Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

20
s Edisi 28 Des 2008

description

Mengangkat isu radio komunitas di Amerika Latin

Transcript of Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

Page 1: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

s

Edisi 28

De

s

20

08

Page 2: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

2 Editorial 3 Info Sekilas

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008 ed

itoria

led

itoria

ladio komunitas di kawasan Amerika Latin, oleh Asosiasi Radio Komunitas Sedunia (AMARC), dianggap sebagai radio komunitas pertama di dunia. Walaupun klaim ini masih bisa

dipertanyakan, namun setidaknya dari tema utama Kombinasi Edisi 28 ini, kita bisa belajar dari pengalaman radio-radio Amerika Latin yang mulai bertumbuh sejak tahun 1950an. Radio-radio di Bolivia misalnya, bermula dari para buruh pertambangan yang memiliki kesadaran pentingnya alat komunikasi untuk menyebarkan aspirasi mereka. Selain itu, juga merupakan alat perekat antara mereka dengan warga sekitar. Radio Komunitas Quilambaba di Peru merupakan radio yang menyuarakan suara petani lokal yang menghasilkan kopi dan daun koka. Para petani di wilayah itu sudah mendirikan serikat dan organisasi politik untuk melawan represi tuan-tuan tanah lokal dan berbagai rezim militer. Membaca kembali pengalaman radio komunitas awal di Amerika Latin mengingatkan kita bahwa betapa sulitnya bagi mereka untuk mempertahankan eksistensinya. Namun perjuangan bersama tersebut justru memperkuat solidaritas mereka, sehingga dengan sukarela, mereka bersedia menyisihkan upahnya sebagai buruh dan petani untuk membiayai keberlangsungan radionya. Kekuatan partisipasi masyarakat dalam segala ranah inilah yang menjadi landasan terbentuknya kriteria yang membedakan radio komunitas dengan jenis media lainnya.

Di samping tema utama, maka Kombinasi edisi 28 juga menyajikan artikel menarik lainnya. Bambang Sugiharto menceritakan pergulatan para perajin tenun di Dusun Gamplong, Desa Sumber Rahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sementara Yuyuk Sugarman dan Fuska mengisahkan upaya komunitas pemulung untuk membuat "bank" versi mereka sendiri. Rushdiiana Sholihah dari Cilacap memaparkan upaya Lembaga Ekonomi Sentra Ekonomi Masyarakat Ilalang, disingkat LE Semerlang, di Desa Cinangsi, Cilacap, dalam menciptakan lapangan pekerjaan di daerahnya. Hal ini sangat penting mengingat begitu banyak usia produktif yang "lari" menjadi buruh migran di luar negeri. LE Semerlang seakan ingin mengatakan bahwa "Kita bisa berbuat sesuatu di daerah kita sendiri." Dari Cilacap, Saiful Bakhtiar membuat laporan khusus tentang sebuah radio komunitas di Lampung. Oase FM merupakan radio komunitas yang ingin mengangkat kembali kesenian tradisional Lampung yang semakin terpinggirkan. Kombinasi 28 mengingatkan kita kembali betapa pentingnya membangun kekuatan di tingkat lokal, baik dari segi partisipasi warga, budaya, dan ekonomi. Selamat membaca Kombinasi edisi 28!Editor

dari kami

Editor: Ade TanesiaPenulis: Bambang Sugiharto, Fuska Sani Evani dan Yuyuk Sugarman, Ranggoaini Jahja, Rushdiiana Sholihah, Saiful Bakhtiar.Layout: Duotone MediaIlustrasi cover depan: HardokoIlustrasi cover belakang: Surya Wirawan (Koleksi Bapak Biantoro, Galeri Nadi)Ilustrasi dalam: Hardoko & Dani Juniarta

Alamat Redaksi:Jl Ngadisuryan no. 26 Yogyakarta 55133Telepon/fax: 0274-418929email: [email protected]

Kombinasi diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan Ford Foundation.

tim kerja >>

uyuran hujan sepanjang perjalanan Jogjakarta - Sambak, Magelang bukan menjadi penghalang bagiku untuk bertemu Gdengan para pegiat radio komunitas Suara Kampung Pintar (SKP

FM) di desa Sambak, Kajoran, Magelang Jawa Tengah. Satu setengah jam perjalanan aku tempuh dari Jogjakarta melewati jalur Borobudur ke arah perbatasan Kota Purworejo dan Wonosobo.

Memasuki wilayah Sambak, jelas terlihat deretan pepohonan hijau nan asri. Sambak yang berada di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang dan terletak dalam perbukitan Potorono mulai dikenal sejak warganya berusaha untuk melestarikan hutan, membangun jaringan air bersih, dan usaha peternakan. Terbukti sejak tahun 2007 Sambak berhasil meraih penghargaan sebagai desa berwawasan lingkungan, konservasi, dan pengelolaan lingkungan, hingga juara pertama di bidang Cipta Karya.

Upaya untuk terus mempertahankan kelanjutan hutan di Sambak, beberapa pemuda berpikir untuk terus membangun desanya. Gagasan awal adalah perpustaakan desa yang disertai adanya radio komunitas sebagai salah satu alat informasi warga. Namun dalam perjalanannya, gagasan perpustakaan desa justru didahului dengan lahirnya radio komunitas. Tepat tanggal 17 Agustus 2008, warga Sambak bisa menikmati radio yang dikelola bersama oleh warga.

Kelahiran yang dinanti.Anto, salah seorang penggiat radio SKP FM Sambak menuturkan sebelum

Radio Suara Kampung Pintar: Mengelola Potensi Warga Sambak

"Keinginan kami juga adalah menghilangkan budaya lama para pemuda Sambak untuk merantau ke Jakarta, berusahalah dan wirausahalah di desa," tutur Anto. Sambak sendiri menyimpan banyak potensi yang bisa

dikembangkan.

Kripik Singkong Sambak ala Radio SKP FM Untuk mengusir dingin akibat hujan, kopi panas menjadi teman obrolan bersama Anto dan Amron, punggawa siar SKP FM. Tidak hanya kopi, saya juga disuguhi salah satu produk penganan Sambak, keripik singkong. Di Sambak ada berkisar empat tempat pengelolaan kripik singkong yang daerah penjualannnya Purworejo, Cilacap, Wonosobo dan Banjarnegara. Selain potensi kripik singkong, tahu,

kerajinan bambu-kipas, ani-ani (pemotong padi), dan potensi ekowisata hutan menjadi kek ayaan yang belum

dikembangkan secara optimal di Sambak. Gagasan para pegiat Radio SKP FM berusaha untuk mendorong geliat perekonomian rakyat. "Keripik singkong yang selama ini belum dikemas dengan bagus. Radio SKP FM mencoba

menyajikan keripik singkong dengan kemasan sekaligus membuka jejaring dalam penjualan.." tutur Amron. Kehadiran

Radio SKP FM kini menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi warga Sambak. Di pundak para pengelola, warga berharap akan hadirnya

berbagai informasi sekaligus membuka komunikasi dengan berbagai warga lain di seluruh Indonesia. Membuka informasi dan komunikasi

bukan tidak mungkin akan semakin mengembangkan potensi Sambak yang ada. Semoga..(Saiful Bakhtiar)

berdirinya radio, para pemuda mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, kepala desa, dan kepala sekolah. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk mendirikan radio komunitas. Mendapat restu dari para tokoh masyarakat, para pemuda pun kemudian melakukan sosialisasi kepada segenap lapisan warga sebelum radio berdiri. Alhasil dua bulan sebelum on-air, melalui pengajian-pengajian yang ada di tiap dusun, pengelola menyampaikan gagasan ke warga. Gayung pun bersambut. Antusiasme warga nampak terlihat dalam angket yang disebarkan. Keinginan untuk mendapatkan berbagai informasi melaui radio muncul. Langkah penggalangan dana pun dilakukan. Dari pintu ke pintu para pemuda mencari dukungan pendanaan dari warga untuk membeli perlengkapan siar. Mixer, antena dan transmiter pun berhasil dibeli. Melewati masa siaran dan sekaligus menjajagi respon warga, radio SKP FM mengudara. Tepat saat merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 53, Radio RSIP FM Sambak pun secara resmi mengisi ruang dengar seluruh Sambak. "Selama ini kampung identik dengan ketertinggalan, kebodohan, gaptek, nama Suara Kampung Pintar berharap kampungnya akan berisi orang-orang yang cerdas dan pintar, dan nama adalah doa" tutur Amron.

Penerjemahan dari misi dan visi radio SKP FM pun muncul dalam program-program yang disusun. Selain penyuguhan musik, para pengelola pun terus menerus menghadirkan tokoh-tokoh Sambak yang telah sukses. Kehadiran mereka diharapkan mampu memberikan gambaran pada masyakarakt sekaligus pemicu semangat bagi generasi muda Sambak untuk terus belajar.

Page 3: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

2 Editorial 3 Info SekilasK

om

bin

asi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008 ed

itoria

led

itoria

l

adio komunitas di kawasan Amerika Latin, oleh Asosiasi Radio Komunitas Sedunia (AMARC), dianggap sebagai radio komunitas pertama di dunia. Walaupun klaim ini masih bisa

dipertanyakan, namun setidaknya dari tema utama Kombinasi Edisi 28 ini, kita bisa belajar dari pengalaman radio-radio Amerika Latin yang mulai bertumbuh sejak tahun 1950an. Radio-radio di Bolivia misalnya, bermula dari para buruh pertambangan yang memiliki kesadaran pentingnya alat komunikasi untuk menyebarkan aspirasi mereka. Selain itu, juga merupakan alat perekat antara mereka dengan warga sekitar. Radio Komunitas Quilambaba di Peru merupakan radio yang menyuarakan suara petani lokal yang menghasilkan kopi dan daun koka. Para petani di wilayah itu sudah mendirikan serikat dan organisasi politik untuk melawan represi tuan-tuan tanah lokal dan berbagai rezim militer. Membaca kembali pengalaman radio komunitas awal di Amerika Latin mengingatkan kita bahwa betapa sulitnya bagi mereka untuk mempertahankan eksistensinya. Namun perjuangan bersama tersebut justru memperkuat solidaritas mereka, sehingga dengan sukarela, mereka bersedia menyisihkan upahnya sebagai buruh dan petani untuk membiayai keberlangsungan radionya. Kekuatan partisipasi masyarakat dalam segala ranah inilah yang menjadi landasan terbentuknya kriteria yang membedakan radio komunitas dengan jenis media lainnya.

Di samping tema utama, maka Kombinasi edisi 28 juga menyajikan artikel menarik lainnya. Bambang Sugiharto menceritakan pergulatan para perajin tenun di Dusun Gamplong, Desa Sumber Rahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sementara Yuyuk Sugarman dan Fuska mengisahkan upaya komunitas pemulung untuk membuat "bank" versi mereka sendiri. Rushdiiana Sholihah dari Cilacap memaparkan upaya Lembaga Ekonomi Sentra Ekonomi Masyarakat Ilalang, disingkat LE Semerlang, di Desa Cinangsi, Cilacap, dalam menciptakan lapangan pekerjaan di daerahnya. Hal ini sangat penting mengingat begitu banyak usia produktif yang "lari" menjadi buruh migran di luar negeri. LE Semerlang seakan ingin mengatakan bahwa "Kita bisa berbuat sesuatu di daerah kita sendiri." Dari Cilacap, Saiful Bakhtiar membuat laporan khusus tentang sebuah radio komunitas di Lampung. Oase FM merupakan radio komunitas yang ingin mengangkat kembali kesenian tradisional Lampung yang semakin terpinggirkan. Kombinasi 28 mengingatkan kita kembali betapa pentingnya membangun kekuatan di tingkat lokal, baik dari segi partisipasi warga, budaya, dan ekonomi. Selamat membaca Kombinasi edisi 28!Editor

dari kami

Editor: Ade TanesiaPenulis: Bambang Sugiharto, Fuska Sani Evani dan Yuyuk Sugarman, Ranggoaini Jahja, Rushdiiana Sholihah, Saiful Bakhtiar.Layout: Duotone MediaIlustrasi cover depan: HardokoIlustrasi cover belakang: Surya Wirawan (Koleksi Bapak Biantoro, Galeri Nadi)Ilustrasi dalam: Hardoko & Dani Juniarta

Alamat Redaksi:Jl Ngadisuryan no. 26 Yogyakarta 55133Telepon/fax: 0274-418929email: [email protected]

Kombinasi diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan Ford Foundation.

tim kerja >>

uyuran hujan sepanjang perjalanan Jogjakarta - Sambak, Magelang bukan menjadi penghalang bagiku untuk bertemu Gdengan para pegiat radio komunitas Suara Kampung Pintar (SKP

FM) di desa Sambak, Kajoran, Magelang Jawa Tengah. Satu setengah jam perjalanan aku tempuh dari Jogjakarta melewati jalur Borobudur ke arah perbatasan Kota Purworejo dan Wonosobo.

Memasuki wilayah Sambak, jelas terlihat deretan pepohonan hijau nan asri. Sambak yang berada di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang dan terletak dalam perbukitan Potorono mulai dikenal sejak warganya berusaha untuk melestarikan hutan, membangun jaringan air bersih, dan usaha peternakan. Terbukti sejak tahun 2007 Sambak berhasil meraih penghargaan sebagai desa berwawasan lingkungan, konservasi, dan pengelolaan lingkungan, hingga juara pertama di bidang Cipta Karya.

Upaya untuk terus mempertahankan kelanjutan hutan di Sambak, beberapa pemuda berpikir untuk terus membangun desanya. Gagasan awal adalah perpustaakan desa yang disertai adanya radio komunitas sebagai salah satu alat informasi warga. Namun dalam perjalanannya, gagasan perpustakaan desa justru didahului dengan lahirnya radio komunitas. Tepat tanggal 17 Agustus 2008, warga Sambak bisa menikmati radio yang dikelola bersama oleh warga.

Kelahiran yang dinanti.Anto, salah seorang penggiat radio SKP FM Sambak menuturkan sebelum

Radio Suara Kampung Pintar: Mengelola Potensi Warga Sambak

"Keinginan kami juga adalah menghilangkan budaya lama para pemuda Sambak untuk merantau ke Jakarta, berusahalah dan wirausahalah di desa," tutur Anto. Sambak sendiri menyimpan banyak potensi yang bisa

dikembangkan.

Kripik Singkong Sambak ala Radio SKP FM Untuk mengusir dingin akibat hujan, kopi panas menjadi teman obrolan bersama Anto dan Amron, punggawa siar SKP FM. Tidak hanya kopi, saya juga disuguhi salah satu produk penganan Sambak, keripik singkong. Di Sambak ada berkisar empat tempat pengelolaan kripik singkong yang daerah penjualannnya Purworejo, Cilacap, Wonosobo dan Banjarnegara. Selain potensi kripik singkong, tahu,

kerajinan bambu-kipas, ani-ani (pemotong padi), dan potensi ekowisata hutan menjadi kek ayaan yang belum

dikembangkan secara optimal di Sambak. Gagasan para pegiat Radio SKP FM berusaha untuk mendorong geliat perekonomian rakyat. "Keripik singkong yang selama ini belum dikemas dengan bagus. Radio SKP FM mencoba

menyajikan keripik singkong dengan kemasan sekaligus membuka jejaring dalam penjualan.." tutur Amron. Kehadiran

Radio SKP FM kini menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi warga Sambak. Di pundak para pengelola, warga berharap akan hadirnya

berbagai informasi sekaligus membuka komunikasi dengan berbagai warga lain di seluruh Indonesia. Membuka informasi dan komunikasi

bukan tidak mungkin akan semakin mengembangkan potensi Sambak yang ada. Semoga..(Saiful Bakhtiar)

berdirinya radio, para pemuda mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, kepala desa, dan kepala sekolah. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk mendirikan radio komunitas. Mendapat restu dari para tokoh masyarakat, para pemuda pun kemudian melakukan sosialisasi kepada segenap lapisan warga sebelum radio berdiri. Alhasil dua bulan sebelum on-air, melalui pengajian-pengajian yang ada di tiap dusun, pengelola menyampaikan gagasan ke warga. Gayung pun bersambut. Antusiasme warga nampak terlihat dalam angket yang disebarkan. Keinginan untuk mendapatkan berbagai informasi melaui radio muncul. Langkah penggalangan dana pun dilakukan. Dari pintu ke pintu para pemuda mencari dukungan pendanaan dari warga untuk membeli perlengkapan siar. Mixer, antena dan transmiter pun berhasil dibeli. Melewati masa siaran dan sekaligus menjajagi respon warga, radio SKP FM mengudara. Tepat saat merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 53, Radio RSIP FM Sambak pun secara resmi mengisi ruang dengar seluruh Sambak. "Selama ini kampung identik dengan ketertinggalan, kebodohan, gaptek, nama Suara Kampung Pintar berharap kampungnya akan berisi orang-orang yang cerdas dan pintar, dan nama adalah doa" tutur Amron.

Penerjemahan dari misi dan visi radio SKP FM pun muncul dalam program-program yang disusun. Selain penyuguhan musik, para pengelola pun terus menerus menghadirkan tokoh-tokoh Sambak yang telah sukses. Kehadiran mereka diharapkan mampu memberikan gambaran pada masyakarakt sekaligus pemicu semangat bagi generasi muda Sambak untuk terus belajar.

Page 4: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

4 Info Sekilas

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

5 Info Sekilas

aat itu tahun 1899. Kemiskinan di Pulau Jawa akibat praktek Cultur Stelsel atau kerja paksa yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda telah mencapai kondisi puncaknya. Saat Situ, C.Th. Van Denter, anggota Raad Van Indie, dalam tulisannya berjudul "En Eereschuld (Hutang

Budi) mengimbau agar pemerintah belanda melakukan upaya untuk memperbaiki kehidupan rakyat di Pulau Jawa. Diperlukan satu program strategis untuk memperbaiki taraf hidup rakyat yang akhirnya melahirkan Politik Etika, sebuah Politik Balas Budi, yang meliputi imigrasi, edukasi, dan kolonisasi.

Mengapa Oase?Penamaan yang tidak sekadar muncul. Melihat kondisi warga di Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran, Lampung yang haus dan rindu akan informasi dan hiburan, maka terbersitlah nama Oase FM. Radio komunitas Oase FM mulai menyapa para pendengarnya semenjak 20 Maret 2004 silam. Uniknya keberadaan Oase FM sendiri berawal dari kumpulan fans radio komunitas Angkasa FM. Radio komunitas Angkasa FM yang lokasinya masih satu kecamatan dengan Oase FM. Fans yang sebagian besar anak muda ini kemudian berembug dan pada gilirannya mendirikan radio komunitas sendiri. Dengan menggabungkan berbagai keahlian yang dimiliki dan perangkat siar yang sederhana, Oase hadir di tengah berragamnya suku yang ada di Kecamatan Kedondong ini.

Diawal siaran, Oase membuat program yang memutarkan lagu-lagu Jaipongan, Tarlingan, Pop Kenangan dan beberapa program lainnya. Namun setelah dua tahun perjalanannya, para pegiat melihat banyak pendengar yang lebih suka mendengar lagu-lagu Lampung. Mulai tahun 2006, Oase FM kemudian memberikan slot waktu yang lebih banyak untuk melepas kerinduan akan budaya Lampung.

Oase FM Obat Rindu Budaya Lampung

Oase FM mengudara sejak pukul 13.00 dan mulai menyajikan lagu-lagu Lampung dari pukul 16.00 – 17.00, dalam manjaudebi atau temu sore. Sementara saat waktu Magrib , Oase turun dari udara dan memulai kembali siaran pada pukul 19.30 sampai tengah malam. Manjau debini atau temu malam menjadi program andalan dan paling banyak ditunggu pendengar. Dalam program yang diasuh oleh Bre, pendengar betul-betul dimanjakan untuk mendengar lagu asli Lampung. “Warga selain suku Lampung pun suka dan menunggu program ini” tutur Bre.

Dengan menyuguhkan lagu-lagu Lampung, Oase FM mendapatkan pembelajaran tersendiri dalam memperpanjang nafas bersiaran. Dukungan dana untuk menyokong keberlanjutan radio terus mengalir sampai sekarang.

Strategi bertahan Ala Oase FM“Pemancar menjadi modal awal mereka, sementara mikropon, mixer, tape adalah alat pinjaman dari para pegiatnya” tutur Bre yang sebenarnya kepanjangan nama Brekele. Mensiasati untuk terus menambah peralatan, dimasa awal siaran Oase menggunakan kartu request/atensi. Hasilnya pelan tapi pasti barang-barang penunjang siaran bisa mereka beli sendiri. Sementara itu seiring bertambah umur, radio komunitas Oase FM pun mengalami pasang surut kepengurusan. Persoalan yang paling sering

muncul adalah ketika para pegiat Oase FM harus dihadapkan pada realita keluarga. Ketika pengelola menikah dan harus

menghidupi keluarganya maka pilihannya adalah mencari sumber keuangan yang berasal dari luar radio. Tujuh

punggawa Oase FM pada awalnya, kini hanya tertinggal 4 orang. Pada gilirannnya, kepengurusan yang tersisa harus t e r u s m e m u t a r o t a k u n t u k t e r u s m e n j a g a keberlangsungan Oase FM sekaligus terus melayani warga.

Dengan menggandeng badan usaha yang ada di sekitar jangkauan radio, Oase FM berhasil meyakinkan lima (5) badan usaha meliputi pertokoan, bengkel, counter HP dan juragan kayu. Perbulan iuran yang diberikan pun bervariasi dari lima ribu sampai sepuluh ribu rupiah. Dana yang diperoleh digunakan

untuk menutup bea operasional seperti kebutuhan bea listrik dan konsumsi siaran. Bre mengatakan agar

radio dapat menabung, Oase FM terus meningkatkan pelayanan dalam bentuk informasi disampaikan dengan

jelas, benar dan tepat. “Jika mereka puas mereka juga lancar membayarnya, jika mereka tidak puas kerjasama ya tidak

dilanjutkan”.

Tidak hanya lewat iklan layanan masyarakat (ILM), para punggawa Oase FM pun menggunakan cara lain untuk mendapatkan sumber

dana. Manjaudebini atau temu malam, program yang mendapat banyak pendengar memberlakukan sistem sms langganan. Bre

menambahkan “Setiap pendengar yang bergabung dalam sms langganan wajib membayar sepuluh ribu dan mendapat fasilitas pembacaan sms sekaligus pemutaran lagu yang diminta” Setidaknya dalam tiap bulannya Oase FM mempunyai 20 pendengar yang terdaftar dalam

program sms langganan dan di luar yang terdaftar, para penyiar Oase FM selalu tidak bosan mengajak dan memberi kesadaran

untuk jadi pelanggan sms di Oase FM.

Radio Komunitas Yang melahirkan Artis Lokal Oase FM pun menghadirkan acara off air – karaoke. Program yang dilakukan setiap hari Minggu mulai dari jam sembilan pagi sampia jam lima sore. Para fans pun tidak segan-segan berbondong-bondong datang ke studio dan jika pun tidak sempat mereka juga bisa ikut dalam program live telpon. Diiringi organ yang dimainkan oleh salah satu pendengar setia Oase FM, para pendengar merequest lagu yang ingin didengangkan.

Kegiatan ini banyak ditunggu, apa pasal? Ya kegiatan ini tidak hanya didengar oleh warga di sekitar Kedondong namun juga didengar oleh banyak produser lokal. Tercatat dari hasil karoke, ada beberapa pendengar yang kemudian masuk dapur rekaman. Keberhasilan mencetak artis-artis lokal mempermudah Oase FM mendapatkan lagu-lagu Lampung terbaru. Tidak segan-segan para penyanyi lokal Lampung yang baru mengeluarkan albumnya datang ke studio radio komunitas Oase FM. Para penyanyi tersebut memberikan CD secara gratis dan juga uang lelah bagi Oase FM.

Bagi kalangan fans Oase FM, karaoke tidak hanya menjadi ajang memuaskan kesenangan menyanyi belaka namun melalui ajang karaoke Oase FM mempertemukan pendengar dari berbagai wilayah. "Jumpa darat atau kopi darat" tutur Bre. Ya yang biasanya hanya bisa mendengar suara melalui salam-salam di udara atau membalasnya lewat sms, di ajang ini mereka bisa saling bertemu dan tidak sedkit yang menemukan pasangan hidupnya.

Page 5: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

4 Info SekilasK

om

bin

asi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

5 Info Sekilas

aat itu tahun 1899. Kemiskinan di Pulau Jawa akibat praktek Cultur Stelsel atau kerja paksa yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda telah mencapai kondisi puncaknya. Saat Situ, C.Th. Van Denter, anggota Raad Van Indie, dalam tulisannya berjudul "En Eereschuld (Hutang

Budi) mengimbau agar pemerintah belanda melakukan upaya untuk memperbaiki kehidupan rakyat di Pulau Jawa. Diperlukan satu program strategis untuk memperbaiki taraf hidup rakyat yang akhirnya melahirkan Politik Etika, sebuah Politik Balas Budi, yang meliputi imigrasi, edukasi, dan kolonisasi.

Mengapa Oase?Penamaan yang tidak sekadar muncul. Melihat kondisi warga di Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran, Lampung yang haus dan rindu akan informasi dan hiburan, maka terbersitlah nama Oase FM. Radio komunitas Oase FM mulai menyapa para pendengarnya semenjak 20 Maret 2004 silam. Uniknya keberadaan Oase FM sendiri berawal dari kumpulan fans radio komunitas Angkasa FM. Radio komunitas Angkasa FM yang lokasinya masih satu kecamatan dengan Oase FM. Fans yang sebagian besar anak muda ini kemudian berembug dan pada gilirannya mendirikan radio komunitas sendiri. Dengan menggabungkan berbagai keahlian yang dimiliki dan perangkat siar yang sederhana, Oase hadir di tengah berragamnya suku yang ada di Kecamatan Kedondong ini.

Diawal siaran, Oase membuat program yang memutarkan lagu-lagu Jaipongan, Tarlingan, Pop Kenangan dan beberapa program lainnya. Namun setelah dua tahun perjalanannya, para pegiat melihat banyak pendengar yang lebih suka mendengar lagu-lagu Lampung. Mulai tahun 2006, Oase FM kemudian memberikan slot waktu yang lebih banyak untuk melepas kerinduan akan budaya Lampung.

Oase FM Obat Rindu Budaya Lampung

Oase FM mengudara sejak pukul 13.00 dan mulai menyajikan lagu-lagu Lampung dari pukul 16.00 – 17.00, dalam manjaudebi atau temu sore. Sementara saat waktu Magrib , Oase turun dari udara dan memulai kembali siaran pada pukul 19.30 sampai tengah malam. Manjau debini atau temu malam menjadi program andalan dan paling banyak ditunggu pendengar. Dalam program yang diasuh oleh Bre, pendengar betul-betul dimanjakan untuk mendengar lagu asli Lampung. “Warga selain suku Lampung pun suka dan menunggu program ini” tutur Bre.

Dengan menyuguhkan lagu-lagu Lampung, Oase FM mendapatkan pembelajaran tersendiri dalam memperpanjang nafas bersiaran. Dukungan dana untuk menyokong keberlanjutan radio terus mengalir sampai sekarang.

Strategi bertahan Ala Oase FM“Pemancar menjadi modal awal mereka, sementara mikropon, mixer, tape adalah alat pinjaman dari para pegiatnya” tutur Bre yang sebenarnya kepanjangan nama Brekele. Mensiasati untuk terus menambah peralatan, dimasa awal siaran Oase menggunakan kartu request/atensi. Hasilnya pelan tapi pasti barang-barang penunjang siaran bisa mereka beli sendiri. Sementara itu seiring bertambah umur, radio komunitas Oase FM pun mengalami pasang surut kepengurusan. Persoalan yang paling sering

muncul adalah ketika para pegiat Oase FM harus dihadapkan pada realita keluarga. Ketika pengelola menikah dan harus

menghidupi keluarganya maka pilihannya adalah mencari sumber keuangan yang berasal dari luar radio. Tujuh

punggawa Oase FM pada awalnya, kini hanya tertinggal 4 orang. Pada gilirannnya, kepengurusan yang tersisa harus t e r u s m e m u t a r o t a k u n t u k t e r u s m e n j a g a keberlangsungan Oase FM sekaligus terus melayani warga.

Dengan menggandeng badan usaha yang ada di sekitar jangkauan radio, Oase FM berhasil meyakinkan lima (5) badan usaha meliputi pertokoan, bengkel, counter HP dan juragan kayu. Perbulan iuran yang diberikan pun bervariasi dari lima ribu sampai sepuluh ribu rupiah. Dana yang diperoleh digunakan

untuk menutup bea operasional seperti kebutuhan bea listrik dan konsumsi siaran. Bre mengatakan agar

radio dapat menabung, Oase FM terus meningkatkan pelayanan dalam bentuk informasi disampaikan dengan

jelas, benar dan tepat. “Jika mereka puas mereka juga lancar membayarnya, jika mereka tidak puas kerjasama ya tidak

dilanjutkan”.

Tidak hanya lewat iklan layanan masyarakat (ILM), para punggawa Oase FM pun menggunakan cara lain untuk mendapatkan sumber

dana. Manjaudebini atau temu malam, program yang mendapat banyak pendengar memberlakukan sistem sms langganan. Bre

menambahkan “Setiap pendengar yang bergabung dalam sms langganan wajib membayar sepuluh ribu dan mendapat fasilitas pembacaan sms sekaligus pemutaran lagu yang diminta” Setidaknya dalam tiap bulannya Oase FM mempunyai 20 pendengar yang terdaftar dalam

program sms langganan dan di luar yang terdaftar, para penyiar Oase FM selalu tidak bosan mengajak dan memberi kesadaran

untuk jadi pelanggan sms di Oase FM.

Radio Komunitas Yang melahirkan Artis Lokal Oase FM pun menghadirkan acara off air – karaoke. Program yang dilakukan setiap hari Minggu mulai dari jam sembilan pagi sampia jam lima sore. Para fans pun tidak segan-segan berbondong-bondong datang ke studio dan jika pun tidak sempat mereka juga bisa ikut dalam program live telpon. Diiringi organ yang dimainkan oleh salah satu pendengar setia Oase FM, para pendengar merequest lagu yang ingin didengangkan.

Kegiatan ini banyak ditunggu, apa pasal? Ya kegiatan ini tidak hanya didengar oleh warga di sekitar Kedondong namun juga didengar oleh banyak produser lokal. Tercatat dari hasil karoke, ada beberapa pendengar yang kemudian masuk dapur rekaman. Keberhasilan mencetak artis-artis lokal mempermudah Oase FM mendapatkan lagu-lagu Lampung terbaru. Tidak segan-segan para penyanyi lokal Lampung yang baru mengeluarkan albumnya datang ke studio radio komunitas Oase FM. Para penyanyi tersebut memberikan CD secara gratis dan juga uang lelah bagi Oase FM.

Bagi kalangan fans Oase FM, karaoke tidak hanya menjadi ajang memuaskan kesenangan menyanyi belaka namun melalui ajang karaoke Oase FM mempertemukan pendengar dari berbagai wilayah. "Jumpa darat atau kopi darat" tutur Bre. Ya yang biasanya hanya bisa mendengar suara melalui salam-salam di udara atau membalasnya lewat sms, di ajang ini mereka bisa saling bertemu dan tidak sedkit yang menemukan pasangan hidupnya.

Page 6: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

6 Utama 7 Utama

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |D

esem

ber

2008

stasiun yang ada dan bagaimana membangun sebuah konsep standar bagi media komunitas. Pengembangan bentuk-bentuk media lokal yang sangat bervariasi telah mendistorsi sifat dari media komunitas, dan ini berlaku umum di semua kawasan.

AMARC Amerika Latin sedang melakukan usaha-usaha untuk mempromosikan perundangan dan regulasi di setiap negara Amerika Latin serta memberikan batasan kriteria media komunitas. Ada beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi radio komunitas, yaitu:

Partisipasi dan kepemilikan komunitas: Komunitas secara kolektif memiliki proses komunikasi dan membuat keputusan-keputusan mengenainya melalui cara-cara partisipatoris yang demokratis, meliputi pembuatan program, perekrutan staf dan sumber daya.

Pengembangan muatan lokal: sebagian besar program diproduksi secara lokal dan relevan bagi kebutuhan-kebutuhan orang-orang miskin dalam komunitas tersebut. Hal ini meliputi dialog dan debat mengenai isu-isu pendidikan, kesehatan, perundang-undangan, hak asasi manusia dan organisasi sosial, dan sebagianya.

Relevansi bahasa dan budaya: siaran perlu dilakukan dengan bahasa yang dituturkan oleh komunitasnya dan yang menghormati kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek budaya lokal.

Kebutuhan untuk mengatur kriteria sangat mendesak karena begitu banyak media yang dilabel sebagai media komunitas. Setidaknya ada tiga kategori radio yang tidak bisa disebut sebagai radio komunitas. Pertama, stasiun FM lokal yang dimiliki secara pribadi dan tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan budaya dari komunitasnya, dengan lebih banyak program musiknya. Ini meliputi stasiun-stasiun yang pemiliknya sering kali mengambil keuntungan dari usaha-usaha privatisasi dan pengajuan izin untuk mengakses frekuensi-frekuensi yang beberapa tahun kemudian mereka jual lagi untuk keuntungan yang besar.

Kategori kedua, yang menjadi ancaman utama bagi nilai-nilai sosial dan budaya, adalah media religius lokal, berkembang pesat melalui kelompok-kelompok Evangelis yang memaksakan agama kepada orang-orang miskin yang hidup di komunitas-komunitas perkotaan dan pedesaan di mana struktur-struktur sosial melemah. Secara tradisional, sejak 1950an banyak stasiun radio komunitas di Amrika Latin pada mulanya didirikan poleh pendeta-pendeta Katolik yang progresif; Radio Sutantenza (1947) adalah stasiun radio pertama. Namun demikian, stasiun-stasiun pertama ini lebih menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan daripada propaganda agama.

Kategori ketiga meliputi inisiatif-inisiatif lokal yang didukung oleh pemerintah pusat atau daerah, seperti jaringan-jaringan radio pribumi di Meksiko atau akhir-akhir ini di Bolivia, atau stasiun-stasiun yang didirikan oleh Presiden Hugo Chavez di Venezuela. Resiko-resiko nyata dari kategori stasiun ini meliputi penggunaan radio untuk tujuan-tujuan politik. Namun, ada pengalaman-pengalaman di mana sebuah komunitas secara bertahap telah mengambil alih kepemilikan proses komunikasi tanpa ada campur tangan. Stasiun-stasiun radio publik di Andalusia, Spanyol, yang dikelola oleh badan-badan komunitas, mengilhami inisiatif-inisiatif serupa di Amerika Latin dan bisa memberikan opsi-opsi menarik untuk terus berlanjut.

Radio Komunitas di Amerika Latin abad 21

Oleh Alfonso Gumucio-Dragon

merika Latin merupakan cikal bakal gerakan radio komunitas di dunia. Setidaknya sejak 50 tahun silam, radio komunitas di Akawasan ini telah hadir untuk merespons persoalan masyarakat

miskin dan telah berpengaruh bagi perubahan sosial, politik, dan budaya. Para pengelola radio komunitas lah yang telah melestarikan bahasa-bahasa pribumi, mendukung gerakan sosial masyarakat sipil untuk mendapatkan keadilan.

Di akhir tahun 1940an, para penambang di Bolivia telah mendirikan dan mengelola stasiun radio. Mereka rela memberikan sebagian dari upahnya untuk menghidupkan radio komunitasnya. Semangat para penambang inilah yang seakan terus menginspirasi para penggerak radio komunitas di Amerika Latin. Dengan sejarah yang cukup panjang, tidak heran jika jumlah radio komunitas di Amerika Latin mencapai ribuan.

Saat ini, jumlah total stasiun radio komunitas di Amerika Latin sulit untuk dipastikan, tetapi ada perkiraan yang menyatakan bahwa jumlah total lebih

dari 10.000 stasiun tersebar dari Meksiko sampai Argentina. Negara-negara seperti Peru, di mana gerakan tersebut mengakar cukup dalam di organisasi-organisasi budaya dan sosial, bisa mengklaim mempunyai lebih dari 4.000 stasiun radio komunitas. Selanjutnya, negara-negara yang

mempunyai banyak stasiun radio komunitas adalah Ekuador dan Bolivia, dan saat ini negara seperti Brasil

sedang gencar mengembangkan radio komunitas.

Dengan jumlah yang sedemikian banyak maka tidak heran cukup banyak jaringan radio komunitas di kawasan ini. Beberapa jaringan bersifat regional, seperti AMARC3 atau ALER. Jaringan-jaringan lain bersifat nasional seperti CORAPE (Ekuador), FARCO (Argentina), ANARCICH (Chile), COMUNICA (Paraguay), ABRACO (Brazil)4, ARPAS5 (El Salvador), ERBOL6 (Bolivia), AMARC (Mexico) and CNR7 (Peru), yang mewakili hampir sebanyak 2.000 anggota. Di Kolombia, 23 jaringan radio komuntas dicatat oleh SIPAZ (Sistem Komunikasi Nasional untuk Perdamaian), setiap jaringan mempunyai 10-30 stasiun; di antaranya AREDMAG8, RECORRA9, REDECOM10, RESANDER11, ECOSURA12 dan ASENDER.

Di beberapa negara, hak untuk berkomunikasi komunitas telah dijamin dengan undang-undang. Kolombia misalnya telah mengeluarkan izin untuk 500 stasiun radio komunitas, sedangkan pemerintah Venezuela dan Bolivia yang progresif menyediakan peralatan dan frekuensi bagi stasiun-

stasiun radio komunitas di pedesaan. Namun beberapa negara belum mempunyai perundangan yang mengakui media komunitas

sehingga sulit menentukan jumlah tepat stasiun radio komunitas. Akibat lainnya, mereka tidak mempunyai kriteria yang cukup akurat untuk mendefinisikan stasiun mana yang disebut radio komunitas dan yang bukan. Kawasan-kawasan lain di dunia juga menghadapi tantangan bagaimana melindungi stasiun-

Kategori-kategori lain meliputi stasiun-stasiun kampus yang secara legal dimiliki oleh lembaga-lembaga akademis, dan media komunitas yang didirikan dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat. Meskipun bentuk-bentuk lembaga penyiaran ini bisa memberikan manfaat bagi komunitas-komunitas sekelilingnya dan mempunyai program yang mendukung perbaikan kehidupan komunitas, proses komunikasi tidak perlu dimiliki oleh komunitas dan keputusan-keputusan mengenai program sering kali dibuat di tempat lain, meskipun kadang pada tingkatan tertentu “akses” ke anggota-anggota komunitas bisa diberikan.

Kecenderungan-kecenderungan ini menunjukkan betapa pentingnya untuk menegakkan perundangan dan regulasi untuk menetapkan kriteria yang jelas bagi media komunitas. Ada juga pertanyaan-pertanyaan tentang arti “komunitas”. Definisi dari komunitas tidak harus dibatasi oleh geografi, atau hanya terkait dengan ukuran dan bahasa. Kita mengerti “komunitas” sebagai komunitas-komunitas kepentingan yang bisa atau tidak bisa tumpang tindih dengan ruang yang terdefinisi berdasarkan geografi atau etnis.

Perundang-undangan yang ada saat ini di negara-negara Amerika Latin mengatur terutama tentang penentuan batasan bagi media komunitas. Perundangan-undangan tersebut lebih memberi tekanan pada transmiter berkekuatan rendah, batasan-batasan pada iklan komersial sebagai sumber pendapatan, atau membatasi cakupan wilayah pada wilayah geografi tertentu. Perundang-undangan seperti ini membuat direktur La Primerisima, di Managua, menyatakan bahwa: “Lebih baik kita tanpa undang-undang sama sekali.”

Di Guatemala, stasiun-stasiun radio komunitas, sebagian besar didirikan oleh komunitas-komunitas etnis Maya yang miskin. Mereka telah dianggap sebagai stasiun “pembajak” dan terus ditekan dan ditutup oleh polisi atas nama peraturan yang telah ditetapkan oleh monopoli-monopoli swasta. Frekuensi-frekuensi radio dijual dan organisasi-organisasi berbasis komunitas tidak mempunyai peluang untuk menang. Di El Salvador, lebih dari 20 stasiun radio komunitas harus membeli dua perizinan dan berbagi frekuensi yang sama. Di Brazil, Meksiko dan Chile, batasan-batasan isi siaran sangat kaku sehingga stasiun-stasiun sering menjadi korban intervensi polisi. Sepertinya hanya Peru, Ekuador dan Bolivia yang telah mendapatkan dukungan penuh untuk aktivitas radio komunitas.

Dengan bangkitnya kesadaran atas permasalahan sosial dalam pemerintahan negara-negara Amerika Latin, kita bisa berharap atas perspektif-perspektif mengenai media komunitas untuk memperbaiki secara positif kawasan ini di masa depan. Kerja AMARC Amerika Latin telah berkembang lebih efektif dan bermartabat, walaupun belum berkembang di sumber-sumber dayanya. Jaringan tersebut telah mampu melakukan banyak hal dengan sangat sedikit organisasi regional dan pemerintah nasional yang berpengaruh untuk melegitimasi hak untuk berkomunikasi dan, untuk membuat draft perundang-undangan dan regulasi yang akan melindungi dan mendukung pembangunan media komunitas.

Tantangan-tantangan ke depan terkait dengan keberlanjutan. Di Amerika Latin, keberlanjutan tidak hanya terbatas pada soal dana, tetapi sumber daya sosial. Artinya meskipun sumber daya uang tersedia, media komunitas tidak bisa berjalan tanpa adanya partisipasi warga. Secara umum, kepemimpinan Amerika Latin di media komunitas dan pengalaman yang terakumulasi lebih dari 50 tahun bisa menjadi aset yang sangat berharga bagi terlaksananya kolaborasi dan pertukaran selatan-selatan. •

Page 7: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

6 Utama 7 UtamaK

om

bin

asi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |D

esem

ber

2008

stasiun yang ada dan bagaimana membangun sebuah konsep standar bagi media komunitas. Pengembangan bentuk-bentuk media lokal yang sangat bervariasi telah mendistorsi sifat dari media komunitas, dan ini berlaku umum di semua kawasan.

AMARC Amerika Latin sedang melakukan usaha-usaha untuk mempromosikan perundangan dan regulasi di setiap negara Amerika Latin serta memberikan batasan kriteria media komunitas. Ada beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi radio komunitas, yaitu:

Partisipasi dan kepemilikan komunitas: Komunitas secara kolektif memiliki proses komunikasi dan membuat keputusan-keputusan mengenainya melalui cara-cara partisipatoris yang demokratis, meliputi pembuatan program, perekrutan staf dan sumber daya.

Pengembangan muatan lokal: sebagian besar program diproduksi secara lokal dan relevan bagi kebutuhan-kebutuhan orang-orang miskin dalam komunitas tersebut. Hal ini meliputi dialog dan debat mengenai isu-isu pendidikan, kesehatan, perundang-undangan, hak asasi manusia dan organisasi sosial, dan sebagianya.

Relevansi bahasa dan budaya: siaran perlu dilakukan dengan bahasa yang dituturkan oleh komunitasnya dan yang menghormati kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek budaya lokal.

Kebutuhan untuk mengatur kriteria sangat mendesak karena begitu banyak media yang dilabel sebagai media komunitas. Setidaknya ada tiga kategori radio yang tidak bisa disebut sebagai radio komunitas. Pertama, stasiun FM lokal yang dimiliki secara pribadi dan tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan budaya dari komunitasnya, dengan lebih banyak program musiknya. Ini meliputi stasiun-stasiun yang pemiliknya sering kali mengambil keuntungan dari usaha-usaha privatisasi dan pengajuan izin untuk mengakses frekuensi-frekuensi yang beberapa tahun kemudian mereka jual lagi untuk keuntungan yang besar.

Kategori kedua, yang menjadi ancaman utama bagi nilai-nilai sosial dan budaya, adalah media religius lokal, berkembang pesat melalui kelompok-kelompok Evangelis yang memaksakan agama kepada orang-orang miskin yang hidup di komunitas-komunitas perkotaan dan pedesaan di mana struktur-struktur sosial melemah. Secara tradisional, sejak 1950an banyak stasiun radio komunitas di Amrika Latin pada mulanya didirikan poleh pendeta-pendeta Katolik yang progresif; Radio Sutantenza (1947) adalah stasiun radio pertama. Namun demikian, stasiun-stasiun pertama ini lebih menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan daripada propaganda agama.

Kategori ketiga meliputi inisiatif-inisiatif lokal yang didukung oleh pemerintah pusat atau daerah, seperti jaringan-jaringan radio pribumi di Meksiko atau akhir-akhir ini di Bolivia, atau stasiun-stasiun yang didirikan oleh Presiden Hugo Chavez di Venezuela. Resiko-resiko nyata dari kategori stasiun ini meliputi penggunaan radio untuk tujuan-tujuan politik. Namun, ada pengalaman-pengalaman di mana sebuah komunitas secara bertahap telah mengambil alih kepemilikan proses komunikasi tanpa ada campur tangan. Stasiun-stasiun radio publik di Andalusia, Spanyol, yang dikelola oleh badan-badan komunitas, mengilhami inisiatif-inisiatif serupa di Amerika Latin dan bisa memberikan opsi-opsi menarik untuk terus berlanjut.

Radio Komunitas di Amerika Latin abad 21

Oleh Alfonso Gumucio-Dragon

merika Latin merupakan cikal bakal gerakan radio komunitas di dunia. Setidaknya sejak 50 tahun silam, radio komunitas di Akawasan ini telah hadir untuk merespons persoalan masyarakat

miskin dan telah berpengaruh bagi perubahan sosial, politik, dan budaya. Para pengelola radio komunitas lah yang telah melestarikan bahasa-bahasa pribumi, mendukung gerakan sosial masyarakat sipil untuk mendapatkan keadilan.

Di akhir tahun 1940an, para penambang di Bolivia telah mendirikan dan mengelola stasiun radio. Mereka rela memberikan sebagian dari upahnya untuk menghidupkan radio komunitasnya. Semangat para penambang inilah yang seakan terus menginspirasi para penggerak radio komunitas di Amerika Latin. Dengan sejarah yang cukup panjang, tidak heran jika jumlah radio komunitas di Amerika Latin mencapai ribuan.

Saat ini, jumlah total stasiun radio komunitas di Amerika Latin sulit untuk dipastikan, tetapi ada perkiraan yang menyatakan bahwa jumlah total lebih

dari 10.000 stasiun tersebar dari Meksiko sampai Argentina. Negara-negara seperti Peru, di mana gerakan tersebut mengakar cukup dalam di organisasi-organisasi budaya dan sosial, bisa mengklaim mempunyai lebih dari 4.000 stasiun radio komunitas. Selanjutnya, negara-negara yang

mempunyai banyak stasiun radio komunitas adalah Ekuador dan Bolivia, dan saat ini negara seperti Brasil

sedang gencar mengembangkan radio komunitas.

Dengan jumlah yang sedemikian banyak maka tidak heran cukup banyak jaringan radio komunitas di kawasan ini. Beberapa jaringan bersifat regional, seperti AMARC3 atau ALER. Jaringan-jaringan lain bersifat nasional seperti CORAPE (Ekuador), FARCO (Argentina), ANARCICH (Chile), COMUNICA (Paraguay), ABRACO (Brazil)4, ARPAS5 (El Salvador), ERBOL6 (Bolivia), AMARC (Mexico) and CNR7 (Peru), yang mewakili hampir sebanyak 2.000 anggota. Di Kolombia, 23 jaringan radio komuntas dicatat oleh SIPAZ (Sistem Komunikasi Nasional untuk Perdamaian), setiap jaringan mempunyai 10-30 stasiun; di antaranya AREDMAG8, RECORRA9, REDECOM10, RESANDER11, ECOSURA12 dan ASENDER.

Di beberapa negara, hak untuk berkomunikasi komunitas telah dijamin dengan undang-undang. Kolombia misalnya telah mengeluarkan izin untuk 500 stasiun radio komunitas, sedangkan pemerintah Venezuela dan Bolivia yang progresif menyediakan peralatan dan frekuensi bagi stasiun-

stasiun radio komunitas di pedesaan. Namun beberapa negara belum mempunyai perundangan yang mengakui media komunitas

sehingga sulit menentukan jumlah tepat stasiun radio komunitas. Akibat lainnya, mereka tidak mempunyai kriteria yang cukup akurat untuk mendefinisikan stasiun mana yang disebut radio komunitas dan yang bukan. Kawasan-kawasan lain di dunia juga menghadapi tantangan bagaimana melindungi stasiun-

Kategori-kategori lain meliputi stasiun-stasiun kampus yang secara legal dimiliki oleh lembaga-lembaga akademis, dan media komunitas yang didirikan dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat. Meskipun bentuk-bentuk lembaga penyiaran ini bisa memberikan manfaat bagi komunitas-komunitas sekelilingnya dan mempunyai program yang mendukung perbaikan kehidupan komunitas, proses komunikasi tidak perlu dimiliki oleh komunitas dan keputusan-keputusan mengenai program sering kali dibuat di tempat lain, meskipun kadang pada tingkatan tertentu “akses” ke anggota-anggota komunitas bisa diberikan.

Kecenderungan-kecenderungan ini menunjukkan betapa pentingnya untuk menegakkan perundangan dan regulasi untuk menetapkan kriteria yang jelas bagi media komunitas. Ada juga pertanyaan-pertanyaan tentang arti “komunitas”. Definisi dari komunitas tidak harus dibatasi oleh geografi, atau hanya terkait dengan ukuran dan bahasa. Kita mengerti “komunitas” sebagai komunitas-komunitas kepentingan yang bisa atau tidak bisa tumpang tindih dengan ruang yang terdefinisi berdasarkan geografi atau etnis.

Perundang-undangan yang ada saat ini di negara-negara Amerika Latin mengatur terutama tentang penentuan batasan bagi media komunitas. Perundangan-undangan tersebut lebih memberi tekanan pada transmiter berkekuatan rendah, batasan-batasan pada iklan komersial sebagai sumber pendapatan, atau membatasi cakupan wilayah pada wilayah geografi tertentu. Perundang-undangan seperti ini membuat direktur La Primerisima, di Managua, menyatakan bahwa: “Lebih baik kita tanpa undang-undang sama sekali.”

Di Guatemala, stasiun-stasiun radio komunitas, sebagian besar didirikan oleh komunitas-komunitas etnis Maya yang miskin. Mereka telah dianggap sebagai stasiun “pembajak” dan terus ditekan dan ditutup oleh polisi atas nama peraturan yang telah ditetapkan oleh monopoli-monopoli swasta. Frekuensi-frekuensi radio dijual dan organisasi-organisasi berbasis komunitas tidak mempunyai peluang untuk menang. Di El Salvador, lebih dari 20 stasiun radio komunitas harus membeli dua perizinan dan berbagi frekuensi yang sama. Di Brazil, Meksiko dan Chile, batasan-batasan isi siaran sangat kaku sehingga stasiun-stasiun sering menjadi korban intervensi polisi. Sepertinya hanya Peru, Ekuador dan Bolivia yang telah mendapatkan dukungan penuh untuk aktivitas radio komunitas.

Dengan bangkitnya kesadaran atas permasalahan sosial dalam pemerintahan negara-negara Amerika Latin, kita bisa berharap atas perspektif-perspektif mengenai media komunitas untuk memperbaiki secara positif kawasan ini di masa depan. Kerja AMARC Amerika Latin telah berkembang lebih efektif dan bermartabat, walaupun belum berkembang di sumber-sumber dayanya. Jaringan tersebut telah mampu melakukan banyak hal dengan sangat sedikit organisasi regional dan pemerintah nasional yang berpengaruh untuk melegitimasi hak untuk berkomunikasi dan, untuk membuat draft perundang-undangan dan regulasi yang akan melindungi dan mendukung pembangunan media komunitas.

Tantangan-tantangan ke depan terkait dengan keberlanjutan. Di Amerika Latin, keberlanjutan tidak hanya terbatas pada soal dana, tetapi sumber daya sosial. Artinya meskipun sumber daya uang tersedia, media komunitas tidak bisa berjalan tanpa adanya partisipasi warga. Secara umum, kepemimpinan Amerika Latin di media komunitas dan pengalaman yang terakumulasi lebih dari 50 tahun bisa menjadi aset yang sangat berharga bagi terlaksananya kolaborasi dan pertukaran selatan-selatan. •

Page 8: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

8 Utama 9 Utama

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

8 Utama

auh sebelum Bolivia menjadi republik, pertambangan telah menjadi sumber daya alam yang sangat penting untuk menopang ekonomi masyarakat. Saat itu, masyarakat Bolivia telah melakukan pertambangan tradisional yang untuk diekspor seperti perak, timah, sampai ekonominya berubah selama tiga dekade terakhir di abad 20.

Selama tiga abad mereka membawa perak ke Spanyol sampai gunung kehilangan bentuk aslinya dan berangsur-angsur hilang. Konon enam juta suku Indian Aymara dan Quechua dan banyak budak Afrika yang tewas mati di wilayah pertambangan tersebut. Wilayah Potosi, pada saat itu adalah salah satu kota impian di dunia. Di tahun 1625 kota tersebut mempunyai populasi yang lebih besar daripada London atau Paris. Meskipun terpencil di pegunungan-pegunungan di ketinggian 4,200 meter, cukup mudah di Potosi untuk menemukan barang-barang mewah yang diimpor dari Eropa.

Sejak kemerdekaan Bolivia di tahun 1825 sampai pertengahan tahun 1970an, pertambangan tetap menjadi pendapatan utama yang menggerakkan ekonomi Bolivia. Perak menjadi tidak cukup penting lagi, tetapi negara ini menjadi penghasil timah terbesar kedua. Di pertengahan tahun 1950an hasil tambang naik lebih dari 70% dari total ekspor.

Ribuan penambang yang bekerja di dua puluh pusat pertambangan sangat bertanggung jawab atas keberlangsungan ekonomi dari negara ini. Pemerintah tidak bisa mengabaikan pendapat politik mereka, terlebih lagi sejak serikat-serikat penambang adalah bagian dari kelompok-kelompok masyarakat yang paling demokratis dan secara politik lebih maju di Amerika Latin.

Untuk memperkuat posisi tawarnya, maka serikat-serikat penambang ini pun sadar bahwa mereka perlu mempunyai alat komunikasi yang efektif. Radio merupakan salah satu medium yang paling strategis untuk memperkuat solidaritas dan meleburkan mereka dengan masyarakat setempat. Radio seperti La Vos del Minero, Radio Pio XII, Radio Vanguardia de Colquiri, Radio Animas, Radio 21 de Diciembre, Radio Nacional de Huanuni adalah beberapa stasiun radio paling penting yang didirikan, didanai dan dikelola oleh pekerja-pekerja tambang di Bolivia.

Ini semua bermula pada tahun 1949, dengan satu stasiun radio di distrik pertambangan Catavi. Selama 15 tahun kemudian, distrik-distrik lain mulai mengikuti mereka dengan membeli peralatan, melatih anak-anak muda dari desa-desa. Para pekerja sendiri mendanai kegiatan tersebut dengan menyisihkan beberapa persen dari gaji mereka untuk menyokong radio komunitas.

Sebagian besar stasiun radio berawal dengan peralatan yang amat sederhana. Sedikit di antara mereka berusaha untuk mendapatkan dukungan dari luar negeri dan berevolusi menjadi stasiun-stasiun radio yang lebih canggih, dengan peralatan dan instalasi yang lebih baik. Beberapa dari mereka bahkan membangun studio di dekat lokasi-lokasi pertambangan, sehingga rapat-rapat serikat pekerja bisa dilakukan dan disiarkan secara langsung melalui radio.

Radio Vanguardia, misalnya, mempunyai studio yang bagus dengan mural-mural besar yang menceritakan kisah tentang pusat pertambangan Colquiri. Satu adegan pada mural menggambarkan serangan pesawat-pesawat Angkatan Udara Bolivia di tahun 1967, ketika negara ini dibawah kekuasaan militer.

Di awal tahun 1970an, 26 stasiun radio beroperasi, semuanya di distrik pertambangan di dataran-dataran tinggi Bolivia. Pada saat itu serikat-serikat pekerja tambang di Bolivia sangat kuat dan dianggap sebagai serikat pekerja yang paling penting dang secara politik paling maju di Amerika Latin.

Di masa damai dan demokrasi – tidak cukup sering – stasiun-stasiun radio penambang diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari komunitas tersebut. Mereka menjadi pengganti yang paling dekat dan paling efektif dari telepon dan jasa pos. Orang akan mendapatkan surat mereka melalui stasiun-stasiun tersebut dan mengirim segala bentuk pesan seperti pangilan rapat untuk para wanita dari Comite de Amas de Casa (Komite Ibu Rumah Tangga), pesan-pesan dari pemimpin serikat tentang negosiasi-negosiasi mereka dengan pemerintah di ibu kota, pesan-pesan tentang cinta di antara para muda-mudi, pengumuman sebuah drama baru dari kelompok drama Nuevos Horizontes (sering tampil di atas sebuah truk besar, dengan penerangan yang dilakukan oleh para pekerja dengan lampu-lampu mereka), pengumuman kegiatan-kegiatan olah raga, pemakaman, kelahiran dan festival. Setiap hari stasiun radio terbuka untuk segala bentuk partisipasi masyarakat.

Salah satu aspek paling menarik dari perubahan sosial adalah peningkatan kapasitas. Stasiun-stasiun radio pekerja tambang telah melatih beberapa generasi jurnalis. Pelatihan dilakukan secara lokal sepanjang waktu, dengan mitra-mitra dari organisasi-organisasi lain. Banyak jurnalis dan penyiar lokal yang dilatih untuk bekerja di stasiun-stasiun milik pekerja tambang kemudian menjadi penyiar-penyiar terkenal ketika mereka pindah ke kota.

Di masa-masa kekacauan politik stasiun-stasiun radio serikat pekerja akan menjadi sumber informasi yang paling dipercaya. Ketika militer menguasai surat-surat kabar, stasiun-stasiun radio dan televisi di ibu kota dan di kota-kota lain, informasi yang tersedia hanya berasal dari stasiun-stasiun radio pekerja tambang. Semua akan bergabung sampai tentara memasuki kamp-kamp pertambangan dan menyerang stasiun-stasiun tersebut, yang biasanya dipertahankan sampai mati oleh para pekerja. Beberapa stasiun dihancurkan oleh tentara sampai enam atau tujuh kali sepanjang hidup mereka. Lubang-lubang peluru telah menembus dinding-dinding stasiun radio. Namun meskipun miskin, mereka tetap menyisihkan gaji harian untuk membangun kembali radionya. Sebuah film oleh seorang pembuat film Bolivia, Jorge Sanjines, berjudul The Courage of the People, mengambarkan kembali penyerangan oleh tentara ke distrik pertambangan Siglo XX pada bulan Juni 1967. Dengan adanya stasiun-stasiun radio komunitas, maka posisi penambang Bolivia lebih berpengaruh karena mereka mempunyai alat-alat untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka.

Di tahun 1980an, perubahan ekonomi Bolivia telah berubah. Pertambangan tidak lagi komoditi ekspor yang potensial, dan biaya produksi timah lebih tinggi daripada harga di dunia internasional.

Ketika pemerintah menutup tambang-tambang milik negara, para pekerja tambang bermigrasi ke kota-kota meninggalkan desa-desa. Serikat-serikat pekerja tambang melemah dan kurang berpengaruh. Hanya sedikit stasiun radio yang bertahan menghadapi abad baru. Inilah akhir cerita dari radio komunitas para penambang Bolivia. Namun kisah mereka tetap melegenda d a n m e l e t a k k a n d a s a r b a g i r a d i o k o m u n i t a s d i d u n i a . •(Sumber: Making Waves: Stories of Participatory Communication For Social Change oleh Alfonso Gumucio Dagron. Dituliskan kembali oleh Ade Tanesia)

Radio Komunitas Bolivia yang Melegenda

Page 9: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

8 Utama 9 UtamaK

om

bin

asi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

8 Utama

auh sebelum Bolivia menjadi republik, pertambangan telah menjadi sumber daya alam yang sangat penting untuk menopang ekonomi masyarakat. Saat itu, masyarakat Bolivia telah melakukan pertambangan tradisional yang untuk diekspor seperti perak, timah, sampai ekonominya berubah selama tiga dekade terakhir di abad 20.

Selama tiga abad mereka membawa perak ke Spanyol sampai gunung kehilangan bentuk aslinya dan berangsur-angsur hilang. Konon enam juta suku Indian Aymara dan Quechua dan banyak budak Afrika yang tewas mati di wilayah pertambangan tersebut. Wilayah Potosi, pada saat itu adalah salah satu kota impian di dunia. Di tahun 1625 kota tersebut mempunyai populasi yang lebih besar daripada London atau Paris. Meskipun terpencil di pegunungan-pegunungan di ketinggian 4,200 meter, cukup mudah di Potosi untuk menemukan barang-barang mewah yang diimpor dari Eropa.

Sejak kemerdekaan Bolivia di tahun 1825 sampai pertengahan tahun 1970an, pertambangan tetap menjadi pendapatan utama yang menggerakkan ekonomi Bolivia. Perak menjadi tidak cukup penting lagi, tetapi negara ini menjadi penghasil timah terbesar kedua. Di pertengahan tahun 1950an hasil tambang naik lebih dari 70% dari total ekspor.

Ribuan penambang yang bekerja di dua puluh pusat pertambangan sangat bertanggung jawab atas keberlangsungan ekonomi dari negara ini. Pemerintah tidak bisa mengabaikan pendapat politik mereka, terlebih lagi sejak serikat-serikat penambang adalah bagian dari kelompok-kelompok masyarakat yang paling demokratis dan secara politik lebih maju di Amerika Latin.

Untuk memperkuat posisi tawarnya, maka serikat-serikat penambang ini pun sadar bahwa mereka perlu mempunyai alat komunikasi yang efektif. Radio merupakan salah satu medium yang paling strategis untuk memperkuat solidaritas dan meleburkan mereka dengan masyarakat setempat. Radio seperti La Vos del Minero, Radio Pio XII, Radio Vanguardia de Colquiri, Radio Animas, Radio 21 de Diciembre, Radio Nacional de Huanuni adalah beberapa stasiun radio paling penting yang didirikan, didanai dan dikelola oleh pekerja-pekerja tambang di Bolivia.

Ini semua bermula pada tahun 1949, dengan satu stasiun radio di distrik pertambangan Catavi. Selama 15 tahun kemudian, distrik-distrik lain mulai mengikuti mereka dengan membeli peralatan, melatih anak-anak muda dari desa-desa. Para pekerja sendiri mendanai kegiatan tersebut dengan menyisihkan beberapa persen dari gaji mereka untuk menyokong radio komunitas.

Sebagian besar stasiun radio berawal dengan peralatan yang amat sederhana. Sedikit di antara mereka berusaha untuk mendapatkan dukungan dari luar negeri dan berevolusi menjadi stasiun-stasiun radio yang lebih canggih, dengan peralatan dan instalasi yang lebih baik. Beberapa dari mereka bahkan membangun studio di dekat lokasi-lokasi pertambangan, sehingga rapat-rapat serikat pekerja bisa dilakukan dan disiarkan secara langsung melalui radio.

Radio Vanguardia, misalnya, mempunyai studio yang bagus dengan mural-mural besar yang menceritakan kisah tentang pusat pertambangan Colquiri. Satu adegan pada mural menggambarkan serangan pesawat-pesawat Angkatan Udara Bolivia di tahun 1967, ketika negara ini dibawah kekuasaan militer.

Di awal tahun 1970an, 26 stasiun radio beroperasi, semuanya di distrik pertambangan di dataran-dataran tinggi Bolivia. Pada saat itu serikat-serikat pekerja tambang di Bolivia sangat kuat dan dianggap sebagai serikat pekerja yang paling penting dang secara politik paling maju di Amerika Latin.

Di masa damai dan demokrasi – tidak cukup sering – stasiun-stasiun radio penambang diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari komunitas tersebut. Mereka menjadi pengganti yang paling dekat dan paling efektif dari telepon dan jasa pos. Orang akan mendapatkan surat mereka melalui stasiun-stasiun tersebut dan mengirim segala bentuk pesan seperti pangilan rapat untuk para wanita dari Comite de Amas de Casa (Komite Ibu Rumah Tangga), pesan-pesan dari pemimpin serikat tentang negosiasi-negosiasi mereka dengan pemerintah di ibu kota, pesan-pesan tentang cinta di antara para muda-mudi, pengumuman sebuah drama baru dari kelompok drama Nuevos Horizontes (sering tampil di atas sebuah truk besar, dengan penerangan yang dilakukan oleh para pekerja dengan lampu-lampu mereka), pengumuman kegiatan-kegiatan olah raga, pemakaman, kelahiran dan festival. Setiap hari stasiun radio terbuka untuk segala bentuk partisipasi masyarakat.

Salah satu aspek paling menarik dari perubahan sosial adalah peningkatan kapasitas. Stasiun-stasiun radio pekerja tambang telah melatih beberapa generasi jurnalis. Pelatihan dilakukan secara lokal sepanjang waktu, dengan mitra-mitra dari organisasi-organisasi lain. Banyak jurnalis dan penyiar lokal yang dilatih untuk bekerja di stasiun-stasiun milik pekerja tambang kemudian menjadi penyiar-penyiar terkenal ketika mereka pindah ke kota.

Di masa-masa kekacauan politik stasiun-stasiun radio serikat pekerja akan menjadi sumber informasi yang paling dipercaya. Ketika militer menguasai surat-surat kabar, stasiun-stasiun radio dan televisi di ibu kota dan di kota-kota lain, informasi yang tersedia hanya berasal dari stasiun-stasiun radio pekerja tambang. Semua akan bergabung sampai tentara memasuki kamp-kamp pertambangan dan menyerang stasiun-stasiun tersebut, yang biasanya dipertahankan sampai mati oleh para pekerja. Beberapa stasiun dihancurkan oleh tentara sampai enam atau tujuh kali sepanjang hidup mereka. Lubang-lubang peluru telah menembus dinding-dinding stasiun radio. Namun meskipun miskin, mereka tetap menyisihkan gaji harian untuk membangun kembali radionya. Sebuah film oleh seorang pembuat film Bolivia, Jorge Sanjines, berjudul The Courage of the People, mengambarkan kembali penyerangan oleh tentara ke distrik pertambangan Siglo XX pada bulan Juni 1967. Dengan adanya stasiun-stasiun radio komunitas, maka posisi penambang Bolivia lebih berpengaruh karena mereka mempunyai alat-alat untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka.

Di tahun 1980an, perubahan ekonomi Bolivia telah berubah. Pertambangan tidak lagi komoditi ekspor yang potensial, dan biaya produksi timah lebih tinggi daripada harga di dunia internasional.

Ketika pemerintah menutup tambang-tambang milik negara, para pekerja tambang bermigrasi ke kota-kota meninggalkan desa-desa. Serikat-serikat pekerja tambang melemah dan kurang berpengaruh. Hanya sedikit stasiun radio yang bertahan menghadapi abad baru. Inilah akhir cerita dari radio komunitas para penambang Bolivia. Namun kisah mereka tetap melegenda d a n m e l e t a k k a n d a s a r b a g i r a d i o k o m u n i t a s d i d u n i a . •(Sumber: Making Waves: Stories of Participatory Communication For Social Change oleh Alfonso Gumucio Dagron. Dituliskan kembali oleh Ade Tanesia)

Radio Komunitas Bolivia yang Melegenda

Page 10: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

RADIO

10 11

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

rovinsi La Concepcion, di Departemen Cuzco, Peru, ditinggali oleh petani suku Quechua yang hidup di area-area pedesaan. Mereka adalah petani penghasil kopi dan daun koka. Sejak tahun P1950an, para petani mendirikan usaha-usaha koperasi, serikat-serikat kerja, dan organisasi-

organisasi politik mereka sendiri, yang bertahan dari represi tuan-tuan tanah lokal dan berbagai rezim militer. Selama tahun 1980an wilayah tersebut menjadi panggung bagi konfrontasi kekerasan antara tentara dan gerilyawan Shining Path.

Radio secara tradisional menjadi medium yang paling penting di area-area pedesaan. Radio sering menggantikan telepon, surat dan alat-alat komunikasi konvesional lainnya. Cerita tentang radio populer dan komunitas di Peru terkait erat dengan aksi para pendeta Katholik progresif yang sejak tahun 1960an telah terlibat dalam perjuangan kaum miskin dan kaum-kaum yang paling terlupakan di dalam masyarakat.

Pengalaman misionaris-misionaris Dominikan dari Vicariate of Puerto Maldonado dalam pengoperasian Radio Madre de Dios membuat mereka sadar atas pentingnya sebuah alat komunikasi untuk merespon kebutuhan-kebutuhan sosial dari komunitas-komunitas di sekitar Quillabamba. Maka, diputuskan untuk membuat dua stasiun.

Quillabamba sudah mempunyai stasiun radio swasta kecil, meskipun dengan jangkauan yang terbatas karena kekuatannya yang rendah dan tidak adanya tujuan-tujuan yang jelas. Namun demikian stasiun tersebut mempunyai izin resmi dan mempunyai frekuensi untuk beroperasi. Pendeta-pendeta Dominika membelinya pada tahun 1966 dan mulai mengembangkan kegiatan komunikasi yang baru.

Saat itu, stasiun harus membangun kapasitas teknisnya. Menjelang tahun 1969 peralatan baru dan transmitter berkekuatan 1000 watt dibeli untuk menggantikan transmitter lama, yang hanya berkekuatan 300 watt. Kemudian, dengan dukungan Adveniat, Misereor dan organisasi-organisasi Katholik Roma lainnya, transmitter 5 kilowatt dan perangkat keras tambahan menambah luas jangkauan siaran hampir di seluruh Pegunungan Andes di Selatan Peru.

Pada mulanya stasiun menekankan program-program religius, kemudian, ada usaha untuk memberikan pelatihan dan “pendidikan formal” kepada petani-petani miskin. Selanjutnya program-program radio semakin berkomitmen untuk perjuangan sosial. Antara tahun 1972 dan 1975, “pendidikan kemanusiaan dan religius” mendominasi program-program, sedangkan mengenai isi stasiun tidak terkait dengan program-program pendidikan formal atau konsep-konsep pendidikan yang populer. Antara tahun 1975 dan 1978 program-program “pendidikan formal” diproduksi, bertujuan untuk membangun kebiasaan membaca di kalangan masyarakat yang baru bisa membaca. Dari tahun 1978, stasiun berkomitmen pada “pendidikan umum bagi masyarakat yang

Memperkuat

UtamaUtama

terorganisir.” Sebagian waktu dari 16 jam ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. mengudara dialokasikan bebas biaya untuk Setiap organisasi bertanggung jawab untuk organisasi-organisasi sosial seperti Federasi menyiapkan rencana kerja tahunan, termasuk tujuan-Petani Seluruh Provinsi, Federasi Pekerja, tujuan, struktur dan orang-orang yang diserahi tugas

Dewan Kota, dan Komite Hak Asasi Manusia. Mereka untuk memproduksi program-program.menyiapkan dan menjalankan program-program radionya sendiri, dan sering secara langsung Pemilihan staf bagi stasiun terutama berdasarkan menyiarkan pertemuan-pertemuan akbar dan kriteria komitmen sosial dan kesesuaian dengan demonstrasi-demonstrasi. kebutuhan-kebutuhan wilayah. Semua kandidat harus

orang yang bilingual dan menunjukkan niat besar Format program yang paling populer adalah majalah- untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi radio, yang mencakup segmen-segmen informasi sosial di provinsi tersebut. Pelatihan teknis diberikan (berita dan wawancara), pendidikan (analisis), bila syarat-syarat di atas sudah terpenuhi.komunikasi (pesan-pesan), hiburan (partisipasi) dan musik (dedikasi). Mayoritas program disiarkan secara Dari segi koordinasi dengan pihak lain, Radio langsung. Acara musik ini adalah yang paling sukses Quillabamba berpartisipasi dalam usaha-usaha untuk karena pesan-pesan ditulis dalam bahasa Quechua, memperkuat jaringan-jaringan komunikasi alternatif, bahasa yang dituturkan masyarakat lokal. melalui keberadaan di organisasi-organisasi progresif:

National Radio Coordinator (NRC), Campesino Christian Bertahun-tahun sebuah jaringan koresponden Communities (CCC), dan ALER di tingkat internasional.sukarela terbangun secara alamiah di sekitar stasiun

tersebut. Surat-surat datang dari tempat-tempat Meskipun pada awalnya Radio Quillabamba sangat terpencil di provinsi tersebut, mempunyai izn untuk beroperasi, tahun 1971

menginformasikan kepada stasiun ketentuan-ketentuan pemerintah mengharuskan tentang peristiwa-peristiwa yang media stasiun tersebut untuk mulai dari awal untuk nasional t idak pedulikan, seperti mendapatkan izin operasi yang baru.

pertempuran-pertempuran antara tentara dan gerilyawan Shining Path (Jalan Terang). Komitmennya kepada masyarakat menyebabkan

Sudah menjadi kebijakan Radio Quillabamba Radio Quillabamba sering menjadi korban ancaman dari awal untuk membiarkan komunitas dan serangan. Sebuah serangan dengan peledak pendukungnya membiayai pengeluaran- menghancurkan transmitter di bulan Juni 1975 dan pengeluran rutin dari stasiun, sedangkan memaksa stasiun beroperasi selama beberapa tahun pendanaan dari luar digunakan untuk dengan kondisi yang menyedihkan sampai peralatan investasi infrastruktur. Gaji karyawan, sewa baru dipasang pada bulang Mei 1986.kantor dan jasa-jasa, seperti telepon atau

listrik, ditanggung melalui pendapatan iklan Stasiun tersebut menderita karena dua serangan lain komersial, pesan-pesan sosial, dan musik. di tahun 1987 dan Mei 1988. Intervensi dengan

kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah lokal dan Iklan komersial diatur dengan ketat dan dibatasi hanya nasional di bulan Januari 1989 mengakibatkan untuk acara-acara tertentu dan hari-hari tertentu penutupan Radio Quillabamba sampai bulan April di setiap minggunya. Pesan-pesan kelembagaan tahun yang sama. Di bulan Desember 1989 hujan tentang kepentingan sosial diudarakan tanpa deras mencegah terjadinya ledakan lain sehingga dipungut biaya, tetapi individu-individu yang kerusakan lebih parah pun juga bisa dihindari. Setiap mengirim pesan-pesan pribadi ke keluarga mereka serangan terhadap kebebasan berekspresi ini harus membayar harga minimum, yang menjadikan mengganggu aktivitas-aktivitas stasiun, tetapi tidak stasiun bisa mengumpulkan dana tambahan untuk ada serangan yang mampu meredamnya atau pengeluaran-pengeluaran rutin. menakuti orang-orang yang terlibat dalam

pengelolaannya. Sebaliknya, Radio Quillabamba Partisipasi komunitas di Radio Quillabamba tumbuh dan semakin kuat dengan dukungan dari berlangsung melalui organisasi-organisasi lokal. para petani. •Ser ik at-ser ik at kerja dan koperasi-koperasi

bertanggung jawab atas acara-acara radio (Sumber: Making Waves: Stories of Participatory Communication for Social Change, oleh Alfonso mengenai realitas sosial lokal, sehingga bisa Gumucio Dagron) mengekspresikan suara kritis mayoritas

mengenai isu-isu seperti diskriminasi sosial,

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

QUILLABAMBA, Peru

Suara Petani

Page 11: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

RADIO

10 11K

om

bin

asi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

rovinsi La Concepcion, di Departemen Cuzco, Peru, ditinggali oleh petani suku Quechua yang hidup di area-area pedesaan. Mereka adalah petani penghasil kopi dan daun koka. Sejak tahun P1950an, para petani mendirikan usaha-usaha koperasi, serikat-serikat kerja, dan organisasi-

organisasi politik mereka sendiri, yang bertahan dari represi tuan-tuan tanah lokal dan berbagai rezim militer. Selama tahun 1980an wilayah tersebut menjadi panggung bagi konfrontasi kekerasan antara tentara dan gerilyawan Shining Path.

Radio secara tradisional menjadi medium yang paling penting di area-area pedesaan. Radio sering menggantikan telepon, surat dan alat-alat komunikasi konvesional lainnya. Cerita tentang radio populer dan komunitas di Peru terkait erat dengan aksi para pendeta Katholik progresif yang sejak tahun 1960an telah terlibat dalam perjuangan kaum miskin dan kaum-kaum yang paling terlupakan di dalam masyarakat.

Pengalaman misionaris-misionaris Dominikan dari Vicariate of Puerto Maldonado dalam pengoperasian Radio Madre de Dios membuat mereka sadar atas pentingnya sebuah alat komunikasi untuk merespon kebutuhan-kebutuhan sosial dari komunitas-komunitas di sekitar Quillabamba. Maka, diputuskan untuk membuat dua stasiun.

Quillabamba sudah mempunyai stasiun radio swasta kecil, meskipun dengan jangkauan yang terbatas karena kekuatannya yang rendah dan tidak adanya tujuan-tujuan yang jelas. Namun demikian stasiun tersebut mempunyai izin resmi dan mempunyai frekuensi untuk beroperasi. Pendeta-pendeta Dominika membelinya pada tahun 1966 dan mulai mengembangkan kegiatan komunikasi yang baru.

Saat itu, stasiun harus membangun kapasitas teknisnya. Menjelang tahun 1969 peralatan baru dan transmitter berkekuatan 1000 watt dibeli untuk menggantikan transmitter lama, yang hanya berkekuatan 300 watt. Kemudian, dengan dukungan Adveniat, Misereor dan organisasi-organisasi Katholik Roma lainnya, transmitter 5 kilowatt dan perangkat keras tambahan menambah luas jangkauan siaran hampir di seluruh Pegunungan Andes di Selatan Peru.

Pada mulanya stasiun menekankan program-program religius, kemudian, ada usaha untuk memberikan pelatihan dan “pendidikan formal” kepada petani-petani miskin. Selanjutnya program-program radio semakin berkomitmen untuk perjuangan sosial. Antara tahun 1972 dan 1975, “pendidikan kemanusiaan dan religius” mendominasi program-program, sedangkan mengenai isi stasiun tidak terkait dengan program-program pendidikan formal atau konsep-konsep pendidikan yang populer. Antara tahun 1975 dan 1978 program-program “pendidikan formal” diproduksi, bertujuan untuk membangun kebiasaan membaca di kalangan masyarakat yang baru bisa membaca. Dari tahun 1978, stasiun berkomitmen pada “pendidikan umum bagi masyarakat yang

Memperkuat

UtamaUtama

terorganisir.” Sebagian waktu dari 16 jam ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. mengudara dialokasikan bebas biaya untuk Setiap organisasi bertanggung jawab untuk organisasi-organisasi sosial seperti Federasi menyiapkan rencana kerja tahunan, termasuk tujuan-Petani Seluruh Provinsi, Federasi Pekerja, tujuan, struktur dan orang-orang yang diserahi tugas

Dewan Kota, dan Komite Hak Asasi Manusia. Mereka untuk memproduksi program-program.menyiapkan dan menjalankan program-program radionya sendiri, dan sering secara langsung Pemilihan staf bagi stasiun terutama berdasarkan menyiarkan pertemuan-pertemuan akbar dan kriteria komitmen sosial dan kesesuaian dengan demonstrasi-demonstrasi. kebutuhan-kebutuhan wilayah. Semua kandidat harus

orang yang bilingual dan menunjukkan niat besar Format program yang paling populer adalah majalah- untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi radio, yang mencakup segmen-segmen informasi sosial di provinsi tersebut. Pelatihan teknis diberikan (berita dan wawancara), pendidikan (analisis), bila syarat-syarat di atas sudah terpenuhi.komunikasi (pesan-pesan), hiburan (partisipasi) dan musik (dedikasi). Mayoritas program disiarkan secara Dari segi koordinasi dengan pihak lain, Radio langsung. Acara musik ini adalah yang paling sukses Quillabamba berpartisipasi dalam usaha-usaha untuk karena pesan-pesan ditulis dalam bahasa Quechua, memperkuat jaringan-jaringan komunikasi alternatif, bahasa yang dituturkan masyarakat lokal. melalui keberadaan di organisasi-organisasi progresif:

National Radio Coordinator (NRC), Campesino Christian Bertahun-tahun sebuah jaringan koresponden Communities (CCC), dan ALER di tingkat internasional.sukarela terbangun secara alamiah di sekitar stasiun

tersebut. Surat-surat datang dari tempat-tempat Meskipun pada awalnya Radio Quillabamba sangat terpencil di provinsi tersebut, mempunyai izn untuk beroperasi, tahun 1971

menginformasikan kepada stasiun ketentuan-ketentuan pemerintah mengharuskan tentang peristiwa-peristiwa yang media stasiun tersebut untuk mulai dari awal untuk nasional t idak pedulikan, seperti mendapatkan izin operasi yang baru.

pertempuran-pertempuran antara tentara dan gerilyawan Shining Path (Jalan Terang). Komitmennya kepada masyarakat menyebabkan

Sudah menjadi kebijakan Radio Quillabamba Radio Quillabamba sering menjadi korban ancaman dari awal untuk membiarkan komunitas dan serangan. Sebuah serangan dengan peledak pendukungnya membiayai pengeluaran- menghancurkan transmitter di bulan Juni 1975 dan pengeluran rutin dari stasiun, sedangkan memaksa stasiun beroperasi selama beberapa tahun pendanaan dari luar digunakan untuk dengan kondisi yang menyedihkan sampai peralatan investasi infrastruktur. Gaji karyawan, sewa baru dipasang pada bulang Mei 1986.kantor dan jasa-jasa, seperti telepon atau

listrik, ditanggung melalui pendapatan iklan Stasiun tersebut menderita karena dua serangan lain komersial, pesan-pesan sosial, dan musik. di tahun 1987 dan Mei 1988. Intervensi dengan

kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah lokal dan Iklan komersial diatur dengan ketat dan dibatasi hanya nasional di bulan Januari 1989 mengakibatkan untuk acara-acara tertentu dan hari-hari tertentu penutupan Radio Quillabamba sampai bulan April di setiap minggunya. Pesan-pesan kelembagaan tahun yang sama. Di bulan Desember 1989 hujan tentang kepentingan sosial diudarakan tanpa deras mencegah terjadinya ledakan lain sehingga dipungut biaya, tetapi individu-individu yang kerusakan lebih parah pun juga bisa dihindari. Setiap mengirim pesan-pesan pribadi ke keluarga mereka serangan terhadap kebebasan berekspresi ini harus membayar harga minimum, yang menjadikan mengganggu aktivitas-aktivitas stasiun, tetapi tidak stasiun bisa mengumpulkan dana tambahan untuk ada serangan yang mampu meredamnya atau pengeluaran-pengeluaran rutin. menakuti orang-orang yang terlibat dalam

pengelolaannya. Sebaliknya, Radio Quillabamba Partisipasi komunitas di Radio Quillabamba tumbuh dan semakin kuat dengan dukungan dari berlangsung melalui organisasi-organisasi lokal. para petani. •Ser ik at-ser ik at kerja dan koperasi-koperasi

bertanggung jawab atas acara-acara radio (Sumber: Making Waves: Stories of Participatory Communication for Social Change, oleh Alfonso mengenai realitas sosial lokal, sehingga bisa Gumucio Dagron) mengekspresikan suara kritis mayoritas

mengenai isu-isu seperti diskriminasi sosial,

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

QUILLABAMBA, Peru

Suara Petani

Page 12: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

12 Ekonomi Rakyat 13 Ekonomi Rakyat

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

lak..klok..klak..klok. Suara alat tenun bukan mesin (ATBM) itu terdengar berulang-ulang di rumah Ny Sumiyati (52) di Dusun KGamplong, Desa Sumber Rahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten

Sleman, Yogyakarta.

Saban hari, sejumlah perempuan warga dusun setempat tampak tekun membuat kerajinan tenun dengan alat terbuat dari kayu tersebut. Untuk itu tak heran kalau di rumah pengusaha kerajinan Ny Sumiyati, tiap hari terdengar suara berirama dari beradunya kayu alat tenun tradisional itu.

Untuk membuat barang kerajinan tenun, tangan-tangan perempuan tengah baya warga dusun itu memegangi sebilah kayu yang melintang di depannya. Pada kayu alat tenun itu menjulur benang-benang kecil yang jumlahnya ratusan helai. Tangan-tangan penenun, rutin bergerak maju-mundur untuk menciptakan ratusan utas benang menjadi anyaman berbentuk lembaran kerajinan tenun.

Siang itu tampak lima perempuan di atas usia tengah baya yang tengah bekerja menenun. Mereka membuat tenunan dari berbagai macam bahan baku. Ada yang menggunakan bahan baku benang warna-warni, bahan baku serat agel, akar wangi dan bahan baku serat gedebok pisang, serta lidi dari daun kelapa.

Untuk membuat lembaran produk kerajinan tenun, tampak sekali jika butuh ketekunan tinggi. Dengan duduk di atas bangku kecil, perempuan perajin harus jeli memperhatikan ratusan benang yang menjulur. Bila ada benang yang terputus, maka ia harus menghentikan sejenak pekerjaannya untuk menyambung kembali.

''Di sinilah rumitnya membuat barang kerajinan tenun. Kemahiran seorang penenun, bisa dilihat utuhnya benang tenunan. Makin banyak benang yang putus, itu menandakani perajin belum mahir menenun,'' ujar Ny Sumiyati.

Faktor banyak-tidaknya benang yang putus tersebut, lanjut perempuan berjilbab ini, ditentukan oleh halus tidaknya seorang perajin menggerakkan tangannya mengayunkan bilah kayu alat tenun. Seorang perajin yang mahir, bisa menentukan kekuatan tangannya saat mengayunkan bilah kayu alat tenun. Dengan demikian, benang yang putus pun akan lebih sedikit.

Kualitas produk kerajinan tenun, juga ditentukan banyak-tidaknya benang yang putus. Makin banyak sambungan benang pada produk tenun, maka makin rendah pula kualitas kerajinan tenun. Bahkan, bagi perajin tenun, perangkat alat tenun dianggapnya sebagai 'mesin' bernyawa. “Karena itu, untuk menghasilkan produk tenun yang berkualitas tinggi, seorang perajin harus tahu tabiat dari alat tenun yang digunakannya,” tuturnya..

Dengan demikian, perlakuan yang diberikan perajin saat menggunakan alat tenun, atau seberapa kuat perajin mengayunkan bilah kayu tenun, harus disesuaikan dengan sifat alat tenun yang digunakan. ''Kalau perajin

Tenun Gam plong

sudah terbiasa dengan perangkat alat tenun tertentu, ia tak akan mau menggunakan alat tenun lainnya,'' terangnya.

Di kediaman Ny Sumiyati ada l2 alat tenun yang biasa digunakan pekerjanya. I sendiri mengaku keseluruhan memiliki sekitar 50 alat tenun. Selain alat tenun di rumahnya, lainnya dititipkan di masing-masing rumah perajin binaannya. Tiap perangkat alat tenun itu, dulu dibeli seharga Rp 1,5 juta.

Sebagaian peralatan tenun itu sengaja dititipkan di masing-masing rumah perajin binaannya yang sudah mahir. Dengan adanya alat di rumah masing-masing perajin, maka diharapkan sewaktu-waktu di saat longgar mereka bisa membuat produk kerajinan. Dengan demikian, perajin bisa memanfaatkan waktu secara optimal dalam menambah pendapatan keluarganya.

Terhadap para perajin binaannya itu, Ny Sumiyati memberikan upah berdasarkan sistem borongan. Tiap lembar hasil tenun ukuran 50 cm x 100 cm perajin dihargai dengan pendapatan antara Rp 6.000 sampai Rp 8.000, tergantung kualitas produk yang dihasilkan.

Biasanya, seorang perajin yang sudah mahir bisa menghasilkan produk tenun ukuran 50 cm x 250 cm. Sedangkan perajin yang belum mahir hanya menghasilkan produk kerajinan ukuran 50 cm x 1,5 meter. ''Jadi, perajin yang sudah mahir bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 20.000 per hari. Di mana proses pengerjaan, biasanya dilakukan dalam waktu 4 sampai 5 jam di waktu sore atau malam hari,.'' jelasnya.

Salah seorang tenaga binaan Ny Simiyati saat ditemui di sela kerjanya menenun mengaku, lewat tengah hari sejak pukul 08.00 WIB itu dirinya bisa merampungkan 7 meter tenunan tanpa putus. “Tiap meter saya mendapat upah Rp 2.000,” kata Ny Surat (62) yang menghidupi tiga anak ini.

Menurut Ny Sumiyati, order yang diberikan pada para perajinnya, biasanya disesuaikan dengan pesanan yang diterimanya dari para pemesan, yang biasanya berasal dari kalangan eksportir. Untuk itu, seluruh bahan baku disediakannya untuk para perajin. Kebutuhan bahan baku ini, ia dapatkan dari pemasok yang ada di Kota Yogyakarta. ''Kita tidak terlalu kesulitan mendapatkan bahan baku, karena di Yogya juga sudah ada pemasoknya,'' tuturnya.

Biasanya, para eksportir memasan dalam bentuk bahan mentah, berupa lembaran produk kerajinan tenun. Namun ada juga yang memesan dalam bentuk jadi sebagai barang yang sudah siap digunakan, seperti tas, taplak meja, kap lampu, gorden atau bed cover.

Ia enggan menyebutkan berapa omset rata-rata per bulan dari usaha kerajinan tenun ini. Namun diakui, selama ini bisa memberi penghasilan tambahan bagi 40 perajin tenun binaannya, dengan rata-rata perajin menerima upah antara Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta per bulan.

Bila sepi pesanan dari eksportir, Ny Sumiyati biasanya membuat produk kerajinan tenun untuk pasaran dalam negeri. Hasil kerajinan yang ia jual untuk konsumsi lokal, kebanyakan sudah dalam bentuk barang jadi. ''Kebutuhan produk kerajinan tenun dalam negeri, sebenarnya cukup lumayan. Tak kalah dengan kebutuhan ekspor. Karena itu, untuk kelangsung usaha tenun ini kita tidak terlalu tergantung pada pesanan eskportir,'' jelasnya.

Ia memulai usaha tenunnya sejak tahun 60-an. Mulanya hanya dengan modal satu alat tenun, yang merupakan pemberian orangtua. Lalu, ia mulai membuka usaha kerajinan tenun sebagai perajin kecil.

Saat itu, bahan baku produk tenun masih terbatas dengan bahan baku benang. Benang dicelup dengan pewarna warna-warni, sehingga kain hasil tenunnya pun berwarna-warni.

''Sedangkan pemanfaatannya, kain hasil tenun saat itu hanya dimanfaatkan sebatas kelengkapan busana saja, seperti pembuatan selendang,'' sebutnya.

Sedangkan saat ini, produk kerajinan tenun berkembang dengan memanfaatkan berbagai jenis bahan baku. Demikian juga, pemanfaatannya tak hanya sebatas untuk kelengkapan busana. ''Tapi bisa dibuat bahan baku tas, gorden, kap lampu dan sebagainya,'' jelasnya.

Di Dusun Gamplong sendiri, saat ini ada cukup banyak perajin yang memiliki workshop tempat memajangkan produk hasil kerajinannya. Bahkan para pemilik workshop ini telah memiliki paguyuban perajin tenun, bernama Paguyuban Tegas. Tercatat ada 18 perajin yang tergabung dalam paguyuban ini. “Manfaat paguyuban sangat berarti. Paling tidak, bila kita mendapat order besar dari eksportir dan tak mampu mengerjakannya sendiri, maka pesanan itu bisa kita sharing dengan perajin lainnya,'' kata Ny Sumiyati.

Dengan demikian, lanjutnya, semua pesanan akhirnya bisa dipenuhi dan waktu pengerjaannya pun tidak lewat batas waktu yang diminta eksportir. ''Jadi, kalangan eskportir juga merasa puas, tidak kecewa akibat k e t e r l a m b a t a n p e n y e l e s a i a n d a r i k a m i ,” j e l a s n y a . • Bambang Sugiharto

Page 13: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

12 Ekonomi Rakyat 13 Ekonomi RakyatK

om

bin

asi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

lak..klok..klak..klok. Suara alat tenun bukan mesin (ATBM) itu terdengar berulang-ulang di rumah Ny Sumiyati (52) di Dusun KGamplong, Desa Sumber Rahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten

Sleman, Yogyakarta.

Saban hari, sejumlah perempuan warga dusun setempat tampak tekun membuat kerajinan tenun dengan alat terbuat dari kayu tersebut. Untuk itu tak heran kalau di rumah pengusaha kerajinan Ny Sumiyati, tiap hari terdengar suara berirama dari beradunya kayu alat tenun tradisional itu.

Untuk membuat barang kerajinan tenun, tangan-tangan perempuan tengah baya warga dusun itu memegangi sebilah kayu yang melintang di depannya. Pada kayu alat tenun itu menjulur benang-benang kecil yang jumlahnya ratusan helai. Tangan-tangan penenun, rutin bergerak maju-mundur untuk menciptakan ratusan utas benang menjadi anyaman berbentuk lembaran kerajinan tenun.

Siang itu tampak lima perempuan di atas usia tengah baya yang tengah bekerja menenun. Mereka membuat tenunan dari berbagai macam bahan baku. Ada yang menggunakan bahan baku benang warna-warni, bahan baku serat agel, akar wangi dan bahan baku serat gedebok pisang, serta lidi dari daun kelapa.

Untuk membuat lembaran produk kerajinan tenun, tampak sekali jika butuh ketekunan tinggi. Dengan duduk di atas bangku kecil, perempuan perajin harus jeli memperhatikan ratusan benang yang menjulur. Bila ada benang yang terputus, maka ia harus menghentikan sejenak pekerjaannya untuk menyambung kembali.

''Di sinilah rumitnya membuat barang kerajinan tenun. Kemahiran seorang penenun, bisa dilihat utuhnya benang tenunan. Makin banyak benang yang putus, itu menandakani perajin belum mahir menenun,'' ujar Ny Sumiyati.

Faktor banyak-tidaknya benang yang putus tersebut, lanjut perempuan berjilbab ini, ditentukan oleh halus tidaknya seorang perajin menggerakkan tangannya mengayunkan bilah kayu alat tenun. Seorang perajin yang mahir, bisa menentukan kekuatan tangannya saat mengayunkan bilah kayu alat tenun. Dengan demikian, benang yang putus pun akan lebih sedikit.

Kualitas produk kerajinan tenun, juga ditentukan banyak-tidaknya benang yang putus. Makin banyak sambungan benang pada produk tenun, maka makin rendah pula kualitas kerajinan tenun. Bahkan, bagi perajin tenun, perangkat alat tenun dianggapnya sebagai 'mesin' bernyawa. “Karena itu, untuk menghasilkan produk tenun yang berkualitas tinggi, seorang perajin harus tahu tabiat dari alat tenun yang digunakannya,” tuturnya..

Dengan demikian, perlakuan yang diberikan perajin saat menggunakan alat tenun, atau seberapa kuat perajin mengayunkan bilah kayu tenun, harus disesuaikan dengan sifat alat tenun yang digunakan. ''Kalau perajin

Tenun Gam plong

sudah terbiasa dengan perangkat alat tenun tertentu, ia tak akan mau menggunakan alat tenun lainnya,'' terangnya.

Di kediaman Ny Sumiyati ada l2 alat tenun yang biasa digunakan pekerjanya. I sendiri mengaku keseluruhan memiliki sekitar 50 alat tenun. Selain alat tenun di rumahnya, lainnya dititipkan di masing-masing rumah perajin binaannya. Tiap perangkat alat tenun itu, dulu dibeli seharga Rp 1,5 juta.

Sebagaian peralatan tenun itu sengaja dititipkan di masing-masing rumah perajin binaannya yang sudah mahir. Dengan adanya alat di rumah masing-masing perajin, maka diharapkan sewaktu-waktu di saat longgar mereka bisa membuat produk kerajinan. Dengan demikian, perajin bisa memanfaatkan waktu secara optimal dalam menambah pendapatan keluarganya.

Terhadap para perajin binaannya itu, Ny Sumiyati memberikan upah berdasarkan sistem borongan. Tiap lembar hasil tenun ukuran 50 cm x 100 cm perajin dihargai dengan pendapatan antara Rp 6.000 sampai Rp 8.000, tergantung kualitas produk yang dihasilkan.

Biasanya, seorang perajin yang sudah mahir bisa menghasilkan produk tenun ukuran 50 cm x 250 cm. Sedangkan perajin yang belum mahir hanya menghasilkan produk kerajinan ukuran 50 cm x 1,5 meter. ''Jadi, perajin yang sudah mahir bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 20.000 per hari. Di mana proses pengerjaan, biasanya dilakukan dalam waktu 4 sampai 5 jam di waktu sore atau malam hari,.'' jelasnya.

Salah seorang tenaga binaan Ny Simiyati saat ditemui di sela kerjanya menenun mengaku, lewat tengah hari sejak pukul 08.00 WIB itu dirinya bisa merampungkan 7 meter tenunan tanpa putus. “Tiap meter saya mendapat upah Rp 2.000,” kata Ny Surat (62) yang menghidupi tiga anak ini.

Menurut Ny Sumiyati, order yang diberikan pada para perajinnya, biasanya disesuaikan dengan pesanan yang diterimanya dari para pemesan, yang biasanya berasal dari kalangan eksportir. Untuk itu, seluruh bahan baku disediakannya untuk para perajin. Kebutuhan bahan baku ini, ia dapatkan dari pemasok yang ada di Kota Yogyakarta. ''Kita tidak terlalu kesulitan mendapatkan bahan baku, karena di Yogya juga sudah ada pemasoknya,'' tuturnya.

Biasanya, para eksportir memasan dalam bentuk bahan mentah, berupa lembaran produk kerajinan tenun. Namun ada juga yang memesan dalam bentuk jadi sebagai barang yang sudah siap digunakan, seperti tas, taplak meja, kap lampu, gorden atau bed cover.

Ia enggan menyebutkan berapa omset rata-rata per bulan dari usaha kerajinan tenun ini. Namun diakui, selama ini bisa memberi penghasilan tambahan bagi 40 perajin tenun binaannya, dengan rata-rata perajin menerima upah antara Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta per bulan.

Bila sepi pesanan dari eksportir, Ny Sumiyati biasanya membuat produk kerajinan tenun untuk pasaran dalam negeri. Hasil kerajinan yang ia jual untuk konsumsi lokal, kebanyakan sudah dalam bentuk barang jadi. ''Kebutuhan produk kerajinan tenun dalam negeri, sebenarnya cukup lumayan. Tak kalah dengan kebutuhan ekspor. Karena itu, untuk kelangsung usaha tenun ini kita tidak terlalu tergantung pada pesanan eskportir,'' jelasnya.

Ia memulai usaha tenunnya sejak tahun 60-an. Mulanya hanya dengan modal satu alat tenun, yang merupakan pemberian orangtua. Lalu, ia mulai membuka usaha kerajinan tenun sebagai perajin kecil.

Saat itu, bahan baku produk tenun masih terbatas dengan bahan baku benang. Benang dicelup dengan pewarna warna-warni, sehingga kain hasil tenunnya pun berwarna-warni.

''Sedangkan pemanfaatannya, kain hasil tenun saat itu hanya dimanfaatkan sebatas kelengkapan busana saja, seperti pembuatan selendang,'' sebutnya.

Sedangkan saat ini, produk kerajinan tenun berkembang dengan memanfaatkan berbagai jenis bahan baku. Demikian juga, pemanfaatannya tak hanya sebatas untuk kelengkapan busana. ''Tapi bisa dibuat bahan baku tas, gorden, kap lampu dan sebagainya,'' jelasnya.

Di Dusun Gamplong sendiri, saat ini ada cukup banyak perajin yang memiliki workshop tempat memajangkan produk hasil kerajinannya. Bahkan para pemilik workshop ini telah memiliki paguyuban perajin tenun, bernama Paguyuban Tegas. Tercatat ada 18 perajin yang tergabung dalam paguyuban ini. “Manfaat paguyuban sangat berarti. Paling tidak, bila kita mendapat order besar dari eksportir dan tak mampu mengerjakannya sendiri, maka pesanan itu bisa kita sharing dengan perajin lainnya,'' kata Ny Sumiyati.

Dengan demikian, lanjutnya, semua pesanan akhirnya bisa dipenuhi dan waktu pengerjaannya pun tidak lewat batas waktu yang diminta eksportir. ''Jadi, kalangan eskportir juga merasa puas, tidak kecewa akibat k e t e r l a m b a t a n p e n y e l e s a i a n d a r i k a m i ,” j e l a s n y a . • Bambang Sugiharto

Page 14: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

15 Berbagi14 BerbagiK

om

bin

asi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

enari, menyanyi, serta memekikkan petisi protes dan harapan bersama dilakukan oleh lebih dari 1500 perempuan dari seluruh Mdunia yang berkumpul dalam satu forum di Cape Town, Afrika

Selatan. Mayoritas mereka adalah pembela hak asasi manusia dan aktivis yang berada di garda depan untuk membela hak kaum perempuan di negaranya masing-masing. Pada tanggal 14-17 November 2008, The Association for Women's Rights in Development (AWID), mengorganisir pertemuan tiga tahunan untuk mengumpulkan individu maupun organisasi dari seluruh dunia yang memiliki keinginan untuk melantangkan suara, menguatkan dampak dan pengaruh bagi kegiatan advokasi, pengorganisasian dan gerakan hak asasi perempuan.

Feminisme: untuk perempuan yang mana? Selama tiga hari pertama dan penutupan di hari keempat, sejumlah delegasi mengisi forum pleno. Mereka adalah enam pembicara yang masing-masing mewakili organisasi perempuan dari kelompok masyarakat adat (indigenous) di Nikaragua, organisasi perempuan yang melindungi hak penyandang ketidakmampuan (disabilities) atau cacat fisik di Korea Selatan, organisasi perempuan yang mengadvokasi hak kesehatan reproduksi dan keadilan sosial untuk perempuan di India, aktivis pemimpin kelompok pendukung hak kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Lebanon, aktivis perempuan yang bekerja untuk isu jender dan hak asasi manusia di Kenya, dan aktivis perempuan dari wilayah Amerika Latin. Melalui pengalaman di negaranya masing-masing, mereka menyampaikan kondisi gerakan perempuan saat ini, tantangan yang dihadapi, sekaligus membagi visi tentang perubahan kondisi dunia yang diinginkan. Dunia yang lebih adil dan aman bagi kaum perempuan.

Pleno ini dibuka dengan mengajak peserta untuk mengingat siapa saja yang harus dirangkul dalam gerakan perempuan untuk mendorong terjadinya gerakan-gerakan sosial lainnya. Mijoo Kim dari Korea Selatan mengingatkan adanya sekitar 325 juta perempuan di seluruh dunia yang mengalami ketidakmampuan atau cacat fisik. Perempuan dalam kondisi cacat seolah-olah dianggap sebagai aseksual, meskipun kondisi kecacatannya akan sangat berdampak pada hak-haknya sebagai perempuan. Oleh karena itu, menurutnya gerakan feminis tidak boleh menutup diri dan menjadi eksklusif. Nadine Moawad, aktivis 26 tahun kelompok LGBT dari Lebanon juga mengingatkan forum bahwa feminisme tidak pernah ada tanpa melibatkan semua perempuan, baik mereka yang heteroseksual maupun homoseksual. Tepuk tangan riuh diberikan

negaranya. Pencekalan semakin ketat bagi banyak aktivis hak asasi manusia di negara itu, bahkan hingga penyensoran website dan berbagai informasi dari internet.

Menjadi aktivis perempuan, di tengah masyarakat yang menjunjung nilai-nilai patriarkis bukan hal mudah. Meena Seshu, aktivis asal India yang mengorganisir Pekerja Seks Komers ia l (PSK ) mengungk apk an tantangan menghadapi stigmatisasi terhadap para pekerja seks yang terinfeksi HIV positif. Kampanye untuk menggunakan kondom lebih banyak diarahkan untuk melindungi klien ketimbang menjadi bagian dari aktivitas pemeliharaan kesehatan bagi para PSK. Stigmatisasi bahwa perempuan bukanlah pelaku utama ekonomi dan parameter normatif terhadap perempuan yang “baik” diungkapkan oleh Nani Zulminarni, pengelola program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Indonesia. Kisah yang personal sesekali terlontar dari para pembicara. Nani misalnya mengisahkan bagaimana berat baginya menerima kenyataan perkawinan nya tidak bertahan. Selama tiga tahun dia menjadi pemurung dan menangisi kenyataan dirinya menjanda. Menjadi “janda” bukan titel yang mudah diterima oleh perempuan di Indonesia. Namun ia ingin ibu-ibu kepala keluarga yang diorganisir oleh PEKKA memiliki harga diri kembali, meskipun hidup tanpa suami. Bahkan kemudian PEKKA memperkenalkan slogan “The World without husband is beautiful” sebagai refleksi untuk bangkit menantang stigmatisasi terhadap diri mereka. Pemberdayaan ekonomi terhadap para janda adalah bagian dari strategi PEKKA untuk memberikan kepercayaan diri pada kelompok ini bahwa mereka mampu mandiri meski harus menghadapi stigma sebagai “perempuan tak bersuami”.

Konteks negara yang berada di bawah fundamentalisme agama juga diangkat oleh Wanda Nowicka dari Federasi Polandia untuk Perempuan dan Keluarga Berencana. Kekuatan konservatif dari gereja Katolik dan negara telah menghapuskan hak aborsi di tahun 1993. Kekuatan gereja Katolik sangat mempengaruhi hak perempuan bahkan dalam menggunakan alat kontrasepsi. Dalam konteksnya m a s i n g - m a s i n g , p a r a pembicara meyakinkan peserta mengapa gerakan feminis akan tetap dibutuhkan. Gerakan feminis justru akan semakin ber k embang manak a la hak perempuan atas ruang, pikiran dan tubuhnya sendiri dirampas oleh negara atau masyarakat yang mewakili sistem patriarki. Pada akhir konferensi ini, saya diam-diam mulai menyetujui bahwa memang ketika kebebasan masih menjadi mimpi bagi sebagian perempuan, maka sepanjang itu solidaritas melawan patriarki masih harus diperjuangkan. •

Tidak ada Satupun (perempuan) yang Bebas, Selama Belum Semua

dari Kita Bebas Catatan dari konferensi ke 11 Association Women in Development Cape Town, Afrika Selatan: 14-17 November 2008

Oleh Ranggoaini Jahja

padanya ketika ia menyindir kebiasaan formal dalam menghadiri konferensi yang sering kali dilakukan banyak orang. Ketika peserta hanya disibukkan dengan kegiatan saling bertukar kartu nama, membagikan dan mengumpulkan brosur serta beragam buletin informasi, demi untuk memperluas jaringan kerja. Mereka lupa bahwa sebuah perubahan yang diinginkan hanya dapat terjadi apabila setiap orang berbicara dari hati ke hati, bukan sebagai representasi lembaga atau proyek. Ia meyakinkan forum bahwa hubungan personal lah yang dapat mengubah hidup kita, yang akan menggerakkan setiap orang pada satu tindakan.

Refleksi terhadap kerja pengorganisasian perempuan dituangkan dalam pleno hari kedua. Dinamika dan ketegangan dalam mengelola gerakan, serta gugatan secara internal bagaimana saling jalin yang harus diupayakan agar dapat terbangun kesatuan yang kohesif. Dialog antar generasi feminis menjadi salah satu strategi yang perlu lebih sering dilakukan untuk mengoptimalkan kontribusi masing-masing sambil tetap belajar dan menghargai satu dengan yang lain. Pendokumentasian dan kesediaan menganalisis proses yang telah dilalui menjadi kunci. Rabea Naciri, salah satu pembicara dari Morocco mengisahkan pengalaman kemenangan gerakan perempuan di negaranya pada tahun 2004. Setelah dua puluh tahun memobilisasi isu hak-hak perempuan, pemerintah mereka kemudian mereformasi Family Code, yang berisi tentang perundangan untuk keluarga. Dampaknya berbagai lembaga donor hadir untuk mendanai berbagai kegiatan perlindungan hak perempuan, pemerintah mulai bersedia membahas mekanisme menyertakan gender mainstreaming dan gender budgeting dalam kegiatan mereka ketika bermitra dengan masyarakat sipil. Namun konsolidasi yang carut marut malah terjadi kemudian setelah sebagian besar feminis lebih memilih berkecimpung di pemerintahan ditambah lagi dengan persaingan antarfeminis yang saling berebut pengaruh, sumber daya, dan kekuasaan.

Konteks berbeda dari akar yang samaKonteks pengorganisasian dan strategi yang berbeda-beda telah ditempuh oleh aktivis yang mengorganisasi perempuan di masing-masing negaranya. Pengalaman tersebut dituangkan pada pleno hari ke tiga, yang diarahkan oleh moderator layaknya acara talk show yang ringan namun tetap serius. Shirin Ebadi, perempuan peraih Nobel dari Iran, mengangkat isu pencekalan terhadap perempuan yang dilakukan pemerintah Iran terhadap berbagai ruang publik yang ada. Seorang koleganya yang seharusnya juga hadir pada acara konferensi tidak dapat keluar dari

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Page 15: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

15 Berbagi14 Berbagi

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

enari, menyanyi, serta memekikkan petisi protes dan harapan bersama dilakukan oleh lebih dari 1500 perempuan dari seluruh Mdunia yang berkumpul dalam satu forum di Cape Town, Afrika

Selatan. Mayoritas mereka adalah pembela hak asasi manusia dan aktivis yang berada di garda depan untuk membela hak kaum perempuan di negaranya masing-masing. Pada tanggal 14-17 November 2008, The Association for Women's Rights in Development (AWID), mengorganisir pertemuan tiga tahunan untuk mengumpulkan individu maupun organisasi dari seluruh dunia yang memiliki keinginan untuk melantangkan suara, menguatkan dampak dan pengaruh bagi kegiatan advokasi, pengorganisasian dan gerakan hak asasi perempuan.

Feminisme: untuk perempuan yang mana? Selama tiga hari pertama dan penutupan di hari keempat, sejumlah delegasi mengisi forum pleno. Mereka adalah enam pembicara yang masing-masing mewakili organisasi perempuan dari kelompok masyarakat adat (indigenous) di Nikaragua, organisasi perempuan yang melindungi hak penyandang ketidakmampuan (disabilities) atau cacat fisik di Korea Selatan, organisasi perempuan yang mengadvokasi hak kesehatan reproduksi dan keadilan sosial untuk perempuan di India, aktivis pemimpin kelompok pendukung hak kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Lebanon, aktivis perempuan yang bekerja untuk isu jender dan hak asasi manusia di Kenya, dan aktivis perempuan dari wilayah Amerika Latin. Melalui pengalaman di negaranya masing-masing, mereka menyampaikan kondisi gerakan perempuan saat ini, tantangan yang dihadapi, sekaligus membagi visi tentang perubahan kondisi dunia yang diinginkan. Dunia yang lebih adil dan aman bagi kaum perempuan.

Pleno ini dibuka dengan mengajak peserta untuk mengingat siapa saja yang harus dirangkul dalam gerakan perempuan untuk mendorong terjadinya gerakan-gerakan sosial lainnya. Mijoo Kim dari Korea Selatan mengingatkan adanya sekitar 325 juta perempuan di seluruh dunia yang mengalami ketidakmampuan atau cacat fisik. Perempuan dalam kondisi cacat seolah-olah dianggap sebagai aseksual, meskipun kondisi kecacatannya akan sangat berdampak pada hak-haknya sebagai perempuan. Oleh karena itu, menurutnya gerakan feminis tidak boleh menutup diri dan menjadi eksklusif. Nadine Moawad, aktivis 26 tahun kelompok LGBT dari Lebanon juga mengingatkan forum bahwa feminisme tidak pernah ada tanpa melibatkan semua perempuan, baik mereka yang heteroseksual maupun homoseksual. Tepuk tangan riuh diberikan

negaranya. Pencekalan semakin ketat bagi banyak aktivis hak asasi manusia di negara itu, bahkan hingga penyensoran website dan berbagai informasi dari internet.

Menjadi aktivis perempuan, di tengah masyarakat yang menjunjung nilai-nilai patriarkis bukan hal mudah. Meena Seshu, aktivis asal India yang mengorganisir Pekerja Seks Komers ia l (PSK ) mengungk apk an tantangan menghadapi stigmatisasi terhadap para pekerja seks yang terinfeksi HIV positif. Kampanye untuk menggunakan kondom lebih banyak diarahkan untuk melindungi klien ketimbang menjadi bagian dari aktivitas pemeliharaan kesehatan bagi para PSK. Stigmatisasi bahwa perempuan bukanlah pelaku utama ekonomi dan parameter normatif terhadap perempuan yang “baik” diungkapkan oleh Nani Zulminarni, pengelola program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Indonesia. Kisah yang personal sesekali terlontar dari para pembicara. Nani misalnya mengisahkan bagaimana berat baginya menerima kenyataan perkawinan nya tidak bertahan. Selama tiga tahun dia menjadi pemurung dan menangisi kenyataan dirinya menjanda. Menjadi “janda” bukan titel yang mudah diterima oleh perempuan di Indonesia. Namun ia ingin ibu-ibu kepala keluarga yang diorganisir oleh PEKKA memiliki harga diri kembali, meskipun hidup tanpa suami. Bahkan kemudian PEKKA memperkenalkan slogan “The World without husband is beautiful” sebagai refleksi untuk bangkit menantang stigmatisasi terhadap diri mereka. Pemberdayaan ekonomi terhadap para janda adalah bagian dari strategi PEKKA untuk memberikan kepercayaan diri pada kelompok ini bahwa mereka mampu mandiri meski harus menghadapi stigma sebagai “perempuan tak bersuami”.

Konteks negara yang berada di bawah fundamentalisme agama juga diangkat oleh Wanda Nowicka dari Federasi Polandia untuk Perempuan dan Keluarga Berencana. Kekuatan konservatif dari gereja Katolik dan negara telah menghapuskan hak aborsi di tahun 1993. Kekuatan gereja Katolik sangat mempengaruhi hak perempuan bahkan dalam menggunakan alat kontrasepsi. Dalam konteksnya m a s i n g - m a s i n g , p a r a pembicara meyakinkan peserta mengapa gerakan feminis akan tetap dibutuhkan. Gerakan feminis justru akan semakin ber k embang manak a la hak perempuan atas ruang, pikiran dan tubuhnya sendiri dirampas oleh negara atau masyarakat yang mewakili sistem patriarki. Pada akhir konferensi ini, saya diam-diam mulai menyetujui bahwa memang ketika kebebasan masih menjadi mimpi bagi sebagian perempuan, maka sepanjang itu solidaritas melawan patriarki masih harus diperjuangkan. •

Tidak ada Satupun (perempuan) yang Bebas, Selama Belum Semua

dari Kita Bebas Catatan dari konferensi ke 11 Association Women in Development Cape Town, Afrika Selatan: 14-17 November 2008

Oleh Ranggoaini Jahja

padanya ketika ia menyindir kebiasaan formal dalam menghadiri konferensi yang sering kali dilakukan banyak orang. Ketika peserta hanya disibukkan dengan kegiatan saling bertukar kartu nama, membagikan dan mengumpulkan brosur serta beragam buletin informasi, demi untuk memperluas jaringan kerja. Mereka lupa bahwa sebuah perubahan yang diinginkan hanya dapat terjadi apabila setiap orang berbicara dari hati ke hati, bukan sebagai representasi lembaga atau proyek. Ia meyakinkan forum bahwa hubungan personal lah yang dapat mengubah hidup kita, yang akan menggerakkan setiap orang pada satu tindakan.

Refleksi terhadap kerja pengorganisasian perempuan dituangkan dalam pleno hari kedua. Dinamika dan ketegangan dalam mengelola gerakan, serta gugatan secara internal bagaimana saling jalin yang harus diupayakan agar dapat terbangun kesatuan yang kohesif. Dialog antar generasi feminis menjadi salah satu strategi yang perlu lebih sering dilakukan untuk mengoptimalkan kontribusi masing-masing sambil tetap belajar dan menghargai satu dengan yang lain. Pendokumentasian dan kesediaan menganalisis proses yang telah dilalui menjadi kunci. Rabea Naciri, salah satu pembicara dari Morocco mengisahkan pengalaman kemenangan gerakan perempuan di negaranya pada tahun 2004. Setelah dua puluh tahun memobilisasi isu hak-hak perempuan, pemerintah mereka kemudian mereformasi Family Code, yang berisi tentang perundangan untuk keluarga. Dampaknya berbagai lembaga donor hadir untuk mendanai berbagai kegiatan perlindungan hak perempuan, pemerintah mulai bersedia membahas mekanisme menyertakan gender mainstreaming dan gender budgeting dalam kegiatan mereka ketika bermitra dengan masyarakat sipil. Namun konsolidasi yang carut marut malah terjadi kemudian setelah sebagian besar feminis lebih memilih berkecimpung di pemerintahan ditambah lagi dengan persaingan antarfeminis yang saling berebut pengaruh, sumber daya, dan kekuasaan.

Konteks berbeda dari akar yang samaKonteks pengorganisasian dan strategi yang berbeda-beda telah ditempuh oleh aktivis yang mengorganisasi perempuan di masing-masing negaranya. Pengalaman tersebut dituangkan pada pleno hari ke tiga, yang diarahkan oleh moderator layaknya acara talk show yang ringan namun tetap serius. Shirin Ebadi, perempuan peraih Nobel dari Iran, mengangkat isu pencekalan terhadap perempuan yang dilakukan pemerintah Iran terhadap berbagai ruang publik yang ada. Seorang koleganya yang seharusnya juga hadir pada acara konferensi tidak dapat keluar dari

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Page 16: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

16 Komuniti 17 Komuniti

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

ENABUNG dengan uang kricik, yang jumlahnya juga receh, barangkali Mhanya bisa dilakukan di satu tempat.

Sama sekali tidak mungkin menabung Rp 1.000 atau Rp 2.000 saban hari ke Bank konvensional.

Sebuah wadah diciptakan oleh komunitas jalanan. Wadah itu diberi nama Tabungan Komunitas. Isinya adalah duit-duit berbunyi kricik itu tadi dan nasabahnya pun terdiri dari para pemulung, orang pinggiran dan orang yang terpinggirkan alias orang-orang yang termarjinalkan.

Adalah sebuah ruang publik yang didirikan tepat di gerbang menuju 'sarang' pemulung di Ledok Timoho. Kain nama berwarna merah dengan tulisan bold ukuran 40 terpampang di dinding gédég menghadap barat.

Sesosok remaja berpenampilan apa adanya, dengan gaya rambut stock on you sibuk memasukkan data-data keuangan ke dalam buku selebar folio. Deret-deret nasabah, jumlah tabungan dan angka keluar-masuk uang, tertata rapi.

Sosok remaja yang juga adalah anggota masyarakat jalanan Tim Advokasi Arus Bawah

Tabungan Komunitas, Bank-nya Para Pemulung

ibu pemulung di komplek itu. Ia menilai, usaha ini bisa dikembangkan untuk mengangkat kesejahteraan para pemulung. Dengan modal awal hanya Rp. 3,4 juta yang berasal dari kas arisan itu, ditambah sumbangan dari beberapa pihak berupa komputer serta printer, maka usaha ini dijalankan.

Kini dana dari pihak ketiga di 'Tabungan Komunitas' itu telah mencapai puluhan juta rupiah dan bahkan mampu menyalurkan kredit usaha hingga lebih dari seratus juta rupiah, dengan laba yang berhasil direguk setiap bulannya mencapai Rp 1 juta yang hanya bisa untuk menutup biaya operasional serta membayar kasir. “Saya sendiri dan dua rekan lainnya tidak dibayar,” ujar Bembang jujur.

Tak ada persyaratan yang rumit untuk bisa menjadi anggota 'Tabungan Komunitas'. Cukup dengan Rp 3 ribu sebagai biaya pengganti buku tabungan dan biaya administrasi, setoran awal pun boleh hanya Rp 1000, dengan bunga sebesar 0,8 persen sebulan.

Dengan sedikit mengungkapkan rasa bangga, Bembeng mengatak an k alau saat in i nasabahnya telah mencapai 300 orang. “Meningkat pesat dari waktu dibuka. Dulu baru 70 orang dan tahun depan kami targetkan 1.000 nasabah,” ujarnya antusias. Yang jelas, papar Bembeng, dirinya dan komunitas Taabah serta beberapa LSM pendiri 'Tabungan Komunitas' berhasrat agar rakyat yang menyandang identitas sebagai masyarakat arus bawah ini, tidak terkontaminasi Bank Plecit.

Mau pinjam dana ? Jelas pasti bisa, meski

(Taabah) itu bernama Mochamad Iqbal, alias Unyil yang mengaku sudah berumur 20 tahun.Di Bedeng berukuran 6 X 2,5 meter itu, Unyil bertindak sebagai teller, kasir bahkan menafsir nasabah.

Berlantai bambu yang jika diinjak akan memunculkan bunyi kreot-kreot, dibalut karpet karet merah, sewarna dengan cat dinding luar, di ruangan yang sempit dan terasa gerah itu, sebuah computer lengkap dengan printernya, dua meja serta beberapa kursi plastik di tata secara konvensional demi memperkuat aksen.

Sebuah almari dan beberapa rak untuk menempatkan sejumlah dokumen tampaknya bukan sekedar ornament yang sengaja dimunculk an untuk menambah kesan keseriusan. Pernik-pernik itu benar-benar selalu terjamah dan selalu di-bongkar pasang menurut kebutuhan.

Kantor 'Tabungan Komunitas', sebuah harapan manis dari penduduk di sekitarnya. Meski tampang Unyil selalu kecut karena sering tak mandi, namun sosok pria mungil inilah yang acapkali dijadikan ujung tombak keluar-masuknya duit dari sekitar 10 komunitas pemulung dan pengamen jalanan. Berlokasi

tepat di belakang kompleks perumahan mewah Timoho ASRI Yogyakarta, dan dimotori oleh kelompok pembelajaran yang muncul di kalangan para pengamen Taabah, ketika launching pada bulan Desember 2007 lalu, wadah itu bernama Bank Komunitas. Sadar arti sebuah bank yang memerlukan syarat yang cukup rumit dan membutuhkan dana besar serta sumber daya manusia yang memadai, maka diubah menjadi Tabungan Komunitas. Bambang Sudiro, yang lebih akrab disapa Bembeng sebagai ketua Taabah, memulai bisnis perbankan dengan dibantu Tri Handayani yang dipercaya memegang atau mengaudit keuangan serta pengembangan program, juga Mamad yang dipercaya sebagai tim survey lapangan maupun data pinjaman.

Ditemui di 'kantor' Tabungan Komunitas, lelaki berdarah Aceh yang juga mantan pengamen dan pemulung ini mengungkapkan bahwa mereka bekerja hanya berdasarkan pengalaman di jalan. “Kami tak sedikitpun punya pengalaman di bidang perbankan,” ungkap Bembeng, yang kini tengah menyelesaikan studi hukum di Universitas Widya Mataram, Yogya. Sebetulnya, lanjut Bembeng, bisnis perbankan yang dikembangkan itu bermula dari arisan Ibu-

Bembeng mematok angka maksimal pinjaman sebesar Rp 3 juta dengan bunga 2 persen perbulan.

“Gak pake persyaratan khusus seperti harus punya KTP atau jaminan berupa barang. Hanya saja, setiap peminjam harus mendapat persetujuan dari ketua komunitas masing-masing, dan dilihat dari aktif atau tidaknya nasabah tersebut dalam menabung serta jumlah tabungan dari komunitas si peminjam,” papar Bembeng (32).

Jadi, lanjutnya, tidak ada kekuatiran kalau-kalau peminjam itu lari atau ngemplang, karena m e r e k a a k a n b e r h a d a p a n d e n g a n komunitasnya sendiri. “Kalau ngemplang, maka kami akan memotong tabungan komunitas si peminjam setiap bulannya hingga lunas,” ucap Bembeng yang mulai terjun sebagai pengamen jalanan di Yogya tahun 1997. Kesalahan? Benar, itu pasti terjadi. Suatu ketika, cerita lelaki berambut panjang dengan anting-anting di kedua telinganya, terjadi selisih Rp 2 ribu dalam tabungan salah satu nasabah.

“Seharian saya dan Ian (Tri Handayani-red) harus menelusuri semua berkas yang ada. Walhasil, ternyata Unyil salah memasukkan data ke tabungan orang lain,” ujar Bembeng. Ada lagi cerita yang cukup menggelitik. Pernah didapati dalam sebuah pembukuan, jumlah uang berlebih. Ternyata, sang kasir, Unyil, salah memasukkan jumlah. Seharusnya Rp 1.000 namun ditulis Rp 1 juta. Demikian pula pernah terjadi ada uang yang terselip entah ke mana. Sebagai akibatnya, Unyil yang harus mengganti. Sang k asir yang dibicarak an rupanya

menguping dan mengamini pernyataan Bembeng. “Pada awal saya bekerja, sering terjadi semacam itu. Ya saya harus tombok, gaji saya dipotong,” ujar Unyil sambil nyengir yang mengaku digaji Rp 600 ribu sebulan dari kerjanya sebagai kasir dari pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB.

Terbantu. Begitulah komentar dari salah satu nasabah 'Tabungan Komunitas'itu. Ny Supeni, penghuni Ledok Timoho. “Kami tak usah jauh-jauh untuk menabung. Cukup di kompleks. Dan saya juga bisa menabung meski hanya seribu rupiah saja,” ungkapnya. Ny Supeni yang hidup dari gaji suaminya di sebagai pegawai rendahan di sebuah kantor di bilangan Kotabaru Yogya, mengaku memang belum pernah mengajukan pinjaman ke 'Tabungan Komunitas' “Nanti saja akan saya ambil ketika anak saya masuk SMP, sekarang anak saya baru kelas III SD ” tuturnya. Lain halnya dengan Ny Sri Purwani (49), penduduk Ledok Timoho yang mengaku sebagai nasabah namun kurang aktif, meski kalau sekali nabung bisa Rp 100 ribu. “Cuma saya agak kesulitan untuk pinjam, karena saya tak aktif menabung,” ungkapnya. Padahal, sebagai pengepul barang rongsokan, ia setiap hari harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp 500 ribu untuk membayar para pemulung yang menyetorkan barang.

“Saya berharap nantinya saya bisa pinjam meski saya tak aktif,” katanya lagi. Soal yang ini Bembeng menyatakan tidak ada toleransi, sebab, yang diutamakan adalah kredit bagi para pemulung dan bukan untuk para pengepul. Missinya adalah untuk membudayakan tradisi menabung bagi rakyat kecil. “Dengan menabung, maka mereka bisa berhemat, Sebab, selama ini saya lihat mereka lebih konsumtif. Kemiskinan ini kan lebih banyak akibat pola konsumtif,” ujar Bembeng. • (FSE/YS)

Kalau ngemplang, maka kami akan

memotong tabungan komunitas si peminjam

setiap bulannya hingga lunas

Page 17: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

16 Komuniti 17 KomunitiK

om

bin

asi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |

Desem

ber

2008

ENABUNG dengan uang kricik, yang jumlahnya juga receh, barangkali Mhanya bisa dilakukan di satu tempat.

Sama sekali tidak mungkin menabung Rp 1.000 atau Rp 2.000 saban hari ke Bank konvensional.

Sebuah wadah diciptakan oleh komunitas jalanan. Wadah itu diberi nama Tabungan Komunitas. Isinya adalah duit-duit berbunyi kricik itu tadi dan nasabahnya pun terdiri dari para pemulung, orang pinggiran dan orang yang terpinggirkan alias orang-orang yang termarjinalkan.

Adalah sebuah ruang publik yang didirikan tepat di gerbang menuju 'sarang' pemulung di Ledok Timoho. Kain nama berwarna merah dengan tulisan bold ukuran 40 terpampang di dinding gédég menghadap barat.

Sesosok remaja berpenampilan apa adanya, dengan gaya rambut stock on you sibuk memasukkan data-data keuangan ke dalam buku selebar folio. Deret-deret nasabah, jumlah tabungan dan angka keluar-masuk uang, tertata rapi.

Sosok remaja yang juga adalah anggota masyarakat jalanan Tim Advokasi Arus Bawah

Tabungan Komunitas, Bank-nya Para Pemulung

ibu pemulung di komplek itu. Ia menilai, usaha ini bisa dikembangkan untuk mengangkat kesejahteraan para pemulung. Dengan modal awal hanya Rp. 3,4 juta yang berasal dari kas arisan itu, ditambah sumbangan dari beberapa pihak berupa komputer serta printer, maka usaha ini dijalankan.

Kini dana dari pihak ketiga di 'Tabungan Komunitas' itu telah mencapai puluhan juta rupiah dan bahkan mampu menyalurkan kredit usaha hingga lebih dari seratus juta rupiah, dengan laba yang berhasil direguk setiap bulannya mencapai Rp 1 juta yang hanya bisa untuk menutup biaya operasional serta membayar kasir. “Saya sendiri dan dua rekan lainnya tidak dibayar,” ujar Bembang jujur.

Tak ada persyaratan yang rumit untuk bisa menjadi anggota 'Tabungan Komunitas'. Cukup dengan Rp 3 ribu sebagai biaya pengganti buku tabungan dan biaya administrasi, setoran awal pun boleh hanya Rp 1000, dengan bunga sebesar 0,8 persen sebulan.

Dengan sedikit mengungkapkan rasa bangga, Bembeng mengatak an k a lau saat in i nasabahnya telah mencapai 300 orang. “Meningkat pesat dari waktu dibuka. Dulu baru 70 orang dan tahun depan kami targetkan 1.000 nasabah,” ujarnya antusias. Yang jelas, papar Bembeng, dirinya dan komunitas Taabah serta beberapa LSM pendiri 'Tabungan Komunitas' berhasrat agar rakyat yang menyandang identitas sebagai masyarakat arus bawah ini, tidak terkontaminasi Bank Plecit.

Mau pinjam dana ? Jelas pasti bisa, meski

(Taabah) itu bernama Mochamad Iqbal, alias Unyil yang mengaku sudah berumur 20 tahun.Di Bedeng berukuran 6 X 2,5 meter itu, Unyil bertindak sebagai teller, kasir bahkan menafsir nasabah.

Berlantai bambu yang jika diinjak akan memunculkan bunyi kreot-kreot, dibalut karpet karet merah, sewarna dengan cat dinding luar, di ruangan yang sempit dan terasa gerah itu, sebuah computer lengkap dengan printernya, dua meja serta beberapa kursi plastik di tata secara konvensional demi memperkuat aksen.

Sebuah almari dan beberapa rak untuk menempatkan sejumlah dokumen tampaknya bukan sekedar ornament yang sengaja dimunculk an untuk menambah kesan keseriusan. Pernik-pernik itu benar-benar selalu terjamah dan selalu di-bongkar pasang menurut kebutuhan.

Kantor 'Tabungan Komunitas', sebuah harapan manis dari penduduk di sekitarnya. Meski tampang Unyil selalu kecut karena sering tak mandi, namun sosok pria mungil inilah yang acapkali dijadikan ujung tombak keluar-masuknya duit dari sekitar 10 komunitas pemulung dan pengamen jalanan. Berlokasi

tepat di belakang kompleks perumahan mewah Timoho ASRI Yogyakarta, dan dimotori oleh kelompok pembelajaran yang muncul di kalangan para pengamen Taabah, ketika launching pada bulan Desember 2007 lalu, wadah itu bernama Bank Komunitas. Sadar arti sebuah bank yang memerlukan syarat yang cukup rumit dan membutuhkan dana besar serta sumber daya manusia yang memadai, maka diubah menjadi Tabungan Komunitas. Bambang Sudiro, yang lebih akrab disapa Bembeng sebagai ketua Taabah, memulai bisnis perbankan dengan dibantu Tri Handayani yang dipercaya memegang atau mengaudit keuangan serta pengembangan program, juga Mamad yang dipercaya sebagai tim survey lapangan maupun data pinjaman.

Ditemui di 'kantor' Tabungan Komunitas, lelaki berdarah Aceh yang juga mantan pengamen dan pemulung ini mengungkapkan bahwa mereka bekerja hanya berdasarkan pengalaman di jalan. “Kami tak sedikitpun punya pengalaman di bidang perbankan,” ungkap Bembeng, yang kini tengah menyelesaikan studi hukum di Universitas Widya Mataram, Yogya. Sebetulnya, lanjut Bembeng, bisnis perbankan yang dikembangkan itu bermula dari arisan Ibu-

Bembeng mematok angka maksimal pinjaman sebesar Rp 3 juta dengan bunga 2 persen perbulan.

“Gak pake persyaratan khusus seperti harus punya KTP atau jaminan berupa barang. Hanya saja, setiap peminjam harus mendapat persetujuan dari ketua komunitas masing-masing, dan dilihat dari aktif atau tidaknya nasabah tersebut dalam menabung serta jumlah tabungan dari komunitas si peminjam,” papar Bembeng (32).

Jadi, lanjutnya, tidak ada kekuatiran kalau-kalau peminjam itu lari atau ngemplang, karena m e r e k a a k a n b e r h a d a p a n d e n g a n komunitasnya sendiri. “Kalau ngemplang, maka kami akan memotong tabungan komunitas si peminjam setiap bulannya hingga lunas,” ucap Bembeng yang mulai terjun sebagai pengamen jalanan di Yogya tahun 1997. Kesalahan? Benar, itu pasti terjadi. Suatu ketika, cerita lelaki berambut panjang dengan anting-anting di kedua telinganya, terjadi selisih Rp 2 ribu dalam tabungan salah satu nasabah.

“Seharian saya dan Ian (Tri Handayani-red) harus menelusuri semua berkas yang ada. Walhasil, ternyata Unyil salah memasukkan data ke tabungan orang lain,” ujar Bembeng. Ada lagi cerita yang cukup menggelitik. Pernah didapati dalam sebuah pembukuan, jumlah uang berlebih. Ternyata, sang kasir, Unyil, salah memasukkan jumlah. Seharusnya Rp 1.000 namun ditulis Rp 1 juta. Demikian pula pernah terjadi ada uang yang terselip entah ke mana. Sebagai akibatnya, Unyil yang harus mengganti. Sang k asir yang dibicarak an rupanya

menguping dan mengamini pernyataan Bembeng. “Pada awal saya bekerja, sering terjadi semacam itu. Ya saya harus tombok, gaji saya dipotong,” ujar Unyil sambil nyengir yang mengaku digaji Rp 600 ribu sebulan dari kerjanya sebagai kasir dari pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB.

Terbantu. Begitulah komentar dari salah satu nasabah 'Tabungan Komunitas'itu. Ny Supeni, penghuni Ledok Timoho. “Kami tak usah jauh-jauh untuk menabung. Cukup di kompleks. Dan saya juga bisa menabung meski hanya seribu rupiah saja,” ungkapnya. Ny Supeni yang hidup dari gaji suaminya di sebagai pegawai rendahan di sebuah kantor di bilangan Kotabaru Yogya, mengaku memang belum pernah mengajukan pinjaman ke 'Tabungan Komunitas' “Nanti saja akan saya ambil ketika anak saya masuk SMP, sekarang anak saya baru kelas III SD ” tuturnya. Lain halnya dengan Ny Sri Purwani (49), penduduk Ledok Timoho yang mengaku sebagai nasabah namun kurang aktif, meski kalau sekali nabung bisa Rp 100 ribu. “Cuma saya agak kesulitan untuk pinjam, karena saya tak aktif menabung,” ungkapnya. Padahal, sebagai pengepul barang rongsokan, ia setiap hari harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp 500 ribu untuk membayar para pemulung yang menyetorkan barang.

“Saya berharap nantinya saya bisa pinjam meski saya tak aktif,” katanya lagi. Soal yang ini Bembeng menyatakan tidak ada toleransi, sebab, yang diutamakan adalah kredit bagi para pemulung dan bukan untuk para pengepul. Missinya adalah untuk membudayakan tradisi menabung bagi rakyat kecil. “Dengan menabung, maka mereka bisa berhemat, Sebab, selama ini saya lihat mereka lebih konsumtif. Kemiskinan ini kan lebih banyak akibat pola konsumtif,” ujar Bembeng. • (FSE/YS)

Kalau ngemplang, maka kami akan

memotong tabungan komunitas si peminjam

setiap bulannya hingga lunas

Page 18: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

18 Komuniti 19 Komuniti

Ko

mb

inasi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |D

esem

ber

2008

Cinangsi, desa di puncak bukit Cinangsi adalah salah satu desa di Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap. Dengan kontur wilayah perbukitan, sebagian besar warga bermatapencaharian petani, perajin gula kelapa, budidaya bunga dan penggergajian kayu. Para petani Cinangsi menanam ketela pohon, jagung, kacang-kacangan, dan palawija lainnya di lereng-lereng bukit. Selain itu, ada warga yang menjadi pedagang yang membuka warung di sepanjang jalan raya yang membelah desa.

Desa Cinangsi termasuk daerah pinggiran. Untuk menuju kota kabupaten, warga harus menempuh perjalanan selama 2,5 jam dan mengeluarkan ongkos pergi-pulang sekitar lima puluh ribu rupiah. Meski fasilitas listrik telah memasuki desa ini, tapi setelah pukul 21.00 suasana sangat sepi karena banyak pemuda desa yang pergi ke luar daerah. Setamat SLTA atau ada yang hanya setingkat SLTP, pemuda desa langsung mengadu nasib di kota besar, seperti Purwokerto, Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Surabaya. Begitu besarnya arus urbanisasi menyebabkan desa hanya dihuni oleh anak-anak dan orang dewasa. Pemuda yang tertinggal umumnya pengangguran atau membantu usaha yang dikembangkan orang tuanya.

Menjadi buruh di kota bukan satu-satunya pilihan pemuda. Kini, bekerja di luar negeri menjadi harapan sebagian besar warga. Meski berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (house keeper), tetapi pilihan ini memberikan solusi perbaikan ekonomi warga. migran. Meski cerita kegagalan banyak dialami, seperti korban penipuan dan kekerasan majikan, jumlah warga yang menjadi TKI terus meningkat.

Kondisi Desa Cinangsi di atas, turut melatarbelakangi lahirnya Lembaga Ekonomi Sentra Ekonomi Masyarakat Ilalang, disingkat LE Semerlang. Lembaga ini berdiri pada 7 Maret 2007, dipelopori oleh para pemuda di Desa Cinangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan dan memberdayakan sentra-sentra ekonomi yang berbasis sumber daya desa.

Ahmad Fadli, Direktur LE Semerlang, mengatakan angka pengangguran usia produktif di desanya terus meningkat. Sebagian besar mereka memiliki latar pendidikan yang lumayan, yaitu sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Karena itu, ia mengambil inisiatif untuk membuat lapangan kerja baru yang berfungsi ganda, menampung tenaga kerja usia produktif dan merangsang pertumbuhan ekonomi desa yang mandiri.

Tumbuhkan Unit Produksi dan Kuasai Pasar LokalBelajar dari pengalaman lembaga lain di berbagai daerah, LE Semerlang tidak memulai dengan membuat unit produksi. Mereka mempelajari seluk-beluk pemasaran, baik pasar desa maupun kecamatan. Lalu, mereka membentuk tim kecil yang bertugas melakukan survei pasar di Pasar Desa Cinangsi. Fadli, yang sehari-harinya bergerak di usaha ritel, menjadi ketua

Semerlang dan Pengetahuan LokalSelain pendampingan sektor ekonomi produktif, LE Semerlang juga menggarap pemetaan ekonomi desa. Mereka menggandeng Lembaga Pemberdayaan dan Pembangunan Masyarakat Desa (LPPMD) Desa Cinangsi untuk membuat dokumentasi potensi ekonomi desa lewat program Mengenal Desa Sendiri (MDS), y a n g d i w u j u d k a n l e w a t pembuatan film berdurasi s e k i t a r 2 0 m e n i t . Sambutan meriah dari w a r g a t a m p a k s a a t pemutaran film itu di Balai Desa Cinangsi.

Pertengahan tahun 2008, LE S e m e r l a n g m e n g e m b a n g k a n aktivitas tukar-menukar informasi melalui metode jurna l i sme warga (c i t i zen journalism). Tujuannya untuk mengeksplorasi pengetahuan dan kearifan lokal di desa. Para pemuda dilatih menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya sebagai upaya melatih kepekaan mereka pada situasi dan kondisi lokal. Lewat jurnalisme warga, warga lebih mengetahui kekuatan daerah send i r i dan memula i komunikasi yang lebih cerdas dengan warga lainnya. Melalui situs suarakomunitas.com sebagai saluran informasi akar rumput. Warga memublikasikan peristiwa di sekitar mereka menjadi berita menarik. B e r i t a i t u m e n j a d i m e d i a pengarusutamaan gagasan dan kearifan lokal. Akhirnya, ide-ide kreatif warga pun menjadi sumber pengetahuan lokal.

Produk jurnalisme warga menjadi alternatif bacaan di tengah arus besar informasi media massa yang hanya dikuasai oleh pemodal besar. Selain mampu memberi informasi dari sudut pandang lokal, jurnalisme warga dengan m e d i a p u b l i k a s i n y a , m e m b e r i kesempatan yang sama kepada warga untuk bisa mempromosikan jasa dan hasil produksi.

Lewati Tantangan dan Halangan Prestasi yang diraih LE Semerlang bukan tanpa tantangan dan halangan. Tak sedikit kegagalan yang sempat mereka rasakan. Masalah berasal dari warga sendiri maupun dari pihak pemerintah. Tantangan pertama adalah pola pikir warga. Umumnya, warga enggan mengikuti perkembangan pasar. Unit produksi yang dimiliki warga biasanya turun-temurun atau meniru usaha orang lain yang sukses. Karena itu, ide membangun unit produksi yang berbasis pasar sulit diterima.

Sebagai contoh, saat LE Semerlang melakukan survei pasar sempat menjadi bahan tertawaan. Ada yang berceloteh sok terpelajar, sok intelek,

tim. Hasil survei tersebut digunakan sebagai landasan pembuatan program kerja dan aktivitas yang akan dilakukan. Selanjutnya LE Semerlang memfasilitasi kelompok pemuda di belakang Balai Desa Cinangsi untuk membudidayakan jamur tiram.

Sebenarnya produksi jamur tiram telah dimulai selama tiga tahunan. Tapi karena beberapa kendala, mereka berhenti produksi. Lalu, LE Semerlang menghidupkannya kembali. Pengelolaannya dilakukan oleh sebuah tim yang beranggotakan lima pemuda. Modal awal berasal dari patungan anggota, sementara itu LE Semerlang bertugas sebagai lembaga pemasaran.

Setelah satu tahun berdiri, unit produksi jamur tiram menjadi tumpuan pencaharian lima pemuda. Setiap hari mereka bisa memanen jamur 5-10 kilogram dengan harga jual Rp 10.000,- per kilogram. Pemasaran jamur relatif mudah, mereka cukup menitipkankan pada pedagang sayur di pasar desa. Apresiasi konsumen juga tinggi sehingga jamur selalu ludes terjual. Meskipun dengan modal yang sangat terbatas, unit produksi jamur bisa memperoleh pemasukan antara 2-3 juta rupiah per bulan.

Kemudahan usaha produksi jamur tiram adalah semua bahan bakunya dapat diperoleh di Desa Cinangsi. Mereka tidak terpengaruh dengan situasi perekonomian makro sebab mampu memutus ketergantungan pada bahan pabrikan. Mereka menjaga jumlah produksi agar tidak melebihi daya tampung pasar yang ada. Harga jual jamur pun menjadi stabil.

Saat ini, LE Semerlang akan memasarkan produk-produk industri rumah tangga seperti tempe dages, kripik singkong, sale pisang, lanting, dan aneka makanan ringan lainnya. Perlahan namun pasti, Pasar Desa Cinangsi akan menjadi etalase produk lokal. Pada akhirnya, seperti kata Soekarno, prinsip berdikari akan terwujud. Warga desa mampu membangun kekuatan ekonomi secara mandiri.

Meskipun LE Semerlang baru mengelola unit usaha kecil, tetapi kegiatan mereka menginspirasi warga lainnya untuk melakukan hal serupa. LE Semerlang juga melakukan pendampingan kelompok-kelompok ekonomi mikro di delapan desa, antara lain usaha ternak kambing dan perajin rotan di Kecamatan Karangpucung, petani karet di Kecamatan Wanareja, peternak lele di Kecamatan Cipari, dan pendampingan pedagang kecil di Kecamatan Nusawungu dan Kesugihan.

Prestasi unit usaha jamur di Desa Cinangsi diakui secara luas. Terbukti pada akhir tahun 2007, LE Semerlang menyabet peringkat satu lomba kelompok pemuda pelopor wirausaha yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Cilacap. Mereka berhak mewakili Kabupaten Cilacap untuk mengikuti lomba di tingkat Provinsi Jawa Tengah.

dan sebagainya. Padahal survei pasar sangat diperlukan sebelum memproduksi barang dan jasa. Warga baru

menerima konsep tersebut setelah LE Semerlang dapat membuktikan kesuksesannya dalam membangun unit produksi jamur tiram.

Kedua, pemerintah desa kurang mendukung akses modal bagi kegiatan ekonomi

warga. Saat musyawarah pembangunan masyarakat desa (Musrenbangdes) misalnya, pemberdayaan

unit usaha warga kurang m e n d a p a t t a n g g a p a n .

Pemerintah desa (kepala desa dan perangk at desa) mas ih

beranggapan pembangunan selalu berwujud fisik seperti jembatan, jalan, dan

gedung. Contoh lain, hasil pemetaan ekonomi desa lewat program MDS tidak menjadi dasar pembuatan Rencana

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes).

Peluang pasar bagi produk-produk w a r g a s e b e n a r n y a s a n g a t

menjanjikan. Selama ini, pasar desa masih dikuasai oleh pemain lokal sehingga produk-produk industr i rumah tangga setempat bisa dipasarkan. Sementara itu,

p a s a r k e c a m a t a n te l a h dikuasai oleh pemodal besar

dan jaringan waralaba yang memasarkan produk-produk

pabrikan dan barang impor. Pasar kecamatan menjadi sulit diakses

karena dikuasai oleh industri besar. Akhirnya, produk-produk warga

menjadi terpinggirkan.

Pemerintah seharusnya mengambil kebijakan yang lebih memihak warga dengan membuka akses pasar bagi produk lokal. Bila

ekonomi desa kuat maka ekonomi kerakyatan akan tercipta dengan sendirinya. Tumbuhnya perekonomian kerakyatan akan mengurangi arus urbanisasi. Toh, sumber pendapatan ada di daerah mereka sendiri.

Potensi ekonomi desa memberi peluang terbukanya lapangan kerja bagi warga. Revitalisasi desa harus menjadi landasan kebijakan pemerintah. Desa, jauh pada asalnya merupakan daerah otonom dan bahkan ada lebih dahulu dari negara ini. Setiap warga negara berasal dari desa. Desa tidaklah lagi pantas menjadi pinggiran, tapi menjadi pilar perekonomian negara. •

LE Semerlang: Plasma Ekonomi di Puncak Bukit

Rushdiiana SholihahJurnaliswarga Kecamatan Kroya

Page 19: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

18 Komuniti 19 KomunitiK

om

bin

asi | K

om

unita

s M

em

bang

un Ja

ring

an In

form

asi | E

dis

i ke 2

8 | D

esem

ber 2

008

Ko

mb

inasi |

Ko

munitas M

em

bang

un J

aring

an Info

rmasi |

Ed

isi k

e 2

8 |D

esem

ber

2008

Cinangsi, desa di puncak bukit Cinangsi adalah salah satu desa di Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap. Dengan kontur wilayah perbukitan, sebagian besar warga bermatapencaharian petani, perajin gula kelapa, budidaya bunga dan penggergajian kayu. Para petani Cinangsi menanam ketela pohon, jagung, kacang-kacangan, dan palawija lainnya di lereng-lereng bukit. Selain itu, ada warga yang menjadi pedagang yang membuka warung di sepanjang jalan raya yang membelah desa.

Desa Cinangsi termasuk daerah pinggiran. Untuk menuju kota kabupaten, warga harus menempuh perjalanan selama 2,5 jam dan mengeluarkan ongkos pergi-pulang sekitar lima puluh ribu rupiah. Meski fasilitas listrik telah memasuki desa ini, tapi setelah pukul 21.00 suasana sangat sepi karena banyak pemuda desa yang pergi ke luar daerah. Setamat SLTA atau ada yang hanya setingkat SLTP, pemuda desa langsung mengadu nasib di kota besar, seperti Purwokerto, Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Surabaya. Begitu besarnya arus urbanisasi menyebabkan desa hanya dihuni oleh anak-anak dan orang dewasa. Pemuda yang tertinggal umumnya pengangguran atau membantu usaha yang dikembangkan orang tuanya.

Menjadi buruh di kota bukan satu-satunya pilihan pemuda. Kini, bekerja di luar negeri menjadi harapan sebagian besar warga. Meski berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (house keeper), tetapi pilihan ini memberikan solusi perbaikan ekonomi warga. migran. Meski cerita kegagalan banyak dialami, seperti korban penipuan dan kekerasan majikan, jumlah warga yang menjadi TKI terus meningkat.

Kondisi Desa Cinangsi di atas, turut melatarbelakangi lahirnya Lembaga Ekonomi Sentra Ekonomi Masyarakat Ilalang, disingkat LE Semerlang. Lembaga ini berdiri pada 7 Maret 2007, dipelopori oleh para pemuda di Desa Cinangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan dan memberdayakan sentra-sentra ekonomi yang berbasis sumber daya desa.

Ahmad Fadli, Direktur LE Semerlang, mengatakan angka pengangguran usia produktif di desanya terus meningkat. Sebagian besar mereka memiliki latar pendidikan yang lumayan, yaitu sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Karena itu, ia mengambil inisiatif untuk membuat lapangan kerja baru yang berfungsi ganda, menampung tenaga kerja usia produktif dan merangsang pertumbuhan ekonomi desa yang mandiri.

Tumbuhkan Unit Produksi dan Kuasai Pasar LokalBelajar dari pengalaman lembaga lain di berbagai daerah, LE Semerlang tidak memulai dengan membuat unit produksi. Mereka mempelajari seluk-beluk pemasaran, baik pasar desa maupun kecamatan. Lalu, mereka membentuk tim kecil yang bertugas melakukan survei pasar di Pasar Desa Cinangsi. Fadli, yang sehari-harinya bergerak di usaha ritel, menjadi ketua

Semerlang dan Pengetahuan LokalSelain pendampingan sektor ekonomi produktif, LE Semerlang juga menggarap pemetaan ekonomi desa. Mereka menggandeng Lembaga Pemberdayaan dan Pembangunan Masyarakat Desa (LPPMD) Desa Cinangsi untuk membuat dokumentasi potensi ekonomi desa lewat program Mengenal Desa Sendiri (MDS), y a n g d i w u j u d k a n l e w a t pembuatan film berdurasi s e k i t a r 2 0 m e n i t . Sambutan meriah dari w a r g a t a m p a k s a a t pemutaran film itu di Balai Desa Cinangsi.

Pertengahan tahun 2008, LE S e m e r l a n g m e n g e m b a n g k a n aktivitas tukar-menukar informasi melalui metode jurna l i sme warga (c i t i zen journalism). Tujuannya untuk mengeksplorasi pengetahuan dan kearifan lokal di desa. Para pemuda dilatih menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya sebagai upaya melatih kepekaan mereka pada situasi dan kondisi lokal. Lewat jurnalisme warga, warga lebih mengetahui kekuatan daerah send i r i dan memula i komunikasi yang lebih cerdas dengan warga lainnya. Melalui situs suarakomunitas.com sebagai saluran informasi akar rumput. Warga memublikasikan peristiwa di sekitar mereka menjadi berita menarik. B e r i t a i t u m e n j a d i m e d i a pengarusutamaan gagasan dan kearifan lokal. Akhirnya, ide-ide kreatif warga pun menjadi sumber pengetahuan lokal.

Produk jurnalisme warga menjadi alternatif bacaan di tengah arus besar informasi media massa yang hanya dikuasai oleh pemodal besar. Selain mampu memberi informasi dari sudut pandang lokal, jurnalisme warga dengan m e d i a p u b l i k a s i n y a , m e m b e r i kesempatan yang sama kepada warga untuk bisa mempromosikan jasa dan hasil produksi.

Lewati Tantangan dan Halangan Prestasi yang diraih LE Semerlang bukan tanpa tantangan dan halangan. Tak sedikit kegagalan yang sempat mereka rasakan. Masalah berasal dari warga sendiri maupun dari pihak pemerintah. Tantangan pertama adalah pola pikir warga. Umumnya, warga enggan mengikuti perkembangan pasar. Unit produksi yang dimiliki warga biasanya turun-temurun atau meniru usaha orang lain yang sukses. Karena itu, ide membangun unit produksi yang berbasis pasar sulit diterima.

Sebagai contoh, saat LE Semerlang melakukan survei pasar sempat menjadi bahan tertawaan. Ada yang berceloteh sok terpelajar, sok intelek,

tim. Hasil survei tersebut digunakan sebagai landasan pembuatan program kerja dan aktivitas yang akan dilakukan. Selanjutnya LE Semerlang memfasilitasi kelompok pemuda di belakang Balai Desa Cinangsi untuk membudidayakan jamur tiram.

Sebenarnya produksi jamur tiram telah dimulai selama tiga tahunan. Tapi karena beberapa kendala, mereka berhenti produksi. Lalu, LE Semerlang menghidupkannya kembali. Pengelolaannya dilakukan oleh sebuah tim yang beranggotakan lima pemuda. Modal awal berasal dari patungan anggota, sementara itu LE Semerlang bertugas sebagai lembaga pemasaran.

Setelah satu tahun berdiri, unit produksi jamur tiram menjadi tumpuan pencaharian lima pemuda. Setiap hari mereka bisa memanen jamur 5-10 kilogram dengan harga jual Rp 10.000,- per kilogram. Pemasaran jamur relatif mudah, mereka cukup menitipkankan pada pedagang sayur di pasar desa. Apresiasi konsumen juga tinggi sehingga jamur selalu ludes terjual. Meskipun dengan modal yang sangat terbatas, unit produksi jamur bisa memperoleh pemasukan antara 2-3 juta rupiah per bulan.

Kemudahan usaha produksi jamur tiram adalah semua bahan bakunya dapat diperoleh di Desa Cinangsi. Mereka tidak terpengaruh dengan situasi perekonomian makro sebab mampu memutus ketergantungan pada bahan pabrikan. Mereka menjaga jumlah produksi agar tidak melebihi daya tampung pasar yang ada. Harga jual jamur pun menjadi stabil.

Saat ini, LE Semerlang akan memasarkan produk-produk industri rumah tangga seperti tempe dages, kripik singkong, sale pisang, lanting, dan aneka makanan ringan lainnya. Perlahan namun pasti, Pasar Desa Cinangsi akan menjadi etalase produk lokal. Pada akhirnya, seperti kata Soekarno, prinsip berdikari akan terwujud. Warga desa mampu membangun kekuatan ekonomi secara mandiri.

Meskipun LE Semerlang baru mengelola unit usaha kecil, tetapi kegiatan mereka menginspirasi warga lainnya untuk melakukan hal serupa. LE Semerlang juga melakukan pendampingan kelompok-kelompok ekonomi mikro di delapan desa, antara lain usaha ternak kambing dan perajin rotan di Kecamatan Karangpucung, petani karet di Kecamatan Wanareja, peternak lele di Kecamatan Cipari, dan pendampingan pedagang kecil di Kecamatan Nusawungu dan Kesugihan.

Prestasi unit usaha jamur di Desa Cinangsi diakui secara luas. Terbukti pada akhir tahun 2007, LE Semerlang menyabet peringkat satu lomba kelompok pemuda pelopor wirausaha yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Cilacap. Mereka berhak mewakili Kabupaten Cilacap untuk mengikuti lomba di tingkat Provinsi Jawa Tengah.

dan sebagainya. Padahal survei pasar sangat diperlukan sebelum memproduksi barang dan jasa. Warga baru

menerima konsep tersebut setelah LE Semerlang dapat membuktikan kesuksesannya dalam membangun unit produksi jamur tiram.

Kedua, pemerintah desa kurang mendukung akses modal bagi kegiatan ekonomi

warga. Saat musyawarah pembangunan masyarakat desa (Musrenbangdes) misalnya, pemberdayaan

unit usaha warga kurang m e n d a p a t t a n g g a p a n .

Pemerintah desa (kepala desa dan perangk at desa) mas ih

beranggapan pembangunan selalu berwujud fisik seperti jembatan, jalan, dan

gedung. Contoh lain, hasil pemetaan ekonomi desa lewat program MDS tidak menjadi dasar pembuatan Rencana

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes).

Peluang pasar bagi produk-produk w a r g a s e b e n a r n y a s a n g a t

menjanjikan. Selama ini, pasar desa masih dikuasai oleh pemain lokal sehingga produk-produk industr i rumah tangga setempat bisa dipasarkan. Sementara itu,

p a s a r k e c a m a t a n te l a h dikuasai oleh pemodal besar

dan jaringan waralaba yang memasarkan produk-produk

pabrikan dan barang impor. Pasar kecamatan menjadi sulit diakses

karena dikuasai oleh industri besar. Akhirnya, produk-produk warga

menjadi terpinggirkan.

Pemerintah seharusnya mengambil kebijakan yang lebih memihak warga dengan membuka akses pasar bagi produk lokal. Bila

ekonomi desa kuat maka ekonomi kerakyatan akan tercipta dengan sendirinya. Tumbuhnya perekonomian kerakyatan akan mengurangi arus urbanisasi. Toh, sumber pendapatan ada di daerah mereka sendiri.

Potensi ekonomi desa memberi peluang terbukanya lapangan kerja bagi warga. Revitalisasi desa harus menjadi landasan kebijakan pemerintah. Desa, jauh pada asalnya merupakan daerah otonom dan bahkan ada lebih dahulu dari negara ini. Setiap warga negara berasal dari desa. Desa tidaklah lagi pantas menjadi pinggiran, tapi menjadi pilar perekonomian negara. •

LE Semerlang: Plasma Ekonomi di Puncak Bukit

Rushdiiana SholihahJurnaliswarga Kecamatan Kroya

Page 20: Kombinasi Edisi 28 Desember 2008

Ibu: Bagaimana Pak, apakah sudah mendapat utangan?Bapak: Utangan gimana? Semua juga lagi pada butuh uang

Ibu: Tapi besok sudah harus bayar seragam, tambah beli buku pelajaran Pak!Bapak: O...walah...sekolah kok mahal sekali biayanyaanak: Kalau belum bayar, aku tidak mau berangkat!

Bapak: wah, gimana yah?

Bapak: Ya sudah, besok TVnya dibungkus, tambah 2 kainmu!Ibu: Mau dibuat apa Pak?

Bapak: Di"sekolahan" sekalian, tapi di pegadaian Besoknya, televisinya di bawa ke pegadaian. Di"sekolah"kan bersama-sama anaknya, Si Jambul.......

SEMUANYA SEKOLAH

ng

eru

mp

i