Referat Multiple Sklerosis
-
Upload
dokterminarni1281 -
Category
Documents
-
view
200 -
download
3
Transcript of Referat Multiple Sklerosis
BagianNeurologi
FakultasKedokteran Referat
UniversitasHaluoleo Agustus 2013
MULTIPLE SKLEROSIS
Oleh:
SilvanaHitipeuw, S.Ked
Pembimbing:
dr. IrmayaniAboeKaism, M.Kes, Sp.S
Dibawakan Dalam RangkaTugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Haluoleo
2013
MULTIPLE SKLEROSIS
SilvanaHitipeuw, Irmayani Aboe Kasim
A. PENDAHULUAN
Multiple Sklerosis (sclerotic multiple) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus yang secara genetis rentan, menyebabkan perubahan pada
mekanisme immune di dalam susunan saraf pusat (SSP)(1).
Multiple sklerosis termasuk penyakit-penyakit demielinisasi. Di dalam
susunan saraf sentral terja di daerah-daerah yang mengalami demielinisasi.Gejala-
gejalanya hilang timbul dalam serangan-serangan dan tiap serangan meninggalkan
cacat.Gejala-gejala neurologis tergantung dari bagian yang mengalami kerusakan.
Karena keadaan alergi juga dapat menimbulkan demielinisasi dalam susunan saraf
sentral, (vaksinasi terhadap cacar, pengobatan anti-rabies), orang menduga bahwa
multiple sklerosis juga merupakan penyakit auto-immune(2).
Gambar 1.SelSaraf (dikutipdarikepustakaan 7).
Selain karena gambaran klinisnya yang khas, saatini di Eropa Utara
multiple sklerosis merupakan penyakit neurologik yang paling seringd
itemukan.Prevalensinya yaitu jumlah kasus yang serentak ditemukan dalam
populasi, paling tinggi di Eropa Utara dan Tengah, termasuk Swiss, Rusia,
Kanada, dan Amerika Serikat bagian utara, SelandiaBaru, dan bagian barat daya
Australia. Di antara populasi multirasial, orang kulit putih memiliki resiko yang
paling tinggi.Selain itu, belum diketahuinya secara pasti etiologi daripenyakitini,
adanya keterlibatan factor genetic dan kemungkinan dapat ditularkannya penyakit
ini sehingga hal ini sangat menarik untuk didiskusikan(3).
B. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ini sampai kini masih belum jelas.Dalam sejarah
multiple sklerosis ini tidak sedikit teori yang telah diajukan untuk menerangkan
timbulnya penyakit ini.Hanya teori infeksi yang sampai kini masih bertahan
karena teori infeksi ini memiliki dasar yang cukup kuat, yaitu infeksi virus yang
lambat dengan masa inkubasi yang melebihi 15 tahun(7).
Beberapa keadaan lain yang dianggap sebagai factor pencetus timbulnya
multiple sklerosis, diantaranya adalah kehamilan, stress emosional dan cedera.
Serangan pertama biasanya dapat sembuh dengan sempurna. Remisi biasanya
terjadi dalam waktu satu sampai tiga bulan, dan disusul dengan serangan-serangan
berikutnya. Akan tetapi pada akhirnya penyembuhan tidak lagi sempurna dan
pasien akan menderita kerusakan permanen tambahan padas etiap kali serangan (4).
C. EPIDEMIOLOGI
Kasus ini sedikit lebih banyak menyerang wanita dibandingkan dengan
pria, usia rata-rata penderita penyakit ini adalah 30 tahun, dengan batas antara 18
– 40 tahun. Lebih sering di jumpai pada daerah yang beriklim sedang (Eropa
Utara dan Amerika Utara), dengan insiden kurang lebih 10 per 10.000 penduduk.
Penyakit ini jarang ditemukan di daerah tropis(4).
Gambar 2.Epidemiologi multiple sclerosis (dikutipdarikepustakaan 4)
Multiple sklerosis secara dominan menyerang orang kulit putih, informasit
erakhir cenderung menunjukkan bahwa multiple sklerosis adalah suatu penyakit
bawaan dan mungkin dapat ditularkan. Adanya bukti bahwa hubung anantara
HLA system (Human Leukocyte Antigen) dan multiple sklerosis menunjukkan
suatu kerentanan genetis terhadap penyakit itu(1).
D. DEFINISI
Sklerosis Multipel adalah suatu kelainan dimana saraf-saraf pada mata,
otak dan tulang belakang kehilangan selubung sarafnya (mielin). Istilah sklerosis
multipel berasal dari banyaknya daerah jaringan parut (sklerosis) yang mewakili
berbagai bercak demielinasi dalam sistem saraf. Pertanda neurologis yang
mungkin dan gejala dari sklerosis multipel sangat beragam sehingga penyakit ini
tidak terdiagnosis ketika gejala pertamanya muncul.
Gambar 3. Multiple sclerosis pada system saraf (dikutip dari kepustakaan 7)
Lama-lama penyakit ini akan semakin memburuk secara perlahan.
Penderita biasanya mengalami periode bebas gejala (remisi) yang diselingi dengan
serangan penyakit (eksaserbasi).
E. PATOGENESIS
Patogenesis dari multiple sklerosis berlawanan dengan teori mekanisme
autoimun. Teori ini didukung oleh model percobaan ensefalomielitis alergika
eksperimental padab inatang. Pada tahun-tahun terakhir ini, perjalanan penyakit
yang berulang telah ditemukan pada binatang percobaan. Suatu sensitisasi yang
terlambat terhadap protein ensefalitogenik dari SSP telah diperlihatkan terjadi
melalui reaksi imun seluler. Limfosit yang tersensitas imerupakan karier yang
paling penting dari proses ini. Beberapa penelitian menemukan bahwa infeksi
virus herpes simpleks tipe I terjadi masa kanak-kanak. Yang kemudian
menyebabkan persistensi virus dalam bentuk klinis yang tenang atau suatu reaksi
imunologik yang abnormal yang semula bersifat laten. Infeksi herpes simpleks
tipe 2 berikutnya mungkin yang bertanggung jawab untuk menyebarnya infeksi
virus tersebut atau timbulnya reaksi autoimun(3).
F. GEJALA KLINIS
Gambaran Klinis yang Khas
1. Serangan yang berulang terjadi pada interval yang tidak teratur, dengan
penyembuhan yang sempurna atau parsial dari tanda dan gejalanya di
antara setiap serangan pada kira-kira 60% kasus(3).
2. Lokasi kelainan yang tersebar di seluruh SSP, sehingga menimbulkan
gambaran klinis yang sangat bervariasi(3).
3. Pada saat yang sama, tanda-tanda penyakit dapat ditemukan yang
menunjukkan fokus-fokus demielinisasi pada berbagai lokasi misalnya
atrofi optik disertai paraplegia(3).
4. Serangan yang berturut-turut dari penyakit ini dapat menyebabkan
kelainan berbagai sistem, misaslnya kelumpuhan okuler yang diikuti satu
tahun kemudian oleh gangguan miksi(3).
Gambar 4.Gejalaklinis multiple sclerosis (dikutipdarisumber 5).
Gambaran Klinis Individual
Lokasi lesi menentukan manifestasi klinisnya. Segala bentuk kombinasi
tanda dan gejala berikut ini dapat terjadi :
1. Gangguansensorik
Parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati, tertusuk-tusuk jarum
dan peniti) mungkin berbeda-beda tingkatannya dari hari ke hari. Jika
lesi terdapat pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi
leher menyebabkan sensasi seperti syok yang berjalan ke bawah
medulla spinalis (tanda Lhermitte).
Gangguan proprioseptif sering menimbulkan ataksia sensorik dan
inkoordinasi lengan. Sensasi getar seringkali menghilang. Karena
gangguan sensorik tak dapat diperagakan secara obyektif, maka gejala-
gejala tersebut dapat disalahduga sebagai histeria(4,8).
2. Gangguan penglihatan
Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai
gejala-gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang
pandang yang abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu
maupun pada kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami
kebutaan total selama beberapa jam sampai beberapa hari. Gangguan-
gangguan visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus.
Selain itu, juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang
menyerang nukleus atau serabut-serabut traktus dari otot-otot
ekstraokular dan nistagmus(8).
3. Kelemahan spastik anggota gerak
Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu anggota
gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat
anggota gerak. Pasien mungkin mengeluh merasa lelah dan berat pada
satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah
terseret maju, dan pengontrolannya kurang sekali. Pasien dapat
mengeluh tungkainya kadang-kadang seakan–akan meloncat secara
spontan terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan
spatis yang lebih berat disertai dengan spame otot yang nyeri. Refleks
tendon mungkin hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada.
Respons plantar berupa ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda ini
merupakan indikasi terserangnya lintasan kortikospinal(8,9).
4. Tanda-tanda serebelum
Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah nistagmus
(gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam arah horisontal atau
vertikal) dan ataksia serebelar dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan
volunter, intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria
(bicara dengan kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan
tersendat-sendat)(4,8,9).
5. Disfungsi kandung kemih
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan
gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan, frekuensi dan
urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih
yang spastis. Kecuali itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia(4,9).
6. Gangguan afek
Banyak pasien menderita euforia, suatu perasaan senang yang tidak
realistik. Hal ini diduga disebabkan terserangnya substansia alba lobus
frontalis. Tanda lain gangguan serebral dapat berupa hilangnya daya
ingat dan demensia(4,8,9).
G. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan, bila ada ditemukan :
1. Suatu penyakit yang memperlihatkan suatu gambaran yang menunjukkan
adanya remisi dan eksaserbasi dalam perjalanannya yang senantiasa mundur
secara progresif.
2. Gamma-globulin dalam liquor serebrospinalis adalah meningkat.
3. CT Scanpolos dapat memperlihatkan daerah-daerah dengan attenuasi rendah di
periventrikulus terutama didaerah trigonum. CT Scan dengan xenon
enhancement sewaktu-waktu dapat membantu. Xenon ini diserap oleh jaringan
yang banyak lemaknya seperti mielin. Attenuasi mielin itu dengan demikian
akan meningkat sebanyak 20 Hounsfield. Daerah-daerah dengan demielinisasi
tentu tidak dapat menyerap xenon dan oleh karena itu, plak-plak sklerotik akan
tampak sebagai bercak-bercak hipodens(7).
4. MRI
MRI scan lebih senstif, memperlihatkan lebih banyak plak dari pada CT
scan, begitu juga lesi-lesi sampai sekecil 4 x 3 mm. Dengan MRI dan
enhancement gadolinium, plak-plak yang segar dapat diidentifikasi yang akan
menghilang setelah eksaserbasi mereda. Pemeriksaan ini termasuk pemeriksaan
yang mahal maka perlu dipertimbangkan hanya pada sekelompok kecil kasus
yang mana pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang tersebut di atas gagal
menegakkan diagnosis(3).
Gambar 5.Gambaran MRI multiple sclerosis (dikutipdarikepustakaan 5).
H. DIAGNOSIS BANDING
Adapun diagnosis banding dari multiple sclerosis antaralain :
1. Ensefalomielitis diseminata akuta.
Perjalanan penyakit ini adalah akut dan monofasik, dan tidak seperti
pada multiple sklerosis kronis progresif dengan remisi eksaserbasi.
2. Tumor medulla spinalis dan tumor serebri.
3. Lues serebrospinalis
4. Penyakit degeneratif seperti ataksia Friedreich dan degenerasio
olivoponto-serebelaris(7).
I. PENATALAKSANAAN
Dari berbagai pengobatan yang diajukan, kortikosteroid dan terutama
ACTH dan imunosupresanazatioprin pada kasus-kasus selektif ternyata
merupakan pengobatans atu-satunya yang mempengaruhi serangan-serangan
individual atau merubah perjalanan penyakit(3).
Serangan akut diobati dengan : infus 0,5 mg ACTH sintetik intravena
dalam 500 ml larutan salin fisiologik atau 80 unit kortikotropin per hari selama 10
hari. Untuk 3 minggu berikutnya suntikan intramuskuler gel ACTH yang
diberikan, dosis dan frekuensi suntikan dikurangi secara progresif. Suntikan
intramuskuler dapat diberikan sejak permulaan. Pengobatan oral dengan
dexametason atau preparat kortikosteroid lainnya dalam dosis yang ekuivalen
dapat dipakai menurut regimen berikut ini : untuk 3 hari pertama 3 x 2,5 mg
dexametason sehari, hari keempat 25 unit ACTH, hari kelima sampai kedelapan
0,5 dexametason 3 kali sehari. Ini dapat diikuti dengan gel ACTH dalam dosis
yang dikurangi, seperti di atas. Pemberian suplemen kalium dan antibiotic
profilaksis dapat juga diberikan, jika perlu. Suntikan hidrokortison intratekal 25
mg – 75 mg 2-3 kali seminggu, melalui pungsi lumbal kedalam ruang
subarachnoid, ternyata hanya menimbulkan efek yang sementara pada tanda-tanda
spastisitas(3).
Pada pasien-pasien yang spesifik, terutama yang tidak berhasil pulih
setelah serangan dan yang memperlihatkan deteriorasi yang setahap demi setahap
dan kadang-kadang dengan serangan yang sering, terapi imunosupresif yang
intensif dapat dipertimbangkan selama setahun atau lebih, dengan tujuan untuk
menstabilkan perjalanan penyakitnya. Efektifitas dari imunosupresi pada kasus-
kasus yang progresif belum terbukti : 10% dari pasien-pasien ini menderita tumor
ganas setelah 5 tahun atau lebih(1,3).
Spastisitas dapat diobati dengan diazepam atau derivat GABA baclofen
(lioresal R) 10-50 mg pada malam hari. Pengobatan dengan vinkristin untuk
memprovokasi neuropati (dan dapat mengurangi spastisitas) juga pernah diajukan.
Percobaan dengan baclofen intratekal sedang dilakukan(3).
Tindakan lainnya termasuk diet rendah lemak. Disamping itu, fisioterapi
memiliki peranan yang signifikan. Ini meliputi latihana ktif, perawatan yang
cermat, dan pengobatan komplikasi sekunder (dekubitus, infeksi urinarius).Yang
terutama sukar untuk diobati adalah tremor intensi, sering kali sangat
mengganggu pasien. Isoniazid pernah dianjurkan dan hasil yang baik pernah
dilaporkan dengan operasi stereotaktik. Bantuan psikologik untuk pasien sangat
penting. Keterbukaan dan ketulusan penting dimana dokter harus menunjukkan
prilaku yang teliti dan membesarkan semangat pasien(1,3).
J. PROGNOSIS
Sklerosis multipel memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi dan tidak
bisa diramalkan. Pada banyak penderita, penyakit ini dimulai dengan gejala
tertentu, yang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian tidak
menunjukkan gejala lebih lanjut. Pada penderita lainnya, gejala semakin
memburuk dan lebih meluas dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Cuaca
hangat, mandi air panas atau demam bisa memperberat gejala.
Kekambuhan bias terjadi secara spontan atau dipicu oleh infeksi
(misalnya influenza). Jika kekambuhan sering terjadi maka kelainan semakin
memburuk dan bias bersifat menetap.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chusid J.G, Multiple Sclerosis, pada Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi
Fungsional, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1994
2. Lumbantobing.S, Multiple Sclerosis, pada Kapita Selekta Neurologi.
Yogyakarta : Gadjah Mada Universitay Press, 1996
3. Mardjono, M dan Priguna S, Multiple sclerosis, pada Neurologis Klinis
Dasar, Jakarta ; Dian Rakyat, 2000
4. Markam Soemarsono. dr, Multiple Sclerosis, pada Neurologi Praktis,
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
5. Ngoerah I, Multiple Sklerosis, pada Dasar-dasar Ilmu penyakit Saraf,
surabaya : Airlangga University Press, 1991
6. Price S dan Lorraine M, Multiple Sklerosis, pada Patofisiologi, buku II, Edisi
4, Jakarta : EGC, 1995
7. Snell Richard S.M.D. Ph.D, Multiple Sclerosis, pada Neuroanatomi Klinik,
Edisi 2, Jakarta : EGC, 1996
8. Wiyono Budi Oetomo. dr, Multiple Sclerosis , pada Pedoman Praktis
pengobatan Penyakit Saraf, Jayapura, 2001
9. Rodriguez M, Siva A, Ward J, et al. Impairment, disability, and handicap
in multiple sclerosis: a population-based study in Olmsted County,
Minnesota. Neurology 1994;44:28–33
10. Tintore M, Rovira A, Rio J, et al. New diagnostic criteria for multiple
sclerosis: application in first demyelinating
episode. Neurology2003;60:27–30
11. Kidd D, Barkhof F, McConnell R, et al. Cortical lesions in multiple
sclerosis. Brain 1999;122:17–26
12. Craner MJ, Newcombe J, Black JA, et al. Molecular changes in neurons in
multiple sclerosis: altered axonal expression of Nav1.2 and Nav1.6
sodium channels and Na+/Ca2+ exchanger. Proc Natl Acad Sci
USA2004;101:8168–73
13. Montalban X. Primary progressive multiple sclerosis. Curr Opin
Neurol2005;18:261–66
14. Oksenberg JR, Hauser SL. Genetics of multiple sclerosis. Neurol
Clin2005;23:61–75
15.Lublin FD, Reingold SC. Defining the clinical course of multiple sclerosis:
results of an international survey. National Multiple Sclerosis Society
(USA) Advisory Committee on Clinical Trials of New Agents in Multiple
Sclerosis. Neurology 1996;46:907–11