Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan ...

16
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill 7 Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill pada Semester VIII Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto Isno a * a Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto *Koresponden penulis: [email protected] Abstract Prospective 21st century primary education teachers who are effective should have a thorough understanding and knowledge of key concepts that drive all content instruction. These key concepts, connected to other core standards, include candidate knowledge and assessment, the nature of the learner, school governance and culture, learning and development theory, the use of critical technology and an understanding of how art influences and interacts. with all other content areas. In addition, prospective teachers should have the necessary information regarding time management, planning for acquisition, dissemination and management of materials and equipment (NCDPI, 2009). The purpose of this study are: 1) Describe the influence of multiliteracy learning on the ability of academic writing in Semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. 2) Describe the influence of multiliteracy learning on Teaching skill in Semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. From the analysis can be summarized as follows: 1) From the analysis known that Multiliteracy Learning to the ability of academic writing in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto with the value obtained Fhitung 15 641 (significance F = 0,000). So Ft> Ftable (14 660> 1.60) or Sig F <5% (0,000 <0.05). This means that learning with multiliteracy learning has an effect on the ability of academic writing in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. then the null hypothesis (H0) is rejected and the Hypothesis of work (H1) is accepted. 2) From the results of the analysis shows that multiliteracy learning on Teaching skill in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto value obtained Fhitung 2,924 (significance F = 0,007). So F arithmetic> F table (2,924> 1.70) or Sig F <5% (0.009 <0.05). This means learning with multiliteracy learning to influence learning achievement in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. Keywords: Multiliteracy Learning, academic writing, Teaching skill A. Latar Belakang Arus global memberi pengaruh kuat terhadap kebijakan, praktik, dan kelembagaan pendidikan. Pendidikan dihadapkan kepada tuntutan seperti fleksibilitas dan adaptasi, misalnya, untuk menyahuti tuntutan dan kesempatan dunia kerja. Dengan demikian kegiatan kelas dan pembelajaran pun hendaknya memberi peserta didik bekal yang diperlukan untuk hidup berdampingan dengan mereka yang berlatar belakang sosio-kultural, politik, ideologi, dan agama yang beragam. Pada sisi lain, pembelajaran juga harus mampu mengokohkan a sense ofidentity dalam keragaman afiliasi pandangan, paham, atau ideologi (Burbules & Torres, 2000; Baedowi, (2015:3). Kondisi pendidikan Indonesia dalam pespektif standar global belum mampu brought to you by CORE View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk provided by STIT Raden Wijaya: Journal Online of Education

Transcript of Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan ...

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill

7

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill pada Semester VIII Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah

Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto

Isno a*

aProgram Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto

*Koresponden penulis: [email protected]

Abstract

Prospective 21st century primary education teachers who are effective should have a thorough understanding and knowledge of key concepts that drive all content instruction. These key concepts, connected to other core standards, include candidate knowledge and assessment, the nature of the learner, school governance and culture, learning and development theory, the use of critical technology and an understanding of how art influences and interacts. with all other content areas. In addition, prospective teachers should have the necessary information regarding time management, planning for acquisition, dissemination and management of materials and equipment (NCDPI, 2009). The purpose of this study are: 1) Describe the influence of multiliteracy learning on the ability of academic writing in Semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. 2) Describe the influence of multiliteracy learning on Teaching skill in Semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. From the analysis can be summarized as follows: 1) From the analysis known that Multiliteracy Learning to the ability of academic writing in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto with the value obtained Fhitung 15 641 (significance F = 0,000). So Ft> Ftable (14 660> 1.60) or Sig F <5% (0,000 <0.05). This means that learning with multiliteracy learning has an effect on the ability of academic writing in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. then the null hypothesis (H0) is rejected and the Hypothesis of work (H1) is accepted. 2) From the results of the analysis shows that multiliteracy learning on Teaching skill in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto value obtained Fhitung 2,924 (significance F = 0,007). So F arithmetic> F table (2,924> 1.70) or Sig F <5% (0.009 <0.05). This means learning with multiliteracy learning to influence learning achievement in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto.

Keywords: Multiliteracy Learning, academic writing, Teaching skill

A. Latar Belakang

Arus global memberi pengaruh kuat

terhadap kebijakan, praktik, dan

kelembagaan pendidikan. Pendidikan

dihadapkan kepada tuntutan seperti

fleksibilitas dan adaptasi, misalnya, untuk

menyahuti tuntutan dan kesempatan dunia

kerja. Dengan demikian kegiatan kelas dan

pembelajaran pun hendaknya memberi

peserta didik bekal yang diperlukan untuk

hidup berdampingan dengan mereka yang

berlatar belakang sosio-kultural, politik,

ideologi, dan agama yang beragam. Pada

sisi lain, pembelajaran juga harus mampu

mengokohkan a sense ofidentity dalam

keragaman afiliasi pandangan, paham, atau

ideologi (Burbules & Torres, 2000; Baedowi,

(2015:3).

Kondisi pendidikan Indonesia dalam

pespektif standar global belum mampu

brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

provided by STIT Raden Wijaya: Journal Online of Education

TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017

8

bersanding dan bertanding dengan negara

lain (Baedowi, 2015:3), Upaya untuk

meningkatkan kualitas pendidikan di

Indonesia masih terus dilakukan. Dunia

pendidikan adalah sebuah mega proyek

bersama bagi anak-anak bangsa yang

sedang giat-giatnya membangun agar

bermartabat dan tidak ketinggalam dari

bangsa- bangsa lain di dunia (Indonesia, U.

P., 2007:341). Keikutsertaan Indonesia di

dalam studi International Trends in

International Mathematics and Science

Study (TIMSS) dan Program for

International Student Assessment (PISA)

sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa

capaian anak-anak Indonesia tidak

menggembirakan dalam beberapa kali

laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA

(Putra, 2015:109). Dalam survei lain,

Indonesia mendapat nilai rata-rata E dalam

rapor pendidikan dan berada di peringkat

10 di antara 14 negara berkembang di Asia

Pasifik (di bawah Vietnam, India, Kamboja,

dan Bangladesh) (Rizali, 2009:126), untuk

kualitas para guru berada pada level 14 dari

14 negara berkembang (Suraya: 2015;

Hidayatullah, 2017:324)

Sebagai solusi tentang carut marutnya

pendidikan sekarang ini, sudah saatnya kita

tidak memandang pendidikan hanya

menjadi masalah individual lembaga

pendidikan formal semisal sekolah,

melainkan ia juga menjadi masalah

masyarakat keseluruhan (Syaukani,

2002:474). Para pengambil kebijakan harus

bisa melihat secara holistis kondisi

pendidikan dan menyelesaikannya dengan

cara yang holistis pula. Negeri ini butuh

pemimpin yang berpikir outside the box

karena sudah terbukti para pemimpin di

bidang pendidikan yang membangun

pendidikan Indonesia dengan cara by the

book belum mampu melentingkan tingkat

pendidikan bangsa ini (Tim Psikosmart,

2017:73)

Lemahnya para guru dalam menggali

potensi anak menjadi salah satu faktor

rendahnya kualitas pendidikan di

Indonesia. Guru seringkali memaksakan

kehendaknya tanpa pernah memperhatikan

kebutuhan, sehingga membuat anak kurang

nyaman dalam menuntut ilmu. Oleh sebab

itu pembaharuan dalam dunia pendidikan

sangat berpengaruh terhadap peningkatan

kualitas bangsa. Salah satu faktor yang

dapat meningkatkan segi kualitas,

kuantitas, dan mutu pendidikan saat ini

dengan diterapkan model-model

pembelajaran yang dapat dibutuhkan oleh

siswa. Yaitu proses pembelajaran yang

membuat siswa nyaman serta dapat

meningkatkan kreatifitas dan keaktifan

siswa sehingga dapat menggerakkan

seluruh bagian tubuh siswa dalam

mengikuti proses pembelajaran. menurut

Jensen yang diterjemahkan oleh Wati

(2008:40) dimana saat proses pembelajaran

melibatkan seluruh bagian tubuh, otak

bertindak sebagai pos perjalanan untuk

stimuli yang datang (Hidayatullah,

2017:324)

Untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan diatas, “…LPTK sebagai

lembaga pendidikan yang berperan dalam

membentuk generasi guru siap guna perlu

mengembangkan strategi khusus agar

mahasiswa calon guru yang dibinanya

memiliki kesiapan serta kemampuan yang

relevan dengan tuntutan kurikulum yang

berlaku saat ini” (Putri, 2014:121). Melalui...

kehidupan nyata di sekitarnya melalui

pembelajaran yang menyenangkan, dengan

begitu, peserta didik tidak akan terasing dari

kondisi nyata dan siap dalam menghadapi

situasi yang bergerak cepat, dalam posisi

seperti ini kemampuan multi literasi

diperlukan untuk bisa membaca

perkembangan yang diakibatkan oleh proses

globalisasi (Pratiwi, 2017:560).

Gerakan literasi sekolah sebenarnya telah

digagas oleh Kemendikbud pada tahun 2015.

Program ini diharapkan dapat meningkatkan

kualitas sumber daya manusia melalui

budaya pemahaman informasi yang kritis,

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill

9

analitis, dan reflektif (Kemendikbud, 2015).

Gerakan ini diterapkan sebagai upaya untuk

menumbuhkan semangat membaca di

kalangan pelajar, khususnya peserta didik

sekolah menengah. Literasi sendiri dimaknai

sebagai kemampuan mengakses, memahami,

dan menggunakan sesuatu secara cerdas

melalui berbagai aktivitas, antara lain

membaca, melihat, menyimak, menulis, dan

berbicara (Pratiwi, 2017:543).

Steven Fraiberg (2010:107) mencatat:

“komposisi untuk abad ke dua puluh satu

membutuhkan pergeseran ke arah

konseptualisasi penulis sebagai “knotworkers”

yang merundingkan susunan rumit bahasa,

teks, alat, objek, simbol, dan kiasan”.

Dengan kemajuan kebutuhan zaman,

kompetensi literasi menjadi sangat penting

dalam menghadapi pembelajaran abad 21.

Dengan berkembangnya zaman, maka

literasi bisa didefinisikan sebagai

kemampuan untuk mengerti berbagai teks

dalam berbagai bentuk yang lebih dari

membaca dan menulis. Termasuk ragam

teks yang dimaksud berbentuk gambar,

grafik, elektronik, termasuk kinestetik.

Bahkan, gerakan tubuh seseorang juga

mengandung banyak teks. Ketika seorang

siswa datang ke dalam kelas dengan

gerakan, ekspresi, dan kata maka mereka

juga membawa ‘teks’ mereka. Sekali lagi,

literasi itu lebih dari membaca dan menulis.

Pada ruang kelas, bagaimana mobil

menghasilkan polusi dalam bentuk gambar

tentu akan akan menjadi bentuk literasi

yang lebih dalam dibandingkan penjelasan

dalam bentuk teks tulis atau cetak.Dengan

kata lain, segala hal yang menyampaikan

arti bisa dinyatakan sebagai ‘teks’.Ragam

literasi jamak disebut multiliterasi. Jika

seseorang mampu berkemampuan seperti

hal tersebut, mampu berliterasi, maka

dikatakanlah individu yang "literat". Literat

dalam segala hal bentuk teks (Mursyid,

2017).

Meneliti tulisan akademisi sebagai

praktik sosial, pendekatan utama yang

menginformasikan proyek adalah

perspektif sosiomaterial dan perspektif

studi keaksaraan. Yang pertama berarti

bahwa kita secara khusus berfokus pada

pemahaman bagaimana sumber daya sosial

dan material terhubung bersama untuk

membangun praktik menulis (Fenwick et

al., 2011), sedangkan yang kedua berarti

bahwa kita tertarik dalam tulisan yang

dibentuk oleh konteks sosial, kehidupan

sejarah, sumber daya dan pengalaman,

semuanya terletak dalam dinamika historis-

ical dan hubungan kekuasaan (Barton, 2007;

Barton dan Hamilton, 2000).

Berdasarkan latar belakang penelitian,

maka penulis tertarik untuk meneliti dalam

suatu karya tulis dengan judul: Pengaruh

pembelajaran multiliteracy terhadap

kemampuan academic writing dan teaching

skill pada semester VIII Program Studi

Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi

Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di

atas, maka dapat di kemukakan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah pembelajaran multiliteracy

berpengaruh terhadap Kemampuan

academic writing pada Semester VIII

Program Studi Pendidikan Agama Islam

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden

Wijaya Mojokerto?

2. Apakah pembelajaran multiliteracy

berpengaruh terhadap Teaching skill

pada Semester VIII Program Studi

Pendidikan Agama Islam Sekolah

Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya

Mojokerto?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan pengaruh pembelajaran

multiliteracy terhadap Kemampuan

TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017

10

academic writing pada Semester VIII

Program Studi Pendidikan Agama Islam

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden

Wijaya Mojokerto.

2. Mendeskripsikan pengaruh pembelajaran

multiliteracy terhadap Teaching skill

pada Semester VIII Program Studi

Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi

Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto.

D. Kajian pustaka

1. Pembelajaran multiliteracy

'Literasi' adalah istilah yang

menampilkan dirinya sebagai tegas dan

tunggal. Bagian yang tegas menyertai

desakan modern bahwa setiap orang

setidaknya memiliki tingkat kompetensi

dasar dalam membaca dan menulis.

'Literasi' dalam pengertian ini berarti

beberapa hal yang pasti untuk diperoleh:

untuk membaca teks-teks biasa masyarakat

modern — surat kabar, buku informasi,

novel; untuk dapat menulis menggunakan

ejaan dan tata bahasa yang benar; dan

untuk menghargai nilai-nilai budaya tinggi

melalui paparan kanon rasa sastra. Bagian

tunggal muncul ketika keaksaraan disajikan

sebagai bentuk bahasa tunggal, resmi atau

standar, satu cara yang benar untuk

menulis, dan kanon penulis yang ideal yang

secara konvensional dianggap 'hebat' (Cope

& Kalantzis, 2016).

Pada pertengahan 1990-an, konotasi

yang tegas dan tunggal dari istilah 'literasi'

mulai bekerja tidak begitu baik. Media

massa dan kemudian internet melahirkan

seluruh genre teks baru yang berarti bahwa

pemahaman literasi yang sempit secara

konvensional cepat menjadi ketinggalan

zaman. Selain itu, kekuatan globalisasi dan

keragaman lokal yang beraneka-ragamnya

semakin menyederhanakan cara-cara

pembuatan makna yang sangat berbeda

satu sama lain. Tantangan untuk belajar

berkomunikasi dalam lingkungan baru ini

adalah menavigasi perbedaan, daripada

belajar berkomunikasi dengan cara yang

sama. Selain itu, menjadi jelas bahwa

pedagogi literasi tradisional tidak bekerja

untuk mencapai tujuan yang dinyatakannya

dalam menyediakan peluang sosial.

Ketidaksetaraan dalam pendidikan

berkembang, menunjukkan bahwa sesuatu

perlu dilakukan dalam pedagogi literasi

untuk mengatasi hal ini (Cope & Kalantzis,

2016).

Dalam konteks inilah New London

Group bersatu untuk mempertimbangkan

keadaan saat ini dan kemungkinan masa

depan pedagogi literasi. Diselenggarakan

oleh Mary Kalantzis dan Bill Cope,

kelompok itu juga terdiri dari Courtney

Cazden, Norman Fairclough, Jim Gee,

Gunther Kress, Allan Luke, Carmen Luke,

Sarah Michaels, dan Martin Nakata. Diskusi

awal kelompok ini - pertemuan selama

seminggu pada September 1994 -

menghasilkan manifesto artikel-panjang

(New London Group 1996), dan kemudian

sebuah buku yang diedit (Cope dan

Kalantzis 2000) yang termasuk artikel asli.

Pada tahun 2009, dalam konsultasi dengan

anggota lain dari kelompok, Cope dan

Kalantzis menerbitkan sebuah makalah

yang merefleksikan perkembangan

selanjutnya (Cope dan Kalantzis 2009);

kemudian pada tahun 2012 mereka

menghasilkan sebuah buku yang

menguraikan teori dan praktik secara lebih

rinci (Kalantzis dan Cope 2012a; Cope &

Kalantzis, 2016).

Menjelajahi komunikasi multimodal

sebagai pendidikan literasi dari platform

penelitian, Multiliteracies and Diversity in

Education menggabungkan analisis dari

perubahan komunikasi dan praktik

pedagogik dengan kegiatan berbasis

penelitian yang baik untuk multiliteracies

proyek kelas. Buku panduan siswa dalam

mengembangkan pengetahuan mereka

tentang perencanaan produktif dan

pergeseran pedagogik, dan

mengungkapkan cara-cara di mana semua

siswa mampu terlibat dalam merancang

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill

11

rencana pelajaran dan program yang

melibatkan metode baru dan tradisional

membaca dan konstruksi teks. Ini

menunjukkan bagaimana model pedagogik

multiliteracies memecahkan perbedaan

yang tidak alami antar disiplin, dan

memberikan pandangan baru pada

pendidikan keaksaraan (Healy, 2008).

Untuk itu, pedagogi yang harus

dikembangkan menghadapi era persaingan

global sebagaimana dikemukakan di atas

adalah pedagogi kemelekan ganda (pedagogi

multiliteracy). Pedagogi paradigma ini

adalah pedagogi yang dapat

menghantarkan para siswa menjadi orang-

orang dengan kemampuan variatif hasil

dari sebuah proses pembelajaran tunggal.

Setidaknya ada empat aspek kemampuan

siswa yang dapat dihasilkan dari sebuah

proses pembelajaran, sejauh desain

pembelajaran yang dikembangkan guru

sangat ramah dengan berbagai kompetensi

dimaksud. Keempat kompetensi ideal

tersebut adalahkeahlian berfikir (thinking

skill), multiple intelligence, taxonomy Bloom,

habit of mind (Rosyada, 2016).

Kemampuan berfikir (thinking skill).

Kemampuan ini sangat besar kontribusinya

untuk sukses anak dalam profesi seperti

ditemukan dan dirumuskan oleh Edward

de Bonodalam taxonomy of thinking yang

meliputi;

1. Berfikir empirik, yakni kemampuan

berfikir berbasis data, fakta dan

informasi, dianalisis dan disimpulkan.

2. Berfikir intuitif, imaginatif, emosi dan

perasaan, yakni seseorang harus mampu

mengelola imajinasi dan intuisinya untuk

melahirkan sesuatu konsep dan

pemikiran yang dinamis.

3. Berfikir judgement, yakni menetapkan

atau mengingatkan. Bahwa seseorang

setiap siswa yang akan menjadi

profesional harus dilatih bagaimana

menetapkan sesuatu sikap dan tindakan

untuk dilakukan, baik berbasis data

empirik atau imajinasi belaka.

4. Berfikir logis, yakni kemampuan berfikir

rational yang dapat dinalar, sehingga

setiap keputusan yang diambil selalu bisa

mudah difahami oleh orang lain, baik

berbasis rujukan empirik atau imajinatif.

Berfikir logis bisa dikembangkan dengan

cara memberikan jawaban kenapa sebuah

keputusan diambil, untuk apa ? dan apa

keuntungan-keuntungan yang akan

diperoleh dengan keputusan tersebut. Ini

semua berfikir logis yang dikembangkan

dari data atau imajinasi.

5. Berfikir kreatif dan inovatif, yakni

melahirkan sebuah formula untuk bisa

mewujudkan imajinasi. Berfikir kreatif

adalah berfikir tentang langkah, cara dan

teknik bagaimana mewujudkan sebuah

keinginan besar yang sudah

direformulasi, baik hasil analisis empirik

ataupun imajinasi. Sementara berfikir

inovatif adalah berfikir untuk melahirkan

sesuatu yang baru, baik sebagai

kelanjutan dari yang sudah ada ataupun

memang benar-benar baru.

6. Berfikir metakognitif, yakni berfikir

tentang sesuatu yang sedang atau sudah

difikirkan, direformulasikan dan sudah

dikembangkan, untuk melakukan

evaluasi dan perbaikan, dengan

menggunakan imajinasi atau hasil

analisis data empirik (De Bono, 2017:13).

Keenam kemampuan berfikir ini harus

dimiliki setiap siswa atau para mahasiswa

yang akan memasuki pasar kerja, agar

mereka bisa diterima dengan baik dalam

profesi mereka, atau bahkan mungkin bisa

mengembangkan usaha sendiri dengan

kompetensi enterpreneurial mereka. Untuk

keenam kompetensi berfikir ini, tidak ada

mata pelajaran khusus, pelatihan khusus,

dan bahkan mungkin belum banyak

referensi bisa diakses oleh para siswa. Oleh

sebab itu, keenam kompetensi berfikir

tersebut dilatih oleh guru dalam proses

pembelajaran materi apa saja, yang

TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017

12

mendorong para siswa untuk berfikir

empirik, intuitif, logis, imajinatif, kreatif dan

bahkan mungkin berfikir metakognitif.

Guru tidak usah menunggu mata pelajaran

yang mengajarkan berbagai kompetensi

tersebut, karena jika diajarkan justru hanya

akan menjadi pengetahuan, padahal yang

dibutuhkan adalah sikap, tindakan dan

rencana-rencana tindakan yang akan

membawa perubahan (Rosyada, 2016).

Pedagogi multiliterasi juga

meniscayakan hasil para siswa dan

mahasiswa yang memiliki kecerdasan

majemuk (multiple intelligence). Menurut

Gardner seperti dikutip Lea Chapuis,

terdapat tujuh kecerdasan majemuk, yaitu:

1. Kecerdasan berfikir logis dan numerik

(Logical mathematical intelligence), yakni

kemampuan berfikir rasional dalam

rangkaian nalar yang panjang, sehingga

bisa difahami oleh logika.

2. Kecerdasan menangkap maknadan

kecerdasan merangkai kata bermakna

(Linguistic intelligence) sehingga mampu

menyampaikan gagasan, kesimpulan,

dan pendapat yang mudah difahami oleh

orang lain.

3. Kecerdasan mempersepsi, melakukan

tata ruang, dan melakukan tranformasi

penataan (spatial intelligence) bertolak dari

suasana ruang yang sudah ada.

Kecerdasan spasial ini kadang disebut

juga dengan kecerdasan visual-spasial,

sehingga kecerdasan ini berkembang

dengan penambahan kemampuan untuk

merepresentasikan sesuatu melalui

gambaran-gambaran visual dan artikulasi

artistik.

4. Kecerdasan apresiasi terhadap musik

(musical intelligence), yakni kecerdasan

untuk menghargai, melatih diri dan

membina keserasian yang berbasis

ekspresi, karena inti musik adalah

keserasian antara tangga nada alat musik

dengan vokal, dan keserasian antar satu

alat musik dengan lainnya. Agar

menonjol pada kecerdasan musik maka

seseorang harus mempunyai

kemampuan auditorial dengan baik,

melalui latihan mendengar, menghayati,

mengapresiasi dan melakukan ekspresi

dalam sebuah keserasian.

5. Kecerdasan gerakan fisik baik dalam

konteks melakukan sesuatu atau

menghindari sesuatu (bodily-kinesthetic

intelligence). Kecerdasan gerakan fisik

juga bisa dilatih dan dikembangkan

dalam merangkai bahasa tubuh yang

mengekspresikan makna.

6. Kecerdasan untuk melihat, merespon dan

mengapresiasi mood (suasana hati),

temperamen, motivasi dan keinginan

orang lain (interpersonal intelligence).

7. Kecerdasan memahami berbagai

perasaan yang ada dalam diri sendiri dan

mampu membedakan satu sama lain

(intrapersonal intelligence), sehingga

mampu memberikan bimbingan

terhadap diri sendiri untuk bersikap dan

bertindak berdasarkan pengetahuan,

serta memiliki kesadaran akan kekuatan

yang ada pada diri sendiri, kelemhan-

kelemahannya, keinginannya serta

kecerdasannya (Gardner and Hatch,

1989:6)

Sebagaimana kemampuan berfikir

dengan lima kategorinya, tujuh kecerdasan

ini diakui oleh hampir semua ilmuwan

pendidikan di duniasangat mempengaruhi

setiap orang dalam profesinya, apakah

mereka sukses, gagal atau tidak ada

kemajuan, sangat dipengaruhi oleh

kematangan dalam berbagai kecerdasan

tersebut. Mematangkan berbagai

kecerdasan akan sangat bermanfaat bagi

para siswa dan mahasiswa yang akan

menjadi sarjana untuk bisa menentukan

profesi yang akan ditekuni dan

dikembangkannya, atau setidaknya ketujuh

kecerdasan tersebut akan sangat membantu

profesionalisasi mereka dalam bidang yang

akan ditekuninya. Dan ketujuh kecerdasan

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill

13

ini tidak ada mata pelajarannya, dan tidak

selalu menjadi materi bahan ajar yang ada

di sekolah atau perguruan tinggi. Oleh

sebab itu, latihan tujuh kecerdasan ini

dimandatkan pada proses pedagogi yang

harus dilakukan dengan rancangan yang

baik, akurat dan menyentuh seluruh

kecerdasan ini, serta implementasi proses

pembelajaran degan berbagai strategi dan

teknik yang secara instan melatih

kecerdasan-kecerdasan tersebut (Rosyada,

2016).

Bersamaan dengan itu, proses

pembelajaran bukan sedang membentuk

ilmuwan. Pembelajaran hanya untuk

menghantarkan setiap pembelajar menjadi

profesional dalam bidangnya, dan profesi

selalu lekat dengan pengetahuan, skil,

keterampilan dan keahlian untuk mengukur

tingkat pembayaran, upah, pendapatan atau

takehome fee seseorang. Ilmuwan hanya

dibentuk dengan penelitiandan diharapkan

justru dari level pendidikan magister dan

doktor. Oleh sebab itu, hasil belajar tidak

boleh hanya diukur dengan tahu, faham,

tapi dalam kognitif saja sudah menargetkan

pengalaman aplikasi ilmu, dan berakhir

dengan perubahan seseorang sesuai dengan

ilmu dan keterampilannya, dan ilmu serta

skil dan keahliannya itu teradaptasi dengan

baik dalam sikap dan perbuatan mereka.

Oleh sebab itu, proses pedagogi juga

memiliki mandat untuk mampu

mewujudkan taksonomi hasil belajar yang

di Indonesia masih diukur dengan

parameter Taksonomi Bloom (Rosyada,

2016).

Bloom membagi taksonomi hasil belajar

itu menjadi tiga ranah secara eskalatif, yakni

kognitif, efektif dan psiko-motorik.

Kemampuan kognitif akan menjadi dasar

berkembangnya kemampuan afektif, dan

kompetensi psikomotorik akan lahir setelah

seorang siswa atau mahasiswa memiliki

kemampuan afektif dalam pokok bahasan

atau cabang keilmuan yang mereka pelajari.

Kenneth D. More, sebagaimana dikutip oleh

Rosyada, menjelaskan, ada 15 level hasil

belajar yang bergerak secara eskalatif, yakni

sebagai berikut:

1. Ranah Kognitif, yakni ranah

pengetahuan, terdiri dari enam (6) level

sebagai berikut.

a. Knowledge, yakni kemampuan siswa

mengetahui sesuatu ilmu

pengetahuan, pola implementasi

pengetahuan baru tersebut.

b. Comprehension, yakni pemahaman

terhadap ilmu baru melalui kajian

tentang defoinisi, ruang lingkup dan

pola pelaksanaanya.

c.Application, yakni pengetahuan

bagaimana ilmu baru itu diaplikasikan

dalam sebuah karya profesi,

kehidupan sosial atau lainnya, serta

keterampilan mengaplikasikan

tersebut, sehingga pengethaun dan

keterampilannya sudah berubah

dengan bertambah pengetahuan barun

serta keterampilan baru.

d. Analysis, yakni kemampuan

menguraikan ilmu pengetahuan yang

baru dikuasainya, sehingga bisa

mengenal dan memahami detail dari

ilmu pengetahuan dan teknologi baru

tersebut.

e. Sintesis, yakni kemampuan untuk

melakukan unifikasi, atau

membulatkan kembali konsep yang

sudah dielaborasikan secara detal, dan

disatukan kembali menjadi satu

rumusan umum. Atau kalau dalam

bentuk teknologi, seluruh unsurnya

diurai satu persatu, lalu disatukan

kembali sehingga menjadi sebuah alat

utuh.

f. Evaluasi, dan terkadang juga disebut

dengan justifikasi, yakni kemampuan

menilai apakah ilmu pengetahuan dan

keterampilan barunya itu sesuatu yang

baik bermanfaat untuk dirinya atau

tidak (Rosyada, 2013:127).

TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017

14

2. Ranah Afektif, yakni ranah sikap, terdiri

dari lima level sebagai berikut:

a. Receiving, yakni sikap jiwa untuk

menerima ilmu pengetahuan,

teknologi yang baru dinilai oleh

pengetahuannya sebagai sesuatu yang

baik dan bermanfaat untuk dirinya.

b. Responding, yakni kemampuan para

para pembelajar untuk memberi

respon dalam bentuk sikap jiwa untuk

mengkonfirmasi kebenaran atau

kesalahan ilmu pengetahuan dan

teknologi baru yang sudah dinilai baik

bermanfaat atau tidaknya bagi

kehidupan dia.

c.Valuing, yakni kemampuan para

pembelajar menanamkan nilai-nilai

baru yang sudah disimpulkan oleh

kecerdasan berfikir dan diterima serta

diresponi oleh jiwa mereka, dalam

level ini, mereka harus dilatih

bagaimana menanamkan nilai-nilai

tersebut menjadi nilai dirinya.

d. Organising, yakni kemampuan untuk

mengorganisasikan nilai-nilai yang

sudah diterima sebagai hasil proses

penjang belajar dengan menambah

pengetahuan dan keterampilan baru,

dari berbagai mata pelajaran yang

akan mampu mebentuk mereka

menjadi insan kamil, dengan berbagai

pengathaun dan keterampilan baru.

e. Characterization, yakni kemampuan

untuk menggunakan nilai-nilai yang

sudah dimiliki menjadi pandangan

hidup, dan mempertahankannya

sebagai nilai-nilai pribadi yang sudah

dimiliki sebagai karakter pribadi yang

kuat.

3. Ranah Psikomotorik, yakni ranah

implementasi nilai-nilai yang sudah

dimiliki. Pada ranah ini terdapat empat

level kompetensi yang harus dibina lewat

proses pembelajaran, yakni:

a. Observing, yakni para siswa dibawa

pada situasi implementasi nilai-nilai

yang sudah diajarkan, difahami dan

sudah menjadi karakter diri mereka.

Atau dibawa untuk meyakinkan

praktik, proses kerja dan penggunaan

alat teknologi pada sebuah latar yang

sebenarnnya atau pada laboratorium

yang memvisualisasi tindakan, praktik

dan penggunaan alat tersebut,

sehingga mereka bisa memahami

bagaimana mereplikasikannya pada

diri mereka.

b. Imitation, yakni kemampuan siswa

untuk meniru tindakan, penggunaan

alat teknologi atau perbuatan yang

sedang mereka pelajari, dan berusaha

melakukannya sesuai dengan yang

mereka lihat, dan mereka amati dalam

kenyataan empirik atau kenyataan

artifisial.

c.Practicing, yakni kemampuan para

siswa untuk mempraktikan apa yang

sudah dia yakini dan sudah dia amati

opelaksanaannya, bahkan sudah

mencoba menirukannya, baik dalam

bentuk tindakan ataupun penggunaan

alat-alat teknologi tertentu.

d. Adapting, yakni kemampuan untuk

menjadikan semua yang sudah

diyakininya itu, sudah dipraktikan

dalam proses pembelajaran, atau

dilatih di sekolah, sehingga sudah

cakap melaksanakannya atau

menggunakannya, menjadi bagian dari

tradisi, kebiasaan, kepribadian atau

keterampilan para siswa (Rosyada,

2013:127).

Selanjutnya, pedagogi yang baik dalam

mempersiapkan para siswa menjadi siswa

yang cerdas berdaya saingadalah mereka

harus dibelajarkan untukmembina habit of

minddengan sejumlah besar kebiasaan

positif yang perlu dikembangkan sebagai

berikut:

a. Persisting, yakni kemampuan memilih,

menganalisis dan memutuskan untuk

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill

15

bekerja dalam wilayah keahlian dan

kewenangannya. Tidak mudah

menyerah dan mampu menyelesaikan

masalah dalam wilayah profesinya.

b. Managing impulsivity, yakni mengelola

sikap jiwa yang terkadang meledak-

ledak, memiliki strategi untuk

menyelesaikan masalah, dan memiliki

kemampuan untuk mengeksplorasi

berbagai cara dalam menghadapi

berbagai masalah, serta memiliki

kemampuan untuk mengantisipasi

konsekwensi dari setiap pilihan.

c. Listening to others, yakni kebiasaan

mendengar pendapat orang lain, dan

mampu memahami pendapat orang lain

yang diikuti kemudian dengan sikap

empati.

d. Think flexibility, yakni berfikir fleksibel,

bersikap terbuka, dan selalu memiliki

keinginan untuk mengubah pemikiran,

dan dengan cara meyakinkan dapat

menjelaskan pemikirannya itu pada

orang lain.

e. Thinking about thinking, yakni membina

kompetensi untuk bersikap kritis untuk

memikirkan pemikiran sendiri. Inilah

kompetensi metakognitif yang

merupakan hasil paling ideal dari

sebuah proses pembelajaran.

f. Striving for accuracy and persisting, selalu

berusaha untuk bisa melakukan sesuatu

dengan akurat dan sesuai dengan

prototipe yang dirancang atau

melakukan sesuatu sesuai rencana.

g. Quetioning and posing problems, yakni

kemampuan mengembangkan

pertanyaan-pertanyaan yang baik sesuai

dengan tema pembelajaran yang mereka

sedang kerjakan, dan mampu menyusun

pertanyaan yang bisa difahami orang

lain atau gurunya.

h. Applying past knowledge to the new

situation, menggunakan ilmu yang sudah

dikuasai untuk situasi baru.

i. Thinking and Communicating with clarity

and precision, yakni kemampuan untuk

berfikir akurat dan berkomunikasi secara

efektif, baik komunikasi tertulis maupun

lisan, dan selalu berusaha menggunakan

bahasa yang tepat menggambarkan ide

dan pemikirannya.

j. Gathering data through all sense,

mengumpulkan data dengan

menggunakan semua indra, dengan

cicipan, penciuman, atau dengan cara-

cara lain yang dimiliki fisik setaip siswa

atau mahasiswa.

k. Creating, Imaging and innovating, yakni

bahwa setiap siswa harus dilatih agar

memiliki kemampuan berimajinasi,

melaksanakan imajinasinya sehingga

menjadi kenyataan dan bahkan setiap

siswa harus dilatih untuk bisa

mengembangkan inovation, lewat

imajinasi dan mempelajari karya-karya

yang sudah ada untuk dimodifikasi.

l. Responding with wonderment and awe,

yakni kemampuan siswa/mahasiswa

untuk merespon sesuatu dengan

kekaguman.

m. Taking Responsible risks, yakni memiliki

kompetensi tanggung jawab terhadap

apa yang sudah dia putuskan, dan siap

menghadapi risiko yang akan muncul

dari keputusannya.

n. Finding humours, yakni memiliki

kompetensi jiwa yang humoris, periang,

antusias, dan mampu menjaga untuk

selalu gembira dalam melaksanakan

tugas.

o. Thinking interdependently, yakni

kompetensi untuk berfikir komprehensif,

bahwa satu tindakan akan menghasilkan

sesuatu yang baik jika didukung oleh

banyak kompetensi yang saling

ketergantungan satu sama lain.

p. Learning Continuously, memiliki

kompetensi menjadi pembelajar

sepanjang hayat.

TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017

16

2. Kemampuan academic writing

Menulis adalah salah satu kegiatan yang

paling kompleks. Melibatkan instruksi tata

bahasa dan semantik. Menurut (Munoz-

Luna, 2015; Alameddine & Mirza, 2016),

pendidik selalu menganggap menulis sulit

untuk mengukur, menilai, menganalisa dan

menilai. Bahkan di abad 21, menulis masih

dianggap sebagai tugas yang menuntut

melibatkan berbagai keterampilan dan

subskills (Mazandarani, 2010; Alameddine

& Mirza, 2016). Penulis biasanya tidak sadar

akan semua strategi penulisan yang terlibat

saat menulis dalam kelas L2 bahasa Inggris.

Oleh karena itu, guru harus hati-hati

merencanakan strategi menulis yang dapat

dilakukan siswa secara sadar bekerja pada

teks-teks mereka dari perspektif ganda,

yang meliputi: level gramatikal, tingkat

diskursif tingkat leksikal, tingkat

metadiscursive, spesifikasi genre, dan

kompilasi konten (Lillis & Curry, 2006;

Alameddine & Mirza, 2016).

Ketika para siswa tidak akrab dengan

berbagai tahap penulisan dan strategi,

adalah tugas para guru untuk memberi

mereka cukup kesempatan untuk

mempraktikkan keterampilan menulis

mereka menggunakan bahasa Inggris

akademik (Alameddine & Mirza, 2016).

Menggunakan strategi menulis

membuat peserta didik lebih otonom dan

mengatur sendiri ketika menulis dalam

bahasa Inggris, bahasa kedua mereka.

Strategi menulis sangat penting bagi para

penulis untuk menyaring gagasan mereka

dalam produksi yang ditulis secara

akademis. Strategi penulisan dalam

penulisan akademik L2 (Nacera, 2010;

Mitchell & Myles, 2004; Alameddine &

Mirza, 2016) melibatkan 1. strategi

metakognitif (perencanaan, pemantauan,

peninjauan, evaluasi, melaporkan temuan,

mengenali struktur esai), 2. Strategi kognitif

(pengulangan, organisasi, meringkas, citra

menggunakan, menyimpulkan, menyim-

pang, menulis catatan, parafrase), 3. Strategi

pemahaman (membaca ulang), dan 4.

strategi sosio-afektif (perencanaan

kooperatif).

Karena menulis adalah proses siklus,

penulis perlu terus merevisi skrip mereka

dan menyesuaikan strategi mereka sesuai

kebutuhan (Roca de Larios, Manchon,

Murphy, & Marin, 2008). Akibatnya, siswa

yang biasanya membaca dan merevisi

tulisan mereka cenderung tampil lebih baik

(Munoz-Luna, 2015).

Penulisan akademik harus difokuskan

pada hal-hal berikut (seperti yang

tercantum dalam del Olmo, 2015):

a. Audiensi dan tujuan

b. Menulis ringkas dan cair

c. Kosakata formal

d. Lindung nilai (kesadaran penulis tentang

pembacanya di samping kehadiran penulis

dalam teks)

e. Nominalisasi

f. Tulisan yang tidak ambigu

g. Konvensi penulisan: singkatan, akronim

dan label majemuk

h. Grammar dan tanda baca

Penulis akademis yang mahir biasanya

menggunakan bentuk pasif dari kata kerja,

kata ganti dan kata ganti, kata dan frasa

yang memenuhi syarat, struktur kalimat

yang rumit, dan kosakata khusus

(Alameddine & Mirza, 2016).

Hedging adalah salah satu ciri utama

penulisan akademik. Mampu menggunakan

lindung nilai secara tepat memungkinkan

penulis untuk berfungsi di dunia akademis

berbahasa Inggris. Hedges juga dapat

membantu penulis menganggap

pembacanya sebagai peserta dalam teks

(Hyland, 2005). Perangkat lindung nilai

mencakup contoh-contoh seperti yang

berikut: alih-alih mengatakan "saya tahu",

penulis akademis lebih baik

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill

17

mengasumsikan atau menyarankan ketika

berbicara kepada orang lain. Oleh karena

itu, pentingnya perangkat lindung nilai

terletak pada kemampuan mereka untuk

membantu penulis untuk memperkenalkan

klaim mereka dengan lebih hati-hati agar

lebih diterima secara luas oleh rekan-rekan

mereka dan, pada akhirnya meningkatkan

interaksi positif dan debat intelektual

(Alameddine & Mirza, 2016).

3. Teaching skill

Kualitas dan prestasi dalam pendidikan

merupakan cerminan dari kualitas dan

pencapaian guru (Bastürk, 2009). Kualitas

guru menyangkut masukan yang dibawa

guru ke sekolah, termasuk demografi,

bakat, persiapan profesional, dan

pengalaman kerja profesional sebelumnya.

Kualitas mengajar mengacu pada apa yang

guru lakukan untuk mempromosikan

pembelajaran siswa di dalam kelas. Kualitas

pengajaran termasuk menciptakan iklim

pembelajaran yang positif, memilih tujuan

dan penilaian instruksional yang sesuai,

menggunakan kurikulum secara efektif, dan

menggunakan berbagai perilaku

instruksional yang membantu semua siswa

belajar pada tingkat yang lebih tinggi.

Kualifikasi guru dapat memainkan peran

penting dalam berapa banyak siswa belajar

(Darling-Hammond 2000; Ferguson 1991;

Haycock 1998, 2000; Wenglinsky 2000;

dikutip dalam Kaplan & Owings, 2001; Tok,

Ş. 2010).

Praktik mengajar memainkan peran

penting dalam penguasaan keterampilan

mengajar oleh guru. Pengalaman mengajar

siswa berfungsi sebagai puncak dari proses

pendidikan guru. Ini adalah waktu bagi

individu yang mempersiapkan karir dalam

pendidikan untuk menerapkan teori dan

metode yang telah mereka pelajari selama

program persiapan guru mereka (Norris,

Larke, & Briers, 1990). Praktik mengajar

adalah kesempatan pertama bagi guru

siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan

yang terlibat dalam pengajaran dalam

situasi aktual (Tok, Ş. 2010). Hal ini juga

diakui sebagai pengalaman pengajaran

terpandu di mana guru siswa mengambil

tanggung jawab yang meningkat untuk

mengarahkan pembelajaran sekelompok

murid selama periode waktu tertentu.

Praktik mengajar juga merupakan periode

membantu guru siswa untuk mencoba dan

membuat lebih bermakna penggunaan

prinsip-prinsip yang telah dia pelajari

selama di perguruan tinggi atau universitas

(Tok, Ş. 2010). Praktik mengajar dirancang

untuk memberikan kesempatan dan

bimbingan dalam pengaturan sekolah bagi

guru siswa untuk mengembangkan

kompetensi profesional mereka sendiri, dan

karakteristik pribadi, pemahaman,

pengetahuan, dan keterampilan seorang

guru (Olaitan & Agusiobo, 1981; Tok, Ş.

2010).

E. Kerangka Konseptual

Kerangka ini dibangun berdasarkan teori

multiliteracies New London Group (1996)

dengan integrasi wawasan dan ide dari

komposisi beberapa bidang studi, seperti

media dan studi media baru, komunikasi

antarbudaya, dan studi literatur. Bidang-

bidang ini tidak terpisah, domain

pengetahuan terisolasi, karena mungkin

muncul ke beberapa di permukaan, tetapi

sangat bersinggungan, tumpang tindih, dan

langsung berbicara satu sama lain sejauh

kita dapat menarik ide dan wawasan dari

mereka, menggabungkan, memadukan,

mensintesis atau menyesuaikan dan

menggunakannya sebagai sumber daya

untuk membangun kerangka kerja yang

lebih luas yang memungkinkan kita untuk

mengajar berbagai literasi, termasuk

antarbudaya dan multimodal, ke kelas

menulis - baik homogen dan/atau yang

dicirikan oleh keragaman bahasa dan

budaya. Misalnya, dimensi inti media baru

— agensi inilah Henry Jenkins (2006)

menggarisbawahi pembahasannya tentang

budaya konvergensi dalam kajian media,

TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017

18

dan fitur baru media lain — divergensi

sangat selaras dengan gagasan kompetensi

antar budaya, di mana menghargai dan

menegosiasikan keberagaman dan

perbedaan dalam perilaku komunikasi

sangat dihargai. Tidak mengherankan, baik

agensi, dan divergensi adalah dua konsep

yang paling disukai dalam komposisi

pedagogi.

Dalam studinya, Munoz-Luna (2015)

menganalisis esai dari 200 mahasiswa

sarjana Spanyol yang ditulis menggunakan

bahasa Inggris akademik. Temuan

menunjukkan bahwa peserta yang

menggunakan berbagai strategi menulis

sebelum dan selama menulis mampu

menghasilkan kalimat kompleks dan teks

yang lebih koheren. Para penulis tingkat

lanjut ini mahir dalam penggunaan transisi

kompleks untuk koherensi dan kohesi

tekstual. Selain itu, mereka menggunakan

strategi penulisan yang umum digunakan

yang membantu mereka merencanakan

tulisan mereka selain menguraikan,

menyusun, dan mengoreksi (Alameddine &

Mirza, 2016).

Penting untuk membantu pembelajar

membangun kepercayaan diri mereka

dalam penulisan akademik menggunakan

bahasa Inggris sebagai media (AWE). Guru

harus bekerja untuk membangun

kepercayaan peserta didik mereka,

membuat mereka menyadari bahwa

penulisan akademis dapat berhasil

diperoleh ketika mengikuti strategi

prapenulisan sistematis (Panourgia & Zafiri,

2012; Alameddine & Mirza, 2016). Akuisisi

AWE sangat penting bagi keberhasilan

akademik peserta didik (Baily et al. 2010).

Guru AWE perlu berkolaborasi dengan

pendidik dari bidang subjek lain seperti

ilmu pengetahuan, matematika dan studi

sosial, dalam upaya mereka untuk

meningkatkan keterampilan peserta didik

mereka (DiCerbo et al., 2014). Penting untuk

dicatat bahwa banyak pelajar di sekolah

Lebanon tidak tahu bagaimana menulis

secara akademis dan perlu pelatihan lebih

lanjut dalam membangun keterampilan

menulis mereka. Teknik untuk

melakukannya adalah mengajar peserta

didik untuk mengikuti pendekatan proses

yang dapat mengubahnya menjadi penulis

fleksibel (Silva, 1990 seperti dikutip oleh

Caldwell, 2011). Melalui proses penulisan,

guru dapat mengembangkan strategi

penemuan (Coffin et al., 2003) untuk

membantu pembelajar mereka menjadi

penulis yang mahir (Alameddine & Mirza,

2016).

Hascher, Cocard, dan Moser (2004)

meminta guru-guru siswa dan guru yang

bekerja sama untuk mengevaluasi

pengembangan profesi guru pra-jabatan

dalam kelas praktik. Evaluasi mereka

menunjukkan bahwa pembelajaran guru

siswa meningkat dan meningkat dalam

kelas praktik. Selain itu, ketika sikap guru

siswa terhadap siswa sebelum dan sesudah

kursus latihan diukur, diamati bahwa

mereka menunjukkan sikap yang lebih

positif setelah latihan. Namun, menurut

Calderhead dan Shorrock (1997), guru siswa

tampaknya tidak puas dengan kesenjangan

antara teori dan praktik. Beberapa

penelitian yang dilakukan di area ini

memeriksa masalah yang dialami

pengalaman guru siswa dalam

menghubungkan teori dan praktik.

Karamustafaoglu dan Akdeniz (2002)

mempelajari sejauh mana siswa guru di

departemen pengajaran fisika mampu

mentransfer perilaku yang mereka

butuhkan untuk memperoleh dalam

program pra-layanan untuk perilaku

mereka di sekolah praktek (Tok, Ş. 2010).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa

guru gagal menemukan kesempatan untuk

mentransfer perilaku tertentu, seperti

menggunakan metafora, memanfaatkan

laboratorium, mengembangkan alat dan

peralatan sederhana, dan memilih dan

mengevaluasi dokumen instruksional untuk

situasi mengajar (dikutip dalam Ozkiliç,

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill

19

Bilgin, Kartal, 2008). Dalam penelitian

mereka, Ozkiliç, Bilgin, dan Kartal (2008)

menemukan bahwa calon guru

menganggap diri mereka tidak cukup

dalam menangani perbedaan individu di

antara siswa dan menggunakan bahasa ibu

secara efektif (Tok, Ş. 2010).

Sejumlah penelitian telah menunjukkan

bahwa guru siswa dan guru sains di tahun-

tahun pertama mereka dalam masalah

pengalaman profesi dalam mengubah

pengetahuan subjek mereka ke bentuk yang

dapat dipahami siswa (Canbazoglu, 2008;

Simmons et al., 1999; Veal, Tippins & Bell,

1998; Tok, Ş. 2010)

Penelitian ini dimaksudkan sebagai alat

untuk menemukan ada atau tidaknya

Pengaruh pembelajaran multiliteracy

terhadap kemampuan academic writing dan

teaching skill pada semester VIII Program

Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah

Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya

Mojokerto. Adapun kerangka konseptual

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Y1 =

kemampuan

academic

writing

X = pembelajaran

multiliteracy

Y2 = prestasi

belajar

Gambar. 1.2 Kerangka Konsep Penelitian

F. Populasi dan Sampel

Pada penelitian ini obyeknya adalah

Siswa semester VIII Program Studi

Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi

Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto

sebanyak 318 siswa. dari anggota populasi

yang diambil sebagai sampel adalah

sebanyak 77 orang responden.

G. Kesimpulan

Selesainya pembahasan skripsi yang

berjudul Pengaruh pembelajaran

multiliteracy terhadap kemampuan academic

writing dan prestasi belajar di Program

Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah

Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya

Mojokerto, maka penulis dapat

menyimpulkan sebagai berikut :

1. Dari hasil analisis diketahui bahwa

pembelajaran multiliteracy berpengaruh

terhadap kemampuan academic writing

pada semester VIII Program Studi

Pendidikan Agama Islam Sekolah

Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya

Mojokerto.

2. Dari hasil analisis diketahui bahwa

pembelajaran multiliteracy berpengaruh

terhadap Teaching skill pada semester

VIII Program Studi Pendidikan Agama

Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah

Raden Wijaya Mojokerto.

H. Daftar Pustaka

Alameddine, M. M., & Mirza, H. S. (2016).

Teaching Academic Writing for Advanced

Level Grade 10 English. Procedia-Social and

Behavioral Sciences, 232, 209-216.

Ba§turk, §. (2009). Investigating teaching

practice course according to student

teachers’ opinions, Elementary Education

Online, 8, 439-456.

Baedowi, A. (2015). Potret pendidikan kita. PT

Pustaka Alvabet.

Barton, D., (2007). Literacy: An Introduction to the

Ecology of Written Language. Second ed.

Blackwell, Oxford.

Barton, D., Hamilton, M., (2000). Literacy

practices. In: Barton, D., Hamilton, M., Ivanic,

R. (Eds.), Situated Literacies. Routledge,

London and New York. pp. 7-15.

Barton, D., Lee, C., (2013). Language online:

Investigating digital texts and practices.

Routledge, London.

TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017

20

Calderhead, J. & Shorrock, S. B.(1997).

Understanding teacher education, Bristol: The

Falmer Press.

Caldwell, E. (2011). The Teaching Of Academic

Writing By Practicing ESL Teachers In

Intensive English Program. (MA thesis).

Hamline University, Minnesota, USA.

Retrieved from

www.hamline.edu/WorkArea/DownloadA

sset.aspx?id=4294977890

Canbazoğlu, S. (2008). Fen bilgisi öğretmen

adaylarının maddenin tanecikli yapısı

ünitesine ilişkin pedagojik alan bilgilerinin

değerlendirilmesi. Yüksek Lisans Tezi, Gazi

Üniversitesi, Ankara.

Coffin, C., Curry, M.J., Goodman, S., Hewings,

A., Lillis, T.M., and Swann, J. (2003).

Teaching Academic Writing: A Toolkit for

Higher Education. London: Routledge.

Cope, B., & Kalantzis, M. (2000). Designs for

social futures. Multiliteracies: Literacy learning

and the design of social futures, 203-234.

Cope, B., & Kalantzis, M. (2009).

“Multiliteracies”: New literacies, new

learning. Pedagogies: An international journal,

4(3), 164-195.

Cope, B., & Kalantzis, M. (Eds.). (2016). A

pedagogy of multiliteracies: Learning by design.

Springer.

Darling-Hammond, L. (2000). Teacher quality

and student achievement. Education policy

analysis archives, 8, 1.

De Bono, E. (2017). Six thinking hats. Penguin

UK.

Del Olmo, S. (2015). English As A Lingua

Franca In Public Health Care Services The

Spanish Challenge. Journal Of Intercultural

Communication, 39. Retrieved from

http://www.immi.se/intercultural/nr39/o

liver.html

DiCerbo, P. A., Anstrom, K. A., Baker, L. L. &

Rivera, C. (2014). A Review Of The

Literature On Teaching Academic English

To English Language Learners. Review of

Educational Research, 84(3), 446-482. doi:

10.3102/0034654314532695

DPI, N. Division of School Business,“Ranking

of 2008-2009 Final Average Daily

Membership Per Pupil Expenditures, and

Capital Outlay,” 2008-09 Selected Financial

Data, September 2009.

Fenwick, T., Edwards, R., Sawchuk, P., (2011).

Emerging Approaches to Educational Research:

Tracing the Sociomaterial. Routledge,

London.

Ferguson, R. F. (1991). Paying for public

education: New evidence on how and why

money matters. Harv. J. on Legis., 28, 465.

Hanifah, Nurdinah, (2014). Meningkatkan

Kemampuan Multiliterasi melalui

Pembelajaran multiliteracy, Prosiding

Seminar Nasional Pendidikan Dasar

"Membedah Anatomi Kurikulum 2013 untuk

Membangun Masa Depan Pendidikan yang

Lebih Baik" UPI Sumedang Press.

Hasher, T., Cocard, Y., & Moser, P. (2004).

Forget about theory-practice is all? Student

teachers’ learning in practicum. Teachers and

Teaching: Theory and Practice, 10, 623-637.

Haycock, K. (1998). Good teaching matters:

How well-qualified teachers can close the

gap. Thinking k-16, 3(2), n2.

Haycock, K. (2000). No more settling for less.

Thinking K-16: A Publication of the Education

Trust, 4(1), 3-12.

Healy, Annah. (Ed.). (2008). Multiliteracies and

diversity in education: New pedagogies for

expanding landscapes. United Campus

Bookshops.

Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill

21

Hidayatullah, H. (2017). Hubungan Model

Pembelajaran Cooperative Script dengan

Model Pembelajaran Cooperative SQ3R

TERHADAP Hasil Belajar Matematika Siswa

Sekolah Dasar. Terampil: Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran Dasar, 3(2), 323-342.

Howard Gardner and Thomas Hatch, Multiple

Intelligences Go to School Educational

Implications of the Theory of Multiple

Intelligences, American Educational Research

Association, Journal of Educational Researcher,

Vol. 18, No. 8 (Nov., 1989)

Hyland, K. (2005). Praise And Criticism:

Interactions In Book Reviews. Disciplinary

Discourses. Social Interactions in Academic

Writing. Harlow: Longman, pp. 41-62.

Indonesia, U. P. (2007). Ilmu dan Aplikasi

Pendidikan: Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoretis.

Bandung: PT Imperial Bhakti Utama

Jenkins, Henry. (2006). Convergence culture:

Where old and new media collide. New York:

New York U P.

Jensen, E. Model pembelajaran Brain based

learning. (online); 2008.

http.//idarianawaty.blogspot.com/2011/02

/teori-neurosains.html.

Kalantzis, M., & Cope, B. (2012). New learning:

Elements of a science of education. Cambridge

University Press.

Kaplan, L. S. and William A. Owings (2001).

Teacher quality and student achievement:

recommendations for principals. NASSP

Bulletin,85, 64-73.

Kemendikbud. (2015). Panduan Gerakan Literasi

Sekolah di SMA. Jakarta: Kemendikbud

Lillis, T., & Curry, M. (2006). Professional

Academic Writing By Multilingual Scholars:

Interactions With Literacy Brokers In The

Production Of English-Medium Texts.

Written Communication, 23(1), 3-35.

Mazandarani, O. (2010). Teacher’s Effectiveness

In Eflers’ Writing Tasks: Utilizing Corrective

Feedback. Annual Staff Student Research

Conference, University Of Exeter, Graduate

School Of Education.

Mitchell, R., & Myles, F. (2004). Second Language

Learning Theories. London: Hodder.

Munoz-Luna, R. (2015). Main Ingredients For

Success In L2 Academic Writing: Outlining,

Drafting And Proofreading. PLoS ONE 10(6),

0128309. doi:10.1371/journal.pone.0128309

Mursyid (2017) Memahami Kompetensi

Multiliterasi, (Online)

http://mursyid.gurusiana.id/article/mema

hami-kompetensi-multiliterasi-1259885

Nacera, A. (2010). Languages Learning

Strategies And The Vocabulary Size.

Procedia Social and Behavioural Sciences, 2(2),

4021-4025.

Norris, R. J., Larke, A., & Briers, G. E. (1990).

Selection of student teaching centers and

cooperating teachers in agriculture and

expectations of teacher educators regarding

these components of a teacher education

program: a national study. Journal of

Agricultural Education, 31, 58¬63.

Olaitan, S.O. & Agusiobo, O.N. (1981).

Prenciples of practice teaching. Newyork: John

Wiley& Sons.

Ozkili9, R., Bilgin, A., & Kartal, H. (2008).

Evaluation of teaching practice course

according to opinions of teacher candidates.

Elementary Education Online, 7, 726-737.

Panourgia, E. & Zafiri, M. (2012). Probing Into

Academic Writing: Building Students’

Confidence To Write. The Public

Administration And Social Policies Review,

1(8). Pp 137-147.

Pratiwi, D. R. (2017). Implementasi Pengajaran

Karakter melalui Integrasi Multiliterasi

TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017

22

Digital pada Pembelajaran Bahasa Indonesia.

The 1st International Conference on Language,

Literature and Teaching.

publikasiilmiah.ums.ac.id

Putra, N, (2015) Renungan Jalanan, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Putri, S. U. (2014). Pengembangan Desain

Blended Learning untuk Program Pelatihan

Pendalaman Materi IPA Berbasis Kebutuhan

Mahasiswa PGSD. Mimbar Sekolah Dasar, 1(2),

153-160.

Rizali, A. (2009). Dari guru konvensional menuju

guru profesional. Jakarta: Grasindo.

Roca de Larios, J., Manchon, R., Murphy, L., &

Marin, J. (2008). The Foreign Language

Writer’s Strategic Behavior In The

Allocation Of Time To Writing Processes.

Journal of Second Language Writing, 17(1), pp.

30-47.

Rosyada, Dede, (2013). Paradigma Pendidikan

Demokratis, Sebuah Model pelibatan Masyarakat

dalam Pendidikan, Jakarta Prenada Media,.

Rosyada, Dede, (2016). Kompetensi Pedagogik

Guru, 7 Dec 2016 | Kolom Rektor (Online)

http://www.uinjkt.ac.id/id/kompetensi-

pedagogik-guru/

Simmons, P. E., Emory, A., Carter, T., Coker, T.,

Finnegan, B., Crockett, D., ... & Brunkhorst,

H. (1999). Beginning teachers: Beliefs and

classroom actions. Journal of research in

science teaching, 36(8), 930-954.

Suraya, Indah Masalah Pendidikan di Indonesia

(online); 2015.

http.//www.kompasiana.com/indahsuraya

/masalah-pendidikan-di-

indonesia_54f5f384a333117a028b46b6

Syaukani H. R., (2002) Kapita selekta otonomi

daerah, Nuansa Madani

The New London Group. (1996). A pedagogy of

multiliteracies: Designing social futures.

Harvard educational review, 66(1), 60-93.

Tim Psikosmart, (2017), All Fresh Big Babon

Psikotes -cet. 1-Jakarta: Visimedia Pustaka

Tok, Ş. (2010). The problems of teacher

candidate's about teaching skills during

teaching practice. Procedia-Social and

Behavioral Sciences, 2(2), 4142-4146.

Wenglinsky, H. (2000). How teaching matters:

Bringing the classroom back into discussions of

teacher quality.

Yuniasih, N., Ladamay, I., & Wahyuningtyas,

D. T. (2014). Analisis Pembelajaran Tematik

pada Kurikulum 2013 di SDN Tanjungrejo 1

Malang. Mimbar Sekolah Dasar, 1.

https://doi.org/10.17509/MIMBAR-

SD.V1I2.876