yang terjadi
hanya pada 3 orang dari 30 orang yang menggunakan obat petidin yaitu 10%, tidak ada
perbedaan bermakna secara statistik dimana nilai p=0,076, namun bermakna secara klinis.
Hal serupa juga dijelas pada sebuah penelitian acak tersamar ganda yang mendapatkan
frekuensi pruritus pada kelompok petidin sekitar 5 dari 16 subyek yang dibandingkan
dengan 1 dari 10 subyek pada kelompok morfin dan tidak ada kejadian pruritus pada
kelompok fentanyl. (Davis et al., 2004). Hal ini dapat dijelaskan bahwa kejadian pruritus
pada kelompok petidin disebabkan oleh efek histamine release yang terjadi oleh karena
reaksi hipersensitif atau reaksi alergi akibat respon immun dari antibodi Ig E, limfosit atau
keduanya, pelepasan histamin dari sel mast terjadi melalui mekanisme tersebut. (Davis et
al., 2004)
Analisis secara umum pada penelitian ini adalah bahwa kombinasi parasetamol dan
ketamin memberikan efek yang baik pada pembedahan seksio sesaria dengan menurunkan
intesitas nyeri tanpa efek samping dan pengaruh terhadap hemodinamik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa kombinasi parasetamol-ketamin mapun kombinasi
parasetamol petidin memiliki efek yang baik sebagai multimodal analgesia pascabedah
seksio sesaria. Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis yang
tepat dari ketamin maupun petidin sebagai kombinasi terhadap parasetamol sebagai multi
modal analgesia pascabedah.
DAFTAR PUSTAKA
Apfelbaum JL., Chen C., Mehta SS., & Gan TJ. (2003). Postoperatif pain experience: result from a national survey suggest postoperatif continues to be undermanage. Anesth Analg, 97(2):534-40.
Ashburn M.A., Caplan R.A. & Carr D.B. (2004). Practice guidelines for acute pain management in the perioperative setting: an updated reported by the American Society of Anesthesiologiest task force on acute pain management. Anesthesiology, 100:1573-81.
Bell R.F., Dahl J.B.,Moore R.A. & Kalso E. (2006). Perioperative ketamin for acute postoperative pain. Cochrane Database Syst Rev, (1):CD004603
Christopher S.T., Matt B. & Hamilton M. (1997). A comparison of ibuprofen versus acetaminophen with codein in the young tonsillectomy patient. Otolaryngol Head Neck Surg, 117:76-82.
Craven R. (2007). Ketamine: review. Anaesthesia, 62: 48–53. Davis S. & Graham G. (2005). IV paracetamol- where does it sit in hospital practice?.
NSW Therapeutic Advisory Group. Curr Opin Anaesthesiol, 2005 Oct; 1-6. Galinski M., Dolveck F., Combes X., et al. (2007). Management of severe acute pain in
emergency settings: ketamin reduces morphine consumption. Am J Emerg Med., 25(4):385-90.
Gurnani A., Sharma P.K., Routella R.S. & Bhattacharya A. (1996) Analgesia for acute musculoskeletal trauma: low dose subcutaneus infusion of ketamin. Anaes and intesive care, 24(1):32-36.
Kula A., Peeters M. & Allegaert K. (2012). Pharmakokinetics of paracetamol and its metabolites in women at delivery and post partum (abstract). Br J Clin Pharmacol.
Maund E., Rice S., Wright K. & Woolacott N. (2011). Paracetamol and selective and non-selective non steroidal anti-inflamatory drug for the reduction in morphine-related side-efects after major surgery: a systemic review. Br J Anaesth, 106 (3): 292-7.
Michelet P., Guervilly C., Helaine A., et al.(2007). Adding ketamin tomorphine for patient-controlled analgesia after thoracic surgery: influenceon morphine consumption, respiratory function, and nocturnal desaturation. Br J Anaesth, 99(3):396-403.
Pai A. & Heining M. (2007). Ketamine. Continuing Educationin Anesthesia, Critical Care & Pain, 7(2): 59-63.
Park J.W., Kim D.H. & Lee W.K. (2007). The efficacy of low-dose ketamineadded to postoperative patient-controlled analgesia. Koren J Anesthesiol, 83(4):657-6662.
Sommer M., Rijkea J.M., Kleefa M., Kesselsa AGH., Petersa M.L., Geurtsa J., et al. (2008). The prevalence of postoperative pain in a sample of 1490 surgical inpatients. Eur J Anaesthesiol, 25(04):267-74.
Suzuki M. (2009). Perioperative ketamine for better postoperative pain outcome. In: Sinatra R., Oscar A., Ginsberg B. & Viscusi E. editors. Acute pain management. Cambridge: Cambridge University Press, New York.
Varrassi G., Marinamgeli F., Agro F. & Luigi A. (1999). A double-blinded evaluation of proparacetamol versus ketorolac in combination with patient-control analgesi morphine: analgesic efficacy and tolerability after gynecologic surgery. Anesth Analg, 88:611-16.
Voscopous C. & Lema M. (2010). When does acute pain became chronic?. Br J Anaesth,105(51):169-85.
Tabel 1. Karakteristik Sampel Penelitian
Variabel Kelompok A PCT-Ketamin
(n=30)
Kelompok B PCT-Petidin
(n=30)
Kemaknaan (nilai p)
Mean±SD Mean ±SD.
Umur 27,3± 5,1 29,3± 6,2 0,204
BMI 24,7± 3,5 24,0± 3,1 0,488
Durasi Operasi 63± 9 64± 8 0,201
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata/mean (standar deviasi) kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Independent T Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.
Tabel 2. Karakteristik Status fisik, paritas dan pendidikan
Variabel Kelompok A PCT-Ketamin
(n=30)
Kelompok B PCT-Petidin
(n=30)
Kemaknaan (nilai p)
n % N %
PS ASA 1 1 3,3 2 6,7 0,554
2 29 96 28 93,3
Paritas I 12 40,0 8 26,7 0,278
II 13 43,3 11 36,7
III 4 13,3 4 13,3
IV 0 0 4 13,3
V 1 3,3 2 6,7
VI 0 0 1 3,3
Pendidikan SLTP 3 10.0 4 13,3 0,735
SLTA 17 56,6 14 46,7
Dipl/Sarjana 10 33,3 12 40.0
Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase subjek kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Pearson Chi-SquareTest, dinyatakan signifikan bila nilai p<0,05.
Tabel 3. Intensitas nyeri pascabedah
Nyeri
Kelompok PCT-Ketamin (A) (n=30)
Kelompok B PCT-Petidin (B) (n=30)
p T R S B T R S B N % n % n % N % n % N % n % n %
Istir
ahat
1Jam 29 96,7 1 3,3 0 0 0 0 30 100 0 0 0 0 0 0 0,313 4 jam 2 6,7 15 50 13 43,3 0 0 1 3,3 19 63,3 10 33,3 0 0 0,550
8 jam 2 6,7 16 53 12 40 0 0 0 0 21 70 9 30 0 0 0,212
12jam 4 13,3 23 76,7 3 10 0 0 1 3,3 28 93,3 1 3,3 0 0 0,193
24jam 2 6,7 28 93,3 0 0 0 0 1 3,3 29 96,7 0 0 0 0 0,554
Ber
gera
k
1jam 25 83,3 4 13,3 1 3,3 0 0 27 90 3 10 0 0 0 0 0,543
4jam 4 13,3 24 80 2 6,7 0 0 5 16,7 22 73,3 3 10 0 0 0,820
8jam 0 0 0 0 27 90 3 10 0 0 3 10 24 80 3 10 0,204
12jam 0 0 7 23,3 21 70 2 6,7 0 0 11 36,7 19 63,3 0 0 0,224
24jam 0 0 14 46,7 16 53,3 0 0 0 0 15 50 15 50 0 0 0,796
Ket : T: Tidak nyeri, R : Nyeri ringan, S: Nyeri sedang, B: Nyeri berat.
Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase subyek yang mengalami nyeri dan nilai p diuji dengan Pearson Chi-Square Test, dinyatakan signifikan jika p<0,05.
Tabel 4. Jumlah analgetik tambahan morfin dalam 24 jam pascabedah
Kelompok PCT-Ketamin Kelompok PCT-Petidin P
Mean±SD Mean±SD 3,18 ± 2,62 2,33 ± 2,81 0,231
Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan simpangan deviasi, nilai p diuji dengan Independent sample T Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.
Tabel 5. Jumlah penderita yang mengalami efek samping pruritus dalam 24 jam pascabedah
Kelompok A (n=30)
Kelompok B (n=30)
Kemaknaan
N % N % Pruritus 0 0% 3 10 p=0,076
Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase kejadian. Nilai p diuji dengan Pearson Chi-SquareTest. Nilai p<0,05 dinyatakan signifikan.