STRATEGI PENGEMBANGAN SUPPLY CHAIN -...
Transcript of STRATEGI PENGEMBANGAN SUPPLY CHAIN -...
369
STRATEGI PENGEMBANGAN SUPPLY CHAIN : PENGEMBANGAN
RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI
MALUKU
Ery Supriyadi Rustidja.1)
, Ina Primiana 2)
, Inem Ode 3)
, Anita Padang 4)
1) Institut Manajemen Koperasi Indonesia
, 2) Universitas Padjadjaran
, 3) dan 4) Universitas Darussalam
,
ABSTRACT There are three important points that need to be identified in depth in order to support the development
of leading commodity in the economic corridors, which identify factors inhibiting the supply chain marketing (upstream and downstream ), know cost of marketing logistics chain from farmers to industry level , and find out cost of logistics issued by the consumer to seaweed industry. This article was resulted of research that describes further strengthening of the location that role of regional economic corridors as raw material suppliers of seaweed products and put importance position of this area as developer of seaweed industry value chain in eastern Indonesia. The study also found factors inhibiting the supply chain , marketing chain typology of seaweed farmers to the industry level , the logistics and constraints faced by seaweed industry in domestic and export markets seaweed products in West of Seram , Province of Maluku. Availability of supply chain development strategy formulation needs to be known in order to improve the competitiveness of seaweed industry, eliminate barriers and obstacles encountered, allowing suppress high economic cost on bureaucratic procedures, and adequate infrastructure as needed by industry to reduce cost of logistics seaweed product development in an area corridor economy. Keywords : competitiveness, corridor-economy, seaweed , strategy, supply chain
PENDAHULUAN
Industri pengolahan yang memanfaatkan zat karaginan, agar dan alginat dari rumput laut merupakan salah
satu industri prioritas nasional yang masih prospektif untuk dikembangkan. Dengan populasi lebih dari 240 juta
penduduk, Indonesia menjadi pasar domestic yang sangat potensial. Disamping itu, Indonesia sebagai pasar
potensial di dunia pada peringkat 15 dari 139 negara dalam laporan World Economic Forum (WEF) 2012
menempatkan. Pasar rumput laut di perdagangan global menunjukkan kecenderungan perkembangan yang
mengalami kenaikan yang cukup tinggi, seiiring dengan peningkatan kebutuhan bahan baku industri baik untuk
food grade, pharmaeutical maupun industrial grade. Pertambahan penduduk dunia yang semakin pesat dan
kompleksitas nilai guna rumput laut yang begitu besar sebagai penunjang kebutuhan hidup masyarakat dunia,
menjadikan komoditas rumput laut saat ini prospektif dan telah menjadi bagian dari kebutuhan global. Peluang
pasar perdagangan dunia, Indonesia berada pada posisi strategis dalam memasok kebutuhan bahan baku rumput
laut. Sebagai gambaran Tahun 2010 peluang kebutuhan rumput laut Eucheuma cottonii dunia mencapai 274.100
ton, dimana Indonesia mempunyai peluang memberikan kontribusi ekspor sebesar 29,19% atau sekitar 80.000
ton, bahkan cenderung meningkat.
Total produksi rumput nasional masih didominasi oleh 6 (lima) besar Provinsi utama penghasil rumput laut
berturut-turut Sulawesi Selatan, NTT, Bali, Sulawesi Tengah, Maluku dan NTB.Produksi rumput laut
diproyeksikan rata-rata meningkat pertahun sebesar 32 % (dari Tahun 2010-2014) atau meningkat sebesar 392%
dari Tahun 2009 ke Tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing berturut-turut Tahun 2009 diproyeksikan
meningkat menjadi sebesar 2.574.000, Tahun 2010 sebesar 2.672.800 ton, Tahun 2011 sebesar 3.504.200 ton,
Tahun 2012 sebesar 5.100.000 ton, tahun 2013 sebesar 7.500.000 ton dan Tahun 2014 sebesar 10 juta ton. Data
statistik menunjukkan bahwa tahun 2010 produksi rumput laut Nasional mencapai 3.082.113 ton mengalami
370
kenaikan rata-rata sebesar 23% per tahun. Nilai ini mampu melampaui target produksi Tahun 2010 sebesar 15 %
dari target di Tahun yang sama sebesar 2.672.800 ton. Nilai tersebut tentunya menjadi salah satu indikator
bahwa langkah menuju target 10 juta ton di Tahun 2014 sangat optimis untuk dicapai.
Rumput laut menjadi salah satu produk unggulan yang dikembangkan di Provinsi Maluku. Kabupaten Seram
Bagian Barat (SBB) sebagai salah satu daerah sentra produksi rumput laut (Eucheuma cotonii). Dukungan
potensi dari provinsi Maluku yang berkarakter wilayah kepulauan yang luas wilayah lautnya sebesar 94%,
memungkinkan pengembangan usaha budidaya rumput laut dilakukan secara besar-besaran sehingga dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir.
Usaha pada koridor ekonomi Maluku-Papua dihadapkan pada masalah aktivitas logistik yang merupakan
bagian dari rantai pasokan supply chain rumput laut (Eucheuma cotonii), terutama dalam perdagangan
internasional. Harga kompetitif produk rumput laut berkait erat dengan biaya logistik yang ditanggung dan
berdampak pada daya saing. Tingginya biaya logistik disinyalir menjadi salah satu penyebab rendahnya daya
saing produk rumput laut Indonesia. Selain biaya logistik, lamanya waktu kirim juga menjadi permasalahan
yang muncul terkait dengan logistik. Aliran produk yang membutuhkan waktu relative lama berhubungan
dengan penyediaan prasarana logistik ada (jalan, pelabuhan, dan hubungan antar daerah) yang masih
konvensional serta belum terbangunnya konektivitas antara lokasi pusat-pusat produksi dengan pembeli. Ketiga
permasalahan dominan MP3EI ini yang terakumulasi dalam jangka panjang akan dapat berkontribusi terhadap
keterpurukan industri rumput laut domestik.
Kualitas infrastruktur Indonesia berada pada peringkat 76 dari 142 negara, (World Economic Forum, 2011),
sementara itu hasil penilaian Logistic Performance Index 2010, Indonesia mengalami penurunan peringkat
dari peringkat ke 43 di tahun 2007 menjadi peringkat 75 di tahun 2010 (UNESCAP, 2011). Selain itu, daya saing
produk-produk dalam negeri semakin menghadapi tantangan sejak dibukanya perjanjian ACFTA, terlebih-lebih
kalau tanpa diikuti dengan persiapan yang matang untuk memperkuat industrinya.
Koridor Ekonomi Papua - Maluku berpotensi untuk berkembang rantai nilai ekonomi berbasis manufaktur.
Di sisi lainnya pengembangan usaha rumput laut menyumbang perekonomian cukup signifikan terhadap nilai
PDB maupun serapan tenaga kerjanya Koridor Ekonomi Papua-Maluku. Penguatan infrastruktur rantai pasokan
untuk mendukung tujuan MP3EI Koridor Ekonomi Papua-Maluku diperlukan agar dua aspek kinerja rantai
pasokan, yaitu pemenuhan kebutuhan pasar dan efisiensi logistic dapat tercapai.
Memperhatikan kondisi di atas, maka penting untuk memahami faktor-faktor yang menjadi
penghambat pada rantai pasokan (upstream dan down stream) Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku;
memahami biaya logistik rantai pemasaran rumput laut dari tingkat pembudidaya sampai ke industry, dan
merumuskan strategi peningkatan kinerja rantai pasokan industri rumput laut guna meningkatkan
kelancaran logistik dan daya saing. Penelitian ini bermanfaat terhadap teridentikasikannya faktor penghambat
rantai pasokan, struktur biaya logistik rumput laut, dan konektivitas optimal rumput laut. Hasil ini akan menjadi
masukanm endasar perumusan strategi peningkatan kinerja rantai pasokan rumput laut dalam rangka penguatan
penguasaan pasar domestik maupun penguatan posisi industri dalam rantai nilai produk rumput laut pada skim
MP3EI.
371
KAJIAN PUSTAKA
Supply Chain Logistics adalah arus material, informasi dan uang antara perusahaan-perusahaan (Frazelle,
2002). Supply chain adalah jaringan fasilitas yang dimulai dari pemasok hingga pelanggan adapun logistics
adalah apa yang terjadi pada supply chain. Fluktuasi ekonomi global dan lokal yang berkelanjutan telah
meningkatkan tekanan pada industri. Supply chain tertantang untuk memberikan kegiatan operasional terbaik,
ramping /efisien, hemat biaya/efektif dan pengiriman tepat waktu. Siklus hidup produk menjadi semakin
singkat ; Pasar, pasokan dan kegiatan operasi menjadi semakin progressive.
Hasil survei Industry Week (2003) menunjukkan Supply chain merupakan kunci penting untuk bertahan
dan berkembang kegiatan usaha. Hasil survei tersebut menunjukkan (1). Meningkatnya outsourcing dan
kemitraan pada supply chain, menunjukkan tantangan besar dalam mengelola permintaan dan penawaran, serta
pengendalian persediaan, (2) Tepat waktu dan akurat adalah penting untuk memenuhi kebutuhan tingkat
pelayanan (service level) pelanggan, (3) Berkurangnya inovasi produk murni (Pure innovations product), (4)
Kinerja supply chain yang inovatif ditunjukkan oleh permintaan yang stabil . Terjadi evolusi supply chain
dari perusahaan yang statis, tidak terintegrasi, optimalisasi fungsional, proses integrasi horisontal dan
kolaborasi eksternal menuju ke visi model permintaan rantai nilai yang terintegrasi melalui proces end-to-end di
seluruh bisnis dan dengan mitra kunci yaitu pemasok dan pelanggan. Survei menunjukkan banyak
perusahaan yang mempercepat keunggulan fungsional ke horisontal proses integrasi dengan berkonsentrasi
pada proses rantai nilai tunggal. Ada juga beberapa kemajuan dalam kolaborasi eksternal dengan partner supply
chain.
Supply chain adalah keterpaduan antara aktivitas pengadaan bahan baku, konversi bahan baku menjadi barang
setengah jadi dan barang jadi hingga menyampaikannya pada pelanggan. Keterpaduan aktivitas tersebut juga
meliputi pembelian ditambah beberapa aktivitas penting dalam hubungannya dengan pemasok dan distributor.
Sejumlah artikel (Barratt Oliveira and 2001; Boyer, Leong, Ward dan Krajewski 1997; Das and Handfield 1997;
and Dewett Jones 2001; Frohlich and Westbrook 2001; Frohlich dan Westbrook 2002; Hill and Scudder 2002; and
Lejeune Yakova 2005; Mentzer, and Foggin Golicic 2000; Shah, Meyer-Goldstein and Ward 2002; Tang and
Tang 2002) meneliti hubungan antara meningkatkan koordinasi supply chain dan daya saing, antara lain dengan
meningkatkan pemahaman akan persyaratan, kapasitas, kapabilitas, dan keterbatasan dari entitas yang ada dalam
supply chain.
Newman, Hanna, Gattiker and Huang Ware (1998) memperkenalkan Model Kualitas untuk Manajemen Supply
chain bersama-sama dengan Fisher 1997; Krause and Ellram 1997; Lejeune and Yakova 2005; Monczka,
Nichols, and Callahan 1992; Spekman et al. 1998 yang menunjukkan bahwa pemahaman terhadap spesifikasi
kebutuhan pelanggan dalam jangka panjang atau pemahaman terhadap kapabilitas dan keterbatasan- keterbatasan
pemasok akan meningkatkan keefektifan supply chain terkait. Perbaikan dengan melibatkan entitas akan
memperbaiki proses atau penambahan nilai pada satu atau lebih entitas dalam supply chain.
Penelitian yang menggambarkan kolaborasi entitas pada supply chain akan menciptakan nilai (Beamon and
Ware 1998;Boyer, Newman and Hanna 2000;Choi 1995; Dixon, Arnold, Heineke,Kim and Mulligan 1994;
Lejeune and Yakova 2005; Van Hoek 1998). Penelitian lain memberikan bukti bahwa kolaborasi manajemen
supply chain berdampak positif terhadap seperangkat produk layanan (Bonner 2005; Choy, Lee, Lau, So and
Victor Lo 2004; Petersen, Handfield and Ragatz 2005; Tracey 2004).
372
Daya saing suatu komoditas dalam pasar global dipengaruhi juga oleh daya saing pelabuhan.Menurut
Tongzon (2004), daya saing pelabuhan ditentukan oleh delapan faktor; (1) tingkat efisiensi operasi pelabuhan,
(2) biaya penanganan kargo di pelabuhan, (3) keandalan, (4) preferensi pemilihan pelabuhan oleh pemilik
armada/pemilik barang, (5) daya tampung (ukuran kapal yang bisa bongkar muat) di pelabuhan, (6) kemampuan
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pasar, (7) kemampuan akses ke transportasi darat, dan (8) diferensiasi
produk(Tongzon 2004).
Aspek kelembagaan dalam rantai pasokan menyangkut aturan, motivasi, jaminan penghargaan,
manajemen resiko, maupun kemungkinan biaya transaksi yang muncul dari interaksi para pelaku dalam rantai
pasokan rumput laut. Aturan main dari suatukomunitas masyarakat atau organisasi menyangkut tata cara
maupun norma yang memfasilitasi koordinasi antar pelaku sosial yang terlibat untuk membantu mewujudkan
harapannya. Dengan aturan main setiap pelaku mempunyai alasan atau motivasi untuk terlibat dalam komunitas
atau organisasi. Aspek kelembagaan memiliki peranan sangat penting dalam mewujudkan harapan mengenai
hak untuk menggunakan sumberdaya dalam aktivitas ekonomi dan pembagian pendapatan yang dihasilkan dari
aktivitas ekonomi. Kelembagaan memberikan jaminan penghargaan atas aksi yang dilakukan setiap pelaku
yang terlibat dalam suatu komunitas atau organisasi serta memberikan stabilitas pengharapan dalam hubungan
ekonomi yang tidak pasti dan kompleks (Ruttan, 2006).. Dengan kondisi ini, keberadaan kelemba gaan dalam
rantai pasokan rumput laut harus mampu mereduksi berbagai resiko dan biaya transaksi yang timbul dari
keterbatasan informasi dan kapasitas mental pelaku ekonomi yang terlibat.Bailey, Norina dan Cassavant (2002)
menyatakan pentingnya kelembagaan rantai pasokan dan karakteristik produknya.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai kinerja rantai
pasokan dan biaya logistik yang harus dikeluarkan oleh industri rumput laut, baik di sektor hulu (upstream)
maupun sektor hilir (downstream). Pendekatan yang bersifat kuantitatif yang kemudian didukung oleh
pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara melakukan survey pada pembudidaya rumput laut, pengepul,
eksportir dan industri rumput laut. Sementara itu, pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara melakukan
wawancara mendalam serta Focus Group Discussion (FGD).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pelaku Usaha dan Budidaya Rumput Laut Di Seram Bagian Barat
Lokasi rumput laut (Eucheuma cottonii) dibudidayakan oleh nelayan di wilayah Kabupaten Seram Bagian
Barat berada di dusun Pulau Osi, dusun Wael, dusun Kotania dan desa Nuruwe. Kegiatan budidaya telah
dilakukan sejak tahun 2000 sampai sekarang. Sebagian besar metode budidaya yang digunakan adalah metode
rawai (longline) dan metode rakit apung. Rumput laut yang dihasilkan biasanya dijual oleh nelayan pembudidaya
ke pengepul setempat dalam bentuk rumput laut kering dengan metode Budidaya Rawai/longline dan Metode
budidaya Rakit Apung. Pengepul rumput laut di Kabupaten SBB rata-rata berusaha selama 7 tahun dan seluruh
pengepul seluruhnya menyatakan bukan usaha turun temurun serta mayoritas tidak berbadan usaha.
Penjualan produk rumput laut di daerah SBB pada tiga tahun terakhir sebanyak 47,92% mengalami
peningkatan, 27,08% stabil dan 25% mengalami penurunan penjualan. Adapun alasan terjadinya peningkatan
373
meliputi (a) kondisi perairan, (b) pertumbuhan rumput laut, (c) Musim, (d) kondisi alam mendukung untuk
budidaya, (e) kapasitas budidaya yang meningkat, (f) keberadaan pengepul dari luar wilayah. Selanjutnya alasan
pertumbuhan relatif stabil meliputi (a) penetapan harga dari pengepul di bawah standar, (b) keadaan alam
mendukung dan harga rumput laut kadang naik dan turun, (c) kapasitas budidaya yang kecil, (d) tingkat
keberhasilan panen, (e) tingkat ketersediaan bahan baku. Sedangkan alasan terjadinya penurunan penjualan
rumput laut meliputi (a) faktor musim, (b) pencemaran perairan dan penyakit rumput laut, (c) distorsi harga di
tingkat pengepul, (d) rumput laut terinfeksi penyakit, dan (e) keberadaan predator rumput laut.
Para nelayan di Kabupaten SBB menjual seluruh rumput laut yang dihasilkan melalui agen/pengepul,
sehingga marjin keuntungan yang diperoleh para nelayan menjadi kecil. Meskipun demikian, masih pula
terdapat sejumlah hasil budidaya yang dijual di tingkat lokal (22,92%) sedangkan sisanya di luar kota (47,92%)
dan sisanya nelayan tidak mengetahui kemana wilayah pemasaran rumput laut itu. Pengepul berperan sangat
tinggi dalam memasarkan produk rumput laut. Hasil produksi rumput laut dari nelayan budidaya rumput laut
terdistribusi sebanyak 81,25% kepada pengepul, walau masih terdapat nelayan yang melakukan distribusi
kepada konsumen (18,75%).
Nelayan dan pengepul menyatakan pasar rumput laut sekarang masih terbuka, meskipun ada pula yang
mengatakan pasar sudah mulai jenuh (25%) dan sangat jenuh (13%). Pasar yang masih terbuka merupakan
jawaban dari para nelayan yang penjualannya meningkat, adapun yang menyatakan penjualannya stabil atau
mengalami penurunan menyatakan pasar mulai jenuh. Kondisi ini dapat menjelaskan keberlanjutan usaha
rumput laut.
Persaingan harga antar agenl dalam pemasaran rumput laut mempengaruhi pendapatan yang diperoleh
nelayan budidaya rumput laut. Nelayan umumnya yang menyatakan tingkat persaingan rendah (43,75%) dan
usaha rumpur laut menjadi peluang bekerja terbuka di SBB. Pemasaran rumput laut SBB dilakukan oleh
pengepul. Rata-rata penjualan rumput laut yang dijalankan pengepul sebesar 5 ton per bulan. Sejalan dengan
para penjualan rumput laut 3 tahun terakhir mengalami peningkatan (75%) dengan cara pemasaran sebagai agen di
kota Ambon (88%) dan Surabaya (12%). Mayoritas pengepul Ambon menjual rumput laut ke Surabaya
(75%) dan sebagian lainnya ke Makasar dan Jakarta. Para pengepul (75%) mengangkut rumput laut
konsumen menggunakan truk dan kontainer.
Cara pembayaran tunai yang dilakukan oleh pengepul kepada nelayan sangat membantu keuangan nelayan
bagi keberlanjutan usaha produksi rumput laut di Kabupaten SBB. Pembayaran yang diterima nelayan dari
pengepul mayoritas tunai, walau terkadang mengalami keterlambatan 6,25%, sisanya lancar. Pemasaran
dilakukan oleh pengepul dan semua biaya ditanggung oleh pengepul, sehingga pada tingkat nelayan relatif tidak
ada biaya pengiriman yang dikeluarkan. Biaya pengiriman rumput laut ke konsumen dan harga jualnya
ditetapkan oleh pengepul. Para pengepul membayar rumput laut yang diterima dengan cara tunai. Biaya
pengiriman yang dikeluarkan oleh sejak dari nelayan hingga ke konsumen adalah biaya retribusi jalan dan
bongkar muat. Selanjutnya harga jual rumput laut ditetapkan oleh agen.
Nelayan di Kabupaten SBB cara membeli bahan baku dan sarana budidaya rumput laut yang
digunakan oleh, sementara penyediaan bibit berasal dari budidaya. Tempat pembelian bahan baku mayoritas
bersumber dari pasar lokal, sedikit yang berasal dari luar wilayah. Seluruh pengepul menyatakan membeli
rumput laut kering dari nelayan, baik secara langsung ke nelayan (88%) dan hanya 12 % nelayan yang datang ke
374
pengepul . Pengepul menyatakan bahwa rumput laut mayoritas berasal dari Kotania (33%), Wael (33%) dan
Pulau Osi (15%), sisanya tersebar masing-masing 8% di Lupessy, Taman Jaya dan Seram Barat, meskipun para
pengepul menyatakan pula bahwa terkadang rumput laut tidak tersedia.
Nelayan budidaya rumput laut di Kabupaten Seram Bagian Barat menjalin kemitraan dengan beberapa
lembaga dalam melakukan usaha budidayanya. Selama ini terdapat beberapa lembaga yang memberi bantuan
kepada para nelayan, antara lain Bank Indonesia (15%), ILO (6%), Dinas Perikanan dan Kelautan (17%), PNPM
Mandiri (2%) dan Lembaga Keuangan Mikro (2%). Adapun bantuan yang diterima oleh nelayan berbentuk
bantuan bahan baku, bantuan penyuluhan, bantuan sarana budidaya, bantuan dana, dan bantuan infrastruktur.
Berbeda dengan nelayan, sebagian besar para pengepul mayoritas tidak bermitra, yaitu hanya 13% yang
melakukan kemitraan. Adapun kendala yang dihadapi oleh para pengepul pada rantai pasok rumput laut di SBB
meliputi masalah bahan baku (38%), produksi (38%) dan pemasaran jauh (13%). Untuk mengantisipasi kendala,
sebanyak 63% pengepul menyatakan perlunya peningkatan produksi disamping kemitraan (13%), keberadaan
agen pemasaran di tingkat kabupaten (13%) dan menjaga kebersihan rumput laut (13%).
Rincian berdasarkan lokasi, jumlah pasokan (Kg), nilai pasokan (Rp), Harga rata-rata rumput laut (Rp/Kg)
dan jumlah rata-rata pasokan per nelayan per bulan dari rantai pasokan rumput laut setiap daerah kabupaten
Seram Bagian Barat dapt dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakter dan Nilai Pasokan dan Penerimaan Nelayan Rumput Laut di Seram Barat
Daerah
Jumlah Pasokan
(kg)
Nilai Pasokan
(Rp)
Harga rata-rata
(Rp/kg)
Jumlah rata-rata produksi per
nelayan/ bulan Kotania 1.354 7.884.000.00 5695,24 90.27
Wael 8.100 56.900.000.00 7338,24 476.47 Pulau Osi 6.800 49.100.000.00 7598,90 523.08 Nurue 2.164 16.400.000.00 7367,28 721.33 Seram Bagian Barat 18.418 130.284.000.00 7024, 58 484.68
Sumber : Hasil Penelitian dan pengolahan data lapangan, 2012
Rincian lokasi dan logistic dari pasokan rumput laut di Kabupaten Seram Bagian Barat dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi dan Logistik Rantai Pasokan Rumput Laut di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku
Asal dan
lokasi
koleksiRumput
Laut
Sasaran
Pasar
Biaya
Transpor
(Rp000)
Biaya.
Retribusi
(Rp’000)
Biaya
sewa
gudang
(Rp’000)
Biaya
Bongkar
Muat
(Rp000
Biaya lain
(Rp’000)
Biaya
Logistik
(Rp’000)
Biaya
Logistik
Rp per
Kg
Kotania
Ambon
1.500
300
-
200
-
2.000
333,33
Wael
Ambon
5.400
875
3.000
175
-
9.450
260,80
Pulau Osi
Ambon
7
2.000
200
-
300
2.500
208,33
Seram Bagian
Barat 1
Makasar
dan
Surabaya
50.000
-
-
-
-
50.000
500,00
375
Seram Bagian
Barat 2
Makasar
dan
Surabaya
-
550
500
-
1.500
2.550
1.931,60
Rata-rata 11.381,4 745 740 75 360 13.300 646,81
Sumber : Hasil Penelitian dan pengolahan data lapangan, 2012
Dengan memperhatikan kondisi dan potensi didapat matriks analisis SWOT pengembangan supply chain
rumput laut di Kabupaten SBB, Maluku berdasar pada perspektif Internal Bisnis, Finansial, Pelanggan dan
Pemasok serta Pembelajaran dan Pertumbuhan.
Dari survei diketahui bahwa wilayah yang penerima produksi rumput laut dan hanya mengekspor seperti
Surabaya atau Makasar dapat menikmati Rp 12.000 per kilogram. Sementara daerah produsen (SBB) hanya
menikmati harga jual tertinggi Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per kilogram. Biaya angkut rumput laut dari Ambon
ke Makassar dan Surabaya Rp 1.000 per kilogram, sementara dari Surabaya ke China cuma Rp 250 per kilo.
Memperhatikan hal ini terlihat adanya masalah pada supply chain yang berdampak pada biaya logistik.
Temuan pada penelitian tahun 2012 mendukung hasil penelitian bahwa para nelayan sama sekali tidak pernah
melakukan pemasaran, sehingga 100% dari rumput laut yang diproduksi SBB dijual melalui agen
/pengepul dan dibawa ke Surabaya dan Makasar. Mayoritas nelayan (81,25%) tidak melakukan distribusi
kepada konsumen, meskipun demikian masih terdapat nelayan yang melakukan distribusi kepada konsumen
langsung atau hasil budidaya yang dijual di tingkat lokal, sehingga marjin keuntungan yang diperoleh para
nelayan relative masih kecil. Hal ini menunjukkan tingginya peran pengepul dalam memasarkan produk rumput
laut. Disamping itu, persaingan harga yang dilakukan oleh agen/pengepul mempengaruhi pendapatan yang akan
diperoleh nelayan budidaya rumput laut. Jumlah nelayan budidaya rumput laut Kabupaten SBB sebanyak 1.321
orang yang tersebar dalam empat kecamatan (DKP Provinsi Maluku, 2011).
Usaha rumput laut telah mampu memberikan nilai tambah dan pendapatan bagi masyarakat secara nyata.
Secara historis, pengembangan produk rumput laut di SBB diawali dengan program stimulasi, melalui pelatihan,
fasilitasi bibit, fasilitasi produksi, fasilitasi peralatan, an fasilitasi permodalan. Hasil produksi rumput laut
mampu mengangkat harkat hidup masyarakat miskin, daerah tertinggal, dan beralih dari penangkapan ikan
menjadi pembudidaya dengan nilai hasil produksi yang meningkatkan taraf kesejahteraan ekonomi, kesehatan,
kesehatan lingkungan, kemampuan pendidikan keluarga, dan mengatasi konflik.
Usaha rumput laut di SBB mampu meningkatkan derajat ekonomi petani/nelayan, diantaranya menyiapkan
dana sekolah anak, Kegiatan usaha rumput laut mampu memenuhi kebutuhan sekolah nelayan/petani rumput laut,
pemenuhan kebutuhan ibadah/pergi haji, dan penanganan pengungsi akibat konflik dengan jaminan usaha
rumput laut.Program makan ikan dan mobil alih teknologi diarahkan untuk mengembangkan diversifikasi
pangan olahan dari rumput laut. Diversifikasi produk olah rumput laut skala rumah tangga di Kabupaten
SBB dilakukan melalui penyuluhan dan pelatihan walau masih sebatas skala industry rumah tangga sabun
dan permen, sirup, chip, dari rumput laut. Kegiatan ini menjadi embrional bagi peningkatan rantai pasokan dan
nilai produk rumput laut pada pasar local maupun wilayah.
Produksi rumput laut di SBB menurun karena petani/nelayan beralih peran menjadi petambang di Pulau Buru
dan menjadi nelayan tangkap. Keberadaan pengembangan pabrik pengolahan sagu Di SBB disinyalir (LIPI)
juga meneliti, bahwa pabrik ini merusak lingkungan perairan pantai di SBB. Kegiatan ini menimbulkan
376
ganggang sehingga habitat rumput laut terganggu, produksi tahun 2011-2012 mengalami penurunan. Selain
penurunan produksi berkait dengan factor cuaca (hujan), juga terimbas oleh menurunnyatingkat salinitas air
lokasi produksi rumput laut yang menjadi syarat vegetasi tumbuh berkembang rumput laut.
Jaringan pasokan rumput laut secara lokasi intra wilayah adalah Seram Bagian Barat—Tulehu, Ambon,
Makasar atau Seram Bagian Barat—Tulehu, Ambon,Surabaya, Cina atau Seram Bagian Barat—Tulehu,
Ambon, Jakarta, Cina Hasil rumput laut Seram Barat dibawa ke Bosowa, Makasar, Sulawesi Selatan yang
menunjukkan jalur intra regional dan jalur inter regional.
Pengembangan produk rumput tidak hanya dijual dalam bentuk rumput kering, namun juga sebagai produk
kuliner,penganan, chips, dan industry rumah tangga lainnya. Masuknya perusahaan swasta dari luar daerah yang
melakukan ekspansi pemasaran melalui upaya menampung rumput laut dari Provinsi Maluku disinyalir akan
turut mempengaruhi rantai pasokan rumput laut. Hal ini disinyalir dapat mengganggu arus barang dan pasokan
rumput laut bagi pengolahan yang ada di Maluku Tengah termasuk Kabupaten Seram Bagian Barat dan
sekitarnya. Dalam kepentingan daerah, hal ini akan mengganggu ketersediaan pasokannya pabrik pengolahan
rumput laut yang ada di daerah.
Analisis Meningkatkan Kinerja Rantai Pasokan Rumput Laut
Perusahaan pengolah rumput laut menjaga manajemen mutu perusahaan guna menjamin
keberlangsungan usaha dan mutu produk rumput laut yang dihasilkan. Demi meningkatkan kinerja usaha dan
menjaga manajemen mutu perusahaan dalam rantai pasokan rumput laut, maka perusahaan menjaga kondisi
manajemen perusahaan, yang meliputi kemampuan manajemen internal secara baik dan professional,
manajemen mutu pemasok, pengendalian mutuk pemasok, perbaikan system mutu produk rumput laut, partisipasi
kerja, pendidikan dan pelatihan produk rumput laut, serta perhatian pada pembeli dan pelanggan.
Dalam menjamin kelangsungan usaha produk rumput laut, maka factor yang paling utama yang secara
berurut berpengaruh terhadap mutu produk rumput laut yang dihasilkan perusahaan adalah mutu bahan baku
rumput laut, proses pengadaan bahan baku rumput laut, harga, proses transportasi, kondisi penyimpanan, lokasi
pasar, teknik dan teknologi pengolahan. Mutu produk olahan perusahaan sangat dominan dipengaruhi oleh
penanganan rantai pasokan rumput laut sejak sediaan bahan baku, penyimpanan, pengakutan, sedangkan factor
pengolahan relative merupakan factor pendukung lainnya.
Penelian memperoleh temuan bahwa terjadinya permasalahan rendah-tinggi mutu produk rumput laut di
perusahaan dilatarbelakangi oleh kemampuan penanganan produk pada kegiatan pasokan, yaitu waktu
penyimpanan, mutu rumput laut yang dipasok, kondisi transportasi (sarana dan prasarana), serta perlengkapan
penyimpanan yang digunakan. Hal ini menunjukkan pentingnya memperhatikan penanganan pasokan dalam
penjaminan mutu produk yang diterima di pasar baik pasar domestic maupun pasar ekspor ke luar negeri.
Sebagaimana faktor pasokan bahan rumput laut, mutu produk olahan rumput laut juga sangat berkait erat
dengan kemampuan penanganan mutu olahan saat pasokan produk ke pasar, yaitu kondisi dan waktu transportasi,
waktu penyimpanan persediaan, serta kondisi penyimpanan produk. Sementara itu walaupun waktu pengolahan
cukup besar menjadi permasalahan mutu rumput laut pada tahap pengolahan, tetapi secara akumulatif factor
penanganan pasokan produk olahan relative dominan dalam menjaga mutu produk olahan rumput laut.
Pada tahap distribusi, sebagaimana pada tahap penyediaan bahan baku rumput laut dan pengolahan produk,
377
serta hasil olahan produk rumput laut, bahwa factor penanganan pasokan pada tahap distribusi produk juga
dominan mempengaruhi mutu produk dan nilai yang diperoleh perusahaan. Penanganan transportasi produk
(kondisi sarana prasarana dan waktu transportasi), waktu penyimpanan, perlengkapan penyimpanan secara
akumulatif mempengaruhi mutu produk rumput laut pada tahap distribusinya. Meskipun demikian, perilaku
pembeli terhadap mutu dan jenis produk yang dihasilkan juga memberikan kontribusi pengaruh juga terhadap
jaminan mutu produk akhir rumput laut agar dapat diterima di pasar domestic maupun luar negeri.
Penelitian juga mendapatkan temuan bahwa pasar rumput laut dan produk turunannya pada pasar domestic
dan luar negeri masih sangat terbuka. Volume penjualan rata-rata per perusahaan mencapai 1500 ton per bulan,
walau dengan tingkat persaingan yang sangat ketat antar perusahaan, baik dalam kegiatan perdagangan
maupun pengolahan produk rumput laut yang dihasilkan. Pembayaran transaksi relative lancar melalui
pembayaran tunai, semakin mendukung likuiditas dan rentabilitas usaha perusahaan rumput laut, tentunya
dengan keterjaminan mutu produk yang dihasilkan.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa penjaminan mutu produk dalam manajemen rantai pasokan produk
rumput laut yang dilakukan oleh perusahaan menjadi kunci keberhasilan usaha. Dari komponen
pendorong keunggulan operasional bisnis rumput laut, terlihat jelas bahwa komponen penerapan HACCP
rumput laut, penerapan ISO, GMP, SOP dalam pengolahan produk rumpul laut, dan keahlian mutu manajer
mengenai produk rumpul laut masuk kategori sangat kuat dalam usaha rumput laut yang dilakukan perusahaan.
Sementara komponen operasional bisnis lainnya berupa kegiatan penelitian dan pengembangan perusahaan
terhadap produk rumput laut; peralatan penunjang operasional produksi rumput laut; pasokan bahan baku
rumpul laut relatif stabil; tingkat investasi teknologi; mutu bahan baku rumput laut; tingkat manajemen
perusahaan; kepemilikan rumput laut akses yag baik terhadap saluran informasi; teknologi pengolahan rumput
laut; investasi untuk memperbaharui mutu produk rumput laut; kemitraan dengan pemasok rumput laut; keahlian
mutu tenaga pekerja mengenai rumput laut ; Ketrampilan dan kinerja tenaga kerja pengolahan rumput laut ;
hubungan perusahaan dan distributor; penunjang transportasi dalam distribusi produk relatif memadai; dan
kekuatan modal usaha perusahaan termasuk dalam kategori cukup.
Analisis Alternatif Strategi Pengembangan Rantai Pasokan Rumput Laut di SBB
Secara spasial, guna mendukung pasokan rumput laut perlu memperhatikan pengkaplingan laut bagi
budidaya rumput laut, pergudangan, pengolahan, dan tata ruang Pesisir dan tata ruang Laut yang dapat
menjamin rangkain pasokan rumput laut dari hulu (budidaya, pengadaan, penjemuran) sampai hilir (pengolahan,
pernyimpanan produk, pergudangan, pengangkutan, listrik, dan air, serta infrastruktur penunjang). Kebijakan
spasial dibutuhkan untuk mempersiapkan perairan laut. Bagi sisi kepentingan pembangunan daerah Kabupaten
SBB, masalah rantai pasokan menyangkut upaya membangun intra trading area dan relasi inter wilayah
pasokan rumput laut yang menjamin lokasi budidaya, tempat penjemuran, lokasi dan proses pengolahan,
penyimpanan, pemasaran, pengangkutan, dan logistiknya perlu diwujudkan sesegera mungkin dengan dukungan
koordinasi pemerintah pusat dan daerah (dukungan APBN dan APBN).
Kelembagaan nelayan/nelayan rumput laut membangun koperasi rumput laut merupakan kebutuhan yang
mendesak, sehingga persepsi dari kepentingan petani rumput laut untuk dapat menjual produk dan cepat dapat
uang menjamin transaksi pasar baik pasar input maupun pasar hasilnya bagi para nelayan/petani. Usaha rumput
378
laut tidak hanya rumput laut kering yang dijual ke pengepul dari Ambon, Makasar, NTT, Surabaya, Jakarta
menjadi potensi bagi pengembangan menjalin rantai pasokan rumput laut berbasis lembaga usaha nelayan yang
memungkinkan diperolehnya marjin usaha pasokan yang juga dinikmati nelayan/petani rumput laaut yang
terintegrasi hulu-hilirnya. Infrastruktur wilayah menjadi kebutuhan dasar bagi kelancaran system logistic bagi
optimalisasi manajemen rantai pasokan rumput laut di Kabupaten SBB. Infrastruktur pendukung pasokan
rumput laut berupa sarana dan prasarana transportasi, ketersediaan air bersih, ketersediaan depo penyimpanan
hasil antara (raw material) rumput laut sebagai bahan olahan, lokasi penampungan hasil olah pasokan rumput
laut, pabrik pengolahan. Infrastruktur lain yang dibutuhkan berupa infrastruktur penyuluhan, kebun bibit rumput
laut , penangkaran rumput laut di tingkat petani/nelayan yang menjamin ketersediaan bahan baku dan
trasnformasi inovasi hulu-hilir produk rumput laut. Kabupaten SBB memiliki Balai Pembibitan Rumput Laut di
Masika Jaya sebagai lokasi pendukung potensial bagi penyediaan dan pengembangan bibit rumput bagi
kebutuhan local maupun wilayah Maluku. Keterbatasan sediaan listrik bagi logistic dan pengolahan rumput laut
dalam skala industri dan inter wilayah dapat diatasi salah satunya dengan memanfaatkan potensi arus laut
sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Di Kabupaten SBB terdapat proyek fasilitasi pembangunan Depo
Gudang Rumput Laut tahun 2011, namun penggunaa gedung ini tidak optimal.
Selanjutnnya berdasarkan hasil analisis dan pertimbangan potensi disusun suatu alternative strategi
pengembangan rantai pasokannya. yang terdiri dari (1) Strategi rantai pasokan pengumpul, (2) Strategi rantai
pasokan pengumpulan-perdagangan, (3) Strategi rantai pasokan industri hulu hilir.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Hasil penelitian tahap awal memberikan deskripsi situasi rantai pasokan rumput laut sebagai bagian wujud
klaster industry dan teridentifikasikannya faktor-faktor penghambat dan upaya mengatasi kendala pada
manajemen rantai pasokan rumput laut di Kabupaten SBB. Hasil penelitian menemukenali formasi dan
mekanisme dari rantai pasokan dengan memperhatikan variabel biaya distribusi, persediaan, kesesuaian tingkat
persediaan, transportasi, dan kebutuhan pergudangan (inbound maupun outbound logistic).
Beberapa indikasi penting rumusan strategi pengembangan rantai pasokan rumput laut di Kabupaten Seram
Bagian Barat, Maluku, berupa kinerja produksi dan budidaya, situasi pemasaran, keuangan, kemitraan, tipe rantai
pasokan, dan rumusan matriks SWOT rumput laut. Hasil penelitian menguatkan peran bahwa provinsi
Maluku dalam koridor ekonomi Indonesia bagian Timur sebagai daerah penghasil produk rumput laut sekaligus
memperkuat posisi dalam rantai nilai bagi pengembangan industry rumput laut. Lokasi pasokan rumput laut
memiliki keterkaitan dengan konfigurasi jaringan logistic, sehingga jaringan infrastruktur penunjang produksi dan
aksesibiltas transportasi bagi pasokan menjadi factor ikutan lainnya yang harus diperhatikan dalam strategi
pengembangan rantai pasokan sumput laut di Seram Barat, Maluku, terutama guna menetapkan lokasi dan
menentukan jumlah pergudangan, menetapkan besaran gudang, dan menentukan jenis produk yang diterima
pelanggan dari setiap gudang.
Cakupan strategi supply chain yang ada masih sebatas pada pelaku pasokan petani, pengepul,
pedagang, dan pengolah yang berorintasi pada penyedia (supplier), pengolah (manufacture), dan agen
(distributor), tetapi belum menjangkau pada pelaku pengecer dan pelanggan. Zona strategi dari supply chain
379
yang ada di Kabupaten Seram Bagian Barat masih sebatas berorientasi pada memenuhi permintaan pasar yang
pasti dengan perspektif efisiensi, atau belum mengarahkan respon pasarnya terhadap rantai pasokan dalam
menghadapi ketidakpastian permintaan pasar, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Pengembangan usaha rumput laut di Kabupaten SBB akan mampu memberikan efek ganda dan efek sebar
bagi berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan menggerakkan roda perkenomian daerah. Dalam jangka
menengah, jika rantai pasokan rumput laut sejauh dikelola dengan baik, maka dapat dipastikan akan memberikan
dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berkontribusi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
Distribusi produk rumput laut dari tingkat pembudidaya sampai ke industri dan konsumen domestik dan
ekspor relatif lancar. Aliran barang rumput laut yang dihasilkan di Kabupaten SBB secara intra regional relatif
terlayani dan mampu menjadi pemasok bagi target pasar rumput laut kering sebagai bahan baku industri di
Makasar, Surabaya, dan Jakarta. Produk rumput laut diproses lebih lanjut oleh industri menjadi produk olahan
dimana orientasi penjaminan mutu produk dalam manajemen rantai pasokan produk rumput laut yang dilakukan
oleh perusahaan menjadi kunci keberhasilan usaha produk rumput laut.
Rekomendasi
Berdasarkan pertimbangan optimalisasi rantai pasokan dan efektivitas capaian produkvitas budidaya
rumput laut sebagai komoditas unggulan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapqet Seram).
Aksesibilitas Kabupaten Seram Barat juga dijadikan bahan pertimbangan dalam konstalasi konektivitas koridor
ekonomi (MP3EI) wilayah timur Indonesia, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti bagi
penelitian lanjutan, yaitu mengevaluasi kelembagaan rantai pasokan, distribusi dan daya saing, mengukur
kemanfaatan rantai pasokan bagi pelaku budidaya rumput laut, menyusun peta strategik (Strategic Map) bagi
pengembangan rantai pasokan rumput laut berkait dengan klaster industri, kawasan pengembangan ekonomi
terpadu, dan kebijakan pemerintah.
Mengingat potensi rumput laut yang sangat besar di Kabupaten Seram Bagian Barat, maka potensi yang
belum dikelola secara maksimal selayaknya dapat meningkatan pendapatan masyarakat pembudidaya rumput
laut, pelaku rantai pasokan rumput laut baik produk hulunya maupun hilir, baik pada kegiatan on-farm maupun
off-farm dari usaha rumput laut.
Potensi pengembangan ekonomi masyarakat pesisir melalui rumput laut selayaknya didorong secara
kontinu, karena pemberdayaan ekonomi kerakyatan di pesisir bukan hanya sebatas pemberian berupa bantuan
keuangan semata, tapi juga berupa pengembangan lembaga koperasi, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan-
pelatihan keterampilan, inovasi dan teknologi yang terkait dengan budidaya rumput laut maupun pengolahan
produk turunan yang bernilai tambah. Instrumen ini penting bagi penguatan daya saing dan kerjasama, serta
peningkatan nilai ekonomis pengembangan rantai pasokan di Kabupaten SBB yang terintegrasi dengan
manajemen pemasaran produk, rantai pasokan regional dan global, maupun rantai nilai rumput laut dengan
format industri.
Integrasi rantai pasokan dan rantai nilai rumput laut di Kabupaten SBB dapat dalam bentuk penjualan bahan
baku, industri lanjutannya yang berlokasi sekitar Maluku dalam skala regional. Hal ini membuka peluang usaha
dan nilai tambah yang diperoleh masyarakat di Kabupaten SBB dan sekitarnya. Pemerintah daerah dapat
380
menjaring investor untuk mendirikan industri-industri pengolahan rumput laut, maka nilai tambah yang bisa
diperoleh akan menjadi lebih besar. Hal ini akan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan daerah, karena
akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan dan pendapatan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
API. (2007). The Indonesian Textile and Clothing Outlook. Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia.
Barratt, M. and A. Oliveira. (2001). Exploring the experiences of collaborative planning initiatives. International
Journal of Physical Distribution & Logistics Management 31(4):22.
BPS. (2011). Jumlah Perusahaan Menurut Sub Sektor, 2001-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS.(2011). Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi. Booklet Triwulanan, pp. 1-153.
Bonner, J. M. (2005). (The) influence of formal controls on customer interactivity in new product
development. Industrial Marketing Management 34(1):63-69.
Boyer, K. K., G. K. Leong, P. T. Ward and L. J. Krajewski. ( 1997). Unlocking the potential of advanced
manufacturing technologies. Journal of Operations Management 331-347.
Chopra, Sunil and Meindl, Peter. (2001). Supply Chain Manegement : Strategy, Planning and Operation. Prentice
Hall. Upper Saddle River, New Jersey.
Das, A. and R. Handfield. (1997). Just-intime and logistics in global sourcing: An empirical study. International
Journal of Physical Distribution & Logistics Management 3(27):244 259.
Dewett, T. and G. R. Jones. (2001). The role of information technology in the organization: a review, model, and
assessment. Journal of Management 313-346.
Dixon, R., P. Arnold, J. Heineke, J. Kim, and P. Mulligan. (1994). Business process reengineering: Improving in
new strategic directions. California Management Review (Summer):93-108.
Frazelle. (2001). Supply Chain Strategy : The Logistics of Supply Chain Management, McGraw-Hill.
Frohlich, M. T. and R. Westbrook. (2001). Arcs of integration: An international study of supply chain strategies.
Journal of Operations Management 185-200.
Hill, C. A. and G. D. Scudder. (2002). The use of electronic data interchange for supply chain coordination in the
food industry. Journal of Operations Management 375-387.
Jin Su, C. L. (2009). Strategic Sourcing and Supplier Selection in the U.S. Textile-Apparel-Retail Supply
Network. Clothing & Textiles Research Journal, Vol. 27, No. 2, 83-97.
Kemenko-Perekonomian. (2011). Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-
2025. Jakarta: Kemenko Perekonomian RI.
Lejeune, M. A. and N. Yakova. (2005). On characterizing the 4 C’s in supply chain.
Mentzer, J. T., J. H. Foggin and S. L. Golicic. (2000). Collaboration: The enablers, impediments and benefits.
Supply Chain Management Review (September- October):52-58.
Petersen, K. J., R. B. Handfield, and G. L. Ragatz. (2005). Supplier integration into new product development:
Coordinating product, process and supply chain design. Journal of Operations Management 23(3):371-388.
R. Supriyadi Ery, dkk. (2013). Strategi Pengembangan Supply Chain Rumput Laut di Kabupaten Seram Barat ,
Provinsi Maluku. Seminar Nasional Agribisnis Universitas Padjadjaran. Penerapan Ilmu Sistem dan
Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional. Jatinangor 16 Nopember 2013. Bandung.
Spekman, R., J. Kamauff, and N. Myhr. (1998). An empirical investigation into supply chain management – A
perspective on partnerships. International Journal of Distribution and Logistics 28(8):630-650.
Tang, K. and J. Tang. ( 2002). Time-based pricing and leadtime policies for a build-to-order manufacturer.
Production and Operations Management 11(3):374- 392. Supply Chain Consortium. 2008. The supply chain
best practices framework. Tompkins Associates, Inc. Retrieved
Tracey, M. (2004). A holistic approach to new product development: New insights. Journal of Supply Chain
Management:A Global Review of Purchasing & Supply 40(4):37-55. Van Hoek, R. 1998. Measuring the
unmeasureable- Measuring and improving performance in the supply chain. Supply Chain Management
3(4):187-192.
WB&IFC (2011), Doing Business in Indonesia 2011, Washington, D.C.: The World Bank and The International
Financial Corporation.
Tongzon, J. (2004). Determinant of Competitiveness in Logistics: Implications for Region. International
Conference on Competitiveness: Challenges and Opportunities for Asian Countries (pp. 1-16). Bangkok:
Thailand's National Competitiveness Committee.
UNESCAP. (2011). Logistics Performance Index-Connecting to Compete 201. Washington: World Bank Group.
WEF. (2011). The Global Competitiveness Report 2011-2012. Geneva: the World Economic Forum.