Rasimin - Kontekstualisasi Metode Reward Dan Punishment Dalam Pembelajaran
-
Upload
nathanael-season-iv -
Category
Documents
-
view
94 -
download
8
Transcript of Rasimin - Kontekstualisasi Metode Reward Dan Punishment Dalam Pembelajaran
-
KONTEKSTUALISASI METODE REWARD DAN PUNISHMENT
DALAM PEMBELAJARAN
Rasimin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
Abstract
Human personality is influenced by three domains namely family, school, and society. The three of which deal with
and complete among others to affect and motivate independency in learning. The use of Reward and punishment in
learning is a form of response of ones behavior. Reward as a positive reinforcement is used when one achieves satisfactorily achievement. Reward can be in a form of admiring words, symbols (stars, pictures, interesting objects)
and scholarships. Punishment as negative reinforcement is given to students because of failure and false. The
implication of reward and punishment can be identified from two points of view namely: Firstly, the existence of
students: 1) those receiving reward who are pressured by reward, who are lullabied by reward, and who are
motiveted by the reward; and 2) those who do not receive the reward. Secondly, the types of reward and
punishment; the implication can be: 1) admiring words decreasing motivation, 2) giving stars increasing self-
confidence and actualization, 3) giving star stamps and giving pictures of laughing idols building self-belief and
self-potential development, and 4) giving objects increasing motivation and achievement. The punishment can be in
a form of cleaning classroom, memorizing short chapters of Al Quran, and giving religious tax to friends. Punishment functions to create disciplines and motivation to self-learning and to build self confidence and
responsibility.
Keywords: reward & punishment, learning
Pendahuluan
Proses belajar mengajar (PBM) dalam pendidikan formal melibatkan peran aktif pendidik (guru)
dan anak didik. Mereka merupakan variabel penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Mereka berupaya untuk mengkomunikasikan permasalahan transfer of knowlegde dan transfer of
value. Dalam proses ini, seorang pendidik (guru) secara langsung akan mempengaruhi setiap
karakter, mental bahkan kualitas belajar anak dengan beragam latar belakang yang berbeda.
Metode belajar yang strategis dan penting bagi perkembangan psikologia anak, salah satunya
dengan menggunakan reward (penghargaan) dan punishment (hukuman). Metode belajar ini
lebih ideal bila digunakan pada anak yang masih duduk dibangku pendidikan dasar. Mereka
masih membutuhkan rangsangan belajar yang kuat untuk mengembangkan potensi diri agar
mampu menyerap dan termotivasi serta memahami setiap materi yang telah disampaikan oleh
pendidik (guru). Perilaku menyimpang yang terjadi pada anak baik dikelas maupun lingkungan
sekolah adalah sebuah persoalan yang harus ditangani secara bijak oleh pendidik (guru) atau BK.
Penanganan dengan menggunakan fisik akan lebih berdampak negatif bagi perkembangan
psikologis mereka.
Perkembangan anak adalah sebuah keniscayaan sebagai wujud proses pendewasaan yang
harus dijaga. Pendidik, keluarga dan lingkungan adalah faktor yang secara langsung akan
berpengaruh terhadap perkembangan karakteristik anak didik. Peran aktif pendidik (guru)
-
sebagai figur pribadi yang utuh harus mampu menciptakan anak yang percaya diri sebagai
penunjang kemandirian belajar. Penerapan metode pembelajaran reward dan punishment, dalam
perkembangannya, telah mengalami kontekstualisasi yang menjadikan metode ini semakin
banyak digunakan, meslipun dipandang sebagai metode klasik. Hampir setiap pendidik (guru)
dalam melaksanakan proses pembelajaran telah menggunakan metode ini. Pandangan-pandangan
baru tentang metode pembelajaran selalu berkembang, sebagaimana mengikuti perkembangan
teknologi pendidikan. Subtansi reward dan punishment dalam metode pembelajaran sebenarnya
adalah sebuah bentuk respon seseorang karena perbuatannya. Pemberian ganjaran merupakan
respon yang positif, sedangkan pemberian hukuman adalah respon negatif, keduanya memiliki
tujuan yang sama, yaitu ingin mengubah tingkah laku anak ke arah yang lebih baik sebagai
motivasi belajar (Djamarah, 2000:100).
Sekolah merupakan tempat kedua setelah keluarga. Sekolah merupakan sarana yang
sangat strategis dalam pembentukan karakter sehingga dalam penerapan metode pembelajaran
diharapkan mampu menciptakan rasa kepercayaan diri yang tinggi.
Penerapan metode reward dan punishment - sebagai bentuk dorongan positif dan negatif
bertujuan agar anak terangsang untuk belajar mandiri yang melibatkan peran aktif pendidik
(guru) untuk mampu mensinergiskan dengan beberapa metode belajar yang lain berdasarkan
kondisi anak di sekolah. Dalam hal ini peran pendidik (guru) harus menyatu dengan tugas guru
bimbingan konseling (BK) sehingga mampu menciptakan anak didik yang mau belajar dengan
baik untuk meraih prestasi.
Pembahasan
Pengertian Reward dan Punishment
Reward dan punishment sebagai metode pembelajaran akan sangat ideal dan strategis bila
digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip belajar untuk merangsang belajar dalam kerangka
mengembangkan potensi anak didik. Pendidik (guru) hendaknya menguasai metode ini secara
benar agar tidak berimplikasi buruk, misalnya seorang pendidik menggunakan kekerasan dalam
menegakkan kedisiplinan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang menjadikan anak
trauma dan depresi.
Dalam kamus bahasa Inggris, reward diartikan sebagai ganjaran atau penghargaan
(Echols,1992:485). Pengertian reward secara umum biasa diartikan sebagai hadiah yang
diberikan atau didapatkan dengan mudah, misalnya kuis. Pengertian pemberian reward dalam
pendidikan atau metode pembelajaran dimaksudkan sebagai sebuah penghargaan yang
didapatkan melalui usaha keras anak melalui belajar, baik melaui kelompok maupun individu
yang menghasilkan prestasi belajar. Penghargaan atas prestasi anak biasa diberikan dalam bentuk
materi dan non materi yang masing-masing sebagai bentuk motivasi positif. Teori awal istilah
-
reward dan punishment merupakan satu rangkaian yang dihubungkan dengan pembahasan
reinforcement yang diperkenalkan oleh Thorndike dalam observasinya tentang trial-and eror
sebagai landasan utama reinforcement (dorongan, dukungan). Dengan adanya reinforcement
tingkah laku atau perbuatan individu semakin menguat, sebaliknya dengan absennya
reinforcement tingkah laku tersebut semakin melemah (Sumanto, 1990:117). Dalam dunia
pendidikan, reward digunakan sebagai bentuk motivasi atau sebuah penghargaan untuk hasil
atau prestasi yang baik, dapat berupa kata-kata pujian, pandangan senyuman, pemberian tepukan
tangan serta sesuatu yang menyenangkan anak didik, misalnya pemberian beasiswa bagi yang
telah mendapat nilai bagus (Hurlock,1978:86). Penerapan reward di bangku pendidikan dasar
adalah bentuk motivasi yang berorientasi pada keberhasilan belajar atau prestasi anak.
Suharsimi Arikunto menjelaskan bahwa penghargaan merupakan sesuatu yang diberikan
kepada seseorang karena sudah mendapatkan prestasi dengan yang dikehendaki, yakni mengikuti
peraturan sekolah yang sudah ditentukan (Arikunto,1990:182). Penghargaan tidak selalu bisa
dijadikan sebagai motivasi, karena penghargaan untuk suatu pekerjaan tertentu, mungkin tidak
akan menarik bagi orang yang tidak senang dengan pekerjaan tersebut (Sardiman,1990:91).
Dalam dunia pendidikan, reward diarahkan pada sebuah penghargaan terhadap anak yang dapat
meraih prestasi sehingga reward tersebut bisa memberikan motivasi untuk lebih baik lagi.
Menurut Suharsimi Arikunto ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pendidik (guru)
dalam memberikan penghargaan kepada anak, yaitu :
1. Penghargaan hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari aspek yang
menunjukkan keistimewaan prestasi.
2. Penghargaan harus diberikan langsung sesudah perilaku yang dikehendaki dilaksanakan.
3. Penghargaan harus diberikan sesuai dengan kondisi orang yang menerimanya.
4. Penghargaan yang harus diterima anak hendaknya diberikan.
5. Penghargaan harus benar-benar berhubungan dengan prestasi yang dicapai oleh anak.
6. Penghargaan harus diganti (bervariasi).
7. Penghargaan hendaknya mudah dicapai.
8. Penghargaan harus bersifat pribadi.
9. Penghargaan sosial harus segera diberikan.
10. Jangan memberikan penghargaan sebelum siswa berbuat.
11. Pada waktu menyerahkan penghargaan hendaknya disertai penjelasan rinci tentang alasan
dan sebab mengapa yang bersangkutan menerima penghargaan tersebut (Arikunto,
1990:163).
Pemberian penghargaan tidak selamanya bersifat baik, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa pemberian penghargaan merupakan satu hal yang bernilai positif. Armai
Arief berpendapat pada implikasi pemberian penghargaan yang bersifat negatif apabila
-
pelaksanaan pemberian penghargaan dipakai sebagai berikut : Pertama, menganggap
kemampuannya lebih tinggi dari teman-temannya atau temannya dianggap lebih rendah; Kedua,
dengan pemberian penghargaan membutuhkan alat tertentu dan biaya (Arief, 2002:128). Selain
itu diungkapkan juga bahwa pemberian penghargaan akan bersifat positif apabila pelaksanaan
penghargaan dipakai sebagai berikut: Pertama, anak akan berusaha mempertinggi prestasinya;
Kedua, memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak yang dididik untuk
melakukan perbuatan yang positif dan bersifat progresif; Ketiga, menjadi pendorong bagi anak
lainnya (teman) untuk mengikuti anak yang memperoleh penghargaan dari gurunya, baik dalam
tingkah laku, sopan santun, semangat dan motivasinya dalam berbuat yang lebih baik (Arikunto,
1990:129).
Pemberian reward pada anak akan menimbulkan perbuatan baik. Oleh karena itu, reward
yang diberikan hendaknya memiliki tiga peranan penting untuk mendidik anak dalam
berperilaku:
1. Reward mempunyai nilai mendidik.
2. Reward berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi berbuat baik.
3. Reward berfungsi untuk memperkuat perilaku yang lebih baik.
Dari ketiga peran di atas, reward diharapkan mampu memberikan reinforcement pada
anak untuk lebih dihargai atas perilaku atau prestasi yang telah diraihnya. Islam mengajarkan
bahwa barang siapa yang beramal baik, maka Allah swt akan membalas dengan setimpal. Tetapi
bagi yang tidak melakukan perintah-Nya akan diberikan peringatan dan siksaan. Dalam
mencapai tujuan pendidikan, setiap lembaga pendidikan memiliki peraturan-peraturan untuk
ditaati bersama, baik bagi pendidik maupun anak didik sehingga tercipta kedisiplinan. Pendidik
(guru) dan bimbingan konseling (BK) harus tegas terhadap anak yang tidak taat pada peraturan
tersebut dengan diberikan sebuah punishment.
Menurut Ngalim Purwanto, punishment adalah penderitaan yang diberikan atau
ditimbulkan dengan sengaja oleh pendidik (guru) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan
atau kesalahan (Purwanto, 1955:186). Hukuman juga dapat diartikan pemberian sesuatu yang
tidak menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Pemberian
hukuman akan membuat seseorang menjadi kapok dan tidak akan mengulangi yang serupa lagi.
Punishment merupakan siksaan atas perilaku yang telah diperbuat (Echols,1992:456).
Punishment ersebut dapat berupa ancaman, larangan, pengabaian dan pengisolasian, hukuman
badan sebagai bentuk hukuman yang diberikan pada seseorang karena kesalahan, pelanggaran
hukum dan peraturan dalam perbaikan dan pembinaan umat manusia. Dalam Islam, apabila
seseorang mendapat hukuman, termasuk tazir, maka hukuman berkisar antara peringatan,
kecaman, pukulan, kurungan dan rampasan (Miller, 2002:170). Dalam rekayasa paedogogik,
reward dan punishment merupakan sebuah metode belajar yang dimaksudkan sebagai tindakan
-
disiplin atau motivasi pada anak. Reward dan punishment ini dihubungkan dengan reinforcement
yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901)
Dalam jaringan rekayasa paedagogis, reward dan punishment merupakan upaya membuat
anak untuk mau dan dapat belajar atas dorongan sendiri dalam mengembangkan bakat, pribadi
dan potensi secara optimal. Sehingga pemberian reward (penghargaan) dan punishment
(hukuman) telah dijadikan sebagai strategi metode pendidikan dalam proses pembelajaran yang
diharapkan anak didik berkembang sesuai dengan fitrahnya.
Al-Quran menjelaskan bahwa penghargaan atau ganjaran menunjukkan balasan terhadap
apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau di akherat kelak karena amal
perbuatan yang baik. Dalam al Quran disebutkan : Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat,
maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-
hamba-Nya. (Q.S. Fushilat : 46)
Dari ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian reward merupakan suatu
bentuk penghargaan atas prestasi yang telah diraih seseorang atau bentuk motivasi terhadap apa
yang telah diperbuatnya. Dalam proses belajar mengajar, reward diberikan pendidik (guru)
kepada anak sebagai pendorong, penyemangat dan motivasi sehingga akan membentuk rasa
percaya diri pada mereka.
Pendidik (guru) yang baik adalah mereka yang mampu menguasai kelas hingga
terciptanya suasana pembelajaran yang menyenangkan. Dalam mewujudkannya, pendidik (guru)
haruslah menjadi orang yang berwibawa, kharismatik, menguasai materi pelajaran dan mampu
memahami psikologis anak. Ia harus disiplin, tak membuat kesalahan, mengetahui dan mampu
menjawab atas setiap masalah yang dialami anak didik. Peran pendidik (guru) sangat
berpengaruh terhadap perkembangan anak, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun
kegiatan-kegiatan yang menunjang prestasi. Proses pembelajaran akan berjalan baik bila
ditopang dengan beberapa hal, termasuk di dalamnya tata tertib siswa di sekolah sebagai tatanan,
etika, dan norma yang harus dijunjung tinggi untuk mensukseskan tujuan pembelajaran
diantaranya adalah penerapan punishment.
Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, punishment atau hukuman merupakan suatu
perbuatan, di mana kita secara sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain, baik
dari segi kejasmanian maupun dari segi kerohanian karena orang lain itu mempunyai kelemahan
bila dibandingkan dengan diri kita. Oleh karena itu, kita mempunyai tanggung jawab untuk
membimbing dan melindunginya (Ahmadi, 2001:150). Sedangkan menurut Ngalim Purwanto,
hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang
pendidik sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 1955:186).
Kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan ada tiga macam bentuk hukuman.
1. Siksa yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang.
-
2. Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.
3. Hasil atau akibat menghukum (Poerwadarminta,1989:333).
Secara harfiah, hukuman dapat diartikan sebagai pemberian sesuatu yang tidak
menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Dalam proses
pembelajaran, punishment harus menjadi reinforcement (penguatan) bagi anak agar tidak
mengulangi kembali atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dorongan negatif akan memberikan
efek yang baik untuk tidak mengulang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat anak.
Pemberian hukuman akan membuat anak menjadi kapok (jera), artinya sebuah upaya pendidik
(guru) dalam memberikan sanksi agar anak tidak akan melakukan kesalahan yang serupa lagi.
Sekalipun setelah diberi ulasan agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sebagian
anak masih saja ada yang melakukan perbuatan yang dilarang. Dalam hadis telah dijelaskan
bahwa hukuman harus diterapkan untuk memberi petunjuk terhadap tingkah laku manusia.
Sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan atas orang yang melakukan pelanggaran yang
sifatnya badaniyah, Rasulullah saw bersabda :
, : , ( : .
)
Artinya: Rasulullah saw bersabda: Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat bila mereka telah berusia tujuh tahun, dan pukullah jika meninggalkannya bila mereka telah berumur
sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim yang mengatakan hadis ini shohih. (Sabiq, 1974:169)
Mengenai hukuman, ada beberapa pandangan filsafat atau kepercayaan yang menganggap
bahwa hidup ini termasuk sebagai suatu hukuman, karena kehidupan ini identik dengan
penderitaan. Pandangan hidup yang demikian menganjurkan agar manusia menghindari diri dari
hukuman atau penderitaan yang ada dalam kehidupan ini. Sebaliknya, ada penganut agama dan
filsafat yang berbeda dengan pendapat tersebut. Mereka menganggap bahwa hidup ini sebagai
suatu kebahagiaan yang tiada hentinya dan beranggapan kematianlah yang merupakan hukuman
yang perlu ditakuti (Purwanto, 1955:185). Dari beberapa pemahaman di atas, dapat disimpulkan
bahwa hukuman adalah pemberian penderitaan atau penghilangan stimulasi oleh pendidik (guru)
sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan atau kesalahan yang dilakukan anak. Hukuman juga dapat
dikatakan sebagai penguat yang negatif, tetapi dalam pemberian hukuman harus diberikan secara
tepat dan bijak sehingga dapat menjadi alat motivasi. Oleh karena itu, pemberian hukuman tidak
serta merta sebagai suatu tindakan balas dendam pendidik (guru) terhadap anak didiknya yang
tidak bisa mencapai harapan yang diinginkan. Dalam hal ini pendidik (guru) harus memahami
segala bentuk prinsip-prinsip pemberian hukuman sebagai sanksi kependidikan.
-
Tujuan Reward dan Punishment
Secara subtansi, reward dan punishment mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebagai
reinforcement (penguatan) demi tercapainya kemandirian belajar anak. Tujuan pemberian
penghargaan sama dengan tujuan pemberian hukuman, yaitu sama-sama membangkitkan
perasaan dan tanggung jawab. Penghargaan bertujuan agar anak lebih bersemangat dalam
memperbaiki dan mempertinggi prestasinya (Arifin, 1996:217). Teknik reward (penghargaan)
merupakan teknik yang dianggap berhasil menumbuhkembangkan minat anak. Pemberian
penghargaan dapat membangkitkan minat anak untuk mempelajari atau mengerjakan sesuatu, di
mana tujuan pemberian penghargaan adalah membangkitkan atau mengembangkan minat. Jadi,
penghargaan berperan untuk membuat pendahuluan saja. Penghargaan adalah alat, bukan tujuan,
hendaknya diperhatikan jangan sampai penghargaan ini menjadi tujuan. Tujuan pemberian
penghargaan dalam belajar adalah bahwa setelah seseorang menerima penghargaan karena telah
melakukan kegiatan belajar dengan baik, ia akan terus melakukan kegiatan belajarnya secara
mandiri di luar kelas atau sekolah (Hamalik, 2000:184).
Sebaliknya, apabila anak belajar untuk mencari penghargan berupa hadiah, penghargaan,
dan sebagainya, ia didorong oleh motivasi ekstrinsik, oleh sebab tujuan-tujuan itu terletak di luar
perbuatan itu, yakni tidak terkandung di dalam perbuatan itu sendiri. The goal is artificially
introduced. Tujuan itu bukan sesuatu yang wajar dalam kegiatan. Anak-anak didorong oleh
motivasi intrinsik, bila mereka belajar agar lebih sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan hidup,
agar memperoleh pengertian, pengetahuan, sikap yang baik, dan penguasaan kecakapan hidup.
Hasil-hasil itu sendiri telah merupakan penghargaan. The reward of a thing well done is to have
done it (Emerson). Dalam membangkitkan motivasi anak tidaklah mudah, pendidik (guru) perlu
mengetahui secara mendalam tentang kondisi psikologis anak dan memiliki kreativitas untuk
menghubungkan materi pelajaran dengan kebutuhan dan minat anak (Nasution, 2000:78).
Adapun kriteria pemberian hukuman yang diberikan pendidik (guru) dengan tujuan sebagai
berikut: Pertama, punishment dilakukan untuk menciptakan kedisiplinan anak didik agar anak
didik belajar dengan baik; Kedua, untuk melindungi anak didik dari perbuatan yang tidak wajar;
Ketiga, untuk menakuti si pelanggar, agar meninggalkan perbuatannya yang melanggar itu.
(Ahmadi, 2001:151).
Dalam proses pembelajaran, hukuman merupakan salah satu metode untuk mencapai
tujuan pendidikan sehingga pemberian hukuman harus sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu:
Pertama, hukuman diadakan karena pelanggaran, dan kesalahan yang diperbuat oleh anak didik.
Kedua, hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran yang telah dilakukan
anak didik (Ahmadi, 2001:153). Tujuan hukuman menurut Gunning sebagaimana dikutip Ngalim
Purwanto, tidak lain adalah pengasuhan kata hati atau membangkitkan kata hati
(Purwanto,1955:193). Artinya, hukuman yang diterapkan harus bertujuan untuk membangkitkan
kesadaran yang timbul dari dalam diri anak terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya,
-
sehingga berusaha bertobat dan menyadari tentang kesalahan yang telah diperbuatnya. Tujuan
tersebut dipandang paling tepat sesuai dengan tujuan pendidikan, karena mengarahkan anak
untuk menyadari kesalahan yang diperbuatnya sehingga ia menyesal dan dengan penuh
kesadaran berusaha untuk memperbaiki atau menghindarinya bahkan tidak akan mengulangi
perbuatan itu lagi. Dalam pemberian hukuman ini, pendidik harus mengetahui kondisi psikologis
anak sehingga tidak terjadi traumatis atau gangguan mental pada masa mendatang setelah
hukuman diberikan.
Macam-macam Reward dan Punishment
Dalam memberikan dan menentukan reward (penghargaan), secara ideal pendidik (guru) harus
menggunakan prinsip keadilan antara anak yang satu dengan anak lainnya agar tidak terjadi
kecemburuan. Pemberian reward yang demikian akan mampu memotivasi anak yang belum
berkesempatan mendapatkan, yaitu disesuaikan dengan apa yang telah menjadi prestasi.
Penghargaan sebagai salah satu metode pembelajaran mempunyai beberapa bentuk, yaitu berupa
materi dan non materi. Bentuk materi berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi
anak, misalnya pemberian pensil, buku tulis, pemberian gambar bintang, beasiswa dll.
Penghargaan berbentuk non materi berupa kata-kata yang menggembirakan (pujian), ucapan
selamat atas prestasi, pemberian tepuk tangan, pendidik (guru) mengangguk-ngangguk tanda
senang dan membenarkan suatu jawaban yang diberikan oleh anak didik (Purwanto,1955:183).
Pemberian penghargaan tersebut walaupun terkesan sederhana tetapi bisa menjadi motivasi
tersendiri bagi anak. Pemberian reward yang representatif meliputi :
1. Pemberian kepercayaan
Dalam diri anak membutuhkan pengakuan bagi eksistensinya di mata orang lain (teman-
temannya). Pemberian kepercayaan membuat diri anak merasa diakui dan dihargai oleh
pendidik (guru). Dengan diberikan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya, anak
mulai menghargai keberadaan diri dan orang lain. Hal ini akan memunculkan responsibility
untuk mampu menjaga dan mewujudkan amanat yang ada. Pemberian kepercayaan lebih
berimplikasi positif pada diri anak daripada pemberian materi maupun kata-kata pujian yang
tidak realistik. Kepercayaan menjamin kesenangan seseorang untuk mengurangi tekanan
jiwa.
2. Senyuman, Pandangan, Tepukan Punggung
Pemberian kasih sayang oleh pendidik (guru) yang diwujudkan melalui ekspresi wajah dan
tindakan jasmaniah akan lebih mengena. Keadaan emosional anak yang labil akan sering
menimbulkan sikap menolak, mencela bahkan merombak ketentuan apapun yang dirasa
mempersempit kebebasannya, karena anak pada masa pendidikan dasar ingin mendapatkan
kebebasan dari ketergantungan. Adanya tekanan-tekanan dan kungkungan akan menimbulkan
ketegangan yang menjadikan anak semakin marah. Oleh karena itu, adanya sikap penerimaan
-
positif dari pendidik (guru) sebagai wujud persetujuan mereka pada perilaku anak, akan
diimbangi pula oleh penerimaan positif anak.
M. Cholim membagi reward atau penghargaan menjadi lima bagian, yaitu: ucapan, pujian
lisan, pujian tertulis, piagam dan lain-lain (Cholim,1992:20). Cara yang dapat dilakukan
dalam pemberian penghargaan, yaitu pujian yang indah dengan tujuan agar anak lebih giat
belajar, atau imbalan materi atau penghargaan karena tidak sedikit anak termotivasi dengan
pemberian penghargaan berupa materi, doa yang diucapkan dengan kata: semoga Allah
SWT menambahkan kebaikan padamu, tanda penghargaan dengan tujuan menjadikan
kenang-kenangan anak atas prestasi yang diperolehnya. Dalam pelaksanaannya, bentuk-
bentuk penghargaan tersebut harus diberikan kepada mereka yang berhasil menyelesaikan
tugas dengan baik. Penghargaan yang berupa kegiatan dapat diberikan kepada anak yang
dapat menyelesaikan tugas di dalam kelas secara cepat, dan penghargaan yang berupa benda
diberikan kepada anak yang berprestasi (Arikunto,1990:18).
Sedangkan bentuk punishment yang masih relevan bagi anak, sesuai dengan tingkat
perkembangannya, antara lain :
a. Pandangan Sinis, Peringatan dan Ancaman
Konsistensi pemberian punishment bentuk ini akan memunculkan kesadaran dalam diri
anak. Anak tidak akan menganggap punishment sebagai bentuk pendektean yang
mempersempit otonomi dan pribadinya. Anak pada masa ini akan merombak dan bersikap
berontak terhadap semua yang dirasa mengurangi dan mempersempit kebebasannya.
Pemberian hukuman dalam bentuk ini harus diimbangi dengan penjelasan atau
rasionalitas si pemberi hukuman (guru) serta perlu adanya tindak lanjut (follow up)
sebagai wujud perhatian pendidik (guru) pada anak. Dalam situasi ini, karena anak sudah
mulai menghargai nilai-nilai moral yang ada, mereka akan melakukan penyadaran diri
secara perlahan-lahan menuju perbaikan.
Ketidaksesuaian dalam pemberian hukuman ini, sebagaimana penjelasan sebelumnya,
dapat diasumsikan oleh anak sebagai anjuran untuk mengulangi kesalahan yang sama,
karena mereka merasakan hukuman tersebut sebagai tantangan dan pukulan terhadap diri
dan pribadinya, mengingat kehidupan emosi anak mengalami pergolakan hebat.
b. Pemberian Alfa
Pada masa ini, anak sudah mampu menghargai kejujuran, kedisiplinan, keadilan, sehingga
untuk periodesasi ini pemberian sanksi alfa mampu meresap dan dihayati dalam jiwa
anak. Sanksi alfa berhubungan dengan penerimaan diri anak oleh masyarakat
lingkungan sosialnya, akan kebutuhan harga diri anak, sekalipun masih ada beberapa anak
yang tetap keras dan hanya mempan dengan hukuman fisik. Pemberian sanksi ini lebih
menekankan pada pemahaman secara rasional tanpa melibatkan fisik, yaitu seorang anak
-
harus mampu menilai sejauhmana pentingnya kehadiran suatu materi pelajaran bai
pencapaian prestasi dan kebutuhan hidupnya di masa mendatang.
c. Membersihkan Kelas
Membersihkan kelas merupakan pemberikan punishment yang mendidik bagi anak untuk
belajar tentang mahalnya sebuah kesehatan. Hal ini juga sesuai dengan nilai-nilai Islami,
yaitu kebersihan adalah sebagian iman.
Dalam pemberian hukuman, pendidik (guru) harus mampu menghindari sejauh mungkin
hal-hal yang akan berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis anak. Beberapa jenis
hukuman yang harus diketahui oleh pendidik (guru) adalah sebagai berikut:
1) Hukuman membalas dendam: orang yang merasa tidak senang karena anak berbuat salah,
anak lalu dihukum.
2) Hukuman badan/jasmani: hukuman ini memberi akibat yang merugikan anak, karena bahkan
dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi anak.
3) Hukuman jeruk manis (sinaas appel): menurut tokoh yang mengemukakan teori hukuman
ini, Jan Ligthart, anak yang nakal tidak perlu dihukum, tetapi didekati dan diambil hatinya.
4) Hukuman alam: dikemukakan oleh J.J. Rousseau dari aliran Naturalisme, berpendapat, kalau
ada anak yang nakal, jangan dihukum, biarlah kapok/jera dengan sendirinya (Ahmadi,
2001:157).
Setiap sekolah memiliki peraturan yang harus ditaati bersama, baik kepala sekolah, staf
administrasi, pendidik (guru) maupun anak didik, dan semua yang terlibat dalam proses
pembelajaran (lingkungan sekolah). Aturan tersebut dapat berupa tata tertib sekolah, misalnya
aturan tentang keharusan masuk kelas tepat waktu, mematikan HP waktu di kelas, kedisiplinan
dalam mengerjakan tugas individu maupun kelompok. Bentuk-bentuk hukuman tersebut
diberikan kepada anak sesuai dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya. Peran
bimbingan konseling (BK) di sekolah sangat penting untuk memberikan pengarahan bagi anak
yang sering melanggar peraturan sekolah. BK hendaknya mampu merasionalkan dan
menjelaskan mengapa adanya sebuah peraturan sekolah dan pentingnya sebuah hukum. Dalam
proses pembelajaran anak yang suka ramai hendaknya dipisahkan tempat duduknya di pojok
kelas atau disuruh keluar kelas, anak yang tidak mengerjakan tugas dapat diberikan tugas berlipat
dan pengurangan nilai, anak yang terlambat mengumpulkan tugas dikenakan denda, dan anak
yang sering kali melanggar peraturan dan tidak dapat diampuni kesalahannya, maka diberikan
hukuman diskors (Arikunto,1990:177). Setiap pemberian punishment harus berorientasi pada
penguatan belajar anak. Pemberian hukuman yang Islami hendaknya mendidik anak agar mampu
berpikir sejauhmana kesalahan yang telah dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islami.
Reward dan Punishment dalam Metode Pembelajaran
-
Dalam proses pembelajaran sebaiknya seorang pendidik (guru) harus mampu menguasai
beberapa metode pembelajaran agar anak tidak mengalami kejenuhan dalam menerima pelajaran.
Metode merupakan kunci keberhasilan dalam melakukan transfer of knowlegde dan transfer of
value. Reward dan punishment sebagai bagian dari metode pembelajaran digunakan sebagai
bentuk reinforcement (dorongan) dalam proses pembelajaran. Dalam memberikan reward perlu
adanya pengklasteran konsepsi reward yang ada. Hakekat reward dalam pembelajaran adalah
tiap bentuk penghargaan untuk hasil yang baik atau prestasi yang diberikan oleh pendidik (guru)
kepada anak didik yang berupa kata pujian, gambar bintang, stempel cap bintang dan boneka
tersenyum, serta sesuatu yang berbentuk materi (beasiswa). Pemberian sesuatu yang
menyenangkan sebagai wujud tanda kasih sayang, penghargaan atas prestasi, bentuk dorongan,
sebagai bentuk penguatan positif, maka dalam penempatannya, reward diberikan kepada anak
yang berprestasi, bukan diberikan kepada anak yang gagal dalam belajar atau berperilaku
menyimpang dari ketentuan yang disepakati bersama. Pemberian reward dilakukan dengan
sewajarnya agar tidak terjadi kedengkian antara anak satu dengan yang lain atau menjadikan
permusuhan sesama anak didik.
Pemberian reward hendaknya disesuaikan dengan nilai-nilai yang mendidik sebagai
bentuk motivasi belajar. Pendidik (guru) yang bersifat hangat, pandai bergaul, ramah dan sabar
lebih mementingkan penyeimbangan reward dan punishment. Adapun dalam pemberian reward
yang mengarah pada motivasi diri, minat belajar serta menjadikan anak untuk tetap berada dalam
perilaku yang disepakati secara sosial. Ada beberapa prinsip dalam pemberian reward dan
punishment, antara lain:
1. Reward diberikan berkaitan dengan responsibility anak didik.
2. Pemberian reward dilakukan tidak dalam bentuk pujian yang muluk-muluk.
3. Reward diberikan secara langsung setelah anak sukses atau berhasil dalam tugas dan
berperilaku sesuai kesepakatan sosial karena reward merupakan bentuk reaksi setelah
adanya aksi yang dilakukan mereka.
4. Reward diberikan secara wajar dan realistis, sehingga dapat dihayati anak. Artinya
reward hanya menyangkut usaha anak untuk melakukan sesuatu serta menyangkut hasil-
hasil yang dicapai anak, bukan menyangkut watak dan kepribadiannya.
Pemberian reward harus mampu menjadikan cermin diri yang menampakkan kepada anak
gambaran realistis tentang apa yang diperbuat, mengenai prestasi. Pemberian reward yang
berlebihan berdampak pada anak menjadi manja dan sombong. Secara umum, bentuk reward
adalah kata-kata pujian, pemberian kepercayaan, senyuman dan tepukan punggung, sesuatu yang
bersifat materiil (beasiswa, piagam penghargaan). Dalam setiap pemberian reward di sekolah
diarahkan pada:
-
1. Reward mempunyai arti mendidik, yaitu mengajarkan kepada anak untuk berperilaku
sesuai dengan cara yang disepakati masyarakat. Dalam konteks ini adanya penghargaan
mengisyaratkan pada anak bahwa perilaku itu baik dan disetujui secara sosial.
2. Reward berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara
sosial. Artinya, peran reward positif dalam memotivasi anak untuk melakukan apa yang
dianggap sesuai secara sosial. Pada fungsi ini anak bereaksi positif terhadap persetujuan
yang dinyatakan dalam penghargaan.
3. Berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial adanya reward yang
diberikan digunakan untuk membentuk asosiasi yang menyenangkan dengan perilaku
yang diinginkan.
4. Dalam kerangka pendidikan formal, guru adalah pendidik yang berperan dalam jaringan
rekayasa paedagogis. Oleh karena itu, sebagai bentuk penguatan positif sekaligus
motivasi ekstrinsik dalam jaringan rekayasa paedagogis, pendidik (guru) memberikan
reward untuk memperbaiki disiplin diri dan membangkitkan semangat belajar.
Dari uraian di atas, pada hakekatnya dalam reward terdapat suatu kekuatan yang dapat
mendorong anak untuk melakukan perbaikan. Dengan reward anak merasa bahwa perbuatan
baik yang dilakukannya membuatnya dihormati, disayangi orang lain sebagai bentuk
penghargaan diri, atas usaha tindakan yang telah dilakukan. Dalam memberikan punishment
hendaknya seperti konsepsi hukuman atau punishment yang berasal dari kata kerja latin punire
yang berarti menjatuhkan hukuman pada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau
pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan (Hurlock, 1978:86). Hukuman atau punishment
dipakai sebagai upaya peningkatan kedisiplinan diri, memotivasi belajar dan perbaikan perilaku.
Dari pengertian tersebut, nampak dengan jelas bahwa punishment tidak sebatas pada
menjatuhkan hukuman pada anak karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran,
melainkan juga untuk peningkatan kedisiplinan anak, memotivasi belajar dan perbaikan perilaku
(moralitas). Jadi, maksud metode punishment dalam pembelajaran sebenarnya sebagai bentuk
penguatan negatif yang diberikan kepada anak untuk perbaikan dan penghindaran perilaku
menyimpang secara sosial atau peningkatan kedisiplinan serta sebagai stimulus pembangkit
semangat motivasi belajar. Dalam praktiknya, pemberian punishment setidaknya memperhatikan
dua hal berikut:
1. Berkaitan dengan pelanggaran atas tindakan yang menyimpang dari norma sosial atau
perbaikan tingkah laku dari tindakan amoral yang dilakukan di masyarakat sebagai proses
interaksi antara anak dengan lingkungan masyarakat, maka punishment diberikan secara
langsung oleh pendidik (guru), BK dan pihak sekolah.
2. Berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) merupakan wilayah jaringan
paedagogis pendidik (guru), yang didalamnya ia bertindak mendidik atau mengajar anak.
Dalam pencapaian tujuan untuk membentuk anak yang berakhlakul karimah dan
-
diimbangi dengan kualitas intelektual yang mumpuni, maka semua pendidik (guru) dalam
menggunakan metode ini dalam rangka mengarahkan perubahan perilaku ke arah yang
lebih baik serta peningkatan kedisilpinan anak serta sebagai motivator yang menjadikan
anak belajar, karena pada intinya setiap pendidik (guru) adalah BK bagi setiap anak didik.
Pemberian punishment sering diinterpretasikan secara berbeda dalam bagi anak.
Punishment yang ada lebih menggugah minat diri untuk tetap disiplin dan sebagai bentuk
imbalan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama atau bertindak yang tidak disetujui secara
sosial, dan juga bisa sebagai salah satu bentuk motivasi untuk belajar. Sebagai upaya
menjembatani adanya persepsi yang berbeda terhadap punishment, baik antara pendidik (guru)
versus pendidik (guru), pendidik (guru) versus anak didik, dan anak didik versus anak didik,
maka ada beberapa hal yang dijadikan pijakan sebagai prinsip dalam pemberian punishment,
antara lain:
1. Punishment harus disesuaikan dengan permasalahan dan kondisi anak.
2. Besar kecilnya pelanggaran serta perbedaan individual mempengaruhi bentuk punishment
yang diberikan anak.
3. Hukuman yang diberikan bersifat konsisten. Hal ini dimaksudkan agar anak mengetahui
bahwa kapan saja peraturan itu dilanggar, hukuman itu tidak dapat dihindarkan.
4. Hukuman harus diimbangi dengan penjelasan dari sang pemberi hukuman.
Anak memiliki persepsi yang berbeda terhadap pendidik (guru) serta penerimaan yang
berbeda pula, sehingga sering dijumpai pendidik (guru) dengan metode pembelajaran yang sama,
akan mendapat respon yang berbeda dari anak yang sama pula. Pendidik (guru) dalam
memberikan punishment harus menjelaskan kesalahan anak agar bisa diterima dan berhasil
dalam tugas edukatifnya. Demikian halnya dalam pemberian hukuman, kewibawaan dan
keseriusan pendidik (guru) ikut berperan dalam menentukan efektivitas hukuman yang diberikan.
Dalam hal ini, bentuk hukuman yang diberikan harus bersifat impersonal, sehingga anak tidak
menginterpretasikan sebagai kejahatan si pemberi hukuman, serta ada tindak lanjut dari setiap
pemberian hukuman dan follow up berkaitan dengan pemberian pengertian dan penjelasan
tentang wujud hukuman serta alasan mengapa hukuman diberikan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengembalikan kepercayaan diri anak didik dan menghilangkan rasa dendam dalam diri anak.
Pemakaian metode ini berdampak positif dalam meningkatkan kedisiplinan anak. Tetapi
perlu diperhatikan bahwa hukuman tidak berhenti pada hukuman itu sendiri, perlu ada tindak
lanjut (follow up) pasca pemberian hukuman secara impersonal untuk menghilangkan rasa takut,
minder serta penghapusan rasa dendam dalam diri anak. Bentuk punishment secara umum yang
digunakan oleh para pendidik (guru) adalah pandangan sinis, peringatan dan ancaman,
pemberian alfa, berdiri di depan kelas, hukuman badan dll. Namun dalam pemberian punishment
-
tersebut justru akan menjadikan mereka menjadi takut atau syndrome sehingga ia menjadi rendah
diri.
Secara umum, dalam pemberian punishment dilakukan dengan pengklasteran sebagai
berikut:
1. Pendidik (guru) yang bersifat rutinitas dan eksak cenderung menggunakan hukuman
dalam bentuk peringatan, ancaman dan pengisolasian diri anak sebagai langkah terakhir
untuk memperbaiki perilaku anak didik. Kelompok pendidik (guru) ini akan bersikap
apatis, masa bodoh terhadap kondisi objektif anak baik dari segi belajar maupun minat
belajar. Penyampaian materi dalam KBM menjadi titik fokus sehingga menafikan kondisi
psikis dan jasmani anak.
2. Pendidik (guru) yang bersifat hangat. Pendidik (guru) dalam kelompok ini lebih memilih
penggunaan semua bentuk punishment sesuai dengan perbedaan individual anak. Dengan
melihat latar belakang permasalahan akan ditentukan bentuk hukuman anak mulai dari
peringatan (hukuman ringan) sampai pada hukuman badan.
3. Pendidik (guru) yang bersifat dingin. Adanya sikap kurang sabar dan tidak bersahabat
menjadikan pendidik (guru) dalam kelompok ini lebih memilih tindakan hukuman yang
bersifat praktis, misalnya melempar penghapus, memukul bahkan menempeleng.
Pemberian hukuman fisik digunakan sebagai salah jalan penyelesaian untuk mengarahkan
dan memperbaiki kesalahan anak serta wujud motivator bagi mereka untuk belajar. Dalam hal
ini, seorang pendidik (guru) harus melakukan kontekstualisasi punishment yang setiap
pemberiannya akan diorientasikan pada sikap dan perilaku yang mendidik secara baik, yaitu
dapat berbentuk fisik dan non fisik, misalnya membersihkan kelas, memberikan infak pada
teman dll. Secara teknis pemberian hukuman ini diberikan setelah dilakukan pendekatan kepada
anak dengan mengetahui latar belakang permasalahannya. Setiap pemberian punishment
pendidik (guru) harus bersifat kreatif, imajinatif dan senang eksperimen karena sikap inovatif
yang melekat pada pendidik (guru) berpengaruh dalam penempatan punishment. Pendidik (guru)
juga harus berusaha semaksimal mungkin mencari cara yang terbaik untuk mengatasi segala
bentuk pelanggaran anak. Satu hal yang menjadi titik perbedaan adalah pendidik(guru) kreatif
akan menggunakan cara lain sebagai langkah awal sebelum memberlakukan peringatan ancaman
dan pengisolasian kepada anak.
Kontekstualisasi Reward dan Punishment dalam Pembelajaran
Kontekstualisasi reward dan punishment merupakan konsekuensi metode pembelajaran yang
harus mengalami kemajuan, namun tetap memiliki nilai-nilai norma. Nabi Muhammad saw
adalah insan kamil yang dijadikan sebagai suri teladan bagi umat manusia. Dalam pelaksanaan
tugas kenabian, menyeru ke jalan Allah swt, Nabi Muhammad saw menggunakan cara yang baik
-
dan bijaksana, sekalipun dengan orang kafir, bukan dengan jalan kekerasan, violence. Hal ini
bukan berarti Nabi Muhammad berdiam diri, ketika orang kafir menyerangnya, sehingga
akhirnya Nabi Muhammad saw mampu menjadi warner, pengingat dan revolusioner.
Dalam memberikan guidance, bimbingan kepada manusia untuk tetap berada pada jalan
yang lurus, Allah swt tidak langsung memberikan azab, akan tetapi peringatan, ancaman atau
hukuman. Ancaman atau hukuman tidak memperoleh restu-Nya (Q.S. Al-Hadid :16), ancaman
perang dari Allah swt dan rasul-Nya (Q.S. Al-Baqarah : 278-298), hukuman di dunia dan akhirat
(Q.S. At-Taubah : 39, 74) & (Q.S. An-Nur : 24). Dari sini berarti ada tingkat hukuman yang
berbeda, sesuai dengan tingkat perbuatan manusia. Ada orang yang cukup dengan isyarat,
hatinya sudah bergetar sehingga segera memperbaiki kesalahannya, akan tetapi ada pula yang
baru tergerak oleh peringatan keras, ancaman bahkan hukuman badan. Demikian halnya dalam
pendidikan, ibarat seorang dokter dalam memberikan terapi (obat) kepada pasien, ia harus
mengetahui dengan benar tentang penyakit yang diderita pasien, maka seorang pendidik (guru)
harus bijaksana dalam memberikan punishment pada anak sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Oleh karena itu, dalam pemberian reward dan punishment, pendidik (guru)
harus mampu melihat dengan benar situasi dan kondisi anak dengan tingkat perkembangan
intelektual, emosional, moral, fisik, keagamaan. Karena tidak semua bentuk reward dan
punishment akan diberikan pada anak.
Dalam mewujudkan kualitas pembelajaran perlu adanya kontekstualisasi terhadap reward
dan punishment sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Artinya, reward dan punishment
yang diberikan pada anak harus mampu memotivasi anak sesuai dengan potensi kualitas khas
insani yang dimilikinya serta mampu membentuk kepercayaaan diri menuju aktualisasi diri.
Pendidikan dasar merupakan awal dari perkembangan psikologis anak, maka penerapan reward
dan punishment harus dikontektualisasikan. Kontekstualisasi reward dan punishment pada masa
pendidikan dasar adalah sebagai berikut: Pertama, kontekstualisasi reward pada masa sekolah
dasar (berumur tujuh sampai empat belas tahun) ditandai dengan tingkat perkembangan
intelektual yang sudah mampu berpikir abstrak hipotetikel-logik, pergolakan emosional,
kemampuan menghargai nilai-nilai moral, keinginan untuk tetap dihargai keberadaannya di mata
orang lain, pencarian dan pembentukan jati diri, identitas; Kedua, kontekstualisasi punishment
merupakan kemampuan seorang pendidik (guru) dalam memberikan sebuah hukuman beserta
penjelasan sehingga tidak terjadi pengulangan kesalahan yang telah diperbuat oleh anak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1997. Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta
. 1990. Teknik Belajar yang Efektif, Jakarta: PT Rineka Cipta
Ancok Jamaluddin. 1994. Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: PT Si Press
-
Arifin Sayy H.M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Kritis dan Praktis Berdasarkan
Interdisipliner, Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet III
Arif Hadipranata. 2000. Peran Psikologi di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas
Psikologi UGM.
Daradjat Zakiyah. 1990. Ilmu Jiwa Agama, Cet. III, Jakarta: PT Bulan Bintang
. 1975. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta: PT Bulan
Bintang
Djamarah, B Syaiful. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: PT Reneka
Cipta
-. 2002 Psikologi Belajar, Jakarta: PT Rineka Cipta
Hadipranata Arif. 2000. Peran Psikologi di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas
Psikologi UGM
Hamalik Oemar. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung: PT Sinar Baru Algesindo
Hurlock B Elizabet. 1978. Perkembangan Anak, Alih Bahasa Med, Maitasari Tjandra, Dalam
Child Development, Jakarta: PT Erlangga
M. Arifin. 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara
Nasution. 2000. Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta: PT Bumi Aksara
Purwanto Ngalim,.1997. Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Sardiman, A.M. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Sumanto, Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta:
PT Rineka Cipta, Cet 3