Tesis Yondri Natalis Tasidjawa
-
Upload
titi-purnama-delano -
Category
Documents
-
view
84 -
download
0
description
Transcript of Tesis Yondri Natalis Tasidjawa
-
KORELASI KADAR INTERLEUKIN 18 DENGAN EKSPRESI SOLUBLE VASCULLAR CELL ADHESION
MOLECULE 1 (sVCAM-1) DAN SOLUBLE INTERCELULAR ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1) PADA DEMAM
BERDARAH DENGUE
THE CORRELATION OF INTERLEUKIN 18 LEVEL WITH EXPRESSION OF SOLUBLE VASCULLAR CELL ADHESION MOLECULE 1 (sVCAM-1) AND SOLUBLE INTERCELULAR
ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1) IN DENGUE HEMORRHAGIC FEVER
YONDRI NATALIS TASIDJAWA P1505 212 001
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2014
-
KORELASI KADAR INTERLEUKIN 18 DENGAN
EKSPRESI MOLEKUL ADHESI (SOLUBLE VASCULLAR
CELL ADHESION MOLECULE 1 (sVCAM-1) DAN SOLUBLE
INTERCELLULAR ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1))
PADA DEMAM BERDARAH DENGUE
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Biomedik
Disusun dan diajukan oleh
YONDRI NATALIS TASIDJAWA
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014
-
TESIS
KORELASI KADAR INTERLEUKIN 18 DENGAN EKSPRESI
SOLUBLE VASCULLAR CELL ADHESION MOLECULE 1 (sVCAM-1) DAN SOLUBLE INTERCELULAR ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1) PADA
DEMAM BERDARAH DENGUE
Disusun dan diajukan oleh
YONDRI NATALIS TASIDJAWA Nomor Pokok P1505212001
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 14 Januari 2015
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,
dr. Uleng Bahrun., Ph.D., Sp.PK (K) dr. Isra Wahid, S. Ked., Ph.D.
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana
Biomedik, Universitas Hasanuddin,
Dr. dr. Andi Mardiah Tahir, Sp.OG Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S.
-
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Yondri Natalis Tasidjawa
Nomor Mahasiswa : P1505212001
Program studi : Biomedik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang penulis tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya penulis sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, penulis bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar,
Yang menyatakan
Yondri Natalis Tasidjawa
-
PRAKATA
Syukur dan pujian penulis berikan kepada Allah sumber segala
hikmat karena penyertaan dan kasihNYA penelitian dengan judul Korelasi
Kadar Interleukin 18 dengan Ekspresi soluble vascullar cell adhesion
molecule 1 (sVCAM-1) dan soluble intercelular adhesion molecule 1
(sICAM-1) pada Demam Berdarah Dengue dapat dirangkumkan.
Penelitian ini tidak bisa terselesaikan tanpa bantuan beberapa pihak,
oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada Prof.dr.Mansyur Arif, Ph.D, Sp.PK (K), sebagai ketua
konsentrasi biomedik kimia klinik dan juga secara pribadi sebagai guru
yang baik. Terimakasih atas segala kebaikan dan kesempatan yang
diberikan untuk terus belajar. Kepada dr. Uleng Bahrun Ph.D, Sp.PK(K)
selaku pembimbing pertama dan dr. Isra Wahid, Ph.D selaku pembimbing
kedua. Terimakasih atas segala kebaikan dan kesempatan yang diberikan
untuk terus membimbing dalam penyusunan tesis. Kepada seluruh staf
dosen Biomedik, terimakasih untuk setiap ilmu yang dibagikan.
Kesempatan ini juga penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof.
DR. dr. Syamsu, Sp.PD, KKI sebagai kepala RS PTN Universitas
Hasanuddin Makassar. Kepada dr. Sitti Wahyuni, Ph.D. sebagai kepala
bidang penelitian RS. PTN Universitas Hasanuddin dan seluruh staf RS.
Universitas Hasanuddin Makassar. Terimakasih telah menerima dan
memberi izin untuk meneliti.
-
Kepada Dr.dr. Nurhayana Sennang Sp.PK, M.Kes, DMM, dr. Liong
Boy Sp.PK, M.Kes, dr. Yuyun Wudaningsih Sp.PK, M.Kes beserta seluruh
staf Laboratorium Patologi Klinik RS PTN Universitas Hasanuddin
Makassar, atas penerimaan yang hangat, dukungan dan bantuan selama
penulis berada di laboratorium patologi klinik. Kepada staf Laboratorium
Mikrobiologi RS UNHAS, Risma yang telah membantu dalam penelitanku.
Teman seperjuangan angkatan 2012 Konsentrasi Kimia Klinik,
Nurdin, Theosobia Grace Orno, Wa Ode Miftah Hudayah . Terimakasih
untuk kebersamaan, dukungan dan motivasi selama masa perkuliahan.
Kalian teman-teman yang hebat.
Terimakasih kepada Yenti, Marisca, Nesia, Andre, Icen beserta
seluruh teman-teman PMKO Filadelfia atas dukungan doa dan perhatian
yang diberikan.
Terima kasih kepada para pasien yang telah menyumbangkan
darahnya demi penelitian ini dan terimakasih atas kerjasamanya.
Terakhir, kembali penulis berikan karya kecil ini kepada kedua
orang tua Buis Tasidjawa dan Jeni Mandaku beserta adik-adikku William
Tasidjawa dan Inggrid Tasidjawa. Terimakasih telah menjadi semangat
serta motivasi di saat susah juga tawa di saat sukacita. Akhirnya semoga
karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
Makassar, November 2014
Yondri Natalis Tasidjawa
-
ABSTRAK
YONDRI NATALIS TASIDJAWA Korelasi Kadar Interleukin 18 dengan Ekspresi Soluble Vascullar Cell Adhesion Molecule 1 (sVCAM-1) dan Soluble Intercelular Adhesion Molecule 1 (sICAM-1)) pada Demam Berdarah Dengue (dibimbing oleh Uleng Bahrun dan Isra Wahid)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis korelasi antara kadar IL-
18 dengan kadar sVCAM-1 dan sICAM-1 pada penderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Desain penelitian adalah cross sectional dengan jumlah sampel 69 pasien demam dengue yang memenuhi kriteria inklusi yang dilaksanakan di RS Universitas Hasanuddin.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, rerata kadar IL-18 adalah 107,17 80,63 pg/ml, dan rerata kadar IL-18 pada demam dengue dengan perdarahan spontan, tanpa perdarahan spontan berturut-turut adalah 84,12 72,84, 169,88 67,58 (p
-
ABSTRACT
YONDRI NATALIS TASIDJAWA The Correlation Interleukin 18 Level and Expression of Soluble Vascullar Cell Adhesion Molecule 1 (sVCAM-1) and Soluble Intercelular Adhesion Molecule 1 (sICAM-1) in Dengue Hemorrhagic Fever (supervised by Uleng Bahrun and Isra Wahid)
This study aims to analyze of correlation between the levels of IL-18; and sVCAM-1 and sICAM-1 in patients with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF).
This cross-sectional study was conducted on 69 samples of dengue fever patients at Hasanuddin University Hospital, who met the inclusion criteria.
The results showed that the average level of IL-18 was 107.17 80.63 pg/ml, and the mean levels of IL-18 dengue fever with spontaneous bleeding and without spontaneous bleeding were 84.12 72.84 and 169.88 67.58 (p
-
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
DAFTAR SINGKATAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Demam Berdarah Dengue 6
B. Epidemilogi 7
C. Etiologi 12
D. Patogenesis 14
E. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue 21
F. Diagnosis Laboratorium 22
-
G. Klasifikasi Kasus dan Berat Penyakit 24
H. Pemeriksaan Penunjang 26
I. IL-18 28
1. Peran IL-18 28
2. Informasi Struktural 29
3. Reseptor 31
4. Aktivitas Bilogikal 31
J. Peran IL-18 dalam DBD 33
K. Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) 34
1. Struktur ICAM-1 34
2. Ligan untuk ICAM-1 36
3. Fungsi ICAM-1 38
L. Vascullar Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1) 43
M. Peran ICAM-1 dan VCAM-1 pada DBD 45
N. Hubungan Antara IL-18 dengan Ekspresi Adhesi Molekul
(sVCAM-1 dan sICAM-1) 50
O. Kerangka Teori 58
P. Kerangka konsep 59
BAB III METODE PENELITIAN 60
A. Jenis Penelitian 60
B. Tempat dan Waktu Penelitian 60
C. Populasi dan Sampel 60
1. Populasi 60
-
2. Sampel 60
D. Kriteria Sampel 61
1. Kriteria Inklusi 61
2. Kriteria Eksklusi 62
E. Definisi Operasional 62
F. Persiapan Alat dan Bahan 63
1. Alat Penelitian 63
2. Bahan Penelitian 63
G. Cara Kerja 64
1. Subjek Penelitian 64
2. Pengumpulan Sampel 64
3. Pemeriksaan NS1 64
4. Pemeriksaan Rapid IgM dan IgG 65
5. Pemeriksaan IL-18 65
6. Pemeriksaan sICAM-1 66
7. Pemeriksaan sVCAM-1 67
H. Analisis Data 67
I. Alur Penelitian 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 70
A. Hasil 70
1. Karateristik Subjek Penelitian 70
2. Analisis IL-18, sICAM-1dan sVCAM-1 73
3. Uji Korelasi IL-18 dengan sICAM dan sVCAM-1 75
-
B. Pembahasan 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 83
A. Kesimpulan 83
B. Saran 83
DAFTAR PUSTAKA 84
-
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Karateristik subjek penelitian 72
2. Analisis kadar IL-18, sICAM-1 dan sVCAM-1 pada pasien
demam berdarah Dengue 73
-
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Distribusi global beresiko dengue 7
2. Kasus DBD per bulan di Indonesia tahun 2010-2011 10
3. Grafik angka kematian demam berdarah dengue per provinsi
di Indonesia Tahun 2011 11
4. Struktur virus dengue 13
5. Struktur virus dengue melalui mikroskop krioelektron 14
6. Model patogenitas DD, DBD, dan DSS dalam perspektif integrasi 18
7. Imunopatogentias DBD 19
8. Batas membrane ICAM-1 35
9. 4 Langkah transmigrasi leukosit 38
10. Kebocoran plasma 47
11. Fungsi effektor markofag 51
12. Model skematik IL-18 52
13. Regulasi molekul perekat sel endotel dan leukosit 54
14. Proses multi langkah migrasi leukosit 56
15. Grafik boxplott kadar IL-18 pada derajat DBD 74
16. Diagram scatter menunjukan korelasi antara kadar IL-18
dan sICAM-1 76
17. Diagram scatter menunjukan korelasi antara kadar IL-18
dan sVCAM-1 77
-
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Surat persetujuan komisi etik 92
2. Surat izin penelitian dari Rs.UNHAS 93
3. Data-data penelitian 94
4. Prosedur kerja HUMAN IL-18 eBIOSCIENCE ELISA KIT 96
5. Prosedur kerja HUMAN sICAM-1 eBIOSCIENCE ELISA KIT 99
6. Prosedur kerja HUMAN sVCAM-1 eBIOSCIENCE ELISA KIT 101
-
aa
ADE
Ae
ALT
AST
CFR
DBD
DD
DSS
dkk
DNA
E
ELISA
Fc
Ht
ICAM-1
ICE
IFN
IL
Asam amino
Antibody dependent enhancement
Aedes
Alanin aminotransferase
Aspartat aminotransferase
Case fatality rate
Demam berdarah dengue
Demam dengue
Dengue shock syndrome
Dan kawan-kawan
Deoxyribonucleic acid
Envelope (protein virus)
Enzyme linked immunosobend assay
Fragmen crystallizable
Hematokrit
intercellular adhesion molecule-1
IL-1-converting enzyme
Interferon gamma
Interleukin
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/Singkatan Arti dan Keterangan
-
IR
LFA
MAC
MMP
NF
NK
NS
KLB
ml
PI-3kinase
RNA
TGF-1
Th
TNF
L
VCAM-1
VLA
WHO
Insiden rate
Leucocyte function associated antigen
Membrane attack complex
Matrix metalloproteinase
Nuclear factor kappa Beta
Natural killer
Non structural (protein virus)
Kejadian luar biasa
Milliliter
phosphatidylinositol 3-kinase
Ribonucleic acid
Transforming Growth Factor 1
T helper (Sel T)
Tumor Necrosis Factor
mikroliter
vascular cell adhesion molecule-1
Very late activation molecule
World Health Organization
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/Singkatan Arti dan Keterangan
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus Dengue yang mengakibatkan demam akut. Penyakit ini terdapat
4 serotipe virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypthy dan
Aedes albopictus (Sumarmo., 2002).
Demam berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan
subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahun. Sementara itu,
terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization
(WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di
Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin
bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota
Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24
orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %), dan
sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia
(Subdirektorat Arbovirosis., 2009).
-
2
Kota Makassar sebagai salah satu kota di Propinsi Sulawesi Selatan
yang endemis DBD, cenderung mengalami penurunan kasus dari tahun
ke tahun. Pada tahun 2008, kasus DBD yang ditemukan sebanyak 262
kasus. Angka ini menjadi 255 pada tahun 2009 dan turun menjadi 182
kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, angka ini mengalami
penurunan yang sangat signifikan menjadi 85 kasus. Sedangkan pada
tahun 2012 menjadi 84 kasus. Kecenderungan penurunan kasus DBD
di Makassar perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor penyebabnya. Hal ini
dapat dicapai dengan membandingkan daerah yang berbeda status
endemisitas agar dapat memberikan arah penanganan semaksimal
mungkin dan dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam menangani
kasus DBD (Rahim dkk., 2013).
Perjalanan penyakit infeksi virus Dengue sulit diramalkan.
Penderita yang pada saat masuk rumah sakit keadaan umumnya tampak
baik dan tanda vital normal pada saat masuk rumah sakit keadaan
umumnya tampak baik dan tanda vital normal, dalam waktu singkat dapat
memburuk dan tidak tertolong. Penderita DBD semula yang tidak berat
berdasarkan parameter klinis dan laboratorium, namun mendadak rejatan
sampai meninggal, sebaliknya ada penderita DBD yang berat berdasarkan
parameter klinis dan laboratorium namun ternyata selamat dan sembuh
tanpa gejala sisa (Soedarmo dkk., 2002).
Patogenesis DBD belum diketahui secara pasti. Beberapa
penelitian klinisi mendukung hipotesis bahwa produksi sitokin penting
-
3
dalam patogenesis DBD. IL-18 mula-mula digambarkan sebagai faktor
yang menginduksi IFN , sitokin proinflamasi dan stimulasi penting atau
mediator respon imun Th1 dan Th2, meningkatkan sel sitotoksik NK
(Pohan et al., 2004).
Pada dengue, IL-18 ditemukan sekitar 40 % pada pasien dengan
sakit ringan. Peningkatan kepositifan bersamaan dengan terjadinya sakit
keras dan meningkat sekitar 80% pada pasien dengan DBD derajat 4. Hal
ini tidak sama dengan IL-12 yang hanya meningkat pada DD (demam
dengue) dan tidak ada pada pasien dengan DBD derajat 3 dan 4 dan
berlawanan dengan yang diharapkan, seperti semua tipe sitokin Th2 yang
meningkat pada DBD derajat 4. Kadar IL-12 meningkat pada demam
dengue, tetapi tidak dapat dideteksi pada pasien dengan DBD derajat 3
dan 4. Saat kadar Transforming Growth Factor 1 (TGF-1) pada pasien
dengue dengan korelasi keparahan penyakit dan menunjukan kebalikan
hubungan dengan IL-12. Ini mengindikasi kemungkinan peran sitokin sel
Th1 pada perlindungan dan tipe sitokin sel Th2 pada patogenesis DBD
(U.C. Chaturvedi., 2000).
Mekanisme terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dan
perdarahan pada DBD belum diketahui dengan jelas. Pada otopsi kasus
DBD tidak dijumpai adanya infeksi virus dengue pada sel endotel kapiler.
Pada percobaan in vitro dengan kultur sel endotel, ternyata sel endotel
akan mengalami aktivasi jika terpapar dengan monosit yang terinfeksi
virus dengue. Diduga setelah virus dengue berikatan dengan antibodi
-
4
maka komplek ini akan melekat pada monosit karena monosit
mempunyai Fc receptor. Monosit akan menghasilkan sitokin yang akan
menyebabkan sel endotel teraktivasi sehingga mengekspresikan molekul
adhesi seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan TNF- dan IL-
6 pada DBD telah dilaporkan oleh Hadinegoro. Sedangkan Suharti
menemukan peningkatan TNF, IL-1 dan IL-1Ra pada DBD
(Rahajuningsih., 2006).
Banyak penelitian menyebutkan bahwa adanya peran sitokin yang
akan menyebabkan sel endotel teraktivasi dan menimbulkan perubahan
pada fungsi endotel. Penelitian ini dilakukan karena penulis tertarik untuk
memeriksa kemungkinan peran IL-18 dalam mempengaruhi mediasi
adhesi molekul pada pasien DBD.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat korelasi antara kadar IL-18 dengan kadar
sVCAM-1 dan sICAM-1 pada penderita Demam Berdarah Dengue (DBD)?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Membuktikan adanya korelasi antara kadar IL-18 dengan kadar
sVCAM-1 dan sICAM-1 pada penderita Demam Berdarah Dengue
(DBD).
-
5
2. Tujuan Khusus
A. Mengetahui kadar IL-18 pada penderita DBD.
B. Mengetahui kadar sVCAM-1 dan sICAM-1 pada penderita DBD.
C. Mengetahui korelasi antara IL-18 dengan sVCAM-1 pada penderita
DBD.
D. Mengetahui korelasi antara IL-18 dengan sICAM-1 pada penderita
DBD.
C. Manfaat Penelitian
1. Dapat memberikan gambaran pengetahuan tentang
imunopatogenesis DBD.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian
selanjutnya untuk mengetahui mekanisme hubungan antara IL-18
dan ekspresi molekul adhesi (sVCAM-1 dan sICAM-1) sehingga
dapat dipertimbangkan untuk intervensi terapi maupun penanda
DBD.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah Dengue adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus Dengue dan ditandai oleh empat gejala klinis utama
yaitu demam tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tanda-
tanda kegagalan sirkulasi, sedang pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan hemokosentrasi dan trombositopenia (Soegijanto, 2006).
Infeksi virus Dengue memberi gambaran klinik dari asimtomatik,
undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD), demam berdarah
dengue (DBD) dengan rembesan plasma yang dapat menimbulkan syok
(sindrom syok dengue, DSS) (WHO, 2009).
Virus dengue merupakan penyebab dari penyakit DBD. Virus
dengue terdapat pada liur nyamuk Aedes aegypti yang masuk ke
pembuluh darah manusia bersama dengan saat pengisapan darah. Virus
dengue termasuk dalam kelompok Arbovirus (Arthopoda Borne Virus),
yaitu virus yang melalui sebagian siklus hidupnya dalam tubuh serangga.
Virus dengue ini ada 4 serotipe DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi
oleh salah satu serotipe yang ini, infeksi untuk kedua kalinya oleh serotipe
virus yang berbeda akan memberi risiko terjadinya keadaan yang lebih
berat (Suroso., 2004).
-
7
B. Epidemilogi DBD
Dengue merupakan virus penyakit di dunia yang sangat cepat
menyebar lewat nyamuk. Pada 50 tahun terakhir, insiden meningkat 30
kali lipat dengan bertambah luas secara geografi untuk negara-negara
baru dan di dekade yang sekarang, mulai dari desa sampai kota.
Diperkirakan 50 juta infeksi dengue terjadi setiap tahunnya dan kira-kira
2,5 milyar orang hidup di negara-negara yang endemik (WHO., 2009).
Untuk masing-masing negara, pentingnya mengenal dengue
sebagai penyakit dan masalah kesehatan masyarakat yang tidak dapat
diperkirakan terlalu tinggi, seperti yang terlihat dalam ledakan KLB demam
berdarah baru-baru ini di Brasil dan Pakistan. Pada tahun 2008, di negara
Rio de Jainero saja, wabah yang menyebabkan lebih dari 158.000 laporan
kasus, lebih dari 9000 pengakuan rumah sakit, dan 230 meninggal antara
Januari dan April (WHO., 2012).
Gambar 1. Distribusi global beresiko dengue (Penentepan status resiko
berdasarkan kombinasi laporan dari WHO, Pusat Amerika Serikat untuk pencegahan dan Kontrol penyakit, Gideon online, ProMED, DengueMap, Eurosurveillance and literatur masyarakat (WHO., 2012).
-
8
Gangguan transmisi dengue di banyak Wilayah WHO Amerika
muncul dari kampanye pemberantasan Ae.aegypti di Amerika, terutama
selama 1960-an dan awal 1970-an. Namun, pengendalian vektor dan
pengawasan kontrol yang tidak berkelanjutan dan berikutnya ada
pengerumunan ulang pada nyamuk, diikuti dengan wabah di Karibia, dan
Amerika Tengah dan Selatan. Demam berdarah telah menyebar dengan
wabah siklus yang terjadi setiap 3-5 tahun. Wabah terbesar terjadi pada
tahun 2002 dengan lebih dari 1 juta kasus yang dilaporkan (WHO., 2009)
Dari tahun 2001 hingga 2007, lebih dari 30 negara dari Amerika
diberitahu total 4.332.731 kasus demam berdarah. Jumlah kasus demam
berdarah dengue (DBD) pada periode yang sama adalah 106.037. Jumlah
total kematian DBD dari tahun 2001 sampai 2007 adalah 1.299, dengan
tingkat kematian kasus DBD sekitar 1,2 %. Keempat serotipe dari virus
dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4) beredar di wilayah tersebut.
Di Barbados, Kolombia, Republik Dominika, El Salvador, Guatemala,
Guyana Perancis, Meksiko, Peru, Puerto Rico dan Venezuela, keempat
serotipe secara bersamaan diidentifikasi dalam satu tahun selama periode
ini. Dengan sub-region Amerika, dengue ditandai seperti yang dijelaskan
di bawah ini . semua data berasal dari Organisasi Kesehatan Pan Amerika
( PAHO ) (WHO., 2009).
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan
sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu,
-
9
terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization
(WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara (Soepardi dkk.,2010).
Kasus DBD di Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 65.432
kasus (Incidence Rate=27,56 per 100.000 penduduk) dengan 595
kematian (CFR (case fatality rate) = 0,91). Incidence rate (IR) tertinggi
ada di Propinsi Sulawesi Tengah, yakni sebesar 76,16 per 100.000
penduduk sedangkan CFR tertinggi ada di Propinsi Gorontalo yakni
sebesar 8,70%. Kasus DBD di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun yang
sama sebesar 1.520 kasus (IR=18,71) dengan 11 kematian
(CFR=0,72%). Secara nasional, kasus DBD di Propinsi Sulawesi
Selatan berada di bawah angka rata-rata nasional, namun tetap perlu
mendapatkan perhatian karena DBD tetap endemis di beberapa
kabupaten/kota (Kemenkes RI., 2012).
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan
persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari
2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota
pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009
tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah
kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus
pada tahun 2009 (Pusat Data dan Informasi., 2009).
-
10
Gambar 2. Kasus DBD Per Bulan di Indonesia Tahun 2010-2011
.(Kementerian Kesehatan RI. 2011)
Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa
daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan, namun sejak awal
tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relatif
menurun sebagaimana tampak pada grafik berikut. DBD pertama kali
dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48
penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD
telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia (Kementerian Kesehatan
RI., 2011).
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung
lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari
41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi
belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita
cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak
hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun
-
11
2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196
kematian (CFR: 0,80 %) (Kementerian Kesehatan RI., 2011).
Gambar 3 Grafik angka kematian demam berdarah dengue per provinsi di
Indonesia tahun 2011(Kementerian Kesehatan RI. 2011).
Laporan P2PL, kasus DBD di Sulawesi Selatan pada tahun 2011
kategori tinggi pada Kab. Bulukumba, Gowa, Maros, Bone dan Luwu (130-
361 kasus), terendah kabupaten/kota yaitu Selayar, Sinjai, dan Tana
Toraja (0-19) dan kabupaten yang tidak terdapat kasus DBD yaitu
Kabupaten Bantaeng, dan berdasarkan laporan P2PL, insiden rate
DBD di Sulawesi Selatan pada tahun 2011 sebesar 21.80 per 100.000
penduduk dengan CFR 15,55 %, angka IR tertinggi adalah Kota Palopo
228 per 100.000, dan terendah di Kabupaten Selayar dan Kabupaten
Tanatoraja IR 0%. Rata-rata angka insiden rate di Provinsi Sulawesi
Selatan cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan
target nasional (36 per 100.000 penduduk). Hal ini menunjukkan upaya
-
12
peningkatan pencegahan dan penanggulangan kasus DBD mulai baik,
namun hal ini masih perlu dukungan berbagai pihak (Sari dkk., 2013).
Kasus DBD di Kabupaten Maros dalam 3 tahun terakhir
(2010-2012) terlaporkan sebanyak 442 kasus dengan rincian tahun 2010
yaitu 276 kasus, tahun 2011 yaitu 69 kasus dan tahun 2012 yaitu 97
kasus. Ditingkat Kecamatan distribusi kasus DBD dalam 3 tahun terakhir
(2010-2012) tertinggi berada di wilayah Kecamatan Turikale yaitu
126 kasus sementara terendah di Kecamatan Simbang yaitu 8 kasus
(Dinkes Kab.Maros., 2012).
C. Etiologi
Penyakit demam Dengue dan DBD pada seseorang dapat
disebabkan oleh virus Dengue termasuk family Flaviviridae dan harus
dibedakan dengan demam yang disebabkan virus Japanese Encephalitis
dan yellow fever (demam kuning). Ditemukan empat serotipe virus
Dengue dan dapat dibedakan dengan sifat biotipe. Semua family
Flaviviridae dapat menunjukan bentuk yang karakteristik meliputi struktur
genome dan sifat untuk melipatgandakan dirinya. (Soegijanto., 2006)
Genom virus Dengue menyandi 10 produk gen: C (capsid), prM (matrix), E
(envelope), dan protein-protein nonstruktural termasuk NS-1, NS-2A,
NS-2B, NS-3, NS-4A, NS-4B, dan NS-5 (Rizal., 2011).
Protein E berinteraksi dengan reseptor seluler sehingga
memprakarsai proses masuknya virus, rangkaian asam aminonya
menentukan aktivitas penetralisiran antibodi yang menggolongkan virus
-
13
Dengue (DEN) menjadi 4 serotipe: DEN-1, 2, 3 dan 4 (Rizal., 2011).
Serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) secara
antigenik sangat mirip satu dengan lainnya, tetapi tidak dapat
menghasilkan proteksi silang yang lengkap setelah terinfeksi oleh salah
satu tipe. Keempat serotipe virus dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat
(Soegijanto., 2006).
Gambar 4. Struktur virus Dengue
(http://www.nature.com/scitable/topicpage/dengue-viruses-22400925)
Protein-protein nonstruktural berfungsi dalam replikasi RNA dan
pemrosesan protein virus. Protein NS-1 satu-satunya dengan bentuk
terlarut yang dapat dideteksi dalam sirkulasi. Beberapa protein
nonstruktural juga memainkan peran dalam memodifikasi sistem imun,
seperti NS-2A, NS-2B dan NS-4B yang berpengaruh pada jalur sinyal
interferon 1 dengan menginduksi produksi sitokin, NS-5 menginduksi
produksi interleuikin 8. NS-3 berfungsi ganda dalam aktivitas helicase
-
14
(melepas rantai DNA) dan protease, di mana aktivitas proteasenya
memerlukan NS-2B sebagai kofaktor (Rizal., 2011).
Dalam replikasi virus, NS-5 berfungsi sebagai S-adenosine
methyltransferase dan RNA-dependent RNA polymerase (Rizal., 2011).
Gambar 5. Struktur virus Dengue melalui Mikroskop Krioelektron.
(Rizal. 2011)
D. Patogenesis
Beberapa hipotesis untuk patogenesis dengue infeksi virus telah
diusulkan. Diantaranya, teori infeksi antibody dependent enhancement
(ADE) memiliki peran yang lama. Virus Dengue setelah menginfeksi
manusia akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan
mengaktifkan makrofag. Segera terjadi viremia selama dua hari sebelum
timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Tubuh
akan melepas antibodi yang spesifik terhadap protein dari virus Dengue.
Reaksi silang terhadap serotip virus Dengue oleh antibodi anti-virus
Dengue non neutralizing akan memudahkan infeksi dengue pada monosit.
Awalnya akan terbentuk kompleks partikel virus Dengue-antibodi anti-
protein non struktural tipe 1 virus Dengue (anti-NS1 VD). Kemudian
-
15
dengan perantaran reseptor Fc, virus Dengue lebih mudah masuk
kedalam monosit dan akan merangsang pengeluaran mediator pro-
inflamasi yang memperberat gejala klinis. Keadaan tersebut di kenal
sebagai mekanisme Antibody Dependent Enhancement (ADE) (Muhar
dkk., 2013; Lei et al., 2001).
Hipotesis ADE dirumuskan untuk menjelaskan temuan bahwa
manifestasi parah DBD/DSS (Dengue shock syndrome) terjadi pada anak
yang mengalami infeksi virus dengue kedua yang memiliki serotipe yang
berbeda dari sebelumnya. Sebenarnya sudah ada sebelumnya antibodi
terhadap virus dengue yang tidak bisa menetralisir melainkan
meningkatkan infeksi in vitro. Sera yang diperoleh sebelum infeksi dari
anak-anak yang kemudian berkembang DBD/DSS lebih mungkin untuk
menunjukan ADE in vitro daripada mereka yang hanya DD. Bayi yang
baru lahir kurang dari 1 tahun yang memperoleh IgG antibodi antidengue
ibu juga rentan untuk berkembang menjadi DBD/DSS setelah infeksi
primer (Lei et al., 2001).
Pendekatan patogenesis DBD dengan penyulit bertitik tolak dari
perjalanan imunopatogenesis DBD. Antigen Dengue ditemukan di
berbagai sel, termasuk monosit, Kupffer, makrofag alveoli, limfosit darah
tepi dan limpa, juga sel endotel di hepar dan paru-paru. Monosit/makrofag
dan limfosit merupakan sel-sel utama yang diinfeksi oleh virus Dengue.
Pada tahap awal virus dengue akan menyerang sel-sel makrofag dan
bereplikasi dalam sel Langerhans dan makrofag di limpa. Selanjutnya,
-
16
akan menstimulasi pengaturan sel T, reaksi silang sel T aviditas rendah
dan reaksi silang sel T spesifik, yang akan meningkatkan produksi spesifik
dan reaksi silang antibodi (Lardo., 2013; Rizal., 2011).
Pada tahap berikutnya terjadi secara simultan reaksi silang
antibodi dengan trombosit, reaksi silang antibodi dengan plasmin dan
produk spesifik. Proses ini kemudian akan meningkatkan peran antibodi
dalam meningkatkan titer virus dan di sisi lain antibodi bereaksi silang
dengan endotheliocytes (Lardo S., 2013).
Pada tahap berikutnya terjadi efek replikasi sel mononuklear. Di
dalam sel endotel, terjadi infeksi dan replikasi selektif dalam
endotheliocytes sehingga terjadi apoptosis yang menyebabkan disfungsi
endotel. Di sisi lain, akan terjadi stimulasi mediator yang dapat larut
(soluble), yaitu TNF , INF-, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, TGF
, C3a, C4b, C5a, MCP-1,CCL-2, VEGF, dan NO yang menyebabkan
ketidakseimbangan profil sitokin dan mediator lain; pada tahap berikutnya
terjadi gangguan koaguasi dan disfungsi endotel (Lardo., 2013).
Pada hati, akan terjadi replikasi dalam hepatosit dan sel kuppfer.
Terjadi nekrosis dan atau apoptosis yang menurunkan fungsi hati,
melepaskan produk toksik ke dalam darah, meningkatkan fungsi
koagulasi, meningkatkan konsumsi trombosit, aktivasi sistem fibrinolitik,
dan menyebabkan gangguan koagulasi (Lardo., 2013).
Pada sumsum tulang, terjadi replikasi dalam sel stroma sehingga
terjadi supresi hemopoietik yang berkembang ke arah gangguan
-
17
koagulasi. Sedangkan stimulasi terhadap sistem komplemen dan sel
imunitas didapat akan meningkatkan koagulasi, menurunkan mediator
larut (soluble), terjadi ketidakseimbangan profil sitokin sehingga
berkembang menjadi gangguan koagulasi (Lardo., 2013).
Infeksi Dengue terhadap sel-sel monosit, makrofag, dan dendrit
menyebabkan produksi mediator-mediator yang mempengaruhi fungsi sel
endotel. Monosit yang terinfeksi menginduksi perubahan permeabilitas
sel-sel endotel umbilikus manusia karena terkait dengan pengaruh TNF-
(Rizal., 2011).
Infeksi Dengue dapat menginduksi maturasi sel dendrit. Melalui sel
dendrit virus Dengue dapat memicu ekspresi enzim-enzim matrix
metalloprotease, MMP-2 dan MMP-9, meningkatkan permeabilitas yang
berakibat kebocoran plasma dan perdarahan. Perlakuan sel-sel endotel
umbilikus manusia dengan pembiakan sel-sel dendrit yang terinfeksi juga
menunjukkan kenaikan permeabilitas, berkaitan dengan turunnya respon
Platelet Endothelial Cell Adhesion Molecule-1, ekspresi VE-cadherin, dan
reorganisasi dari F-actin. Isolasi jaringan kulit menunjukkan bahwa sel
dendrit dapat pula terinfeksi lokal oleh inokulasi virus Dengue (Rizal.,
2011).
-
18
Gambar 6 Model patogenesis demam dengue (DD), DBD, dan DSS
dalam perspektif integrasi. Garis panah hitam menunjukkan proses yang terjadi pada organ atau endotel. Kotak berwarna menunjukkan terjadinya kondisi patologi. Sedangkan panah merah menunjukkan pengaruh pada endotel dan sistem hemostasis (Lardo., 2013).
Aktivitas sel T lebih tinggi pada DBD dibanding pada demam
dengue menunjukkan bahwa pada infeksi sekunder sel T CD8+ spesifik
berjumlah lebih banyak dari infeksi sebelumnya. Sitokin dan kemokin yang
diinduksi oleh sel- sel T berdampak pada permeabilitas vaskuler sebagai
penyebab kebocoran plasma DBD (Rizal., 2011).
Tingginya risiko DBD pada infeksi sekunder memberi gambaran
bahwa antibodi dari reaksi silang yang tidak menetralisir antigen virus
-
19
sebelumnya, dapat meningkatkan penyerapan virus oleh sel pejamu dan
akan memicu replikasinya. Kemudian sistem imun bawaan dan adaptif
akan teraktivasi secara intensif. Transfer pasif antibodi bergantung pada
nitrit oksida dan caspase (cysteine-aspartic protease) yang berperan
dalam berbagai peubahan seperti perdarahan, koagulopati, kenaikan
enzim hepar, dan kematian sel endotel. Aktivasi reaksi silang sel-sel T
spesifik Dengue dapat menurunkan respons pembersihan virus dan
memicu produksi mediator-mediator proinflamasi dan vasoaktif (Rizal.,
2011).
Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel-sel T dan sel-sel
yang terinfeksi berkombinasi dengan komplemen yang terakvifasi protein
virus dan kompleks imun memudahkan peningkatan permeabilitas
vaskuler (gambar 2). Sel-sel yang terinfeksi virus Dengue dapat
memproduksi sejumlah sitokin proinflamasi termasuk TNF-, IL-6, IL-8,
Monocyte Chemoattractant Protein-1, dan RANTES (Rizal., 2011).
Gambar 7. Imunopatogenesis DBD. (Rizal,2011)
-
20
Sejumlah penyelidikan menunjukkan beban virus yang lebih tinggi
di antara pasien DBD dibanding demam Dengue. Beban virus mencapai
puncaknya saat periode febris dan menurun drastis saat afebris. Tingkat
NS-1 dijumpai lebih tinggi pada kondisi yang lebih berat, sesuai
dengan perannya dalam mengaktivasi komplemen penyebab kebocoran
plasma. Antibodi terhadap NS-1 yang terikat sel endotel dapat memicu
apoptosisnya, sementara pada trombosit akan memicu aktivasi platelet.
Virus Dengue juga berperan mengubah produksi faktor koagulasi sel
endotel seperti naiknya respons plasminogen jaringan, trombomodulin,
Protease Activated Receptor-1, tissue factor receptor, turunnya respons
tissue factor inhibitor, dan aktivasi protein C (Rizal., 2011).
Paparan primer virus menginduksi respons imun humoral
(antibodi) dan seluler (sel T). Saat infeksi sekunder dengan serotipe
lain, antibodi (dari reaksi silang sebelumnya) mengikat virus dan
meningkatkan serapan virus via reseptor Fc, sehingga replikasi virus
dan antigen yang mengaktifasi reaksi silang sel-sel T spesifik Dengue
akan meningkat pula. Virus Dengue berpengaruh langsung pada sel
endotel dengan memodulasi molekul permukaan sel dan ekspresi reseptor
sitokin. Mediator yang dilepaskan oleh sel T dan sel-sel yang
terinfeksi virus dapat menaikkan permeabilitas vaskuler dan koagulopati
(Rizal., 2011).
-
21
E. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue
Demam Dengue adalah penyakit demam akut dengan sakit kepala,
nyeri retro orbital, mialgia, artralgia, ruam, leukopenia, dan
trombositopenia ringan. Demam bifasik dan ruam yang paling klasik dari
gambaran karateristik demam berdarah. Gejala tinggi mendadak
berlangsung selama 2-7 hari. Demam berdarah dengue merupakan
sindrom permeabilitas pembuluh darah akut disertai kelainan pada
hemostasis. Gambaran klinis termasuk kebocoran plasma,
kecenderungan perdarahan, dan keterlibatan hati. Kebocoran kapiler
berkembang pesat selama periode jam, awal atau pada akhir periode
demam ketika gejala klasik DD sembuh. Efusi pleura, asites, dan
hemokonsentrasi adalah indikasi kehilangan volume intravaskular. Hal ini
dapat dengan cepat berkembang menjadi syok jika pasien tidak menerima
resusitasi cairan intravaskular (Lei et al., 2001).
Gambaran Klinikal Demam Berdarah dengue (Malavige dkk., 2004)
a. Secara umum
Demam tinggi, berselang. Sakit kepala parah (terutama retro-orbital).
Flushing. Myalgia dan arthralgia. Muntah. Anorexia. Nyeri perut akut.
b. Manifestasi Perdarahan
Epistaksis, Pendarahan dari gusi, peteki dan ekimosis, hematemesis
dan melena. Bercak atau menorrhagia pada wanita.
-
22
c. Fitur kebocoran plasma
Gangguan peredaran darah (tekanan darah rendah, takikardia,
tekanan nadi sempit, dan miskin waktu pengisian kapiler).
Periserositis (efusi pleura, kadang-kadang asites perikarditis).
d. Komplikasi
Ensefalopati dan ensefalitis, Gagal hati, Miokarditis, Koagulasi
intravaskular diseminata menyebabkan perdarahan masif.
Definisi DBD menurut DBD (Malavige dkk., 2004)
Seorang pasien dengan empat kriteria sebagai berikut:
1. Tiba-tiba demam akut tinggi selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan dengan setidaknya uji tourniquet positif.
3. Jumlah trombosit, (
-
23
fase akhir penyakit, metode serologi bisa menjadi pilihan untuk diagnosis.
Respon antibodi untuk infeksi berbeda-beda menurut status imun host.
Ketika infeksi dengue terjadi pada seseorang yang sebelumnya belum
terinfeksi dengan flavivirus atau imunisasi dengan vaksin flavivirus.
Karateristik respon antibodi primer pasien meningkat lambat. (WHO,
2009).
DBD ditegakan berdasarkan diagnosis kriteria (Asih et al., 2012):
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari hari biasanya
bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut : uji bendung
positif; petekie, ekimosis, atau pupura; perdarahan mukosa;
hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai
umur dan jenis kelamin.
b. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (Asih et al., 2012) yaitu:
Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji turniket (tourniquet).
Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
-
24
Derajat 3 : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)
atau hipotensi (sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
kurang), sianosis di sekitar mulut, kulit dingin, dan
pasien tampak gelisah.
Derajat 4 : Syok berat (profound shok) yaitu nadi tidak dapat diraba
dan tekanan darah tidak teratur
G. Klasifikasi Kasus dan Berat Penyakit
Sekarang ini disepakati bahwa dengue adalah suatu penyakit yang
memiliki presentasi klinis bervariasi dengan perjalanan penyakit dan
luaran (outcome) yang tidak dapat diramalkan (Sudjana., 2010).
Diterbitkannya panduan World Health Organization (WHO) terbaru
di tahun 2009 lalu, merupakan penyempurnaan dari panduan sebelumnya
yaitu panduan WHO 1997. Penyempurnaan ini dilakukan karena dalam
temuan di lapangan ada hal-hal yang kurang sesuai dengan panduan
WHO 1997 tersebut. Diusulkan adanya redefinisi kasus terutama untuk
kasus infeksi dengue berat. Keberatan lain dari panduan WHO 1997
adalah karena penyusunannya banyak mengambil rujukan pada kasus
infeksi dengue di Thailand, yang walaupun sangat berharga, tetapi tidak
dapat mewakili semua kasus di belahan dunia lain yang memiliki
perbedaan-perbedaan. Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak
memenuhi ke empat kriteria WHO 1997 yang dipersyaratkan, namun
-
25
terjadi syok. Sehingga disepakati panduan terbaru WHO tahun 2009
(Sudjana., 2010).
Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah 3: (WHO., 2009)
1. Dengue tanpa tanda bahaya (Dengue without warning signs),
2. Dengue dengan tanda bahaya (Dengue with warning signs), dan
3. Dengue berat (severe Dengue)
Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya : (WHO., 2009)
Dengue probable :
1. Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
2. Demam disertai 2 dari hal berikut :
a) Mual, muntah
b) Ruam
c) Sakit dan nyeri
d) Uji torniket positif
e) Lekopenia
f) Adanya tanda bahaya
3. Tanda bahaya adalah :
a) Nyeri perut atau kelembutannya
b) Muntah berkepanjangan
c) Terdapat akumulasi cairan
d) Perdarahan mukosa
e) Letargi, lemah
f) Pembesaran hati > 2 cm
-
26
g) Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah
trombosit yang cepat
Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran
plasma tidak jelas)
Kriteria dengue berat (WHO., 2009):
1. Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS),
akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan
kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan
uji tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi
sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan
spesifisitasnya mencapai 82 % (WHO., 2009)
H. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan utama DBD adalah adanya kebocoran plasma yang
ditandai dengan adanya hemokosentrasi yang didefinisikan sebagai Ht
>20% antara masa akut dan konvalesen. Adanya penumpukan cairan
ekstravaskuler tercermin pula dalam efusi pleura dan ascites atau cairan
peri/para organ dalm perut, meliputi hepar, lien, kandung empedu dan
pankreas. Bila terdapat keraguan dalam menegakan diagnosis maka
untuk menentukan adanya kebocoran plasma dapat dilakukan
pemeriksaan pencitraan radiologis atau USG (Soegijanto., 2006).
-
27
Diagnosis Serologis (Samsi., 1997; Nimmanitya., 1993; Soegijanto., 2006)
1. Uji Hambatan hemaglitinasi
Pada umumnya penyakit yang disebabkan virus dapat
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan uji Hambatan hemaglutinasi
(HI test). Untuk mengkofirmasikan penderita infeksi virus dengue
disarankan pemeriksaan uji hemaglutinasi yang telah di modifikasi
oleh Clarke dan Cosala dengan menggunakan sistem mikrotitrasi
yang sudah lazim digunakan dimana-mana.
2. Uji Netralisasi
Variasi uji netralisasi telah dikembangkan untuk mengukur antibodi
Dengue. Kepustakaan mengemukakan bahwa ukuran yang dipakai
jika uji netralisasi ditemukan 50% reduksi plaque di jaringan sel
LLCMK
3. Uji Elisa Anti Dengue IgM
Uji antibody-capture Elisa telah berhasil mengukur titer antibodi IgM
spesifik terhadap virus dengue. IgM anti-Dengue timbul pada
infeksi primer maupun sekunder dan adanya antibody IgM ini
menunjukan adanya infeksi Dengue. IgM timbul sekitar hari ke 3
dan kadarnya meningkat pada akhir minggu pertama sampai
dengan minggu ke-3 dan menghilang pada minggu ke-6, sedang
IgG timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar tertinggi pada hari
ke-14, kemudian bertahan untuk berbulan-bulan. Pada infeksi
sekunder IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebih kadar IgM.
-
28
Uji ini telah dipakai untuk membedakan infeksi virus Dengue dari
infeksi virus Japanese B ensefalitis.
4. Tes Dengue Blot
Dalam kasus yang meragukan sangat ideal bila tersedia tes yang
dapat memberikan hasil yang akurat dan cepat. Dewasa ini telah
dipaparkan pemeriksaan yang sederhana, cepat dan sensitif yaitu
tes Dengue Blot untuk IgM maupun IgG. Namun demikian dalam
penilaiannya harus hati-hati karena adanya kemungkinan hasil
positif palsu untuk IgM maupun IgG terlebih di daerah endemis
DBD, karena kadar IgG masih tetap tinggi berbulan-bulan setelah
infeksid Dengue dan tes ini pun kurang sensitif untuk infeksi primer.
Dengan demikian diagnosis kerja/klinis DBD masih harus
bertumpu pada pengamatan klinis dan semata-mata ditentukan dari
hasil pemeriksaan serologi seperti apa yang dimulai cenderung
terjadi dewasa ini.
I. IL-18
1. Peran IL-18
Mengatur sintesis interferon-gamma (IFN-) adalah salah satu
proses yang paling dikontrol dari sebuah respon imun. Memproduksi IFN-
gamma, sebuah glikoprotein 34 kDa homodimeric, pada dasarnya
diaktifkan oleh sel sel T Th 1 CD4+, sel T TC 1 CD8+, dan sel NK. (Billiau
A.,1996). Untuk setiap sel, sekresi IFN-gamma dibatasi oleh ketersediaan
IFN-gamma yang dirangsang sitokin seperti IL-12 dan TNF-alpha, yang
-
29
timbul dari aktivasi sel. Salah satu konsekuensi paling penting dari sekresi
IFN- adalah aktivasi makrofag. Hal ini dicapai melalui induksi langsung
oksigen reaktif dan nitrogen monoksida (NO), yang mengaktifkan berbagai
respon anti-bakteri, anti-tumor dan anti-virus. Selain itu, kontribusi IFN-
untuk aktivasi sel endotel, pengembangan sel Th1, dan peningkatan
regulasi ekspresi MHC pada kedua APC profesional dan non-APC. Hal ini
membuat regulasi IFN-gamma yang sangat penting langkah dalam skema
keseluruhan respon inflamasi (Bradley et al., 1996).
Dengan ditemukannya IL-18 (juga dikenal sebagai faktor induksi
interferon-gamma, atau IGIF), sebuah molekul baru yang kini telah
ditambahkan ke daftar regulator interferon. Disamping itu sedikit dari
molekul seperti IL-12, TNF-alpha, dan IL-2, sitokin lain yang saat ini
dikenal yang secara langsung menginduksi ekspresi IFN-gamma.
Keberadaan interleukin baru ini dapat membantu dalam memahami
hubungan banyak kejadian dengan aktivasi sel kekebalan tubuh
(Okamura et al., 1995).
2. Informasi Struktural
Berat molekul IL-18 adalah 24 kDa, polipeptida non-glikosilasi yang
tidak memiliki urutan sinyal klasik dan dikenali memiliki struktur mirip
dengan IL-1. IL-18 disintesis sebagai propeptide lamban yang mengalami
proteolitik pembelahan dengan baik oleh ICE (Enzim konversi interleukin -
1 beta) atau jalur lain untuk menghasilkan molekul 18 kDa yang matang,
bioaktif (Bazan et al., 1996). Pembelahan dalam 193 asam amino (aa)
-
30
propeptide manusia terjadi setelah Asp 36, sedangkan pembelahan dalam
propeptide tikus 192 aa terjadi setelah Asp 35. Keduanya matang dan
bentuk propeptide, IL-18 menunjukkan 64% identitas urutan aa dari tikus
ke manusia. IL-18 tidak menunjukkan kesamaan urutan yang sama
dengan sitokin lainnya yang dikenal. IL-18 juga telah diisolasi, dan
ditemukan panjang 194 aa dengan identitas urutan aa 91% untuk IL-18
tikus. Sel yang diketahui mengekspresikan IL-18 termasuk makrofag/sel
Kupffer, keratinosit, sel-sel korteks adrenal mensekresi glukokortikoid, dan
osteoblas (Gu et al., 1997).
Pentingnya IL-18 sebagai sitokin imunoregulator yang secara jelas
untuk menginduksi interferon gamma (IFN-). IL-18 pertama kali dikenal
pada tahun 1989 sebagai faktor yang mempengaruhi IFN- di dalam
sirkulasi endotoksin injeksi di tikus. Dengan kloning molekuler dari faktor
induksi IFN- pada tahun 1995. Namanya diubah menjadi IL-18. Markofag
dan sel dendritik adalah sumber utama untuk mengatifkan IL-18, tetapi
prekusor IL-18 adalah menurut ekpresi pada seluruh sel epitel tubuh.
Sebelumnya, IL-18 dikenal sebagai penghambat kaspase-1 sebagai target
terapi yang spesifik mengurangi aktifitas IL-1, tetapi itu menjadi jelas
bahwa aktivitas IL-18 juga mempengaruhi. Pada kenyataannya karateristik
fenotip kekurangan kaspase 1 pada tikus yang sedang mengalami
inflamasi harus berdiferensiasi untuk mengurangi IL-1 atau mengurangi
aktivitas IL-18 (Charles., 2006).
-
31
3. Reseptor
Kompleks reseptor untuk karateristik IL-18 belum dikenal baik.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa fungsional IL-18-komponen kompleks
ini mengikat IL-1Rrp (IL-1 receptor-related protein). Reseptor seperti
protein, yang sebelumnya diketahui tidak memiliki ligan, kloning dan dasar
homolognya terhadap reseptor IL-1 tipe 1 dan yang homolognya T1/ST2
dan IL-1R ACP (Pacora et al., 2000).
4. Aktivitas Biologikal
Interleukin-18/IGIF awalnya diakui sebagai induser produksi IFN-
gamma oleh sel-T dan sel NK. Pengaruh dari IL-18 secara bebas atau
bersinergi dengan IL-12, melalui induksi IFN-gamma, dapat menyebabkan
aktivasi cepat dari sistem monosit/makrofag dengan meningkatkan
regulasi kemampuan sel imun bawaan. IL-18 itu sendiri diinduksi oleh
rangsangan stres (yaitu, sinyal bakteri atau neurogenik) (Okamura et al.,
1995). Dalam konteks ini, telah dikemukakan bahwa stres menginduksi
pelepasan IL18 yang dapat menyebabkan siklus dalam memproduksi
IFN-gamma/IL-18. Setelah gelombang awal IL-18 menginduksi produksi
IFN-gamma, IFN-gamma yang baru disekresikan dapat merangsang
monosit/makrofag untuk meningkatkan aktivitas ICE IL-18. Keberlanjutan
produksi IL-18, meningkatan aktivitas ICE yang mungkin menghasilkan
lebih banyak diproses IL-18, yang mengarah ke lebih banyak limfosit
memproduksi IFN-, yang mengarah ke lebih banyak aktivitas ICE
makrofag. Dengan demikian, IL-18 tidak hanya meningkatkan sintesis
-
32
IFN-gamma, tetapi juga kemungkinan berpartisipasi dalam proses secara
keseluruhan (Docke et al.,1997).
Interleukin-18 juga terlibat dalam membunuh yang dimediasi oleh
Fas ligan (FasL). FasL diatur kuat oleh anggota molekul superfamili TNF
40 kDa. Pengikatan FasL secara luas menyatakan ekspresi reseptor, Fas,
biasanya menyebabkan aktivasi dari program apoptosis pada sel yang
mengekspresikan Fas (Fraser et al.,1996). Dalam sistem kekebalan tubuh
orang dewasa, hasil ini sering digunakan untuk menghilangkan sel-sel
yang tidak diinginkan yang dapat mengganggu baik sebagai proses
kekebalan yang sedang berlangsung atau resolusi dalam menjalani reaksi
kekebalan (Tsutsui et al., 1996). Sel-sel yang dipercaya untuk mediasi
proses tersebut adalah sel Th1 CD4 dan sel NK, dua populasi sel yang
sekarang dilaporkan untuk mengekspresikan FasL bawah pengaruh IL-18.
Dalam hal ini, IL-18 lagi menunjukkan hubungan dengan IFN-gamma.
tampaknya bahwa IFN-gamma menigkatkan regulasi ekspresi antigen
Fas. IL-18 meningkatakan pengaturan baik produksi FasL dan IFN
gamma pada sel T dan IFN-gamma yang dihasilkan juga dapat
menyebabkan antigen Fas pada berbagai jenis sel. Demikian IL-18,
melalui induksi IFN-gamma, dapat dianggap sebagai molekul yang
menyediakan sarana (FasL) dan peluang (Fas) untuk pemicu kematian sel
apoptosis (Dao et al., 1997).
-
33
J. Peran IL-18 dalam DBD
Karena perannya dalam memproduksi IFN-. Polarisasi sel T
adalah karateristik IL-18, dimana IFN- diinduksi tidak menonjol pada
karateristik IL-1. IL-18 menghambat karateristik sitokin proinflamasi yang
lain, seperti meningkatkan molekul adhesi sel, sintesis nitric oxide dan
produksi kemokin. IL-18 diproduksi oleh markofag yang teraktifasi dan
berbagai jenis sel lainnya. IL-18 memiliki struktur yang homolog dengan
family IL-1 dan bersama-sama dengan IL-12 berfungsi merangsang sel
Th1 untuk memproduksi IFN- (Charles., 2006).
Pada dengue, IL-18 ditemukan sekitar 40% pada pasien dengan
sakit ringan. Kepositifan meningkat bersamaan dengan terjadinya sakit
keras dan meningkat sekitar 80% pada pasien dengan DBD derajat 4. Hal
ini tidak sama dengan IL-12 yang hanya meningkat pada DF dan tidak ada
pada pasien dengan DBD derajat 3 dan 4 dan berlawanan dengan yang
diharapkan, seperti semua tipe sitokin Th2 yang meningkat pada DBD
derajat 4. Kadar IL-12 meningkat pada demam dengue, tetapi tidak dapat
dideteksi pada pasien dengan DBD derajat 3 dan 4 dan ini dugaan yang
berlawanan (U.C. Chaturvedi., 2000).
Interleukin-18 adalah yang utama yang dihasilkan oleh
monosit/makrofag sebagai respon terhadap infeksi dengue. Hasil
penelitian ini menunjukkan peningkatan kadar IL-18 pada pasien dengan
DF dan DHF dan berkorelasi dengan hematokrit dan nilai trombosit. Kadar
IL-18 secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan DBD dibandingkan
-
34
dengan DF. Temuan ini menunjukkan bahwa IL-18 yang diproduksi
sebagai respon terhadap infeksi virus dengue dan mungkin memiliki peran
penting terhadap penyakit demam berdarah yang parah (Pohan et al.,
2004).
Interleukin 18 adalah sitokin yang penting untuk regulator imun dan
telah menunjukan peningkatan pada respon sel host termasuk
kemampuan untuk meningkatakan eliminasi virus. Penelitian-penelitian
pada pasien dengue menunjukan perubahan yang menonjol dari respon
sitokin tipe Th1 pada demam dengue (DD) dan untuk respon sitokin tipe
Th2 pada pasien dengan demam berdarah dengue (DBD) yang berat.
Berdasakan pada hasil penelitian ini dikemukakan bahwa virus dengue
menginduksi produksi cascade sitokin pergeseran yang dominan dari
respon Th1 ke Th2, menghasilkan demam berdarah berat. Hasil penelitian
ini konsisten dengan hipotesis adanya IL-18 yang berhubungan dengan
respon tipe Th1 dan Th2 (kadar IL-18 pada pasien dengue berkolerasi
dengan penyakit yang berat). Penemuan ini mendukung kemungkinan
peran IL-18 dalam pathogenesis demam berdarah dengue (DHF) (Pohan
et al., 2004).
K. Inter-Cellular Adhesion Molecule 1 ( ICAM-1)
1. Struktur ICAM-1
Molekul adhesi intraselular 1 (ICAM-1, CD54) adalah glikoprotein
transmembran tipe 1, yang termasuk superfamily-immunoglobin (Ig). Pada
dasarnya kadar ICAM-1 diekspresikan pada sel endotel dan leukosit,
-
35
namun pengaturannya meningkat oleh adanya stimulator inflamasi seperti
TNF-, IFN-, dan IL-1. Peningkatan regulasi ICAM-1 dihambat oleh
glukokortikoid dan IL- 4 (Wolf et al., 2012).
Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) dikodekan pada tujuh
ekson dengan urutan sinyal pengkodean ekson 1, masing-masing daerah-
Ig ekstraseluler ekson 2 sampai 6 dan transmembran ekson 7 dan
Intraseluler. Berat molekul berkisar antara 80114 kDa sebagai berat
kadar glikosilasi yang bervariasi antara jenis sel yang berbeda. Daerah
ekstraseluler ICAM-1 terdiri dari 453 asam amino terutama hidrofobik,
yang membentuk lima Ig-domain dengan struktur -sheet, masing-masing
Ig-domain distabilkan oleh ikatan disulfida. Ig-domain yang diikuti oleh
daerah transmembran satu hidrofobik dan daerah sitoplasmik 28 asam
amino yang pendek, yang kurang motif sinyal konvensional. Residu tirosin
dalam ekor sitoplasma telah terbukti penting untuk memberi sinyal
intraseluler ICAM-1. (Wolf et al., 2012).
Gambar 8. Menunjukan batas membran ICAM-1 (dengan 5 daerah-Ig (D1-
D5) dan Ligan LAF-1, mac-I, protein-1 membran eritrosit plasmodium falciparum (PfEMP-1) dan Human rhinovirus (HRv).
-
36
2. Ligan untuk ICAM-1
Intercellular Adhesion Molecule 1 memiliki beberapa ligan termasuk
CD11a/CD18 (LFA-1) reseptor integrin 2 membran-terikat dan
CD11b/CD18 (mac-1) ada pada leukosit dan fibrinogen. Kelompok utama
dari rhinovirus manusia dan eritrosit yang terinfeksi plasmodium
falciparum dengan juga mampu mengikat ICAM-1 (Wolf et al., 2012).
Anggota ligan integrin dari ICAM-1 adalah family-glikoprotein
transmembran heterodimer tipe 1 dan terdiri dari rantai yang berhubungan
terkait non-convalently. Leucocyte functioning antigen 1 (LFA-1) dan
membrane attack complex (mac-1) memiliki subunit integrin-2 yang sama
( CD18 ) tetapi berbeda pada rantai- yaitu L ( CD11a ) untuk LFA-1 dan
M ( CD11b ) untuk mac-1. Kedua integrin terikat melalui "Inserted"
domain (I) pada masing-masing rantai- ke residu asam pada ICAM-1.
Ligan LFA-1 berikatan dengan asam glutamat (residu 34) pada ICAM-1
dengan adanya ion magnesium dan kalsium. Ikatan ligan dihasilkan dalam
reorientasi posisi asam glutamat dalam domain ketiga (residu 241) dan
pembentukan jembatan garam kritis dengan lisin (residu 39). Tempat
pengikatan integrin mac-1 terletak di dalam domain ketiga ICAM-1 dan
tergantung pada kadar glikosilasi. Tingginya kadar sterik oligosakarida N-
linked dan elektrostatis menghalangi akses ke tempat mengikat. Sebagai
kadar glikosilasi tergantung pada jenis sel, jenis sel yang berbeda akan
memungkinkan pola ikatan ligan yang beragam. Aktivasi integrin
diperlukan sebelum pengikatan LFA-1 atau mac-1 ke ICAM-1 dapat
-
37
terjadi. Pada sel yang istirahat, integrin menunjukkan afinitas rendah
konformasi untuk ikatan ligan. Setelah sinyal " inside-out ", perubahan
konformasi mengambil tempat mengekspos tempat pengikatan ligan yang
afinitas tinggi. Integrin berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh
seperti yang ditunjukkan pada pasien dengan defisiensi adhesi leukosit
tipe I (LAD), sebuah kelainan resesif autosomal yang jarang terjadi, yang
menyebabkan kurangnya lengkap 2-integrin. Defisiensi ini menyebabkan
cacat yang parah pada sistem kekebalan tubuh dan inflamasi mengarah
ke kronis dan infeksi bakteri yang mengancam jiwa (Wolf et al., 2012).
Selain integrin diaktifkan, sebagian besar family rhinovirus ( 91
serotipe ) dan beberapa anggota dari virus coxsackie A mengikat family
ICAM-1. Family virus mengikat epitop pada domain satu yang terletak
langsung di sebelah LFA-1 dan tumpang tindih dengan yang digunakan
oleh eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum. Ikatan ICAM1
dimulai masuknya virus ke dalam sel inang (Wolf et al., 2012).
Ligan lain, yang telah terbukti untuk mengikat ICAM-1 adalah
fibrinogen. Glikoprotein plasma terlibat dalam pembekuan darah,
peradangan dan perbaikan jaringan. Ikatannya untuk ICAM-1
memungkinkan adhesi trombosit sirkulasi dan sel-sel inflamasi pada
endotel dan deposisi fibrinogen, yang dapat menyebabkan peningkatan
transmigrasi leukosit, kelangsungan hidup sel endotel dan vasokontriksi
(Wolf et al., 2012).
-
38
3. Fungsi ICAM-1
Fungsi utama dari ICAM-1 adalah sebagai tempat untuk adhesi,
karakteristik yang penting dalam migrasi transendothelial leukosit dan
presentasi antigen (Wolf et al., 2012).
Proses transmigrasi leukosit, yang juga disebut diapedesis, dapat
dibagi menjadi empat berurutan, namun langkah-langkah yang tumpang
tindih seperti yang dirangkum dalam Gambar dibawah ini.
Gambar 9. Menunjukan 4 langkah transmigrasi leukosit; (1)
menggelinding (2) terikat (3) adhesi (4) Transmigrasi. (Wolf I S and Lawson Charlotte .,2012)
Langkah transmigrasi pertama dimediasi oleh ikatan selektin.
Selektin dari interaksi sel 1 dengan karbohidrat sialylated di sisi lain, sel
menentang. Selektin E dan P ada dengan bebas pada sel endotel terikat
Sialyl Lewis X terkait karbohidrat pada leukosit dan ligan 1 glikoprotein
selectin (PSGL-1). Selektin-L ada pada semua leukosit yang beredar dan
terikat CD34, PSGL-1 dan Sialyl Lewis X pada sel endotel. Bebas
mengikat leukosit pada sel endotel memungkinkan sel untuk
memperlambat dan "roll" di sepanjang endothelium. Hal ini juga
-
39
memfasilitasi paparan kemokin seperti CCL-2, CXCL-8, CCL-5 dan CCL-
3. Pasien dengan LAD II kurang biosintesis fucose, yang memainkan
peran penting untuk ikatan ligan karbhidrat. LAD II adalah bentuk ringan
dari LAD, tetapi digarisbawahi pentingnya selektin mengikat dalam sistem
imun tubuh (Wolf et al., 2012).
Kemokin memainkan peran penting dalam langkah transmigrasi
kedua. Leukosit bergulir lambat diarahkan oleh gradien kemokin terhadap
tempat disfungsional endotel. Paparan kemokin memicu sinyal in-outside
dalam leukosit, yang menyebabkan aktivasi integrin. Kemokin yang terlibat
dalam leukosit dan aktivasi termasuk CXCL-8 (neutrofil) dan CCL-2
(monosit) (Wolf et al., 2012).
Integrin yang diaktifkan pada permukaan leukosit sekarang dapat
mengikat kuat dengan molekul adhesi yang ada pada radang endotelium.
Adhesi yang kuat difasilitasi oleh ikatan ICAM-1 ke LFA-1, VCAM-1 ke
VLA - 4 dan MADCAM-1 ke 47. Ikatan memungkinkan leukosit untuk
menyebarkan dan perlahan-lahan bermigrasi monolayer sel endotel dalam
mencari peluang transmigrasi. Pentingnya ICAM-1 dalam ketiga Langkah
transmigrasi telah dibuktikan dalam studi menggunakan anti-ICAM-1
memblokir antibodi atau sel-sel endotel kurang ICAM-1 (Wolf et al., 2012).
Protein junction PECAM-1, VE-cadherin, molekul adhesi junctional
(JAMs) dan CD99 ditemukan di junction endotel. Homofilik (PECAM-1,
CD99 dan JAMs) dan ikatan heterofilik (JAMs dengan integrin)
memungkinkan pembentukan erat dikemas lapisan sel endotel dengan
-
40
permeabilitas yang sangat selektif. Ketika leukosit yang melekat dengan
kuat pada endotel, leukosit mengembangkan proyeksi mikrovili seperti
disebut podosomes, dengan mana mereka menyelidiki permukaan
endotel. Stasiun docking ini kaya ICAM-1 dan VCAM-1 dan aktin-F.
Integrin terikat dimulai karena ada sinyal pada sel endotel, yang diduga
menyebabkan sel endotel kontraksi dan melemahnya ikatan junctional.
Penelitian menggunakan sel defisiensi ICAM-1 menunjukkan kurangnya
perpindahan, tapi penghambatan tidak lengkap. Hal ini menunjukkan
bahwa ICAM-1 terlibat dalam perpindahan leukosit terakhir tapi tidak
penting, mirip dengan CD18. Setelah ikatan molekul adhesi junctional
dilepaskan leukosit dapat bermigrasi ke jaringan di bawahnya (Wolf et al.,
2012).
Peran penting ICAM-1 lainnya adalah sinaps imunologi. Hal ini
ditandai dengan tiga karakter besar : Formasi junction, reorganisasi dan
pembentukan stabil imunologi yang kompleks. Selama langkah pertama,
pembentukan junction, berhubungan dekat antara antigen presenting cell
(APC) dan sel-T difasilitasi dengan bantuan ICAM-1 dan LFA-1.
Pengikatan ICAM-1 sampai ligan mengatasi halangan sterik dari
glikoprotein CD45 dan CD43 yang ada pada permukaan sel untuk
reseptor sel-T (TCR) kompleks dan memungkinkan interaksi dengan
MHC-peptida yang ada pada APC. Dalam hal afinitas rendah antara TCR
dan kompleks MHC-peptida, interaksi antara dua sel berhenti pada tempat
itu. Jika kompleks TCR dan peptide-MHC menunjukan afinitas tinggi
-
41
terhadap satu sama lain, jalur sinyal dicaentus, yang mengarah ke
reorganisasi termasuk molekul. Kompleks TCR dan peptide-MHC
bergerak ke arah pusat dengan bentuk molekul LFA-1/ICAM-1 keluar
bergerak membentuk lingkaran di sekitarnya. Langkah reorganisasi ini
memungkinkan pembentukan kompleks imunologi yang stabil. Selama
reorganisasi dan proses pembentukan cincin ini, polymerase ICAM-1,
sehingga menunjukkan afinitas yang lebih tinggi mengikat LFA-1. Selain
itu, konsentrasi kompleks TCR peptida-MHC dalam pusat cincin
memfasilitasi komunikasi yang optimal antara sel-sel dan jalur sinyal (Wolf
et al., 2012).
Integrin ICAM-1 juga telah dilaporkan sebagai ligan kostimulator
MHC I dan MHC II selama dibatasi presentasi antigen. Intercellular
adhesion molecule 1 telah terbukti untuk ada dalam lesi aterosklerotik dan
terlibat dalam perkembangan lesi aterosklerotik. Keterlibatan ICAM-1 di
aterosklerosis telah dibuktikan dalam apoE tikus kekurangan ICAM-1,
yang telah dikurangi ukuran lesi. Analisis rangkaian waktu
mengungkapkan bahwa ICAM-1 tidak hanya terlibat dalam pembentukan
awal plak tetapi juga dalam perkembangan selanjutnya dalam tikus. Data
ini didukung oleh hasil yang diperoleh dalam apoE - / - tikus yang diobati
dengan antibody netralisasi anti-ICAM-1 (Wolf et al., 2012).
Intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) merupakan salah satu
reseptor pada permukaan sel endotel yang berperan pada penempelan
eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum atau Parasite-Red
-
42
Blood Cell (P-RBC). Reseptor lainnya berupa CD36, trombospondin,
vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), endothel leucocyte
adhesion molecule-1 (ELAM-1) dan glycosaminoglycan chondroitin
sulfate A (Harijanto, 2007). Intercellular adhesion molecule 1 juga dikenal
sebagai CD54 (Cluster of Differentiation 54). Intercellular adhesion
molecule 1 memiliki berat molekul antara 70-120 kilodalton. Protein
yang mengatur gen ini adalah tipe intercellular adhesion molecule.
Protein tersebut secara konstan terdapat pada membran sel leukosit dan
endotel dalam konsentrasi yang rendah. Konsentrasi ICAM-1 dapat
meningkat dengan adanya induksi oleh tumor necrosis factor-alpha (TNF-
), dan interleukin-1 (IL-1) dan interferon- (IFN-). ICAM-1 merupakan
glikoprotein yang bertindak sebagai ligan dari integrin LFA-1
(lymphocyte function-associated antigen-1), sebuah reseptor yang
ditemukan pada leukosit. Ketika teraktivasi, leukosit menempel pada
sel endotel melalui ICAM-1/ LFA-1 dan kemudian masuk ke jaringan (Ho
et al., 1999).
Intercellular adhesion molecule 1 memainkan peran yang penting
pada patologi malaria. Intercellular adhesion molecule 1 akan berikatan
dengan molekul adhesif pada P-RBC yaitu Plasmodium falciparum
Erythrocyte Membran Protein-1 (PfEMP-1). Penempelan sel yang
terinfeksi (P-RBC) pada endotelium, terutama pada organ-organ vital
oleh ICAM-1 mungkin akan mengarah pada penyakit yang berat dan
kematian. Secara histopatologis ditunjukkan adanya ICAM-1 dan
-
43
penempelan eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum dalam
kapiler otak pada pasien malaria serebral. Pada pasien malaria serebral
terjadi penempelan ICAM-1 dan parasit dalam jumlah yang tertinggi
(Kun et al., 1999).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Shear et al., (1998)
didapatkan bahwa ekspresi ICAM-1 mengalami peningkatan yang
signifikan pada kapiler dan venula kecil otak mencit yang diinfeksi malaria.
Sebaliknya, peningkatan ekspresi VCAM-1 tidak sebesar ekspresi
ICAM-1. Selain itu, ekspresi VCAM-1 terbatas pada pembuluh darah
yang besar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ICAM-1 merupakan reseptor
sel endotel yang memegang peran penting dalam patogenesis malaria
serebral. Peningkatan ICAM-1 juga ditemukan pada keadaan lain
seperti melanoma maligna, uveitis, transplantasi ginjal dan liver, gagal
jantung akut, rheumathoid arthritis), fibrosis paru idiopatik, dan neonatal
sepsis (Kuster et al., 1993).
L. Vascullar Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1)
Endotel adalah lapisan sel yang melapisi dinding vaskuler yang
menghadap ke lumen dan melekat pada jaringan subendotel yang terdiri
atas kolagen dan berbagai glikosaminoglikan termasuk fibronektin.
Endotel juga berperan pada hemostasis dengan mempertahankan
permukaan yang bersifat antitrombotik. Jika endotel mengalami gangguan
oleh berbagai hal, seperti paparan dengan sitokin inflamasi, maka fungsi
pengatur menjadi abnormal dan mengalami disfungsi endotel. Disfungsi
-
44
endotel akan menyebabkan ekspresi molekul adhesi seperti VCAM-1 dan
ICAM-1 (Dharma dkk., 2005).
Vascullarcell adhesion molecule-1 merupakan salah satu molekul
adhesi sel endotel, termasuk anggota dari Immunoglobulin gene
superfamily yang diekspresikan pada permukaan sel endotel sebagai
respon terhadap adanya inflamasi. Ekspresinya diatur oleh interleukin-4
(IL-4) dan TNF yang berfungsi mengatur adhesi dan migrasi leukosit
sepanjang endotel. VCAM-1 dapat ditemukan pada sel endotel, sel
dendritik, sel saraf yang dikultur, sel epitel glomerulus dan mesangial,
serta pada sel otot polos pembuluh darah. VCAM-1 berikatan dengan 1-
integrin very late antigen-4 (VLA-4) pada limfosit, eosinofil, monosit dan
basofil. (Pall dkk., 1996; Sanchez dkk., 2009).
Pada sel endotel, tempat VCAM-1 diekspresikan akibat adanya
sitokin inflamasi, terdapat elemen pengendali (disebut octamer binding
site) yang membatasi aktifitas gen promoter VCAM-1. (Jesse, T.L dkk,
1998). Hal ini terjadi pada sel endotel yang tidak terangsang oleh
inflamasi. Sitokin inflamasi melawan efek negatif octamer dan
menyebabkan aktivasi gen promoter melalui 2 nuclear factor B (NF B)
yang beraolokasi pada -77 dan -63 bp gen promoter VCAM-1 (Sanchez
dkk., 2009).
Vascullarcell adhesion molecule-1 merupakan salah satu dari
banyak petanda adanya disfungsi endotel seperti endhotelin-1(ET-1), von
-
45
Willebrand factor (vWf), soluble adhesion molecules E-selectin, dan
urinary albumin excretion (UAE) (Jesse et al.,1998).
Molekul Adhesi yang diekspresikan pada permukaan sel endotel
dan reseptornya pada leukosit akan menyebabkan adhesi leukosit melalui
beberapa tahap. Tahapan ini disebut cascade adhesi. Tahap pertama
adalah leukosit akan menempel dan menggelinding sepanjang endotel.
Tahap ini dimediasi oleh molekul dari kelompok selektin seperti selektin E
dan selektin P, dengan ligannya sialyl lewis X pada permukaan leukosit.
Tahap selanjutnya, adhesi yang kuat dari leukosit dimediasi oleh ICAM-1
dan VCAM-1 dengan ligannya LFA-1 (Lymphocyte function associated
antigen 1) dan VLA-4 pada leukosit yang terkativasi. Ikatan yang kuat ini
mengawali migrasi lekosit dari vaskuler ke jaringan. Gangguan regulasi
dari molekul adhesi ini tentunya akan menyebabkan migrasi lekosit yang
berkelanjutan dan kerusakan jaringan (Peschenet et al.,1999).
M. Peran ICAM-1 dan VCAM-1 pada DBD
Sel Endotel berperan dalam tahap terakhir patogenesis DBD.
Aktivasi sel endotel mengarah pada perubahan permeabilitas vaskullar
dan melepaskan faktor-faktor yang mengaktifkan jalur koagulasi. Secara
in vitro, virus Dengue yang mengifeksi sel endotel telah menunjukan
produksi beberapa kemokin termasuk IL-8. Infeksi sel endotel juga
mengarah pada aktifnya komplemen dan apoptosis selular. Fungsi sel
endotelial dipengaruhi oleh pelepasan sitokin dari sel yang telah terinfeksi
-
46
virus Dengue. Penelitian telah menunjukan supernantan dari monosit
terinfeksi virus Dengue menyebabkan peningkatan regulasi ekspresi
ICAM-1 oleh sel endotel yang mungkin dimediasi oleh TNF-
(Anderson,.1997). Peningkatan kadar molekul permukan endotel yang
terlarut seperti ICAM-1 dan VCAM-1yang dilaporkan pada pasien DBD
(Karoka., 2004; Cardier., 2006).
Banyak faktor yang memengaruhi sel endotel termasuk pengaruh
antigen viral pada sel endotel. Peningkatan kadar sirkulasi virus dan
antigen viral yang berhubungan dengan DBD pada banyak penelitian
(libraty., 2002). Peningkatan beban viral secara relatif berkaitan lemahnya
respon IFN tipe I yang memungkinkan replikasi virus meningkat atau
memediasi adanya cross-reactive, antibodi non netralisasi, yang
mempercepat virus mudah mengifeksi (Srikiatkhachorn., 2014). Penelitian
baru ini telah fokus pada peran protein NS1 dengue di patogenesis
dengue. NS1 dihasilkan sebagai membran dan protein terlarut. Sirkulasi
kadar NS1 terlarut telah menunjukan korelasi dengan beratnya penyakit.
Protein NS1 menunjukan aktivasi komplemen modifikasi oleh ikatan C4
dan C1s dan meningkatkan degradasi C4b (Avirutnan., 2007).
Penelitian yang dilakukan Vielma dkk, (2014) menemukan
peningkatan awal ekspresi sIL2-R dan sVCAM-1 di sampel-sampel serum
yang secara signifikan berhubungan dengan beratnya pada waktu tahap
awal penyakit dengue yang dapat digunakan sebagai penanda beratnya
pada bentuk komplikasi pasien dengue. Sitokin seperti TNF- dan IL-8
-
47
yang berpengaruh penting pada ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-1
dan VCAM-1 pada sel endotel. ( Vielma., 2014)
Gambar 10. Kebocoran plasma (a) fase akut (pre-kebocoran). Virus dengue
menginfeksi monosit, sel dendrit, makrofag, yang menghasilkan peningkatan viremia. Sel terinfeksi memproduksi kemokin seperti IL-8 dll, dan sitokin yang memicu respon imun nonspesifik. Juga mengekspresikan ICAM dan VCAM pada permukaan sel endotel. (b) fase kebocoran plasma, NS1 terlarut dan antibodi NS1 secara kompleks dapat beriteraksi dengan sel endotel dan mengaktifkan sistem komplemen. Sitokin dan mediator lainnya meningkatkan permeabilitas oleh virus Dengue yang menginfeksi sel dan sel T memori. virus Dengue menginduksi sekresi martrix metaloproteases (MMPs) oleh sel dendrit yang menyebabkan kerusakan sel endotel saat ekspresi differensiasi ICAM dan VCAM antara sel endotel yang diam dan aktif mempengaruhi adhesi dan transmigrasi sirkulasi leukosit yang dapat menyebabkan kebocoran plasma. (Srikiatkhachorn., 2014)
Perubahan sel Endotel kemungkinan disebabkan oleh efek sitokin
atau mediator lain karena infeksi langsung terhadap sel endotel oleh virus
Dengue. In vitro, infeksi terhadap sel endotel tersebut menginduksi
produksi sitokin, kemokin, regulated and activation T cell excretion and
-
48
secretion (RANTES) dan dapat menyebabkan apoptosis sel endotel.
Perubahan sel endotel dari kondisi istirahat ke tahap prokoagulan
berkaitan dengan ekspresi beberapa molekul adhesi yaitu ICAM-1 dan
VCAM-1, selektin E, vWf, dan selektin P. Selain itu virus Dengue dapat
menginduksi aktivasi komplemen. Ekspresi ICAM-1 dengan IL-8 dan
RANTES meningkatkan adhesi sel PMN dan mononuclear yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan trombomodulin.
Peningkatan permeabilitas vaskuler ini akan berakibat terjadinya
kebocoran plasma, bahkan kebocoran plasma tersebut telah terbukti
sebagai faktor diskriminan untuk memprediksi rejatan pada DBD terutama
pada hari ke 0 dan 2. VCAM-1 setelah mengalami suatu proses proteolisis
akan ditemukan dalam bentuk soluble dalam sirkulasi (sVCAM-1).
Dilaporkan dalam suatu penelitian bahwa sVCAM-1 meningkat pada
pasien infeksi dengue dan terutama lebih tinggi secara signifikan pada
DBD-TR atau pada fase akut dengan manifestasi lebih berat (sutaryo.,
2004).
Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan peranan sitokin
terhadap beratnya infeksi virus Dengue. Azeredo dkk, dalam penelitannya
melaporkan kadar sitokin pada 54 penderita yang diperiksa di Recife
Brasil, penderita yang mengalami manifestasi perdarahan
menggambarkan kadar TNF- berhubungan dengan beratnya penyakit.
Chakravarti (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa kadar dari
sitokin proinflamasi meningkat secara signifikan selama infeksi virus
-
49
Dengue, Peningkatan kadar TNF- lebih tinggi pada penderita DBD
dibandingkan demam dengue dan membuktikan penyebab dari
permeabilitas kapiler yang meningkat dan rejatan yang terjadi saat DBD
berlangsung. (Chakravarti dkk., 2006).
Efek biologis TNF- yaitu meningkatkan ekspresi molekul yaitu
ICAM-1, VCAM-1, selektin dan integrin ligan pada permukaan endotel
pembuluh darah, juga selektin ligan dan integrin pada permukaan sel
lekosit (Setiati., 2004). Ekspresi molekul Adhesi tersebut akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan migrasi
leukosit ke tempat infeksi untuk menyingkirkan mikroba. (abbas., A.K. dan
Lichtman, A. H., 2005). Peningkatan permeabilitas darah akan
menyebabkan perembesan plasma (plasma leakage) dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial sehingga terjadi peningkatan hematokrit,
hipoproteinemia, hipovolemia (rejatan), ada cairan dalam rongga plura
dan peritoneum (Setiati dkk., 2009).
Sel endotel berperan penting dalam mengatur permeabilitas
vaskuler dan mempertahankan homeostasis. Patogen tertentu, seperti
virus Dengue, dapat menginfeksi sel endotel dan mengganggu
fungsinya,dan akan menyebabkan pelepasan berbagai sitokin, yang
selanjutnya akan merangsang ekspresi adhesi molekul, menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler dan aktifitas prokoagulasi yang akan
bermuara pada terjadinya gangguan hemostasis (Huan et al., 2000).
-
50
Penelitian di Polinesia Prancis juga melaporkan peningkatan kadar
VCAM-1 pada pasien dengan infeksi virus Dengue, terutama pada
penderita DBD-R, Nilai prognostiknya terutama pada fase akut masih
belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut (Murgue., 2001).
N. Hubungan antara IL-18 dengan Ekspresi Adhesi Molekul
(VCAM-1 dan ICAM-1)
Leukosit mengekspresikan sejumlah reseptor permukaan yang
berperan untuk aktivasi leukosit. Reseptor mirip-Toll (TLR) yang homolog
dengan protein Drosophilia yang disebut Toll, berfungsi mengaktifkan
leukosit sebagai respons terhadap berbagai jenis dan kompenen mikroba.
Sampai saat ini, 10 TLR mamalia berhasi teridentifikasi, dan masing-
masing TLR tersebut diperlukan untuk menghasilkan respons terhadap
berbagai kelas pathogen infeksius. Berbagai TLR berperan penting pada
respons sel terhadap lipopolisakarida (LPS, atau endotoksin) bakteri,
proteoglikan bakteri lainnya dan nukleotida CpG yang tidak mengalami
metilasi, yang kesemuanya hanya terdapat di bakteri, serta RNA untai-
ganda yang dihasilkan oleh sebagian virus. Reseptor-reseptor tersebut
berfungsi melalui kinase terkait reseptor untuk merangsang pembentukan
zat-zat mikrobisida dan sitokin di leukosit. (Fausto et al., 2009). Berbagai
reseptor makrofag adalah kompleks, ciri utamanya adalah merangsang
produksi berbagai protein dan makrofag melepas sejumlah sitokin yang
berperan dalam respon imun (Baratawidjaja., 2006).
-
51
Makrofag menstimulasi IFN- menunjukan adanya peningkatan
ekspresi gen IL-18 melalui ICSBP (interferon consensus sequence-binding
protein) dan elemen protein activator-1 (AP-1). Nuklear faktor (NF)-B
mengenali identifikasi sekuensi pada region promoter IL-18 dan pengatur
ekspresi gen IL-18. IL-18 seperti IL-1 dengan menunjukan struktur yang
homologi diprodiksi sebagai 24 kD prekusor inaktif yang kekurangan
peptida sinyal (pro-IL-18). Pro-IL-18 membelah setelah gen Asp35 oleh
enzim converse IL-1 endoprotease menghasilkan aktifasi biologikal 18
kD yang matang. (Gu., 1997)
Gambar 11. Fungsi effektor makrofag. (Abbas, A.K., Litchman A.H., Pillai
S.2012)
Sitokin diperlukan pada awal reaksi inflamasi dan untuk
mempertahahankan respons inflamasi kronik. Makrofag melepas IL-1 dan
-
52
GM-CSF yang akan mengaktifkan respon fase akut serta meningkatkan
produksi neutrofil dan monosit oleh sumsum tulang. TNF dan IL-1 yang
diproduksi markofag merupakan dua sitokin yang penting pada respons
inflamasi. Sitokin-sitokin tersebut meningkatkan adhesi leukosit ke endotel
lokal untuk memungkinkan leukosit bergerak sesuai sinyal kemotaktik dari
kemokin yang juga diproduksi makrofag. Markofag juga memproduksi
sitokin yang bekerja terhadap sel T antara lain IL-1, IL-12, dan IL-18. IL-12
dan IL-18 mengaktifkan masing-masing Th1 dan sel NK yang melepas
IFN- dan TNF.(Baratawidjaja., 2006)
Kesimpulan dari penelitian Dai Ming S dkk, IL-18 memperbesar
induksi aktivasi monosit oleh hubungan dengan diaktifkan sel T di sinovitis
RA, yang bergantung pada aktivasi jalur NF-B dan PI 3-kinase (Gambar
12). Data ini membuktikan kuat untuk IL-18 yang menginduksi TNF dan
IL-1 pada tempat inflamasi kronik (Dai et al., 2004).
Gambar 12 Model skematik IL-18 di dalam sel yang berhubungan Interaksi
antara monosit dan sel T. Melalui hubungan seluler, sel T mengaktifkan jalur phosphatidylinositol 3-kinase (PI 3-kinase) dan NF-B di monosit, yang menginduksi produksi IL-18, TNF, dan IL-1 maunpun meningkatakanekspresi IL-18 reseptor (IL-18R). (Dai., 2004)
-
53
Rekutmen leukosit ke tempat cedera dan infeksi adalah proses
multilangkah yang mencakup perlekatan leukosit pada sel endotel dan
migrasinya melalui sel endotel. Proses-proses awal adalah induksi melalui
perekat di sel endotel, melalui sejumlah mekanisme. Mediator seperti
histamin, thrombin serta platelet activating factor (PAF, faktor penggiat
trombosit) merangsang distribusi P-selektin dari simpanan intrasel normal
di granula ke permukaan sel. Makrofag jaringan residen, sel mast, dan sel
endotel berespon terhadap cedera dengan mengeluarkan sitokin TNF, IL-
1 dan kemokin (sitokin kemoatraktan). TNF dan IL-1 bekerja di sel endotel
venula pascakapiler di sekitar tempat infeksi dan memicu ekspresi
beberapa molekul perekat. Dalam 1-2 jam, sel endotel mulai
mengekspresikan E-selektin. Leukosit mengekspresikan ligan-ligan
karbohidrat (di ujung mikrovilinya) untuk selektin, yang berikatan dengan
selektin endotel. Ikatan ini merupakan interaksi berafinitas rendah dengan
tingkat pelepasan yang tinggi, dan mudah terganggu oleh aliran darah.
Akibatnya leukosit yang terikat terlepas dan kemudian terikat kembali, dan
karenanya mulai menggelinding di sepanjang permukaan endotel. (Fausto
et al., 2009)
TNF dan IL-1 juga memicu endotel untuk mengekspresikan ligan-
ligan untuk integrin, terutama VCAM-1 (ligan untuk integrin VLA-4) dan
ICAM-1 (ligan untuk integrin LFA-1 dan Mac-1). Leukosit normalnya
mengekpresikan berbagai integrin ini pada keadaan afinitas rendah. Di
lain pihak, berbagai kemokin yang dihasilkan di tempat cedera memasuki
-
54
Gambar 13. Regulasi molekul perekat sel endotel dan leukosit. A, Pengaktifan endotel oleh sitokin. B, Peningkatan aviditas pengikatan integrin (Fausto et al., 2009).
pembuluh darah, berikatan dengan glikosaminoglikan heparan sulfat sel
endotel (diberi nama proteoglikan) dan terdapat dalam kosentrasi tinggi
di permukaan sel endotel. Beragam kemokin ini bekerja pada leukosit
yang menggelinding dan mengaktifkan sel ini. Salah satu rangkain aktivasi
adalah konversi integrin VLA-4 dan LFA-1 leukosit ke keadaan afinitas
tinggi. Kombinasi ekspresi ligan-ligan integrin di endotel dan aktivasi
integrin di leukosit menghasilkan ikatan yang