Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758 TANGGUNG JAWAB NEGARA …
Transcript of Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758 TANGGUNG JAWAB NEGARA …
1 Mainita
TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELAKSANAAN JAMINAN
KESEHATAN DALAM MEWUJUDKAN UNIVERSAL HEALTH
COVERAGE
Mainita1
1Lecturer at Faculty of Law, University of Muhammadiyah Aceh
Corresponding author: [email protected]
Abstract
Health is a human right that must be protected and considered by the government,
because health is also an indicator of community welfare in addition to economic
and social. One of the government's efforts to improve public health is to establish
hospitals in each region. Health is a human right that must be protected and
considered by the government because health is also an indicator of community
welfare in addition to economic and social. One of the government's efforts to
improve public health is to establish hospitals in each region.
Key words: Government reponsibility, Health coverage.
I. PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan secara umum tercantum dalam amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 Pasal 28 H Ayat (1)
berbunyi: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir bathin, bertempat tinggal, dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (3) berbunyi: “negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang baik”. 1
Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
pelayanan kesehatan tercantum dalam pasal 52 ayat (1) : “pelayanan kesehatan
terdiri atas: a. pelayanan kesehatan perseorangan, b. pelayanan kesehatan
masyarakat” dan pada ayat (2) : “pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud
1 Sulastomo, Substansi dan Filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, Rakernas SJSN
dan Jaminan Sosial Kesehatan, Menkokesra, 15-16 Maret, 2006.
Vol.5 No.1
ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
2 Mainita
pada ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.”. Pasal 53 ayat (1) : “pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan
untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan
keluarga”, dan pada ayat (2): “pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok
dan masyarakat”.
Undang-Undang Nomor No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional ( UU SJSN) telah menjawab prinsip dasar Universal Haelth Coverage
(UHC) dengan mewajibkan setiap penduduk memiliki akses pelayanan kesehatan
komprehensif yang dibutuhkan melalui sistem pra-upaya. Dalam Pasal 19 ayat (1)
UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, disebutkan
“jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi
sosial dan ekuitas”.2. Melalui asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib
kepesertaannya, dapat menghimpun sumber dana dari masyarakat sebagai modal
pembiayaan kesehatan, mengurangi sistem pembayaran langsung (out of pocket)
dan dapat meningkatkan sistem pra upaya (pre paid system) sehingga cakupan
jaminan kesehatan semesta (universal coverage) dapat diwujudkan.
2 Penjelasan : Pasal 19 UU SJSN menyatakan bahwa yang dimaksud Prinsip asuransi sosial
adalah: (1) kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan
muda, dan yang beresiko tinggi dan rendah; (2) kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif;
(3) iuran berdasarkan presentase upah/penghasilan; dan (4) bersifat nirlaba. Sedangkan yang
dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan medis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkan. Kesamaan
memperoleh pelayanan adalah kesamaan jangkauan finansial ke pelayanan kesehatan.
3 Mainita
Indonesia sebagai negara berkembang masih dihadapkan pada masalah
rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak mampu menjawab kompleksitas
penyelenggaraan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang semakin tergantung
pada teknologi kesehatan yang semakin mahal dan rumit.3
Dari segi manajemen pengelolaan, di akhir tahun 2011 telah disahkan
Undang- undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(UU BPJS) untuk menjalankan amanah konstitusi UU No 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Penyelenggaraan jaminan kesehatan
secara nasional dilaksanakan oleh BPJS seperti telah diamanatkan oleh pasal 1 ayat
(1) UU BPJS yang menyatakan bahwa BPJS adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.Menurut Pasal 2 UU BPJS, BPJS
bertugas menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan asas
kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.dalam hal
ini jelas bahwa semua bentuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional
diselenggarakan secara nasional oleh BPJS, termasuk jaminan kesehatan
didalamnya.hal ini diperkuat oleh Pasal 6 UU BPJS yang menyatakan bahwa BPJS
kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
Masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa dukungan
pembiayaan yang memadai pembiayaan kesehatan merupakan faktor yang
mempengaruhi kualitas suatu negara secara bermakna.Indonesia dikategorikan
sebagai negara dengan pembiayaan kesehatan yang rendah dengan ratarata sekitar
3Sulastomo, Substansi dan Filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, Rakernas SJSN
dan Jaminan Sosial Kesehatan, Menkokesra, 15-16 Maret, 2006.
Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
4 Mainita
2,2% dari gross domestic product GDP) dan 87$ per kapita, suatu nilai yang berada
jauh dari anjuran WHO, minimal 5% dari GDP per tahun.4 Pembiayaan kesehatan
dirumuskan dalam urusan kesehatan yang terdapat dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara/daerah (APBN atau APBD). Pembiayaan kesehatan diperuntukkan
bagi dinas kesehatan dan alokasi dana subsidi masing-masing rumah sakit
pemerintah. pembiayaan rumah sakit terdiri atas pendapatan dan belanja.
Evaluasi kebijakan seharusnya dilakukan lebih terfokus kepada tujuan
kebijakan tersebut yaitu melayani rakyat dan masyarakat.Survei terhadap
pelayanan dan pembiayaan rumah sakit milik pemerintah juga perlu dilakukan baik
oleh rumah sakit sebagai penyedia pelayanan maupun pihak pembuatan kebijakan
lainnya seperti dinas kesehatan.Dengan begitu, permasalahan dapat dijadikan
agenda bagi penentuan kebijakan selanjutnya untuk tujuan utama peningkatan
pelayanan kesehatan kepada rakyat.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka menarik
untuk diteliti lebih jauh tentang tanggung jawab Negara dalam pembiayaan
kesehatan. Adapun permasalahan yang ingin diteliti adalah tanggung jawab Negara
terhadap pelaksanaan jaminan kesehatan menuju universal health coverage, dan
integrasi jaminan kesehatan daerah ke jaminan kesehatan nasional menuju
universal health coverage.
4 WHO, 2005, Achieving universal health coverage : Developing the health financing system.
Technical brief for polisy-makers. Number 1, 2005. World Health Organization, Departement of
health System Financing, Health Financinf Policy.
5 Mainita
II. METODE PENELITIAN
1. Definisi Operasional Variabel
a. Perlindungan Istilah Tanggung Jawab Negara dalam literature Hukum
International merupakan suatu asas yang lahir sebagai suatu prinsip hukum
umum (the general principle of law), yang menunjukkan adanya praktek
pelaksanaan dari kedaulatan negara, sekaligus merupakan prinsip yang sangat
fundamental dalam hukum internasional. Dalam kesempatan ini tanggung
jawab negara disini adalah tanggung jawab negara dalam terhadap pembiayaan
kesehatan dalam menjamin universal health coverage.
b. Indonesia adalah Republik Indonesia, sebuah negara yang terletak di Asia
Tenggara yang dilalui oleh garis Khatulistiwa dan berada di antara benua Asia
dan benua Australia serta samudera Hindia dan Pasifik. Indonesia adalah
negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah,
atau istilah yang sering disebut dengan nama Nusantara
c. Biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan/atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
d. Universal Coverage adalah Sistem kesehatan yang memastikan setiap warga
dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative bermutu dengan biaya terjangkau.
e. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
6 Mainita
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5
f. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiriUrusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakatsetempat dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia.6
g. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah otonom berdasarkanAsas Otonomi.
2. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan judul yang dipilih “Tanggung Jawab Negara terhadap
pelaksanaan Jaminan Kesehatan dalam mewujudkan Universal Health
Coverage” maka penelitian ini termasuk dalam bidang hukum perdata.
3. Lokasi dan Populasi Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Wilayah Hukum Kota Banda Aceh.
b. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini terdiri dari pihak rumah Sakit Zainal
Abidin Bnada Aceh, kantor BPJS, Dinas Kesehatan Propinsi Aceh.
4. Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel ditentukan berdasarkan secara
Purposive Sampling yaitu berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh sampel
yang telah peneliti tetapkan dalam penelitian ini yang dianggap dapat
mewakili keseluruhan populasi yang ada.
5 Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
6 Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
7 Mainita
5. Cara Pengumpulan Data
A. Bahan hukum primer merupakan bahan pustaka yang bersifat mengikat
seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang kesehatan, Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah
sakit, Undang – Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan
Menteri Dalam Negeri No 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, dan berbagai peraturan perundangan
lainnya.
B. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library Research).
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (field research)
dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara wawancara
(interview) dengan jumlah sampel yang telah ditetapkan.
6. Cara Menganalisis Data
Dari keseluruhan data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan
maupun penelitian lapangan dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yaitu dengan menganalisa yang menghasilkan data deskriptif dan
analisa dari apa yang ditanyakan kepada responden dan informan secara
Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
8 Mainita
tertulis dan lisan dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh sehingga
menghasilkan sebuah karya tulis.7
III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Analisis Pola Manajemen Pengeloalaan, Paket Manfaat, dan Sasaran
Penerima Iuran Jaminan Kesehatan Daerah.
Evaluasi kebijakan seharusnya dilakukan lebih terfokus kepada tujuan
kebijakan tersebut yaitu melayani rakyat dan masyarakat.survei terhadap
pelayanan dan pembiayaan rumah sakit milik pemerintah juga perlu dilakukan
baik oleh rumah sakit sebagai penyedia pelayanan maupun pihak pembuatan
kebijakan lainnya seperti dinas kesehatan. Dengan begitu, permasalahan dapat
dijadikan agenda bagi penentuan kebijakan selanjutnya untuk tujuan utama
peningkatan pelayanan kesehatan kepada rakyat.
Hasil penelitian terhadap 6 provinsi,yaitu Aceh, Sumatera Barat,
Gorontalo, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Riau
memperlihatkan model pembiayaan dengan efektifitas serta keberhasilan yang
berbeda-beda.8 Implementasi sistem pelayanan kesehatan universal bervariasi
di berbagai negara, tergantung sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam
menyediakan pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan. Hal ini sesuai
dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia, yaitu pengaruh desentralisasi
7 Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hal.12 8 Gani, A. Dkk, Laporan kajian Sistem pembiayaan Kesehatan di Beberapa kabupaten dan
Kota, Pusat kajian Ekonomi Kesehatan dan Analisis kebijakan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, Depok, 2008.
9 Mainita
sangat tampak dalam pembiayaan kesehatan, terbukti dari beragamnya model
pengelolaan Jamkesda yang ada di Indonesia. 9
B. Kebijakan pola manajemen pembiayaan kesehatan.
Melihat pola manajemen pembiayaan yang diterapkan di enam
provinsi, yang menggunakan pola pembiayaan cost-sharing yang telah
ditentukan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota
yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Hal ini tampak dengan
adanya peraturan daerah/peraturan gubernur yang secara langsung mengatur
pelaksanaan di kabupaten/kota di wilayahnya (top-down approach) dengan
target sasaran rakyat yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan rakyat
miskin. Selain melihat pola manajemen yang terjadi di daerah maka perlu pula
ditinjau pola manajemen yang dilakukan Amerika Serikat melalui Obama Care
(the Affordable Act).
Dalam konteks pola pengelolaan manajemen organisasi pembiayaan
Obama Care, terdapat dua hal yang harus dicatat yaitu: 1) Pemindahan
kewenangan pengelolaan pembiayaan ke pusat berdasarkan keinginan daerah,
hal ini serupa dengan upaya integrasi Jamkesda kedalam JKN di Indonesia,
dan 2) pengelolaan mengacu pada sistem bursa asuransi, bukan dikelola
langsung oleh pusat, hal ini berbeda dengan Indonesia yang mengelola secara
langsung melalui BPJS.
Hal ini menunjukkan substansi kebijakan Obama Care merupakan
sentralisasi pembiayaan, namun tidak menghilangkan pemerataan kesempatan
9
Murti, Bisma, Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal Pelayanan Kesehatan di
Indonesia, disampaikan pada Temu Ilmiah Reuni Akbar FKUNS, di Surakarta, 2010.
Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
10 Mainita
bahkan membuka preferensi baru bagi masyarakat. Prinsip tersebut seharusnya
dapat menjadi salah satu acuan bagi Indonesia, karena proses integrasi
Jamkesda harus tetap berjalan dan terpusat.Hal ini menunjukkan substansi
kebijakan Obama Care merupakan sentralisasi pembiayaan, namun tidak
menghilangkan pemerataan kesempatan bahkan membuka preferensi baru bagi
masyarakat. Prinsip tersebut seharusnya dapat menjadi salah satu acuan bagi
Indonesia, karena proses integrasi Jamkesda harus tetap berjalan dan
terpusat.Namun pemerintahharus mampu membuka opsi preferensi bagi
daerah untuk menyesuaikan kondisi daerahnya dengan kondisi standar yang
diharapkan oleh pemerintah pusat.
C. Pola Paket Manfaat
Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) merupakan jaminan kesehatan
yang bersifat komplementer terutama terhadap jaminan kesehatan masyarakat
(Jamkesmas).artinya,jamkesda hanya merupakan pelengkap dari jamkesmas.
Jamkesda umumnya memiliki kesamaan dengan paket manfaat yang
ditawarkan oleh jamkesmas, dengan adanya penyesuaian dengan daerah
masing-masing. Paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesmas dijadikan
sebagai acuan bagi paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesda, sehingga
seringkali Jamkesda tidak berkembang menjadi sebuah jaminan kesehatan
yang komprehensif dan lengkap untuk daerah, kemudian pola paket manfaat
yang ditawarkan oleh Jamkesda seringkali mengacu dan bahkan
mengimplementasikan secara langsung pola paket manfaat yang ditawarkan
oleh Jamkesmas. Hal ini kemudian menjadi sebuah ketimpangan karena paket
manfaat yang ditawarkan antara Jamkesmas dan Jamkesda tidak memiliki
11 Mainita
perbedaan. Perbedaan jaminan kesehatan tersebut akhirnya hanya berbeda dari
segi pembiayaan serta iuran yang dikeluarkan.
Perbedaan lainnya yang terjadi antar daerah dalam pemberian paket
manfaat adalah keberadaan pelayanan promotif dan preventif dalam paket
manfaat Jamkesda. Di sebagian daerah pelayanan promotif dan preventif
kurang mendapat perhatian. Penekanan layanan promotif preventif melalui
upaya kesehatan masyarakat ini yang justru diperlukan dalam paket manfaat
untuk menjamin kesehatan masyarakat sehingga tindakan kuratif dapat
dikurangi dan berdampak pada pembiayaan kesehatan yang lebih efisien. Hal
ini sejalan dengan uraian Gani, (2010), bahwa analisis biaya kesehatan (district
health account) yang telah dilakukan di banyak kabupaten/kota menunjukkan
bahwa pembiayaan untuk program kesehatan masyarakat sangat tidak
mencukupi.
D. Perbandingan Sistem Jaminan Kesehatan Beberapa Negara
Universal Health Coverage di Indonesia sebenarnya dilakukan jauh
lebih dulu dari Amerika Serikat yakni melalui UU SJSN. Namun, kesiapan
Amerika Serikat dalam mengimplementasikan Universal Health Coverage
dalam sistem kesehatannya pada dasarnya lebih siap dan lebih komprehensif.
Kesiapan bukan hanya dari sisi sistem fasyankes maupun sistem
pembiayaannya tetapi juga kesiapan mereka dalam menyediakan sistem
promotif preventif yang melibatkan peran serta masyarakat secara utuh.
Demikian pula pelibatan penyedia kerja kedalam sistem pembiayaan. Begitu
pula untuk kesiapan anggaran,
Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
12 Mainita
Sistem Obama Care meskipun melibatkan pembiayaan negara yang
sangat besar, namun ke efektifan penggunaannya pun sangat di
pertimbangkan, terutama dalam hal keakurasian pembiayaan dan penyiapan
industri asuransi yang kompetitif, sehingga pada akhirnya benefit yang
diperoleh masyarakat akan semakin besar. Hal ini memberikan gambaran
bahwa penjaminan kesehatan secara universal (universal health coverage)
dapat terwujud jika disisi lain pola good governance diterapkan secara
menyeluruh.
Dengan menerapkan prinsip good governance dalam pengelolaan
layanan kesehatan,beban anggaran negara yang besar akan memperoleh
kompensasi benefit yang tinggi berupa terciptanya masyarakat yang benar-
benar sehat dan berproduktivitas tinggi, sehingga berdampak positif terhadap
pembangunan suatu negara. Selain tata kelola yang baik, Obama Care sangat
memperhatikan persoalan desentralisasi kesehatan, dalam hal ini Indonesia
juga menghadapi hal serupa dalam konteks Jamkesda yang saat ini sudah
berjalan di berbagai daerah dengan sistem masing-masing. Dalam hal ini
pertimbangan desentralisasi termasuk dalam hal penentuan pola organisasi,
paket manfaat maupun cakupan peserta patut diterapkan di dalam penerapan
universal health coverage di Indonesia kedepan sehingga manfaat yang
diperoleh masyarakat akan maksimal dan berkelanjutan.
Dalam konteks pola pengelolaan manajemen organisasi, terdapat 2 hal
yang harus dicatat: 1) Amerika Serikat memindahkan kewenangan
pengelolaan pembiayaan ke pusat berdasarkan keinginan daerah, hal ini
serupa dengan upaya integrasi Jamkesda kedalam JKN di Indonesia 2)
13 Mainita
pengelolaan mengacu pada sistem bursa asuransi, bukan dikelola langsung
oleh pusat, hal ini berbeda karena Indonesia mengelola secara langsung
melalui lembaga BPJS. Dalam konteks paket manfaat,pemerintah federal
Amerika Serikat memberikan fleksibilitas bagi setiap negara bagian ataupun
asuransi penyedia jaminan kesehatan dalam menentukan paket manfaat namun
paket manfaat tersebut harus mencakup 10 essential benefits yang harus ada
dalam semua skema pembiayaan tanpa batasan waktu dan jumlah. Dalam
konteks pola penerima bantuan iuran, penentuan penerima bantuan iuran
dalam Obama Care selain didasarkan pada patokan mendekati garis
kemiskinan federal, namun tetap memperhitungkan karakteristik daerah
sehingga jumlahnya dapat melebihi standar nasional tergantung pada kondisi
dan kebutuhan masing-masing. Karakteristik daerah inilah yang perlu
diperhatikan dalam integrasi Jamkesda dalam JKN.
Perbandingan sistem jaminan kesehatan Filipina dengan Indonesia
Formulasi Universal Health Coverage ( UHC ) di Filipina dimulai sejak tahun
1994, kurang lebih sepuluh tahun lebih cepat dibandingkan dengan di
Indonesia, dengan melakukan reformasi awal di tahun 2005-2006 untuk
mempersiapkan reformasi pada tahun 2014.Implementasi yang lebih cepat
mendorong sistem kesehatan. Filipina yang dirasakan lebih maju bila
dibandingkan 9 miliar peso atau setara dengan 2, 4 trilyun rupiah untuk
dengan Indonesia.Dari segi keuangan, Filipina menganggarkan anggaran
asuransi ini.Adanya desentralisasi sistem kesehatan di Filipina cukup memiliki
kemiripan dengan sistem Jamkesda di Indonesia, meskipun pada dasarnya
lebih terintegrasi dan terformulasikan.
Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
14 Mainita
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Terdapat tiga pola sasaran dalam implementasi Jamkesda Indonesia,
yakni penggunaan surat keterangan tidak mampu (SKTM) sebagai cara untuk
mengakses layanan Jamkesda; sasaran masyarakat miskin dan berketerbatasan
yang tidak dijamin oleh Jamkesmas; dan penargetan menyeluruh (broad
tragetting) atau universal health coverage dengan penargetan dilakukan
terhadap semua masyarakat di suatu daerah tanpa melihat latar belakang
ekonomi dan sosial. Hasil analisis menekankan beberapa hal. Pertama, bahwa
kemiskinan bukanlah merupakan hal yang statis dan tidak rentan perubahan.
Akurasi, validitas, dan pembaharuan data kemudian menjadi hal sangat
krusial. Kedua, adalah faktor portabilitas yang seringkali menjadi hambatan di
dalam Jamkesda. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih data jika
Pemerintah tidak mampu mengintegrasikan data antar wilayah secara baik. 10
Peran pemerintah pusat untuk dapat menghimpun data dalam satu
payung kelembagaan, sehingga prinsip portabilitas dalam JKN dapat berjalan
secara optimal. Ketiga, berkaitan dengan iuran yang ditetapkan untuk beberapa
daerah, ternyata bila dikaji lebih jauh memiliki keterikatan antara iuran dengan
alokasi APBD untuk Jamkesda. Terjadi peningkatan alokasi dana Jamkesda di
APBD dari tahun ke tahun pada daerah-daerah yang sepenuhnya menjamin
layanan jaminan sosial dengan paket manfaat melalui APBD. penggunaan
dana talangan (floatingfund) tanpa kontrol yang ketat terhadap klaim seperti
10 Ali Ghufron Mukti, 2007, Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan
Prospek ke Depan, PT. Karya Husada Mukti: Yogyakarta.
15 Mainita
yang terjadi di NTT, mengakibatkan terjadinya kebocoran pengklaiman dana
talangan jamkesda yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya hutang yang
harus ditanggung sehingga mengganggu APBD dan bahkan pembangunan di
sektor lainnya.
Dalam konteks pola pengelolaan manajemen organisasi terdapat 2 hal
yang harus dicatat: 1) Amerika Serikat memindahkan kewenangan
pengelolaan pembiayaan ke pusat berdasarkan keinginan daerah, hal ini
serupa dengan upaya integrasi Jamkesda kedalam JKN di Indonesia 2)
pengelolaan mengacu pada sistem bursa asuransi, bukan dikelola langsung
oleh pusat, hal ini berbeda karena Indonesia mengelola secara langsung
melalui lembaga BPJS Penerima bantuan iuran secara nasional belum tentu
sesuai dengan kebutuhan di tingkat daerah.Hal ini terjadi dalam Obama Care,
yaitu pada kenyataannya pada banyak negara bagian, warga negara yang
memerlukan bantuan ternyata melebihi kriteria yang ditetapkan, ini terjadi
khususnya akibat munculnya kriteria non finansial.11
Persoalan ini kemudian
diatasi Pemerintah AS dengan memberikan jalan keluar berupa keleluasaan
bagi negara bagian untuk mengajukan perluasan cakupan secara resmi
melebihi standar federal dengan mekanisme yang telah ditentukan secara ketat.
Filipina yang dirasakan lebih maju bila dibandingkan 9 miliar peso
atau setara dengan 2, 4 trilyun rupiah untuk dengan Indonesia. Dari segi
keuangan, Filipina menganggarkan anggaran asuransi ini. Adanya
desentralisasi sistem kesehatan di Filipina cukup memiliki kemiripan dengan
11 Act The Affordable Care, diunduh dari www.healthcare.gov/law/full/
Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
16 Mainita
sistem Jamkesda di Indonesia, meskipun pada dasarnya lebih terintegrasi dan
terformulasikan.
Implementasi kebijakan dilakukan dengan pendekatan top-down yaitu
perumusan kebijakan dilakukan pada tingkat pemerintah pusat, sementara
daerah berkewajiban untuk melaksanakannya. Kebijakan umumnya ditetapkan
pada skala makro yang mengakibatkan perubahan sosial ekonomi. Evaluasi
kebijakan para pembuat kebijakan menyampaikan bahwa evaluasi telah
dilakukan dengan baik secara berkala. Meskipun demikian, hasil evaluasi
pelayanan oleh pasien memperlihatkan masih banyaknya kekurangan yang
harus diperbaiki seperti dokter kurang memberikan penjelasan, waktu
pemberian obat yang ditunda, kebersihan, dan persepsi pasien terhadap
perbedaan komunikasi dokter berdasarkan kelas rawat inap.
Pada umumnya Jaminan Kesehatan Daerah (64,6%)
atau Pihak ke 3, dan 1,7% gabungan antara pemerintah daerah dan PT Askes.
Dengan berubahnya PT Askes menjadi BPJS pada 1 Januri 2014, maka semua
daerah yang selama ini sudah bekerja sama dengan PT Askes, akan lebih
mudah ( bila kemampuan fiskal daerahnya memungkinkan ) bila langsung
berintegrasi ke JKN, karena bila tidak langsung integrasi ke JKN, maka daerah
tersebut harus segera membuat badan/unit pengelola Jamkesda baru.
Untuk mewujudkan integrasi Jamkesda ke Jaminan Kesehatan
Nasional secara komprehensif yang tersentalisasi tetapi tetap memberikan
ruang bagi daerah, maka dari hasil penelitian ini dirumuskan suatu formulasi
kebijakan integrasi berupa Formulasi Kebijakan Sentralisasi Dinamis yaitu
diselenggarakan oleh pemerintah daerah , 33,8% dikelola oleh PT. Askes
17 Mainita
suatu formulasi kebijakan dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang
tersentralisasi tetapi secara dinamis masih memberikan peluang dalam
kerangka desentralisasi kepada pemerintah daerah.
B. Saran
Pemerintah Pusat harus mampu menjembatani perbedaan pemahaman
para pengambil kebijakan di daerah,khususnya kepala daerah dalam upaya
integrasi Jamkesda ke JKN.hal ini berarti pemerintah juga harus mampu
meredam peluang terjadinya dinamika politik di daerah yang muncul akibat
perbedaan kepentingan dan komitmen politis. Untuk merumuskan kebijakan
manajemen pengelolaan yang tepat, dapat diatasi melalui penetapan pola
pengelolaan pembiayaan yang berbasis pada hasil atau result based
financing.pola ini membantu menjembatani perbedaan sistem yang ada dan
sekaligus meningkatkan kinerja sisi penawaran dan permintaan dari sistem
jaminan kesehatan.
Pelaku kebijakan di tingkat pusat harus mampu menyamakan persepsi
dan pemahaman pelaku kebijakan di bawahnya dalam memahami langkah
kebijakan yang akan diambil. Dalam mengintegrasikan kebijakan daerah ke
dalam kebijakan pusat, konsep formulasi kebijakan integrasi harus
memberikan ruang fleksibilitas yang lebih besar bagi daerah dalam sentralisasi
kebijakan integrasi jamkesda. Hal ini merupakan bentuk upaya untuk
memenuhi kriteria kepentingan daerah sehingga formulasi kebijakan akan
lebih dinamis dan partisipatif.
Vol.5 No.1 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
18 Mainita
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006
Mukti, Ali Gufron, Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan
Prospek ke Depan, PT. Karya Husada Mukti: Yogyakarta, 2007
Murti, Bisma, Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal Pelayanan Kesehatan di
Indonesia, disampaikan pada Temu Ilmiah Reuni Akbar FKUNS, di Surakarta,
2010.
.
WHO. 2005. Achieving universal health coverage : Developing the health
financing system. Technical brief for polisy-makers. Number 1, 2005. World
Health Organization, Departement of health System Financing, Health
Financinf Policy.
Website
Act The Affordable Care, diunduh dari www.healthcare.gov/law/full/
Peraturan Perundangan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
Lain-lain
Gani, A. Dkk, laporan kajian Sistem pembiayaan Kesehatan di Beberapa kabupaten
dan Kota, Pusat kajian Ekonomi Kesehatan dan Analisis kebijakan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, 2008.
Sulastomo, Substansi dan Filosofi UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN.
Rakernas SJSN dan Jaminan Sosial Kesehatan, Menkokesra, 15-16 Maret, 2006