depresi jadi

29
Depresi, Sindrom Metabolik dan Resiko Kardiovaskular VIOLA VACCARINO, MD, PHD, CANDACE MCCLURE, BS, B. DELIA JOHNSON, PHD, DAVID S. SHEPS, MD, MSPH, VERA BITTNER, MD, MSPH, THOMAS RUTLEDGE, PHD, LESLEE J. SHAW, PHD, GEORGE SOPKO, MD, MARIAN B. OLSON, MS, DAVID S. KRANTZ, PHD, SUSMITA PARASHAR, MD, MPH, OSCAR C. MARROQUIN, MD, AND C. NOEL BAIREY MERZ, MD PENDAHULUAN Depresi umum terjadi di masyarakat dan pada pasien jantung, terutama pada wanita. Studi observasional menunjukkan hubungan yang kuat antara depresi dengan penyakit kardiovaskuler atau mortalitas total, baik pada individu tanpa penyakit kardiovaskuler maupun dengan penyakit kardiovaskuler. Walaupun demikian mekanisme yang mendasari terjadinya hubungan ini masih belum jelas. Belakangan, depresi dihubungkan dengan sindrom metabolik, penyakit yang semakin berkembang di Amerika Serikat dan faktor resiko penting terjadinya penyakit kardiovaskuler maupun kematian. Penyebab terjadinya hubungan ini kemungkinan disebabkan oleh gaya hidup kurang sehat yang disertai dengan disregulasi sistem adrenokortikal dan susunan saraf otonom, yang akan meningkatkan adiposit visceral dan resistensi insulin. Apabila hubungan antara depresi dengan sindrom metabolik dapat ditegakkan, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki peran dalam meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah (Cardiovascular disease (CVD)). Namun depresi dan sindrom metabolik tidak memiliki kaitan konstan, 1

Transcript of depresi jadi

Depresi, Sindrom Metabolik dan Resiko KardiovaskularVIOLA VACCARINO, MD, PHD, CANDACE MCCLURE, BS, B. DELIA JOHNSON, PHD, DAVID S. SHEPS, MD, MSPH,

VERA BITTNER, MD, MSPH, THOMAS RUTLEDGE, PHD, LESLEE J. SHAW, PHD, GEORGE SOPKO, MD,

MARIAN B. OLSON, MS, DAVID S. KRANTZ, PHD, SUSMITA PARASHAR, MD, MPH, OSCAR C. MARROQUIN, MD,

AND C. NOEL BAIREY MERZ, MD

PENDAHULUAN

Depresi umum terjadi di masyarakat dan pada pasien jantung, terutama pada wanita. Studi

observasional menunjukkan hubungan yang kuat antara depresi dengan penyakit

kardiovaskuler atau mortalitas total, baik pada individu tanpa penyakit kardiovaskuler

maupun dengan penyakit kardiovaskuler. Walaupun demikian mekanisme yang mendasari

terjadinya hubungan ini masih belum jelas.

Belakangan, depresi dihubungkan dengan sindrom metabolik, penyakit yang semakin

berkembang di Amerika Serikat dan faktor resiko penting terjadinya penyakit kardiovaskuler

maupun kematian. Penyebab terjadinya hubungan ini kemungkinan disebabkan oleh gaya

hidup kurang sehat yang disertai dengan disregulasi sistem adrenokortikal dan susunan saraf

otonom, yang akan meningkatkan adiposit visceral dan resistensi insulin. Apabila hubungan

antara depresi dengan sindrom metabolik dapat ditegakkan, dapat disimpulkan bahwa

keduanya memiliki peran dalam meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung dan

pembuluh darah (Cardiovascular disease (CVD)). Namun depresi dan sindrom metabolik

tidak memiliki kaitan konstan, dan penelitian terbaru gagal menunjukkan hubungan

hubungan ini. Terlebih lagi, tidak ada penelitian sebelumnya yang dapat menjelaskan

sindrom metabolik baik secara keseluruhan atau sebagian dapat menunjukkan keterkaitan

antara depresi dengan CVD.

Penelitian ini berusaha menggali peran sidrom metabolik dalam hubungannya dengan depresi

dan kejadian CVD pada wanita dengan kecurigaan memiliki iskemi myokardial dan memiliki

beban psikologis yang bermakna. Tujuan utama dari penelitian ini untuk memastikan

hubungan sindrom metabolik dengan segala komponennya berkaitan dengan depresi, terlepas

dari faktor demografis dan faktor gaya hidup. Selain itu untuk mencari bagaimana peran

sindrom metabolik dalam menjelaskan pengaruh depresi pada insiden terjadinya CVD dengan

median follow-up selama 5.9 tahun.

1

METODE

Sampel Penelitian dan Prosedur Umum

Women’s Ischemia Syndrome Evaluation (WISE) merupakan studi multisenter yang dibiayai

oleh National Hearth, Lung, and Blood Institute (NHLBI) untuk penelitian penyakit jantung

iskemik pada wanita. 936 wanita antara tahun 1996 sampai 2000 dengan keluhan nyeri dada,

dicurigai memiliki iskemik miokardiak, atau keduannya yang selama studi dirujuk dengan

indikasi klinis dilakukan angiografi koroner. Kriteria ekslusi meliputi rujukan gawat darurat,

faktor komorbid mayor yang menggagu follow-up, kehamilan, memiliki kontra indikasi

untuk dilakukan test diagnosis provokatif, kardiomiopati, gagal jatung berat, infark miokard

akut atau unstable angina selama 1 bulan sebelum penelitian, menjalani revaskularisasi

koroner 6 bulan sebelum penelitian, kelainan signifikan pada katup jantung dan penyakit

jantung bawaan, kendala bahasa, dan kondisi lain yang mungkin berpengaruh terhadap

terhambatnya penelitian (alkoholisme, penyalahgunaan zat, atau penyakit psikiatri berat).

Seluruh pasien yang diikutkan dalam penelitian diambil data dasarnya berupa informasi

demografis, riwayat pengobatan, dan penggunaan obat-obatan, gejala dan pemeriksaan

psikososial, pemeriksaan fisik dan tekanan darah dan gambaran gula darah puasa untuk

pemeriksaan lipid dan glukosa.

Pemeriksaan laboratorium pusat WISE dilakukan di Centers for Disease Control and

Prevention dengan standarisasi program lemak yang sebelumnya digunakan dalam multiple

NHLBI-sponsored lipid-lowering intervention trials. Koefisien variasi untuk kolesterol total,

HDL, dan trigliserida berturut-turut 1.80%, 1.23%, dan 3.93%. LDL didapat menggunakan

formula Friedwald. The Homeostatis Model Assesment of Insulin Resistance index dihitung

dari gula darah puasa dan nilai insulinnya.

Lingkar pinggang diukur pada umbilikus. Kapasitas fungsionalnya dinilai dengan rerata Duke

Activity Status Inventory (DASI), berupa kuisioner berisi 12 item yang dihubungkan dengan

hasil test treadmill yang merupakan faktor prognostik yang kuat. Aktivitas fisik dievaluasi

dengan kuisioner Postmenopausal Estrogen-Progestin Interventory, berupa kuisioner

pelaporan mandiri mengenai derajat aktivitas fisik di rumah, pekerjaan, dan waktu luang. Dan

sebagai tambahan, seluruh obat-obat yang diminum seminggu terakhir, termasuk antidepresi,

dicatat dan diklasifikasikan dalam kelas obat-obatan mayor.

2

Pengukuran depresi

Rekrutmen dalam WISE dimulai dengan pengisian kuisioner psikologis selama 4 bulan,

walaupun data psikologis untuk pasien-pasien awal belum tersedia. Sebagai bagian dari

komponen psikologis, responden menyelesaikan Beck Depression Inventory (BDI), berupa

kuisioner yang berisikan 21 butir skala gejala depresif yang digunakan untuk memprediksi

outcome kardiovaskuler dalam berbagai penelitian. BDI menyediakan skor untuk gejala

depresi dengan rentang dari 0 sampai 63, dan skor > 10 menunjukkan gejala moderat depresi.

Riwayat psikiatri selama hidup tidak dinilai secara formal, namun responden ditanya

mengenai apakah pernah didiagnosa dan membutuhkan pengobatan psikiatri. Pertanyaan ini

tidak menyebutkan jenis dan lama pengobatannya. Setelah berjalannya WISE informasi

dalam gejala depresi dan laporan sendiri mengenai riwayat pengobatan depresi digunakan

untuk mengelompokkan wanita dalam 3 kelompok peningkatan derajat depresi. Wanita

dengan peningkatan gejala depresi (BDI>10) dan laporan adanya riwayat pengobatan ataupun

diagnosis depresi dipertimbangkan sebagai derajat terberat atau kasus depresi yang telah ada

sejak lama, kemungkinan termasuk berbagai kasus kelainan depresif mayor. Kelompok ini

menurut penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan resiko kematian dan cardiac event

yang bermakna dibandingkan dengan wanita tanda atau hanya satu dari dua indikator

depresi. Pasien dengan baik BDI ≥10 atau sebelumnya didiagnosis depresi tapi bukan kedua-

duanya, diklasifikasikan sebagai kelompok menengah, dan wanita tanpa kedua kondisi

tersebut diklasifikasikan sebagai non-depresi.

Diagnosis Sindrom Metabolik

Studi ini menggunakan kriteria ATP-III, revisi terakhir dari American Heart Association dan

NHLBI untuk mengklasifikasikan wanita sebagai menderita sindrom metabolik dan tidak

dengan berdasarkan ada tidaknya tiga atau lebih faktor berikut ini : a) lingkar pinggang > 88

cm; b) trigliserida puasa ≥ 150 mg/dL atau menggunakan obat lipid-lowering; c) HDL < 50

mg/dL atau menggunakan obat lipid-lowering; d) tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, atau

tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg, atau penggunaan obat anti hipertensi; e) glukosa puasa

≥ 100 mg/dL atau menerima obat anti diabetes. Selain itu untuk mengklasifikasi wanita

berdasarkan diagnosis sindrom metabolik, kita mengkalkulasi skor dari nomor faktor resiko

sindrom metabolik, dengan rentang 0-5.

Pemeriksaan Angiografi Coronary Artery Disease

3

Analisis kualitatif angiogram koroner dilakukan off-line di WISE Angiographic Core

Laboratory oleh peneliti secara blind terhadap seluruh data subyek. Diameter lumen diukur

pada seluruh bagian stenosis dan pada dekat segmen rujukan menggunakan electronic cine

projector-based “cross-hair” technique. Ditemukannya stenosis lumen lebih dari 50%

diklasifikasikan sebagai “obstructive” coronary artery disease (CAD). Skor derajat

keparahan CAD didapatkan dengan menilai peningkatan persentase stenosis (0-19, 20-49, 50-

69, 70-89, 90-98, 99-100), setelah melakukan penyesuaian terhadap adanya kolateral. Lokasi

lesi diambil dilakukann scoring, dimana semakin proksimal lesi menerima weighting lebih

tinggi.

Penelusuran Cardiovascular Events

Follow-up terjadinya CVD didapat melalui wawancara per telepon pada 6 minggu dan

follow-up selanjutnya tiap 1 tahun. Menggunakan wawancara tertulis, perawat terlatih dan

dokter mengikuti setiap pasien untuk adanya perawatan di rumah sakit dan penyebabnya.

Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan end point cardiovaskuler event mayor, termasuk

kematian akibat CVD atau rawat inap karena infark miokard yang tidak fatal, stroke, atau

gagal jantung kongestif. Pada kematian, sertifikat kematian diambil dan penyebab kematian

dinilai oleh peneliti WISE secara blind terhadap data penelitian yang lain. Apabila terdapat

perbedaan pendapat, konsus dan keputusan final diambil oleh steering comitee. Median

lamanya follow-up selama 5,9 tahun.

Analisis Statistik

Pertama, kita melakukan perbandingan secara deskriptif pada faktor dasar berdasarkan status

depresinya. Karena berberapa variabel ( indeks massa tubuh, lingkar pinggang, skor kapasitas

fungsional, kadar lemak dan gula) tidak terdistribusi normal, maka median yang dipakai

bukan mean, yang dikalkulasi berdasarkan kelompok BDI, dan nilai p untuk kecenderungan

didapat menggunakan tes nonparametrik. Untuk menghitung kecenderungan statistik, kami

menggunakan tes Mantel-Haenszel untuk data katagorikal, dan metode Jonckheere-Terpstra

untuk data kontinu.

Kemudian, model regresi logistik digunakan untuk mencari hubungan antara kelompok

depresi dan kelompok sindrom metabolik, dan ood rasio, konfiden interval 95% untuk

sindrom metabolik berdasarkan status depresi didapat setelah melakukan penyesuaian

4

terhadap faktor lainnya. Dalam tahapan lain model disesuaikan terhadap faktor demografik

( umur, ras, tingkat pendidikan, dan status perkawinan), variabel prilaku dan status fungsional

(riwayat merokok, aktivitas fisik, dan kapasitas fungsional yang diukur dengan DASI), dan

penggunaan beta-blocker. Untuk menilai hubungan antara depresi dengan komponen

individual dari sindrom metabolik, kami melakukan rangkaian model regresi logistik dimana

tiap komponen merupakan variabel dependen. Kami juga membuat model kumulatif regresi

logistik untuk ordered catagories untuk memeriksa hubungan antara depresi dan jumlah

resiko sindrom metabolik sebagai variabel ordinal dengan rentang 0 sampai 5. Analisis

tambahan dilakukan dengan BDI sebagai variabel kontinu.

Hubungan individual dan bersama depresi dan sindrom metabolik dengan insiden terjadinya

CVD ditest menggunakan Cox proportional hazards model. Dilakukan dalam seberapa

tahapan : a) penyesuaian terhadaf faktor demografik; b) penambahan faktor prilaku; c)

penambahan skor derajat CAD; dan yang terakhir d) penambahan sindrom metabolik untuk

menilai kemudian hubungan antara depresi dengan outcome yang terjadi. Kami juga menilai

apakan penambahan jumlah resiko sindrom metabolik, sebagai pengganti variabel sindrom

metabolik akan menghasilkan hasil yang mirip. Asumsi proporsi hazards dari rasio invariant

hazard selama follow-up di test dan didapatkan untuk hasil yang memuaskan.

Karena orang kemungkinan akan mengalami depresi sebagai konsekuensi diagnosis CHD,

kami mengulang analisis setelah mengeksklusi wanita dengan riwayat sebelumnya menderita

CHD, didefinisikan sebagai riwayat infark myokard, intervensi koroner perkutan atau artery

bypass graft surgery, atau dengan sebelum riwayat didiagnosis diabetes. Seluruh analisis

dilakukan menggunakan perangkat lunak SAS versi 9 dan seluruh test untuk kemaknaan

statistik menggukanan 2-tailed.

HASIL

Total sebanyak 936 wanita diikitkan dalam WISE, sebanyak 383 wanita dieksklusi karena

informasi BDI-nya tidak didapat, 2 wanita dieksklusi lagi karena hilangnya informasi

diagnosis depresi. Menyisakan 652 wanita untuk dianalisis. 10 wanita lagi dieksklusi karena

missing follow-up. Wanita tanpa informasi depresi secara signifikan bukan kulit putih (75%

banding 84%), memiliki CAD lebih berat dalam angiogram (severity score 9.25 banding

7.50), dan memiliki resiko sedikit lebih tinggi untuk memenuhi kriteria sindrom metabolik

(67% banding 60%).

5

Perbandingan data dasar karakteristik berdasarkan kelompok depresi (tabel 1) menunjukkan

wanita dengan peningkatan skor BDI adalah sebelumnya didiagnosis depresi pada usia muda,

pendidikan rendah, dan tidak menikah. Mereka juga lebih pasif, kapasitas fungsional lebih

rendah, dan memiliki riwayat merokok. Walaupun demikian CAD berdasarkan hasil

angiograpy tidak berbeda oleh status depresi. Status menopause tidak berkaitan dengan

depresi tetapi wanita dengan depresi memiliki kecenderungan menggunakan hormone

replacement therapy.

6

Depresi dan Sindrom Metabolik

Kadar trigliserida dan lingkar pinggang merupakan faktor resiko sindrom metabolik yang

memiliki hubungan yang paling kuat dengan depresi. Selain glukosa, keseluruhan faktor

resiko sindrom metabolik memiliki kecenderungan lebih umum terjadi pada wanita dengan

depresi (Gambar 1). Sebagai hasilnya, prevalensi sindrom metabolik lebih tinggi pada wanita

dengan peningkatan BDI atau sebelumnya didiagnosis depresi (66,7%) atau keduanya

(63,3%), dibandingkan dengan wanita tanpa depresi (53.4%, p <.001 ; test for trend :p =.01).

Jumlah faktor resiko sindrom metabolik yang memenuhi criteria ATP-III meningkat secara

progresif seiring peningkatan derajat depresinya , secara berurutan 2.7, 3.0 dan 3,1 (p = .003).

Model regresi logistik, setelah melakukan penyesuaian terhadap faktor demografi, kedua

derajat depresi berhubungan dengan peningkatan odd sebanyak 80% untuk sindrom

metabolik dibanding tanpa depresi. (Tabel 2). Asosiasinya sedikit melemah yaitu menjadi

sebesar 60% ketika diadjust dengan merokok, aktivitas fisik, kapasitas fungsional (skor

DASI), dan penggunaan beta blocker.

7

Kategori depresi juga memiliki hubungan peningkatan menurut derajat terhadap jumlah

faktor resiko sindrom metabolik. Setelah diadjust dengan seluruh variabel yang telah

disebutkan diatas, peningkatan BDI dan riwayat didiagnosis depresi sebelumnya memiliki

peningkatan kemungkinan untuk memiliki 1 faktor resiko sindrom metabolik sebesar 58%

8

jika dibanding dengan tanpa depresi (p = .04). Gejala depresi juga berhubungan dengan

sindrom metabolik sebagai variabel kontinu: dalam model regresi logistik setelah diadjust

dengan seluruh variabel datas, setiap peningkatan 5 poin dalam BDI odd sindrom metabolik

meningkat 20% (p = .002). Sedangkan diagnosis depresi sebelumnya tanpa memperhatikan

tingkat skor BDI, tidak memiliki asosiasi dengan sindrom metabolik : ood rasio = 1.00, p

= .99.

Ketika subyek dengan riwayat CAD dieksklusi, asosiasinya meningkat (Tabel 2): dalam

analisis multivariabel, wanita dengan peningkatan skor BDI dan sebelumnya pernah

didiagnosis depresi memiliki odd dua kali lipat untuk sindrom metabolik dibandingkan

dengan wanita tanpa depresi (p < .001).

Depresi merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya sindrom metabolik sebagai suatu

kesatuan bukan hanya secara terpisah sebagai faktor resiko sindrom metabolik. Ketika faktor

resiko sindrom metabolik dianalisis secara individual dalam model yang telah diadjust diatas,

hanya hipertensi (p = .04) dan peningkatan trigliserida (p = .03) secara signifikan lebih umum

pada wanita dengan depresi, walaupun faktor lain menunjukkan asosiasi borderline.

Depresi, Sindrom Metabolik dan Insiden Penyakit Kardiovaskuler

Selama 5.9 tahun follow-up, terdapat 104 outcome event, termasuk 31 kematian akibat CVD

dan 73 kejadian CVD yang tidak fatal. Setelah diadjust berdasarkan faktor demografik,

wanita dengan peningkatan baik peningkatan BDI dan riwayat diagnosis depresi sebelumnya

meningkatkan resiko hampir 2 kali lipat terjadinya CVD dibanding dengan wanita tanpa

depresi. Setelah penyesuaian lanjutan terhadap faktor prilaku, kapasitas fungsional,

penggunaan beta blocker dan keparahan CAD, asosiasinya sedikit menurun. Sedangkan untuk

kategori depresi menengah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya CVD.

Seperti terlihat pada table 3, sindrom metabolik juga memiliki asosiasi kuat dengan insiden

CVD. Ketika sindrom metabolik dimasukkan kedalam model, resiko asosiasi dengan depresi

turun sebanyak 7% dan baik depresi dan sindrom metabolik merupakan prediktor terjadinya

CVD. Ketika jumlah faktor resiko metabolik sindrom dimasukkan ke dalam model dimana

seharusnya merupakan tempat sindrom metabolik, hasil yang didapat hampir sama dan tidak

ditunjukkan. Penambahan variabel penggunaan antidepresan selama seminggu terakhir dalam

model akhir tidak merubah estimasi studi secara material. Skor BDI sebagai variabel kontinu

juga secara signifikan berhubungan dengan CVD: setiap peningkatan 5 point BDI, resiko

9

CVD meningkat sebanyak 17% (p = .004). Walaupun demikian setelah diadjust dengan

berbagai faktor resiko, estimasinya menjadi 8% (p = .25). Riwayat diagnosis depresi

sebelumnya berhubungan dengan resiko CVD (adjusted hazards ratio = 1.87, p = .04).

Kembali, eksklusi wanita dengan riwayat CAD menguatkan hubungan dan menghasilkan

relitif risk yang lebih besar (Tabel 4). Wanita dengan baik peningkatan BDI dan riayat

depresi sebelumnya memiliki resiko terjadinya CVD empat kali lipat dibandingkan dengan

wanita tanpa depresi (p=.004), dan ditambah dengan sindrom metabolik, sekali lagi sedikit

mengurangi kekuatan hubungan hanya sebesar 7%.

DISKUSI

Walaupun hubungan antara depresi dan sindrom metabolik telah diketahui sejak lama, tidak

ada penelitian sebelumnya yang menjelaskan apa yang menyebabkan, bagaimana peranan

sindrom metabolik sebagai mediator yang penting dalam hubungannya dengan depresi dan

CVD. Pada studi kohort pada wanita yang dicurigai CAD, kami menemukan hubungan yang

kuat antara depresi dengan prevalensi sindrom metabolik, faktor demografik independen,

gaya hidup, dan status fungsuonal. Wanita dengan depresi memiliki kecenderungan 80%

lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik dibandingkan dengan wanita tanpa depresi;

estimasi ini berkuramg kira-kira menjadi 60% setelah disesuaikan dengan faktor gaya hiduo,

status fungsional, dan penggunaan beta blocker. Sebagai tambahan. Jumlah faktor resiko

sindrom metabolik meningkat seiring dengan peningkatan derajat depresi. Tetapi sindrom

metabolik hanya menjelaskan sebagian kecil, 20% dari asosiasi antara depresi dengan insiden

CVD.

Hubungan antara depresi mayor dengan sindrom metabolik telah diteliti dalam tiga studi

sebelumnya. Diantara orang dewasa muda (umur <40 tahun) dalam the Third National Health

and Nutritional Examination Survey, prevalensi sindrom metabolik pada wanita dengan

riwayat episode depresi mayor dua kali lipat dibandingkan yang tanpa depresi. Hubungan ini

tidak dijelaskan dengan fakor demografi dan faktor tingkah laku, termasuk umur, ras, tingkat

pendidikan, riwayat merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi karbohidrat dan alkohol. Tidak

ditemukan hubungan yang sama pada laki-laki, karena wanita mungkin memiliki kerentanan

khusus terhadap gangguan metabolism sekunder kemudian menjadi depresi. Hal yang sama,

pada sampel studi wanita paruh baya, gejala depresi dan sindrom metablik memiliki

hubungan yang signifikan, tetapi hasilnya belum disesuaikan dengan faktor demografis dan

10

faktor gaya hidup. Sedangkan studi terakhir dalam young Finnish gagal menemukan asosiasi

antara depresi dan sindrom metabolik. Namun studi ini tidak memeriksa wanita terpisah

dengan laki-laki.

Ketika faktor resiko sindrom metabolik diperiksa secara terpisah, hanya hipertensi dan

peningkatan trigliserida yang secara signifikan berhubungan dengan depresi dalam analisis

multivariate. Namun, jumlah faktor resiko semakin meningkat seiring penigkatan derajat

depresi, selanjutnya menyokong mereka dalam kombinasi dalam sebuah kluster dibawah

definisi sindrom metabolik dalam studi ini.

11

Dalam studi ini, kami mengklasifikasikan depresi berdasarkan riwayat pengobatan dan

derajat depresi saat ini. Seperti telah dilaporkan sebelumnya kombinasi antara kedua penanda

depresi sebagai prediktor kuat terjadinya CVD, dan indikator resiko yang jauh lebih baik

dibandingkan hanya skor BDI atau hanya riwayat pengobatannya saja. Wanita dengan dengan

kedua faktor tersebut cenderung memiliki depresi yang lebih berat, persisten dan sering

12

kambuh. Studi sebelumnya menunjukkan wanita dengan riwayat depresi mayor berulang

memiliki resiko plak karotis, koroner dan aorta lebih tinggi dibandingkan dengan wanita

dengan episode depresi hanya sekali atau tidak memiliki riwayat, sehingga paparan episode

depresi multipel mengganggu kesehatan kardiovaskuler wanita.

Mekanisme Potensial

Telah banyak diketahui bahwa individu dengan depresi memiliki kecenderungan untuk

mengikuti gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kebiasaan bermalas-malasan, pola

makan yang tidak sehat, dan kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan. Namun dalam

studi kami, seperti yang dilaporkan Kinder dkk, hubungan masing kuat walaupun telah

disesuaikan dengan faktor prilaku, menyiratkan mereka hanya memeran peran kecil.

Depresi dihubungkan dengan kelainan fisiologis yang kemungkinan memiliki konsekuensi

metabolik termasuk hypothalamus-pituitary-adrenal axis hyperactivity dan disfungsi system

saraf otonom. Kelainan ini berpengaruh terhadap sebagian sebar, jika bukan seluruh

komponen sindrom metabolik, dan faktor psikososial memiliki peran yang lebih besar dalam

hubungan atara adrenal/gangguan otonomik dan sindrom metabolik.

Meskipun terdapat berbagai mekanisme yang masuk akal, penelitian kami masih belum

mampu membedakan depresi yang terjadi merupakan penyebab, konsekuensi, atau

merupakan penanda sindrom metabolik. Sebagai contoh keterbatasan fisik dan stigma sosial

akibat obesitas mungkin menjadi faktor predisposisi menjadi depresi, namun studi kami

menilai dengan menggunakan kapasitas fungsional. Masalah emosional pada pada orang

dengan obesitas mungkin merupakan akibat produksi berlebihan sitokin, yang mungkin

memegang peran dalam menentukan penyebab depresi. Meskipun demikian asosiasi yang

kuat ditemukan dan pola respon dosis, dengan peningkatan gejala depresi mengarahkan pada

hubungan yang lebih longgar. Bagaimanapun arah kecenderungannya, adalah penting untuk

mengenali masalah prilaku/emosional dan sindrom metabolik adalah saling berkaitan dan

kemungkinan saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, dalam studi

longitudinal pada wanita, depresi, tensi, dan kemarahan pada baseline dapat memprediksi

terbentuknya sindrom metabolik selama follow-up, tetapi memiliki sindrom metabolik pada

baseline dapat memprediksi peningkatan amarah dan kekhawatiran pada tahun-tahun berikutn

13

Hubungan terhadap Resiko Kardiovaskuler

Dalam pandangan desain studi prospektif kami dapat mengevaluasi untuk pertama kali,

kepentingan relatif depresi dan sindrom metabolik dalam resiko CVD. Kami menemukan

bahwa hanya 20% dari resiko CVD yang berhubungan dengan depresi yang dapat dijelaskan

dengan sindrom metabolik. Pertamanya depresi dan sindrom metabolik keduanya

dimasukkan dalam model yang sama, dan keduanya masih berupa prediktor independen

untuk CVD. Mamiliki peran penting dalam menentukan prognosis sindrom metabolik, dan

memiliki asosiasi kuat dengan depresi dalam penelitian ini, namun secara mengejutkan hanya

dapat menjelaskan dalam proporsi sedikit dalam menjelaskan peningkatan resiko CVD dalam

hububngannya dengan depresi. Disisi lain, keterkaitan antara depresi dan CVD nmerupakan

multifaktorial. Sebagai tambahan dalam gaya hidup dan faktor resiko CVD tradisional

buktinya d puncak dari peran disfungsi otonomik, koagulasi, dan inflamasi, yang

kemungkinan dapat menjelasjkan patofisiologi yang lebih langsung antara depresi dengan

CVD.

Keterbatasan

Studi WISE mengikutsetrakan wanita yang telah diseleksi secara khusus dari wanita yang

dirujuk untuk angiografi koroner karena adanya kecurigaan iskemia, sehingga generalisasi

hasil penelitian menjadi terbatas. Walaupun demikian penelitian ini merupakan penelitian

kelompok pasien yang relevan, memberikan distress psikososial yang tinggi dan paparan

faktor resiko CHD, khususnya faktor resiko sindrom metabolik. Kusioner psikososial tidak

tersedia untuk pasien-pasien awal sehingga mengurangi jumlah sampel untuk dianalisis.

Sebagai tambahan, wanita tanpa informasi depresi memiliki CAD yang lebih parah dan faktor

resiko sindrom metabolik yang lebih tinggi dibandingkan wanita lainnya, menunjukkan

bahwa pasien-pasien awal memiliki status resiko lebih tinggi. Selain itu kami tidak memiliki

informasi dalam depresi mayor dari wawancara diagnostic,atau dalam jenis dan durasi

pengobatan antidepresan. Walaupun demikian, klasifikasi kami berdasarkan pada gejala

depresi sekarang dan dihubungkan dengan diagnosis depresi sebelumnya yang memerlukan

pengobatan seharusnya lebih baik dalam memperkirakan depresi mayor dibanding definisi

yang fokus pada gejala saat ini. Di sisi lain, desain penelitian multisenter, detail informasi

pasien, pemeriksaan laboratoriu untuk memeriksa faktor resiko CVD dan CAD dinilai dengan

14

angigrafi koroner yang merepresentasikan kekuatan unik study ini dan menambah validitas

temuan kami.

KESIMPULAN

Pada wanita dengan kecurigaan CAD, depresi dan sindrom metabolik satu sama lain saling

berhubungan secara independen terhadap gaya hidup dan status fungsional. Mengejutkan,

walaupun sindrom metabolik hanya menjelaskan sebagian kecil dari asosiasi antara depresi

dengan insiden CVD, menunjukkan bahwa depresi dan sindrom metabolik meningkatkan

resiko CVD sebagian besar melalui independent pathway. Walaupun temuan kami sekilas

menunjukkan baik depresi dan sindrom metabolik sebagai faktor resiko independen untuk

CVD pada wanita, mereka mengidentifikasi kebutuhan melakukan lebih banyak penelitian

yang bertujuan mengungkapkan mekanisme yang komplek dalam mengaitkan depresi

dengan resiko CVD.

15

Depresi, Sindrom Metabolik dan Resiko KardiovaskularVIOLA VACCARINO, MD, PHD, CANDACE MCCLURE, BS, B. DELIA JOHNSON, PHD, DAVID S. SHEPS, MD, MSPH,

VERA BITTNER, MD, MSPH, THOMAS RUTLEDGE, PHD, LESLEE J. SHAW, PHD, GEORGE SOPKO, MD,

MARIAN B. OLSON, MS, DAVID S. KRANTZ, PHD, SUSMITA PARASHAR, MD, MPH, OSCAR C. MARROQUIN, MD,

AND C. NOEL BAIREY MERZ, MD

Depresi merupakan gangguan kejiwaan yang paling sering terjadi, depresi dapat menyertai

berbagai penyakit salah satunya penyakit jantung. Studi observasional menunjukkan

hubungan yang kuat antara depresi dengan penyakit kardiovaskuler ataupun kematian, namun

mekanismenya masih belum jelas. Sindrom metabolik merupakan salah satu faktor resiko

penyakit kardiovaskuler, hal ini mungkin disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat dan

diregulasi sistem adrenokortikal dan susunan saraf otonom, yang akan meningkatkan jaringan

lemak visceral dan resistensi insulin. Diperkirakan terdapat hubungan antara depresi dengan

sindrom metabolik yang nantinya berperan dalam peningkatan resiko terjadinya penyakit

jantung dan pembuluh darah. Namun penelitian terakhir gagal menggambarkan hubungan ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sindrom metabolik dalam hubungannya

dengan depresi terhadap kejadian CVD pada wanita dengan iskemi miokardiak dan beban

psikologis yang bermakna.

WISE (Women’s Ischemia Syndrome Evaluation (WISE) merupakan studi multisenter yang

dibiayai oleh National Hearth, Lung, and Blood Institute (NHLBI) untuk penelitian penyakit

jantung iskemik pada wanita. 936 wanita antara tahun 1996 sampai 2000 dengan keluhan

nyeri dada, dicurigai memiliki iskemi miocardiak, atau keduannya yang selama studi dirujuk

dengan indikasi klinis dilakukan angiografi koroner. Kriteria ekslusi meliputi rujukan gawat

darurat, faktor komorbid mayor yang mengganggu follow-up, kehamilan, memiliki kontra

indikasi untuk dilakukan test diagnosis provokatif, cardiomyopathy, gagal jatung berat, infak

miokard akut atau unstable angina selama 1 bulan sebelum penelitian, menjalani

revaskularisasi koroner 6 bulan sebelum penelitian, kelainan signifikan pada katup jantung

dan penyakit jantung bawaan, kendala bahasa, dan kondisi lain yang mungkin berpengaruh

terhadap terhambatnya penelitian (alkoholisme, penyalahgunaan zat, atau penyakit psikiatri

berat).

Walaupun hubungan antara depresi dan sindrom metabolik telah diketahui sejak lama, tidak

ada penelitian sebelumnya yang menjelaskan apa yang menyebabkan, bagaimana peranan

16

sindrom metabolik sebagai mediator yang penting dalam hubungannya dengan depresi dan

CVD. Pada studi kohort pada wanita yang dicurigai CAD, ditemukan hubungan yang kuat

antara depresi dengan prevalensi sindrom metabolik, faktor demografik independen, gaya

hidup, dan status fungsional. Wanita dengan depresi memiliki kecenderungan 80% lebih

tinggi untuk mengalami sindrom metabolik dibandingkan dengan wanita tanpa depresi;

estimasi ini berkuramg kira-kira menjadi 60% setelah diadjust dengan faktor gaya hidup,

status fungsional, dan penggunaan beta blocker. Jumlah faktor resiko sindrom metabolik

meningkat seiring dengan peningkatan derajat depresi. Tetapi sindrom metabolik hanya

menjelaskan sebagian kecil, 20% dari asosiasi antara depresi dengan insiden CVD.

Hubungan antara depresi mayor dengan sindrom metabolik telah diteliti dalam tiga studi

sebelumnya. Diantara orang dewasa muda (umur <40 tahun) dalam the Third National Health

and Nutritional Examination Survey, prevalensi sindrom metabolik pada wanita dengan

riwayat episode depresi mayor dua kali lipat dibandingkan yang tanpa depresi. Hubungan ini

tidak dijelaskan dengan fakor demografi dan faktor tingkah laku, termasuk umur, ras, tingkat

pendidikan, riwayat merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi karbohidrat dan alcohol. Tidak

ditemukan hubungan yang sama pada laki-laki, karena wanita mungkin memiliki kerentanan

khusus terhadap gangguan metabolisme sekunder kemudian menjadi depresi. Hal yang sama,

pada sampel studi wanita paruh baya, gejala depresi dan sindrom metablik memiliki

hubungan yang signifikan, tetapi hasilnya belum diadjust dengan faktor demografis dan

faktor gaya hidup. Sedangkan studi terakhir dalam young Finnish gagal menemukan asosiasi

antara depresi dan sidrom metabolik. Namun studi ini tidak memeriksa wanita terpisah

dengan laki-laki.

Ketika faktor resiko sindrom metabolik diperiksa secara terpisah, hanya hipertensi dan

peningkatan trigliserida yang secara signifikan berhubungan dengan depresi dalam analisis

multivariate.

Dalam studi ini, depresi dikalsifikasikan berdasarkan riwayat pengobatan dan derajat depresi

saat ini. Seperti telah dilaporkan sebelumnya kombinasi antara kedua penanda depresi

sebagai prediktor kuat terjadinya CVD, dan indikator resiko yang jauh lebih baik

dibandingkan hanya skor BDI atau hanya riwayat pengobatannya saja. Wanita dengan dengan

kedua faktor tersebut cenderung memiliki depresi yang lebih berat, persisten dan sering

kambuh. Studi sebelumnya menunjukkan wanita dengan riwayat depresi mayor berulang

17

memiliki resiko plak karotis, koroner dan aorta lebih tinggi dibandingkan dengan wanita

dengan episode depresi hanya sekali atau tidak memiliki riwayat, sehingga paparan episode

multiple depresi mengganggu kesehatan kardiovaskuler wanita.

Telah banyak diketahui bahwa individu dengan depresi memiliki kecenderungan untuk

mengikuti gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kebiasaan bermalas-malasan, pola

makan yang tidak sehat, dan kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan. Namun dalam

studi kami, seperti yang dilaporkan Kinder dkk, hubungan masing kuat walaupun telah

disesuaikan dengan faktor prilaku, menyiratkan mereka hanya memeran peran kecil.

Depresi dihubungkan dengan kelainan fisiologis yang kemungkinan memiliki konsekuensi

metabolik termasuk hypothalamus-pituitary-adrenal axis hyperactivity dan disfungsi sistem

saraf otonom. Kelainan ini berpengaruh terhadap sebagian sebar, jika bukan seluruh

komponen sindrom metabolik, dan faktor psikososial memiliki peran yang lebih besar dalam

hubungan antara adrenal/gangguan otonomik dan sindrom metabolik.

Meskipun terdapat berbagai mekanisme yang masuk akal, penelitian ini masih belum mampu

membedakan depresi yang terjadi merupakan penyebab, konsekuensi, atau merupakan

penanda sindrom metabolik. Masalah emosional pada pada orang dengan obesitas mungkin

merupakan akibat produksi berlebihan sitokin, yang mungkin memegang peran dalam

menentukan penyebab depresi. Meskipun demikian asosiasi yang kuat ditemukan dan pola

respon dosis, dengan peningkatan gejala depresi mengarahkan pada hubungan yang lebih

longgar. Bagaimanapun arah kecenderungannya, adalah penting untuk mengenali masalah

prilaku/emosional dan sindrom metabolik adalah saling berkaitan dan kemungkinan saling

menguatkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, dalam studi longitudinal pada wanita,

depresi, tensi, dan kemarahan pada baseline dapat memprediksi terbentuknya sindrom

metabolik selam follow-up, tetapi memiliki sindrom metabolik pada baseline dapat

memprediksi peningkatan amarah dan kekhawatiran pada tahun-tahun berikutnya.

Studi ini menemukan bahwa hanya 20% dari resiko CVD yang berhubungan dengan depresi

yang dapat dijelaskan dengan sindrom metabolik. Awalnya depresi dan sindrom metabolik

keduanya dimasukkan dalam model yang sama, dan keduanya masih berupa prediktor

independen untuk CVD. Mamiliki peran penting dalam menentukan prognosis sindrom

metabolik, dan memiliki asosiasi kuat dengan depresi dalam penelitian ini, namun secara

mengejutkan hanya dapat menjelaskan dalam proporsi sedikit dalam menjelaskan

18

peningkatan resiko CVD dalam hububngannya dengan depresi. Disisi lain, keterkaitan antara

depresi dan CVD merupakan multifaktorial.

Kelemahan studi ini dimana WISE mengikutsetrakan wanita yang telah diseleksi secara

khusus dari wanita yang dirujuk untuk angiografi koroner karena adanya kecurigaan iskemia,

sehingga generalisasi hasil penelitian menjadi terbatas. Walaupun demikian penelitian ini

merupakan penelitian kelompok pasien yang relevan, memberikan distress psikososial yang

tinggi dan paparan faktor resiko CHD, khususnya faktor resiko sindrom metabolik. Kusioner

psikososial tidak tersedia untuk pasien-pasien awal sehingga mengurangi jumlah sampel

untuk dianalisis. Sebagai tambahan, wanita tanpa informasi depresi memiliki CAD yang lebih

parah dan faktor resiko sindrom metabolik yang lebih tinggi dibandingkan wanita lainnya,

menunjukkan bahwa pasien-pasien awal memiliki status resiko lebih tinggi. Selain itu kami

tidak memiliki informasi dalam depresi mayor dari wawancara diagnostik ,atau dalam jenis

dan durasi pengobatan antidepresan. Walaupun demikian, klasifikasi kami berdasarkan pada

gejala depresi sekarrang dan dihubungkan dengan diagnosis depresi sebelumnya yang

memerlukan pengobatan seharusnya lebih baik dalam memperkirakan depresi mayor

dibanding definisi yang focus pada gejala saat ini. Di sisi lain, desain penelitian multisenter,

detail informasi pasien, pemeriksaan laboratoriu untuk memeriksa faktor resiko CVD dan

CAD dinilai dengan angiografi koroner yang merepresentasikan kekuatan unik studi ini dan

menambah validitas temuan kami.

Jadi dapat disimpulkan pada wanita dengan kecurigaan CAD, depresi dan sindrom metabolik

satu sama lain saling berhubungan secara independen terhadap gaya hidup dan status

fungsional. Mengejutkan, walaupun sindrom metabolik hanya menjelaskan sebagian kecil

dari asosiasi antara depresi dengan insiden CVD, menunjukkan bahwa depresi dan sindrom

metabolik meningkatkan resiko CVD sebagian besar melalui independent pathway.

19