FORMULASI YOGHURT SINBIOTIK DENGAN...
Transcript of FORMULASI YOGHURT SINBIOTIK DENGAN...
i
FORMULASI YOGHURT SINBIOTIK
DENGAN PENAMBAHAN PUREE PISANG DAN INULIN
SKRIPSI
NI PUTU AYU LESTARI
F24070019
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ii
FORMULATION OF SYNBIOTIC YOGHURT
MADE WITH BANANA PUREE AND INULIN
Ni Putu Ayu Lestari, Ratih Dewanti-Hariyadi, and Dewi Desnilasari
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia
Phone +62 878 7090 8640, E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Recently, one of functional food which has become popular in the market is probiotic,
prebiotic and or synbiotic yoghurt. Synbiotic yoghurt is fermented milk containing both probiotic and
prebiotic. Many inovations in yoghurt production by food scientists were developed by adding local
ingredients. Banana is abundant local comodity in West Java. Besides having high nutrient, banana
also contains 0.5-1.4 g/100g inulin which is a good source of prebiotic. The purpose of this research
was to make synbiotic yoghurt containing banana puree and inulin as a functional food using local
comodity. In this research, the synbiotic yoghurt was made from banana puree added with
Lactobacillus casei as probotic and commercial inulin as prebiotic. This research was divided into
three steps, first step was to obtain an optimum ratio between skim milk and banana puree to produce
an acceptable yoghurt by sensory evaluation (hedonic ranking test), second step was to obtain an
optimum one by addition of commercial inulin to the previous formula based on sensory evaluation
(hedonic rating test), and the third step was to determine chemical and microbiology quality of the
synbiotic yoghurt. Result of the first step of the research, suggested that skim milk : banana puree
ratio = 1:1 was the most preferred product by panelists. Addition of 2% inulin yoghurt resulted in the
highest rank yoghurt likened by the panelists. Based on the chemical and microbiological analysis,
the resulted synbiotic yoghurt complied standard requirement yoghurt in Indonesia (SNI 01.2981-
2009). The synbiotic yoghurt contained BAL 3.6 x 109 cfu/ml probiotic lactic acid bacteria and
approximately about 3.88 g/100g prebiotic. Based on proximate analysis, the fat content of this
synbiotic yoghurt is less than 5% thus it can be classified as non fat yoghurt.
Keywords: Lactobacillus casei, synbiotic yoghurt, banana, inulin, synbiotic food
iii
Ni Putu Ayu Lestari. F24070019. Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang
dan Inulin. Di bawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi dan Dewi Desnilasari. 2011
RINGKASAN
Salah satu pangan fungsional yang populer di kalangan masyarakat dan dikembangankan
oleh para industri pangan adalah susu fermentasi dalam bentuk yoghurt sinbiotik. Pengembangan
produk inovasi yoghurt yang menggunakan susu sebagai bahan baku utama, dapat ditambahkan
dengan bahan baku lain yang berasal dari pangan lokal. Salah satu komoditi lokal yang jumlahnya
melimpah di Jawa Barat dan belum dimanfaatkan secara maksimal adalah pisang. Pisang merupakan
buah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia dan memiliki kandungan gizi yang tinggi.
Selain itu, pisang juga mengandung sumber prebiotik yang baik yaitu inulin sebanyak ± 1g/100g
pisang. Namun, kandungan inulin tersebut belum memenuhi standar prebiotik yaitu sekitar 1-3% pada
produk yoghurt, sehingga diperlukan penambahan inulin komersil sebagai sumber prebiotik.
Metode yang dilakukan dalam pembuatan yoghurt sinbiotik ini terdiri atas tiga tahap
penelitian. Tahap I adalah optimasi puree pisang dalam pembuatan yoghurt sinbiotik untuk
mendapatkan perbandingan susu skim dan puree pisang yang tepat berdasarkan uji organoleptik.
Tahap II adalah optimasi inulin komersial dalam pembuatan yoghurt sinbiotik untuk mendapatkan
jumlah penambahan inulin komersial yang tepat dan disukai sebagai sumber prebiotik berdasarkan uji
organoleptik. Tahap III adalah analisis mutu yoghurt sinbiotik formula terpilih.
Penelitian tahap I dilakukan dengan membuat yoghurt sinbiotik menggunakan susu skim dan
puree pisang Ambon sebagai bahan baku utama dengan perbandingan antara susu skim: puree pisang
adalah (A) 1:0.5, (B) 1:1, dan (C) 1:2. Formula terpilih merupakan hasil penilaian kesukaan panelis
berdasarkan uji organoleptik ranking hedonik. Berdasarkan uji ranking tersebut, formula yoghurt yang
paling disukai menurut panelis dan dipilih sebagai formula terpilih tahap I adalah yoghurt dengan
perbandingan antara susu skim : puree pisang sebanyak 1:1.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan adalah penelitian tahap II yaitu optimasi inulin dalam
pembuatan yoghurt sinbiotik. Penelitian ini menggunakan formula terpilih tahap I yang ditambahkan
inulin dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Terdapat empat formulasi penambahan inulin yaitu
formula A (0% inulin), B (1% inulin), C (2% inulin), dan D (3% inulin). Hasil pada tahap II
berdasarkan uji rating hedonik yaitu untuk semua atribut yang diujikan mencakup aroma, tekstur, rasa,
dan keseluruhan mendapat penilaian oleh panelis dari netral sampai agak suka. Hasil penilaian panelis
terhadap penambahan inulin sebanyak 0-3% pada yoghurt berdasarkan analisis sidik ragam adalah
tidak berbeda nyata atau tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara organoleptik. Penambahan
0-3% inulin hanya berfungsi sebagai penambah sumber prebiotik pada produk yoghurt. Namun
sampel yang mempunyai tingkat kesukaan paling tinggi menurut penilaian panelis dan dipilih menjadi
formula terpilih tahap II secara keseluruhan berdasarkan jumlah kandungan inulinnya dan segi
ekonomisnya adalah sampel C (2% inulin).
Tahap terakhir pada penelitian ini adalah tahap III yaitu analisis mutu yoghurt sinbiotik
formula terpilih. Berdasarkan hasil analisis mutu kimia, produk yoghurt sinbiotik mempunyai
kandungan kadar air 84.46%; kadar abu 0.75%; kadar protein 2.79%; kadar lemak 0.2%; kadar
karbohidrat 11.8%; dan kadar inulin 3.88 g/100g dengan pH 4.3; TAT 0.745, dan total padatan
15.36%. Sedangkan berdasarkan hasil analisis mutu mikrobiologi, produk yoghurt sinbiotik
mempunyai jumlah total bakteri asam lakat sebesar 3.6 x 109
cfu/ml. Jumlah ini tidak berubah secara
signifikan jika disimpan selama 14 hari dalam suhu dingin yaitu 4°C. Pengujian cemaran mikroba
iv
yaitu cemaran koliform dan Salmonela dinyatakan negatif pada produk yoghurt yang dihasilkan baik
pada hari ke-0 maupun hari ke-14. Cemaran koliform pada produk adalah <3 g MPN/100ml dan
Salmonella adalah negatif salmonella/25 g yoghurt.
Keseluruhan hasil uji mutu yang dilakukan tersebut telah sesuai dengan persyaratan SNI
01.2981-2009 tentang yoghurt. Kadar probiotik dan prebiotik yang dimiliki oleh yoghurt sinbiotik
telah memenuhi persyaratan sehingga produk dapat dikatakan sebagai produk pangan sinbiotik. Selain
itu produk yoghurt sinbiotik ini juga dapat diklaim sebagai yoghurt non-fat karena kandungan
lemaknya yang rendah yaitu kurang dari 0.5%.
v
FORMULASI YOGHURT SINBIOTIK
DENGAN PENAMBAHAN PUREE PISANG DAN INULIN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NI PUTU AYU LESTARI
F24070019
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
vi
Judul Skripsi : Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan
Inulin
Nama : Ni Putu Ayu Lestari
NIM : F24070019
Menyetujui,
Bogor, 14 Oktober 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dewi Desnilasari, S.Si
NIP. 19620920 198603 2 002 NIP. 19811208 200801 2 008
Mengetahui,
Plt. Ketua Departemen ITP
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si
NIP. 19610802 198703 2 002
Tanggal Sidang : 19 September 2011
vii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Yoghurt
Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan Inulin adalah hasil karya saya sendiri dengan
arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan B2PTTG Lipi Subang serta belum diajukan dalam bentuk
apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 14 Oktober 2011
Yang membuat pernyataan
Ni Putu Ayu Lestari
F24070019
viii
© Hak cipta milik Ni Putu Ayu Lestari, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,
microfilm, dan sebagainya
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ni Putu Ayu Lestari dilahirkan pada tanggal 25
Maret 1989 di kota Singaraja dan merupakan putri pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Made Suarjaya dan Ni Made Ardani. Penulis
menempuh pendidikan di TK Adiyaksa Palangkaraya (1993-1995),
pendidikan dasar di SDN Langkai 12 Palangkaraya (1995-2001),
pendidikan menengah pertama di SMPN 2 Palangkaraya (2001-2004),
pendidikan menengah atas di SMAN 2 Pahandut Palangkaraya (2004-
2007).
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI
dan masuk Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian pada tahun 2007. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif di dalam kegiatan
kepanitiaan yang diselenggarakan oleh HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan).
Diantaranya adalah panitia LCTIP (2009), PLASMA (2009), BAUR (2009), dan KAPANGAN
(2009), penulis juga mengikuti lomba kreativitas mahasiswa (pengembangan yoghurt ubi jalar ungu)
dan berpartisipasi dalam organisasi KMHD (Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma) sebagai Bendahara
I (2009). Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul ―Formulasi Yoghurt
Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan Inulin‖ di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-
Hariyadi, M.Sc dan Dewi Desnilasari, S.Si.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas
asungkerta dan waranugraha-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul
―Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan Inulin‖ dilaksanakan di
Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret
sampai Agustus 2011.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis menyampaikan
penghargaan dan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Keluarga tercinta penulis: Bapak Made Suarjaya, Ibu Made Ardani, dan Adik Nyoman Budi
Suryawan yang selalu memberi doa, kasih sayang, dukungan moral dan finansial serta nasihat
untuk terus belajar dengan sebaik-baiknya.
2. Dosen Pembimbing Akademik I, ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc. yang saya hormati
dan kagumi yang telah memberi banyak bimbingan dan arahan serta motivasi selama penulis
melakukan penelitian hingga penulisan tugas akhir.
3. Dosen Pembimbing Akademik II, ibu Dewi Desnilasari, S.Si.
4. Dosen Penguji ibu Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc.
5. Lembaga LIPI Subang yang telah memberikan topik penelitian dan bantuan dana penelitian
sehingga penelitian ini tidak mengalami hambatan biaya dan berjalan dengan lancar.
6. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi
ilmunya kepada penulis sehingga penulis berhasil menjadi Sarjana Teknologi Pertanian dan
dapat mengaplikasikan ilmunya menjadi bermanfaat.
7. Semua teknisi dan laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan: Mas Aldi, Mas Edi, Pak
Rojak, Mba Ari, Pak Gatot, Ibu Rubiah, Ibu Antin, Ibu Endang atas bimbingan dan bantuan serta
kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian.
8. Seluruh pustakawan PITP dan LSI yang telah membantu penulis dalam mencari sumber pustaka
9. Semua guru dari TK sampai SMA yang telah memberi ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
10. Adik ketemu gede sekaligus sahabat tercinta, Rizwana Syarifah yang selalu membantu dan
memberi semangat kepada penulis.
11. Sahabat tersayang dan tak terlupakan Meiada Prabawani baik hati, juga Bertha Mahestarini dan
Tiara Indah Kesuma atas canda dan tawa serta dukungan yang besar kepada penulis untuk selalu
rajin dan tekun menyelesaikan skripsi serta Silvia Mawarti, Lutfhi Kartika, Cintya Ade, Vania,
Norita, Kak Dewi, Diara Mutiarani, Antin, Fiqhi, Veni, Rida, Gita, Beta, Berlian, dan teman-
teman semua di kos Tri Dara atas kebersamaannya selama ini sehingga penulis merasa di
lingkungan yang sangat nyaman.
12. Teman-teman satu bimbingan Melia Christian yang merupakan pendorong bagi penulis untuk
sesegera mungkin menyelesaikan penelitian, seminar, sidang, dan penulisan skripsi sehingga
skripsi penulis dapat terbit tepat pada waktunya, juga Iman Indrajaya atas kerjasama dan
kebersamaannya selama ini.
13. Teman-teman ITP 44 Michael Devega dan Yohana Maria Leoni yang sudah membantu
pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan penulis dengan baik, teman-teman di LAB
Mikrobiologi : Nidya Pramitasari, Erlindawati, Andreas Romulo, Yusuf, Kak Sarah, Ashari; dan
juga teman-teman LAB lainnya : Indri, Siska, Ronald Anugrah, Alya, Yesica, Ulfa, Anya,
Khafid, Suriah, Dina, Ricky, Mba Mus, Puji, Desir, Irwan, Mumun, Adi, Dimas, Marisa, Trancy,
Elisabeth, dan Amelinda.
14. Keluarga besar ITP 42, 43 khususnya Kak Septi, dan ITP 45.
xi
15. Keluarga Besar KMHD : Bli Arya, Kadek Putra, Wenes, Sukma, Angie, Esta, dkk.
16. Semua pihak yang sudah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat
bagi pembaca dan memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
pangan.
Bogor, 14 Oktober 2011
Ni Putu Ayu Lestari
xii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. x
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ xv
I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ......................................................................................... 1
1.2 TUJUAN .............................................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 3
2.1 PANGAN FUNGSIONAL ................................................................................... 3
2.2 PROBIOTIK ........................................................................................................ 4
2.3 PREBIOTIK ......................................................................................................... 7
2.4 SINBIOTIK .......................................................................................................... 10
2.5 YOGHURT .......................................................................................................... 11
III. BAHAN DAN METODE ................................................................................................ 16
3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ............................................................ 16
3.2 BAHAN DAN ALAT .......................................................................................... 16
3.3 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 16
3.3.1 Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................. 16
3.3.2 Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................. 20
3.3.3 Analisis Mutu Yoghurt Sinbiotik .............................................................. 20
3.4 METODE PENGUKURAN ................................................................................. 21
3.4.1 Analisis Sifat Kimia .................................................................................. 21
3.4.2 Analisis Mikrobiologi ............................................................................... 23
3.4.3 Uji Organoleptik ....................................................................................... 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................................... 25
4.1 OPTIMASI PUREE PISANG DALAM PEMBUATAN YOGHURT
SINBIOTIK......................................................................................................... 25
4.1.1 Persiapan Kultur ....................................................................................... 25
4.1.2 Formulasi Yoghurt Sibiotik dengan Penambahan Puree Pisang .............. 27
4.2 OPTIMASI INULIN DALAM PEMBUATAN YOGHURT SINBIOTIK .......... 31
4.3 ANALISIS MUTU YOGHURT SINBIOTIK ...................................................... 35
4.3.1 Analisis Mutu Kimia ................................................................................. 35
4.3.2 Analisis Mutu Mikrobiologi ..................................................................... 38
V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 43
5.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 43
5.2 Saran .................................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 44
LAMPIRAN ............................................................................................................................ 51
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jenis-Jenis Bakteri Probiotik ...................................................................................... 5
Tabel 2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Buah Pisang Ambon dalam 100 gram Buah yang
Dapat Dimakan .......................................................................................................... 9
Tabel 3. SNI 01.2981-2009 Tentang Yoghurt .......................................................................... 11
Tabel 4. Hasil Analisis Mutu Kimia Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik ............................... 35
Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik .................................. 37
Tabel 6. Hasil Uji Koliform ..................................................................................................... 40
Tabel 7. Hasil Uji Salmonella .................................................................................................. 41
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur Inulin ...................................................................................................... 7
Gambar 2. Perubahan Laktosa menjadi Asam Laktat ............................................................ 12
Gambar 3. Pewarnaan Gram .................................................................................................. 17
Gambar 4. Pemeliharaan Kultur ............................................................................................. 18
Gambar 5. Pembuatan Kultur Starter ..................................................................................... 18
Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Puree Pisang Ambon ................................................... 19
Gambar 7. Formulasi Yoghurt Sinbiotik Menggunakan Puree Pisang Ambon ..................... 19
Gambar 8. Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Inulin .................................... 20
Gambar 9. Analisis Mutu Yoghurt Sinbiotik ......................................................................... 21
Gambar 10. Kultur Lactobacillus Casei Perbesaran 1000x...................................................... 25
Gambar 11. Pengawetan kultur L. Casei dalam MRS Chalk Semi Solid dan MRS Broth ....... 26
Gambar 12. Kultur Induk dan Kultur Starter............................................................................ 26
Gambar 13. Yoghurt dengan Penambahan Puree Pisang ......................................................... 27
Gambar 14. Histogram Uji Ranking Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Puree Pisang
dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................................................................... 28
Gambar 15. Histogram Uji Ranking Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Puree Pisang
dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................................................................... 29
Gambar 16. Histogram Uji Ranking Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Puree Pisang
dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................................................................... 30
Gambar 17. Histogram Uji Ranking Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Puree
Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik ........................................................ 31
Gambar 18. Histogram Uji Rating Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Inulin dalam
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................................................................. 32
Gambar 19. Histogram Uji Rating Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Inulin dalam
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................................................................. 33
Gambar 20. Histogram Uji Rating Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Inulin dalam
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................................................................. 33
Gambar 21. Histogram Uji Rating Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Inulin
dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................................................................... 34
Gambar 22. Jumlah Total BAL selama 15 hari ........................................................................ 39
Gambar 23. Media Selektif Pertumbuhan Salmonella ............................................................. 41
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan Total BAL pada Kultur Induk dan Starter ..................................... 52
Lampiran 2. Contoh Form Uji Organoleptik Ranking Hedonik ............................................. 53
Lampiran 3. Contoh Form Uji Organoleptik Rating Hedonik................................................ 54
Lampiran 4. Hasil Uji Rangking Pada Tahap Optimasi Puree Pisang pada Pembuatan
Yoghurt Sinbiotik .............................................................................................. 55
Lampiran 5. Hasil Uji Rating Pada Tahap Optimasi Inulin Komersial pada Pembuatan
Yoghurt Sinbiotik .............................................................................................. 57
Lampiran 6. Hasil Analisis Proksimat Yoghurt Sinbiotik ...................................................... 61
Lampiran 7. Jumlah Total Bakteri Asam Laktat selama 15 Hari ........................................... 64
Lampiran 8. Gambar Hasil Uji Total Bakteri Asam Laktat dari Hari ke-1 sampai ke-15 ...... 65
Lampiran 9. Hasil Uji Koliform Hari Ke-1 dan Hari ke-15 ................................................... 67
Lampiran 10. Hasil Uji Koliform pada Media BGLBB ........................................................... 68
1
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Menurut Badan POM (2005) pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun
telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah
dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan
fungsional ini dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik
sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain
itu, tidak memberikan kontra indikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang
dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya.
Salah satu pangan fungsional yang populer di kalangan masyarakat dan banyak
dikembangankan oleh para ahli pangan adalah susu fermentasi dalam bentuk yoghurt. Hal tersebut
terkait dengan bukti ilmiah bahwa yoghurt dipercaya mengandung nutrisi yang baik serta memiliki
khasiat terhadap kesehatan manusia, terutama bagi saluran pencernaan dan sistem kekebalan tubuh
karena mengandung bakteri baik didalamnya.
Semakin meningkatnya pengetahuan gizi dan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan,
maka sekarang ini bentuk yoghurt yang banyak diminati adalah yoghurt sinbiotik yang mempunyai
komponen fungsional ganda. Yoghurt sinbiotik adalah susu hasil fermentasi oleh mikroba probiotik
dan diberi penambahan prebiotik sebagai makanan dari probiotik tersebut. Probiotik dan prebiotik
merupakan komponen yang sudah terbukti dapat memberi manfaat kesehatan bagi manusia.
Produk yoghurt biasa dibuat dengan menggunakan bahan baku utama yaitu susu sapi yang
memiliki kandungan gizi yang tinggi. Dalam rangka mengembangkan produk inovasi yoghurt
sinbiotik sebagai minuman fungsional, saat ini banyak dikembangkan yoghurt sinbiotik yang dibuat
dari hasil fermentasi susu oleh bakteri probiotik dengan ditambahkan sumber prebiotik yang berasal
dari bahan baku lokal. Salah satu bahan baku lokal yang dapat digunakan sebagai sumber prebiotik
adalah pisang. Pisang merupakan buah yang memiliki rasa yang enak, dapat mengenyangkan,
memiliki kandungan gizi yang tinggi, dan mengandung sumber prebiotik yang baik yaitu inulin.
Pisang mengandung inulin sekitar ± 1 g/100g pisang. Inulin adalah salah satu prebiotik yang baik
yang mempunyai peran sebagai serat pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan dan
dapat dimanfaatkan oleh bakteri baik di usus (Roberfroid, 2005).
Pemanfaatan pisang sebagai bahan baku tambahan dalam pembuatan yoghurt dapat
meningkatkan nilai guna pisang, karena pisang merupakan salah satu produk pertanian yang
jumlahnya melimpah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Berdasarkan data FAO (2002)
produksi pisang di dunia pada tahun 2001 mencapai 66.5 juta ton. Di Indonesia sendiri produksi
pisang menempati peringkat tertinggi dibanding komoditi hasil pertanian yang lainnya. Pada tahun
2010 jumlah produksi pisang di Indonesia mencapai 5.814.576 ton dengan kontribusi terbesar dari
daerah Jawa Barat (1.089.472 ton) (BPS, 2010). Namun pemanfaatan buah pisang ini pada umumnya
hanya sebatas pembuatan tepung pisang, kripik pisang, dan konsumsi secara segar.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengembangan yoghurt sinbiotik yang
mengandung probiotik sekalius prebiotik yang mempunyai nilai fungsional yang tinggi. Inovasi
pengembangan yoghurt sinbiotik ini berupa penelitian pembuatan yoghurt sinbiotik berbasis pangan
lokal dengan penggunaan puree pisang dan penambahan inulin komersial sebagai sumber prebiotik
serta menggunakan kultur bakteri Lactobacillus casei sebagai sumber probiotik.
2
1.2 TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk membuat yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang
dan inulin komersial sebagai sumber prebiotik.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PANGAN FUNGSIONAL
Peran utama makanan adalah untuk memberikan nutrisi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi individu. Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini menemukan
bukti secara ilmiah bahwa beberapa makanan dan komponen makanan memiliki efek fisiologis dan
psikologis yang menguntungkan disamping penyediaan kandungan nutrisi dasar. Oleh karena itu
fokus penelitian telah bergeser lebih ke identifikasi komponen biologis aktif dalam makanan yang
memiliki potensi untuk mengoptimalkan kesehatan fisik dan mental serta dapat mengurangi risiko
penyakit. Banyak produk makanan tradisional, termasuk buah-buahan, sayuran, kedelai, gandum dan
susu telah ditemukan mengandung komponen dengan manfaat kesehatan potensial. Pangan ini disebut
pangan fungsional.
Istilah pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang sekitar pertengahan tahun
1980an dengan nama FOSHU (Foods for Specified Health Use). FOSHU mengacu pada makanan
yang mengandung bahan yang berfungsi untuk kesehatan dan secara resmi telah diklaim mempunyai
efek fisiologis pada tubuh manusia. Tujuan mengonsumsi FOSHU dimaksudkan untuk pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan terutama bagi orang-orang yang ingin mengontrol kondisi kesehatan,
termasuk tekanan darah, kolesterol darah atau bagi orang yang ingin menjaga tubuhnya tetap sehat.
Istilah FOSHU sekarang telah dikenal dengan nama functional food atau pangan fungsional (Hasler,
1995).
Umumnya pangan fungsional dianggap sebagai bagian pangan yang memiliki fungsi diet dan
memiliki komponen biologi aktif yang berguna untuk meningkatkan kesehatan atau mengurangi risiko
penyakit. Pangan fungsional termasuk dalam konsep pangan yang tidak hanya penting bagi kehidupan
tetapi juga sebagai sumber mental dan fisik, mendukung pencegahan dan mengurangi faktor risiko
sakit untuk beberapa penyakit serta penambahan terhadap fungsi fisiologis tertentu.
Banyak definisi tentang pangan fungsional yang telah dikemukakan, diantaranya menurut
kosensus pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods
tahun 1996 yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memiliki kandungan
komponen aktif sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan
oleh zat-zat gizi yang terkandung didalamnya (Hasler, 1995). Pangan fungsional juga didefinisikan
oleh Functional Food Science in Europe (FUFOSE) sebagai pangan dalam bentuk makanan sehari-
hari yang biasa dikonsumsi dengan jumlah rata-rata konsumsi pada umumnya, menunjukkan efek
fisiologis bagi tubuh. Pangan fungsional tersebut dapat berasal dari makanan alami, makanan yang
telah ditambahkan komponen fungsional, atau makanan hasil bioteknologi. Pangan fungsional dapat
juga berasal dari makanan yang satu atau lebih sifat komponennya telah dimodifikasi, atau makanan
yang satu atau lebih bioavailabilitasnya komponennya telah dimodifikasi, atau kombinasi dari
keduanya. Pangan fungsional ini dapat dikonsumsi oleh seluruh populasi atau untuk kelompok
tertentu, misalnya kelompok usia tertentu atau golongan penderita penyakit tertentu (Madsen, 2007).
Menurut FAO (2004) definisi pangan fungsional adalah makanan yang mempunyai
penampakan sama dengan makanan konvensional (minuman dan makanan), dikonsumsi sebagai
bagian dari makanan sehari-hari yang mengandung komponen-komponen biologis aktif yang
mempunyai manfaat fisiologis dan mempunyai potensi mengurangi risiko penyakit kronis disamping
nilai gizi yang dikandunganya. Komponen biologis aktif yang dimaksud dapat berasal dari bahan baku
makanan yang terdapat secara alami atau ditambahkan ke dalam makanan.
4
Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.5.52.0685 tahun 2005 tentang Ketentuan Pokok
Pengawasan Pangan Fungsional mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan olahan yang
mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi
fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan. Komponen dalam
pangan yang tergolong sebagai pangan fungsional berdasarkan BPOM (2005) adalah vitamin, mineral,
gula, alkohol, asam lemak tidak jenuh, asam amino, serat pangan, prebiotik, probiotik, kolin, lesitin
dan inositol, karnitin dan skualen, isoflavon, fitosterol dan fitostanol, dan polifenol (teh).
Badan POM (2005) membuat persyaratan suatu produk dapat dikatakan sebagai pangan
fungsional antara lain: (1) wajib memenuhi kriteria produk pangan; (2) menggunakan bahan yang
memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan serta standar dan persyaratan lain yang ditetapkan;
(3) mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen pangan fungsional berdasarkan
kajian ilmiah Tim Mitra Bestari; (4) disajikan dan dikonsumsi sebagai mana layaknya makanan dan
minuman; (5) memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur, atau konsistensi dan
cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen; (6) komponen pangan fungsional tidak boleh
memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengan komponen lain.
Muchtadi (2001) menyatakan bahwa pangan fungsional memiliki tiga fungsi dasar yaitu
sensori (warna dan penampilan menarik serta cita rasa yang enak), nutrisional (bergizi tinggi), dan
fisiologikal (memberi pengaruh fisiologis bagi tubuh). Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan
antara lain mencegah timbulnya penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, meregulasi kondisi ritme
fisik tubuh, memperlambat proses penuaan dan membantu proses penyembuhan. Saat ini jenis produk
pangan fungsional telah banyak beredar di pasaran yang sebagian besarnya didominasi oleh produk-
produk susu dan olahannya (Toma & Pokrotnieks, 2006). Salah satu yang paling populer saat ini di
kalangan industri adalah yoghurt.
Probiotik dan prebiotik merupakan bahan pangan yang termasuk ke dalam kategori pangan
fungsional. Probiotik dikatakan termasuk pangan fungsional karena probiotik mempunyai manfaat
menjaga fungsi saluran cerna dan meningkatkan kesehatan (Sanders, 1999). Golongan bakteri asam
laktat terutama Lactobacilli dan Bifidobacteria merupakan bakteri probiotik yang banyak digunakan
diberbagai negara (Tamime et al., 2005). Bakteri tersebut banyak digunakan dalam pembuatan
yoghurt, dimana saat ini yoghurt merupakan salah satu jenis produk makanan yang dapat
meningkatkan kesehatan manusia. Menurut Saxelin (2008) produk-produk probiotik yang beredar di
pasaran dunia, 72% merupakan produk dalam bentuk yoghurt probiotik. Sedangkan prebiotik adalah
makanan bagi probiotik yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik dan meningkatkan
kesehatan tubuh manusia (FAO, 2007). Beberapa jenis prebiotik yang paling banyak digunakan adalah
inulin dan fruktooligosakarida (FOS). Menurut Sveje (2007), di pasaran dunia terdapat lebih dari 180
macam produk prebiotik yang telah ada.
2.2 PROBIOTIK
Probiotik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang ditambahkan pada makanan untuk
kebutuhan diet dan memberi efek kesehatan bagi inangnya dengan cara meningkatkan keseimbangan
mikroflora usus (Fuller, 1989). Sedangkan menurut FAO/WHO (2002), probiotik adalah
mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat
kesehatan bagi inangnya. Jumlah yang cukup yang dimaksud oleh FAO/WHO (2002) ini adalah 106-
108
cfu/ml dan diharapkan dapat berkembang menjadi 1012
cfu/ml di dalam kolon. Jumlah probiotik
hidup harus mampu melewati kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti terekspos asam
lambung dan garam empedu, sehingga masih memiliki aktivitas. Produk yang mengandung probiotik
dikategorikan sebagai pangan fungsional dan di Indonesia hal ini resmi dinyatakan dalam Peraturan
5
Pangan Fungsional dari BPOM tahun 2005, namun belum secara spesifik dinyatakan regulasi dan
jumlah minimal kandungannya.
Bakteri yang umum digunakan sebagai sumber probiotik sebagian besar berasal dari
golongan bakteri asam laktat. Beberapa jenis bakteri yang termasuk dalam bakteri probiotik dapat
dilihat pada Tabel 1. Bakteri asam laktat dapat digolongkan sebagai probiotik jika memenuhi beberapa
persyaratan antara lain (Salminen et al., 2004) :
1. Suatu probiotik harus non-patogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu
serta masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam
usus halus
2. Suatu probiotik yang baik harus mampu tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat serta terdapat
dalam jumlah yang tinggi dalam usus
3. Probiotik yang ideal dapat mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara
4. Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba
terhadap bakteri merugikan
5. Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama kondisi
penyimpanan
Tabel 1. Jenis-Jenis Bakteri Probiotik a
Mikroflora Spesies Produsenb
Lactobacili
Lactobacillus acidophillus Rhodia, Inc (Madison Wis)
Lactobacillus rhamnosus Valio Dairy (Helsintei Finland)
Lactobacillus reuteri Biogaia Biologis
Lactobacillus casei Yakult (Tokyo)
Lactobacillus plantarum Probi AB (Lund Sweden)
Lactobacillus johnsonii Nestle (Switzerland)
Bifidobacteria
Bifidobacterium bifidum Danisco
Bifidobacterium longum Morinaga Milk Ind. Co Ltd
(Zama City)
Bifidobacterium breve Yakult (Tokyo)
Bifidobacterium infantis Procter & Gamble aTamime (2007) ,
bReid (1999)
Efek positif dari aktivitas probiotik terbagi dalam tiga aspek, yaitu nutrisi, fisiologi, dan
antimikroba. Aspek nutrisi berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan
laktosa (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, piridoksin, asam pantotenat,
biotin, dan riboflavin), serta dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus.
Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus
sehingga menekan risiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek
kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen.
Karena alasan tersebut, teknik probiotik diterapkan untuk meningkatkan kesehatan saluran pencernaan
serta sistem imunitas tubuh (Winarno, 2003).
Penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan juga mendukung pernyataan bahwa
probiotik dapat meningkatkan kesehatan diantaranya yaitu (1) probiotik dapat meningkatkan
pencernaan laktosa karena dapat menghasilkan enzim pemecah laktosa (Kim & Gilliland, 1983), (2)
mengurangi efek samping dari antibiotik dengan cara merangsang pengaktifan kembali bakteri baik
pada usus yang telah terkena efek antibiotik (Lidbeck, 1995), (3) mencegah infeksi saluran usus
dengan cara memproduksi asam-asam organik dan zat antibakteri (Gilliland & Speck, 1977), (4)
6
mencegah kanker (Reddy et al., 1983), (5) meningkatkan sistem imun (Hatcher & Lambrecht, 1993),
dan (6) menurunkan kolesterol (Gilliland & Walker, 1990).
Salah satu jenis bakteri yang tergolong probiotik dan banyak digunakan di industri pangan
dalam pembuatan susu fermentasi adalah kultur Lactobacillus casei. Bakteri ini mempunyai morfologi
berbentuk batang, berada dalam koloni tunggal maupun berantai, memiliki panjang 1.5-5.0 µm dan
lebar 0.6-0.7 µm, gram positif, katalase negatif, tidak membentuk spora maupun kapsul, tidak
memiliki flagela, anaerobik fakultatif, hidup dengan baik pada suhu optimum 15-410C, dan pH 3.5
atau lebih. Lactobacillus casei tahan terhadap kondisi asam dengan sebagian besar produk akhir
metabolisme berupa asam laktat dan sudah terbukti prebiotik (Tamime & Robinson, 1989).
Lactobacillus casei termasuk ke dalam kategori bakteri asam laktat homofermentatif yaitu
memecah glukosa terutama menjadi asam laktat kira-kira 90%. Kemampuan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis bakteri asam laktat heterofermentatif yang hanya dapat memecah glukosa
menjadi asam laktat kurang dari 90% (Winarno & Fardiaz, 1984). Selain itu juga L. casei dapat
menghasilkan sejumlah kecil asam sitrat, asam malat, asam asetat, asam suksinat, asetaldehid, diasetil,
dan asetoin yang berperan dalam pembentukan flavor (Varnam & Sutherland, 1994). Menurut para
peneliti di Jepang, L. casei dapat memproduksi L(+) asam laktat lebih dari 95%, sedangkan
Lactobacillus bulgaricus memproduksi hampir 100% D(-) asam laktat. Asam laktat dalam bentuk
L(+) lebih dapat digunakan di dalam tubuh dibandingkan dengan bentuk D(-).
Beberapa jenis Lactobacillus casei sudah terbukti dan terindentifikasi termasuk probiotik
(Crittenden et al., 2002). Lactobacillus casei mempunyai manfaat bagi kesehatan diantaranya : (1)
mendukung respon sistem imun, (2) mendukung kesehatan sel dan meningkatkan bakteri
menyehatkan di dalam usus, (3) dapat memodifikasi potensi aktivitas bakteri berbahaya seperti β-
glukoronidase dan nitroreduktase (Goldin & Gorbach, 1984), dan (4) meningkatkan kesehatan
manusia (Takeshi, 2003).
Konsumsi yoghurt dengan kandungan L. casei pada manusia memiliki potensi menurunkan
risiko beberapa penyakit dan menunjang kesehatan tubuh, terutama yang banyak diteliti adalah bakteri
L. casei galur Shirota diantaranya menurunkan risiko kanker kandung kemih (Ohashi et al., 2002).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ishikawa et al. (2005) juga menunjukkan L.casei galur Shirota
berpotensi mencegah kanker pada saluran kandung kemih pada studi in vivo. Penelitian terkait peran
L. casei galur Shirota pada sistem imun dilakukan oleh Nagao et al. (2000) yang menunjukkan bahwa
asupan L. casei dapat meningkatkan aktivitas sel Natural Killer (NK) pada manusia. Penelitian
lanjutan membuktikan bahwa aktivitas sel NK dapat ditingkatkan oleh L. casei galur Shirota pada
manusia yang memiliki kebiasaan merokok (Morimoto et al., 2005). Selain itu penelitian oleh
Yuniastuti (2004) tentang pengaruh pemberian susu fermentasi L. casei galur Shirota terhadap
perubahan kadar fraksi lipid serum tikus hiperkolesterolemik, menyimpulkan bahwa pemberian susu
fermentasi Lactobacillus casei galur Shirota pada dosis 2.5 ml/ekor/hari menurunkan kadar kolesterol
total, trigliserida dan kolesterol LDL serta meningkatkan kolesterol HDL secara signifikan.
Kultur bakteri L. casei pada produk-produk susu fermentasi dapat digunakan sebagai kultur
tunggal maupun kultur campuran. Penggunaan kultur tunggal mempunyai beberapa keuntungan yaitu
mudah dalam pemeliharaan, penggunaan, dan juga perhitungan total mikroba probiotik. Selain itu
juga mudah dalam mendeteksi kontaminasi dan menentukan kondisi optimum inkubasi produk
yoghurt. Begitu pula menurut hasil penelitian Oliveira et al. (2001) menyebutkan bahwa jumlah
bakteri probiotik pada kultur tunggal akan lebih stabil dan terjaga viabilitasnya dibanding pada kultur
campuran. Penggunaan kultur tunggal ini juga tidak kalah dengan penggunaan kultur campuran
karena kultur yang digunakan adalah kultur yang sudah pasti probiotik yang bermanfaat bagi
7
kesehatan tubuh dan menurut Yulianis (2004) penggunaan L. casei pada produk fermentasi tergolong
disukai konsumen dari segi tekstur, aroma dan rasa.
Penelitian penggunaan kultur tunggal L. casei dalam pembuatan susu fermentasi telah banyak
dilakukan, antara lain penelitian melihat jumlah total BAL pada susu fermentasi oleh Yulianis (2004)
yang membuat susu fermentasi dari ampas tahu menggunakan kultur tunggal L. casei. Hasilnya adalah
penambahan kultur sebanyak 5% sudah menghasilkan produk yang mengandung probiotik tinggi yaitu
sekitar 3.9-7.5 109
cfu/ml dan produk yang dihasilkan disukai oleh panelis. Penelitian lain oleh Artanti
(2009) yang melihat pertumbuhan L.casei pada dua jenis prebiotik yaitu inulin dan FOS. Hasilnya
adalah L. casei dapat tumbuh dengan baik di dua jenis prebiotik tersebut, akan tetapi L. casei
cenderung memberikan jumlah sel hidup yang lebih tinggi pada prebiotik inulin yaitu sebesar 10.0 log
cfu/ml.
2.3 PREBIOTIK
Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak tercerna yang berfungsi menstimulasi
pertumbuhan dan atau aktivitas dari satu atau lebih bakteri tertentu dalam usus besar, yang dapat
memperbaiki kesehatan inang. Banyak pangan dengan oligosakarida atau polisakarida (termasuk serat
pangan) yang diklaim mempunyai aktivitas prebiotik, meskipun tidak semua karbohidrat pangan
adalah prebiotik (Roberfroid, 2005). Golongan fruktooligosakarida sudah terbukti sebagai prebiotik
dan saat ini inulin dan oligofruktosa juga sudah diakui sebagai sumber prebiotik (Coussement, 2007).
Peraturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi belum ada karena umumnya
asupan prebiotik tergantung kepada kebiasaan penduduk suatu negara (FAO, 2007). Pada umumnya
dosis konsumsi harian 5-8 g/hari dari FOS atau GOS memberikan efek prebiotik pada orang dewasa.
Venter (2007) menyatakan bahwa peraturan Foodstuffs Cosmetics and Disinfectans Act (Act No 54 of
1972) di Afrika Selatan menyatakan bahwa jumlah dan sumber prebiotik yang harus tercantum pada
label suatu produk dengan klaim prebiotik adalah minimal 3 gram prebiotik per penyajian harian.
Indonesia mengatur regulasi prebiotik dalam Peraturan Pangan Fungsional yang dikeluarkan oleh
BPOM tahun 2005, namun regulasi jumlahnya belum dikeluarkan. Surono (2004) menyarankan
jumlah prebiotik yang efektif adalah 1-3 g per hari untuk anak-anak dan 5-15 g per hari untuk dewasa.
Menurut Roberfroid (2005), inulin adalah salah satu jenis prebiotik yang baik digunakan dan
kini legal diklasifikasikan sebagai bahan pangan yang diterima dan digunakan tanpa batas, dan
dianggap sebagai model prebiotik. Inulin merupakan polisakarida (khususnya fruktan) yang terdiri
dari fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik β-(2-1) dan terminal glukosa pada bagian
ujungnya, dimana struktur kimianya dapat berbentuk lurus, bercabang, ataupun cyclic. Panjang rantai
dari inulin hingga sekitar 60 dengan panjang rantai terbanyak adalah 9 (Tungland, 2002) dengan
perbandingan antara glukosa dan fruktosa adalah 20 : 80. Pada umumnya native inulin (diekstrak dari
umbi segar) mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, dan oligosakarida. Inulin mempunyai karakter
tidak berasa, tidak berbau, dan berwarna putih serta tahan panas (Roberfroid, 2005). Struktur kimia
dari inulin dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Stuktur Kimia Inulin
8
Inulin mempunyai banyak kegunaan terutama dalam bidang pangan dan kesehatan. Pada
dasarnya, penggunaan inulin dalam bidang pangan adalah karena sifat-sifat teknologisnya dan
fisiologisnya. Sifat-sifat teknologisnya yaitu sebagai pengganti gula dan lemak, sedangkan sifat-sifat
fisiologisnya digunakan sebagai sumber prebiotik.
Sifat fisiologis inulin sebagai sumber prebiotik salah satunya digunakan dalam pembuatan
yoghurt sinbiotik. Inulin tergolong sebagai prebiotik karena mampu melewati saluran pencernaan atas
dan mencapai usus besar, sehingga dianggap juga sebagai ―colonic foods‖ bagi mikroflora usus. Hasil
penelitian menurut Roberfroid (2005) yang dilakukan secara in vitro dan in vivo menyatakan bahwa
inulin dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas Bifidobacteria dan Lactobacilli yang
merupakan mikroflora yang berperan dalam saluran cerna.
Hasil fermentasi inulin di usus besar adalah asam lemak rantai pendek yang terdiri dari asam
asetat, asam propionat, dan asam butirat. Khususnya asam butirat, asam lemak rantai pendek ini
berperan dalam mempertahankan mukosa usus melalui metabolisme, proliferasi, dan melakukan
pembedaan dari tipe sel epitel yang berbeda (Roberfroid, 2005).
Roberfroid (2005) menyatakan bahwa, inulin merupakan tanaman karbohidrat yang dapat
bertahan di saluran pencernaan atas, untuk kemudian difermentasi di usus besar. Dengan
meningkatkan biomassa fekal dan kandungan air dalam feses, inulin mampu memperbaiki ―bowel
habits‖. Juga dengan karakternya dalam melindungi dan memperbaiki mukosa usus, inulin dapat
mengurangi risiko penyakit saluran cerna di usus.
Beberapa penelitian penggunaan inulin sebagai prebiotik banyak dilakukan pada produk-
produk susu fermentasi terutama yoghurt. Artanti (2009) melakukan penelitian pembuatan yoghurt
dengan L. casei pada dua jenis prebiotik yaitu inulin dan FOS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bakteri L. casei tumbuh baik pada kedua jenis prebiotik tersebut, akan tetapi L. casei cenderung
memberikan jumlah sel hidup yang lebih tinggi pada prebiotik inulin dibanding pada FOS yaitu
sebesar 10 log cfu/ml. Hasil penelitian tersebut juga sama dengan hasil penelitian sebelumnya oleh
Donkor et al. (2007) yang menyebutkan bahwa inulin dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan
aktivitas dari bakteri L. acidophilus dan L. casei selama penyimpanan. Penelitian lainnya yaitu tentang
kualitas atribut yoghurt yang dibuat menggunakan bakteri L. casei dan berbagai jenis prebiotik oleh
Aryana dan McGrew (2007). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa L. casei dengan penambahan
inulin pada yoghurt menghasilkan pH, viskositas, warna, dan organogleptik produk yoghurt yang baik
dimana jika disimpan pada suhu 4°C mempunyai jumlah total L. casei yang cenderung tetap tinggi
selama 15 hari yaitu rata-rata 3.2 x 106 cfu/ml.
Penggunaan inulin pada produk-produk olahan susu seperti yoghurt antara lain, yaitu: (1)
dapat meningkatkan viskositas dan penggumpalan curd (Ibrahim et al., 2004); (2) dapat mengurangi
sineresis; (3) dapat menghasilkan flavor dan tekstur yang lembut (Seydin et al., 2005); (4) dapat
mempertahankan warna dan aw; (5) menghasilkan skor organoleptik yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yoghurt tanpa penambahan inulin (Staffolo et al., 2004); (6) dapat meningkatkan viabilitas
dari bakteri asam laktat (Sadek et al., 2004); (7) menurunkan pH pada yoghurt (Hardi & Slacanac,
2000); dan (8) meningkatkan konsentrasi asam amino dan asam organik yang berperan penting dalam
pengolahan yoghurt (Chen et al., 2004).
Asupan prebiotik dari konsumsi harian tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan prebiotik
yang berkhasiat menekan infeksi penyakit, sehingga konsumsi tambahan prebiotik komersial dari
makanan sangat diperlukan. Menurut Franck dan De Leenheer (2005) pengunaan inulin sebanyak 1-
3% pada produk yoghurt sudah memberi efek prebiotik dan penggunaan inulin hingga 15 g per hari
tidak menyebabkan efek samping yang negatif. Manfaat mengonsumsi prebiotik dalam jumlah yang
cukup menurut beberapa penelitian antara lain: (1) menghambat patogen melalui mekanisme langsung
9
atau tidak langsung dengan memblok sisi reseptor pelekatan patogen pada mukosa usus dan secara
tidak langsung mendukung pertumbuhan probiotik (Roberfroid, 2005); (2) mencegah kanker usus; (3)
meningkatkan penyerapan kalsium, manesium, dan besi karena fermentasi probiotik menjadi SCFA
(short chain fatty acid); (4) meningkatkan jumlah bakteri baik pada usus; (5) membantu mencerna
protein, mengurangi penyerapan lemak, dan membantu tubuh mengeluarkan racun (Jenkins et al.,
1999); (6) menurunkan kolesterol dengan memicu pertumbuhan probiotik atau BAL yang
memproduksi enzim atau pengikat kolesterol oleh membran (Surono, 2004); dan (7) meningkatkan
imunitas dengan meningkatkan pertumbuhan probiotik yang berinteraksi dengan sistem imun
(Roberfroid, 2005).
Sumber inulin banyak terdapat di alam seperti pada bawang merah, Jerusalem artichoke,
chicory, asparagus, bawang daun, bawang putih, globe artichoke, gandum, rye, barley, dandelion, dan
salah satunya adalah pisang (Tungland, 2000). Pisang mengandung sekitar ± 1g/100g inulin
(Roberfroid, 2005). Selain itu pisang mempuyai nilai gizi yang tinggi dan penting (seperti terlihat
pada Tabel 2) karena mengandung karbohidrat, mineral, dan vitamin yang dapat digunakan sebagai
bahan makanan bayi maupun untuk makanan tambahan bagi para remaja yang masih dalam
pertumbuhan.
Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang menonjol di
Indonesia. Berdasarkan data FAO (2002) produksi pisang di dunia pada tahun 2001 mencapai 66,5
juta ton. Di Indonesia sendiri produksi pisang menempati peringkat tertinggi diikuti oleh jeruk pada
urutan kedua dan nanas urutan ketiga. Pada tahun 2010 jumlah produksi pisang di Indonesia mencapai
5.814.576 ton dengan kontribusi terbesar dari daerah Jawa Barat (1.089.472 ton), diikuti oleh Jawa
Timur (921.964 ton) dan Jawa Tengah (854.383 ton) (BPS, 2010).
Pisang terbagi dalam dua jenis yaitu pisang meja dan pisang olahan. Jenis pisang yang
termasuk dalam tipe pisang meja (banana) antara lain Ambon Putih, Ambon Hijau, pisang Mas,
pisang Raja, pisang Susu, pisang Badak, pisang Seribu, dan pisang Angling. Jenis pisang meja adalah
jenis pisang yang mengandung banyak gula sehingga pada umumnya rasanya lebih manis. Jenis
pisang yang tergolong dalam pisang olahan (plantain) antara lain pisang Siam, pisang Nangka, pisang
Kapas, pisang Kepok, pisang Gembor, pisang Menggala, dan pisang Tanduk. Jenis pisang olahan ini,
kandungan karbohidratnya lebih banyak tersusun atas pati sehingga cocok untuk diolah menjadi
tepung pisang (Prabawati, 2009).
Tabel 2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Buah Pisang Ambon dalam 100 gram bagian yang dapat
dimakan
Komponen Satuan Pisang Ambon
Protein Gram 1.2
Lemak Gram 0.2
Karbohidrat Gram 25.8
Air Gram 72.0
Kalori Kal 99.0
Kalsium Mg 8.0
Phosfor Mg 28.0
Besi Mg 0.5
Vitamin A SI 146.0
Vitamin B Mg 0.1
Vitamin C Mg 3.0
BDD Persen 75.0 a)
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)
10
Pengolahan buah pisang sejauh ini adalah sebagai tepung pisang, keripik pisang, dan
dimakan segar. Salah satu alternatif pemanfaatan pisang yang juga dapat dilakukan adalah dengan
mengolah pisang sebagai bahan baku tambahan pada yoghurt. Karbohidrat yang terkandung di dalam
pisang terutama dalam bentuk gula dapat digunakan oleh bakteri probiotik sebagai substrat sehingga
penambahan pisang dalam produk yoghurt tidak akan menghambat proses fermentasi susu. Pisang
yang cocok digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah dalam bentuk puree. Puree pisang adalah
hancuran buah pisang tanpa mengalami penambahan air dan penyaringan. Biasanya untuk diolah
menjadi puree, pisang yang digunakan adalah jenis pisang meja karena rasanya lebih manis (lebih
banyak mengandung gula) dan teksturnya lebih lembut serta mengandung banyak air. Penambahan
dalam bentuk puree ke dalam produk yoghurt akan menghasilkan aroma, rasa, dan tekstur yang bagus.
Pengolahan pisang menjadi puree dapat dilakukan dengan cara diblansir selama 5-7 menit
pada suhu kurang dari 100°C terlebih dahulu untuk mencegah reaksi pencoklatan pada saat diblender,
kemudian dipotong-potong dan dihancurkan dengan menggunakan waring blender (Ferawati, 2009).
Proses blansir yang diterapkan pada pembuatan puree merupakan salah satu upaya untuk membunuh
mikroba awal yang terdapat dalam pisang, selain dapat bertujuan untuk melunakan jaringan buah
pisang agar mudah dihancurkan dan mencegah reaksi pencoklatan. Menurut Luky (1996), dalam
penelitiannya tentang uji kecukupan blansir menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
proses blansir puree pisang Ambon adalah selama 5-7 menit pada suhu kurang dari 100°C.
Pisang sebagai bahan baku tambahan pada yoghurt dapat berfungsi sebagai penambah cita
rasa sekaligus sebagai sumber prebiotik berupa karbohidrat komplek seperti FOS dan inulin yang
dapat meningkatkan viabilitas dari bakteri baik pada yoghurt.
2.4 SINBIOTIK
Sinbiotik didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari prebiotik dan probiotik (Panesar et al.,
2009) yang menguntungkan inang dengan meningkatkan pertahanan dan implantasi suplemen
makanan yang mengandung mikroba hidup dalam saluran pencernaan dengan secara selektif memicu
pertumbuhan dan atau mengaktifkan metabolisme dari sejumlah bakteri baik sehingga meningkatkan
kesehatan inangnya. Beberapa pendekatan yang dapat memberikan manfaat gizi bagi kesehatan
diantaranya adalah meningkatkan pertahanan bakteri hidup dalam produk pangan sehingga
memperpanjang umur simpan, meningkatkan jumlah bakteri mencapai kolon dalam keadaan hidup,
memicu pertumbuhan bakteri dalam kolon, dan aktivasi metabolisme bakteri.
Prebiotik, probiotik, dan sinbiotik mempunyai aplikasi farmasi yang potensial disamping
manfaat gizinya, seperti meningkatkan level pertumbuhan bakteri tertentu dalam saluran pencernaan
manusia yang diimplikasikan sebagai faktor pertahanan tidak saja untuk kerusakan di usus tetapi juga
sistemik. Konsep sinbiotik banyak dikembangkan terutama di bidang pangan yaitu pangan sinbiotik.
Salah satu jenis pangan sinbiotik yang populer adalah yoghurt sinbiotik yang terbuat dari hasil
fermentasi susu oleh bakteri probiotik misalnya golongan Lactobacillus dan Bifidobacterium dengan
ditambahkan sumber prebiotik seperti FOS, GOS, dan inulin.
Beberapa penelitian tentang yoghurt sinbiotik telah banyak dilakukan diantaranya penelitian
oleh Fung et al. (2009) menyebutkan bahwa mengonsumsi pangan sinbiotik dapat mengurangi
penyakit Lactose intolerant, meningkatkan sistem imun, aktivitas antimikroba, dan karsinogenik,
menurunkan tingkat kolesterol, mencegah infeksi lambung oleh Helicobacter pylory, dan menjaga
kesehatan usus. Beragam manfaat yang sama dari mengonsumsi pangan sinbiotik juga telah banyak
dilaporkan seperti meningkatkan penyerapan mineral dan kalsium sehingga dapat mencagah
osteoporosis (Bosscher et al., 2006), menurunkan risiko terkena penyakit diare, menurunkan
kolesterol (Renhe et al., 2008), dan mengurangi risiko obesitas (Delzenne & Cani, 2010).
11
2.5 YOGHURT
Standar Nasional Indonesia (2009) mendefinisikan yoghurt sebagai produk yang diperoleh
dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan mengunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus
dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan/ atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Yoghurt yang berupa
minuman cair ketal dengan rasa asam (dari akumulasi asam laktat) dan flavor yang khas (dari
komponen asetaldehida, sejumlah kecil diasetil, aseton, asetoin) merupakan hasil dari aktivitas starter
BAL melalui proses fermentasi susu. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk yoghurt
sesuai SNI 01.2981-2009, dapat dilihat pada Tabel 3.
Yoghurt yang beredar saat ini dapat kita jumpai dalam berbagai bentuk dan aneka rasa.
Tamime dan Robinson (1989) mengklasifikasikan yoghurt komersial ke dalam tiga kelompok, yaitu
plain yoghurt atau natural yoghurt yaitu yoghurt tanpa penambahan flavor lain sehingga rasa asamnya
sangat tajam, fruit yoghurt yaitu yoghurt dengan penambahan buah, dan flavoured yoghurt yaitu
yoghurt yang diberi flavor sintetik dan zat pewarna. Sedangkan berdasarkan perbedaan metode
pembuatannya, tipe yoghurt dibagi menjadi dua yaitu set yoghurt dan stirred yoghurt. Klasifikasi ini
berdasarkan pada sistem pembuatan dan struktur fisik dari koagulumnya. Set yoghurt adalah produk
dimana pada waktu inkubasi atau fermentasi susu berada di kemasan kecil dan karakteristik
koagulumnya tidak berubah. Sedangkan pada stirred yoghurt, fermentasi susu dilakukan pada wadah
yang besar dan setelah inkubasi produk hasil inkubasi dikemas dalam kemasan kecil sehingga
memungkinkan koagulumnya rusak atau pecah sebelum pendinginan dan pengemasan selesai
(Helferich & Westhoff, 1980).
Tabel 3. SNI 01.2981-2009 Tentang Yoghurt
No Kriteria Uji Satuan Yoghurt
1 Keadaan
1.1 Penampakan - Cairan kental-padat
1.2 Bau - Normal/khas
1.3 Rasa - Asam/khas
1.4 Konsistensi - Homogen
2 Kadar lemak (b/b) % 0.5
3 Total padatan (b/b) % Min. 8.2
4 Protein (Nx6,38)(b/b) % 2.7
5 Kadar abu (b/b) % Maks. 1.0
6 Keasaman (dihitung sebagai asam laktat)(b/b) % 0.5-2.0
7 Cemaran mikroba
7.1 Bakteri coliform APM/g atau koloni/g Maks. 10
7.2 Salmonella - Negatif/25g
8 Jumlah bakteri starter Koloni/g Min. 107
*sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi)
Secara garis besar proses pembuatan yoghurt terdiri atas 4 langkah dasar, yaitu : (1)
pemanasan susu, (2) inokulasi kultur starter, (3) inkubasi, dan (4) pendinginan. Pemanasan bertujuan
untuk menghancurkan dan menginaktivasi organisme yang tidak diinginkan yang dapat berkompetisi
dengan bakteri yoghurt. Selain itu, pemanasan juga mempengaruhi protein dalam susu untuk mengikat
air sehingga diperoleh curd yang lebih kompak dan suhu pemansan yang tinggi dapat membebaskan
oksigen sehingga menciptakan kondisi anaerob selama fermentasi (Helferich & Westhoff, 1980).
12
Pemanasan susu dapat dilakukan dengan suhu pasteurisasi, baik secara LTLT (Low
Temperature Long Time) dengan suhu pemanasan 650C selama 30 menit atau secara HTST (High
Temparature Short Time) dengan suhu pemanasan 75°C selama 15-16 detik (Buckle et al., 1987).
Sebelum proses pemanasan susu, umumnya dilakukan proses homogenisasi. Proses homogenisasi
pada proses pembuatan yoghurt bertujuan untuk memperkecil ukuran globula lemak, memperbaiki
viskositas yoghurt, mencegah terjadinya sineresis (wheying off) (Tamime & Robinson, 1987) dan
membuat lebih homogen. Perlakuan homogenisasi akan membuat campuran dari bahan-bahan yang
digunakan menjadi lebih seragam sehingga nantinya tekstur yoghurt akan lebih lembut. Hal ini juga
sesuai dengan hasil penelitian Triyono (2011) yang menyatakan bahwa proses homogenisasi juga
dapat membuat tekstur menjadi lebih homogen dan kekentalannya meningkat.
Inokulasi kultur starter biasanya dilakukan sesuai suhu optimum kultur starter yang
digunakan dalam pembuatan yoghurt. Kultur bakteri yang biasa dipergunakan dalam produksi yoghurt
adalah Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus (Deeth & Tamime, 1981). Kedua
bakteri tersebut mempunyai suhu optimum 42- 45°C. Sedangkan jika menggunakan kultur starter jenis
lain misalnya Lactobacillus casei, akan mempunyai suhu optimum yang berbeda yaitu sekitar 37°C.
Kultur yang digunakan dalam proses fermentasi susu tidak hanya jenis bakteri yang disebutkan di
atas, namun jenis bakteri asam laktat (BAL) yang dapat mengubah laktosa pada susu menjadi asam
laktat dapat digunakan sebagai kultur starter. Organisme yang tergolong bakteri asam laktat dibagi
menjadi 20 genus, diantaranya Streptococcus (termasuk Lactococcus), pediococcus, Leuconoctoc,
Lactobacillus, dan Bifidobacterium (Tamime & Robinson, 1989).
Susu yang telah diinokulasi kultur starter kemudian diinkubasi sampai diperoleh keasaman
yang diinginkan. Namun, proses fermentasi umumnya berlangsung selama 1 hari pada suhu 370C
(Tamime & Robinson, 1989). Selama proses inkubasi berlangsung, terdapat tiga hal penting yang
terjadi, yaitu :
1. Kultur memanfaatkan laktosa sebagai sumber energi. Mula-mula laktosa dihidrolisis oleh enzim
D-galaktosidase dalam sel bakteri menjadi glukosa dan galaktosa. Glukosa ini dimetabolisme
oleh sel bakteri membentuk asam piruvat, lalu diubah menjadi asam laktat. Secara sederhana,
reaksi perubahan laktosa menjadi asam laktat dapat dilihat pada Gambar 2 (Tamime &
Robinson, 1989):
Laktosa + Air Asam laktat
C12H22O11 H2O 4C3H6O3
Gambar 2. Perubahan Laktosa menjadi Asam Laktat
2. Akumulasi asam laktat menyebabkan keasaman pada susu meningkat yang mengakibatkan
kompleks kalsium-kasein-fosfat dalam susu menjadi tidak stabil. Keasaman susu yang semakin
tinggi sampai akhirnya pH turun mencapai 4.6-4.7 menyebabkan terbentuknya koagulum atau
curd pada susu.
3. Selama proses fermentasi juga terjadi pembentukan kompleks flavor seperti asetaldehid, aseton,
asetonin, dan diasetil.
Menurut Rahman et al. (1992), starter merupakan bagian yang penting dalam pembuatan
yoghurt. Beberapa aspek penting dari kultur yaitu bebas dari kontaminasi, pertumbuhan yang cepat,
menghasilkan flavor yang khas, tekstur, dan bentuk yang bagus, tahan terhadap bakteriogfage, dan
juga tahan terhadap antibiotik. Menurut Nuraida et al. (1995), kultur starter yoghurt yang aktif harus
memenuhi karakteristik sebagai berikut : (a) harus mengandung jumlah sel yang maksimum, (b) harus
bebas dari cemaran mikroba lain, dan (c) harus aktif di bawah kondisi fermentasi.
Aktifitas mikroba dalam starter dapat menurun dengan cepat tergantung dari kecocokan
spesies dan varietas (strain) mikroba terhadap kondisi tersebut. Perubahan dari fermentasi yang
13
normal dapat merupakan suatu indikasi adanya kerusakan. Kerusakan atau penurunan viabilitas dari
starter dapat disebabkan oleh suhu inkubasi, keberadaan mikroba lain, pH, keasaman dan kandungan
oksigen terlarut pada yoghurt (Dave & Shah, 1996). Kerusakan atau penurunan viabilias starter akan
berpengaruh terhadap : (1) kekurangan pembentukan asam, (2) flavor yang tidak mencukupi atau
menyimpang, dan (3) terbentuknya gas dan lendir (Rahman et al., 1992).
Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan viabilitas dari kultur starter
adalah dengan pemeliharaan kultur. Pemeliharaan kultur dapat dilakukan dengan metode pendinginan,
pembekuan, dan pengeringan. Pada penelitian ini digunakan metode pendinginan untuk pemeliharaan
kultur, karena metode ini cenderung mudah untuk dilakukan dan tidak memerlukan peralatan yang
rumit. Tetapi metode ini memiliki kekurangan, yaitu kultur yang diawetkan/dipelihara tidak dapat
disimpan dalam waktu lama, sehingga harus dilakukan penyegaran setiap satu minggu sampai satu
bulan sekali.
Viabilitas yang baik dari kultur starter pada produk yoghurt dapat ditunjang dari penggunaan
bahan baku yoghurt. Bahan baku yang paling penting dalam pembuatan yoghurt adalah susu. Susu
merupakan bahan baku penyuplai karbohidrat utama pada yoghurt untuk menghasilkan energi yang
dibutuhkan oleh bakteri. Karbohidrat jenis gula-gula sederhana menjadi asam laktat, alkohol, dan
berbagai senyawa kimia menyediakan energi yang cepat untuk metabolisme. Susu merupakan media
fermentasi yang serbaguna dan mengandung semua bahan-bahan yang diperlukan oleh tiap organisme
yang secara nutrisi membutuhkannya seperti jenis lactobacillus terutama komponen laktosa dan
kasein. Jenis susu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan yoghurt dapat berupa susu skim
ataupun susu murni.
Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya.
Susu skim mengandung semua komponen gizi dalam susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan
vitamin-vitamin dalam lemak (Buckle et al., 1987). Susu skim dalam bentuk bubuk memiliki
kandungan lemak sebesar 0.6%, protein 36.1% dan laktosa 52.9% (Tamime & Robinson, 1989).
Laktosa yang terkandung tersebut merupakan fermentable sugar yang dapat dimanfaatkan oleh BAL
untuk pertumbuhan sehingga susu skim merupakan salah satu media yang baik untuk pertumbuhan
BAL.
Tamime dan Robinson (1989) menyatakan bahwa penggunaan susu skim bubuk ternyata
dapat meningkatkan kandungan total padatan dari susu yang berpengaruh nyata terhadap kekentalan,
aroma dan total asam minuman fermentasi, dimana semakin tinggi total padatan akan semakin tinggi
pula total asam yang akan dihasilkan. Penambahan susu skim bubuk juga dapat meningkatkan
kandungan protein, selain sebagai sumber laktosa bagi kehidupan kultur bakteri asam laktat.
Kandungan protein yang semakin meningkat ini akan menaikkan total padatan susu yang kemudian
akan mempengaruhi kekentalan susu fermentasi. Penambahan susu skim kira-kira sebanyak 10% agar
terbentuk penggumpalan atau curd yang baik, karena jika ditambahkan sekitar 5-7% susu fermentasi
yang dihasilkan akan encer (Selamat, 1992) dan menurut Setyaningsih (1992), penambahan susu skim
10% paling disukai oleh panelis memiliki nilai organoleptik paling tinggi. Selain itu Yulianis (2004)
menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa kombinasi penambahan susu skim yang terlalu tinggi
yaitu sekitar 20% akan menghasilkan bentuk curd yang padat dan pecah. Hal ini diasumsikan karena
penggumpalan yang terjadi terlalu banyak sehingga aroma asam yang dihasilkan juga berlebihan (over
fermented).
Keuntungan dari penggunaan susu bubuk skim adalah tingkat kemudahan memperoleh bahan
baku, kepraktisan dalam pembuatannya, dan kemudahan dalam melakukan standarisasi susu dalam
pembuatan yoghurt. Selain itu popularitas susu skim semakin meningkat disebabkan karena semakin
14
populernya konsumsi akan diet dan menjaga tubuh tetap langsing dengan mengurangi konsumsi
lemak.
Bahan yang juga digunakan dalam pembuatan yoghurt, selain susu adalah gula atau sukrosa.
Gula dalam bentuk sukrosa akan memberikan tambahan substrat sebagai penyedia energi awal bagi
bakteri untuk proses fermentasi sehingga menghasilkan homogenitas yoghurt yang baik. Selain itu
menurut Buckle et al. (1987) penambahan gula dapat memberi rasa manis, menyempurnakan rasa
asam serta cita rasa lain. Pembuatan yoghurt ini menggunakan penambahan gula sebanyak 5%.
Penambahan gula sekitar 2% yang dilakukan oleh Selamat (1992) tidak menghasilkan homogenitas
penggumpalan yang baik. Hal ini disebabkan karena terlalu sedikit sumber energi awal yang tersedia
sebelum bakteri asam laktat mampu menggunakan laktosa didalam susu skim. Sebaliknya menurut
Mc Gregor dan White (1987), konsentrasi gula yang terlalu pekatpun dapat menghambat pertumbuhan
bakteri asam laktat. Hal ini disebabkan karena meningkatnya tekanan osmotik terhadap sel bakteri
yang berakibat menurunnya aktivitas dari bakteri tersebut.
Yoghurt tergolong produk yang aman, namun dalam pengolahannya harus diperhatikan
sanitasi dan proses pengolahan yang baik agar tidak terkontaminasi oleh cemaran mikroba yang tidak
diinginkan. Standar Nasional Indonesia (2009) menyebutkan bakteri indikator sanitasi dalam produk
yoghurt adalah koliform dan Salmonella. Koliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan
sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan,
susu, dan produk-produk susu. Adanya bakteri koliform di dalam makanan atau minuman
menunjukkan adanya kemungkinan mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik dan/atau
toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bakteri koliform dapat dibedakan atas dua grup yaitu: (1)
koliform fekal, misalnya Escherichia coli dan (2) koliform non fekal, misalnya Enterobacter
aerogenes. E.coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, sedangkan E.
Aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanaman-tanaman yang telah mati.
Salmonella adalah kelompok bakteri batang gram negatif, tidak berspora, yang dapat
dibedakan dari flora normal usus berdasarkan kriteria biokimia dan antigen. Bakteri Salmonella spp.
dapat tumbuh pada suhu antara 5°C-47°C dengan suhu optimum 35-37°C (Adam & Moss, 1995).
Karakteristik pertumbuhan bakteri Salmonella dipengaruhi oleh variasi suhu, pH, dan kadar air.
Bakteri ini dapat tumbuh pada tingkat pH antara 4.5-5.4 atau kisaran pH optimumnya sekitar 7,
namun tidak tahan terhadap panas sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi Jay (2000) dan menurut
Lund (2000) dengan suhu pasteurisasi mampu menurunkan jumlah sel hidup Salmonella sebanyak 105
sel. Bakteri Salmonella yang mengkontaminsi produk yoghurt dapat berasal dari susu skim bubuk atau
proses sanitasi yang tidak baik saat pengolahan yoghurt.
Penelitian tentang yoghurt telah banyak dilakukan karena yoghurt merupakan salah satu jenis
minuman fermentasi yang paling populer diantara jenis susu fermentasi yang lain (Tamime &
Robinson, 2007). Yoghurt yang banyak dikembangakan untuk diteliti dan dikaji manfaatnya adalah
yoghurt sinbiotik baik itu dalam bentuk set yoghurt maupun strirred yoghurt. Penelitian yoghurt
sinbiotik dari segi kesehatan salah satunya dilakukan oleh Utami (2010) yang melihat pengaruh
mengonsumsi yoghurt dapat memberi efek sebagai antidiare dan imunomodulator pada tikus
percobaan. Selain dari segi kesehatan, juga dilakukan penelitian pengembangan pembuatan yoghurt
dengan berbagai sumber probiotik seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium serta sumber prebiotik
ekstrak ubi jalar, sari kacang komak, sari kedelai, sari jagung, dan lain-lain. Salah satu penelitiannya
adalah pembuatan yoghurt sinbiotik dengan kultur campuran probiotik dan sari kedelai sebagai
sumber prebiotik (Supriadi, 2003).
Penelitian yoghurt sinbiotik lainnya yaitu pengembangan yoghurt sinbiotik dengan
penambahan buah untuk meningkatkan kesukaan konsumen terhadap produk-produk susu fermentasi.
15
Penelitian Kuntarso (2007) tentang penambahan buah nenas segar dalam bentuk cacahan dan puree
dengan perbandingan puree buah banding susu skim yaitu 1:1 dapat meningkatkan penerimaan
panelis dengan penilaian ―suka‖ terhadap low fat fruity bio yogurt. Selain itu secara visual, low fat
fruity bio yogurt memiliki tekstur yang cukup kental, creamy, dan berwarna putih sedikit kekuningan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kailasapathy et al. (2007) tentang yoghurt sinbiotik dengan
penambahan buah berry dan campuran buah. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa yoghurt
yang mengandung 10g/100g dan 5g/100g tambahan buah berry dan buah berry campuran tidak
mempengaruhi kelangsungan hidup L. acidophilus, selain itu juga memiliki penilaian organoleptik
yang baik.
Pembuatan yoghurt terus dikembangkan guna pemenuhan kebutuhan terhadap permintaan
akan pangan yang berfungsi untuk kesehatan dan memiliki komponen fisiologis yang tinggi. Hal
tersebut karena tujuan mengonsumsi yoghurt, selain untuk tujuan diet (dietetic purpose), sering
dikonsumsi juga untuk tujuan kesehatan (therapeutic purpose). Dengan mengonsumsi yoghurt secara
teratur dapat menyeimbangkan mikroflora usus, dimana bakteri-bakteri yang merugikan dapat ditekan
jumlahnya dan sebaiknya usus akan didominasi oleh bakteri yang menguntungkan (Silvia, 2002).
Fungsi lainnya mengonsumsi yoghurt antara lain meningkatkan pertumbuhan tubuh, mengatur saluran
pencernaan, memperbaiki gerakan perut, mencegah kanker, menghambat pertumbuhan bakteri
patogen, membantu penderita lactose intolerance dan sebagai anti diare (Astawan, 2002).
16
III. BAHAN DAN METODE
3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan Maret sampai bulan Agustus
2011. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium mikrobiologi pangan dan biokimia pangan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan adalah susu skim bubuk merek Sunlac dan gula pasir merek
Gulaku yang diperoleh dari swalayan pasar Bogor, pisang Ambon dengan tingkat kematangan penuh
(pisang Ambon siap konsumsi) yang dapat dilihat dari sudut-sudut pada buah yang sudah tidak ada
lagi dan mempunyai indeks warna sekitar 6, berwarna kuning di seluruh jari buah serta tidak keras
saat ditekan. Pisang ini diperoleh dari pasar-pasar di wilayah sekitar kampus IPB Darmaga, inulin
komersial dari pasaran, glukosa, dan kultur bakteri Lactobacillus casei yang diperoleh dari
Laboratorium Pusat Antar Universitas IPB. Media-media yang digunakan dalam uji mikrobiologi
adalah MRS Broth, MRSA, BSA, HEA, XLDA, SCB, BGLBB, EMBA, dan larutan pengencer NaCl
0.85% serta bahan-bahan kimia untuk uji proksimat yang diperoleh dari stockroom Laboratorium
Departemen ITP IPB.
Alat-alat yang digunakan adalah water bath, pengaduk, gelas piala, cawan petri, cawan
aluminium, jarum ose, bunsen, erlenmeyer, tabung durham, kapas, mikropipet, tips, sudip, desikator,
inkubator (Yamato), homogenizer (Silverson L4R, Armfield FT 40, CAT REF FT40-15, Serial No
023297-001, Inspected BY PS), neraca analitik (Shimadzu AW 220), vorteks, otoklaf (Vision),
mikroskop, refrigerator (Sharp), pH meter, buret, waring blender (National), gelas plastik, plastik
bening tahan panas, serta peralatan lain untuk uji sifat fisik dan kimia seperti alat soxhlet (Soxtec Foss
Tecator 2055), alat destilasi protein (Behr Labortech) serta uji peringkat dan uji hedonik.
3.3 METODE PENELITIAN
Yoghurt sinbiotik pada penelitian ini dibuat dalam tiga tahap penelitian. Tahap I adalah
optimasi puree pisang dalam pembuatan yoghurt sinbiotik untuk mendapatkan perbandingan susu
skim dan puree pisang yang tepat secara uji organoleptik. Tahap II adalah optimasi inulin komersial
dalam pembuatan yoghurt sinbiotik untuk mendapatkan jumlah penambahan inulin komersial yang
tepat dan disukai sebagai sumber prebiotik secara uji organoleptik. Tahap III adalah analisis evaluasi
mutu yoghurt sinbiotik.
3.3.1 Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Optimasi puree pisang dalam pembuatan yoghurt sinbiotik dilakukan dalam tiga tahap
yaitu (1) persiapan kultur, (2) pembuatan puree pisang Ambon, dan (3) formulasi yoghurt
sinbiotik dengan penambahan puree pisang. Untuk mendapatkan kultur starter yang baik, tahap
persiapan kultur dilakukan dengan beberapa tahap pengerjaan yaitu (1) pengamatan morfologi
sel dengan uji pewarnaan gram, (2) pemeliharaan kultur dengan metode pendinginan, dan (3)
pembuatan kultur induk dan kultur starter.
17
3.3.1.1 Persiapan Kultur
1) Uji Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram dilakukan untuk mengetahui morfologi dan keseragaman kultur.
Pewarnaan gram dilakukan dengan memberikan warna dengan bahan tertentu pada preparat
basah yang kemudian diamati di bawah mikroskop. Pengamatan dilakukan dengan cara
mengamati keseragaman terhadap ukuran, bentuk, dan cara pengelompokkan. Reaksi gram
positif ditandai dengan warna sel ungu atau biru dan gram negatif berwarna merah muda.
Berdasarkan keterangan sebelumnya, telah diketahui bahwa BAL adalah bakteri gram positif
berbentuk kokus. Tahapan persiapan preparat basah yang akan diamati di bawah mikroskop
dapat dilihat pada Gambar 3.
Penyebaran 1 loop kultur bakteri di atas gelas objek
↓
Proses fiksasi gelas objek dengan nyala api yang kecil
↓
Penetesan pewarna ungu kristal dan biarkan selama 1 menit
↓
Pembilasan dengan air mengalir dan sisa air diserap dengan kertas serap
↓
Penetesan larutan lugol dan biarkan selama 1 menit
↓
Pembilasan dengan air
↓
Pembilasan dengan menggunakan alkohol 95%
↓
Pembilasan dengan air
↓
Penetesan pewarna safranin selama 10-20 detik
↓
Pembilasan dengan air dan sisa air diserap dengan kertas serap
↓
Pengamatan di bawah mikroskop
Gambar 3. Pewarnaan Gram
2) Pemeliharaan Kultur
Pemeliharaan kultur dilakukan dengan metode pendinginan. Media yang digunakan
dalam pemeliharaan kultur adalah MRSA semi solid dan MRS Broth. Pemeliharaan kultur
dapat dilihat pada Gambar 4.
18
Pembuatan tusukan kultur pada media MRS chalk semi solid
↓
Inkubasi pada suhu 370C selama 1 hari
↓
Penyimpanan pada lemari es
Penumbuhan kembali dilakukan dengan cara pengambilan1 loop kultur murni tersebut
↓
Inokulasikan pada media MRS Broth
↓
Inkubasi pada suhu 370C selama 1 hari
Gambar 4. Pemeliharaan Kultur
3) Pembuatan Kultur Induk dan Kultur Starter
Kultur starter (kultur kerja) dibuat dari kultur murni. Sebelum dibuat menjadi kultur
starter maka perlu dibuat kultur induk terlebih dahulu, kemudian baru dibuat kultur starter.
Pada kultur induk media yang digunakan adalah susu skim, sedangkan pada pembuatan kultur
starter media yang digunakan adalah susu skim dan puree pisang. Pembuatan kultur starter
dapat dilihat pada Gambar 5.
Penambahan 1% kultur murni ke dalam 200 ml larutan berisi susu skim 10% steril
↓
Inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam
↓
Kultur induk
Penambahan 5% kultur induk ke dalam 200 ml larutan berisi susu skim 10% dan puree pisang
10%
↓
Inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam
↓
Kultur starter (kultur kerja)
Gambar 5. Pembuatan Kultur Sarter
3.3.1.2 Pembuatan Puree Pisang Ambon
Pisang yang dipilih sebagai bahan baku adalah pisang ambon. Pisang jenis ini
mengandung gula yang tinggi yang diperlukan sebagai substrat oleh bakteri, memiliki daging
buah yang lembut dan berkadar air yang tinggi sehingga mudah untuk diolah menjadi puree
pisang, memberikan aroma dan karakteristik yang baik dibanding jenis pisang lain serta
ketersediaannya yang melimpah dan harga yang terjangkau. Puree pisang Ambon sebagai
bahan baku tambahan dalam proses pembuatan yoghurt sinbiotik dibuat dari pisang Ambon
yang dihancurkan menggunakan waring blender (Ferawati, 2009). Berikut diagram alir
pembuatan pureee pisang Ambon pada Gambar 6.
19
Pisang Ambon matang penuh
↓
Pencucian, pengupasan, dan pemanasan selama 7 menit
↓
Pemotongan dengan ukuran kira-kira 0.5-1 cm
↓
Penghancuran dengan waring blender
↓
Puree Pisang
Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Puree Pisang Ambon
3.3.1.3 Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang
Penelitian tahap I dilakukan dengan membuat yoghurt sinbiotik menggunakan susu
skim dan puree pisang Ambon sebagai bahan baku utama dengan perbandingan antara susu
skim : puree pisang adalah (A) 1:0.5, (B) 1:1, dan (C) 1:2. Penelitian tahap ini bertujuan untuk
mencari perbandingan antara susu skim dan puree pisang yang terbaik berdasarkan uji
organoleptik ranking hedonik. Pembuatan yoghurt sinbiotik secara rinci dapat dilihat pada
Gambar 7.
Penyiapan larutan yang berisi susu skim 10%
↓
Penambahan glukosa 3% yang dilarutkan menggunakan air matang
↓
Penambahan puree pisang Ambon dengan perbandingan susu skim : puree pisang ambon 1:0.5
(A) atau 1:1 (B) atau 1:2 (C)
↓
Homogenisasi selama 3 menit
↓
Pemanasan dalam waterbath 65 °C selama 30 menit
↓
Pendinginan hingga suhu 37°C
↓
Inokulasi kultur strater tunggal L. casei sebanyak 5%
↓
Pengemasan dalam wadah kecil (cup)
↓
Inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam
↓
Penyimpanan pada suhu dingin
↓
Pengujian organoleptik ranking hedonik
Gambar 7. Formulasi Yoghurt Sinbiotik Menggunakan Puree Pisang Ambon
20
3.3.2 Optimasi Inulin Dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Penelitian tahap II dilakukan dengan menggunakan formula terpilih tahap I yang
diberi perlakuan penambahan inulin dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Terdapat empat
formulasi penambahan inulin yaitu sampel A (0% inulin), B (1% inulin), C (2% inulin), dan D
(3% inulin). Proses pembuatan yoghurt dengan penambahan inulin hampir sama dengan
pembuatan yoghurt pada tahap sebelumnya yang ditunjukkan pada Gambar 7, hanya saja
ditambahkan inulin bersamaan dengan penambahan susu skim, puree pisang dan gula sebelum
dilakukan proses pasteurisasi. Berikut disajikan pembuatan yoghurt sinbiotik dengan
penambahan inulin pada Gambar 8.
Penyiapan larutan yang berisi susu skim 10%
↓
Penambahan gula 5% yang dilarutkan menggunakan air matang
↓
Penambahan puree pisang Ambon : susu skim sebanyak 1:1
↓
Penambahan inulin dengan konsentrasi (A) 0%, atau (B) 1%, atau (C) 2%, atau (D) 3%
↓
Homogenisasi selama 3 menit
↓
Pemanasan di dalam water bath 65 °C selama 30 menit
↓
Pendinginan hingga suhu 37°C
↓
Inokulasikan kultur strater tunggal L. casei 5%
↓
Pengemasan dalam wadah kecil (cup)
↓
Inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam
↓
Penyimpanan pada suhu dingin
↓
Pengujian organoleptik rating hedonik
Gambar 8. Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Inulin
3.3.3 Analisis Mutu Yoghurt Sinbiotik
Penelitian tahap III adalah analisis evaluasi mutu yoghurt formula terpilih tahap II.
Analisis mutu yoghurt yang dilakukan meliputi analisis mutu kimia dan analisis mutu
mikrobiologi. Analisis mutu kimia meliputi uji proksimat, pH, TAT, total padatan terlarut dan
kadar inulin. Sedangkan Analisis mutu mikrobiologi meliputi jumlah total BAL produk serta
cemaran mikrobanya yaitu koliform dan Salmonella. Berikut disajikan pengujian yoghurt
sinbiotik pada Gambar 9.
21
Pembuatan produk yoghurt yang merupakan sampel terpilih pada penelitian tahap II
↓
Analisis mutu kimia yang meliputi pH, TAT, total padata, kadar inulin, dan analisis proksimat
(kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat)
↓
Analisis mutu mikrobiologi meliputi perhitungan total BAL, koliform, dan Salmonella
↓
Penghitungan jumlah total bakteri asam laktat dilakukan pada yoghurt yang disimpan pada
suhu dingin selama 14 hari dengan pengamatan setiap 3-4 hari sekali
↓
Penghitungan jumlah cemaran mikrobiologi yaitu koliform dan Salmonella pada hari ke-0 dan
ke-14
Gambar 9. Analisis Mutu Yoghurt Sinbiotik
3.4 METODE PENGUKURAN
3.4.1 Analisis Mutu Kimia
3.4.1.1 Derajat keasaman (pH)
Pengukuran derajat keasaman dilakukan dengan menggunakan alat pH meter.
Sebelum digunakan, alat dikalibrasi terlebih dahulu, kemudian distandarisasi dengan
menggunakan dua larutan buffer, yaitu pH 4 dan pH 7, pH sampel di ukur dengan
mencelupkan elektroda ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan setelah dicapai nilai
yang tetap.
3.4.1.2 Total asam tertitrasi (AOAC, 1995)
Pengukuran asam tertitrasi dilakukan dengan prinsip titrasi asam basa. Mula-mula
yoghurt diencerkan yaitu dengan mengambil 10 ml yoghurt dan ditepatkan dalam labu takar
100ml. Kemudian sebanyak 10 ml contoh (yang telah diencerkan) dimasukkan ke dalam
erlenmeyer, kemudian ditambah dengan tiga tetes indikator fenolftalein 1%. Contoh dikocok
dan dititrrasi dengan NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi. Titrasi dihentikan jika warna
berubah menjadi merah muda.
3.4.1.3 Kadar air (AOAC, 1995)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Langkah awal
pengukuran kadar air adalah dengan mengeringkan cawan alumunium pada suhu 1000C selama
15 menit, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 10 menit. Cawan alumunium
kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik (a gram). Sebanyak 2-10 gram (x
gram) sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot kosongnya.
Kemudian dikeringkan dalam oven 1050C selama 5 jam, lalu didinginkan di dalam desikator
dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan (y gram).
22
3.4.1.4 Kadar abu (AOAC, 1995)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama 15 menit, kemudian didinginkan
dalam desikator. Cawan porselen lalu ditimbang dengan timbangan analitik (a gram). Sebanyak
2 gram sampel (w gram) ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot
kosongnya. Sampel diarangkan di atas hot plate selama 30-60 menit sampai tidak berasap.
Kemudian dimasukkan kedalam tanur bersuhu 6000C selama 4-6 jam, lalu didinginkan di
dalam desikator dan ditimbang (x gram).
3.4.1.5 Kadar protein (Metode Kjeldahl) (Latimer, Horwitz 2007)
Sampel sebanyak ±100-250 mg dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, ditambah dengan
1±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 2±0,1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 30
menit hingga cairan menjadi jernih. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6
kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan
60% NaOH-5% Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor
yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H3BO3. Destilasi dilakukan
sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml kemudian destilat ditritasi dengan HCl 0.02
N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi abu-abu (titik akhir). Indikator yang
digunakan dalam titrasi ini adalah campuran 2 bagian 0.2% metal merah dalam etanol dan satu
bagian 0.2% metilen biru dalam etanol, sebelum digunakan HCl terlebih dahulu distandarisasi
menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandarisasi
menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein
contoh dapat dihitung dengan persamaan:
3.4.1.6 Kadar lemak (metode hidrolisis) (Latimer & Horwitz, 2007)
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukur alat ekstraksi soxhlet yang digunakan.
Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110°C selama 15 menit, kemudian didinginkan
dalam desikator lalu ditimbang (A). Sejumlah sampel cair dengan bobot atau volume tertentu
(B) diteteskan pada kapas bebas lemak yang dimasukkan dalam kertas saring. Kertas saring
beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor.
Pelarut hexsana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya dan dilakukan refluks selama 5
jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak
didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C. Setelah dikeringkan
sampai mencapai bobot yang tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak
ditimbang (C). Kadar lemak contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :
3.4.1.7 Kadar Karbohidrat (metode by difference)
Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak, dan protein dengan
metode by difference.
23
3.4.1.8 Kadar Inulin (AOAC, 1995)
Kadar inulin diukur dengan menggunakan metode HPLC. Metode ini meliputi
pembuatan larutan standar, ekstraksi sampel, dan hidrolisis sampel. Sampel yang telah
diekstraksi dan dihidrolisis dihitung konsentrasi inulin dengan membandingkannya dengan
kurva larutan standar.
Larutan standar dibuat dengan menimbang fruktosa sebagai standar sebanyak 2 mg.
Fruktosa dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan menggunakan akuades
lalu dikocok hingga homogen. Dari larutan tersebut dibuat larutan induk 1000 ppm, kemudian
buat deret konsentrasi 5 ppm, 25 ppm, 50 ppm dengan masing-masing ditambah internal
standar konsentrasi 50 ppm. Saring dengan filter dan masukkan ke dalam vial untuk
disuntikkan pada HPLC.
Proses ekstraksi sampel dilakukan dengan cara menghomogenkan sampel yang
kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala. Tambahkan air panas sebanyak 40 ml dan
tambahkan KOH 0.05 N atau HCL 0.05 N hingga pH sekitar 6.5-8. Larutan tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dipanaskan 85°C, dan diaduk. Larutan tersebut
didinginkan dan kemudian dipindahkan ke dalam gelas piala untuk diaduk kuat. Setelah itu
encerkan hingga mengandung 1% fruktan.
Langkah berikutnya adalah hidrolisis sampel hasil ekstraksi dengan menggunakan
enzim inulinase. Mula-mula diambil 15 g sampel (A), kemudian ditambah 15 g buffer asetat
hingga memiliki pH 4.5. Ditambahkan amiloglukosidase sebanyak 35 mg dan diinkubasi
selama 30 menit pada suhu 60°C, lalu ditimbang (B). Sebanyak 10 g sampel ditimbang dan
ditambah enzim inulinase. Sampel tersebut diinkubasi kembali pada suhu 60°C selama 30
menit. Biarkan dingin, lalu ditimbang (C). Hasil ekstraksi A, B, dan C masing-masing
diencerkan, ditambahkan internal standar (glukoheptosa) 20 ppm, disaring, lalu diinjeksikan
pada HPLC.
3.4.1.8 Total padatan (AOAC, 1995)
Penentuan total padatan didasarkan pada penetapan kadar air. Sebanyak 5 gram bahan
ditimbang dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya, kemudian
dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C sampai beratnya konstan.
3.4.2 Analisis Mutu Mikrobiologi
3.4.2.1 Viabilitas kultur starter atau total bal/bakteri asam laktat (BSN, 2009)
Sebanyak 1 ml sampel diencerkan dalam 9 ml larutan garam fisiologis (NaCl 0.85%)
hingga pengenceran 10-8
. Kemudian dipipet sebanyak 1 ml atau 0,1 ml sampel yang telah
diencerkan ke dalam cawan petri steril (pemupukan dari tingkat pengenceran 10-7
dilakukan
duplo), ditambahkan dengan 15-20 ml MRSA cair (media yang belum memadat) steril.
Kemudian cawan petri digoyangkan secara mendatar agar sampel menyebar rata. Setelah agar
membeku, diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 370C selama 2-3 hari. Jumlah koloni
yang tumbuh dihitung dengan metode SPC dan dinyatakan dalam satuan cfu/ml.
3.4.2.2 Pengukuran bakteri koliform (BSN, 2009)
Sampel sebanyak 1 ml ditambahkan 9 ml larutan pengencer. Pengenceran dibuat
dari 10-0
-10-3
dengan menggunakan medium BGLBB dan tabung durham di dalam masing-
24
masing media BGLBB. Setelah seluruh sampel diencerkan pada empat tingkat pengenceran
maka tabung diinkubasi pada suhu 37°C selama 2 hari. Kemudian dihitung jumlah tabung
positif yang ditandai dengan adanya pembentukan gas pada tabung durham. Kemudian hasil
pengamatan dicocokkan dengan tabel MPN kombinasi 3 seri, dihitung dan dinyatakan dalam
cfu/ml.
3.4.2.3 Pengukuran bakteri Salmonella (BSN, 2009)
Pengujian bakteri Salmonella dimulai dari tahap enrichment yaitu sampel 25 ml
dimasukkan ke dalam media SCB lalu diinkubasi selama 37°C selama 1 hari. Setelah itu ambil
satu ose kultur dari tahap enrichment dan goreskan masing-masing pada agar cawan HEA,
BSA, dan XLDA dan dinkubasi pada suhu 37°C selama 1-2 hari. Amati adanya koloni
Salmonella yaitu berupa koloni keruh atau bening dan tidak berwarna dengan atau tanpa bintik
hitam di tengah. Apabila positif Salmonella maka dapat dilakukan uji lanjut dengan membuat
goresan dan tusukan pada agar miring TSI dan tusukan pada agar tegak SIM.
3.4.3 Uji Organoleptik (Meilgaard et al., 2009)
Uji organoleptik akan dilakukan baik pada penelitian optimasi puree pisang dalam
pembuatan yoghurt sinbiotik maupun pada penelitian optimasi inulin dalam pembuatan yoghurt
sinbiotik. Pada penelitian optimasi puree pisang, ketiga jenis formulasi yang dihasilkan akan
diranking oleh panelis berdasarkan urutan kesukaannya (ranking 1 untuk sampel yang paling disukai
dan ranking 3 untuk sampel yang paling tidak disukai) dengan menggunakan panelis sebanyak 70
orang. Parameter yang dinilai antara lain atribut aroma, tekstur, rasa, dan overall. Hasil uji ranking
diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2007, yaitu dengan mencari rata-rata hasil uji ranking.
Pada penelitian tahap optimasi inulin dilakukan uji rating hedonik. Keempat sampel yang
dihasilkan pada tahap ini, akan dinilai oleh panelis berdasarkan tingkat kesukaannya dengan
menggunakan uji rating hedonik. Skala hedonik yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tujuh
skala numerik, yaitu sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak tidak suka (3), netral (4), agak suka
(5), suka (6), dan sangat suka (7). Panelis yang digunakan berjumlah 70 orang. Parameter yang
dinilai antara lain atribut aroma, tekstur, rasa, dan overall. Hasil uji rating hedonik diolah dengan
menggunakan one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan. Penggunaan panelis sebanyak 70
orang panelis pada kedua uji hedonik menggunakan persyaratan dari American Standard Testing
Material (ASTM).
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 OPTIMASI PUREE PISANG DALAM PEMBUATAN YOGHURT
SINBIOTIK
4.1.1 Persiapan Kultur
Menurut Rahman et al. (1992), kultur starter merupakan bagian yang penting dalam
pembuatan yoghurt. Viabilitas kultur starter yang tinggi sangat diharapkan untuk proses
fermentasi susu. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kultur starter yang baik dilakukan beberapa
tahap pengerjaan persiapan kultur yaitu: (1) pengamatan morfologi sel dengan uji pewarnaan
gram, (2) pemeliharaan kultur dengan metode pendinginan, dan (3) pembuatan kultur induk dan
kultur starter.
Kultur yang didapatkan adalah kultur L. casei cair dalam MRSB sebanyak 1 buah.
Kultur tersebut diamati keseragaman dan bentuk morfologinya dengan uji pewarnaan gram.
Hasil pengamatan kultur di bawah mikroskop dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Kultur Lactobacillus casei Perbesaran 1000x
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kultur L. casei secara seragam, keseluruhannya
berbentuk batang dan sel-selnya berwarna ungu serta tidak terdapat kontaminasi dari bakteri
gram negatif. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa kultur murni yang diperoleh dapat digunakan
dalam pembuatan yoghurt sinbiotik.
Pemeliharaan kultur dilakukan dengan metode pendinginan dengan cara membuat
tusukan pada MRS chalk semi solid dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam, kemudian
disimpan pada lemari es. Kultur disimpan pada media MRS chalk semi solid agar dapat berumur
hingga 6 minggu. Untuk menumbuhkannya kembali, diambil satu loop kultur kemudian
diinokulasi pada MRS broth dan inkubasi 37°C selama satu atau dua hari sampai terbentuknya
kekeruhan pada MRS broth. Kultur murni pada MRS broth inilah yang dipergunakan dalam
tahap selanjutnya, yaitu pembuatan kultur induk dan kultur starter. Berikut dapat dilihat gambar
dari kultur pada MRS chalk semi solid dan MRS broth pada Gambar 11.
26
(a) (b)
Gambar 11. Pengawetan Kultur dalam (a) MRS chalk semi solid dan (b) MRS broth
Pembuatan produk yoghurt dengan kualitas yang baik sangat tergantung pada kultur
yang digunakan. Kultur dalam pembuatan yoghurt menggunakan kultur biakan murni L. casei
yang dibuat menjadi kultur starter yang siap ditambahkan kedalam susu dan bahan lainnya.
Tujuan dibuatnya kultur starter adalah untuk menjaga viabilitas dari sel bakteri agar tetap tinggi
dan memberikan waktu adaptasi terhadap lingkungan yang terdapat susu, gula, dan bahan baku
lain seperti puree pisang sehingga jumlah bakteri asam laktat dapat mencapai 106-10
8 cfu /ml.
Sebelum membuat kultur starter, terlebih dahulu dibuat kultur induk. Kultur induk dibuat dengan
cara menambah sebanyak 1% kultur murni (dari MRS broth) ke dalam susu skim yang telah
dipasteurisasi dan diinkubasi pada suhu 37°C selama satu 1 hari.
Pembuatan kultur starter sama dengan cara pembutan kultur induk, namun
menggunakan medium susu skim yang ditambah dengan glukosa 3% dan puree pisang sebanyak
1:1 dengan susu skim. Hal ini dimaksudkan untuk masa penyesuaian kultur agar tetap viabel
terhadap bahan baku tambahan lain yaitu puree pisang. Selain itu penambahan glukosa sebanyak
3% bertujuan untuk menyediakan sumber energi awal yang mudah digunakan oleh bakteri
sehingga memudahkan kultur melakukan penyesuaian terhadap media. Campuran susu skim,
glukosa dan puree pisang tersebut kemudian dipasteurisasi dan diinkubasi pada suhu 37°C
selama 1 hari. Kultur induk dan kultur kerja yang telah dibuat dilakukan perhitungan jumlah total
BAL. Jumlah total BAL pada kutur induk dan kultur starter berturut-turut adalah 7.4 x 108
dan
4.85 x 109 cfu/ml. Jumlah kultur yang lebih dari 10
6 cfu/ml ini sudah mampu menggumpalkan
protein susu dengan baik dan mampu menghasilkan aroma asam khas yoghurt. Gambar dari
kultur induk dan kultur starter dapat dilihat dari Gambar 12.
(a) (b)
Gambar 12. (a) Kultur Induk dan (b) Kultur Kerja
27
4.1.2 Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang
Formulasi yoghurt sinbiotik dibuat dengan menambahkan puree pisang. Puree pisang
yang digunakan adalah puree pisang Ambon. Alasan dipilihnya pisang Ambon dibanding pisang
meja yang lainnya karena pisang Ambon memiliki kandungan gizi yang tinggi, terutama
karbohidrat sebagai penyumbang gula. Pisang Mas, pisang Raja, dan pisang Susu juga termasuk
pisang yang mempunyai kandungan gula yang tinggi. Akan tetapi jenis pisang ini teksturnya
lebih keras dan kandungan airnya lebih rendah dibanding pisang Ambon sehingga lebih susah
untuk dilakukan penghancuran menjadi puree dengan menggunakan blender. Pisang Ambon juga
salah satu jenis pisang yang memiliki flavor yang kuat, mempunyai rasa yang manis, enak, dan
beraroma kuat. Selain itu pisang Ambon mudah didapatkan di daerah Jawa barat dan kebanyakan
berasal dari daerah Jawa Barat sehingga dari segi ketersediaan sangat mudah untuk didapat dan
harganya terjangkau.
Terdapat tiga formulasi yang dibuat pada yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree
pisang yaitu dengan perbandingan susu skim : puree pisang A (1:0.5), B (1:1), dan C (1:2).
Gambar produk yoghurt yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Yoghurt dengan Penambahan Puree Pisang
Ketiga jenis formulasi tersebut diranking oleh panelis berdasarkan urutan kesukaannya
(ranking 1 untuk sampel yang paling disukai dan ranking 3 untuk sampel yang paling tidak
disukai). Berdasarkan hasil uji rangking hedonik diperoleh hasil seperti yang disajikan pada
Gambar 14-17.
Aroma
Aroma merupakan salah satu parameter mutu yang penting pada yoghurt. Yoghurt yang
dibuat dalam penelitian ini merupakan yoghurt yang ditambahkan bahan baku puree pisang
sehingga aroma yang terbentuk pada yoghurt selain merupakan hasil pembentukan senyawa
volatil oleh bakteri asam laktat, juga merupakan kontribusi dari senyawa volatil yang terdapat
pada puree pisang. Menurut Tamime dan Robinson (1989), terdapat 4 kategori senyawa
pendukung flavor yoghurt, yaitu: (1) asam tidak menguap, yaitu asam piruvat, asam laktat, dan
asam oksalat; (2) asam yang mudah menguap, yaitu asam format, asam asetat, dan asam butirat;
(3) senyawa karbonil, yaitu asetaldehid, aseton, asetoin, dan diasetil; dan (4) senyawa dari hasil
degradasi laktosa, protein, dan lemak hasil pemanasan. Asam yang mudah menguap merupakan
senyawa yang mempengaruhi aroma dari yoghurt terutama kelompok karbonil yang menurut
penelitian Kaminarides et al. (2007) memberi dampak yang signifikan terhadap aroma yoghurt
karena konsentrasinya relatif lebih tinggi. Kelompok senyawa karbonil yang paling berperan
memberi aroma khas pada yoghurt adalah asetaldehid (Hamdan et al., 1971). Sedangkan
komponen volatil yang berasal dari pisang yang juga memberi peran dalam membentuk flavor
akhir pada yoghurt antara lain amil asetat, amil butirat, dan asetaldehid. Amil asetat adalah
28
komponen utama dari bau khas buah pisang. Komponen tersebut terutama terdapat banyak pada
pisang matang penuh (Loesecke, 1950).
Atribut aroma yang dihasilkan pada semua formula sudah menghasilkan aroma khas
yoghurt dimana telah sesuai dengan ketentuan SNI 01.2981-2009. Hasil uji organoleptik
rangking hedonik pada Gambar 14 menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap
atribut aroma mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturut-turut
adalah formula B, formula C, dan formula A. Formula B dengan penambahan susu skim:puree
pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.96 yang berarti paling
disukai oleh konsumen dibanding dua sampel yang lainnya. Skor penilaian tersebut tidak
berbeda jauh jika dibandingkan dengan skor penilaian pada formula C yaitu sebesar 1.99. Akan
tetapi berbeda halnya dengan formula A yang mempunyai skor penilaian yang sedikit jauh
berbeda yaitu sebesar 2.06. Hal ini menyimpulkan bahwa konsumen menyukai penambahan
puree pisang dalam pembuatan yoghurt. Menurut hasil survei penelitian Ningsih (2002) tentang
pengembangan agribisnis pisang Ambon, menunjukkan bahwa pisang Ambon tergolong jenis
pisang yang paling digemari oleh penduduk Indonesia sehingga penambahannya sebagai bahan
baku yoghurt akan berdampak baik terhadap penilaian panelis.
Gambar 14. Histogram Uji Ranking Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Puree Pisang
dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Tekstur
Atribut tekstur yang dihasilkan pada semua formula produk yoghurt berada pada kisaran
kental-semi padat. Tekstur tersebut sesuai dengan persyaratan SNI 01.2981-2009. Hasil uji
organoleptik rangking hedonik pada Gambar 15 menunjukkan bahwa, rata-rata penilaian panelis
terhadap atribut tekstur mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturut-
turut adalah formula A, formula B, dan formula C. Formula A dengan penambahan susu
skim:puree pisang sebesar 1:0.5 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.83 yang berarti
paling disukai oleh konsumen dibanding dua formula yang lainnya.
1.90
1.95
2.00
2.05
2.10 2.06
1.96
1.99
Ra
ta-r
ata
pen
ila
ian
uji
ran
kin
g h
edo
nik
Aroma
A (Susu skim:puree = 1:0.5)
B (Susu skim:puree = 1:1)
C (Susu skim:puree = 1:2)
1 = paling disukai
2 = biasa
3 = tidak disukai
29
Gambar 15. Histogram Uji Ranking Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Puree Pisang
dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Tekstur pada yoghurt yang dihasilkan jika dilakukan proses pengadukan dan
pencicipan, dapat dibedakan satu sama lain kepadatan dan kelembutannya. Pada formula A
tekstur yang terbentuk lebih padat dan lembut dibandingkan pada formula B dan C. Sedangkan
pada formula C teksturnya rapuh, tidak lembut (terdapat granula-granula), dan tidak homogen
jika dibanding dengan formula A dan B. Hal tersebut menyimpulkan bahwa semakin banyak
puree pisang yang ditambahkan maka menghasilkan tekstur yoghurt yang semakin kasar.
Gambar 15 memperlihatkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur yoghurt
berbanding terbalik dengan semakin banyaknya puree pisang yang ditambahkan pada yoghurt.
Panelis lebih menyukai tekstur yoghurt yang padat dan lembut dibanding dengan tekstur yang
kasar. Hal tersebut terlihat dari skor penilaian formula B dan C yang lebih tinggi (semakin tidak
disukai) yaitu 1.99 dan 2.19 dibandingkan dengan formula A yaitu 1.83.
Penambahan puree pisang yang lebih sedikit menghasilkan tekstur yang lebih bagus
karena penambahan puree pisang dapat menyebabkan berkurangnya homogenitas adonan. Puree
pisang yang ditambahkan memiliki ukuran granula yang lebih besar dibandingkan dengan susu
skim sehingga menimbulkan kesan kasar saat di lidah. Selain itu komponen protein yang
terdapat pada susu skim mengalami penggumpalan yang disebut curd yang teksturnya padat dan
lembut, sedangkan puree pisang tidak mengalami penggumpalan. Oleh karena itulah semakin
sedikit puree pisang yang ditambahkan maka tekstur yoghurt menjadi semakin padat dan lembut
seperti pada formula A dimana sampel ini paling disukai oleh panelis. Sedangkan yoghurt yang
ditambah puree pisang paling banyak menghasilkan tekstur yang tidak padat (rapuh) dan kasar
karena kandungan puree pisangnya yang dominan seperti pada formula C dimana sampel ini
paling tidak disukai oleh panelis.
Rasa
Atribut rasa yang terbentuk pada yoghurt dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
kemampuan bakteri yang digunakan sebagai kultur untuk melakukan pemecahan laktosa. Bakteri
L. casei mampu memecah laktosa menjadi asam laktat dan sejumlah kecil asam sitrat, malat,
asetat, suksinat, asetaldehid, diasetil, dan asetoin (Varnam & Sutherland, 1994). Selain
pemecahan laktosa, pemecahan protein oleh bakteri juga menghasilkan cita rasa atau flavor yang
enak pada yoghurt (Tamime & Robinson, 1989). Selain itu rasa juga dipengaruhi oleh bahan
baku yang digunakan dalam pembuatan yoghurt. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
1.60
1.70
1.80
1.90
2.00
2.10
2.20
A B C
1.83
1.99
2.19
Ra
ta-r
ata
pen
ila
ian
uji
ran
kin
g h
edo
nik
Tekstur
A (Susu skim:puree = 1:0.5)
B (Susu skim:puree = 1:1)
C (Susu skim:puree = 1:2)
1 = paling disukai
2 = biasa
3 = tidak disukai
30
oleh Kuntarso (2007), penambahan buah-buahan dapat membuat penerimaan konsumen terhadap
produk yoghurt semakin meningkat atau mempunyai tingkat kesukaan yang yang lebih tinggi
jika dibanding dengan yoghurt tanpa penambahan buah (yoghurt plain).
Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 16 menunjukkan bahwa rata-rata
penilaian panelis terhadap atribut rasa mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak
disukai berturut-turut adalah formula B, formula C, dan formula A. Formula B dengan
penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar
1.87 yang berarti paling disukai oleh konsumen dibanding dua formula yang lainnya.
Penambahan puree pisang yang tepat dapat menghasilkan rasa yang disukai karena penambahan
puree pisang yang berlebihan dapat menyebabkan timbulnya rasa sepat. Menurut Loesecke
(1950) rasa sepat pada pisang disebabkan karena kandungan tanin yang dapat menggumpalkan
protein sehingga terjadi penyamakan pada bagian mukosa rongga mulut.
Gambar 16. Histogram Uji Ranking Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Keseluruhan
Atribut terakhir yang dilihat adalah atribut secara keseluruhan. Uji sensori keseluruhan
atribut yoghurt perlu dilakukan untuk melihat penilaian panelis terhadap produk yoghurt sebagai
suatu kesatuan. Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 17 menunjukkan bahwa
rata-rata penilaian panelis terhadap atribut secara keseluruhan mulai dari yang paling disukai
hingga yang paling tidak disukai berturut-turut adalah formula B, formula C, dan formula A.
Formula B dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian
terendah yaitu sebesar 1.84 yang berarti paling disukai oleh panelis dibanding dua formula yang
lainnya. Secara keseluruhan, yoghurt dengan penambahan puree pisang yang paling sedikit
kurang disukai panelis dibanding formula yang ditambahkan puree pisang dengan konsentrasi
yang lebih banyak. Hal ini menyimpulkan bahwa panelis menyukai penambahan puree pisang
pada yoghurt dengan konsentrasi yang tepat.
1.70
1.80
1.90
2.00
2.10
2.20
A B C
2.13
1.87
2.00
Ra
ta-r
ata
pen
ila
ian
uji
ran
kin
g h
edo
nik
Rasa
1 = paling disukai
2 = biasa
3 = tidak disukai
A (Susu skim:puree = 1:0.5)
B (Susu skim:puree = 1:1)
C (Susu skim:puree = 1:2)
31
Gambar 17. Histogram Uji Ranking Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Puree Pisang
dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Hasil secara keseluruhan menyebutkan bahwa formula B memiliki ranking terbaik (skor
terendah) atau paling disukai untuk atribut aroma, rasa, dan keseluruhan dengan rata-rata
penilaian berturut-turut adalah 1.96, 1.87, dan 1.84. Sedangkan untuk atribut tekstur, formula
yang memiliki ranking terbaik adalah formula A. Akan tetapi formula A dipilih panelis memiliki
ranking terburuk (skor terbesar) untuk atribut aroma, rasa, dan keseluruhan. Formula C sebagai
peringkat kedua formula yang disukai panelis untuk atribut keseluruhan, jika dibandingkan
dengan formula A, hanya memiliki kelemahan pada atribut tekstur. Sedangkan untuk atribut rasa,
aroma, dan keseluruhan formula C dinilai lebih disukai oleh panelis dibanding formula A.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilaian panelis terhadap atribut keseluruhan lebih
mempertimbangkan kesukaan terhadap atribut rasa dan aroma dari yoghurt dibandingkan atribut
tekstur. Oleh karena itu formula yang terpilih sebagai formula yang paling disukai dan dipilih
sebagai formula yang digunakan pada tahap selanjutnya adalah formula B.
4.2 OPTIMASI INULIN DALAM PEMBUATAN YOGHURT SINBIOTIK
Penelitian selanjutnya yang dilakukan adalah penelitian tahap II yaitu tahap optimasi inulin
dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Tujuan tahapan ini adalah menambahkan inulin komersial
sebagai penambah sumber prebiotik selain dari puree pisang dan melihat tingkat kesukaan konsumen
terhadap yoghurt yang ditambahkan inulin. Penelitian ini menggunakan formula terpilih tahap I yaitu
yoghurt sampel B dengan penambahan puree pisang:susu skim sebanyak 1:1. Pada tahap ini dibuat
yoghurt menjadi 4 formula yaitu sampel A (0% inulin), B (1% inulin), C (2% inulin), dan D (3%
inulin).
Proses pembuatan yoghurt pada tahap ini sama dengan pada tahap sebelumnya, hanya saja
dilakukan proses penambahan inulin sebelum proses pasteurisasi. Penambahan inulin dilakukan
sebelum proses pasteurisasi agar menghindari terjadi kontaminasi oleh inulin jika ditambahkan setelah
proses pasteurisasi. Hal ini juga didukung bahwa menurut Roberfroid (2005), inulin tahan jika
dipanaskan hingga proses pasteurisasi.
Keempat sampel tersebut dinilai berdasarkan tingkat kesukaannya oleh panelis dengan
menggunakan uji rating hedonik. Panelis pada uji ini diminta untuk mengungkapkan tanggapannya
tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap sampel yang disajikan dengan parameter yang
dinilai antara lain atribut aroma, tekstur, rasa, dan overall. Berdasarkan hasil uji rating hedonik,
diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Gambar 18-21.
1.60
1.70
1.80
1.90
2.00
2.10
2.20
A B C
2.14
1.84
2.01
Rata
-rata
pen
ilaia
n u
ji r
an
kin
g
hed
on
ik
Keseluruhan
1 = paling disukai
2 = biasa
3 = tidak disukai
A (Susu skim:puree = 1:0.5)
B (Susu skim:puree = 1:1)
C (Susu skim:puree = 1:2)
32
Aroma
Hasil analisis sidik ragam uji hedonik atribut aroma pada selang kepercayaan 95%
(Lampiran 8) menunjukkan bahwa penambahan inulin yang diberikan pada yoghurt sebagai penambah
sumber prebiotik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap aroma yoghurt. Hal ini
berarti penambahan inulin tidak mengubah aroma dari yoghurt hingga penambahan sebanyak 3%. Hal
ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa salah satu karakeristik inulin adalah tidak berbau
(Roberfroid, 2005). Akan tetapi berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa formula yoghurt tanpa
penambahan inulin (formulal A) dinilai oleh panelis mempunyai aroma dengan tingkat kesukaan yang
paling tinggi dengan skor penilaian 4.60. Sedangkan formula sampel B (1% inulin) dinilai oleh
panelis sebagai formula yang memiliki tingkat kesukaan yang paling rendah dengan skor penilaian
4.16. Skor yang diberikan oleh panelis menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan masih dapat
diterima oleh konsumen dengan nilai netral hingga agak suka.
Gambar 18. Histogram Uji Rating Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Inulin dalam
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Tekstur
Hasil analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut tekstur yoghurt (Lampiran 8)
menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.
Artinya panelis menilai tekstur yoghurt pada semua formulasi penambahan inulin adalah sama.
Formula yang dinilai memiliki tekstur dengan tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan Gambar 19
adalah formula C (2% inulin) dengan skor penilaian 4.74. Sedangkan formula yang memiliki tingkat
kesukaan paling rendah adalah formula B (1% inulin) dengan skor 4.31. Skor penilaian tersebut
menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen yaitu dari netral
hingga agak suka.
3.80
4.00
4.20
4.40
4.60
A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) D (inulin 3%)
4.60
4.16
4.314.37
Rata
-rata
pen
ilaia
n h
asi
l u
ji r
ati
ng
hed
on
ik
Aroma
1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka
2 = tidak suka 5 = agak suka
3 = agak tidak suka 6 = suka
33
Gambar 19. Histogram Uji Rating Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Inulin dalam
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Rasa
Rasa yang dihasilkan pada yoghurt dengan penambahan inulin konsentrasi 0-3% tidak
menimbulkan perbedaan satu sama lain. Hal ini dilihat berdasarkan hasil analisis sidik ragam uji
hedonik terhadap rasa yoghurt (Lampiran 8) yang menunjukkan bahwa penambahan berbagai
konsentrasi inulin yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap rasa yoghurt pada selang
kepercayaan 95%. Penambahan inulin yang tidak memberikan efek berbeda nyata terhadap atribut
rasa pada yoghurt menandakan bahwa penambahan inulin tidak memberi rasa yang negatif atau
menyimpang terhadap penilaian konsumen. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa inulin
memiliki karakteristik tidak berasa (Roberfroid, 2005). Formula yang dinilai memiliki rasa dengan
tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan Gambar 20 adalah formula D (3% inulin) dengan skor
penilaian 4.80. Sedangkan formula yang memiliki tingkat kesukaan paling rendah adalah formula B
(1% inulin) dengan skor penilaian 4.34. Skor penilaian yang diberikan berkisar dari netral hingga agak
suka, yang menunjukkan produk yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen.
Gambar 20. Histogram Uji Rating Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan
Yoghurt Sinbiotik
4.00
4.10
4.20
4.30
4.40
4.50
4.60
4.70
4.80
A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) D (inulin 3%)
4.69
4.31
4.74
4.46R
ata
-ra
ta p
enil
aia
n h
asi
l u
ji r
ati
ng
hed
on
ik
Tekstur1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka
2 = tidak suka 5 = agak suka
3 = agak tidak suka 6 = suka
4.10
4.20
4.30
4.40
4.50
4.60
4.70
4.80
A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) D (inulin 3%)
4.71
4.34
4.764.80
Ra
ta-r
ata
pen
ila
ian
ha
sil
uji
ra
tin
g
hed
on
ik
Rasa1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka
2 = tidak suka 5 = agak suka
3 = agak tidak suka 6 = suka
34
Keseluruhan
Atribut terakhir yang dilihat adalah atribut secara keseluruhan. Hasil analisa sidik ragam uji
hedonik terhadap keseluruan atribut yoghurt dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 8) menunjukkan
bahwa penambahan inulin pada konsentrasi 0-3% pada yoghurt tidak berpengaruh nyata terhadap
keseluruhan atribut yoghurt pada selang kepercayaan 95%. Hal tersebut didukung oleh pernyataan
Roberfroid (2005) yang menyatakan bahwa inulin mempunyai karakter tidak berasa, tidak berbau, dan
berwarna putih sehingga jika ditambahkan pada produk yoghurt tidak memberi pengaruh yang
signifikan secara organoleptik. Penambahan inulin dalam jumlah 1-3% ke dalam produk yoghurt lebih
dimanfaatkan sifat fisiologisnya yaitu sebagai sumber prebiotik (Franck & De Leenheer, 2005).
Formula yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan atribut keseluruhan pada
Gambar 21 adalah formula C (2% inulin) dengan skor penilaian 4.69. Sedangkan formula yang
memiliki tingkat kesukaan panelis yang paling rendah adalah formula B (1% inulin) dengan skor
penilaian 4.27. Skor penilaian ini berkisar antara netral hingga agak suka yang menunjukkan bahwa
yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen.
Gambar 21. Histogram Uji Rating Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Inulin dalam
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
Semua atribut yang diujikan yaitu aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan mendapat penilaian
dari panelis dengan nilai diantara 4 sampai 5 yang artinya menurut panelis, yoghurt sinbiotik yang
dihasilkan bernilai netral hingga agak suka. Selain itu berdasarkan hasil analisis sidik ragam, untuk
semua atribut yang diujikan seluruhnya tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan inulin tidak memberikan pengaruh negatif terhadap organoleptik
produk yoghurt. Oleh karena itu, semua formula yoghurt dengan penambahan inulin (1, 2, dan 3%)
dapat dipilih sebagai formula terpilih tahap II.
Formula yang dipilih sebagai formula terpilih tahap II adalah formula C dengan penambahan
inulin 2%. Alasan dipilih formula C adalah memiliki kandungan prebiotik yang lebih tinggi jika
dibanding formula B (1% inulin). Selain itu formula B adalah formula dengan penambahan inulin
dengan batas bawah suatu produk dikatakan prebiotik yaitu 1%. Hal ini tidak dapat menjamin bahwa
pada produk akhir kandungan inulin masih sebesar 1% karena bisa saja terjadi fermentasi inulin oleh
kultur pada saat inkubasi walaupun hal tersebut kecil peluangnya untuk terjadi. Sedangkan formula D
dengan penambahan inulin 3% merupakan produk yang paling banyak penambahan inulinnya
sehingga mempunyai biaya produksi yang lebih tinggi dibanding formula yang lainnya. Oleh karena
4.00
4.10
4.20
4.30
4.40
4.50
4.60
4.70
A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) D (inulin 3%)
4.59
4.27
4.69 4.67
Rata
-rata
pen
ilaia
n h
asi
l u
ji r
ati
ng
hed
on
ik
Keseluruhan
1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka
2 = tidak suka 5 = agak suka
3 = agak tidak suka 6 = suka
35
itu dipilih yoghurt dengan penambahan inulin sebanyak 2%. Penambahan inulin sebanyak 2% sudah
dapat memberikan efek prebiotik yang baik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sadek et al.,
(2004), yang menyatakan bahwa penambahan 2% inulin ke dalam yoghurt dapat meningkatkan
viabilitas dari bakteri asam laktat.
4.3 ANALISIS MUTU YOGHURT SINBIOTIK
Pengujian mutu yoghurt sinbiotik yang dilakukan adalah analisis mutu kimia dan mutu
mikrobiologi. Analisis mutu kimia meliputi pH, TAT, total padatan, kadar inulin dan uji proksimat
(kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat). Sedangkan analisis mutu mikrobiologi meliputi
jumlah total BAL produk serta cemaran mikrobanya yaitu koliform dan Salmonella. Hasil uji tersebut
kemudian dibandingkan dengan SNI yoghurt tahun 2009.
4.3.1 Analisis Mutu Kimia
Mutu kimia merupakan salah satu hal yang perlu diketahui dalam pembuatan suatu
produk. Pengukuran mutu kimia produk yoghurt sinbiotik meliputi pH, TAT, total padatan,
kadar inulin dan analisis proksimat pada formula terbaik. Hasil analisis mutu kimia produk
yoghurt sinbiotik dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Mutu Kimia Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik
pH
(Derajat Keasaman)
TAT
(% asam laktat)
TPT Kadar inulin
(g/100g)
4.3 0.74 15.36 3.88
4.3.1.1 Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan faktor penting dalam menentukan ketahanan bahan pangan
terhadap kontaminasi mikroorganisme, karena peranan asam (pH) terhadap daya hambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Nilai pH ini merupakan salah satu ciri khas dari suatu
produk fermentasi, terutama yoghurt. Nilai pH yang rendah pada produk yoghurt terbentuk
karena adanya asam laktat sebagai hasil degradasi laktosa oleh bakteri asam laktat. Semakin
banyak total asam laktat yang diproduksi oleh bakteri asam laktat maka nilai pH semakin
menurun.
Produk yoghurt sinbiotik yang dihasilkan memiliki pH 4.3. Nilai ini sudah memenuhi
pH yoghurt yang baik. Menurut Tamime dan Robinson (1989) yoghurt yang baik memiliki pH
3.8-4.6, bahkan Jay (2000) memberikan kisaran pH yoghurt yang lebih luas lagi yaitu antara
3.65-4.40. Penelitian tentang yoghurt dengan penambahan buah yang dilakukan oleh Kuntarso
(2007) juga mempunyai kisaran pH yang sama yaitu 4.3, begitu pula dengan hasil penelitian
Aryana dan McGrew (2007) yang membuat yoghurt dengan bakteri L. casei dan penambahan
berbagai jenis inulin yang mempunyai pH antara 4.32-4.60.
Nilai pH yang rendah yaitu < 4.5 sudah dapat menggumpalkan protein kasein pada susu
dan membentuk tekstur yang baik. Hasil penelitian membuktikan bahwa yoghurt yang dihasilkan
dengan nilai pH 4.3 sudah mampu menggumpalkan kasein dan membentuk tekstur yang baik,
selain itu dengan tingkat keasaman tersebut sudah menghasilkan flavor yoghurt yang khas yaitu
aroma asam susu fermentasi. Nilai pH yang cukup rendah pada produk yoghurt memiliki
kemungkinan yang sangat kecil timbulnya pertumbuhan bakteri patogen. Selain itu, yoghurt
dengan pH 4.3 dapat mempertahankan viabilitas dari bakteri probiotik (Lankaputhra, 1996).
36
4.3.1.2 Total Asam Tertitrasi
Pengukuran total asam tertitrasi (TAT) didasarkan atas komponen asam yang ada, dan
nilai tersebut sebanding dengan jumlah asam laktat. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa
rata-rata total asam tertitrasi sampel terpilih yoghurt sinbiotik adalah sebesar 0,74%. Nilai ini
menurut Silvia (2002) sudah cukup dalam menghasilkan tekstur yang lembut serta flavor asam
yang cukup kuat. Selain itu hasil tersebut menurut SNI 01.2981-2009 tentang standar mutu
yoghurt masih mempunyai nilai yang baik yaitu termasuk dalam kisaran 0.5-2% (b/b).
Banyaknya asam laktat yang terbentuk dari hasil fermentasi susu dapat mempengaruhi
pembentukkan tekstur pada yoghurt. Hal ini terbukti dari tekstur yang terbentuk pada yoghurt
mengalami penggumpalan atau pembentukan gel yang baik. Yoghurt sinbiotik yang dibuat
mempunyai tekstur padat dan telah memenuhi standar SNI 01.2981-2009. Pembentukkan gel
yang baik pada yoghurt karena tersedianya cukup asam yang dapat menggumpalkan protein
kasein yang berasal dari susu.
4.3.1.3 Total Padatan
Mutu yoghurt juga ditentukan oleh kandungan total padatan pada yoghurt. Nilai total
padatan dapat mempengaruhi tekstur yoghurt yang dihasilkan. Total padatan produk ditentukan
berdasarkan kadar air dengan cara menguapkan air dari bahan atau hasil dari 100%-kadar air.
Berdasarkan hasil analisis, yoghurt sinbiotik mempunyai total padatan sebesar 15.36%. Hasil ini
sesuai dengan literatur menurut Tamime dan Robinson (1989) yang menyatakan bahwa yoghurt
yang baik memiliki nilai total padatan berkisar antara 14-18%. Nilai ini juga sudah memenuhi
persyaratan SNI 01.2981-2009 yang menyebutkan bahwa total padatan produk yoghurt minimal
8.2%.
Total padatan yang tinggi pada produk yoghurt diperoleh karena bahan baku yang
digunakan adalah susu skim. Menurut Tamime dan Robinson (1989) penambahan susu skim
bubuk dapat meningkatkan kandungan protein, selain sebagai sumber laktosa bagi kehidupan
kultur bakteri asam laktat. Kandungan protein yang semakin meningkat akan menaikkan total
padatan susu karena penggumpalan kasein yang terjadi semakin banyak. Penggumpalan kasein
ini yang kemudian akan mempengaruhi kekentalan susu fermentasi dan meningkatkan total
padatannya. Selain itu, penambahan pisang tidak dalam bentuk ekstrak melainkan dalam bentuk
puree juga dapat menambah jumlah total padatan pada produk yoghurt.
4.3.1.4 Kadar Inulin
Penentuan kadar inulin pada produk yoghurt sinbiotik penting dilakukan untuk
mengetahui jumlah prebiotik yang terkadung dalam produk agar memenuhi persyaratan suatu
produk dapat dikatakan berprebiotik. Penambahan inulin sebagai sumber prebiotik pada produk
fermentasi menurut Frank (2005) yaitu sebesar 1-3% per kemasannya. Berdasarkan hasil uji
organoleptik yang dilakukan pada tahap II, formula yoghurt yang terpilih adalah yoghurt dengan
penambahan 2% inulin. Hasil pengujian inulin menggunakan HPLC menunjukkan bahwa kadar
inulin pada produk akhir yoghurt sinbiotik adalah sebesar 3.88g/100g. Jumlah ini sudah
memenuhi persyaratan yoghurt berprebiotik. Namun jumlah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah inulin komersial yang ditambahkan pada awal proses pengolahan produk yaitu
2g/100g. Hal ini disebabkan karena kadar inulin yang terdapat pada produk akhir tidak hanya
berasal dari penambahan inulin komersial pada produk, tetapi juga berasal dari bahan baku
pisang yang digunakan.
37
Proses fermentasi oleh bakteri asam laktat tidak menyebabkan banyak penurunan
jumlah kadar inulin. Bakteri asam laktat melakukan seleksi prioritas dalam menggunakan gula
yang terdapat dalam medium susu. Bakteri menggunakan substrat yang tergolong gula-gula
sederhana terlebih dahulu sebelum menggunakan substrat yang lebih kompleks. Oleh karena itu,
substrat berupa susu skim dan gula pada yoghurt digunakan terlebih dahulu oleh bakteri sebelum
menggunakan inulin.
Standar dan metode yang digunakan dalam pengukuran inulin juga turut mempengaruhi
kadar inulin yang dihasilkan. Standar yang digunakan adalah fruktosa, sedangkan metode yang
digunakan adalah penambahan enzim inulinase pada preparasi sampel agar inulin yang terdapat
pada produk terhidrolisis menjadi fruktosa dan dapat dihitung kadarnya dengan kurva standar
fruktosa. Hal tersebut menyebabkan kadar inulin yang terukur merupakan jumlah seluruh
fruktosa yang terdapat pada produk yoghurt, baik fruktosa yang berasal dari hasil pemecahan
inulin oleh enzim inulinase maupun yang berasal dari gula (fruktosa) yang ditambahkan saat
pengolahan yoghurt. Oleh karena itulah kadar inulin yang terukur sedikit lebih besar dibanding
inulin yang ditambahkan.
4.3.1.5 Analisis Proksimat
Uji proksimat bertujuan untuk mengetahui komponen kimia pada suatu bahan pangan.
Hasil analisis proksimat yang dihasilkan memberi gambaran secara umum tentang nilai gizi dari
produk yoghurt sinbiotik. Uji proksimat pada penelitian ini dilakukan pada sampel yoghurt
terbaik hasil dari formula terpilih tahap I dan II yang diperoleh dari uji ranking hedonik dan
rating hedonik yaitu sampel dengan penambahan puree pisang 10% dan inulin 2%. Hasil uji
tersebut kemudian dibandingkan dengan SNI 01.2981-2009 tentang yoghurt. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk yoghurt dapat dilihat pada Tabel 1 dan hasil
uji analisis proksimat sampel terpilih yoghurt sinbiotik dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik (berdasarkan %bb).
Komposisi Kandungan (%)
Kadar Air 84.46
Kadar Abu 0.75
Kadar Protein 2.79
Kadar Lemak 0.20
Kadar Karbohidrat 11.80
SNI 01.2981-2009 tentang yoghurt pada Tabel 1 menyebutkan bahwa kadar abu, kadar
protein, dan kadar lemak berturut-turut adalah maksimal 1.0%, minimal 2.7%, dan <0.5%.
Berdasarkan hasil uji proksimat pada Tabel 5 terlihat bahwa kadar abu, kadar protein, dan kadar
lemak pada produk yoghurt sinbiotik yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan.
Kadar air pada produk berdasarkan hasil analisis proksimat adalah sebesar 84.46%.
Nilai kadar air ini sudah tergolong baik untuk produk yoghurt walaupun kadar air bukan
termasuk salah satu persyaratan produk yoghurt menurut SNI (2009). Nilai kadar air produk
yoghurt yang tergolong baik, dapat dilihat dari sudah tercukupinya nilai total padatan dari
produk yoghurt yang dihasilkan dimana dengan kadar air 84.46%, total padatannya sudah
memenuhi persyaratan SNI yaitu sebesar 15.54% dan menghasilkan tekstur yoghurt yang padat.
Kadar abu pada produk pangan dipengaruhi oleh kandungan mineral di dalam produk.
Kandungan mineral yang terkandung dalam produk yoghurt dapat berasal dari bahan baku
38
pisang dan susu skim. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa kandungan mineral pada susu
skim adalah sekitar 8%. Artinya penambahan susu skim sebanyak 10% akan menyumbang
mineral sebanyak 0.8% pada produk yoghurt. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis
proksimat yang tertera pada Tabel 5 yaitu sebesar 0.75%.
Kadar protein pada produk adalah sebesar 2.79%. Kadar protein pada produk yoghurt
banyak disumbangkan oleh susu skim sebagai bahan bakunya. Akan tetapi nilai ini sedikit lebih
kecil dibandingkan dengan nilai kadar protein pada susu skim yaitu sebesar 3.7% (Buckle et al.,
1987). Kadar protein pada yoghurt umumnya tidak terdapat perubahan yang signifikan hanya
saja terjadi peningkatan daya cerna karena terjadi penguraian protein menjadi unit-unit yang
sederhana.
Hasil uji proksimat kadar lemak pada yoghurt sinbiotik yaitu sebesar 0.2%. Kadar
lemak yang terkandung pada produk tergantung pada bahan baku yang digunakan dalam
pembuatan yoghurt. Kadar lemak yang diperoleh sangat rendah karena yoghurt dibuat
menggunakan susu skim yang rendah lemak dan puree pisang yang juga mengandung lemak
yang sangat kecil. Menurut Buckle et al. (1987) susu skim hanya mengandung sekitar 0.1%
lemak, sehingga jika yoghurt yang dibuat hanya menggunakan susu skim akan memiliki kadar
lemak yang rendah pula. Data ini dapat digunakan untuk mengklaim bahwa produk yoghurt yang
dihasilkan digolongkan sebagai yoghurt non-fat (kadar lemak <0.5%).
Hasil analisis proksimat yang terakhir adalah kadar karbohidrat. Berdasarkan Tabel 5
dapat dilihat kadar karbohidratnya sebesar 11.8%. Nilai kadar karbohidrat ini sangat tergantung
pada bahan-bahan lain yang ditambahkan pada yoghurt. Pada penelitian ini, sumber karbohidrat
dapat berasal dari susu skim, selain itu bahan baku pisang sebagai buah yang ditambahkan ke
dalam yoghurt tentunya berperan dalam meningkatkan kadar karbohidrat pada yoghurt.
4.3.2 Analisis Mutu Mikrobiologi
4.3.2.1 Total Bakteri Asam Laktat
Probiotik menurut FAO/WHO (2002) adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam
jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya. Jumlah yang
cukup yang dimaksud oleh FAO/WHO (2002) ini adalah 106-10
8 cfu/ml dan diharapkan dapat
berkembang menjadi 1012
cfu/ml di dalam kolon. Oleh karena itulah penting untuk mengetahui
jumlah total bakteri asam laktat pada sampel terpilih yoghurt sinbiotik dan mengetahui
viabilitasnya selama penyimpanan.
Pembuatan yoghurt sinbiotik ini hanya menggunakan kultur tunggal bakteri yang sudah
terbukti probiotik yaitu Lactobacillus casei. Pengamatan terhadap total bakteri asam laktat
(BAL) dari segi kuantitas dan viabilitas pada yoghurt, dilakukan selama 14 hari pada yoghurt
yang disimpan di suhu dingin dan pengamatan dilakukan setiap 3-4 hari sekali.
Pengamatan dilakukan pada yoghurt yang disimpan pada suhu dingin karena suhu yang
tepat untuk menyimpan produk-produk hasil fermentasi adalah suhu dingin. Alasan lain yaitu
berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan, jumlah total BAL yang mampu bertahan
hingga hari terakhir penyimpanan pada suhu dingin lebih banyak dari pada jumlah BAL yang
mampu bertahan hingga hari terakhir penyimpanan suhu ruang.
Hasil perhitungan total bakteri asam laktat yang terdapat dalam produk yoghurt
sinbiotik formulasi terpilih berdasarkan Gambar 22 adalah sebanyak 3.6 x 109 cfu/ml. Jumlah
tersebut sudah memenuhi persyaratan suatu produk dapat dikatakan probiotik menurut
FAO/WHO (2002) yaitu 106-10
8 cfu/ml. Jumlah total BAL ini pada hari ke-0 hingga hari ke-5
pada produk yoghurt sinbiotik mengalami kenaikan yaitu mulai dari 3.6 x 109 hingga 8.6 x 10
9
39
cfu/ml. Sedangkan dari hari ke-6 hingga hari ke-12 terjadi penurunan jumlah total BAL yaitu
menurun hingga 3.7 x 109 cfu/ml dan mengalami kenaikan kembali pada hari terakhir yaitu hari
ke-14 menjadi 4.1 x 109 cfu/ml.
Gambar 22. Jumlah Total BAL selama 14 hari
Peningkatan jumlah total BAL yang terlihat pada hasil penelitian tidak terlalu
signifikan. Peningkatannya hingga hari ke-5 hanya sekitar 3.1% (kurang dari 1 siklus log). Pada
penyimpanan suhu dingin, terdapat hambatan aktivitas mikroorganisme berupa temperatur yang
rendah. Hal ini menyebabkan aktivitas bakteri tidak optimal dan pertumbuhannya menjadi
lambat atau bahkan terhambat. Menurut Buckle et al. (1987), faktor utama yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme salah satunya adalah suhu.
Peningkatan jumlah total BAL selama disimpan hingga hari ke-5 disebabkan masih
banyaknya substrat yang terdapat pada bahan baku seperti susu skim, gula, dan puree pisang
yang dimetabolisme oleh bakteri. Terutama bahan baku susu skim yang mengandung lebih dari
50% laktosa yang merupakan karbohidrat utama dalam susu. Jumlah laktosa yang mencapai
separuh komposisi susu skim mengakibatkan BAL memperoleh nutrisi yang cukup (Winarno,
1997). Menurut Sunarlim dan Usmiati (2006), pada waktu tertentu jumlah substrat dalam bahan
baku untuk melakukan fermentasi masih tersedia cukup banyak sehingga bakteri masih bisa
memperbanyak diri dengan lambat walaupun disimpan pada suhu dingin. Hasil penelitian yang
sama juga didapat oleh Setiawan (2010) yang mendapatkan hasil bahwa bakteri L. casei yang
ditumbuhkan pada produk dadih yang disimpan pada suhu dingin mengalami peningkatan yang
tidak signifikan hingga hari ke-7 dan memiliki rata-rata jumlah total bakteri asam laktat
sebanyak 2.2 x 1011
cfu/ml.
Jumlah substrat atau laktosa sebagai sumber karbon utama semakin lama semakin
menurun sehingga bakteri relatif tidak aktif memperbanyak diri dan bakteri sudah melewati fase
logaritmik. Oleh karena itu terjadi penurunan total bakteri asam laktat (BAL) selama
penyimpanan sehingga viabilitasnya menurun. Selain itu, faktor yang menyebabkan jumlah total
BAL menurun adalah ketidakmampuan bakteri tersebut untuk melawan sifat toksik dari hasil
metabolitnya yang menumpuk di lingkungan seperti jumlah asam laktat yang tinggi. Menurut
Oberman (1985), jumlah BAL pada yoghurt sebesar 2.0 x 108-1.0 x 10
9, tetapi jumlah tersebut
terus mengalami penurunan selama penyimpanan.
Meskipun begitu penurunan total bakteri asam laktat tidak signifikan yaitu hanya sekitar
3.1%. Perubahan ini masih kurang dari satu siklus log, hal ini menunjukkan bahwa Lactobacillus
9.6
9.99.9
9.8
9.7 9.6
9.6
5
6
7
8
9
10
0 3 5 7 10 12 14
Ju
mla
h B
AL
(L
og
ari
tmik
)
cfu
/ml
Penyimpanan Hari Ke-
40
casei memiliki ketahanan yang baik pada kondisi asam. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Aryana dan McGrew (2007) tentang hasil penelitiannya yang melihat pertumbuhan L. casei
dengan penambahan inulin pada yoghurt yang disimpan pada suhu 4°C yang menyatakan bahwa
selama penyimpanan L. casei mengalami penurunan kurang dari 1 siklus log selama 2 minggu.
Menurut Yamazaki et al. (1973) dikutip dalam Lee dan Wong (1998), Lactobacillus dan
Bifidobacteria memiliki ketahanan yang baik pada pH yang rendah, begitu pula menurut
Salminen dan Wright (1998), Lactobacillus casei dapat bertahan lebih lama dalam susu
fermentasi.
4.3.2.2 Bakteri Koliform
Uji total koliform perlu untuk dilakukan dalam produk yoghurt. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui keberadaan mikroba koliform atau indikator sanitasi pada suatu produk. Jenis bakteri
koliform ini yaitu bakteri Esherichia coli dan Enterobacter yang pada produk yoghurt dapat
berasal dari susu, air, dan buah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan yoghurt.
Uji koliform dilakukan dengan metode MPN yang bersifat kuantitatif. Pengamatan
dilakukan dengan melihat tabung positif dengan mengamati timbulnya kekeruhan, atau
terbentuknya gas di dalam tabung Durham dalam media BGLBB untuk mikroba pembentuk gas.
Pada umumnya setiap pengenceran digunakan tiga atau lima seri tabung. Lebih banyak tabung
yang digunakan menunjukkan ketelitian yang lebih tinggi, tetapi alat gelas yang digunakan juga
lebih banyak. Pada penelitian ini digunakan tiga seri tabung, karena produk yang diuji yaitu
produk yoghurt yang telah diproduksi secara pasteurisasi dan tergolong kedalam pangan berasam
tinggi sehingga kemungkinan terjadinya pertumbuhan koliform kecil dan mengandung sedikit
koliform.
Pengujian bakteri koliform pada yoghurt dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-14 yang
disimpan pada suhu dingin. Uji kuantitatif yang dilakukan adalah uji penduga. Berikut data hasil
pengujian koliform dari uji penduga dengan menggunakan media BGLBB pada produk yoghurt
hari ke-0 dan hari ke-14 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Koliform
Hari ke- Hasil Kuantitatif
(MPN/g)
0 <3.0
14 <3.0
Berdasarkan data uji penduga diperoleh bahwa seluruh tabung reaksi dengan 4 tingkat
pengenceran tidak ditemukan adanya pembentukan gas pada tabung Durham, baik itu pada hari
ke-0 produk yoghurt maupun dengan hari ke-14. Sehingga berdasarkan penggunaan tabel MPN
seri 3 tabung diperoleh total koliform pada produk yoghurt sebesar <3 MPN/100ml. Menurut
hasil tersebut maka dapat dikatakan produk yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang
dan inulin ini memenuhi persyaratan SNI 01.2981-2009.
Produk yang telah diolah dengan cara yang baik dan benar, memiliki kemungkinan
kontaminasi oleh bakteri koliform yang rendah. Dengan adanya blansir pada bahan baku pisang
dan proses pasteurisasi pada susu sudah dapat mematikan bakteri koliform. Hal ini didukung
oleh pernyataan menurut Tamime dan Robinson (1989) yang menyatakan bahwa grup koliform
tidak tahan pada pH rendah, penyimpanan suhu rendah dan tidak tahan dengan adanya zat hasil
41
metabolisme BAL seperti zat antimikroba dan asam laktat sehingga adanya bakteri koliform
pada yoghurt sangat kecil.
4.3.2.3 Keberadaan Bakteri Salmonella
Salmonella adalah salah satu kelompok bakteri enteropatogenik penyebab infeksi
gastrointestinal dan keracunan makanan. Di dalam SNI 01.2981-2009 dinyatakan bahwa produk
yoghurt paling tidak harus negatif Salmonella dalam 25 g setelah diuji secara kualitatif. Selain
itu walaupun yoghurt tergolong makanan yang aman dikonsumsi, namun bahan baku susu yang
digunakan dapat saja terkontaminasi oleh Salmonella jika pembuatan susu bubuknya
menggunakan metode penyemprotan dan proses sanitasinya tidak baik. Susu skim yang beredar
di pasaran jika sudah memenuhi persyaratan SNI 01.2970-2006 pasti mengandung negatif koloni
Salmonella/100 g. Oleh karena itu perlu dilakukan uji Salmonella pada produk yoghurt.
Uji Salmonella dilakukan secara kualitatif pada produk yoghurt hari ke-0 dan hari ke-
14 yang disimpan pada suhu dingin dengan melakukan tahap enrichment dan tahap seleksi.
Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk mengetahui apakah produk yoghurt sinbiotik yang
dihasilkan mengandung Salmonella atau tidak. Berikut data hasil uji Salmonella pada hari ke-0
dan ke-14 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji Salmonella
Hari ke- Hasil Kualitatif
(MPN/g)
0 Negatif/25g
14 Negatif/25g
Hasil uji yang telah dilakukan terhadap produk yoghurt formula terpilih, menyatakan
bahwa jumlah Salmonella pada hari ke-0 negatif Salmonella/25 g yoghurt. Begitu pula dengan
jumlah Salmonella pada hari ke-14. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 23, dimana pada media
HEA (media berwarna coklat) tidak terdapat koloni berwarna biru kehijauan, dengan atau tanpa
warna hitam ditengahnya. Pada media XLDA (media berwarna merah) tidak terdapat koloni
berwarna merah muda dengan atau tanpa warna hitam di tengahnya dan tidak tampak koloni
yang besar, berwarna hitam mengkilap ditengahnya. Begitu pula pada media BSA (media
berwarna abu-abu) tidak terdapat koloni berwarna coklat, abu-abu atau hitam berwarna kilau
metalik. Menurut hasil uji inilah maka dapat dikatakan bahwa produk yoghurt yang dihasilkan
telah memenuhi persyaratan dan aman dari cemaran mikroba enteropatogenik.
(a) (b) (c)
Gambar 23. Media Selektif Perumbuhan Salmonella
Produk yoghurt yang dihasilkan tidak mengandung bakteri Salmonella karena produk
ini telah diolah dengan baik dan benar, salah satunya penerapan proses pasteurisasi. Salmonella
tidak tahan terhadap panas sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi. Menurut Jay (2000)
Salmonella dapat dihancurkan pada proses pemanggangan pada suhu 71.1°C dan menurut Lund
42
(2000) dengan suhu pasteurisasi tersebut mampu menurunkan jumlah sel hidup Salmonella
sebanyak 105
sel. Selain itu produk-produk yoghurt mempunyai pH yang rendah sehingga
mikroba patogen tidak dapat tumbuh, serta terbentuknya asam-asam organik dan zat antimikroba
yang berasal dari bakteri probiotik dapat membunuh mikroba-mikroba patogen (Tamime &
Robinson, 1989).
Produk yoghurt yang dihasilkan tidak mengandung bakteri indikator sanitasi koliform
dan Salmonella yang menandakan bahwa proses pasteurisasi yang dilakukan sudah cukup untuk
membunuh kedua jenis bakteri tersebut. Selain itu, tidak terjadi kontaminasi kembali setelah
proses pengolahan sehingga produk tidak terkontaminasi bakteri indikator sanitasi hingga diakhir
penyimpanan suhu dingin selama 14 hari.
43
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pengembangan yoghurt sinbiotik dapat dilakukan dengan menggunakan penambahan bahan
baku lokal yang jumlahnya melimpah sehingga dapat meningkatkan nilai gunanya selain menciptakan
alternatif pangan fungsional baru yang disukai. Hal ini terbukti dari penambahan puree pisang pada
produk yoghurt mendapat penilaian yang baik dari panelis. Formulasi penambahan puree pisang yang
paling disukai oleh panelis adalah pemberian puree pisang 1:1 dengan susu skim. Formula terpilih ini
kemudian dilakukan penambahan inulin komersial sebagai sumber prebiotik. Penambahan inulin
komersial pada konsentrasi 1-3% tidak memberikan pengaruh nyata pada atribut aroma, rasa, tekstur,
dan keseluruhan dari yoghurt sinbiotik. Penambahan inulin ini lebih berfungsi sebagai penambah
sumber prebiotik pada yoghurt. Penambahan inulin pada yoghurt yang memiliki tingkat kesukaan
paling tinggi berdasarkan penilaian panelis adalah penambahan 2% inulin dengan skor penilaian
antara netral hingga agak suka. Formula penambahan inulin 2% pada yoghurt dipilih sebagai formula
terpilih tahap II berdasarkan kandungan prebiotik dan dari segi ekonomisnya.
Yoghurt sinbiotik yang dihasilkan telah diuji mutunya secara kimia dan mikrobiologi. Hasil
uji mutu tersebut menunjukkan bahwa yoghurt sinbiotik yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan
SNI 01.2981-2009. Produk ini juga sudah memenuhi kategorikan sebagai produk sinbiotik karena
kandungan probiotik dan prebiotiknya telah terpenuhi. Yoghurt sinbiotik yang dihasilkan mempunyai
kandungan probiotik dengan total BAL sebanyak 3.6 x 109 cfu/ml dimana total BAL tersebut mampu
bertahan dengan jumlah penurunan kurang dari satu siklus log selama 14 hari dalam penyimpanan
suhu dingin. Sedangkan kandungan prebiotik dari yoghurt sinbiotik yang dihasilkan sebanyak 3.88%.
Selain itu dari hasil analisis proksimat, yang dapat dilihat adalah kadar lemaknya yang kurang dari
5%, sehingga dapat dikategorikan sebagai yoghurt tanpa lemak (non-fat).
5.2 Saran
Penelitian lanjutan formulasi yoghurt sinbiotik berbasis puree pisang dan inulin ini perlu
dilakukan diantaranya penelitian tentang umur simpan produk yoghurt serta melihat pengaruhnya
terhadap penerimaan konsumen. Selain itu dapat juga dilakukan pengembangan produk yoghurt
dengan menggunakan berbagai jenis probiotik yang lain atau menggunakan kultur campuran, agar
dapat diketahui hasil produk yang lebih baik. Dalam pembuatannya dapat dilakukan penambahan
bahan penstabil atau bahan pengental sebagai parameter baru dalam formulasi yoghurt sinbiotik untuk
membuat puree pisang tetap homogen dan tidak mengendap selama penyimpanan sehingga dapat
dihasilkan yoghurt dengan tekstur yang lebih baik. Dalam pengembangannya, dapat juga dilakukan
penelitian tentang sumber-sumber prebiotik yang lain yang berasal dari pangan lokal yang dapat
dikembangkan menjadi alternatif pangan fungsional baru.
44
DAFTAR PUSTAKA
[BPOMRI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Pengaturan Kepala
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Tentang Ketentuan Pokok
Pengawasan Pangan Fungsional. BPOMRI, Jakarta.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2010. Produktivitas Hortikultura Buah. http://www.bps.go.id [11 Juli
2011]
[FAO] Food Agriculture Organization. 2007. FAO technical meeting prebiotics. AGNS-FAO, Italy.
Adam MR dan Moss MO. 1995. Food Microbiology. The Royal society of Chemistry, Cambridge.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists. Washington
D.C.
Artanti A. 2009. Pengaruh Prebiotik Inulin dan Fruktooligosakarida (FOS) Terhadap Pertumbuhan
Tiga Jenis Probiotik. Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Aryana KJ dan McGrew P. 2007. Quality attributes of yogurt with Lactobacillus casei and various
prebiotics. LWT 40: 1808-1814.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 01.1298-2009 Yoghurt. Badan Standarisasi Nasional Jakarta.
Bosscher D, Van Loo J, dan Franck A. 2006. Inulin and oligofructose: as functional ingredients to
improve bone mineralization. Int Dairy J 16:1092–97.
Buckle KA, RA Edwards, GH Fleet, dan Wooton. 1987. Ilmu Pangan, Terjemahan H. Purnomo dan
Adiono. UI Press, Jakarta.
Chen MJ, Chen KN, Lin CW, dan Mao HM. 2004. Study on the optimal growth rates of probiotics in
yogurt by genetic algorithms. Taiwan Nongye Huaxue Yu Shipin Kexue 42(4): 306-314.
Coussement Paul AA. 2007. Supplement. Inulin and Oligofructose: Safe Intakes and Legal Status.
Orafti. Aaandorenstraat 1,330 Tienen, Belgium.
Crittenden R, Saarela M, Matto J, Ouwehand AO, Salminen S, Pelto L, Vaughan EE, De Vos WV,
von Wright A, Fonden R, dan Mattila-Sandholm T. 2002. Lactobacillus paracasei subsp.
paracasei F19: Survival, ecology and safety in the human intestinal tract. A survey of
feeding studies within the PROBDEMO project. Microbial Ecology in Health and Disease
2(Suppl.): 22–26.
Dave RI dan Shah NP. 1997. Viability of yoghurt and probiotic bacteria in yoghurts made from
commercial starters cultures. International Dairy Journal 7: 31-41.
Deeth HC dan Tamime AY. 1981. Yoghurt: nutritive and therapeutic aspects. J. Food Prot 44: 78-86.
45
Dello Staffolo M, Bertola N, Martino M, dan Bevilacqua A. 2004. Influence of dietary fiber addition
on sensory and rheological properties of yogurt. International Dairy Journal 14(3): 263-
268.
Delzenne MN dan Cani PD. 2010. Nutritional modulation of gut microbiota in the context of obesity
and insulin resistance: potential interest of prebiotics. Int Dairy J 20: 277–80.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1981. Kebijakan dan Program
Pembangunan Pertanian. Deparetemen Kesehatan, Jakarta.
Donkor ON, Nilmini SLI, Stolic P, Vasiljevic T, dan Shah NP. 2007. Survival and activity of selected
probiotic organisms in set-type yoghurt during cold storage. International Dairy Journal
17: 657-665.
FAO. 2004. Report of the regional consultation of the Asia-Pacific network for food and nutrition on
functional foodss and their implications in the daily diet. RAP Publication 33: 61.
FAO/WHO. 2002. Guidelines for the evaluation of probiotics in food. Report of joint FAO/WHO
Working Group on drafting Guidelines for the evaluation of probiotics in food. London
Ontario, Canada.
Ferawati. 2009. Formulasi Dan Pembuatan Banana Bars Berbahan Dasar Tepung Kedelai, Terigu,
Singkong, dan Pisang Sebagai Alternatif Pangan Darurat. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB, Bogor.
Franck A dan De Leenher L. 2005. Inulin in Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry.
Steinbuchel A, Rhee SK (ed). WILEY-VCH, Weinheim.
Fuller R. 1989. Probiotics in man and animals. Journal of Applied Bacteriology 66: 365-378.
Functional Food Science in Europe. 1998. Functional Foods. British Journal of Nutrition 80(1):S1-
S193.
Fung WY, Woo YP, Wan-Abdullah WN, Ahmad R, Easa AM, dan Liong MT. 2009. Benefits of
probiotics: beyond gastrointestinal health. Milchwissenschaft 64:17–20.
Gibson GR dan Roberfroid MR. 1995. Dietary modulation of the human colonic microbial:
Introducing the concept of prebiotics. Journal of Nutrition 125(6): 1401-1412.
Gilliland SE dan Speck ML. 1997. Antagonistic action of L. acidophilus towards intestinal bacteria
enzyme activity. American Journal of Clinical Nutrition 39: 756-761.
Gilliland SE dan Walker DK. 1990. Factors of condsider when selecting a culture of L. acidophilus as
a dietary adjunct to produce a hypocholesterolemic effect on humans. Journal of Dairy
Science 73: 905.
Goldin BR dan Gorbach SL. 1984. The effect of milk and Lactobacillus feeding in human intestinal
bacterial enzyme activity. American Journal of Clinical Nutrition 39: 756-761.
46
Hamdan IY, Kunsman JE Jr, dan Deane DD. 1971. Acetaldehyde production by combined yogurt
cultures. J Dairy Sci 54(7): 1080–2.
Hardi J dan Slacanac V. 2000. Examination of coagulation kinetics and rheological properties of
fermented milk products: The influence of starter culture, milk fat content and addition of
inulin. Mijekarstco 50(3): 217-226.
Hasler CM. 1995. Functional Foods: The Western Perspective. A Paper Presented in the First
International Conference on: East-West Perspective on Functional Foods, Singapore
September 26-27.
Hatcher GE dan Lambrecht RS. 1993. Augmentation of macrophage phagocytic activity by cell free
extract of selected lactic acid producing bacteria. Journal of Dairy Science 76: 2485-2492.
Helferich W dan D. Westhoff. 1980. All About Yogurt. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff, New
Jersey.
Ibrahim GA, Mehanna NS, El-Rab DAG, Abd El-Salam MH, Kholif AM, Abdou SM dan El-Shibiny
S. 2004. Preparation and properties of set fermented milk containing inulin and different
probiotics. In 9th Egyptian Conference for Dairy Science and Technology, Cairo, Egypt,
October 9-11, 2004 (pp. 117-132). Cairo, Egypt: Egyptian Society of Dairy Science.
Ishikawa, H., I. Akedo, T. Otani, T. Suzuki, T. Nakamura, I. Takeyama, S. Ishiguro, E. Miyaoka, T.
Sobue, dan T. Kakizoe. 2005. Randomized trial of dietary fiber and Lactobacillus casei
administration for prevention of colorectal tumors. Int. J. Cancer 116: 762-767.
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. 6th
Edition. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Jenkins DJA, Kendall CWC dan Vuksan V. 1999. Inulin, oligofructose and intestinal function.
Journal of Nutrition 129: 1431S-1433S.
Kailasapathy K, Hamstorf I, dan Phillips M. 2007. Survival of Lactobacillus acidophilus and
Bifidobacterium animalis ssp. lactis in stirred fruit yogurts. LWT 41(2008): 1317-1322.
Kaminarides S, Stamou P, dan Massouras T. 2007. Comparison of the characteristics of set-type
yoghurt made from ovine milk of different fat content. Int J Food Sci Technol 42(9): 1019–
28.
Kim HS dan Gilliland S. 1983. L. acidophilus as dietary adjunct for milk to aid lactose digestion in
humans. Journal of Nutrition 129: 1431S-1433S.
Kuntarso A. 2007. Pengembangan Teknologi Pembuatan Low-Fatfruity Bio-Yoghurt (Lo-Bio F).
Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Lankaputhra WEV, Shah NP, dan Britz ML. 1996. Survival of bifidobacteria during refrigerated
storage in the presence of acid ang hydrogen peroxide. Milchwissenschaft 51: 65-70.
Latimer GW, dan Horwitz W. 2007. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemist International. Ed ke-18. AOAC International, Washington DC.
47
Lee dan Wong (1998). Stability of Lactic Acid Bacteria in Fermented Milk. Dalam: Salminen, S. Dan
A.Von Wright (eds). Lactic Acid Bacteria: Microbiology an Functional Aspects. 2nd
edition.
Marcel Dekker Inc., New York.
Lidbeck A. 1995. Effect of oral supplementation with lactic acid bacteria during intake of
antimicrobial agent. In International Dairy Lactic Acid Bacteria Conference, NZ.
Loesecke HWVon. 1950. Bananas. Interscience Publisher Inc, New York.
Luky. 1996. Perubahan Mutu Yoghurt dengan Penambahan Buah-Buahan selama Penyimpanan
Dingin. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Lund M. 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food. Aspen Publishers, Inc, Maryland.
Madsen C. 2007. Functional foods in Europe. Ann Nutr Metab 51:298-299
Maulidya A. 2007. Kajian Pembuatan Yoghurt Susu Jagung sebagai Minuman Probiotik
Menggunakan Campuran Kultur Lactobacillus delbruekii subsp. Bulgaricus, Streptococcus
salivarus subsp. Thermophillus dan Lactobacillus casei subsp. ramnosus. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
McGregor JV dan White CH. 1987. Effect of sweeteners on major volatile compounds and flavour of
yoghurt. J. Dairy sciences (70): 1824-1834.
Meilgaard M, Civille, Gail Vance, Carr, dan Thomas B. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC
Press LLC, USA.
Morimoto K, Takeshita T, Nanno M, Tokudome S, dan Nakayama K. 2005. Modulation of natural
killer cell activity by supplementation of fermented milk containing Lactobacillus casei in
habitual smokers. Preventive Medicine 40: 589-594.
Muchtadi D. 2001. Potensi Pangan Tradisional sebagai Pangang Fungsional dan Suplemen. Di dalam
L. Nuraida dan RD Hariyadi. (eds). Pangan Tradisional. Pusat Kajian Makanan Tradisional.
IPB.
Nagao FM, Nakayama T, Muto, dan Okumura K. 2000. Effects of fermented milk drink containing
Lactobacillus casei starin Shirota on the immune system in healthy human subjects. Biosci.
Biotechnol. Biochem 64: 2706-2708.
Ningsih Y. 2002. Analisis Kelayakan Investasi Pengembangan Agribisnis Pisang Ambon Lokal di
Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat. Tesis. Manajemen Bisnis,
IPB, Bogor.
Nuraida L, DR Adawiyah, dan Subarna. 1995. Pembuatan dan pengawetan kultur kering yoghurt. Bul.
Tek. Dan Industri Pangan VI (3): 85-93.
Oberman H. 1985. Fermented Milk. In : Microbiology of Fermented Milk, Challenges for Health
Science. Y. Nakazawa dan A. Hosono (ed.). Elsevier Applied Science Publishers Ltd.,
London
48
Ohashi Y, Nakai S, Tsukamoto T, Masumori N, Akaza H, Miyanaga N, Kitamura T, Kawabe K,
Kotake T, Kuroda M, Naito S, Koga H, Saito Y, Nomata K, Kitagawa M, dan Aso Y. 2002.
Habitual intake if lactic acid bacteria and risk reduction of bladder cancer. Urologia
Internationalis 68: 5134-5138.
Oliveira MN, Sodini I, Remeuf F, dan Corrieu G. 2001. Effect of milk supplementation and culture
composition on acidification, textural properties and microbiological stability of fermented
milks containing probiotic bacteria. International Dairy Journal 11: 935-942.
Panesar PS, Kaur G, Panesar R, dan Bera MB. 2009. Synbiotics: potential dietary supplements in
functional foods. Food Science Central. www.foodsciencecentral.com/fsc/ixid15649 [10
Agustus 2011].
Prabawati S, Suyanti, dan Setyabudi DA. 2009. Teknologi Pasca Panen dan Pengolahan Buah Pisang.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Rahman A, S Fardiaz, WP Rahayu, Suliantari, dan CC Nurwitri. 1992. Teknologi Fermentasi Susu.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Reddy GV, Friend BA, Shahani KM, dan Farmer RE. 1983. Ati-tumor activity of yogurt components.
Journal of Food Protection 46(1): 8-11.
Reid G. 1999. The scientific basis for probiotic strains of lactobacillus. Applied Environmental
Microbiology 65(9): 3763–3766.
Renhe IRT, Volp ACP, Barbosa KBF, dan Stringheta KBF. 2008. Prebi´oticos e os benef´ıcios de seu
consumo na sa´ude. Rev Bras Nut Clin 23: 119–26.
Roberfroid M. 2005. Inulin-type fructans : functional food ingredients. CRC Press, Florida.
Sadek ZI, El-Shafei K, dan Murad HA. 2004. Utilization of xanthan gum and inulin as prebiotics for
lactic acid bacteria. In 9th Egyptian Conference for Dairy Science and Technology, Cairo,
Egypt, October 9-11, 2004, 9 (Research Papers 1) (pp. 269-283). Cairo, Egypt: Egyptian
Society of Dairy Science.
Salminen S dan A. Von Wright (eds). 1998. Lactic Acid Bacteria : Mikrobiology and Functional
Aspects. 2nd
edition. Marcel Dekker Inc., New York.
Sanders ME. 1998. Development of consumer probiotics for the US market. Brit J Nut 80:213–8.
Saxelin M. 2008. Probiotic formulation and applications, the current probiotic market, and changes in
the marketplace: a European perspective. Clin Infect Dis 46:76–79.
Selamat DP. 1992. Mutu Simpan Yakult Kedelai yang Difermentasi oleh Lactobacillus Casei Subsp
Rhamnosus pada Suhu Ruang dan Suhu Lemari Es. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
IPB, Bogor.
Setiawan B. 2010. Produksi Dadih Probiotik Menggunakan Lactobacillus casei, Lactobacillus
plantarum, Bifidobacterium longum serta Pengaruhnya Selama Penyimpanan.
49
Setyaningsih L. 1992. Pengaruh Jenis Kultur Lactobacillus Casei Penambahan Susu Skim dan
Glukosa Terhadap Mutu Yakult Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB,
Bogor.
Seydin ZBG, Sarikus G, dan Okur OD. 2005. Effect of inulin and dairy-Lo as fat replacers on the
quality of set type yogurt. Milchwissenschaft 60(1): 51-55.
Silvia. 2002. Pembuatan Yogurt Kedelai (Soygurt) dengan Menggunakan Kultur Campuran
Bifidobacterium Bifidum dan Streptococcus Thermophilius. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB, Bogor.
Supriadi Y. 2003. Pembuatan Soyghurt Sinbiotik dengan Menggunakan Kultur Campuran
Bifidobacterium bifidum, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus casei galur Shirota.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Surnalim R dan S Usmiati. 2006. Sifat Morfologi dan Sensori Dadih Susu Sapi yang Difermentasi
Menggunakan Lactobacillus plantarum dalam Kemasan yang Berbeda. Buletin Peternakan.
Vol (30). November 2006.
Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta.
Sveje N. 2007. Prebiotics and probiotics—Improving consumer health through food consumption.
Nutracoss 28–31.
Takeshi M. 2003. Health properties of milk fermented with Lactobacillus casei strain Shirota (LcS).
In E. R. Farnworth (Ed), Handbook of fermented functionl foods (pp. 145-175). Boca
Raton, FL: CRC Press LLC.
Tamime AY dan RK Robinson. 1989. Yoghurt Science and Technology. Pergamon Press, Ltd.,
Canada.
Tamime AY dan Robinson RK. 2007. Tamime and Robinson’s Yoghurt. Science and Technology.
Ed-3. CRC Press, Cambridge.
Tamime AY dan Robinson RK. 2007. Yoghurt science and technology. 3rd ed. Abington, Cambridge,
England: Woodhead Publishing Ltd. LLC, NW, U.S.A.: CRC Press. 791 p.
Tamime AY, Saarela M, Sondergaard AK., Mistry VV, dan Shah NP. 2005. Production and
maintenance of viability of probiotic micro-organisms in dairy products. In A. Y. Tamime
(Ed.), Probiotic dairy products (pp. 39–72). Oxford: Blackwell Publishing.
Toma MM dan Pokrotnieks J. 2006. Probiotics as Functional Food: Microbiological and Medical
Aspects. Acta Universitatis Latviensis (710): 117-129.
Triyono A. 2011. Mempelajari Pengaruh Maltodekstrin dan Susu Skim terhadap Karakteristik
Yoghurt Kacang Hijau (Phaseolu raditus L,). Makalah seminar. Balai Besar Pengembangan
Teknologi Tepat Guna, LIPI, Subang.
50
Tungland BC, dan Meyer. 2002. Nondigestible oligo-and polysaccharides (dietary fiber): Their
physiology and role in human health and food. Comprehensive Reviews in Food Sci. and
Food Safety 3(2002):73-91.
Utami SD. 2010. Pengaruh Yoghurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Lokal Terhadap Proliferasi Sel
Limfosit, Kadar Malonaldehida, dan Aktivitas Superoksida Dismutase pada Tikus
percobaan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Varnam AH dan Sutherland P. 1994. Milk and Milk Products: Technology Chemistry and
Microbiology. Chapman and Hall, London.
Venter CS. Prebiotics for the improvement of human health. Diunduh dari:
www.krepublishers.com/.http://kholisahnasution.multiply.com/JHE-SI-14-01-001-006-
Venter-C-S/JHE-SI-14-01-001-006-Venter-C-S-Text.pdf, [18 Februari 2011].
Winarno FG, Fardiaz S, dan Fardiaz D. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Winarno FG, Wida WA, dan Weni. W. 2003. Mikroflora Usus dan Yoghurt. M-Brio Press, Bogor.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yulianis N. 2004. Pemanfaatan Tepung Ampas Tahu Dalam Pembuatan Minuman Fermentasi
Probiotik dengan Starter Lactobacillus Casei. Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
51
LAMPIRAN
52
Lampiran 1. Jumlah Total BAL pada Kultur Induk dan Starter
Pengenceran Kultur Induk Kultur Starter
U1 U2 U1 U2
10-8
5 8 42 44
10-7
82 66 443 484
10-6
711 712 2592 2416
Jumlah (cfu/ml) 7.4 x 108 4.85 x 10
9
Contoh perhitungan : kultur induk
= 7.4 x 108
*Jumlah koloni yang dihitung hanya yang berjumlah 25-250
53
Lampiran 2. Contoh Form Uji Organoleptik Ranking Hedonik
Uji Rangking Hedonik
Produk : Susu Fermentasi Tanggal :
Nama :
Petunjuk
Urutkan tingkat kesukaan Anda terhadap tiga sampel minuman fermentasi di bawah ini berdasarkan
atribut sensori yaitu aroma, rasa, tekstur, dan overall. Lakukan pencicipan sampel dengan mengambil
sampel pada cup menggunakan sendok yang tersedia lalu letakan pada sendok Anda. Untuk pengujian
terhadap atribut aroma, dekatkan sampel pada indra penciuman. Untuk pengujian terhadap atribut rasa
dan tekstur letakkan sampel pada lidah Anda dan rasakan selama 10 detik. Berikan penilaian Anda
dengan membandingkan ketiga sampel tersebut kemudian berilah nilai 1 untuk sampel yang paling
Anda sukai hingga nilai 3 untuk sampel yang paling Anda tidak sukai. Anda diperbolehkan mencicip
ulang sampel-sampel tersebut sebelum anda melakukan penilaian.
Aroma Rasa
Kode Rangking
Tekstur Overall
Kode Rangking
Komentar:.................................................................................................................... ...............................
....................................................................................................................................................................
....................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................
Kode Rangking
Kode Rangking
54
Lampiran 3. Contoh Form Uji Organoleptik Rating Hedonik
UJI RATING HEDONIK
Nama : Tanggal :
No. Hp :
Sampel : Yoghurt pisang sinbiotik
Instruksi :
1. Lakukan pencicipan sampel satu persatu secara berurutan dari kiri ke kanan dengan
mengambil sampel pada gelas menggunakan sendok yang tersedia lalu letakan pada sendok
Anda.
2. Untuk pengujian terhadap atribut rasa dan tekstur letakkan sampel pada lidah Anda dan
rasakan selama 10 detik. Untuk pengujian terhadap atribut aroma, dekatkan sampel pada
indra penciuman.
3. Berikan penilaian Anda terhadap tekstur, aroma, rasa, dan overall sampel dengan menuliskan
angka
1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka
2 = tidak suka 5 = agak suka
3 = agak tidak suka 6 = suka
4. Setelah selesai menilai, netralkan lidah Anda dengan meminum air mineral dan diamkan
selama 5 detik. Demikian seterusnya hingga sampel terakhir.
Kode Tekstur Aroma Rasa Overall
Komentar:………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………….
55
Lampiran 4. Hasil Uji Rangking Pada Tahap Optimasi Puree Pisang pada
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
No Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan
5% 10% 20% 5% 10% 20% 5% 10% 20% 5% 10% 20%
1 2 1 3 3 2 1 3 1 2 3 1 2
2 2 1 3 1 2 3 2 1 3 1 2 3
3 3 2 1 3 1 2 2 3 1 3 2 1
4 1 2 3 1 2 3 3 1 2 3 1 2
5 3 2 1 2 1 3 3 2 1 3 2 1
6 3 1 2 3 2 1 3 1 2 3 1 2
7 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 2 1
8 1 2 3 1 3 2 3 2 1 2 3 1
9 3 2 1 3 2 1 2 3 1 3 2 1
10 2 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
11 3 2 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1
12 1 3 2 1 2 3 1 2 3 1 2 3
13 3 1 2 1 3 2 1 2 3 3 1 2
14 2 3 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2
15 1 3 2 2 1 3 2 1 3 1 2 3
16 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
17 2 1 3 2 3 1 3 1 2 3 1 2
18 1 2 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3
19 3 2 1 2 3 1 2 3 1 3 2 1
20 3 1 2 3 1 2 3 2 1 3 1 2
21 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
22 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
23 1 3 2 1 3 2 2 3 1 2 3 1
24 2 3 1 1 2 3 1 3 2 1 3 2
25 1 2 3 2 3 1 2 3 1 2 3 1
26 2 3 1 1 2 3 1 3 2 1 3 2
27 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2
28 1 3 2 1 3 2 2 3 1 2 3 1
29 2 1 3 1 3 2 2 1 3 2 1 3
30 2 3 1 3 1 2 2 3 1 2 3 1
31 2 3 1 3 2 1 2 3 1 2 3 1
32 2 3 1 1 3 2 2 1 3 3 1 2
33 3 2 1 1 2 3 2 1 3 2 1 3
34 2 3 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
35 2 1 3 1 3 2 1 3 2 1 3 2
36 1 2 3 1 3 2 1 2 3 1 2 3
37 3 2 1 3 2 1 1 3 2 3 2 1
38 1 3 2 1 2 3 3 2 1 2 1 3
39 3 1 2 1 2 3 3 1 2 2 1 3
40 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
41 2 3 1 2 3 1 2 1 3 2 3 1
56
No Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan
5% 10% 20% 5% 10% 20% 5% 10% 20% 5% 10% 20%
42 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2
43 1 2 3 1 2 3 3 1 2 3 1 2
44 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
45 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2
46 3 2 1 1 3 2 3 2 1 3 2 1
47 2 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
48 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2
49 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 2 1
50 3 1 2 3 2 1 3 1 2 3 1 2
51 3 1 2 3 2 1 3 2 1 3 2 1
52 3 2 1 1 2 3 1 2 3 2 1 3
53 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 1 2
54 2 1 3 3 1 2 2 1 3 2 1 3
55 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2
56 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3
57 1 2 3 1 3 2 2 3 1 1 3 2
58 3 2 1 1 2 3 3 2 1 3 2 1
59 1 2 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3
60 1 2 3 2 3 1 2 3 1 2 3 1
61 3 1 2 1 2 3 1 2 3 1 2 3
62 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
63 3 1 2 2 1 3 2 1 3 2 1 3
64 3 1 2 3 2 1 3 2 1 3 2 1
65 1 3 2 1 2 3 3 1 2 3 2 1
66 2 3 1 1 2 3 3 1 2 3 1 2
67 2 3 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2
68 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 2 1
69 1 3 2 1 2 3 1 2 3 1 2 3
70 2 1 3 1 2 3 2 3 1 1 3 2
Total 144 137 139 128 139 153 149 131 140 150 129 141
Rata-
rata 2.06 1.96 1.99 1.83 1.99 2.19 2.13 1.87 2.00 2.14 1.84 2.01
Keterangan :
1 = Paling disukai
2 = Netral
3 = Paling tidak disukai
57
Lampiran 5. Hasil Uji Rating pada Tahap Optimasi Inulin Komersial pada
Pembuatan Yoghurt Sinbiotik dengan Menggunakan ANOVA dan
Uji lanjut Duncan.
HASIL EVALUASI SENSORI ATRIBUT OVERALL
58
HASIL EVALUASI SENSORI ATRIBUT TEKSTUR
59
HASIL EVALUASI SENSORI ATRIBUT AROMA
60
HASIL EVALUASI SENSORI ATRIBUT RASA
61
Lampiran 6. Hasil Analisis Proksimat Yoghurt Sinbiotik
1. Kadar Air
Ulangan Berat cawan
(g)
Berat awal sampel
(g)
Berat setelah di oven
(g)
Berat akhir sampel
(g)
Kadar air
(%)
1 (A) 4.3931 5.0147 8.6277 0.7801 84.44
1 (B) 4.6071 5.0234 8.8495 0.7810 84.45
2 (A) 32.5251 2.2393 32.8727 0.3476 84.48
2 (B) 31.4585 2.3396 31.8223 0.3638 84.45
Rata-rata 84.46
Contoh perhitungan kadar air yoghurt sinbiotik ulangan 1(A) :
= 84.44%
2. Kadar Abu
Ulangan Berat cawan
(g)
Berat awal sampel
(g)
Berat setelah di tanur
(g)
Berat abu
(g)
Kadar abu
(%)
1 (A) 19.7133 2.0504 19.7285 0.0152 0.74
1 (B) 20.8423 2.0672 20.8579 0.0156 0.75
2 (A) 20.3831 2.0496 22.4170 0.0157 0.76
2 (B) 18.3222 2.0332 20.3401 0.0153 0.75
Rata-rata 0.75
Contoh perhitungan kadar abu yoghurt sinbiotik ulangan 1(A) :
= 0.74%
62
3. Kadar Protein
Ulangan Berat sampel
(g)
Titrasi sampel
(ml) N HCl
Blanko
(ml) K. Protein (%)
1 (A) 0.4337 3.90 0.090 0.15 2.78
1 (B) 0.4420 3.98 0.090 0.15 2.79
2 (A) 0.4453 4.01 0.090 0.15 2.79
2 (B) 0.4380 3.95 0.090 0.15 2.79
Rata-rata 2.79
Contoh perhitungan kadar protein yoghurt sinbiotik ulangan 1 (A) :
= 0.4359
= 2.78%
4. Kadar Lemak
Ulangan Berat sampel awal
(g)
Berat cawan
(g)
Berat setelah di oven
(g)
Berat
sampel akhir
(g)
K. Lemak
(%)
1 (A) 2.1857 37.4156 37.4199 0.0043 0.20
1 (B) 2.3795 38.5468 38.5499 0.0031 0.13
2 (A) 2.0421 37.9045 37.9089 0.0044 0.22
2 (B) 2.1063 39.1099 39.1145 0.0046 0.22
Rata-rata 0.20
Contoh perhitungan kadar lemak yoghurt sinbiotik ulangan 1(A) :
= 0.20%
63
5. Total Asam tertitrasi
Ulangan V. contoh
(ml)
V. NaOH
(ml) N NaOH
Total Asam Tertitrasi
(%)
1 (A) 10 0.65 0.1228 0.7183
1 (B) 10 0.65 0.1228 0.7183
2 (A) 10 0.63 0.1228 0.6963
2 (B) 10 0.68 0.1228 0.7515
Rata-rata 0.7211
Contoh perhitungan TAT yoghurt sinbiotik ulangan 1(A) :
= 0.7183 %
64
Lampiran 7. Jumlah Total Bakteri Asam Laktat selama 14 hari
Hari ke 10-7
10-8
10-9
jumlah BAL
(cfu/ml)
0 350 26
3.6 x 109
354 46
3 67 8
7.9 x 109
72 26
5 84 9
8.5 x 109
85 1
7 416 55
6.1 x 109
412 68
10 612 82 7
5.3 x 109
620 25 9
12 356 44 3
3.7 x 109
351 30 7
14 410 56 15
4.1 x 109
424 56 10
65
Lampiran 8. Gambar Hasil Uji Total Bakteri Asam Laktat dari Hari ke-0
sampai ke-14
Hari ke-0
108
Hari ke-3
108
Hari ke-5
108 10
9
66
Hari ke-7
107 10
8
Hari ke-10
107 18
8 10
9
Hari ke-12
107 18
8 10
9
Hari ke-14
107 18
8 10
9
67
Lampiran 9. Hasil Uji Koliform Hari ke-0 dan Hari ke-14
Hari Pengenceran Koliform Hasil Kuantitatif
(MPN/g) 1 2 3
Ke-0 10-0
- - - < 3.0
10-1
- - -
10-2
- - -
10-3
- - -
Ke-14 10-0
- - - < 3.0
10-1
- - -
10-2
- - -
10-3
- - -
68
Lampiran 10. Hasil Uji Koliform pada Media BGLBB
Hari ke-0 Hari ke-14
Keterangan: seluruh tabung negatif koliform