PUBLIK : TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER....

13
PENGEMBANGAN KARIER PEREMPUAN DI BIROKRASI PUBLIK : TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER. Oleh : Sri Yuliani Program Studi Administrasi Negara FISIP UNS The test for whether or not you can hold a job should not be the arrangement of your chromosomes. ~Bella Abzug Feminism directly confronts the idea that one person or set of people [has] the right to impose definitions of reality on others. ~Liz Stanley and Sue Wise Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan di semua ranah : publik maupun privat, domestik-reproduktif maupun produktif. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarjinalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa dituding sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki. Dalam studi adminitrasi negara, analisa yang menelaah perbedaan gender dalam organisasi atau birokrasi – disebut perspektif gender atau feminis – baru muncul sekitar tahun 1990-an. Tumbuhnya kesadaran akan ketidakadilan gender dalam administrasi negara tidak lepas dari fakta makin banyaknya perempuan yang terjun di organisasi publik, serta dipicu pula oleh semakin kuatnya tuntutan akan penghargaan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi. Perspektif gender dalam teori administrasi negara tidak hanya sekedar membicarakan isu partisipasi perempuan dalam birokrasi, tapi terlebih menggugat dominasi perspektif laki-laki (maskulin) dalam teori organisasi (Acker dalam Shafritz, 1997). Acker menyebutkan empat proses dalam organisasi yang didominasi oleh cara pandang laki-laki , yaitu : (1) pembagian kerja berdasar gender,(2) penciptaan simbol dan citra organisasi yang maskulin, (3) interaksi yang ditandai oleh hubungan dominasi dan

Transcript of PUBLIK : TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER....

PENGEMBANGAN KARIER PEREMPUAN DI BIROKRASI

PUBLIK : TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER.Oleh : Sri Yuliani

Program Studi Administrasi Negara FISIP UNS

The test for whether or not you can hold a job should not be the arrangement of your chromosomes.  ~Bella Abzug

Feminism directly confronts the idea that one person or set of people [has] the right to impose definitions of reality on others.  ~Liz Stanley and Sue Wise

Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di

hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan di semua ranah : publik maupun privat,

domestik-reproduktif maupun produktif. Dalam organisasi publik dapat dikatakan

perempuan berada pada posisi termarjinalkan. Sistem budaya patriarkal yang

menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai

wilayah laki-laki, biasa dituding sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah

perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.

Dalam studi adminitrasi negara, analisa yang menelaah perbedaan gender dalam

organisasi atau birokrasi – disebut perspektif gender atau feminis – baru muncul sekitar

tahun 1990-an. Tumbuhnya kesadaran akan ketidakadilan gender dalam administrasi

negara tidak lepas dari fakta makin banyaknya perempuan yang terjun di organisasi

publik, serta dipicu pula oleh semakin kuatnya tuntutan akan penghargaan nilai-nilai hak

asasi manusia dan demokrasi.

Perspektif gender dalam teori administrasi negara tidak hanya sekedar

membicarakan isu partisipasi perempuan dalam birokrasi, tapi terlebih menggugat

dominasi perspektif laki-laki (maskulin) dalam teori organisasi (Acker dalam Shafritz,

1997). Acker menyebutkan empat proses dalam organisasi yang didominasi oleh cara

pandang laki-laki , yaitu : (1) pembagian kerja berdasar gender,(2) penciptaan simbol dan

citra organisasi yang maskulin, (3) interaksi yang ditandai oleh hubungan dominasi dan

subordinasi, dan (4) mental kerja yang dibentuk oleh pemahaman akan struktur kerja,

kesempatan serta perilaku dan sikap yang bias gender.

Tulisan ini hendak membahas teori-teori yang menganalisis proses terjadinya

perbedaan gender di dunia kerja, serta bagaimana analisa tersebut dapat digunakan untuk

menelaah peluang dan hambatan yang dihadapi perempuan dalam mengembangkan

karier di birokrasi publik.

KONDISI DAN POSISI PEREMPUAN DI ORGANISASI PUBLIK.Seperti kebanyakan perempuan di penjuru dunia lainnya, kondisi dan posisi

perempuan Indonesia di organisasi publik dapat dikatakan memprihatinkan. Banyak data

dan fakta menunjukkan adanya kesenjangan dan diskriminasi gender dalam lembaga

negara, baik lembaga politik maupun birokrasi.

Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 1995 menyebutkan bahwa sampai tahun

1995, hanya sekitar 6 persen posisi menteri di dunia dijabat oleh perempuan ; 14 persen

posisi administrasi dan manajerial di tangan perempuan; hanya 10 persen kursi parlemen

diduduki perempuan (Hartiningsih dalam Kompas, 29 Juli 2002). Lebih lanjut dinyatakan

, meskipun terdapat kenaikan perempuan di parlemen-parlemen nasional di 103 negara,

perwakilan perempuan tidak berubah di 17 negara dan bahkan menurun di 40 negara

pada periode tahun 1995 – 2000. Partisipasi perempuan di parlemen di seluruh dunia

pada tahun 2000 rata-rata hanya sekitar 14 persen.

Kondisi yang sama nampaknya juga ditemui di Indonesia. Secara umum dapat

dikatakan kondisi perempuan di Indonesia paling buruk di wilayah ASEAN. Berdasarkan

Pengukuran Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measure/GEM), Indonesia

menempati urutan ke 56 dengan angka-angka sebagai berikut : a) perempuan dalam

parlemen 12,2 %, b) kedudukan administrasi dan manajer 6,6 %, c) profesional dan

pekerja non tehnis 40,8 % , dan d) penghasilan perempuan 25,3 %.

Kondisi serupa juga ditemukan di birokrasi di Australia. Hasil penelitian Brown

(1997) tentang pemerataan pendapatan di birokrasi publik di tiga negara bagian di

Australia menyebutkan bahwa sebagian besar perempuan terkonsentrasi pada jabatan

rendah dengan tingkat gaji yang rendah pula dan sebagian besar mereka bekerja di

bagian administratif bukan sebagai pengambil kebijakan. Lebih lanjut dikatakan tidak

semua perempuan mendapat akses untuk bisa mengembangkan karier, hingga dapat

mencapai posisi puncak. 26 persen dari pegawai yang berada di bagian administrasi dan

bergaji rendah , mengalami pengembangan karier yang tersendat. Yang memprihatinkan

ternyata 80 persen dari 26 persen pegawai tersebut adalah perempuan.

Di lingkungan birokrasi di Indonesia, kondisi atau gambaran mengenai peran

perempuan tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Kerry Brown di Australia. Dalam

jajaran birokrasi di Indonesia, baru 8 % perempuan yang menduduki jenjang eselon I dan

eselon II .Jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

seperti Thailand 29 %, Filipina 51,2% dan Singapura58,7%. Sebagaimana tercantum di

Tabel 1, dari 30 Gubernur di Indonesia tidak ada satupun yang perempuan, bahkan untuk

jabatan Camat dan Kepala Desa belum semua propinsi yang ada pejabat perempuannya.

Dilihat dari struktur kepegawaian PNS, Mayling-Oey menyebutkan bahwa

struktur kepegawaian PNS membentuk belah ketupat, yaitu kecil dibagian atas dan bawah

( golongan IV dan I) , tetapi melebar di tengah (golongan II dan III). Semakin tinggi

golongannya, makin rendah jumlah perempuan PNS. Jumlah perempuan PNS menurun

tajam dari 32 persen pada golongan IV-a menjadi 17 persen ketika naik ke golongan IV-b

(Kompas, 22 Oktober 2001). Berdasarkan pada data dan fakta ini, menarik untuk

diketahui faktor-faktor apa yang menyebabkan ketimpangan gender di dunia kerja.

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN.

Epstein (1988) mengemukakan tiga kelompok teori yang menjelaskan proses

terjadinya perbedaan gender di dunia kerja yaitu :(1) teori sosialisasi peran gender, (2)

teori modal manusia (human capital theory), dan (3) teori sosial struktural. Teori

sosialisasi menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin menyebabkan perbedaan

karakteristik pribadi, ketrampilan dan preferensi. Menurut perspektif ini pandangan

budaya mengenai sikap dan perilaku yang patut atau pantas bagi masing-masing jenis

kelamin disosialisasikan pada anak gadis dan laki-laki melalui pesan-pesan orang tua,

citra atau ‘image’ yang dibentuk media , dan komunikasi dengan guru dan teman. .

Sosialisasi juga menyangkut perbedaan orientasi, preferensi dan kompetensi laki-laki dan

perempuan yang berpengaruh pada penentuan jenis pekerjaan yang pantas menurut jenis

kelamin. Ada beberapa studi yang menunjukkan bahwa orang tua lebih menaruh

pengharapan yang tinggi pada masa depan anak laki-lakinya daripada anak perempuan.

Sikap ini berhubungan dengan kemungkinan pengembangan karier laki-laki yang lebih

besar yang diukur dari promosi , gaji, dan perbedaan lainnya.

Teori modal manusia yang bersumber pada teori ekonomi neoklasik

mengemukakan bahwa pembedaan gender dalam dunia kerja yang menempatkan

perempuan pada pekerjaan dan posisi yang bergaji rendah terkait dengan pilihan

ekonomis rasional. Teori ini berpendapat perilaku ekonomi manusia didorong oleh hasrat

untuk memaksimalkan kepentingannya (utility). Menurut perspektif ini pembedaan peran

antara pencari nafkah (breadwinner) dan urusan rumahtangga (homemaker) didasarkan

pada penilaian tentang manfaat atau utilitas yang ditimbulkan oleh adanya pembagian

peran ini. Berkaitan dengan pilihan kerja pada jenis pekerjaan ‘perempuan’, teori modal

manusia berpendapat bahwa orang memilih jenis pekerjaan tertentu dan mengikuti

pelatihan atau kursus dengan tujuan memaksimalkan pendapatan yang akan diperoleh.

Karena perempuan cenderung akan meninggalkan pekerjaannya saat menjadi ibu , maka

mereka tidak mengikuti (berinvestasi) pelatihan tertentu yang dapat mendukung

pengembangan kariernya. Sebaliknya, mereka lebih memilih jenis pekerjaan yang tidak

membutuhkan ketrampilan manajerial tinggi dan menjanjikan prospek pengembangan

karier. Akibatnya, perempuan terkonsentrasi pada pekerjaan perempuan yang identik

dengan pekerjaan administratif yang memberikan imbalan gaji rendah.

Teori sosial struktural menyatakan karier perempuan ditentukan oleh adanya

peluang atau kesempatan. Kesempatan perempuan terbatas karena ada penghalang yang

membatasi akses mereka untuk memperoleh pekerjaan yang didominasi laki-laki.

Penghalang disini meliputi jalur rekruitmen yang mensyaratkan pelatihan dan magang,

diskriminasi atasan yang bersumber dari kecurigaan pihak atasan maupun pekerja yang

timbul dari keyakinan atau sikap tentang karakteristik kerja laki-laki dan perempuan dan

jenis tugas atau pekerjaan apa yang pantas bagi tiap-tiap gender .

Dari berbagai teori yang menyoroti perbedaan gender dalam dunia kerja pada

intinya menyiratkan kesimpulan yang sama yakni peluang atau kesempatan perempuan

untuk mencapai jenjang karier yang tinggi memang sangatlah sulit. Turner dan Hulme

(1997) mengemukakan beberapa faktor yang bisa menjadi peluang maupun hambatan

bagi pengembangan karier perempuan di birokrasi publik. Faktor tersebut mulai dari

faktor umum dan mendasar seperti sistem sosial budaya sampai faktor internal organisasi.

Dari sisi faktor yang paling dasar, sikap dan perilaku perempuan ,dan masyarakat pada

umumnya, dipengaruhi sosialisasi nilai-nilai sosial budaya yang disampaikan melalui: (1)

media, (2) keluarga, (3) agama,(4) komunitas dan (5) budaya .

Di saat ini media merupakan saluran yang efektif untuk mensosialisasikan sistem

nilai yang mendasar ke seluruh lapisan masyarakat. Sementara itu, keluarga dalam

masyarakat Indonesia dan di belahan dunia pada umumnya banyak dipengaruhi sistem

patriarkal, dan ini menghambat perempuan untuk mengambil keputusan untuk

menentukan nasibnya sendiri. Demikian pula nilai-nilai agama, masyarakat dan budaya

mengandung unsur-unsur penghambat yang mengakibatkan perempuan berada pada

posisi subordinat laki-laki, dalam keluarga maupun organisasi.

Sikap dan nilai-nilai yang diyakini sebagai akibat dari internalisasi faktor-faktor

diatas , kemudian ikut mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap

kesempatan memperoleh pendidikan bagi perempuan . Dalam hal ini ada tiga faktor yang

berpengaruh, yaitu : (1) keputusan orang tua untuk mengirim anak perempuan ke sekolah,

(2) ketersediaan bidang-bidang bagi perempuan, dan (3) keputusan perempuan sendiri

untuk mewujudkan ambisi dan keinginannya.

Ada kecenderungan anak laki-laki diberi kesempatan lebih luas daripada

perempuan untuk memperoleh pendidikan. Orang tua dalam hal ini ikut menentukan

apakah anak perempuannya akan disekolahkan atau tidak. Diskriminasi paling nyata yang

dialami perempuan adalah diskriminasi pendidikan. Hal ini terutama terjadi pada

keluarga yang mengalami keterbatasan keuangan. Jika dihadapkan pada satu pilihan,

maka umumnya prioritas pendidikan diberikan kepada anak laki-laki, tanpa melihat

kemampuannya.

Selanjutnya bagi perempuan yang telah memperoleh pendidikan mereka dapat

memasuki posisi-posisi tertentu dalam birokrasi. Akan tetapi, menurut Col (dalam

Turner dan Hulme,1997), untuk dapat menduduki jabatan-jabatan dalam birokrasi ada

tiga faktor yang berpengaruh yakni: (1) tingkat keyakinan atasan atau pimpinan akan

kemampuan perempuan untuk bekerja seperti halnya laki-laki, (2) kesediaan atasan atau

pimpinan memberikan perlakuan khusus bagi perempuan terutama yang menyangkut

fungsi kesehatan reproduksinya, dan (3) keyakinan atasan akan kemampuan atau

kompetensi kerja perempuan

Kendala pertama merupakan pandangan umum yang ditujukan pada tenaga kerja

perempuan yakni seolah-olah kemampuan kerja perempuan lebih rendah dibanding laki-

laki. Sedangkan faktor kedua menyangkut kodrat perempuan yang harus menjalankan

fungsi reproduksi seperti haid dan melahirkan. Ini berarti seorang pimpinan yang

memperkerjakan perempuan harus bersedia memberikan cuti bagi pegawai perempuan

yang sedang melahirkan . Jika fasilitas yang menyangkut fungsi kesehatan reproduksi

tidak tersedia atau tidak memadai , maka perkembangan karier perempuan akan

tersendat. Ini berarti hambatan karier yang hanya dapat diatasi bila pihak organisasi atau

pimpinan mempunyai wawasan dan kebijakan yang sensitif gender. Kendala yang lebih

parah lagi adalah ketidakpercayaan pimpinan akan kapabilitas kerja perempuan terkait

dengan karakteristik gendernya seperti pandangan bahwa perempuan mudah emosional,

kurang rasional, tidak ulet dalam menghadapi tantangan,dan sebagainya.

Selanjutnya, ketika perempuan sudah menduduki posisi tertentu, maka ada

beberapa faktor yang berpengaruh besar terhadap kesempatan perempuan untuk

menduduki jenjang jabatan puncak. Faktor-faktor tersebut adalah : faktor struktural ,

dukungan dan perilaku. Faktor struktural mencakup perbedaan gaji, jenjang karir yang

tidak imbang , aturan promosi yang diskriminatif, distribusi jabatan dan sistem evaluasi

yang bias gender, serta aturan hukum yang berlaku. Faktor dukungan mencakup urusan

rumah tangga, urusan anak, hubungan rekan sejawat, solidaritas diantara perempuan,

organisasi perempuan, dan asosiasi profesional. Sedangkan faktor perilaku mencakup

pelatihan, kontak personal atau jaringan, motivasi untuk memperoleh keberhasilan,

keberanian menanggung resiko, fleksibilitas, keberanian memegang kekuasaan, keahlian

sebagai supervisor, kemampuan membangun tim kerjasama, dan tidak adanya pembedaan

peran.

Penjelasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan karier perempuan

menurut Turner dan Hulme tergambar dalam bagan berikut :

Sumber : Col J.M.Women in Bureaucracies : Equity, Advancement and Public Policy Strategies (dalam Turner dan Hulme,1997)

Cara memahami hambatan karier perempuan di birokrasi dari dimensi yang

berbeda dikemukakan Mary Guy (1993). Guy menyebutkan tiga faktor determinan

dalam pengembangan karier perempuan di organisasi publik yakni kesempatan,

kekuasaan, dan jumlah (proporsi). Tinggi rendahnya kesempatan, besar kecilnya

kekuasaan dan jumlah perwakilan (representasi) akan berpengaruh terhadap administrasi

negara dan implementasi program. Terkait dengan ini, Kanter (dalam Guy,1993)

menyatakan serangkaian hipotesa yang berkenaan dengan faktor struktural yang

menentukan perilaku organisasi. Faktor-faktor ini memunculkan dan menjelaskan status

perempuan dalam administrasi negara. Hipotesa Kanter menyebutkan bahwa orang yang

mempunyai kesempatan mengembangkan karier yang rendah menunjukkan perilaku

berbeda dengan orang yang kesempatan kariernya tinggi. Kesempatan berhubungan erat

dengan pengharapan dan prospek mengalami mobilitas dan pertumbuhan. Mereka yang

mempunyai kesempatan tinggi cenderung memiliki aspirasi yang tinggi, lebih tertarik

dengan orang berkuasa, kompetitif, dan mempunyai komitmen tinggi pada organisasi dan

kariernya. Mereka sangat menghargai kompetensinya, dan menjadi tidak sabar dan tidak

puas apabila kariernya terhambat. Sebaliknya, mereka yang mempunyai kesempatan kecil

, mempunyai aspirasi terbatas, mencari kepuasan dalam kegiatan diluar kerja , lebih

berorientasi horizontal daripada vertikal. Mereka mencari penghargaan melalui hubungan

personal dan lebih memperhatikan kelangsungan pekerjaannya dan penghargaan

ekstrinsik.

Kanter juga mengemukakan pendapat tentang kekuasaan yang dirumuskannya

sebagai kapasitas untuk memobilisasi sumber daya. Orang dengan kekuasaan organisasi

yang rendah cenderung memiliki moril kelompok yang rendah, berperilaku otoriter, dan

suka menggunakan pendekatan paksaan (coercive) daripada persuasif. Mereka suka

melakukan fungsi kontrol dan suka mengkritik. Orang yang mempunyai kekuasaan

organisasi yang tinggi menunjukkan moril kelompok yang tinggi, berperilaku lebih

fleksibel atau tidak kaku, dan banyak mendelegasikan fungsi kontrol. Mereka

mengijinkan bawahan untuk melakukan diskresi dan siap menolong bukannya menjadi

penghambat teman kerja.

Faktor ketiga yang dikemukakan Kanter disebut sebagai proporsi. Konsep ini

berhubungan dengan komposisi orang-orang yang berada dalam situasi sama. Ini

menyangkut jumlah atau banyaknya orang yang mempunyai tipe sama. Orang yang

jenisnya berjumlah sedikit akan lebih mudah kelihatan atau dikenali. Mereka akan

terpaksa menyesuaikan diri dan berusaha untuk tidak membuat kesalahan, sebab mereka

merasa sulit memperoleh kredibilitas. Mereka sering merasa terisolir atau termarjinalkan

atau tidak diiikutkan dalam jaringan hubungan rekan sekerja informal. Akibatnya

kekuasaan yang dibangun lewat jaringan sangat terbatas. Lebih jauh lagi mereka kadang

diperangkap dalam peran atau stereotipe yang membatasi efektivitas kerjanya. Orang

yang jenisnya mempunyai jumlah atau proporsi yang banyak akan merasa nyaman dan

mudah memperoleh kredibilitas. Mereka nampaknya mudah diterima dalam jaringan

hubungan informal ataupun membuat aliansi dengan rekan sejawat.

Kombinasi ketiga faktor ini akan membentuk lingkaran yang akan menghasilkan

kesempatan, kekuasaan dan proporsi yang semakin besar dan terus menerus (self-

perpetuating cycles). Mereka yang mempunyai kesempatan tinggi akan berperilaku yang

menghasilkan lebih banyak kesempatan, yang selanjutnya akan menghasilkan kekuasaan

yang lebih besar pula. Kesempatan dan kekuasaan keduanya otomatis diikuti oleh

pendukung yang merupakan jumlah atau proporsi terbesar dalam angkatan kerja sehingga

satu anggota kelompok yang berbeda tidak akan mudah dikenali. Gabungan kesempatan,

kekuasaan dan jumlah atau proporsi akan menyebabkan lingkaran keuntungan selalu

menuju ke lapisan atas, sedang yang tidak menguntungkan menuju ke lapisan bawah.

Lingkaran kesempatan, kekuasaan dan jumlah yang tinggi akan menyulitkan pendatang

baru (misalnya perempuan) untuk menghancurkan lingkaran angkatan kerja yang mapan.

Lebih lanjut Guy (1993) menyatakan langit-langit kaca yang menghambat

perempuan untuk mencapai posisi puncak , sebagian disebabkan oleh efek tokenisme

dan harapan akan peran gender yang dibebankan pada perempuan. Perempuan yang

mencapai posisi puncak birokrasi kuatir kalau-kalau dirinya diidentifikasi sebagai

pahlawan kaum perempuan. Ia takut apakah ia bisa dijadikan wakil (simbol atau token)

dari banyak kaum perempuan. Dalam situasi semacam ini, perempuan dihadapkan pada

apa yang disebut sebagai ‘dilemma of tokens’. Jika secara langsung merespon harapan

kaum perempuan yang mereka wakili, mereka akan kehilangan kredibilitas di mata

kelompok dominan (laki-laki). Jika mengabaikan harapan kelompoknya sendiri, mereka

akan dituduh hanya sebagai token atau simbol. Apabila perempuan terlalu asertif, mereka

akan dicap terlalu agresif dan tidak feminin, sehingga dipandang tidak mewakili

gendernya. Jika terlalu kooperatif akan dianggap terlalu lemah untuk bisa mewakili

perjuangan kaumnya.

PENTINGNYA SOLIDARITAS.

Menyadari begitu kompleksnya tantangan yang dihadapi perempuan dalam meniti

karier di organisasi publik. Timbul pertanyaan pokok : bagaimana perempuan harus

mensikapi hambatan dan peluang yang ada? Langkah mendasar apa yang bisa

direkomendasikan untuk mengurangi atau bahkan menghapus diskriminasi gender dalam

dunia kerja?

Berbicara tentang sikap dan respon perempuan kita berbicara tentang

karakteristik perempuan yang tidak homogen. Pandangan perempuan tentang karier dan

dinamika dunia kerja sangatlah beragam. Tidak banyak perempuan yang menyadari

adanya ketimpangan gender ataupun sadar bahwa dirinya menjadi korban atau pihak

yang dirugikan oleh struktur sosial yang bias gender. Sosialisasi dan internalisasi nilai-

nilai sosial budaya (patriarki) yang mapan dan dijustifikasi oleh (interpretasi) nilai-nilai

agama membuat kebanyakan perempuan melihat ketidakadilan gender sebagai suatu

kodrat, suatu hal yang sudah semestinya, dan sebagai tugas mulia perempuan yang akan

mendapatkan ganjaran pahala. Untuk merubah nilai penopang praktek-praktek

ketidakadilan gender yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menyatukan persepsi

perempuan dan menumbuhkan kesadaran akan adanya tembok penghalang besar yang

menghambat pengembangan potensi perempuan sepenuhnya, yakni : sistem patriarki.

Langkah apa yang ditempuh untuk menyatukan persepsi perempuan tentang

tatanan yang diskriminatif tersebut? Pertama-tama harus ditumbuhkan dulu solidaritas

di kalangan perempuan. Selama ini justru rasa senasib sebagai pihak yang terpinggirkan

tidak atau belum tergalang diantara perempuan. Bahkan tampaknya persaingan diantara

perempuan yang menonjol. Ada semacam stereotipe kalau perempuan mempunyai sifat

iri, cemburu dan tidak suka dengan perempuan yang memiliki keunggulan. Akibatnya,

dalam dunia kerja mereka lebih suka menggalang kerjasama ataupun aliansi dengan laki-

laki. Seringkali perempuan suka mengalihkan kesempatan atau tawaran kerja yang tidak

bisa mereka jalankan kepada laki-laki daripada memberikannya kepada sesama rekan

perempuan.

Sesungguhnya kecemburuan atau perilaku kompetitif diantara perempuan tidak

sepenuhnya cerminan dari sifat atau karakteristik gender perempuan. Gejala ini lebih

tepat dipahami dari kacamata analisis Kanter tentang tiga faktor dominan dalam

pengembangan karier perempuan : kekuasaan, kesempatan dan proporsi. Proporsi

perempuan di organisasi publik yang rendah membuat kompetisi diantara mereka sangat

tinggi. Kekuasaan yang didominasi laki-laki membuat perempuan lebih suka

menggalang kekuatan dengan kelompok mapan daripada dengan sesama perempuan.

Kekuasaan berhubungan erat dengan kesempatan. Keuntungan , fasilitas dan peluang

mendapatkan jabatan akan mengalir keatas yakni ke kelompok mapan yang sekaligus

merupakan kelompok mayoritas (laki-laki). Sebaliknya ketidakberuntungan dan

hambatan karier akan mengalir ke bawah , ke kelompok marginal atau minoritas

(perempuan). Karena itu, kalau perempuan lebih memilih laki-laki sebagai rekanannya,

ini lebih sebagai strategi perempuan untuk bisa ‘survive’ di wilayah kerja : wilayah laki-

laki. Bukan semata-mata karena karakteristik gendernya.

Solidaritas perempuan, oleh Col (dalam Turner dan Humble, 1997) disebutkan

sebagai salah satu faktor pendukung dalam pengembangan karier perempuan, menjadi

prasyarat penting untuk menyatukan persepsi dan respon sekaligus dasar pembentukan

jaringan diantara berbagai kelompok perempuan. Kita tidak bisa menuntut laki-laki untuk

memahami dan mendukung perubahan nilai sosial budaya yang merugikan perempuan,

jika diantara para perempuan sendiri tidak ada kesepahaman dan kesatuan tekad untuk

merubah nilai-nilai tersebut.

Disamping faktor solidaritas perempuan yang tak kalah pentingnya adalah

menumbuhkan pemahaman dan kesadaran laki-laki tentang adanya tatanan budaya yang

tidak adil dan bertentangan dengan nilai hak asasi manusia. Selama ini laki-laki punya

persepsi negatif terhadap istilah gender dan feminisme. Kebanyakan mereka menafsirkan

istilah tersebut sebagai gerakan perempuan yang identik dengan upaya untuk merubah

pembagian kerja berdasar jenis kelamin dan tuntutan perempuan untuk terjun di wilayah

yang selama ini dikuasai laki-laki. Akibatnya timbul kecurigaan dan sikap sinis terhadap

segala sesuatu yang berbau kedua istilah tersebut.

Yang perlu dilakukan adalah sosialisasi gender di semua kalangan laki-laki.

Mereka harus menyadari bahwa perbedaan gender tidak hanya merugikan perempuan tapi

juga laki-laki. Pengkotakan peran sosial laki-laki dan perempuan tidak sesuai lagi dengan

perubahan zaman yang menuntut kerja bareng kedua jenis kelamin agar dapat bertahan

hidup dan memenuhi tingkat kebutuhan yang semakin kompleks. Semakin tinggi jenjang

pendidikan membuat kebutuhan manusia tidak lagi hanya memenuhi kebutuhan pokok

tapi juga pengembangan diri. Perempuan yang telah mengenyam dunia pendidikan

sebagai hasil gerakan emansipasi, tidak lagi puas kalau dikungkung pada peran domestik.

Mereka perlu terjun ke dunia kerja untuk mempraktekkan ilmu yang diperoleh. Bukan

zamannya lagi perempuan hanya sebagai ibu rumahtangga. Sebagai manusia perempuan

mempunyai apa yang oleh Maslow disebut sebagai ‘self-actualization needs’, mereka

butuh lahan untuk mengekspresikan dan mengembangkan potensi intelektualitasnya.

Integrasi perempuan di dunia kerja menjadi problem ketika nilai sosial budaya

tidak siap atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial tersebut.

Tatanan sosial tetap membebankan fungsi domestik sebagai tugas perempuan. Akibatnya

perempuan yang terjun di dunia kerja harus mengemban peran ganda. Hal yang tidak

berlaku bagi laki-laki . Ini yang harus dipahami semua pihak, bahwa perempuan tidak

dalam posisi start yang sama dengan laki-laki di dunia kerja. Karena itu , salah apabila

ada pendapat ataupun kebijakan yang menyamakan kemampuan laki-laki dan perempuan

dalam pengembangan karier. Ada langit-langit kaca yang menghalangi karier perempuan

menuju posisi puncak, yang itu tidak dihadapi oleh laki-laki.

Kebijakan kepegawaian yang tidak sensitif gender lahir dari ketidaktahuan

pengambil kebijakan (yang kebanyakan laki-laki) akan beratnya beban peran yang

diemban perempuan. Untuk itu perlu membangkitkan solidaritas laki-laki terhadap upaya

kesetaraan gender. Hal ini penting, karena dalam struktur masyarakat patriarkal dimana

kekuasaan melakukan perubahan ada di tangan pemegang kekuasaan yang notabene laki-

laki , maka usaha merubah tatanan yang mapan sulit dilakukan tanpa ada dukungan dan

kehendak baik ataupun ‘political will’ dari si pemegang kekuasaan. Kunci penyadaran

adalah kesatuan pemahaman dan persepsi tentang makna keadilan gender. Keadilan

gender adalah wujud dari komitmen pada penghargaan terhadap harkat dan martabat

manusia laki-laki maupun perempuan sebagai makhluk Tuhan yang harus diperlakukan

sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaannya dan bukan semata-mata perjuangan

kepentingan salah satu gender.

(Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Pusat Studi Pengembangan Gender UNS WanodyaNo.16 Tahun XIV Tahun 2004 )

REFERENSI :Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Classic of Public Administration, Harcourt Brace

College Publishers, Florida. Fourth Edition 1997.

Maria Hartiningsih, 2001. Satu Tahun Kaukus Perempuan dan Politik Langkah Awal dari

Perjalanan Tak Berujung, Kompas 29 Oktober

---------------, Kompas 29 Oktober 2001

Kerry Brown, 1997. Evaluating Equity Outcome of Three Housing Agencies, dalam

Australian Journal of Public Administration, December.

Kompas ,2001. Retak Langit-Langit Kaca Saringan Ampuh Penghambat Perempuan, 22

Oktober 2001

Cynthia Fuchs Epstein ,1988. Deceptive Distinction: Sex, Gender, and The Social Order,

Yale University Press, New Haven.

Mike Turner dan David Hulme, 1997. Governance, Administration and Development,

Making The State Work, Macmillan Press Ltd, London

Kompas 1 Oktober 2001Kristina Setyowati dan Sri Yuliani, 2004. Hambatan-Hambatan Dalam Pengembangan

Karier PNS Perempuan di Birokrasi Publik (Studi di Sekretariat Daerah

Sragen). Draft Laporan Penelitian DIK.S UNS.

Mary Guy, 1993. Three Steps Forward, Two Steps Backward : The Status of Women’s

Integration into Public Management. Public Administration Review. July/August

, Vol. 53, No.4.

Kompas 24 Juni 2002