Inovasi - Edisi TICA 2014 Bagian 1
-
Upload
inovasi-online -
Category
Documents
-
view
260 -
download
4
description
Transcript of Inovasi - Edisi TICA 2014 Bagian 1
Vol 23 No. 1 (Feb 2015) | Majalah Ilmiah Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang | ISSN : 2085-871x
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
1 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
2 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Dewan Redaksi
Pembina :
M. Iqbal Djawad, PhD
Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia, Tokyo, Jepang
Penanggung Jawab :
Adiyudha Sadono
Ketua Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang
Pemimpin Redaksi :
Jihan Tika Aryani (Ritsumeikan APU)
Departemen / Staf Redaksi :
Muhammad Rifqi (Tohoku University), Kinanti Hantiyana A. (Tohoku University), Fadhila Sanaz
Arumdani (Hokkaido University), Anindya Pradipta (Ritsumeikan APU), Fransisca Callista (Chiba
University), Maria Anna Dwi Handayani (Chiba University), Wentika Putri Kusuma A. (Tokyo
Institute of Technology)
Desain Grafis dan Foto:
Devina Fransisca (Ritsumeikan APU) & Rio Rahman Hadi (Ritsumeikan APU)
Situs : io.ppijepang.org
E-mail : [email protected]
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
3 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Kata Pengantar
Inovasi Online kali ini kembali menghadirkan
karya-karya inovasi para pelajar Indonesia yang
dirangkai dalam acara Tokyo Tech Indonesian
Commitment Award 2014. Hasil-hasil riset dan studi
terunggul dari seluruh Indonesia dikompetisikan
dalam bentuk artikel ilmiah dan 30 karya terbaik
diantaranya tersaji dalam edisi khusus Inovasi Online
kali ini. TICA merupakan lomba penulisan artikel
ilmiah yang diinisiasi oleh para pelajar di Tokyo
Institute of Technology (PPI-Tokodai) yang
berkomitmen untuk menginspirasi, mempromosikan,
dan mendukung karya anak bangsa di bidang sains
dan teknologi. Acara TICA ini dimulai sejak 2010 dan
mulai dipublikasikan di Inovasi Online PPIJ sejak
2013 lalu.
Sama seperti tahun sebelumnya topik-topik
studi dan penelitian dikelompokkan ke dalam tiga
bagian:
1. Ilmu & rekayasa sosial, yang meliputi ilmu
ekonomi, manajemen industri, arsitektur dan
perencanaan wilayah, teknik lingkungan, dsb.
2. Teknik elektro & ilmu komputer, yang meliputi
teknik elektro, elektronika, teknik tenaga listrik,
ilmu & sistem informasi, robotika & mekatronika,
teknik kendali, ilmu komputer, dsb.
3. Ilmu & teknologi terapan, yang meliputi teknik
fisika, kimia, biologi, matematika , astronomi,
biologi & bioteknologi, teknik material &
metalurgi, teknik nuklir, teknik sipil, teknik
biomedika, dsb.
Dalam TICA kali ini diperoleh 175 karya dari
35 universitas di seluruh Indonesia. Dimana 30
terbaik diantaranya dimasukkan ke dalam proceeding
dan tiga orang pemenang TICA mendapatkan hadiah
berupa kesempatan mengunjungi Tokyo Institute of
technology (Tokyo Tech). Dalam kunjungan ini, selain
berwisata dan mengenal budaya Jepang secara
langsung, para pemenang juga berkesempatan untuk
bertemu professor dan mengunjungi fasilitas riset di
Tokyo Tech. Semoga kesempatan ini bisa menjadi
satu jalan untuk para memenang melanjutkan
studinya di Jepang.
TICA merupakan kontribusi nyata para
pelajar di Jepang, khususnya di Tokyo Tech dalam
menjalankan peran sebagai penghubung antara
Indonesia dengan Jepang. Komitmen para pelajar di
Jepang ini membuahkan wadah bagi para pelajar di
Indonesia untuk meningkatkan kualitas riset dan
menghasilkan karya terbaiknya yang kemudian
difasilitasi untuk berkunjung ke Jepang dan
membuka peluang-peluang emas lainnya di masa
yang akan datang.
Karya-karya terbaik pelajar Indonesia itu, kini
disajikan kembali di hadapan Anda sekalian, dalam
edisi khusus Inovasi Online: Tokyo Tech Indonesian
Commitment Award 2014. Selamat membaca dan
rasakan semangat inovasi dari para pelajar Indonesia!
Salam inovasi,
PPIJ, Sinergi untuk Indonesia!
Adiyudha Sadono,
Ketua Umum PPI Jepang 2014-2015
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
4 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Tentang TICA
M. Iqbal Djawad, Ph.D Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo
Perkenankan
saya sebagai
Atase Pendidikan
dan Kebudayaan
KBRI Tokyo
mengucapkan
selamat dan
apresiasi yang
tinggi kepada
seluruh peserta
TICA ( Tokyo
Tech Indonesian
Commitment
Award) yang terselenggara atas usaha keras dari para
mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Pelajar
Indonesia (PPI) Jepang Komisariat Tokodai, Tokyo.
Sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pem-bangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-
2025, bahwa pemban-gunan ekonomi diarahkan kepada
peningkatan daya saing dan ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge based economy). Dalam hal ini,
maka penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ilmu
Pengetahuan serta Teknologi (Iptek) merupakan salah
satu pilar penting untuk mewujud-kan hal tersebut
sehingga kita bersama - sama harus mendorong proses
peningkatan kualitas SDM dan Iptek ini. Indonesia
adalah negara yang dikaruniai hampir semua prasyarat
untuk mampu menjadi kekuatan besar dalam
perekonomian dunia. Kekayaan sumberdaya alam yang
beragam dan melimpah, jumlah penduduk yang besar
dan keragaman budaya, serta posisi geostrategis yang
mempunyai akses ke jaringan mobilitas global.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia memerlukan
suatu transformasi ekonomi yang bisa dipercepat melalui
penguasaan sains dan teknologi. Untuk itu
pengintegrasian beberapa elemen yang tercantum dalam
Masterplan Per-cepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang didasari oleh semangat
not business as usu-al, dan melibatkan seluruh
stakeholder.
Salah satu point penting dalam elemen ini adalah
menetapkan strategi memperkuat kemampuan SDM dan
Iptek nasional untuk mendukung pengembangan
program utama di setiap Koridor Ekonomi. Point ini
dapat menjadi cara untuk meningkatkan kualitas produk
nasional sehingga produk dalam negri dapat bersaing
dengan produk – produk dari luar dan mendorong
masyarakat kita untuk lebih mencintai produk nasional.
Untuk itulah TICA secara tidak langsung ikut
memberikan kontribusi yang sangat kuat terhadap
transformasi ekonomi yang akan membawa Indonesia ke
negara yang disegani dan berada di papan atas negara-
negara maju dunia pada tahun 2030. Dengan tema Future
Energy toward Sustainable Development, TICA Award
ini juga telah memberikan pelajaran dan membagikan
ilmu pengetahuan bagaimana sebaiknya teknologi
memberikan kontribusi ke pembangunan berkelanjutan
di masa depan, dan yang lebih penting lagi TICA Award
telah memberikan kesempatan kepada para peneliti muda
dari seluruh Indonesia untuk memperlihatkan daya
inovasi, kreatifitas dan kapabilitas mereka sebagai anak-
anak muda yang akan berperan dalam peningkatan
kesejahteraan manusia umumnya dan masyarakat
Indonesia pada khususnya.
Maju terus TICA Award !
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
5 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Yuriko Sato, Ph.D. Associate Professor International Student Center and Dept. of Environmental Science & Technology Tokyo Institute of Technology
In March
2010 when Mr. Farid
Triawan was the
president of PPI all
Japan, PPI Tokodai
held a one day
seminar in Tokyo
Tech on “Indonesia
Japan Cooper-ation
to Create Innovative
Human Resources for
Sustainable Development” and started Tokyo Tech
Indonesian Commitment Award (TICA). I was very
much impressed by PPI Tokodai members’ real
commitment to realize the topic of the seminar, which
was Creation of Innovative Human Resources for
Sustainable Development of Indonesia. But at that
time I just thought that it was a special activity just for
the year. However, as you know, TICA continued. And
this is the 4th TICA Award Ceremony.
It is not easy for the students living in Tokyo to raise
funds necessary to invite the young Indonesian
students to Japan because the commodity price in
Tokyo is very expen-sive. I heard that PPI Tokodai
OBs and OGs donated considerable amount of money
for TICA. I am very im-pressed. It shows the PPI
Tokodai members’ unity and real commitment for the
Development of Indonesia.
Tokyo Tech’s Education Goal is to foster the scientists
and engineers, who not only master high skills and
knowledge but also embrace noble spirit and take
actions to contribute to the society. By knowing the
continuation of TICA, I come to realize that PPI
Tokodai members are embodying our educational
goal. We are really proud of you.
Indonesia is an emerging country.
When I meet the people working in Japanese
companies, many of them say that they are now
looking for Indonesian students who can work for
their companies. It reflects the rapid development of
Indonesia and charms of the Indone-sian market for
Japan. Indonesia is a leading country in ASEAN,
which will establish ASEAN Economic Community in
2015.
In this new development stage, the Creation of
Innovative Human Resources will be further more
important for Sus-tainable Development of Indonesia.
I hope that the young undergraduate students who
receive TICA top prize today will further make efforts
to develop your abilities and contribute to your
country as innovative human resources, following the
good example of PPI Toko-dai members.
And I also wish the further success of the present and
former PPI Tokodai members in your given
environment. I think you are the treasures for
Indonesia, for Japan and for the world.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
6 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
PANITIA TICA 2014
Board of Advisor
1. M. Iqbal Djawad, Dr. Eng., -Education and Culture Attaché, Indonesian Embassy in Japan
2. Muhammad Aziz, Dr. Eng., (coord.), -Assistant Professor in Tokyo Institute of Technology
3. Yuriko Sato, Dr. Eng, - Associate Professor in Tokyo Institute of Technology
4. Arif Sarwo Wibowo, Dr. Eng., - Assistant Professor in Bandung Institute of Technology, JSPS
Fellow at Tokyo Institute of Technology
5. Topan Setiadipura, Dr. Eng., - Researcher in BATAN, Tokyo Tech Alumni
6. Andante Hadi, D. Eng., Tokyo Tech Alumni
Steering Committee
1. Nurul Fajri, - Chairman of PPI-Tokodai
2. Ashlih Dameitry, - PPI-Tokodai
3. Irwan Liapto Simanullang, -Former TICA Chairman
Organizing Comittee
Chairman Pribadi Mumpuni Adhi
Secretary Yuni Susanti
Treasurer Anissa Nurdiawati
Design Nur Safira Assyifa
Public Relation Ilman Nuran Zaini
Logistic & Accommodations Harish Reza Septiano
Consumption Syifa Asatyas
Paper Competition Sidik Soleman
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
7 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Awarding Ceremony Eko Yuniarsyah
Reviewers
1. Aa Haeruman Azam, S.Si
2. Nisrina Setyo Darmanto, S.T.
3. Anissa Nurdiawati, S.T.
4. Samratul Fuady, M.T.
5. Totok Mujiono, M.T.
6. Adiyudha Sadono, M.Eng
7. Annisa Anindita Zein, S.Mn.
8. Andante Hadi, D. Eng
9. Natalia Maria Theresia, S.Si.
10. Pribadi Mumpuni Adhi, M.Eng
11. Sidik Soleman, S.T.
12. Sjaikhurrizal El Muttaqien, S.Si
13. Okky Dwichandra Putra, M.Si
14. Radon Dhelika, M.Eng
15. Nurul Fajri, B.Eng
16. Ferryanto, M.T.
17. Bentang Arief Budiman, M.Eng
18. Dwi Joko Suroso, M.Eng
19. Tirto Soenaryo, M.Eng
20. Ari Hamdani, M.Eng
21. Muslimin, M.T.
22. Srikandi Novianti, M.Eng
23. Yuni Susanti, S.Kom
24. Ashlih Dameitry, M.Eng
25. Arif Sarwo Wibowo, D.Eng
26. Saifuddin, M.Sc
27. Ayu Dahliyanti, S.T.
28. Fadli Ondi, B.Eng
29. Syifa Asatyas, S.Si.
30. Eko Yuniarsyah, M.T.
31. Fakhruddin, M.Eng
32. Firman Azhari, M.T.
33. Maulana Abdul Aziz, M.Sc
34. Bayu Prabowo, D.Eng
35. Sri Hastuty, D.Eng
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
8 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Pemenang TICA 2014
Juara 1
Arif Sony Wibowo
Universitas Diponegoro
Terobosan Baru Pengawetan Sayur dan Buah Berbasis Fotokatalitik Nano Co-Doped ZnO
untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional
Juara 2
Cynthia Widjaja
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Potensi Sekam Padi sebagai Bahan Bakar Terbaharukan dan Ramah Lingkungan Pengganti
Diesel Industri
Juara 3
Nathaniel Chandra Harjanto
Institut Teknologi Bandung
Perancangan Sistem Antarmuka Otak-Komputer Berbasis Steady State Visual Evoked Potential
untuk Kendali Navigasi Kursi Roda Elektrik
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
9 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
SINTESIS NANOKRISTAL SILIKON DARI LUMPUR
SIDOARJO SEBAGAI BAHAN BAKU UNTUK SEL
SURYA SUPER EFISIEN
SYNTHESIS OF SILICON NANOCRYSTALS FROM
SIDOARJO MUD AS RAW MATERIALS FOR
SUPEREFFICIENT SOLAR CELLS
Lisna Putri Setiawan1,a, Muhibullah Abdisy Syakur Al Mubarok2,b, Maisari Utami3,c dan Wega Trisunaryanti4,d
1,2,3Jurusan Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. aEmail: [email protected],
bEmail: [email protected] dan cEmail: [email protected]
4Jurusan Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. dEmail: [email protected]
Abstrak- Nanokristal Silikon telah disintesis melalui
reduksi metalotermal dari silika dengan kemurnian
tinggi yang diperoleh dari lumpur Sidoarjo. Sebuah
metode sederhana menggunakan ekstraksi alkali yang
diikuti oleh pengendapan asam telah dilakukan untuk
menghasilkan xerogels silika yang murni dari lumpur
Sidoarjo. Konsentrasi yang berbeda dari natrium
hidroksida telah dipelajari dan dioptimasi selama
ekstraksi silika. Silikon nanokristal disintesis pada
650 °C selama 3 jam menggunakan magnesium
sebagai agen pereduksi. Produk ini kemudian
dilakukan satu tahap pencucian asam. Konsentrasi
maksimum silika yang dihasilkan dari ekstraksi
lumpur Sidoarjo adalah 5342,9 ppm dari larutan
natrium hidroksida 6 M. Produk akhir menunjukkan
nanokristal silikon merupakan fase utama sedangkan
Mg2Si menjadi fase minor. Material ini telah
digunakan sebagai sel surya super efisien oleh
beberapa peneliti. Efisiensi sel surya ini dapat
mencapai lebih dari 60 %, sedangkan efisiensi sel
surya terbaik saat ini baru mencapai sekitar 30 %. Hal
ini karena nanokristal silikon dapat menghasilkan
tiga elektron per foton sinar matahari. Efek ini
menghasilkan generasi baru sel surya yang memiliki
efisiensi dua kali lebih besar dari jenis sel surya yang
ada. Selain itu , sel-sel surya ini juga lebih mudah
dibuat dan lebih ramah lingkungan.
Kata Kunci—Ekstraksi silika; Nanokristal silikon; Sel
surya super efisien; Lumpur Sidarjo.
Abstract- Silicon nanocrystals was synthesized by
metallothermal reduction of high purity silica
obtained from Sidoarjo mud. A simple method based
on alkaline extraction followed by acid precipitation is
developed to produce pure silica xerogels from
Sidoarjo mud. Different concentration of sodium
hydroxide was studied and optimized during silica
extraction. Silicon nanocrystals was synthesized at
650 °C for 3 hours using magnesium as a reducing
agent. The product was then subjected to one stage of
acid leaching. The maximum concentration of silica
produced from the extraction of Sidoarjo mud was
5342,9 ppm from sodium hydroxide 6 M solution. The
final product showed silicon nanocrystals was the
major phase whereas Mg2Si was the minor phase. This
material has been used as superefficient solar cells by
several researcher. The efficiency of these solar cells
can achieve more than 60%, whereas the efficiency of
the best solar cells has only reached approximately
30%. This is because the silicon nanocrystals can
produces three electrons per photon of sunlight. This
effect leads to a new generation of solar cells that has
more than twice the efficiency of existing solar cell
types. Moreover, these solar cells are also made easier
and more environmentally friendly.
Keywords—Silica extraction; Silicon nanocrystals;
Superefficient solar cell; Sidoarjo mud.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
10 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan energi yang dapat diperbaharui dan murah
saat ini sangat diperlukan di seluruh dunia. Mayoritas
konsumsi energi dunia saat ini berasal dari minyak bumi
dan batu bara. Sumber energi tidak terbaharui tersebut
jumlahnya sangat terbatas. Pemakaian energi fosil ini
diperkirakan dalam waktu 40 tahun sudah akan habis.
Oleh karena itu, selain peningkatan efisiensi dalam
pemakaian sumber energi, diperlukan juga pembangkit
energi di masa depan yang bisa mengganti keberadaan
minyak bumi dan batu bara. Saat ini berbagai alternatif
energi baru terbarukan (EBT) seperti pembangkit listrik
tenaga matahari (sel surya), nuklir dan fuel cell menjadi
topik penelitian mulai banyak dikaji para ahli.
Energi yang dipancarkan sinar matahari sebenarnya
hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69%.
Padahal suplai energi dari sinar matahari yang diterima
oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya yaitu
mencapai 3x1024 joule pertahun, energi ini setara dengan
2x1017 Watt. Jumlah energi sebesar itu setara dengan
10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini.
Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan
bumi dengan divais panel surya yang memiliki efisiensi
10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di
seluruh dunia saat ini.
Sel surya adalah alat yang digunakan untuk mengubah
energi matahari menjadi energi listrik. Sel surya
umumnya hanya menghasilkan satu elektron per foton
sinar matahari yang masuk. Beberapa material
diperkirakan menghasilkan lebih dari satu elektron per
foton yang disebut dengan efek multijunction. Para
peneliti di National Renewable Energy Laboratory
(NREL) untuk pertama kalinya menunjukkan
nanokristal silikon dapat menghasilkan tiga elektron per
foton sinar matahari yang berenergi tinggi. Efek ini
menghasilkan generasi baru sel surya yang aman dan
dua kali lebih
efisien dibandingkan sel surya yang ada saat ini (Jihun
et al. [1]).
Di sisi lain, permasalahan lumpur panas Sidoarjo telah
menimbulkan dampak kerugian yang luar biasa,
diantaranya mengakibatkan bencana luapan lumpur
yang semakin banyak dan meluap ke rumah penduduk
sampai menenggelamkan semua bangunan yang ada di
sekitarnya. Semburan lumpur ini terjadi di lokasi
pengeboran PT. Lapindo Brantas mulai tanggal 29 Mei
2006 dan diperkirakan akan berakhir 31 tahun yang
akan datang. Menurut Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Kelautan Bandung, saat ini tidak
ada lagi cara untuk menghentikan semburan lumpur.
Padahal luas area luapan tersebut telah mencapai lebih
dari 6,7 km2 dan setiap tahun terus mengalami
peningkatan (Åkesson [2]).
Peningkatan volume lumpur Sidoarjo ini memberikan
dampak negatif baik untuk makhluk hidup maupun
lingkungan sekitar luapan. Oleh karena itu diperlukan
suatu teknologi tepat guna untuk mengolah lumpur
Sidoarjo menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Namun
pemanfaatannya hingga saat ini masih terbatas pada
pembuatan bahan bangunan yang bernilai ekonomi
rendah.
Fadli et al. [3] menyatakan bahwa kandungan silika
pada lumpur Sidoarjo cukup besar dan mempunyai
peluang besar untuk dimanfaatkan dalam kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Silika tersebut sangat
berpotensi untuk diolah menjadi nanokristal silikon
yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar sel surya
yang berfungsi mengubah energi matahari menjadi
energi listrik. Pemanfaatan ini diharapkan dapat
memberikan peluang yang besar bagi berkembangnya
industri sel surya nasional.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
11 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
II. EKSPERIMENTAL
A. Preparasi Lumpur Sidoarjo
Lumpur ditumbuk sampai halus kemudian direndam
dengan akuades dalam gelas beker sambil diaduk selama
24 jam menggunakan pengaduk magnet pada
temperatur kamar. Lumpur tersebut kemudian disaring
menggunakan Buchner. Lumpur yang telah disaring
dikeringkan pada temperatur 100 oC selama 12 jam.
Lumpur kering kemudian ditumbuk kembali sampai
halus sampai membentuk serbuk. Serbuk diayak
menggunakan pengayak 150 mesh.
B. Optimasi Ekstraksi Silika
Lumpur yang telah dipreparasi direfluks dengan 100 mL
larutan NaOH sambil diaduk dengan pengaduk magnet
selama 5 jam. Konsentrasi NaOH yang digunakan yaitu
2; 3; 4; 5; 6 dan 7 M. Sampel hasil refluks dipisahkan
menggunakan alat sentrifuge dengan kecepatan 2100
rpm selama 10 menit. Filtrat kemudian disaring
menggunakan kertas saring whatman No. 1. Larutan
yang diperoleh merupakan larutan natrium silikat.
Jumlah silika yang terlarut dianalisis menggunakan AAS.
Konsentrasi NaOH dengan jumlah silika yang terlarut
paling banyak digunakan untuk menghasilkan natrium
silikat sebanyak-banyaknya.
C. Preparasi Nanopartikel Silika
Natrium silikat hasil pelarutan dengan konsentrasi
NaOH optimum dititrasi dengan HCl sedikit demi
sedikit sampai pH sekitar 8. Gel yang terbentuk
didiamkan selama sehari kemudian dipisahkan dengan
cara disaring menggunakan kertas whatman No. 1. Gel
kemudian dicuci dengan akuabides sambil diaduk
dengan pengaduk magnet selama sehari pada
temperatur kamar. Gel disaring kembali dan dikeringkan
selama 5 jam pada temperatur 100 oC kemudian
ditumbuk sampai halus hingga membentuk serbuk.
Serbuk yang diperoleh merupakan nanopartikel silika.
D. Sintesis Nanokristal Silikon
Nanokristal silikon disintesis menggunakan metode
reduksi metalotermal. Proses reduksi dilakukan
menggunakan agen pereduksi logam magnesium. Silika
dari lumpur Sidoarjo dicampur dengan serbuk
magnesium dengan cara ditumbuk sampai homogen.
Campuran kemudian dipanaskan dalam atmosfer udara
pada temperatur 650 oC selama 3 jam dengan laju
pemanasan 10 oC/menit.
Pemurnian produk hasil reduksi dilakukan
menggunakan HCl 1,25 M dan CH3COOH 4,38 M
dengan perbandingan volume 4:1. Hal ini untuk
menghilangkan fase produk samping magnesium dan
kotoran lainnya. Hasil pencucian tersebut dicuci dengan
akuabides, disaring dengan kertas saring whatman No. 1
dan dikeringkan. Produk akhir berupa serbuk
nanokristal silikon
E. Karakterisasi Material
Material dikarakterisasi dengan X- Ray Difraction
(XRD Shimadzu 6000) menggunakan filter Cu (λ= 0.15
nm) dengan kondisi operasi pada 40 kV dan 30 mA
untuk mengetahui fasa kristal. Spektrofotometer
serapan atom (AAS Perkin Elmer 3110) untuk
mengetahui jumlah silika yang terlarut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Konsentrasi NaOH pada Ekstraksi Silika
Ekstraksi silika menggunakan konsentrasi NaOH
tertentu dapat menghasilkan jumlah silika yang terlarut
berbeda-beda. Pada penelitian ini dilakukan variasi
konsentrasi larutan NaOH terhadap jumlah silika yang
terlarut dari lumpur Sidoarjo. Persentase kadar silika
yang terlarut tersebut dianalisis dengan menggunakan
AAS. Hasil analisis AAS dari pengaruh konsentrasi
NaOH pada ekstraksi silika lumpur Sidoarjo disajikan
Gambar 1.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
12 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Gambar 1 menunjukkan peningkatan silika yang
terlarut dengan bertambahnya konsentrasi larutan
NaOH dari 2-6 M. Silika yang terlarut pada konsentrasi
larutan NaOH 2 M diperoleh sebanyak 2485,7 ppm.
Rendahnya konsentrasi NaOH menyebabkan larutan
natrium silikat yang terbentuk masih sedikit. Hal ini
dikarenakan jumlah OH- yang menyerang gugus siloksan
dalam lumpur Sidoarjo masih sedikit. Jumlah yang
paling tinggi diperoleh dari silika yang terlarut pada
konsentrasi larutan NaOH 6 M yaitu 5342,9 ppm.
Hal tersebut menunjukkan proses ekstraksi pada
konsentrasi ini sangat efektif membuat ikatan Si-O dari
silika yang terdapat pada lumpur menjadi putus.
Gambar 1. Jumlah silika terlarut pada berbagai
konsentrasi NaOH
Pada setiap peningkatan konsentrasi larutan NaOH
maka jumlah silika yang terlarut akan meningkat,
namun pada konsentrasi tertentu akan menurun.
Fenomena tersebut terjadi pada silika yang terlarut
dalam larutan NaOH 7 M. Penurunan jumlah silika yang
terlarut tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi
larutan NaOH yang terlalu tinggi menyebabkan
kompetisi diantara ion-ion OH- dalam pemutusan ikatan
Si-O.
Pada waktu pelarutan yang sama maka jumlah silika
yang terlarut dalam larutan NaOH 7 M lebih sedikit
dibandingkan NaOH 6 M. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa kondisi optimum dalam ekstraksi
silika dari lumpur Sidoarjo diperoleh pada konsentrasi
larutan NaOH 6 M.
Berdasarkan hasil tersebut, maka produksi natrium
silikat sebanyak-banyaknya dilakukan pada konsentrasi
larutan NaOH 6 M. Menurut Deshmukh et al. [4],
pembentukan natrium silikat melalui proses ekstraksi
mengikuti reaksi berikut:
SiO2 (s) + 2NaOH(aq) → Na2SiO3(aq) + H2O(l)
Mekanisme reaksi yang terjadi pada pembentukan
natrium silikat ini diperkirakan mengikuti mekanisme
pada Gambar 2.
SiO
O
OO
OH-
OH-
Si
OO
O
O SiO
O
OHO
. . . . . . . . .
SiOH
OH
OH OH
Si OH
O
OH
Si O-
O
O-
+ +2NaOHH2O-H2O
Na+
Na+
Gambar 2. Mekanisme penyerangan atom Si
B. Pembentukan Nanopartikel Silika
Nanopartikel silika terbentuk melalui reaksi hidrolisis
dan kondensasi asam silikat yang diperoleh dari
ekstraksi silika lumpur Sidoarjo. Natrium silikat hasil
ekstraksi mengalami hidrolisis terlebih dahulu
kemudian diasamkan dengan HCl sehingga terbentuk
asam silikat. Reaksinya adalah:
Na2SiO3 + H2O + 2HCl → Si(OH)4 + 2NaCl
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
13 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Gambar 3. Terbentuknya gel nanopartikel silika
Asam silikat yang terbentuk kemudian mengalami
polimerisasi dan kondensasi lebih lanjut membentuk
struktur polimer yang berukuran nanometer. Oleh
karena itu proses ini sering disebut sebagai polimerisasi
nanopartikel silika.
Proses polimerisasi ini terjadi melalui 3 tahap, yaitu (1)
pembentukan partikel-partikel melalui polimerisasi dari
monomer-monomer silikat yang kemudian membentuk
dimer, trimer dan tetramer;
(2) Pertumbuhan partikel-partikel membentuk agregat
polimer; (3) Penghubungan partikel-partikel menjadi
rantai kemudian membentuk jaringan yang
memperpanjang terus dalam media larutan, dan
akhirnya mengental menjadi gel berukuran nano
(Brinker dan Scherer [5]). Mekanisme polimerisasi
tersebut sesuai dengan kajian hasil analisis NMR yang
dilaporkan oleh Iler [6].
Gambar 4. Difraktogram silikon produk reduksi (a)
dan hasil pencucian (b)
C. Karakterisasi Nanokristal Silikon
Pola XRD dari produk reduksi metalotermal
nanopartikel silika ditunjukkan pada Gambar 4 (a).
Hasil ini menunjukkan bahwa produk reduksi silika
mengandung fasa silikon, Mg2SiO4, MgO, dan Mg2Si.
Pola XRD dari produk pencucian menggunakan asam
ditunjukkan pada Gambar 3 (b).
Proses pencucian ini menunjukkan dapat
menghilangkan fasa Mg2SiO4 dan MgO dari produk
reduksi menggunakan HCl dan CH3COOH. Hal ini
karena pada umumnya garam klorida dan asetat dapat
larut dalam media air. Namun pencucian ini tidak dapat
menghilangkan fasa Mg2Si dari produk reduksi secara
sempurna. Hal ini dikarenakan energi aktivasi pelarutan
Mg2Si yang sangat tinggi. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa produk akhir yang diperoleh berupa silikon
sebagai komponen yang dominan serta sedikit fasa
Mg2Si.
(b)
(a)
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
14 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Berikut adalah reaksi reduksi metalotermal dan proses
pencucian asam yang terjadi:
SiO2 + 2Mg → Si + 2MgO
HCl (aq) + H2O (aq) → H3O+(aq) + Cl- (aq)
CH3COOH + H2O(l) → H3O+ (aq) + CH3COO-
MgO(s) + 2H3O+(aq) → Mg2+ (aq) + 3H2O (l)
Mg2+ (aq) + 2 Cl- → MgCl2 (aq)
Mg2+ (aq) + 2CH3COO- → (CH3COO)2Mg (aq)
D. Sel Surya Super Efisien
Penelitian mengenai sel surya terus dikembangkan
dengan tujuan untuk menciptakan sel surya dengan
kinerja yang lebih baik, efisiensi yang tinggi dan dengan
biaya fabrikasi yang rendah. Suatu tipe sel surya
biasanya hanya menghasilkan satu elektron per foton
sinar matahari yang masuk. Penelitian yang dilakukan
oleh Jihun et al. [1] menunjukkan bahwa nanokristal
silikon dapat menghasilkan tiga elektron per foton sinar
matahari yang berenergi tinggi.
Elektron terluar yang berasal dari foton cahaya biru
dan ultraviolet memiliki lebih banyak energi daripada
elektron terluar dari spektrum cahaya matahari lainnya,
terutama cahaya merah dan inframerah. Pada umumnya
sel surya, energi terluar pada cahaya biru dan ultraviolet
tersebut dibuang sebagai panas.
Tetapi dalam ukuran kecil seperti kristal nano, yang juga
disebut quantum dot, menyebabkan munculnya efek-
efek kuantum mekanik baru yang mengubah energi
tersebut menjadi elektron. Dalam menghasilkan elektron,
sel surya nanokristal silikon secara teoritis dapat
mengkonversi lebih dari 40 persen energi cahaya
matahari menjadi energi listrik. Sedangkan sel surya
yang terbaik saat ini secara teoritis baru mencapai
efisiensi
30 %. Keberadaan cermin konsentrator yang
memfokuskan cahaya matahari menuju permukaan sel
menyebabkan intensitas cahaya yang ditangkap sel surya
biasa dapat meningkat menjadi sekitar 39 %, namun
dengan perangkat yang sama juga dapat meningkatkan
efisiensi sel surya nanokristal silikon hingga lebih dari
60 % (Nozik et al. [7]).
Selain efisiensi yang tinggi, sel surya nanokristal
silikon juga terbukti lebih rendah biaya produksinya,
sehingga sel surya ini memiliki keuntungan yang
signifikan. Efek multijunction suatu sel surya dapat
meningkatkan efisiensinya menjadi lebih dari 40 persen,
namun hal ini memerlukan proses pembuatan yang
sangat rumit. Pada nanokristal silikon, untuk
mendapatkan efek tersebut relatif mudah dibuat.
Nanokristal silikon juga memiliki keunggulan ramah dan
aman untuk digunakan sebagai sel surya dibandingkan
dengan bahan nanokristal lain. Beberapa bahan tersebut
mengandung unsur-unsur beracun seperti timbal,
kadmium dan indium yang persediaannya juga terbatas
(Nozik et al. [7]).
IV. KESIMPULAN
Nanokristal silikon telah berhasil disintesis dengan
bahan dasar lumpur Sidoarjo menggunakan metode
reduksi metalotermal. Konsentrasi NaOH untuk
memproduksi silika paling optimum dari lumpur
Sidoarjodiperoleh pada 6 M. Nanokristal silikon dapat
digunakan sebagai sel surya yang memiliki efisiensi
super. Kebijakan Energi Nasional menetapkan target
energi baru terbarukan (EBT) sebesar 25% pada tahun
2025 yang kemudian dijadikan sebagai Visi Energi 25/25.
Kelimpahan lumpur Sidoarjo yang sangat besar dengan
kandungan silika yang tinggi memberi peluang besar
bagi berkembangnya industri panel surya nasional.
Pembangunan Industri panel surya yang didukung oleh
kegiatan pengkajian dan penerapan teknologi panel
surya sudah saatnya untuk dipersiapkan, bahkan
sifatnya sudah sangat mendesak. Kebergantungan
industri panel surya pada komponen dan bahan baku
impor masih belum dapat dihindari, melalui tulisan ini,
diharapkan tercipta suatu gagasan kolaborasi antara
lembaga akademis, litbang pemerintah dan industri
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
15 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
nasional dalam mewujudkan industri bahan baku panel
surya nasional.
DAFTAR PUSTAKA
[1] O. Jihun, C.Y. Hao dan M.B. Howard, “An 18.2%-Efficient Black-
Silicon Solar Cell Achieved Through Control of Carrier
Recombination in Nanostructures”, Nature Nanotechnology, 7,
2012, pp. 743-748.
[2] M. Åkesson, Mud Volcanoes-A Review Examensarbeten I Geologi
Vid Lunds Universitet, 16 sid. 15 ECTS poäng, Nr. 219, 2008.
[3] A.F. Fadli, R.T. Tjahjanto dan Darjito, “Ekstraksi Silika Dalam
Lumpur Sidoarjo Menggunakan Metode Kontinyu”, Kimia
Student Journal, 1, 2013, pp. 182-187, Malang.
[4] P. Deshmukh, J. Bhatt, D. Peshwe dan S. Pathak, “Determination
of Silica Activity Index and XRD, SEM and EDS Studies of
Amorphous SiO2 Extracted from Rice Husk Ash”, Trans. Ind. Inst.
Met., 65, 2012, 63-70.
[5] C.J. Brinker dan Scherer, Sol-Gel Science: The Physics and
Chemistry of Sol-Gel Processing, Academic Press, 1990, San
Diego.
[6] R.K. Iler, The Chemistry of Silica, Willey Publisher, 1979, New
York.
[7] J.A. Nozik, M.C. Beard, K.P. Knutsen, P. Yu, J.M. Luther, Q. Song,
W.K. Metzger dan R.J. Ellingson, “Multiple Exciton Generation in
Colloidal Silicon Nanocrystals”, Nano Letters, 7, 2007, 2506-2512,
Colorado.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
16 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Potensi Pemanfaatan Limbah Industri Tepung Aren
sebagai Bahan Baku Panel Akustik
The Potential of Utilization of Industrial sugar palm
flour's Waste as Raw Material of Acoustic Panel Ula.N.M1,a, Wibawati.D.Z2,b dan Mitrayana3,c
1,2Jurusan Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. aEmail: [email protected],
bEmail: [email protected]
3 Jurusan Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. cEmail: [email protected]
Abstrak- Penambahan jumlah kendaraan bermotor
mengakibatkan bertambahnya polusi suara yang
mengganggu kenyamanan akustik. Ketersediaan
panel akustik dengan harga yang terjangkau sangat
dibutuhkan. Hal ini bisa dicapai dengan pemanfaatan
limbah sebagai bahan bakunya. Salah satu limbah
yang belum termanfaatkan adalah limbah industri
tepung aren. Maka dilakukan pengujian untuk
mengetahui potensi limbah industri tepung aren
sebagai bahan material dengan menggunakan metode
tabung impedansi dengan fariasi frekuensi 125 Hz,
250 Hz, 500 Hz, 750 Hz and 900 Hz. Penelitian
dimulai dengan pembuatan sampel uji dengan variasi
komposisi serabut dan serbuk sebesar 1:0, 2:1, 1:1, 1:2,
and 0:1 dngan total berat 6 gram. Masing-masing
sampel direkatkan dengan lem tepung tapioka dan
dicetak berbentuk silinder dengan diameter 3,2 cm
dan ketebalan 1,8 cm. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa koefisien absorbsi panel akustik berbahan
baku limbah tepung aren sangat baik pada variasi
serabut dan serbuk 1:1. Nilainya mendekati 1 pada
semua frekuensi. Hal ini menunjukkan bahwa panel
akustik berbahan baku limbah industri tepung aren
berpotensi menjadi panel akustik.
Kata Kunci—Panel Akustik, Limbah Industri Tepung
Aren, Koefficien Absorbsi, Metode Tabung Impedansi.
Abstract- Increasing the number of vehicles resulting
in increased the noise pollution, actually this is
disturbing the acoustic comfort. Availability of
acoustic panels at cheaper prices is needed. This can
be achieved by utilization of waste as its raw material.
One of untapped waste is industrial sugar palm flour’s
waste. The test to determine the potential of industrial
sugar palm flour’s waste as raw material was carried
out by using the impedance tube method with 125 Hz,
250 Hz, 500 Hz, 750 Hz and 900 Hz. The research
began with making the sample with composition
variations of fibers and powders 1:0, 2:1, 1:1, 1:2, and
0:1 with total of weight in 6 grams. Each sample is
glued together with starch glue and molded in thin
cylindrical of 3.2 cm diameter and 1.8 cm thickness.
Result of the research show that the absorption
coefficient of acoustic panels made from industrial
palm flour waste is excellent on variation of fibers and
powders 1:1. The absorption coefficient value close to
1 at all frequencies. This suggests that the acoustic
panels that made from industrial palm flour waste
have the potential to be used acoustic panels as a
sound absorber.
Keywords—Acoustic Panels, Industrial Sugar Palm
flour’s waste, absorbtion coefficient, Impedance Tube
Method.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
17 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
I. PENDAHULUAN
Panel akustik adalah sebuah partisi yang
digunakan untuk menyerap suara. “Sedangkan serapan
suara adalah sebuah proses yang dapat merubah suara
menjadi bentuk energi lain seperti vibrasi, panas dan
yang lainnya”..Karlinasari et.al.[1]. Serapan suara sangat
berhubungan erat dengan kualitas akustik sebuah
tempat. “Kualitas akustik dinyatakan dengan angka 1
untuk serapan penuh dan angka 0 untuk material yang
tidak menyerap suara”..Himawanto [2]. Material yang
bisa menyerap suara dengan baik adalah material yang
dapat menyerap dan masiv.
Bio-material bisa digunakan sebagai alternative
dalam pembuatan panel akustik karena memiliki serat
dan dapat menyerap. Dan salah satu bio-material yang
dapat berpotensi dimanfaatkan sebagai panel akustik
adalah limbah dari industri tepung aren yang diberi
nama pati Onggok. Selain limbah ini memiliki ciri-ciri
material yang masiv dan berpori, pemanfaatan limbah
ini bisa mengurangi pencemaran lingkungan terutama di
sungai. “Dari perbandingan hasil analisis dari bahan
baku industri berupa hasil parutan batang,
kemudian pengendapan pati yang pertama dan limbah
ampas menunjukkan bahwa proses produksi utamanya
mengurangi C-organik saja, dalam hal ini diduga pati,
itupun hanya sekitar 10%”.. Firdayati et.al.[3].
Pemanfaatan limbah industri ini masih sebatas
digunakan sebagai pakan ternak dan alat perkembang
biakan cacing di daerah Yogyakarta yang nilai
ekonomisnya masih rendah dan kurang menyerap
banyak limbah.
II. BAHAN DAN METODE PERCOBAAN
A. Persiapan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
limbah industri tepung/pati onggok yang telah
dipisahkan antara serat dan serbuknya setelah dijemur
selama 3 hari dibawah terik matahari. Untuk perekat
digunakan campuran tepung tapioka dan air dengan
campran 1:4 (air:tapioka). Cetakan yang digunakan
terbuat dari besi dengan diameter 3,2 cm.
B. Pembuatan Sampel Panel Akustik
Pembuatan sampel dilakukan dengan mencamurkan
beberapa variasi antara serat dan serbuk. Bahan
dipisahkan dengan spesifikasi sebagai berikut:
• Label A, serat: serbuk = 1:0 = 6 grams: 0 grams
• Label B, serat: serbuk = 2:1 = 4 grams: 2 grams
• Label C, serat: serbuk = 1:1 = 3 grams: 3 grams
• Label D, serat: serbuk = 1:2 = 2 grams: 4 grams
• Label E, serat: serbuk = 0:1 = 0 grams: 6 grams
Setelah bahan serat dan serbuk dipisahkan sesuai label
diatas, maka bahan dicampur dengan lem yang terbuat
dari tepung tapioka dan air dengan berat 20 grams
untuk air dan 5 gram untuk tapioka. Setelah menjadi
adonan, bakal sampel dicetak dalam cetakan besi dan di
beri tekanan 100 mmhg. Setelah terbentuk silinder tipis,
sampel di oven untuk mengurangi kadar airnya selama 2
jam dengan suhu 100˚C.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
18 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
C. Pengambilan Data
Pengujian dan pengambilan data dilakukan dengan
menggunakan metode tabung impedansi. Metode ini
betujuan untuk mengetahui koefisien serapan masing-
masing sampel. Hasil koefisien serapan nantinya bisa
menjadi acuan seberapa baik kualitas suatu material
untuk digunakan sebagai panel akustik. Skema
percobaan dalam penelitian bisa dilihat dengan gambar
berikut:
Gambar1. Skema Percobaan dengan Tabung
Impedansi
Percobaan ini menggunakan suara murni yang
dibangkitkan oleh pembangkit suara menggunakan
speaker dengan frekuensi 125 Hz, 250 Hz, 500 Hz, 750
Hz dan 900 Hz. Suara akan dideteksi oleh 3 mikrofon
yang letaknya berbeda. Mikrofon 1 mendeteksi suara
murni dari speaker, mikrofon 2 mendeteksi suara yang
dipantulkan oleh sampel sedangkan mikrofon 3
mendeteksi suara yang diloloskan (ditransmisikan) oleh
sampel. Data yang didapatkan dari ketiga mikrofon
berbentuk intensistas suara dengan satuan db. Setelah
itu hasil data mentah diolah sehinga bisa berupa
frekuensi. Data frekuensi dihitung untuk mendapatkan
koefisien serapan menggunakan rumus dibawah ini:
𝛼 =4
𝑛 +1𝑛
+ 2 (1)
𝑛 =𝐼𝑚𝑖𝑐2 − 𝐼𝑚𝑖𝑐1
𝐼𝑚𝑖𝑐2 + 𝐼𝑚𝑖𝑐1
(2)
Deskripsi:
α = koefisien serapan
n = rasio gelombang berdiri
I = intensitas suara
D. Hasil dan Pembahasan
Analisa data untuk mendapatkan koefisien serapan
dilakukan dengan menggunakan analisa dekriptif.,
dengan membandingkan koefisien serapan antar sampel
dengan variasi bahan dengan frekuensi yang berbeda-
beda. Perbandingan juga dilakukan dengan bahan panel
akustik yang sudah ada di pasaran. Kelebihan dari
metode tabung impedansi ini adalah mudah dalam
analisa dan murah dalam perangkaian, namun
pengujian dengan metode ini memiliki kekurangan yakni
tidak praktis dalam pembuatan sampel karena harus
menyesuaikan bentuk dari tabung ujinya sehingga
kurang efisien waktu.
Perhitungan yang telah dilakukan kepada 5 sampel
mendapatkan hasil sebagai berikut:
Gambar 2. Grafi Data 5 Variasi
Dari gambar 2 bisa diketahui bahwa bahan baku limbah
industri aren/pati onggok bisa memberikan koefisien
serapan yang sangat baik terutama pada variasi 1:1. Pada
variasi ini, semua koefisien serapannya tinggi
(mendekati 1) untuk semua frekuensi. Untuk variasi
lainnya, rata-rata juga memiliki hasil yang baik. Hasil
dari pengujian ini sudah mememnuhi standar yang telah
ditetapkan dalam ISO 11654:1997 yang menyatakan
bahwa panel akustik yang bisa dimanfaatkan adalah
panel akustik yang memiliki koefisien serapan minimal
0,15.
Co
eff
icie
nt
of
ab
so
rp
tio
n
Frequency (Hz)
1:01
1:02
2:01
1:00
0:01
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
19 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Dari hasil yang didapatkan, diambil 2 frekuensi yang
bisa mewakili frekuensi rendah dan tinggi yakni
frekuensi 125Hz dan 500 Hz untuk dibandingkan
dengan hasil koefiisien serapan bahan-bahan akustik
yang sudah ada di pasaran. Hasil dari perbandingan
tersebut bisa dilihat dari gambar dibawah ini:
Gambar 3. Perbedaan Koefisien Serapan pada
Frekuensi 125Hz
Gambar 4. Perbedaan Koefisien Serapan pada
Frekuensi 500Hz
Dari hasil perbandingan pada gambar 3 dan gambar 4
bisa dilihat bahwa panel akustik berbahan baku limbah
industri tepung aren/pati onggok memiliki koefisien
serapan yang tidak kalah baik dengan bahan-bahan
panel akustik yang sudah ada dipasaran saat ini. hasil ini
menunjukkan bahwa limbah industri tepung aren sangat
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai panel akustik.
III. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
a. pemanfaatan limbah industri tepung aren sebagai
bahan baku panel akustik bisa menambah nilai
ekonomis limbah.
b. dari sifatnya yang berporos dan masiv, limbah
industri tepung aren/ pati onggok memiliki potensi
untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku panel akustik
c. Variasi bahan terbaik yang didapat dari penelitian ini
adalah dengan komposisi serat: serbuk = 1:1 dengan
koefisien serapan yang hampir mendekati 1 di semua
frekuensi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Karlinasari L, dkk. 2011. “Sifat Penyerapan dan Isolasi
Suara Papan Wol Berkerapatan Sedang-Tinggi dari Beberapa Kayu Cepat Tumbuh”. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Hutan ,4(1):8-13
[2] Himawanto D.A.2007.”Karasteristik Panel Akustik
Sampah Kota pada Frekuensi Rendah dan Frekuensi
Tinggi Akibat Variasi Kadar Bahan Organik”. Jurnal
Teknik Gelagar, Vol. 18, No. 01: 19-24
[3] Firdayati M, dkk. 2005. “Studi Karakteristik Dasar Limbah Industri Tepung Aren”. Jurnal Infrastruktur dan
Lingkungan Binaan, vol.2 No.2.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
20 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Kendali Paralel Manipulator menggunakan Neural
Network
Control of Parallel Manipulator using Neural Network
A Rifqi Thomi Irfan1,a, Ardik Wijayanto2,b dan Endah Suryawati Ningrum3,c
1 Teknik Mekatronika, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Surabaya. aEmail: [email protected],
2 Teknik Mekatronika, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Surabaya. bEmail: [email protected]
3 Teknik Mekatronika, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Surabaya. cEmail: [email protected]
Abstrak- Penelitian ini menerapkan kecerdasan
buatan sebagai kendali pada robot paralel
manipulator yang miliki kinematik yang kompleks.
Target kendali robot tersebut adalah keseimbangan
pada sebuah meja yang menghubungkan end of
effector antar kaki paralel manipulator tersebut.
Struktur robot ini memiliki manipulator yang saling
terhubung dalam struktur parallel. Struktur tersebut
adalah tiga kaki penyangga yang menopang meja
robot. Setiap kaki penyangga meja harus mampu
merekonfigurasi sudut pergerakannya sehingga meja
dalam kondisi seimbang meskipun alas dari robot
dalam keadaan miring. Sudut kemiringan yang diukur
hanya pada roll dan pitch dengan menggunakan
sensor Accelerometer dan Gyro. Penggunaan metode
complementary filter menjadi sangat penting karena
data Accelerometer dan Gyro memiliki noise yang
berbeda-beda. Kecerdasan buaran yang diterapkan
adalah neural network dengan error
backpropagation. Kendali yang kompleks pada
paralel manipulator terbukti dapat diselesaikan
dengan menggunakan backpropagation dengan error
yang kecil dan dapat ditoleransi.
Kata kunci: Parallel manipulator, Neural Network,
Gyro, Accelerometer, Complementary Filter.
Abstract- This research applies artificial
intelligence as a control in parallel robotic
manipulators that has complex kinematic. Control of
the robot is to be balance on a table that connects the
end of effector parallel manipulator between the legs.
The structure of this robot has a manipulator which
is connected in parallel structure. The structure is a
three-foot buffer that supports the robot table. Each
foot buffer must be able to reconfigure the corner of
the table so that the table movement in equilibrium
even though the base of the robot in a tilted state. The
tilt angle is measured only on the roll and pitch using
accelerometer and gyro sensor. The use of
complementary methods filters becomes very
important because the data Accelerometer and Gyro
has a different noise. Artificial Intellegent is applied
to the error back propagation neural network.
Complex control of the parallel manipulator shown
to be solved by using back propagation with a small
error that can be tolerated.
Keywords: Parallel manipulator, Neural Network,
Gyro, Accelerometer, Complementary Filter.
I. PENDAHULUAN
Perkembangan teknik kendali semakin pesat, karena
semakin banyak sistem yang sangat kompleks. Hal ini
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
21 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
memacu perkembangan kendali untuk lebih mampu
menyelesaikan sistem-sistem kompleks. Salah satu
sistem kompleks yang dikendalikan pada penelitian ini
adalah robot paralel manipulator dengan tujuan sebagai
keseimbangan meja (platform). Paralel manipulator
merupakan sistem manipulator yang kompleks,
diantaranya memiliki lengan yang banyak dan area kerja
yang terbatas. Paralel manipulator memiliki kelebihan
pada struktur mekanik yang rigid, memiliki kecepatan
pergerakan yang tinggi dan mampu membawa beban
yang besar dibanding dengan serial manipulator.
Struktur paralel manipulator yang rumit menjadi
kelemahan manipulator jenis ini. Karena setidaknya
dalam paralel manipulator memiliki dua rangkaian
manipulator yang saling terhubung.1
Kendali keseimbangan pada robot ini membutuhkan
kinematik sebagai penghubung pergerakan aktuator dan
posisi-posisi yang dicapai. Inverse kinematic menjadi
perhitungan yang sangat kompleks karena paralel
manipulator memiliki struktur yang kompleks.
Perkembangan solusi untuk mencari inverse kinematic
sudah cukup pesat, beberapa diantaranya dengan
menggunakan analisa struktur, analisa geometri, dan
menggunakan kecerdasan buatan.2
Kecerdasan buatan menjadi pilihan menarik karena
sedikit mengabaikan analisa sistem yang mendalam dan
rumit. Kecerdasan yang digunakan pada paper ini adalah
Neural Network.
Penggunaan metode Neural Network sebagai kendali
pada robot sudah sangat populer, khususnya pada
aplikasi robot manipulator. Namun pada aplikasi paralel
manipulator dengan banyak batasan area kerja menjadi
metode yang membutuhkan kepresisian dan ketelitian
yang tinggi.
Pendekatan yang digunakan pada paper ini adalah
peningkatan kepresisian kendali dengan menggunakan
neural network pada penerapan robot paralel
manipulator dengan aplikasi keseimbangan meja.
II. LANDASAN TEORI
A. Balancing Robot
Robot keseimbangan adalah robot yang didesain untuk
menjaga orientasi keseimbangan robot tersebut. Robot
keseimbangan yang sudah popular adalah tipe
pendulum yang bekerja dengan dua roda. Pada paper ini
merancang dan mengaplikasikan kendali pada
balancing robot yang memiliki tipe paralel manipulator.
B. Robot Paralel Manipulator
Merlet menjelaskan bahwa parallel manipulator dapat
didefinisikan sebagai sebuah mekanisme kinematik
secara tertutup yang ujung lengannya dihubungkan pada
base dengan beberapa rangkaian kinematik sendiri.
Parallel manipulator memiliki mekanisme yang rumit-
rumit karena bentuk strukturnya yang memiliki banyak
lengan dan batasan-batasan.2 Merlet mengatakan bahwa
permasalahan utama pada penentuan area kerja parallel
manipulator adalah pada keterbatasan derajat
kebebasan yang biasanya berpasangan. Setiap lengannya
pada parallel manipulator memiliki ketergantungan
pergerakan oleh lengan-lengan yang lain.3
Parallel manipulator memiliki kemampuan
menjangkau atau memiliki daerah yang mampu diraih
oleh sistem mekanisnya. Kemampuan posisi dan
orientasi pada parallel manipulator berdasarkan
kemampuan robot untuk bergerak translasi dan
kemampuan end of efector robot untuk menuju posisi-
posisi ekstrim. Struktur yang rumit pada parallel
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
22 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
manipulator membuat area kerja pada robot tersebut
menjadi sangat terbatas dan dipengaruhi oleh beberapa
constrain (batasan gerak).
C. Neural Network
Definisi struktur neural network adalah kumpulan
pemroses yang terhubung secara paralel dalam bentuk
grafik yang terarah, terorganisir seperti neuron yang
menuju masalah yang diselesaikan.4
Neuron merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada
otak manusia, dan memiliki komponen-komponen
penyusun jaringan syaraf tersebut. Jaringan syaraf atau
neuron memiliki 3 komponen-komponen utama yaitu:
a. Dendrit: berfungsi untuk mengumpulkan informasi.
b. Soma (badan sel): berfungsi untuk tempat pengolahan informasi.
c. Akson (Neurit): berfungsi untuk mengirimkan impuls-impuls ke syaraf yang lain.
Pembahasan pada paper ini fokus pada tipe feed-
forward neural network yaitu metode backpropagation.
Metode backpropagation adalah algoritma neural
network multiperceptron yang menambahkan layar
tersembunyi diantara layar masukan dan layar keluaran.
Backpropagation memiliki 3 fase pada proses
pelatihannya untuk memperbaiki error yang dihasilkan.
Tiga fase tersebut adalah fase propagasi maju, propagasi
mundur, dan perubahan bobot. Proses pelatihan
terdapat tiga fase tersebut dalam satu iterasi.
D. Sensor Kemiringan
Sensor yang digunakan untuk mengukur kemiringan
yang dialami robot diukur dengan menggunakan sensor.
Terdapat dua macam sensor yang digunakan. Sensor
tersebut adalah Accelerometer dan Gyroscope. Dengan
menggunakan kedua sensor tersebut diolah untuk
mendapatkan data kemiringan robot pada sumbu x dan
sumbu y.
III. PERANCANGAN
Gambaran umum pada robot ini dijelaskan pada
skema berikut ini:
Gambar 1. Skema Hardware
Dari skema pada Gambar 1 menunjukkan masukan
sistem didapat dari kemiringan meja yang diukur
dengan menggunakan sensor Accelerometer dan
Gyroscope. Data dari kedua sensor tersebut diolah pada
prosesor yang digunakan. Pada robot ini menggunakan
Microcontroler ARM STM32F4, microcontroler ini
memiliki fitur yang banyak termasuk untuk komunikasi
dengan sensor yang digunakan.
Aktuasi yang dikeluarkan dari sistem tersebut adalah
pada motor servo. Motor servo yang digunakan terdapat
9 buah. Pergerakan motor servo membutuhkan PWM
yang dikeluarkan oleh microcontroler.
a. Perancangan Mekanik Perancangan mekanik yang dibuat sebagai penerapan
metode kendali yang digunakan adalah pada robot
paralel manipulator. Robot paralel manipulator tersebut
memiliki 3 kaki sebagai manipulatornya yang saling
terhubung dengan yang lain pada ujung efektornya.
Dengan penyambung tersebut berupa sebuah meja.
Setiap manipulator tersebut memiliki 3 lengan
dengan setiap lengan memiliki penggerak tersendiri.
Perancangan yang dibuat ditunjukkan dengan Gambar 2
berikut.
Sensor
Acceleromet
Gyroscope
Processor
(Microcontrole
Pergerakan Robot
(Motor Servo)
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
23 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Gambar 2. Bentuk Perancangan Mekanik Robot
Dengan perancangan mekanik tersebut, robot
memiliki batasan-batasan pergerakan. Setiap kaki pada
robot memiliki 3 lengan dan setiap lengan tersebut
terdapat motor servo sebagai penggeraknya. Dengan
tujuan keseimbangan meja robot maka setiap penggerak
membentuk sudut tertentu agar kondisi meja tetap
berada pada orientasi keseimbangan.
b. Perancangan Software Pada software yang dibuat terdapat tiga proses:
1. Proses pengukuran kemiringan Proses ini merupakan proses mengolah data yang
didapatkan dari sensor Accelerometer dan Gyroscope.
Pengolahan tersebut untuk meningkatkan ketelitian
dari sensor sehingga hasil kemiringan robot yang
didapatkan sesuai dengan kemiringan yang
sebenarnya.
Metode yang digunakan adalah Complementary
Filter. Complementary filter merupakan gabungan
dari dua filter yaitu, low pass filter (LPF) dan high
pass filter (HPF). Sehingga filter ini bekerja seperti
layaknya band pass filter (BPF).5
𝜃 = 𝑎 + (𝜃 + (𝑔𝑦𝑟𝑜 ∗ 𝑑𝑡)) + (1 − 𝑎) ∗ 𝑎𝑐𝑐𝑒𝑙𝑒𝑟𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 … (1)
2. Proses learning secara offline Kecerdasan buatan yang digunakan sebagai
kendali adalah backpropagation. Backpropagation
membutuhkan pelatihan pada jaringannya agar
masukan sudut kemiringan robot dapat
mengeluarkan nilai yang sesuai dengan target yang
diharapkan.
Proses pelatihan tersebut dilakukan secara offline,
dimana jaringan akan mencari pembobotan-
pembobotan yang sesuai dengan data pelatihan yang
telah diberikan. Berikut adalah bentuk jaringan
backpropagation yang dijelaskan pada Gambar 3.
Meja
Robot
Kaki Robot Alas Robot
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
24 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
.
.
.
Gambar 3. Skema Backpropagation
3. Proses kendali Dari jaringan yang telah dilatih maka bobot-
bobot yang sesuai telah didapatkan. Diagram alir
pada robot dengan menggunakan kendali ini adalah
sebagai berikut:
Gambar 4: Diagram Kendali Robot
c. Area Kerja Robot Paralel manipulator memiliki jangkauan yang
terbatas, sehingga memiliki batas-batas kerja robot
tersebut. Batas-batas kerja tersebut harus diketahui
sebagai data untuk pelatihan offline pada
backpropagation. Pencarian batas-batas tersebut dapat
dicari dengan menggunakan kinematik maju. Kinematik
maju yang digunakan merupakan kinematik satu lengan,
sehingga kinematik maju secara global digunakan
perubahan posisi lengan terhadap sebuah titik global.
Gambar 5: Diagram Kendali Robot
Dengan menggunakan kinematik maju, dapat
diketahui posisi-posisi end of effector A, B, dan C.
Perbedaan posisi-posisi ini yang menyebabkan meja
mengalami kemiringan.
Neural Network
(Backpropagatio
n)
𝜃𝑥
𝜃𝑦
Sudut
pergerakan
motor servo
Layar
masukan
Layar
tersembunyi
Layar
keluaran
Sudut X
Sudut Y
Sudut Servo
1
Sudut Servo
2
Sudut Servo
3
Sudut Servo
4
Sudut Servo
5
Sudut Servo
6
Sudut Servo
7
Sudut Servo
8
Sudut Servo
9
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
25 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
0
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819
Err
or
(°)
Pengambilan data ke - n
Error Rollcomp (a=0.85) comp (a=0.90) comp (a=0.93)
III. PEMBAHASAN DAN PENGUJIAN
a. Mekanik dan Hardware Elektronika
Gambar 6. Bentuk Mekanik Robot
Robot yang direalisasikan disesuaikan dengan
perencanaan, dimana robot memiliki tiga kaki dengan
setiap kaki terdiri dari 3 lengan. Setiap lengan memiliki
aktuator berupa motor servo. End of effector setiap kaki
terhubung dengan end of effector kaki yang lain dengan
sebuah meja. Meja yang dibuat berbentuk segitiga
dengan bahan aluminium.
Hardware elektronika terdiri dari 4 bagian yaitu, sensor,
mikrokontroler, aktuator, dan supply regulator. Sensor
kemiringan diletakkan pada meja robot dan pada alas
robot. Peletakan pada alas robot digunakan untuk
mengukur kemiringan robot, sedangkan pada meja robot
digunakan untuk mengetahui keseimbangan meka
akibat rekonfigurasi ketinggian setiap kaki pada robot.
b. Software Software pelatihan offline backpropagation
dilakukan pada komputer dengan menggunakan
software yang telah dibuat. Berikut adalah tampilan
software yang telah dibuat, digambarkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tampilan Software pelatihan offline
Pada software pelatihan offline data yang digunakan
sebagai pelatihan adalah pasangan data yang telah
dikumpulkan dengan menggunakan kinematik maju.
Hasil dari pelatihan ini adalah bobot-bobot yang
digunakan pada proses kendali robot.
c. Pengujian Complementary Filter Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kepresisian
sensor yang digunakan. Perubahan parameter pada
penggunaan metode complementary filter
mempengaruhi hasil sudut yang didapatkan. Terdapat 3
perubahan nilai konstanta alpha yang diuji yaitu 0.85,
0.90, dan 0.93.
Gambar 8. Grafik Error Roll
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
26 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Nila
i Su
du
t(°)
waktu (ms)
Grafik Respon Roll 10°Sudut Meja Robot Sudut Alas Robot
Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa penggunaan
complementary filter bekerja dengan lebih optimal pada
penggunaan konstanta alpha (0.9). Perubahan
konstanta tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan
pengolahan data kemiringan terhadap data
accelerometer cukup tinggi. Dengan menggunakan nilai
alpha tersebut dapat meningkatkan kepresisian dari
data kemiringan yang didapat.
d. Pengujian Pelatihan Offline Backpropagation Proses yang harus dilakukan sebelum menerapkan
kendali backpropagation pada robot adalah melakukan
pelatihan terhadap jaringan yang telah dirancang.
Jaringan yang telah dirancang adalah 2 unit masukan
dan 9 unit keluaran. Jumlah layar tersembunyi dan
jumlah unit yang ada didalamnya diuji pada pengujian
ini.
Table 1: Data pengujian pelatihan offline Backpropagation.
Uji
ke-n
Root Mean
Square Error
Jumlah
Iterasi
learning
rate
Momentum
1 1,552 5000 0,2 0,2
2 1,658 5000 0,2 0,4
3 1,282 5000 0,4 0,2
4 1,252 5000 0,4 0,4
Pada pengujian tahap 1 yang ditunjukkan pada Tabel 1,
menunjukkan pengaruh perubahan nilai momentum dan
learning rate terhadap nilai rms yang dihasilkan.
Berdasarkan data yang dihasilkan menunjukkan bahwa
nilai learning rate 0,4 dan momentum 0,4
menghasilkan nilai rms yang lebih kecil dibandingkan
dengan nilai rms yang lain.
Table 2: Data pengujian pasangan jumlah unit
Pengujian tahap 2 ditunjukkan pada Tabel 2. Pada
pengujian ini menunjukkan pengaruh jumlah unit pada
layer tersembunyi dengan jumlah layer tersembunyi
yaitu 2 layer. Berdasarkan pengujian menunjukkan
jumlah unit layer tersembunyi 2 buah layer lebih optimal
pada penggunaan jumlah unit 15-10, jumlah ini
menunjukkan 15 unit pada layer tersembunyi 1 dan 10
unit pada layer tersembunyi 2.
Berdasarkan pada Tabel 2 menunjukkan dengan
menggunakan 2 layar tersembunyi nilai RMSE menjadi
lebih kecil dengan iterasi yang sama. Jumlah unit pada
layar kedua lebih optimal pada 10 unit. Maka besar
jaringan pelatihan offline yang dikerjakan adalah 2 unit
input, 15 unit layar tersembunyi-1, 10 unit layar
tersembunyi-2, dan 9 unit keluaran.
Gambar 9. Grafik respon roll
Grafik 9 menunjukkan pada pergerakan menuju
10° dari keadaan berdiri yaitu 0° sudut meja. Hasil
pengujian tersebut menunjukkan bahwa perubahan
sudut alas robot bermula pada waktu ke 350ms dan
konstan pada waktu ke 1400ms, berdasarkan data
tersebut maka robot telah digerakkan dengan kecepatan
angular 10°/1100ms. Dan meja robot kembali pada
keseimbangan pada waktu ke 1650ms, dengan data
tersebut menunjukkan bahwa terdapat selisih waktu
Layer
unit
Root Mean Square Error ke-n Rata-
rata
1 2 1 2 3 4 5
10 10 0,739 0,900 0,861 0,752 0,822 0,814
10 15 0,856 0,798 0,843 0,781 0,835 0,822
10 20 0,830 0,820 0,961 0,884 0,943 0,887
15 10 0,785 0,797 0,852 0,768 0,788 0,798
15 15 0,898 1,013 0,984 0,958 0,896 0,949
15 20 0,937 0,991 0,985 1,111 0,966 0,998
20 10 0,860 0,823 1,000 0,840 0,805 0,865
20 15 0,882 1,095 0,893 0,863 0,815 0,815
20 20 1,089 1,200 1,128 1,152 1,962 1,306
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
27 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
250ms terhadap perubahan sudut pergerakan meja
robot untuk menuju pada posisi seimbang.
Pengujian sistem juga meliputi penggujian
collision(tubrukan), pengujian ini adalah untuk
mengetahui collision yang terjadi saat pergerakan robot.
Pengujian ini dilakukan dengan menggerakkan robot
dimulai pada kondisi seimbang hingga sudut roll dan
pitch 20 ° . Gambar 10 menunjukkan collision yang
terjadi pada robot.
Gambar 10. Grafik collision antar end of effector robot
V. DISKUSI
Berdasarkan hasil pengujian pada disimpulkan beberapa
hal:
1. Peningkatan kepresisian sensor sebagai peningkatan dari tugas akhir sebelumnya dengan menambahkan sensor dan metode filter complementary ditunjukkan dengan nilai rata-rata error sudut yang didapatkan tahun lalu adalah 0,6° dan tugas akhir ini bernilai 0,4° sumbu X dan 0,5° sumbu Y.
2. Pada sistem ini, pelatihan backpropagation dapat
bekerja optimal dengan jumlah layer tersembunyi 2, jumlah unit pada layer tersembunyi 1 adalah 15 unit, dan jumlah unit pada layer tersembunyi 2 adalah 10
unit. Sedangkan nilai learning rate dan momentum yang maksimal bernilai 0,4 dan 0,4.
3. Penerapan metode backpropagation juga meningkatkan respon robot terhadap sudut kemiringan yang didapatkan dari alas robot, peningkatan tersebut ditunjukkan dengan hasil respon yang telah diuji yang hanya membutuhkan 200ms hingga 350ms, sedangkan pada tugas akhir sebelumnya membutuhkan delay yang lebih lama karena jika data kemiringan tidak ada dalam tabel maka robot akan menurunkan kaki penyangganya hingga dalam seimbang.
VI. KESIMPULAN
Kendali neural network dapat bekerja dengan baik
pada robot rekonfigurasi meja. Robot rekonfigurasi meja
merupakan salah satu tipe dari robot paralel
manipulator. Proses pelatihan secara offline sangat lama,
maka pada pengembangan lebih lanjut dapat
dipertimbangkan pada penggunaan pelatihan secara
offline namun dengan metode neural network yang
lebih cepat proses pelatihannya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Merlet, J. P. 1996, “Direct Kinematics of Planar Parallel
Manipulator”, Proceedings International Conference on
Robotics and Automation, Minnesota.
[2] Stewart, D., 1965, “A Platform with six degree of Freedom”, Proc
Instrn Mech Engrs 1965-66, Vol 180, Pt 1, No 15.
[3] Merlet, J. P. 2006, Parallel Robots, 2nd edition, Springer,
Netherlands.
[4] Freeman J.A. and Skapura B.M., 1990, "Neural Networks,
Algorithms Applications and Programming Techniques",
Addison-Wesely,
[5] Colton. S., 2007, ”The Balance Filter A Simple Solution for
Integrating Accelerometer and Gyroscope Measurements for a
Balancing Platform”.
Jara
k C
oll
isio
n (
mm
)
Waktu (ms)
Pengujian Collision Antar Kaki RobotCollision Kaki A dan B Collision Kaki B dan C
Collision Kaki A dan C
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
28 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
OPTIMASI KELAJUAN SUHU ANNEALING
UNTUK EKSTRAKSI SILIKA DARI ABU SEKAM
PADI SERTA UJI KANDUNGAN MOLEKUL
OPTIMIZATION OF ANNEALING TEMPERATURE
RATE FOR SILICA EXTRACTION FROM RICE
HUSK ASH WITH MOLECULES CONTENT TEST
Verina, Herlin, Irmansyah, dan Irzaman
Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor
Abstrak- Sekam padi sebagai hasil sampingan dari
proses penggilingan padi mengandung silika yang
cukup tinggi berkisar antara 87-97 %. Abu sekam padi
ketika dibakar pada suhu terkontrol (500-600°C)
akan menghasilkan silika yang dapat digunakan untuk
berbagai proses kimia. Silika yang dihasilkan dari
sekam padi memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan silica mineral. Silika dari sekam
padi memiliki butiran halus, lebih reaktif, dapat
diperoleh dengan cara yang mudah dengan biaya yang
relatif rendah, serta didukung oleh ketersediaan
bahan baku yang melimpah. Penelitian sebelumnya
oleh Faiz dan Muzikarno menginformasikan semakin
rendah laju kenaikan suhu dalam proses annealing,
maka pengabuan akan lebih sempurna .Pada
penelitian ini dilakukan variasi kelajuan suhu
annealing (0.7oC/menit dan 0.9oC/menit) dengan
harapan dapat memperoleh kemurnian silika yang
lebih tinggi dari penelitian sebelumnya. Hasil uji
sampel dengan EDX diperoleh kemurnian silika
sebesar 81.96% pada kelajuan suhu 0.7 oC/menit dan
87.48 pada kelajuan suhu 0.9 oC/menit. Analisis
sampel dengan menggunakan FTIR menunjukkan
adanya dua gugus fungsi utama dalam silika yaitu
Siloksan (Si-O-Si) dan Silanol (Si-OH).
Kata Kunci— Annealing, EDX, FTIR, Sekam Padi,
Silika
Abstract- Rice husk as a byproduct of rice milling
process contain a high concentration of silica ranged
between 87-97%. Rice husk ash when burned at a
controlled temperature (500-600°C) will produce
silica that can be used for a variety of chemical
processes. Silica produced from rice husk has several
advantages compared to the silica mineral. Silica from
rice husk has a fine grains, more reactive, can be
obtained in an easy way with relatively low cost, and
also supported by the availability of abundant raw
materials and can be renewed. Previous research by
Faiz and Muzikarno informed that the lower rate of
temperature increase in the ashing process becomes
more perfect. Based on this information, the
researchers extract silica from rice husk ash with
variation rate of increase annealing temperature
(0.7°C/min and 0.9°C/min), in which this variations
rate of increase in the annealing temperature is lower
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
29 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
than previous studies. EDX results showed that the
rate of increase annealing temperature 0.7oC/min
obtained 81.96% purity silica, whereas the rate of
increase annealing temperature 0.9oC/min obtained
87.48% purity silica. Analysis of the samples by using
FTIR showed the presence of two major functional
groups in silica which is a siloxane (Si-O-Si) and
silanol (Si- OH)
Keywords— Annealing, EDX, FTIR, Rice Husk, Silica
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi padi di Indonesia terus mengalami
peningkatan. Data Badan Pusat Statistik tahun 2013,
pada tahun 2012 Produksi padi (ATAP) sebesar 69,06
juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau mengalami
peningkatan 3,30 juta ton (5.02 persen) dibandingkan
tahun 2011.1 Dengan meningkatnya produksi padi, maka
jumlah sekam dari hasil penggilingan padi akan
meningkat pula. Dari proses penggilingan padi biasanya
diperoleh sekam sekitar 20-30%.2 Sedangkan abu
sekam padi yang dihasilkan dari pembakaran sekam
padi sekitar 18%.3
Berbagai penelitian4,5,6 melaporkan bahwa abu sekam
secara umum mengandung silika yang cukup tinggi
berkisar antara 87-97 %. Presentase silika yang
mendekati atau dibawah 90 % kemungkinan disebabkan
oleh sampel sekam yang telah terkontaminasi oleh zat
lain yang kandungan silikanya rendah.7,8 Abu sekam padi
apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi (500–
600oC) dengan menggunakan tungku sekam padi akan
menghasilkan abu silika yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai proses kimia.9 Selanjutnya abu silika tersebut
dibakar pada rentang suhu 600oC sampai 800 oC selama
3 jam, kemudian dicuci dengan HCl untuk
menghasilkan silicon murni.
Silika yang dihasilkan dari sekam padi memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan silika mineral,
dimana silika sekam padi memiliki butiran halus, lebih
reaktif, dapat diperoleh dengan cara mudah dengan
biaya yang relatif murah, serta didukung oleh
ketersediaan bahan baku yang melimpah dan dapat
diperbaharui.10 Dengan kelebihan tersebut,
menunjukkan silika sekam padi berpotensi cukup besar
untuk digunakan sebagai sumber silika, yang merupakan
bahan material yang memiliki aplikasi yang cukup luas
penggunaannya.
Pada tahun 2012, Ahmad11 mengekstrak silika dari
sekam padi dengan kelajuan suhu annealing 5 oC/menit
dan kecepatan putar 240 rpm selama 2 jam pada suhu
200 oC pada proses pengadukan menghasilkan silika
sekitar 5,6-6,8 gram. Penelitian selanjutnya oleh Faiz12
dengan variasi kelajuan suhu annealing 1oC/menit,
3oC/menit, 5oC/menit, 7oC/menit diperoleh kemurnian
silika terbesar tanpa pengotor pada kelajuan suhu
1oC/menit dengan kemurnian silika sebesar 62.7%.
Selanjutnya oleh Muzikarno13 dengan variasi kelajuan
suhu annealing 1oC/menit dan 5oC/menit diperoleh
hasil yang sama, yaitu kemurnian silika terbesar tanpa
pengotor pada kelajuan suhu 1 oC/menit dengan
kemurnian silika sebesar 76.17%. Hal ini
menginformasikan bahwa semakin rendah laju kenaikan
suhu maka proses pengabuan akan semakin sempurna,
karena seluruh unsur organik dan pengotor hilang
menguap sehingga hanya unsur silikon dan oksigen yang
tersisa. Berdasarkan informasi tersebut, peneliti
mengekstraksi silika dari abu sekam padi dengan variasi
kelajuan suhu annealing (0.7 oC/menit dan 0.9
oC/menit).
Tujuan
1. Menentukan kelajuan suhu yang optimum pada
proses annealing untuk ekstraksi Silika.
2. Mengetahui kemurnian silika pada ekstraksi silika
dari abu sekam padi.
3. Menguji kandungan molekul silika yang dihasilkan
dari proses ekstraksi tersebut
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan silika
dari limbah arang sekam padi yang dapat digunakan
untuk membuat silikon sebagai bahan semikonduktor.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
30 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sekam Padi
Pada proses penggilingan beras, sekam akan terpisah
dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah
penggilingan. Kandungan kimia sekam padi terdiri atas
50% selulosa, 25 – 30% lignin, dan 15 – 20% silika.14
Sekam padi saat ini telah dikembangkan sebagai bahan
baku untuk menghasilkan abu yang dikenal di dunia
sebagai RHA (rice husk ask). Abu sekam padi yang
dihasilkan dari pembakaran sekam padi pada suhu 400
– 500 oC akan menjadi silika amorphous dan pada suhu
lebih besar dari 1.000 oC akan menjadi silika kristalin.
Ditinjau data komposisi kimiawi, sekam mengandung
beberapa unsur kimia penting seperti dapat dilihat pada
Tabel 1. Dengan komposisi kandungan kimia seperti
tersebut pada Tabel 1, sekam dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan di antaranya: (a) sebagai bahan baku
pada industri kimia, (b) sebagai bahan baku pada
industri bahan bangunan, terutama kandungan silika
(SiO2) yang dapat digunakan untuk campuran pada
pembuatan semen portland, bahan isolasi, husk-board
dan campuran pada industri bata merah, (c) sebagai
sumber energi panas pada berbagai keperluan manusia.
Table 1. Komposisi kimia sekam padi dalam kondisi kering.15 Elemen Persentase Massa %
Karbon 41.44
Hidrogen 4.94
Oksigen 37.32
Nitrogen 0.57
Silikon 14.66
Kalium 0.59
Sodium 0.035
Belerang 0.3
Fosfor 0.07
Kalsium 0.06
Besi 0.006
Magnesium 0.003
B. Silika
Silika adalah senyawa hasil polimerisasi asam silikat,
yang tersusun dari rantai satuan SiO2 tetrahedral dengan
formula umum SiO2. Di alam senyawa silika ditemukan
dalam beberapa bahan alam, seperti pasir, kuarsa, gelas,
dan sebagainya. Silika murni terdapat dalam dua bentuk
yaitu kuarsa, dan kristobalit. Silika terbentuk melalui
ikatan kovalen yang kuat, serta memiliki struktur lokal
yang jelas: empat atom oksigen terikat pada posisi sudut
tetrahedral di sekitar atom pusat yaitu atom silikon.
Struktur lokal dari silikon dioksida diperlihatkan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Lokal Silika dioksida.16
C. EDX (Energy Dispersive X-ray)
EDX merupakan karakterisasi material
menggunakan sinar-x yang diemisikan ketika material
mengalami tumbukan dengan elektron. Sinar-x
diemisikan dari transisi elektron dari lapisan kulit atom,
karena itu tingkat energinya tergantung dari tingkatan
energi kulit atom. Setiap elemen di dalam tabel periodik
atom memiliki susunan elektronik yang unik. Dengan
mendeteksi tingkat energi yang dipancarkan dari sinar-x
dan intensitasnya, maka dapat diketahui atom-atom
penyusun material dan persentase masanya.17
D. FTIR (Fourier Transform Infrared)
Spektroskopi FTIR merupakan spektroskopi
inframerah yang dilengkapi dengan transformasi Fourier
untuk deteksi dan analisis hasil spektrumnya. Inti
spektroskopi FTIR adalah interferometer Michelson
yaitu alat untuk menganalisis frekuensi dalam sinyal
gabungan. Spektrum inframerah tersebut dihasilkan dari
pentrasmisian cahaya yang melewati sampel,
pengukuran intensitas cahaya dengan detektor dan
dibandingkan dengan intensitas tanpa sampel sebagai
fungsi panjang gelombang. Spektrum inframerah yang
diperoleh kemudian diplot sebagai intensitas fungsi
energi, panjang gelombang ( µ m) atau bilangan
gelombang (cm-1).17 Analisis gugus fungsi suatu sampel
dilakukan dengan membandingkan pita absorbsi yang
terbentuk pada spektrum infra merah menggunakan
tabel korelasi dan menggunakan spektrum senyawa
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
31 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
pembanding (yang sudah diketahui). Berikut adalah
contoh tabel gugus fungsi yang terdapat pada senyawa
silika.
Table 2. Bilangan gelombang dan gugus fungsi pada senyawa
silika
Bilangan
Gelombang (cm−1) Gugus Fungsi
470.63 tekuk Si-O18
794, 67 ulur asimetri Si-O19
1130–1000 ulur asimetri Si-O19
3700–3200 ulur –OH dari Si-OH atau air19
Suatu senyawa dapat bergerak secara translasi, vibrasi,
maupun rotasi. Vibrasi dari suatu senyawa dibedakan
menjadi vibrasi ulur (stretching) dan vibrasi tekuk
(bending). Vibrasi ulur dibedakan menjadi vibrasi
simetri dan asimetri, sedangkan vibrasi tekuk dibedakan
menjadi vibrasi goyangan (rocking), guntingan
(scissoring), kibasan (wagging), dan pelintiran
(twisting).
Gambar 2 menunjukkan vibrasi dua molekul yang
terikat. Jumlah energi total adalah sebanding dengan
frekuensi dan tetapan gaya dari pegas dan massa (m1
dan m2) dari dua atom yang terikat. Energi yang dimiliki
oleh sinar infra merah hanya cukup kuat untuk
mengadakan perubahan vibrasi.20
Gambar 2. Molekul diatomik
Berdasarkan persamaan Lagrange (1.1) yang merupakan
selisih dari energi kinetik total (T) dengan energi
potensial total (V), maka dihasilkan suatu energi vibrasi
yang nilainya sebanding dengan frekuensi dan massa
suatu senyawa (1.5).
L = T – V (1.1)
Persamaan (1.1) diferensial gerak didefinisikan sebagai
berikut:
𝑑
𝑑𝑡(
𝜕𝐿
𝜕𝑣𝑖) −
𝜕𝐿
𝜕𝑥𝑖= 0 (i=1, 2...) (1.2)
𝑓 = 1
2𝜋√
𝑘
𝜇 (1.3)
dengan nilai 𝜇 sebagai berikut :
𝜇 =𝑀𝑚
𝑀 + 𝑚
keterangan
𝑓 = 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 (𝐻𝑧)
𝑘 = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎 𝑝𝑒𝑔𝑎𝑠 ( 𝑁 𝑚)⁄
𝜇 = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 (𝑘𝑔)
Analisis frekuenasi, konstanta anharmonik dan
konstanta pegas ikatan molekul dalam spektrum FTIR
untuk model anharmonik sederhana dirumuskan sesuai
persamaan (2), (3), (4), (5), (6)
𝜀𝑣 = (𝑣 +1
2) �̅�𝑒−(𝑣 +
1
2)2𝜔𝑒𝑥𝑒 cm-1(𝑣 = 1,2, … ),
(2)
�̅�𝑜𝑠𝑐. = �̅�𝑒 {1 − 𝑥𝑒 (𝑣 +1
2)} (3)
(i)v=0→v=1, ∆v=+1,
ω̅e(1-2xe) cm-1 (4)
(ii)v=0→v=2, ∆v=+2,
2ω̅e(1-3xe) cm-1 (5)
(iii)v=0→v=3, ∆v=+3,
3ω̅e(1-4xe) cm-1 (6)
X1 X2
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
32 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
III. METODE
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Oktober
2013 hingga Februari 2014. Pembuatan dan
karakterisasi sampel dilakukan di Laboratorium
Biofisika Material, Departemen Fisika FMIPA, Institut
Pertanian Bogor. Analisis FTIR dilakukan di
Departemen Fisika. Analisis SEM-EDX dilakukan di
Laboratoarium Kimia Terpadu Balai Kehutanan Bogor.
B. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tungku
sekam IPB sebagai penghasil limbah arang sekam padi,
crusibel, gelas arloji, cawan porselin, mortar, furnace
(tanur), alumunium foil, neraca analitik, magnetic
stirrer, spatula, gelas piala, termometer digital,
termometer laser, pipet tetes, gelas ukur, batang
pengaduk, kertas pH, kertas saring, penyaring ukuran
mikro, dan wadah.
C. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu sekam padi yang
didapatkan berasal dari limbah pertanian. Bahan-bahan
kimia yang digunakan antara lain asam klorida (HCl) 3%
p.a, dan akuades.
D. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan beberapa tahap, yaitu
pembuatan arang sekam padi, Ekstraksi Silika, dan Uji
Kandungan Molekul yang terdiri dari uji EDX dan
analisis dengan FTIR.
Pembuatan Arang Sekam Padi
Pembuatan arang sekam padi melalui beberapa tahap,
yaitu penimbangan sekam padi yang merupakan sisa
pertanian yang dihasilkan oleh mesin penggiling padi.
Mula-mula sekam padi dikeringkan menggunakan sinar
matahari lalu ditimbang sebesar 2000 gram (2 kg) dan
memasukannya ke dalam tungku sekam padi
dilanjutkan dengan proses pembakaran.22 Setelah
proses ini, maka arang sekam padi ditimbang.
Ekstraksi Silikon dioksida
Pembuatan silika dari sekam padi dalam penelitian ini
mengacu pada penelitian sebelumnya.11,13,23 Arang
sekam padi hasil dari pembakaran sekam padi
dimasukan dalam cawan porselin lalu dibakar dalam
tanur dengan suhu mula-mula 400 oC selama 2 jam.
Selanjutnya suhu pemanasan ditingkatkan menjadi 900
oC selama 1 jam. Pada proses ini kelajuan suhu
annealing divariasikan 0.7, 0.9 oC/menit. Penelitian
sebelumnya telah dilakukan variasi kelajuan suhu
annealing.12,13,24
Setelah pemanasan lalu ditimbang dan abu sekam
padi dicuci menggunakan asam klorida (HCl). Proses
pencucian ini bertujuan untuk mengurangi impuritis
yang ada dalam abu sekam padi selain silikon dioksida.
Mula-mula abu sekam padi yang telah ditanur ditimbang
40 gram kemudian dimasukan dalam gelas piala, lalu
dicampur dengan HCl 3% (hasil pengeceran HCl 37%),
yaitu 12 ml HCl 3% untuk 1 gram, kemudian dipanaskan
di atas penangas (tombol pengatur suhu pada penangas
diatur sehingga menunjukkan skala suhu sebesar 200
oC) dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet
pada kecepatan 240 rpm selama 2 jam. Selanjutnya
dicuci menggunakan akuades panas berulang-ulang
sampai bebas asam (diuji menggunakan kertas lakmus),
lalu disaring dengan kertas saring bebas abu. Hasil
penyaringan (residu+kertas saring) dipanaskan dalam
tanur dengan suhu 900 oC sampai silikon dioksida putih
yang tersisa.
Analisis EDX
Silika yang dihasilkan semua perlakuan dianalisis
menggunakan EDX. Hal ini dilakukan dengan tujuan
mengidentifikasi komposisi unsur yang terkandung
dalam sampel sehingga dapat menentukan kemurnian
dari silika. Analisis EDX dilakukan di Labolatoarium
Kimia Terpadu Balai Kehutanan Bogor.
Analisis FTIR
Pada analisis ini silika dikarekterisasi gugus fungsinya.
Mula-mula sampel dilarutkan dengan larutan KBr.
kemudian sampel tersebut ditembak dengan sinar
inframerah sehingga sinar ada yang ditrasmisikan dan
diserap. Penyerapan sinar tersebut akan menentukan
gugus molekul dari sampel.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
33 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pembuatan Arang Sekam dan Ekstraksi Silika
Pada penelitian ini, silika dihasilkan dari abu sekam
padi. Mula – mula sekam padi sebanyak 3 Kg dibakar
dengan menggunakan tungku sekam padi dan dihasilkan
arang sebesar 0.54 Kg (18%). Presentase arang yang
dihasilkan dari proses pembakaran sekam padi ini sesuai
dengan teori bahwa arang atau abu yang dihasilkan dari
pembakaran sekam padi sekitar 18% .3 Pembakaran
sekam menjadi arang dimaksudkan untuk menurunkan
temperatur pengabuan. Jika sekam padi langsung
diabukan tanpa melalui proses pembakaran menjadi
arang terlebih dahulu maka panas yang diperlukan
untuk menghasilkan abu akan sangat tinggi. Energi yang
dibutuhkan untuk pengabuan pun akan semakin tinggi.
Pengarangan sekam ini bertujuan untuk
mendekomposisi senyawa organik dalam sekam.25 Arang
sekam yang diperoleh berwarna abu-abu kehitaman
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Warna
tersebut mengindikasikan bahwa senyawa-senyawa
organik belum teroksidasi sempurna. Setelah diperoleh
arang sekam, dilanjutkan dengan proses pengabuan
untuk memperoleh silika putih. Abu yang dihasilkan
setelah proses ini masing-masing 26,85 gram dan 26,53
gram sehingga didapatkan massa susut sekitar 15% -
16% .
(a) (b) (c)
Gambar 3. Sampel hasil penelitian (a). Arang Sekam padi, (b).
Abu Sekam Padi, (c). Silika.
Setelah pemanasan, abu sekam padi dicuci
menggunakan HCL, dilanjutkan dengan aquades
kemudian disaring. Hasil penyaringan dipanaskan
dalam tanur dengan suhu 900 0C sehingga dihasilkan
silika berwarna putih dengan struktur yang halus seperti
pada Gambar 3. Selanjutnya silika yang dihasilkan
dianalisis dengan EDX dan FTIR.
Karakteristik Silika ( Hasil Uji EDX)
Unsur – unsur yang terdapat pada silika dapat
dideteksi dengan menggunakan EDX. Apabila suatu
sampel mengasilkan silika murni, maka hasil uji sampel
tersebut akan diperoleh oksigen dan silicon saja.
Apabila diperoleh unsur – unsur yang lain, maka
kemurnian silika tersebut akan berkurang karena adanya
pengotor.
Table 3 Hasil analisis EDX silikon dioksida
Persentase (%) atom
Unsur
Laju Kenaikan
suhu
Laju Kenaikan
suhu
0.7 °C / menit 0.9 °C / menit
Oksigen 70.05 69.43
Silikon 27.32 29.16
Rubidium 2.24 1.41
Potassium 0.39 -
Kemurnian 81.96 87.48
Tabel 3 merupakan hasil analisa EDX yang
menunjukkan komposisi kimia yang berbeda pada laju
kenaikan suhu yang berbeda. Pada laju kenaikan suhu
0.7 oC/menit terdapat unsur pengotor Rubidium dan
Potassium dengan kemurnian silika sebesar 81.96%.
Pada laju kenaikan suhu 0.9 oC/menit terdapat unsur
pengotor Rubidium dengan kemurnian silika sebesar
87.48%. Kemurnian silika dihitung dengan
menggunakan persentase atom.
Pada penelitian ini muncul pengotor berupa Rubidium.
Hal ini dikarenakan sejak awal sekam padi yang
digunakan memang mengandung rubidium. Silika yang
baik adalah silika yang memiliki pengotor paling sedikit
atau tanpa pengotor. Sehingga pada penelitian ini, laju
kenaikan suhu 0.7 oC/menit dan 0.9 oC/menit bukanlah
laju kenaikan suhu yang optimum untuk menghasilkan
silika murni dengan kualitas yang baik.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
34 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Hasil EDX pada kedua laju kenaikan suhu pada
penelitian ini menunjukkan adanya rubidium dan
potassium yang merupakan logam yang tersisa yang
masih terdapat dalam sampel silika. Logam – logam
tersebut secara alami terdapat di dalam sekam padi.26
Potassium yang masih tersisa pada proses ekstraksi
silika dapat dihilangkan dengan menggunakan asam
sitrat.27 Asam sitrat digunakan karena diketahui bahwa
gugus karboksil akan dengan mudah bereaksi dengan
elemen logam.28 Gugus karboksil tersebut akan
mengikat logam alkali sehingga kandungan logam
tersebut dapat berkurang atau hilang. Sedangkan
rubidium yang semula merupakan senyawa Rb2O pada
sekam padi dapat dihilangkan dengan menggunakan
basa pada saat pencucian abu sekam padi.
Senyawa Rb2O akan larut dalam suasana basa
dan akan mengendap dalam suasana asam.
Karakteristik Silika (Hasil Uji FTIR)
Metode spektroskopi inframerah digunakan untuk
mengidentifikasi gugus-gugus fungsional yang terdapat
pada silika, dimana setiap gugus fungsional pada silika
memiliki serapan yang karakteristik pada bilangan
gelombang tertentu. Pola serapan inframerah silika yang
dihasilkan dari proses pengolahan sekam padi
ditunjukkan dalam Gambar 4. Pada gambar tersebut
kedua spektra IR mempunyai bentuk yang mirip.
Spektra yang terbentuk dari silika masing-masing
perlakuan memiliki puncak-puncak yang dominan sama.
Pada laju kenaikan suhu 0.7oC/menit dan 0.9oC/menit
pita serapan yang muncul pada bilangan gelombang 471
cm-1 mengindikasikan adanya vibrasi tekuk Si-O dari
siloksan (Si-O-Si).18 Pita serapan pada 795 cm-1
menunjukkan adanya vibrasi ulur asimetri Si-O dari Si-
O-Si.19 Pita serapan pada 1095 cm-1 dan 1080 cm-1
menunjukkan adanya vibrasi ulur asimetris Si-O dari Si-
O-Si.19 Pita serapan disekitar 3610 cm-1 menunjukkan
vibrasi ulur -OH dari Si-OH atau air pada laju kenaikan
suhu 0.9oC/menit.19
(a)
(b)
Gambar 5. Spektra FTIR (a) Silika dengan laju kenaikan
suhu 0.7 oC/menit, (b) Silika laju kenaikan suhu
0.9 oC/menit.
Berdasarkan kedua spectra IR tersebut terlihat bahwa
silika yang diekstraksi dari abu sekam padi memiliki
kandungan air relatif rendah. Selain itu kemungkinan
besar silika lebih didominasi oleh gugus siloksan (Si-O-
Si), dibandingkan dengan gugus silanol (Si-OH). Hal
tersebut ditunjukkan dengan rendahnya intensitas
serapan lebar dari gugus –OH di 3610 cm-1. Dengan
munculnya puncak Si-O sebanyak 2 kali pada kedua
spektra IR tersebut, maka dapat dilakukan analisis
konstanta anharmonik dan konstanta pegasnya. Vibrasi
ulur asimetri Si-O untuk kelajuan suhu 0.7°C/menit
memiliki konstanta pegas sebesar 997.78 N/m,
sedangkan pada kelajuan suhu 0.9°C/menit konstanta
pegas yang diperoleh sebesar 1081.48 N/m.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
35 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
IV. SIMPULAN
Kelajuan suhu annealing 0.7oC/menit dan
0.9oC/menit mampu meningkatkan kemurnian silika,
namun belum mampu membebaskan pengotor
seluruhnya. Pada laju kenaikan suhu annealing
0.7oC/menit diperoleh kemurnian silika sebesar 81.96%
sedangkan pada laju kenaikan suhu annealing
0.9oC/menit diperoleh kemurnian silika sebesar 87.48%.
Silika yang dihasilkan mengandung gugus fungsi silanol
(Si-OH) dan siloksan (Si-O-Si). Vibrasi ulur asimetri Si-
O untuk kelajuan suhu 0.7°C/menit memiliki konstanta
pegas sebesar 997.78 N/m, sedangkan pada kelajuan
suhu 0.9°C/menit konstanta pegas yang diperoleh
sebesar 1081.48 N/m.
DAFTAR PUSTAKA
1. [BPS] Badan Pusat Statistik. Produksi Padi, Jagung, dan
Kedelai (Angka Ramalan I Tahun 2013). [diunduh 3 September
2013]. Tersedia pada
[http://www.bps.go.id/brs_file/aram_01jul13.pdf], 2013.
2. Artini, Ni Putu J. Pengaruh Konsentrasi Asam Klorida (HCL)
Terhadap Rasio C/Sio2 dan Adsorptivitas Silika Hitam dari
Sekam Padi. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia, 2009.
3. Folleto E. et al: Mat. Res. 9, 335, 2006.
4. Enymia, Suhanda, dan Sulistarihani, N. Pembuatan Silika Gel
dari Sekam Padi untuk Bahan Pengisi Karet Ban. Jurnal
Keramik dan Gelas Indonesia, Vol. 7 No. 1 dan 2, 1998.
5. Kalapathy. U.. A. Proctor. and J. Schultz. A Simple Method for
Production of Pure Silica from Rice Hull Ash. Bioresources.
Technology. Vol.73, 257-262, 2000.
6. Nuryono, Narsito, dan Astuti, E. Sintesis Silika Gel Terenkapsl
Enzim dari Abu Sekam Padi dan Aplikasinya Untuk Biosensor,
(Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI/2), Lembaga Penelitian
UGM, Yogyakarta, 2004.
7. Houston, D.F. Rice,Chemistry and Technology, Vol IV.
American Association of Cereal Chemist Inc. St Paul,
Minnecota, pp. 245, 1971.
8. Prasad C.S., Maiti K,N., Venugopal R. Effect of rice husk ash
in whiteware compositions. Ceramic International, 27, 629-635,
2001.
9. Irzaman, H. Alatas, H. Darmasetiawan, A. Yani dan Musiran.
Tungku Sekam Padi sebagai Energi Alternatif dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat (Kajian Ekonomi
dan Finansial Tungku Sekam Padi : Skala Rumah Tangga).
Laporan Kegiatan Pengembangan IPTEK. Institut Pertanian
Bogor, 2007.
10. Sembiring, Simon dan Karo-Karo, Pulung. Pengaruh Suhu
Sintering Terhadap Karakteristik Termal Dan Mikrostruktur
Silika Sekam Padi. Jurnal Sains dan Teknologi MIPA.
Universitas Lampung, 2007.
11. Ahmad, Lius. Uji Sifat Listrik dan Sifat Struktur Bahan Silikon
Dioksida dan Semikonduktor Silikon dari Sekam Padi.[Tesis].
Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Institut Petanian Bogor, 2012.
12. Faiz, M Afif. Teknologi Proses Ekstrasi Silikon dari Sekam
untuk semikonduktor [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana,
Institut Pertanian Bogor, 2013.
13. Muzikarno, Otto. Penambahan Magnesium Berlebih dalam
Menghasilkan Silikon Murni dari Sekam Padi sebagai Bahan
Semikonduktor. [Tesis]. Departemen Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Petanian
Bogor, 2013.
14. Ismail, M. S. and Waliuddin, A. M. Effect of Rice Husk Ash on
High Strength Concrete. Construction and Building Materials.
10 (1), 521-526, 1996.
15. [IPSIT] Indian Institute of Science Precipitated Silikon
dioksida Technology. Precipitated silikon dioksida from rice
husk ash. [diunduh 3 September 2013]. Tersedia pada
[http://cgpl.iisc.ernet.in/site/Portals/0/Technologies/
PrecipitatedSilikon dioksida.pdf], 2010.
16. Genieva SD, Turmanova SC, Dimitrova AS, Vlaev LT.
Characterization of rice husks and the product of its thermal
degradation in air or nitrogen atmosphere. J of Thermal
Analysis and Calorimetry. 9(2), 387-396, 2008.
17. Samsiah, Robiatuh. Karakterisasi Biokomposit Apatit-Kitosan
dengan XRD (X-Ray Diffraction) FTIR (Fourier Transform
Infrared), SEM (Scanning Electron Microscopy). [Skripsi].
Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Institut Petanian Bogor, 2009.
18. Hamdan, H. Introduction to Zeolites: Synthesis,
Characterization and Modification. Universiti Teknologi
Malaysia, Kualalumpur, 1992.
19. Silverstein. R. M.. G. C. Bassler and T. C. Morril.
Spectrometric Identification of Organic Compound. 5th ed.
John Wiley & Sons. Inc. New York, 1991.
20. Thomas N, Sorrell. Interpreting Spectra of Organic Molecules.
University of North Ccarolina at Chapel Hill : University
Science Books Mill Valley California, 1988.
21. Yakin Khusnul. Perhitungan Energi Disosiasi Ca-O dan C-O
pada Gugus Fungsi Hidroksiapatit Menggunakan Pemodelan
Spektroskopi Inframerah [Skripsi]. Bogor (ID). Institut
Pertanian Bogor, 2013.
22. Irzaman, H. Darmasetiawan, H. Alatas, Irmansyah, A.D. Husin,
M.N. Indro. Development of Cooking Stove with Rice-Husk
Fuel. Workshop on Renewable Energy Technology
Applicaitons to Support E3i Village, Jakarta Indonesia, 22 – 24
July, 2008.
23. Hikmawati. Produksi Bahan Semikonduktor Silikon dari
Silikon dioksida Limbah Arang Sekam Padi sebagai Alternatif
Sumber Silikon [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, 2010.
24. Masrur. Optimasi Penambahan Magnesium Berlebih dan
Kelajuan Pemanasan pada Ekstraksi Silikon Dioksida dan
Silikon Berbahan Dasar Sekam Padi. [Tesis]. Departemen
Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Petanian Bogor, 2014.
25. Wogo, dkk. Sintesis Silika Gel Terimobilisasi Dithizon melalui
Proses Sol-Gel. Jurnal Sains dan Terapan Kimia, Vol.5, No. 1,
84-95, 2011.
26. Onojah, A., dkk. Comparative Studies of Silicon from Rice
Husk Ash and Natural Quartz. Am. J. Sci. Ind. Res. 3(3): 146-
149, 2012.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
36 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
27. A. M. Venezia and V. La Parola. Journal of Solid State
Chemistry. 161, 373-378, 2001.
28. Junko, Umeda. Process Optimization to Prepare High Purity
Amorphous Silika from Risk Husk via Citric Acid Leaching
Treatment. Transaction of JWRI, Vol. 37, No.1, 2008.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
37 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
SINTESIS DAN KARAKTERISASI MESOPORI
ZSM-5 DARI LUMPUR SIDOARJO MELALUI
PENDEKATAN GREEN CHEMISTRY
SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION OF
MESOPOROUS ZSM-5 FROM SIDOARJO MUD
THROUGH GREEN CHEMISTRY
APPROACHES
Muhibullah Abdisy Syakur Al Mubarok1,a, Lisna Putri Setiawan2,b, Maisari Utami3,c, Hurul Aini As Silmi4,d,
Wega Trisunaryanti5,e, Sutarno6,f dan Akhmad Syoufian7,g
1,2,3,4Jurusan Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. aEmail: [email protected],
bEmail: [email protected], cEmail: [email protected] dan dEmail: [email protected]
5,6,7 Jurusan Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. eEmail: [email protected], fEmail: [email protected],
gEmail: [email protected]
Abstrak- Metana telah dijadikan sebagai sumber
bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan.
ZSM-5 merupakan katalis yang digunakan untuk
konversi metana menjadi bensin. Material ini
umumnya disintesis menggunakan templat organik
yang dapat menimbukan permasalahan lingkungan.
Mesopori ZSM-5 telah berhasil disintesis dari
lumpur Sidoarjo sebagai sumber silika tanpa
templat organik. Silika dari lumpur Sidoarjo
diekstraksi menggunakan larutan natrium
hidroksida untuk mendapatkan larutan natrium
silikat kemudian dilanjutkan dengan pengendapan
melalui penambahan HCl sampai pH=8 untuk
membentuk silika alcogel dan pengeringan untuk
membentuk silika gel. Produk ini kemudian
digunakan sebagai prekursor dalam sintesis ZSM-5
menggunakan natrium aluminat sebagai sumber
alumina. Sintesis ZSM-5 dilakukan di bawah kondisi
reaksi berikut: SiO2/Al2O3 = 50, Na2O/SiO2 = 0,13,
H2O/SiO2 = 27 pada 190 oC selama 48 jam. Silika gel
dihasilkan dari lumpur Sidoarjo dengan kemurnian
98,1 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mesopori ZSM-5 telah berhasil dibentuk dengan
rasio SiO2/Al2O3 = 21,63, luas permukaan spesifik =
5,166 m2/g, volume pori total = 6,515x10-3 cc/g dan
rata-rata radius pori = 2,522 nm. Hasil ini jelas
menunjukkan bahwa kation Na+ berperan penting
dalam mengarahkan struktural serta
menyeimbangkan muatan.
Kata Kunci—Lumpur Sidoarjo; Mesopori ZSM-5;
Green Chemistry; Metana menjadi Bensin.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
38 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Abstract- Methane has been used as a source of
renewable fuels that are environmentally friendly.
ZSM-5 catalyst is used for the conversion of
methane into gasoline. These materials are
generally synthesized using an organic template that
is likely to cause environmental problems.
Mesoporous ZSM-5 was synthesized successfully
from Sidoarjo mud as silica source without any
organic template. Silica from Sidoarjo mud was
extracted using sodium hydroxide solution to obtain
sodium silicate solution then proceeded with
precipitation by adding HCl until pH = 8 to form
silica alcogel and drying to form silica gel. The
product was then used as a precursor in the
synthesis of ZSM-5 with sodium aluminate used as
aluminum source. The synthesis of ZSM-5 was
conducted under the following reaction conditions:
SiO2/Al2O3=50, Na2O/SiO2=0.13, H2O/SiO2=27 at 190 oC for 48 hours. Silica gel was produced from
Sidoarjo mud with a purity of 98.1%. The results
showed that mesoporous ZSM-5 was successfully
formed with ratio of SiO2/Al2O3=21,63, specific
surface area=5,166 m2/g, total pore
volume=6,515x10-3 cc/g, and average radius
pore=2,522 nm. The results clearly show that Na+
cations playing a structural directing role as well as
charge balancing role.
Keywords — Sidoarjo Mud; Mesoporous ZSM-5;
Green Chemistry; Methane to Gasoline.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
39 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
I. PENDAHULUAN
Krisis bahan bakar minyak (BBM) sedang
mengancam dunia saat ini seiring dengan
meningkatnya penggunaan bahan bakar. Hal
tersebut menyebabkan defisit pada cadangan minyak
yang ada sehingga harganya pun terus meningkat
tajam. Salah satu solusi dari permasalahan tersebut
yaitu dengan melakukan konversi metana menjadi
bahan bakar berupa bensin menggunakan suatu
katalis yang dapat memberikan fraksi bensin dengan
nilai oktan yang tinggi sehingga kualitasnya lebih
baik dibandingkan bensin yang ada. Bensin yang
dihasilkan juga lebih ramah lingkungan daripada
bensin biasa, baik dari segi emisi gas yang
ditimbulkan maupun dari limbah produksinya [1].
Katalis yang sering digunakan dalam konversi
tersebut adalah ZSM-5.
Penelitian mengenai penggunaan katalis ini dalam
konversi metana menjadi bensin telah banyak
dilakukan [2-4]. Pada awalnya, ZSM-5 merupakan
katalis utama dalam perengkahan minyak bumi.
Namun seiring dengan semakin defisitnya cadangan
minyak yang ada membuat para peneliti mencoba
melakukan inovasi untuk mengatasi masalah ini.
Mereka berhasil mengkonversi gas metana menjadi
bensin menggunakan katalis ZSM-5. Kemudian
proses ini mulai banyak dilakukan oleh para pelaku
industri minyak bumi di dunia, salah satunya
Chevron.
ZSM-5 merupakan zeolit yang mempunyai pori
sedang dengan unit sel orthombik. Salurannya
terdiri dari beberapa cincin yang membentuk
selektivitas zeolit. ZSM-5 memiliki aktivitas dan
selektivitas yang tinggi pada beberapa reaksi
konversi hidrokarbon dan tidak mudah terdeaktivasi
[5]. Katalis ini memiliki harga yang sangat mahal
dan sampai saat ini Indonesia masih mengimpor
dari negara lain.
Sintesis ZSM-5 dari bahan alam telah dilakukan
oleh banyak peneliti [6-7]. Namun metode tersebut
umumnya dilakukan menggunakan templat organik
(TPA+). Walaupun efek templat organik bagus dalam
sintesis ZSM-5 namun menimbulkan permasalahan
seperti bersifat toksik, biaya produksi tinggi, terjadi
kontaminasi dengan limbah cair dan terjadi polusi
udara dari hasil dekomposisi termalnya. Untuk
mengatasi masalah ini, telah berhasil dilakukan
sintesis katalis ZSM-5 tanpa templat organik oleh
beberapa peneliti [8].
Selain itu, silika dari bahan alam yang digunakan
juga harus diperoleh dengan pembakaran pada
temperatur tinggi. Sehingga dibutuhkan energi yang
besar untuk memperoleh sumber silika. Padahal
kandungan silika yang cukup tinggi dari lumpur
Sidoarjo dapat disintesis menjadi silika amorf hanya
dengan temperatur yang cukup rendah [9]. Hal ini
membuat lumpur Sidoarjo berpotensi besar
digunakan sebagai sumber silika untuk sintesis
ZSM-5.
Jalur metode sintesis ZSM-5 ini merupakan suatu
metode sintesis dengan pendekatan Green
Chemistry. Hal tersebut karena metode ini memiliki
beberapa poin dari prinsip tersebut, diantaranya
yaitu peningkatan efisiensi energi, desain sintesis
yang tidak berbahaya dan peminimalan resiko
kecelakaan kerja. Lumpur Sidoarjo yang memiliki
kandungan silika tinggi dapat digunakan sebagai
bahan dasar sintesis ZSM-5. Hal ini diharapkan
dapat membantu dalam mengembangkan solusi
alternatif bahan bakar selain minyak bumi yang
harganya terus meningkat tajam tiap tahunnya.
Dengan adanya konsep ini, kita perlu
mempertimbangkan setiap aspek, bukan hanya di
akhir suatu proses, tapi dari awal kita melakukan
proses produksi, apakah menghasilkan limbah yang
berpotensi membahayakan lingkungan atau tidak.
Green chemistry merupakan konsep penting yang
perlu dikembangkan dan dilakukan secara
berkelanjutan agar bumi ini tetap menjadi tempat
tinggal yang layak bagi manusia.
Konsep ini dapat mengundang dan menantang
setiap ilmuwan untuk mengembangkan inovasi
dalam proses kimia dengan memperbaharui proses
kimia konvensional menjadi lebih ramah terhadap
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
40 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
lingkungan dan manusia tanpa meninggalkan
prinsip-prinsip optimasi dalam proses produksi.
II. METODE PENELITIAN
A. Preparasi Sumber Silika
Batuan lumpur Sidoarjo ditumbuk sampai
berukuran kecil menggunakan mortar dan lumpang.
Kemudian direndam dengan akuades dalam gelas
beker sambil diaduk selama 24 jam menggunakan
magnetic stirrer pada temperatur kamar. Lumpur
tersebut lalu disaring dengan kertas saring biasa
menggunakan Buchner. Lumpur yang telah disaring
dikeringkan dalam oven pada temperatur 100 oC
selama 12 jam. Lumpur kering kemudian ditumbuk
kembali hingga halus sampai membentuk serbuk.
Serbuk diayak menggunakan pengayak 150 mesh.
Selanjutnya serbuk lumpur Sidoarjo dikarakterisasi
dengan FTIR, XRD dan XRF.
Lumpur yang telah dipreparasi kemudian direfluks
dengan 100 mL larutan NaOH sambil diaduk dengan
pengaduk magnet selama 5 jam pada temperatur 90
oC. Konsentrasi NaOH yang digunakan yaitu 6 M.
Sampel hasil refluks dipisahkan menggunakan alat
sentrifugasi dengan kecepatan 2100 rpm selama 10
menit. Filtrat kemudian disaring menggunakan
kertas saring whatman No. 1. Larutan yang diperoleh
merupakan larutan natrium silikat.
Natrium silikat hasil pelarutan dititrasi dengan
HCl sedikit demi sedikit sampai pH 8. Gel yang
terbentuk didiamkan selama sehari kemudian
dipisahkan dengan cara disaring menggunakan
kertas whatman No. 1. Gel kemudian dicuci dengan
akuabides sambil diaduk dengan pengaduk magnet
selama sehari pada temperatur kamar. Gel disaring
kembali kemudian dikeringkan dalam oven selama 5
jam pada temperatur 100 oC. Serbuk silika gel
dianalisis menggunakan FTIR, XRD dan XRF.
B. Sintesis Mesopori ZSM-5
Katalis ZSM-5 disintesis melalui reaksi hidrotermal
di dalam autoklaf menggunakan sumber alumina,
sumber silika dan NaOH sebagai agen pengarah
struktur. Sumber silika yang digunakan berasal dari
silika gel hasil pelarutan silika lumpur Sidoarjo.
Sintesis katalis ZSM-5 menggunakan sumber
alumina berupa natrium aluminat. Sebanyak 1 gram
natrium aluminat (Al2O3=55%, Na2O=45%)
ditambahkan dengan 2,87 gram NaOH yang telah
dilarutkan dalam 10 mL air. Campuran tersebut
ditambahkan 83,30 mL air dan diaduk pada
temperatur kamar. Setelah 30 menit kemudian
ditambahkan 16,51 gram silika gel. Campuran
diaduk selama 30 menit pada temperatur kamar
kemudian dimasukkan ke dalam autoklaf. Campuran
dipanaskan pada temperatur 170 oC selama 48 jam.
Produk hasil hidrotermal tersebut merupakan ZSM-
5. Produk sintesis kemudian dikalsinasi pada
temperatur 550 oC selama 3 jam dengan laju
pemanasan 3 oC per menit.
C. Karakterisasi Material
Sampel lumpur Sidoarjo, silika gel dan produk
ZSM-5 dikarakterisasi dengan X- Ray Difraction
(XRD Shimadzu 6000) menggunakan filter Cu (λ=
0.15 nm) dengan kondisi operasi pada 40 kV dan 30
mA untuk mengetahui fasa kristal. Fourier
Transform Infrared Spectrometer (FTIR Shimadzu
8201 PC) digunakan untuk karakterisasi struktur
kerangka sampel yang diukur pada bilangan
gelombang 300-1600 cm-1. X-ray Fluorescence
Spectrometer (XRF PANalytical MiniPal 4)
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
41 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
digunakan untuk menentukan komposisi kimia
sampel dengan kondisi operasi pada 7 kV
menggunakan atmosfir udara dan helium.
Transmission Electron Microscopy (TEM JEOL
JEM 1400) dengan kondisi operasi pada 120 kV
digunakan untuk mengetahui morfologi ZSM-5 dan
Surface Area Analyzer (SAA NOVA 1000) untuk
mengetahui luas permukaan spesifik, volume total
pori dan jari-jari rerata pori.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Spektra Inframerah
Gambar 1 (a) menunjukkan terdapat serapan
inframerah lumpur Sidoarjo pada bilangan
gelombang 470,63 dan 1033,58 cm-1 yang
merupakan vibrasi tekuk dan ulur dari gugus Si-O-Si
pada sistem lembar TO4 suatu lempung, sedangkan
puncak pada 532,35 dan 1427,32 cm-1 merupakan
vibrasi tekuk dan ulur gugus fungsi Si-O-Al dimana
Al merupakan kation pusat dari sistem TO6 pada
suatu lempung [10]. Keberadaan gugus Si-O untuk
sistem TO4 dan gugus Al-O untuk sistem lembar TO6
mengindikasikan bahwa lumpur Sidoarjo
merupakan material aluminosilikat dengan jenis
lempung.
Gambar 1 (b) menunjukkan serapan yang kuat dan
tajam pada bilangan gelombang 1095,57 cm-1
merupakan serapan dari vibrasi ulur asimetri gugus
Si-O pada gugus siloksan
(Si-O-Si). Serapan di sekitar 1200 cm-1 merupakan
serapan dari vibrasi ulur asimetri Si-O pada gugus
silanol (Si-OH). Bahu yang muncul pada serapan
tersebut menunjukkan telah berlangsungnya
polimerisasi silika dan merupakan karakter vibrasi
eksternal SiO4.
Berdasarkan Gambar 1 (c), pada spektra
inframerah ZSM-5 muncul dua serapan cincin ganda
pada bilangan gelombang 563,21 dan 632,65 cm-1.
Menurut Jacobs dan Martens [11] serapan vibrasi
cincin ganda dari ZSM-5 muncul pada dua bilangan
gelombang, yaitu 580 dan 560 cm-1. Serapan vibrasi
ulur simetris eksternal ZSM-5 muncul di bilangan
gelombang 810,10 cm-1. Jacobs dan Martens [11]
juga menyatakan bahwa vibrasi ulur simetris
eksternal dari ZSM-5 ditunjukkan pada bilangan
gelombang 800 cm-1. Sehingga produk diindikasikan
merupakan ZSM-5.
Gambar 1. Spektra Inframerah Lumpur Sidoarjo
(a), Silika Gel (b) dan ZSM-5 (c)
(c)
(b)
(a) 1600 1400 1200 1000 800 600 400
Inte
nsi
tas
(a.u
)
panjang gelombang (cm-1
)
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
42 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Inte
nsi
tas
(a.u
)
2Theta (derajat)
B. Difraktogram Sinar-X
Berdasarkan Gambar 2 (a), terlihat puncak-puncak
difraksi lumpur Sidoarjo muncul pada 2θ = 5,78o
dan 6,52o yang memiliki kesesuaian dengan JCPDS
montmorillonit pada no. 13-135 dan 29-1498.
Kesesuaian nilai d pada puncak 2θ = 20,06o; 25,27o;
28,04o dan 36,79o dengan JCPDS illit no. 29-1496;
43-685; 29-1496 dan 26-911 sehingga puncak
tersebut diidentifikasi sebagai puncak dari mineral
illit.
Gambar 2. Difraktogram Lumpur Sidoarjo (a)
Silika Gel (b) dan ZSM-5 (c)
Puncak 2θ = 21,05o merupakan puncak khas dari
mineral kuarsa yang sesuai dengan data JCPDS
kuarsa no. 82-511. Puncak dengan intensitas
tertinggi muncul pada 2θ = 26,87o yang memiliki
kesesuaian dengan JCPDS montmorilonit no. 13-135.
Puncak pada 2θ = 12,40o; 24,24o dan 28,76o
memiliki kesesuaian dengan JCPDS kaolinit no. 80-
886. Berdasarkan hasil tersebut maka lumpur
Sidoarjo mengandung mineral montmorillonit,
kaolinit, illit dan kuarsa.
Berdasarkan Gambar 2 (b), pola difraksi dari silika
gel menunjukkan puncak yang muncul pada 2θ =
21,74o dan 22,38o yang memiliki kesesuaian dengan
JCPDS kuarsa no. 86-1565. Menurut Kalapathy et al.
[12], pola difraksi silika dengan pucak melebar di
sekitar 2θ = 22,00o menunjukkan telah terbentuknya
struktur silika amorf. Berdasarkan Gambar 2 (c),
semua puncak yang muncul pada ZSM-5 hasil
sintesis memiliki kesesuaian dengan nilai d pada
JCPDS no. 79-1638 mineral ZSM-5. Oleh karena itu
puncak-puncak tersebut dapat diidentifikasikan
sebagai puncak mineral ZSM-5.
Tabel 1. Hasil Analisis Komposisi Kimia Material
Oksid
a
% Berat relatif
Lumpur
Sidoarjo Silika gel ZSM-5
SiO2
Al2O3
K2O
CaO
TiO2
MnO
50,1 98,1 89,4
14,4 - 6,70
4,82 0,17 1,30
10,4 0,68 0,89
3,93 0,06 -
8,40 - 0,03
C. Komposisi, Morfologi dan Isoterm Adsorpsi
Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia dari lumpur
Sidoarjo yang terdiri dari campuran beberapa unsur
dengan silika sebagai komponen paling dominan.
Sedangkan komposisi kimia silika gel menunjukkan
kemurnian silika hasil sintesis yang tinggi sehingga
sangat baik digunakan sebagai sumber silika untuk
sintesis ZSM-5. Hasil analisis komposisi kimia ZSM-
5 pada Tabel 1 menunjukkan bahwa metode
hidrotermal tanpa templat organik dapat
menghasilkan produk dengan rasio Si/Al = 21,64.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
43 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Hasil ini jelas menunjukkan bahwa kation Na+
berperan penting dalam mengarahkan struktural
serta menyeimbangkan muatan sehingga dapat
membentuk ZSM-5.
Gambar 3. Kurva isoterm adsorpsi gas nitrogen
dari ZSM-5
Berdasarkan Gambar 3, maka dapat dilakukan
perhitungan analisis BET dan BJH dari ZSM-5 hasil
sintesis. Hasil perhitungan tersebut memberikan
informasi bahwa ZSM-5 hasil sintesis memiliki luas
permukaan spesifik = 5,166 m2/g, total volume pori
= 6,515x10-3 cc/g, dan jari-jari rerata pori = 2,522
nm. Data ini menunjukkan bahwa material tersebut
termasuk dalam kelompok mesopori. Sedangkan
Gambar 4 menunjukkan bahwa morfologi ZSM-5
hasil sintesis memiliki kemiripan dengan mesopori
ZSM-5 standar.
(a) (b)
Gambar 4. Morfologi mesopori ZSM-5 hasil
sintesis (a) dan mesopori ZSM-5 standar
(b) (Zhang et al. [13])
Kation Na+ merupakan agen pengarah struktur
dalam sistem sintesis zeolit. Keberadaan spesies ini
sangat diperlukan sebagai pemacu mobilitas ion-ion
silikat dan aluminat dalam proses nukleasi. Proses
ini terjadi melalui pelarutan spesies silikat yang
membentuk monomer-monomer kemudian menjadi
dimer, trimer, tetramer dan akhirnya menjadi
oligomer-oligomer silikat yang pada gilirannya akan
bereaksi dengan spesies aluminat. Spesies
aluminosilikat yang dihasilkan akan membentuk inti
kristal yang perlahan-lahan mengendap. Spesies
tersebut selanjutnya tumbuh menjadi kristal secara
spontan pada tahap kristalisasi. Hal ini membuat
terbentuknya struktur zeolit dengan keteraturan
tertentu seperti mesopori ZSM-5.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
44 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Menurut Subagjo [14], zeolit ZSM-5 mempunyai
sifat unik yaitu mempunyai ukuran pori 0,54 x 0,57
nm (lebih kecil dari ukuran molekul hidrokarbon C11),
berstruktur tiga dimensi dan bersifat organofil.
Kombinasi ketiga sifat diatas menyebabkan ZSM-5
bersifat selektif terhadap pembentukan hidrokarbon
≤ C11, mempunyai umur katalis yang panjang serta
tahan terhadap perlakuan panas dan asam. Oleh
karena itu, bensin yang dihasilkan akan memiliki
nilai oktan yang lebih tinggi daripada bansin yang
ada saat ini. Bensin yang berbahan dasar metana
akan bersifat lebih ramah lingkungan dibandingkan
bensin biasa, baik dari segi emisi gas yang
ditimbulkan maupun dari limbah produksinya.
IV. KESIMPULAN
Mesopori ZSM-5 telah berhasil disintesis
menggunakan pendekatan Green Chemistry, dimana
sintesis dilakukan tanpa templat organik dengan
sumber silika dari lumpur Sidoarjo. ZSM-5 yang
diperoleh memiliki rasio SiO2/Al2O3 = 21,63 dengan
luas permukaan spesifik = 5,166 m2/g, volume pori
total = 6,515x10-3 cc/g, dan rerata jari-jari pori =
2,522 nm sehingga material ini termasuk dalam
kelompok mesopori. Pemanfaatan lumpur Sidoarjo
sebagai sumber silika untuk sintesis ZSM-5 perlu
dikembangkan supaya material ini dapat digunakan
secara masal sebagai katalis dalam konversi metana
menjadi bensin. Bensin yang dihasilkan akan
memiliki nilai oktan tinggi serta lebih ramah
lingkungan, baik dari segi emisi gas yang
ditimbulkan maupun pembakarannya. Penelitian ini
juga dapat menjadi usulan yang sangat strategis
untuk dilaksanakan di Indonesia. Hal ini
dikarenakan kondisi buruk yang dialami Indonesia
dalam menghadapi permasalahan kenaikan harga
minyak mentah dunia, sehingga perlu suatu solusi
yang cepat dan tepat untuk mencegah semakin
buruknya dampak dari kondisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[1] D.C. Bressler and K.D. Maher, “Pyrolysis of triglyceride
materials for the production of renewable fuels and
chemicals”, Bioresource Technology, Vol. 90, 2007, pp.
2351-2368, Canada.
[2] C-J. Liu, R. Malloinson and L. lobban, “Comparative
investigations on plasma catalytic methane conversion to
higher hydrocarbons over zeolites”, Applied Catalysis A, Vol.
178, 1999, pp. 17-27.
[3] A.K.A. Gheit, A.E. Awadallah, A.A.A. Enein and A.L.H.
Mahmoud, “Molybdenum substitution by copper or zinc in
H-ZSM-5 zeolite for catalyzing the direct conversion of
natural gas to petrochemicals under non-oxidative
conditions”, Fuel, Vol. 90, 2011, pp. 3040-3046.
[4] D.D Anggoro and N.A.S Amin, “Methane to liquid fuels over
metal loaded HZSM-5 catalyst”, Journal of Sustainable
Energy and Environment, Vol. 2, 2011, pp. 57-59.
[5] A.A. Fernandes, E.U. Frajndlich dan H.G Riella, “A low cost
ZSM-5 zeolite obtained from rice hull ash”, Materials Science
Forum, Vol. 498-499, 2005, pp. 676-680, Trans Tech
Publications, Switzerland.
[6] M. Chareonpanich, T. Namto, P. Kongkachuichay, J.
Andlimtrakul, “Synthesis of ZSM-5 zeolite from lignite fly ash
and rice husk ash”, Journal of Fuel Processing Technology,
Vol. 85, 2004, pp. 1623- 1634.
[7] L.T.H. Nam dan N.T.T. Loan, “Influence of silica resource
from rice husk on structure of HZSM-5 zeolite”, Journal of
Chemistry, Vol. 47, 2009, pp. 586-590.
[8] L.A. Putro dan D. Prasetyo, “Abu sekam padi sebagai sumber
silika pada sintesis zeolit ZSM-5 tanpa menggunakan templat
organik”, Akta Kimindo,Vol. 3, 2007, pp. 33-36.
[9] A.F. Fadli, R.T Tjahjanto and Darjito, “Ekstraksi silika dalam
lumpur lapindo menggunakan metode kontinyu”, Kimia
Student Journal, Vol. 1, 2013, pp. 182-187.
[10] W. Xue, H. He, J. Zhu and P. Yuan, “FTIR Investigation of
CTAB-Al-Montmorillonite complexes”, Spectrochim. Acta,
Part A, Vol. 67, 2006, pp. 1030-1036.
[11] P.A. Jacobs and J.A. Martens, Synthesis of high-silica
aluminosilicate zeolites, 1987, Elsevier Science Publisher.
[12] U. Kalapathy, A. Proctor and J. Shultz, “A simple method for
production of pure silica from rice hull ash”, Biores. Tech.,
Vol. 73, 2000, pp. 257-262.
[13] F. Zhang, X. Chen, J. Zhuang, Q. Xiao, Y. Zhong and W. Zhu,
“Direct oxidation of benzene to phenol by N2O over meso-Fe-
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
45 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
ZSM-5 catalysts obtained via alkaline post-treatment”, Catal.
Sci. Technol., Vol. 1, 2011, pp. 1250-1255.
[14] Subagjo,” Zeolit I, Struktur dan Sifat-sifatnya”, Warta
Insinyur Kimia, Vol 7, 1993.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
46 Inovasi Vol. 23 No. 1, Feb 2015
Konversi Limbah Pertanian (Lignoselulosa)
Menjadi Bio-aftur
Conversion of Agricultural Waste
(Lignocellulose) to Aviation Biofuel
Jindrayani Nyoo Putroa
Pembimbing: Suryadi Ismadjib dan Felycia Edi Soetaredjoc
aEmail: [email protected], bEmail: [email protected], cEmail: [email protected]
Jurusan Teknik Kimia, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Kalijudan 37, Surabaya 60114, Indonesia.
Abstrak- Limbah pertanian dengan jumlahnya
yang melimpah di dunia dan tidak memiliki nilai
guna dapat dimanfaatkan untuk produksi bio-
avtur yang distandarisasi dengan ASTM D1655
yang dipakai secara internasional sebagai
spesifikasi bahan bakar avtur pesawat terbang.
Pemanfaatan limbah pertanian ini bisa mengatasi
masalah menipisnya minyak bumi dan pemanasan
global di dunia yang akan membawa dampak baik
bagi sektor aviasi di dunia. Konversi limbah
pertanian ini dapat dilakukan dengan berbagai
macam rute yang berbeda yaitu gasifikasi,
likuifasi dan hidrolisis yang memiliki keunggulan
masing-masing. Karakterisasi bio-avtur nantinya
akan dibahas secara rinci di penelitian ini.
Kemungkinan penggunaan ampas tebu sebagai
bahan baku pembuatan bio-avtur juga diberikan
pada makalah ini.
Kata Kunci: Limbah pertanian, bioavtur, aviasi.
Abstract- Agricultural waste has abundant
availability in the world and has no value can be
utilized for the aviation biofuel production that is
standardized by ASTM D1655 which is
internationally used for aviation fuel
specifications in aircraft. Utilization of
agricultural waste could solve the problem of
petroleum oil depletion and global warming in the
world that will bring good impact for aviation
sector in the world. Conversion of agricultural
waste can be done through different routes,
namely gasification, hydrolysis, and liquefaction
which have their own advantages. This study also
will discuss the characterization of aviation
biofuel in detail. The possibility of using sugarcane
bagasse as the raw material for bio-jet fuel
production also given in this paper.
Keywords: Agricultural waste, biofuel, aviation.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
47 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
1. Pendahuluan
Perkembangan transportasi khususnya sektor
penerbangan di Indonesia saat ini sangat pesat. Pada
tahun 2001 konsumsi avtur di transportasi udara
sebesar 716 juta liter per hari dan terus meningkat secara
stabil hingga 751 juta liter per hari di tahun 2008, bahan
bakar avtur menyumbang sekitar 10-15% dari biaya
operasi maskapai penerbangan [1]. Banyaknya jumlah
konsumsi avtur ini memberi kontribusi yang signifikan
terhadap semakin menipisnya cadangan minyak bumi di
dunia. Dengan semakin menipisnya cadangan minyak
bumi dan harga bahan bakar yang tidak stabil menuntut
manusia untuk mencari sumber daya terbarukan yang
bisa menggantikan bahan bakar avtur.
Dalam beberapa dekade terakhir banyak penelitian
yang membahas tentang bahan bakar dengan sumber
terbaharukan dari berbagai jenis biomassa [2]. Dari
biomassa terdapat 3 jenis bahan baku yang bisa
dimanfaatkan untuk produksi bahan bakar yaitu: pati,
trigliserida, dan lignoselulosa (lihat Gambar 1). Bahan
baku pati biasanya diolah untuk menjadi bioethanol
karena struktur kimianya yang mudah dihidrolisa
menjadi gula monomer. Trigliserida merupakan bahan
baku yang biasanya diolah untuk menjadi biodiesel,
sumber bahan yang mengandung trigliserida bisa
didapatkan dari tanaman dan hewan, contoh: minyak
sayur atau lemak hewan. Lignoselulosa merupakan
bahan baku yang paling melimpah di dunia
dibandingkan 2 jenis bahan baku yang lainnya, karena
pati dan trigliserida hanya terdapat di tanaman tertentu
sedangkan lignoselulosa ada di semua tanaman untuk
menunjang struktural dalam suatu tanaman [3].
Gambar 1. Biomassa dan konversi menjadi bahan
bakar [3]
Limbah pertanian merupakan biomassa lignoselulosa
yang melimpah di Indonesia karena negara kita memiliki
sumber daya alam yang sangat kaya. Contoh limbah
pertanian yang bisa digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bio-avtur dapat dilihat pada Tabel 1.
Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis yang
memiliki keuntungan dalam menghasilkan produk
pertanian seperti jagung, tebu, asam jawa, kapas, pisang,
padi dan produk pertanian lainnya. Dengan banyaknya
sumber pertanian dan perkebunan di Indonesia, sudah
bisa dipastikan limbah pertanian yang dihasilkan juga
banyak dan hal ini bisa dimanfaatkan untuk produksi
bahan bakar yang akan meningkatkan nilai jual dan
guna dari limbah tersebut.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
48 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Tabel 1. Limbah pertanian dan komposisinya (%
berat kering) [4]
Limbah pertanian Selulosa Hemiselulosa Lignin
Kulit pisang 13 15 14
Tongkol jagung 32,3-
45,6
39,8 6,7-13,9
Brangkasan
jagung
35,1-
39,5
20,7-24,6 11-19,1
Jerami padi 29,2-
34,7
23-25,9 17-19
Ampas tebu 25-45 28-32 15-25
Sekam padi 28,7-
35,6
11,96-29,3 15,4-20
Ampas kopi 33,7-
36,9
44,2-47,5 15,6-
19,1
Biji asam jawa 10-15 55-56 -
Batang kapas 31 11 30
Lignoselulosa merupakan biomassa yang terdiri dari 2
komponen utama yaitu karbohidrat dan lignin, dimana
sekitar 50-60% bagiannya terdiri dari karbohidrat
(selulosa dan hemiselulosa) dan 20-35% lignin.
Kandungan karbohidrat dan lignin pada tiap biomassa
berbeda tergantung dari spesiesnya. Selulosa memiliki
ikatan rantai hydrogen yang kuat sehingga tidak bisa
larut dalam larutan yang umum, termasuk air, dan
sangat mudah terhidrolisa secara enzimatis.
Hemiselulosa terdiri dari ikatan pendek yang memiliki
banyak rantai percabangan dari berbagai macam
pentosa, yaitu xylosa dan arabinosa, dan heksosa
(manosa, galaktosa dan glukosa). Lignin merupakan
komponen yang memiliki senyawa polifenolik yang
sangat kompleks dan melekat dengan karbohidrat [5].
Pemanfaatan limbah pertanian ini memiliki tingkat
kesulitan yang cukup tinggi dimana struktur karbohidrat
dan lignin sangat susah untuk diproses lebih lanjut
menjadi bahan bakar, maka dari itu pretreatment
merupakan tahap yang sangat penting, dimana tahapan
ini mempengaruhi hasil akhir dari proses khususnya
dari segi ekonomi [6]. Dalam karya tulis ini penulis akan
membahas pembuatan bahan bakar bio-avtur dari
limbah pertanian mulai dari tahap pretreatment,
pembuatan bio-avtur (3 jalur konversi: gasifikasi,
likuifasi dan hidrolisa) beserta karakterisasi bio-avtur.
Pembuatan bio-avtur dari ampas tebu dengan
menggunakan katalis bentonite dan Pt/TiO2 dengan
proses hidrolisis pada kondisi subcritical water juga
akan disajikan dalam karya tulis ini.
2. Pretreatment limbah pertanian
Karena struktur lignoselulosa yang kompleks maka
dibutuhkan pretreatment untuk memecah ikatan
kompleks antara lignin-hemiselulosa-selulosa. Ada 4
jenis pretreatment untuk menghancurkan ikatan
kompleks lignoselulosa yaitu fisik, kimia, suhu, dan
biologis. Pretreatment secara fisik biasanya dilakukan
dengan mengecilkan ukuran partikel dari limbah
pertanian tersebut, akan tetapi ada pro dan kontra
mengenai pretreatment ini. Efek yang diberikan
pretreatment secara fisik ini berbeda tergantung dari
tiap karakteristik biomassa [7]. Liu melakukan
penelitian dengan menggunakan brangkasan jagung
mengungkapkan bahwa seiring bertambah besarnya
ukuran partikel brangkasan jagung, maka konversi gula
dari biomassa meningkat [8], sedangkan Khullar
menguji biomassa miscanthus dengan hasil yang
bertolak belakang dari Liu [9]. Pretreatment dengan
bantuan kimia merupakan pretreatment yang banyak
digunakan untuk proses delignifikasi, salah satu faktor
yang memberikan pengaruh sangat penting dalam
pretreatment kimia ini adalah pH. Nilai pH sangat
mempengaruhi perbandingan dan selektifitas komponen
lignoselulosa yang terlarut, contohnya hemiselulosa
memiliki kelarutan yang sangat baik pada pH rendah
(kondisi asam) sedangkan kelarutan lignin yang baik
terjadi pada pH tinggi (kondisi basa) [10]. Pretreatment
dengan bantuan suhu memiliki keuntungan yang lebih
dibandingkan 3 jenis pretreatment lainnya karena tidak
menggunakan bahan kimia, memanfaatkan kandungan
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
49 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
hemiselulosa yang optimal dalam biomassa, dan biaya
energi yang rendah. Lignin dapat larut dalam air pada
suhu 200˚C, akan tetapi proses ini memiliki reaktifitas
tinggi yang menyebabkan kondensasi yang nantinya
akan mengendapkan biomassa sehingga muncul produk
sampingan seperti humin [11]. Pretreatment biomassa
yang terakhir adalah dengan bantuan enzim untuk
menghidrolisa selulosa menjadi monomer yang lebih
sederhana, biasanya pretreatment ini selalu dibantu
oleh pretreatment kimia atau suhu untuk
menghilangkan bagian lignin pada biomassa.
3. Konversi limbah pertanian menjadi bio-avtur
3.1 Gasifikasi
Gasifikasi adalah proses termo-kimia dengan reaksi
oksidasi di suhu yang tinggi dengan bantuan gas [12].
Gasifikasi dilakukan dengan membakar biomassa
sehingga dihasilkan syngas, yang mengandung CO2, CH4
dan N2 (producer gas) [3]. Proses ini biasanya dilakukan
pada suhu 727oC, dan gas yang dipakai pada umumnya
untuk proses ini adalah CO2 [12, 13, 14]. Dan hasil akhir
syngas yang didapatkan dari proses ini akan
ditingkatkan menjadi bio-avtur dengan proses tambahan
yaitu Fischer-Tropsch (FT). Keuntungan dari proses
gasifikasi ini adalah prosesnya tidak dibatasi oleh jenis
biomassa yang ada, sehingga semua jenis biomassa bisa
dikonversi menjadi bio-avtur dengan proses ini, tetapi
kandungan air dan pengotor di biomassa yang
terkandung oleh syngas bisa menjadi kendala pada
bagian peningkatan hasil melalui proses Fischer-Tropsch
dimana gas harus dialirkan terus-menerus [3]. Berikut
ini merupakan skema proses gasifikasi dan peningkatan
hasil menjadi bio-avtur dengan proses Fischer-Tropsch:
Gambar 2. Skema proses gasifikasi [3]
3.2 Likuifasi
Proses likuifasi merupakan konversi secara termo-
kimia yang dilakukan secara anaerobik, yang mengubah
biomassa ke produk cair seperti bio-oil. Proses ini
mengubah polimer biomassa menjadi senyawa dengan
ukuran yang lebih sederhana dengan suhu sekitar 252-
452oC dan tekanan sekitar 5-20 atm (proses likuifasi bisa
dilihat pada Gambar 3). Pada proses likuifasi, selulosa
mulai terdegradasi pada suhu 200oC. Seiring
meningkatnya suhu, maka reaksi akan berlangsung lebih
cepat. Faktor suhu, tekanan dan waktu ini membuat
proses likuifasi menghasilkan produk bio-oil yang
memiliki kandungan oksigen sekitar 12-14%, dan
membutuhkan proses yang lebih sederhana untuk
pengolahan bio-oil menjadi bio-avtur dibandingkan
proses gasifikasi [3, 15].
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
50 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Gambar 3. Skema proses likuifasi [3]
3.3 Hidrolisa
Hidrolisa merupakan proses yang sangat cocok untuk
memproses biomassa lignoselulosa dengan selektifitas
yang tinggi, seperti produksi kimia atau hidrokarbon
untuk bahan bakar transportasi [3]. Proses ini dilakukan
dengan cara depolimerisasi selulosa menjadi glukosa,
proses ini sangat mudah dibandingkan proses gasifikasi
dan pirolisis, akan tetapi untuk mencapai efisiensi tinggi
dalam proses degradasi selulosa ada beberapa faktor
yang perlu diketahui, salah satunya adalah kandungan
lignin dalam biomassa yang cukup banyak. Maka dari itu
diperlukan pretreatment pada biomassa sebelum
melalui proses hidrolisa ini. Secara umum faktor yang
mempengaruhi reaksi ini adalah suhu, jenis katalis, rasio
biomassa dan pelarut, lamanya proses. Pada proses
hidrolisa ada berbagai macam reaksi yang terjadi untuk
mencapai produk akhir bio-avtur, berikut ini penjabaran
reaksi biomassa menjadi bio-avtur:
Selulosa Glukosa HMF LA GVL Bio-Avtur
*HMF = Hydroxymethylfurfural, LA = Levulinic acid, GVL = Gamma-valerolactone
4. Karakterisasi bio-avtur
Avtur merupakan bahan bakar yang dipakai untuk
pesawat terbang, di dunia aviasi bahan bakar avtur ini
disebut Jet A-1. Bahan bakar selalu memiliki standar
tertentu mengenai karakter fisiknya, badan internasional
yang mengatur mengenai standar dari bahan bakar
tersebut adalah American Society for Testing and
Material (ASTM). Spesifikasi karakter fisik yang umum
mengenai avtur sesuai dengan ASTM D1655 bisa dilihat
pada Tabel 2. Beberapa alat yang dipakai untuk analisa
karakter fisik adalah sebagai berikut: untuk analisa
energy density dilakukan dengan bantuan alat bomb
calorimeter, analisa flash points diukur dengan metode
Tag Closed Cup Tester dan analisa densitas dihitung
dengan alat hydrometers. Sedangkan untuk analisa
kandungan senyawa pada bio-avtur dapat digunakan
Gas Chromatography.
Tabel 2. Spesifikasi karakter fisik bio-avtur ASTM
D1655
Komponen Metode
analisa
Energy density (MJ/kg) Min. 42,80 ASTM D240
Viskositas @ -20˚C (cSt) Maks. 8,000 ASTM D445
Densitas @15˚C (kg/m3) 775 – 840 ASTM D1298
Flash point (˚C) Min. 38,0 ASTM D56
Freezing point (˚C) Maks. -47 ASTM D2386
5. Bio-avtur dari ampas tebu
5.1. Persiapan bahan baku
Ampas tebu yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari pedagang kaki lima minuman tebu di
sekitar lokasi kampus. Sebelum digunakan ampas tebu
dicuci berulang-ulang untuk memisahkan kotoran-
kotoran yang menempel pada ampas, kemudian
dikeringkan hingga kadar air mencapai sekitar 10% dan
dihancurkan dalam grinder.
Sebelum proses hidrolisis, dilakukan proses
penghilangan lignin pada ampas tebu dengan
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
51 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
menggunakan larutan NaOH 18%. Ampas tebu
direndam dalam larutan NaOH selama 24 jam dan
setelah proses penghilangan kadar lignin selesai,
dilakukan pencucian berulang ulang dan ampas tebu
dikeringkan hingga kadar air mencapai 10%.
5.2. Pembuatan katalis
Pada percobaan pembuatan bio-avtur dari ampas tebu
ini terdapat 3 jenis katalis yang digunakan yaitu Pt/TiO2,
bentonite termodifikasi (SiO2/Al2O3) dan Amberlyst 70.
Bentonite termodifikasi dibuat dengan cara merendam
bentonite dengan larutan asam sulfat 2 N selama 24 jam
pada suhu 60oC. Selama perendaman dilakukan
pengadukan secara konstant pada kecepatan
pengadukan 300 putaran/menit. Katalis Pt/TiO2 dibuat
dengan cara perendaman TiO2 dalam larutan H2PtCl6
selama 24 jam, kemudian dilanjutkan dengan proses
kalsinasi pada suhu 400oC selama 2 jam. Katalis
Amberlyst 70 diperoleh dari Rohm and Haas,
Philadelphia USA.
5.3. Karakterisasi ampas tebu dan katalis
Komposisi kimia ampas tebu ditentukan dengan
menggunakan metode analisa thermogravimetry (TGA).
Analisa TGA dilakukan dengan menggunakan alat
TGA/DSC-1 star system (Mettler toledo). Laju
pemanasan dan pendinginan selama proses analisa
adalah sebesar 20oC/menit. Analisa TGA dilakukan pada
rentang suhu 30oC hingga 800oC. Selama proses analisa
berlangsung gas nitrogen dengan laju alir sebesar 20
mL/menit dialirkan ke dalam system.
Struktur pori dan luas permukaan BET dari katalis
diukur dengan menggunakan nitrogen sorption
analyzer Quadrasorb SI. Kurva adsorpsi-desorpsi
nitrogen pada katalis yang digunakan pada penelitian ini
diperoleh pada suhu -196oC dan tekanan relative 0,001
hingga 0,995. Luas permukaan BET dihitung dengan
menggunakan perangkat lunak persamaan BET yang
terdapat di dalam alat Quadrasorb SI.
Topografi permukaan ampas tebu dan katalis dianalisa
dengan mengunakan metode Scanning Electron
Microscope (SEM). Analisa SEM dilakukan dengan
menggunakan alat SEM JEOL JSM 6390 yang
dilengkapi dengan pendeteksi backscattered electron
(BSE) pada akselerasi voltase sebesar 20 KV dan jarak
kerja 12 mm.
5.4. Hidrolisis ampas tebu menjadi asam levulinat
Hidrolisis ampas tebu menjadi asam levulinat pada
kondisi subcritical water dilakukan pada suhu 180oC
dan tekanan 30 bar. Katalis yang digunakan adalah
bentonite termodifikasi sebanyak 2% berat/berat.
Prosedur pembuatan asam levulinat dari ampas tebu
adalah sebagai berikut: 10 gram ampas tebu dimasukkan
ke dalam reaktor hidrolisa, kemudian ke dalam reaktor
ditambahkan 90 mL air dan 2 gram bentonite
termodifikasi. Setelah itu reaktor ditutup rapat dan
sistem dialirkan gas nitrogen selama beberapa saat.
Setelah kondisi inert di dalam reaktor tercapai, tekanan
sistem dinaikkan dengan mengalirkan gas nitrogen
hingga tekanan terbaca pada manometer menunjukkan
angka 10 bar dan pemanas dinyalakan hingga suhu
mencapai 200oC. Jika pembacaan pada manometer
kurang dari 30 bar, maka aliran gas nitrogen dihidupkan
hingga tekanan mencapai 30 bar.
Setelah waktu reaksi selama 180 menit tercapai,
reaktor didinginkan dan tekanan diturunkan hingga
mencapai tekanan atmosfer. Campuran dalam reaktor
kemudian dipisahkan antara padatan dan cairan.
Kandungan gula (heksosa dan pentose), furfural, HMF,
dan asam levulinat dianalisa dengan menggunakan
HPLC (Jasco HPLC system). Campuran air dan
asetonitril (20:80 v/v) digunakan sebagai fase bergerak.
Laju alir fase bergerak adalah 1 mL/menit. Kolom yang
digunakan adalah Luna C-18 (5 lm particle size, 250 mm
x 4.6 mm, Phenomenex, USA).
5.5. Hidrogenasi asam levulinat menjadi γ-valerolactone
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
52 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Hidrogenasi asam levulinat menjadi γ-valerolactone
dilakukan pada suhu 200oC dan waktu reaksi selama 6
jam. Katalis yang digunakan untuk proses hidrogenasi
asam levulinat menjadi γ-valerolactone adalah
campuran antara Pt/TiO2 dan bentonite termodifikasi.
Proses hidrogenasi dilakukan pada tekanan hydrogen
sebesar 50 bar. Prinsip kerja proses hidrogenasi asam
levulinat menjadi γ-valerolactone adalah sebagai
berikut: 100 mL filtrat asam levulinat yang diperoleh
dari percobaan hydrolysis diumpankan ke dalam reaktor,
kemudian 1 gram katalis Pt/TiO2 dan 1 gram katalis
bentonite termodifikasi ditambahkan ke dalam filtrat
tersebut. Selanjutnya reaktor ditutup rapat dan dialirkan
gas hydrogen hingga tekanan dalam reaktor mencapai
50 bar, kemudian reaktor dipanaskan hingga suhu
mencapai 200oC dan reaksi dijaga pada suhu tersebut
selama 6 jam. Setelah waktu 6 jam tersebut tercapai,
reaksi dihentikan dengan cara mendinginkan reaktor
dan tekanan pada reaktor diturunkan hingga mencapai
tekanan atmosfer. Padatan katalis dan filtrat kemudian
dipisahkan dengan cara sentrifugasi. Komposisi senyawa
kimia dalam filtrate ditentukan dengan menggunakan
gas kromatografi (Shimadzu 2014). Fase diam yang
digunakan adalah kolom kapiler Agilent DBWaxetr. Gas
helium digunakan sebagai carrier gas dengan laju alir
30 cm/s. Detektor yang digunakan adalah tipe FID.
5.6. Konversi γ-valerolactone menjadi avtur
Reaksi γ-valerolactone menjadi hidrokarbon dilakukan
dalam sebuah reaktor unggun (fixed bed). Metode yang
digunakan untuk pembuatan avtur dari γ-valerolactone
adalah metode dari Serrano-Ruiz dkk [16]. Katalis yang
digunakan adalah bentonite (SiO2/Al2O3) dan Amberlyst
70. Sebagai variable proses dalam pembuatan
hidrokarbon dari γ-valerolactone adalah suhu (150, 200,
250, dan 300oC) dan waktu reaksi (1, 2, 3, 4, dan 5 jam).
Tekanan sistem 30 bar. Analisa komposisi kimia
dilakukan dengan menggunakan GC-MS.
6. Hasil dan Pembahasan
6.1. Karakterisasi ampas tebu dan katalis
Hasil karakterisasi TGA ampas tebu dan ampas tebu
yang telah mengalami pretreatment dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia ampas tebu dan ampas tebu
yang mengalami perlakuan awal
Suhu, oC Komponen Ampas
tebu, %
Ampas tebu
dengan
perlakuan
awal, %
30-200 Kadar air 9,3 6,8
200-350 Selulosa dan
hemiselulosa
44,1 62,6
400-500 Lignin 28,6 6,3
> 500 Abu 18,0 24,3
Dasar dari analisa TGA adalah proses pirolisis yaitu
perengkahan atau dekomposisi bahan pada suhu tinggi
tanpa adanya oksigen. Pada suhu 30 sampai 200oC
ampas tebu kehilangan massa diakibatkan oleh
penguapan air baik dalam bentuk air bebas (free
moisture content) atau air terikat (bound water). Pada
suhu 200-350oC, penurunan massa ampas tebu
diakibatkan oleh dekomposisi termal selulosa dan
hemiselulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana dan produk dari dekomposisi selulosa dan
hemiselulosa adalah gas dan tar (bio-oil). Dekomposisi
lignin terjadi pada suhu 400-500oC, hasil dekomposisi
dari lignin adalah tar dengan komponen utama senyawa-
senyawa fenol dan turunannya. Sedangkan sisa dari
dekomposisi termal tersebut adalah abu dan karbon
tetap. Perlakuan awal ampas tebu dengan larutan NaOH
berhasil menghilangkan sebagian besar lignin seperti
terlihat pada Tabel 3. Dengan hilangnya sebagian besar
lignin diharapkan pembentukan heksosa dan pentose
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
53 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
selama proses hidrolisis pada kondisi subcritical water
akan berjalan dengan baik.
Struktur pori dari ampas tebu, ampas tebu sesudah
pretreatment, bentonite, bentonite termodifikasi,
penyangga katalis TiO2 dan katalis Pt/TiO2 dapat dilihat
pada Tabel 4. Secara keseluruhan perubahan struktur
pori tidak terlalu signifikan. Untuk ampas tebu yang
merupakan bahan alam dan tidak berpori, setelah
mengalami proses perlakuan awal dengan NaOH juga
tidak berpori, tetapi BET surface area mengalami
peningkatan cukup signifikan, hal ini karena hilangnya
sebagian besar lignin menimbulkan suatu rongga-rongga
kosong diantara struktur ampas tebu.
Tabel 4. Struktur pori bahan baku dan katalis
Sifat AT ATT Ben BenT TiO2 Pt/TiO2
BET,
m2/g
5,1 9,8 197 184 55 52
Vmikro,
cm3/g
- - 0,10 0,08 0,02 0,02
Vmeso,
cm3/g
- - 0,20 0,21 0,11 0,10
VTotal,
cm3/g
0,01 0,01 0,31 0,32 0,15 0,14
Keterangan: AT = ampas tebu; ATT = ampas tebu terdelignifikasi; Ben
= bentonite; BenT = bentonite termodifikasi
Penurunan luas permukaan BET bentonite termodifikasi
disebabkan terjadinya kenaikan jarak antar lapisan
(interlayer spacing) penyusun bentonite karena
perlakuan asam. Sedangkan pada katalis Pt/TiO2
penurunan luas BET disebabkan oleh penempelan logam
Pt pada struktur pori TiO2.
Gambar SEM dari ampas tebu, ampas tebu dengan
perlakuan awal, bentonite termodifikasi dan katalis
Pt/TiO2 dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. SEM (a) ampas tebu, (b) ampas tebu
dengan pretreatment, (c) Bentonite termodifikasi,
dan (d) Pt/TiO2
Dari gambar 4 terlihat bahwa berkurangnya kadar lignin
dalam ampas tebu menyebabkan terjadinya perubahan
topografi permukaan dari ampas tebu (gambar 4a dan
4b). Gambar 4c menunjukkan topografi permukaan
bentonite termodifikasi. Modifikasi dengan asam
menghilangkan ciri khas permukaan bentonite yaitu
susunan antar lapisan yang berbentuk seperti trombosit
mulai berkurang. Bentuk partikel dari katalis Pt/TiO2
cenderung tidak beraturan (gambar 4d) dengan
diameter partikel rata-rata antara 0,2 sampai 0,3 m.
Modifikasi dengan menggunakan asam sulfat 2 N
selama 24 jam tidak merubah kristalitas dari bentonite,
sedikit pergeseran harga d spacing teramati yaitu dari
d100 = 1,42 nm ke d100 = 1,45 nm. Struktur
montmorillonite dari bentonite teramati pada sudut
refleksi 2θ = 8o, 19o, dan 35o. Sedangkan untuk katalis
a b
c d
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
54 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
2 , o
0 20 40 60 80
Inte
nsity
Pt/TiO2 juga dijumpai fenomena yang sama, yaitu
adanya logam Pt dalam struktur TiO2 tidak merubah
kurva XRD dari TiO2. Kemungkinan yang terjadi dengan
tidak berubahnya kurva XRD TiO2 karena logam Pt
terdistribusi merata dalam struktur penyangga katalis
TiO2. Kurva karateristik XRD dari bentonite
termodifikasi dan Pt/TiO2 dapat dilihat pada gambar 5.
2 , o
20 30 40 50 60 70 80
Inte
nsity
Pt/TiO2
TiO2
Gambar 5. Kurva XRD (a) bentonite termodifikasi,
dan (b) katalis Pt/TiO2
6.2. Hidrolisis ampas tebu menjadi asam levulinat
Pada proses hidrolisis ampas tebu dengan
menggunakan proses subcritical water disertai
penambahan katalis bentonite termodifikasi dihasilkan
beberapa senyawa kimia dengan produk utama asam
levulinat. Reaksi pembentukan asam levulinat dari
ampas tebu ini merupakan reaksi berkelanjutan yang
cukup komplek.
Pada kondisi subcritical, molekul air akan terdisosiasi
menjadi ion-ion H3O+ dan OH-. Ion H3O+ ini bersama-
sama dengan ion H+ dari katalis bentonite termodifikasi
akan menyerang ikatan β-1,4-glycosidic yang mengikat
beberapa monomer D-glukosa menjadi suatu rantai
panjang. Selulosa akan terpecah menjadi monomer-
monomer glukosa, sedangkan hemiselulosa akan
terpecah menjadi heksosa (glukosa, manosa dan
galaktosa) dan pentose (xilosa dan arabinose).
Pada suhu tinggi, proton (H3O+ dari subcritical water
dan H+ dari katalis bentonite termodifikasi) yang
terdapat dalam sistem akan sangat reaktif, monomer-
monomer gula C6 (glukosa, manosa dan galaktosa) yang
terbentuk akan terdehidrasi menjadi 5-hidroksi-
metilfurfural (HMF), sedangkan monomer-monomer
gula C5 (xilosa dan arabinose) terdehidrasi menjadi
furfural. Selanjutnya HMF yang terbentuk akan
terdehidrasi lebih lanjut menjadi asam levulinat dan
asam format. Pada suhu 200oC dan tekanan 30 bar,
produk reaksi yang dihasilkan antara lain glukosa (1,15
g/L), xilosa (3,71 g/L), galaktosa (0,11 g/L), arabinose
(0,08 g/L), HMF (0,13 g/L), furfural (0,34 g/L), dan
asam levulinat (12,53 g/L). Dengan kandungan selulosa
dan hemiselulosa sebesar 62,6% maka yield asam
levulinat yang dihasilkan adalah sebesar 20%. Hasil yang
diperoleh cukup rendah karena sebagian dari asam
levulinat dan produk intermediate yang lain terdehidrasi
lebih lanjut membentuk humin.
6.3. Hidrogenasi asam levulinat menjadi γ-valerolactone
γ-valerolactone merupakan salah satu bahan kimia
penting yang banyak digunakan sebagai bahan baku
untuk parfum dan perisa, pelarut dan campuran untuk
bio-fuel, dan bahan baku berbagai macam produk
farmasi dan bahan kimia lainnya. Konversi asam
levulinat menjadi γ-valerolactone terjadi dalam 2
mekanisme reaksi, yang pertama adalah dehidrasi asam
levulinat menjadi angelica lakton dan diikuti reaksi
reduksi angelica lakton menjadi γ-valerolactone.
Mekanisme yang kedua ialah reduksi asam levulinat
menjadi asam 4-hidroksi pentanoat dan dilanjutkan
dengan dehidrasi asam 4-hidroksi pentanoat menjadi γ-
valerolactone. Pada penelitian yang kami lakukan ini,
reaksi samping juga terbentuk, sebagian γ-valerolactone
tereduksi menjadi 1,4 pentanadiol dan senyawa ini
terhedirasi lebih lanjut menjadi metiltetrahidrofuran
(MTHF).
a b
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
55 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Konversi reaksi dari asam levulinat pada suhu 200oC
dan tekanan hydrogen 50 bar selama 6 jam adalah
sebesar 96,4% dan γ-valerolactone yang terbentuk
adalah sebesar 91,2%. γ-valerolactone yang terbentuk
lebih rendah dari asam levulinat yang terkonversi
menunjukan adanya reaksi pembentukan MTHF.
6.4. Pembentukan hidrokarbon dari γ-valerolactone
Gambar 6 menunjukan yield hidrokarbon dari
konversi katalitis γ-valerolactone sebagai fungsi waktu
pada berbagai macam suhu reaksi.
Gambar 6. Pengaruh suhu dan waktu terhadap total
yield hidrokarbon
Reaksi pembentukan hidrokarbon dari γ-valerolactone
merupakan reaksi yang komplek dan bersifat endotermis
dan biasanya berlangsung pada suhu tinggi. Dengan
naiknya suhu maka konversi γ-valerolactone menjadi
hidrokarbon juga akan naik seperti terlihat pada gambar
6. Total yield hidrokarbon yang dihasilkan adalah 25,6%.
Dari hasil analisa GC-MS senyawa hidrokarbon yang
terdapat dalam bio-fuel adalah C9, C10, C12, C16, C20,
C22, C24 dan beberapa senyawa lain. Senyawa C9, C10,
C12, dan C16 adalah komponen penyusun avtur yang
merupakan bahan bakar untuk pesawat terbang.
Sehingga hasil yang diperoleh dengan proses pemurnian
akan didapatkan bahan bakar terbarukan yang dapat
digunakan untuk industri pesawat terbang. Energy
density dari produk yang diperoleh adalah 43,2 MJ/kg
dengan densitas 810 kg/m3.
7. Kesimpulan
Limbah pertanian di Indonesia memiliki peluang
untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar bio-avtur
dengan berbagai macam jalur konversi yang ada.
Pemanfaatan limbah pertanian memerlukan
pretreatment untuk semakin meningkatkan hasil bio-
avtur. Hasil bio-avtur yang diperoleh dari bahan baku
ampas tebu mempunyai kandungan energi sebesar 43,2
MJ/kg dan densitas 810 kg/m3.
DAFTAR PUSTAKA
[1] G. Liu, B. Yan, G. Chen, “Technical review on jet fuel production,”
Renewable and Sustainable Energy Reviews 25, 59-70, 2013.
[2] R. E. H. Sims, W. Mabee, J. N. Saddler, dan M. Taylor, “An
overview of second generation biofuel technologies,” Bioresource
Technology 101, 1570-1580, 2010.
[3] D. M. Alonso, J. Q. Bond, J. A. Dumesic, “Catalytic conversion of
biomass to biofuels,” Green Chemistry, 12, 1493-1513, 2010.
[4] V. Menon, M. Rao, “Trends in bioconversion of lignocellulose:
Biofuels, platform chemicals & biorefinery concept,” Progress in
Energy and Combustion Science 38, 522-550, 2012.
[5] M. Galbe, G. Zacchi, “Pretreatment: The key to efficient utilization
of lignocellulosic materials,” Biomass and Bioenergy 46, 70-78.
[6] J. K. Kurian, G. R. Nair, A. Hussain, G. S. V. Raghavan,
“Feedstocks, logistics and pre-treatment processes for sustainable
lignocellulosic biorefineries: A comprehensive review”,
Renewable and Sustainable Energy Reviews 25, 205-219, 2013.
[7] P. Adapa, L. Tabil, G. Schoenau, “Grinding performance and
physical properties of non-treated and steam exploded barley,
canola, oat and wheat straw,” Biomass and Bioenergy 35, 549-561,
2011.
[8] Z. H. Liu, L. Qin, F. Pang, M. J. Jin, B. Z. Li, Y. Kang, B. E. Dale, Y.
J. Yuan, “Effects of biomass particle size on steam explosion
pretreatment performance for improving the enzyme digestibility
of corn stover,” Industrial Crops and Products 44, 176-184, 2013.
Waktu, jam
0 1 2 3 4 5 6
To
tal y
ield
hid
roka
rbo
n (
%)
0
5
10
15
20
25
30
150oC
200oC
250oC
300oC
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
56 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
[9] E. Khullar, B. S. Dien, K. D. Rausch, M. E. Tumbleson, V. Singh.
“Effect of particle size on enzymatic hydrolysis of pretreated
Mischantus,” Industrial Crops and Products 2013, 44, 11-17.
[10] A. Garcia, M. G. Alriols, J. Labidi, “Evaluation of different
lignocellulosic raw materials as potential alternative feedstocks in
biorefinery processes,” Industrial Crops and Products 53, 102-110,
2014.
[11] K. Wormeyer, T. Ingram, B. Saake, G. Brunner, I. Smirnova,
“Comparison of different pretreatment methods for lignocellulosic
materials. Part II: Influence of pretreatment on the properties of
rye straw lignin,” Bioresource Technology 102, 4157-4164, 2011.
[12] L. Lin, M. Strand, “Investigation of the intrinsic CO2 gasification
kinetics of biomass char at medium to high temperatures,”
Applied Energy, 109, 220-228, 2013.
[13] S. Irmak, M. Kurtulus, A. Hasanoglu (Hesenov), O. Erbatur,
“Gasification efficiencies of cellulose, hemicellulose and lignin
fractions of biomass in aqueous media by using Pt on activated
carbon catalyst,” Biomass and Bioenergy, 49, 102-108, 2013.
[14] T. G. Madenoglu, N. Boukis, M. Saglam, M. Yuksel, “Supercritical
water gasification of real biomass feedstocks in continuous flow
system,” International Journal of Hydrogen Energy 36, 14408-
14415, 2011.
[15] Y. Gao, X. H. Wang, H. P. Yang, H. P. Chen, “Characterization of
products from hydrothermal treatments of cellulose,” Energy, 42,
457-465, 2012.
[16] J.C. Serrano-Ruiz, D. Wang, J.A. Dumesic, “Catalytic upgrading of
levulinic acid to 5-nonanone,” Green Chemistry, 12, 574-577,
2010.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
57 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Tinjauan Daktilitas Lentur Dinding Bata Merah
dengan Perkuatan Strapping Band
(Studi Kasus: Dinding Plesteran 1 cm dengan Beban
Siklik Quasistatik dan Arah Retak Vertikal)
Ductility Flexural Review of Brick Masonry Wall
Strengthened by Strapping Band
(Case Study: 1 cm Plastered Wall with Cyclic
Quasistatic Loads and Vertical Direction of Crack)
Frederica Neo1,a dan Andreas Triwiyono2,b
1,2Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, INDONESIA.
[email protected], [email protected]
Abstrak- Dinding bata merah sering digunakan pada rumah
tinggal dan berbagai bangunan gedung lainnya. Di kawasan
rawan gempa seperti Indonesia, dinding tersebut perlu untuk
diberi perkuatan. Salah satu perkuatan yang mudah didapatkan
dan murah adalah strapping band. Penelitian ini bertujuan
meninjau pengaruh strapping terhadap daktalitas dinding pada
daerah gempa, dimana pada penelitian ini, beban gempa tersebut
diwakili dengan pembebanan lentur siklik quasistatik arah tegak
lurus bidang dinding. Benda uji dinding dibuat dengan variasi:
tanpa strapping, dengan strapping interval 20 cm, 15 cm dan 10
cm. Pada proses pengujian, benda uji diberi pembebanan bolak-
balik sebanyak 12 siklus. Setiap siklus dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan
strapping band tidak meningkatkan kekuatan selama dinding
belum rusak. Dinding dengan kekuatan maksimum awal
tertinggi adalah dinding tanpa strapping dan dinding dengan
strapping 15 cm. Strapping band mulai memberi pengaruh setelah
dinding retak, yaitu dengan adanya kekuatan residual.
Penambahan jumlah strapping berpengaruh pada peningkatan
kekuatan akhir. Dengan strapping interval 10 cm, kekuatan akhir
pada defleksi 0,02 L sebesar 56,4 % kekuatan awalnya.
Kata Kunci—Bata Merah, Strapping Band, Beban Siklik.
Abstract- Brick masonry wall is usually used as chamber
partition in Indonesia. As Indonesia is at earthquake-prone area,
those brick masonry walls need to be strengthened. One of the
applicable and cheap wall strengthening method is by using
strapping-band meshes. The purpose of this research is to review
about the flexural ductility of the wall at earthquake-prone area,
on which that earthquake load was represented by cyclic
quasistatic flexural load in out-of plane direction of walls. Wall
specimens were made in 4 variations: without strapping, with
strapping interval of 20 cm, 15 cm and 10 cm. Reversed cyclic
load was applied to all of the walls in 12 cycles with 3 repetitions
for each. These experiment results show that applying strapping
band on the walls doesn’t increase the initial maximum strength.
The specimens with highest initial maximum strength were wall
without strapping and wall with strapping interval of 15 cm.
Strapping band starts to give effects after initial crack occured
by giving additional residual strength. The increasing number of
strapping will cause the increasing of final strength. Wall with
strapping interval of 10 cm has final strength 56,4% of it’s initial
strength, at displacement of 0,02 L.
Keywords— Brick Masonry, Strapping Band, Cyclic Load.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
58 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
I. PENDAHULUAN
Indonesia berada di jalur pertemuan lempeng benua dan
hal ini menyebabkan sebagian besar wilayahnya rawan
bencana gempa. Dalam beberapa kasus gempa yang telah
terjadi, banyak bangunan yang mengalami kegagalan dan
menimbulkan korban jiwa. Keruntuhan dinding merupakan
salah satu dari kegagalan tersebut. Berbagai metode perkuatan
pun dilakukan untuk mengatasi permasalahan keruntuhan
dinding. Tali strapping band yang berbahan dasar plastik,
mudah ditemukan dan cukup ekonomis[1], menarik perhatian
peneliti untuk mengkaji lebih dalam terhadap penggunaan
strapping band sebagai solusi dari permasalahan tersebut.
Khusus dalam arah tegak lurus dinding, penelitan
terdahulu yang berkaitan dengan perkuatan menggunakan
strapping band dilakukan dengan pembebanan statik,
sedangkan pembebanan dinamis umumnya menggunakan
meja getar yang jauh lebih kompleks. Oleh karena itu, peneliti
merasa perlu meninjau secara sederhana terhadap kuat lentur
arah tegak lurus dinding bata merah melalui pembebanan yang
relatif lebih mewakili kondisi gempa dibandingkan beban
statik, yaitu pembebanan siklik quasistatik.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan kurva beban
terhadap deformasi akibat pembebanan siklik quasistatik,
membandingkan nilai kapasitas momen lentur, daktalitas
lentur arah retakan vertikal dari dinding tanpa perkuatan
strapping dan dinding dengan perkuatan strapping. Tujuan
lainnya yaitu memberikan informasi kelayakan penggunaan
strapping band sebagai perkuatan dinding dari segi
peningkatan biaya material.
Mayorca et. al. [2] melakukan penelitian terhadap lentur
out of plane dinding bata merah yang diberi perkuatan
strapping. Benda uji berupa dinding bata (burned) berukuran
475 mm x 235 mm x 50 mm dengan variasi tanpa strapping
dan dengan strapping interval 45 mm. Panjang bentang
pengujian 440 mm. Pengujian statik out of plane pada arah
retak vertikal, menghasilkan beban maksimal awal rerata
dinding tanpa strapping sebesar 0,67 kN dan dinding dengan
tali strapping jarak 45 mm sebesar 0,52 kN.
Strapping menurunkan kemampuan awal dinding saat
retak, namun apabila pembebanan dilanjutkan untuk deformasi
yang lebih besar, dinding tanpa strapping langsung runtuh
atau gagal, sementara dinding dengan tali strapping jarak 45
mm mengalami penurunan kemampuan hingga pada kekuatan
residualnya yaitu setidaknya 30% kekuatan maksimum awal
dinding. Pembebanan lebih lanjut lagi masih dapat diterima
oleh dinding, bahkan melebihi kekuatan awal dinding saat
retak. Hal ini berarti daktilitas dari dinding meningkat setelah
diberi perkuatan strapping band dan tembok semakin kecil
kemungkinannya untuk runtuh atau mencederai penghuni.
Adiartha [3] melakukan penelitian kuat
lentur tegak lurus bidang dinding bata merah pejal
dengan benda uji dinding diberi perkuatan tali
strapping, lebar 7 mm dan tebal 0,8 mm, dengan
variasi jumlah 1, 2 dan 3. Dinding juga diberi
variasi berupa tebal plasteran 1cm. Pembebanan
dilakukan secara statik satu arah hingga dinding
mengalami retak lentur vertikal dengan jarak
perletakan 500 mm. Ukuran dinding 738,33 x
164,96 x 114,30 mm3. Hasil Penelitian Adiartha,
kuat lentur dinding semakin besar dengan semakin
bertambah jumlah strapping. Untuk dinding tanpa
plasteran dan strapping kuat lentur sebesar 0,79
MPa, dinding dengan tali strapping 1 sebesar 1,79
MPa, dinding dengan tali strapping 2 sebesar 1,83
MPa dan dinding dengan tali strapping 3 sebesar
1,87 MPa.
Sathiparan, et al. [4] melakukan penelitian terhadap
strapping sebagai perkuatan dinding batu. Pengujian statik
dilakukan untuk mendapatkan karakteristik geser diagonal (in-
plane). Ukuran dinding batu 300 x 300 x 150 mm3. Tali
strapping yang dipakai memiliki kuat tarik 1,592 kN.
Dari hasil pengujian statik tersebut, diperoleh hasil
bahwa dengan semakin rapat strap yang terpasang,
kemampuan geser diagonal residual (Vr) dan kemampuan
geser diagonal ultimit (Vf) dibandingkan dengan kemampuan
geser maksimum inisial (Vo) mengalami peningkatan.
Pengaruh positif ini juga diperkirakan berlaku pada arah tegak
lurus bidang dinding.
Kuat lentur dinding dihitung menggunakan persamaan
(1).
𝑓𝑙 =3𝑃𝐿
2𝑏𝑑2 (1)
Dimana P adalah beban maksimum yang dapat ditahan
dinding, L bentang atau jarak antar tumpuan, b lebar dinding,
dan d tebal dinding.
Untuk menghitung daktilitas, digunakan perhitungan
seperti dalam ASTM E 2126-02a [5].
yield memerupakan simpangan leleh yang didapatkan
dari equivalent elastic-plastic curve. ke merupakan kekakuan
geser elastis yang didapatkan dengan persamaan (2).
𝑘𝑒 =0,4𝑃𝑝𝑒𝑎𝑘
∆0,4𝑃𝑝𝑒𝑎𝑘
(2)
Untuk menghitung daktilitas, digunakan perhitungan
seperti dalam ASTM E 2126-02a. Dimana ke merupakan
kekakuan geser elastis (kN/mm); 0,4Ppeak merupakan beban
pada saat 0,4 kali beban puncak (kN) dan Δ0,4Ppeak merupakan
simpangan saat beban 0,4 beban puncak (mm).
Beban saat leleh (Pyield) diperoleh dari menyamakan
luasan di bawah kurva elastis plastis dengan luasan di bawah
envelope curve (A). Pyield dapat dihitung dengan persamaan (3).
𝑷𝒚𝒊𝒆𝒍𝒅 = (∆𝒖 − √∆𝒖𝟐 −
𝟐𝑨
𝒌𝒆) 𝒌𝒆 (𝟑)
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
59 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
DIMANA PYIELD MERUPAKAN BEBAN LELEH (KN),
ΔU SIMPANGAN ULTIMIT (MM), A MERUPAKAN
LUASAN DI BAWAH ENVELOPE CURVE, DARI NOL
HINGGA SIMPANGAN ULTIMIT (KNMM) DAN KE
MERUPAKAN KEKAKUAN GESER ELASTIS
(KN/MM).
DAKTILITAS, ΜS DIHITUNG DENGAN :
µs = Δ𝑦
Δ𝑢 (4)
DIMANA µS MERUPAKAN DAKTILITAS, ΔY
MERUPAKAN SIMPANGAN YIELD (MM) DAN ΔU
MERUPAKAN SIMPANGAN ULTIMIT (MM).
II. METODE PENELITIAN
Pengujian dimulai dengan pengujian kualitas bahan,
antara lain: kuat tekan bata merah, kuat tekan mortar dan kuat
tarik strapping band. Setelah itu, dilanjutkan dengan
pengujian dinding.
Benda uji dinding memiliki ukuran rata-rata 120 cm x 77
cm x 12,3 cm (lihat Gambar 1). Variasi yang digunakan
adalah dinding tanpa strapping (TP), dengan strapping
interval 20 cm (DS-20cm), 15 cm (DS-15cm) dan 10 cm (DS-
10cm). Seluruh dinding diberi plesteran tebal 1 cm dan
berjumlah 1 buah untuk masing-masing variasi.
GAMBAR 1 BENDA UJI BERUKURAN 120 X 77 CM2
Untuk menghubungkan dinding dengan strapping,
digunakan konektor berupa kawat bendrat yang diselipkan di
antara mortar pada saat proses pembuatan dinding. Pada benda
uji dengan strap interval 10 cm, kawat dipasang setiap jarak
20 cm arah vertikal dan 30 cm arah horizontal. Pada benda uji
dengan strap interval 15cm, kawat dipasang setiap jarak 30 cm
arah vertikal dan 30 cm arah horizontal. Sementara pada
benda uji dengan strap setiap 20 cm, kawat dipasang setiap
jarak 20 cm arah vertikal dan 40 cm arah horizontal.
Strapping band dibuat dengan mengayam tali strapping
terlebih dahulu sesuai jarak yang dibutuhkan, perpotongan
antar strap direkatkan dengan lem bakar. Kemudian dipasang
ke dinding bata yang siarnya telah mengering. Antar strap
dihubungkan dengan klep plastik dan lem bakar (lihat Gambar
2), setelah itu, dinding yang berstrap ditutup dengan plesteran
1 cm.
GAMBAR 2 PEMASANGAN ANYAMAN STRAPPING
BAND
Benda uji dibiarkan mengeras selama lebih dari 28 hari.
Kemudian dipasang ke set-up pengujian yang telah disiapkan
(lihat Gambar 3 dan Gambar 4). Tumpuan mewakili tumpuan
sendi-rol dan dipasang dengan bentang 100 cm.
Pengukuran beban menggunakan loadcell kapasitas 5 ton.
Loadcell dipasang di depan hydraulic jack dan dihubungkan
ke data logger. Beban titik yang diberikan oleh hydraulic jack
perlu diubah menjadi beban garis setinggi benda uji. Oleh
karena itu, setelah load cell dan sendi penghubung, dipasang
pemberi beban. Dua buah LVDT dipasang di dekat tumpuan
dan satu buah LVDT dipasang pada tengah bentang benda uji.
GAMBAR 3 SETTING ALAT DAN DINDING
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
60 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
GAMBAR 4 DETAIL SET-UP PENGUJIAN: (A)
TUMPUAN HYDRAULIC JACK, (B) HYDRAULIC
JACK, (C) TUMPUAN, (D) PEMBERI BEBAN, (E)
PENGHUBUNG TUMPUAN DENGAN DASAR FRAME
SEKALIGUS PENGAKU, (F) DASAR FRAME
Hydraulic Jack dipompa dengan kecepatan konstan,
pembacaan dilakukan pada LVDT dan beban diberikan hingga
defleksi yang direncanakan. Pembebanan diberikan hingga
defleksi benda uji mencapai 64 mm. Lihat Gambar 5.
GAMBAR 5 SIKLUS PEMBEBANAN
III. HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Uji Kualitas Bahan Dinding
Hasil pengujian terhadap bahan penyusun dinding dapat
dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Kualitas Bahan Dinding Bahan Karakteristik Hasil
Bata Merah Kuat Tekan 1,832 MPa
Strapping band Kuat Tarik 0,912
kN
Tegangan Maks. 61,456
MPa
Regangan Maks. 18,9 % Mortar Kuat Tekan 3,988 MPa
B. Hysteresis Loop
Dari hasil pengujian dan grafik hysteresis loop, kondisi
dinding sebelum dinding mengalami retak berbeda dengan
kondisi setelah retak. Sebelum mengalami retak, hysteresis
loop cenderung langsing dan tegak, dinding masih sangat kaku.
Namun setelah terjadi retak, hysteresis loop menjadi lebih
gemuk.
Pada pengujian benda uji TS yaitu dinding tanpa
perkuatan strapping band (Gambar 6(a)), setelah dinding
mengalami retak, dinding langsung kehilangan kekuatan
lenturnya. Benda uji dinding mengalami patah, sehingga
grafik hysteresis loopnya hanya terbatas pada lendutan kecil
sebelum dinding patah.
Sebelum dinding mengalami retak, keadaan hysteresis
loop hampir sama untuk semua benda uji. Kemampuan
maksimal baik tarik maupun tekan berkisar antara 3-5 kN.
(a) Benda Uji TS (b) Benda Uji DS-20cm
(c) Benda Uji DS-15cm (d) Benda Uji DS-
10cm
loop pre-crack loop post-
crack
Series1, 2, 0.125
Series1, 16, -0.25
Series1, 26, 0.5
Series1, 40, -0.75
Series1, 54, 1
Series1, 64, -1.5
Series1, 78, 2
Series1, 88, -4
Series1, 90, 4
Series1, 102, 8
Series1, 104, -8
De
fle
ksi
(mm
)
Beb
an (k
N)
Lendutan (mm)
Beb
an (
kN
)
Lendutan (mm)
Beb
an (
kN
)
Lendutan (mm)
Beb
an (
kN
)
Lendutan (mm)
(c)
(a) (b)
(d) (c)
(e)
(f)
(e)
dst s/d 64 mm
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
61 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
GAMBAR 6 HYSTERESIS LOOP
Setelah dinding mengalami retak, hyteresis loop menjadi
lebih gemuk dan semakin tegak seiring dengan pertambahan
jumlah strapping. Bila membandingkan kondisi kurva pada
lendutan 32 mm baik tarik maupun tekan, benda uji DS-20cm
membutuhkan beban 1-2 kN (Gambar 6(b) loop hitam), DS-
15cm membutuhkan 2-2,5 kN (Gambar 6(c) loop hitam) dan
DS-10cm membutuhkan 2,5-3 kN (Gambar 6(d) loop hitam).
Hal ini menunjukkan kekakuan dinding semakin meningkat
bila strapping band yang dipasang semakin rapat.
C. Envelope Curve
Envelope curve diperoleh dengan menghubungkan puncak
-puncak pada hysteresis loop dari siklus pertama hingga akhir.
Terdapat perbedaan beban puncak pada fase tarik dan fase
dorong meskipun lendutan yang dijadikan acuan sama. Hal ini
karena kekakuan tumpuan dan alat pada kedua arah berbeda.
Seluruh benda uji mengalami kegagalan pada salah satu arah
pembebanan (fase dorong), oleh karena itu, pembahasan
mengenai envelope curve didasarkan pada hasil dari fase
tersebut.
Tabel 2 Pengaruh Kerapatan Strapping band
Benda uji Po (kN) Pr (kN) Pf (kN) Pr / Po Pf / Po
DS-10cm 4,346 0,510 2,968 0,117 0,683
DS-15cm 4,846 0,775 2,413 0,160 0,498
DS-20cm 4,444 0,579 1,530 0,130 0,344
Dimana Po merupakan gaya maksimum awal, Pr
merupakan gaya setelah crack atau gaya residual dan Pf
merupakan gaya akhir atau ultimit. Karena kemampuan alat
yang terbatas, maka Pf diambil dari gaya pada saat lendutan
28,5 mm.
GAMBAR 7 ENVELOPE CURVE PADA FASE
DORONG
Seperti hasil perbandingan dari Sathiparan et al. (2013),
perbandingan antara kemampuan ultimit dengan kemampuan
awal (Pf/Po) meningkat dengan pertambahan kerapatan
strapping band. Perbandingan kemampuan residual dengan
kemampuan awal (Pr/Po) naik dari DS-20cm ke DS-15cm
namun menurun saat DS-10cm. Hal ini akibat perbedaan
tegangan pada strapping yang terpasang. Bila strapping yang
terpasang lebih longgar, maka pergantian penahanan beban
dari dinding bata ke strapping akan membutuhkan deformasi
yang lebih besar, sehingga pada deformasi kecil setelah crack,
kemampuan dinding menjadi sangat rendah.
Bentuk envelope curve dalam penelitian ini memiliki
kemiripan dengan grafik beban-deformasi hasil Mayorca et
al.(2006). Dalam grafik Mayorca et al, kurva naik hingga
puncak, kemudian menurun tajam dan kembali naik. Begitu
pula dengan hasil penelitian ini (Gambar 7), dimana
pembebanan yang diberikan berupa beban bolak-balik. Namun,
kekuatan residual tidak mencapai 30% kekuatan awal seperti
pada penelitian Mayorca et al (2006). Kekuatan residual
terbesar hanya 0,16 atau 16% dari kekuatan awal yaitu pada
dinding DS-15cm. Perbedaan yang besar dari penelitian ini
dibandingkan penelitan Mayorca et al (2006) adalah jenis
pembebanan siklik quasistatik. Dengan pembebanan bolak-
balik sebelum dinding mencapai kekuatan awal, strapping
band telah mengalami pembebanan berulang-ulang yang
menyebabkan tegangan strapping telah jauh berkurang. Pada
saat dinding mengalami crack, transfer tanggungan beban dari
dinding ke strapping menjadi semakin tidak kontinu
(strapping lebih longgar dan membutuhkan deformasi yang
lebih besar untuk bekerja), sehingga pada deformasi kecil
setelah crack, dinding telah rusak, sementara strapping belum
bekerja sepenuhnya. Hal ini berakibat pada kemampuan
residual quasistatik lebih rendah dari kemampuan residual
statik.
D. Kuat Lentur Dinding
Perhitungan kuat lentur dinding menggunakan
Persamaan (1), hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 3.
Pada Tabel 3, benda uji dengan kuat lentur terbesar
adalah benda uji TP dan DS-15cm, yaitu sebesar 0,624 MPa.
Ada indikasi bahwa penambahan kerapatan strapping band
menurunkan kuat lentur awal (lihat Gambar 8), karena
strapping band mengurangi area lekatan antara dinding
dengan plasteran. Terdapat kecenderungan kuat lentur yang
menurun dengan penambahan strapping, namun benda uji DS-
15cm memiliki kuat lentur yang sama dengan benda uji TP.
Selain itu, dengan benda uji dinding bata yang tingkat
homogenitasnya rendah, jumlah benda uji belum dapat
memberikan kesimpulan tersebut. Dibutuhkan lebih banyak
benda uji untuk menyimpulkan hal itu.
Tabel 3 Hasil Perhitungan Kuat Lentur
Tipe Benda Uji
Beban
Maksimum Tebal dinding Kuat Lentur
P d fl
Beb
an (
kN
)
Defleksi Tengah Bentang (mm)
TP-TekanDS-20cm-TekanDS-15cm-TekanDS-10cm-Tekan
Po
Pr
Pf
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
62 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
(kN) (m) (MPa)
TP 4,846 0,123 0,624
DS-20cm 4,444 0,123 0,572
DS-15cm 4,846 0,123 0,624
DS-10cm 4,346 0,123 0,560
dimana L = 100 cm dan b = 77cm, sama untuk seluruh benda
uji.
GAMBAR 8 KUAT LENTUR AWAL DINDING
E. Daktalitas Dinding
Perhitungan daktalitas dinding menggunakan Persamaan
(2), (3) dan (4), hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Hasil Perhitungan Daktalitas Benda Uji Dinding
Benda Uji
Ppeak Δu Pyield Δyield Daktilitas
(kN) (mm) (kN) (mm) μs
TP 4,846 1,07 - - 1
DS-20cm 4,444 64 1,67 0,086 743,17
DS-15cm 4,846 64 2,25 0,091 701,23 DS-10cm 4,346 64 2,22 0,094 682,76
Nilai simpangan maksimum (Δu) pada DS-20cm, DS-
15cm dan DS-10cm tidak diperoleh karena keterbatasan alat
LVDT untuk bisa mengukur lendutan yang cukup besar saat
strapping band putus. Oleh karena itu, dalam perhitungan ini
digunakan Δu = 64 mm, dimana pada kondisi dinding dengan
strapping band yang sebenarnya nilai Δu melebihi 64 mm dan
μs akan lebih besar dari μs perhitungan ini.
Perhitungan benda uji TP tidak dapat menggunakan
rumus seperti pada ASTM, karena kondisi grafik yang tidak
memungkinkan untuk menentukan nilai yield (lihat Gambar 7).
Benda uji TP langsung gagal setelah crack, tidak ada daerah
elastis plastis. Oleh karena itu, nilai daktilitas dianggap 1.
Pada Tabel 4, Nilai μs benda uji TP < 2 dan μs semua benda
uji dengan perkuatan > 5. Berdasarkan FEMA 306 [6], benda
uji TP diklasifikasikan dalam daktilitas rendah dan semua
benda uji DS diklasifikasikan dalam daktilitas tinggi.
F. Pola Kerusakan Dinding
Seluruh benda uji mengalami retak di sekitar tengah
bentang, seperti pada Gambar 9. Posisi ini sesuai dengan letak
tegangan maksimum. Pembebanan garis pada tengah bentang
menghasilkan momen maksimum yang terjadi terletak di
tengah bentang. Momen maksimum tersebut akan
menyebabkan tegangan tarik maksimum pada salah satu sisi
dinding dan tegangan tekan maksimum pada sisi dinding
lainnya.
GAMBAR 9 POLA KERUSAKAN BENDA UJI DS-
10CM
Pada pengujian bahan, diperoleh nilai kuat tekan rata-rata
bata adalah 1,832 MPa, lebih rendah dari kuat tekan rata-rata
mortar yang digunakan yaitu 3.988 MPa. Lihat Tabel 1. Ini
menunjukkan inhomogenitas dinding dan bata yang menjadi
bagian lemah dari dinding. Oleh karena itu, pada pengujian
benda uji dinding, kerusakan dimulai dari bata dan diikuti oleh
siar yang melekatkan diantara bata, sehingga rusak/retak
cenderung lurus dan melewati kedua bahan.
G. Pengaruh Pemasangan Strapping
terhadap Biaya Material
Dengan menggunakan harga material selama pembuatan
benda uji, dilakukan perhitungan terhadap harga material
untuk dinding plasteran 1 cm. Hasil perhitungan dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5 Biaya Material 1 m2 dinding
Tipe
Dindin
g
Harga
Kebutuhan
Material
% Kenaika
n
Terhadap
dinding
tanpa strap
Tanpa
(-)
Strap
Rp
72.500,0
0
-
Strap Rp 9%
Series1, TP, 0.624
Series1, DS-20cm,
0.572
Series1, DS-15cm,
0.624
Series1, DS-10cm,
0.56
y = -0.014x + 0.63R² = 0.2852
Ku
at L
entu
r In
isia
l C
rack
(M
Pa)
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
63 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Interval 20
cm
79.300,00
Strap interva
l 15
cm
Rp 81.300,0
0
12%
Strap
interva
l 10 cm
Rp
84.400,0
0
16%
Tabel 6 Persentase Peningkatan Kekuatan Akhir Dinding
Tipe
Dinding
K
ek
u
at
a
n
M
ak
s
im
u
m
A
wa
l
(
k
N)
% Kekuatan
Akhir
Δ = 0,02L thdp
Kekuatan Maksimum
Awal
Tanpa
(-) Strap 4,846
-
Strap
Interval 20 cm 4,444
30,2%
Strap
interval 15 cm 4,846
42,8%
Strap
interval 10 cm 4,346
56,4%
Dari Tabel 5 dan Tabel 6, berdasarkan kekuatan maksimum awal, jarak pemasangan strapping yang optimum berkisar pada jarak 15 cm. Pada jarak optimum ini, luasan lekatan plasteran dengan bata yang berkurang akibat strapping dapat tergantikan oleh jumlah strapping. Sehingga beban maksimum awal yang mampu ditahan dinding dengan strapping jarak 15 cm ini sama besarnya dengan dinding tanpa strapping. Namun bila jumlah strapping bertambah lagi (pada percobaan ini jarak 10 cm), luas lekatan yang berkurang tidak dapat diimbangi lagi oleh penambahan jumlah strapping.
Dinding yang memiliki kekuatan akhir paling besar terhadap kekuatan maksimum awalnya adalah dinding dengan jumlah strapping yang paling banyak (jarak 10 cm), yaitu 54,6%. Namun untuk variasi jarak strapping yang lain, 20 cm dan 15 cm, tidak jauh berbeda yaitu 30,2% dan 42,8%. Dapat disimpulkan dari kenaikan harga pemasangan strapping, kekuatan maksimum awal dinding, dan kekuatan akhir dinding, dinding dengan jarak strapping 15 cm yang paling optimal.
IV. KESIMPULAN
Berikut ini kesimpulan yang didapat dari penelitian ini.
a. Perkuatan dengan strapping band tidak meningkatkan
kapasitas momen dan kuat lentur awal dinding sebelum
terjadi retak pada bata dan siar.
Kuat lentur awal terbesar terjadi pada dinding
tanpa perkuatan dan dinding dengan jarak
strapping 15 cm, yaitu sebesar 0,624 MPa.
Sedangkan dinding dengan jarak strapping 20 cm
dan 10 cm masing-masing 0,572 MPa dan 0,56
MPa.
b. Penambahan strapping memberikan kekuatan residual
setelah dinding mengalami retak.
Kekuatan residual setelah dinding retak yang
paling rendah hanya mencapai 11,7% dari
kekuatan awal dinding. Namun, dengan
penambahan beban, kemampuan residual ini akan
terus meningkat. Peningkatan kerapatan strapping
meningkatkan kekuatan akhir. Dengan strapping
interval 10cm, kekuatan akhir 56,4% dari
kekuatan awal pada deformasi 0,02 L.
c. Pada dinding dengan plasteran 1 cm, penggunaan
strapping band interval 20cm, 15cm dan 10cm sebagai
perkuatan dinding, secara berurutan meningkatkan biaya
material pembuatan dinding sebesar 9%, 12% dan 16%.
d. Dengan membandingkan biaya material dan peningkatan
kekuatan dengan adanya strapping band, jarak
pemasangan strapping paling optimum adalah 15 cm.
DAFTAR PUSTAKA
[1] P. Mayorca and K. Meguro, “A step towards the formulation of a simple
method to design pp-band mesh retrofitting for adobe/masonry houses,”
The 14th World Conference on Earthquake Engineering, Beijing, China,
12-17 October 2008.
[2] P. Mayorca, S. Navaratnaraj and K. Meguro, Report on The State of The Art in The Seismic Retrofitting of Unreinforced Masonry Houses by PP-
Band Meshes, Tokyo: Institute of Industrial Science The University of
Tokyo, 2006. [3] G. Adiartha, Tugas Akhir Penggunaan Tali untuk Meningkatkan
Daktalitas Lentur Tegak Lurus Bidang Dinding Bata Merah Pejal untuk
Retakan Arah Vertikal studi kasus : Plesteran 1:4 Mortar 1:6, Yogyakarta: Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada, 2009.
[4] N. Sathiparan, K. Sakurai, M. Numada, and K. Meguro, “Experimental investigation on the seismic performance of pp-band strengthening stone
masonry house,” Springer Science Business Media Dordrecht, 2013.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
64 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
[5] ASTM, “Standard Test Methods for Cyclic (Reversed) Load Test for Shear Resistance of Walls for Buildings,” In Annual Books of ASTM
Standards, E 2126-02a, USA, 2003.
[6] ATC-43 Project, “Evaluation of earthquake damaged concrete and masonry wall building,” In FEMA 306, California: Applied Technology
Council,1998
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
65 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Modifikasi Dolomit Gresik Sebagai Katalis
dalam Sintesis Biodiesel dari Minyak
Nyamplung (Tamanu Oil)
Modified Gresik Dolomite as Catalysts in
Synthesis of Biodiesel from Nyamplung Oil
(Tamanu Oil)
Heri Septya Kusuma, Hendarta Agasi, Mohammad Taufiq Akbar, dan Abdulloh
Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Abstrak- Transesterifikasi minyak nyamplung
(Tamanu Oil) dapat dilakukan dengan
menggunakan katalis heterogen dengan cara
mereaksikan metanol dengan dolomit yang telah
dimodifikasi pada suhu 60oC. Modifikasi dolomit
Gresik dilakukan dengan dikalsinasi pada suhu
850oC. Setelah dikalsinasi, dolomit Gresik diuji
dengan menggunakan XRD. Hasilnya
menunjukkan bahwa dolomit yang telah
dikalsinasi mengalami perubahan struktur. Hal
ini dapat diamati dari difraktogram XRD yang
menunjukkan adanya perubahan yang terjadi
pada sudut 2 theta. Selain itu, luas area dari
katalis dolomit termodifikasi yang diukur dengan
metode BET adalah 17,288 m2/g. Sedangkan
kekuatan dan jumlah situs basa dari katalis
dolomit termodifikasi adalah 7,2 < H– < 15,0 dan
0,035 mmol/g. Ketika katalis heterogen ini
digunakan untuk proses transesterifikasi dalam
sintesis biodiesel, maka katalis dolomit
termodifikasi mempunyai nilai konversi yang
mencapai 92,34% dengan waktu reaksi 4 jam.
Kata Kunci—dolomit Gresik, katalis heterogen,
minyak nyamplung (Tamanu Oil),
transesterifikasi, biodiesel.
Abstract- Transesterification of nyamplung oil
(Tamanu Oil) can be done by using a
heterogeneous catalyst by reacting methanol with
dolomite which has been modified at a
temperature of 60oC. Modifications of Gresik
dolomite made by calcined at 850oC. After
calcined Gresik dolomite tested using XRD. The
results showed that the calcined dolomite undergo
structural changes. It can be observed from the
XRD diffractogram shows the changes in the angle
2 theta. In addition, the area of modified dolomite
catalyst which measured by the BET method is
17.288 m2/g. While the strength and amount of
base site from modified dolomite catalyst is 7.2 <
H- < 15.0 and 0.035 mmol/g. When these
heterogeneous catalysts used for
transesterification process in the synthesis of
biodiesel, the modified dolomite catalyst has a
conversion value reached 92.34% with a reaction
time of 4 hours.
Keywords — Gresik dolomite, heterogeneous
catalysts, nyamplung oil (Tamanu Oil),
transesterification, biodiesel
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
66 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
I. PENDAHULUAN
Pertumbuhan industri dan transportasi di Indonesia
semakin meningkat. Seiring dengan adanya
peningkatan tersebut, maka komsumsi bahan bakar
pun semakin meningkat pula. Sedangkan
ketersediannya di alam tidaklah mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan sampai dengan masa
mendatang, karena bahan bakar dari minyak bumi
merupakan bahan bakar yang tidak dapat
diperbaharui. Selain itu, penggunaan bahan bakar
minyak bumi memiliki dampak negatif. Hal ini
disebabkan karena hasil pembakaran bahan bakar
minyak bumi yang berupa CO2 sangat mungkin
mempengaruhi kandungan gas-gas diatas atmosfer
bumi, dan kondisi ini dapat mengakibatkan
peningkatan temperatur bumi diatas rata-rata.
Alasan tersebut memacu manusia untuk mencari
bahan bakar alternatif yang ketersediaannya dapat
diperbaharui dan ramah lingkungan. Salah satu bahan
bakar alternatif yang sesuai dengan masalah seperti ini
adalah dengan memanfaatkan minyak nabati sebagai
biodiesel. Biodiesel dapat digunakan untuk
menggantikan solar karena ketersediaannya yang
dapat diperbaharui dan ramah lingkungan.
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati, minyak
hewani, atau minyak goreng bekas/daur ulang. Saat ini
telah dikembangkan bahan bakar alternatif dari bahan
biji nyamplung, kacang kedelai, kelapa sawit, dan biji
jarak pagar untuk biodiesel sebagai pengganti BBM.
Produksi biodiesel dari berbagai tanaman tersebut
dalam tiap tahun adalah sebagai berikut: biji
nyamplung (2.200 liter per hektar) [1], kacang kedelai
(446 liter per hektar), biji jarak pagar (1.500 liter per
hektar) dan kelapa sawit (5800 liter per hektar) [2].
Produksi minyak nyamplung menjadi biodiesel
dilakukan melalui reaksi transesterifikasi, yaitu reaksi
antara suatu alkohol dengan trigliserida yang hasilnya
berupa senyawa metil ester. Pada minyak nyamplung,
proses transesterifikasi menghasilkan metil ester asam
lemak (FAME = Fatty Acid Methyl Ester). Reaksi
transesterifikasi ini memerlukan katalis basa, dan
pada umumnya katalis basa yang digunakan adalah
CaO.
CaO merupakan salah satu katalis heterogen yang
sering digunakan dalam reaksi transesterifikasi.
Berdasarkan studi literatur, diketahui bahwa katalis
CaO dapat mengubah trigliserida menjadi FAME
dengan nilai konversi mencapai 93%, dan mudah
dipisahkan dari hasil reaksi [3].
Dolomit merupakan sumber lain dari CaO. Dolomit
adalah mineral alam yang memiliki rumus kimia
CaMg(CO3)2. Berdasarkan studi literatur, diketahui
bahwa dolomit juga dapat digunakan sebagai katalis
pada reaksi transesterifikasi dengan terlebih dahulu
dimodifikasi dengan proses kalsinasi menjadi
CaO.MgO [4]. Penyebaran dolomit di Indonesia yang
cukup besar terdapat di Propinsi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Madura dan Papua. Di beberapa daerah sebenarnya
terdapat juga potensi dolomit, namun jumlahnya
relatif jauh lebih kecil dan hanya berupa lensa-lensa
pada endapan batugamping.
a. Propinsi Nangroe Aceh Darussalam; Aceh Tenggara,
desa Kungki berupa marmer dolomit. Cadangan
masih berupa sumberdaya dengan kandungan
MgO = 19%.
b. Propinsi Sumatera Utara; Tapanuli Selatan, desa
Pangoloan, berupa lensa dalam batugamping.
Cadangan berupa sumberdaya dengan kandungan
MgO = 11 - 18%.
c. Propinsi Sumatera Barat; Daerah Gunung Kajai.
(antara Bukittinggi - Payakumbuh). Umur
diperkirakan Permokarbon.
d. Propinsi Jawa Barat; daerah Cibinong, yaitu di
Pasir Gedogan. Dolomit di daerah ini umumnya
berwarna putih abu-abu dan putih serta termasuk
batugamping dolomitan yang bersifat keras,
kompak dan kristalin.
e. Propinsi Jawa Tengah; 10 km timur laut Pamotan.
Endapan batuan dolomit dan batugamping
dolomitan.
f. Propinsi Jawa Timur;
Gn. Ngaten dan Gn. Ngembang, Tuban, formasi
batu-gamping Pliosen. MgO = 18,5% sebesar 9
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
67 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
juta m3, kandungan MgO = 14,5% sebesar 3 juta
m3;
Tamperan, Pacitan. Cadangan berupa
sumberdaya dengan jumlah sebesar puluhan
juta ton. Kandungan MgO = 18%;
Sekapuk, sebelah Utara Kampung Sekapuk
(Sedayu - Tuban). Terdapat di Bukit Sekapuk,
Kaklak dan Malang, formasi gamping umur
Pliosen, ketebalan 50 m, bersifat lunak dan
berwarna putih. Cadangan sekitar 50 juta m3;
Kandungan MgO di Sekapuk (7,1 - 20,54%); di
Sedayu (9,95 - 21,20 %); dan di Kaklak (9,5 -
20,8%);
Gunung Lengis, Gresik. Cadangan sumberdaya,
dengan kandungan MgO = 11,1 - 20,9 %,
merupakan batuan dolomit yang bersifat keras,
pejal, kompak dan kristalin;
Socah, Bangkalan, Madura; satu km sebelah
Timur Socah. Cadangan berupa sumberdaya
dengan jumlah sebesar 430 juta ton. Termasuk
Formasi Kalibeng berumur Pliosen, warna putih,
dan agak lunak. Ada di bawah batugamping
dengan kandungan MgO 9,32 - 20,92%.
Pacitan, Sentul dan Pancen; batugamping
dolomitan 45,5 - 90,4%, berumur Pliosen.
g. Propinsi Sulawesi Selatan; di Tonassa, dolomit
berumur Miosen dan merupakan lensa-lensa dalam
batugamping.
h. Propinsi Papua; di Abe Pantai, sekitar Gunung
Sejahiro, Gunung Mer dan Tanah Hitam;
kandungan MgO sebesar 10,7-21,8%, dan
merupakan lensa-lensa dan kantong-kantong
dalam batugamping.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka pada
penelitian ini akan dilakukan upaya pemanfaatan
dolomit sebagai katalis basa dalam produksi biodiesel
dari minyak nyamplung (Tamanu Oil). Dengan
dilakukannya produksi biodiesel dari minyak
nyamplung (Tamanu Oil) dengan katalis dolomit yang
dimodifikasi diharapkan biodiesel yang dihasilkan
mempunyai nilai konversi yang tingga serta dapat
meningkatkan daya guna dolomit sebagai mineral
tambang, sehingga nilai jual dari dolomit pun semakin
meningkat pula.
II. METODOLOGI
A. Bahan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini
adalah minyak nyamplung (Tamanu Oil) yang
diperoleh dari Desa Karangmangu, Kroya, Cilacap dan
dolomit yang diperoleh dari Gresik. Sedangkan bahan
yang digunakan metanol 99%, H2SO4, H3PO4, n-
heksana, etanol, aquades, KOH, indikator PP (Phenol
Pthalein), bromthymol biru, 2,4-dinitroanilin, dan 4-
nitroanilin.
B. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah seperangkat alat refluks, labu leher tiga, hot
plate, furnace, magnetic stirrer, sentrifuge, neraca
analitik, pipet volume, buret, erlenmeyer, rotary
vacum evaporator, desikator, dan kertas saring.
C. Pembuatan Katalis Dolomit
Dalam pembuatan katalis dolomit ini, dolomit yang
diperoleh dari Gresik mula-mula dikalsinasi pada suhu
850oC. Selanjutnya katalis yang telah terbentuk di uji
sifat kristalinnya dengan XRD, luas permukaannya
dengan BET, dan penentuan kekuatan dan jumlah
situs basa.
D. Pretreatment Minyak Nyamplung (Tamanu Oil)
Minyak nyamplung (Tamanu Oil) yang didapatkan dari
Desa Karangmangu, Kroya, Cilacap terlebih dahulu di
lakukan proses degumming untuk memisahkan minyak
dengan getah dan lendir yang terkandung di dalamnya.
Proses degumming dilakukan pada suhu 80oC selama 15
menit dengan menggunakan H3PO4.
Minyak hasil degumming kemudian diesterifikasi
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
68 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
selama 4 jam untuk menurunkan kadar FFA (bilangan
asam) sampai dengan 2%. Reaksi esterifikasi
menggunakan perbandingan rasio molar metanol
dengan minyak nyamplung (Tamanu Oil) yaitu 20:1.
E. Proses Transesterifikasi
Minyak hasil proses esterifikasi kemudian di
transesterifikasi dengan menggunakan katalis dolomit
yang telah terbentuk. Pada proses transesterifikasi,
direaksikan sebanyak 7,6 gr metanol, 10,0 gr minyak
hasil proses esterifikasi, dan katalis dolomit 0,5 b/b
pada suhu 60oC dengan pengadukan selama 1 jam
(Shuli Yan, 2009). Dilakukan variasi waktu pada
proses transesterifikasi ini yaitu 1 – 5 jam. Pemisahan
katalis dengan hasil reaksi dilakukan dengan
menggunakan sentrifuge. Biodiesel yang telah
terbentuk dari proses ini kemudian di uji dengan GC-
MS untuk melihat nilai konversi dan senyawa yang
menyusun biodiesel ini. Selain itu juga di lakukan uji
kadar FFA.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Katalis
Berdasarkan difraktogram XRD dapat dilihat bahwa
telah terjadi pergeseran sudut 2θ dan d-spacing pada
katalis dolomit termodifikasi. Hal ini menunjukan
bahwa perlakuan modifikasi terhadap dolomit
mengakibatkan terjadinya pergeseran sudut 2θ dan d-
spacing antara dolomit alam dan katalis dolomit
termodifikasi
Pergeseran yang terjadi pada difraktogram
menunjukan bahwa pada katalis dolomit telah
terbentuk senyawa CaO.MgO. Hal ini dapat dilihat
dengan membandingkan difraktogram dolomit
sebelum kalsinasi dan dolomit setelah kalsinasi
dengan difraktogram dari CaO dan MgO. Apabila
difraktogram dari dolomit setelah kalsinasi dan CaO
dibandingkan, maka dapat dilihat adanya peak yang
berada pada sudut 2 theta yang sama, yaitu pada sudut
2 theta sebesar 32o, 53o, dan 64o. Selain itu, pada
difraktogram dolomit setelah kalsinasi dan MgO juga
tampak adanya peak yang berada pada sudut 2 theta
yang sama, yaitu pada sudut 2 theta sebesar 62o.
Gambar 1. Difraktogram Dolomit Gresik Sebelum
Kalsinasi
2 theta
d-s
pa
cin
g
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
69 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Gambar 2. Difraktogram Dolomit Gresik Setelah
Kalsinasi
Hasil dari uji BET menunjukan bahwa bahwa katalis
dolomit termodifikasi memiliki luas permukaan yaitu
sebesar 17,288 m2/g. Luas permukaan katalis dolomit
termodifikasi ini lebih besar apabila dibandingkan
dengan katalis CaO yang digunakan oleh Kouzhu pada
tahun 2007, yaitu sebesar 13 m2/g. Dengan luas
permukaan yang lebih besar, maka kontak antara
permukaan katalis dolomit temodifikasi dengan
reaktan juga menjadi semakin besar, sehingga dapat
mengakibatkan peningkatan yield pada proses
transesterifikasi.
Grafik isotherm adsorbtion hasil uji BET
menunjukan bahwa interaksi antara katalis dan
reaktan relatif lemah. Hal ini mengindikasikan atau
menunjukkan bahwa katalis membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk mengabsorb reaktan.
Gambar 3. Grafik Isotherm Adsorbtion Hasil Uji
BET
Untuk mengetahui kekuatan situs basa digunakan
indikator bromthymol biru, Phenol Pthalein, 2,4-
dinitroanilin, dan 4-nitroanilin. Tiap-tiap indikator
dimasukan pada katalis yang sebelumnya telah
ditambahakan dengan pelarut toluena. Saat
penambahan indikator pada katalis terjadi perubahan
warna katalis. Berikut ini adalah perubahan warna
yang terjadi pada katalis.
Gambar 4. Perubahan Warna pada Katalis Setelah
Dilakukannya Penambahan Indikator; (A) 4-
2 theta
d-s
pa
cin
g
A B C D
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
70 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
nitroanilin, (B) 2,4-dinitroanilin, (C) Phenol
Pthalein, (D) bromthymol biru
Pada gambar diatas terlihat bahwa terjadi perubahan
warna pada katalis yang ditambahkan dengan
indikator bromthymol biru, phenol pthalein, dan 2,4-
dinitroanilin. Sedangkan pada katalis yang
ditambahkan dengan indikator 4-nitroanilin tidak
terjadi perubahan warna. Ini menunjukan bahwa
rentang kekuatan dari katalis yaitu antara pKBH
bromthymol biru sampai dengan 2,4-dinitroanilin
(pKBH = 7,2 – 15,0). Perubahan warna yang terjadi
pada katalis dikarenakan terjadinya pendonoran
elektron dari katalis terhadap indikator yang pada hal
ini berperan sebagai asam yang teradsorbsi.
Sedangkan jumlah situs basa adalah jumlah (atau
mmol) situs basa per unit berat atau per unit luas
permukaan. Dari hasil uji penentuan situs basa yang
dilakukan dengan metode titrasi, dapat diketahui
bahwa jumlah situs basa yang terdapat pada katalis
dolomit yaitu sebesar 0,035 mmol/g.
Jumlah dan kekuatan situs basa sangat erat dengan
aktifitas katalitik suatu katalis. Jumlah dan rentang
kekuatan situs basa yang besar menunjukan bahwa
katalis dolomit ini memiliki aktifitas katalitik yang
besar. Sehingga pada proses sintesis biodiesel, reaksi
akan berjalan dengan cepat dan asam lemak yang
terkonversi dapat mencapai nilai maksimumnya.
B. Sintesis Biodiesel
Pada proses esterifikasi, lamanya reaksi yang
berlangsung memberi pengaruh terhadap turunnya
bilangan asam minyak nyamplung (Tamanu Oil).
Lama reaksi yang memberikan hasil bilangan asam
paling kecil adalah reaksi selama 4 jam yaitu 1,742 mg
KOH/g. Berikut ini adalah grafik penurunan bilangan
asam yang terjadi pada reaksi esterifikasi.
Gambar 5. Grafik Penurunan Bilangan Asam
Setelah Reaksi Esterifikasi
Pada tahap transesterifikasi dilakukan proses
transesterifikasi terhadap minyak nyamplung (Tamanu Oil)
yang telah diesterifikasi sebelumnya. Proses transesterifikasi
ini dilakukan dengan menggunakan minyak nyamplung
(Tamanu Oil) yang telah diesterifikasi dengan waktu reaksi
4 jam. Penggunaan minyak nyamplung (Tamanu Oil) yang
telah diesterifikasi selama1 4 jam disebabkan karena minyak
nyamplung (Tamanu Oil) pada kondisi tersebut memiliki
bilangan asam yang paling kecil. Dimana dengan semakin
kecilnya bilangan asam, maka reaksi penyabunan pada saat
proses transesterifikasi dapat dihindari (tidak terjadi
transesterifikasi). Proses transesterifikasi ini dilakukan
dengan menggunakan katalis dolomit termodifikasi.
Hasil dari proses transesterifikasi kemudian diuji
dengan menggunakan GC-MS. Melalui kromatogram
GC-MS dapat diketahui besarnya konversi minyak
nyamplung (Tamanu Oil) menjadi biodiesel. Dari
perhitungan dapat diketahui bahwa rendemen reaksi
transesterifikasi pada 1 jam (0,27%), 2 jam (0,57%), 3
jam (19,41%), 4 jam (92,34%) dan 5 jam (54,33%).
Hasil ini menunjukan bahwa reaksi yang
menghasilkan rendemen maksimal yaitu pada waktu
reaksi 4 jam.
Biodiesel dari minyak nyamplung (Tamanu Oil) ini
memiliki karakteristik, yaitu kadar FFA atau bilangan
asam sebesar 0,11 mg KOH/g, angka penyabunan
sebesar 190,0446 mg KOH/g, dan kadar gliserol total
sebesar 0,74%. Dari data-data tersebut dapat
ditentukan besar konversi hasil biodiesel melalui
perhitungan, yang kemudian diketahui bahwa
konversi hasil biodiesel mencapai 92,82%. Bila
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
71 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
dibandingkan dengan standar SNI, biodiesel ini
kurang memenuhi syarat yang ditetapkan SNI yaitu
angka penyabunan maksimal 115 mg KOH/g dan
kadar gliserol total maksimal 0,24%.
Lamanya waktu reaksi yang diperlukan katalis
dolomit termodifikasi untuk mengkonversi dengan
maksimal disebabkan karena tingkat interaksi antara
katalis dengan reaktan yang relatif lemah, sehingga
waktu yang diperlukan agar reaktan dapat terdifusi
pada katalis juga menjadi lebih lama. Oleh karena itu,
untuk mengkonversi trigliserida menjadi metil ester
(biodiesel) pun juga semakin lama. Dalam reaksi ini
yang berperan penting dalam reaksi bukanlah
interaksi antara katalis dengan reaktan (absorbat-
absorban), namun antara metoksi dengan trigliserida
(absorban-absorban).
III. KESIMPULAN
Katalis dolomit termodifikasi dapat dibuat dengan
cara mengkalsinasi dolomit pada suhu 850oC. Katalis
dolomit termodifikasi yang dihasilkan memiliki luas
permukaan 17,288 m2/g, sedangkan kekuatan dan
jumlah situs basa dari katalis dolomit termodifikasi
yaitu sebesar 7,2 < H– < 15,0 dan 0,035 mmol/g.
Katalis dolomit termodifikasi dapat digunakan untuk
proses transesterifikasi dalam sintesis biodiesel.
Dengan katalis dolomit termodifikasi nilai konversinya
mencapai 92,34% pada waktu reaksi 4 jam. Biodiesel
dari minyak nyamplung (Tamanu Oil) memiliki
karakteristi antara lain, kadar FFA (bilangan asam)
sebesar 0,11 KOH mL/g, angka penyabunan sebesar
190,0446 mg KOH/g, dan kadar gliserol total sebesar
0,74%.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Mahfuds, 2008. Potensi Pengembangan Nyamplung. “Potensi
dan Peluang Nyamplung sebagai Bahan Baku Biodiesel di
Indonesia”. Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan Jogjakarta.
[2] Amri, I. 2007. Dilema, Biofuel sebagai Sumber Energi
Alternatif. Faculty of Chemical and Natural Resource
Engineeering. UTM. Malaysia.
[3] Kouzu, Masato., Takekazu Kasuno., Masahiko Tajika., Yoshikazu
Sugimoto., Shinya Yamakanaka., Jusuke Hidaka, Calcium
Oxide as Solid Base Catalyst for Transesterification of Soybean
Oil and its Application to Biodiesel Production, Elsevier Fuel,
Vol 87, pp.798-2806, 2008.
[4] Warren, John. 2000. Dolomite: occurence,evolution and
economically important associations. University Brunai
Darussalam. Bandar Seri Begawan.
[3] Andya, W. F. 2011. Pengembangan Katalis Kalsium Oksida
untuk Sintesis Biodiesel. Jurnal Teknik Kimia Indonesia, Vol.
11, No. 2, pp.66-73, 2012.
[6] Darnoko, D dan M. Cheyan, Kinetics of Plam Oil
Transestrification in a Bstvh Reactor, JAOCS, Vol 77, No. 12,
pp.1263-1267, 2000.
[7] Liu Xuejun, Xianglan Piao, Yujun Wang, Shenlin Zhu, Huayang
He, Calcium Methoxide As A Solid Base Catalyst for the
Transesterification of Soybean Oil to Biodiesel With Metahnol,
Elsevier Fuel, Vol. 87 pp.1076-1082, 2008.
[8] Ngamcharussrivichai, C., Wipawee W., Sarunyarak W., Modified
dolomides as catalyst for palm kernel oil transesterification,
Journal of Molecular Catalyst, Vol. 276, pp.24-33, 2007.
[9] Pakpahan, A. 2001. Palm Biodiesel Its Potency, Technology,
Business Prospect, and Environmental Implication in
Indonesia. Proceeding of the International Biodiesel
Workshop, Enhancing Biodiesel Development and Use. Dalam
skripsi Kajian Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji
Nyamplung oleh Dedeh muniarsih, 2009.
[10] Scuchardt Ulf, Ricardo Sercheli, Rogerio Matheus Vargas,
Transesterification of Vegetable Oils: a Review. Chem. Soc, Vol.
9, No. 1, pp.199-210, 1998.
[11] Yan, Shuli., Manhoe Kim., Steven O. Slley., K.Y. Simon Ng., Oil
Transesterification over Calcium Oxide Modified with
Lanthanum, Elsevier Applied catalysis A, Vol. 360, pp.163-170,
2009.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
72 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Restrukturisasi Perdagangan: Identifikasi
Potensi Industri Domestik Menggunakan
Analisis Pemetaan Produk untuk Meningkatkan
Daya Saing Ekspor
Trade Restructurization: Identification of
Domestic Industry Potentials Using Product
Mapping Analysis to Enhance Exports
Competitiveness
Dyah Savitri Pritadrajati1,a
1Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada, Jln. Sosio Humaniora Bulaksumur No. 1,
Yogyakarta 55281, Indonesia aEmail: [email protected]
Abstrak- Keluhan akan banjir produk impor,
terutama produk murah dari Cina, ke dalam pasar
Indonesia sebagai hasil liberalisasi perdagangan
kerap muncul. Sebagian besar mengungkapkan
bahwa produk Indonesia belum dapat bersaing
dengan produk asing karena harganya yang relatif
mahal. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu
mengidentifikasi kekuatan dan merancang strategi
perdagangan agar dapat bersaing dalam pasar
internasional. Penulisan paper ini bertujuan untuk
mengidentifikasi potensi industri dalam negeri
menggunakan analisis pemetaan produk (product
mapping) yang dapat digunakan untuk merancang
strategi peningkatan daya saing. Analisis pemetaan
produk disusun dengan menggunakan Revealedp
Symmetric Comparative Advantage (RSCA) dan
Trade Balance Index (TBI). Dalam analisis tersebut,
makna produk ekspor yang unggul dapat dilihat
dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu neraca
perdagangan domestik dan daya saing internasional.
Selanjutnya dari pemetaan produk yang dilakukan
dapat diketahui industri mana saja yang memiliki
potensi untuk dikembangkan demi meningkatkan
daya saing ekpor produk dalam negeri. Selain itu,
pemerintah dan swasta juga mampu menyusun
kebijakan serta rencana investasi yang lebih terarah
berdasarkan potensi-potensi industri yang ada.
Kata Kunci — perdagangan internasional, daya
saing, pemetaan produk.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
73 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Abstract- Complaints toward the overflowing
imported products, especially cheap products from
China, into the Indonesian market as a result of
trade liberalization often arise. Most of the products
produced by Indonesia are considered unable to
compete with other imported products since the
price is relatively expensive. Therefore, Indonesia
must be able to identify its strengths as well as to
devise trading strategies in order to be able to
compete in international markets. This paper aims
to identify the potentials of the domestic industries
using product mapping analysis that can be used to
design strategies to enhance competitiveness.
Product mapping analysis is developed using the
Revealed Symmetric Comparative Advantage
(RSCA) and the Trade Balance Index (TBI). In this
analysis, leading exported products can be seen
from two different viewpoints, namely the domestic
trade balance and international competitiveness.
Furthermore, the product mapping can be used to
analyze which industries have the potentials to be
developed in order to enhance the domestic product
competitiveness in the international market. In
addition, the government and private sectors are
also able to formulate a more targeted policy and
investment planning based on the existing industry
potentials.
Keywords— international trade, competitiveness,
product mapping.
I. PENDAHULUAN
Keluhan akan banjir produk impor, terutama produk
murah dari Cina ke dalam pasar Indonesia sebagai hasil
liberalisasi perdagangan kerap muncul di berbagai
media. Sebagian besar mengungkapkan bahwa produk
Indonesia belum dapat bersaing dengan produk asing
karena harganya yang relatif mahal terutama jika
dibandingkan dengan produk import lainnya. Namun
jika diteliti lebih lanjut pernyataan tersebut tidak dapat
begitu saja dijustifikasi karena sebenarnya Indonesia
memiliki jumlah kekayaan alam dan jumlah tenaga kerja
berupah rendah (low-cost labor) yang cukup signifikan.
Keunggulan komparatif ini menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan
industri yang unggul dan meraih keuntungan dari
liberalisasi perdagangan. Tidak hanya tugas pemerintah
namun juga pihak swasta untuk dapat mendorong
potensi industri manufaktur dengan melakukan
investasi sehingga dapat meningkatkan produktivitas.
Sebuah industri yang kompetitif akan mampu
membantu menciptakan lapangan kerja bagi tenaga
kerja yang terus tumbuh dan membantu sektor
perdagangan Indonesia untuk memperoleh keuntungan
dari liberalisasi perdagangan. Namun sejauh ini industri
di Indonesia belum cukup kuat untuk memenuhi
tantangan berbagai liberalisasi perdagangan. Kondisi ini
adalah akibat langsung dari kurangnya investasi dalam
industri ketimbang liberalisasi perdagangan itu sendiri.
Misalnya, tingginya biaya produksi adalah hasil dari
biaya transportasi yang tinggi, waktu pengiriman yang
lama, tarif listrik yang tinggi dan lain sebagainya.
Investasi dalam pembentukan industri yang kompetitif
akan menjadi indikator kunci dari kesuksesan
restrukturisasi di Indonesia. Ada banyak rintangan
untuk investasi tersebut, termasuk infrastruktur yang
buruk, peraturan ketenagakerjaan serta perizinan yang
ketat. Menurut Doing Business Index yang dikeluarkan
oleh Bank Dunia, Indonesia di tahun 2013 berada pada
posisi 128 dari 185 negara. Posisi tersebut masih
menunjukkan prestasi yang buruk bagi investasi di
Indonesia karena investor masih menganggap bahwa
investasi di Indonesia kurang menguntungkan dan
cukup berisiko walaupun Indonesia telah meningkat dua
poin dari tahun sebelumnya [1].
Rintangan tersebut harus diatasi melalui intervensi
kebijakan dari pemerintah antara lain dengan adanya
restrukturisasi yang bertujuan untuk meningkatkan
kerangka kelembagaan, peraturan dan kebijakan untuk
meminimalkan hambatan dan dengan demikian mampu
meningkatkan daya saing dan kinerja ekonomi
Indonesia. Kesempatan yang dapat diperoleh melalui
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
74 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
keterbukaan perdagangan dan investasi asing (foreign
direct investment) tidak dapat terwujud jika kebijakan
yang ada tidak mendukung persaingan dan efisiensi.
Restrukturisasi perdagangan akan membantu
mendukung liberalisasi perdagangan dengan
meningkatkan daya saing industri di Indonesia. Suatu
kebijakan tidak dapat mengakomodir seluruh
kepentingan masyarakat walaupun demikian perlu
adanya komitmen atau political will dari pihak
pemerintah untuk melaksanakan restrukturisasi yang
menyakitkan ini demi mencapai perdagangan terbuka
dan masa depan yang lebih baik industri dan
perdagangan di Indonesia.
Untuk membantu mendukung jalannya restrukturisasi
dalam perdagangan Indonesia perlu dilakukan
identifikasi potensi industri dalam negeri sebagai dasar
untuk merancang strategi perdagangan melalui paket-
paket kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, dalam
penulisan paper ini dilakukan identifikasi potensi
industri dalam negeri menggunakan analisis pemetaan
produk (product mapping) yang dikembangkan oleh
Widodo (2009) dan disusun dengan menggunakan
Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA)
dan Trade Balance Index (TBI). Selanjutnya dari
pemetaan produk (product mapping) yang dilakukan
dapat diketahui industri mana yang memiliki potensi
untuk dikembangkan demi meningkatkan daya saing
ekpor dalam negeri. Selain itu, pemerintah dan swasta
juga mampu menyusun paket-paket kebijakan dan
rencana investasi yang mendukung secara lebih terarah
berdasarkan potensi-potensi industri yang ada.
II. DASAR TEORI
A. Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage) Dalam ilmu ekonomi, keunggulan komparatif
mengacu pada kemampuan suatu pihak untuk
menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan biaya
marjinal (marginal cost) dan biaya kesempatan
(opportunity cost) yang lebih rendah dibandingkan
pihak yang lain [2]. David Ricardo adalah orang yang
pertama kali memperkenalkan konsep keunggulan
komparatif ini. Ungkapan “komparatif” berarti relatif,
bukan mutlk atau absolute [3]. Bahkan jika satu negara
lebih efisien dalam memproduksi semua barang
(absolute advantage) dibandingkan pihak yang lain,
kedua negara masih akan mendapatkan manfaat dari
perdagangan, selama di antara keduanya masih memiliki
efisiensi relatif yang berbeda. Suatu negara harus
melakukan speasialiasi dalam produksi dan ekspor
komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan
melakukan impor komoditas yang tidak memiliki
keunggulan komparatif.
Keunggulan komparatif negara atas suatu komoditas
dapat direpresentasikan dengan indikator-indikator
sebagai berikut:
i. Revealed Comparative Advantage (RCA) Indeks RCA menggunakan pola perdagangan
untuk mengidentifikasi sektor-sektor dalam
perekonomian yang memiliki keunggulan
komparatif, dengan membandingkan proporsi
ekspor komoditas suatu negara dengan dengan
rata-rata dunia [4]. RCA dapat dirumuskan
sebagai berikut:
RCAij merupakan Revealed Comparative
Advantage negara i untuk kelompok produk j; dan
Xij menunjukkan total ekspor negara i pada
kelompok produk j. Subscript r mengacu pada
semua negara-negara tanpa negara i, dan
subscript n mengacu pada semua kelompok
produk kecuali kelompok produk j. Nilai indeks
bervariasi dari 0 hingga tak terbatas (0 ≤ RCAij ≤
∞). RCAij lebih besar dari satu berarti negara i
memiliki keunggulan komparatif dalam kelompok
produk j. Sebaliknya, RCAij kurang dari satu
menunjukkan bahwa negara i memiliki
(1)
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
75 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
comparative disadvantage dalam kelompok
produk j.
ii. Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA)
RCAij menghasilkan nilai yang tidak dapat
dibandingkan pada kedua sisi distribusi, Dalum et
al. (1998) dan Laursen (1998) menyusun RSCA,
yang dirumuskan sebagai berikut [5] [6]:
Nilai-nilai indeks RSCAij dapat bervariasi dari
minus satu hingga satu (-1 ≤ RSCAij ≤ 1). RSCAij
lebih besar dari nol menunjukkan bahwa negara i
memiliki keunggulan komparatif dalam kelompok
produk j. Sebaliknya, RSCAij kurang dari nol
menyiratkan bahwa negara i memiliki
comparative disadvantage dalam kelompok
produk j.
B. Spesialisasi Ekspor Dari sudut pandang domestik, produk ekspor yang
unggul adalah produk ekspor yang dapat
memberikan jumlah devisa yang lebih besar bagi
perekonomian domestik. Oleh karena itu, Trade
Balance Index (TBI) digunakan untuk menganalisis
apakah negara memiliki spesialisasi dalam ekspor
(sebagai net-eksportir) atau impor (sebagai net-
importir) untuk kelompok produk tertentu [7]. TBI
dapat dirumuskan sebagai berikut:
TBIij menunjukkan indeks neraca perdagangan
negara i untuk kelompok produk j; Xij dan Mij
masing-masing mewakili ekspor dan impor dari
kelompok produk j oleh negara i. Rentang nilai
indeks berada dari minus satu hingga satu (-1 ≤ TBIij
≤ 1). Jika TBI sama dengan -1 berarti sebuah negara
hanya melakukan impor, sebaliknya, TBI sama
dengan +1 berarti sebuah negara hanya melakukan
ekspor. Indeks tidak dapat didefinisikan (undefined)
ketika sebuah negara tidak ekspor dan tidak impor.
Setiap nilai di antara -1 dan +1 menyiratkan bahwa
negara melakukan ekspor dan impor komoditas
secara bersamaan. Suatu negara disebut sebagai
"net-importir" dalam kelompok produk tertentu jika
nilai TBI adalah negatif, dan sebagai "net-eksportir"
jika nilai TBI adalah positif.
III. METODOLOGI
Analisis pemetaan produk (product mapping) yang
dilakukan mengikuti metode yang dikembangkan oleh
Widodo (2009). Dalam model tersebut makna produk
ekspor yang unggul dapat dilihat dari dua sudut pandang
yang berbeda yaitu neraca perdagangan domestik dan
daya saing internasional [8]. Pertama dari sudut
pandang domestik, argumen ini mengarah pada produk
ekspor yang dapat memberikan cadangan devisa yang
lebih besar bagi perekonomian domestik. Dari sudut
pandang ini, semakin tinggi porsi produk tertentu dalam
total ekspor domestik maka semakin signifikan
kontribusi ekspor produk ini bagi perekonomian
domestik. Kedua, dari sudut pandang daya saing
internasional, produk yang unggul adalah produk yang
memiliki keunggulan komparatif yang tinggi di pasar
internasional. Suatu produk yang unggul adalah yang
memiliki porsi besar dalam total ekspor dunia.
Menurut Widodo (2009) terdapat dua variabel penting
dalam analisis keunggulan komparatif catching-up
economies yakni neraca perdagangan domestik
(domestic trade-balance) dan daya saing internasional
(international competitiveness). Dengan demikian alat
analisis yang meliputi kedua variabel tersebut perlu
dikembangkan. Revealed Symmetric Comparative
(2
)
(3
)
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
76 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Advantage (RSCA) yang dikembangkan oleh Dalum et.al
(1998) dan Laursen (1998) digunakan sebagai indikator
keunggulan komparatif dan Trade Balance Index (TBI)
yang dikembangkan oleh Lafay (1992) digunakan
sebagai indikator aktivitas ekspor dan impor [8].
Pemetaan produk (product mapping) disusun dengan
menggunakan RSCA dan TBI. Produk dalam SITC dapat
dikategorisasikan menjadi empat yaitu kelompok A, B, C,
dan D seperti yang digambarkan dalam Gambar 1.
Kelompok A terdiri dari produk yang memiliki keduanya,
keunggulan komparatif dan spesialisasi ekspor;
kelompok B terdiri dari produk yang memiliki
keunggulan komparatif namun tidak memiliki
spesialisasi ekspor; kelompok C terdiri dari produk yang
memiliki spesialisasi ekspor namun tidak memiliki
keunggulan komparatif; dan kelompok D terdiri dari
produk yang tidak memiliki keduanya [8].
Gambar 1. Pemetaan Produk (Product Mapping)
IV. HASIL ANALISIS
Data yang digunakan dalam paper ini adalah data ekspor
dan impor yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), yaitu United Nations Commodity Trade
Statistics Database (UNCOMTRADE) [9]. Komoditas yang
diperdagangkan secara internasional diklasifikasikan
berdasarkan standar klasifikasi seperti, Standard International
Trade Classification (SITC), Harmonized Commodity
Description and Coding System (HS) and the Broad Economic
Categories (BEC). Penelitian ini menggunakan SITC Revisi 2,
3 digit dan fokus pada 237 kelompok produk. Sesuai dengan
hasil pengolahan data ekspor dan impor Indonesia yang
menghasilkan nilai Revealed Symmetric Comparative
Advantage (RSCA), Trade Balance Index (TBI), serta
pemetaan produk (product mapping), komoditas yang
dihasilkan oleh industri dalam negeri dapat
dikelompokkan sebagai berikut: kelompok A (52
komoditas), kelompok B (7 komoditas), kelompok C (29
komoditas), dan kelompok D (149 komoditas). Dalam
kata lain, 22 persen produk Indonesia ada dalam
kelompok A, 3 persen dalam kelompok B, 12 persen
dalam kelompok C, dan 63 persen dalam kelompok D.
Pernyataan tersebut dapat dirangkum dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Komoditas berdasarkan Product
Mapping
Kelompok Jumlah
Komoditas
Persentase
(%)
Kelompok A 52 22
Kelompok B 7 3
Kelompok C 29 12
Kelompok D 149 63
Gambar 2 memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
pemetaan produk berdasarkan RSCA dan TBI.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
77 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
Gambar 2 selain menjelaskan pemetaan produk, juga
menunjukkan hubungan positif antara keunggulan
komparatif dengan keseimbangan perdagangan (trade
balance). Semakin tinggi keunggulan komparatif dari
komoditas tertentu, maka semakin tinggi pula
kemungkinan suatu negara untuk menjadi net-eksportir.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ricardo
(1817) mengenai teori keunggulan komparatif bahwa
suatu negara akan memperoleh manfaat dari
perdagangan dengan melakukan ekspor barang dan jasa
yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar
dan melakukan impor barang dan jasa yang memiliki
keunggulan komparatif yang lebih kecil [3].
Dari keempat kelompok tersebut, pemerintah selaku
pembuat kebijakan dan swasta selaku investor baiknya
fokus pada komoditas dalam kelompok B dan C.
Kelompok B terdiri dari produk yang memiliki
keunggulan komparatif namun tidak memiliki
spesialisasi ekspor, sedangkan kelompok C terdiri dari
produk yang memiliki spesialisasi ekspor namun tidak
memiliki keunggulan komparatif. Upaya peningkatan
daya saing dilakukan agar komoditas dalam kelompok B
dan C dapat menjadi komoditas dalam kelompok A,
yaitu yang memiliki keunggulan komparatif dan
spesialisasi ekspor. Agar komoditas dalam kelompok B
dapat unggul menjadi komoditas dalam kelompok A,
maka perlu dilakukan peningkatan ekspor yang menjadi
ranah kebijakan Kementrian Perdagangan. Sedangkan
agar komoditas dalam kelompok C dapat unggul menjadi
komoditas dalam kelompok A, maka perlu dilakukan
dorongan industri secara sektoral yang merupakan
ranah kebijakan Kementrian Perindustrian.
Secara rinci, komoditas dalam kelompok B dan C
tersebut dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2. Komoditas SITC Rev. 2 dalam Kelompok B
SITC
Rev.
2
Description RSCA
2013 TBI 2013
Product
Mapping
121 Tobacco unmanufactured; tobacco
refuse 0.156507 -0.51725 B
266 Synthetic fibres suitable for
spinning 0.085918 -0.62269 B
333 Crude petroleum and oils obtained
from bituminous minerals 0.211367 -0.14212 B
531 Synthetic dye, natural indigo, lakes 0.062143 -0.46209 B
562 Fertilizers, manufactured 0.016268 -0.44365 B
653 Fabrics, woven, of man-made fibres
(not narrow or special fabrics) 0.390981 -0.04371 B
785 Cycles, scooters, motorized or not;
invalid carriages 0.162042 -0.10589 B
Tabel 3. Komoditas SITC Rev. 2 dalam Kelompok C
SITC
Rev. 2
Description RSCA 2013 TBI 2013 Product
Mapping
047 Other cereal meals and flour -0.87227 0.624159 C
048
Cereal, flour or starch
preparations of fruits or
vegetables
-0.2509 0.056257 C
058 Fruit, preserved, and fruits
preparations -0.34649 0.443057 C
112 Alcoholic beverages -0.95082 0.324117 C
223
Seeds and oleaginous fruit,
whole or broken, for other
fixed oils
-0.22993 0.472924 C
265 Vegetable textile fibres,
excluding cotton, jute, and
-0.15292 0.513573 C
TBI2013
1.000.500.00-0.50-1.00
RS
CA
20
13
1.00
0.50
0.00
-0.50
-1.00
895
893
892885
884
881
873
872
812
793
786
784
782 781
778
776
774
772
771
764
759
752
749
745
743
742
726
725
724
723
713712
711697
695
694
693
684
679
678
677
674
665
663
662
661
656
655
652
628
621
613
612
611
592
591
585
583
582
553
551
541
522513
511
411
334
323
286
277
273
268
263
244
233
81
73
61
57
56
54
46
4241
25
22
12
1
971
941
899
897
896
894
883
847
831
821
775
691
688
681
671
667
664
659
658
642
514
288
281
265
223
112
5848
47
785
653
562531
333
266
121
898
851
848
846
845
844
843
842
773
763
762
761
751
687
682 666
651
641
635
634
625
598
554
532
512
431424
341
335
322
292
289
269
267
251
248
246
245
232
122
98
9175
74
72
71
62
37
36
35
34
Gambar 2. Product Mapping untuk
Komoditas SITC Rev.2 Tahun 2013
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
78 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
waste
281 Iron ore and concentrates -0.59023 0.161983 C
288 Non-ferrous base metal waste
and scrap, nes -0.20542 0.281817 C
514 Nitrogen-function
compounds -0.05893 0.061359 C
642
Paper and paperboard,
precut, and articles of paper
or paperboard
-0.11239 0.033643 C
658
Made-up articles, wholly or
chiefly of textile materials,
nes
-0.46658 0.571039 C
659 Floor coverings, etc -0.38484 0.34273 C
664 Glass -0.25395 0.04417 C
667
Pearl, precious and semi-
precious stones, unworked or
worked
-0.96711 0.908919 C
671
Pig and sponge iron,
spiegeleisen, etc, and ferro-
alloys
-0.12667 0.018465 C
681 Silver, platinum and other
metals of the platinum group -0.73935 0.632684 C
688
Uranium depleted in U235,
thorium, and alloys, nes;
waste and scrap
-0.90554 1 C
691 Structures and parts, nes, of
iron, steel or aluminium -0.05069 0.191875 C
775 Household type equipment,
nes -0.24908 0.094326 C
821 Furniture and parts thereof -0.02637 0.61774 C
831
Travel goods, handbags etc,
of leather, plastics, textile,
others
-0.49574 0.040094 C
847 Clothing accessories, of
textile fabrics, nes -0.22868 0.575505 C
883 Cinematograph film, exposed
and developed -0.35099 0.342484 C
894 Baby carriages, toys, games
and sporting goods -0.24851 0.377456 C
896 Works of art, collectors'
pieces and antiques -0.91751 0.76796 C
897
Gold, silver ware, jewelry and
articles of precious materials,
nes
-0.77113 0.664401 C
899 Other miscellaneous
manufactured articles, nes -0.15682 0.146233 C
941
Animals, live, nes, (including
zoo animals, pets, insects,
etc)
-0.41003 0.721634 C
971
Gold, non-monetary
(excluding gold ores and
concentrates)
-0.22642 0.968028 C
V. DISKUSI KEBIJAKAN
Melakukan restrukturisasi perdagangan dapat
diartikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan
perekonomian untuk meningkatkan hasil yang diperoleh
dari produk dimana suatu negara memiliki keunggulan
komparatif dan mampu menghasilkan devisa bagi
negara (net-ekspor). Dalam hal ini, peningkatan daya
saing ekspor dan industri dapat dilakukan melalui
beberapa strategi, baik strategi yang dilihat dari
perspektif peningkatan efisiensi maupun pemasaran
hasil produksi.
Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam infant
industry cenderung membutuhkan waktu dan biaya
yang lebih tinggi untuk melakukan pengembangan
teknologi. Secara agregat, pengembangan teknologi ini
dapat dilihat dalam analisis learning curve (Krugman,
2006). Perusahaan atau industri yang bergerak dalam
skala kecil akan menghadapi biaya rata-rata yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang mapan.
Dari perspektif harga jual produk, infant industry
cenderung tidak dapat bersaing dengan industri serupa
yang sudah matang milik negara lain. Rendahnya daya
saing dalam variabel harga sangat berpengaruh kepada
kemampuan produk untuk memenangkan persaingan di
pasar, sehingga apabila penurunan biaya tidak dilakukan
maka produk akan gagal di pasaran.
Arahan bagi perusahaan-perusahaan dalam
perekonomian untuk bersikap lebih kooperatif ditujukan
untuk meningkatkan daya saing produk secara nasional.
Khususnya dalam fase infant industry, pola interaksi
antarpelaku bisnis dalam industri akan berkembang
lebih cepat melalui kegiatan-kegiatan kooperatif.
Kooperasi ini dapat diartikan sebagai sinkronisasi
faktor-faktor produksi dan pemanfaatan keunggulan
masing-masing perusahaan secara kolektif. Kooperasi
antarpelaku bisnis akan membantu industri mencapai
level biaya rata-rata yang lebih rendah. Namun, hasil ini
mensyaratkan adanya fungsi biaya yang identik
antarpelaku bisnis dalam industri tersebut. Identifikasi
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
79 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
fungsi biaya ini dapat tercapai melalui sinkronisasi
faktor-faktor produksi, khususnya teknologi dan barang
modal yang cenderung lebih beragam dibandingkan
tenaga kerja. Apabila teknologi dapat diklasifikasikan
sebagai barang publik dalam industri, maka kebijakan
yang pro pengembangan teknologi layaknya menjadi
tanggungjawab pemerintah dalam mendorong kemajuan
industri secara kolektif. Insentif sebaiknya diberikan
kepada perusahaan-perusahaan yang berprestasi dalam
pengembangan teknologi di industrinya masing-masing.
Bentuknya dapat berupa tax holiday atau pemberian
subsidi sebagai kompensasi pengganti biaya penelitian
dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan.
Alternatif lain yang dapat dijadikan solusi adalah
pengadaan transfer teknologi oleh pemerintah kepada
industri, baik dengan cara pemberian kredit khusus bagi
pembelian barang modal berteknologi tinggi maupun
pelatihan-pelatihan yang melibatkan pelaku bisnis.
Melalui kerjasama dengan sektor swasta, pemerintah
juga dapat berperan sebagai agen yang melakukan
pemasaran secara kolektif bagi perusahaan-perusahaan
dalam infant industry. Secara individual, perusahaan
yang masih berproduksi dalam skala kecil akan
menghadapi biaya dengan proporsi yang tinggi apabila
akan melakukan penetrasi ke dalam pasar baru (ekspor).
Subsidi dan pemasaran kolektif dapat dilakukan oleh
pemerintah sebagai salah satu strategi peningkatan
ekspor. Model Sogo Shosha (Yoshino et al, 1986) yang
dikembangkan di Jepang menjadi salah satu contoh
sukses dari strategi collective marketing bagi industri-
industri kecil. Dengan memfokuskan usaha-usaha
pemasaran dalam satu instansi, biaya dalam
memasarkan produk dapat ditekan [10]. Fenomena
assymetric information yang sering terjadi antarpelaku
bisnis juga dapat diminimalisasi dengan memfokuskan
pusat informasi dalam instansi ini. Instansi ini akan
bertanggungjawab dalam memasarkan produk dan
menginisiasi penetrasi pasar bagi produk-produk infant
industry.
Pembentukan instansi collective marketing ini dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan pihak swasta dan
pemerintah dalam bentuk private-public partnership
(PPP). Pihak swasta bertanggungjawab dalam
pengelolaan secara profesional dan pihak pemerintah
dapat mendukung instansi ini dalam penyediaan ekuitas.
Pemanfaatan koneksi dan hubungan luar negeri juga
bisa menjadi nilai tambah yang dapat disediakan
pemerintah dalam PPP. Pemasaran dilakukan dengan
pengadaan dan partisipasi dalam acara-acara pameran
internasional maupun penetrasi langsung berdasarkan
kerjasama-kerjasama yang telah dijalin baik oleh pihak
pemerintah maupun swasta.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan
instansi ini antara lain adalah model institusi, model
pemberian insentif dan tata kelola organisasi. Desain
institusi harus mengatur tentang hubungan-hubungan
antarpihak secara jelas dan aturan-aturan main
diarahkan dalam membangun kooperasi antarpelaku
bisnis. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan hak
dan kewajiban yang sama, tentunya tanpa mengabaikan
sistem insentif yang baik untuk mendorong
perkembangan industri. Karakter rent seeking yang
sering dijumpai dalam instansi pemerintahan tidak
boleh diadopsi ke dalam suatu organisasi yang
mengedepankan daya saing sebagai ujung tombak.
Untuk pihak swasta, kontribusi melalui information
sharing memiliki peranan penting dalam membangun
sumber daya institusi. Kapasitas jaringan individual
yang dimiliki oleh suatu produsen dapat dibagikan,
tentunya dengan insentif-insentif yang disepakati.
Kemudian, penyediaan SDM oleh sektor swasta yang
dikelola secara profesional menjadi salah satu poin
tersendiri yang dapat menjadi kontribusi swasta dalam
pengembangan industri ini demi mencapai economies of
scale.
Peningkatan daya saing industri tidak hanya dilakukan
dari segi marketing, namun juga perlu memperhatikan
aspek infrastruktur dan aksesibilitas industri terhadap
faktor produksi. Berdasarkan pemeringkatan
infrastruktur yang dibuat oleh World Economic Forum,
dari 100 negara yang disurvei Indonesia berada pada
peringkat 78. Hal ini menandakan Indonesia masih
kurang kompetitif dalam hal infrastruktur dalam
menjalankan bisnis. Padahal, infrastruktur merupakan
salah satu faktor utama yang menentukan efisiensi dari
suatu bisnis. Infrastruktur yang baik akan menghasilkan
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
80 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
low cost economy di mana perusahaan dapat melakukan
aktivitas ekonomi dengan biaya rendah. Hal ini menjadi
suatu masalah umum yang seharusnya diperhatikan juga
oleh pemerintah, mengingat infrastruktur merupakan
barang publik yang menjadi tanggungjawab otoritas
publik. Selain infrastruktur, pola aglomerasi industri
menjadi salah satu cara yang dapat digunakan dalam
menekan biaya perusahaan. Pendirian suatu kawasan
industri yang khusus pada produksi produk tertentu
menghilangkan assymetric information dalam pasar,
dimana seluruh perusahaan memiliki kesempatan yang
sama dalam hal aksesibilitas terhadap faktor produksi.
Selain itu, pembangunan infrastruktur dalam kawasan
industri akan lebih efektif dibandingkan apabila harus
membangun konektivitas antarkawasan yang berbeda-
beda.
V. KESIMPULAN
Suatu negara sebaiknya melakukan spesialisasi dan
fokus terhadap pengembangan industri tertentu agar
bisa menghasilkan output yang mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan analisis
menggunakan model product mapping, pemerintah
selaku pembuat kebijakan dan swasta selaku investor
baiknya fokus pada komoditas dalam kelompok B dan C.
Kelompok B terdiri dari produk yang memiliki
keunggulan komparatif namun tidak memiliki
spesialisasi ekspor, sedangkan kelompok C terdiri dari
produk yang memiliki spesialisasi ekspor namun tidak
memiliki keunggulan komparatif. Upaya peningkatan
daya saing dilakukan agar komoditas dalam kelompok B
dan C dapat menjadi komoditas dalam kelompok A,
yaitu yang memiliki keunggulan komparatif dan
spesialisasi ekspor. Berbagai kendala masih dihadapi
oleh beberapa industri, terutama yang masih tergolong
infant industry. Untuk mendukung perkembangan
industri dalam negeri, ada beberapa strategi yang dapat
diterapkan pemerintah yaitu: (1) pengembangan
institusi collective marketing, (2) kooperasi antarpelaku
dalam industri, dan (3) insentif pajak beserta
pembangunan infrastruktur. Tujuan utamanya adalah
untuk meningkatkan efisiensi industri dan daya saing
dalam pasar dunia. Untuk mencapai efisiensi dalam
pelaksanaan strategi peningkatan daya saing
perdagangan ini, pemerintah dan pelaku industri harus
melakukan koordinasi dan penyelarasan informasi
antarkedua belah pihak agar tidak terjadi kebijakan-
kebijakan yang tidak tepat. Selain itu, sifat-sifat rent
seeking yang seringkali ditemui dalam birokrasi harus
dihilangkan agar tidak menjadi bumerang bagi efisiensi.
Komitmen semua pihak untuk bekerjasama demi
kepentingan kolektif menjadi syarat mutlak yang
diperlukan agar tujuan akhir yaitu kesejahteraan
bersama dapat tewujud.
DAFTAR PUSTAKA
[1] The World Bank, Doing Business Index, dikutip 9 Oktober 2013 dari
The World Bank: http://www.doingbusiness.org/.
[2] P. Krugman, International Economics: Theory and Policy, Boston:
Pearson, 2006. [3] D. Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation,
London: John Murray, 1817.
[4] B. Balassa, “Trade Liberalization and Revealed Comparative
Advantage”, The Manchester School of Economics and Social
Studies, Vol. 33, No. 2, pp. 99-123, 1965.
[5] B. Dalum, K. Laursen, G. Villumsen, “Structural Change in OECD
Export Specialization Patterns: Despecialization and Stickiness”,
International Review of Applied Economics, Vol. 12, pp. 447-467,
1998.
[6] K. Laursen, “Revealed Comparative Advantage and The
Alternatives as Measures of International Specialization”, DRUID
Working Paper, No. 98-30, Danish Research Unit for Industrial
Dynamics (DRUID), 1998.
[7] G. Lafay. “The Measurement of Revealed Comparative
Advantages”, in M.G. Dagenais and P.A. Muet (eds.),
International Trade Modeling.London: Chapman & Hill, 1992.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
81 Vol. 1 No. 23, Feb 2015
[8] T. Widodo, “Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures
and Case Studies”, Review of Economic and Business Studies,
Issue 4, pp 57-82, 2009.
[9] The United Nations (UN), United Nation Commodity Trade
Statistics Database (UN COMTRADE), dikutip 23 Juni 2014 dari
http://unstats.un.org/unsd/servicetrade/.
[10] M. Yoshino dan L. Thomas. The Invisible Link: Japan's Sogo
Shosha and the Organization of Trade, Boston: MIT Press.
Tokyo Tech Indonesian Commitment Award EDISI KHUSUS
82 Vol. 1 No. 23, Feb 2015