DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. 1
KATA PENGANTAR……………………………………………………....... 2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….............. 3
BAB II ISI
A. Definisi…………………………………………..................................... 4
B. Etiologi ………………………………………………………………… 4
C. Epidemiologi …………………………………………………………... 5
D. Faktor Risiko………………………………………………………........ 6
E. Tanda dan Gejala……………………………………………………….. 6
F. Penegakkan Diagnosis………….............................................................. 7
1. Anamnesis………………………………………………………….. 7
2. Pemeriksaan Fisik………………………………………………….. 7
3. Pemeriksaan Penunjang ………………………………………........ 7
G. Patogenesis …………………………………………………………...... 11
H. Patofisiologi …………………………………………………………… 14
I. Penatalaksanaan......................................................……………………. 16
1. Medikamentosa.................................................................................. 17
2. Non-medikamentosa.......................................................................... 18
J. Komplikasi............................................................................................... 18
K. Prognosis ………………………………………………………………. 19
BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………. 20
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 21
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat patologi anatomi yang berjudul
“Diabetes Insipidus”.
Terima kasih juga kepada pembimbing yang membantu dan membimbing
penulis dalam mengerjakan referat ini. Referat ini merupakan sarana belajar bagi
penulis dan merupakan persyaratan untuk memenuhi tugas laboratorium patologi
anatomi dan syarat mengikuti ujian blok. Melalui referat ini, penulis ingin berbagi
pengetahuan kepada para pembaca. Semoga referat ini bisa bermanfaat bagi
penulis dan juga para pembaca.
Penulis mohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan yang mendasar
pada referat ini karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca.
Purwokerto, Oktober 2013
Penulis
2
I. PENDAHULUAN
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan,
diakibatkan oleh berbagai penyebab yang mengganggu mekanisme
neurohypophyseal-renal reflex. Terganggunya mekanisme ini mengakibatkan
kegagalan tubuh dalam mengkonversi air (Ranakusuma, 2009).
Gejala khas dari diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia, hal ini
dapat terjadi karena defisiensi ADH yang disebut diabetes insipidus sentral
dan tidak sensitifnya vasopressin pada ginjal yang disebut diabetes insipidus
nefrogenik (Bleicher, 2011).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DefinisiDiabetes insipidus secara harfiah adalah ekskresi volume urin dalam
jumlah banyak yang hipotonik dan encer. Pasien datang dengan poliuria
(Khardori, 2013).
Diabetes insipidus (DI) adalah kondisi tidak umum yang terjadi ketika
ginjal tidak mampu untuk mereabsorpsi atau menghemat air saat penyaringan
darah. Jumlah air yang direabsorpsi dikendalikan oleh hormon antidiuretik
(ADH) yang disebut juga vasopresin (Bleicher, 2011).
B. Etiologi
Menurut Batticaca (2008), etiologi diabetes insipidus diklasifikasi
menjadi dua yaitu:
1. Diabetes insipidus yang sensitif terhadap vasopresin:
a. Bentuk idiopatik (bentuk nonfamiliar dan familiar)
b. Pascahipofisektomi
c. Trauma (fraktur dasar tulang tengkorak)
d. Tumor (karsinoma metastasis, kraniofaringioma, kista suprasellar,
pinealoma).
e. Granuloma (sarkoid, TB, sifilis)
1) Infeksi (meningitis, ensefalitis, sindrom Lemdry-Guillain-Barre’s)
2) Vaskular (trombosis atau perdarahan serebral, aneurisma serebral,
nekrosis postpartum atau sindrom Sheehenis)
3) Mistiositosis (granuloma eosinofilis, penyakit Sebuler-Christiem).
2. Diabetes insipidus nekrotik yang didapat:
a. Penyakit ginjal kronis (penyakit ginjal polikistis, penyakit medullary
cystic, pielonefritis, obstruksi ureteral, gagal ginjal lanjut).
b. Gangguan elektrolit (hipotallumia, hiperkalsemia).
c. Obat-obatan (litium, demetoheksamid, tolazamid, propoksifen,
glikusid, vinblastin, kalkisin).
d. Penyakit Sicke-Cell.
4
e. Gangguan diet (intake air yang berlebihan, penurunan intake NaCl,
penurunan intake protein).
f. Lain-lain (multiple mieloma, amiloidosis, penyakit Sjogren’s,
sarkoidosis).
Sedangkan menurut Pardede (2003), diabetes insipidus dikelompokkan
berdasarkan tiga, yaitu:
1. Diabetes insipidus sentral
a. Primer, yaitu idiopatik dan familial
b. Sekunder:
1) Trauma kepala, fraktur basis kranii
2) Tindakan bedah saraf, pascahipofisektomi
3) Infeksi intrakranial
4) Tumor otak, tumor infra atau supraselar, leukemia
5) Penyakit granulomatosa susunan saraf pusat
6) Perdarahan intrakranial
7) Hipoksia
8) Obat-obatan
2. Diabetes insipidus nefrogenik
a. Kongenital
b. Didapat
1) hipokalemia
2) hiperkalsemia
3) obat-obatan
4) kelainan parenkim ginjal
5) penyakit sickle cell
3. Excessive vasopressinase
C. EpidemiologiDiabetes insipidus merupakan penyakit gangguan hormonal yang sangat
jarang dijumpai. Prevalensi dari diabetes insipidus yaitu 1 kasus diantara
25.000 populasi dengan faktor risiko sama bagi kedua gender, baik pria
maupun wanita (Bardesono, 2012).
5
D. Faktor RisikoBeberapa faktor resiko yang dapat mengarah ke diabetes insipidus antara
lain:
1. Riwayat keluarga diabetes insipidus, dengan riwayat keluarga diabetes
maka akan cenderung untuk mengembangkan kondisi diabetes. Sebuah
penelitian telah membuktikan bahwa sebuah kelompok diabetes resesif
yang memiliki keturunan genetik langka genetik dapat bermutasi gen
fungsional. Hasilnya mungkin muncul dalam sindrom diabetes langka
yang menyimpan representasi keturunan resesif (Sudoyo, 2009).
2. Hipernatremia, yaitu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma lebih
dari 145 mEq/l. Karena meningkatnya tekanan osmotik carian
ekstraselular, maka mengakibatkan cairan akan berpindah dari sel menuju
ke cairan ekstraselular. Akibatnya, sel akan dehidrasi. Konsentrasi normal
dari natrium ini diatur oleh mekanisme hormon ADH (antidiuretik) dan
aldosteron. Sebagian besar ion natrium berdampak dalam kontrol regulasi
cairan tubuh, yaitu natrium akan mempertahankan kadar elektrolit dalam
cairan intraselular dan ekstraselular bersama dengan kalium (Tamsuri,
2008).
3. Penyakit atau kerusakan otak, hipotalamus mengalami fungsi dan
menghasilkan terlalu sedikit hormon anti diuretik ( ADH) ke dalam aliran
darah, sehingga retensi urin menurun yang menyebabkan urin banyak yang
keluar (Sudoyo, 2009).
4. Penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal lain yang dapat
mempenagruhi proses filtrasi.
5. Tingginya kalsium dalam darah
6. Rendahnya kalium dalam darah (Anonim, 2013)
E. Tanda dan GejalaDiabetes insipidus dapat timbul secara perlahan maupun secara tiba-tiba
pada segala usia. Seringkali satu-satunya gejala adalah rasa haus dan
pengeluaran air kemih yang berlebihan. Sebagai kompensasi hilangnya cairan
melalui air kemih, penderita bisa minum sejumlah besar cairan (3,8-38
L/hari). Jika kompensasi ini tidak terpenuhi, maka dengan segera akan terjadi
6
dehidrasi yang menyebabkan tekanan darah rendah dan syok. Penderita terus
berkemih dalam jumlah yang sangat banyak, terutama di malam hari (Sands,
et al., 2006).
Gejala klinis dari diabetes insipidus yaitu :
1. Poliuria dan polidipsia
Pada diabetes insipidus, gejala utamanya adalah poliuria dan
polidipsia. Dalam sehari, jumlah cairan maupun produksi urin sangat besar
yaitu dapat mencapai 5-10 liter perharinya. Berat jenis urin juga biasanya
sangat rendah yaitu kira-kira 1 001- 1 005 atau 50-200 mOsmol/kg berat
badan. Biasanya pada diabetes insipidus tidak terdapat tanda dan gejala
lain selain poliuria dan polidipsia. Namun kecuali jika terdapat penyakit
lain yang menyebabkan munculnya gangguan pada mekanisme neurohy-
pophyseal-renal reflex yang dapat mengakibatkan kegagalan tubuh dalam
mengkonversi air (Ranakusumo & Subekti, 2009).
2. Dehidrasi
Dehidrasi terjadi apabila tubuh tidah mendapatkan cairan yang
adekuat. Pada bayi, jika mengalami dehidrasi bisa mengalami demam
tinggi yang disertai dengan muntah dan kejang-kejang. Jika tidak segera
terdiagnosis dan diobati, hal ini dapat menyebabkan kerusakan otak,
sehingga bayi mengalami keterbelakangan mental. Dehidrasi yang sering
berulang juga akan menghambat perkembangan fisik (Sands et al., 2006).
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Manifestasi klinis dari diabetes insipidus bergantung pada
penyebabnya, keparahannya, dan keterkaitan kondisi medis pasien. Namun
pada umumnya, diabetes insipidus terjadi setelah trauma atau bedah pada
regio di hipothalamus dan hipofisis (Cooperman, 2011).
Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan
polidipsia. Kedua gejala ini sebagai manifestasi klinis yang terlihat pada
saat anamnesis dilakukan (Sudoyo, 2009).
7
2. Pemeriksaan fisik
Berbagai variasi dari pemeriksaan fisik diabetes insipidus, yaitu
dapat berdasarkan keparahan dan kronisitas dari penyakit diabetes
insipidus. Pada umumnya, pada pemeriksaan fisik terdapat hidronefrosis,
pembesaran vesika urinaria, dan tanda-tanda dehidrasi. Volume urin harian
bervariasi, antara 3-20 liter dan toleransi pasien terhadap dehidrasi juga
bervariasi pada tiap pasien (Cooperman, 2013).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan setelah ditemukan terjadinya
poliuria adalah pemeriksaan untuk menentukan jenis penyakit yang
menyebabkannya. Beberapa pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Uji deprivasi / Uji haus (Water Deprivation Test)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan salah satunya adalah tes
pengurangan cairan (water deprivation test). Tetapi pemeriksaan ini
harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat supaya tidak terjadi
dehidrasi yang berlebiahn. Tes ini dilakukan dengan restriksi intake
cairan sampai terjadi penurunan 3-5 % berat badan. Pengukuran
osmolaritas urin dan perubahan osmolaritas urin sebagai respons
terhadap vasopresin eksogen juga akan membantu menegakkan
diagnosis (Davey, 2005 ).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan antara polidipsi
psikogenik dengan diabetes insipidus yaitu untuk mengevaluasi
kemampuan pasien memekatkan urin sebagai respons terhadap
hipernatremia dan penurunan volume cairan ekstraselular. Pemeriksaan
ini dilakukan pada pagi hari, selama 6-8 jam.
Menurut Pardede (2003), tata cara pemeriksaan penunjang uji
haus ini adalah sebagai berikut:
1) Setelah mendapat hidrasi yang adekuat yaitu minum air sesuai
dengan kebutuhan selama 24 jam, dilakukan pemeriksaan kadar
natrium dan osmolalitas plasma, berat jenis dan osmolalitas urin,
pengukuran jumlah urin, dan berat badan. Selama pemeriksaan,
anak tidak boleh makan dan minum; berat badan, tanda vital, dan
8
berat jenis urin diperiksa setiap jam. Pemeriksaan jumlah urin,
osmolalitas urin, osmolalitas plasma, dan natrium plasma
dilakukan setiap 2 jam.
2) Uji deprivasi air dilanjutkan sampai osmolalitas plasma mencapai
300 mOsm/l atau lebih tinggi dan berat badan turun 3-4% dari
berat badan awal pemeriksaan. Uji deprivasi air harus diawasi
karena pada compulsive water drinking akan mencari air untuk
diminum, sedangkan pada diabetes insipidus akan terjadi
penurunan volume cairan intraselular. Pada pasien dengan
kelainan yang berat, penurunan berat badan ini biasanya terjadi
dalam 5-7 jam.
3) Pada akhir uji deprivasi air, perlu diambil sampel urin dan plasma
untuk pengukuran osmolalitas. Uji deprivasi air tidak dapat
dilakukan pada keadaan hipernatremia atau pada isostenuria
dengan peningkatan osmolalitas plasma.
4) Uji deprivasi air dihentikan jika terdapat penurunan berat badan >
5%, atau berat jenis urin > 1.020, atau osmolalitas urin > 600
mOsm/l, atau Na serum > 145 mEq/L. Jika pada uji deprivasi air
didapatkan jumlah urin berkurang, berat jenis dan osmolalitas urin
meningkat, maka didiagnosis sebagai polidipsi psikogenik, tetapi
jika jumlah urin tidak meningkat, berat jenis dan osmolalitas urin
tetap atau tidak meningkat, maka didiagnosis sebagai diabetes
insipidus.
b. Urinalisis
Jika poliuria disertai kadar glukosa dan ureum plasma yang
normal menggambarkan kemungkinan defisiensi atau insensitivitas
terhadap vasopressin (Pardede, 2003).
9
Gambar 2.1. Skema Diagnosis Poliuria (modifikasi dari Trompeter dan
Barratt, 1999)
c. Uji pitresin
Uji ini dilakukan untuk membedakan antara diabetes insipidus
nefrogenik dan diabetes insipidus sentral, yaitu dengan pemberian
vasopresin atau analognya (aqueous vasopresin tau DDAVP).
Vasopresin lisin diberikan subkutan dengan dosis 5 IU/m2 luas
permukaan tubuh. Desmopressin (1 desamino 8-D- arginin vasopresin
atau DDAVP) diberikan secara intranasal dengan dosis 5 ug untuk
neonatus, 10 ug untuk bayi, dan 20 ug untuk anak dan dewasa.
DDAVP dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis 1/10 dosis
intranasal atau secara intramuskular dengan dosis 0,25 ml (1 ug) jika
berat badan < 30 kg atau 0,50 ml (2 ug) jika berat badan >30 kg
(Pardede, 2003).
10
Selama pemeriksaan pasien diperbolehkan untuk makan dan
minum, kemudian dilakukan pengukuran jumlah urin total 12 jam,
berat jenis urin setiap jam sampai 6 jam, serta pemeriksaan osmolalitas
urin, osmolalitas plasma, dan Na plasma setiap 2 jam selama 6 jam
(Pardede, 2003).
Pada diabetes insipidus sentral, akan terjadi penurunan jumlah
urin dan peningkatan berat jenis dan osmolalitas urin. Sedangkan pada
diabetes insipidus nefrogenik tidak ada respons atau diuresis tetap
banyak dengan berat jenis dan osmolalitas urin yang tidak meningkat
(Pardede, 2003).
d. Pemeriksaan Radiologi
Pada diabetes insipidus sentral, diperlukan beberapa pemeriksaan
lanjutan seperti foto kepala, CT–scan atau MRI kepala, dan
pemeriksaan fungsi kelenjar hipofisis. Pada diabetes insipidus
nefrogenik, perlu dilakukan ultrasonografi ginjal dan
miksiosistoureterografi untuk melihat adanya kelainan obstruktif
(Pardede, 2003).
G. PatogenesisSecara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi dua, yaitu diabetes
insipidus sentral dan diabetes insipidus nefrogenik (Sudoyo, 2009).
1. Diabetes Insipidus Sentral (DIS)
Diabetes insipidus sentral disebabkan oleh kegagalan pelepasan
hormon anti-diuretik ADH yang secara fisiologis dapat berupa kegagalan
sintesis ataupun penyimpanan. Secara anatomis kelainan ini terjadi akibat
kerusakan nukleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus
dalam menyintesis ADH. Selain itu DIS juga timbul karena gangguan
pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus
supraoptikohipofisis dan akson hipofisis posterior dimana ADH disimpan
untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke sirkulasi apabila dibutuhkan (Sudoyo,
2009).
11
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik (DIN)
Menurut Sudoyo (2009), istilah diabetes insipidus nefrogenik dipakai
pada diabetes insipidus yang tidak responsif terhadap ADH eksogen,
secara fisiologis dapat disebabkan oleh:
a. Kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradien osmotik dalam
medulla renalis
b. Kegagalan utilisasi gradien pada keadaan dimana ADH berada dalam
jumlah yang cukup dan berfungsi normal
Kegagalan-kegagalan yang merupakan etiologi dari diabetes
insipidus di atas berpengaruh pada sistem umpan balik osmoreseptor-ADH
untuk mengontrol konsentrasi dan osmolaritas natrium cairan ekstrasel.
Menurut Guyton (2012), secara normal, bila osmolaritas (konsentrasi
natrium plasma) meningkat di atas normal akibat kekurangan air, sistem
umpan balik ini akan bekerja sebagai berikut:
a. Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis berarti
peningkatan konsentrasi natrium plasma) menyebabkan sel saraf
khusus yang disebut sel osmoreseptor, yang terletak di hipotalamus
anterior dekat nukleus supraoptik mengkerut.
b. Pengerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut terangsang,
yang akan mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus
supraoptik, yang kemudian meneruskan sinyal ini menyusuri tangkai
kelenjar hipofisis ke hipofisis posterior.
c. Potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan merangsang
pelepasan ADH, yang disimpan dalam granula sekretorik (atau vesikel)
di ujung saraf.
d. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH
meningkatkan permeabilitas air di bagian akhir tubulus distal, tubulus
koligentes kortikalis, dan duktus koigentes medulla.
e. Peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan
peningkatan reabsorbsi air dan ekskresi sejumlah urin yang pekat.
Pada penderita diabetes insipidus, terjadi serangkaian kejadian yang
berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi terlalu encer (hipo-osmotik).
12
Contohnya, pada asupan air yang berlebihan dan penurunan osmolaritas
cairan ekstrasel. ADH yang seharusnya disekresikan banyak, hanya
disekresikan dalam jumlah sedikit, lalu tubulus ginjal mengurangi
permeabilitasnyaterhadap air, sehingga lebih sedikit air yang diseabsorbsi
serta sejumlah besar urin encer terbentuk (Guyton, 2012).
13
DIABETES INSIPIDUS
Tubuh kelebihan air
Osmolaritas cairan ekstrasel menurun
Terjadi kegagalan regulasi
Hormon ADH tidak disekresikan atau
disekresikan dalam jumlah sedikit
Permeabilitas tubulus distal, dan duktus
koligentes pada ginjal menurun
Reabsorbsi H2O minimum
H2O dikeluarkan banyak dalam urin dan urin menjadi encer (poliuria)
Gambar 2.2. Skema Patogenesis Diabetes Insipidus (Guyton, 2012)
H. Patofisiologi1. Fisiologi Mekanisme Air
Dalam mengatur ekskresi air, ginjal menggunakan mekanisme
neurohypofiseal-renal reflex. Komponen humoral dalam mekanisme ini
adalah ADH yang disebut juga arginin vasopressin (AVP). AVP disintesis
oleh suatu molekul precursor dalam nucleus supraoptic, paraventrikuler,
dan sedikit pada nucleus filiformi hipotalamus. Setelah disintesis, AVP
dibungkus ke dalam samacam neurosecretory granules pada reticulum
endoplasmic dimana setiap granul tersebut mengandung AVP serta
neurofisin (molekul carrier). Granul-granul tadi ditransportasikan melalui
akson neuron hipotalamus yang berakhir pada hipofisis posterior.
Penglepasan AVP oleh hipofisis posterior terjadi melalui proses
eksositosis ke dalam sirkulasi. Kemudian hormon inilah yang akan
mengatur penyerapan air pada ginjal (Sudoyo, 2009).
2. Mekanisme Haus (polidipsi)
Peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus,
sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus.
Seperti pada mekanisme pelepasan AVP, pengaturan osmotik rasa haus
dipengaruhi oleh volume sel pusat haus di hipotalamus. Ambang rangsang
pusat haus (295 mOsmol/kg berat badan) ternyata lebih tinggi daripada
ambang rangsang osmotik pelepasan AVP (280 mOsmol/kg berat badan).
Hal ini merupakan suatu perlindungan terhadap deplesi air (Sudoyo,
2009).
Terdapat juga jalur non-osmotik terhadap stimulasi pusat haus.
Diduga sistem renin-angiotensin merupakan salah satu mediator jalur ini
dan telah dibuktikan bahwa renin atau angiotensin eksogen dapat
menimbulkan rasa haus dan nefrektomi dapat menghilangkan rasa haus
akibat deplesi ECF (Sudoyo, 2009).
3. Mekanisme Poliuria
Di dalam tubuh, terdapat sistem umpan balik yang kuat untuk
mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi natrium, yang bekerja
14
dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal, dan tidak bergantung pada
kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini
adalah hormon antidiuretic (ADH) (Guyton,2012).
Bila osmolaritas cairan tubuh menurun di bawah normal (yaitu, zat
terlarut dalam cairan tubuh sedikit sehingga cairan ekstrasel menjadi
terlalu encer), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak
ADH. Namun pada penderita diabetes insipidus, hormon ADH tidak
disekresikan meskipun osmolaritas cairan tubuh menurun. Oleh sebab itu,
permeabilitas tubulus ginjal dan duktus koligentes terhadap air akan
menurun. Akibatnya, reabsorbsi air pun menurun sehingga banyak H2O
yang tidak masuk ke dalam jaringan dan tertimbun di ekstrasel. Kelebihan
H2O ini akan diekskresikan melalui urin menghasilkan urin dalam jumlah
banyak (poliuria) dan encer (Guyton,2012).
I. Gambaran HistopatologiADH adalah suatu hormon nonapeptida yang disintesis terutama dalam
nukleus supraoptikus. ADH dibebaskan dari terminal akson di neurohipofisis
ke dalam sirkulasi umum sebagai respon terhadap sejumlah rangsangan yang
berbeda-beda, termasuk peningkatan tekanan onkotik plasma, peregangan
atrium kiri, olahraga, dan keadaan emosional tertentu. Hormon bekerja pada
duktus koligentes ginjal untuk meningkatkan resorpsi air bebas. Defisiensi
ADH menyebabkan diabetes insipidus, suatu keadaan yang ditandai dengan
pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria) akibat ketidakmampuan ginjal
menyerap dengan benar air dari urin. Diabetes insipidus dapat terjadi akibat
beberapa proses, termasuk trauma kepala, neoplasma, peradangan
hipotalamus dan hipofisis, serta akibat tindakan bedah yang melibatkan
hipotalamus atau hipofisis (Kumar, 2007).
Diabetes insipidus akibat defisiensi ADH disebut sentral, sedangkan
diabetes insipidus yang disebabkan karena ginjal tidak responsive terhadap
hormon ADH dinamakan diabetes insipidus nefrogenik. Gambaran klinis
keduanya serupa dan berupa ekskresi urin encer dalam jumlah besar disertai
berat jenis yang terlalu rendah. Natrium serum dan osmolalitas meningkat,
karena pengeluaran air dalam jumlah besar melalui ginjal, sehingga timbul
rasa haus atau polydipsia (Kumar, 2007).
15
Gambaran histopatologi diabetes insipidus berupa ukuran neurohipofisis
yang sangat besar tetapi mengandung sangat sedikit materi neurosekresi
(Bloom, 2012).
Gambar 2.3. Hipofisis tikus Brattleboro dengan diabetes insipidus bawaan
(Bloom, 2012)
J. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pengobatan diabetes insipidus harus disesuaikan dengan gejala yang
ditimbulkannya. Pada DIS (Diabetes Insipidus Sentral) yang komplit
biasanya diperlukan terapi hormon pengganti (hormonal replacement)/
DDAVP (1-desamino-8-d-arginine- vasopressin) merupakan obat pilihan
pertama untuk DIS. Obat ini merupakan analog arginine vasopressin
manusi sintetik, mempunyai lama kerja yang panjang dan hanya
mempunyai sedikit efek samping, jarang menimbulkan alergi, dan hanya
menimbulkan sedikit pressor effect (Sudoyo, 2009).
Selain terapi hormon pengganti, dapat juga dipakai terapi adjuvant
yang secara fisiologis dapat mengatur keseimbangan air. Obat-obatan
adjuvant yang biasanya dipakai adalah (Sudoyo, 2009):
a. Diuretik Tiazid
Obat-obatan diuretic tiazid menyebabkan suatu natriuresis
sementara, deplesi ECF (Extra-Celluler Fluid) ringan dan penurunan
GFR (Glomerulo Filtration Rate). Hal ini menyebabkan reabsorbsi
Na+ dan air pada nefron yang lebih proksimal sehingga menyebabkan
16
berkurangnya air yang masuk ke tubulus distal dan duktus collectivus.
Obat ini dapat dipakai pada DIS (Diabetes Insipidus Sentral) maupun
DIN (Diabetes Insipidus Nefrogenik) (Sudoyo, 2009).
b. Kloropropamid
Klorpropamid memiliki fungsi menurunkan efek ADH yang asih
ada terhadap tubulus ginjal dan mungkin pula dapat meningkatkan
pelepasan ADH dari hipofisis. Dengan demikian obat ini tidak dapat
dipakai pada DIS komplit atau DIN. Efek samping yang harus
diperhatikan adalah timbulnya hipoglikemia. Dapat dikombinasikan
dengan tiazid untuk mencapai efek maksimal. Tidak ada sulfonylurea
yang lebih efektif dan kurang toksik dibandingkan dengan
klorpropamid pada pengobatan diabetes insipidus (Sudoyo, 2009).
c. Klofibrat
Seperti klorpropamid, klofibrat juga meningkatkan pelepasan
ADH endogen. Kekurangan klorfibrat dibandingkan dengan
klorpropamid adalah harus diberikan 4 kali sehari, tetapi tidak
menimbulkan hipoglikemia. Efek saping lain adalah gangguan saluran
cerna, myositis, dan gangguan fungsi hati. Dapat dikombinasikan
dengan tiazid dan klorpropamid untuk dapat memperoleh efek
maksimal dan mengurangi efek samping pada DIS parsial (Sudoyo,
2009).
d. Karbamazepin
Karbamazepin adalah suatu antikonvulsan yang terutama efektif
dalam pengobatan tic douloureux, mempunyai efek seperti klofibrat
tetapi hanya mempunyai sedikit kegunaan dan tidak dianjurkan untuk
dipakai secara rutin (Sudoyo, 2009).
e. OAINS/ NSAID
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti endometasin
dapat memacu pemekatan air kemih dan mengurangi pengeluaran air
kemih. Obat ini dapat dipakai sendiri ataupun kombinasi dengan tiazid.
Penggunaan OAINS perlu perhatian karena bersifat nefrotoksik dan
menyebabkan kelainan sekresi asam lambung (Sudoyo, 2009).
17
2. Non Medikamentosa
Menurut Khardori (2013), ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk
penanganan diabetes insipidus, yaitu:
a. Pemantauan
Memantau untuk retensi cairan dan hiponatremia selama terapi
awal. Ikuti volume asupan air dan frekuensi dan volume buang air
kecil, dan menanyakan tentang kehausan. Memantau serum natrium,
volume urin 24-jam, dan berat jenisnya. Pasien dengan mekanisme
rasa haus yang normal biasanya dapat mengatur diri.
b. Langkah-langkah Diet
Tidak ada pertimbangan khusus diet pada diabetes kronis
sekalipun, tetapi pasien harus memahami pentingnya asupan garam
dan air yang memadai dan keseimbangannya. Diet rendah protein, diet
rendah natrium dapat membantu menurunkan pengeluaran urin.
c. Kewaspadaan
Pasien diabetes insipidus harus mengambil tindakan pencegahan
khusus, seperti ketika bepergian, harus dipersiapkan untuk menangani
muntah atau diare dan untuk menghindari dehidrasi akibat aktivitas
fisik atau cuaca panas.
d. KomplikasiDiabetes insipidus dapat menyebabkan komplikasi jika tidak
terdiagnosis atau tidak dikontrol dengan baik. Menurut Robinson (2012),
komplikasi diabetes melitus adalah sebagai berikut:
1. DehidrasiSeseorang dengan diabetes insipidus akan kesulitan untuk
mempertahankan air yang cukup, sekalipun minum terus-menerus. Hal ini
dapat menyebabkan dehidrasi, yang merupakan berkurangnya air dalam
tubuh pasien. Tanda dan gejala dehidrasi yaitu:
a. Mulut dan bibir kering
b. Bagian yang terlihat cekung (terutama mata)
c. Sakit kepala
d. Pusing
e. Kebingungan dan mudah marah
18
Dehidrasi dapat diobati dengan menyeimbangkan cairan dalam tubuh.
Ketika merasa sangat dehidrasi, lebih baik minum cairan rehidrasi daripada
minum air putih, karena akan menggantikan mineral, garam, gula, serta air
yang hilang. Penderita diabetes insipidus yang mengalami dehidrasi parah
mungkin memerlukan perawatan di rumah sakit karena cairan tubuh yang
hilang diganti secara intravena (melalui infus ke pembuluh darah).
2. Ketidakseimbangan Elektrolit
Diabetes insipidus juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit. Elektrolit adalah mineral dalam darah yang memiliki muatan
elektrik kecil seperti natrium, kalsium, kalium, klorin, magnesium dan
bikarbonat. Seperti halnya ADH, elektrolit juga membantu menjaga
keseimbangan air dalam tubuh.
Pada penderita diabetes insipidus, elektrolit ini bisa menjadi tidak
seimbang dan berpengaruh terhadap jumlah air di dalam tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan dehidrasi dan mengganggu fungsi tubuh lainnya, seperti cara
kerja otot, yang dapat menyebabkan sakit kepala, kelelahan, iritabilitas, dan
nyeri otot. Ketidakseimbangan elektrolit dapat diobati dengan cara yang sama
seperti dehidrasi, dengan cairan rehidrasi yang mengandung elektrolit
pengganti.
f. Prognosis
Prognosis untuk pasien diabetes insipidus umumnya sangat baik,
tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pada diebetes insipidus
nefrogenik disebabkan oleh obat (misalnya, lithium), menghentikan obat dapat
membantu untuk mengembalikan fungsi ginjal normal (Khardori, 2013).
Mortalitas diabetes insipidus jarang terjadi pada orang dewasa selama air
di dalam tubuh tersedia. Dehidrasi berat, hipernatremia, demam, kolaps
kardiovaskuler, dan kematian dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua,
serta pada orang dengan penyakit komplikasi (Khardori, 2013).
19
III. KESIMPULAN
1. Diabetes insipidus adalah suatu kondisi seseorang yang mengeksresikan urin
dalam jumlah banyak (poliuria) dan encer sehingga mengakibatkan penderita
merasa kehausan terus-menerus (polidipsi)
2. Diabetes insipidus dikelompokkan menjadi dua berdasarkan penyebabnya,
yaitu diabetes insipidus sentral dan diabetes insipidus nefrogenik.
3. Diabetes insipidus adalah penyakit hormonal yang jarang ditemukan.
Prevalensinya yaitu 1:25.000.
4. Pada pemeriksaan fisik terdapat hidronefrosis, pembesaran vesika urinaria,
dan tanda-tanda dehidrasi. Pemeriksaan penunjang yang sering digunakan
adalah uji haus, urinalisis, uji pitresin, dan pemeriksaan radiologi.
5. Gambaran histopatologi diabetes insipidus berupa ukuran neurohipofisis yang
sangat besar tetapi mengandung sangat sedikit materi neurosekresi
6. Penatalaksanaan medikamentosa, yaitu diuretik tiazid, kloropropamid,
klofibrat, karbamazepin dan OAINS/ NSAID. Sedangkan penatalaksanaan
non-medikamentosanya berupa pemantauan, langkah-langkah diet,
kewaspadaan agar tidak terjadi komplikasi seperti dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit.
7. Prognosis diabetes insipidus baik dan mortalitas jarang terjadi.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Diabetes Insipidus Risk Factors. Available at: http://www.thirdage.com/hc/c/diabetes-insipidus-risk-factors (Diakses tanggal 13 Oktober 2013).
Bardesono, Francesca. 2011. Diabetes Insipidus. Available at http://flipper.diff.org/app/items/info/3360 (Diakses tanggal 12 Oktober 2013).
Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Bloom, William et Don W. Fawcett. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi 12. Terjemahan Jan Tambayong. Jakarta: EGC.
Bleicher, M.B. 2011. Diabetes Insipidus. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000377.htm (diakses
tanggal 16 Oktober 2013).
Cooperman, Michael. 2013. Diabetes Insipidus. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/117648-overview (Diakses terakhir 13 Oktober 2013).
Davey, Patrick. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Guyton, Arthur C et Hall John E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Khardori, Romesh. 2013. Diabetes Insipidus. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/117648-overview#aw2aab6b2b5 (diakses tanggal 16 Oktober 2013).
Kumar, Vinay. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta : EGC.
Pardede, S.O. 2003. Poliuria pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 5, No.3: 103-110. Available at: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-3-3.pdf (Diakses terakhir 13 Oktober 2013).
Robinson. 2012. Complications of Diabetes Insipidus. Available at: http://www.nhs.uk/Conditions/Diabetes-insipidus/Pages/Introduction.aspx (diakses tanggal 16 Oktober 2013).
Sands, Jeff M., Bichet, Daniel G. Nephrogenic Diabetes Insipidus. AnnIntern Med. 2006; 144:186-194. Available at:
21
http://www.the-aps.org/mm/Publications/Journals/PIM/sands-pdf.pdf (Diakses terakhir 13 Oktober 2013).
Sudoyo, Aru W. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid II. Jakarta : Interna Publishing.
Sudoyo, Aru W. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Jakarta : Interna Publishing.
Tamsuri, Anas. 2008. Klien Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Jakarta : EGC.
22
Top Related