REHABILITASI KOGNITIF JADI

55
REHABILITASI KOGNITIF S.F. Cappa, a T. Benke, b S. Clarke, c B. Rossi, d B. Stemmer, e C.M. van Heughten f a Departemen Psikologi, Neurologi dan Neuroscience, Universitas Vita Salute San Raffaele S. Raffaele, Milano, Italia; b Klinik fuer Neurologie Innsbruck, Austria; c Division de Neuropsychologie, Lausanne, Switzerland; d Seksi Neurologi, Departemen Neuroscience, Universitas Pisa, Pisa, Italia; e Centre de Recherce, Institute de Geriatrie de Montreal, dan Department de Linguistique et Traduction, Universite de Montreal, Montreal Canada; f Netherlands Institute of Primary Helath Care NIVEL, Utrecht, Belanda. Abstrak Gangguan berbahasa, persepsi parsial, perhatian, memori, kalkulasi dan praktek merupakan hal yang sering terjadi akibat kerusakan otak didapat (dlm beberapa kasus, stroke dan cedera otak akibat trauma) dan merupakan faktor yang menentukan ketidakmampuan seseorang. Rehabilitasi terhadap afasia akhir-akhir ini merupakan bidang rehabilitasi yang penting dibandingkan gangguan kognitif lain. Disini kami melaporkan peninjauan bukti yang ada mengenai keefektifan dari 1

Transcript of REHABILITASI KOGNITIF JADI

Page 1: REHABILITASI KOGNITIF JADI

REHABILITASI KOGNITIF

S.F. Cappa,a T. Benke,b S. Clarke,c B. Rossi,d B. Stemmer,e C.M. van Heughtenf

aDepartemen Psikologi, Neurologi dan Neuroscience, Universitas Vita Salute San

Raffaele S. Raffaele, Milano, Italia; bKlinik fuer Neurologie Innsbruck, Austria; cDivision de Neuropsychologie, Lausanne, Switzerland; dSeksi Neurologi,

Departemen Neuroscience, Universitas Pisa, Pisa, Italia; eCentre de Recherce,

Institute de Geriatrie de Montreal, dan Department de Linguistique et Traduction,

Universite de Montreal, Montreal Canada; fNetherlands Institute of Primary

Helath Care NIVEL, Utrecht, Belanda.

Abstrak

Gangguan berbahasa, persepsi parsial, perhatian, memori, kalkulasi dan praktek

merupakan hal yang sering terjadi akibat kerusakan otak didapat (dlm beberapa

kasus, stroke dan cedera otak akibat trauma) dan merupakan faktor yang

menentukan ketidakmampuan seseorang. Rehabilitasi terhadap afasia akhir-akhir

ini merupakan bidang rehabilitasi yang penting dibandingkan gangguan kognitif

lain. Disini kami melaporkan peninjauan bukti yang ada mengenai keefektifan

dari rehabilitasi kognitif. Mengingat jumlah dan kualitas yang terbatas pada

kontrol percobaan secara random di area intervensi terapi ini, Panduan yang ada

perlu diperhitungkan, disamping tinjauan Cohrane yang tersedia, bukti dari kelas

bawah yang telah dianalisis secara kritis sampai ditelitinya konsesnsus. Pada

beberapa hal, kami mempertimbangkan bukti dari sekelompok kecil atau studi

kasus tunggal yang meliputi evaluasi statistik yang sesuai pada ukuran efek.

Kesimpulan umum yang diambil adalah yang terbukti pada tingkat A, B atau C

merupakan rekomendasi untuk beberapa bentuk rehabilitasi kognitif pada pasien

dengan defisit neurologis pada tahap post-akut setelah lesi otak local (stroke,

TBI). Hal ini meliputi terapi afasia, rehabilitasi unilateral spatial neglect (ULN),

melatih perhatian pada tahap post-akut setelah trauma cedera otak (TBI),

1

Page 2: REHABILITASI KOGNITIF JADI

penggunaan memori elektronik dapat membantu pada gangguan memori dan

pengobatan apraksia dengan strategi kompensasi. Disini benar-benar dibutuhkan

pembelajaran yang dirancang cukup untuk area ini, yang harus

mempertimbangkan masalah-masalah khusus seperti heterogenitas pasien dan

standart pengobatan.

Objektif

Rehabilitasi gangguan pada fungsi kognitif (bahasa, persepsi parsial, perhatian,

memori, kalkulasi, praktek) yang menyertai kerusakan otak yang didapat dari

etiologi berbeda-beda (diantaranya: stroke dan trauma akibat cedera otak)

merupakan pengembangan area rehabilitasi neurologis dan merupakan fokus

penelitian besar yang diminati saat ini. Pada tahun 1999, panduan rehabilitasi

kognisi telah diatur dibawah perlindungan European Federation of Neurological

Societies (EFNS). Tujuannya adalah mengevaluasi bukti yang ada untuk

efektivitas klinis rehabilitasi kognitif pada stroke dan cedera otak, dan

menyediakan rekomendasi untuk penerapan neurologis. Pedoman ini merupakan

perbaruan dan perbaikan dari kerja sebelumnya, yang dipublikasi pada tahun 2003

dalam European Journal of Neurology (Cappa et al., 2003)

Latar Belakang

Pada pedoman ini, kami membatasi diri kami untuk meninjau studi yang

berhubungan dengan rehabilitasi gangguan neuropsikologi non-progresif yang

disebabkan oleh stroke dan cedera otak (TBI). Sebagai konsekuensinya beberapa

area penting pada ‘rehabilitasi kognitif’ tidak disertakan, seperti rehabilitasi pada

demensia, psikiatrik dan gangguan perkembangan. Lagipula, kami tidak

mempertimbangkan pengobatan dan rehabilitasi farmasi.

2

Page 3: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Prevalensi dan hubungan rehabilitasi kognitif pada pasien stroke dan

cedera otak (TBI) memerlukan pembentukan rekomendasi untuk praktek

rehabilitasi kognitif, dan harus diakui secara formal oleh panitia kecil dari

Kelompok Minat Khusus Penderita Interdisipliner-Cedera Otak (Brain Injury-

Interdisciplinary Special Interest Group) dari the American Congress of

Rehabilitation Medicine. Rekomendasi awal dari panita ini telah dipublikasikan

pada tahun 1992 sebagai Panduan Rehabilitasi Kognitif (the Guidelines for

Cognitive Rehabilitation) (Harley et al., 1992) dan didasarkan pada pendapat para

ahli yang tidak mempertimbangkan bukti empiris mengenai efektivitas rehabilitasi

kognitif. Baru-baru ini, tinjauan literatur ilmiah untuk rehabilitasi kognitif pada

pasien cedera otak (TBI) telah dipublikasi dari Januari 1988 sampai Agustus 1998

(termasuk 11 uji klinis secara acak) tercatat data efektivitas program rehabilitasi

kognitif yang terbatas pada heterogenitas dari subjek, intervensi dan studi hasil

(NIH Consensus Development Panel, 1999)

Sebagai pertimbangan awal, kami ingin menggarisbawahi bahwa status

penelitian sekarang tentang efektivitas rehabilitasi kognitif tidak memuaskan. Kita

benar-benar yakin bahwa standar yang dibutuhkan untuk evaluasi intervensi

farmakologis dan bedah juga berlaku untuk rehabilitasi. Khususnya penting untuk

menunjukkan bahwa rehabilitasi ini efektif tidak hanya dalam memodifikasi

kecacatan tetapi juga memiliki efek berkelanjutan pada tingkat ketidakmampuan.

Sayangnya, kebanyakan uji klinis acak di daerah ini memiliki kualitas

metodologis yang rendah, memiliki ukuran sampel cukup dan gagal untuk menilai

hasilnya pada tingkat kecacatan. Banyak studi lain gagal membandingkan

intervensi dengan placebo atau pengobatan palsu.

Strategi Penelitian

Setiap anggota panduan ditetapkan dalam area rehabilitasi kognitif (SFC-aphasia;

SC-unilateral neglect; BR-attention; BS-memory; CvH-apraxia; TB-acalculia) dan

diteliti secara sistematis dengan tinjauan EBM –Cochrane Central Register dari

3

Page 4: REHABILITASI KOGNITIF JADI

sampel terkontrol, info database dari Medline and Psych menggunakan kata kunci

yang sesuai, dan pencarian textbook dan pedoman yang ada. Consensus umum

hanya terdiri dari artikel berisi data yang dapat digolongkan menurut nilai

rekomendasi penyelenggara, dikelompokkan dalam tingkatan bukti sesuai laporan

bimbingan untuk pedoman penatalaksanaan neurologis dari EFNS yang telah

direvisi (Brainin et al., 2004)

Metode Pencapaian Konsensus

Pengumpulan data dan analisis bukti ditampilkan secara bebas oleh masing-

masing peserta sesuai dengan tugas tersebut diatas. Berdasarkan laporan tunggal,

SFC menghasilkan konsep pedoman pertama yang telah beredar beberapa kali

diantara anggota Satuan Tugas hingga perbedaan tiap-tiap topik teratasi dan

consensus tercapai.

Hasil

Rehabilitasi Afasia

Rehabilitasi untuk gangguan bicara dan bahasa yang mengikuti kerusakan otak

adalah termasuk defisit kognitif yang didapat, dengan manggunakan tradisi lama,

kembali ke abad sembilan belas (Howard and Hatfield, 1978). Berbagai

pendekatan telah diterapkan dalam rehabilitasi pada afasia, dari pendekatan

stimulasi sampai dengan upaya terakhir untuk mendirikan program pengobatan

yang disesuaikan dengan teori berdasarkan pada prinsip-prinsip kognitif

neuropsikologi (Basso, 2003). Kebutuhan untuk menetapkan efektivitas

rehabilitasi aphasia telah mendorong sejumlah penyelidikan, kembali ke periode

setelah perang dunia kedua, dan telah didasarkan pada metodologi yang berbeda-

beda. Pembelajaran meta-analisis berhubungan dengan efektivitas rehabilitasi

bahasa, terbatas hanya pada aphasia yang diakibatkan oleh stroke, telah

disediakan oleh kolaborasi Cochrane. Tinjauan tersebut mencakup artikel tentang

4

Page 5: REHABILITASI KOGNITIF JADI

rehabilitasi bicara dan bahasa setelah serangan stroke sampai dengan Januari 1999

(Greener et al., 2000). Kesimpulan dari peninjauan ini adalah bahwa terapi bicara

dan bahasa serta pengobatan untuk orang dengan afasia setelah serangan stroke

belum terbukti apakah benar-benar efektif atau benar-benar tidak efektif dengan

RCT. Keputusan mengenai penanganan pasien harus didasarkan bentuk bukti

lainnya. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah terapi bicara

dan bahasa terhadap pasien afasia tersebut efektif. Jika para peneliti memilih

untuk melakukan percobaan, dan harus cukup besar untuk memiliki kekuatan

statistik yang memadai, dan benar-benar dilaporkan. Kesimpulan ini didasarkan

pada sejumlah terbatas RCT (12), dimana semuanya dianggap berkualitas rendah.

Tinjauan lain oleh Ciceron, et al. (2000) mencapai kesimpulan yang berbeda.

Kesimpulannya adalah terapi kognitif-bahasa dapat dianggap sebagai Latihan

Standart untuk afasia pasca stroke; hal serupa, kesimpulan positif untuk TBI

didasarkan pada bukti yang kurang konsisten. Alasan dari perbedaan ini dapat

ditemukan pada criteria berbeda yang digunakan dalam dua tunjauan. Beberapa

studi telah disertakan oleh Ciceron, et al. (2000) tidak dianggap dalam tinjauan

Cohrane untuk alas an berikutnya. Dibandingkan dengan kelompok control yang

tidak mendapat perlakuan, salah satu studi oleh Hagen (1973) tersebut dikeluarkan

karena kurangnya pengacakan (randomisasi) yang benar (pasien-pasien yang

ditugaskan secara berurutan untuk diberi perlakuan atau tidak diberi perlakuan).

Studi lain (Katz dan Wertz, 1997), mungkin telah disertakan karena hanya

ditangani oleh rehabilitasi membaca yang dibantu oleh computer. Dua RCT kecil

(Helffenstein dan Wechsler, 1982; Thomas-Stonell et al., 1994), yang telah

melaporkan efek positif pengobatan, dikeluarkan dari tinjauan Cohrane karena

disediakan untuk gangguan komunikasi setelah TBI (cedera otak).

Beberapa terapi membandingkan dengan rangsangan tidak terstruktur yang

didasarkan pada jumlah sesi pengobatan yang sangat terbatas. Meta-analisis oleh

Bhogal et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil studi melaporkan pengaruh

perlakuan yang signifikan diberikan terapi 8.8 jam per minggu selama 11.2

minggu, sementara studi negative hanya ditunjukkan kira-kira 2 jam per minggu

5

Page 6: REHABILITASI KOGNITIF JADI

selama 22.9 minggu. Total lamanya terapi secara signifikan berbanding terbalik

terhadap perubahan yang berarti dalam indeks Porch dari skor Kemampuan

Komunikasi (PICA). Jumlah jam terapi yang ditunjukkan dalam seminggu

berhubungan secara signifikan dengan perbaikan yang lebih besar pada PICA dan

Tes Token. Hasil ini menunjukkan bahwa program terapi intensif yang diberikan

dalam waktu singkat dapat meningkatkan hasil terapi bicara dan bahasa bagi

penderita stroke dengan afasia.

Menurut definisi, semua bukti kelas II dan III tidak termasuk dalam

tinjauan Cohrane. Hal ini mengakibatkan pengecualian dati tiga penelitian besar

oleh Basso et al., (1979), Shewan dan Ketesz (1985) dan Poeck et al., (1989),

semuanya menunjukkan keuntungan pengobatan yang signifikan. Sebuah kelas

kecil tambahan II dilakukan oleh Carlomagno et al., (2001) mendukung kegunaan

dari rehabilitasi menulis terhadap pasien stroke pada stadium post akut. Bukti

tmabahan untuk hasil terapi dating dari beberapa penyelidikan acak baru-baru ini

pada sampel kecil pasien (kelas II). Sebuah kelompok studi membandingkan

pengobatan komunikasi kelompok dengan pengobatan yang berbeda,

menunjukkan efek positif pada tindakan linguistic dan komunikasi (Elman dan

Bernstein-Ellis, 1999). Studi lain didasarkan pada sampel kecil dibandingkan

dengan terapi konvensional dan menunjukkan keunggulan yang signifikan

terhadap campur tangan “kumpulan” (Pulvermueller et al., 2000). Studi acak

baru-baru ini membandingkan dengan pengobatan pholologi terhadap anomia.

Kedua pengobatan tersebut menghasilkan perbaikan yang signifikan terhadap

komunikasi fungsional (Doesborg et al., 2004)

Demikian juga, studi kasus tunggal tidak dipertimbangkan dalam tinjauan

Cohrane. Hal ini sebagian relevan karena kebanyakan studi pengobatan baru-baru

ini didasarkan pada pendekatan neuropsikologi kognitif menggunakan metodologi

kasus tunggal. Tinjauan ini ditulis oleh Robey et al. (1999) secara kritis

membahas pendekatan ini dan menyimpulkan bahwa secara umum efek

pengobatan yang besar telah ditemukan terhadap pasien afasia.

6

Page 7: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Rekomendasi :

Kesimpulan dari tinjauan Cohrane tentang rehabilitasi afasia pasca stroke tidak sesuai

dengan terapi Afasia Level A. Walaupun demikian, terdapat bukti bahwa dari

penelitian kelas II dan kelas III, dan juga dari penelitian tunggal, menunjukkan

kemungkinan keefektifannya (Level B). dipercederan penelitian lebih lanjut mengenai

hal ini. Khsusnya untuk membuktikan keefektifan terapi pragmatis-percakapan

setelah TBI yang penelitiannya masih sedikit dengan sampel yang sedikit.

Rehabilitasi ULN

Adanya hemineglect saat fase akut dihubungkan dengan hasil yang jelek terkait

dengan kemandirian (Denes et al, 1982; Stone et al, 1992) dan usaha yang lebih

diperlukan untuk rehabilitasinya. Tinjauan kami berikut memaparkan penelitian

tentang tidak dihiraukannya rehabilitasi dan juga tentang tinjauan terbaru yang

dipublikasikan (Robertson dan Hawkin, 1999; Robertson, 1999; Diamond, 2001;

Pierce dan Buxbaum, 2002; Kerkhoff, 2003; Paton et al 2004), termasuk tinjauan

Cohrane (Bowen et al, 2002). Tinjauan Cohrane menganalisis 15 penelitian dan

menemukan bahwa rehabilitasi kognitif bermanfaat pada perbaikan dalam

penilaian tingkat kelemahan. Namun, terdapat bukti yang tidak cukup untuk

mendukung atau menolak efek rehabilitasi kognitif pada tingkat disabilitas atau

pada saat pulang dari rumah sakit. Pendekatan yang berbeda-beda dipergunakan

sekarang untuk tidak menghiraukan rehabilitasi; tinjauan kami berikut ini tentang

pembuktian terhadap pendekatan yang berbeda-beda tersebut.

Pelatihan kombinasi dari pengamatan visual, pembacaan, pengkopian, dan

deskripsi badan secara statistik menunjukkan hasil signifikan terhadap perbaikan

dalam gejala yang tidak dihiraukan pada satu penelitian kelas II (Antonucci et al,

1995) dan dua penelitian kelas III (Pizzamiglio et al, 1992; Valtar et al, 1997).

Pelatihan Pengamatan visual sendiri menunjukkan perbaikan kelalaian secara

signifikan pada penelitian kelas I (Weinberg et al, 1997). Spasiomotor atau

Visuospasiomotor menunjukkan perbaikan kelalaian secara signifikan pada

penelitian kelas I (Kalra et al, 1997) dan dua penelitian kelas III (Lin et al, 1996;

7

Page 8: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Frassinetti et al 2001). Isyarat visual dengan stimulus kinetik menunjukkan

perbaikan signifikan, walaupun sementara, pada tiga penelitian kelas III (Butter et

al, 1990; Pizzamiglio et al, 1990; Butter dan Kirsch, 1995). Namun, penggunaan

stimulasi optokinetik, tidak menunjukkan perbaikan dalam neglect pada penelitian

kelas I terbaru (Pizzamiglio et al, 2004). Video feedback (Tham dan Tegner, 1997)

dan Visuomotor feedback (Harvey et al, 2003) menunjukkan keadaan umum yang

lebih baik pada pelatihan pada penelitian kelas III dan II. Pelatihan perhatian

terpusat, peningkatan kewaspadaan atau isyarat perhatian spasial menunjukkan

perbaikan kelalaian signifikan pada penelitian kelas III (Hommel et al, 1990,

ladavas et al, 1994; Robertson et al, 1995; Kerkhoff, 1998)

Beberapa penelitian mempelajari tentang efek representasi multisensoris

berpengaruh. Penelitian ini secara umum memperlihatkan efek sementara, yang

bertahan sedikit lebih lama daripada akhir stimulasi yang sesuai. Stimulasi

vestibular dengan infus air dingin pada liang telinga luar sebelah kiri

menunjukkan efek signifikan pada beberapa aspek kelalaian unilateral pada dua

penelitian kelas III (Rode dan Perenin, 1994; Rode et al, 1998). Stimulasi

vestibular Galvanic secara signifikan memperbaiki gejala kelalaian pada satu

penelitian kelas III (Rorsman et al, 1999). Stimulasi transkutaneus elektrik pada

otot leher sebelah kiri menunjukkan efek signifikan pada tiga penelitian kelas III

(Vallar et al, 1995; Guariglia et al, 1998; Perennou et al, 2001) dan vibrasi otot

leher pada satu penelitian kelas II (Schindler et al, 2002). Yang terakhir

merupakan satu-satunya penelitian pada kelompok ini yang menunjukkan efek

tetap setelah 2 bulan. Perubahan pada orientasi batang tubuh secara signifikan

memiliki efek positif pada satu penelitian kelas II (Wiart et al, 1997).

Penggunaan goggle prisma dengan deviasi 10 derajat ke kanan, yang

diperkenalkan baru-baru ini, memperlihatkan perbaikan signifikan, pada pola

yang sementara terhadap gejala kelalaian pada dua pasien kelas II (Rossetti et al,

1998; Angeli et al, 2004) dan satu penelitian kelas III (Farne et al, 2002). Sebuah

penelitian kelas II mempergunakan terapi goggle prisma selama 2 minggu dan

memperoleh hasil yang signifikan untuk perbaikan jangka panjang (Frassinetti et

al, 2002). Penggunaan lapang pandang kiri atau mata kiri secara paksa

8

Page 9: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Rekomendasi :

Beberapa metode rehabilitasi neglect diteliti pada penelitian tingkat I dan II. Bukti yang

diperlihatkan dihubungkan dengan rekomendasi Level A untuk pelatihan pemantauan

dan pelatihan visuo-spasio-motor, dan rekomendasi level B untuk pelatihan kombinasi

antara pemantauan visual, pembacaan, pengkopian, dan deskripsi bentuk; sampai

orientasi batang tubuh; sampai vibrasi leher; dan sampai penggunaan mata kiri secara

paksa. Penggunaan goggle prisma memiliki tingkat rekomendasi yang sama untuk efek

sementara dan untuk Level C untuk efek jangka panjang jika digunakan dalam periode

yang lebih lama. Rekomendasi level B untuk video feedback; dan Level B-C untuk

pelatihan perhatian terpusat serta pelatihan kewaspadaan. Rekomendasi Level C valid

untuk efek sementara yang disebabkan stimulasi vestibuler galvanic atau kalorik, serta

stimulai listrik transkutaneus pada otot leher. Isyarat visual dengan stimulus kinetic dan

penggunaan computer pada rehabilitasi kelalaian masih controversial.

menunjukkan manfaat relatif pada neglect pada satu penelitian kelkas II (Beis et

al, 1999) dan dua penelitian kelas III (Butter dan Kirsch, 1992; Walker et al,

1996).

Pelatihan computer mempelrihatkan hasil yang beragam. Satu penelitian

kelas I (Robertson et al, 1990) dan satu penelitian keals III (Bergego et al, 1997)

melaporkan tidak adanya efek positif signifikan, sementara penelitian kelas II

yang lebih baru menunjukkan perbaikan signifikan secara statistik pada mobilitas

kursi roda (Webster et al, 2001).

Rehablitasi Kelainan Perhatian

Defisit perhatian merupakan lanjutan beberapa tipe kerusakan otak, termasuk

stroke dan TBI (Bruhn dan Parsons, 1971; Van Zomeren dan Van DenBurg,

1985). Penelitian rintisan oleh Ben-Yishay et al (1978) mempelajari tentang

penanganan defisit pada pemusatan dan mempertahankan perhatian pada 40 orag

dewasa dengan kerusakan otak. Tidak hanya terdapat perbaikan pada tugas

pelatihan-perhatian, namun juga secara umum terlihat pada penilaian psikometrik

yang lain yang dipantau selama 6 bulan. Dengan multiple-baseline design,

9

Page 10: REHABILITASI KOGNITIF JADI

dengan pasien 4-6 tahun setelah cedera kepala, Wood (1986) menumukan bahwa

penguatan terpadu efektif untuk meniningkatkan kemampuan pasien untuk

mempertahankan perhatian pada suatu tugas. Beberapa penelitian (Ponsford dan

Kinsella, 1988; Nieman et al, 1990; Novack et al, 1996) secara explisit

memasukkan dan mengevaluasi intervensi terapi seperti pengaruh balik,

penguatan kembali, dan pengajaran strategi ke dalam program rehabilitasi

perhatian.

Tinjauan Cochrane oleh Lincoln et al (2000), yang mencari control

percobaan dari pelatihan perhatian pada stroke, menggambarkan bahwa hanya

penelitian oleh Schottke (1997) yang memperlihatkan keefektifan pelatihan

perhatian untuk meningkatkan perbaikan perhatian.

Tiga belas penelitian telah ditinjau oleh Cicerone et al (2000) termasuk

tiga RCT prospektif (Nieman et al, 1990; Gray et al, 1992; Novack et al, 1996),

empat penelitin control kelas II (Sohlberg dan Mateer, 1987; Strache, 1987;

Ponsford dan Kinsella, 1988; Sturm dan Wilmes, 1991); dan enam penelitian

kelas III (Wood, 1986; Ethier et al, 1989; Gray dan Robertson, 1989; Gansler dan

McCaffrey, 1991; Wilson dan Robertson, 1992; Sturm et al, 1997). Kebanyakan

penelitian kontrol memperbandingkan pelatihan perhatian dengan penanganan

alternatif yang lain, tanpa memasukkan kondisi tanpa penanganan; perbedaan

yang sangat penting adalah antara penelitian yang dilakukan pada fase akut dan

post-akut. Cicerone et al (2000) menyimpulkan bahwa bukti dari dua RCT

(niemann et al, 1990; Gray et al, 1992) dengan subjek total sebanyak 57 dan dua

penelitian kontol (Sohlberg dan Mateer, 1987; Strache, 1987) dengan total 49

subjek mendukung keefektifan pelatihan perhatian pada efek stimulasi kognitif

non-spesifik untuk subjek dengan TBI atau stroke selama fase post akut pada

pemulihan dan rehabilitasi. Cicerone et al (2000) merekomendasikan suatu bentuk

intervensi sebagai suatu pedoman praktek untuk orang-orang ini. Intervensi

sebaiknya tidak hanya berisi tentang pelatihan dengan modalitas dan kompeksitas

stimulus yang berbeda-beda, namun juga aktivitas terapis seperti memantau

keadaan umum subjek, menyediakan pengaruh balik dan strategi pengajaran.

Pelatihan perhatian tampak lebih efektif ketika ditujukan untuk perbaikan keadaan

10

Page 11: REHABILITASI KOGNITIF JADI

umum subjek untuk tugas tugas yang lebih kompleks dan fungsional. Namun,

efek dari penanganan itu bisa sedikit atau spesifik untuk tugas tertentu, dan suatu

kebutuhan tambahan muncul untuk memeriksa dampak penanganan perhatian

pada aktivitas sehari hari (ADL) atau hasil yang fungsional.

Penelitian fase Akut

Satu penelitian kelas I dan penelitian kelas II mengevaluasi keefektifan

penatalaksanaan perhatian selama fase akut saat rehabilitasi. Penelitian kelas I

oleh Novack (1996) membandingkan keefektifan penatalaksanaan terpusat yang

terdiri dari intgervensi runtut dan urut yang ditujukan pada mekanisme perhatian

spesifik dengan intervensi yang tidak terstruktur yang terdiri dari aktivitas tidak

teratur dan tidak runtut yang membutuhkan kemampuan mengingat. Kedua

kelompok itu memperlihatkan perbaikan, namun tidak ada perbedaan

antarkelompok: perbaikan yang diamati mungkin karena pemulihan spontan. Satu

penelitian kelas II (Ponsford dan Kinsella, 1988) menggunakan multiple baseline

design pada subjek dan mengevaluasi program untuk remediasi defisit proses

kecepatan pada 10 pasien dengan TBI parah (6 hingga 8 minggu setelah cedera).

Penuilis tersebut melaporkan tidak adanya manfaat atau generalisasi efek dari

pelatihan perhatian. Namun, perbaikan muncul pada beberapa pasien ketika

melakukan tugas-tugas pelatihan perhatian dikombinasikan respon ahli terapi dan

pujian-pujian. Pada penelitian kelas II yang lain (Sturm dan Wilmes, 1991), 35

subjek dengan stroke lateralisasi memperlihatkan efek manfaat dari pelatihan

perhatian dengan 5 dari 14 ukuran hasil, khususnya ukuran terhadap kecepatan

perceptual dan perhatian selektif pada lesi hemisfer kiri.

Pasca Akut

Dua penelitian kelas I dan dua penelitian kelas II menganalisis keefektifan

penanganan perhatian selama rehabilitasi pasca akut. Gray et al (1992)

memberikan tatalaksana 31 pasien dengan dissfungsi perhatian, yang secara acak

menerima pelatihan perhatian terkomputerisasi atau jumlah ekuivalet penggunaan

computer. Segera setelah pelatihan, kelompok penelitian tersebut menunjukkan

11

Page 12: REHABILITASI KOGNITIF JADI

perbaikan yang nyata pada dua ukuran perhatian (namun, ketika intelegensi dan

waktu saat cedera dimasukkan sebagai kovarian, efek tatalaksana tersebut tidak

lagi menjadi signifikan; Pada pemantauan 6-bulan, kelompok perlakuan terus

menunjukkan perbaikan dan keadaan umum yang sangat baik dibandingkan

dengan kelompok control pada tes yang melibatkan ingatan kerja auditory-verbal.

Penulis tersebut menyimpulkan bahwa perbaikan setelah periode pemantauan,

seiring dengan model pelatihan strategi yang otomatisasinya meningkat dan

terintegrasi dalam perilaku yang beraneka ragam (Gray et al, 1992). Pada

penelitian kelas I pasca akut kedua (Niemann et al, 1990) pasien yang tinggal di

lingkungan masyarakat dengan cedera otak sedang hingga berat diamati

orientasinya, pandangannya, dan kelainan afasia dan psikiatri. Terdapat

perbaiakan pada kelompok penelitian pelatihan perhatian dibandingkan dengan

kelompok pelatihan alternative (ingatan) diukur dari empat ukuran perhatian

selama periode perawatan, walaupun efeknya tidak tergeneralisir sampai

perangkat kedua dari ukuran neuropsikologis. Sohlberg dan Mateer (1987)

menerapkan multiple baseline design pada empat pasien untuk melihat

keefektifan program pelatihan perhatian yang spesifik dan runtut. Semua subjek

menunjukkan perbaikan pada ukuran hasil perhatian setelah pelatihan perhatian

dimulai tetapi tidak setelah pelatihan proses visuospasial: perbaikan ini juga

tergeneralisir untuk masalah kognitif dan masalah sehari-hari. Strache (1987)

melakukan penelitian prospektif kelas II pada pasien dengan etiologi trauma dan

vaskuler serta membandingkan dua intervensi yang berhubungan dekat pada

kelompok control tanpa perlakuan yang mendapatkan rehabilitasi umum. Setelah

20 sesi penatalaksanaan, kedua penatalaksaan perhaitan tersebut menunjukkan

hasil perbaikan signifikan pada ukuran perhatian hubungannya dengan kelompok

subjek, dengan beberapa generalisasi pada ukuran ingatan dan intelegensi. Rath et

al (2004) pada tiga penelitian control kelas II yang saling berhubungan menguji

gagasan penyelesaian masalah karena hubungannya dengan penilaian defisit pada

pasien dengan TBD. Perbedaan antarkelompok itu signifikan pertama untuk tugas

perhatian yang dihitung waktunya, kemudian untuk catatan penyelesaian masalah

dan catatan psikososial, lalu untuk penyelesaian masalah pasien sendiri dan juga

12

Page 13: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Rekomendasi :Selama periode akut pemulihan dan rehabilitasi, terdapat sedikit bukti yang dapat membedakan efek pelatihan perhatian spesifik dengan pemulihan spontan atau intervensi kognitif umum yang lain pada pasien dengan TBI atau Stroke sedang sampai berat. Oleh sebab itu, intervensi perhatian spesifik selama periode akut pemulihan tidak direkomendasikan. Pada sisi lain, terdapatnya bukti kelas I tentang pelatihan perhatian pada fase pasca akut setelah TBI sesuai dengan rekomendasi Level A.

catatan laporan sendiri. Hal ini berarti dipercederan pendekatan berbeda-beda

yang banyak pada gagasan penyelesaian masalah (pendekatan multidimensi)

untuk mencapai rehabilitasi yang baik. Beberapa usaha Dilakukan untuk

menggambarkan peran diferensial keefektifan pelatihan dari komponen perhatian

yang spesifik. Rios et al (2004) pada penelitian control kelas II terhadap cedera

otak traumatic berpendapat bahwa perhataian adalah fungsi kognitif dasar, suatu

prasyarat untuk proses kognitif yang lain. Terdapat empat sub proses tersebut

yang perlu diperhatikan: flexibilitas kognitif, kecepatan pemprosesan, campur

tangan, dan ingatan kerja. Hasil penelitiannya mendukung pendapat bahwa

subproses pengatur perhatian yang berbeda-beda ini dapat dibedakan menjadi

proses tingkat tinggi dan rendah dan dapat berimbas pada penilaian

neuropsikologi dan rehabilitasi.

Perbaikan dalam kecepatan prsoes tampak kurang berarti dibandingkan

dengan perbaikan apda tugas yang tidak berkaitan dengan kecepatan (Ponsford

dan Kinsella, 1988; Ethier et al, 1989; Sturm et al, 1997). Lebih jauh lagi,

beberapa penelitian juga menyimpulkan manfaat yang lebih besar dari pelatihan

perhatian pada pekerjaan yang lebih kompleks yang membutuhkan perhatian

selektif atau terbagi dibandingkan pekerjaan dasar (Sturms dan Wilmes, 1991;

Gray et al, 1992; Sturm et al, 1997). Wilson dan Robertson (1992), yang

menerapkan rangkaian intervensi pribadi bertujuan untuk memfasilitasi control

volunteer terhadap perhatian selama aktivitas fungsional, secara efektif

menurunkan penurunan perhatian yang dirasakan oleh subjek ketika membaca

novel dan bacaan.

13

Page 14: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Rehabilitasi memori

Gangguan memori telah dikenal sebagai suatu sekuel yang mengikuti

trauma cedera kepala dan juga pernah dilaporkan mengikuti stroke. Beberapa

penelitian yang meneliti tentang rehabilitasi memori diorientasikan untuk

mengurangi beberapa gangguan memori general (umum) seperti gangguan belajar

dan mengulang kembali maupun gangguan-gangguan fungsi setiap hari.

Penelitian lain memusatkan pada isi yang spesifik seperti orientasi, hari-hari,

nama-nama, wajah-wajah, kebiasaan sehari-hari serta appointment (janji).

Sedangkan yang lain lagi diorientasikan pada gangguan modalitas spesifik seperti

gangguan memori visual dibandingkan dengan memori verbal. Oleh karena

memori bukan merupakan satu konsep saja, beberapa penelitian juga meneliti

tentang berbagai aspek memori yang berbeda seperti memori kerja maupun

memori prospektif.

Penelitian-penelitian yang ditinjau ini secara kasar digolongkan menjadi 3

(tiga) kategori: penelitian mengenai teknik-teknik sasaran tanpa alat bantu memori

eksternal, penelitian mengenai tekinik-teknik sasaran dengan alat bantu memori

eksternal non-elektronik, serta penelitian yang memusatkan pada kegunaan alat

bantu teknologi lektronik (sebagai tinjauan mengenai aplikasi alat bantu memori

eksternal serta prosedur berbasis komputer terhadap peningkatan fungsi memori

pada pasien-pasien neurologi dengan defisit memori) (lihat Kapur, dkk., 2004).

Penelitian-penelitian teknik-teknik sasaran tanpa alat bantu memori

eksternal

Keefektifan strategi latihan memori tanpa alat bantu memori eksternal

terhadap rehabilitasi memori diteliti oleh 3 (tiga) penelitian kelas III. Doomhein

dan de Haan (1998) (kelas III) meneliti gangguan memori pada 12 pasien stroke.

Latihan strategi memori diperlakukan pada kelompok target selama 4 (empat)

minggu dengan 2 (dua) sesi perminggu. Program latihan terdiri dari 6 (enam)

strategi memori bagi kelompok target serta latihan non-spesifik yang melibatkan

14

Page 15: REHABILITASI KOGNITIF JADI

praktik tugas memori berulang-ulang terhadap kelompok kontrol. Pada akhir

perlakuan, ditemukan suatu perbedaan yang signifikan antara kelompok-

kelompok pada tes yang berhubungan dengan nama-wajah. Meskipun demikian,

perbedaan besar rerata memperlihatkan bahwa latihan strategi memori tidak

memiliki efek signifikan pada gangguan memori maupun keluhan memori

subjektif. Berg, Koning-Haanstra, dan Deelman (1991) (penelitian kelas III)

meneliti tentang latihan strategi memori versus latihan dan praktik berulang-ulang

versus tanpa perlakuan pada 39 pasien trauma cedera kepala (traumatic brain

injury/TBI). Hanya kelompok latihan strategi memori yang memperlihatkan

peningkatan fungsi memori dan efek terbesarnya diamati 4 (empat) bulan setelah

terapi. Ryan dan Ruff (1988) (penelitian kelas III) meneliti 20 pasien TBI

menguunakan strategi latihan dan gambar visual pada tugas mengumpulkan dan

merangkai versus beberapa alternative terapi. Setelah 6 (enam) minggu latihan,

kedua kelompok sama-sama menunjukkan peningkatan fungsi memori. Latihan

adalah yang paling bermanfaat bagi subjek dengan gangguan memori ringan

sebelum terapi dilakukan.

Pada beberapa penelitian lainnya, sebuah penelitian kelas III tidak

menemukan efek positif pada gangguan memori yang menggunakan strategi

kompensasi, sedangkan penelitian kelas III yang lain melaporkan adanya efek

positif dan penelitian kelas III lainnya hanya menemukan suatu efek terapi latihan

terhadap gangguan memori ringan.

Beberapa penelitian kelas III telah meneliti perbandingan antara errorless

learning (subjek dicegah untuk tidak membuat kesalahan) dan errorfull learning

(misalnya trial-and-error) pada subjek dengan gangguan memori dan

memperlihatkan bahwa para peserta (pasien stroke dan TBI dengan berbagai

macam etiologi) mendapatkan manfaat terbanyak saat dianjurkan untuk belajar

tanpa error/kesalahan (errorless learning) (Baddeley dan Wilson, 1994; Squires,

dkk., 1997; Hunkin, dkk., 1998). Sebuah penelitian meta-analisis kuantitatif pada

pembelajaran lengkap (implicit) serta rehabilitasi memori pada pasien TBI, stroke,

dan Alzheimer dilakukan oleh Kessels dan de Haan (2003) (penelitian kelas IV).

15

Page 16: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Para peneliti membandingkan antara errorless learning dengan metode

menghilangkan isyarat sama sekali. Mereka menemukan bahwa teknik errorless

learning memiliki keuntungan lebih banyak daripada trial-and-error learning.

Mereka juga memperhatikan bahwa keuntungan dari suatu teknik belajar seperti

errorless learning bisa tergantung pada tepatnya tugas yang digunakan dan cara

yang mana memori diujikan. Hal ini dicontohkan oleh Riley, dkk. (2004)

(penelitian kelas III) yang membandingkan efisasi/kemanjuran dari errorless

learning tanpa pemudaran (errorless learning without fading (ELWF)) dengan

metode menghilangkan isyarat (method of vanishing cues (WVC)), mendiskusikan

apakah ELWF atau WVC yang menghasilkan performa memori implicit atau

eksplisit yang lebih baik. MVC memperlihatkan performa yang lebih baik

daripada ELWF ketika dilakukan study-trial recall yang penuh kerja keras tapi

berhasil menunjukkan efek positif MVC pada memori eksplisit. Berkenaan

dengan memori implicit, MVC lebih efektif dibandingkan dengan ELWF saat

digunakan tugas menyelesaikan akar kata, akan tetapi bukan saat digunakan tugas

tanpa hubungan ataupun tugas identifikasi perceptual. Para penulis menyimpulkan

bahwa keefektifan relative dari kedua metode bergantung pada cara yang mana

memori itu diujikan. Dalam penelitian kelas III yang lain, para peneliti

membandingkan antara errorless learning dan errorful learning dengan atau

tanpa pre-eksposing peserta (pasien TBI dan stroke) pada target stimuli (Kalla

dkk., 2001). Penulis melaporkan suatu manfaat signifikan pada errorless learning

dibandingkan dengan errorful learning. Pre-eksposing target stimuli sangat

meningkatkan manfaat errorless learning. Dalam berbagai pusat penelitian,

Wilson dkk. (2001) memperlihatkan 9 (sembilan) penelitian dalam 3 (tiga) tahap

penelitian yang membandingkan errorless dan trial-and-error (errorful) learning

pada pasien dengan berbagai macam etiologi termasuk pasien TBI dan stroke.

Penulis menemukan bahwa mencegah pasien dengan gangguan memori untuk

tidak membuat kesalahan (errorless learning) dalam situasi yang memfasilitasi

memori implicit dan memori pengulangan kembali (retrieval memory) terhadap

materi yang diajarkan (tapi bukan dalam situasi yang membutuhkan recall

eksplisit dari asosiasi yang baru) memiliki efek positif terhadap belajar. Hasil

16

Page 17: REHABILITASI KOGNITIF JADI

penelitian mereka juga memperlihatkan bahwa dalam keadaan tertentu errorless

learning mungkin lebih bermanfaat bagi pasien yang mnderita gangguan memori

lebih berat.

Pada beberapa penelitian yang lainnya: Suatu serial penelitian kelas III

melaporkan suatu manfaat teknik errorless learning daripada teknik errorful

learning. Terdapat beberapa indikasi bahwa setiap manfaat dari errorless learning

bisa tergantung pada tipe tugas yang digunakan, cara yang mana memori diujikan

serta pada tingkat keparahan gangguan memori. Pre-eksposisi terhadap target

stimuli tampaknya dapat meningkatkan manfaat dari errorless learning.

Sebuah teknik belajar yang lain diteliti oleh Hillary dkk. (2003) (penelitian

kelas III). Penulis meneliti apakah pembelajaran pada pasien TBI sedang dan

berat ditingkatkan dengan suatu prosedur pembelajaran spacing-of-repetitions

menggunakan pembelajaran uji coba berurutan sebagai suatu kondisi kontrol.

Prosedur spacing-of-repetitions berdasarkan efek spacing yang telah diperlihatkan

dapat meningkatkan memori dan belajar ketika uji coba yang diulang-ulang

didistribusikan sepanjang waktu (spaced repetitions). Penulis menemukan bahwa

peserta secara signifikan mampu me-recall dan mengenal lebih banyak kata-kata

yang dispasi daripada kata-kata yang dikumpulkan selama tugas belajar mendaftar

kata. Secara statistic, menjumlah perbedaan status neuropsikologi pasien, terdapat

suatu pengaruh signifikan dari efek menspasi pada performa recall dan

pengenalan. Hasil penelitian ini mendukung penemuan penelitian kelas III

sebelumnya (Schacter dkk., 1985), yang mana teknik spaced retrieval dilakukan

pada 4 (empat) pasien dengan gangguan memori ringan sampai berat. Performa

untuk belajar informasi yang lebih baik pernah dilaporkan.

Dalam beberapa penelitian lainnya: penelitian-penelitian kelas III

melaporkan suatu efek yang menguntungkan dari teknik spaced retrieval pada

performa memori spesifik.

17

Page 18: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Penelitian-penelitian teknik-teknik sasaran dengan alat bantu memori

eksternal non-elektronik

Kegunaan dari alat-alat bantu eksternal seperti buku catatan atau sebuah

diari telah diteliti dalam 2 (dua) penelitian kelas II dan sebuah serial penelitian

suatu kasus tertentu (penelitian kelas III). Schmitter-Edgecombe dkk. (1995)

(penelitian kelas III) meneliti tentang terapi latihan dengan buku catatan pada

pasien TBI dan melaporkan adanya kegagalan memori yang secara signifikan

lebih kecil setiap hari pada kelompok buku catatan dibandingkan dengan

kelompok terapi dukungan. Ownsworth dan McFarland (1999) (kelas III) meneliti

kemanjuran dari pendekatan latihan hanya dengan diari (diary only/DO) versus

latihan dengan pendekatan diari ditambah dengan instruksional sendiri (diary plus

self-instructional training/DSIT) pada pasien dengan berbagai macam etiologi

termasuk pasien TBI dan stroke. Dibandingkan dengan kelompok DO, kelompok

DSIT mampu mempertahankan sebuah manfaat strategi diari sepanjang waktu

yang lebih konsisten, dilaporkan suatu tingkat kesulitan memori yang lebih rendah

dan menilai strategi yang digunakan sebagai suatu strategi yang lebih membantu.

Pada beberapa penelitian: Dua penelitian kelas III mendukung manfaat

dari alat bantu memori eksternal non-elektronik seperti buku catatan ataupun diari.

Tampaknya bahwa suatu terapi yang dikombinasikan dari suatu alat bantu memori

eksternal (diari) dan latihan strategi internal meningkatkan keberhasilan terapi

rehabilitasi memori.

Keefektifan alat bantu memori eksternal non-elektronik juga telah

diperlihatkan oleh beberapa studi kasus maupun penelitian-penelitian tidak

terkontrol (penelitian kelas IV) (Sohlberg dan Mateer, 1989; Zencius dkk., 1990;

Burke dkk., 1994; Squires dkk., 1996). Ada satu penelitian kelas IV yang

tampaknya menyatakan bahwa tidak semua alat bantu maupun stategi bermanfaat.

Evans dkk. (2003) meneliti manfaat alat-alat bantu maupun strategi-strategi

terhadap peserta dengan kerusakan otak oleh karena berbagai etiologi yang

berbeda dalam jumlah besar. Alat bantu yang paling sering digunakan adalah alat-

18

Page 19: REHABILITASI KOGNITIF JADI

alat bantu eksternal seperti kalender, daftar, buku catatan, dan diari. Meskipun

demikian, dari tingkat keberhasilan yang diperoleh dari individu

relative/perseorangan, alat bantu/strategi yang paling luas digunakan bukanlah

yang paling efektif.

Manfaat teknologi elektronik bantu

Meningkatnya ketersediaan computer, internet, sambungan tanpa kabel,

dan alat-alat elektronik yang lain membuka kemungkinan yang luas untuk

memasukkan teknologi-teknologi ini ke dalam rehabilitasi (sebagai suatu tinjauan

pada teknologi bantu untuk alat-alat kognisi (assistive technology for

cognition/ATC) lihat LoPresti dkk., 2004). Cukup mencengangkan bahwa

walaupun secara relative biayanya rendah dan meningkat ketersediaannya, secara

relative, masih sedikit penelitiaan-penelitian terkontrol baik. Sebuah penelitian

kelas III awal oleh Kerner dan Acker (1985) (penelitian kelas III) memperlihatkan

performa memori yang meningkat pada pasien TBI dengan gangguan memori

ringan sampai sedang setelag menggunakan software latihan memori berbasis

computer. Dukungan untuk keberhasilan latihan memori dengan bantuan

computer juga datang dari beberapa penelitian kelas IV (Glisky dan Glisky, 2002;

Kapur dkk., 2004). Penelitian kelas III yang lainnya menguji keefektivan 4

(empat) strategi latihan memori dengan bantuan computer yang berbeda

(melangkah sendiri/self-pacing, timbale balik/feedback, diurutkan/personalized,

penyajian visual/visual presentation) pada pasien China dengan trauma kepala

tertutup (Tam dan Man, 2004). Membandingkan outcome pretes dan posttes

memori (nilai kuis computer) dari pasien dan kelompok studi memperlihatkan

peningkatan yang signifikan dari keempat uji memori tetapi tidak berlaku pada

sebuah ukuran outcome memori independen. Di samping computer, system

paging portabel telah digunakan untuk meningkatkan performa memori. Wilson

dkk. (2001) (kelas III) meneliti keefektivan system paging portabel (NeuroPage)

pada sejumlah besar pasien TBI, stroke, dan pasien-pasien yang lain dengan

19

Page 20: REHABILITASI KOGNITIF JADI

gangguan memori dan gangguan kemampuan merencana/organisasi. Lebih dari

80% pasien yang telah menyelesaikan 16 minggu masa percobaan menunjukkan

suatu peningkatan signifikan menjalani aktivitas sehari-hari (seperti perawatan

diri sendiri, pengobatan diri sendiri, menepati janji) saat menggunakan system

pager. Cukup baik mengatakan bahwa penelitian ini diperluas oleh Inglis dkk.

(2002) yang mengembangkan sebuah alat bantu memori interaktif menggunakan

asisten digital (PDA) dengan transmisi data melalui jaringan telepon seluler. Jadi,

NeuroPage juga dapat berkomunikasi dengan perawat system computer sehingga

bisa sedikit memonitor kegunaan dan kemampuan PDA. Tidak ada keberhasilan

penelitian terkontrol yang pernah dipublikasikan. Keberhasilan manfaat dari suatu

system paging alfanumerik juga telah ditunjukkan dalam suatu studi kasus TBI

tunggal kelas IV (Kirsch dkk., 2004). Sebuah alat bantu memori elektronik yang

lain adalah pengatur suara potable (VO/portable voice organizer). Alat ini dapat

diarahkan untuk mengenali pola bicara individu pasien, menyimpan berbagai

pesan yang diurutkan oleh pengguna serta mengulang berbagai pesan pada waktu

yang tidak ditentukan. Hart dkk. (2002) meneliti keberhasilan dari suatu system

tertentu pada pasien-pasien TBI dengan gangguan memori yang ditujukan dalam

memfasilitasi pengulangan kembali rencana dan tujuan terapi dalam sebuah desain

penelitian subjek terkontrol (penelitian kelas III). Hasilnya menunjukkan bahwa

tujuan-tujuan yang direkam mampu diulang kembali yang secara signifikan

hasilnya lebih baik daripada tujuan-tujuan yang tidak direkam pada kondisi bebas

maupun mengulang isyarat. Para penulis menjelaskan bahwa perhatian perlu

untuk diterapkan untuk menyamaratakan hasil dikarenakan sedikitnya jumlah

subjek, waktu latihan yang pendek, dan kurangnya pengukuran kemampuan

memori independen. Manfaat VO juga telah diperlihatkan pada sebuah penelitian

kelas IV yang terkontrol baik pada pasien-pasien dengan berbagai macam etiologi

termasuk pasien TBI (van den Broek dkk., 2000). Teknologi reality virtual telah

digunakan dalam penilaian memori untuk menyediakan evaluasi yang lebih

terkontrol dan valid secara ekologi daripada mungkin dalam sasaran rehabilitasi.

Manfaatnya dalam rehabilitasi memori telah diteliti dalam 2 (dua) penelitian kelas

III (sebagai tinjauan kembali manfaat serta kemungkinan-kemungkinan reality

20

Page 21: REHABILITASI KOGNITIF JADI

virtual dalam rehabilitasi memori lihat Brooks dan Rose, 2003). Dua penelitian

kelas III meneliti performa dari para pasien saat tugas-tugas memori disajikan

dalam bentuk lingkungan yang nyata (virtual). Efek dari partisipasi pasif dan aktif

dalam sebuah lingkungan virtual non-imersif pada memori spasial pasien-pasien

stroke diteliti oleh Rose dkk. (1999) (penelitian kelas III). Performa para

partisipan dalam tes-tes memori spasial dan pengenalan objek dievaluasi setelah

eksplorasi aktif lingkungan virtual maupun observasi pasif mengenai rancangan

lingkungan virtual. Para pasien stroke sebagaimana dengan kontrol

memperlihatkan performa yang lebih baik dalam tugas pengenalan aktif daripada

pengenalan spasial pasif. Bagaimanapun, meskipun kontrol pasif memperlihatkan

performa yang lebih baik pada tugas pengenalan objek daripada kontrol aktif, para

pasien tidak menunjukkan perbedaanpun pada tugas pengenalan objek aktif

dibandingkan pasif. Grealy dkk. (1999) (penelitian kelas III) meneliti pengaruh

lingkungan latihan stimulasi virtual non-imersif terhadap perhatian, proses

informasi, pembelajaran serta memori pada pasien-pasien TBI. Sebuah

perbandingan nilai-nilai pre dan post intervensi memperlihatkan kemajuan

signifikan dalam tes-tes perhatian, proses informasi, pembelajaran verbal dan

visual. Tidak ada kemajuan dalam fungsi memori yang diteskan dengan tes

memori global dan tes gambar kompleks.

Dua penelitian kelas III mengindikasikan bahwa para pasien dapat

meningkatkan kemampuan performa memori spasial ataupun pembelajaran verbal

dan visual dalam suatu lingkungan virtual.

Cicerone dkk. (2000) (menggunakan sebuah system penilaian berbeda dari

salah satu yang digunakan di sini) merekomendasikan latihan memori pengganti

bagi subjek-subjek dengan gangguan memori sedang sebagai standar praktis. Para

peneliti ini menyampaikan bahwa kemandirian dalam fungsi sehari-hari, berperan

aktif dalam mengidentifikasi masalah memori yang diobati serta kecakapan dan

motivasi untuk melanjutkan penggunaan strategi aktif dan mandiri berperan besar

dalam kesembuhan memori efektif.

21

Page 22: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Meskipun telah banyak penelitian tentang rehabilitasi memori, akan tetapi

beberapa masalah muncul pada beberapa laporan penelitian sebelumnya mengenai

heterogenitas populasi yang diteliti (dalam hal umur, etiologi dan tipe kerusakan otak,

tingkat keparahan kerusakan otak, waktu post onset) dan selanjutnya mengenai

kesulitan dalam menginterpretasikan apakah hasil penelitian tersebut masih valid. Hal

ini dapat dipahami bahwa tipe dan intensitas latihan memiliki berbagai efek yang

berbeda tergantung pada sirkuit neuron yang rusak, riwayat gangguan fungsi, umur dan

jenis kelamin pasien, waktu post-trauma, tingkat pendidikan pasien, serta faktor-faktor

eksternal lainnya (misalnya situasi sosial dan pekerjaan). Jumlah variable yang terlibat

yang membuat generalisasi di antara program-program latihan yang disukai dan sulit

bagi individu disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tidak ada rekomendasi spesifik

yang dibuat untuk perbedaan diagnosis kelompok atau tingkat keparahan. Masih

kurangnya penelitian-penelitian yang membandingkan pasien dengan berbagai etiologi

secara langsung (misalnya antara stroke dengan TBI), tipe dan tingkat keparahan

kerusakan otak, umur, jenis kelamin, atau tingkat kesembuhan.

Rekomendasi-Rekomendasi

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ada saat ini, kami menilai manfaat strategi-

strategi memori tanpa bantuan alat elektronik mungkin efektif (possibly effective)

(tingkat C) meskipun masih menyisakan ketidakjelasan sampai seberapa besar

manfaatnya tergantung pada keparahan gangguan memori. Strategi-strategi

pembelajaran spesifik seperti errorless learning didukung oleh berbagai penelitian

kelas III dan oleh karena itu dinilai mungkin efektif (probably effective) (tingkat

B). Namun demikian, beberapa penelitian menjelaskan keberhasilan suatu teknik

pembelajaran spesifik mungkin tergantung pada tugas yang digunakan, apakah

memori implicit atau eksplisit yang dilibatkan, serta keparahan gangguan memori.

Dua penelitian kelas III didukung oleh beberapa penelitian kelas IV telah

memperlihatkan kemungkinan keberhasilan (possible efficacy) (tingkat C) dari

bantuan memori eksternal non-elektronik seperti penggunaan diari ataupun buku

catatan. Alat-alat memori eksternal elektronik seperti computer, system pager,

maupun pengatur suara portabel telah memperlihatkan manfaat pada beberapa

22

Page 23: REHABILITASI KOGNITIF JADI

penelitian kelas III dan oleh karena itu direkomendasikan sebagai probably

effective (tingkat B) yang membantu meningkatkan aktivitas-aktivitas sehari-hari

para pasien stroke dan TBI. Manfaat dari lingkungan-lingkungan nyata (virtual)

telah memperlihatkan efek-efek positif pada pembelajaran verbal, visual dan

spasial pada pasien-pasien stroke dan TBI dalam 2 (dua) penelitian kelas III.

Perbandingan langsung antara pertunjukkan pembelajaran dan latihan memori

dalam lingkungan nyata dengan lingkungan tidak nyata masih belum cukup serta

tidak ada rekomendasi yang dapat dibuat mengenai spesifitas teknik. Saat ini,

latihan memori dalam lingkungan nyata dinilai sebagai possibly effective (tingkat

C).

Rehabilitasi Apraksia

Meskipun insidensi apraksia setelah kerusakan otak didapat cukup banyak, akan

tetapi literature mengenai terapi dan kesembuhan masih sangat minimal. Beberapa

alasan mengenai kurangnya bukti yang ada dapat diidentifikasi (Maher dan

Ochipa, 1997). Pertama, pasien-pasien dengan apraksia seringnya tidak sadar

mengenai defisit yang mereka alami dan sangat jarang mengeluh; kedua, sebagian

besar peneliti percaya bahwa kesembuhan apraksia bersifat spontan dan tidak

memerlukan terapi; ketiga, beberapa penulis percaya bahwa apraksia hanya terjadi

saat pasien diminta menunjukkan performa dalam situasi tes, serta bahwa perilaku

yang benar ditampilkan dalam keadaan sebenarnya. Mulai sekarang,

bagaimanapun juga, terdapat kesepakatan bahwa apraksia mengganggu

kemandirian ADL. Goldenberg dkk., (2001) menaksir aktivitas-aktivitas

kompleks dalam kehidupan sehari-hari pada pasien dengan apraksia dan kontrol.

Mereka menemukan bahwa pasien-pasien apraksia memiliki kesulitan lebih

daripada pasien-pasien dengan kerusakan otak kiri tanpa apraksia dan pasien

kontrol yang sehat. Dalam dua penelitian lain yang dibandingkan hasilnya

ditemukan: Hanna-Paddy dkk., (2003) menemukan suatu hubungan signifikan

antara keparahan apraksia dan ketergantungan pada fungsi-fungsi fisik. Walker

23

Page 24: REHABILITASI KOGNITIF JADI

dkk., (2004) meneliti pengaruh gangguan kognitif pada kesulitan memakai baju

tubuh bagian atas setelah stroke menggunakan analisis video; pasien-pasien

tersebut yang gagal dalam memakai kemeja menunjukkan neglect (kealpaan) dan

apraksia saat follow-up. Hasil-hasil ini menjelaskan bahwa terapi apraksia

seharusnya merupakan bagian dari keseluruhan program rehabilitasi neuro setelah

kerusakan otak. Dalam ringkasan yang singkat ini, akan ditinjau ulang beberapa

penelitian menguji keefektivan terapi apraksia. Penelitian-penelitian tersebut

ditandai baik observasional maupun eksperimen serta diuraikan kualitas

penelitian-penelitian tersebut.

Terdapat 2 (dua) RCT terbaru mengenai rehabilitasi apraksia. Smania

dkk., (2000) menaksir pada sebuah RCT tentang keefektivan program latihan

rehabilitasi bagi pasien-pasien dengan apraksia limb. Tiga belas pasien dengan

trauma otak didapat dan apraksia limb (yang bertahan hingga lebih dari 2 (dua)

bulan) sebagai akibat dari lesi pada hemisfer otak kiri diikutsertakan dalam

penelitian. Kelompok penelitian menjalani suatu latihan eksperimen untuk

apraksia limb yang terdiri dari program latihan perilaku dengan latihan-latihan

pembentukan gestur (langkah). Kelompok kontrol menerima terapi konvensional

untuk afasia. Penilaian-penilaian melibatkan tes-tes neuropsikologi afasia,

komprehensi verbal, kecerdasan umum, apraksia oral, apraksia konstruksional dan

3 (tiga) tes mengenai fungsi praksik limb (apraksia ide dan ideomotor serta

pengenalan gesture). Aktivitas-aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan setiap

tes digunakan untuk menilai outcome. Pasien-pasien dalam kelompok penelitian

mencapai suatu kemajuan performa yang signifikan pada kedua tes apraksia ide

dan ideomotor. Mereka juga memperlihatkan suatu penurunan error dalam tes

apraksia ide dan ideomotor yang signifikan. Perubahan dalam performa tidak

signifikan pada kelompok kontrol. Hasil-hasil penelitian tersebut memperlihatkan

keefektivan yang mungkin dari sebuah program latihan spesifik untuk terapi

apraksia limb. Donkervoort dkk., (2002) menetapkan dalam sebuah penelitian

terkontrol mengenai keberhasilan dari latihan strategi pada pasien stroke hemisfer

kiri dengan apraksia. Sejumlah 113 pasien stroke hemisfer kiri dengan apraksia

24

Page 25: REHABILITASI KOGNITIF JADI

ditetapkan menjadi 2 (dua) kelompok terapi secara acak: (1) latihan strategi yang

digabungkan ke dalam terapi okupasi biasa dan (2) hanya terapi okupasi biasa.

Pengukuran outcome primer adalah sebuah observasi ADL yang terstandarisasi

oleh seorang asisten peneliti yang diambil secara blinded. Pengukuran-

pengukuran ADL tambahan digunakan sebagai pengukuran-pengukuran sekunder

(Barthel ADL index, ADL judgement oleh terapi okupasi dan oleh pasien).

Sdetelah 8 (delapan) minggu terapi, pasien-pasien yang menadapatkan latihan

strategi (n=43) menunjukkan kemajuan secara signifikan lebih baik daripada

pasien-pasien dalam kelompok terapi biasa (n=39) pada observasi ADL. Hal ini

menggambarkan efek kecil sampai medium (besar efek 0,37) dari latihan strategi

pada fungsi ADL. Di lain pihak, pengukuran outcome sekunder menunjukkan

suatu efek medium (besar efek 0,47) ditemukan pada Barthel ADL index. Tidak

ada efek penting yang ditemukan dari latihan strategi setelah 5 (lima) bulan (pada

follow up).

Saat ini, kami menyelenggarakan analisis-analisis sekunder pada data dari

penelitian Donkervoort dkk., (2002) untuk menguji transfer dari efek-efek latihan

strategi kognitif bagi pasien-pasien stroke dengan apraksia dari tugas-tugas

terlatih menjadi tugas-tugas tak terlatih. Analisis-analisis memperlihatkan bahwa

dalam kedua kelompok terapi, skor dalam observasi ADL bagi tugas-tugas tidak

terlatih meningkat secara signifikan setelah 8 (delapan) minggu latihan

sebagaimana dibandingkan dengan skor dasar. Perubahan-perubahan skor dari

aktivitas-aktivitas tidak terlatih lebih besar pada kelompok latihan strategi

dibandingkan dengan kelompok terapi biasa. Hasil ini menjelaskan bahwa transfer

latihan mungkin dilakukan, meskipun penelitian-penelitian selanjutkan sebaiknya

menegaskan penemuan-penemuan eksplorasi (Geusgens dkk., dalam pers).

Beberapa penelitian kelas II juga mendukung keberhasilan rehabilitasi

apraksia. Goldenberg dan Hagman (1998) meneliti suatu kelompok yang terdiri

dari 15 pasien dengan apraksia, yang membuat kesalahan yang fatal dalam

aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari: sebuah kesalahan dinilai fatal jika pasien

tidak mampu untuk meneruskan tanpa bantuan atau jika kesalahan menghalangi

25

Page 26: REHABILITASI KOGNITIF JADI

pasien dalam menyelesaikan tugas dengan berhasil. Rancangan penelitian tersebut

seperti disebutkan berikut: sebuah tes ADL diselenggarakan setiap minggu; di

antara tes tersebut, pasien dilatih 1 (satu) di antara 3 (tiga) aktivitas, sedangkan

dukungan, akan tetapi bukan suatu saran terapi, diberikan untuk 2 (dua) aktivitas

yang lain. Setiap minggu pasien dilatih aktivitas lain, sedangkan aktivitas-

aktivitas yang lain dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan minggu

berikutnya dilakukan dalam bentuk aktivitas yang lainnya dan pada minggu ketiga

dilakukan aktivitas-aktivitas yang tersisa. Meskipun demikian, kesalahan-

kesalahan fatal masih terlihat selama pelaksanaan aktivitas dimana siklus terapi

yang lain sedang berlangsung. Di akhir terapi, 10 (sepuluh) pasien mampu

melakukan ketiga aktivitas tanpa kesalahan yang fatal tiga pasien hanya membuat

1 (satu) kesalahan fatal. Tidak ditemukan adanya generalisasi efek-efek latihan

baik dari aktivitas-aktivitas terlatih maupun tidak terlatih. Tujuh pasien diuji

kembali setelah 6 (enam) bulan: hanya pasien-pasien yang tetap mempraktikkan

aktivitas-aktivitas dalam kehidupan sehari-hari mereka, yang masih menunjukkan

hasil positif dari latihan tersebut.

Van Heugten dkk., (1998) melakukan suatu penelitian yang mengevaluasi

sebuah program terapi untuk mengajari pasien-pasien beberapa strategi untuk

mengimbangi adanya apraksia. Outcome diteliti dengan rancangan pre-post tes;

pengukuran dilaksanakan saat awal (basis) dan setelah 12 minggu terapi. Tiga

puluh tiga pasien dengan apraksia diterapi di bagian terapi okupasi rumah sakit

umum, pusat-pusat rehabilitasi dan rumah-rumah perawatan. Pasien-pasien

tersebut menunjukkan kecenderungan kemajuan pada fungsi ADL dalam semua

pengukuran serta sedikit kemajuan dalam tes apraksia dan tes fungsi motorik.

Besarnya efek untuk disabilitas (kecacatan), antara 0,92 sampai 1,06, lebih besar

dibandingkan dengan besarnya efek untuk apraksia (0,34) dan fungsi motorik

(0,19). Efek signifikan terapi juga tampak saat dipertimbangkan mengenai

kemajuan individu dan kemajuan subjektif. Hasil-hasil ini menjelaskan bahwa

program tersebut nampaknya sukses dalam mengajari pasien strategi-strategi

kompensatori yang membuat mereka mampu melakukan fungsi-fungsi secara

26

Page 27: REHABILITASI KOGNITIF JADI

mandiri, meskipun masih mengalami apraksia. Poole (1998) menerbitkan sebuah

penelitian yang menguji kemampuan para partisipan dengan stroke hemisfer kiri

untuk belajar menali sepatu dengan satu tangan. Para partisipan dengan stroke

hemisfer kiri baik dengan atau tanpa apraksia dan para partisipan kontrol diajari

mengenai cara menali sepatu mereka dengan satu tangan. Retensi (ingatan) dinilai

setelah sebuah interval 5 (lima) menit selama para partisipan melakukan tugas-

tugas yang lain. Semua kelompok berbeda secara signifikan berkenaan dengan

jumlah percobaan untuk mempelajari tugas tersebut. Bagaimanapun, pada tugas

mengingat, orang dewasa kontrol dan pasien-pasien stroke tanpa apraksia

memerlukan jumlah percobaan yang sama sedangkan para partisipan dengan

apraksia secara signifikan memerlukan percobaan lebih daripada dua kelompok

lainnya. Semua kelompok memerlukan percobaan yang lebih sedikit dalam tugas

mengingat daripada memperlajari tugas.

Bukti yang lebih lanjut diberikan oleh sebuah penelitian 1 (satu) kasus.

Wilson (1988) meneliti seorang wanita dewasa dengan kerusakan otak luas akibat

suatu kecelakaan anestesi. Salah satu dari akibat kecacatan paling berat dari

kerusakan tersebut adalah apraksia, yang membuat dia hampir sepenuhnya

bergantung dalam kehidupan sehari-hari. Wilson menyimpulkan bahwa program

satu per satu (step-by-step) berhasil dalam mengajari pasien bebrapa tugas, akan

tetapi tidak ditemukan generalisasi terhadap tugas yang baru saat follow up.

Maher dkk., (1991) meneliti efek-efek terapi pada seorang laki-laki umur 55 tahun

dengan apraksia ideomotor dan pengelana gesture yang menetap. Sesi terapi 1

(satu) jam diberikan setiap hari selama periode 2 (dua) minggu. banyak isyarat-

yang diberikan selama sesi-sesi terapi yang diambil secara sistematik sebagaimana

diberikan juga umpan balik dan pembenaran dari kesalahan-kesalahan yang

terjadi. Hasil dari gestur meningkat secara kualitatif. Setelah itu, Ochipa dkk.,

(1995) mengembangkan sebuah program terapi yang ditujukan untuk tipe-tipe

kesalahan tertentu. Performa-performa praksis diteliti pada 2 (dua) pasien stroke.

Nampaknya bahwa kedua pasien mencapai kecenderungan kemajuan dalam

performa tetapi efek-efek yang diobservasi dalah terapi spesifik: terapi dari suatu

27

Page 28: REHABILITASI KOGNITIF JADI

tipe kesalahan spesifik tidak meningkatkan hasil di antara gesture-gestur yang

tidak diterapi. Jantra dkk. (1992) meneliti seorang laki-laki umur 60 tahun dengan

stroke sisi kanan dan mengalami gaya berjalan apraksia. Setelah 3 (tiga) minggu

latihan gaya berjalan yang dilengkapi dengan isyarat-isyarat visual, pasien mulai

mandiri berjalan yang aman. Pilgrim dan Humphreys (1994) menyajikan sebuah

kasus dari seorang pasien dengan trauma kepala sebelah kiri dengan apraksia

ideomotor pada anggota gerak atas kirinya. Performa pasien pada 10 (sepuluh)

objek dinilai sebelum dan setelah latihan dalam 3 (tiga) modalitas latihan yang

berbeda. Dilakukan suatu rancangan analisis variasi campuran (ANOVA)

menunjukkan suatu efek positif terapi, akan tetapi sangat sedikit dapat dilakukan

dalam kehidupan sehari-hari. Bulter (1997) mempersembahkan sebuah penelitian

kasus yang menguji keefektivan stimulasi taktil dan kinestetik sebagai suatu

strategi intervensi, sebagai tambahan dalam mediasi verbal dan visual, dalam

rehabilitasi seorang laki-laki dengan apraksia ide dan ideomotor akibat sebuah

trauma kepala. Hasil dari pemelitian tersebut mengindikasikan beberapa kemajuan

setelah suatu periode latihan dan terbatasnya bukti keefektivan dari input sensorik

tambahan.

Goldenberg dkk. (2001) melakukan suatu penelitian terapi pada 6 (enam) pasien

dengan apraksia yang mana dibandingkan 2 (dua) metode terapi: latihan aktivitas

langsung berdasarkan petunjuk performa dari keseluruhan aktivitas dan latihan

eksplorasi yang bertujuan untuk mengajari pasien hubungan struktur-fungsi yang

mendasari performa yang benar tetapi tidak terlibat dalam penyelesaian nyata dari

aktivitas tersebut. Latihan eksplorasi tidak memiliki efek terhadap performa, sedangkan

latihan aktivitas langsung menurunkan kesalahan dan kebutuhan akan bantuan.

Sebagian besar efek latihan dipertahankan saat follow up, akan tetapi rata-rata

kesalahan meningkat saat aktivitas-aktivitas terlatih diujikan dengan objek yang berbeda

secara parsial. Performa meningkat dengan tes aktivitas-aktivitas tidak terlatih yang

diulang-ulang selama latihan aktivitas-aktivitas lain. Karena hasil terapi dibatasi untuk

aktivitas-aktivitas terlatih dan beberapa derajat objek-objek terlatih, penulis

menyimpulkan bahwa terapi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan spesifik pasien

dan keluarga mereka serta sebaiknya dikaitkan erat dengan kehidupan rutin sehari-hari.

28

Page 29: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Rekomendasi-Rekomendasi

Terdapat bukti tingkat A untuk kefektivan terapi apraksia dengan strategi-strategi

kompensasi. Terapi sebaiknya terpusat pada aktivitas-aktivitas fungsional yang

disusun dan sipraktikkan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan errorless

learning. Karena transfer latihan sulit diterapkan, maka latihan sebaiknya terpusat

pada aktivitas-aktivitas spesifik dalam suasana tertentu yang mendekati aktivitas

rutin normal pasien. Diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai

intervensi-intervensi terapi , yang juga menunjukkan apakah efek-efek terapi

mampu menyamaratakan aktivitas dan situasi tidak terlatih.

Rehabilitasi Akalkulia

Gangguan proses dan kalkulasi angka (DNPC) dapat terjadi setelah berbagai

macam kerusakan otak. Bergantung pada penyakit yang mendasari serta pada

lokasi lesi, frekuensi gangguan kalkulasi pada pasien-pasien dengan gangguan

neurologi diperkirakan antara 10% sampai 90% (Jackson dan Warrington, 1986).

Dua tipe dasar pemikiran utama telah diterapkan dalam DNPC. Pertama,

pendekatan “rekonstitusi (mengatur kembali)” atau “mengajar kembali” terdiri

dari luasnya kemampuan yang rusak atau hilang melalui praktik yang luas. Kedua,

pendekatan tidak langsung yang mendukung penggunaan strategi-strategi

cadangan berdasarkan sumber daya pasien yang tersisa (Girelli dkk., dalam pers).

Dalam kasus ini, terapi tidak hanya bertujuan untuk memulihkan kemampuan dari

komponen yang cacat akan tetapi juga ditujukan untuk memanfaatkan

kemampuan-kemampuan yang masih ada untuk mengimbangi defisit yang ada.

Kedua tipe remediasi menggunakan latihan satu per satu (step-by-step) yang

terdiri dari presentasi masalah-masalah kesulitan-kesulitan yang meningkat,

isyarat fasilitasi serta tipe-tipe bantuan lain yang pada akhirnya tidak diperlukan

29

Page 30: REHABILITASI KOGNITIF JADI

seiring dengan pemulihan yang progresif; untuk semua kasus disediakan timbal-

balik langsung untuk pasien akan kesalahan-kesalahan atau ketelitiannya.

Pengukuran outcome secara khas terkandung dalam perbandingan

performa tiap individu pre dan post terapi dalam transkoding tugas-tugas serta

kalkulasi sederhana dan kompleks. Sebagian besar rancangan penelitian dan

prosedur evaluasi statistic diambil dari bidang penelitian subjek tunggal

(Kratochwill dan Levin, 1992; Randal dkk., 1999). Besarnya kecacatan

fungsi/kemampuan dalam kehidupan sehari-hari jarang dinilai atau ditaksir pada

kumpulan penelitian-penelitian ini.

Oleh karena tinjauan pustaka yang dicari berdasarkan bank-bank data

menghasilkan suatu ketidakpuasan, maka dari itu para penulis telah meninjau

kembali tinjauan-tinjauan pustaka mereka sendiri yang telah ada dan mereka juga

telah menggunakan suatu tinjauan pre-existing yang berhubungan dengan topic

(Girelli dan Seron, 2001).

Kebanyakan penelitian adalah penelitian “eksperimen-quasi” yang

menggunakan suatu kasus tunggal atau pendekatan kelompok kecil yang

dipedomani oleh prinsip-prinsip meuropsikologi kognitif (Shallice, 1979;

Caramazza, 1989; Seron, 1997; Riddoch dan Humphreys, 1994) serta penelitian

subjek tunggal (Kratochwill dan Levin, 1992; Randal dkk., 1999) (bukti penelitian

kelas II, III dan IV). Penelitian-penelitian kelompok yang menggunakan

kelompok-kelompok kontrol dianggap tidak cukup oleh sebagian besar penulis

karena alasan-alasan yang diketahui (masalah-masalah mengenai seleksi pasien,

homogenitas kelompok, serta heterogenitas dari defisit yang mendasari dan level

fungsi sebelum sakit). Penelitian kelompok terbaru dari Gauggell dan Billino

(2002) setuju dengan efek-efek motivasi daripada terapi spesifik.

Rehabilitasi DNPC mungkin dikelompokkan ke dalam beberapa bidang

intervensi (Girelli dan Delazer, 2001). Rehabilitasi kemampuan transkoding

(kemampuan untuk menerjemahkan stimulus angka di antara format-format yang

berbeda) telah ditampilkan dengan sukses dalam beberapa penelitian (Deloche

30

Page 31: REHABILITASI KOGNITIF JADI

dkk., 1989; 1992; Jacquemin dkk., 1991; Sullivan dkk., 1996), kebanyakan

dengan mengajari kemnbali pasien kumpulan aturan-aturan yang diperlukan.

Perburukan fakta-fakta aritmatika (perkalian sederhana, penambahan,

pengurangan atau pembagian diselesaikan secara langsung dari memori) adalah

sasaran dari beberapa penelitian rehabilitasi (Miceli dan Capasso, 1991; Hitmair-

Delazer dkk., 1994; Girelli dan Delazer, 1996; Whetstone, 1998; Girelli dkk.,

2002; Domahs dkk., 2003, 2004). Dalam keseluruhan penelitian, praktik yang luas

dengan defektif bidang ilmu, yaitu, tabel-tabel perkalian menentukan kemajuan

yang signifikan. Sebuah outcome positif juga dicapai melalui suatu program

rehabilitasi yang didasarkan pada penggunaan strategis dari pengetahuan aritmatik

pasien yang tersisa (Girelli dkk., 2002). Kasus spesifik ini menjelaskan bahwa

integrasi pengetahuan deklaratif, procedural dan konseptual secara kritis

memerantarai proses re-akuisisi. Miceli dan Capasso (1991) telah dengan sukses

merehebalititasi seorang pasien dengan defisiensi prosedur aritmatik (pengetahuan

yang diperlukan untuk menyelesaikan kalkulasi multi digit). Defisiensi suatu

penyelesaian aritmatik (kemampuan untuk menyediakan jawaban untuk soal-soal

teks aritmatik kompleks dan multi-step) juga telah diterapi dalam sebuah

penelitian (Delazer dkk., 1998). Penelitian dinilai sukses sebagian oleh para

penulis, karena para pasien diuntungkan dari pengisyaratan prosedur yang

berhubungan dan menghasilkan peningkatan jumlah langkah solusi yang benar,

akan tetapi tidak menunjukkan suatu efek yang menetap pada proses penyelesaian

yang sebenarnya.

Rekomendasi-Rekomendasi Umum

31

Page 32: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Dalam pendapat kami, keseluruhan bukti cukup untuk memberi rekomendasi nilai

A, B atau C untuk beberapa bentuk rehabilitasi kognitif pada pasien-pasien

dengan defisit neuropsikologi tingkat post akut setelah suatu lesi fokal otak

(stroke, TBI). Kesimpulan umum ini didasarkan pada terbatasnya jumlah RCTs,

serta didukung oleh bukti-bukti yang sangat besar yang datang dari penelitian-

penelitian kelas II, III dan IV. Terutama, penggunaan metodologi kasus tunggal

yang tepat telah dipertimbangkan oleh para peninjau resensi buku sekarang

sebagai suatu sumber bukti yang dapat diterima dalam bidang spesifik ini, yang

mana aplikasi dari metodologi RCT sulit untuk beberapa alasan, berkenaan

dengan kurangnya consensus pada sasaran terapi, metodologi intervensi serta

penilaian-penilaian outcome.

Perkembangan-Perkembangan Selanjutnya

Jelas sekali kebutuhan akan skala besar RCT, yang mengevaluasi metodologi-

metodologi intervensi yang dimengerti dengan baik pada kondisi-kondisi klinis

umum (misalnya penilaian keberhasilan dari sebuah intervensi untuk ULN setelah

stroke RH pada kecacatan motorik jangka lama). Kesulitan utama dari pendekatan

ini terletak pada tingginya heterogenitas sifat defisit kognitif. Sebagai contoh, sulit

dipercaya bahwa terapi afasia yang terstandarisasi sama dapat efektif pada pasien

dengan bahasa neologistik yang lancar dan pasien lain dengan produksi agramatik

yang tidak lancar. Penelitian pada meuropsikologi telah difokuskan pada penilaian

spesifik, secara teori terapi rangsangan pada area yang diketahui dengan baik

mengalami kerusakan, biasanya dengan rata-rata metodologi kasus tunggal

(misalnya efek dari suatu intervensi rangsangan secara linguistik dibandingkan

dengan rangsangan sederhana pada kemampuan untuk mengulang kembali hal-hal

leksikal ynag termasuk dalam kelas tertentu). Bagi panel sekarang ini, kedua

pendekatan menggambarkan kesempatan-kesempatan yang secara potensial

berhasil untuk penelitian dalam bidang ini.

32

Page 33: REHABILITASI KOGNITIF JADI

Penelitian-penelitian yang akan datang sebaiknya juga bertujuan pada

suatu definisi pasien secara klinis dan patologis yang lebih baik termasuk dalam

percobaan. Perbedaan yang mencolok antara stroke dan TBD yang digunakan

pada tinjauan sekarang jelas tidak cukup: suatu pemisahan di antara kategori-

kategori utama dari patologi serebrovaskuler, dan bagian dalam dasar patologi

dari pasien-pasien TBD yang selamat dapat diharapkan mampu meningkatkan

kualitas penelitian-penlelitian rehabilitasi.

TUGAS UJIAN

REHABILITASI KOGNITIF

33

Page 34: REHABILITASI KOGNITIF JADI

(COGNITIVE REHABILITATION)

Disusun Oleh:

1. Punita Surya Luri G0005156

2. Ridha Rahmawati Ayu Pradita G0005168

Pembimbing:

FX. Soetedjo Widjojo, dr., Sp. S (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/RUMAH

SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2011

34