Jurnal Otoritas Vol.1 April 2011

download Jurnal Otoritas Vol.1 April 2011

of 84

description

Vol.1 No.1 April 2011Vol.1 No.1 April 2011Vol.1 No.1 April 2011 Vol.1 No.1 April 2011DEWAN REDAKSIPenerbit : Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Penanggung Jawab : Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah MakassarISSN 2088 3706Mitra Bestari : Dr. A. Syamsu Alam, M.Si Dr. A. Mappamadeng Dewang, M.Si Pemimpin Redaksi : Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si Redaktur Pel

Transcript of Jurnal Otoritas Vol.1 April 2011

Vol.1 No.1 April 2011

Vol.1 No.1 April 2011

Vol.1 No.1 April 2011 Vol.1 No.1 April 2011DEWAN REDAKSIPenerbit : Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Penanggung Jawab : Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

ISSN 2088 3706

Mitra Bestari : Dr. A. Syamsu Alam, M.Si Dr. A. Mappamadeng Dewang, M.Si Pemimpin Redaksi : Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si Redaktur Pelaksana : Dr. Jaelan Usman, M.Si Andi Nuraeni Aksa, SH, MH Drs. Alimuddin Said, M.Pd Rudi Hardi, S.Sos, M.Si Bidang Usaha : Ihyani Malik, S.Sos, M.Si Design Grafis : Andi Maddukelleng, S.IP Percetakan : Hardiansyah, S.Sos Distribusi : Jusri Adi, S.IP Percetakan CV. Adi Perkasa Jl.Talasalapang Ruko BPH Makassar Alamat Redaksi : Gedung F1 Lt.1 Pusat Perkantoran FISIP Unismuh Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 866972 ext. 107 Fax. 0411 865588 Email: [email protected] Email: [email protected]

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal (Andi Luhur Prianto)...................................................Hal. 01 - 10 Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di Kota Makassar (Muhlis Madani).............................................................Hal. 11 - 24 Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik melalui Peningkatan Rasio Pendidik (Nuryanti Mustari)........................................................Hal. 25 - 41 Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal (Jaelan Usman)...............................................................Hal. 42 - 51 Persepsi Masyarakat terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare (Rudi Hardi)....................................................................Hal. 52 - 60 Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Ronawaty Anasiru)......................................................Hal. 61 - 65 Manajemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik (Lukman Hakim)............................................................Hal. 66 - 72 Kebijakan Sertifikasi Guru : Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru (Ihyani Malik)..................................................................Hal. 73 - 77Redaksi Jurnal OTORITAS menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syarat, format, dan tata tulis artikel dapat dilihat pada Petunjuk Penulisan Jurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS dilembaran belakang Jurnal ini. Artikel yang masuk ditelaah penyunting ahli untuk dinilai kelayakannya. Penyunting dapat memodifikasi artikel untuk keseragaman format, istilah dan kepentingan teknis lainnya tanpa merubah substansi artikel.

Vol.1 No.1 April 2011

GOOD GOVERNANCE DAN FORMASI KEBIJAKAN PUBLIK NEO-LIBERALAndi Luhur PriantoFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 866972 ext. 107 Fax. 0411 865588

ABSTRAK

S

ejak kurun waktu beberapa tahun terakhir, diskursus good governance telah menjajah wacana publik dalam reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Tulisan ini bermaksud mendekonstruksi diskursus good governance itu sendiri, apa sesungguhnya yang keliru atau bahkan mungkin apa yang latah diucapkan soal good governance. Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan masuknya gagasan neo-liberal dalam imajinasi perubahan politik, ekonomi dan sosial yang digelindingkan di masa-masa akhir kepemimpinan Soeharto di awal 1990-an. Sebagaimana akan ditunjukkan dalam tulisan ini, gerakan yang berlabel governance ini justru semakin menjauh dari semangat governance yang sebenarnya. Secara singkat, gerakan good governance di Indonesia justru melenceng dari semangat governance yang mengedepankan akomodasi, kooperasi dan sinegi dalam kesetaraan antar pelaku. Hal ini membawa proses marginalisasi kebijakan ekonomi, sosial, kultural dan juga politik yang sejalan dengan nilai-nilai neo-liberal. Kata kunci : good governance, kebijakan publik dan neo liberal

A. PENDAHULUAN Beberapa tahun terakhir ini, terminologi good governance telah melanda seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok nusantara. Slogan reformasi politik yang pernah sangat populer dan berenergi di tahun 1998-1999, ternyata tidak berusia terlalu lama, dan kemudian tidak banyak lagi digunakan. Namun, wacana good governance bisa tetap bertahan sekarang ini, dan seakan-akan menjadi simbol dari masuknya Indonesia dalam standar kehidupan global. Masyarakat desa yang tidak berbahasa Inggris pun bisa fasih untuk melafalkan good governance. Dengan mudah kita menyaksikan atau mendengar dari dekat bahasa santun nan elok good governance, tetapi dengan sangat gampang pula di sekitar kita terlihat centang perenang terjadi korupsi sistematik, legalisasi 1

Vol.1 No.1 April 2011 suap antar lembaga kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan imperial lainnya. Sepertinya, beda tipis antara apa yang disebut dengan good (baik) dengan bad (buruk) atau poor (miskin) dalam tata kelola pemerintahan, karena keduanya berjalan seiring bak lintasan rel kereta yang didisain kuat menancap dengan bantalan teori dan mistifikasi kekuasaan, yang keluar masuk stasiun mengangkut (baca: memperdagangkan) penumpang sebanyak-banyaknya. Persis seperti good governance yang diinjeksikan dari negara satu ke negara lain yang menebarkan pengaruh tentang kebenaran absolut dalam pengelolaan administrasi dan manajemen publik (Wiratraman, 2008). Dalam konteks Indonesia yang bergeliat dengan tuntutan reformasi, good governance tampil sebagai model transplantatif baru yang diyakini mampu mengobati birokrasi politik yang dinilai sarat korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasan, termasuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia. Aparat birokrasi negara, dari Presiden di pucuk pimpinan negara hingga pemerintahan paling bawah, seragam mendendangkan good governance. Di level aktor-aktor non-negara pun tidak kalah, agenda organisasi nonpemerintah pun bicara banyak soal good governance, dan menjadikannya program kerja yang signifikan pada pasca 1998. Tidak begitu mengherankan program-program antikorupsi, pengawasan terhadap pemerintah maupun otonomi daerah, pengawasan peradilan, dan lain sebagainya. Begitupun para akademisi, lembaga ataupun negara donor, dan aktor-aktor lainnya berbincang hal yang sama soal pentingnya good governance. Uniknya, lebih dari satu dekade reformasi berjalan sejak 1998, korupsi bukannya berkurang melainkan semakin menggurita. Birokrasi publik masih belum banyak berubah, dari mentalitas pelayanan yang buruk dan inefisien, praktek suap menyuap masih subur, dan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia masih banyak terjadi. Intinya, negara yang korup masih belum bisa teratasi dengan good governance. Tulisan berikut hendak mendekonstruksi diskursus good governance itu sendiri, apa sesungguhnya yang keliru atau bahkan mungkin apa yang latah diucapkan soal good governance. Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan masuknya gagasan neo-liberal dalam imajinasi perubahan politik, ekonomi dan sosial yang digelindingkan di masa-masa akhir kepemimpinan Suharto di awal 1990-an. Sebagaimana akan ditunjukkan dalam tulisan ini, gerakan yang berlabel governance ini justru semakin menjauh dari semangat governance yang sebenarnya. Secara singkat, gerakan good governance di Indonesia justru melenceng dari semangat governance yang mengedepankan akomodasi, kooperasi dan sinergi dalam kesetaraan antar pelaku. Hal ini membawa proses marginalisasi ekonomi, sosial, kultural dan juga politik yang berkepanjangan. Oleh karena itu, di akhir tulisan ini berusaha dilontarkan gagasan untuk mengembangkan pola governance yang lebih demokratis dan berkeadilan. B. GOOD GOVERNANCE : LATAR BELAKANG & SEJARAH PERKEMBANGAN Sejak akhir tahun 1980-an, istilah governance mulai digunakan untuk pengertian yang berbeda. Tatkala istilah governance dipopulerkan, perubahan penggunaan istilah dari government ke governance lebih dimaksudkan untuk menunjukkan perlunya gelombang baru reformasi pemerintahan. Istilah government reform, democracy dan sejenisnya, dianggap telah mengalami inflasi dan tidak mampu menarik perhatian untuk menggerakkan semangat reform. Oleh karena itu, diperlukan kemasan baru baru government reform kali ini adalah berbeda dengan reform yang ada sebelumnya. Menurut Rhodes (Pratikno, 2005) Penggunaan istilah governance digunakan untuk menegaskan perlunya arah dan semangat baru reformasi pemerintahan. Istilah governance telah digunakan untuk menegaskan signifikansi perlunya perubahan proses, metode dan capaian kepemerintahan. Penggunaan istilah governance sebagai konsep yang berbeda dengan government, mulai dipopulerkan secara efektif oleh Bank Dunia sejak tahun 1989. Dalam laporannya yang sangat terkenal yang berjudul Sub2

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Vol.1 No.1 April 2011 Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth. Dalam laporan ini, Bank Dunia (1989) mendefinisikan governance sebagai exercise of political power to manage nation. Selanjutnya, laporan ini menekankan bahwa legitimasi politik dan konsensus merupakan prasyarat bagi pembangunan berkelanjutan. Aktor negara (pemerintah), bisnis dan civil society harus bersinergi membangun konsensus, dan peran negara tidak lagi bersifat regulatif, tetapi hanya sebatas fasilitatif. Oleh karena itu, Abrahamsen (Wiratraman, 2007) legitimasi politik dan konsensus yang menjadi pilar utama bagi Good Governance versi Bank Dunia ini hanya bisa dibangun dengan melibatkan aktor non-negara yang seluas-luasnya dan melimitasi keterlibatan negara (pemerintah). Dengan merujuk pada kasus Afrika, argumen di seluruh laporan ini menekankan pemerintah adalah sumber kegagalan pembangunan. Oleh karena itu, untuk membangun kepemerintahan yang baik, maka pemerintah harus dikurangi (less government). Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber dari ke-pemerintahan yang buruk (bad governance). Kepemerintahan yang buruk ini, dalam operasionalisasi Bank Dunia (Weiss 2000: 801) adalah pemerintahan yang tidak representatif serta sistem non-pasar yang tidak efisien, yang dalam prakteknya menjadi sumber kegagalan pembangunan di Afrika (Pratikno, 2005). Sejak saat itulah awal mula gelombang penyuntikan dalam upaya memberantas penyakit di dunia ketiga dilakukan, dengan cara mewajibkan sejumlah persyaratanpersyaratan dari Bank Dunia (yang kemudian diikuti oleh lembaga dan negara donor lainnya). Krisis di Afrika telah membawa pesan yang jelas dalam memperkenalkan sebuah konsep baru untuk melawan apa yang diidentifikasi Bank Dunia sebagai sebuah crisis of governance atau bad governance (World Bank 1992). Tentu, dalam menyuntikkan ide-ide governance semacam itu, telah diusung pula diskursus sebagai pemanis agar bisa diterima dan terlegitimasi oleh kekuasaan diktatorial yang memang banyak berkuasa saat itu. Diskursus pemanis itu adalah promosi demokrasi yang memperkuat good governance baik sebagai tujuan maupun sebuah persyaratan kerjasama pembangunan. Wacana yang diinisiasi oleh Bank Dunia ini terus menggelinding, yang kemudian membuat good governance menjadi slogan yang populer, termasuk di Indonesia. Ide utama yang melihat pemerintah sebagai sumber masalah daripada sebagai solusi ini terus merambah, dan melahirkan pendefinisian governance yang lebih menekankan pada peran aktor-aktor di luar pemerintah (Wiratraman, 2007). C. TINJAUAN KONSEP GOOD GOVERNANCE Konsep governance menurut Stoker (Kurniawan, 2006) pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur. Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan Negara-negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu yang menyangkut empati dan persanaan dari publik untuk terlibat, sehingga memberikan kesempatan untuk mobilisasi sosial dan politik. Pemerintah akan memilki peran yang penting dalam menciptakan lingkungan politik pemerintahan yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik (Rakhmat, 2009). Dalam perspektif Bank Dunia (Wiratraman, 2008), governance diartikan sebagai hal kekuasaan yang ditujukan dalam manajemen sumberdaya sosial dan ekonomi negara untuk pembangunan. Pengalaman Afrika pasca krisis utang dan pasca perang dingin telah menjadi latar belakang dan iklim yang melukiskan desakan kekuatan pasar bebas dan demokrasi liberal. Good governance dalam konteks tersebut adalah imposisi politik hukum yang dikendalikan negara-negara industrial dan agen internasional (lembaga maupun Negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan yang berselerakan pasar (Stokke 1995; Gathii 1998). Inilah good governance yang lahir dari rahim agenda besar globalisasi yang dikonstruksi ideologi neo-liberal (Wiratraman, 2008). Untuk menunjukkan perbedaan yang cukup tajam dengan definisi di atas, Tokyo Institute of Technology menegaskan bahwa 3

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Vol.1 No.1 April 2011 [t]he concept of governance refers to the set of values, norms, processes and institutions by which society manages its development and resolves conflict, formally and informally. (www.soc.titech.ac.jp). Dalam definisi ini, pengertian governance justru ditekankan pada perilaku dan kapasitas masyarakat untuk mengelola kepentingan bersama, termasuk kapasitas dalam memanfaatkan pemerintah dalam penyelesaian permasalahanpermasalahan publik (Pratikno, 2005). Negara-negara besar yang tergabung dalam OECD mendefinisikan governance sebagai the use of political authority and exercise of control in a society in relation to the management of its resources for social and economic development. Lebih spesifik, pemerintah Inggris, dalam hal ini ODA, menjelaskan karakteristik good government mencakup legitimasi, akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum dan hak-hak asasi manusia. Bank Dunia mengemukakan karakteristik good governance sebagai: masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi; eksekutif yang bertanggungjawab; birokrasi yang profesional; dan aturan hukum yang jelas. Sementara itu, The Commission on Global Governance mengartikan governance sebagai the sum of the many ways individuals and institutions, public and private, manage their common affairs. Dalam bahasa komisi ini, Weiss (Pratikno, 2005) governance merupakan proses yang berkelanjutan melalui mana perbedaan kepentingan diakomodasi dan diwujudkan dalam praktek. Baik sebagai sound development management maupun sebagai democratic politics, reformasi ke arah good governance menekankan pada perlunya pengecilan peran pemerintah. Sebagaimana didefinisikan oleh Rhodes (1996), good governance dimaknai sebagai negara yang minimal (minimal state). Pengurangan peran pemerintah ini menuntut peran aktor di luar pemerintah yang lebih besar, antara lain Civil Society Organization, dan terutama pelaku pasar (market). Melihat rumusan-rumusan governance di atas, kata kunci dalam konsep governance adalah konsensus melalui mana perbedaan kepentingan bisa diakomodasikan, dan sinergi bisa dibangun. Selain mengharapkan bekerjanya institusi negara secara baik, governance juga merujuk pada penguatan institusi-institusi pasar dan civil society untuk mengimbangi dominasi negara yang sebelumnya menjadi sumber kegagalan pembangunan. Pertanyaannya kemudian, apa yang perlu dipermasalahkan dengan governance? Apa kaitannya denga neoliberalisme dan impilkasi apa yang dilahirkan pada praktek administrasi dan manajemen publik?. Oleh karena itu, perdebatan tentang konsep governance dan good governance perlu didiskusikan pada level aplikasinya di dunia ketiga, khususnya diIndonesia, dan kemudian refleksi teoritik yang bisa dibangun dari situ. D.GOOD GOVERNANCE & NEOLIBERALISME Kritik terhadap good governance bukanlah hal yang baru, karena banyak studi atau riset yang telah dilakukan untuk membongkar wacana ini dalam berbagai pendekatan, baik itu pendekatan politik, ekonomi, sejarah, hukum, sosiologi internasional, hubungan internasional dan pendekatan disiplin ilmu lainnya (Abrahamsen 2000; Bello 2002, 2005; Bendana 2004; George 1995; Parasuraman, et. al. 2004; Pieterse 2004; Quadir et al. 2001; Robinson 2004; Selznick 1969; Gathii 1998; Hosen 2003; Wiratraman 2007, 2008). Bank Dunia merupakan pencetus gagasan yang memperkenalkannya sebagai program pengelolaan sektor publik (public sector management program), dalam rangka penciptaan ketatapemerintahan yang baik dalam kerangka persyaratan bantuan pembangunan (Pratikno, 2005). Good governance dalam konteks ini merupakan suara pembangunan. Sebagai suara pembangunan, sesungguhnya ia lebih menampakkan pendisiplinan demokrasi atau model ketatapemerintahan tertentu. Krisis di Afrika telah membawa pesan demikian jelas dalam mencetuskan suatu konsep baru mengenai governance untuk menentang apa yang disebut Bank Dunia sebagai suatu crisis of governance atau bad governance (World Bank 1992). Pengalaman Afrika pasca krisis utang dan perang dingin telah menggambarkan 4

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Vol.1 No.1 April 2011 latar dari suatu iklim umum dalam menyokong pasar bebas dan demokrasi liberal, dan hal ini telah secara dahsyat menunjukkan betapa good governance sebagai pemaksaan politik hukum oleh negara industrialisasi maju dan agen internasional (termasuk lembaga maupun negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan pasar (Abrahamsen 2000; Stokke 1995; Gathii 1998). Dalam konteks Asia, proyek-proyek good governance sesungguhnya telah lama di perkenalkan ke sejumlah negara, utamanya ke negara-negara yang memiliki ketergantungan atas bantuan hutang luar negeri. Proyek tersebut sama sekali tidak mempedulikan rezim yang berkuasa adalah rezim yang koruptif dan diktatorial. Di Indonesia, pada awal tahun 1990-an sudah mulai diperkenalkan model ketatapemerintahan yang ramah terhadap kepentingan pasar, melalui skenario program penyesuaian struktural. Meski-pun demikian, saat Soeharto masih berkuasa, proyek-proyek yang dikembangkan di Indonesia praktis gagal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan korupsi yang dilakukan atas bantuan hutang luar negeri tersebut diketahui Bank Dunia, namun Bank Dunia melakukan pembiaran atas hutang-hutang yang dikorupsi tersebut. Inilah yang disebut criminal debt (hutang kriminal), yang ironisnya harus dibayar oleh rakyat dan dibebankan pada generasi bangsa pasca Soeharto (Winters 1999; 2002). Jadi apa yang disebut sebagai bantuan oleh Bank Dunia, sebenarnya merupakan proses sistematik penghancuran yang tidak hanya ditujukan pada rakyat saat rezim Soeharto berkuasa, melainkan pula ongkos pelanggengan kekuasaan diktator yang memiliki konsekuensi panjang terhadap jutaan rakyat Indonesia di masa-masa berikutnya. Dalam situasi demikian, terlihatlah dengan jelas bahwa good governance bersahabat dengan mekanisme-mekanisme siluman yang tidak berkepentingan atas demokratisasi dan hak asasi manusia. Tekanan Bank Dunia dalam urusan pembaruan ketatapemerintahan kian menguat disuntikkan setelah terjadinya krisis finansial di Asia di paruh akhir 1990an. Praktek dan justifikasi Bank Dunia melalui diagnosa antara ketatapemerintahan yang buruk dan baik menjadi wacana utama dalam mempengaruhi faktor-faktor kegagalan dalam konteks krisis tersebut, dan ini persis seperti apa yang telah dilakukan sebelumnya di Afrika pada 1980-an. Seiring bersama dengan gerakan reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa tahun 1998, seolah proponen neo-liberal diberi pintu masuk untuk kembali menanamkan proyekproyeknya (juga melalui utang) kepada pemerintah. Ratusan juta dolar dikucurkan untuk pemerintah dalam membiayai pembaruan kebijakan publik dan institusi politik, hukum dan ekonomi, sehingga tak terelakkan bahwa good governance menjadi arus utama pembaruan birokrasi dan hukum sebagai penopang proyek ketatapemerintahan tersebut. Desentralisasi yang terjadi di awal reformasi telah memuluskan dan menyuburkan wacana good governance, karena ia menjadi sesuatu yang seksi, segar, populer, dan diucapkan secara berulangkali baik oleh pejabat tinggi hingga level yang paling rendah di daerah. Tak terkecuali, agenda-agenda gerakan menjadi ikut pula termoderasi dan mempercayai good governance sebagai obat mujarab bagi tatanan birokrasi politik-ekonomi Indonesia. Akademisi dan organisasi non-pemerintah pun latah mengucapkan wacana tersebut sebagai ikon baru yang menemani demokratisasi. Sejak reformasi bergulir, telah lahir banyak pusat studi maupun proyekproyek good governance yang dipesan melalui perguruan tinggi, dari mulai isu yang lekat dengan pembaruan hukum, pembaruan peradilan, desentralisasi, penganggaran, hingga soal legal drafting. Begitu juga organisasi non-pemerintah yang secara kuat pula mentransmisikan gagasan good governance melalui isu yang tidak jauh berbeda. Mengapa transmisi wacana good governance tersebut demikian kuat diusung oleh Bank Dunia dan kemudian ditransplantasikan dengan rapi oleh agen-agen negara maupun non-negara? Kita bisa mulai membedahnya dari sisi konseptual, dan lalu dilanjutkan 5

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Vol.1 No.1 April 2011 dengan memetakan bagaimana kerangka konseptual tersebut menjadi sangat dominan dipaksakan ke negara-negara selatan, termasuk di Indonesia. Dalam laporannya tahun 1989, Bank Dunia (Wiratraman, 2007) telah mengekspresikan gagasan Upaya untuk menciptakan suatu kemampuan lingkungan dan untuk membangun kapasitas-kapasitas akan dibuang bila konteks politik tidak mendukung. Pada akhirnya, pemerintahan yang baik memerlukan pembaharuan politik. Ini berarti suatu tindakan bersama melawan korupsi dari tingkat paling tinggi hingga paling rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan menata suatu contoh baik, dengan memperkuat pertanggung-jawaban, dengan mendukung debat publik, dengan memelihara suatu pers bebas. Ini juga berarti membantu perkembangan akar rumput dan organisasi non-pemerintah seperti serikat petani, perkumpulan-perkumpulan, dan kelompok-kelompok perempuan. Dengan langgam bahasa yang hampir sama, Bank Dunia telah menyatakan pula, Good governance dilambangkan dengan dapat diperkirakan (predictable), terbuka (open) dan pembuatan kebijakan yang tercerahkan (enlightened policy-making), suatu birokrasi diilhami dengan bertindak etos professional dalam pemajuan fasilitas publik, rule of law, proses-proses transparan, dan masyarakat sipil yang kuat berpartisipasi dalam kepentingan publik. Ketatapemerintahan yang miskin (poor governance) di sisi lain dikarakteristikan dengan pembuatan kebijakan yang sewenangwenang, birokrasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sistem perundangan yang tidak adil dan tidak bisa ditegakkan, penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, suatu masyarakat sipil yang tidak bisa menikmatik kehidupan publiknya dan korupsi yang meluas. (World Bank 1994: vii). Dalam mengkampayekan good governance, Bank Dunia telah memprogramkan suatu program pembelajaran dan telah memperkenalkan konsep ketatapemerintahan. Good governance merupakan suatu manual yang didefinisikan sebagai implementasi efektif kebijakan dan provisi pelayanan yang responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan warganya. Good governance melekat pada kualitas, seperti akuntabilitas, responsif, transparan, dan efisiensi. Ia mengasumsikan kemampuan pemerintah untuk mengelola sosial, perdamaian, jaminan hukum dan tatanan, mempromosikan dan menciptakan kondisi-kondisi yang perlu untuk pertumbuhan ekonomi dan mamastikan suatu level minimum jaminan sosial (World Bank 2002). Definisi yang demikian sesuangguhnya telah tetap dan secara kuat dipertahankan untuk menyokong aturan main bahwa membuat pasar bekerja secara efisien dan lebih problematiknya, Bank Dunia mengoreksi kegagalan pasar (Bank Dunia 1992). Sejumlah dokumen tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan yang digunakan oleh Bank Dunia, khususnya dalam menegaskan isu-isu penting akuntabilitas, sesungguhnya ditujukan dalam rangka mengupayakan pembaharuan untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang diperlukan dalam proses liberalisasi pasar. Konsep politik ekonomi yang demikian sesungguhnya berfokus pada model demokrasi liberal dan liberalisasi ekonomi, dan good governance-nya pun merupakan model neo-liberal, yakni good governance free market assistance (Wiratraman 2008). Watak neo-liberalisme good governance dapat dilihat dari sasaran-sasarannya yang senantiasa berpusat pada efisiensi pengelolaan sumberdaya dan menopang pasar bebas. Elemen-elemen kuncinya adalah akuntabilitas, rule of law, transparan, dan partisipasi. Sungguh, elemen-elemen ini juga menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia di tengah eforia reformasi, namun elemen kunci tersebut sebenarnya menyimpan rencana besar untuk melucuti peran-peran negara di sektor publik dan menggantikannya dengan peran dominan swasta atau privat. Urusan perlindungan hakhak asasi manusia bukanlah urusan yang penting dalam skema good governance ini, meski pun mandat tanggung jawab hak asasi manusia bertumpu pada peran utama negara good governance yang demikian hanya akan menempatkan posisi pasar secara dominan, dan urusan-urusan publik yang dimaksudkan pun telah diseleksi (baca: dipangkas) berbasis pada iklim liberalisasi pasar. 6

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Vol.1 No.1 April 2011 E. HEGEMONI GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA Mengapa good governance tiba-tiba muncul, lazim dan bertahan lama sebagai model ketatapemerintahan di Indonesia yang banyak dituturkan, diikuti dan diajarkan? Mengapa secara cepat pemerintahan yang baik menjadi akrab dengan dunia birokrasi, dunia usaha, dunia kampus dan pusat-pusat studi (yang juga tumbuh subur bak jamur di musim hujan), dunia aktivisme organisasi non-pemerintah (utamanya yang bergerak di isu kebijakan publik dan antikorupsi), dan yang paling aneh tapi nyata, hampir semua lembaga-lembaga dana internasional dan negara-negara donor serempak menggerojok (baik utang maupun hibah) milyaran US dollars untuk proyek good governance? Padahal Bank Dunia sendiri sesung-guhnya gagal melakukan good governance secara internal, karena dipenuhi dengan korupsi sistemik dan motif ekploitasi terhadap negaranegara yang berutang kepadanya. Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek good governance yang cukup sukses adalah terkait dengan kesuksesan model negara pembangunan (developmental state model) diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia Tenggara (Tshuma 1999; White 1987; Wade 1990). Pendapat lainnya mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah melesat setelah runtuhnya komunisme dan membangun suatu suasana kondusif bagi kelahiran governance sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme sebagai ideologi dominan mencoba untuk mengkonstruksi politically lock-in neo-liberal reforms (Gill, 1997). Kedua pendapat di atas relevan dengan kemunculan good governance di Indonesia, karena selain kebijakan pemerintah yang berorientasikan pembangunan semasa Orde Baru, dukungan Bank Dunia dan IMF dalam mengguyurkan utang yang disertai persyaratan-persyaratan khusus melengkapi posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar. Tetapi bila dilihat secara lebih dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa good governance bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan untuk menghasilkan mesin yang halus dan efektif bagi upaya liberalisasi pasar. Hukum sebagai instrumentasi politik dipakai sebagai legalisasi beroperasinya mesin kekuasaan tersebut, sehingga jauh dari cerminan rasa keadilan dan perlindungan terhadap kaum proletar (Wiratraman, 2008). Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu: (i) CGI (Consultative Group on Indonesia); (ii) Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform); dan (iii) Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI, Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan (mendikte) kebijakan ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan perundangundangan). Ini bisa terjadi karena pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga prasyarat utang tersebut harus dipenuhi sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP dan ADB sebagai sponsor dana utama untuk Partnership for Governance Reform (World Bank 2003). Melalui forum kelompok multistakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat aktif dalam membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga pemerintahan baru (World Bank 2003). Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan oleh tidak saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah. Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank Dunia dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah strategi pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum. Bagi Bank Dunia, program-program pemberdayaan dan penyadaran hukum merupakan hal penting dalam mewujudkan kaum miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan korupsi, Bank Dunia sendiri memilih menfokuskan lebih banyak 7

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Vol.1 No.1 April 2011 pada proyek-proyek yang didanainya sendiri (World Bank, 1997), semacam kini PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Kedua institusi terakhir menjadi kendaraan Bank Dunia untuk ikut pula mempromosikan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Proyek pembaruan ketatapemerintahan melalui good governance cenderung untuk melayani promosi konsensus pembaruan sosial dan ekonomi, khususnya dengan mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal partisipasi. Di titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut market friendly human rights paradigm (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar) (Wiratraman, 2008). Strategi Bank Dunia untuk mempertahankan hegemoninya adalah dengan mereproduksi pengetahuan soal rasionalitas good governance sehingga memudahkan bekerjanya teknologi kekuasaannya melalui berbagai pintu masuk di level negara, non negara maupun kemitraan keduanya. Realitasnya, wacana-wacana ketatapemerintahan, pembaruan hukum dan kebijakan publik lainnya dikonstruksi dengan mengikutsertakan demokrasi, hak asasi manusia, anti kemiskinan, antikorupsi, yang kesemuanya terasa cocok dengan suasana (perangkap) reformasi yang sudah dikendalikan pendukung neo-liberal. Semakin lengkap adalah teknologi kekuasaan modalnya yang mampu memistifikasi ketidakseimbangan kekuasaan dan menyedot perhatian arah reformasi yang good, melalui program pendanaan ke sejumlah institusi negara, organisasi non-pemerintah, serta kampuskampus melalui pusat-pusat studi governance. Godaan untuk mengakses dana proyek governance tersebut terlampau besar, sehingga tidak sedikit yang mengubah pula rencana dan pola kerja organisasi penerima dana tersebut. Donor-driven hegemony! governance juga dirumuskan sebagai pola pemerintahan yang demokratis. Dalam bahasa Bank Dunia (1989 & 1992), selain disebabkan oleh porsi pemerintah yang terlalu besar, kegagalan pembangunan juga diakibatkan oleh pemerintahan yang tidak demokratis, dan otoritas negara yang dipersonifikasi dalam diri satu atau sedikit orang pemimpin. Oleh karena itu, good governance juga mendorong demokratisasi dengan cara memaksa negara untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor di luar negara. Diakui memang, bahwa telah terjadi banyak perubahan yang cukup banyak termasuk lompatan-lompatan pembentukan dan kerja kelembagaan negara yang kian melengkapi percaturan politik kenegaraan Indonesia. Proyek-proyek pembaruan tata pemerintahan dilakukan secara serentak, mulai dari upaya pembaruan hukum, pembaruan standar kinerja, dan pembaruan lembaga-lembaga negara lainnya. Bagi Bank Dunia, pembaruan administrasi dan manajemen sektor publik dilihat sebagai faktor-faktor penting untuk memperkuat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan sistem pasar bebas, salah satu elemen prinsip good governance adalah legal framework for development (kerangka perundang-undangan untuk pembangunan) (World Bank 1992). Dalam kerangka perundangan yang demikian, rule of law adalah konsep utama yang secara instrumental dan substansial penting, karena ia mengkonsentrasikan pada keadilan (justice), kejujuran (fairness) dan kebebasan (liberty). Bank Dunia menegaskan suatu sistem hukum yang fair, yang kondusif untuk menyeimbangkan pembangunan (World Bank 1992: 29-30). Ini sebabnya, tidak terlampau mengejutkan, perspektif Bank Dunia dalam good governance terkait utamanya dengan kebutuhan-kebutuhan perundangan bagi aktor-aktor komersial dalam pasar. F. GOOD GOVERNANCE DAN PEMBARUAN Dalam arena politik domestik, implikasi KEBIJAKAN PUBLIK pelaksanaan good governance juga sangat jelas. Di satu sisi, good governance telah Selain dirumuskan dengan merujuk pada terbukti mendobrak keangkuhan negara yang mekanisme pasar yang dianggap paling selama ini menghegemoni masyarakat. efisien dalam pengelolaan sumberdaya, good Personifikasi kekuasaan negara pada 8

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Vol.1 No.1 April 2011 sekelompok kecil elit, kebuntuan akses masyarakat terhadap kebijakan publik, dan lemahnya penegakan hak asasi manusia telah bisa didobrak oleh gelombang good governance. Namun, kekuasaan hegemonik yang menindas rakyat tidak secara otomatis lumpuh. Kekuasaan hegemonik hanya beralih dari kontrol negara ke kontrol swasta (kapital), yang oleh Korten (Pratikno, 2005) yang dalam kasus Indonesia pasca krisis 1998-2002 adalah perusahaan multinasional. Implikasi dari hegemoni swasta bagi masyarakat umum ini tidak kalah buruk dibandingkan dengan implikasi hegemoni negara. Walaupun terdapat banyak program pengentasan kemiskinan, namun jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan tidak mengalami pengurangan yang berarti, atau bahkan memburuk di beberapa negara. Penyakit busung lapar tetap dengan mudah ditemukan tatkala praktek kepemerintahan telah mulai menerapkan ciri-ciri good governance, seperti partisipasi dan transparansi. Lalu, apa makna good governance bagi masyarakat marjinal yang tidak mampu menjadi customer yang kuat di era liberalisasi ekonomi ini? Di sinilah neo-liberalisme bekerja rapi. Filho dan Johnston (Wiratraman, 2008) mengingatkan bahwa di bawah neoliberalisme, pertumbuhan ekonomi telah menurun, pengangguran meluas, ketidaksejajaran dalam maupun di antara negaranegara kian memburuk menyeluruh di mana saja, dan kaum marginal akan secara massif tertindas dari ketidakstabilan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, tekanan desain kebijakan publik neo-liberal sangat jelas terlihat ketika upaya pembaruan hukum tidak meletakkan arah perubahannya pada sistem yang lebih berkeadilan bagi rakyat banyak, melainkan lebih menuruti kepentingan atau selera pasar dalam penciptaan iklim usaha. Salam satunya yang paling menyakitkan bagi buruh adalah pembentukan institusi peradilan khusus bagi buruh melalui UU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, UU Migas, UU Penanaman Modal dll. Proyek pembaruan hukum yang disponsori Bank Dunia, secara implementatif tentu saja berdampak pada praktek administrasi dan manajemen publik, yang oleh Prasodjo (Kurniawan 2006) berupa debirokratisasi organisasi internal, modernisasi birokrasi, dan peningkatan kapasitas aparat birokrasi. Sektor publik di perhadapakan pada seperangkat harapan baru dari masyarakat, bahwa sektor publik atau pemerintah perlu dikelola secara efisien (Rakhmat, 2009). Kondisi ini tentu menjadi prasyarat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik disatu sisi dan pada sisi yang lain menjadi ruang partisipasi masyarakat dalam kegiatan publik (Kurniawan, 2006). Seluruh fenomena ini merupakan implikasi proyek-proyek good governance Bank Dunia, yang senantiasa ditujukan pada pendisiplinan ketatapemerintahan yang berorientasikan pada kesetiaan pada liberalisasi pasar. Mekanisme pasar yang dikampanyekan dalam good governance ternyata dimanipulasi menjadi prosedur semu tanpa ada kapasitas negara untuk mendisiplinkannya. G. PENUTUP Tidak semua persoalan yang digambarkan di atas diakibatkan oleh kampanye good governance yang ditekankan pada sound development management yang menjadi perangkap agenda neo-liberal. Konsep dan ide good governance disadari ataupun tidak telah menjadi narasi besar reformasi birokrasi publik di Indonesia. Namun, permasalahan tersebut berkembang sebagai akibat dari wacana dan praktek pembaruan kebijakan publik di Indonesia yang tidak mengalami kontekstualisasi secara memadai, gagasan reformasi yang terfragmentasi, dan gagasan reformasi yang tidak tumbuh dari pelakupelaku di lapis bawah. Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa tekanan eksternal tidak penting dalam agenda reformasi pemerintahan di Indonesia. Namun, agenda reformasi yang yang terjebak pada perubahan teknikalitas pemerintahan dan pada birokrasi proyek akan mengakibatkan agenda kebijakan publik tersebut kehilangan roh dan tujuan akhir yang lebih bermakna bagi masyarakat. 9

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Vol.1 No.1 April 2011 Argumen para penganjur neo-liberal yang menyatakan bahwa penjaminan hak-hak politik individu dan proses demokratisasi akan mendukung pengembangan kepemerintahan yang baik tidaklah salah. Namun, paket ini harus dipadukan dengan hak-hak sosial dan ekonomi individu sebagai paket integratif yang tidak terpisahkan. Penjaminan hak sosial dan ekonomi ini tidak bisa diberlakukan sebagai produk dari good governance semata, tetapi harus menjadi bagian dari proses pengembangan kepemerintahan yang baik. Oleh karena itu, sebagaimana digagas oleh Mahbub ul Haq (Pratikno, 2005), pengembangan kepemerintahan yang baik perlu dipadukan dengan konsep humane governance yang mencakup good political, economic and civic governance. Gagasan ini perlu ditelusuri lebih jauh, dan perlu dikontekstualisasikan dengan potensi dan problema Indonesia kontemporer. Pada saat yang sama, gagasan Denhart dan Denhardt (2003) tentang The New Public Service perlu untuk diperhitungkan sebagai inisiatif awal. Pada intinya, mempertahankan posisi individu sebagai citizen dan meminta pemerintah untuk lebih bertanggung jawab menjamin hak-hak sosial dan ekonomi adalah sesuatu yang vital, selain hak-hak politik. DAFTAR PUSTAKA Grindle, Merilee S. 1997. Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries. Boston: Harvard University Press. Kurniawan, Teguh 2006. Pergeseran Paradigma Adminsitrasi Publik : Dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance, Program Doktor Ilmu Adminsitrasi Negara S e k o la h Pascasarjana UGM : Komponen Tugas Mata Kuliah Good Governance. Putra, Fadillah (2009) Senjakala Good Governance, Malang : Pustaka Avveroes Pratikno (2005) Good Governance dan Governability, Jurnal Sosial Politik, Vol. 8 No. 3, Maret 2005 (231-248). Rakhmat (2009) Teori Administrasi dan Manajemen Publik, Jakarta : Pustaka Arief. Stoker, G., 1991. The Politics of Local Government, (2nd Edition), London: Mac Millan.

Wiratraman, RH Perdana (2007) NeoLiberalisme, Good Governance, dan Birkland, Thomas A. 2005. An Introduction to Hak Azasi Manusia, Jurnal JENTERA the Policiy Process: Theories, Concepts, XV : Januari-Maret 2007 (1-14). and Models of Public Policy making. (Ed. 2th) New York: M.E. Sharpe, Inc. Wiratraman, RH Perdana (2007) Good Governance dan Mitos Ketatanegaraan Dye, Thomas R. 2005. Understanding Public Neo-Liberal, Jurnal BERSATU : Mei th Policy (ed. 7 ).USA: Prentice Hall. 2008 (1-11).

*******

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

10

Vol.1 No.1 April 2011

AGENDA SETTING PENGELOLAAN SAMPAH PASAR DI KOTA MAKASSARMuhlis MadaniFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 866972 ext. 107 Fax. 0411 865588

ABSTRAK wal munculnya isu pengelolaan sampah pasar ini dimulai dari adanya problem kebersihan, keteraturan, kenyamanan, dan keamanan untuk berbelanja di pasar tradisional, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Adapun problem isu di sini, masyarakat pengguna pasar tradisional mempunyai anggapan adanya kejenuhan terhadap kinerja pemerintah daerah, di samping itu masyarakat menginginkan adanya suatu perubahan yang dapat menyentuh aspek manajemen dan teknis pengelolaan sampah pasar. Pemerintah Kota Makassar mesti melakukan pembenahan serius terhadap fasilitas persampahan, terutama pada kondisi pasar pasca-revitalisasi. Sistem dan penyediaan fasilitas tersebut melibatkan partisipasi pedagang. Pendekatan secara partisipatif dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas akan meningkatkan rasa memiliki di kalangan pedagang pasar. Untuk itulah penyusunan agenda kebijakan pengelolaan sampah pasar penting untuk dilakukan. Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penataan Pasar Tradisional perlu dipercepat pembahasan dan atau pemberlakuannya, terutama hal yang berkaitan dengan sistem dan prosedur pengelolaan sampah pasar. Gagasan dan kebijakan revitalisasi pasar tradisional diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek penataan spasial (keruangan), tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan pengelolaan lingkungan terutama aspek persampahan. Kata Kunci : isu, agenda, agenda setting, sampah pasar

A

A. PENDAHULUAN 1) Latar Belakang. Sampah pada umumnya dianggap sebagai benda yang tidak berguna, kompleks seiring dengan berkembangnya aktivitas ekonomik. sehingga disikapi dengan kaidah not in my backyard (NIMBY). Pada prinsipnya jumlah

sampah akan meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi. Selain jumlahnya, jenis dan dampak dari sampah juga semakin beragam, ketika dalam aktivitas ekonomik tersebut terlibat teknologi11

Vol.1 No.1 April 2011 teknologi baru. Misalnya, produksi bahanbahan transgenik akan menghasilkan sampah transgeni, produksi bahan radioaktif akan menghasilkan sampah radioaktif. Jadi, permasalahan sampah akan cenderung semakin kompleks seiring dengan berkembangnya aktivitas ekonomik. Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat telah meningkatkan jumlah, jenis, dan keberagaman karakteristik sampah. Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi serta meningkatnya usaha atau kegiatan penunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan. Meningkatnya volume sampah memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah yang tidak mempergunakan metode dan teknik pengelolaan sampah yang ramah lingkungan selain akan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan juga akan sangat mengganggu kelestarian fungsi lingkungan baik lingkungan pemukiman, hutan, persawahan, sungai dan lautan. Sebuah pendekatan pengelolaan sampah yang konvensional, yang masih umum dipraktikkan, adalah yang bersifat pasif, instruksional dengan penekanan pada pengolahan sampah diujung proses produksi ekonomik (dikenal sebagai endof pipe approach). Pengelolaan sampah dengan pendekatan seperti ini tidak mendorong terjadinya inovasi dalam aktivitas ekonomik yang diperlukan untuk memasukkan nilai-nilai lingkungan dan keberlanjutan pembangunan ke dalam aktivitas tersebut. Pengelolaan sampah yang bersifat instruktif (top-down) juga kurang kondusif bagi terjadinya pembelajaran masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: 1) sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lainlain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya. Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Dari sudut pandang kesehatan lingkungan, pengelolaan sampah dipandang baik jika sampah tersebut tidak menjadi media berkembang biaknya bibit penyakit serta sampah tersebut tidak menjadi medium perantara menyebarluasnya suatu penyakit. Syarat lainnya yang harus dipenuhi, yaitu tidak mencemari udara, air dan tanah, tidak menimbulkan bau (tidak mengganggu nilai estetis), tidak menimbulkan kebakaran dan yang lainnya. Ketika diamati dari berbagai rujukan dan pengalaman berbagai negara, permasalahan sampah sebenarnya berjalan seiring dengan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Semakin maju tingkat penguasaan teknologi, industri dan kebudayaan suatu masyarakat, diduga sampah yang ditimbulkan semakin meningkat juga. Volume sampah yang besar dan beranekaragam jenisnya jika tidak dikelola dengan baik dan benar sangat berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang kompleks dan serius, antara lain: 1) pencemaran air oleh lindi (leachate) yang keluar dari tumpukan sampah dan mengalir menuju badan perairan ataupun meresap ke dalam tanah; 2) pencemaran udara karena adanya gas metana (CH4), salah satu jenis gas rumah kaca, yang keluar dari tempat penimbunan akhir sampah akibat proses penguraian bahan organik secara anaerobik; 3) sampah merupakan habitat bagi berkembangnya bakteri patogen tertentu seperti Salmonella typhosa, Entamoeba coli, Escherichia coli, Vibrio cholera, Shigella dysentriae, Entamoeba histolytica, dan lain-lain yang dapat menimbulkan penyakit pada 12

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Vol.1 No.1 April 2011 manusia; 4) menurunkan nilai estetika lingkungan; dan 5) mengurangi kenyamanan lingkungan. Sampah telah menjadi masalah yang besar, bagi kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, termasuk Makassar. Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan yang masih rendah khususnya di perkotaan dapat berdampak pada meningkatnya wabah penyakit menular seperti tipus, kolera, muntaber, disentri, pes, leptospirus, salmonelosis, demam gigitan tikus. Selain itu, sampah yang dibuang ke kanal dan saluran pembuangan berpotansi menimbulkan banjir (Percik, Vol. 5 Tahun I/Agustus 2004). Volume sampah di Makassar tahun 2004 tercatat 4.330 ton perhari, jumlah ini meningkat cukup signifikan dibanding tahun 2003 sebesar 3.748 ton, dengan komposisi sampah organik 87,21%, kertas 4,42%, plastik 5,84% dan selebihnya alumunium, kaca, kayu dan jenis lainnya. Kapasitas limbah padat Makassar untuk saat ini mencapai 1.860 m3/hari yang dibuang ke TPA Tamangapa. Timbulan sampah pasar mencapai 60,10 % atau 16,69 % dari total timbulan sampah kota Makassar (STLHD, 2006). Sebagian besar sampah tersebut adalah sampah organik yang berasal dari pedagang sayur-mayur dan buah-buahan serta sisa-sisa makanan, serta dari para pembeli dan pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Hal ini diakibatkan bukan saja karena pertambahan jumlah penduduk tetapi juga karena meningkatnya timbulan sampah per kapita yang disebabkan oleh perbaikan tingkat ekonomi dan kesejahteraan. Pasar sebagai suatu tempat perdagangan merupakan sumber timbulan sampah dan limbah cair dari kawasan komersial. Sebagai sebuah pusat perdagangan, pasar selalu berada di lokasi yang strategis, bahkan banyak dijumpai letak pasar ada di pusat kota. Pasar mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan sampah dan limbah cair. Sementara lahan TPA merupakan permasalahan tersendiri yang dihadapi suatu kota besar. Untuk dapat mengelola sampah dan limbah cair pasar dengan benar, maka awal yang paling penting diketahui adalah pemahaman terhadap kuantitas, wujud, karakteristik dan potensi dari sampah dan limbah cair yang akan dikelola. Meningkatnya volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat urban maupun dari aktivitas pasar. Sementara itu, rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi pedagang dalam pengelolaan sampah menjadi suatu permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lingkungan bersih dan sehat. Kegiatan pengolahan sampah pasar selama ini relatif belum melibatkan masyarakat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah daerah yang bersifat top down. Salah satu indikatornya adalah kebijakan tarif retribusi kebersihan hanya ditentukan oleh aparatur pemerintah daerah dan relatif belum memperhatikan aspirasi masyarakat menyangkut berapa sesungguhnya para pedagang bersedia membayar untuk mendukung kegiatan pengolahan sampah di lingkungannya. Awal munculnya isu tentang pengelolaan sampah pasar terakit dengan meningkatnya volume timbulan sampah pasar sebagai akibat dari pola penanganan yang konvensional dari Dinas Pengolaan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DPLHK) Kota Makassar. Permasalahan persampahan di beberapa pasar tradisional besar seperti Pasar Pabbaeng-baeng dan Pasar Terong, hanya berkisar pada aspek teknis operasional yaitu sistem pewadahan dan pengangkutan yang tidak memadai, serta peran serta masyarakat khususnya pedagang masih kurang dalam penanganan sampah pasar. Kurangnya kesadaran dan perhatian para pedagang mengakibatkan mereka membuang sampah sembarangan, sehingga mengotori kanal, di sekitar tempat jualan pedagang, bahkan di ruas jalan menuju pasar juga terlihat tumpukan sampah. Hal ini menimbulkan kesan kekumuhan, pencemaran bau dan merusak wajah pasar itu sendiri serta mengganggu kesehatan. Hal inilah yang memicu para pemangku kepentingan seperti Assosiasi Pedagang Pasar, partai politik, media massa, LSM, dan kalangan perguruan tinggi untuk melemparkan isu tentang penataan pasar tradisional, terutama sekali pada aspek pengelolaan sampah pasar. 13

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Vol.1 No.1 April 2011 Meluasnya isu penataan pasar tradisional dari hasil interaksi antar kelompok kepentingan, partai politik, media massa, dan pemerintah daerah berimbas pada pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penataan Pasar Tradisional oleh DPRD Kota Makassar. Isu utama yang menjadi agenda kebijakan adalah hal yang berkaitan dengan sistem dan prosedur pengelolaan sampah pasar. Isu kebijakan revitalisasi pasar tradisional diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek penataan spasial (keruangan), tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan pengelolaan lingkungan terutama aspek persampahan. 2) Perumusan Masalah Permasalahan yang akan di bahas dalam kajian ini adalah bagaimana proses transformasi isu tentang kekumuhan, timbulan sampah, dan kemacetan di pasar tradisional dapat berkembang menjadi isu agenda kebijakan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah menyangkut pengelolaan sampah pasar di kota Makasar. 3) Tujuan Penelitian. Tujuan kajian ini terkait dengan beberapa hal, yakni: (1.) melakukan identifikasi terhadap proses tranformasi isu publik menjadi isu agenda kebijakan terkait dengan pengelolaan sampah pasar di kota Makasar, (2.) melakukan pemetaan konseptual yang akan memberikan konstribusi dalam hal pengembangan studi formulasi kebijakan publik khususnya mengenai tahapan agenda setting. B. KAJIAN TEORI 1) Konsep Isu dan Agenda Secara konseptual, suatu masalah privat sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan, masalah tersebut menjadi isu terlebih dahulu. Isu ini akan menjadi embrio awal bagi munculnya masalah-masalah publik dan bila masalah tersebut mendapat perhatian yang memadai, maka ia akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Sebuah isu atau permasalahan dimulai dari adanya problem isu di tengahtengah masyarakat. Problem isu ini berawal dari isu yang kecil dan lama-kelamaan mendapat tanggapan dari masyarakat luas (publik), sehingga isu menjadi sebuah pembicaraan di tengah-tengah masyarakat dan menjadi isu publik. Setelah menjadi isu publik, maka tentunya isu ini akan diakomodir oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ada untuk disampaikan kepada pembuat kebijakan di daerah untuk menjadi pembahasan bersama. Pembahasan yang terjadi antara pembuat kebijakan (DPRD dan Pemda) tentang isu yang disampaikan oleh kelompokkelompok kepentingan tadi yang menjadi isu agenda kebijakan. Issues diartikan oleh Cobb & Elder (1972) sebagai problema publik yang saling bertentangan (konflik) satu sama lain (controversial public problems). Issues dapat diartikan pula sebagai perbedaan-perbedaan pendapat di masyarakat tentang persepsi dan solusi (policy action) terhadap suatu masalah publik. Issues kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksepakatan mengenai arah tindakan yang aktual dan potensial, tetapi juga mencerminkan pertentangan panda-ngan mengenai sifat masalah itu sendiri. Isu-isu yang beredar dalam masyarakat akan bersaing satu dengan yang lain untuk mendapatkan perhatian dari para elit politik, sehingga isu yang mereka perjuangkan dapat masuk ke agenda kebijakan. Oleh karena itu kelompok-kelompok dalam masyarakat akan menggunakan berbagai cara untuk memperjuangkan suatu isu agar masuk ke agenda kebijakan, seperti misalnya memobilisasi diri, mencari dukungan kelompok-kelompok lain maupun menggunakan media massa. Menurut Cobb dan Elder, (1972 : 82), sebuah isu akan tercipta melalui beberapa cara, yaitu : Isu dibuat oleh partai yang merasa melihat ketidakadilan atau bias (penyelewengan) dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya. Penciptaan isu demi kepentingan dan keuntungan personal atau kelompok tertentu. Isu tercipta akibat peristiwa yang tidak terduga. 14

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Vol.1 No.1 April 2011 menjadi sangat penting. Namun demikian cara dan mekanisme penyusunan agenda bagi suatu negara tentu sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi politiknya. Agenda setting (penyusunan agenda) adalah tahap awal dari suatu proses kebijakan publik. Meskipun merupakan tahap awal, tetapi kegiatan menyusun agenda adalah kegiatan yang sulit karena meliputi pengenalan masalah yang benar. Hal ini dikarenakan pembuat kebijakan tidak selalu berhadapan dengan masalah yang akan dipecahkannya (melalui kebijakan yang akan diputuskannya). Meskipun terkadang pembuat kebijakan sudah menemukan masalah, tetapi belum tentu masalah itulah yang paling urgen dan dituntut oleh publik untuk dipecahkan. Apalagi biasanya masalah yang muncul itu sangat kompleks dan bervariasi, baik dari segi materinya maupun dari segi asal muasalnya. Konsepsi agenda yang lebih mendalam ditulis oleh Layne D. Hoppe yang berjudul Agenda Setting Strategies: Pollution Policy. Menurut Hoppe dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1969 itu, Agenda adalah sebuah istilah tentang pola-pola tindakan pemerintahan yang spesifik sifatnya, terutama dalam tahapan awal perkembangan suatu kebijakan. Agenda bisa diartikan sebagai analisis tentang bagaimana suatu problem dikembangkan, didefinisikan, dan diformulasikannya cara-cara untuk pemecahannya (Cobb & Elder, 1972). Roger W. Cobb dan Charles D. Elder (1972) membagi agenda kedalam dua macam, yaitu; Agenda Sistematis (Systemic Agenda), dan Agenda Institusional (Institutional Agenda). Agenda Sistematis adalah agenda yang memuat semua isu yang secara umum dipersepsikan oleh anggota masyarakat politik sebagai masalah publik dan masalahmasalah yang berhubungan dengan kekuasaan 2) Konsep Agenda Setting pemerintah yang ada. Sedangkan Agenda Kebijakan publik adalah suatu upaya Institusional adalah serangkaian masalah yang yang diambil untuk memecahkan masalah- secara eksplisit diangkat oleh lembaga masalah publik, maka penyusunan kebijakan (institusi) pengambil keputusan resmi untuk publik sudah seharusnya (senantiasa) dimulai dijadikan pertimbangan aktif dan serius dari adanya agenda setting yang disusun dalam mengambil keputusan. berdasarkan partisipasi publik. Ini berarti Agenda setting dengan demikian disusun keterlibatan publik dalam penyusunan agenda berdasarkan perebutan dan perjuanganAgenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Isu dibuat oleh orang yang selalu ingin perbaikan. Namun pembentukan isu tidak hanya tergantung kepada satu pemicu saja. Harus ada kaitan antara pemicu dan keprihatinan atau problem yang kemudian mengubah isu menjadi item agenda. Agenda tersebut oleh Cobb dan Elder dikarakteristikkan menjadi dua tipe : sitematik dan institusional. Agenda sitematis terdiri dari semua isu yang umumnya dirasakan oleh anggota komunitas politik sebagai isu yang pantas mendapat perhatian dan dianggap sebagai persolan didalam yurisdiksi yang sah dalam otoritas pemerintah (Cobb dan Elder, 1972 : 85). Agenda adalah istilah yang pada umumnya digunakan untuk menggambarkan suatu isu yang dinilai oleh publik perlu diambil suatu tindakan. Kegiatan membuat masalah publik (public problems) menjadi masalah kebijakan (policy problems) sering disebut dengan penyusunan agenda (agenda setting). Dengan demikian, policy agenda akan memuat masalah kebijakan yang perlu direspons oleh sistem politik yang bersumber dari lingkungan. Agenda sebagai suatu kesepakatan umum, belum tentu tertulis tentang adanya suatu masalah publik yang perlu menjadi perhatian bersama dan menuntut campur tangan pemerintah untuk memecahkannya. Kepemimpinan politik merupakan faktor yang penting dalam penyusunan agenda. Para pemimpin politik mungkin menanggapi, menyebarluaskannya dan mengusulkan penyelesaian terhadap masalah-masalah tersebut. Dalam kaitan ini, Dalam kaitan ini, eksekutif daerah atau Pemerintah Daerah maupun anggota-anggota lembaga legislatif daerah (DPRD) mempunyai peran utama dalam politik dan pemerintahan untuk menyusun agenda publik.

15

Vol.1 No.1 April 2011 kelompok-kelompok yang ada tersebut, dimana pemerintah dikelilingi oleh pengaruh kelompok-kelompok tersebut. Issues akan mudah tampil atau masuk dalam agenda sistemik menurut Cobb and Elder (1972) jika: 1. Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau setidaknya dapat menimbulkan kesadaran masyarakat; 2. Adanya persepsi dan pandangan atau pendapat publik yang luas bahwa beberapa tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalah itu; dan 3. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari beberapa unit pemerintahan untuk memecahkannya. keputusan-keputusan kebijakan maka terdapat pula banyak agenda lembaga. Pada tingkat nasional misalnya, kita akan mendapatkan agenda kepresidenan, agenda administratif, agenda pengadilan dan lain sebagainya. Agenda lembaga merupakan agenda tindakan yang mempunyai sifat lebih khusus dan lebih konkrit bila dibandingkan dengan agenda sistemik.

3) Konsep Pengelolaan Sampah Pasar Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya Isu politik (political issues) yang telah sampah dapat digolongkan menjadi : 1) masuk ke dalam agenda pemerintah tadi sampah ada yang mudah membusuk terdiri kemudian masuk ke dalam sistempolitik untuk atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa diproses (digodok) menjadi kebijakan publik. daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang Secara skematis kegiatan agenda setting dapat tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, digambarkan sebagai berikut. karet, logam, sisa bahan bangunan dan lainlain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan Agenda Setting Process 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan No Tataran Masalah rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia Akibat yang terbatas, atau hanya Private I. menyangkut satu atau sejumlah kecil orang dan agen penyakit yang berbahaya. Problems yang terlibat secara langsung. Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Public Problems: adalah masalah-masalah pada dalam Pasal 5 UU No.23 Th.1997 tentang Public II. yang mempunyai akibat lebih luas Problems termasuk akibat-akibat yang mengenai Pengelolan Lingkungan Hidup, bahwa orang-orang yang secara tidak langsung masyarakat berhak atas lingkungan hidup terlibat. yang baik dan sehat. Untuk mendapatkan hak Political issues; adalah perbedaan Political III. pendapat masyarakat tentang solusi dalam tersebut, pada Pasal 6 dinyatakan bahwa Issues menangani masalah (policy action) masyarakat dan pengusaha berkewajiban Systematic Agenda : isu dirasakan oleh semua warga masyarakat politik yang untuk berpartisipasi dalam memelihara Systemic IV. patut mendapat perhatian publik dan isu Agenda kelestarian fungsi lingkungan, mencegah dan tersebut berada dalam yuridiksi kewenangan pemerintah. menaggulangi pencemaran dan kerusakan Institutional Agenda: serangkaian isu yang lingkungan. Terkait dengan ketentuan Institutional secara tegas membutuhkan pertimbangan V. tersebut, dalam UU No. 18 Tahun 2008 secara Agenda pertimbangan yang aktif dan sering dari pembuat keputusan yang sah eksplisit juga dinyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban dalam SUMBER : COBB & ELDER, 1972 pengelolaan sampah. Agenda institusional atau pemerintah Dalam hal pengelolaan sampah pasal 12 terdiri dari masalah-masalah yang mendapatkan dinyatakan, setiap orang wajib mengurangi perhatian yang sungguh-sungguh dari pejabat dan menangani sampah dengan cara pemerintah. Karena terdapat bermacam- berwawasan lingkungan. Masyarakat juga macam pokok agenda yang membutuhkan dinyatakan berhak berpartisipasi dalamAgenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

16

Vol.1 No.1 April 2011 proses pengambilan keputusan, pengelolaan dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah. Cara partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dan tatanan sosial budaya daerah masing-masing. Berangkat dari ketentuan tersebut, tentu menjadi kewajiban dan hak setiap orang baik secara individu maupun secara kolektif, demikian pula kelompok masyarakat pengusaha dan komponen masyarakat lain untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah dalam upaya untuk menciptakan lingkungan perkotaan dan perdesaan yang baik, bersih, dan sehat. Menurut Suarna (2008), beberapa pendekatan dan teknologi pengelolaan dan pengolahan sampah yang telah dilaksanakan antara lain adalah: Teknologi Komposting Teknologi Pembuatan Pupuk Kascing Pengolahan sampah menjadi listrik. Pengelolaan sampah mandiri Pengelolaan sampah berbasis masyarakat Pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebaiknya dilakukan secara sinergis (terpadu) dari berbagai elemen (pemerintah, LSM, pengusaha/swasta, sekolah, dan komponen lain yang terkait) dengan menjadikan komunitas lokal sebagai objek dan subjek pembangunan, khususnya dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan lingkungan bersih, aman, sehat, asri, dan lestari C. METODE PENELITIAN 1) Tipe & Desain Penelitian Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang bersifat kualitatif dengan mempergunakan data kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian kualtitatif, prosedur sampling yang terpenting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan) yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian (Bungin, 2003: 53). Mengingat dasar penelitian ini bersifat studi kasus, sehingga metode pengumpulan data akan lebih banyak diadakan dengan instrumen indepth intervieuw dengan key informan yang terpilih. 2) Pendekatan dan Teknik Pengumpulan Data Pendekatan Pengambilan data dilakukan dengan metode (Rural Rapid Appraisal) RRA yaitu dengan memahami masyarakat secara cepat. Pendekatan ini sangat kasar dalam metode pengambilan data. Selain itu peneliti juga melakukan pendekatan dengan metode PRA (Participatory Rural Appraisal) yaitu memahami masyarakat secara partisipatif. Untuk mendapatkan data sekunder dan data primer yang akurat maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Studi Pustaka (Library Research) Dalam studi pustaka ini penulis berusaha menelaah berbagai bahan bacaan/pustaka berupa buku-buku, majalah, surat kabar, undang-undang, peraturan pemerintah serta dokumen-dokumen lainnya yang mempunyai relevansi dengan masalah yang akan diteliti. 2. Studi Lapangan (Field Research) Studi lapangan ini dimaksudkan yaitu penulis langsung melakukan penelitian pada lokasi atau obyek yang telah ditentukan. Studi lapangan ditempuh dengan cara sebagai berikut: a. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab langsung kepada informan yang memiliki informasi tentang aspek pengelolaan sampah pasar. a. Focussed Group Discussion (FGD), yaitu teknik pengumpulan melalui disksusi kelompok terarah pada beberapa key informan. 3) Analisa Data Data dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dilapang dari hasil wawancara yang mendalam dan FGD dari informan dan key informan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian melalui indikator-indikator yang telah ditetapkan.

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

17

Vol.1 No.1 April 2011 D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Kondisi Eksisting Pengelolaan Sampah Pasar Di Kota Makassar Sampah masih menjadi persoalan yang tiada hentinya. Kemampuan dan kapasitas pemerintah yang rendah diperhadapkan dengan kesadaran masyarakat yang masih rendah telah menjadi kombinasi buruk penanganan sampah di kota Makassar. Bahkan sebagian besar masyarakat menganggap bahwa masalah sampah tanggung jawab pemerintah semata. Sebagian masyarakat juga beranggapan sampah bukanlah masalah bila tidak berada di sekitarnya. Terkait dengan masalah pengelolaan sampah dan upaya menciptakan lingkungan kota yang lebih baik, akhirnya pada tanggal 15 Mei 2004 dicanangkanlah kampanye Makassar bersih oleh Walikota Makassar, yang bertujuan menggugah kesadaran masyarakat dan menciptakan tanggung jawab bersama terhadap permasalahan sampah di kota Makassar (Status Lingkungan Hidup daerah Kota Makassar, 2006). Selain itu, sejak tahun 2008 pemerintah kota Makassar juga mencanangkan Program Makassar Grean and Clean untuk menuju Makassar Bersih. Namun upaya ini, tidak akan berhasil sepenuhnya tanpa adanya dukungan dari masyarakat. Sampah merupakan salah satu ekses dari kegiatan penduduk, baik sampah padat, cair dan gas yang berasal dari kegiatan rumah tangga, industri dan kegiatan perkotaan lainnya. Data mengenai kondisi umum persampahan di kota Makassar pada Tahun 2008 disajikan pada tabel 01. Secara umum, dari data kondisi lokasi sumber sampah memperlihatkan bahwa beberapa lokasi mampu mengelola sampahnya secara keseluruhan. Pada lokasi-lokasi tersebut, misalnya permukiman mewah, pantai wisata dan kawasan perkantoran dapat dikatakan bahwa timbulan sampah yang terjadi setiap hari, hampir seluruhnya dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sebaliknya, data juga memperlihatkan bahwa beberapa lokasi di kota Makassar belum mampu menangani timbulan sampah dengan cara mengangkutnya ke TPA. Berdasarkan tabel 01, sumber sampah terbesar adalah dari permukiman sederhana yang ada di Kota Makassar. Dari total timbulan sampah harian, rata-rata persentase sampah yang terangkut dan dibuang ke TPA berjumlah sekitar 1093,29 m 3/hari. Sedangkan total

Tabel No.01. Timbulan Sampah Dan Yang Terangkut Di Kota Makassar Tahun 2008

Sumber Data : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup & Keindahan Kota Makassar, 2009

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

18

Vol.1 No.1 April 2011 timbulan adalah 1.282,45 m3/hari, sehingga lokasi TPA yang dapat digolongkan sebagai total timbulan yang tidak terangkut adalah unmanaged disposal sites. Bahkan, di wialayah sebesar 189, 16 m3/hari atau berkisar 14 %. tertentu seperti Kalimantan dan Sulawesi, terdapat beberapa kota kecil yang memiliki Tabel No.02. tempat pembuangan akhir yang sulit Komposisi Sampah Di Kota Makassar dikategorikan sebagai TPA (uncategorized Periode Desember 2008 disposal sites). Sistem pengelolaan sampah yang dilakukan dengan cara pembuangan terbuka mengindikasikan bahwa di kota tersebut tidak dilakukan upaya pemilahan sampah. Dengan sistem open dumping, kemampuan pengelola untuk mengangkut sampah cenderung menurun atau realtif tetap. Di sisi lain, jumlah penduduk menunjukkan Sumber Data : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup & Keindahan gejala yang semakin meningkat. Hal ini Kota Makassar, 2009 menyebabkan volume timbulan sampah Berdasarkan tabel No. 02 di atas, komposisi meningkat, sementara kemampuan terbesar sampah di kota Makassar Periode mengangkut sampah relative tidak berubah Desember 2008 adalah sampah organik (bio (Status Lingkungan Hidup Daerah, 2006). waste) yang layak kompos sebesar 83,61 %, Pengelolaan pasar di kota Makassar, dan yang terkecil adalah komposisi sampah umumnya dilakukan oleh perusahaan daerah kayu sebesar 0,18 %. Sampah organik dengan Pasar (PD Pasar) dan kepemilikan kios/toko proporsinya yang terbesar, merupakan secara perorangan. Salah satu permasalahan permasalahan utama persampahan di kota pada pasar di kota Makassar adalah masalah Makassar ; bila tidak dikelola dengan baik, pengelolaan sampah. Pasar-pasar di kota sampah organik dapat menjadi sumber Makassar menghasilkan sampah dalam jumlah pencemar lingkungan yang potensial. yang besar yaitu sekitar 574,80 m3/hari. Atau Berbeda dengan sampah organik, sampah sumber penyumbang sampah kedua terbesar anorganik pada batas-batas tertentu, melalui di kota Makassar setelah permukiman mekanisme pasar, dapat digunakan kembali sederhana. sebagai bahan baku industri (Kementrian Sebagian besar sampah tersebut berasal Negara Lingkungan Hidup-JICA, 2008), kecuali dari pedagang, konsumen, baik dari barangjenis-jenis sampah anorganik yang sulit barang yang dijual di pasar berupa kemasan, didaurulang atau terlalu mahal biaya pendaur kulit sayur, atau sisa olahan barang yang akan ulangannya, misalnya kantong-kantong plastik dijual. Komposisi sampah dari sampah pasar atau kemasan-kemasan makanan instan. kota Makassar adalah berupa sampah organik Sistem pelayanan pembuangan sampah di dan anorganik. Sampah organik terbesar kota Makassar saat ini sudah dilayani oleh bersumber dari sayur mayur. Sedangkan armada sampah yang pengelolaannya berada sampah anorganik biasanya dari kemasan di bawah naungan Dinas Pengelolaan barang dagangan berupa kantung plastik, Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota karung, kertas, dsb. Makassar, mulai dari daerah permukiman, Dalam pengelolaan persampahan skala daerah perdagangan, pusat pemerintahan, kota yang rumit, terdapat beragam stakeholders lokasi kegiatan sosial dan pendidikan. Sistem yang teribat secara langsung ataupun tidak pengelolaan sampah di kota Makassar pada langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai umumnya menekankan pendekatan Kumpul- dengan posisinya masing-masing. Dalam skala angkut-buang dan sistem pembuangan di TPA kota, peran pemerintah kota dalam mengelola secara terbuka (open dumping). sampah sangat-lah penting, dan pengelolaan Dari keseluruhan TPA menerapkan sistem sampah merupakan salah satu tugas utamanya pembuangan terbuka, sekitar 60 % memiliki sebagai bentuk pelayanan yang merupakanAgenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

19

Vol.1 No.1 April 2011 bagian dari infrastruktur kota tersebut. Stakeholders utama yang terdapat dalam pengelolaan sampah pasar adalah pengelola kota dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota Makassar. 2) Tahapan Penyusunan Agenda Sistem pengelolaan sampah konvensional yang masih berdasarkan prinsip KumpulAngkut-Buang dan sepenuhnya tergantung dari keberadaan TPA, diperkirakan bahwa dalam 510 tahun ke depan, pengelolaan sampah di banyak kota di Indonesia akan mengalami persoalan dengan habisnya masa pakai TPA sementara lokasi pengganti semakin sulit diperoleh sehubungan dengan terbatasnya lahan dan meningkatnya resistensi masyarakat terhadap keberadaan TPA, khususnya yang terletak di sekitar permukiman penduduk (Status Lingkungan Hidup, 2006). Pada situasi seperti inilah maka upaya menemukenali sebuah tahapan penyusunan agenda dalam pengelolaan sampah pasar di Kota Makassar menjadi sangat isu yang strategis. Transformasi isu menjadi isu agenda kebijakan merupakan produk dari sebuah interaksi antar aktor dan stakeholders dalam menyusun formulasi kebijakan pengelolaan sampah pasar di Kota Makassar. Secara kenseptual dapat di lihat dalam tabel no. 3 di bawah ini.Tabel No. 03 Matriks Agenda Setting : Pengelolaan Sampah Pasar di Kota Makassar

1. Private Problem Pasar sebagai suatu tempat perdagangan merupakan sumber timbulan sampah dan limbah cair dari kawasan komersial. Sebagai sebuah pusat perdagangan, pasar selalu berada di lokasi yang strategis, bahkan banyak dijumpai letak pasar ada di pusat kota. Pasar mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan sampah dan limbah cair. Sementara lahan TPA (tempat pembuangan akhir) merupakan permasalahan tersendiri yang dihadapi suatu kota besar. Untuk dapat mengelola sampah dan limbah cair pasar dengan benar, maka awal yang paling penting diketahui adalah pemahaman terhadap kuantitas, wujud, karakteristik dan potensi dari sampah dan limbah cair yang akan dikelola. Meningkatnya volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat urban maupun dari aktivitas pasar. Sementara itu, rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi pedagang dalam pengelolaan sampah menjadi suatu permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lingkungan bersih dan sehat. Kegiatan pengolahan sampah pasar selama ini relatif belum melibatkan masyarakat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah daerah yang bersifat top down. Salah satu indikatornya adalah kebijakan tarif retribusi kebersihan hanya ditentukan oleh aparatur pemerintah daerah dan relatif belum memperhatikan aspirasi masyarakat menyangkut berapa sesungguhnya para pedagang bersedia membayar untuk mendukung kegiatan pengolahan sampah di lingkungannya. Pola penanganan masalah sampah yang cenderung reaktif dan parsial terbukti tidak mampu menyelesaikan problem sampah pasar ini secara holistik. Pada saat yang sama, akibat nyata yang ditimbulkan telah membawa terganggunya aktivitas penjual dan pembeli dalam aktivitas transaksi jual-beli. Kondisi sampah yang berserakan membuat pembeli akan tidak nyaman untuk berbelanja di pasar tradisonal. Pada saat yang sama, semakin maraknya serbuan pasar retail modern yang menawarkan kenyamanan dan kebersihan, membuat pengujung pasar tradisional menjadi semakin berkurang. Dengan semakin 20

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Vol.1 No.1 April 2011 berkurangnya frekuensi kunjungan pembeli ke pasar tradisonal, maka secara agregat pendapatan pedagang pasar pun menjadi menurun. 2. Public Problem Sampah telah menjadi masalah yang besar, bagi kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, termasuk Makassar. Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan yang masih rendah khususnya di perkotaan dapat berdampak pada meningkatnya wabah penyakit menular seperti tipus, kolera, muntaber, disentri, pes, leptospirus, salmonelosis, demam gigitan tikus. Selain itu, sampah yang dibuang ke kanal dan saluran pembuangan berpotansi menimbulkan banjir. Volume sampah di Makassar tahun 2004 tercatat 4.330 ton perhari, jumlah ini meningkat cukup signifikan dibanding tahun 2003 sebesar 3.748 ton, dengan komposisi sampah organik 87,21%, kertas 4,42%, plastik 5,84% dan selebihnya alumunium, kaca, kayu dan jenis lainnya. Kapasitas limbah padat Makassar untuk saat ini mencapai 1.860 m3/ hari yang dibuang ke TPA Tamangapa. Timbulan sampah pasar mencapai 60,10 % atau 16,69 % dari total timbulan sampah kota Makassar (STLHD, 2006). Sebagian besar sampah tersebut adalah sampah organik yang berasal dari pedagang sayur-mayur dan buahbuahan serta sisa-sisa makanan, serta dari para pembeli dan pengunjung yang membuang sampah sembarangan, tentu akan membuat kualitas lingkungan menjadi tercemar. Hal ini diakibat-kan bukan saja karena pertambahan jumlah penduduk tetapi juga karena meningkatnya timbulan sampah per kapita yang disebabkan oleh perbaikan tingkat ekonomi dan kesejahteraan. Sampah organik yang umumnya berasal dari sisa sayur-sayuran dan buah-buahan serta kantong kemasan berbahan plastik, yang tidak terangkut dengan di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sekitar pasar menjadi berserakan hingga ke saluran drainase dan kanal. Timbulan sampah yang menyumbat drainase dan kanal, pada musim penghujan dapat menimbulkan banjir. Selain menimbulkan banjir, timbulan sampah yang tidak terangkut dengan cepat di bak sampah, yang juga difungsikan sebagai Tempat Pembuangan Sementara (TPS) hingga ke badan jalan secara nyata telah menimbulkan kemacetan lalu lintas. 3. Policy Issues Selama ini, metode pengelolaan sampah pasar yang diterapkan pemerintah kota terhadap pasar tradisional masih bersifat konvensional. Pola kumpul-angkut-buang/ bakar sebenarnya sudah tidak memadai lagi ditengah upaya peningkatan nilai ekonomi dari sampah. Metode 3R (reduce, reuse, recycle) yang memungkinkan terjadinya daur-ulang sampah secara berkelanjutan. Dengan metode ini, sampah bukan lagi barang yang tidak berguna tetapi menjadi sebuah komoditi yang bernilai ekonomi tinggi. Permasalahan pengelolaan sampah terutama di Pasar Pabbaeng-baeng dan Pasar Terong terutama pada teknis operasional yaitu sistem pewadahan dan pengangkutan yang tidak memadai, serta peran serta masyarakat khususnya pedagang masih kurang dalam penanganan sampah pasar. Selama ini, pilihan metode konvensional yang digunakan tidak ditunjang oleh jumlah fasilitas persampahan yang memadai. Bak sampah yang berfungsi TPS dan mobil angkutan sampah jumlahnya sangat tidak proporsional dengan laju pertumbuhan sampah yang ada. Disamping itu, aspek maintainance (pemeliharaan) terhadap fasilitas yang ada serta jumlah personil operator kebersihan juga belum pada kategori yang memadai. Dinas Pengolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan (DPLHK) Kota Makassar, sebagai leading sector penanganan masalah ini masih diperhadapkan pada problem birokrasi kronis, seperti keterbatasan dari sisi anggaran, personil hingga pada resistensi terhadap perubahan metode pengeloaan sampah. Keseluruhan problem yang dihadapi dari sisi manajemen, pada saat yang sama tidak di dukung oleh kesadaran yang tinggi dari kalangan pedangang, terutama dalam mengumpulkan sampah dagangannya. Kurangnya kesadaran dan perhatian para pedagang mengakibatkan mereka membuang 21

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Vol.1 No.1 April 2011 sampah sembarangan, sehingga mengotori kanal, di sekitar tempat jualan pedagang, bahkan di ruas jalan menuju pasar juga terlihat tumpukan sampah. Situasi ini seharusnya menyadarkan pemerintah kota bahwa perbaikan manajemen sampah pasar tidaka bisa dilakukan hanya dengan memperbaiki sarana dan prasarana saja. Perlu sentuhan pada aspek manusianya, dalam hal ini peningkatan kesadaran melalui pembinaan pedagang untuk berperan dalam mengelola sampah pasar. dan bersih, dan mampu bersaing pasar retail modern yang semakin menjamur. Partisipasi pedagang dalam pengelolaan sampah pasar menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini terkait dengan kesadaran bahwa di era new governance, pemangku kepentingan utama pembangunan buka hanya di sektor pemerintah. Anggapan sebagian besar masyarakat menganggap bahwa masalah sampah tanggung jawab pemerintah semata perlu direorientasikan. Dalam pola interaksi new governance, pedagang tidak lagi diposisikan hanya sebagi obyek pasif yang 4. Systemic Agenda hanya bisa memproduksi sampah dan Sampah masih menjadi persoalan yang membayar retribusi, tetapi menjadi bagian dan tiada hentinya. Kemampuan dan kapasitas aktor penting dalam pengelolaan sampah pasar. pemerintah yang rendah diperhadapkan Partisipasi pedagang dapat dilakukan mulai dengan kesadaran masyarakat yang masih dilevel penyusunan rencana (perencanaan), rendah telah menjadi kombinasi buruk tindakan pelaksanaan, hingga ditahap penanganan sampah di kota Makassar. monitoring (pengawasan). Sebagian masyarakat juga beranggapan sampah bukanlah masalah bila tidak berada di 5. Institutional Agenda sekitarnya. Dari total timbulan sampah harian, rataTerkait dengan masalah pengelolaan rata persentase sampah yang terangkut dan sampah dan upaya menciptakan lingkungan dibuang ke TPA berjumlah sekitar 1093,29 kota yang lebih baik, akhirnya pada tanggal 15 m3/hari. Sedangkan total timbulan adalah Mei 2004 dicanangkanlah kampanye 1.282,45 m 3/hari, sehingga total timbulan Makassar bersih oleh Walikota Makassar, yang yang tidak terangkut adalah sebesar 189, 16 bertujuan menggugah kesadaran masyarakat m3/hari atau berkisar 14 % (DPLHK, 2009). dan menciptakan tanggung jawab bersama Sistem pelayanan pembuangan sampah di terhadap permasalahan sampah di kota kota Makassar saat ini sudah dilayani oleh Makassar (Status Lingkungan Hidup daerah armada sampah yang pengelolaannya berada Kota Makassar, 2006). Selain itu, sejak tahun di bawah naungan Dinas Pengelolaan 2008 pemerintah kota Makassar juga Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota mencanangkan Program Makassar Grean and Makassar, mulai dari daerah permukiman, Clean (MGC) untuk menuju Makassar Bersih. daerah perdagangan, pusat pemerintahan, Namun upaya ini, tidak akan berhasil lokasi kegiatan sosial dan pendidikan. Sistem sepenuhnya tanpa adanya dukungan dari pengelolaan sampah di kota Makassar pada masyarakat. umumnya menekankan pendekatan KumpulSecara umum, kini fungsi pasar angkut-buang dan sistem pembuangan di TPA bertransformasi dari fungsi sebagai arena secara terbuka (open dumping). transaksi menjadi fungsi produsen sampah, Dalam pengelolaan persampahan skala penyebab banjir, dan kemacetan. Langkah kota yang rumit, terdapat beragam sistemik yang diharus dilakukan pemerintah stakeholders yang teribat secara langsung kota adalah dengan segera melakukan langkah ataupun tidak langsung. Setiap stakeholders revitalisasi pasar tradisional, dari sisi berperan sesuai dengan posisinya masingmanajemen dan penataan fisik. Langkah in masing. Dalam skala kota, peran pemerintah diharapkan akan mengembalikan fungsi kota dalam mengelola sampah sangatlah pasar tradisional sebagai arena jual-beli yang penting, dan pengelolaan sampah merupakan egaliter serta menghadirkan suasana nyaman salah satu tugas utamanya sebagai bentuk 22

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Vol.1 No.1 April 2011 pelayanan yang merupakan bagian dari infrastruktur kota tersebut. Stakeholders utama yang terdapat dalam pengelolaan sampah pasar adalah Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota Makassar dengan Pedagang pasar. Hubungan kemitraan antar kedua aktor dan kelembagaan ini menjadi solusi dalam mengatisipasi laju pertumbuhan aktivitas ekonomi pasar yang menghasilkan ribuan ton meter-kubik jumlah sampah. Dari titik inilah, upaya mendorong perluasan partsipasi pedagang dalam pengelolaan sampah pasar penting untuk menjadi agenda kebijakan Pemerintah Kota Makassar. E. KESIMPULAN DAN SARAN pemilahan pada tahap awal dan sampah yang ada (organik) dibuat kompos. Untuk pengadaan bahan dan peralatannya dapat disediakan dan dibantu oleh pihak pengelola pasar kerjasama dengan pihak pemerintah. Pemerintah Kota Makassar, yakni Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan agar meningkatkan infrastruktur pengelolaan sampah baik itu berupa penambahan jumlah bak tempat pembuangan sampah sementara (TPS) di pasar, penambahan jumlah petugas kebersihan, maupun peningkatan jumlah armada pengangkutan sampah, sehingga sampah yang tidak dapat ditangani dapat diangkut secara keseluruhan ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA).

Pemerintah Kota Makassar mesti melakukan pembenahan serius terhadap 1) Kesimpulan fasilitas persampahan, terutama pada kondisi Sampah telah menjadi masalah yang besar, bagi kota-kota besar di Indonesia seperti pasar pascarevitalisasi. Sistem dan penyediaan Jakarta, Surabaya, Bandung dan termasuk fasilitas tersebut melibatkan partisipasi Makassar. Timbulan sampah pasar mencapai pedagang. Pendekatan secara partisipatif dalam 60,10 % atau 16,69 % dari total timbulan perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan sampah kota Makassar (STLHD, 2006). fasilitas akan meningkatkan rasa memiliki di Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan kalangan pedagang pasar. yang masih rendah khususnya di perkotaan Peraturan Daerah (Perda) tentang dapat berdampak pada menurunnya aktivitas penataan Pasar Tradisional perlu dipercepat ekonomi pada pasar tradisional serta memicu pembahasan dan atau pemberlakuannya, peningkatan penyakit menular seperti diare, terutama hal yang berkaitan dengan sistem dan disentri, pes, dll. prosedur pengelolaan sampah pasar. Gagasan Berdasarkan hasil pembahasan diatas, dan kebijakan revitalisasi pasar tradisional maka dapat ditarik kesimpulan yakni Sistem diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek pengelolaan sampah yang selama ini penataan spasial (keruangan), tetapi juga diterapkan di Pasar belum memberikan hasil memperhatikan aspek sosial dan pengelolaan yang optimal karena kurangnya ketersediaan lingkungan terutama aspek persampahan. TPS, pengangkutan sampah ke TPA belum dilaksanakan secara rutin, penyediaan DAFTAR PUSTAKA infrastruktur persampahan yang masih minim oleh instansi terkait. Sementara Partisipasi Birkland, Thomas A. 1997. Efter Disaster : pedagang masih rendah, ditandai dengan Agenda Setting, Public Policy, and kurangnya keterlibatan pedagang mulai dari Focusing Event, Washington : George tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengaTown University Press. wasan pengelolaan sampah. Untuk itulah penyusunan agenda kebijakan pengelolaan Cobb, Roger. W. & Charles. D. Elder, 1972. sampah pasar penting untuk dilakukan. Participation in American Politics: The Dynamics of Agenda-Building, John 2) Saran Hopkins University Press. Setiap pasar dianjurkan menggunakan tempat sampah dua partisi dan dilakukan DPLHK, 2009. Komposisi Sampah Di KotaAgenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

23

Vol.1 No.1 April 2011 Makassar Periode Desember 2008, Harper Collins Laporan Bulanan Dinas Pengeloaan Lingkungan Hidup & Keindahan Kota Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD). Makassar 2006, Melaui Makassar Bersih, Menuju Kota Berkelanjutan, Buku Parameter Dye, Thomas, R. 2005. Understanding Public Basis Data, Makassar : Dinas PLHK & Policiy (ed.7th). New Jersey: Pearson CV. Globalindo Konsultama. Prentice Hall Shinichi Shigetomi, (2002), The State and Gupta, Dipak K. 2001. Analyzing Public Policy, NGOs: Issue &Analytical Framework, Concepts, Tools, and Techniques, dalam Shinichi Shigetomi (ed.), 2002. Singapore : CQ Press. The State & NGOs: Perspective from Asia, Singapore: ISEAS. Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2008. Statistik Persampahan Indonesia. Japan Stone, Deborah. 2002. Policy Paradox : The Art International Cooperation Agency of Political Decision Making. Rev. ed. (JICA), Jakarta. New York: W.W Norton) Kingdon, John W. 1995. Agendas, Alternatives, and Public Policies, 2nd ed. New York : Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

*******

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

24

Vol.1 No.1 April 2011

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENINGKATAN KOMPETENSI PENDIDIK MELALUI PENINGKATAN RASIO PENDIDIK & PEMERATAAN PENYEBARAN PENDIDIK DI KABUPATEN JENEPONTONuryanti MustariFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 866972 ext. 107 Fax. 0411 865588

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Implementasi Kebijakan Peningkatan rasio pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik di Kabupaten Jeneponto sebagai salah satu program untuk meningkatkan kompetensi pendidik yang muaranya adalah meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Jeneponto. Sampel penelitian adalah implementor kebijakan yaitu Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Jeneponto dan Objek Kebijakan yaitu guru-guru IPA, IPS dan Bahasa SMA se Kabupaten Jeneponto yaitu 7 Sekolah Menengah Atas. Dan Informan dari institusi Dinas Pendidikan yaitu Kepala Dinas pendidikan, Sekretaris Dinas pendidikan, Kepala Bidang Ketenagaan, dan Kepala Bidang Kejuruan dan SLTA. Responden dipilih melalui teknik Proportional Random Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, dokumentasi, rekaman arsip, wawancara dan observasi langsung. Teknik analisas data adalah teknik analisa siklus yang meliputi tahap-tahap reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan peningkatan rasio pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik di Kabupaten Jeneponto belum berjalan efektif sehingga masih banyak yang perlu dibenahi dan diperhatikan oleh Pemerintah. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan Peningkatan peningkatan rasio pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik.

A. PENDAHULUAN Isu sentral yang berkembang di Indonesia dewasa ini dalam bidan