Tesis Yondri Natalis Tasidjawa

123
KORELASI KADAR INTERLEUKIN 18 DENGAN EKSPRESI SOLUBLE VASCULLAR CELL ADHESION MOLECULE 1 (sVCAM-1) DAN SOLUBLE INTERCELULAR ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1) PADA DEMAM BERDARAH DENGUE THE CORRELATION OF INTERLEUKIN 18 LEVEL WITH EXPRESSION OF SOLUBLE VASCULLAR CELL ADHESION MOLECULE 1 (sVCAM-1) AND SOLUBLE INTERCELULAR ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1) IN DENGUE HEMORRHAGIC FEVER YONDRI NATALIS TASIDJAWA P1505 212 001 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

description

DBD

Transcript of Tesis Yondri Natalis Tasidjawa

  • KORELASI KADAR INTERLEUKIN 18 DENGAN EKSPRESI SOLUBLE VASCULLAR CELL ADHESION

    MOLECULE 1 (sVCAM-1) DAN SOLUBLE INTERCELULAR ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1) PADA DEMAM

    BERDARAH DENGUE

    THE CORRELATION OF INTERLEUKIN 18 LEVEL WITH EXPRESSION OF SOLUBLE VASCULLAR CELL ADHESION MOLECULE 1 (sVCAM-1) AND SOLUBLE INTERCELULAR

    ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1) IN DENGUE HEMORRHAGIC FEVER

    YONDRI NATALIS TASIDJAWA P1505 212 001

    PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR 2014

  • KORELASI KADAR INTERLEUKIN 18 DENGAN

    EKSPRESI MOLEKUL ADHESI (SOLUBLE VASCULLAR

    CELL ADHESION MOLECULE 1 (sVCAM-1) DAN SOLUBLE

    INTERCELLULAR ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1))

    PADA DEMAM BERDARAH DENGUE

    Tesis

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

    Program Studi

    Biomedik

    Disusun dan diajukan oleh

    YONDRI NATALIS TASIDJAWA

    Kepada

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    2014

  • TESIS

    KORELASI KADAR INTERLEUKIN 18 DENGAN EKSPRESI

    SOLUBLE VASCULLAR CELL ADHESION MOLECULE 1 (sVCAM-1) DAN SOLUBLE INTERCELULAR ADHESION MOLECULE 1 (sICAM-1) PADA

    DEMAM BERDARAH DENGUE

    Disusun dan diajukan oleh

    YONDRI NATALIS TASIDJAWA Nomor Pokok P1505212001

    telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

    pada tanggal 14 Januari 2015

    dan dinyatakan telah memenuhi syarat

    Menyetujui

    Komisi Penasihat,

    dr. Uleng Bahrun., Ph.D., Sp.PK (K) dr. Isra Wahid, S. Ked., Ph.D.

    Ketua Anggota

    Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana

    Biomedik, Universitas Hasanuddin,

    Dr. dr. Andi Mardiah Tahir, Sp.OG Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S.

  • PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

    Yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Yondri Natalis Tasidjawa

    Nomor Mahasiswa : P1505212001

    Program studi : Biomedik

    Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang penulis tulis ini

    benar-benar merupakan hasil karya penulis sendiri, bukan merupakan

    pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

    hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

    ini hasil karya orang lain, penulis bersedia menerima sanksi atas

    perbuatan tersebut.

    Makassar,

    Yang menyatakan

    Yondri Natalis Tasidjawa

  • PRAKATA

    Syukur dan pujian penulis berikan kepada Allah sumber segala

    hikmat karena penyertaan dan kasihNYA penelitian dengan judul Korelasi

    Kadar Interleukin 18 dengan Ekspresi soluble vascullar cell adhesion

    molecule 1 (sVCAM-1) dan soluble intercelular adhesion molecule 1

    (sICAM-1) pada Demam Berdarah Dengue dapat dirangkumkan.

    Penelitian ini tidak bisa terselesaikan tanpa bantuan beberapa pihak,

    oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

    terimakasih kepada Prof.dr.Mansyur Arif, Ph.D, Sp.PK (K), sebagai ketua

    konsentrasi biomedik kimia klinik dan juga secara pribadi sebagai guru

    yang baik. Terimakasih atas segala kebaikan dan kesempatan yang

    diberikan untuk terus belajar. Kepada dr. Uleng Bahrun Ph.D, Sp.PK(K)

    selaku pembimbing pertama dan dr. Isra Wahid, Ph.D selaku pembimbing

    kedua. Terimakasih atas segala kebaikan dan kesempatan yang diberikan

    untuk terus membimbing dalam penyusunan tesis. Kepada seluruh staf

    dosen Biomedik, terimakasih untuk setiap ilmu yang dibagikan.

    Kesempatan ini juga penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof.

    DR. dr. Syamsu, Sp.PD, KKI sebagai kepala RS PTN Universitas

    Hasanuddin Makassar. Kepada dr. Sitti Wahyuni, Ph.D. sebagai kepala

    bidang penelitian RS. PTN Universitas Hasanuddin dan seluruh staf RS.

    Universitas Hasanuddin Makassar. Terimakasih telah menerima dan

    memberi izin untuk meneliti.

  • Kepada Dr.dr. Nurhayana Sennang Sp.PK, M.Kes, DMM, dr. Liong

    Boy Sp.PK, M.Kes, dr. Yuyun Wudaningsih Sp.PK, M.Kes beserta seluruh

    staf Laboratorium Patologi Klinik RS PTN Universitas Hasanuddin

    Makassar, atas penerimaan yang hangat, dukungan dan bantuan selama

    penulis berada di laboratorium patologi klinik. Kepada staf Laboratorium

    Mikrobiologi RS UNHAS, Risma yang telah membantu dalam penelitanku.

    Teman seperjuangan angkatan 2012 Konsentrasi Kimia Klinik,

    Nurdin, Theosobia Grace Orno, Wa Ode Miftah Hudayah . Terimakasih

    untuk kebersamaan, dukungan dan motivasi selama masa perkuliahan.

    Kalian teman-teman yang hebat.

    Terimakasih kepada Yenti, Marisca, Nesia, Andre, Icen beserta

    seluruh teman-teman PMKO Filadelfia atas dukungan doa dan perhatian

    yang diberikan.

    Terima kasih kepada para pasien yang telah menyumbangkan

    darahnya demi penelitian ini dan terimakasih atas kerjasamanya.

    Terakhir, kembali penulis berikan karya kecil ini kepada kedua

    orang tua Buis Tasidjawa dan Jeni Mandaku beserta adik-adikku William

    Tasidjawa dan Inggrid Tasidjawa. Terimakasih telah menjadi semangat

    serta motivasi di saat susah juga tawa di saat sukacita. Akhirnya semoga

    karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam pengembangan ilmu

    pengetahuan.

    Makassar, November 2014

    Yondri Natalis Tasidjawa

  • ABSTRAK

    YONDRI NATALIS TASIDJAWA Korelasi Kadar Interleukin 18 dengan Ekspresi Soluble Vascullar Cell Adhesion Molecule 1 (sVCAM-1) dan Soluble Intercelular Adhesion Molecule 1 (sICAM-1)) pada Demam Berdarah Dengue (dibimbing oleh Uleng Bahrun dan Isra Wahid)

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis korelasi antara kadar IL-

    18 dengan kadar sVCAM-1 dan sICAM-1 pada penderita Demam Berdarah Dengue (DBD). Desain penelitian adalah cross sectional dengan jumlah sampel 69 pasien demam dengue yang memenuhi kriteria inklusi yang dilaksanakan di RS Universitas Hasanuddin.

    Hasil penelitian menunjukan bahwa, rerata kadar IL-18 adalah 107,17 80,63 pg/ml, dan rerata kadar IL-18 pada demam dengue dengan perdarahan spontan, tanpa perdarahan spontan berturut-turut adalah 84,12 72,84, 169,88 67,58 (p

  • ABSTRACT

    YONDRI NATALIS TASIDJAWA The Correlation Interleukin 18 Level and Expression of Soluble Vascullar Cell Adhesion Molecule 1 (sVCAM-1) and Soluble Intercelular Adhesion Molecule 1 (sICAM-1) in Dengue Hemorrhagic Fever (supervised by Uleng Bahrun and Isra Wahid)

    This study aims to analyze of correlation between the levels of IL-18; and sVCAM-1 and sICAM-1 in patients with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF).

    This cross-sectional study was conducted on 69 samples of dengue fever patients at Hasanuddin University Hospital, who met the inclusion criteria.

    The results showed that the average level of IL-18 was 107.17 80.63 pg/ml, and the mean levels of IL-18 dengue fever with spontaneous bleeding and without spontaneous bleeding were 84.12 72.84 and 169.88 67.58 (p

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    PRAKATA v

    ABSTRAK vii

    ABSTRACT viii

    DAFTAR ISI ix

    DAFTAR TABEL xiii

    DAFTAR GAMBAR xiv

    DAFTAR LAMPIRAN xv

    DAFTAR SINGKATAN xvi

    BAB I PENDAHULUAN 1

    A. Latar Belakang 1

    B. Rumusan Masalah 4

    C. Tujuan Penelitian 4

    D. Manfaat Penelitian 5

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

    A. Demam Berdarah Dengue 6

    B. Epidemilogi 7

    C. Etiologi 12

    D. Patogenesis 14

    E. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue 21

    F. Diagnosis Laboratorium 22

  • G. Klasifikasi Kasus dan Berat Penyakit 24

    H. Pemeriksaan Penunjang 26

    I. IL-18 28

    1. Peran IL-18 28

    2. Informasi Struktural 29

    3. Reseptor 31

    4. Aktivitas Bilogikal 31

    J. Peran IL-18 dalam DBD 33

    K. Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) 34

    1. Struktur ICAM-1 34

    2. Ligan untuk ICAM-1 36

    3. Fungsi ICAM-1 38

    L. Vascullar Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1) 43

    M. Peran ICAM-1 dan VCAM-1 pada DBD 45

    N. Hubungan Antara IL-18 dengan Ekspresi Adhesi Molekul

    (sVCAM-1 dan sICAM-1) 50

    O. Kerangka Teori 58

    P. Kerangka konsep 59

    BAB III METODE PENELITIAN 60

    A. Jenis Penelitian 60

    B. Tempat dan Waktu Penelitian 60

    C. Populasi dan Sampel 60

    1. Populasi 60

  • 2. Sampel 60

    D. Kriteria Sampel 61

    1. Kriteria Inklusi 61

    2. Kriteria Eksklusi 62

    E. Definisi Operasional 62

    F. Persiapan Alat dan Bahan 63

    1. Alat Penelitian 63

    2. Bahan Penelitian 63

    G. Cara Kerja 64

    1. Subjek Penelitian 64

    2. Pengumpulan Sampel 64

    3. Pemeriksaan NS1 64

    4. Pemeriksaan Rapid IgM dan IgG 65

    5. Pemeriksaan IL-18 65

    6. Pemeriksaan sICAM-1 66

    7. Pemeriksaan sVCAM-1 67

    H. Analisis Data 67

    I. Alur Penelitian 69

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 70

    A. Hasil 70

    1. Karateristik Subjek Penelitian 70

    2. Analisis IL-18, sICAM-1dan sVCAM-1 73

    3. Uji Korelasi IL-18 dengan sICAM dan sVCAM-1 75

  • B. Pembahasan 78

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 83

    A. Kesimpulan 83

    B. Saran 83

    DAFTAR PUSTAKA 84

  • DAFTAR TABEL

    Nomor Halaman

    1. Karateristik subjek penelitian 72

    2. Analisis kadar IL-18, sICAM-1 dan sVCAM-1 pada pasien

    demam berdarah Dengue 73

  • DAFTAR GAMBAR

    Nomor Halaman

    1. Distribusi global beresiko dengue 7

    2. Kasus DBD per bulan di Indonesia tahun 2010-2011 10

    3. Grafik angka kematian demam berdarah dengue per provinsi

    di Indonesia Tahun 2011 11

    4. Struktur virus dengue 13

    5. Struktur virus dengue melalui mikroskop krioelektron 14

    6. Model patogenitas DD, DBD, dan DSS dalam perspektif integrasi 18

    7. Imunopatogentias DBD 19

    8. Batas membrane ICAM-1 35

    9. 4 Langkah transmigrasi leukosit 38

    10. Kebocoran plasma 47

    11. Fungsi effektor markofag 51

    12. Model skematik IL-18 52

    13. Regulasi molekul perekat sel endotel dan leukosit 54

    14. Proses multi langkah migrasi leukosit 56

    15. Grafik boxplott kadar IL-18 pada derajat DBD 74

    16. Diagram scatter menunjukan korelasi antara kadar IL-18

    dan sICAM-1 76

    17. Diagram scatter menunjukan korelasi antara kadar IL-18

    dan sVCAM-1 77

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Nomor Halaman

    1. Surat persetujuan komisi etik 92

    2. Surat izin penelitian dari Rs.UNHAS 93

    3. Data-data penelitian 94

    4. Prosedur kerja HUMAN IL-18 eBIOSCIENCE ELISA KIT 96

    5. Prosedur kerja HUMAN sICAM-1 eBIOSCIENCE ELISA KIT 99

    6. Prosedur kerja HUMAN sVCAM-1 eBIOSCIENCE ELISA KIT 101

  • aa

    ADE

    Ae

    ALT

    AST

    CFR

    DBD

    DD

    DSS

    dkk

    DNA

    E

    ELISA

    Fc

    Ht

    ICAM-1

    ICE

    IFN

    IL

    Asam amino

    Antibody dependent enhancement

    Aedes

    Alanin aminotransferase

    Aspartat aminotransferase

    Case fatality rate

    Demam berdarah dengue

    Demam dengue

    Dengue shock syndrome

    Dan kawan-kawan

    Deoxyribonucleic acid

    Envelope (protein virus)

    Enzyme linked immunosobend assay

    Fragmen crystallizable

    Hematokrit

    intercellular adhesion molecule-1

    IL-1-converting enzyme

    Interferon gamma

    Interleukin

    DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

    Lambang/Singkatan Arti dan Keterangan

  • IR

    LFA

    MAC

    MMP

    NF

    NK

    NS

    KLB

    ml

    PI-3kinase

    RNA

    TGF-1

    Th

    TNF

    L

    VCAM-1

    VLA

    WHO

    Insiden rate

    Leucocyte function associated antigen

    Membrane attack complex

    Matrix metalloproteinase

    Nuclear factor kappa Beta

    Natural killer

    Non structural (protein virus)

    Kejadian luar biasa

    Milliliter

    phosphatidylinositol 3-kinase

    Ribonucleic acid

    Transforming Growth Factor 1

    T helper (Sel T)

    Tumor Necrosis Factor

    mikroliter

    vascular cell adhesion molecule-1

    Very late activation molecule

    World Health Organization

    DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

    Lambang/Singkatan Arti dan Keterangan

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

    oleh virus Dengue yang mengakibatkan demam akut. Penyakit ini terdapat

    4 serotipe virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypthy dan

    Aedes albopictus (Sumarmo., 2002).

    Demam berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan

    subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

    pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahun. Sementara itu,

    terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization

    (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD

    tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue masih

    merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di

    Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin

    bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan

    penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota

    Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24

    orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %), dan

    sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia

    (Subdirektorat Arbovirosis., 2009).

  • 2

    Kota Makassar sebagai salah satu kota di Propinsi Sulawesi Selatan

    yang endemis DBD, cenderung mengalami penurunan kasus dari tahun

    ke tahun. Pada tahun 2008, kasus DBD yang ditemukan sebanyak 262

    kasus. Angka ini menjadi 255 pada tahun 2009 dan turun menjadi 182

    kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, angka ini mengalami

    penurunan yang sangat signifikan menjadi 85 kasus. Sedangkan pada

    tahun 2012 menjadi 84 kasus. Kecenderungan penurunan kasus DBD

    di Makassar perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor penyebabnya. Hal ini

    dapat dicapai dengan membandingkan daerah yang berbeda status

    endemisitas agar dapat memberikan arah penanganan semaksimal

    mungkin dan dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam menangani

    kasus DBD (Rahim dkk., 2013).

    Perjalanan penyakit infeksi virus Dengue sulit diramalkan.

    Penderita yang pada saat masuk rumah sakit keadaan umumnya tampak

    baik dan tanda vital normal pada saat masuk rumah sakit keadaan

    umumnya tampak baik dan tanda vital normal, dalam waktu singkat dapat

    memburuk dan tidak tertolong. Penderita DBD semula yang tidak berat

    berdasarkan parameter klinis dan laboratorium, namun mendadak rejatan

    sampai meninggal, sebaliknya ada penderita DBD yang berat berdasarkan

    parameter klinis dan laboratorium namun ternyata selamat dan sembuh

    tanpa gejala sisa (Soedarmo dkk., 2002).

    Patogenesis DBD belum diketahui secara pasti. Beberapa

    penelitian klinisi mendukung hipotesis bahwa produksi sitokin penting

  • 3

    dalam patogenesis DBD. IL-18 mula-mula digambarkan sebagai faktor

    yang menginduksi IFN , sitokin proinflamasi dan stimulasi penting atau

    mediator respon imun Th1 dan Th2, meningkatkan sel sitotoksik NK

    (Pohan et al., 2004).

    Pada dengue, IL-18 ditemukan sekitar 40 % pada pasien dengan

    sakit ringan. Peningkatan kepositifan bersamaan dengan terjadinya sakit

    keras dan meningkat sekitar 80% pada pasien dengan DBD derajat 4. Hal

    ini tidak sama dengan IL-12 yang hanya meningkat pada DD (demam

    dengue) dan tidak ada pada pasien dengan DBD derajat 3 dan 4 dan

    berlawanan dengan yang diharapkan, seperti semua tipe sitokin Th2 yang

    meningkat pada DBD derajat 4. Kadar IL-12 meningkat pada demam

    dengue, tetapi tidak dapat dideteksi pada pasien dengan DBD derajat 3

    dan 4. Saat kadar Transforming Growth Factor 1 (TGF-1) pada pasien

    dengue dengan korelasi keparahan penyakit dan menunjukan kebalikan

    hubungan dengan IL-12. Ini mengindikasi kemungkinan peran sitokin sel

    Th1 pada perlindungan dan tipe sitokin sel Th2 pada patogenesis DBD

    (U.C. Chaturvedi., 2000).

    Mekanisme terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dan

    perdarahan pada DBD belum diketahui dengan jelas. Pada otopsi kasus

    DBD tidak dijumpai adanya infeksi virus dengue pada sel endotel kapiler.

    Pada percobaan in vitro dengan kultur sel endotel, ternyata sel endotel

    akan mengalami aktivasi jika terpapar dengan monosit yang terinfeksi

    virus dengue. Diduga setelah virus dengue berikatan dengan antibodi

  • 4

    maka komplek ini akan melekat pada monosit karena monosit

    mempunyai Fc receptor. Monosit akan menghasilkan sitokin yang akan

    menyebabkan sel endotel teraktivasi sehingga mengekspresikan molekul

    adhesi seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan

    intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan TNF- dan IL-

    6 pada DBD telah dilaporkan oleh Hadinegoro. Sedangkan Suharti

    menemukan peningkatan TNF, IL-1 dan IL-1Ra pada DBD

    (Rahajuningsih., 2006).

    Banyak penelitian menyebutkan bahwa adanya peran sitokin yang

    akan menyebabkan sel endotel teraktivasi dan menimbulkan perubahan

    pada fungsi endotel. Penelitian ini dilakukan karena penulis tertarik untuk

    memeriksa kemungkinan peran IL-18 dalam mempengaruhi mediasi

    adhesi molekul pada pasien DBD.

    B. Rumusan Masalah

    Apakah terdapat korelasi antara kadar IL-18 dengan kadar

    sVCAM-1 dan sICAM-1 pada penderita Demam Berdarah Dengue (DBD)?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Membuktikan adanya korelasi antara kadar IL-18 dengan kadar

    sVCAM-1 dan sICAM-1 pada penderita Demam Berdarah Dengue

    (DBD).

  • 5

    2. Tujuan Khusus

    A. Mengetahui kadar IL-18 pada penderita DBD.

    B. Mengetahui kadar sVCAM-1 dan sICAM-1 pada penderita DBD.

    C. Mengetahui korelasi antara IL-18 dengan sVCAM-1 pada penderita

    DBD.

    D. Mengetahui korelasi antara IL-18 dengan sICAM-1 pada penderita

    DBD.

    C. Manfaat Penelitian

    1. Dapat memberikan gambaran pengetahuan tentang

    imunopatogenesis DBD.

    2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian

    selanjutnya untuk mengetahui mekanisme hubungan antara IL-18

    dan ekspresi molekul adhesi (sVCAM-1 dan sICAM-1) sehingga

    dapat dipertimbangkan untuk intervensi terapi maupun penanda

    DBD.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Demam Berdarah Dengue

    Demam berdarah Dengue adalah penyakit demam akut yang

    disebabkan oleh virus Dengue dan ditandai oleh empat gejala klinis utama

    yaitu demam tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tanda-

    tanda kegagalan sirkulasi, sedang pada pemeriksaan laboratorium

    didapatkan hemokosentrasi dan trombositopenia (Soegijanto, 2006).

    Infeksi virus Dengue memberi gambaran klinik dari asimtomatik,

    undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD), demam berdarah

    dengue (DBD) dengan rembesan plasma yang dapat menimbulkan syok

    (sindrom syok dengue, DSS) (WHO, 2009).

    Virus dengue merupakan penyebab dari penyakit DBD. Virus

    dengue terdapat pada liur nyamuk Aedes aegypti yang masuk ke

    pembuluh darah manusia bersama dengan saat pengisapan darah. Virus

    dengue termasuk dalam kelompok Arbovirus (Arthopoda Borne Virus),

    yaitu virus yang melalui sebagian siklus hidupnya dalam tubuh serangga.

    Virus dengue ini ada 4 serotipe DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi

    oleh salah satu serotipe yang ini, infeksi untuk kedua kalinya oleh serotipe

    virus yang berbeda akan memberi risiko terjadinya keadaan yang lebih

    berat (Suroso., 2004).

  • 7

    B. Epidemilogi DBD

    Dengue merupakan virus penyakit di dunia yang sangat cepat

    menyebar lewat nyamuk. Pada 50 tahun terakhir, insiden meningkat 30

    kali lipat dengan bertambah luas secara geografi untuk negara-negara

    baru dan di dekade yang sekarang, mulai dari desa sampai kota.

    Diperkirakan 50 juta infeksi dengue terjadi setiap tahunnya dan kira-kira

    2,5 milyar orang hidup di negara-negara yang endemik (WHO., 2009).

    Untuk masing-masing negara, pentingnya mengenal dengue

    sebagai penyakit dan masalah kesehatan masyarakat yang tidak dapat

    diperkirakan terlalu tinggi, seperti yang terlihat dalam ledakan KLB demam

    berdarah baru-baru ini di Brasil dan Pakistan. Pada tahun 2008, di negara

    Rio de Jainero saja, wabah yang menyebabkan lebih dari 158.000 laporan

    kasus, lebih dari 9000 pengakuan rumah sakit, dan 230 meninggal antara

    Januari dan April (WHO., 2012).

    Gambar 1. Distribusi global beresiko dengue (Penentepan status resiko

    berdasarkan kombinasi laporan dari WHO, Pusat Amerika Serikat untuk pencegahan dan Kontrol penyakit, Gideon online, ProMED, DengueMap, Eurosurveillance and literatur masyarakat (WHO., 2012).

  • 8

    Gangguan transmisi dengue di banyak Wilayah WHO Amerika

    muncul dari kampanye pemberantasan Ae.aegypti di Amerika, terutama

    selama 1960-an dan awal 1970-an. Namun, pengendalian vektor dan

    pengawasan kontrol yang tidak berkelanjutan dan berikutnya ada

    pengerumunan ulang pada nyamuk, diikuti dengan wabah di Karibia, dan

    Amerika Tengah dan Selatan. Demam berdarah telah menyebar dengan

    wabah siklus yang terjadi setiap 3-5 tahun. Wabah terbesar terjadi pada

    tahun 2002 dengan lebih dari 1 juta kasus yang dilaporkan (WHO., 2009)

    Dari tahun 2001 hingga 2007, lebih dari 30 negara dari Amerika

    diberitahu total 4.332.731 kasus demam berdarah. Jumlah kasus demam

    berdarah dengue (DBD) pada periode yang sama adalah 106.037. Jumlah

    total kematian DBD dari tahun 2001 sampai 2007 adalah 1.299, dengan

    tingkat kematian kasus DBD sekitar 1,2 %. Keempat serotipe dari virus

    dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4) beredar di wilayah tersebut.

    Di Barbados, Kolombia, Republik Dominika, El Salvador, Guatemala,

    Guyana Perancis, Meksiko, Peru, Puerto Rico dan Venezuela, keempat

    serotipe secara bersamaan diidentifikasi dalam satu tahun selama periode

    ini. Dengan sub-region Amerika, dengue ditandai seperti yang dijelaskan

    di bawah ini . semua data berasal dari Organisasi Kesehatan Pan Amerika

    ( PAHO ) (WHO., 2009).

    Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan

    sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

    pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu,

  • 9

    terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization

    (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD

    tertinggi di Asia Tenggara (Soepardi dkk.,2010).

    Kasus DBD di Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 65.432

    kasus (Incidence Rate=27,56 per 100.000 penduduk) dengan 595

    kematian (CFR (case fatality rate) = 0,91). Incidence rate (IR) tertinggi

    ada di Propinsi Sulawesi Tengah, yakni sebesar 76,16 per 100.000

    penduduk sedangkan CFR tertinggi ada di Propinsi Gorontalo yakni

    sebesar 8,70%. Kasus DBD di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun yang

    sama sebesar 1.520 kasus (IR=18,71) dengan 11 kematian

    (CFR=0,72%). Secara nasional, kasus DBD di Propinsi Sulawesi

    Selatan berada di bawah angka rata-rata nasional, namun tetap perlu

    mendapatkan perhatian karena DBD tetap endemis di beberapa

    kabupaten/kota (Kemenkes RI., 2012).

    Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat

    selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan

    persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari

    2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota

    pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009

    tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah

    kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus

    pada tahun 2009 (Pusat Data dan Informasi., 2009).

  • 10

    Gambar 2. Kasus DBD Per Bulan di Indonesia Tahun 2010-2011

    .(Kementerian Kesehatan RI. 2011)

    Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa

    daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan, namun sejak awal

    tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relatif

    menurun sebagaimana tampak pada grafik berikut. DBD pertama kali

    dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48

    penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD

    telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia (Kementerian Kesehatan

    RI., 2011).

    Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung

    lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari

    41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi

    belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita

    cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak

    hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun

  • 11

    2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196

    kematian (CFR: 0,80 %) (Kementerian Kesehatan RI., 2011).

    Gambar 3 Grafik angka kematian demam berdarah dengue per provinsi di

    Indonesia tahun 2011(Kementerian Kesehatan RI. 2011).

    Laporan P2PL, kasus DBD di Sulawesi Selatan pada tahun 2011

    kategori tinggi pada Kab. Bulukumba, Gowa, Maros, Bone dan Luwu (130-

    361 kasus), terendah kabupaten/kota yaitu Selayar, Sinjai, dan Tana

    Toraja (0-19) dan kabupaten yang tidak terdapat kasus DBD yaitu

    Kabupaten Bantaeng, dan berdasarkan laporan P2PL, insiden rate

    DBD di Sulawesi Selatan pada tahun 2011 sebesar 21.80 per 100.000

    penduduk dengan CFR 15,55 %, angka IR tertinggi adalah Kota Palopo

    228 per 100.000, dan terendah di Kabupaten Selayar dan Kabupaten

    Tanatoraja IR 0%. Rata-rata angka insiden rate di Provinsi Sulawesi

    Selatan cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan

    target nasional (36 per 100.000 penduduk). Hal ini menunjukkan upaya

  • 12

    peningkatan pencegahan dan penanggulangan kasus DBD mulai baik,

    namun hal ini masih perlu dukungan berbagai pihak (Sari dkk., 2013).

    Kasus DBD di Kabupaten Maros dalam 3 tahun terakhir

    (2010-2012) terlaporkan sebanyak 442 kasus dengan rincian tahun 2010

    yaitu 276 kasus, tahun 2011 yaitu 69 kasus dan tahun 2012 yaitu 97

    kasus. Ditingkat Kecamatan distribusi kasus DBD dalam 3 tahun terakhir

    (2010-2012) tertinggi berada di wilayah Kecamatan Turikale yaitu

    126 kasus sementara terendah di Kecamatan Simbang yaitu 8 kasus

    (Dinkes Kab.Maros., 2012).

    C. Etiologi

    Penyakit demam Dengue dan DBD pada seseorang dapat

    disebabkan oleh virus Dengue termasuk family Flaviviridae dan harus

    dibedakan dengan demam yang disebabkan virus Japanese Encephalitis

    dan yellow fever (demam kuning). Ditemukan empat serotipe virus

    Dengue dan dapat dibedakan dengan sifat biotipe. Semua family

    Flaviviridae dapat menunjukan bentuk yang karakteristik meliputi struktur

    genome dan sifat untuk melipatgandakan dirinya. (Soegijanto., 2006)

    Genom virus Dengue menyandi 10 produk gen: C (capsid), prM (matrix), E

    (envelope), dan protein-protein nonstruktural termasuk NS-1, NS-2A,

    NS-2B, NS-3, NS-4A, NS-4B, dan NS-5 (Rizal., 2011).

    Protein E berinteraksi dengan reseptor seluler sehingga

    memprakarsai proses masuknya virus, rangkaian asam aminonya

    menentukan aktivitas penetralisiran antibodi yang menggolongkan virus

  • 13

    Dengue (DEN) menjadi 4 serotipe: DEN-1, 2, 3 dan 4 (Rizal., 2011).

    Serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) secara

    antigenik sangat mirip satu dengan lainnya, tetapi tidak dapat

    menghasilkan proteksi silang yang lengkap setelah terinfeksi oleh salah

    satu tipe. Keempat serotipe virus dapat ditemukan di berbagai daerah di

    Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan

    diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat

    (Soegijanto., 2006).

    Gambar 4. Struktur virus Dengue

    (http://www.nature.com/scitable/topicpage/dengue-viruses-22400925)

    Protein-protein nonstruktural berfungsi dalam replikasi RNA dan

    pemrosesan protein virus. Protein NS-1 satu-satunya dengan bentuk

    terlarut yang dapat dideteksi dalam sirkulasi. Beberapa protein

    nonstruktural juga memainkan peran dalam memodifikasi sistem imun,

    seperti NS-2A, NS-2B dan NS-4B yang berpengaruh pada jalur sinyal

    interferon 1 dengan menginduksi produksi sitokin, NS-5 menginduksi

    produksi interleuikin 8. NS-3 berfungsi ganda dalam aktivitas helicase

  • 14

    (melepas rantai DNA) dan protease, di mana aktivitas proteasenya

    memerlukan NS-2B sebagai kofaktor (Rizal., 2011).

    Dalam replikasi virus, NS-5 berfungsi sebagai S-adenosine

    methyltransferase dan RNA-dependent RNA polymerase (Rizal., 2011).

    Gambar 5. Struktur virus Dengue melalui Mikroskop Krioelektron.

    (Rizal. 2011)

    D. Patogenesis

    Beberapa hipotesis untuk patogenesis dengue infeksi virus telah

    diusulkan. Diantaranya, teori infeksi antibody dependent enhancement

    (ADE) memiliki peran yang lama. Virus Dengue setelah menginfeksi

    manusia akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan

    mengaktifkan makrofag. Segera terjadi viremia selama dua hari sebelum

    timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Tubuh

    akan melepas antibodi yang spesifik terhadap protein dari virus Dengue.

    Reaksi silang terhadap serotip virus Dengue oleh antibodi anti-virus

    Dengue non neutralizing akan memudahkan infeksi dengue pada monosit.

    Awalnya akan terbentuk kompleks partikel virus Dengue-antibodi anti-

    protein non struktural tipe 1 virus Dengue (anti-NS1 VD). Kemudian

  • 15

    dengan perantaran reseptor Fc, virus Dengue lebih mudah masuk

    kedalam monosit dan akan merangsang pengeluaran mediator pro-

    inflamasi yang memperberat gejala klinis. Keadaan tersebut di kenal

    sebagai mekanisme Antibody Dependent Enhancement (ADE) (Muhar

    dkk., 2013; Lei et al., 2001).

    Hipotesis ADE dirumuskan untuk menjelaskan temuan bahwa

    manifestasi parah DBD/DSS (Dengue shock syndrome) terjadi pada anak

    yang mengalami infeksi virus dengue kedua yang memiliki serotipe yang

    berbeda dari sebelumnya. Sebenarnya sudah ada sebelumnya antibodi

    terhadap virus dengue yang tidak bisa menetralisir melainkan

    meningkatkan infeksi in vitro. Sera yang diperoleh sebelum infeksi dari

    anak-anak yang kemudian berkembang DBD/DSS lebih mungkin untuk

    menunjukan ADE in vitro daripada mereka yang hanya DD. Bayi yang

    baru lahir kurang dari 1 tahun yang memperoleh IgG antibodi antidengue

    ibu juga rentan untuk berkembang menjadi DBD/DSS setelah infeksi

    primer (Lei et al., 2001).

    Pendekatan patogenesis DBD dengan penyulit bertitik tolak dari

    perjalanan imunopatogenesis DBD. Antigen Dengue ditemukan di

    berbagai sel, termasuk monosit, Kupffer, makrofag alveoli, limfosit darah

    tepi dan limpa, juga sel endotel di hepar dan paru-paru. Monosit/makrofag

    dan limfosit merupakan sel-sel utama yang diinfeksi oleh virus Dengue.

    Pada tahap awal virus dengue akan menyerang sel-sel makrofag dan

    bereplikasi dalam sel Langerhans dan makrofag di limpa. Selanjutnya,

  • 16

    akan menstimulasi pengaturan sel T, reaksi silang sel T aviditas rendah

    dan reaksi silang sel T spesifik, yang akan meningkatkan produksi spesifik

    dan reaksi silang antibodi (Lardo., 2013; Rizal., 2011).

    Pada tahap berikutnya terjadi secara simultan reaksi silang

    antibodi dengan trombosit, reaksi silang antibodi dengan plasmin dan

    produk spesifik. Proses ini kemudian akan meningkatkan peran antibodi

    dalam meningkatkan titer virus dan di sisi lain antibodi bereaksi silang

    dengan endotheliocytes (Lardo S., 2013).

    Pada tahap berikutnya terjadi efek replikasi sel mononuklear. Di

    dalam sel endotel, terjadi infeksi dan replikasi selektif dalam

    endotheliocytes sehingga terjadi apoptosis yang menyebabkan disfungsi

    endotel. Di sisi lain, akan terjadi stimulasi mediator yang dapat larut

    (soluble), yaitu TNF , INF-, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, TGF

    , C3a, C4b, C5a, MCP-1,CCL-2, VEGF, dan NO yang menyebabkan

    ketidakseimbangan profil sitokin dan mediator lain; pada tahap berikutnya

    terjadi gangguan koaguasi dan disfungsi endotel (Lardo., 2013).

    Pada hati, akan terjadi replikasi dalam hepatosit dan sel kuppfer.

    Terjadi nekrosis dan atau apoptosis yang menurunkan fungsi hati,

    melepaskan produk toksik ke dalam darah, meningkatkan fungsi

    koagulasi, meningkatkan konsumsi trombosit, aktivasi sistem fibrinolitik,

    dan menyebabkan gangguan koagulasi (Lardo., 2013).

    Pada sumsum tulang, terjadi replikasi dalam sel stroma sehingga

    terjadi supresi hemopoietik yang berkembang ke arah gangguan

  • 17

    koagulasi. Sedangkan stimulasi terhadap sistem komplemen dan sel

    imunitas didapat akan meningkatkan koagulasi, menurunkan mediator

    larut (soluble), terjadi ketidakseimbangan profil sitokin sehingga

    berkembang menjadi gangguan koagulasi (Lardo., 2013).

    Infeksi Dengue terhadap sel-sel monosit, makrofag, dan dendrit

    menyebabkan produksi mediator-mediator yang mempengaruhi fungsi sel

    endotel. Monosit yang terinfeksi menginduksi perubahan permeabilitas

    sel-sel endotel umbilikus manusia karena terkait dengan pengaruh TNF-

    (Rizal., 2011).

    Infeksi Dengue dapat menginduksi maturasi sel dendrit. Melalui sel

    dendrit virus Dengue dapat memicu ekspresi enzim-enzim matrix

    metalloprotease, MMP-2 dan MMP-9, meningkatkan permeabilitas yang

    berakibat kebocoran plasma dan perdarahan. Perlakuan sel-sel endotel

    umbilikus manusia dengan pembiakan sel-sel dendrit yang terinfeksi juga

    menunjukkan kenaikan permeabilitas, berkaitan dengan turunnya respon

    Platelet Endothelial Cell Adhesion Molecule-1, ekspresi VE-cadherin, dan

    reorganisasi dari F-actin. Isolasi jaringan kulit menunjukkan bahwa sel

    dendrit dapat pula terinfeksi lokal oleh inokulasi virus Dengue (Rizal.,

    2011).

  • 18

    Gambar 6 Model patogenesis demam dengue (DD), DBD, dan DSS

    dalam perspektif integrasi. Garis panah hitam menunjukkan proses yang terjadi pada organ atau endotel. Kotak berwarna menunjukkan terjadinya kondisi patologi. Sedangkan panah merah menunjukkan pengaruh pada endotel dan sistem hemostasis (Lardo., 2013).

    Aktivitas sel T lebih tinggi pada DBD dibanding pada demam

    dengue menunjukkan bahwa pada infeksi sekunder sel T CD8+ spesifik

    berjumlah lebih banyak dari infeksi sebelumnya. Sitokin dan kemokin yang

    diinduksi oleh sel- sel T berdampak pada permeabilitas vaskuler sebagai

    penyebab kebocoran plasma DBD (Rizal., 2011).

    Tingginya risiko DBD pada infeksi sekunder memberi gambaran

    bahwa antibodi dari reaksi silang yang tidak menetralisir antigen virus

  • 19

    sebelumnya, dapat meningkatkan penyerapan virus oleh sel pejamu dan

    akan memicu replikasinya. Kemudian sistem imun bawaan dan adaptif

    akan teraktivasi secara intensif. Transfer pasif antibodi bergantung pada

    nitrit oksida dan caspase (cysteine-aspartic protease) yang berperan

    dalam berbagai peubahan seperti perdarahan, koagulopati, kenaikan

    enzim hepar, dan kematian sel endotel. Aktivasi reaksi silang sel-sel T

    spesifik Dengue dapat menurunkan respons pembersihan virus dan

    memicu produksi mediator-mediator proinflamasi dan vasoaktif (Rizal.,

    2011).

    Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel-sel T dan sel-sel

    yang terinfeksi berkombinasi dengan komplemen yang terakvifasi protein

    virus dan kompleks imun memudahkan peningkatan permeabilitas

    vaskuler (gambar 2). Sel-sel yang terinfeksi virus Dengue dapat

    memproduksi sejumlah sitokin proinflamasi termasuk TNF-, IL-6, IL-8,

    Monocyte Chemoattractant Protein-1, dan RANTES (Rizal., 2011).

    Gambar 7. Imunopatogenesis DBD. (Rizal,2011)

  • 20

    Sejumlah penyelidikan menunjukkan beban virus yang lebih tinggi

    di antara pasien DBD dibanding demam Dengue. Beban virus mencapai

    puncaknya saat periode febris dan menurun drastis saat afebris. Tingkat

    NS-1 dijumpai lebih tinggi pada kondisi yang lebih berat, sesuai

    dengan perannya dalam mengaktivasi komplemen penyebab kebocoran

    plasma. Antibodi terhadap NS-1 yang terikat sel endotel dapat memicu

    apoptosisnya, sementara pada trombosit akan memicu aktivasi platelet.

    Virus Dengue juga berperan mengubah produksi faktor koagulasi sel

    endotel seperti naiknya respons plasminogen jaringan, trombomodulin,

    Protease Activated Receptor-1, tissue factor receptor, turunnya respons

    tissue factor inhibitor, dan aktivasi protein C (Rizal., 2011).

    Paparan primer virus menginduksi respons imun humoral

    (antibodi) dan seluler (sel T). Saat infeksi sekunder dengan serotipe

    lain, antibodi (dari reaksi silang sebelumnya) mengikat virus dan

    meningkatkan serapan virus via reseptor Fc, sehingga replikasi virus

    dan antigen yang mengaktifasi reaksi silang sel-sel T spesifik Dengue

    akan meningkat pula. Virus Dengue berpengaruh langsung pada sel

    endotel dengan memodulasi molekul permukaan sel dan ekspresi reseptor

    sitokin. Mediator yang dilepaskan oleh sel T dan sel-sel yang

    terinfeksi virus dapat menaikkan permeabilitas vaskuler dan koagulopati

    (Rizal., 2011).

  • 21

    E. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue

    Demam Dengue adalah penyakit demam akut dengan sakit kepala,

    nyeri retro orbital, mialgia, artralgia, ruam, leukopenia, dan

    trombositopenia ringan. Demam bifasik dan ruam yang paling klasik dari

    gambaran karateristik demam berdarah. Gejala tinggi mendadak

    berlangsung selama 2-7 hari. Demam berdarah dengue merupakan

    sindrom permeabilitas pembuluh darah akut disertai kelainan pada

    hemostasis. Gambaran klinis termasuk kebocoran plasma,

    kecenderungan perdarahan, dan keterlibatan hati. Kebocoran kapiler

    berkembang pesat selama periode jam, awal atau pada akhir periode

    demam ketika gejala klasik DD sembuh. Efusi pleura, asites, dan

    hemokonsentrasi adalah indikasi kehilangan volume intravaskular. Hal ini

    dapat dengan cepat berkembang menjadi syok jika pasien tidak menerima

    resusitasi cairan intravaskular (Lei et al., 2001).

    Gambaran Klinikal Demam Berdarah dengue (Malavige dkk., 2004)

    a. Secara umum

    Demam tinggi, berselang. Sakit kepala parah (terutama retro-orbital).

    Flushing. Myalgia dan arthralgia. Muntah. Anorexia. Nyeri perut akut.

    b. Manifestasi Perdarahan

    Epistaksis, Pendarahan dari gusi, peteki dan ekimosis, hematemesis

    dan melena. Bercak atau menorrhagia pada wanita.

  • 22

    c. Fitur kebocoran plasma

    Gangguan peredaran darah (tekanan darah rendah, takikardia,

    tekanan nadi sempit, dan miskin waktu pengisian kapiler).

    Periserositis (efusi pleura, kadang-kadang asites perikarditis).

    d. Komplikasi

    Ensefalopati dan ensefalitis, Gagal hati, Miokarditis, Koagulasi

    intravaskular diseminata menyebabkan perdarahan masif.

    Definisi DBD menurut DBD (Malavige dkk., 2004)

    Seorang pasien dengan empat kriteria sebagai berikut:

    1. Tiba-tiba demam akut tinggi selama 2-7 hari.

    2. Manifestasi perdarahan dengan setidaknya uji tourniquet positif.

    3. Jumlah trombosit, (

  • 23

    fase akhir penyakit, metode serologi bisa menjadi pilihan untuk diagnosis.

    Respon antibodi untuk infeksi berbeda-beda menurut status imun host.

    Ketika infeksi dengue terjadi pada seseorang yang sebelumnya belum

    terinfeksi dengan flavivirus atau imunisasi dengan vaksin flavivirus.

    Karateristik respon antibodi primer pasien meningkat lambat. (WHO,

    2009).

    DBD ditegakan berdasarkan diagnosis kriteria (Asih et al., 2012):

    1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari hari biasanya

    bifasik.

    2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut : uji bendung

    positif; petekie, ekimosis, atau pupura; perdarahan mukosa;

    hematemesis dan melena.

    3. Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai

    umur dan jenis kelamin.

    b. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites,

    hipoproteinemia, hiponatremia.

    Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (Asih et al., 2012) yaitu:

    Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya

    manifestasi perdarahan adalah uji turniket (tourniquet).

    Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan

    perdarahan lain.

  • 24

    Derajat 3 : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

    lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)

    atau hipotensi (sistolik menurun sampai 80 mmHg atau

    kurang), sianosis di sekitar mulut, kulit dingin, dan

    pasien tampak gelisah.

    Derajat 4 : Syok berat (profound shok) yaitu nadi tidak dapat diraba

    dan tekanan darah tidak teratur

    G. Klasifikasi Kasus dan Berat Penyakit

    Sekarang ini disepakati bahwa dengue adalah suatu penyakit yang

    memiliki presentasi klinis bervariasi dengan perjalanan penyakit dan

    luaran (outcome) yang tidak dapat diramalkan (Sudjana., 2010).

    Diterbitkannya panduan World Health Organization (WHO) terbaru

    di tahun 2009 lalu, merupakan penyempurnaan dari panduan sebelumnya

    yaitu panduan WHO 1997. Penyempurnaan ini dilakukan karena dalam

    temuan di lapangan ada hal-hal yang kurang sesuai dengan panduan

    WHO 1997 tersebut. Diusulkan adanya redefinisi kasus terutama untuk

    kasus infeksi dengue berat. Keberatan lain dari panduan WHO 1997

    adalah karena penyusunannya banyak mengambil rujukan pada kasus

    infeksi dengue di Thailand, yang walaupun sangat berharga, tetapi tidak

    dapat mewakili semua kasus di belahan dunia lain yang memiliki

    perbedaan-perbedaan. Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak

    memenuhi ke empat kriteria WHO 1997 yang dipersyaratkan, namun

  • 25

    terjadi syok. Sehingga disepakati panduan terbaru WHO tahun 2009

    (Sudjana., 2010).

    Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah 3: (WHO., 2009)

    1. Dengue tanpa tanda bahaya (Dengue without warning signs),

    2. Dengue dengan tanda bahaya (Dengue with warning signs), dan

    3. Dengue berat (severe Dengue)

    Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya : (WHO., 2009)

    Dengue probable :

    1. Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue

    2. Demam disertai 2 dari hal berikut :

    a) Mual, muntah

    b) Ruam

    c) Sakit dan nyeri

    d) Uji torniket positif

    e) Lekopenia

    f) Adanya tanda bahaya

    3. Tanda bahaya adalah :

    a) Nyeri perut atau kelembutannya

    b) Muntah berkepanjangan

    c) Terdapat akumulasi cairan

    d) Perdarahan mukosa

    e) Letargi, lemah

    f) Pembesaran hati > 2 cm

  • 26

    g) Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah

    trombosit yang cepat

    Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran

    plasma tidak jelas)

    Kriteria dengue berat (WHO., 2009):

    1. Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS),

    akumulasi cairan dengan distress pernafasan.

    2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi

    3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan

    kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)

    Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan

    uji tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi

    sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan

    spesifisitasnya mencapai 82 % (WHO., 2009)

    H. Pemeriksaan Penunjang

    Kelainan utama DBD adalah adanya kebocoran plasma yang

    ditandai dengan adanya hemokosentrasi yang didefinisikan sebagai Ht

    >20% antara masa akut dan konvalesen. Adanya penumpukan cairan

    ekstravaskuler tercermin pula dalam efusi pleura dan ascites atau cairan

    peri/para organ dalm perut, meliputi hepar, lien, kandung empedu dan

    pankreas. Bila terdapat keraguan dalam menegakan diagnosis maka

    untuk menentukan adanya kebocoran plasma dapat dilakukan

    pemeriksaan pencitraan radiologis atau USG (Soegijanto., 2006).

  • 27

    Diagnosis Serologis (Samsi., 1997; Nimmanitya., 1993; Soegijanto., 2006)

    1. Uji Hambatan hemaglitinasi

    Pada umumnya penyakit yang disebabkan virus dapat

    dikonfirmasikan dengan pemeriksaan uji Hambatan hemaglutinasi

    (HI test). Untuk mengkofirmasikan penderita infeksi virus dengue

    disarankan pemeriksaan uji hemaglutinasi yang telah di modifikasi

    oleh Clarke dan Cosala dengan menggunakan sistem mikrotitrasi

    yang sudah lazim digunakan dimana-mana.

    2. Uji Netralisasi

    Variasi uji netralisasi telah dikembangkan untuk mengukur antibodi

    Dengue. Kepustakaan mengemukakan bahwa ukuran yang dipakai

    jika uji netralisasi ditemukan 50% reduksi plaque di jaringan sel

    LLCMK

    3. Uji Elisa Anti Dengue IgM

    Uji antibody-capture Elisa telah berhasil mengukur titer antibodi IgM

    spesifik terhadap virus dengue. IgM anti-Dengue timbul pada

    infeksi primer maupun sekunder dan adanya antibody IgM ini

    menunjukan adanya infeksi Dengue. IgM timbul sekitar hari ke 3

    dan kadarnya meningkat pada akhir minggu pertama sampai

    dengan minggu ke-3 dan menghilang pada minggu ke-6, sedang

    IgG timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar tertinggi pada hari

    ke-14, kemudian bertahan untuk berbulan-bulan. Pada infeksi

    sekunder IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebih kadar IgM.

  • 28

    Uji ini telah dipakai untuk membedakan infeksi virus Dengue dari

    infeksi virus Japanese B ensefalitis.

    4. Tes Dengue Blot

    Dalam kasus yang meragukan sangat ideal bila tersedia tes yang

    dapat memberikan hasil yang akurat dan cepat. Dewasa ini telah

    dipaparkan pemeriksaan yang sederhana, cepat dan sensitif yaitu

    tes Dengue Blot untuk IgM maupun IgG. Namun demikian dalam

    penilaiannya harus hati-hati karena adanya kemungkinan hasil

    positif palsu untuk IgM maupun IgG terlebih di daerah endemis

    DBD, karena kadar IgG masih tetap tinggi berbulan-bulan setelah

    infeksid Dengue dan tes ini pun kurang sensitif untuk infeksi primer.

    Dengan demikian diagnosis kerja/klinis DBD masih harus

    bertumpu pada pengamatan klinis dan semata-mata ditentukan dari

    hasil pemeriksaan serologi seperti apa yang dimulai cenderung

    terjadi dewasa ini.

    I. IL-18

    1. Peran IL-18

    Mengatur sintesis interferon-gamma (IFN-) adalah salah satu

    proses yang paling dikontrol dari sebuah respon imun. Memproduksi IFN-

    gamma, sebuah glikoprotein 34 kDa homodimeric, pada dasarnya

    diaktifkan oleh sel sel T Th 1 CD4+, sel T TC 1 CD8+, dan sel NK. (Billiau

    A.,1996). Untuk setiap sel, sekresi IFN-gamma dibatasi oleh ketersediaan

    IFN-gamma yang dirangsang sitokin seperti IL-12 dan TNF-alpha, yang

  • 29

    timbul dari aktivasi sel. Salah satu konsekuensi paling penting dari sekresi

    IFN- adalah aktivasi makrofag. Hal ini dicapai melalui induksi langsung

    oksigen reaktif dan nitrogen monoksida (NO), yang mengaktifkan berbagai

    respon anti-bakteri, anti-tumor dan anti-virus. Selain itu, kontribusi IFN-

    untuk aktivasi sel endotel, pengembangan sel Th1, dan peningkatan

    regulasi ekspresi MHC pada kedua APC profesional dan non-APC. Hal ini

    membuat regulasi IFN-gamma yang sangat penting langkah dalam skema

    keseluruhan respon inflamasi (Bradley et al., 1996).

    Dengan ditemukannya IL-18 (juga dikenal sebagai faktor induksi

    interferon-gamma, atau IGIF), sebuah molekul baru yang kini telah

    ditambahkan ke daftar regulator interferon. Disamping itu sedikit dari

    molekul seperti IL-12, TNF-alpha, dan IL-2, sitokin lain yang saat ini

    dikenal yang secara langsung menginduksi ekspresi IFN-gamma.

    Keberadaan interleukin baru ini dapat membantu dalam memahami

    hubungan banyak kejadian dengan aktivasi sel kekebalan tubuh

    (Okamura et al., 1995).

    2. Informasi Struktural

    Berat molekul IL-18 adalah 24 kDa, polipeptida non-glikosilasi yang

    tidak memiliki urutan sinyal klasik dan dikenali memiliki struktur mirip

    dengan IL-1. IL-18 disintesis sebagai propeptide lamban yang mengalami

    proteolitik pembelahan dengan baik oleh ICE (Enzim konversi interleukin -

    1 beta) atau jalur lain untuk menghasilkan molekul 18 kDa yang matang,

    bioaktif (Bazan et al., 1996). Pembelahan dalam 193 asam amino (aa)

  • 30

    propeptide manusia terjadi setelah Asp 36, sedangkan pembelahan dalam

    propeptide tikus 192 aa terjadi setelah Asp 35. Keduanya matang dan

    bentuk propeptide, IL-18 menunjukkan 64% identitas urutan aa dari tikus

    ke manusia. IL-18 tidak menunjukkan kesamaan urutan yang sama

    dengan sitokin lainnya yang dikenal. IL-18 juga telah diisolasi, dan

    ditemukan panjang 194 aa dengan identitas urutan aa 91% untuk IL-18

    tikus. Sel yang diketahui mengekspresikan IL-18 termasuk makrofag/sel

    Kupffer, keratinosit, sel-sel korteks adrenal mensekresi glukokortikoid, dan

    osteoblas (Gu et al., 1997).

    Pentingnya IL-18 sebagai sitokin imunoregulator yang secara jelas

    untuk menginduksi interferon gamma (IFN-). IL-18 pertama kali dikenal

    pada tahun 1989 sebagai faktor yang mempengaruhi IFN- di dalam

    sirkulasi endotoksin injeksi di tikus. Dengan kloning molekuler dari faktor

    induksi IFN- pada tahun 1995. Namanya diubah menjadi IL-18. Markofag

    dan sel dendritik adalah sumber utama untuk mengatifkan IL-18, tetapi

    prekusor IL-18 adalah menurut ekpresi pada seluruh sel epitel tubuh.

    Sebelumnya, IL-18 dikenal sebagai penghambat kaspase-1 sebagai target

    terapi yang spesifik mengurangi aktifitas IL-1, tetapi itu menjadi jelas

    bahwa aktivitas IL-18 juga mempengaruhi. Pada kenyataannya karateristik

    fenotip kekurangan kaspase 1 pada tikus yang sedang mengalami

    inflamasi harus berdiferensiasi untuk mengurangi IL-1 atau mengurangi

    aktivitas IL-18 (Charles., 2006).

  • 31

    3. Reseptor

    Kompleks reseptor untuk karateristik IL-18 belum dikenal baik.

    Bukti terbaru menunjukkan bahwa fungsional IL-18-komponen kompleks

    ini mengikat IL-1Rrp (IL-1 receptor-related protein). Reseptor seperti

    protein, yang sebelumnya diketahui tidak memiliki ligan, kloning dan dasar

    homolognya terhadap reseptor IL-1 tipe 1 dan yang homolognya T1/ST2

    dan IL-1R ACP (Pacora et al., 2000).

    4. Aktivitas Biologikal

    Interleukin-18/IGIF awalnya diakui sebagai induser produksi IFN-

    gamma oleh sel-T dan sel NK. Pengaruh dari IL-18 secara bebas atau

    bersinergi dengan IL-12, melalui induksi IFN-gamma, dapat menyebabkan

    aktivasi cepat dari sistem monosit/makrofag dengan meningkatkan

    regulasi kemampuan sel imun bawaan. IL-18 itu sendiri diinduksi oleh

    rangsangan stres (yaitu, sinyal bakteri atau neurogenik) (Okamura et al.,

    1995). Dalam konteks ini, telah dikemukakan bahwa stres menginduksi

    pelepasan IL18 yang dapat menyebabkan siklus dalam memproduksi

    IFN-gamma/IL-18. Setelah gelombang awal IL-18 menginduksi produksi

    IFN-gamma, IFN-gamma yang baru disekresikan dapat merangsang

    monosit/makrofag untuk meningkatkan aktivitas ICE IL-18. Keberlanjutan

    produksi IL-18, meningkatan aktivitas ICE yang mungkin menghasilkan

    lebih banyak diproses IL-18, yang mengarah ke lebih banyak limfosit

    memproduksi IFN-, yang mengarah ke lebih banyak aktivitas ICE

    makrofag. Dengan demikian, IL-18 tidak hanya meningkatkan sintesis

  • 32

    IFN-gamma, tetapi juga kemungkinan berpartisipasi dalam proses secara

    keseluruhan (Docke et al.,1997).

    Interleukin-18 juga terlibat dalam membunuh yang dimediasi oleh

    Fas ligan (FasL). FasL diatur kuat oleh anggota molekul superfamili TNF

    40 kDa. Pengikatan FasL secara luas menyatakan ekspresi reseptor, Fas,

    biasanya menyebabkan aktivasi dari program apoptosis pada sel yang

    mengekspresikan Fas (Fraser et al.,1996). Dalam sistem kekebalan tubuh

    orang dewasa, hasil ini sering digunakan untuk menghilangkan sel-sel

    yang tidak diinginkan yang dapat mengganggu baik sebagai proses

    kekebalan yang sedang berlangsung atau resolusi dalam menjalani reaksi

    kekebalan (Tsutsui et al., 1996). Sel-sel yang dipercaya untuk mediasi

    proses tersebut adalah sel Th1 CD4 dan sel NK, dua populasi sel yang

    sekarang dilaporkan untuk mengekspresikan FasL bawah pengaruh IL-18.

    Dalam hal ini, IL-18 lagi menunjukkan hubungan dengan IFN-gamma.

    tampaknya bahwa IFN-gamma menigkatkan regulasi ekspresi antigen

    Fas. IL-18 meningkatakan pengaturan baik produksi FasL dan IFN

    gamma pada sel T dan IFN-gamma yang dihasilkan juga dapat

    menyebabkan antigen Fas pada berbagai jenis sel. Demikian IL-18,

    melalui induksi IFN-gamma, dapat dianggap sebagai molekul yang

    menyediakan sarana (FasL) dan peluang (Fas) untuk pemicu kematian sel

    apoptosis (Dao et al., 1997).

  • 33

    J. Peran IL-18 dalam DBD

    Karena perannya dalam memproduksi IFN-. Polarisasi sel T

    adalah karateristik IL-18, dimana IFN- diinduksi tidak menonjol pada

    karateristik IL-1. IL-18 menghambat karateristik sitokin proinflamasi yang

    lain, seperti meningkatkan molekul adhesi sel, sintesis nitric oxide dan

    produksi kemokin. IL-18 diproduksi oleh markofag yang teraktifasi dan

    berbagai jenis sel lainnya. IL-18 memiliki struktur yang homolog dengan

    family IL-1 dan bersama-sama dengan IL-12 berfungsi merangsang sel

    Th1 untuk memproduksi IFN- (Charles., 2006).

    Pada dengue, IL-18 ditemukan sekitar 40% pada pasien dengan

    sakit ringan. Kepositifan meningkat bersamaan dengan terjadinya sakit

    keras dan meningkat sekitar 80% pada pasien dengan DBD derajat 4. Hal

    ini tidak sama dengan IL-12 yang hanya meningkat pada DF dan tidak ada

    pada pasien dengan DBD derajat 3 dan 4 dan berlawanan dengan yang

    diharapkan, seperti semua tipe sitokin Th2 yang meningkat pada DBD

    derajat 4. Kadar IL-12 meningkat pada demam dengue, tetapi tidak dapat

    dideteksi pada pasien dengan DBD derajat 3 dan 4 dan ini dugaan yang

    berlawanan (U.C. Chaturvedi., 2000).

    Interleukin-18 adalah yang utama yang dihasilkan oleh

    monosit/makrofag sebagai respon terhadap infeksi dengue. Hasil

    penelitian ini menunjukkan peningkatan kadar IL-18 pada pasien dengan

    DF dan DHF dan berkorelasi dengan hematokrit dan nilai trombosit. Kadar

    IL-18 secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan DBD dibandingkan

  • 34

    dengan DF. Temuan ini menunjukkan bahwa IL-18 yang diproduksi

    sebagai respon terhadap infeksi virus dengue dan mungkin memiliki peran

    penting terhadap penyakit demam berdarah yang parah (Pohan et al.,

    2004).

    Interleukin 18 adalah sitokin yang penting untuk regulator imun dan

    telah menunjukan peningkatan pada respon sel host termasuk

    kemampuan untuk meningkatakan eliminasi virus. Penelitian-penelitian

    pada pasien dengue menunjukan perubahan yang menonjol dari respon

    sitokin tipe Th1 pada demam dengue (DD) dan untuk respon sitokin tipe

    Th2 pada pasien dengan demam berdarah dengue (DBD) yang berat.

    Berdasakan pada hasil penelitian ini dikemukakan bahwa virus dengue

    menginduksi produksi cascade sitokin pergeseran yang dominan dari

    respon Th1 ke Th2, menghasilkan demam berdarah berat. Hasil penelitian

    ini konsisten dengan hipotesis adanya IL-18 yang berhubungan dengan

    respon tipe Th1 dan Th2 (kadar IL-18 pada pasien dengue berkolerasi

    dengan penyakit yang berat). Penemuan ini mendukung kemungkinan

    peran IL-18 dalam pathogenesis demam berdarah dengue (DHF) (Pohan

    et al., 2004).

    K. Inter-Cellular Adhesion Molecule 1 ( ICAM-1)

    1. Struktur ICAM-1

    Molekul adhesi intraselular 1 (ICAM-1, CD54) adalah glikoprotein

    transmembran tipe 1, yang termasuk superfamily-immunoglobin (Ig). Pada

    dasarnya kadar ICAM-1 diekspresikan pada sel endotel dan leukosit,

  • 35

    namun pengaturannya meningkat oleh adanya stimulator inflamasi seperti

    TNF-, IFN-, dan IL-1. Peningkatan regulasi ICAM-1 dihambat oleh

    glukokortikoid dan IL- 4 (Wolf et al., 2012).

    Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) dikodekan pada tujuh

    ekson dengan urutan sinyal pengkodean ekson 1, masing-masing daerah-

    Ig ekstraseluler ekson 2 sampai 6 dan transmembran ekson 7 dan

    Intraseluler. Berat molekul berkisar antara 80114 kDa sebagai berat

    kadar glikosilasi yang bervariasi antara jenis sel yang berbeda. Daerah

    ekstraseluler ICAM-1 terdiri dari 453 asam amino terutama hidrofobik,

    yang membentuk lima Ig-domain dengan struktur -sheet, masing-masing

    Ig-domain distabilkan oleh ikatan disulfida. Ig-domain yang diikuti oleh

    daerah transmembran satu hidrofobik dan daerah sitoplasmik 28 asam

    amino yang pendek, yang kurang motif sinyal konvensional. Residu tirosin

    dalam ekor sitoplasma telah terbukti penting untuk memberi sinyal

    intraseluler ICAM-1. (Wolf et al., 2012).

    Gambar 8. Menunjukan batas membran ICAM-1 (dengan 5 daerah-Ig (D1-

    D5) dan Ligan LAF-1, mac-I, protein-1 membran eritrosit plasmodium falciparum (PfEMP-1) dan Human rhinovirus (HRv).

  • 36

    2. Ligan untuk ICAM-1

    Intercellular Adhesion Molecule 1 memiliki beberapa ligan termasuk

    CD11a/CD18 (LFA-1) reseptor integrin 2 membran-terikat dan

    CD11b/CD18 (mac-1) ada pada leukosit dan fibrinogen. Kelompok utama

    dari rhinovirus manusia dan eritrosit yang terinfeksi plasmodium

    falciparum dengan juga mampu mengikat ICAM-1 (Wolf et al., 2012).

    Anggota ligan integrin dari ICAM-1 adalah family-glikoprotein

    transmembran heterodimer tipe 1 dan terdiri dari rantai yang berhubungan

    terkait non-convalently. Leucocyte functioning antigen 1 (LFA-1) dan

    membrane attack complex (mac-1) memiliki subunit integrin-2 yang sama

    ( CD18 ) tetapi berbeda pada rantai- yaitu L ( CD11a ) untuk LFA-1 dan

    M ( CD11b ) untuk mac-1. Kedua integrin terikat melalui "Inserted"

    domain (I) pada masing-masing rantai- ke residu asam pada ICAM-1.

    Ligan LFA-1 berikatan dengan asam glutamat (residu 34) pada ICAM-1

    dengan adanya ion magnesium dan kalsium. Ikatan ligan dihasilkan dalam

    reorientasi posisi asam glutamat dalam domain ketiga (residu 241) dan

    pembentukan jembatan garam kritis dengan lisin (residu 39). Tempat

    pengikatan integrin mac-1 terletak di dalam domain ketiga ICAM-1 dan

    tergantung pada kadar glikosilasi. Tingginya kadar sterik oligosakarida N-

    linked dan elektrostatis menghalangi akses ke tempat mengikat. Sebagai

    kadar glikosilasi tergantung pada jenis sel, jenis sel yang berbeda akan

    memungkinkan pola ikatan ligan yang beragam. Aktivasi integrin

    diperlukan sebelum pengikatan LFA-1 atau mac-1 ke ICAM-1 dapat

  • 37

    terjadi. Pada sel yang istirahat, integrin menunjukkan afinitas rendah

    konformasi untuk ikatan ligan. Setelah sinyal " inside-out ", perubahan

    konformasi mengambil tempat mengekspos tempat pengikatan ligan yang

    afinitas tinggi. Integrin berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh

    seperti yang ditunjukkan pada pasien dengan defisiensi adhesi leukosit

    tipe I (LAD), sebuah kelainan resesif autosomal yang jarang terjadi, yang

    menyebabkan kurangnya lengkap 2-integrin. Defisiensi ini menyebabkan

    cacat yang parah pada sistem kekebalan tubuh dan inflamasi mengarah

    ke kronis dan infeksi bakteri yang mengancam jiwa (Wolf et al., 2012).

    Selain integrin diaktifkan, sebagian besar family rhinovirus ( 91

    serotipe ) dan beberapa anggota dari virus coxsackie A mengikat family

    ICAM-1. Family virus mengikat epitop pada domain satu yang terletak

    langsung di sebelah LFA-1 dan tumpang tindih dengan yang digunakan

    oleh eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum. Ikatan ICAM1

    dimulai masuknya virus ke dalam sel inang (Wolf et al., 2012).

    Ligan lain, yang telah terbukti untuk mengikat ICAM-1 adalah

    fibrinogen. Glikoprotein plasma terlibat dalam pembekuan darah,

    peradangan dan perbaikan jaringan. Ikatannya untuk ICAM-1

    memungkinkan adhesi trombosit sirkulasi dan sel-sel inflamasi pada

    endotel dan deposisi fibrinogen, yang dapat menyebabkan peningkatan

    transmigrasi leukosit, kelangsungan hidup sel endotel dan vasokontriksi

    (Wolf et al., 2012).

  • 38

    3. Fungsi ICAM-1

    Fungsi utama dari ICAM-1 adalah sebagai tempat untuk adhesi,

    karakteristik yang penting dalam migrasi transendothelial leukosit dan

    presentasi antigen (Wolf et al., 2012).

    Proses transmigrasi leukosit, yang juga disebut diapedesis, dapat

    dibagi menjadi empat berurutan, namun langkah-langkah yang tumpang

    tindih seperti yang dirangkum dalam Gambar dibawah ini.

    Gambar 9. Menunjukan 4 langkah transmigrasi leukosit; (1)

    menggelinding (2) terikat (3) adhesi (4) Transmigrasi. (Wolf I S and Lawson Charlotte .,2012)

    Langkah transmigrasi pertama dimediasi oleh ikatan selektin.

    Selektin dari interaksi sel 1 dengan karbohidrat sialylated di sisi lain, sel

    menentang. Selektin E dan P ada dengan bebas pada sel endotel terikat

    Sialyl Lewis X terkait karbohidrat pada leukosit dan ligan 1 glikoprotein

    selectin (PSGL-1). Selektin-L ada pada semua leukosit yang beredar dan

    terikat CD34, PSGL-1 dan Sialyl Lewis X pada sel endotel. Bebas

    mengikat leukosit pada sel endotel memungkinkan sel untuk

    memperlambat dan "roll" di sepanjang endothelium. Hal ini juga

  • 39

    memfasilitasi paparan kemokin seperti CCL-2, CXCL-8, CCL-5 dan CCL-

    3. Pasien dengan LAD II kurang biosintesis fucose, yang memainkan

    peran penting untuk ikatan ligan karbhidrat. LAD II adalah bentuk ringan

    dari LAD, tetapi digarisbawahi pentingnya selektin mengikat dalam sistem

    imun tubuh (Wolf et al., 2012).

    Kemokin memainkan peran penting dalam langkah transmigrasi

    kedua. Leukosit bergulir lambat diarahkan oleh gradien kemokin terhadap

    tempat disfungsional endotel. Paparan kemokin memicu sinyal in-outside

    dalam leukosit, yang menyebabkan aktivasi integrin. Kemokin yang terlibat

    dalam leukosit dan aktivasi termasuk CXCL-8 (neutrofil) dan CCL-2

    (monosit) (Wolf et al., 2012).

    Integrin yang diaktifkan pada permukaan leukosit sekarang dapat

    mengikat kuat dengan molekul adhesi yang ada pada radang endotelium.

    Adhesi yang kuat difasilitasi oleh ikatan ICAM-1 ke LFA-1, VCAM-1 ke

    VLA - 4 dan MADCAM-1 ke 47. Ikatan memungkinkan leukosit untuk

    menyebarkan dan perlahan-lahan bermigrasi monolayer sel endotel dalam

    mencari peluang transmigrasi. Pentingnya ICAM-1 dalam ketiga Langkah

    transmigrasi telah dibuktikan dalam studi menggunakan anti-ICAM-1

    memblokir antibodi atau sel-sel endotel kurang ICAM-1 (Wolf et al., 2012).

    Protein junction PECAM-1, VE-cadherin, molekul adhesi junctional

    (JAMs) dan CD99 ditemukan di junction endotel. Homofilik (PECAM-1,

    CD99 dan JAMs) dan ikatan heterofilik (JAMs dengan integrin)

    memungkinkan pembentukan erat dikemas lapisan sel endotel dengan

  • 40

    permeabilitas yang sangat selektif. Ketika leukosit yang melekat dengan

    kuat pada endotel, leukosit mengembangkan proyeksi mikrovili seperti

    disebut podosomes, dengan mana mereka menyelidiki permukaan

    endotel. Stasiun docking ini kaya ICAM-1 dan VCAM-1 dan aktin-F.

    Integrin terikat dimulai karena ada sinyal pada sel endotel, yang diduga

    menyebabkan sel endotel kontraksi dan melemahnya ikatan junctional.

    Penelitian menggunakan sel defisiensi ICAM-1 menunjukkan kurangnya

    perpindahan, tapi penghambatan tidak lengkap. Hal ini menunjukkan

    bahwa ICAM-1 terlibat dalam perpindahan leukosit terakhir tapi tidak

    penting, mirip dengan CD18. Setelah ikatan molekul adhesi junctional

    dilepaskan leukosit dapat bermigrasi ke jaringan di bawahnya (Wolf et al.,

    2012).

    Peran penting ICAM-1 lainnya adalah sinaps imunologi. Hal ini

    ditandai dengan tiga karakter besar : Formasi junction, reorganisasi dan

    pembentukan stabil imunologi yang kompleks. Selama langkah pertama,

    pembentukan junction, berhubungan dekat antara antigen presenting cell

    (APC) dan sel-T difasilitasi dengan bantuan ICAM-1 dan LFA-1.

    Pengikatan ICAM-1 sampai ligan mengatasi halangan sterik dari

    glikoprotein CD45 dan CD43 yang ada pada permukaan sel untuk

    reseptor sel-T (TCR) kompleks dan memungkinkan interaksi dengan

    MHC-peptida yang ada pada APC. Dalam hal afinitas rendah antara TCR

    dan kompleks MHC-peptida, interaksi antara dua sel berhenti pada tempat

    itu. Jika kompleks TCR dan peptide-MHC menunjukan afinitas tinggi

  • 41

    terhadap satu sama lain, jalur sinyal dicaentus, yang mengarah ke

    reorganisasi termasuk molekul. Kompleks TCR dan peptide-MHC

    bergerak ke arah pusat dengan bentuk molekul LFA-1/ICAM-1 keluar

    bergerak membentuk lingkaran di sekitarnya. Langkah reorganisasi ini

    memungkinkan pembentukan kompleks imunologi yang stabil. Selama

    reorganisasi dan proses pembentukan cincin ini, polymerase ICAM-1,

    sehingga menunjukkan afinitas yang lebih tinggi mengikat LFA-1. Selain

    itu, konsentrasi kompleks TCR peptida-MHC dalam pusat cincin

    memfasilitasi komunikasi yang optimal antara sel-sel dan jalur sinyal (Wolf

    et al., 2012).

    Integrin ICAM-1 juga telah dilaporkan sebagai ligan kostimulator

    MHC I dan MHC II selama dibatasi presentasi antigen. Intercellular

    adhesion molecule 1 telah terbukti untuk ada dalam lesi aterosklerotik dan

    terlibat dalam perkembangan lesi aterosklerotik. Keterlibatan ICAM-1 di

    aterosklerosis telah dibuktikan dalam apoE tikus kekurangan ICAM-1,

    yang telah dikurangi ukuran lesi. Analisis rangkaian waktu

    mengungkapkan bahwa ICAM-1 tidak hanya terlibat dalam pembentukan

    awal plak tetapi juga dalam perkembangan selanjutnya dalam tikus. Data

    ini didukung oleh hasil yang diperoleh dalam apoE - / - tikus yang diobati

    dengan antibody netralisasi anti-ICAM-1 (Wolf et al., 2012).

    Intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) merupakan salah satu

    reseptor pada permukaan sel endotel yang berperan pada penempelan

    eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum atau Parasite-Red

  • 42

    Blood Cell (P-RBC). Reseptor lainnya berupa CD36, trombospondin,

    vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), endothel leucocyte

    adhesion molecule-1 (ELAM-1) dan glycosaminoglycan chondroitin

    sulfate A (Harijanto, 2007). Intercellular adhesion molecule 1 juga dikenal

    sebagai CD54 (Cluster of Differentiation 54). Intercellular adhesion

    molecule 1 memiliki berat molekul antara 70-120 kilodalton. Protein

    yang mengatur gen ini adalah tipe intercellular adhesion molecule.

    Protein tersebut secara konstan terdapat pada membran sel leukosit dan

    endotel dalam konsentrasi yang rendah. Konsentrasi ICAM-1 dapat

    meningkat dengan adanya induksi oleh tumor necrosis factor-alpha (TNF-

    ), dan interleukin-1 (IL-1) dan interferon- (IFN-). ICAM-1 merupakan

    glikoprotein yang bertindak sebagai ligan dari integrin LFA-1

    (lymphocyte function-associated antigen-1), sebuah reseptor yang

    ditemukan pada leukosit. Ketika teraktivasi, leukosit menempel pada

    sel endotel melalui ICAM-1/ LFA-1 dan kemudian masuk ke jaringan (Ho

    et al., 1999).

    Intercellular adhesion molecule 1 memainkan peran yang penting

    pada patologi malaria. Intercellular adhesion molecule 1 akan berikatan

    dengan molekul adhesif pada P-RBC yaitu Plasmodium falciparum

    Erythrocyte Membran Protein-1 (PfEMP-1). Penempelan sel yang

    terinfeksi (P-RBC) pada endotelium, terutama pada organ-organ vital

    oleh ICAM-1 mungkin akan mengarah pada penyakit yang berat dan

    kematian. Secara histopatologis ditunjukkan adanya ICAM-1 dan

  • 43

    penempelan eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum dalam

    kapiler otak pada pasien malaria serebral. Pada pasien malaria serebral

    terjadi penempelan ICAM-1 dan parasit dalam jumlah yang tertinggi

    (Kun et al., 1999).

    Pada penelitian yang dilakukan oleh Shear et al., (1998)

    didapatkan bahwa ekspresi ICAM-1 mengalami peningkatan yang

    signifikan pada kapiler dan venula kecil otak mencit yang diinfeksi malaria.

    Sebaliknya, peningkatan ekspresi VCAM-1 tidak sebesar ekspresi

    ICAM-1. Selain itu, ekspresi VCAM-1 terbatas pada pembuluh darah

    yang besar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ICAM-1 merupakan reseptor

    sel endotel yang memegang peran penting dalam patogenesis malaria

    serebral. Peningkatan ICAM-1 juga ditemukan pada keadaan lain

    seperti melanoma maligna, uveitis, transplantasi ginjal dan liver, gagal

    jantung akut, rheumathoid arthritis), fibrosis paru idiopatik, dan neonatal

    sepsis (Kuster et al., 1993).

    L. Vascullar Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1)

    Endotel adalah lapisan sel yang melapisi dinding vaskuler yang

    menghadap ke lumen dan melekat pada jaringan subendotel yang terdiri

    atas kolagen dan berbagai glikosaminoglikan termasuk fibronektin.

    Endotel juga berperan pada hemostasis dengan mempertahankan

    permukaan yang bersifat antitrombotik. Jika endotel mengalami gangguan

    oleh berbagai hal, seperti paparan dengan sitokin inflamasi, maka fungsi

    pengatur menjadi abnormal dan mengalami disfungsi endotel. Disfungsi

  • 44

    endotel akan menyebabkan ekspresi molekul adhesi seperti VCAM-1 dan

    ICAM-1 (Dharma dkk., 2005).

    Vascullarcell adhesion molecule-1 merupakan salah satu molekul

    adhesi sel endotel, termasuk anggota dari Immunoglobulin gene

    superfamily yang diekspresikan pada permukaan sel endotel sebagai

    respon terhadap adanya inflamasi. Ekspresinya diatur oleh interleukin-4

    (IL-4) dan TNF yang berfungsi mengatur adhesi dan migrasi leukosit

    sepanjang endotel. VCAM-1 dapat ditemukan pada sel endotel, sel

    dendritik, sel saraf yang dikultur, sel epitel glomerulus dan mesangial,

    serta pada sel otot polos pembuluh darah. VCAM-1 berikatan dengan 1-

    integrin very late antigen-4 (VLA-4) pada limfosit, eosinofil, monosit dan

    basofil. (Pall dkk., 1996; Sanchez dkk., 2009).

    Pada sel endotel, tempat VCAM-1 diekspresikan akibat adanya

    sitokin inflamasi, terdapat elemen pengendali (disebut octamer binding

    site) yang membatasi aktifitas gen promoter VCAM-1. (Jesse, T.L dkk,

    1998). Hal ini terjadi pada sel endotel yang tidak terangsang oleh

    inflamasi. Sitokin inflamasi melawan efek negatif octamer dan

    menyebabkan aktivasi gen promoter melalui 2 nuclear factor B (NF B)

    yang beraolokasi pada -77 dan -63 bp gen promoter VCAM-1 (Sanchez

    dkk., 2009).

    Vascullarcell adhesion molecule-1 merupakan salah satu dari

    banyak petanda adanya disfungsi endotel seperti endhotelin-1(ET-1), von

  • 45

    Willebrand factor (vWf), soluble adhesion molecules E-selectin, dan

    urinary albumin excretion (UAE) (Jesse et al.,1998).

    Molekul Adhesi yang diekspresikan pada permukaan sel endotel

    dan reseptornya pada leukosit akan menyebabkan adhesi leukosit melalui

    beberapa tahap. Tahapan ini disebut cascade adhesi. Tahap pertama

    adalah leukosit akan menempel dan menggelinding sepanjang endotel.

    Tahap ini dimediasi oleh molekul dari kelompok selektin seperti selektin E

    dan selektin P, dengan ligannya sialyl lewis X pada permukaan leukosit.

    Tahap selanjutnya, adhesi yang kuat dari leukosit dimediasi oleh ICAM-1

    dan VCAM-1 dengan ligannya LFA-1 (Lymphocyte function associated

    antigen 1) dan VLA-4 pada leukosit yang terkativasi. Ikatan yang kuat ini

    mengawali migrasi lekosit dari vaskuler ke jaringan. Gangguan regulasi

    dari molekul adhesi ini tentunya akan menyebabkan migrasi lekosit yang

    berkelanjutan dan kerusakan jaringan (Peschenet et al.,1999).

    M. Peran ICAM-1 dan VCAM-1 pada DBD

    Sel Endotel berperan dalam tahap terakhir patogenesis DBD.

    Aktivasi sel endotel mengarah pada perubahan permeabilitas vaskullar

    dan melepaskan faktor-faktor yang mengaktifkan jalur koagulasi. Secara

    in vitro, virus Dengue yang mengifeksi sel endotel telah menunjukan

    produksi beberapa kemokin termasuk IL-8. Infeksi sel endotel juga

    mengarah pada aktifnya komplemen dan apoptosis selular. Fungsi sel

    endotelial dipengaruhi oleh pelepasan sitokin dari sel yang telah terinfeksi

  • 46

    virus Dengue. Penelitian telah menunjukan supernantan dari monosit

    terinfeksi virus Dengue menyebabkan peningkatan regulasi ekspresi

    ICAM-1 oleh sel endotel yang mungkin dimediasi oleh TNF-

    (Anderson,.1997). Peningkatan kadar molekul permukan endotel yang

    terlarut seperti ICAM-1 dan VCAM-1yang dilaporkan pada pasien DBD

    (Karoka., 2004; Cardier., 2006).

    Banyak faktor yang memengaruhi sel endotel termasuk pengaruh

    antigen viral pada sel endotel. Peningkatan kadar sirkulasi virus dan

    antigen viral yang berhubungan dengan DBD pada banyak penelitian

    (libraty., 2002). Peningkatan beban viral secara relatif berkaitan lemahnya

    respon IFN tipe I yang memungkinkan replikasi virus meningkat atau

    memediasi adanya cross-reactive, antibodi non netralisasi, yang

    mempercepat virus mudah mengifeksi (Srikiatkhachorn., 2014). Penelitian

    baru ini telah fokus pada peran protein NS1 dengue di patogenesis

    dengue. NS1 dihasilkan sebagai membran dan protein terlarut. Sirkulasi

    kadar NS1 terlarut telah menunjukan korelasi dengan beratnya penyakit.

    Protein NS1 menunjukan aktivasi komplemen modifikasi oleh ikatan C4

    dan C1s dan meningkatkan degradasi C4b (Avirutnan., 2007).

    Penelitian yang dilakukan Vielma dkk, (2014) menemukan

    peningkatan awal ekspresi sIL2-R dan sVCAM-1 di sampel-sampel serum

    yang secara signifikan berhubungan dengan beratnya pada waktu tahap

    awal penyakit dengue yang dapat digunakan sebagai penanda beratnya

    pada bentuk komplikasi pasien dengue. Sitokin seperti TNF- dan IL-8

  • 47

    yang berpengaruh penting pada ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-1

    dan VCAM-1 pada sel endotel. ( Vielma., 2014)

    Gambar 10. Kebocoran plasma (a) fase akut (pre-kebocoran). Virus dengue

    menginfeksi monosit, sel dendrit, makrofag, yang menghasilkan peningkatan viremia. Sel terinfeksi memproduksi kemokin seperti IL-8 dll, dan sitokin yang memicu respon imun nonspesifik. Juga mengekspresikan ICAM dan VCAM pada permukaan sel endotel. (b) fase kebocoran plasma, NS1 terlarut dan antibodi NS1 secara kompleks dapat beriteraksi dengan sel endotel dan mengaktifkan sistem komplemen. Sitokin dan mediator lainnya meningkatkan permeabilitas oleh virus Dengue yang menginfeksi sel dan sel T memori. virus Dengue menginduksi sekresi martrix metaloproteases (MMPs) oleh sel dendrit yang menyebabkan kerusakan sel endotel saat ekspresi differensiasi ICAM dan VCAM antara sel endotel yang diam dan aktif mempengaruhi adhesi dan transmigrasi sirkulasi leukosit yang dapat menyebabkan kebocoran plasma. (Srikiatkhachorn., 2014)

    Perubahan sel Endotel kemungkinan disebabkan oleh efek sitokin

    atau mediator lain karena infeksi langsung terhadap sel endotel oleh virus

    Dengue. In vitro, infeksi terhadap sel endotel tersebut menginduksi

    produksi sitokin, kemokin, regulated and activation T cell excretion and

  • 48

    secretion (RANTES) dan dapat menyebabkan apoptosis sel endotel.

    Perubahan sel endotel dari kondisi istirahat ke tahap prokoagulan

    berkaitan dengan ekspresi beberapa molekul adhesi yaitu ICAM-1 dan

    VCAM-1, selektin E, vWf, dan selektin P. Selain itu virus Dengue dapat

    menginduksi aktivasi komplemen. Ekspresi ICAM-1 dengan IL-8 dan

    RANTES meningkatkan adhesi sel PMN dan mononuclear yang akan

    menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan trombomodulin.

    Peningkatan permeabilitas vaskuler ini akan berakibat terjadinya

    kebocoran plasma, bahkan kebocoran plasma tersebut telah terbukti

    sebagai faktor diskriminan untuk memprediksi rejatan pada DBD terutama

    pada hari ke 0 dan 2. VCAM-1 setelah mengalami suatu proses proteolisis

    akan ditemukan dalam bentuk soluble dalam sirkulasi (sVCAM-1).

    Dilaporkan dalam suatu penelitian bahwa sVCAM-1 meningkat pada

    pasien infeksi dengue dan terutama lebih tinggi secara signifikan pada

    DBD-TR atau pada fase akut dengan manifestasi lebih berat (sutaryo.,

    2004).

    Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan peranan sitokin

    terhadap beratnya infeksi virus Dengue. Azeredo dkk, dalam penelitannya

    melaporkan kadar sitokin pada 54 penderita yang diperiksa di Recife

    Brasil, penderita yang mengalami manifestasi perdarahan

    menggambarkan kadar TNF- berhubungan dengan beratnya penyakit.

    Chakravarti (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa kadar dari

    sitokin proinflamasi meningkat secara signifikan selama infeksi virus

  • 49

    Dengue, Peningkatan kadar TNF- lebih tinggi pada penderita DBD

    dibandingkan demam dengue dan membuktikan penyebab dari

    permeabilitas kapiler yang meningkat dan rejatan yang terjadi saat DBD

    berlangsung. (Chakravarti dkk., 2006).

    Efek biologis TNF- yaitu meningkatkan ekspresi molekul yaitu

    ICAM-1, VCAM-1, selektin dan integrin ligan pada permukaan endotel

    pembuluh darah, juga selektin ligan dan integrin pada permukaan sel

    lekosit (Setiati., 2004). Ekspresi molekul Adhesi tersebut akan

    menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan migrasi

    leukosit ke tempat infeksi untuk menyingkirkan mikroba. (abbas., A.K. dan

    Lichtman, A. H., 2005). Peningkatan permeabilitas darah akan

    menyebabkan perembesan plasma (plasma leakage) dari ruang

    intravaskuler ke ruang interstisial sehingga terjadi peningkatan hematokrit,

    hipoproteinemia, hipovolemia (rejatan), ada cairan dalam rongga plura

    dan peritoneum (Setiati dkk., 2009).

    Sel endotel berperan penting dalam mengatur permeabilitas

    vaskuler dan mempertahankan homeostasis. Patogen tertentu, seperti

    virus Dengue, dapat menginfeksi sel endotel dan mengganggu

    fungsinya,dan akan menyebabkan pelepasan berbagai sitokin, yang

    selanjutnya akan merangsang ekspresi adhesi molekul, menyebabkan

    peningkatan permeabilitas vaskuler dan aktifitas prokoagulasi yang akan

    bermuara pada terjadinya gangguan hemostasis (Huan et al., 2000).

  • 50

    Penelitian di Polinesia Prancis juga melaporkan peningkatan kadar

    VCAM-1 pada pasien dengan infeksi virus Dengue, terutama pada

    penderita DBD-R, Nilai prognostiknya terutama pada fase akut masih

    belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut (Murgue., 2001).

    N. Hubungan antara IL-18 dengan Ekspresi Adhesi Molekul

    (VCAM-1 dan ICAM-1)

    Leukosit mengekspresikan sejumlah reseptor permukaan yang

    berperan untuk aktivasi leukosit. Reseptor mirip-Toll (TLR) yang homolog

    dengan protein Drosophilia yang disebut Toll, berfungsi mengaktifkan

    leukosit sebagai respons terhadap berbagai jenis dan kompenen mikroba.

    Sampai saat ini, 10 TLR mamalia berhasi teridentifikasi, dan masing-

    masing TLR tersebut diperlukan untuk menghasilkan respons terhadap

    berbagai kelas pathogen infeksius. Berbagai TLR berperan penting pada

    respons sel terhadap lipopolisakarida (LPS, atau endotoksin) bakteri,

    proteoglikan bakteri lainnya dan nukleotida CpG yang tidak mengalami

    metilasi, yang kesemuanya hanya terdapat di bakteri, serta RNA untai-

    ganda yang dihasilkan oleh sebagian virus. Reseptor-reseptor tersebut

    berfungsi melalui kinase terkait reseptor untuk merangsang pembentukan

    zat-zat mikrobisida dan sitokin di leukosit. (Fausto et al., 2009). Berbagai

    reseptor makrofag adalah kompleks, ciri utamanya adalah merangsang

    produksi berbagai protein dan makrofag melepas sejumlah sitokin yang

    berperan dalam respon imun (Baratawidjaja., 2006).

  • 51

    Makrofag menstimulasi IFN- menunjukan adanya peningkatan

    ekspresi gen IL-18 melalui ICSBP (interferon consensus sequence-binding

    protein) dan elemen protein activator-1 (AP-1). Nuklear faktor (NF)-B

    mengenali identifikasi sekuensi pada region promoter IL-18 dan pengatur

    ekspresi gen IL-18. IL-18 seperti IL-1 dengan menunjukan struktur yang

    homologi diprodiksi sebagai 24 kD prekusor inaktif yang kekurangan

    peptida sinyal (pro-IL-18). Pro-IL-18 membelah setelah gen Asp35 oleh

    enzim converse IL-1 endoprotease menghasilkan aktifasi biologikal 18

    kD yang matang. (Gu., 1997)

    Gambar 11. Fungsi effektor makrofag. (Abbas, A.K., Litchman A.H., Pillai

    S.2012)

    Sitokin diperlukan pada awal reaksi inflamasi dan untuk

    mempertahahankan respons inflamasi kronik. Makrofag melepas IL-1 dan

  • 52

    GM-CSF yang akan mengaktifkan respon fase akut serta meningkatkan

    produksi neutrofil dan monosit oleh sumsum tulang. TNF dan IL-1 yang

    diproduksi markofag merupakan dua sitokin yang penting pada respons

    inflamasi. Sitokin-sitokin tersebut meningkatkan adhesi leukosit ke endotel

    lokal untuk memungkinkan leukosit bergerak sesuai sinyal kemotaktik dari

    kemokin yang juga diproduksi makrofag. Markofag juga memproduksi

    sitokin yang bekerja terhadap sel T antara lain IL-1, IL-12, dan IL-18. IL-12

    dan IL-18 mengaktifkan masing-masing Th1 dan sel NK yang melepas

    IFN- dan TNF.(Baratawidjaja., 2006)

    Kesimpulan dari penelitian Dai Ming S dkk, IL-18 memperbesar

    induksi aktivasi monosit oleh hubungan dengan diaktifkan sel T di sinovitis

    RA, yang bergantung pada aktivasi jalur NF-B dan PI 3-kinase (Gambar

    12). Data ini membuktikan kuat untuk IL-18 yang menginduksi TNF dan

    IL-1 pada tempat inflamasi kronik (Dai et al., 2004).

    Gambar 12 Model skematik IL-18 di dalam sel yang berhubungan Interaksi

    antara monosit dan sel T. Melalui hubungan seluler, sel T mengaktifkan jalur phosphatidylinositol 3-kinase (PI 3-kinase) dan NF-B di monosit, yang menginduksi produksi IL-18, TNF, dan IL-1 maunpun meningkatakanekspresi IL-18 reseptor (IL-18R). (Dai., 2004)

  • 53

    Rekutmen leukosit ke tempat cedera dan infeksi adalah proses

    multilangkah yang mencakup perlekatan leukosit pada sel endotel dan

    migrasinya melalui sel endotel. Proses-proses awal adalah induksi melalui

    perekat di sel endotel, melalui sejumlah mekanisme. Mediator seperti

    histamin, thrombin serta platelet activating factor (PAF, faktor penggiat

    trombosit) merangsang distribusi P-selektin dari simpanan intrasel normal

    di granula ke permukaan sel. Makrofag jaringan residen, sel mast, dan sel

    endotel berespon terhadap cedera dengan mengeluarkan sitokin TNF, IL-

    1 dan kemokin (sitokin kemoatraktan). TNF dan IL-1 bekerja di sel endotel

    venula pascakapiler di sekitar tempat infeksi dan memicu ekspresi

    beberapa molekul perekat. Dalam 1-2 jam, sel endotel mulai

    mengekspresikan E-selektin. Leukosit mengekspresikan ligan-ligan

    karbohidrat (di ujung mikrovilinya) untuk selektin, yang berikatan dengan

    selektin endotel. Ikatan ini merupakan interaksi berafinitas rendah dengan

    tingkat pelepasan yang tinggi, dan mudah terganggu oleh aliran darah.

    Akibatnya leukosit yang terikat terlepas dan kemudian terikat kembali, dan

    karenanya mulai menggelinding di sepanjang permukaan endotel. (Fausto

    et al., 2009)

    TNF dan IL-1 juga memicu endotel untuk mengekspresikan ligan-

    ligan untuk integrin, terutama VCAM-1 (ligan untuk integrin VLA-4) dan

    ICAM-1 (ligan untuk integrin LFA-1 dan Mac-1). Leukosit normalnya

    mengekpresikan berbagai integrin ini pada keadaan afinitas rendah. Di

    lain pihak, berbagai kemokin yang dihasilkan di tempat cedera memasuki

  • 54

    Gambar 13. Regulasi molekul perekat sel endotel dan leukosit. A, Pengaktifan endotel oleh sitokin. B, Peningkatan aviditas pengikatan integrin (Fausto et al., 2009).

    pembuluh darah, berikatan dengan glikosaminoglikan heparan sulfat sel

    endotel (diberi nama proteoglikan) dan terdapat dalam kosentrasi tinggi

    di permukaan sel endotel. Beragam kemokin ini bekerja pada leukosit

    yang menggelinding dan mengaktifkan sel ini. Salah satu rangkain aktivasi

    adalah konversi integrin VLA-4 dan LFA-1 leukosit ke keadaan afinitas

    tinggi. Kombinasi ekspresi ligan-ligan integrin di endotel dan aktivasi

    integrin di leukosit menghasilkan ikatan yang