Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi
-
Upload
fathurrahman-muiz -
Category
Documents
-
view
73 -
download
7
Transcript of Rekonstruksi Teologi Hassan Hanafi
REKONSTRUKSI TEOLOGI, OKSIDENTALISME DAN KIRI ISLAM; Telaah Pemikiran Hassan HanafiPosted on 11 January 2011 by admin
Oleh: Tasmuji, M.Ag
Dosen Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya
Â
Abstract
Besides his activities as lecture and social activist, Hassan Hanafi is also
known as a Moslem thinker who wrote many books of Islamic thoughts.
Hanafi’s ideas is basically constructed within socio-political movements,
both in Egypt and French. He criticized injustuce conditions that occures
both in Islam (East) and West. He assumes that there is big distance
between the ideal Islam as khairu ummah and the real Islam. Hanafi
supposses that contemporary Moslem must structurally reform their ideas
and thoughts to make a change. Contemporary Moslem have to reconstruct,
unite and integrate Islamic knowledge into modern ideology, spirit, culture
and civilization. Hanafi builds his ideas based on what he called as at-turats
wa at-tajdid (tradition and reformation) project. At leats there are three
steps, according to Hanafi, to reform Islamic thoughts: (1) how to build our
“response to old tradition†�, (2) how to express our “response to the
West†�, and (3) how to create our “response to the reality†�. This paper
will explain the main idea of Hassan Hanafi and his contribution to the
contemporary Islamic thoughts.
Â
Keywords: Hassan Hanafi, tradition, Kiri Islam, and reformation.
Pendahuluan
Hassan Hanafi adalah seorang tokoh pemikir dalam dunia Islam
kontemporer. Ia dikenal sebagai seorang filosof dan Teolog yang berasala
dari Mesir. Sebagai seorang pemikir, Hassan Hanafi aktif menulis buku
serta aktif di dunia akademik dan organisasi kemasyarakatan. Pemikiran
Hanafi secara sosiologis terbentuk (socially constructed) melalui suatu
proses yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi sosial-politik serta situasi
gerakan intelektual di Mesir dan Perancis.
Sebagai seorang pemikir, Hanafi merasakan kegelisahan melihat realitas
yang terbentang di hadapannya terkait dengan dominasi dunia Barat
terhadap dunia Timur (khususnya Islam). Sebuah realitas yang
mencerminkan superioritas dan inferioritas. Hal tersebut berdampak pada
sikap dan mental; Barat sebagai penindas dan Timur sebagai yang
tertindas. Melihat ketimpangan itu, Hanafi mengambil langkah-langkah
strategis untuk menyelesaikannya.
Basis pemikiran sosial Hassan Hanafi berdasar pada kondisi obyektif dunia
Islam yang pada umumnya masih merepresentasikan simbol-simbol negatif
umat Islam, seperti keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan.
Sementara kapitalisme global muncul dengan sejumlah tawaran estetisnya,
berupa proyek rasioanalisasi dan sistem pengorganisasian sosial yang
bersifat absolut sebagai penggolongan kebebasan manusia yang bersifat
tunggal dan hegemonik. Realitas ini menghadapkan dunia Timur pada
situasi yang dilematis. Di satu sisi dihadapkan pada situasi untuk menerima
kapitalisme global dengan segala implikasinya sebagai keniscayaan sejarah,
sementara di sisi lain kondisi obyektif dunia Timur (Islam) masih diselimuti
oleh problem internal berupa “ketidaksiapan†� sosiologis maupun
epistemologis sebagai basis dari kebudayaannya. Kondisi obyektif dunia
Timur yang serba terbelah dan terbelakang ini oleh Hanafi dikontraskan
dengan diktum idealis yang menyebutkan masyarakat Islam sebagai
“sebaik-baik umat†�. Kontras antara ideal dan fakta, nilai dan praksis
tersebut sangat menggelisahkan komitmen moral intelektual Hanafi.
[1] Komitmen sebagai pemikir dan keterlibatannya dalam pergumulan
perubahan sosial membawa Hanafi pada refleksi pemikiran progresif-
transformatif.
Hanafi meyodorkan sebuah premis bahwa umat Islam kontemporer berada
pada simpang jalan sejarah yang memerlukan kerja keras untuk
mengupayakan jalan keluar. Masyarakat Islam, menurut penilaiannya,
terbentur pada spektrum yang ironis ketika kejumudan pemikiran bertemu
dengan keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Kenyataan
yang tidak menyenangkan ini menyumbang pada marginalisasi masyarakat
Islam di tengah percaturan masyarakat global. Kerja keras yang mendesak
untuk dilakukan adalah reformasi intelektual Islam berupa gagasan
perubahan struktur dalam sistem kognisi. Upaya ini perlu dilakukan dengan
cara merekonstruksi, menyatukan dan mengintegrasikan semua tradisi
keilmuan Islam dalam peradaban Islam ke dalam semangat modern dan
menjadikannya sebagai ideologi manusia modern.
Hanafi akhirnya menggulirkan ide-ide besarnya dengan membangun tiga
langkah proyek besar yang dinamakan “Tradisi dan Pembaruan†�. Langkah-langkah yang ditempuhnya sebagai berikut. Pertama, membangun
“sikap kita terhadap tradisi lama†�. Ia merekonstruksi bangunan
teologis dalam tradisi klasik sebagai alat untuk transformasi sosial. Kedua,
menyatakan “sikap kita terhadap Barat†�. Ia berusahaa melakukan
kajian kritis terhadap peradaban Barat, terutama melihat pemunculan
kesadaran Eropa melalui studi oksidentalisme. Ketiga, meretas “sikap
kita terhadap realitas†� melalui pengembangan teori dan pengembangan
paradigma interpretasi.[2]
Ketiga alur gagasan besar Hanafi tersebut merupakan rangkaian
metodologi yang secara bertahap harus dikuasai lebih dahulu. Dalam hal
ini, tampaknya Hanafi berusaha mengangkat tema pembacaan kritis atas
dunia Barat dengan tetap berpijak pada realitasego yang dimiliki tradisi
lama. Artinya, ia menangkap ada problem epistemologis yang bersembunyi,
baik dalam tradisi Timur maupun tradisi Barat, yang kemudian menjadikan
Timur inferior (sebagai kesalahan membaca tradisi) dan munculnya Barat
sebagai superiorego atas the other.
Â
Sekilas Biografi Hassan Hanafi
Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935,[3] dari keluarga musisi.
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar dan tamat pada tahun 1948.
Dilanjutkan di Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha†�, Kairo dan lulus
pada 1952. Selama di Madrasah Tsanawaiyah Hanafi sudah aktif mengikuti
diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, hingga ia tahu tentang
pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan
mereka. Selain itu, Hanafi juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthb
tentang keadilan sosial dan keislaman.
Pada tahun 1952, setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah, Hanafi
melanjutkan studi di Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Hanafi lulus dan
menyandang gelar sarjana muda pada tahun 1956. Setelah itu ia
melanjutkan studi ke Universitas Sorbone, Prancis.[4] Pada tahun 1966,
Hanafi berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus
dengan tesis berjudul Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science
des Fondaments de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh dan
desertasi L’Exegeses de la Phenomenologie, L’etat actuel de la
Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religieux. Karir
akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian
Lektor Kepala (1973), dan Profesor Filsafat (1980) pada Jurusan Filsafat
Universitas Kairo. Ia pun diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat
pada Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di
beberapa negara, seperti Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University
Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez
Maroko (1982-1984). Selanjutnya Hanafi diangkat sebagai guru besar tamu
di Universitas Tokyo (1984-1985), Persatuan Emirat Arab (1985), dan
penasehat program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987).
Selama di Perancis ini, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar
logika, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, mendalami
fenomenologi dari Husserl, mempelajari analisa kesadaran pada Paul
Ricouer dan logika pembaharuan pada Massignon yang sekaligus bertindak
sebagai pembimbing penulisan desertasinya.
Di samping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan
kemasyarakatan. Ia aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat
Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan
Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat
Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Pada tahun
1981 ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan
jurnal ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri Islam). Pemikirannya yang terkenal
dalam jurnal ini pernah mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat
itu, Anwar Sadat, yang menyeretnya ke penjara. Keberangkatannya ke
Amerika sebagai dosen tamu sebenarnya tidak lepas dari perselisihannya
dengan Anwar Sadat yang memaksanya meninggalkan Mesir.
Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh
pergolakan dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua
kelompok ekstrem yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai
komunis yang semakin kuat atas pengaruh Uni Soviet di seluruh dunia.
Kemenangan Soviet dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di Kairo (1942)
merangsang minat kalangan mahasiswa dan kaum muda untuk belajar
komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin yang
didirikan Hasan al-Banna pada tahun 1929 di Ismailia yang pro-Islam dan
anti Barat.[5] Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk
Hanafi sendiri pada awalnya. Pengaruhnya yang kuat tidak hanya di Mesir
tetapi sampai juga di luar Mesir, termasuk di Indonesia.
Pemerintah Mesir menyikapi pergolakan tersebut dengan melakukan
pembersihan terhadap kaum komunis tahun 1946 dan kemudian melakukan
pembunuhan terhadap al-Banna pada tahun 1949, setelah setahun
sebelumnya melarang aktivitas kelompok ini. Pergolakan itu terus berlanjut
hingga meletusnya revolusi pada tahun 1952 yang dimotori oleh Ahmad
Husain, salah seorang tokoh partai sosialis. Beberapa bulan kemudian, pada
tahun yang sama, sekelompok perwira muda yang dikenal
dengan free officers[6] di bawah komando Muhammad Najib mengambil
kesempatan.
Â
Rekonstruksi Teologi
Teologi Islam secara teoritis, menurut Hassan Hanafi, tidak bisa dibuktikan
secara “ilmiah†� maupun filosofis.[7] Teologi yang bersifat dialektik
lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara
kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah.
Selain itu, diyakini juga ilmu kalam disusun sebagai persembahan kepada
para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Hal ini
membuat pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang
manusia dan cenderung dijadikan sebagai legitimasi bagi status quo,
daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia ke arah kemandirian
dan kesadaran.[8]
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi pandangan yang benar-
benar hidup yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit
manusia. Sebabnya, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran
murni dan nilai-nilai perbuatan manusia sehingga muncul keterpecahan
antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat. Pada akhirnya,
keterpecahan itu melahirkan sikap-sikap moral ganda atau sinkretisme
kepribadian. Fenomena sinkretik ini tampak jelas, menurut Hanafi,
[9] dengan adanya faham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan),
tradisionalisme dan modernisme (dalam peradaban), Timur dan Barat
(dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan
kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).
Karena menganggap bahwa teologi Islam tidak ilmiah dan tidak membumi,
Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk
menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong,
melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan
keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi
tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan
dengan teologi berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional
yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia
(bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan
dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan
atas dua alasan. Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi)
yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua,
pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus
praktis dan bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.[10] Untuk
mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan
realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.
Pertama, analisa bahasa. Kita tahu, bahasa dan istilah-istilah dalam teologi
klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang
seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut
Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada
yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap sifat-sifat dan metode
keilmuan yang empirik-rasional (seperti iman, amal dan imamah), yang
historis (seperti nubuwwah) dan yang metafisik (seperti Tuhan dan akhirat).
Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk
mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa
lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para
penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk
menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua gagasannya tersebut, Hanafi paling tidak
menggunakan tiga metode berfikir: dialektika, fenomenologi dan
hermeunetik.[11]
Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa
perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis, dimana
tesis melahirkan antitesis dan kemudian memunculkan sintesis. Hanafi
menggunakan metode ini ketika menjelaskan sejarah perkembangan
pemikiran Islam dan ketika ia berusaha membumikan ilmu kalam yang
dianggapnya melangit. Apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini
sama sebagaimana yang dilakukan Karl Marx terhadap pemikiran Hegel.
Menurut Marx, agar pemikiran Hegel yang berjalan di kepalanya bisa
berjalan normal, ia harus dijalankan di atas kakinya.[12] Artinya, kalam
klasik yang teosentris harus dipindah menjadi persoalan material agar bisa
berjalan normal. Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau
mengikuti metode dialektika Hegel maupun Marx. Hanafi juga menyangkal
jika dikatakan bahwa ia terpengaruh dialektika Hegel atau Marx.
Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari
khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya-
miskin, atasan-bawahan dan semacamnya, yang kebetulan sama dengan
konsep Hegel maupun Marx. Hanafi justru mengkritik tajam metode
dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan,
karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme.[13] Di sini, mungkin, ia
terilhami oleh inspirator revolusi sosial Iran, Ali Syariati, ketika dengan
metode dialektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah sintesis
antara ruh Tuhan (tesis) dan setan (anti-tesis).
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari
hakikat sebuah fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat
tersebut, menurut Husserl (1859-1938), sang penggagas metode ini,
peneliti harus melalui minimal dua tahap penyaringan (reduksi); reduksi
fenomenologis dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut
pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung
fenomena yang ia hadapi lalu berusaha menyingkirkan persoalan yang
dianggap bukan hakikat dari objek yang dikaji. Pada tahap kedua,
reduksi eidetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Ia tidak hanya menyaring
sesuatu yang fenonemal, tetapi juga menyaring intisarinya.[14] Hanafi
menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan
realitas-realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas
tantangan Barat. Dari sana kemudian ia membangun sebuah revolusi.[15]
Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, Hassan Hanafi mengatakan,
“Saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode
fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir.†�[16] Dengan metode ini
Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri. Islam adalah
Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat. Jika
Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari kacamata
Barat juga, yang akan terjadi adalah kondisi sungsang, tidak tepat.
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini
mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang
tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang. Aktivitas penafsiran ini
merupakan proses triadik yang mempunyai tiga segi saling berhubungan,
yaitu teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audien. Orang
yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan
sebuah teks dan meresapi isinya. Dari yang pada mulanya yang lain (the
other) menjadi “aku†� sang penafsir.[17]
Hanafi menggunakan metode hermaunetik untuk me-landing-kan
gagasannya berupa antroposentrisme-teologis, dari wahyu kepada
kenyataan, dari logos ke praktis, dari pikiran Tuhan ke manusia.[18] Sebab
apa yang dimaksud dengan hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu
interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan
kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial.[19]
Dari dua tawaran konsep di atas, ditambah metode pemikiran yang
digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi teologi dengan cara menafsir
ulang tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Menurut Hanafi,
konsep atau nash tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada
ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para
teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lain pun
Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-Nya.
Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-
Qur’an maupun as-Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada
pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, dan insan kamil.
[20] Deskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada
manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara
rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan
Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis dengan kesadaran akan
keberadaan-Nya, sama sebagaimana cogitoyang ada dalam manusia berarti
penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi,
mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud (keberadaan).
Adapun deskripsi Tuhan tentang sifat-sifat-Nya berarti ajaran tentang
kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih
menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan
ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka
sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan
“harapan†� Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya
sendiri dan sadar akan lingkungannya.[21]
Di sini Hanafi terlihat berusaha mengubah term-term keagamaan dari yang
spiritual dan sakral menjadi lebih mengarah pada pembentukan manusia
ideal, bukan tentang transendensi Tuhan. Pola pikir seperti ini jelas
dipengaruhi pemikiran Muktazilah. Menurut kaum Muktazailah, sifat-sifat
Tuhan sebagaimana yang dideskripsikan dalamasma’ al-
husna sebenarnya adalah palajaran bagaimana manusia harus bertindak
dan bersikap. Artinya, sifat-sifat itu adalah sifat yang harus dipunyai dan
dilakukan oleh seorang muslim. Jadi, bukan semata penjelasan tentang
eksistensi Tuhan, apalagi tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan.
Menurut Hanafi, Tuhan dalam Islam tidak sekedar Tuhan langit tetapi juga
Tuhan bumi (rabb as-samawat wa al-ardh), sehingga berjuang membela dan
mempertahankan tanah kaum muslimin sama persis dengan membela dan
mempertahankan kekuasaan Tuhan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan apa
yang dikatakan Iqbal tentang makna hidup, yakni “adanya kemauan
untuk terus berusaha dan menunjukkan dirinya ada, sedang kematian
adalah ketidakmauan untuk maju dan berusaha.†�[22]
Hanafi melakukan ini semua dalam rangka untuk mengalihkan perhatian
dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang
lebih berorentasi pada realitas empirik. Untuk lebih jelasnya tentang
penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat Tuhan yang enam, wujud, qidam,
baqa’, mukhalafah li al-hawadits, qiyam binafsih dan
wahdaniyah, berikut ini penjelasannya.
Pertama, wujud. Menurut Hanafi, wujud tidak menjelaskan eksistensi
Tuhan, karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan
tetap wujud. Wujud di sini berarti tajribah wujudiyah pada manusia,
tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya.
Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan
nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan eksistensi diri.
[23]
Kedua, qidam (dahulu) yang berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu
pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah. Qidam adalah modal
pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat
realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan,
taqlid dan kesalahan.
Ketiga, baqa’ (kekal). Pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan
sifat fana’ ini berarti tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya
tidak cepat rusak ataufana’. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif dalam perbuatan
maupun pemikiran dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat
kerusakan di bumi.[24] Jelasnya, baqa’ adalah ajaran pada manusia
untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan dan alam, juga agar
manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat
monumental.
Keempat, mukhalafah li al-hawadits (berbeda dengan yang lain) dan qiyam
binafsih(berdiri sendiri). Keduanya adalah tuntunan agar umat manusia
mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda,
tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam
binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan
secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah
kekuasaan yang dimiliki manusia, mempunyai otoritas penuh tanpa ada
tekanan ataupun paksaan dari pihak lain.
Kelima, wahdaniyah (keesaan). Sifat ini bukan merujuk pada keesaan
Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham
trinitas maupun politeisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi
kemanusiaan. Wahdaniyah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang
kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah
air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.[25]
Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia
ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid dalam pandangan Hanafi
bukan konsep yang menegaskan keesaan Tuhan, yang diarahkan pada
faham trinitas maupun politeisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi
manusia yang jauh dari perilaku dualistik, seperti hipokrit, kemunafikan
atau perilaku oportunistik.
Menurut Hanafi, apa yang dimaksud tauhid bukanlah sifat dari sebuah dzat
(Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam
angan-angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan
kongkrit, baik dari sisi penafian maupun menetapan (itsbat).[26] Sebabnya,
apa yang dikehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa
dimengerti dan tidak bisa dipahami kecuali dengan cara
“ditampakkan†�. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa
direalisakan dalam kehidupan kongkrit.
[27] Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan
tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu
pengetahuan yang membuat manusia serba tergantung dan menjadi
terkotak-kotak sesuai dengan ideologi dan ilmu pengetahuan yang
dipujanya. Realisasi dari itsbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu
ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu tuhan-
tuhan modern tersebut.
Pemikiran Hanafi ini sangat mungkin dipengaruhi oleh slogan-slogan
revolusi Iran yang menyatakan, la syarqiyah wala gharbiyah (tidak ke Barat
dan tidak ke Timur). Seperti disinggung di muka, pemikiran revolosioner
Hanafi salah satunya diilhami dari keberhasilan revolusi Iran pimpinan
Imam Khumaini.
Dalam konteks kemanusiaan yang lebih konkrit, tauhid adalah upaya pada
kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas. Distingsi kelas bertentangan
dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti
kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi,
tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan
Barat, dan sebagainya.[28]
Â
Landasan Epistemologi Gagasan Oksidentalisme
Terminologi oksidentalisme berasal dari kata dasar occident, yang berarti
“barat†�. Oksidentalisme merupakan istilah (ilmu) baru yang digulirkan
oleh Hanafi berhadapan dengan orientalisme. Istilah ini awalnya lebih
diarahkan sebagai reaksi atas eurosentrismedan perlunya melakukan
perubahan dari transferensi ke inovasi.[29] Oksidentalisme terlahir dari
realitas historis berupa tampilnya superioritas tradisi Barat melalui alat
pandangnya atas dunia Timur yang lazim disebut orientalisme.
“Proyek†� oksidentalisme merupakan kajian obyektif-teoritis atas tradisi
Barat. Selama ini ruang epistemologi masyarakat dunia seolah hanya
menghadirkan satu realitas kajian yang dominan, yaitu studi orientalisme
(kajian tentang tradisi Timur oleh Barat). Orientalisme sebenarnya lahir
seiring dengan proses kolonialisme dan imperialisme yang dijalankan oleh
masyarakat Barat (Eropa). Sejak awal ia menyajikan sebuah bacaan tentang
dunia Timur yang sangat mempengaruhi misi kolonialisme. Mulai tahun
1815 hingga 1914 sejarah menjadi bukti betapa kekuasaan Eropa sudah
merentang hampir ke seluruh daratan bumi.
Menurut Edward Said, gerakan orientalisme bukanlah suatu kebetulan,
tetapi merupakan gerakan ilmiah yang analoginya dalam dunia politik
empiris adalah akumulasi kolonial di Timur dan akuisisi Barat. Bahkan
orientalisme telah difungsikan sebagai suatu “sistem hegemoni penuh†� yang mendistribusikan persoalan-persoalan geopolitik Barat ke dalam
segenap realitas estetis, etis, ekonomi, sosiologis, budaya, filologis dan
bahkan ranah ideologis.[30] Dominasi ini pada akhirnya memicu lahirnya
ketidakseimbangan perhatian antara Barat di satu sisi dengan Timur di sisi
yang lain.
Said mengakui bahwa Barat memiliki kebudayaan yang maju dan superior,
sementara Timur terbelakang dan bodoh. Tetapi superioritas tersebut
bukan hasil dari proses yang sehat, melainkan proses politik yang penuh
dengan kepentingan kolonial. Kajian Said tersebut diakui telah
memperlihatkan dan “menguliti†� orientalisme sebagai gerakan ilmiah
yang didorong oleh motif-motif kekuasaan kolonialisme. Dengan melalui
orientalisme, Barat mempunyai “jendela†� untuk melihat dan
melokalisasi Timur dengan tujuan bagaimana Timur dapat dikuasai dan
sekaligus didikte.
Melalui studi orientalismenya Edward Said telah memberikan angin segar
bagi pemikir dunia Timur, termasuk Hanafi untuk secara kritis melihat
tradisi Barat yang spirit dasarnya adalah kolonialisasi. Berdasar pada
konteks ini pula, mitos Barat sebagai tradisi yang hebat dan superior dapat
diminimalisasi. Caranya adalah dengan menjadikan Barat sebagai obyek
kajian. Suatu kajian kritis atas Barat untuk menarik tradisi Barat dari
kesadaran ego masyarakat Islam. Perspektif yang digunakan diawali dari
rekonstruksi kritis terhadap tradisi klasik sebagai identifikasi awal ego/al-
ana yang akan menjadi tegas apabila pengetahuan tentang tradisi Barat
sebagai the other/al-akhar bisa digali dan direlokasi dalam habitatnya
sendiri.
Ketidakseimbangan kajian intelektual-akademis tersebut juga memunculkan
stereotipe-stereotipe yang lahir dari ketidaktahuan dan sikap yang penuh
prasangka, baik tentang dunia Timur (Islam) maupun juga tentang Barat.
Polarisasi dan pengkutuban Barat dan Timur sampai sekarang terus
berlangsung dengan punuh kecurigaan. Pengkutuban tersebut lahir sebagai
produk sejarah panjang perbenturan ideologis antara Islam sebagai dunia
Timur dan Kristen sebagai representasi Barat. Muatan konseptual ideilogis
inilah yang membuat setiap pertemuan antara dua tradisi tersebut selalu
disertai dengan letupan-letupan kecurigaan dan kewaspadaan satu
terhadap yang lain.
Pada dasarnya, kecurigaan dunia Timur atas Barat bukanlah hal yang latah,
karena orientalisme sebagai alat pandang terhadap dunia Timur dinilai
tidak obyektif dan cenderung menyudutkan Islam. Apalagi bila diruntut
secara historis kajian orientalisme yang mengiringi kolonialisasi telah
terlebih dahulu memunculkan kecurigaan. Bagaimanapun orientalisme pada
awalnya merupakan alat imperialisme, yang berusaha untuk mencari sisi-
sisi keterbelakangan dunia Timur dan berusaha untuk melakukan gerakan
pemberantasan. Meskipun dalam perkembangan terakhir orientalisme
mencoba mengubah paradigmanya sebagai sebuah studi atau kajian
terhadap Timur yang obyektif, namun kesan superioritas kultural Barat
tetap tertanam dalam benak orang-orang Timur.[31]
Dalam Terminologi inilah, gagasan oksidentalisme yang digulirkan oleh
Hassan Hanafi, bukannya sekedar keharusan
epistemologis vis a vis orientalisme, tetapi lebih dalam lagi, berusaha
menawarkan oksidentalisme sebagai kerangka epistemologis untuk
membebaskan diri dari pengaruh pihak lain sehingga lahir kesetaraan
antara dunia Timur dengan Barat. Keinginan tersebut sebenarnya
sederhana. Bukan untuk saling dibenturkan, melainkan hubungan dialektis
yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu dengan yang
lain, sehingga terhindar dari relasi yang hegemonik dan dominatif dari
dunia Barat atas dunia Timur.
Dalam termonologi ini, oksidentalisme berusaha membalikkan posisi agar
terjalin hubungan relasional yang seimbang antara Barat dan Timur.
Ketika ego Eropa menampilkan diri sebagai subyek yang mengkaji the
other (dunia non-Eropa), maka sudah saatnya tradisi Barat menjadi the
other yang diselidiki dari ego Timur. Akan tetapi yang dikedepankan adalah
bagaimana oksidentalisme mampu mengurai inferioritas sejarah
hubungan ego dengan the other sekaligus menumbangkan superioritas the
other (Barat) dengan menjadikannya sebagai obyek kajian. Pembacaan
ulang atas tradisi klasik sekaligus tradisi Barat dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan betapa oksidentalisme berbeda secara signifikan
dengan orientalisme. Oksidentalisme tidak diarahkan menjadi kekuatan
imperialisme sebuah tradisi yang dibenamkan  ke dalam kesadaran tradisi
lain, sebagaimana yang telah digunakan secara manipulatif oleh kaum
orientalis melalui kolonialismenya.
Dengan demikian, studi oksidentalisme memperlihatkan kerangka teoritik
yang sistematik dengan tetap melihat pembacaan atas tradisi klasik yang
dielaborasikan dengan pembacaan atas tradisi Barat sebagai the other.
Prinsip metodologis yang sistemik ini dimaksudkan agar arah transformasi
sosial masyarakat menemukan landasan pijaknya yang berakar dan
melembaga dalam tradisi, tetapi tetap diorientasikan pada progresivitas
melaui pembacaan secara kritis sumber-sumber kemajuan peradaban Barat.
Hanafi berupaya mengembangkan kajian oksidentalisme ini sebagai wacana
keilmuan yang netral, terutama dari kepentingan dominasi epistemologi.
Sekali lagi, oksidentalisme tidaklah digunakan sebagai alat imperialisme
dan juga tidak diarahkan kepada dominasi koersif dan hak kontrol atas
(model) tradisi lain, melainkan dijadikan sebagai basis epistemologi
relasional untuk  pembebasan diri dari berbagai bentuk dominasi sehingga
terjalin hubungan dialektis antara dunia Timur sebagai al-ana dengan dunia
Barat sebagaial-akhar. Tampaknya apa yang hendak dibangun oleh Hanafi
melalui gagasan ini adalah bagaimana superioritas dan dominasi
epistemologi Barat yang selalu menampilkan dirinya sebagai rasional-
modern dapat diurai sekaligus melenyapkan inferioritas ego dunia
Timurvis a vis dunia Barat.
Epismologi relasional ini berupaya melenyapkan reproduksi kebenaran
melalui kekuasaan dan dominasi. Kebenaran yang dihasilkan oleh
kekuasaan dan dominasi cenderung bersifat manipulatif dan ideologis. Oleh
karenanya harus dibongkar. Artinya, kebenaran sebuah pengetahuan yang
dihasilkan melalui “pemaksaan†� dan dominasi epistemologi harus
dicurigai menyimpan pesan-pesan ideologis. Barangkali benar apa yang
diintrodusir oleh Michael Foucault bahwa kekuasaan di mana pun selalu
menindas, karena kekuasaan telah memproduksi kebenaran menurut
ukurannya. Kebenaran selalu berada dalam relasi-relasi sirkular dengan
sistem kekuasaan yang telah memproduksi dan menjaga kebenaran itu.
Kebenaran tidak ada dengan sendirinya. Dalam hal ini, jelas kebenaran
tidak berada di luar kekuasaan. Ia lahir dari dalam kekuasaan itu sendiri.
Foucault menilai bahwa kebenaran yang direproduksi oleh kekuasaan dan
dominasi sesungguhnya memberangus kebebasan manusia untuk menjalin
relasi antar sesama, melalui relasi yang seimbang dan egaliter, bukan
didasarkan atas pengaruh dan dominasi.[32]
Berangkat dari bangunan epistemologi relasional ini, Hanafi menolak segala
macam dominasi yang menyebut bahwa Barat adalah “mitos†�, atau
“pusat dunia†� sekaligus “pusat pengetahuan†�. Dalam setiap
peradaban selalu ada ego dan the other.Tidak ada kekuatan tunggal yang
bersifat monolitik sebagai klaim kebenaran rasional universal. Untuk
meruntuhkan superioritas tersebut harus dijalankan ide demitologisasi
Barat. Selama beberapa dekade, Barat—melalui westernisasinya—telah
memberangus hilangnya ego dunia Timur. Westernisasi selalu menciptakan
citra Barat sebagai tipe modernisasi dan pembebasan. Menurut Hanafi,
terbelenggunya pembaru Islam yang berpijak pada tradisi Barat sebagai
tipe modernisasi adalah sebuah pembebasan semu, karena masih
menempatkan inferioritas ego di hadapan the other.
Pijakan epistemologi yang demikian semakin mengukuhkan oksidentalisme
dalam tataran kajian ilmiah yang bersifat obyektif, karena ia berusaha
menurunkan problem historis pembentukan superioritas Barat ke dalam
wilayah epistemologi yang menyusun struktur dasar pengetahuannya.
Secara implisit dapat dijelaskan bahwa bangunan epistemologi-lah yang
mendasari oksidentalisme sebagai sebuah kajian ilmiah tentang
epistemologi relasional pengetahuan yang tidak diiringi oleh dominasi,
lebih-lebih oleh penindasan. Alasannya sederhana: bagaimana mungkin
oksidentalisme dapat dijadikan alat untuk membebaskan dunia Timur
tatkala ia sendiri berkembang menjadi alat dominasi dan alat penindas
baru? Sistem relasional tersebut digunakan untuk menjelaskan betapa
tradisi Barat sesungguhnya mengalami problem eksistensial, terbukti
dengan runtuhnya berbagai ideologi modern yang selama ini didengung-
dengungkan sebagai simbol kemajuan peradaban umat manusia.
Â
Gagasan Kiri Islam
Gagasan kiri Islam dirancang sedemikian rupa untuk menggerakkan
gerakan sosial revolusioner yang membawa gagasan pembebasan melalui
penghancuran konstruksi lama yang serba reaksioner, dari feodalisme dan
kapitalisme yang mencengkramkan hegemoninnya ke dalam kesadaran
kognitif masyarakat dunia berkembang, termasuk dunia Timur (Islam).
Gerakan ini tidak hanya diarahkan secara internal—berupa reposisi dan
pembacaan kembali tradisi sendiri, tetapi juga eksternal—berupa
pembacaan atas tradisi lain. Dalam konteks ini, Hassan Hanafi mulai
menabuh “genderang perang†� terhadap produk-produk kebudayaan
Barat yang penuh residu serta mulai memantapkan basis kemapanan
epistemologi dari tradisi lama.
Menurut Hanafi, tugas kiri Islam adalah melokalisasi Barat. Dengan kata
lain, mengembalikan Barat kepada batas-batas wilayahnya dan menepis
mitos “mendunia†� yang ia bangun lewat usaha menjadikan dirinya
sebagai “pusat peradaban dunia†� sekaligus “peradaban ideal†� bagi
bangsa-bangsa lain. Secara epistemologis gagasan ini lebih merupakan
upaya pembacaan kembali tradisi Barat yang sebenarnya memiliki problem
eksistensial. Â Perlu ada demitologisasi atas tradisi Barat untuk
mengungkapkan kelemahan-kelemahan epistemologis dalam upaya
memaksakan diri menjadi sebuah “paradigma yang mendunia†�.
Bukti atas realitas tersebut adalah gagalnya ideologi-ideologi modern
kontemporer dalam wilayah praktis, utamanya yang terjadi dalam konteks
sosial politik Mesir. Begitu juga gagalnya liberalisme Barat yang tidak
sanggup memajukan kondisi perekonomian masyarakat. Rontoknya
sosialisme negara—dimana revolusi awal terjadi di Mesir pada Juli
1952—ternyata hanya mengubah sistem pemilikan dan cara-cara produksi,
tetapi tidak mengubah kebudayaan massa yang masih dalam wajah
tradisional.[33] Sosialisme Islam yang pernah ada di Mesir, menurut Hanafi,
tidak lain hanya merupakan manupilasi teks untuk memberikan legitimasi
aturan-aturan yang diundangkan pemerintah. Agama dijadikan alat untuk
mendiskreditkan semua oposisi dan politik sekaligus dijadikan alat tafsir
spiritual atas kegagalan negara. Hasilnya adalah terbentuknya kelas baru
dengan elit penguasa di puncak dan tumbuhnya feodalisme baru di
pedesaan dan kapitalisme baru di sektor swasta.
Kegagalan ideologi-ideologi modern di atas disebabkan tidak adanya akar
kerakyatan yang kuat dan ketercerabutannya dari basis sosial. Istilah-istilah
yang digunakan dalam gerakan tersebut sama sekali tidak melembaga
dalam hati rakyat. Sebut saja, misalnya, materialisme dialektis, kontradiksi,
produksi, kebebasan, dan hak-hak politik. Semua ini merupakan kategori-
kategori sosial yang tidak dapat dipahami dan dicerna oleh masyarakat.
Akibatnya, ia mengalami kegagalan dalam menggerakkan dan memberi
perspektif baru bagi rakyat. Barangkali juga, terminologi ini menjadi
inspirasi bagi ilmu-ilmu sosial di dunia Timur yang pada tahun 1970-an
masih disibukkan dengan perdebatan perlu tidaknya indegenisasi
(pribumisasi).
Sifat keilmiahan sebuah ideologi jelas berbeda dengan sifat kerakyatan
sebuah agama. Sehingga diskursus ideologi kaum intelektual boleh saja
tetap berlangsung, dan elit intelektual revolusioner boleh juga membentuk
kepemimpinan berbasis massa. Namun harus diingat bahwa dalam
masyarakat mistis, ideologi ilmiah merupakan sesuatu yang hampir pasti
mustahil. Sedangkan ritualisme kesukuan, atau yang oleh Hanafi disebut
sebagai fundamentalisme, telah terperosok dalam ritualisme tanpa makna,
tanpa aspek ekonomi, politik dan sosial. Keduanya memiliki kelemahan yang
sangat mendasar, yaitu keluar dari mainstream historisitas kemanusiaan.
[34] Dengan demikian, bangunan epistemologi yang hendak dirumuskan
oleh Hanafi untuk merumuskan paradigma bagi gerakan pembebasan
adalah penguatan pemahaman atau pengetahuan masyarakat atas kekayaan
tradisi-tradisi Islam serta memberikan analisis sosial berperspektif Marxian.
Pilihan paradigmatik untuk mengedepankan Kiri Islam jelas mengacu
kepada analisis kelas yang mendominasi sosialisme dan bukan semata
Marxisme-Leninisme. Hanafi mencoba memodifikasi Marxisme-Leninisme
sebagai tumpuan ide sosialismenya, seperti Sosialisme Arab. Paradigma itu
perlu dimodifikasi karena hakikat materialisme deterministik historis yang
meniscayakan kehancuran ideologi-ideologi modern—seperti kapitalisme,
feodalisme dan kemenangan proletar—ditolaknya secara tegas.
Determinisme historis yang meniscayakan kebebasan manusia itu diberi ruh
non-materialistik, seperti pemunculan unsur-unsur progresif dalam agama
dan pranata lain yang bersifat keruhanian atau kesejarahan.[35] Munculnya
unsur-unsur progresif-transformatif dalam dunia Islam membuat Hassan
Hanafi mulai berbicara tentang keharusan dunia Islam mengembangkan
wawasan kehidupan progresif, dengan dimensi pembebasan
(taharrur/liberation) di dalamnya.[36]Watak pembebasan dari wawasan
progresif bertumpu pada beberapa unsur penopang. Di satu sisi gagasan
akan keadilan sosial harus ditegakkan, jika manusia ingin berperan sebagai
pelaksana ketuhanan (khalifatullah) di muka bumi. Seorang khalifah harus
memiliki otonomi penuh atas dirinya, dan itu dapat dicapai melalui
tegaknya keadilan sosial. Prinsip keadilan sosial bisa menembus segala
bentuk dan corak pemerintahan. Di sisi lain keadilan sosial hanya dapat
terwujud jika ada pejuang pembebasan umat manusia yang terorganisir.
Meski Islam menyuarakan pembebasan, tetapi ia tidak dapat dijadikan
ideologi yang semata-mata berfungsi memperjuangkan pembebasan.
Keseluruhan warisan kesejarahan Islam menunjuk kepada keharusan
pencegahan hubungan langsung antara Islam dan kekuasaan. Bagi Hanafi,
Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populis yang ada, dan
pada waktu itu Mesir diwarnai oleh sosialisme. Demikian kuatnya keyakinan
Hanafi akan pentingnya tumbuhnya orientasi keislaman sebagai ideologi
populis, akhirnya ia mencetuskan gagasan yang dikenal dengan Kiri Islam
(al-yasar al-islami atau Islamic Left).
Terminologi “kiri†� dalam banyak hal mengandung kesan stigmatik,
terutama tatkala dihadapkan kepada konstruksi dasar pengetahuan
konservatif dalam memahami agama (Islam). Bila dikaitkan dengan situasi
global, istilah “kiri†� seolah terinspirasi oleh gerakan kaum sosialis
atau spirit Herbert Marcuse (1898-1979), filosof Madzhab Frankfurt yang
disebut sebagai pemberi ruh bagi New Left dan pemikirannya menjadi
inspirator lahirnya revolusi mahasiswa tahun 1968. Semua ini menunjukkan
bahwa terminologi “kiri†� selalu bersentuhan dengan gerakan-gerakan
massa revolusioner. Secara substansial istilah ini merupakan gagasan
berbasiskan sistem epistemologi rasional-kritis yang bertujuan untuk
bersikap kritis terhadap bangunan pengetahuan dominan yang
membelenggu dan manipulatif. Dalam pengetahuan yang dominan
seringkali bersembunyi berbagai kepentingan ideologis. Pada aras inilah,
gagasan Kiri Islam yang diperkenalkan Hanafi memberi ruh gerakan yang
bertujuan untuk selalu melihat realitas obyektif sekaligus melakukan
pemeriksaan terhadap akar kegagalan dari berbagai idelogi modern.
Kiri Islam merupakan sintesis dari eksplorasi atau tafsir ulang yang cerdas
terhadap khazanah keilmuan Islam dan analisis konsep Marxian atas
kondisi obyektif (tradisi) yang mengakar dalam sebuah masyarakat. Tradisi
yang dimaksudkan adalah tradisi keagamaan yang membentuk medan
kebudayaan massa. Bahkan dalam banyak hal Kiri Islam bertumpu pada tiga
dataran metodologi: tradisi atau sejarah Islam, fenomenologi dan analisis
sosial Marxian. Hanafi berkeyakinan bahwa Kiri Islam bisa berhasil jika
realitas masyarakat, politik, ekonomi, khazanah Islam dan tantangan
Barat dapat dianalisis[37]dan konstruksi dasar bangunan
epistemologisnya ditemukan.
Untuk menganalisis hal di atas, Hanafi menggunakan metode fenomenologi
dengan mengungkapkan dua hal pokok: Islam telah dimanfaatkan untuk
kepentingan politik dan melembaga dalam kehidupan bangsa Arab.
[38] Analisis sosial perpektif Marxian menampilkan dua realitas kontras
secara diametral: kaya-miskin, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, tuan
tanah-buruh, terbelakang-maju, dan sebagainya. Analisis ini mirip dengan
oposisi biner (binnary-oppositition) yang diperkenalkan filosof
strukturalisme, Fredinand de Sausure.
Menurut Hanafi, Kiri Islam lahir setelah melihat berbagai kegagalan dalam
metode pembaruan masyarakat Timur (Islam) yang dilakukan oleh beberapa
generasi dalam mengentaskan keterbelakangan dan kemiskinan. Hal ini
disebabkan karena beberapa hal. Pertama, berbagai tendensi keagamaan
yang terkooptasi kekuasaan menjadikan agama (Islam) sekedar ritus dan
kepercayaan yang bersifat ukhrawi. Padahal “realitas Islam†� bukan
merupakan representasi dari “sistem Islam†�, sehingga gebyar ritus dan
perayaan tersebut justru menjadi topeng yang menyembunyikan wajah
dominasi tradisi Barat dan kapitalisme. Sementara itu, kecenderungan
keagamaan yang tidak terkooptasi terjebak dalam fanatisme primordial,
kejumudan dan berorientasi pada kekuasaan.
Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi
berakhir terlihat didikte oleh kebudayaan Barat, berperilaku seperti
penguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset
negara.
Ketiga, Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan
menentang kolonialisme, ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat
dan pengembangan khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkan
tujuan-tujuan kemerdekaan nasional.
Keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-
perubahan radikal dalam sistem politik-ekonomi ternyata tidak berumur
lama, banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran
mayoritas rakyat.
Itulah sebabnya Kiri Islam dimunculkan dalam rangka merealisasikan
tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis,
dengan cara mengembangkan khazanah intelektual klasik yang berdimensi
revolusioner dan berpijak pada kesadaran rakyat.
Tugas Kiri Islam dengan demikian adalah menguak unsur-unsur
revolusioner dalam agama dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara
agama dan revolusi. Agama dalam perspektif historis menjadi landasan dan
revolusi menjadi tuntutan zaman. Agama, menurut Hanafi,[39] adalah
revolusi itu sendiri dan para nabi merupakan revolusioner pembaru sejati.
Ibrahim adalah cerminan revolusi akal yang menundukkan tradisi-tradisi
buta, yaitu revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Musa merefleksikan
revolusi pembebasan melawan otoritarianisme. Isa adalah contoh revolusi
ruh atas dominasi materialisme, sedangkan Muhammad merupakan teladan
kaum miskin dan komunitas tertindas dalam menghadapi para konglomerat
elit Quraisy dalam perjuangan mereka untuk menegakkan masyarakat yang
bebas, penuh persaudaraan dan egaliter.
Kiri Islam jelas merupakan konstruksi ideologi yang digali dari aspek-aspek
revolusioner agama. Sebagai sebuah ideologi, Kiri Islam memuat landasan
filsafat, perangkat analisis sosial, dan tahapan-tahapan gerakan. Kiri Islam
juga telah memuat seperangkat gagasan, cita-cita, konsep dan keyakinan
pemihakan yang tegas, dan dorongan untuk berjuang mewujudkan cita-cita
ideologi tersebut. Bahkan ia sanggup memberikan cara membaca yang
kritis dalam melihat dan menangkap realitas, eksistensi, dan manusia.
Â
Elaborasi Pemikiran Hanafi
Hassan Hanafi adalah seorang pemikir sosial yang sangat mendalam,
terbukti dengan pemikiran-pemikirannya yang dipaparkan di atas. Secara
implisit pemikiran filsafat sosialnya memang tidak disebutkan dengan tegas,
tetapi kalau disimak lebih dalam akan tampak bahwa pemikiran sosialnya
sangat bernilai dan signifikan. Dimulai dari rekonstruksi teologi, Hanafi
membongkar teologi klasik yang bernuansa metafisik menjadi nuansa
antropologis. Jadi, yang diutamakan adalah persoalan kemanusiaan dan
pemberdayaan diri agar memiliki keyakinan yang mantap dan tangguh,
sehingga dapat menjadi wakil Tuhan di muka bumi yang memakmurkan,
bukan merusak.
Dengan gagasan oksidentalisme, Hanafi menginginkan adanya kesetaraan
antar sesama manusia, baik secara individu maupun antar sesama bangsa.
Agar tidak ada dominasi antara yang satu dengan lainnya. Untuk mencapai
hubungan-hubungan tersebut perlu dibangun epistemologi relasinal.
Epistemologi relasional akan memunculkan hubungan harmonis yang saling
membutuhkan. Oksidentalisme sebagai gerakan (sosial) pemikiran diakui
“berhasil†� menawarkan opini. Oksidentalisme telah mengagetkan dunia
intelektual (Barat) yang sejak beberapa abad terninabobokan oleh
modernisme yang “membius†� melalui ciptaan sains dan teknologinya.
Terlepas dari problem itu, tampaknya realitas munculnya oksidentalisme
merupakan suatu “sinyal†� munculnya gagasan untuk melakukan
“dekonstruksi†� terhadap basis-basis pengetahuan modern.
Kerangka pemikiran Kiri Islam juga memberikan tawaran keharusan
melakukan perobahan sosial, yakni perubahan yang bersifat progresif-
transformatif. Semua bangunan pemikiran Hanafi didasarkan pada
kerangka metodologis yang bertumpu pada empat hal, yakni metode
dialektika, metode hermeneutika, metode fenomenologi dan metode
eklektik.
Â
Penutup: Sebuah Analisis
Berdasar uraian di atas, kita dapat menganalisis beberapa hal. Pertama,
dari sisi metodologis, Hassan Hanafi dipengaruhi oleh (ada kesamaan
dengan) cara berfikir Barat, terutama pemikiran Marxis dan Husserl.
Pengaruh metode Husserl ini terlihat ketika Hanafi meletakkan persoalan
Arab (Islam) dalam konteksnya sendiri, lepas dari pengaruh Barat.
Statemennya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan dengan cara
mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah
pemikiran Islam sendiri jelas merupakan model pemikiran fenomenologi
Husserl. Adapun kesamaannya dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi
menempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran
teologinya. Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas.
Slogan-slogan yang dipergunakan, pembebasan rakyat tertindas dari
penindasan penguasa, persamaan derajat muslimin di hadapan Barat dan
sejenisnya adalah jargon-jargon Marxisme. Sedangkan kesamaannya
dengan metode dialektika Marxis terlihat pada saat Hanafi menjelaskan
perkembangan pemikiran Islam dan usaha ia lakukan ketika merekonstruksi
pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dan filsafat Barat,
untuk kemudian mensintetiskannya. Bedanya, jika dalam pemikiran Marxis
dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas semata-
mata didorong oleh kekuatan materi dan duniawi, Hanafi memberi ruh yang
tidak sekedar materialistik. Ada pranata-pranata yang bersifat religius atau
kerohanian yang menggerakkan perjuangan umat Muslim. Jika perjuangan
Marxis bisa dilakukan dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi
kalam Hanafi memakai prinsip kesejahteraan: perjuangan mesti
memperhatikan kebaikan umum. Oleh karena itu, pemikiran Hanafi bisa
disebut “marxis tetapi tidak marxisme†�, “Barat tetapi tidak
sekuler†�. Dari sini terlihat bahwa ada metode-metode yang orisinal yang
dikembangkan oleh Hanafi sendiri.
Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik-kritik dan gagasan para
tokoh sebelumnya, terus terang, apa yang disampaikan Hanafi dari proyek
rekonstruksi kalamnya sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam
makna sebenarnya. Apa yang Hanafi katakan bahwa zat dan sifat Tuhan
adalah deskripsi atas manusia ideal sudah disampaikan Muktazilah dan
kaum sufi. Begitu pula konsep tentang tauhid yang mendunia telah
disampaikan oleh tokoh dari Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi
adalah: ia mampu mengemas konsep-konsep tersebut secara lebih utuh,
jelas dan up to date, sehingga terasa baru. Di sinilah orisinalitas pemikiran
Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya.
Selanjutnya, mengikuti apa yang digagas Hanafi, ada beberapa cacatan
yang perlu disampaikan.
Pertama, pemikiran Hanafi masih diwarnai aroma romantisme, meski dalam
kadar yang relatif kecil, semisal gagasan rekonstruksi yang berbasis pada
rasionalitas Muktazilah. Keberpihakan Hanafi pada rasionalitas Muktazilah
ini menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada pada muktazilah, bahwa
mereka pernah melakukan mihnah.
Kedua, kritik Hanafi bahwa kalam Asy’ari adalah penyebab kemunduran
Islam terasa terlalu menyederhanakan masalah disamping tidak didasarkan
investigasi historis yang memadai dan konkrit. Kenyataannya, Asya‘riyah
telah berjasa menemukan keharmonisan mistis antara ukhrawi dan duniawi.
Ketiga, terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan
atau tidak, jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam
upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar
ketertinggalannya di hadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang
dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-
religius menjadi sekedar material-duniawi bisa menggiring pemahaman
agama menjadi sekedar agenda sosial, praktis dan fungsional, yang lepas
dari muatan-muatan spiritual transenden.
Sebenarnya, Hanafi menolak dikatakan bahwa dirinya dipengaruhi
pemikiran Barat, terutama Maxsisme. Menurutnya, apa yang ia lakukan
semata-mata berdasar dan diambil dari khazanah keilmuan Islam,
berlandaskan realitas sosial kaum muslimin.
Â
Daftar Pustaka:
1.     Kazuo Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan
Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. Imam Azis,
(Yokyakarta: Lkis, 1993)
2.     A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta: Ittaqa
Press, 1998)
3.     Muhidin M. Dahlan (ed), Postkolonialisme, Sikap Kita Terhadap
Imperialisme, (Yokyakarta: Jendela, 2001)
4.     Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia, 1984)
5.     Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, (Jakarta, Gramedia, 1996)
6.     Islamika, edisi I, (Juni-September, 1993)
7.     Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman,
(Bandung: Alumni, 1980)
8.     Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: Pembangunan, 1984)
9.     Edward Said, Orientalisme, (New York: Vintage Books, 1978)
10. George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj.
Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992)
11. Al-Ghazali, Al-Munqid Min adh-Dhalal, (Beirut: Darul Fikr, tt)
12. Hanafi, Hassan, Ad-Din wa ats-Tsaurah fi Mishra 1952-1981, VII,
(Mesir; Maktabah Madbuli)
13. ——————,  Origin of Modern Conservation and Islamic
Fundamentalism, (Amsterdam: University of Amsterdam, 1979)
14. ——————, Muqadimah fi ‘ilm al-Istighrab, (Kairo: Dar al-Faniyah,
1981)
15. ——————, Dirasah al-Islamiyah, (Kairo: al-Maktabah al-Mishriyah,
1981)
16. ——————, The Genesis of A Secular Ideology, (Mesir: Cukor, 1985)
17. ——————, From Faith to Revolution, (Spanyol: Cordova Press,
1985)
18. ——————, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991)
19. ——————, Min al-Aqidah ila ata-Tsaurah, I&II, (Kairo: Maktabah
Matbuli, 1991)
20. ——————, Dialog Agama dan Revolosi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991)
21. ——————, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi
Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000)
22. ——————, Tafsir Fenomenologi, Terj. Yudian W. Asmin,
(Yokyakarta: Bismillah Press, 2001)
23. Ibrahim Al-Jilli, Al-Insan al-Kamil, II, (Bairut: Darul Fikr, tt)
24. Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin,(Jakarta: Panjimas, 1987)
25. John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic
World (New York: Oxford University Press, 1995)
26. Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, (Istambul: Hakekat Kitabevi,
1985)
27. Listiono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, (Yokyakarta: Ar-Ruzz Media,
2009)
28. Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972-1977, (Sussex: The Haervester Press, 1980)
29. Muhidin M. Dahlan, Sosialisme Religius: Suatu Jalan
Keempat, (Yokyakarta: Kreasi Wacana, 2000)
30. Muthahhari, Allah Dalam Kehidupan Manusia, (Bandung: Yayasan
Mutahhari, 1992)
31. Osman Bakar, Hierarkhi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997)
32. Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993)
Â
[1]Muhammad Mustafied, “Merancang Ideologi Gerakan Islam Progresif-
Transformatif: Mempertimbangkan Kiri Islam†�, dalam Muhidin M.
Dahlan, Sosialisme Religius: Suatu Jalan Keempat, (Yokyakarta: Kreaasi
Wacana, 2000), hlm. 174.
[2] Komarudin Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap
Barat†�, pengantar dalam, Hassan Hanafi, Oksidentalisme, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. xviii.
[3] John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic
World (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 98.
[4] Hassan Hanafi, Ad-Din wa ats-Tsaurah fi Mishra 1952-1981, VII, (Mesir;
Maktabah Madbuli), hlm.332.
[5] George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar
Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992) hlm. 298.
[6] The Free Officers adalah kelompok rahasia yang dibentuk tahun 1947,
yang terdiri atas sebelas perwira dipimpin Mayor Jenderal Muhammad
Najib, yang saat itu menjadi kepala staf. Dengan melakukan kudeta
terhadap raja Faruq, saat situasi tidak dapat dikendalikan. Saat
pengambilalihan kekuasaan ini, Najib sebenarnya menggandeng Ikhwan al-
Muslimun yang mempunyai basis kuat di kalangan masyarakat bawah. Akan
tetapi, setelah ia menjadi presiden dengan Gamal Abdul Naser sebagai
Perdana Menteri, Najib menendang Ikhwanul Muslimin karena
menganggap bahwa kelompok ini sangat berbahaya terhadap kelangsungan
kekuasaannya.
[7]Apa yang dimaksud ilmiah dalam pandangan Hanafi disini adalah jika
teologi tidak asing dari dirinya sendiri. Artinya, teologi tidak hanya berupa
ide-ide kosong tapi merupakan ide kongkrit yang mampu membangkitkan
dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata. Lihat
Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), hlm. 408-
9.
Adapun statementnya bahwa teologi tidak bisa dibuktikan secara filosofis,
sama sebagaimana yang pernah disampaikan al-Farabi, adalah bahwa
metodologi teologi tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau
pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap
mendekati keyakinan dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud
spiritual lainnya. Sedemikian, sehingga teologi hanya cocok untuk
komunitas non-filosofis, bukan kaum filosofis. Lihat Osman Bakar, Herarkhi
Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 149. Statement ini juga pernah
disampaikan oleh al-Ghazali, dalam Al-Munqid Min al-Dlalal, (Beirut: dar al-
Fikr, tt), hlm. 36.
[8] Atas dasar inilah kemudian Hanafi menuduh teologi Asyari sebagai salah
satu penyebab kemunduran Islam, disamping sufisme. A.H.
Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998),
hlm.44
[9] Hanafi, Min al-Aqidah ila at-tsaurah, I, (Kairo; Maktabah Matbuli, 1991),
hlm. 59.
[10] A.H. Ridwan, Reformasi…, 50.
[11] Menurut Boullata, pemikiran Hanafi didasarkan tiga metodologi;
analisan sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Maxsian. Gagasan
Hassan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan. Dalam Islamika, edisi,
I, (Juni-Sept, 1993), hlm. 21.
[12] Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, (Jakarta, Gramedia, 1996), hlm. 235.
[13]Hanafi, Origin of Modern Conservation and Islamic Fundamentalism,
(Amsterdam: University of Amsterdam, 1979), 1-2, sebagaimana dikutip
oleh A.H. Ridwan dalam Reformasi Intelektual…, 70.
[14] Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: Pembangunan, 1984), hlm.121-
124; Brouwer,Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung:
Alumni, 1980), hlm. 52. Lihat juga Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat,
(Jakarta: Ghalia, 1984), hlm. 113-7.
[15] Hanafi, Muqadimah fi ilm al-Istighr’b, (Kairo: Dar al-Faniyah, 1981),
hlm. 84-6.
[16] Hanafi, Dirasah al-Islamiyah, (Kairo: al-Maktabah al-Misriyah, 1981),
hlm. 415.
[17] Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993),hlm. 31.
[18] Hanafi, Dialog Agama dan Revolosi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),
hlm.1.
[19] Menurut A.H. Ridwan, Hermeneutik Hanafi dipengaruhi metode
hermeneutik Bultmann. Akan tetapi, penulis tidak melihat signifikansi yang
jelas antara Bultmann dengan hermeneutik Hanafi. Kelihatannya Hanafi
menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang bersifat triadic
kemudian mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas
Hanafian. Ridwan, Reformasi Intelektual.., 170.
[20] Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, (Istambul: Hakekat Kitabevi,
1985),hlm. 21-26.
Konsep ini juga tidak berbeda dengan apa yang dimaksud oleh kaum sufi
dengan istilah insan kamil. Menurut Al-Jilli, insan kamil adalah orang yang
mampu merefleksikan sifat-sifat keagungan Tuhan, sehingga ia menjadi
manifestasi Tuhan di bumi. Lihat, Ibrahim Al-Jilli, Al-Insan Al-Kamil, II,
(Bairut: Dar Al-Fikr, tt), hlm. 71-77.
[21] Hanafi, Min al-Aqidah ila at-tsaurah, II, p. 600 dan seterusnya.
[22] Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin,(Jakarta: Panjimas, 1987), hlm. 8
[23] Hanafi, Min al-Aqidah ila at-tsaurah, II , 112-114.
[24] Ibid, 137-142.
[25] Hanafi, Ibid, 112-114.
[26] Hanafi menyatakan bahwa tauhid mengandung dua dimensi; penafian
dan penetapan (itsbat). Kata “Lailaha†� berarti penafian terhadap
segala bentuk ketuhanan, sedang “Illallah†� adalah penetapan tentang
adanya Tuhan yang Esa.
[27] Statemen ini sama sebagaimana dikatakan Muthahhari, meski dalam
pengertian yang berbeda. Menurut Muthahari, konsep-konsep tauhid tidak
akan punya makna tanpa direalisasikan dalam perbuatan, yang dalam
faham Mutahari difokuskan dalam bentuk ibadah. Lihat Muthahhari, Allah
Dalam Kehidupan Manusia, (Bandung: Yayasan Mutahhari, 1992), 7-23.
[28] Hanafi, Min al-Aqidah…, 330.
[29] Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Terj.
(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 13
[30] Edward Said, Orientalisme, (New York: Vintage Books, 1978), hlm. 17
[31] Alim Roswantoro, “Studi Oksidentalisme: Mempertimbangkan
Hassan Hanafi†�, dalam Muhidin M. Dahlan (ed), Postkolonialisme, Sikap
Kita Terhadap Imperialisme,(Yokyakarta: Jendela, 2001), hlm. 19 -20.
[32] Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972-1977, (Sussex: The Haervester Press, 1980), hlm. 133.
[33] Hanafi, The Genesis of A Secular Ideology, ( Mesir: Cukor, 1985), hlm.
132.
[34] Ibid., hlm. 137.
[35] Abdurrahman Wahid, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya†�, Pengantar dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan
Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Terj. Imam Azis,
(Yokyakarta: Lkis., 1993), hlm. xiv.
[36] Hanafi, From Faith to Revolution, (Spanyol: Cordova Press, 1985), hlm.
231.
[37] Boullata, dalam Islamika, edisi, I, (Juni-Sept, 1993), hlm. 23.
[38] Hanafi, Tafsir Fenomenologi, Terj. Yudian W. Asmin, (Yokyakarta:
Bismillah Press, 2001), hlm.68.
[39] Hanafi, From Faith to Revolution… hlm. 142.