Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik ...
Transcript of Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik ...
1
Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik
(Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur
Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB)
Jasmine Tea Waste as Natural Colorant For Batik Cloth
(The Effect of Fixative On The Depth of Shade and Fadeless as Revealed
by RGB Digital Image Processing Method)
Oleh
Ibnu Basofi
NIM : 652009014
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2015
ii
iii
iv
1
Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik
(Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur
Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB)
Jasmine Tea Waste as Natural Colorant For Batik Cloth
(The Effect of Fixative On The Depth of Shade and Fadeless as Revealed
by RGB Digital Image Processing Method)
Ibnu Basofi*, A. Ign. Kristijanto**
*Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika
**Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga (50711)
ABSTRAK
The objectives of this study are: Firstly, to determine the effect of fixative on the
depth of shade color of cotton and silk which stained using jasmine tea waste extract.
Secondly, to determine the effect of fixative types on the fade proof color of cotton and
silk toward washing. Thirdly, to determine the effect of fixative types on the fade proof
color of cotton and silk toward washing and ironing. And all three were revealed by
RGB digital image processing methode.
The results of this study showed that: 1) The depth of shade color of cotton and
silk produce from the darkest color are: “tunjung”, verdigris, alum, respectively and
the brightest color is lime. 2) On cotton and silk, the fixative of “tunjung” didn’t
showed fadeless of color toward washing for all hue. On cotton the fixative of verdigris
showed fadeless of color exception blue hue, and on silk showed fadeless of color for
blue and grey hue. On the contrary, on cotton with fixative of alum and lime showed
fadeless of color for all hue, while on silk the fadeless of color for red and green hue.
3) On cotton and silk the fixative of “tunjung” didn’t showed fadeless of color toward
washing-ironing for all hues, in the contrary, cotton showed fadeless of color for red
and green hue with fixative of verdigris. While on cotton, fixative of alum and lime
showed fadeless of color for all hue. On the contrary, on silk the use of alum as fixative
showed fadeless of color for red hue, while with lime has fadeless of color for red and
grey hue.
Key words: waste Jasmine tea, natural dyes, mori, silk, RGB
PENDAHULUAN
Batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi serta menjadi bagian
dari budaya Indonesia. Kata batik berasal dari bahasa jawa “ambatik” yang artinya
menuliskan atau menorehkan titik – titik (Susanto, 2009).
2
Warna merupakan salah satu komponen penting dalam industri batik, sebab warna
menunjang estetika produk kain batik sehingga dapat menarik konsumen untuk
membeli. Zat pewarna yang biasa digunakan adalah zat warna sintetis, seperti :
indigosol, rapid, soga ergan, dan soga croom (Mey, 2009). Didalam pewarna sintetis
tersebut tersimpan beberapa senyawa karsinogenik penyebab alergi kulit dan dapat
menyebabkan kanker kulit serta mencemari lingkungan (Sulasminingsih, 2006).
Sehingga pewarna alami menjadi salah satu alternatif pengganti pewarna sintetis.
Menurut Kusriniati (2007), kelebihan zat warna alam adalah beban pencemaran rendah
dan tidak beracun, namun kekurangannya belum ada standar warna, ketahanan luntur
rendah, perolehannya sulit, prosesnya rumit dan koleksi warna terbatas.
Berkaitan dengan pencemaran lingkungan, salah satu cara pengelolaan limbah
yaitu dengan menggunakan kembali limbah hasil industri sebagai bahan baku produk
baru yang memiliki nilai tambah. Sejauh ini pemanfaatan limbah teh melati (ampas teh)
untuk kompos dan pakan ternak, ternyata dalam limbah tersebut terkandung senyawa
tanin yang berpotensi sebagai pewarna alami. Senyawa tanin tersebut mengandung
gugus-gugus hidroksil yang mempunyai pasangan elektron bebas, sehingga
dimungkinkan dapat membentuk kompleks dengan logam yang menyediakan orbital
kosong (Dalzell dan Kerven, 1998 dalam Rosyda dan Ersam, 2010) hal tersebut akan
berpengaruh terhadap ketuaan warna pada kain. Di Indonesia sumber tanin diperoleh
dari jenis bakau – bakauan atau jenis – jenis tumbuhan dari Hutan Tanaman Industri
(HTI) seperti akasia (Acacia sp.), ekaliptus (Eucalyptus sp.), pinus (Pinus sp.), teh
(Camellia sinensis) dan sebagainya (Risnasari, 2002 dalam Padmasari, 2012).
Bahan dasar yang biasa digunakan untuk membuat batik terbuat dari serat alam
(serat selulosa atau serat yang dihasilkan dari binatang). Serat selulosa dan sutera
mempunyai sifat yang hampir sama diantaranya yaitu sangat higroskopis sehingga
memungkinkan dapat menyerap zat warna dengan baik (Suheryanto, 2010). Mekanisme
reaksi antara tanin dengan selulosa (kain mori) sebagai berikut:
Gambar 1. Reaksi tanin dengan selulosa (Suheryanto, 2010 termodifikasi)
3
Tanin Fibroin Sutera
Menurut Noerati dkk. (2013), komposisi penyusun serat protein yang terbesar dari serat
sutera adalah fibroin 76% dan serisin 22% sebagai perekat, sehingga fibroin memiliki
peran penting dalam reaksi pewarnaan. Mekanisme reaksi antara tanin dengan fibroin
sutera sebagai berikut :
Gambar 2. Reaksi tanin dengan fibroin sutera (Hamid dan Muhlis, 2005
termodifikasi)
Ketahanan luntur warna merupakan salah satu unsur penentu mutu suatu bahan
berwarna, di mana warna yang baik pada bahan tekstil nantinya tidak diminati
konsumen jika bahan tersebut warnanya pudar (Kusriniati, 2007). Penggunaan larutan
fiksatif inilah yang akan membuat warna menjadi tidak mudah pudar, intinya ikatan
antara zat warna dengan serat kain akan diperkuat oleh ion logam dari fiksatif tersebut
(Ruwana, 2008). Fiksatif yang biasa digunakan adalah tunjung, tawas dan kapur. Dalam
penelitian ini fiksatif prusi (tembaga sulfat) juga digunakan karena ion Cu2+
dapat
membentuk kompleks dengan senyawa tanin (Rosyda dan Ersam, 2010). Oleh sebab itu
perlu diketahui sejauh mana pengaruh fiksasi terhadap ketuaan dan ketahanan luntur
warna pada kain batik dengan metode pengolahan citra digital RGB (Arham, dkk.,
2004).
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan ketuaan warna pewarna alami limbah teh melati yang difiksasi dengan
tunjung, tawas, prusi dan kapur terhadap kain batik mori dan sutera.
2. Menentukan ketahanan luntur warna kain mori dan sutera yang telah difiksasi
terhadap pencucian.
3. Menentukan ketahanan luntur warna kain mori dan sutera yang telah difiksasi
terhadap pencucian dan penyetrikaan.
4
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Lingkungan, Prodi Kimia,
Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana dari bulan Desember
2013 – Maret 2014.
Bahan
Sampel limbah teh diperoleh dari penjual teh Tong Tji di UKSW Salatiga, kain
mori dan kain sutera. Sedangkan bahan kimiawi yang digunakan adalah Na2CO3 (Soda
abu), FeSO4.7H2O (tunjung), KAl(SO4)2.12H2O (tawas), CuSO4.5H2O (prusi), Ca(OH)2
(kapur ), CH3COOH (asam asetat), dan detergen. Semua bahan kimiawi yang digunakan
dengan grade teknis
Piranti
Piranti yang digunakan antara lain : neraca analitis, panci stainless steel, kompor,
termometer, seterika, kipas angin, pemindai (scanner) canon MP230, Spektrofotometer
Optizen 2120UV dan program MatLab 65.
Metode
Ekstraksi limbah Teh (Kusriniati, 2007 yang dimodifikasi)
500 g limbah teh kering direbus dengan air 2,5 L sampai volumenya menjadi
± 1/3 bagian. Kemudian didinginkan, didiamkan selama satu malam setelah itu disaring.
Proses Mordanting kain mori dan sutera (Kusriniati, 2007)
Untuk kain mori sebelumnya direndam dalam larutan deterjen 2%(b/v) selama 12
jam kemudian direbus dalam campuran larutan (8 g tawas + 2 g soda abu / 1L air)
selama 1 jam, kemudian didiamkan semalam selanjutnya dibilas dan dikering anginkan.
Sedangkan kain sutera direbus dengan menggunakan soda abu 1 g / 1 L air pada suhu
60ºC, kain sutera direndam dan dibolak – balik selama 5 menit. Setelah itu dibilas
dengan air hangat lalu dibilas ulang dengan air dingin sampai bersih kemudian dikering
anginkan.
Pewarnaan kain
Kain mori dan sutera yang sudah dimordanting kemudian dicelupkan ke ekstrak
limbah teh selama 3 menit sambil dibolak – balik lalu dikering anginkan. Proses
pencelupan dilakukan sebanyak 5 kali.
5
Pengfiksasian atau Penguncian Warna
Kain mori dan sutera yang telah melewati proses pewarnaan, kemudian difiksasi
dengan menggunakan tunjung (2%), prusi (3,75%), tawas (5%), dan kapur (2,5%). Kain
direndam dalam larutan fiksatif selama 5 menit, kemudian dikering anginkan.
Pengujian ketuaan warna (Padmasari, 2012)
Kain mori dan sutera yang telah melalui proses pewarnaan dan fiksasi dipindai
dengan piranti pemindai (scanner). Data gambar yang diperoleh diberi kode sesuai
dengan perlakuan yang diberikan. Selanjutnya data gambar dianalisa dengan program
MatLab 65 sehingga diperoleh nilai RGB dan Grey scale-nya.
Pengujian Scanning spektrofotometer Uv-Vis (Sastrohamidjojo, 2001)
Ektrak tanin, masing-masing fiksatif, dan campuran ekstrak tanin dengan
masing-masing fiksatif pada konsentrasi yang sama diukur panjang gelombang serapan
optimumnya menggunakan spetrootometer optizen 2120UV pada panjang gelombang
cahaya tampak (370-700 nm).
Pengujian ketahanan luntur terhadap pencucian (Atikasari, 2005)
Kain yang telah difiksasi dicuci 5 kali dengan larutan detergen 1%, kemudian
dibilas air hangat (40⁰C) 2 kali. Selanjutnya kain dicelupkan dalam asam asetat 0,014%
± 1 menit lalu dibilas dengan air dingin sampai bersih dikering anginkan. Kemudian
dipindai dengan scanner dan dianalisa dengan program Matlab 65.
Pengujian ketahanan luntur terhadap panas penyetrikaan (Atikasri, 2005)
Kain yang telah dicuci kemudian dilapisi kain putih di atasnya lalu diseterika
selama 10 detik. Kemudian dipindai dan dianalisa dengan program Matlab 65.
Analisis data
Data ketuaan warna dianalisis dengan menggunakan RAK (Rancangan Acak
Kelompok) dengan 4 perlakuan dan 6 kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah jenis
fiksasi yaitu: tunjung, prusi, tawas, dan kapur, sedangkan sebagai kelompok adalah
waktu pemrosesan kain.
Data ketahanan luntur terhadap pencucian dan penyetrikaan dianalisis dengan
analisis Dwi Ragam dengan rancangan dasar RAK, 4 perlakuan dan 6 ulangan.
Pengujian antar rataan perlakuan menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat
kebermaknaan 5 % (Steel dan Torrie,1980).
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketuaan warna kain mori dengan
pewarna limbah teh melati
Rataan ketuaan warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh melati antar
berbagai fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,2487
± 0,0286 sampai dengan 0,7676 ± 0,0130 (Tabel 1).
Tabel 1. Rataan Ketuaan Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Teh
Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif
Jenis Fiksatif
Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%
Red (R) w =0,0335
0,2787±0,0245
(a)
0,6198±0,0184
(b)
0,7604±0,0099
(c) 0,7676±0,0130
(c)
Green (G) w =0,0326
0,2487±0,0286
(a)
0,4792±0,0128
(b)
0,6263±0,0072
(c)
0,6185±0,0180
(c)
Blue (B) w =0,0308
0,2507±0,0194
(a)
0,3594±0,0160
(b)
0,4955±0,0051
(c)
0,5046±0,0127
(c)
Grey (Gr) w =0,0269
0,2600±0,0197
(a)
0,5117±0,0151
(b)
0,6537±0,0118
(c)
0,6576±0,0078
(c)
Keterangan :
*w = BNJ 5 %
*Tu = Tunjung; Pr = Prusi; Tw= Tawas; Ka= Kapur
*Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan ketuaan warna yang sama,
sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antarperlakuan berbeda
secara bermakna. Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 2-7
Tabel 1 menunjukkan ketuaan warna kain mori paling gelap secara berurutan
adalah dengan fiksatif tunjung, prusi, tawas, dan terakhir kapur. Hasil ketuaan warna
kain dengan limbah teh melati serupa dengan penelitian Padmasari (2012) yang
menggunakan teh hijau, yaitu dengan fiksatif tunjung menghasilkan warna paling gelap,
sebaliknya dengan fiksatif kapur dan tawas dihasilkan warna lebih terang dari pada
fiksatif tunjung. Sedangkan dengan penelitian Sumasa (2014) menggunakan limbah
kulit biji coklat juga menunjukkan hasil serupa untuk fiksatif prusi dengan urutan
ketuaan warna, yaitu : tunjung paling gelap diikuti prusi dan tawas yang paling terang
(Gambar 3).
7
Gambar 3. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Mori Hasil Pewarnaan
Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Keterangan : R = Red/merah, G = Green /hijau, B = Blue/biru dan Gr = Grey/abu-
abu. Keterangan ini berlaku juga untuk Gambar 4 – 10
Dari Gambar 3, kain mori dengan fiksatif tunjung memberikan warna yang
paling gelap dari hasil reaksi antara tanin teh dengan logam Fe2+
(tunjung)
menghasilkan garam kompleks, garam ini terbentuk karena ikatan kovalen koordinasi
antara ion logam dengan ligannya (Taofik, dkk., 2010 dalam Padmasari, 2012).
Selanjutnya untuk kain mori dengan fiksatif tawas (Al3+
) dan Kapur (Ca2+
)
menghasilkan warna yang paling terang, karena hasil reaksi antara ion logam
(Al3+
/Ca2+
) dengan tanin teh tidak membentuk garam kompleks, melainkan ikatan ionik
(Padmasari, 2012). Menurut Gitopadmojo, (1978 dalam Ruwana, 2008) auksokrom
dalam tanin akan berikatan lebih baik dengan serat kain apabila didukung dengan
adanya garam-garam kompleks.
Sedangkan kain mori dengan fiksatif prusi memberikan warna yang lebih gelap
dibandingkan fiksatif tawas dan kapur, namun lebih terang dibandingkan fiksatif
tunjung. Hasil reaksi antara tanin teh dengan logam Cu2+
(prusi) sama seperti fiksatif
tunjung yang menghasilkan garam kompleks. Menurut Rosyda dan Ersam (2010) ion
logam yang paling banyak membentuk kompleks dengan senyawa tanin adalah Fe(III)
> Cu(II) > Zn(II).
Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketuaan warna kain sutera dengan
pewarna limbah Teh Melati
Rataan ketuaan warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh melati
antar berbagai fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara
0,1803 ± 0,0198 sampai dengan 0,9649 ± 0,0708 (Tabel 2).
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1 2 3 4Tu Pr Tw Ka
R G B Gr
Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka
8
Tabel 2. Rataan Ketuaan Warna (±SE) Kain Sutera Hasil Pewarnaan Limbah Teh
Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif
Jenis Fiksatif
Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%
Red (R) w =0,1581
0,1999±0,0208
(a)
0,5443±0,0305
(b)
0,9349±0,1312
(c) 0,9649±0,0708
(c)
Green (G) w =0,0471
0,1803±0,0198
(a)
0,3464±0,0276
(b)
0,5846±0,0161
(c)
0,6002±0,0160
(c)
Blue (B) w =0,0486
0,1914±0,0234
(a)
0,2142±0,0290
(a)
0,3874±0,0089
(b)
0,4518±0,0177
(c)
Grey (Gr) w =0,0446
0,1901±0,0179
(a)
0,3913±0,0252
(b)
0,6172±0,0161
(c)
0,6322±0,0166
(c)
Dari Tabel 2 terlihat bahwa ketuaan warna kain sutera dengan fiksatif tunjung
paling gelap dalam semua rona (red, green, blue) dan grey, sedangkan pada fiksatif
prusi ketuaan warna paling gelap hanya pada rona blue, sebaliknya rona red, green, dan
grey lebih terang dari pada fiksatif tunjung. Untuk fiksatif tawas dan kapur memiliki
warna lebih terang yang sama dalam rona red , green dan grey, kecuali rona blue untuk
tawas lebih gelap dari pada kapur (Gambar 4).
Gambar 4. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Sutera Hasil Pewarnaan
Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif
Gambar 4 menunjukkan pewarna lebih mudah terserap dalam kain sutera
sehingga rona green, blue dan grey yang dihasilkan lebih gelap dari pada kain mori
untuk semua fiksatif. Menurut Fitrihana (2011, dalam Kombado, 2013), kain sutera
memiliki afinitas paling bagus terhadap zat warna alam, sehingga ikatan antara zat warna
dan fibroin (kain sutera) akan membentuk ikatan kovalen yang lebih tahan luntur.
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1 2 3 4Tu Pr Tw Ka
R G B Gr
Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka
9
Berdasarkan hasil penelitian di atas, selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap
panjang gelombang maksimum masing-masing fiksatif, serta fiksatif yang diberi ekstrak
tanin limbah teh untuk menentukan pengaruhnya terhadap intensitas serapan UV-cahaya
tampak dengan spektrofotometri UV-Vis (Tabel 3).
Tabel 3. Data Panjang Gelombang Maksimum Serapan UV-Vis Ekstrak Limbah
Teh Melati dengan Penambahan Berbagai Fiksatif
λ E Tu E+Tu Pr E+Pr Tw E+Tw Ka E+Ka
370 0,309 1,475 0,294 0,0136 0,39 0,0298 0,304 0,1488 0,237
375 0,538 1,2277 0,522 0,0142 0,631 0,03 0,495 0,1497 0,454
420 3,222 0,4269 4 0,0103 3,222 0,0242 2,721 0,159 3,222
425 3,699 0,4153 4 0,0105 3,097 0,0236 2,721 0,158 3
430 3,155 0,404 4 0,0102 3,301 0,0229 2,796 0,1575 3,046
435 3,222 0,3919 4 0,0101 3,222 0,0223 2,921 0,1587 3,046
440 3,301 0,3825 3,699 0,0102 3,301 0,0219 3 0,1599 3,155
445 3,222 0,3762 4 0,01 3,398 0,0214 3,097 0,1595 3,155
450 3,155 0,372 4 0,0098 3,699 0,0207 3,155 0,1592 3,046
455 3,046 0,3711 4 0,0097 3,699 0,02 3,222 0,1565 3,046
460 2,921 0,3723 4 0,0097 3,699 0,0195 3,222 0,1548 3
465 2,824 0,3713 4 0,0098 3,699 0,0187 3,222 0,1524 2,959
470 2,678 0,3707 3,699 0,0103 3,398 0,018 3,301 0,1516 2,824
475 2,538 0,3692 3,699 0,0113 3,398 0,0179 3,398 0,1508 2,721
700 0,42 0,2297 1,863 1,2449 0,962 0,0094 1,072 0,1069 0,449
Tabel 3 menunjukkan ekstrak tanin dengan penambahan fiksatif tunjung memiliki
titik serapan pada panjang gelombang maksimum 420-435 nm dan 445-465 nm (jika
dibandingkan dengan ekstrak lebih dominan kearah batokromik), sedangkan pada prusi
panjang gelombang maksimumnya 450-465 nm (batokromik), begitu juga dengan
penambahan tawas panjang gelombang maksimun 475 nm (batokromik). Sebaliknya
ekstrak tanin dengan penambahan fiksatif kapur mengalami penurunan panjang
gelombang maksimum dari 425 nm menjadi 420 nm (efek hipsokromik) (Gambar 5).
10
Gambar 5. Serapan UV- Cahaya Tampak Limbah Ekstrak Teh Melati dengan
Penambahan Berbagai Fiksatif
Gambar 5 menunjukkan ekstrak tanin dengan fiksatif tunjung, prusi dan tawas
mengalami pergeseran panjang gelombang maksimum menuju panjang gelombang yang
lebih panjang (efek batokromik). Geseran ini biasanya terjadi karena kerja auksokrom
yaitu gugus fungsi yang menempel pada kromofor (bagian molekul penyerap cahaya)
yang tidak menyerap energi cahayanya sendiri tetapi mempengaruhi panjang gelombang
cahaya yang diserap kromofor (Cairns, 2008) sehingga warna yang dihasilkan lebih
tajam/jelas. Pada penambahan tunjung disertai juga dengan kenaikan intensitas serapan
cahaya (efek hiperkromik) sehingga fotosensitivitasnya semakin kuat dan warna yang
dihasilkan menjadi paling gelap (Kombado, 2013). Sebaliknya pada penambahan tawas
mengalami penurunan intensitas serapan cahaya (efek hipokromik) menyebabkan
fotosensitivitasnya menjadi lemah sehingga warna yang dihasilkan lebih terang
(Kombado,2013), namun tajam/jelas karena efek batokromik.
Hasil berbeda dijumpai pada penambahan fiksatif kapur dalam ekstrak tanin
dimana terjadi penurunan panjang gelombang maksimum (efek hipsokromik). Geseran
ini terjadi jika senyawa dengan ausokrom dan pasangan elektron bebas tidak lagi dapat
berinteraksi dengan elektron-elektron kromofor sehingga warnanya lebih redup (Cairns,
2008). Pada penambahan kapur juga disertai penurunan intensitas serapan yang
menyebabkan fotosensitivitasnya lemah sehingga warna yang dihasilkan lebih terang
11
(Kombando, 2013). Perbedaan warna yang dihasilkan antara keempat fiksatif disiapkan
pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil Pewarnaan Kain Mori dan Sutera dengan Ekstrak Limbah Teh
Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif (Keterangan : Ko : Kontrol, Tu : Tunjung, Pr : Prusi, Tw : Tawas, dan Ka : Kapur)
Dari hasil spektrofotometri UV-Vis di atas jika dibandingkan dengan hasil
penelitian Sumasa (2014), untuk penambahan fiksatif tunjung dalam ekstrak tanin
diperoleh hasil yang sama yaitu penambahan tunjung menyebabkan efek batokromik
disertai efek hiperkromik sehingga warna yang dihasilkan paling gelap. Sebaliknya
diperoleh hasil yang berbeda pada penambahan fiksatif prusi dan tawas, namun dilihat
dari urutan hasil ketuaan warna kain yaitu : Tu > Pr > Tw, serupa dengan hasil
penelitian Sumasa (2014).
Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain mori
dengan pewarna limbah Teh Melati terhadap pencucian
Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh
melati antar berbagai fiksatif terhadap pencucian diekspresikan dengan nilai RGB dan
Grey berkisar antara 0,2366 ± 0,0202 sampai dengan 0,7965 ± 0,0166 (Tabel 4).
Tabel 4. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah
Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian
Jenis Fiksatif
Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%
Red (R)
w =0,2598
0,2442±0,0202
(a)
0,6268±0,0091
(b)
0,7778±0,0248
(b) 0,7965±0,0166
(b)
Green (G)
w =0,2052
0,2520±0,0218
(a)
0,4647±0,0110
(b)
0,5843±0,0202
(b)
0,5922±0,0150
(b)
Blue (B)
w =0,1226
0,3158±0,0132
(a)
0,3526±0,0093
(a)
0,4459±0,0127
(b)
0,4547±0,0158
(b)
Grey (Gr)
w =0,2382
0,2366±0,0202
(a)
0,4973±0,0140
(b)
0,6392±0,0126
(b)
0,6472±0,0205
(b)
Dari Tabel 4 tampak bahwa kain mori dengan fiksatif tunjung tidak mengalami
kelunturan terhadap pencucian untuk semua rona dan grey, sebaliknya untuk fiksatif
Mori
Sutera
Ko Tu Pr Tw Ka
12
prusi, tawas, dan kapur mengalami kelunturan untuk semua rona dan grey kecuali rona
blue dengan fiksatif prusi (Gambar 7).
Gambar 7. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Mori Hasil
Pewarnaan Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif
Terhadap Pencucian
Dari Gambar 7 tampak bahwa kain mori dengan fiksatif tunjung mempunyai
ketahanan luntur yang kuat terhadap pencucian oleh karena adanya ikatan tanin limbah
teh yang mampu masuk ke dalam serat kain mori secara maksimum dan berikatan kuat
dengan serat kain mori (Sulasminingsih, 2006 dalam Padmasari, 2012).
Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutera
dengan pewarna limbah Teh Melati terhadap pencucian
Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh
melati antar berbagai fiksatif terhadap pencucian diekspresikan dengan nilai RGB dan
Grey berkisar antara 0,0070 ± 0,0000 sampai dengan 0,9997 ± 0,0000 (Tabel 5).
Tabel 5. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutera Hasil Pewarnaan Limbah
Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian
Jenis Fiksatif
Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%
Red (R) w =0,0816
0,1118±0,0153
(a)
0,4149±0,0202
(b)
0,9932±0,0131
(c) 0,9997±0,000
(c)
Green (G) w =0,1695
0,0186±0,0079
(a)
0,2438±0,0153
(b)
0,5068±0,0189
(c)
0,5211±0,0207
(c)
Blue (B) w =0,1137
0,0103±0,0052
(a) 0,0070±0,0000
(a)
0,3205±0,0259
(b)
0,4168±0,0228
(b)
Grey (Gr) w =0,2881
0,0810±0,0370
(a)
0,2706±0,0112
(a)
0,5650±0,0321
(b)
0,5828±0,0185
(b)
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
0,70
0,80
0,90
1 2 3 4Tu Pr Tw Ka
R G B Gr
Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka
13
Tabel 5 menunjukkan kain sutera dengan fiksatif tunjung tidak mengalami
kelunturan untuk semua rona dan grey, sebaliknya pada fiksatif prusi untuk rona red dan
green mengalami kelunturan. Sedangkan untuk fiksatif tawas dan kapur paling luntur
untuk rona red dan green (Gambar 8).
Gambar 8. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutera Hasil
Pewarnaan Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif
Terhadap Pencucian
Dari Gambar 8 terlihat kain sutera yang difiksasi tunjung mempunyai ketahanan
yang tinggi terhadap pencucian. Sedangkan fiksasi tawas dan kapur tidak tahan terhadap
pencucian untuk semua rona. Fiksasi prusi tahan terhadap pencucian untuk rona blue
dan grey, sebaliknya luntur untuk rona red dan green. Adanya kelunturan berhubungan
dengan kuat lemahnya ikatan antara serat kain dan zat pewarnanya (Prayitno dkk.,
2014).
Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain mori
dengan pewarna limbah Teh Melati terhadap pencucian dan penyeterikaan
Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh
melati antar berbagai fiksatif terhadap pencucian dan penyeterikaan diekspresikan
dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,3220 ± 0,0258 sampai dengan 0,7709 ±
0,0216 (Tabel 6).
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1 2 3 4Tu Pr Tw Ka
R G B Gr
Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka
14
Tabel 6. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah
Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian dan
Penyeterikaan
Jenis Fiksatif
Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%
Red (R) w =0,1489
0,3325±0,0211
(a)
0,6329±0,0124
(b) 0,7709±0,0231
(b)
0,7704±0,0216
(b)
Green (G) w =0,1409
0,3479±0,0300
(a)
0,4702±0,0190
(b)
0,5543±0,0171
(b)
0,5495±0,0190
(b)
Blue (B) w =0,1217
0,3220±0,0258
(a)
0,3582±0,0093
(a)
0,4590±0,0093
(b)
0,4767±0,0171
(b)
Grey (Gr) w =0,1520
0,3663±0,0166
(a)
0,5039±0,0186
(a)
0,5957±0,0213
(b)
0,5875±0,0245
(b)
Tabel 6 menunjukkan kain mori dengan fiksatif tunjung tidak mengalami
kelunturan terhadap pencucian dan penyetrikaan untuk semua rona dan grey, sebaliknya
pada fiksatif prusi, tawas dan kapur mengalami kelunturan untuk semua rona dan grey
kecuali rona blue dan grey pada fiksatif prusi yang tidak luntur (Gambar 9).
Gambar 9. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Mori Hasil
Pewarnaan Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif
Terhadap Pencucian dan Penyeterikaan Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutera
dengan pewarna limbah Teh Melati terhadap pencucian dan penyeterikaan
Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh
melati antar berbagai fiksatif terhadap pencucian dan penyeterikaan diekspresikan
dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,1459 ± 0,0000 sampai dengan 0,9700 ±
0,0000 (Tabel 7).
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1 2 3 4Tu Pr Tw Ka
R G B Gr
Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka
15
Tabel 7. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutera Hasil Pewarnaan Limbah
Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian dan
Penyeterikaan
Jenis Fiksatif
Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%
Red (R) w =0,3219
0,1733±0,0157
(a)
0,4427±0,0121
(a) 0,9700±0,0000
(b)
0,9696±0,0004
(b)
Green (G) w =0,2533
0,2931±0,0000
(a)
0,3107±0,0174
(a)
0,3400±0,0184
(a)
0,3485±0,0343
(a)
Blue (B) w =0,1651
0,1459±0,0000
(a)
0,1480±0,0000
(a)
0,2208±0,0166
(a)
0,2522±0,0310
(a)
Grey (Gr) w =0,2378
0,2187±0,0426
(a)
0,3354±0,0201
(a)
0,4526±0,0135
(a)
0,4789±0,0344
(b)
Tabel 7 menunjukkan kain sutera dengan fiksatif tunjung dan prusi tidak
mengalami kelunturan terhadap pencucian dan penyetrikaan untuk semua rona dan grey,
sebaliknya rona red pada fiksatif tawas dan kapur, serta grey pada fiksatif kapur
mengalami kelunturan (Gambar 10).
Gambar 10. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutera Hasil
Pewarnaan Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif
Terhadap Pencucian dan Penyeterikaan
Ketahanan luntur warna baik kain mori maupun sutera terhadap pencucian
maupun pencucian-penyeterikaan tidak lepas dari peran fiksatif. Sebab penggunaan
larutan fiksatif dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna menjadi tidak mudah
pudar (Ruwana, 2008).
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1 2 3 4Tu Pr Tw Ka
R G B Gr
Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka
16
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Urutan ketuaan warna kain mori dan sutera dari warna paling gelap adalah fiksatif
tunjung, prusi, tawas, dan warna paling terang adalah fiksatif kapur.
2. Kain mori dan sutera dengan fiksatif tunjung tidak mengalami kelunturan terhadap
pencucian untuk semua rona. Kain mori pada fiksatif prusi mengalami kelunturan
kecuali rona blue, serta pada sutera untuk rona blue dan grey. Sebaliknya kain mori
dengan fiksatif kapur dan tawas mengalami kelunturan untuk semua rona, serta
pada sutera paling luntur untuk rona red dan green.
3. Kain mori dan sutera dengan fiksatif tunjung tidak mengalami kelunturan terhadap
pencucian dan penyeterikaan untuk semua rona, sebaliknya kain mori mengalami
kelunturan untuk rona red dan green pada fiksatif prusi. Sedangkan untuk fiksatif
tawas dan kapur mengalami kelunturan untuk semua rona pada kain mori,
sebaliknya pada kain sutera dengan fiksatif tawas mengalami kelunturan untuk rona
red dan dengan kapur akan luntur untuk rona red dan grey.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pembuatan pewarna limbah teh
melati dalam bentuk serbuk (bentuk instan)
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai ketahanan luntur terhadap
pengaruh panas sinar matahari, air hujan, dan keringat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andreas Setiawan, S.Si, MT.
yang telah membantu dalam processing data RGB-Grey dan kepada Bapak Lutiyono,
S.Si. dalam penggunaan Spektrofotometri UV-Vis
Daftar Pustaka
Arham, Z., U. Ahmad, dan Suroso, 2004. Evaluasi Mutu Jeruk Nipis (Citrus
aurantifolia Swingle) dengan Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Syaraf
Tiruan. Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi
2004. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Atikasari, A., 2005. Kualitas Tahan Luntur Warna Batik Cap Di Griya Batik Larissa
Pekalongan. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
17
Cairns, D., 2008. Intisari Kimia Farmacy, Ed. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Hamid, T. dan D. Muhlis, 2005. Perubahan Sifat Fisika dan Kimia Kain Sutera Akibat
Pewarna Alami Kulit Akar Pohon Mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal
Teknologi : Edisi N0. 2, Tahun XIX, Juni 2005, 163-170 ISSN 0215-1685.
Program Studi Teknik Kimia, Departemen Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas
Teknik Universitas Indonesia. Depok.
Kombado, A. R., 2013. Limbah Kerabang Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica)
sebagai Pewarna Alami Kain Batik. (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan
dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital
RGB). Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana
Kusriniati, D., 2007. Pemanfaatan Daun Sengon (Albizia falcataria) Sebagai Pewarna
Kain Sutera Menggunakan Mordan Tawas Dengan Konsentrasi Yang Berbeda
Pada Busana Camisol. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Kwartiningsih, E., D. A. Setyawardhani, A. Wiyanto, dan A. Triyono., 2009. Zat
Pewarna Alami Tekstil Dari Kulit Buah Manggis. Ekuilibrium Vol. 8. No. 1.
Januari 2009 : 41-47. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik. Universitas
Sebelas Maret. Solo.
Mey, S., 2009. Tips Memilih Kain Sutera untuk Batik.
http://jatim.kemenag.go.id/file/dokumen/279sahabat..pdf/. Diunduh 29
September 2012
Noerati, Gunawan, M. Iwan dan Atin S., 2013. Bahan Ajar Pendidikan dan latihan
Profesi Guru (PLPG): Teknologi Tekstil Sekolah Tinggi. Teknologi Tekstil Padmasari, A. K., 2012. Limbah Teh Hijau Sebagai Pewarna Alami Batik Tulis
(Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah
dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB). Skripsi. Program Studi Kimia,
Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Prayitno, R. Eko, S. Wijana, dan B. S. Diyah D., 2014. Pengaruh Bahan Fiksasi
Terhadap Ketahanan Luntur dan Intensitas Warna Kain Mori Batik Hasil
Pewarnaan Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Malang : Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya
Rosyda, A. Ika, dan T. Ersam, 2010. Peningkatan Kualitas Kayu (Instia bijuga) :
Kompleksasi Logam Cu(II), Fe(III) Dan Zn(II) Oleh Senyawa Tanin. Surabaya :
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut
Teknologi Sepuluh Nopember
Ruwana, Iftitah, 2008. Pengaruh Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna pada
Proses Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah
Kayu Jati. Teknologi dan Kejuruan. Vol. 31, No.1
Sastrohamidjojo, H., 2001. Spektroskopi. Edisi 2. Liberty. Jakarta
Steel, R.G.D. dan J.H. Torie, 1980. Prinsip Dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Biometrik. Gramedia. Jakarta.
Suheryanto, D., 2010. Optimalisasi Celupan Ekstrak Daun Mangga pada Kain Batik
Katun dengan Iring Kapur . Seminar Rekayasa Kimia dan Proses 2010. ISSN :
1411-4216. Balai Besar Kerajinan Batik. Semarang.
Sulasminingsih, 2006. Studi Komparasi Kuaitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak
Kulit Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam Diazo. Universitas
Negeri Semarang. Semarang.
18
Sumasa, T. T. L., 2014. Limbah Kulit Biji Coklat (Theobroma cacao Linn.) sebagai
Pewarna Alami Kain Mori dan Sutra (Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap
Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra
Digital RGB). Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana
Susanto, D. A., 2009. Pusat Percontohan Produksi Dan Pengembangan Batik Di
Surakarta Sebagai Sarana Pelestarian Budaya. Tugas Akhir. Jurusan Teknik
Arsitektur, Fakutas Teknik. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.