Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

23
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 12 No. 2, Januari 2012: 192-214 ISSN 1411-5212 Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants of Energy Intensity in Indonesia Fitri Kartiasih a,* , Yusman Syaukat & Lukytawati Anggraeni b,** a Subdirektorat Statistik Pertambangan dan Energi, Badan Pusat Statistik b Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Abstract This study contributes to the existing literature by examining energy consumption, energy intensity and its determinants in Indonesia’s aggregate and sectoral economy. Index Ideal Fisher uses to decompose two key determinants of changes in energy intensity – efficiency improvements and changes in economic activity – to analyze which determinant is more important in driving improvements in energy intensity. VAR/VECM analysis is used to determine which economic variables affect the aggregate intensity. The study found that energy intensity increased gradually. The main contributing factor in the national level is the changes in economic activity, while in the sectoral level is efficiency effect. Keywords: Energy, Energy Intensity, Energy Consumption, Energy Efficiency, VAR/VECM Abstrak Studi ini memperkaya kajian energi di Indonesia dengan menganalisis konsumsi dan intensitas energi, serta faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di Indonesia baik secara agregat (nasional) maupun sektoral. Indeks Ideal Fisher digunakan untuk mendekomposisi perubahan intensitas energi (efisiensi dan perubahan aktivitas ekonomi). Analisis Vector Autoregressive (VAR) atau Vector Error Correction Model (VECM) digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel ekonomi terhadap intensitas energi. Studi ini menunjukkan bahwa intensitas energi di Indonesia meningkat selama periode 1977–2010. Faktor utama yang memengaruhi intensitas energi di tingkat nasional adalah perubahan aktivitas ekonomi, sedangkan di tingkat sektoral adalah efek efisiensi. Kata kunci: Energi, Intensitas Energi, Konsumsi Energi, Efisiensi Energi, VAR/VECM JEL classifications: Q40, Q42, Q43 Pendahuluan Energi memainkan peran yang sangat penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat ka- rena energi merupakan salah satu indikator pembangunan dan pertumbuhan ekonomi su- * Alamat Korespondensi: Jl. Kebon Nanas Selat- an II RT.011/05 No.4 Cipinang Cempedak, Jatinega- ra, Jakarta Timur 13340. Hp.: 085246011435. E-mail : [email protected] ** E-mail : [email protected] (Yusman Syaukat) & [email protected] (Lukytawati Ang- graeni) atu negara. Meningkatnya pembangunan akan meningkatkan kebutuhan akan energi pula. Be- berapa peranan strategis energi antara lain se- bagai sumber penerimaan negara, bahan ba- kar dan bahan baku industri, penggerak kegi- atan ekonomi, serta beberapa peranan penting lainnya. Kelangsungan berbagai sektor di sua- tu negara, seperti sektor industri, rumah tang- ga, transportasi, jasa, dan lain-lain tidak da- pat dipisahkan dari penggunaan energi. Meng- ingat pentingnya peran tersebut, maka proses pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan

Transcript of Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Page 1: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 12 No. 2, Januari 2012: 192-214

ISSN 1411-5212

Determinan Intensitas Energi di IndonesiaThe Determinants of Energy Intensity in Indonesia

Fitri Kartiasiha,∗, Yusman Syaukat & Lukytawati Anggraenib,∗∗

aSubdirektorat Statistik Pertambangan dan Energi, Badan Pusat StatistikbFakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Abstract

This study contributes to the existing literature by examining energy consumption, energy intensity and itsdeterminants in Indonesia’s aggregate and sectoral economy. Index Ideal Fisher uses to decompose two keydeterminants of changes in energy intensity – efficiency improvements and changes in economic activity –to analyze which determinant is more important in driving improvements in energy intensity. VAR/VECManalysis is used to determine which economic variables affect the aggregate intensity. The study found thatenergy intensity increased gradually. The main contributing factor in the national level is the changes ineconomic activity, while in the sectoral level is efficiency effect.Keywords: Energy, Energy Intensity, Energy Consumption, Energy Efficiency, VAR/VECM

Abstrak

Studi ini memperkaya kajian energi di Indonesia dengan menganalisis konsumsi dan intensitas energi, sertafaktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di Indonesia baik secara agregat (nasional) maupunsektoral. Indeks Ideal Fisher digunakan untuk mendekomposisi perubahan intensitas energi (efisiensi danperubahan aktivitas ekonomi). Analisis Vector Autoregressive (VAR) atau Vector Error Correction Model(VECM) digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel ekonomi terhadap intensitas energi.Studi ini menunjukkan bahwa intensitas energi di Indonesia meningkat selama periode 1977–2010. Faktorutama yang memengaruhi intensitas energi di tingkat nasional adalah perubahan aktivitas ekonomi,sedangkan di tingkat sektoral adalah efek efisiensi.Kata kunci: Energi, Intensitas Energi, Konsumsi Energi, Efisiensi Energi, VAR/VECM

JEL classifications: Q40, Q42, Q43

Pendahuluan

Energi memainkan peran yang sangat pentingdan strategis dalam kehidupan masyarakat ka-rena energi merupakan salah satu indikatorpembangunan dan pertumbuhan ekonomi su-

∗Alamat Korespondensi: Jl. Kebon Nanas Selat-an II RT.011/05 No.4 Cipinang Cempedak, Jatinega-ra, Jakarta Timur 13340. Hp.: 085246011435. E-mail :[email protected]

∗∗E-mail : [email protected] (Yusman Syaukat) &[email protected] (Lukytawati Ang-graeni)

atu negara. Meningkatnya pembangunan akanmeningkatkan kebutuhan akan energi pula. Be-berapa peranan strategis energi antara lain se-bagai sumber penerimaan negara, bahan ba-kar dan bahan baku industri, penggerak kegi-atan ekonomi, serta beberapa peranan pentinglainnya. Kelangsungan berbagai sektor di sua-tu negara, seperti sektor industri, rumah tang-ga, transportasi, jasa, dan lain-lain tidak da-pat dipisahkan dari penggunaan energi. Meng-ingat pentingnya peran tersebut, maka prosespembangunan tidak dapat dipisahkan dengan

Page 2: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 193

pengembangan sektor energi. Oleh karena itu,perencanaan energi yang baik mutlak diperlu-kan untuk menjamin keberhasilan pembangun-an nasional.

Meningkatnya pembangunan dan pertum-buhan ekonomi yang begitu dinamis, yang di-tandai dengan meningkatnya output produksidan beragam aktivitas ekonomi lainnya, akandisertai dengan meningkatnya populasi pendu-duk sehingga menyebabkan peningkatan kebu-tuhan energi. Kebutuhan energi di Indonesiasampai saat ini dipasok oleh energi berbasis fo-sil, seperti bahan bakar minyak, gas, dan batubara yang tidak dapat diperbarui. Energi ter-sebut suatu saat akan mengalami kelangkaandan tidak mampu lagi mencukupi permintaandan konsumsi sumber daya tersebut. Dari se-luruh pasokan energi primer yang ada, sebesar94–95% berasal dari sumber energi tak terba-rukan. Hanya terjadi pergeseran komposisi dariminyak bumi dan gas alam ke batu bara selamadua dekade terakhir. Sedangkan, pasokan ener-gi terbarukan, seperti tenaga air (hydropower)dan panas bumi (geothermal) hanya sebesar 4–5% (Gambar 1).

Terkait dengan masalah energi, Indonesia sa-at ini dihadapkan pada beberapa isu penting,yaitu pertumbuhan konsumsi energi yang ting-gi, tetapi pemanfaatannya tidak efisien dan ke-butuhan energi yang masih didominasi olehbahan bakar fosil. Tren konsumsi energi yangcenderung meningkat mengindikasikan bahwaenergi merupakan komoditas penting dan stra-tegis bagi setiap negara di masa mendatang.Di sisi lain, tren peningkatan konsumsi energiternyata diikuti oleh fenomena penurunan ca-dangan sumber energi berbasis fosil. Semakinterbatasnya sumber energi konvensional terse-but lebih dikarenakan sifatnya yang tak da-pat diperbaharui. Bila kondisi ini tidak di-antisipasi sedini mungkin, maka pada giliran-nya dapat menimbulkan permasalahan pasok-an energi untuk kelangsungan hidup manusiadan pembangunan yang berkelanjutan di masamendatang.

Salah satu isu yang paling menarik adalahtentang pemanfaatan energi di Indonesia yangdiindikasikan cenderung boros dan kurang efi-sien. Hal ini dapat dilihat dari nilai intensitasenerginya. Intensitas energi merupakan indika-tor ekonomi makro untuk efisiensi energi, yaitumengukur seberapa besar energi yang diguna-kan atau diperlukan per unit output (Yanagi-sawa, 2011). Intensitas energi primer Indone-sia pada tahun 2009 adalah sebesar 565 TOE(ton oil equivalent) per 1 juta US$, artinyauntuk meningkatkan Produk Domestik Bruto(PDB) sebesar 1 juta US$, Indonesia memer-lukan energi sebanyak 565 TOE. Sebagai per-bandingan, intensitas energi Malaysia adalah493 TOE per 1 juta US$ dan rata-rata intensi-tas energi negara-negara maju (tergabung da-lam Organization for Economic Coordinationand Development (OECD)) hanya sebesar 164TOE per 1 juta US$ (Kompas.com, 2012). Ber-dasarkan angka tersebut menunjukkan bahwapemakaian energi di Indonesia masih belum efi-sien.

Terkait dengan sifat energi yang strategisserta harga keekonomian energi yang diang-gap belum terjangkau oleh sebagian besar ma-syarakat Indonesia, maka pemerintah Indone-sia menetapkan kebijakan untuk memberikansubsidi di bidang energi, baik itu BBM mau-pun listrik. Realisasi subsidi Bahan Bakar Mi-nyak (BBM) pada Desember 2011 mencapaiRp165,2 triliun atau sebesar 127,4% dari yangtelah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatandan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) ta-hun 2011 yang nilainya sebesar Rp129,7 trili-un. Diperkirakan subsidi BBM tahun 2012 ju-ga akan meningkat. Padahal dalam Undang-Undang APBN 2012, subsidi BBM direncana-kan Rp123,6 triliun (Kementerian Energi danSumber Daya Mineral, 2011). Beban subsidimenjadi semakin berat terutama ketika hargaenergi dunia mengalami kenaikan, biaya pro-duksi energi meningkat, namun di sisi lain po-la konsumsi yang relatif boros karena harga-nya relatif murah. Subsidi energi juga secara

Page 3: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 194

Gambar 1: Persentase Pasokan Energi Primer Menurut Sumber Energi Tahun 1991, 2000 dan 2010

Sumber: KESDM (beberapa tahun), diolah

tidak langsung menghambat laju perkembang-an energi terbarukan.

Studi-studi yang ada di Indonesia selama iniyang terkait dengan energi, kebanyakan hanyafokus pada konsumsi energi dan perkiraan ak-an kebutuhan energi nasional. Sejauh ini belumditemukan adanya studi mengenai intensitasenergi secara agregat (nasional) maupun sekto-ral. Beberapa studi mengenai intensitas energidi Indonesia berfokus pada sektor industri ter-utama industri menengah dan besar, di anta-ranya adalah studi yang dilakukan oleh Harto-no et al. (2011). Berdasarkan uraian tersebutdi atas, maka tujuan dalam studi ini adalah:1) Menganalisis dinamika konsumsi energi danintensitas energi di Indonesia, serta mengiden-tifikasi sektor-sektor yang lebih efisien dalampenggunaan energi, 2) Mengidentifikasi kom-ponen yang lebih berperan dalam perubahanintensitas energi di Indonesia, apakah kompo-nen efisiensi (efficiency effect) atau pergeseranaktivitas ekonomi (activity effect)?, 3) Menga-nalisis faktor-faktor yang memengaruhi inten-sitas energi di Indonesia.

Ruang lingkup studi ini adalah wilayah Indo-nesia. Energi yang dicakup dalam studi ini me-liputi semua bentuk energi akhir yang dikon-sumsi oleh seluruh sektor dalam perekonomian

antara lain: bahan bakar minyak (avgas/avtur,premium/pertamax, minyak tanah, minyak di-esel (Automotive Diesel Oil (ADO)), minyaksolar (Industrial Diesel Oil (IDO)), dan mi-nyak bakar), gas, Liquefied Petroleum Gas(LPG), listrik, dan batu bara, tidak termasukbiomasa. Periode analisis, yaitu tahun 1977–2010. Keterbatasan studi ini adalah mengana-lisis intensitas energi secara agregat (nasional)dan sektoral, tidak menganalisis pada tingkatregional.

Tinjauan Referensi

Energi

Energi merupakan faktor produksi yang esensi-al dalam proses produksi. Semua produksi me-libatkan transformasi atau pergerakan materi-al melalui beberapa tahapan yang keseluruhanproses tersebut memerlukan energi. Energi ti-dak hanya dipandang sebagai barang konsumsisemata, namun juga sebagai input yang pen-ting bagi pengembangan serta kemajuan tek-nologi yang berperan signifikan bagi pemba-ngunan ekonomi. Bentuk energi ada dua ma-cam, yaitu energi primer dan energi akhir (se-kunder). Energi primer adalah energi yang di-

Page 4: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 195

berikan oleh alam dan belum mengalami prosespengolahan lebih lanjut. Energi primer memili-ki peran sebagai bahan bakar awal untuk kemu-dian diolah menjadi bentuk energi akhir. Yangtermasuk dalam kategori energi primer adalahminyak bumi, gas bumi, batu bara, tenaga air,dan panas bumi.

Energi akhir (sekunder) merupakan bentuktransformasi dari energi primer yang dapat di-gunakan setelah melalui beberapa proses, mi-salnya proses di kilang minyak, kilang LPG,pembangkit listrik, dan gas kota. Energi akhirdapat langsung digunakan oleh pelaku ekono-mi, seperti sektor industri, transportasi, rumahtangga, komersial atau jasa, dan sektor lain-nya. Energi akhir dapat berupa energi listrik,bahan bakar olahan (minyak tanah, solar, pre-mium, dan lain-lain), LPG, dan bentuk ener-gi olahan lainnya (Yusgiantoro, 2000). Berda-sarkan ketersediaannya, sumber energi dibagimenjadi dua, yaitu energi fosil yang tidak da-pat diperbarui (non-renewable energy), sepertiminyak bumi, gas bumi, batu bara, uranium,dan sebagainya; dan energi yang dapat diper-barui (renewable energy), seperti panas bumi,tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, dan se-bagainya.

Energi dan Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Chontanawat et al. (2006) perananenergi terhadap perekonomian dapat dilihatdari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan sisipermintaan. Dari sisi permintaan, energi me-rupakan salah satu produk yang langsung di-konsumsi oleh konsumen demi memaksimum-kan utilitasnya. Sedangkan dari sisi penawar-an, energi merupakan faktor kunci bagi prosesproduksi di samping modal, tenaga kerja, danmaterial lainnya. Energi merupakan input pen-ting bagi bergeraknya roda perekonomian sua-tu negara.

Alam (2006) menyatakan bahwa energi me-rupakan pusat perekonomian karena mengen-dalikan semua kegiatan ekonomi. Para ekonomneo-klasik mengeluarkan energi dari perekono-

mian, sehingga memisahkan ekonomi dari eko-logi atau sumber energi. Konsep fungsi pro-duksi, hanya menyertakan modal dan tenagakerja untuk memproduksi output yang tergan-tung pada teknologi. Tidak adanya energi da-lam kerangka neo-klasik akan mendistorsi ana-lisis mengenai pertumbuhan ekonomi dan sum-ber pertumbuhan. Ini dikarenakan kecepatanpertumbuhan ekonomi sering kali tergantungpada penggunaan energi.

Stern (2003) menyatakan bahwa hubunganantara energi dan output (PDB) secara seder-hana dapat dituliskan dengan persamaan Y =f(L,K,E,M), di mana Y adalah output agre-gat ataupun sektoral, L adalah tenaga kerja, Kadalah modal atau kapital, E dan M masing-masing adalah energi dan material non-energilainnya. Komponen E dalam fungsi produksidi atas dapat saja memiliki hubungan komple-menter (saling melengkapi) atau substitusi (sa-ling menggantikan) dengan faktor produksi la-in (non-E).

Intensitas Energi

Intensitas energi digunakan untuk menggam-barkan tingkat efisiensi energi. Intensitas ener-gi berbanding terbalik dengan efisiensi energi,yaitu semakin sedikit energi yang diperlukanuntuk memproduksi satu unit output, sema-kin efisien penggunaan energi (Nanduri, 1998).Ukuran intensitas energi tidak menggambar-kan tentang efisiensi energi secara keseluruhan,tetapi setidaknya dapat menggambarkan bah-wa rasio yang lebih kecil menunjukkan suatunegara semakin bagus dalam mentransfer ener-gi ke dalam produksinya. Dengan demikian, in-tensitas energi menjadi proksi untuk mengukurtingkat efisiensi energi (Thaler, 2011).

Kebijakan Energi

Dalam rangka mengoptimumkan penggunaansumber daya energi, pemerintah telah menge-luarkan kebijakan umum di bidang energi yangmeliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi,

Page 5: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 196

konservasi, harga energi, dan lingkungan. Ke-bijakan energi ini dituangkan dalam PeraturanPresiden No. 5 Tahun 2006 tentang KebijakanEnergi Nasional (KEN). Adapun sasaran dariKEN adalah: (1) Tercapainya elastisitas ener-gi yang lebih kecil dari satu pada tahun 2025dan (2) Terwujudnya diversifikasi energi primeryang optimal pada tahun 2025, yaitu perananmasing-masing jenis energi terhadap konsumsienergi nasional, yaitu: (i) minyak bumi sebesar-besarnya 20%, (ii) gas bumi minimal 30%, (iii)batu bara minimal 33%, (iv) bahan bakar na-bati (biofuel) minimal 5%, (v) panas bumi mi-nimal 5%, (vi) energi baru dan terbarukan lain-nya, khususnya biomasa, nuklir, tenaga air, te-naga surya, dan tenaga angin minimal 5%, dan(vii) batu bara yang dicairkan (liquefied coal)minimal 2% (Kementerian Energi dan SumberDaya Mineral, 2006).

Oleh sebab itu, KEN merupakan kebijakanpemerintah untuk melakukan diversifikasi ener-gi. Pemerintah akan mengurangi pangsa peng-gunaan minyak bumi dan meningkatkan pang-sa penggunaan batu bara dan gas bumi yangcadangannya relatif lebih banyak, serta me-ningkatkan pangsa penggunaan energi terba-rukan (energi air, energi panas bumi, biomasa,energi surya, dan energi angin) karena poten-sinya melimpah dan termasuk energi bersih.

Dekomposisi Intensitas Energi

Untuk melihat dinamika perubahan intensitasenergi dari waktu ke waktu, serta memahamiperubahan struktur penggunaan energi mau-pun efisiensi energi di semua aktivitas sektorekonomi, sering kali dalam studi-studi terda-hulu menggunakan Indeks Ideal Fisher. Meto-de dekomposisi Fisher berguna untuk melihatfaktor yang berperan dalam perubahan inten-sitas energi, yang dibagi menjadi dua faktor(komponen), yaitu perubahan efisiensi (effici-ency affect) dan perubahan dalam aktivitasekonomi (activity effect). Efisiensi mengacu pa-da penurunan penggunaan energi per unit ak-tivitas ekonomi dalam sektor tertentu, sedang-

kan aktivitas ekonomi mengacu pada perubah-an bauran aktivitas ekonomi (pergeseran dariaktivitas ekonomi yang intensif energi menujuke aktivitas ekonomi yang intensif non-energi)atau sebaliknya dengan mempertahankan ting-kat efisiensi konstan (Metcalf, 2008 dan Song,2011).

Berikut adalah faktor-faktor yang meme-ngaruhi intensitas energi. Pertama, pen-dapatan per kapita. Variabel ini digunak-an untuk menggambarkan kondisi permintaanterhadap energi. Hal ini sesuai dengan Engel’sLaw yang menyatakan peningkatan pendapat-an per kapita meningkatkan permintaan ter-hadap energi dan pada akhirnya akan menye-babkan peningkatan intensitas energi. Ketikapendapatan meningkat, konsumsi dan inten-sitas energi juga akan meningkat karena me-ningkatnya permintaan, seperti barang-barangelektronik (komputer, AC, dan perlengkapanrumah tangga lainnya), membeli kendaraan ba-ru, dan sebagainya (Bernstein et al., 2003).

Kedua, harga energi. Sesuai dengan hu-kum permintaan, kenaikan harga energi me-nyebabkan permintaan terhadap energi akanturun dan hal ini pada akhirnya akan menye-babkan penurunan intensitas energi. Pening-katan harga energi akan meningkatkan biayaproduksi, sehingga produsen akan meresponsdengan memperbaiki atau mengoreksi penggu-naan energi agar lebih efisien. Harga bahan ba-kar yang tinggi memaksa orang untuk mene-mukan moda transportasi alternatif yang lebihhemat energi (Thaler, 2011).

Ketiga, pertumbuhan penduduk. Per-tumbuhan penduduk meningkatkan aktivitasekonomi yang lebih intensif energi (Metcalf,2008). Sedangkan, Bernstein et al. (2003)mengemukakan bahwa seperti halnya pe-ningkatan pendapatan, pertumbuhan populasiyang tinggi akan meningkatkan konsumsi ener-gi dan intensitas energi. Pertumbuhan jumlahpenduduk akan meningkatkan permintaan ter-hadap energi.

Keempat, impor energi. Soile dan Balo-

Page 6: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 197

gun (2011) menyatakan bahwa negara-negarayang mengandalkan melimpahnya sumber dayaenergi, kemungkinan intensitas energinya rela-tif lebih tinggi. Harga energi yang lebih rendahdan terdistorsi biasanya berkorelasi positif de-ngan tingkat intensitas energi yang lebih tinggi.Sebaliknya, keterbatasan sumber daya sebagaiinsentif bagi beberapa negara untuk memilikiintensitas energi yang lebih rendah.

Studi Terdahulu

Oseni (2011) meneliti tentang faktor-faktoryang memengaruhi intensitas energi di 16negara-negara OECD tahun 1975–2007 meng-gunakan metode Indeks Ideal Fisher dan anali-sis ekonometrik data panel dinamis. Hasil stu-dinya menunjukkan bahwa penurunan intensi-tas energi dalam jangka panjang merupakanakibat dari perubahan harga energi dan pen-dapatan yang sebagian besar dikarenakan per-geseran kegiatan ekonomi dari sektor yang in-tensif energi ke sektor jasa yang intensif non-energi.

Metcalf (2008) menganalisis faktor-faktoryang memengaruhi intensitas energi denganmenggunakan metode dekomposisi Indeks Ide-al Fisher dan analisis regresi data panel yangdiinterpretasikan sebagai fungsi permintaanenergi. Variabel-variabel yang digunakan mu-lai dari variabel ekonomi, seperti harga ener-gi, perubahan aktivitas ekonomi (misalnya, ter-jadi pergeseran struktur ekonomi agraris keekonomi industri), variabel sosial (pertumbuh-an penduduk dan rasio kapital-tenaga kerja),dan juga variabel iklim (penggunaan pendi-ngin dan penghangat ruangan). Hasil anali-sisnya menyatakan bahwa peningkatan hargaenergi dan peningkatan pendapatan per kapi-ta berperan besar dalam penurunan intensitasenergi di negara-negara bagian di Amerika Se-rikat.

Hasil studi Wu (2012) menunjukkan bahwakecuali pada tahun 2001–2005, intensitas ener-gi di Cina menurun selama periode 1981–2007.Faktor utama yang berperan dalam penurun-

an intensitas energi adalah komponen perbaik-an efisiensi. Hasil studinya menunjukkan bah-wa intensitas energi bersifat responsif terhadapharga energi baik untuk jangka pendek mau-pun jangka panjang.

Studi yang dilakukan oleh Thaler (2011)mengenai determinan intensitas energi meng-gunakan beberapa faktor, seperti faktor geo-grafi, industri, demografi, dan sebagainya. stu-dinya menggunakan data cross section pada ta-hun 2006 mencakup 160 negara dengan metoderegresi linear berganda. Hasil analisisnya me-nunjukkan bahwa standar hidup, impor energi,dan harga energi berdampak negatif terhadapintensitas energi, sedangkan pendidikan, iklim,manufaktur, dan energi terbarukan berdampakpositif terhadap intensitas energi.

Ibrahim (2011) melakukan studi mengenaiketerkaitan antara konsumsi energi, pendapat-an riil, dan harga energi di Arab Saudi de-ngan menggunakan data tahunan untuk per-iode waktu 1982–2007. Metode analisis yangdigunakan adalah uji unit root, model VectorAutoregressive (VAR), uji kausalitas, impulseresponse functions, dan Forecast Error Vari-ance Decompositions (FEVD). Hasil studinyamenunjukkan bahwa tidak terdapat hubung-an kausalitas dua arah antara konsumsi energidan pendapatan. Pendapatan riil dan konsum-si energi memengaruhi harga energi, sebaliknyaharga energi tidak memengaruhi pendapatanriil maupun konsumsi energi. Pendapatan ri-il memainkan peran penting dalam kebijakanyang menargetkan untuk meningkatkan efisien-si energi di Arab Saudi.

Studi mengenai hubungan kausal antara kon-sumsi listrik, indeks harga konsumen, total pe-ngeluaran konsumen, PDB, dan Foreign DirectInvestment (FDI) di Malaysia dilakukan olehBekhet dan Othman (2011). Metode yang di-gunakan adalah Vector Error Correction Model(VECM). Hasil studi menunjukkan bahwa da-lam jangka panjang, hubungan kausalitas kon-sumsi listrik terhadap FDI, pertumbuhan PDBdan inflasi (Indeks Harga Konsumen) adalah

Page 7: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 198

signifikan. Hal ini menandakan bahwa konsum-si listrik adalah elemen penting yang menen-tukan pertumbuhan ekonomi, serta alat yangkuat dalam mengeksekusi kebijakan pemerin-tah untuk penghematan energi di Malaysia.

Sejauh ini studi tentang intensitas energiagregat di Indonesia belum ditemukan. Bebe-rapa studi hanya fokus pada intensitas energidi sektor industri menengah dan besar. Salahsatunya adalah studi yang dilakukan oleh Har-tono et al. (2011) menggunakan dua metodeuntuk menguraikan faktor-faktor yang meme-ngaruhi intensitas energi di sektor industri, yai-tu metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher dananalisis regresi data panel. studi dilakukan pa-da 13.743 perusahaan pada periode 2002–2006.Hasil studi menunjukkan bahwa upah tenagakerja, umur perusahaan, intensitas modal, danproporsi kapital yang dimiliki oleh pihak swas-ta berdampak positif terhadap intensitas ener-gi, sedangkan ukuran perusahaan, produktivi-tas tenaga kerja, dan intensitas teknologi ber-dampak negatif terhadap intensitas energi.

Metode

Jenis data yang digunakan dalam studi ini ada-lah data sekunder yang diperoleh dari Bad-an Pusat Statistik (BPS), Kementerian Energidan Sumber Daya Mineral, dan Energy Infor-mation Administration (EIA)1. Data sekunderyang digunakan adalah data time series daritahun 1977–2010 untuk beberapa variabel, ya-itu PDB sektoral, jumlah penduduk, konsumsienergi final, pasokan energi primer, harga ener-gi, dan data pendukung lainnya.

Metode Analisis

Analisis Deskriptif

Dalam studi ini, analisis deskriptif diguna-kan untuk memberikan gambaran secara umum

1http://www.eia.gov/

mengenai dinamika konsumsi energi dan inten-sitas energi di Indonesia.

Dinamika Intensitas Energi dan Dekom-posisinya

Studi ini menggunakan metode dekomposisi In-deks Ideal fisher untuk menganalisis dinamikaperubahan intensitas energi dan dekomposisi-nya di Indonesia. Metode tersebut digunakanuntuk mengidentifikasi apakah tren perubah-an intensitas energi dari waktu ke waktu le-bih disebabkan oleh komponen efisiensi (effici-ency effect) atau komponen aktivitas ekonomi(activity effect). Menurut Song (2011), kompo-nen efisiensi mengacu pada penurunan atau pe-ngurangan penggunaan energi per unit aktivi-tas ekonomi di masing-masing sektor ekonomi(within a sector). Sedangkan, aktivitas ekono-mi mengacu pada perubahan struktur ekono-mi atau pergeseran aktivitas ekonomi yang in-tensif energi ke aktivitas ekonomi yang intensifnon-energi antarsektor atau sebaliknya.

Dalam studi ini, intensitas energi nasional di-bagi dalam empat sektor, yaitu sektor industri,transportasi, komersial (jasa-jasa), dan rumahtangga. Intensitas energi (et) dapat ditulis se-bagai fungsi komponen efisiensi energi dan ke-giatan ekonomi. Secara spesifik dapat ditulis-kan sebagai (Oseni, 2011):

et ≡Et

Yt=

∑n

i=1

(Eit

Yit

)(YitYt

)=

∑n

i=1eitsit (1)

dengan:et = Intensitas energiEt = Total konsumsi energiEit = Konsumsi energi di sektor i pada tahuntYt = PDB tahun tYit = Ukuran kegiatan ekonomi di sektor ipada tahun teit = Komponen efisiensisit = Komponen aktivitas ekonomii = sektor

Page 8: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 199

t = tahun

Periode dalam studi ini adalah tahun 1977–2010, sehingga tahun 1977 dijadikan sebagai ta-hun dasar untuk melihat dinamika perubahanintensitas energi selama periode studi. Total in-tensitas energi pada tahun dasar (tahun 1977)dinotasikan sebagai e0, pada tahun berjalan di-notasikan sebagai et, sedangkan indeks intensi-tas energi dinotasikan sebagai et/e0, maka trenperubahan intensitas energi agregat dapat di-ekspresikan sebagai:

ete0

=∑n

i=1

eitsitei0si0

(2)

Atau dapat dituliskan dalam bentuk duafungsi Eff dan Act, sehingga:

ete0

= Eff(ei0, eit, si0, sit)

Act (ei0, eit, si0, sit) (3)

dengan eit dan sit masing-masing adalah efisi-ensi energi dan aktivitas ekonomi pada sektor idan waktu t, sementara fungsi indeks Eff danAct masing-masing merepresentasikan efisiensiagregat dan aktivitas ekonomi.

Mengacu pada Metcalf (2008) dan Oseni(2011), indeks intensitas energi dapat didekom-posisi ke dalam indeks efisiensi dan aktivitas,dengan ketentuan bahwa sektor yang menje-laskan semua penggunaan energi dalam pere-konomian tidak tumpang tindih dan tersedi-anya ukuran kegiatan ekonomi (Yit) yang da-pat digunakan untuk membangun suatu ukur-an intensitas energi. Tahap pertama memba-ngun indeks efisiensi yang merupakan kompo-sisi Indeks Laspeyres dan Indeks Paasche. In-deks Laspeyres dapat dituliskan sebagai:

Lactt =

∑ni=1 ei0sit∑ni=1 ei0si0

(4)

Lefft =

∑ni=1 eitsi0∑ni=1 ei0si0

(5)

dan Indeks Paasche dapat dituliskan sebagai:

P actt =

∑ni=1 eitsit∑ni=1 eitsi0

(6)

P efft =

∑ni=1 eitsit∑ni=1 ei0sit

(7)

dengan ei0 dan si0 merepresentasikan indeksefisiensi dan indeks aktivitas pada tahun da-sar, sedangkan eit dan sit masing-masing in-deks efisiensi dan aktivitas pada tahun seka-rang. Indeks Laspeyres menggunakan periodedasar tertimbang, sedangkan Indeks Paaschemenggunakan periode tertimbang sekarang. Se-hingga Indeks Fideal Fisher dapat dituliskansebagai:

F actt =

(Lactt P act

t

)1/2(8)

F efft =

(Lefft P eff

t

)1/2(9)

Indeks Ideal Fisher merupakan indeks yangdapat mendekomposisi secara sempurna terha-dap total intensitas energi ke dalam indeks efi-siensi energi (F eff

t ) dan indeks kegiatan ekono-mi (F act

t ) tanpa ada residual:

ete0

≡ lt = F actt F eff

t (10)

Indeks Ideal Fisher sangat bagus digunakanuntuk mendekomposisi intensitas energi karenatidak mengandung residual term, seperti hal-nya metode dekomposisi lainnya, residual termakan menimbulkan sedikit kesulitan dalam in-terpretasi dari efek efisiensi dan efek kegiatanekonomi. Energi yang bisa dihemat (∆Et) ka-rena perubahan intensitas energi didefinisikansebagai:

∆Et = Et − Et (11)

dengan:Et = konsumsi energi aktualEt = konsumsi energi yang akan terjadi jikaintensitas energi tetap seperti pada tahundasar (tahun 1977).

Hubungan antara energi yang bisa dihemat(energy savings) dengan efek efisiensi dan efek

Page 9: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 200

kegiatan ekonomi dapat dituliskan sebagai ber-ikut:

∆Et = ∆Et

( ln(F actt )

ln(lt)

)+ ∆Et

( ln(F efft )

ln(lt)

)≡ ∆Eact

t + ∆Eefft (12)

Sektor-sektor pengguna energi yang digu-nakan dalam studi ini dapat diklasifikasikan se-bagai berikut (Kementerian Energi dan Sum-ber Daya Mineral, 2012):

1. Sektor industri terdiri dari industri pengo-lahan non-migas yang terdiri dari sembil-an subsektor, yaitu: ISIC (InternationalStandard Industrial Classification of AllEconomic Activities):

• 31 = Makanan, minuman, dan tem-bakau;

• 32 = Tekstil, barang kulit, dan alaskaki;

• 33 = Barang kayu dan hasil hutanlainnya;

• 34 = Kertas dan barang cetakan;

• 35 = Pupuk, kimia, dan barang darikaret;

• 36 = Semen dan barang galian bukanlogam;

• 37 = Logam dasar besi dan baja;

• 38 = Alat angkutan, mesin, dan per-alatannya; dan

• 39 = Barang lainnya.

2. Sektor transportasi meliputi transportasidarat, laut, udara, dan kereta api.

3. Sektor komersial terdiri dari: Perdagang-an, hotel, dan restoran; Keuangan, real es-tate, dan jasa perusahaan; Jasa-jasa peme-rintahan umum dan swasta.

4. Rumah tangga.

Analisis Model Ekonometrika

Dalam studi ini, analisis ekonometrika digu-nakan untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor ekonomi terhadap intensitas energi diIndonesia. Sebelum melakukan estimasi modelekonometrika dengan data time series, ada be-berapa tahapan yang harus dilakukan (Gambar2).

Mengacu pada studi Ibrahim (2011), dalamstudi ini digunakan metode analisis ekonome-trika time series VAR/VECM, selain itu jugadilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Perta-ma, kebijakan energi di Indonesia masih da-lam lingkup nasional, belum diimplementasi-kan dan dijabarkan dalam kebijakan energi re-gional sehingga semua daerah di Indonesia ha-nya berpedoman atau mengacu pada kebijakanenergi nasional. Kedua, data konsumsi energidi Indonesia hanya tersedia dalam level nasio-nal, belum bisa di-disagregasi menjadi konsum-si energi per daerah atau provinsi sehingga ti-dak memungkinkan menggunakan metode ana-lisis data panel. Ketiga, metode regresi linearatau Ordinary Least Square (OLS) tidak digu-nakan dalam studi ini karena pada umumnyadata time series tidak stasioner pada level, se-dangkan metode OLS mensyaratkan data ha-rus stasioner.

Asumsi yang harus dipenuhi dalam metodeVAR, yaitu semua variabel tak bebas harusbersifat stasioner (mean, variance, dan cova-riance bersifat konstan) dan semua sisaan ber-sifat white noise, yakni memiliki rataan nol,ragam konstan, dan saling bebas. Dibanding-kan dengan metode ekonometrika konvensio-nal, metode VAR memiliki keunggulan. Perta-ma, mengembangkan model secara bersamaandi dalam suatu sistem yang kompleks (multi-variate), sehingga dapat menangkap hubungankeseluruhan variabel di dalam persamaan itu.Hubungan yang terdeteksi bisa bersifat lang-sung ataupun tidak langsung. Kedua, uji VARyang bersifat multivariat bisa menghindari pa-rameter yang bias akibat tidak dimasukkannyavariabel yang relevan.

Page 10: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 201

Gambar 2: Tahapan Analisis Data Time Series dalam studi

Sumber: penulis

Ketiga, metode VAR dapat mendeteksi hu-bungan antarvariabel dalam sistem persama-an, yaitu dengan menjadikan seluruh variabelmenjadi endogen. Keempat, metode VAR be-kerja berdasarkan data sehingga terbebas dariberbagai batasan teori ekonomi. Dan kelima,dengan teknik VAR, yang akan terpilih hanyavariabel yang relevan untuk disinkronisasi de-ngan teori yang ada.

Selain memiliki kelebihan, metode VAR ju-ga memiliki kelemahan, adapun beberapa ke-lemahan. Pertama, model VAR lebih bersifatateoritik karena tidak memanfaatkan informa-si atau teori terdahulu. Oleh karenanya, modeltersebut sering disebut model yang tidak struk-tural. Kedua, mengingat tujuan utama modelVAR adalah untuk peramalan, maka modelVAR kurang cocok untuk menganalisis kebi-jakan. Ketiga, pemilihan banyaknya lag yangdigunakan dalam persamaaan juga dapat me-

nimbulkan permasalahan dalam proses estima-si.

Dalam rangka mengantisipasi hilangnya in-formasi jangka panjang, maka dalam studi iniakan digunakan model VECM jika ternyata da-ta yang digunakan adalah I(1) atau stasionerpada first difference. VECM merupakan ben-tuk VAR yang terestriksi. Restriksi tambahanini harus diberikan karena keberadaan bentukdata yang tidak stasioner, namun terkointegra-si. VECM kemudian memanfaatkan informasirestriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifi-kasinya. Oleh karena itu, VECM disebut jugadesain VAR bagi series non-stasioner yang me-miliki hubungan kointegrasi.

Model Studi

Model ekonometrik yang digunakan dalam stu-di ini merupakan modifikasi dari model yangdigunakan oleh Metcalf (2008) dan Ibrahim

Page 11: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 202

Tabel 1: Hasil Pengujian Stasioneritas Data Level

No VariabelADF Statistic

HasilStatistika t Probability

1 ln (IE) -1.075.500 0,7132 tidak stasioner2 ln (INC) -0,628878 0,8506 tidak stasioner3 gPOP -3.621.086 0,0106** stasioner4 ln (FP) -0,799738 0,8061 tidak stasioner5 IMP -3.610.849 0,0111 tidak stasioner

Sumber: Hasil Pengolahan PenulisKeterangan:** signifikan pada taraf 5%

Tabel 2: Hasil Pengujian Stasioneritas Data First Difference

No VariabelADF Statistic

HasilStatistika t Probability

1 ln (IE) -3.394.144 0,0187** stasioner2 ln (INC) -4.147.178 0,0029** stasioner3 gPOP -5.747.862 0,0000** stasioner4 ln (FP) -4.561.968 0,0010** stasioner5 IMP -5.648.377 0,0000** stasioner

Sumber: Hasil Pengolahan PenulisKeterangan:** signifikan pada taraf 5%

(2011), dituliskan sebagai:

Yt = α+∑k

i=1βiYt−i + εt (13)

dengan:Yt = vektor variabel endogen(IE, INC, gPOP, FP, IMP )IE = intensitas energi yang diukur dari totalkonsumsi energi dibagi dengan PDBINC = pendapatan per kapita yang diproksidengan PDB per kapita atas dasar hargakonstan tahun 2000 (Rupiah)gPOP = pertumbuhan penduduk yangdidapatkan dengan rumus: gPOPt =(POPt − POPt−1)/POPt−1 ∗ 100%FP = harga energi yang dihitung berdasarkanrata-rata tertimbang harga bahan bakar mi-nyak (Rp/BOE). Penimbang yang digunakanadalah pangsa konsumsi masing-masing jenisbahan bakar minyak yang digunakan dalamperekonomian (Thaler, 2011)IMP = impor energi diproksi dengan rasioproduksi terhadap konsumsi minyak bumi danproduk olahannya.

Hasil dan Analisis

Dinamika Konsumsi dan Intensitas Ener-gi di Indonesia

Selama periode 1977–2010, konsumsi energi diIndonesia mengalami peningkatan dari 85,13juta BOE (Barrel Oil Equivalent atau SetaraBarel Minyak) pada tahun 1977 menjadi 792,96juta BOE pada tahun 2010 atau meningkat se-besar 7,10% per tahun. Pada Gambar 3(a) da-pat dilihat bahwa peningkatan konsumsi ener-gi final ini seiring dengan peningkatan Pro-duk Domestik Bruto (PDB) pada periode yangsama, sedangkan Gambar 3(b) menunjukkanbahwa konsumsi energi dan PDB memiliki ke-terkaitan yang sangat erat. Hal ini menunjuk-kan sangat pentingnya peran energi dalam ak-tivitas perekonomian untuk menciptakan ou-tput nasional.

Energi final dalam perekonomian dapatdikonsumsi secara langsung oleh konsumenakhir, seperti sektor industri, transportasi, ko-

Page 12: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 203

Gambar 3: Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Indonesia sertaHubungan antara PDB dan Konsumsi Energi

Sumber: KESDM & BPS (beberapa tahun), diolah

mersial, rumah tangga, dan sektor lainnya.Gambar 4 menunjukkan bahwa sektor industrimerupakan konsumen terbesar terhadap ener-gi, diikuti sektor transportasi, rumah tangga,serta sektor komersial.

Jika dilihat berdasarkan jenis energi, makadapat dikatakan bahwa kegiatan perekonomi-an nasional masih sangat tergantung pada bah-an bakar minyak. Tabel 3 menunjukkan bahwaBBM merupakan sumber energi terbesar yangdikonsumsi dalam perekonomian. Pada tahun2010, konsumsi BBM sebesar 49,22%. Jika dili-hat menurut sektor, maka struktur pengguna-an energi pada masing-masing sektor berbeda-beda. Sebagai contoh, sektor transportasi se-besar 99,95% konsumsinya adalah BBM. Sek-tor komersial dan rumah tangga sebagian besarmengonsumsi listrik, sedangkan industri seba-gian besar menggunakan batu bara dalam ak-tivitasnya.

Untuk mengetahui dan mengukur efisiensidari penggunaan energi dalam suatu pereko-nomian, ukuran yang paling sering digunakanadalah intensitas energi. Nilai intensitas yanglebih kecil menunjukkan bahwa suatu wilayah

atau sektor ekonomi lebih efisien dalam meng-gunakan energi. Gambar 5 menunjukkan bah-wa intensitas energi di Indonesia meningkat da-ri tahun 1977–2010. Hal ini mengindikasikanselama lebih dari tiga dekade terakhir, peng-gunaan energi menjadi semakin tidak efisien.

Intensitas energi Indonesia pada tahun 1977bernilai sebesar 0,19 ribu BOE/miliar rupiah,artinya untuk menciptakan output (PDB) 1 mi-liar rupiah dibutuhkan energi sebesar 0,19 ri-bu BOE. Sedangkan, pada tahun 2010 inten-sitasnya meningkat menjadi 0,36, artinya un-tuk menciptakan output (PDB) 1 miliar rupi-ah dibutuhkan energi sebesar 0,36 ribu BOE.Energi merupakan salah faktor produksi atauinput yang digunakan dalam perekonomian un-tuk menciptakan sejumlah output, dengan de-mikian konsumsi energi merupakan pengeluar-an atau biaya yang harus dikeluarkan oleh sua-tu perekonomian. Jika konsumsi energi (BOE)dikonversikan ke dalam satuan rupiah, makapada tahun 1977 untuk menciptakan PDB 1miliar rupiah dibutuhkan biaya energi sebesarRp28 juta, sedangkan pada tahun 2010 diper-lukan biaya energi sebesar Rp53 juta untuk

Page 13: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 204

Gambar 4: Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Sektor Tahun 1977–2010 (%)

Sumber: KESDM & BPS (beberapa tahun), diolah

menciptakan PDB yang sama. Hal ini menun-jukkan bahwa penggunaan energi pada tahun2010 kurang efisien dibandingkan tahun 1977.

Jika melihat intensitas energi per sektor, sek-tor transportasi merupakan sektor yang pa-ling tidak efisien dengan nilai intensitas sebesar2,46 ribu BOE/miliar rupiah pada tahun 1977dan meningkat menjadi 3,03 ribu BOE/miliarrupiah pada tahun 2010. Artinya, untuk men-ciptakan PDB di sektor transportasi sebesar 1miliar rupiah pada tahun 1977 dibutuhkan kon-sumsi energi sebesar 2,46 ribu BOE, sedangkanpada tahun 2010 dibutuhkan konsumsi ener-gi 3,03 ribu BOE. Hal ini menunjukkan bahwapenggunaan energi di sektor transportasi se-makin tidak efisien. Bila dibandingkan dengantiga sektor lainnya, yaitu sektor industri, ko-mersial, dan rumah tangga, sektor transportasimemiliki nilai intensitas energi yang tertinggi,bahkan melebihi intensitas energi agregat (na-sional). Dengan demikian, dapat disimpulkanbahwa sektor transportasi merupakan sektoryang paling tidak efisien di antara sektor-sektorlainnya dalam perekonomian.

Sektor industri merupakan sektor keduayang kurang efisien dibandingkan dengan sek-tor komersial dan rumah tangga. Intensitas

energi di sektor ini juga lebih tinggi bila di-bandingkan dengan angka nasional. Intensitasenergi di sektor industri memiliki kecenderung-an yang meningkat dari 0,59 ribu BOE/miliarrupiah menjadi 0,72 ribu BOE/miliar rupiah.Artinya, untuk menciptakan nilai tambah atauPDB di sektor industri sebesar 1 miliar rupiahdibutuhkan konsumsi energi sebesar 0,59 ribuBOE pada tahun 1977 dan 0,72 ribu BOE padatahun 2010.

Sektor komersial dan rumah tangga memili-ki nilai intensitas yang relatif kecil, tetapi sek-tor rumah tangga memiliki nilai intensitas yanglebih tinggi dibandingkan sektor komersial. In-tensitas energi sektor komersial selama periodestudi mengalami peningkatan yang sangat ke-cil. Jika pada tahun 1977 nilai intensitasnya se-besar 0,01 ribu BOE/miliar rupiah, sedangkanpada tahun 2010 sebesar 0,04 ribu BOE/miliarrupiah. Sektor rumah tangga merupakan satu-satunya sektor yang intensitas energinya menu-run selama periode studi, yaitu dari 0,17 ribuBOE/miliar rupiah pada tahun 1977 menjadi0,06 ribu BOE/miliar rupiah pada tahun 2010.Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energidi sektor rumah tangga cenderung lebih efisienbeberapa tahun belakangan ini. Dengan demi-

Page 14: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 205

Tabel 3: Struktur Penggunaan Energi Menurut Sektor (%) Tahun 2010

Jenis Energi Nasional Industri Transportasi Komersial Rumah tangga

BBM: 49,22 16,9 99,95 22,44 17,66Avgas/Avtur 2,82 - 8,14 - -Premium 18,21 - 51,07 - -Pertamax 0,67 - 1,94 - -M. Tanah 2,28 0,28 - 2,55 17,66M. Solar (ADO) 23,1 12,68 38,81 19,88 -M. Diesel (IDO) 0,14 0,26 - 0,02 -M. Bakar 2 3,67 - - -

Batu bara 18,53 40,14 - - -Gas 15,61 33,48 0,03 3,08 0,17LPG 4,4 0,31 - 3,04 37,3Listrik 12,24 9,17 0,02 71,44 44,87

Total 100 100 100 100 100

Sumber: KESDM, 2012

kian, dapat disimpulkan bahwa hingga tahun2010 sektor yang relatif paling efisien diban-dingkan dengan sektor lainnya adalah sektorkomersial.

Dinamika intensitas energi sepanjang wak-tu memperlihatkan tren efisiensi perekono-mian secara keseluruhan atau menunjukkantren produktivitas energi. Menurut Lapillonne(2006), biasanya intensitas energi akan mening-kat sepanjang waktu di negara-negara yang se-dang berkembang. Perekonomian suatu nega-ra semakin intensif energi karena proses indus-trialisasi, pertumbuhan kepemilikan kendaraanbermotor, meningkatnya kesejahteraan, dan se-bagainya, dengan pertumbuhan konsumsi ener-gi lebih cepat dibandingkan dengan pertum-buhan PDB. Sebaliknya intensitas energi dinegara-negara maju memiliki tren yang me-nurun. Perekonomian menjadi kurang intensifenergi karena perekonomian didominasi olehsektor tersier atau jasa-jasa.

Dekomposisi Intensitas Energi

Untuk melihat lebih jauh mengenai penye-bab dari perubahan intensitas energi sepanjangwaktu, studi ini menggunakan metode dekom-posisi Indeks Ideal Fisher. Indeks Ideal Fisherdapat digunakan untuk melihat perubahan da-

lam intensitas energi dengan cara mendekom-posisinya menjadi dua komponen, yaitu kom-ponen aktivitas ekonomi dan komponen efisi-ensi energi.

Gambar 6(a) menunjukkan hasil dari anali-sis dekomposisi intensitas energi di Indonesiadengan menggunakan tahun 1977 sebagai ta-hun dasar. Intensitas energi Indonesia pada ta-hun 2010 adalah 1,88 atau meningkat 88% da-ri tahun dasar. Indeks aktivitas ekonomi pa-da tahun 2010 adalah 1,77, artinya jika efisi-ensi energi tetap konstan seperti pada tahun1977, maka efek pergeseran aktivitas ekonomiakan menyebabkan intensitas energi meningkatsebesar 77%. Indeks efisiensi pada tahun 2010adalah 1,06, artinya jika aktivitas ekonomi ti-dak berubah selama periode 1977–2010, makakomponen efisiensi energi akan menyebabkanintensitas energi meningkat sebesar 6%. Jadi,perubahan struktur dalam aktivitas ekonomimerupakan komponen yang lebih besar pera-nannya dalam meningkatkan intensitas energidi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa telahterjadi pergeseran dari kegiatan ekonomi yangkurang intensif energi (seperti pertanian) ke ke-giatan yang lebih intensif energi (seperti indus-tri manufaktur). Perubahan aktivitas ekonomiini juga dapat dilihat dari perkembangan kon-

Page 15: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 206

Gambar 5: Intensitas Energi di Indonesia Menurut Sektor, 1977–2010 (Ribu BOE/Miliar Rupiah)

Sumber: KESDM & BPS, diolah

tribusi nilai tambah sektoral terhadap PDB.

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwakontribusi nilai tambah sektor pertanian meng-alami penurunan selama tiga dekade, yaitu dari22% menjadi 13%. Sedangkan kontribusi kegi-atan ekonomi yang lebih intensif energi, sepertiindustri pengolahan bukan migas (manufaktur)mengalami peningkatan yang cukup signifikandi periode yang sama. Seperti diketahui bah-wa sektor industri banyak membutuhkan in-put energi pada aktivitasnya, sehingga adanyapergeseran aktivitas atau kegiatan ekonomi inimenyebabkan konsumsi energi sepanjang tahunstudi mengalami peningkatan dan pada akhir-nya menyebabkan intensitas energi juga me-ningkat.

Berdasarkan Gambar 6(b) dapat dilihat bah-wa jika intensitas energi tetap konstan seper-ti pada tahun dasar (tahun 1977), maka te-lah terjadi pemborosan energi antara tahun1978-2010. Dengan mempertahankan intensi-tas energi tetap sama seperti pada tahun da-sar, maka pada tahun 2010 terjadi pemborosanenergi sebesar 371 juta BOE di mana aktivitasekonomi menyumbang sebesar 336 juta BOE(91%) dan efisiensi menyumbang sebesar 35 ju-ta BOE (9%).

Dekomposisi intensitas energi di tiga sek-tor, yaitu sektor industri, transportasi, ser-ta komersial menunjukkan bahwa efek efisien-si lebih berperan dalam perubahan intensitasdi masing-masing sektor tersebut (Gambar 7).Hal ini mendukung hasil dekomposisi di ting-kat nasional, yang dalam hal ini inefisiensi ditiga sektor ini menyebabkan intensitas nasionalmeningkat sebesar 6% (ceteris paribus).

Gambar 7(a) menunjukkan hasil dari analisisdekomposisi intensitas energi di sektor indus-tri. Intensitas energi agregat di sektor industripada tahun 2010 adalah 1,33 atau meningkatsebesar 33% dari tahun 1977. Indeks aktivitasekonomi pada tahun 2010 adalah 0,92 artinyajika efisiensi energi tetap konstan seperti pa-da tahun 1977, maka efek pergeseran aktivitasekonomi akan menyebabkan intensitas energiturun sebesar 8%. Sementara itu, jika aktivi-tas ekonomi tidak berubah antara tahun 1977–2010, maka komponen atau efek efisiensi ener-gi akan menyebabkan intensitas energi mening-kat sebesar 22%. Dengan demikian, komponenatau efek efisiensi energi merupakan efek yanglebih besar peranannya dalam meningkatkanintensitas energi di Indonesia. Dapat dikatakanbahwa penggunaan energi di sektor ini semakin

Page 16: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 207

Gambar 6: Dekomposisi Intensitas Energi serta Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensiterhadap Perubahan Intensitas Energi

Sumber: KESDM & BPS, diolah

tidak efisien karena efek inefisiensi dan bukankarena perubahan aktivitas ekonomi.

Hasil studi yang dilakukan oleh Irawan etal. (2010) mengenai peran industri manufak-tur terhadap keragaan perekonomian Indone-sia menggunakan analisis Input-Output menun-jukkan bahwa tidak ada perubahan teknolo-gi yang digunakan di sektor industri. Jika ti-dak ada peningkatan teknologi, maka industridi Indonesia tidak memiliki kemampuan untukmeningkatkan daya saingnya terhadap negara-negara lain. Penggunaan teknologi yang relatiftidak berubah atau dapat dikatakan stagnan,mengindikasikan boros energi. Hal inilah yangmenyebabkan intensitas energi di sektor indus-tri mengalami peningkatan selama periode stu-di. Inefisiensi di sektor industri lebih dikarena-kan proses produksi dan sebagainya yang ma-sih menggunakan mesin-mesin tua dan kurangmengadopsi teknologi modern yang lebih he-mat energi.

Gambar 7(b) menunjukkan hasil dari analisisdekomposisi intensitas energi di sektor trans-portasi yang meningkat menjadi 1,23 pada ta-hun 2010 atau meningkat sebesar 23% dari ta-

hun 1977. Dari indeks aktivitas ekonomi danindeks efisiensi mencerminkan bahwa efek efisi-ensi merupakan efek atau komponen yang lebihbesar peranannya dalam meningkatkan inten-sitas energi di sektor transportasi. Jika efisiensienergi tetap konstan seperti pada tahun 1977,pergeseran aktivitas ekonomi akan menyebabk-an intensitas energi turun sebesar 16%. Semen-tara itu, jika aktivitas ekonomi tidak berubahantara tahun 1977-2010, efek efisiensi energiakan menyebabkan intensitas energi meningkatsebesar 46%.

Inefisiensi di sektor transportasi salah satu-nya adalah disebabkan oleh kemacetan. Ting-kat konsumsi bahan bakar juga dipengaru-hi oleh kecepatan perjalanan. Kecepatan yangterlalu rendah cenderung mengonsumsi BBMlebih banyak. Konsumsi BBM paling rendahadalah pada kecepatan antara 60–65 km/jam.Pada kecepatan yang lebih rendah (umumnyadalam kondisi macet) konsumsi BBM akan cen-derung lebih boros, demikian pula pada kece-patan yang terlalu tinggi (Departemen Perhu-bungan, 2005). Meskipun tidak dapat dipung-kiri di bidang otomotif banyak terjadi pengem-

Page 17: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 208

Tabel 4: Kontribusi Nilai Tambah Sektoral Terhadap PDB (%)

Sektor Ekonomi 1980 1990 2000 2010

Sektor Primer 44,11 31,49 27,67 20,211. Pertanian 22,25 18,53 15,6 13,352. Pertambangan dan Penggalian 21,86 12,96 12,07 6,86

Sektor Sekunder 34,1 44,3 50,01 51,043. Industri Pengolahan 14,24 21,58 27,75 26,1a. Industri M i g a s 3 4,22 3,91 2b. Industri Bukan Migas 11,2 17,38 23,84 24,114. Listrik, Gas dan Air Bersih 0,16 0,31 0,6 0,795. Konstruksi 5,25 5,65 5,51 6,586. Perdagangan, Hotel dan Restoran 14,45 16,75 16,15 17,56

Sektor Tersier 21,8 24,21 22,32 28,767. Pengangkutan dan Komunikasi 3,72 4,21 4,68 9,538. Keuangan 7,62 9,37 8,31 9,679. Jasa-jasa 10,46 10,63 9,34 9,55

Total 100 100 100 100

Sumber: BPS (beberapa tahun), diolah

bangan teknologi, yang dalam hal ini kendara-an bermotor belakangan ini dirancang untuklebih ramah lingkungan dan hemat energi. Disisi lain, rendahnya keberpihakan pemerintahkepada pengguna kendaraan tidak bermotordan pejalan kaki, menjadikan moda perjalan-an ini perlahan-lahan menghilang dari sistemtransportasi perkotaan. Hal yang sama juga di-alami oleh sistem angkutan publik. Walaupunterbukti sangat hemat dalam penggunaan ru-ang jalan karena kapasitas angkut yang ting-gi per kendaraan dan efisiensi konsumsi energiper penumpang, akan tetapi sistem ini justrumenjadi bagian yang terabaikan dalam sektortransportasi. Hal ini terlihat dari semakin bu-ruknya tingkat pelayanan angkutan publik ter-utama di daerah perkotaan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalahsubstitusi bahan bakar minyak perlu dilaku-kan. BBM banyak digunakan di sektor trans-portasi sehingga penyediaan bahan bakar cairalternatif perlu ditingkatkan agar target KENdapat tercapai. Dari berbagai bahan bakar al-ternatif yang sudah ada saat ini, hanya BahanBakar Nabati (BBN) yang sudah siap dikem-bangkan berdasarkan teknologi penyediaannya.

Oleh karena itu, untuk mengurangi pemakai-an minyak bumi perlu ditingkatkan pemakaianBBN hingga lebih dari 5%, terutama di sektortransportasi. Gas bumi dalam bentuk Comp-ressed Natural Gas (CNG), LPG dan LiquefiedNatural Gas (LNG) dapat juga digunakan se-bagai bahan bakar alternatif pengganti BBMuntuk sektor transportasi. Gas dapat digunak-an untuk moda transportasi darat, seperti mo-bil, truk dan bus, juga kereta api. Hal ini me-rupakan peluang yang perlu didorong sehinggapenerapannya bisa meluas.

Gambar 7(c) menunjukkan hasil dari analisisdekomposisi intensitas energi di sektor komer-sial (jasa-jasa) yang meningkat menjadi 4,83pada tahun 2010. Seperti halnya di sektor in-dustri dan transportasi, efek efisiensi merupa-kan efek atau komponen yang lebih besar per-anannya dalam meningkatkan intensitas energidi sektor komersial daripada efek aktivitas eko-nomi.

Determinan Intensitas Energi

Tahap awal dalam analisis data time seri-es adalah melakukan pengujian-pengujian pra-

Page 18: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 209

Gambar 7: Dekomposisi Intensitas Energi Menurut Sektor

Sumber: KESDM & BPS, diolah

estimasi. Pengujian-pengujian tersebut melipu-ti uji akar unit (unit root test), pengujian sta-bilitas VAR, dan pengujian lag optimal. Ha-sil pengujian akar unit menunjukkan bahwavariabel-variabel yang digunakan pada studiini seluruhnya stasioner pada first difference.Persamaan VAR memiliki nilai modulus ku-rang dari satu, artinya model VAR yang di-bentuk stabil. Penetapan lag optimal menggu-nakan nilai dari likelihood ratio (LR), final pre-diction error (FPE), Akaike information cri-terion (AIC), Schwarz information criterion(SC), dan Hannan-Quin criterion (HQ). Be-sarnya lag yang dipilih berdasarkan lag terpen-dek. Berdasarkan lima kriteria informasi yangtersedia, maka lag yang dipilih adalah lag 1sebagai lag optimal. Kemudian dilakukan ujikointegrasi untuk mengetahui apakah terjadikeseimbangan dalam jangka panjang antarva-riabel. Hasil pengujian menunjukkan terdapatsatu kointegrasi, jadi dalam studi ini digunakananalisis VECM.

Analisis impulse response (IRF) dilakukanuntuk mengetahui pengaruh perubahan sua-tu variabel endogen terhadap variabel endogenyang lain. Pengurutan variabel didasarkan pa-da faktorisasi cholesky. Variabel yang memili-

ki nilai prediksi terhadap variabel lain diletak-kan di depan, berdampingan satu sama lain-nya. Variabel yang tidak memiliki nilai prediksiterhadap variabel lain diletakkan paling bela-kang.

Respons intensitas energi terhadap guncang-an atau shock pendapatan per kapita memilikirespons yang negatif (Gambar 8). Hasil studiini sejalan dengan studi Thaler (2011), yangdengan meningkatnya pendapatan per kapi-ta mengindikasikan meningkatnya standar hi-dup masyarakat, meningkatnya tingkat pendi-dikan, teknologi, dan semua aspek kehidupandalam suatu negara. Meningkatnya pendidik-an mengindikasikan meningkatnya pengetahu-an masyarakat akan pentingnya efisiensi peng-gunaan energi, kepedulian terhadap lingkung-an, dan sebagainya.

Respons intensitas energi terhadap pertum-buhan penduduk adalah positif. Meningkatnyajumlah penduduk akan meningkatkan permin-taan terhadap energi sehingga konsumsi danintensitas energi juga meningkat. Respons in-tensitas energi terhadap guncangan harga ener-gi memiliki respons yang negatif sesuai yangdihipotesiskan sebelumnya. Meningkatnya har-ga energi menyebabkan turunnya permintaan

Page 19: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 210

Gambar 8: Respons Intensitas Energi terhadap Shock Pendapatan per kapita, Harga Energi,Pertumbuhan Penduduk dan Impor Energi

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

dan konsumsi energi. Respons intensitas ener-gi terhadap impor energi adalah positif. Me-nurut Thaler (2011), serta Soile dan Balogun(2011), semakin tinggi impor energi, maka su-atu negara memiliki insentif untuk memanfaat-kan energi secara lebih bijaksana karena negaratersebut tidak memiliki kemampuan untuk me-menuhi kebutuhan energi domestiknya sendiri,akan tetapi hal ini tidak berlaku di Indonesia.

Respons intensitas terhadap impor energiyang positif dan besarannya yang relatif ke-cil disebabkan oleh harga energi di Indonesiayang tidak mengikuti mekanisme pasar. Ting-ginya impor energi tidak berdampak langsungterhadap harga energi di dalam negeri. Kon-disi ini disebabkan oleh harga energi domestikyang ditetapkan oleh pemerintah dengan ban-tuan subsidi, baik melalui subsidi BBM ma-upun listrik. Kondisi tersebut mengakibatkankebijakan diversifikasi energi tidak memenuhisasaran secara optimal dan juga kecenderung-an masyarakat yang boros dalam menggunakanenergi karena harganya yang relatif murah.

Anggaran subsidi energi saat ini telah mem-beratkan APBN karena rata-rata menguras

anggaran belanja pemerintah pusat sebesar23%. Rata-rata subsidi energi dalam sepuluhtahun terakhir menyedot anggaran subsidi se-besar 80%. Pada APBN 2011 anggaran untuksubsidi BBM sebesar Rp96 triliun, subsidi lis-trik sebesar Rp41 triliun, sedangkan subsidi pa-ngan, pertanian dan lainnya masing-masing se-besar Rp15 triliun, Rp16 triliun, dan Rp19 tri-liun. Kebijakan subsidi energi membuat berku-rangnya anggaran pembangunan di sektor la-in (Kementerian Koordinator Bidang Pereko-nomian, 2011).

Analisis variance decomposition (FEVD)menggambarkan relatif pentingnya setiap vari-abel di dalam sistem karena adanya guncangan.Analisis ini berguna untuk memprediksi kontri-busi dari setiap variabel tertentu di dalam sis-tem sehingga akan diketahui sumber variasi da-ri model yang dibentuk. Dari hasil analisis FE-VD, menunjukkan bahwa variabilitas intensitasenergi di Indonesia sebagian besar dipengaru-hi oleh intensitas energi itu sendiri, selanjut-nya harga energi, pendapatan per kapita, per-tumbuhan penduduk, dan impor energi. Padaperiode kedua, variabilitas intensitas energi di-

Page 20: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 211

Gambar 9: Analisis Variance Decomposition Intensitas Energi

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

pengaruhi oleh dirinya sendiri sebesar 92,84%.Sebagian yang lain dipengaruhi oleh kontribu-si harga energi sebesar 4,39%, pendapatan perkapita 1,57%, pertumbuhan penduduk sebesar0,53%, serta impor energi sebesar 0,68%. Ha-sil analisis variance decomposition selengkap-nya dapat dilihat pada Gambar 9.

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahas-an yang telah dilakukan, maka dalam studiini dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama,konsumsi energi selama periode 1977–2010 cen-derung meningkat. Konsumen terbesar energiadalah sektor industri, kemudian transporta-si, rumah tangga, dan komersial. Bila melihatintensitas energinya, sektor transportasi meru-pakan sektor yang paling tidak efisien, kemu-dian sektor industri, rumah tangga, dan sektorkomersial.

Kedua, komponen aktivitas ekonomi (activi-ty effect) lebih berperan dalam perubahan in-tensitas energi di Indonesia dibandingkan de-ngan komponen efisiensi (efficiency effect). Ji-ka dilihat menurut sektor baik sektor transpor-tasi, industri maupun komersial, efek efisiensi

lebih berperan. Hal ini menunjukkan bahwa te-lah terjadi pergeseran dari kegiatan ekonomiyang kurang intensif energi (seperti pertanian)ke kegiatan yang lebih intensif energi (seper-ti industri manufaktur), dan telah terjadi ine-fisiensi di setiap sektor pengguna energi. danKetiga, intensitas energi memiliki respons ne-gatif terhadap guncangan pendapatan per ka-pita dan harga energi, respons positif terhadapguncangan pertumbuhan penduduk dan imporenergi.

Saran

Berdasarkan hasil studi dan kesimpulan yangdiuraikan sebelumnya, maka beberapa arah ke-bijakan yang bisa disarankan dalam studi iniadalah pertama, terkait dengan (i) strukturpenggunaan energi di Indonesia yang masihtergantung pada bahan bakar fosil (sumberenergi yang tak terbarukan) terutama minyakbumi dan olahannya, padahal Indonesia saatini telah menjadi negara pengimpor minyak,(ii) meningkatnya intensitas energi di sektortransportasi yang hampir seluruh jenis ener-gi yang digunakan adalah bahan bakar minyak(BBM), dan salah satu faktor penyebabnya

Page 21: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 212

Gambar 10: Pasokan dan Konsumsi Minyak Bumi serta Produk Olahannya Tahun 1980–2010 (RibuBarel per Hari)

Sumber: EIA, 2011

adalah murahnya harga BBM domestik (rela-tif terhadap harga internasional) karena ada-nya subsidi dari pemerintah, (iii) respons in-tensitas energi terhadap impor energi yang po-sitif menunjukkan bahwa kenaikan impor ener-gi justru meningkatkan intensitas energi, ma-ka pemerintah diharapkan untuk (a) merasio-nalisasi harga BBM agar sesuai dengan har-ga keekonomiannya melalui pengurangan sub-sidi secara bertahap dan pembatasan penggu-naan energi bersubsidi. Harga BBM yang mu-rah karena adanya subsidi dari pemerintah, se-lain dapat menguras dana pemerintah untuksubsidi harga BBM juga memanjakan penggu-na BBM sehingga pemanfaatannya kurang efi-sien, serta dapat menghambat pengembanganenergi alternatif non-BBM, dan (b) memberi-kan insentif untuk pengembangan energi alter-natif non-BBM atau sumber energi yang ter-barukan, misalnya Bahan Bakar Nabati (BBNatau biofuel) untuk mempercepat diversifikasisumber energi sesuai Kebijakan Energi Nasio-nal (KEN). Pengembangan industri bahan ba-kar nabati selain untuk memenuhi kebutuhanenergi nasional juga dapat membuka lapangankerja baru, menyerap tenaga kerja, mengurangi

pengangguran, dan mendorong pertumbuhanekonomi. Faktanya energi alternatif non-BBMselama ini kurang berkembang karena penggu-na energi lebih memilih BBM karena harga-nya yang relatif lebih murah. Padahal, untukmemenuhi kebutuhan domestik, Indonesia ma-sih mengimpor minyak bumi dan BBM yangjumlahnya semakin meningkat setiap tahun-nya. Kebijakan subsidi BBM merupakan su-atu hal yang bertolak belakang dengan KENyang dituangkan di dalam Peraturan PresidenNo. 5 Tahun 2006 yang memiliki sasaran untukmengurangi pangsa penggunaan minyak bu-mi dan bahan bakar olahannya, serta mening-katkan pangsa penggunaan energi terbarukan(energi air, energi panas bumi, biomasa terma-suk BBN, energi surya, dan energi angin) kare-na potensinya melimpah dan termasuk energibersih.

Kedua, sektor transportasi merupakan sek-tor yang paling tidak efisien dalam pengguna-an energi yang nilai intensitas energinya palingtinggi, bahkan di atas intensitas energi agre-gat (nasional). Beberapa faktor penyebabnyaadalah kemacetan lalu lintas, terutama di kota-kota besar. Murahnya harga energi domestik

Page 22: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 213

secara tidak langsung mendorong meningkat-nya pertumbuhan kendaraan terutama kenda-raan pribadi yang tidak diimbangi dengan per-tumbuhan jalan. Terkait hal tersebut, hendak-nya pemerintah pusat bersama-sama denganpemerintah daerah menyediakan dan memper-luas infrastruktur transportasi publik teruta-ma yang berbasis gas (Bahan Bakar Gas atauBBG), BBN, atau listrik yang murah, aman,dan nyaman sehingga ada insentif bagi penggu-na kendaraan pribadi untuk beralih ke saranatransportasi publik.

Ketiga, peningkatan intensitas energi di sek-tor industri disebabkan oleh tidak adanya per-ubahan teknologi yang digunakan di sektor ter-sebut. Penggunaan teknologi yang relatif ti-dak berubah atau dapat dikatakan stagnanmengindikasikan pemborosan energi. Terkaithal ini, pemerintah seharusnya memberikan in-sentif agar industri-industri yang ada mampumeningkatkan teknologi mesinnya menjadi le-bih hemat energi dan ramah lingkungan. Dankeempat adalah meningkatkan sosialisasi kebi-jakan energi nasional agar terbangun persepsiyang sama di masyarakat dan meningkatkankesadaran masyarakat akan arti pentingnya efi-siensi energi.

Secara umum, usaha efisiensi energi tidakmungkin bisa dicapai hanya dengan mengan-dalkan peran pemerintah pusat dan daerahmaupun stakeholder terkait saja, namun ha-rus menjadi gerakan seluruh masyarakat secarabersama-sama. Saran untuk studi selanjutnya,untuk mengetahui determinan intensitas energiper sektor tidak hanya dilakukan dengan me-tode dekomposisi, tetapi dapat dikembangkandengan menggunakan metode ekonometrika.

Daftar Pustaka

[1] Alam, M. S. (2006). Economic Growth with Ener-gy. Munich Personal RePEc Archive Paper, 1260.Germany: Munich University Library.

[2] Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik Indonesia2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

[3] Badan Pusat Statistik. (2011). Statistik Indonesia2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

[4] Bekhet, H. A. & Othman, N. S. (2011). Causa-lity Analysis Among Electricity Consumption,Consumer Expenditure, Gross Domestic Product(GDP) and Foreign Direct Investment (FDI):Case Study of Malaysia. Journal of Economi-cs and International Finance, 3 (4), 228–235.http://www.academicjournals.org/jeif/pdf/

pdf%202011/April/Bekhet%20and%20Othman.pdf

(Accessed 25 October, 2011).[5] Bernstein, M., Fonkych, K., Loeb, S., & Loughran,

D. (2003). State-Level Changes in Energy Inten-sity and Their National Implications. Pittsburgh:RAND Corporation – RAND’s Science and Tech-nology Policy Institute.

[6] Chontanawat, J., Hunt, L. C., & Pierse, R.( 2006).Causality between Energy Consumption and GDP:Evidence from 30 OECD and 78 non-OECD Co-untries. Surrey Energy Economics Discussion Pa-per Series, 113. UK: Surrey Energy Economi-cs Centre (SEEC). http://www.seec.surrey.ac.uk/research/SEEDS/SEEDS113.pdf (Accessed 25October, 2011).

[7] Departemen Perhubungan. (2005). Beberapa Ke-bijakan Sektor Transportasi Darat: dalam UpayaPenghematan Penggunaan Bahan Bakar Minyak(BBM). Jakarta: Departemen Perhubungan. Di-rektorat Jenderal Perhubungan Darat.

[8] Hartono, D., Irawan, T., & Achsani, N. A. (2011).An Analysis of Energy Intensity in Indonesian Ma-nufacturing. International Research Journal of Fi-nance and Economics, 62, 77–84.

[9] Ibrahim, M. A. (2011). Energy Consumption, In-come and Price Interactions in Saudi Arabian Eco-nomy: A Vector Autoregression Analysis. Advancesin Management & Applied Economics, 1 (2), 1–21.

[10] Indonesia, R. (2006). Peraturan Presiden No. 5Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional(KEN).

[11] Indonesia, R. (2012). Undang-Undang APBN 2012[12] Irawan, T., Anggraeni, L. & Oktaviani, R. (2010).

The Role of Manufacturing Industry to IndonesianEconomic Performance: Input-Output Analysis.http://web.ipb.ac.id/~economics/doc/10.pdf

(Accessed June 23, 2011).[13] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mine-

ral. (2006). Blueprint Pengelolaan Energi Nasio-nal 2006–2025. Jakarta: Kementerian Energi danSumber Daya Mineral. Sekretariat Panitia TeknisSumber Energi (PTE).

[14] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.(2011). Intensitas Energi Indonesia Masih Ting-gi. Sabtu, 26 Maret 2011. http://www.ebtke.

esdm.go.id/id/energi/konservasi-energi/

213-intensitas-energi-indonesia-masih-tinggi.

Page 23: Determinan Intensitas Energi di Indonesia The Determinants ...

Fitri K., Yusman S., & Lukytawati A./Determinan Intensitas Energi... 214

html (Accessed June 23, 2011).[15] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

(2012). Handbook of Energy and Economic Statis-tics of Indonesia 2011. Kementerian Energi DanSumber Daya Mineral Republik Indonesia. Jakar-ta.

[16] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.(2011). Kebijakan dan Program Peningkatan Ke-tahanan Energi Nasional. Tinjauan Ekonomi danKeuangan, 1 (5), 9–13.

[17] Kompas.com. (2012) Pastikan Kebijak-an BBM. Sabtu, 14 Januari 2012. http:

//health.kompas.com/read/2012/01/14/

03134287/Pastikan.Kebijakan.BBM (AccessedFebruary 23, 2012).

[18] Lapillonne, B. (2006). Simple Macro-EconomicIndicators: Energy Intensities. Training SeminarEvaluation of Energy Efficiency Trends and Po-tentials. Grenoble (France), 30 January–10 Feb-ruary 2006. http://www.eie.gov.tr/projeler/

document/4_Indicators_macro.pdf (AccessedJune 23, 2011).

[19] Metcalf, G. E. (2008). An Empirical Analysis ofEnergy Intensity and Its Determinants at the StateLevel. The Energy Journal, 29 (3), 1–26.

[20] Nanduri, M. (1998). An Assessment of EnergyIntensity Indicators and Their Role as Policy -Making Tools. School of Resource and Environ-mental Management Report, 232. Canada: Si-mon Fraser University. http://cieedac.sfu.ca/

media/publications/mallika.pdf (Accessed Ju-ne 23, 2011).

[21] Oseni, M. O. (2011). Analysis of Energy intensi-ty and Its Determinants in 16 OECD Countries.The Journal of Energy and Development, 35 (1–2), 101–140.

[22] Soile, I. O. & Balogun, B. (2011). Resource Abun-dance and Energy Intensity: A Cross CountryAnalysis. Middle Eastern Finance and Economics,13, 165–180. http://s3.amazonaws.com/zanran_

storage/www.eurojournals.com/ContentPages/

2520368805.pdf (Accessed June 23, 2011).[23] Song, F. (2011). What Is Driving the Change

of China’s Energy Intensity? China: PACE 2011Workshop.

[24] Stern, D.I. (2003). Energy and Economic Growth.http://www.researchgate.net/publication/

228721215_Energy_and_economic_growth/file/

32bfe50dacb1fe39e0.pdf. (Accesed February 5,2011).

[25] Thaler, D.R. (2011). The Determinants of Ener-gy Intensity. Honors Thesis. Florida: Universi-ty of Florida. http://www.honors.ufl.edu/apps/Thesis.aspx/Download/974 (Accessed June 23,2011).

[26] Wu, Y. (20112). Energy Intensity and Its Deter-

minantsi In China’s Regional Economies. EnergyPolicy, 41, 703–11.

[27] Yanagisawa, A. (2011). Trade-off in Energy effici-encies and efficient Frontier: Relationship betweenGDP Intensity and Energy Consumption per Capi-ta and what it means. Japan: The Institute of Ener-gy Economics. http://eneken.ieej.or.jp/data/3618.pdf (Accessed June 23, 2011).

[28] Yusgiantoro, P. (2000). Ekonomi Energi: Teori danPraktek. Jakarta: LP3ES.