WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

15
61 DANGKE: KULINER KHAS MASYARAKAT ENREKANG DANGKE: SPECIFIC CULINARY ENREKANG SOCIETY Masgaba Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el: [email protected] ABSTRACT This study aimed to describe the processing methods and cultural values contained in the business of making Dangke. This study used descriptive qualitative methods with data collection techniques through interviews, observation, and literature study. The study result showed that Dangke is a kind of Enrekang people’s culinary. Initially, buffalo milk was the main ingredient used in making dangke, but it is replaced with milk from dairy cows today, because of the population of buffalo has decreased. The process of making Dangke used simple technology. Dangke was made using a coconut shell, thus its shaped like a dome, then packed using banana leaves. The values contained in the business of making Dangke were the cultural, social, economic, cooperation, accuracy, and used-effort values. Keywords: dangke, culinary, values. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan cara pengolahan dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam usaha pembuatan dangke. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dangke merupakan kuliner khas masyarakat Enrekang. Pada awalnya, susu kerbau merupakan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan dangke, tetapi saat ini diganti dengan susu sapi perah, karena populasi kerbau sudah berkurang. Pembuatan dangke diolah dengan teknologi sederhana. Dangke dicetak dengan menggunakan tempurung kelapa, sehingga berbentuk seperti kubah, kemudian dikemas dengan menggunakan daun pisang. Adapun nilai-nilai yang terdapat di dalam usaha pembuatan dangke ini adalah nilai budaya, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai kerja sama, nilai ketelitian, dan nilai daya guna. Kata kunci: Dangke, kuliner, nilai-nilai PENDAHULUAN Makanan merupakan salah satu bagian kebudayaan suatu masyarakat yang sangat penting. Keberlangsungan hidup manusia sangat tergantung pada ketersediaan makanan. Oleh karena itu, makanan merepresentasikan ideologi dan identitas suatu masyarakat. Di nusantara ini terkenal dengan ragam makanan khasnya yang unik dan bercita rasa eksotis. Makanan khas suatu daerah berhubungan erat dengan budaya dan konsumsi suatu kelompok masyarakat. Bahan pokok yang digunakan biasanya memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. Hal ini seperti pada masyarakat Manado, terdapat banyak pohon kelapa sehingga masyarakatnya membuat ciri khas kue tradisonal kelapatar, Ambon pada lingkungan sekitarnya banyak terdapat pohon sagu kemudian masyarakatnya membuat kue khas yang disebut bagea. Demikian juga halnya wilayah Palopo banyak tumbuh pohon sagu sehingga sebagian masyarakat mengolah menjadi sagu kemudian dibuatlah makanan khasnya yang dikenal dengan nama kapurung. Makanan berarti segala sesuatu yang dapat dimakan seperti lauk pauk dan kue- kue. Makanan tradisional juga dibedakan

Transcript of WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

Page 1: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

61

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

DANGKE: KULINER KHAS MASYARAKAT ENREKANGDANGKE: SPECIFIC CULINARY ENREKANG SOCIETY

MasgabaBalai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166

Pos-el: [email protected]

ABSTRACTThis study aimed to describe the processing methods and cultural values contained in the business of making Dangke. This study used descriptive qualitative methods with data collection techniques through interviews, observation, and literature study. The study result showed that Dangke is a kind of Enrekang people’s culinary. Initially, buffalo milk was the main ingredient used in making dangke, but it is replaced with milk from dairy cows today, because of the population of buffalo has decreased. The process of making Dangke used simple technology. Dangke was made using a coconut shell, thus its shaped like a dome, then packed using banana leaves. The values contained in the business of making Dangke were the cultural, social, economic, cooperation, accuracy, and used-effort values.

Keywords: dangke, culinary, values.ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan cara pengolahan dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam usaha pembuatan dangke. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dangke merupakan kuliner khas masyarakat Enrekang. Pada awalnya, susu kerbau merupakan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan dangke, tetapi saat ini diganti dengan susu sapi perah, karena populasi kerbau sudah berkurang. Pembuatan dangke diolah dengan teknologi sederhana. Dangke dicetak dengan menggunakan tempurung kelapa, sehingga berbentuk seperti kubah, kemudian dikemas dengan menggunakan daun pisang. Adapun nilai-nilai yang terdapat di dalam usaha pembuatan dangke ini adalah nilai budaya, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai kerja sama, nilai ketelitian, dan nilai daya guna.

Kata kunci: Dangke, kuliner, nilai-nilai

PENDAHULUAN

Makanan merupakan salah satu bagian kebudayaan suatu masyarakat yang sangat penting. Keberlangsungan hidup manusia sangat tergantung pada ketersediaan makanan. Oleh karena itu, makanan merepresentasikan ideologi dan identitas suatu masyarakat. Di nusantara ini terkenal dengan ragam makanan khasnya yang unik dan bercita rasa eksotis. Makanan khas suatu daerah berhubungan erat dengan budaya dan konsumsi suatu kelompok masyarakat. Bahan pokok yang digunakan biasanya memanfaatkan sumber

daya alam di sekitarnya. Hal ini seperti pada masyarakat Manado, terdapat banyak pohon kelapa sehingga masyarakatnya membuat ciri khas kue tradisonal kelapatar, Ambon pada lingkungan sekitarnya banyak terdapat pohon sagu kemudian masyarakatnya membuat kue khas yang disebut bagea. Demikian juga halnya wilayah Palopo banyak tumbuh pohon sagu sehingga sebagian masyarakat mengolah menjadi sagu kemudian dibuatlah makanan khasnya yang dikenal dengan nama kapurung.

Makanan berarti segala sesuatu yang dapat dimakan seperti lauk pauk dan kue-kue. Makanan tradisional juga dibedakan

Page 2: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

62

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

berbagai macam kuliner yang menjadi ciri khas tersendiri dari Enrekang, seperti dangke, cammek burak, sambala kiddi, nasu cemba, sokko mandoti, dan deppa te’tekang.

Penduduknya banyak yang memelihara kerbau, sebagaimana yang tertulis dalam “Massenrempulu menurut Catatan Van Braam Morris” (Mappasanda, 1991:31), bahwa di mana-mana ditemukan kerbau, oleh penduduk banyak menggunakan waktu mengadakan perhitungan terus-menerus. Binatang ini dipergunakan untuk mengerjakan sawah dan ladang, untuk mengangkut muatan-muatan berat, dan untuk dipotong pada waktu pesta. Susu kerbau itu diolah semacam kue yang dinamai dangke kemudian dijual di pasar. Selain itu, terdapat banyak kambing yang dipelihara sedangkan kuda tidak banyak dan hanya raja-raja yang memeliharanya untuk keperluan berburu.

Dangke merupakan makanan tradisional Enrekang yang terbuat dari susu kerbau/sapi yang diolah secara tradisional. Dangke sering dijuluki dengan nama keju khas Enrekang karena teksturnya yang lembut menyerupai keju. Dangke bercita rasa keju lokal sampai saat ini masih diproduksi oleh masyarakat Enrekang sebagai home indusrty (produksi rumahan). Di Sumatra Barat terdapat juga hasil olahan susu kerbau yang dikenal dengan nama dadiah bentuknya menyerupai bubur, cara pengolahannya berbeda dengan dangke. Dadiah dipermentasikan dengan wadah bambu. Makanan dengan cita rasa yang khas yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia seperti tersebut perlu dilestarikan karena merupakan identitas lokal daerah tersebut. Keunikan dari kuliner dangke dengan bentuknya yang khas, karena dicetak dengan menggunakan tempurung kelapa, dan dibungkus daun pisang.

Dangke menjadi salah satu sumber mata pencaharian sebagian masyarakat Enrekang. Dangke dapat diolah menjadi lauk pauk, kue, keripik, dan sebagainya. Dangke yang dijadikan sebagai lauk diolah dengan cara digoreng, dipanggang. Dangke memiliki

untuk kelompok umur tertentu bahkan pada acara tertentu. Berbagai makanan khas yang disuguhkan khusus pada acara tertentu, seperti upacara daur hidup atau pesta pernikahan, dan hidangan atau sesajen untuk persembahan, tampaknya berfungsi sebagai ciri khas penting yang dapat menandakan identitas orang Bugis. Hal tersebut tampak sangat nyata, misalnya, pada perantau Bugis di Semenanjung Melayu walaupun telah banyak mangadopsi berbagai jenis makanan orang Melayu, tetap saja mempertahankan sejumlah jenis makanan yang dianggap oleh orang Bugis dan tetangga Melayu mereka sebagai tanda pengenal orang Bugis, seperti manũ nasu to riolo, nasu bale’, barongko, sarebba (Pelras, 2006: 275).

Keberadaan kuliner berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Selama manusia masih hidup, selalu berhubungan dengan persoalan pangan. Kuliner merupakan kebutuhan pokok makhluk hidup. Sebagaimana ungkapan yang berbunyi food is never die (pangan tidak akan pernah mati). Beberapa kota di Indonesia memiliki kuliner khas, misalnya: Yogyakarta dengan gudeg, Madura dengan sate, Palembang dengan empek-empek, Magelang dengan getuk (Nurwanti, 2011: 233).

Makanan adalah sesuatu benda yang bahan bakunya berasal dari hewan atau tumbuhan yang dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi. Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan, tanpa makanan, makhluk hidup akan sulit dalam mengerjakan aktivitas sehari-harinya. Makanan merupakan wujud dari kebudayaan manusia, karena dalam proses pengolahan bahan-bahan mentah sehingga menjadi makanan. Begitu pula dalam perwujudannya, cara penyajiannya dengan mengonsumsinya sampai menjadi tradisi (Hartono dkk, 2015: 11).

Keadaan geografis wilayah Enrekang berupa pegunungan sehingga penduduknya mayoritas sebagai petani dan peternak. Enrekang dikenal dengan hasil pertanian berupa sayuran seperti, wortel, kol, kentang, kopi, dan lainnya. Demikian juga dalam hal kuliner,

61—75

Page 3: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

63

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

keunikan dan spesifikasi, baik aroma, bentuk, maupun warnanya yang khas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dangke memiliki kandungan gizi (lemak, protein, air). Dangke salah satu makanan tradisional yang perlu dilestarikan agar selalu hidup, tumbuh, dan berkembang, serta dapat memberikan kesejahteraan masyarakat pendukungnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut sehingga yang menjadi fokus penelitian adalah yang berkaitan dengan keberadaan dangke sebagai kuliner khas masyarakat Enrekang. Untuk itu kemudian timbul beberapa pertanyaan: bagaimana proses produksi, distribusi, dan cara mengonsumsi dangke?; nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam proses pembuatan dangke?.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses produksi, distribusi, dan cara mengonsumsi dangke, serta untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai yang terdapat dalam proses pembuatan dan pemanfaatan dangke. Manfaat hasil penelitian ini, pertama, diharapkan dapat menjadi rujukan untuk pengusulan dangke sebagai warisan budaya tak benda. Kedua, diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah Enrekang untuk lebih mengembangkan produksi dangke dalam rangka peningkatan ekonomi kreatif masyarakat.

Lẽvi Strauss tokoh antropologi yang menyusun teori strukturalisme berdasarkan pada manusia mengolah makanan. Konsep segitiga kuliner (triangle culiner) yang memahami makanan sebagai bagian dari sistem kebudayaan yang meliputi pengetahuan, nilai, dan norma masyarakat. Dalam The Raw and the cooked, sebuah buku yang ditujukan untuk struktur masakan, Lẽvi-Strauss membedakan makanan mentah, dimasak, dan busuk. Untuk makanan yang dimasak, direbus, dan dipanggang adalah layaknya budaya dan alam. Makanan rebus disajikan untuk para kerabat, sedangkan makanan panggang disajikan untuk orang asing, karena orang-orang terdekat dikaitkan dengan budaya, sementara orang asing dikaitkan dengan alam (Paul A. Erickson dan Liam D. Murphy, 2018: 81).

Fieldhouse (1996:49) mengatakan bahwa ideologi makanan berkaitan dengan kategori budaya tertentu yang menyangkut sikap dan perilaku seseorang mengenai makanan yang dapat diterima sebagai makanan, kapan dan bagaimana cara penyajian makanan tersebut disiapkan. Setiap kebudayaan memiliki aturan dan norma yang dipedomani oleh masyarakat dalam mengonsumsi makanan serta pengetahuan mereka untuk mengklasifikasi makanan tersebut berdasarkam pemahaman dan pengetahuan lokal, atau memahami kaitan antara makanan dan budaya.

Kuliner merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat, kuliner mencerminkan fungsi teknis maupun simbolis dari suatu masyarakat. Kombinasi dari berbagai sumber daya pangan yang ada, masyarakat membentuk beraneka ragam kuliner untuk menghilangkan kebosanan mereka dalam konsumsi yang bersifat reguler. Sebagian akan sangat kompleks karena melibatkan banyak bahan seperti bahan utama, rempah dan cara memasaknya. Namun demikian, kuliner dari suatu masyarakat tidak akan lepas dari apa yang mampu disediakan oleh lingkungan hidupnya. Hal tersebut kemudian membawa pada berbagai kuliner khas dari satu wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya (Prasetia, 2016: 194).

Salah satu aspek keberagaman kehidupan keseharian masyarakat Indonesia adalah ragam pangan yang dikonsumsi merupakan kekayaan seni kuliner. Aspek kuliner banyak didapati akulturasi budaya antara pendatang dari berbagai bangsa dengan penduduk lokal. Sifat masyarakat yang cenderung sinkretik, telah membuat pengaruh Hindu, Budha, Islam/Arab, Tiongkok, India, dan Barat dengan keberagaman ekspresi budayanya, dapat hidup eksis bersama mewarnai denyut kehidupan masyarakat sampai sekarang (Rahman, 2016: XII).

Harmonisasi budaya dalam kuliner terwujud berkat berlangsungnya proses akulturasi yang secara bertahap membentuk keberagaman budaya dan kekayaan dalam aspek kuliner (Rahman, 2016:9). Akulturasi

Dangke: Kuliner Khas Masyarakat Enrekang... Masgaba

Page 4: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

64

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

(acculturation) merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2009:202).

Makanan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan manusia yang sangat penting, tidak hanya karena keberlangsungan hidup manusia sangat bergantung pada ketersediaan pangan, juga karena makanan merepresentasikan ideologi dan identitas suatu masyarakat. Ideologi makanan berkaitan dengan kategori budaya tertentu yang menyangkut sikap dan perilaku seseorang mengenai makanan yang dapat diterima sebagai makanan, kapan dan bagaimana cara penyajian makanan tersebut disiapkan. Setiap kebudayaan memiliki aturan dan norma yang dipedomani oleh masyarakat dalam mengonsumsi makanan serta pengetahuan mereka untuk mengklasifikasi makanan tersebut berdasarkan pemahaman dan pengetahuan lokal (Lisungan, 2012:9).

Kebudayaan telah membentuk suatu keyakinan bahwa kebudayaan itu merupakan blue print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, menjadi pedoman dalam tingkah laku. Kebudayaan merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis. Kebudayaan itu merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, dengan cara seperti itu manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan (Geertz dalam Abdullah, 2015:1).

Masyarakat di dalam berinteraksi selalu berpedoman kepada sistem adat istiadat yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Ketika berinteraksi masyarakat

akan menghadapi tantangan serta rangsangan dari lingkungannya, termasuk sumber daya alamnya. Dalam rangka menghadapi kedua aspek ekologi ini, baik secara individual maupun kolektif mengembangkan kebudayaan dan sekaligus memanfaatkannya bersama-sama sebagai pedoman dalam rangka strategi adaptasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian sebagai individu, setiap anggota masyarakat akan menghadapi bukan saja tantangan dan rangsangan lingkungan dan sumber daya alam, tetapi juga sekaligus menghadapi lingkungan sosial budaya (Sari, 2007: 132).

Setiap masyarakat atau suku bangsa mempunyai strategi masing-masing dalam menghadapi lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial agar mereka bisa survive. Dengan demikian, maka manusia mengeksplorasi lingkungan sekitarnya sesuai dengan kebudayaan yang mereka miliki. Rudito (dalam Femmy 2009: 19) menyatakan bahwa kebudayaan yang dimaksud di sini adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan mengeinterpretasi lingkungan yang dihadapi untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.

Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat (Soemarjan dalam Soekanto:2010). Manusia mempunyai segi materil dan segi spiritual di dalam kehidupannya. Segi materil mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda maupun lainnya yang berwujud benda. Segi spiritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan

61—75

Page 5: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

65

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, serta rasa yang menghasilkan keindahan.

Konsep kebudayaan menurut E.B.Tylor (dalam Haviland, 1988:332) sebagai kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif.

Menurut Leslie White semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambang seperti halnya pada seni, agama, dan uang. Aspek simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa yang dapat berfungsi sebagai pengganti objek dengan kata-kata. Bahkan pranata-pranata kebudayaan meliputi struktur politik, agama, kesenian, organisasi ekonomi, dan lain-lain tidak mungkin ada tanpa lambang (Haviland, 1988: 339). Selain itu, menurut Mircea Eliade (dalam Daeng, 2008: 82) bahwa simbol mengungkap aspek-aspek terdalam dari kenyataan yang tidak terjangkau oleh alat pengenalan lain.

Mengacu pada tema penelitian mengenai dangke makanan tradisional masyarakat Enrekang, maka ruang lingkup pembahasan meliputi: proses produksi, distribusi, konsumsi, serta nilai-nilai dalam pengolahan dangke. Ruang lingkup operasional penelitian ini adalah masyarakat Enrekang, khususnya yang masih mengolah susu kerbau/sapi sebagai bahan utama pembuatan dangke, dan masyarakat yang memanfaatkan dangke sebagai makanan atau sebagai oleh-oleh khas Enrekang.

METODE

Penelitian ini menggunakan tipe kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif, gambaran yang sistematis, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diamati dan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian akan dianalisis dengan mendeskripsikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang sedapat mungkin

memberi kejelasan objek dan subjek penelitian (Moleong, 2001).

Data penelitian terbagi atas dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data: wawancara dengan sejumlah informan yang ditetapkan. Teknik observasi adalah pengamatan dan pencatatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Observasi difokuskan pada pengolahan susu kerbau/sapi menjadi makanan yang disebut dangke (waktu pengambilan susu kerbau, proses memasak susu, proses mencetak, dan sebagainya). Data sekunder adalah yang diperoleh melalui penelusuran data yang tersedia di kantor-kantor yang berkaitan dengan objek yang diteliti, seperti data dengan latar sosial budaya, jumlah penduduk yang ditelusuri pada kantor kecamatan/desa, kantor statistik; sedangkan jumlah perajin dangke ditelusuri pada kantor perindustrian Kabupaten Enrekang. Data-data lainnya yang berkaitan dengan dangke ditelusuri pada perpustakaan daerah. Selain itu, peneliti juga berkunjung ke Kantor Perikanan dan Peternakan Kabupaten Enrekang mencari informasi yang berkaitan dengan sapi perah yang dimanfaatkan oleh pembuat dangke.

PEMBAHASAN

Enrekang: Sebuah Wilayah Penghasil Dangke

Kabupaten Enrekang secara geografis terletak pada 3˚14′36″- 3˚50′0″ Lintang Selatan dan 119˚40′53″- 120˚6′33″ Bujur Timur. Daerah ini memiliki ketinggian bervariasi antara 47 s.d. 3329 meter di atas permukaan laut. Letak Kabupaten Enrekang berada pada bagian utara Kota Makassar dengan jarak 235 km atau waktu jarak tempuh sekitar 5 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Ada pun pusat pemerintahannya berkedudukan di Kota Enrekang. Kabupaten Enrekang merupakan daerah peralihan Bugis-Toraja yang penduduknya sering disebut orang Duri atau Massenrempulu, dan mempunyai

Dangke: Kuliner Khas Masyarakat Enrekang... Masgaba

Page 6: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

66

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

dialek khusus yaitu bahasa Duri dan Enrekang serta dapat dimengerti baik oleh orang Toraja maupun orang Bugis. Dahulu Kabupaten Enrekang tergabung dalam Persekutuan Massenrempulu. Di dalam persekutuan tersebut tergabung lima kerajaan sehingga disebut “Lima Massenrempulu”. Kerajaan-kerajaan tersebut seperti Kerajaan Enrekang (Endekang), Kerajaan Maiwa, Kerajaan Malua, Kerajaan Alla, dan Kerajaan Buntu Batu. Wilayah-wilayah itulah yang kemudian dikenal dengan nama Kabupaten Enrekang (Kila, 2021:11)

Secara administratif wilayah Kabupaten Enrekang berbatasan dengan: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pinrang. Administratif pemerintahannya terbagi ke dalam dua belas kecamatan, yaitu: Kecamatan Maiwa, Kecamatan Bungin, Kecamatan Enrekang, Kecamatan Cendana, Kecamatan Baraka, Kecamatan Buntu Batu, Kecamatan Anggareja, Kecamatan Malua, Kecamatan Alla, Kecamatan Curio, Kecamatan Masalle, dan Kecamatan Baroko.

Berdasarkan data yang tercatat pada Badan Pusat Statistik, wilayah Kabupaten Enrekang memiliki luas 1 786.1 km². Lima puluh persen dari keseluruhan wilayah Enrekang berada di Kecamatan Maiwa, Enrekang, dan Bungin. Kecamatan Maiwa memiliki luas 392.87 km2 atau sekitar 21.99 %, Kecamatan Enrekang memiliki luas wilayah 291.19 km2 atau sekitar 16.30 %, Kecamatan Bungin memiliki luas wilayah 236.84 km2 atau sekitar 13.26 % dari luas keseluruhan wilayah Kabupaten Enrekang.

Wilayah Kabupaten Enrekang berdasarkan kondisi geografisnya sangat cocok untuk usaha di bidang pertanian dan peternakan. Di bidang pertanian untuk tanaman jangka panjang dan jangka pendek. Di bidang peternakan sejak kekuasaan Belanda di wilayah Onderafdeling Enrekang dikenal seperti di Maroangin, Manggugu, dan peternakan yang jumlahnya

tidak terlalu besar di wilayah Allu Baroko. Usaha peternakan seperti kerbau, kambing, ayam, dan lain-lain. Hasil usaha peternakan tersebut selain dipotong pada saat mengadakan upacara adat. Khusus usaha peternakan sapi atau kerbau, dilakukan kegiatan perah susu yang dibuat menjadi lauk pauk yang mereka kenal dengan sebutan dangke (Amir, 2021:130). Masyarakat Kabupaten Enrekang, seperti di Allu, Duri, Anggareja, Curio, dan lainnya melakukan usaha pembuatan dangke yang bahan dasarnya dari susu perah hasil peternakan sapi atau kerbau sendiri.

Penamaan Dangke

Citra makanan Indonesia identik dengan keragaman dan keunikan budaya serta kaya akan cita rasa. Sejarah makanan Indonesia terbentuk dari beberapa lapisan waktu. Jika dihubungkan dengan sumber-sumber sejarah, setidaknya telah terasa bahwa makanan dikonstruksi sebagai cuisine atau boga sejak abad ke10 M seiring masuknya pengaruh cita rasa Tionghoa, India, dan Arab. Semakin kompleks ketika Eropa mulai menanamkan pengaruhnya sejak abad ke- 16 sampai abad ke- 18 yang ditandai dengan masuknya secara bergelombang berbagai jenis bahan makanan baru dari Benua Amerika dan Eropa ke Indonesia. Kurun waktu yang panjang itu menjadi penentu bagi perkembangan dan pembentukan citra makanan di Indonesia pada masa kolonial hingga masa kemerdekaan (Rahman, 2016:6).

Dangke merupakan salah satu identitas dari masyarakat Enrekang dalam hal kuliner. Sudah menjadi memori kolektif bagi masyarakat Enrekang bahwa dangke sudah dikenal saat pendudukan Belanda. Penamaan dangke berawal dari pengalaman warga masyarakat ketika opsir Belanda disuguhi makanan hasil olahan dari susu kerbau. Opsir tersebut mengucapkan terima kasih dalam bahasa Belanda “dank well”.Warga masyarakat menyangka bahwa kata dank well yang diucapkan oleh opsir Belanda itu adalah nama makanan sejenis keju yang disuguhkan. Kata

61—75

Page 7: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

67

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

dank well kemudian berkembang pada kalangan masyarakat, dan seiring dengan waktu kata dank well diucapkan menjadi dangke, kemudian nama itu yang digunakan sampai sekarang.

Keberadaan dangke sebagai makanan khas masyarakat Enrekang juga dapat ditelusuri dalam buku “ Massenrempulu Menurut Catatan D.F.Van Braam Morris “. Catatan tersebut dibuat pada tahun 1890, telah diterjemahkan oleh Mappasanda. Catatan tersebut digambarkan antara lain tentang Kerajaan Federasi Duri (Massenrempulu), seperti, batas wilayah, keadaan geografis, demografi, bahasa, mata pencaharian penduduk. Batas-batas wilayah Kerajaan Federasi Duri yaitu: sebelah utara berbatas dengan Toraja; sebelah timur berbatas dengan Luwu; sebelah selatan berbatas dengan Enrekang, Maiwa; dan sebelah barat berbatas dengan Letta. Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa penduduk memelihara kerbau untuk mengerjakan sawah, ladang, dan untuk mengangkut muatan-muatan berat, serta untuk dipotong pada waktu pesta. Susu kerbau diolah menjadi semacam kue yang dinamai dangke ( Mappasanda, 1991: 28 –31).

Informasi tersebut menunjukkan bahwa penduduk Kerajaan Federasi Duri (Massenrempulu) telah mengenal dangke sekitar tahun 1890 berdasarkan catatan Van Braam Morris. Dalam catatan tersebut tidak disebutkan asal muasal penamaan dangke serta. susu kerbau diolah menjadi dangke yang dijual ke pasar.

Pengetahuan membuat dangke diperoleh secara turun temurun dari orang tua mereka. Sejak dahulu sampai sekarang cara pembuatan dangke diolah secara tradisional. Bahan yang digunakan dari susu kerbau dicampur dengan remasan daun passe. Oleh karena populasi kerbau sudah berkurang, begitu pula kayu passe susah didapat, sehingga digunakan susu sapi dan getah buah pepaya sebagai bahan untuk membuat dangke. Dari segi model, dangke masih tetap seperti dahulu, yaitu berbentuk kerucut karena menggunakan batok kelapa sebagai cetakannya.

Sistem Produksi Dangke

Kata produksi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu production. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata produksi diartikan sebagai proses mengeluarkan hasil, penghasilan. Pengertian produksi mencakup segala kegiatan termasuk prosesnya yang dapat menciptakan hasil, penghasilan dan pembuatan (Damsar dan Indrayani, 2013: 67). Dalam sistem produksi terdapat tiga faktor utama, yaitu modal, tenaga, peralatan. Ketiga faktor produksi itu juga diterapkan dalam pembuatan dangke, walaupun cara pengolahannya dilakukan secara tradisional.

Gambar 1 Tampak kegiatan memerah susu. (Sumber: dokumentasi penulis ).

Modal utama yang dibutuhkan dalam usaha dangke adalah susu yang berasal dari hewan sapi atau kerbau. Pada umumnya pembuat dangke (pa’bidu dangke) yang ada di Enrekang memiliki sapi/kerbau yang diternakan. Pada awalnya sapi/kerbau yang dimiliki oleh pembuat dangke merupakan kerbau lokal, namun seiring waktu populasi kerbau sudah mulai berkurang. Melihat kondisi seperti itu pemerintah Kabupaten Enrekang melalui Banpres (tahun 1979), masyarakat diberi bantuan sapi jenis sachiwel. Bantuan berupa sapi diberikan kepada setiap kelompok usaha dengan ketentuan setelah sapi melahirkan anak pertama diberikan kepada pemerintah (Dinas Peternakan). Anak sapi tersebut

Dangke: Kuliner Khas Masyarakat Enrekang... Masgaba

Page 8: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

68

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

selanjutnya diberikan kepada kelompok lainnya yang belum memperoleh bantuan.Kemudian pada tahun 1995 pemerintah Kabupaten Enrekang melalui Dinas Perikanan dan Peternakan kembali memberi bantuan sapi kepada masyarakat. Bantuan sapi jenis FH (Friesian Holatein) dapat memproduksi susu lebih banyak dibandingkan dengan sapi sachiwel. Sapi FH yang baru pertama kali melahirkan bisa memproduksi susu sekitar 10 sampai 15 liter perhari. Perkembangbiakan sapi FH tersebut tidak seperti sapi lokal yang membutuhkan pejantan, tetapi menggunakan suntikan IB (Inseminasi Buatan) atau kawin suntik. Sapi FH inilah yang dipelihara sampai sekarang untuk diperah susunya sebagai bahan utama membuat dangke.

Gambar 3.Peralatan untuk membuat dangke.(sumber: dokumentasi penulis ).

Tenaga kerja dalam sistem produksi merupakan salah satu faktor modal utama yang menentukan keberhasilan suatu produk. Usaha pembuatan dangke merupakan jenis usaha berskala kecil (keluarga), sehingga tenaga kerja yang terlibat di dalamnya berasal dari lingkungan keluarga itu sendiri. Tidak seperti dengan usaha yang berskala besar membutuhkan tenaga upahan, tenaga kerja dalam usaha pembuatan dangke tidak ada tenaga kerja yang diupah. Pemilik usaha pembuatan dangke juga sebagai peternak sapi perah. Dalam proses produksi dangke keberadaan sapi perah sangat menentukan keberhasilan usaha. Oleh karena itu, yang paling banyak memerlukan waktu dan tenaga adalah pemeliharaan sapi. Dalam sehari diberi makan dan minum sebanyak tiga kali, pagi, siang dan sore hari, serta dimandikan saat pagi, dan sore hari.

Gambar 2. Susu hasil perahan ditampung dalam jerigen. (Sumber: dokumentasi penulis ).

Produksi susu yang maksimal dihasilkan dari seekor sapi pada saat puncak laktasi, yaitu 4 sampai 7 bulan pascamelahirkan. Pada saat laktasi bisa memproduksi susu sekitar 12 sampai 14 liter perhari. Susu sapi mulai diperah dua bulan setelah melahirkan. Untuk menjaga agar produksi susu tetap tersedia, peternak memberi pakan ternak kepada sapinya. Ada pun pakan yang selalu disiapkan oleh peternak yaitu, rumput gajah (butung), konsentrak, air. Pakan ternak yang disediakan merupakan modal yang sangat penting. Rumput gajah pada umumnya ditanam sendiri oleh peternak, sedangkan pakan konsentrak yang berupa dedak, umbi-umbian, ampas tahu diperoleh dengan cara dibeli. Ampas tahu dan dedak diperoleh dengan cara dibeli pada langganan yang berasal dari daerah Pinrang.

Gambar4.Dangke yang sudah jadi. (Sumber: dokumentasi penulis).

Faktor yang mendukung dalam berpro-duksi selain ditentukan oleh faktor modal da-

61—75

Page 9: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

69

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

lam bentuk uang maupun dalam bentuk barang, atau tempat usaha, juga memerlukan peralatan. Proses pembuatan dangke dilakukan secara tr-adisional sehingga peralatan yang digunakan sangat sederhana. Peralatan yang digunakan ter-diri atas: panci, kompor untuk memasak susu; cetakan dari tempurung kelapa (Enrekang: kol-ang), sendok kayu (pisero’ kayu); daun pisang (daung putti), saringan (ero-ero), dan cangkir atau tatakan yang terbuat dari kayu. Sedangkan bahan campuran terdiri atas getah buah pepaya (lite mandike), dan garam.

dalam cetakan ditaruh di atas cangkir atau tatakan kayu agar kandungan airnya habis. Setelah kandungan airnya dianggap habis segera dibungkus dengan menggunakan daun pisang, sehingga terbentuk sebuah dangke. Sistem Distribusi Dangke

Distribusi merupakan proses penyaluran barang atau jasa kepada pihak lain. Distribusi merupakan suatu konsep yang berhubungan dengan aspek-aspek tentang pemberian imbalan yang diberikan kepada individu-individu atau pihak-pihak yang telah mengorbankan faktor-faktor produksi yang mereka miliki untuk proses produksi. Batasan ini mengandung arti bahwa dalam distribusi proses pemindahan barang atau jasa terjadi dalam unit produksi, dan terjadi antara lembaga produksi yang menjadi anggota maupun antar individu-individu (Sjafri, dkk, 2002:41).

Pola distribusi hasil usaha dangke telah mengalami perkembangan. Awalnya sistem distribusi dangke hanya berupa pola distribusi langsung, di mana pembuat dangke sebagai produsen menjual langsung ke konsumen. Konsumen yang datang sendiri mencari dan membeli dangke ke tempat usaha atau rumah produksi. Perkembangan sekarang ini distribusi dangke, selain dengan pola distribusi langsung juga dengan pola distribusi tidak langsung, dan bahkan sekarang ini distribusi (pemasaran) melalui jasa jaringan internet (belanja daring). Belanja daring merupakan salah satu bentuk perdagangan elektronik yang digunakan untuk transaksi antara penjual dengan pembeli.

Pola distribusi langsung terlaksana secara langsung antara pembuat dangke (produsen) dengan konsumen tanpa melalui perantara. Saluran distribusi langsung dilakukan di rumah produksi atau pembuat dangke yang langsung menjualnya ke pasar. Distribusi langsung melalui pasar sangat minim dilakukan dibandingkan melalui rumah produksi. Distribusi melalui pasar akan menambah biaya transportasi, sehingga menjadi pertimbangan. Salah satu alasan jika distribusi melalui pasar

Gambar 4.Proses pembuatan dangke. (Sumber: dokumentasi penulis).

Cara Membuat Dangke

Pertama-tama yang dipersiapkan adalah susu susu segar yang baru diperah langsung dari sapi perah. Sebelum dimasak susu segar tersebut disaring dan dimasukkan ke dalam panci yang telah disiapkan sebelumnya. Selanjutnya panci yang berisi susu dimasak di atas kompor, selama dimasak susu diaduk terus agar tidak meluap dan tumpah. Setelah susu yang dimasak sudah mulai mendidih ditambahkan getah buah pepaya sedikit demi sedikit sampai seluruh lemak susu mengumpal dipermukaan, terakhir tambah garam sebagai perasa. Kemudian panci diangkat dari atas kompor, selanjutnya susu yang menggumpal diangkat dengan menggunakan saringan, dan segera dimasukkan dalam cetakan yang terbuat dari tempurung kelapa. Ketika dimasukkan ke dalam cetakan, susu yang menggumpal ditekan dengan menggunakan sendok agar kandungan airnya mengalir melalui lubang yang ada dicetakan. Selanjutnya, susu yang masih ada

Dangke: Kuliner Khas Masyarakat Enrekang... Masgaba

Page 10: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

70

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

dilakukan adalah adanya kebutuhan rumah tangga yang harus dibeli di pasar.

Pola distribusi tidak langsung merupakan salah satu bentuk distribusi (pemasaran) di mana arus barang menyebar dari pihak produsen ke pihak konsumen melalui pedagang perantara (Masgaba, 2014:44). Ada beberapa pembuat dangke lebih memilih menjual dangke hasil produksinya melalui pedagang pengumpul. Salah satu pertimbangan bagi mereka, bahwa jarak tempuh dari rumah ke pasar jauh membutuhkan tambahan biaya transportasi, dan memerlukan waktu. Selain alasan tersebut, jika mereka jual melalui pedagang pengumpul hasil penjualannya langsung bisa didapat. Pedagang pengumpul membeli dangke secara tunai. Selanjutnya pedagang pengumpul yang mendistribusikan langsung ke konsumen. Pedagang pengumpul memilih tempat pemasaran yang diinginkan. Apabila bertepatan dengan hari pasar, pedagang pengumpul menjualnya ke pasar, dan terkadang ada pemesanan dari pelanggannya. Menurut penuturan salah seorang pedagang pengumpul bernama Nurjanna, bahwa tempat pemasaran dangke selain di pasar, juga biasa dilakukan di kantor-kantor, atau langsung diantar ke tempat sesuai dengan permintaan pelanggan.

Selain pola distribusi langsung dan tidak langsung pemasaran dangke, terdapat produsen memasarkan melalui saluran media sosial. Seperti usaha dangke Talaga Biru yang terletak di Kecamatan Enrekang, dan Melona yang terletak di Dusun Baba, Kecamatan Cendana. Kedua usaha dangke tersebut mendistribusikan langsung ke konsumen dan melalui jaringan internet. Harga yang ditawarkan sama jika pemesannya melalui jaringan internet (WhatsApp, Instagram, Facebook), hanya ditambah ongkos kirim. Penentuan harga pemasaran dangke disepakati oleh produsen dengan pengumpul, jika produsen menjual langsung ke konsumen, maka harga yang dipatok harus sama dengan harga yang dipasarkan oleh pengumpul. Sedangkan pengumpul membeli dangke kepada produsen dengan harga yang

lebih murah karena mereka memperhitungkan keuntungan yang akan didapat.

Saluran distribusi dangke juga dapat dijumpai pada kedai atau warung kopi yang terletak di pinggir jalan. Salah seorang pemilik warung kopi yang terletak di pinggir jalan poros menuju Kota Enrekang, Risna, mengatakan bahwa dangke yang dijual di warungnya merupakan titipan dari salah satu produsen yang ada di sekitar warungnya. Produsen dangke itu memberi harga Rp15. 000 -– Rp20.000, kemudian Risna menjual ke konsumen seharga Rp20. 000 – Rp25 000. Harga pasaran yang bervariasi menurutnya bergantung dari ukuran dangke itu. Besar kecilnya ukuran dangke itu ditentukan dari ukuran cetakan yang digunakan oleh pembuat dangke.

Sistem Konsumsi

Konsumsi mengacu kepada seluruh aktivitas sosial yang orang lakukan sehingga bisa dipakai untuk mencirikan dan mengenali mereka di samping apa yang mereka lakukan untuk hidup. Dengan demikian, tindakan konsumsi tidak hanya dipahami sebagai makan, minum, sandang dan papan saja tetapi harus dipahami dalam berbagai fenomena, seperti: menggunakan waktu luang, mendengarkan radio, menonton televisi, bersolek atau berdandan, berwisata, membeli komputer untuk mengetik tugas kuliah, mengendarai kendaraan, membangun rumah tempat tinggal, dan lain sebagainya (Damsar dan Indrayani, 2013: 114).

Pada prinsipnya kebutuhan manusia tidak terbatas, sehingga apabila sudah terpenuhi satu kebutuhan atau beberapa kebutuhan, maka akan timbul kebutuhan-kebutuhan lainnya. Untuk itu manusia dalam memenuhi kebutuhannya harus memprioritaskan di antara kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan, karena mustahil apabila dalam memenuhi segala kebutuhannya dapat dilakukan semuanya. Demikian halnya dengan pembuat dangke (pa’bidu dangke) berbagai macam kebutuhan yang diinginkan, akan tetapi mereka tidak bisa memenuhi secara bersamaan. Dangke yang diproduksi

61—75

Page 11: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

71

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

oleh pa’bidu dangke tidak untuk dikonsumsi langsung oleh keluarganya, tetapi untuk dijual. Hal ini diutarakan oleh Hayati, bahwa hasil yang diperoleh dari usaha membuat dangke digunakan untuk biaya anaknya yang kuliah di Makassar. Sudah dua anaknya yang berhasil meraih gelar sarjana, jika ada uang dari hasil jual dangke diprioritaskan untuk keperluan anak sekolah, sedangkan untuk keperluan kebutuhan lainnya bisa digunakan dari hasil kebun. Nureni, pembuat dangke, mengatakan bahwa dari penghasilan membuat dangke ada yang digunakan untuk membeli sapi perah, biaya anak sekolah, dan sekarang ini menabung untuk bisa menunaikan ibadah haji.

Nilai Budaya dalam Pembuatan Dangke

Pada umumnya makanan bukan hanya sebagai sumber asupan gizi dan nutrisi bagi ketahanan kehidupan jasmaniah, melainkan terdapat juga nilai-nilai budaya di dalamnya. Seperti dalam proses pembuatan dangke terdapat nilai-nilai budaya di dalamnya. Dangke sebagai makanan khas masyarakat Enrekang dapat mempererat identitas daerah. Bagi masyarakat Enrekang yang tinggal di daerah lain, dangke tidak hanya dapat mereka nikmati ketika berada di kampung halaman, tetapi mereka juga dapat menikmati di tempat mereka berada. Mereka dapat memperolehnya dari oleh-oleh yang dibawa kerabatnya atau melalui jasa pengiriman.

1. Nilai Budaya Nilai menurut Kluckhohn dan

Strodtbeck adalah sebuah konsepsi yang eksplisit atau implisit yang khas dari individu atau karakteristik kelompok tentang apa yang mereka inginkan untuk mempengaruhi pemilihan pelbagai mode, sarana yang tersedia bagi tindakan tertentu untuk mencapai tujuan (Liliweri, 2016:66). Usaha pembuatan dangke adalah suatu prosesi budaya pengetahuan, keterampilan, dan teknologi tradisional yang digunakan dan warisan yang ditransmisikan dari orang tua ke anak cucu. Pengetahuan

cara pengolahan dangke diperoleh dengan cara proses belajar secara alami. Ketika orang tua beraktivitas membuat dangke anak-anak mereka turut membantu sehingga tanpa disadari anak-anak mereka juga tahu. Proses belajar secara alami dilakukan berulang kali, terus menerus sehingga anak atau keturunan mereka juga melakukan hal yang sama dengan orang tuanya. Pengalaman melihat aktivitas orang tuanya, mereka meneruskan usaha membuat dangke.

Dangke sebagai kuliner adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Enrekang yang berkaitan dengan pola-pola pengolahan makanan. Pembuatan dangke diolah dengan cara difermentasikan melalui proses masak. Dangke diolah dengan cara tradisional dengan bahan-bahan serta alat yang digunakan diperoleh dari alam sekitar lingkungannya.

2. Nilai Peduli SosialSetiap aktivitas manusia bertujuan untuk

melangsungkann kehidupannya. Aktivitas dalam usaha pembuatan dangke bertujuan untuk menambah pendapatan ekonomi rumah tangga dan juga untuk memenuhi kebutuhan akan gizi. Bagi masyarakat Enrekang, sudah menjadi tradisi apabila berkumpul dengan keluarga dalam acara tertentu harus ada dangke sebagai makanan khas. Dangke termasuk makanan yang tidak tahan lama karena tidak menggunakan bahan pengawet, namun demikian dapat dijadikan oleh-oleh yang bisa dibawa sampai keluar dari wilayah Kabupaten Enrekang, seperti Jakarta, Kalimantan, dan lainnya. Dangke bisa bertahan beberapa hari dengan cara direndam air garam sebelum dikemas. Dengan demikian masyarakat Enrekang yang berada jauh dari kampung halamannya bisa mengonsumsi dangke melalui jasa pengiriman atau dibawa langsung keluarga. Masyarakat Enrekang yang bertempat tinggal di daerah lain dapat mengonsumsi dangke seakan berada di kampung halaman sendiri.

Nilai peduli sosial dalam pembuatan dangke tercermin ketika pembuat dangke

Dangke: Kuliner Khas Masyarakat Enrekang... Masgaba

Page 12: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

72

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

(pa’bidu dangke) memberikan air dangke kepada tetangganya untuk dikonsumsi. Begitu juga ketika ada keluarga atau tetangga yang mengadakan acara kumpul keluarga biasanya diberi dangke atau dijual dengan harga lebih murah dari harga pasaran.

3. Nilai Ketekunan.Arti kata ketekunan dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia adalah rajin dan kesungguhan untuk bekerja. Pembuat dangke pada dasarnya memiliki ketekunan yang tinggi sehingga dapat menghasilkan beberapa buah dangke dalam setiap harinya. Mereka bekerja sama dalam satu keluarga, saling membantu. Secara perlahan mengumpulkan susu dari hasil perahan susu kerbaunya sendiri. Secara tekun dan sabar kemudian diolah menjadi sebuah dangke. Mereka bekerja mulai pada subuh dini hari, dan pada sore hari, demikian pekerjaan mereka lakukan sejak nenek moyang mereka yang diwariskan secara turun temurun.

Usaha dangke yang ditekuni oleh sebagian masyarakat Enrekang merupakan salah satu sumber mata pencaharian. Dari hasil yang didapat dalam mengolah kemudian mendistribusikan (memasarkan) bernilai ekonomi. Hasil penjualan berupa uang dapat mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rumah tangganya. Salah satu unit usaha dangke yang ada di Enrekang, Talaga Biru, memiliki tujuh ekor sapi perah. Sapi perah yang produktif sebanyak empat ekor menghasilkan susu sekitar 17 liter yang diperah pada pagi hari. Dari sejumlah susu tersebut dapat menghasilkan dangke sebanyak delapan sampai sembilan. Hasil produksi tersebut kemudian terjual semua dengan harga jual Rp25 000 perbuah. Kegiatan memerah susu dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore, namun demikian hasil perah susu pada pagi hari lebih banyak dibandingkan pada sore hari. Dalam hal ini sudah tentu hasil produksi juga lebih banyak jumlahnya pada pagi hari. Hasil penjualan produksi dangke yang didapat sekitar Rp250 000 per hari.

4. Nilai Kerja samaNilai kerja sama tercermin pada proses

pembuatan dangke. Sebagaimana yang telah disebutkan pada proses produksi dangke, bahwa tenaga sebagai salah satu faktor produksi. Usaha dangke merupakan usaha rumah tangga (home indutry) sehingga tenaga yang terlibat berasal dari dalam kelurga itu sendiri. Dalam usaha pembuatan dangke tenaga kerja berasal dari keluarga yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, isteri, dan anak. Kerja sama dalam usaha dangke di mana ayah bertugas beternak sapi/kerbau (memberi makan/minum), memandikan, membersihkan kandang. Menyiapkan pakan sapi/kerbau berupa rumput (bahasa Enrekang: butung), pakan konsentrak, dedak. Pada saat memerah susu terkadang dilakukan oleh anak atau isteri. Kerja sama (siparundungang jamang) dalam keluarga sebagai satu unit produksi berlangsung secara terus menerus tanpa adanya pembagian tugas secara tertulis.

Kerja sama dalam menjalankan usaha dangke telah dilakukan sejak orang tua mereka. Melibatkan anggota keluarga terutama anak dalam proses pembuatan dangke merupakan proses sosialisasi secara natural. Usaha pembuatan dangke tidak melibatkan orang lain sebagai tenaga tambahan atau tenaga upahan. Hal itu disebabkan karena usaha pembuatan dangke hanya berskala kecil, mereka hanya dapat menghasilkan dangke sebanyak 5-- 15 perhari.

5. Nilai KetelitianKualitas dangke hasil produksi pembuat

dangke (pa’bidu dangke) di Enrekang ditentukan oleh ketelitian dalam pengolahan, khususnya penggunaan bahan yang digunakan. Ketelitian dalam menggunakan getah pepaya (bahasa Enrekang: lite mandike) sebagai campuran susu sapi/kerbau sangat diperlukan. Getah pepaya berfungsi sebagai penggumpal susu ketika dimasak. Apabila pembuat dangke kurang teliti dalam menggunakan getah pepaya akan menghasilkan cita rasa dangke yang pahit.

61—75

Page 13: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

73

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

Sebagaimana yang diutarakan oleh informan bernama Nuraeni, bahwa untuk memisahkan antara lemak dengan air yang terdapat di dalam susu digunakan getah pepaya. Ketika dimasak, pada saat susu mulai mendidih ditambahkan beberapa tetes getah pepaya. Pemberian getah pepaya dilakukan secara sedikit demi sedikit sampai terbentuk gumpalan. Hal itu dilakukan agar tidak berlebihan. Takaran getah pepaya yang digunakan untuk 15 liter susu kurang lebih satu sendok makan.

Nilai ketelitian juga tercermin saat pemerahan susu. Sebelum dilakukan pemerahan susu, sapi/kerbau dibersihkan dengan cara disikat seluruh badannya dan disiram dengan air. Demikian pula kotoran yang ada di sekitar sapi/kerbau harus dibersihkan terlebih dahulu. Hal tersebut untuk menjaga kualitas susu sapi yang akan diperah. Setelah susu terkumpul dan ditampung dalam wadah (jerigen) segera dibawa ke tempat pengolahan (di dapur). Sebelum dimasak, susu disaring untuk memastikan tidak ada kotoran di dalamnya.

Dua bulan pascamelahirkan induk sapi sudah bisa diperah susunya. Ketika dilakukan pemerahan susu nampak pemilik sapi dengan teknik tertentu melakukan pijatan terhadap susu sapi. Sebelum itu, tangan diolesi minyak kelapa agar mudah ketika memerah susu. Hal tersebut dilakukan agar puting susu sapi/kerbau tidak lecet.

6. Nilai Kemanfaatan Nilai kemanfaatan sebuah barang adalah

nilai kebergunaan suatu barang atau keuntungan yang diberikan oleh suatu barang itu ketika digunakan. Nilai guna yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah pemanfaatan dari hasil usaha pembuatan dangke. Dari hasil pengamatan di lokasi penelitian ditemukan beberapa hal yang dapat dimanfaatkan oleh pembuat dangke dan masyarakat di sekitarnya. Seperti: air susu yang diperoleh dari proses pengolahan dangke ketika lemak susu menggumpal ke permukaan. Air susu yang nampak bening tersebut dapat dimanfaatkan untuk minuman anak sapi yang

baru lahir. Selain itu, air susu bening dapat dikonsumsi dengan cara diolah menjadi kuah sayur, campuran membuat kerupuk, dan sebagainya.

Sapi perah yang dipelihara oleh pembuat dangke dapat memberikan manfaat utamanya susu. Selain itu dari kotoran sapi dapat dijadikan sebagai pupuk kandang dan bio gas pengganti gas elpiji. Umumnya pembuat dangke menggunakan bio gas untuk keperluan memasak. Menurut informasi salah seorang informan Nurjannah, mengatakan bahwa sebelum menggunakan bio gas pemakaian gas elpiji 3 kg hanya dipakai selama 2 hari atau 6 tabung per minggu. Sejak mengenal bio gas penggunaan gas elpiji 3 kg agak irit bisa sampai satu minggu.

Nilai kemanfaatn juga tercermin pada pemanfaatan air kencing dari sapi perah. Air kencing dari sapi perah dapat digunakan untuk menyiram tanaman agar terbebas dari serangan ulat. Sebelum digunakan, air kencing yang sudah ditampung dalam wadah diendapkan selama kurang lebih 15 hari. Untuk menghilangkan bau dari air kencing sapi itu diberi ramuan campuran sereh, kunyit, dan jahe.

PENUTUP

Kehadiran dangke di Enrekang sudah ada sejak pendudukan Belanda. Pada awalnya dangke hanya terbuat dari susu kerbau yang diolah secara tradisonal. Bahan campuran yang digunakan sebagai pengental susu untuk memisahkan antara lemak susu dengan kandungan air digunakan daun passe. Seiring waktu, populasi kerbau sudah berkurang, dan daun passe juga susah ditemukan, akhirnya pembuat dangke (pa’bidu dangke) beralih menggunakan susu sapi dan campuran getah buah pepayah. Tahun 1979 melalui Banpres, pemerintah Kabupaten Enrekang memberi bantuan sapi jenis sachiwel kepada kelompok usaha dangke. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1995, pemerintah Kabupaten Enrekang melalui Dinas Perikanan dan Peternakan mengucurkan lagi bantuan sapi jenis sapi

Dangke: Kuliner Khas Masyarakat Enrekang... Masgaba

Page 14: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

74

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

FH (Friesian Holstein). Sapi FH tersebut merupakan sapi perah yang dapat menghasilkan susu yang banyak. Susu dari sapi FH inilah yang dijadikan sebagai bahan utama untuk membuat dangke.

Proses pembuatan dangke dilakukan secara tradisonal, dan dengan peralatan yang sederhana. Cara pembuatannya, susu dimasak diberi campuran getah buah pepaya sampai membentuk gumpalan. Untuk menambah cita rasa diberi garam secukupnya, kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan dari tempurung kelapa, terakhir dikemas dengan daun pisang.

Pola distribusi hasil usaha dangke terdiri atas: pola distribusi langsung di mana produsen menjual langsung kepada konsumen tanpa melalui perantara. Pola yang ke dua distribusi tidak langsung, dimana produsen menjual dangke melalui perantara yaitu pedagang pengumpul (pa’sambu). Selanjutnya pengumpul menjual ke konsumen. Pola distribusi lainnya melalui jaringan internet (media sosial, seperti Whats App, Instagram, Facebook).

Nilai-nilai yang terdapat di dalam usaha pembuatan dangke, seperti nilai budaya, nilai peduli sosial, nilai ketekunan, nilai kerja sama, nilai ketelitian, dan nilai kemanfaatan. Nilai-nilai tersebut terbentuk secara natural berdasarkan pada aktivitas masyarakatnya dalam membuat kuliner khas yaitu dangke.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2015. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Perlajar.

Amir, Muhammad. 2021. Onderafdeling Enrekang Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1905-1942, dalam Sejarah Enrekang Dari ToManurung Hingga Terbentuknya Kabupaten. Makassar: De La Macca.

Daeng, Hans J. 2008. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Damsar, Indrayani. 2013. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Femmy. 2009.Dinamika Usaha Tani dan Hubungannya dengan Ketersediaan Pangan (Studi Kasus: Nagari Padang Laweh Kabupaten Agam), Suluah: Media Komunikasi Kesejarahan, kemasyarakatan dan Kebudayaan Balai pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang,Vol 9, No.10. hal. 19.

Fieldhouse, Paul. 1996. Food and Nutrition Custom and Culture. Chapman and Hall. P

Hartono, dkk. 2015. Inventarisasi Perlindungan Karya Budaya Kuliner Se’I di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press.

Haviland, William A. 1988. Antropologi, edisi keempat, Jilid I, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kila, Syahrir. 2021. Sejarah Enrekang: Masa Tomanurung Hingga Masuknya Agama Islam, dalam Sejarah Enrekang Dari ToManurung Hingga Terbentuknya Kabupaten. Makassar: De La Macca.

Koentjaraningrat, dkk. 1984. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lisungan, Joni. 2012. Sagu Makanan Tradisional (Dalam Perspektif Antropologi Budaya). Makassar: de La Macca.

Mappasanda (Penerjemah). 1991. Massenrem-pulu Menurut Catatan D.F. Van Braam Morris. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Masgaba. 2014. Pasar Tradisional Pattallas-sang: Ruang Ekonomi dan Interaksi Sosial Budaya. Makssar: De La Macca.

Moleong, L.J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosalakarya.

Nurwanti, Yustina Hastrini. 2011. Dinamika Kewirausahaan Kuliner: Lumpia Semarang Tahun 1965-2009 dalam

61—75

Page 15: WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021

75

WALASUJI Volume 12, No. 1, Juni 2021:

Patrawidya Seni Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 12, No. 2. Yogyakarta: BPSNT.

Paul, Erickson dan Liam D. Murphy. 2018. A History of Anthtropological Theory. Mutia Nurul Izzah (penerjemah). Jakarta: Prenada Group.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.

Prasetia, Ade. 2016. Ekonomi Maritim Indonesia. Yogyakarta: Diandra Kreatif.

Rahman, Fadly. 2016. Jejak Rasa NusantaraSejarah Makanan Indonesia.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sari. 2007. Bale Bandung: Wujud Tradisi Religi dalam Pengelolaan Lingkungan: Bandung: Bhakta Astiti, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Ikatan ahli Arkeologi Indonesia;

Sjafri, Sairin, dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Dangke: Kuliner Khas Masyarakat Enrekang... Masgaba