KARAKTERISTIK PENGERINGAN CABAI MERAH (Capsicum … · dekoratif. Dalam kosmetik dekoratif, peran...

97
KARAKTERISTIK PENGERINGAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI KOSMETIK SKRIPSI KHANIA TRIA TIFANI F14080126 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of KARAKTERISTIK PENGERINGAN CABAI MERAH (Capsicum … · dekoratif. Dalam kosmetik dekoratif, peran...

KARAKTERISTIK PENGERINGAN CABAI MERAH (Capsicum

annuum L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI KOSMETIK

SKRIPSI

KHANIA TRIA TIFANI

F14080126

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

CHARACTERISTIC OF CHILI DRYING (Capsicum annuum L.) AS A

NATURAL DYEING COSMETIC

Khania Tria Tifani1, *

, Nanik Purwanti1 and Dhiah Nuraini

2

1Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and

Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone 62 857 10374945 2 Department Indusrial Facility Development in Region I, Industrial Ministry, Jl. Jendral Gatot

Subroto Kav 52 – 53, 13th

Floor, South Jakarta 12950 * Corresponding author, e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Chilli (Capsicum sp.) contains carotenoids, which are a group of natural pigments consist of

red, orange or yellow color. Carotenoids can be dissolved in lipid so that they can be applied to oil-

based cosmetic ingredients. Therefore, chilli is potential to be developed as cosmetic colorants.

However, pungency of red chili needs to be removed because it is irritating and it provides stinging

sensation to skin. Red chilli was investigated as a potent material for a cosmetic colourant in this

research because it has a nice uniform red color and has a pungency level less than cayenne pepper.

The purpose of this research was to investigate the influence of blanching on drying characteristics of

red chilli using a tray dryer, determine the proper time of chili blanching in sodium bisulfite solution,

examine color changes stability of red chili powder as a cosmetic dye, and analyze the effect of

oleoresin extraction on color and pungency level of red chili powder. The results showed that

blanching could affect the drying characteristics. Blanching the chilli for 9 minutes prior drying could

speed up the drying rate of chilli and thus the drying time, therefore, the chilli achieved the desired

moisture content fast. Sodium bisulfite solution of 0.2%, used as the blanching media, could maintain

the color well. However, longer time of blanching might cause several pigments soluble in the

blanching media. Blanching the chilli for 9 minutes was able to maintain red color after the stability

tested and after extraction of oleoresin. Therefore, blanching red chilli in a solution of 0.2% sodium

bisulfite for 9 minutes prior drying is concluded as the best treatment to retain the color of red chilli

powder.

Keywords : chilli, tray drying, natural dyeing, cosmetics.

Khania Tria Tifani. F14000126. Karakteristik Pengeringan Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

sebagai Pewarna Alami Kosmetik. Di bawah bimbingan Nanik Purwanti dan Dhiah Nuraini. 2013.

RINGKASAN

Kosmetik merupakan kebutuhan kaum hawa di era modern seperti sekarang. Menurut

kegunaan bagi kulit, kosmetik dapat digolongkan menjadi kosmetik perawatan kulit dan kosmetik

dekoratif. Dalam kosmetik dekoratif, peran zat pewarna sangat penting. Zat pewarna dalam kosmetik

dekoratif ini dapat berasal dari pewarna alami dan sintetis. Pewarna sintetis dapat menimbulkan

bahaya seperti neurotoksisitas, gangguan organ reproduksi, kanker, iritasi kuit, ruam dan

hiperpigmentasi. Oleh karena itu, pewarna alami kosmetik yang berasal dari tumbuhan telah banyak

dikembangkan seperti beras ketan hitam, buah rasberi dan bunga mawar.

Cabai (Capsicum sp.) memiliki zat warna karotenoid. Karotenoid adalah kelompok pigmen

alami yang berwarna merah, orange atau kuning yang larut dalam lipid sehingga dapat diaplikasikan

untuk pewarna kosmetik dengan bahan dasar minyak. Untuk tujuan pewarna kosmetik, cabai perlu

dihilangkan zat pedasnya (kapsaisin) karena dapat menimbulkan iritasi kulit dan kulit terasa panas.

Cabai merah besar dipilih dalam penelitian ini karena memiliki keseragaman warna merah yang baik

serta memiliki tingkat kepedasan yang lebih sedikit dibandingkan dengan cabai rawit. Penelitian ini

dilakukan untuk mengembangkan potensi cabai merah untuk pewarna alami kosmetik sehingga

penggunaan zat pewarna sintetik pada dapat dikurangi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui

pengaruh blanching terhadap karakteristik pengeringan cabai merah dengan pengering tipe rak,

menentukan waktu blanching cabai merah dalam natrium bisulfit yang dapat mempertahankan warna

merah dengan baik, mengkaji kestabilan warna bubuk cabai merah sebagai pewarna kosmetik, dan

mengkaji pengaruh ekstraksi oleoresin terhadap warna dan tingkat kepedasan bubuk cabai merah.

Secara garis besar, penelitian ini mencakup proses persiapan, pengeringan, penggilingan,

analisis warna, uji kestabilan warna, ekstraksi oleoresin, analisis warna setelah ekstraksi oleoresin dan

analisis tingkat kepedasan bubuk cabai merah. Proses persiapan meliputi proses blanching cabai

merah dengan natrium bisulfit 0.2% selama 3, 5, 7 dan 9 menit dan bahan yang tidak di-blanching

adalah perlakuan kontrol. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 75 oC menggunakan alat pengering

tipe rak Sunbeam Food Dehidrator. Sebelum pengeringan berlangsung, uji performansi alat pengering

dilakukan. Selama proses pengeringan dapat diketahui karakteristik pengeringan. Setelah proses

pengeringan dilakukan penggilingan untuk mendapatkan bubuk cabai merah. Selanjutnya, warna

dianalisis dengan menggunakan chromameter. Bubuk cabai ini kemudian diuji kestabilan warnanya

akibat pengaruh suhu, kondisi penyimpanan, pengaruh sinar matahari dan pengaruh sinar lampu.

Tahap berikutnya adalah ekstraksi oleoresin untuk menghilangkan zat pedas cabai dan analisis warna

setelah ekstraksi menggunakan chromameter. Untuk mengetahui keberhasilan ekstraksi dilakukan

analisis tingkat kepedasan dengan menggunakan uji organoleptik pada panelis terlatih.

Hasil pengeringan menunjukkan bahwa perlakuan blanching dapat mempengaruhi

karakteristik pengeringan. Perlakuan blanching selama 9 menit menunjukkan bahawa laju

pengeringan dan waktu pengeringan menjadi lebih cepat dibandingkan perlakuan lain dan kontrol

sehingga kadar air yang diinginkan lebih cepat tercapai. Blanching dengan natrium bisulfit 0.2%

sebelum pengeringan dapat mempertahankan warna bubuk cabai merah dengan baik namun proses

blanching yang terlalu lama akan menyebabkan banyak komponen warna yang larut dalam media

blanching. Blanching selama 7 menit sebelum pengeringan memberikan warna bubuk yang paling

baik setelah pengeringan dibandingkan perlakuan blanching yang lain dan kontrol. Dari hasil analisis

statistik didapatkan bahwa perlakuan 9 menit memiliki tingkat kecerahan paling tinggi namun

memiliki intensitas warna merah yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lain. Namun bila

dilihat secara nominal perbedaan nilai warna merah pada perlakuan ini dengan nilai warna merah

tertinggi (perlakuan blanching 7 menit) hanya sebesar 0.64 dari range nilai warna merah 0 – 50.

Sehingga perlakuan 9 menit ini dapat dikatakan perlakuan terbaik. Blanching selama 9 menit

merupakan perlakuan yang terbaik untuk dapat mempertahankan warna setelah pengujian kestabilan

warna dan ekstraksi oleoresin. Warna merah yang baik merupakan hal penting ketika bahan telah

diaplikasikan untuk pewarna kosmetik, namun kestabilan warna merupakan hal terpenting ketika

kosmetik tersebut telah digunakan ke kulit pemakai.

KARAKTERISTIK PENGERINGAN CABAI MERAH (Capsicum

annuum L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI KOSMETIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

KHANIA TRIA TIFANI

F14080126

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Skripsi : Karakteristik Pengeringan Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Sebagai Pewarna

Alami Kosmetik

Nama : Khania Tria Tifani

NIM : F14080126

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Nanik Purwanti, S.TP, M.Sc) (Ir. Dhiah Nuraini, M.Si)

NIP. 19810108 200501 2 004 NIP. 090012851

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Desrial, M.Eng)

NIP. 19661201 199103 1 004

Tanggal Lulus :

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Pengeringan

Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) sebagai Pewarna Alami Kosmetik adalah hasil karya sendiri

dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Yang membuat pernyataan

Khania Tria Tifani

F14080126

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian

Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak maupun fotokopi,

mikrofilm dan sebagainya.

BIODATA PENULIS

Khania Tria Tifani, lahir di Magetan, 16 Juli 1990 dari ayah Latif dan ibu

Sulastri, sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan

SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 3 Madiun dan pada tahun yang

sama diterima di IPB melalui jalur SNMPTN tulis. Penulis memilih Mayor

Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas

Teknologi Pertanian. Pada tahun 2011, penulis memilih Bagian Teknik

Biosistem. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai

kegiatan yaitu sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Madiun

(Pasmad) pada periode tahun 2008 – sekarang, panitia Salam Perkenalan

Angkatan2009 (SAPA) pada periode tahun 2010, sekretaris Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian

Indonesia (IMATETANI) pada periode tahun 2011/2012. Selain itu, penulis juga aktif menjadi asisten

mata kuliah Teknik Pengolahan Pangan pada tahun 2012 dan mata kuliah Motor dan Tenaga

Penggerak pada tahun 2012. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2011 di PG

Poerwodadie, Magetan, Jawa Timur dengan judul Teknik Pengolahan Gula di PG Poerwodadie PTPN

XI, Magetan, Jawa Timur.

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan pertolongan-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan judul Karakteristik

Pengeringan Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) sebagai Pewarna Alami Kosmetik. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan pada

saat penelitian maupun pada saat penyusunan skripsi ini, yaitu:

1. Orangtua, keluarga, dan saudara-saudara yang sudah mendukung secara moril dan materiil, atas

doa yang selalu terucap setiap harinya, tanpa kalian entah darimana semangat ini terus ada.

2. Almh. Ir. Putiati Mahdar, M. App. Sc., Dr. Nanik Purwanti, S.TP, M.Sc. dan Ir. Dhiah Nuraini,

M.Si. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan dukungan serta Dr. Ir.

Emmy Darmawati, M.Si. sebagai dosen penguji yang telah memberikan arahan dalam perbaikan

skripsi.

3. Dosen-dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem atas didikan dan bimbingannya

4. Pak Sulyaden yang banyak membantu di Laboratorium.

5. Ibu Mar (UPT) yang selalu membantu urusan akademik saya.

6. Bintarjo Agus Priyadi atas bantuan dan dukungan selama penelitian.

7. Teman sebimbingan Anggi Tri Granita atas kerjasama, semangat dan bantuannya.

8. Teman-teman Magenta 45 khususnya kepada Bhekti Ayu, Harli, Yuliani, Nurul Fuadah, Fiki,

Soleh dan Aulia atas dorongan semangatnya.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak bisa

disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.

Oleh karena itu, segala bentuk masukan baik berupa kritik maupun saran sangat penulis harapkan agar

dapat menjadi sebuah bahan pembelajaran serta proses perbaikan selanjutnya. Atas perhatiannya,

penulis mengucapkan terimakasih.

Bogor, Januari 2013

Penulis

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ...................................................................................................................................v

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................ vi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................................ vii

I. PENDAHULUAN ...............................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................. 1

1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................................................................. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................................................3

2.1 Keadaan Umum Cabai ..................................................................................................................... 3

2.2 Blanching ......................................................................................................................................... 6

2.3 Perubahan Warna ............................................................................................................................. 7

2.5 Teori Pengeringan ............................................................................................................................ 7

2.6 Pengering Tipe Rak .......................................................................................................................... 8

2.7 Karakteristik Pengeringan ................................................................................................................ 9

2.8 Analisis Performansi Alat Pengering ............................................................................................. 10

2.9 Ekstraksi Oleoresin ........................................................................................................................ 11

2.10 Kosmetik ...................................................................................................................................... 12

2.11 Analisis Warna ............................................................................................................................. 13

III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................................................... 17

3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................................................................... 17

3.2 Bahan dan Alat ............................................................................................................................... 17

3.3 Metode Penelitian ........................................................................................................................... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................................................... 27

4.1 Performa Alat Pengering ................................................................................................................ 27

4.2 Efisiensi Pengeringan ..................................................................................................................... 34

4.3 Karakteristik Pengeringan Cabe Merah.......................................................................................... 34

4.4 Produk Hasil Pengeringan .............................................................................................................. 39

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................................ 48

5.1 Kesimpulan .................................................................................................................................... 48

5.2 Saran............................................................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 50

LAMPIRAN .......................................................................................................................................... 52

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan zat gizi buah cabai segar dan kering setiap 100 gram bahan ................................. 5

Tabel 2. Standar mutu cabai merah ........................................................................................................ 5

Tabel 3. Persentase komponen pigmen karatenoid pada cabai merah .................................................... 6

Tabel 4. Spesifikasi alat pengering....................................................................................................... 17

Tabel 5. Alat-alat produksi ................................................................................................................... 18

Tabel 6. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui karakteristik pengeringan ............................... 18

Tabel 7. Uji organoleptik bubuk cabai pada perlakuan blanching yang berbeda ................................. 20

Tabel 8. Tingkat pengenceran dan nilai SHU pada uji kepedasan ....................................................... 25

Tabel 9. Tingkat kepedasan dan nilai SHU pada uji kepedasan ........................................................... 25

Tabel 10. Efisiensi alat pengering pada pengeringan cabai merah ....................................................... 34

Tabel 11. Karakteristik pengeringan cabai merah ulangan 1. .............................................................. 35

Tabel 12. Karakteristik pengeringan cabai merah ulangan 2. .............................................................. 35

Tabel 13. Data hasil perhitungan dengan metode oven ........................................................................ 35

Tabel 14. Kadar air cabai kering dan kadar air bubuk cabai ................................................................ 39

Tabel 15. Persentase penurunan intensitas warna merah pada uji stabilitas warna. ............................. 44

Tabel 16. Persentase penurunan intensitas warna merah ..................................................................... 46

Tabel 17. Tingkat kepedasan bubuk ..................................................................................................... 47

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Cabai merah .......................................................................................................................... 3

Gambar 2. (a) Kurva perubahan kadar air terhadap waktu pengeringan, (b) Kurva laju pengeringan

terhadap kadar air (Heldman dan Singh 1981). .............................................................................. 8

Gambar 3. Peta warna sistem notasi I.C.I. (Andarwulan et al. 2011). ................................................. 14

Gambar 4. Bola warna Munsel (Andarwulan et al. 2011). ................................................................... 15

Gambar 5. Diagram warna Hunter (Andarwulan et al. 2011). ............................................................. 16

Gambar 6. Alat pengering Sunbeam DT5600 ...................................................................................... 18

Gambar 7. Diagram alir penelitian Karakteristik Pengeringan Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

sebagai Pewarna Alami Kosmetik ................................................................................................ 19

Gambar 8. Penempatan termokopel pada alat pengering. .................................................................... 21

Gambar 9. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 35 oC (set I) ..................... 27

Gambar 10. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 55 oC (set II) .................. 27

Gambar 11. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 75 oC (set III) ................. 28

Gambar 12. Sebaran suhu pada irisan penampang alat pengering (Soleh 2012) .................................. 28

Gambar 13. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan kontrol. ............................................................................................. 29

Gambar 14. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan blanching 3 menit. ............................................................................ 30

Gambar 15. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan blanching 5 menit. ............................................................................ 31

Gambar 16. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan blanching 7 menit. ............................................................................ 32

Gambar 17. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan blanching 9 menit. ............................................................................ 33

Gambar 18. Grafik perubahan kadar air selama pengeringan pada ulangan 1. .................................... 36

Gambar 19. Grafik perubahan kadar air selama pengeringan pada ulangan 1. .................................... 36

Gambar 20. Grafik laju pengeringan selama pengeringan pada ulangan 1. ......................................... 37

Gambar 21. Grafik laju pengeringan selama pengeringan pada ulangan 2. ......................................... 37

Gambar 22. Grafik laju pengeringan menurun tetap (titik A-B) dan menurun lambat (titik B-C). ...... 38

Gambar 23. Grafik hubungan antara nilai L* dengan lama blanching. ................................................ 40

Gambar 24. Grafik hubungan antara nilai a* dengan lama blanching. ................................................ 40

Gambar 25. Perubahan intensitas warna akibat suhu penyimpanan. .................................................... 41

Gambar 26. Perubahan intensitas warna akibat kondisi penyimpanan. ................................................ 42

Gambar 27. Perubahan intensitas warna akibat sinar matahari. ........................................................... 42

Gambar 28. Perubahan intensitas warna akibat sinar lampu. ............................................................... 43

Gambar 29. Perubahan nilai L* setelah ekstraksi oleoresin. ................................................................ 45

Gambar 30. Perubahan a* setelah ekstraksi oleoresin. ......................................................................... 46

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Dimensi alat pengering (Soleh 2012) .............................................................................. 53

Lampiran 2. Susunan rak dalam alat pengering (Soleh 2012) .............................................................. 54

Lampiran 3. Posisi fan dalam alat pengering (Soleh 2012) .................................................................. 55

Lampiran 4. Nilai panas laten penguapan air pada suhu tertentu (Heldman dan Singh 1981) ............. 56

Lampiran 5. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban .......................................................... 57

Lampiran 6. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban (lanjutan) ......................................... 58

Lampiran 7. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban (lanjutan). ........................................ 59

Lampiran 8. Sebaran suhu pada perlakuan kontrol .............................................................................. 60

Lampiran 9. Sebaran suhu pada perlakuan blanching selama 3 menit ................................................. 61

Lampiran 10. Sebaran suhu pada perlakuanblanching selama 5 menit ................................................ 62

Lampiran 11. Sebaran suhu pada perlakuan blanching selama 7 menit ............................................... 63

Lampiran 12. Sebaran suhu padaperlakuan blanching selama 9 menit ................................................ 64

Lampiran 13. Perhitungan efisiensi pengering pada tiap perlakuan ..................................................... 65

Lampiran 14. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan kontrol ulangan 1 ............................... 66

Lampiran 15. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan kontrol ulangan 2 ............................... 67

Lampiran 16. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 3 menit ulangan 1 ............. 68

Lampiran 17. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 3 menit ulangan 2 ............. 69

Lampiran 18. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 5 menit ulangan 1 ............. 70

Lampiran 19. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 5 menit ulangan 2 ............. 71

Lampiran 20. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 7 menit ulangan 1 ............. 72

Lampiran 21. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 7 menit ulangan 2 ............. 73

Lampiran 22. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 9 menit ulangan 1 ............. 74

Lampiran 23. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 9 menit ulangan 1 ............. 75

Lampiran 24. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan suhu penyimpanan ...................................... 76

Lampiran 25. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan sinar matahari ............................................. 77

Lampiran 26. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan sinar lampu ................................................. 78

Lampiran 27. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan kondisi simpan ............................................ 79

Lampiran 28. Data perubahan intensitas warna pada uji kestabilan warna .......................................... 80

Lampiran 29. Data perubahan intensitas warna pada uji kestabilan warna (lanjutan) .......................... 81

Lampiran 30. Warna produk secara visual ........................................................................................... 82

Lampiran 31. Hasil analisis sidik ragam menggunakan SPSS………………………………...………83

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kosmetik adalah bahan yang diaplikasikan secara topikal yang digunakan untuk

memperbaiki penampilan, menghilangkan kotoran kulit, meningkatkan rasa percaya diri,

mempertahankan komposisi cairan kulit, melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet, dan

memperlambat timbulnya kerutan (Wasitaatmadja 1997). Menurut kegunaan bagi kulit, kosmetik

dapat digolongkan menjadi kosmetik perawatan kulit dan kosmetik dekoratif. Kosmetik dekoratif atau

riasan adalah kosmetik yang diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga

menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti

percaya diri. Dalam kosmetik riasan, peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar. Zat pewarna

dalam kosmetik dekoratif ini dapat berasal dari pewarna alami dan sintetis. Pewarna sintetis banyak

digunakan karena dapat membuat sabun, lotion, cream dan produk kecantikan lainnya terlihat sangat

menarik. Tetapi pewarna sintetis dapat menimbulkan bahaya seperti neurotoksisitas, gangguan organ

reproduksi, kanker, iritasi kuit, ruam dan hiperpigmentasi. Oleh karena itu telah banyak

dikembangkan pewarna alami kosmetik yang berasal dari tumbuhan. Beberapa penelitian yang telah

dilakukan mengenai pewarna alami kosmetik adalah pembuatan pewarna lipstik oleh Farima (2009)

dengan bahan dasar ekstrak bunga mawar merah, Trinanda (2012) dengan bahan dasar ekstrak buah

rasberi dan Utami (2011) dengan bahan dasar beras ketan hitam.

Cabai (Capsicum sp.) merupakan tanaman yang memiliki prospek yang baik untuk

digunakan sebagai pewarna kosmetik. Hal ini karena cabai memiliki zat warna karotenoid. Karotenoid

adalah kelompok pigmen alami yang berwarna merah, orange atau kuning yang larut dalam lipid

sehingga dapat diaplikasikan pada kosmetik dengan bahan dasar minyak. Untuk tujuan pewarna

kosmetik, cabai perlu dihilangkan zat pedasnya (kapsaisin) karena dapat menimbulkan iritasi kulit dan

kulit terasa panas. Dari studi pustaka yang dilakukan, penelitian nasional ataupun internasional yang

mengulas potensi cabai merah sebagai pewarna kosmetik belum ditemukan. Oleh karena itu,

penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan potensi cabai merah sebagai pewarna alami kosmetik.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan cabai untuk pewarna kosmetik,

antara lain keseragaman warna merah dan kandungan zat pedas atau kapsaisin. Keseragaman warna

merah perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi kualitas dari zat pewarna tersebut. Kandungan

zat pedas harus seminimal mungkin agar mudah dihilangkan sehingga kosmetik dengan pewarna dari

cabai aman untuk diaplikasikan pada kulit wajah. Menurut Udin dan Mochtar (1993), cabai besar

memiliki tingkat kepedasan 500,000 SHU (Scoville Heat Unit) dan kandungan kapsaisin sebesar

0.35%, sedangkan cabai kecil (cabai rawit) memiliki tingkat kepedasan 980,000 SHU dan kandungan

kapsaisin sebesar 0.66%. Berdasarkan hal tersebut, cabai merah besar dipilih dalam penelitian ini

karena memiliki keseragaman warna merah yang baik serta memiliki tingkat kepedasan yang lebih

sedikit dibandingkan dengan cabai rawit.

Untuk mendapatkan warna dari cabai merah, cabai merah dikeringkan terlebih dahulu.

Pengeringan cabai merah besar (Capsicum annuum L.) dapat dilakukan secara alami menggunakan

sinar matahari atau dapat menggunakan alat pengering. Pengeringan alami memiliki banyak kendala

yaitu membutuhkan luas pengeringan lebih besar dibanding dengan pengeringan mekanis. Adanya

kontaminasi yang berasal dari debu, insekta, burung, dan rodensia serta bahan yang terus mengalami

respirasi jaringan dan adanya proses fermentasi (bila bahan mengandung kadar gula tinggi)

menyebabkan kualitas pengeringan mekanis lebih baik dari pengeringan alami. Namun, warna produk

2

hasil pengeringan alami lebih baik dan pengeringan alami lebih ekonomis dibanding pengeringan

mekanis (Desrosier 2008). Setelah dikeringkan, cabai merah dikecilkan ukurannya hingga 30 – 40

mesh untuk dihilangkan kandungan kapsaisinnya dengan cara ekstraksi oleoresin. Oleoresin adalah

campuran minyak dan resin yang diperoleh dari ekstraksi, pemekatan dan standarisasi minyak atsiri

dan komponen non volatile dari rempah-rempah (anonim 2009). Oleoresin dari proses ekstraksi ini

dapat digunakan untuk obat oles untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat rematik dan encok.

Sehingga didapatkan nilai tambah cabai selain digunakan untuk pewarna kosmetik.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh blanching terhadap karakteristik pengeringan cabai merah dengan

pengering tipe rak.

2. Menentukan waktu blanching cabai merah dalam natrium bisulfit yang dapat mempertahankan

warna merah dengan baik.

3. Mengkaji kestabilan warna bubuk cabai merah sebagai pewarna kosmetik.

4. Mengkaji pengaruh ekstraksi oleoresin terhadap warna dan tingkat kepedasan bubuk cabai

merah.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1. Memperoleh karakteristik pengeringan cabai merah dengan menggunakan alat pengering tipe

rak.

2. Mengetahui lama blanching cabai merah dengan natrium bisulfit yang dapat mempertahankan

warna merah dengan baik.

3. Meningkatkan nilai tambah olahan cabai merah sebagai bahan pewarna kosmetik.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Umum Cabai

2.1.1 Botani Cabai

Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk dalam famili Solanaceae, genus Capsicum,

ordo Solanales, subkelas Dicotyledoneae, kelas Angiospermae (Susila 1989). Cabai merah merupakan

tanaman semusim (annual) berbentuk perdu, berdiri tegak dengan batang berkayu dan memiliki

banyak cabang. Perakaran tanaman cabai merupakan akar tunggang. Daun berwarna hijau muda

sampai hijau gelap, tulang daun menyirip dengan bentuk daun lonjong dan ujung daun meruncing.

Bunga cabai berbentuk seperti terompet dan tergolong bunga lengkap (Prajnanta 2007).

Gambar 1. Cabai merah

Cabai (Capsicum sp.) pada dasarnya terdiri atas 2 golongan utama, yaitu cabai besar (C.

Annuum L.) dan cabai rawit (C. Frutescens L.). Cabai besar terdiri atas cabai merah (hot pepper/cabai

pedas), cabai hijau dan paprika (sweet pepper/cabai manis). Contoh salah satu varietas cabai dapat

dilihat pada Gambar 1.

Tanaman cabai merah adalah tanaman sayur buah yang dibudidayakan secara intensif di

”tegalan”, kebun, di pekarangan rumah atau bahkan di pot. Budidaya cabai merah dimulai dengan

mempersiapkan benih unggul yang diperoleh dari biji buah cabai merah yang telah tua, mengolah

tanah kemudian dibuat bedengan-bedengan dan dibuat alur untuk tempat menyemai. Wadah, pot dan

kantung plastik kecil diisi media semai. Benih cabai disemai di polybag kecil, di wadah, atau di

bedengan. Jika digunakan kantung plastik kecil, masing-masing plastik diisi satu benih. Namun, jika

disemai di media pot, wadah atau bedengan diperlukan benih dalam jumlah banyak. Benih disemai

dengan cara ditebar merata. Tempat yang akan digunakan untuk menanam cabai di beri pupuk

kompos. Bibit yang telah memiliki 3 – 4 daun siap ditanam. Jarak tanam di bedengan sekitar 60 – 70

cm dan di pot ditanam 1 – 2 bibit. Tanaman cabai merah diberi ajir, diikat untuk menopang tegaknya

tanaman dan kuat untuk menopang beban berat buah. Musim tanam yang baik untuk bertanam cabai

merah adalah menjelang akhir musim hujan atau di musim kemarau bila tersedia air untuk penyiraman

atau pengairannya. Pemeliharaan tanaman, penyiraman, penyulaman, pemupukan susulan dan

pengendalian terhadap serangan organisme pengganggu tanaman dilakukan secara intensif atau sesuai

kebutuhan (Pitojo dan Zumiati 2009).

4

Cabai dapat dipanen pada saat buah memiliki bobot maksimal, bentuknya padat, dan

warnanya tepat merah menyala dengan sedikit garis hitam (90% masak). Umur panen cabai ditentukan

oleh tiga hal, yaitu varietas, lokasi penanaman dan kombinasi pemupukan yang digunakan. Cara

pemanenan cabai dengan dipetik dan disertakan tangkai buahnya. Cabai yang dipanen tanpa tangkai

buah akan cepat busuk. Waktu panen yang baik pada pagi hari karena bobot buah dalam keadaan

optimal sebagai hasil penimbunan zat-zat makanan pada malam harinya dan belum banyak mengalami

penguapan (Prajnanta 2007).

2.1.2 Komposisi Kimia Cabai

Secara umum buah cabai mempunyai banyak kandungan gizi yang masing-masing jenisnya

akan berlainan. Tabel 1 menunjukkan kandungan gizi buah dari beberapa jenis cabai, baik bentuk

segar maupun kering.

Pengeringan cabai biasa dilakukan untuk mengawetkan pada saat panen raya serta untuk

memperpanjang umur simpan dari cabai tersebut. Di Indonesia cabai kering biasanya digunakan

sebagai bumbu penyedap dan pewarna masakan. Namun penggunaan cabai tidak terbatas hanya untuk

penyedap masakan saja. Menurut Wiryanta (2002), cabai juga digunakan sebagai penggugah selera

makan (appetizer) selain sebagai penyedap makanan. Cabai banyak digunakan untuk terapi kesehatan.

Cabai juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dalam jantung serta dapat digunakan sebagai

obat oles untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat rematik dan encok. Khasiat cabai yang

begitu banyak tersebut disebabkan oleh senyawa kapsaisin (C18H27NO3). Cabai juga mengandung

senyawa kapsikidin yang berfungsi untuk memperlancar sekresi asam lambung dan mencegah infeksi

sistem pencernaan. Cabai yang akan dikeringkan harus memenuhi standar mutu tertentu untuk

memperoleh produk yang seragam. Tabel 2 menunjukkan syarat mutu cabai merah sesuai dengan SNI

01-4480-1998.

Hasil penelitian Komara (1991) menunjukkan bahwa komponen pemberi rasa pedas pada

cabai dapat diekstrak menggunakan pelarut organik. Komponen pemberi rasa pedas ini kemudian

diidentifikasi sebagai kapsaisin. Ekstraksi ini dapat menggunakan pelarut ethanol atau eter. Ethanol

memberikan rendemen oleoresin yang baik sedangkan eter merupakan pelarut yang mempunyai

kemampuan mengekstrak kapsaisin terbaik. Masih menurut Komara (1991), ekstraksi 100 gram bubuk

cabai (ukuran 30 – 40 mesh) dengan metode perkolasi, menggunakan pelarut ethanol 96% pada suhu

40oC, dan dengan perbandingan jumlah bahan dan pelarut 1:6 (b/v) selama 120 menit, memberikan

hasil oleoresin yang optimal.

Menurut Udin dan Mochtar 1993, cabai besar memiliki tingkat kepedasan 500,000 SHU.

Menurut Guci (2012), tingkat kepedasan cabai dapat diukur menggunakan Scoville Organoleptic Test.

Pengukuran ini dilakukan oleh seorang kimiawan bernama Wilbur Scoville pada tahun 1912. Prinsip

Scoville Organoleptic Test adalah ekstrak cabai dicairkan dengan sirup gula sehingga rasa pedasnya

tidak terasa lagi. Derajat pencairan cabai ini dinilai di Scoville Scale dan hasil pengukuran dapat

dinyatakan dengan satuan Scoville Heat Unit (SHU). Gula atau cabai manis (paprika) akan mendapat

nilai 0 SHU, ini menandakan tidak adanya kandungan zat kapsaisin sebagai pendeteksi rasa pedas.

Pada percobaan lain, cabai “bhut jolokias” mempunyai tingkat kepedasan 1,000,000 SHU. Ini

menunjukkan ekstrak cabai ini perlu dicairkan sejuta kali supaya kapsaisin tidak terasa lagi. Pada saat

percobaan pertama yang dilakukan Wilbur, pengukuran ini menunjukkan hasil yang tidak tepat. Hal

ini terjadi karena panelis yang melakukan organoleptik belum terbiasa dengan pengenalan rasa pedas.

Agar hasil pengukuran yang dilakukan tepat, maka dilakukan pengujian pada panelis yang telah

terlatih.

5

Tabel 1. Kandungan zat gizi buah cabai segar dan kering setiap 100 gram bahan

Kandungan

Segar Kering

Cabai

Hijau Besar

Cabai

Merah Besar

Cabai

Rawit

Cabai

Hijau Besar

Cabai

Merah Besar

Cabai

Rawit

Kalori (kal) 23 31 103 - 311 -

Protein (g) 0.7 1 4.7 - 15.9 15

Lemak (g) 0.3 0.3 2.4 - 6.2 11

Karbohidrat (g) 5.2 7.3 19.9 - 61.8 33

Kalsium (mg) 14 29 45 - 160 150

Fosfor (mg) 23 24 85 - 370 -

Besi (mg) 0.4 0.5 2.5 - 2.3 9

Vit. A (SI) 260 470 11,050 - 576 1,000

Vit. B1 (mg) 0.05 0.05 0.05 - 0.04 0.5

Vit. C (mg) 84 18 70 - 50 10

Air (g) 93.4 90.9 71.2 - 10 8 ml

b. d. d *)

(%) 82 85 85 - 85 -

Catatan : b.d.d = bagian yang dapat dimakan (Susila, 1989)

Tabel 2. Standar mutu cabai merah

Jenis Uji Persyaratan

Mutu I Mutu II Mutu III

Keseragaman warna merah (%) ≥ 95 ≥ 95 ≥ 95

Keseragaman

- Bentuk (% normal) 98 96 95

Keseragaman ukuran (cm)

a. Cabai merah besar

- Panjang buah 12 – 14 9 – 11 < 9

- Garis tengah pangkal 1.5 – 1.7 1.3 – <1.5 < 1.3

b. Cabai merah kering

- Panjang buah >12 – 17 10 – <12 < 10

- Garis tengah pangkal 1.5 – 1.7 1.3 – <1.5 < 1.3

Kadar kotoran (%) 1 2 5

Tingkat kerusakan dan busuk (%)

a. Cabai merah besar 0 1 2

b. Cabai merah kering 0 1 2

Sumber : SNI no. 01-4480-1998 (Deptan)

Menurut Purseglove, Brown, Green, dan Robbins (1981), pigmen yang menyebabkan cabai

berwarna merah atau merah menyala bila telah masak adalah pigmen karotenoid. Karotenoid yang

terdapat dalam cabai merah sebanyak 0.1 – 0.5% yang terdiri dari capsanthin, capsorubin, β-caroten,

zeaxanthin, cryptoxanthin, violaxanthin, anteraxanthin, cryptocapsin dan lutein. Persentase komponen

pigmen karotenoid pada cabai merah dapat dilihat pada Tabel 3.

6

Tabel 3. Persentase komponen pigmen karatenoid pada cabai merah

besar dan yang masih hijau

Pigmen Merah (%) Hijau (%)

Capsanthin 35 -

Capsorubin 6 -

β-caroten 10 13

Zeaxanthin 2 1

Cryptoxanthin 6 1

Violaxanthin 10 15

Neoxanthin 1 15

Anteraxanthin 2 -

Cryptocapsin 4 -

Lutein - 41

Sumber : Purseglove et al., (1981)

Warna cabai merah yang berpotensi untuk digunakan sebagai pewarna tergantung pada

beberapa faktor, antara lain kematangan dan suhu yang digunakan selama proses pengeringan atau

proses lainnya dalam kondisi penyimpanan terutama kontak udara dan cahaya.

2.2 Blanching

Proses blanching merupakan perlakuan pendahuluan untuk beberapa jenis sayuran dan buah-

buahan yang akan dikeringkan, dikalengkan dan dibekukan dengan tujuan untuk mendapatkan kualitas

produk akhir yang baik. Proses blanching merupakan salah satu proses termal dan umumnya

membutuhkan suhu berkisar 75 – 95 oC selama 1 – 10 menit. Pada dasarnya, proses blanching

bertujuan untuk menonaktifkan enzim-enzim yang menyebabkan perubahan kualitas pangan. Aktifitas

enzim perlu dinonaktifkan karena dapat mempengaruhi warna, bau, cita rasa dan kandungan gizi dari

bahan pangan. Fungsi blanching yang lain adalah mengurangi gas antarsel. Pengurangan kadar

oksigen antarsel penting dilakukan untuk mengurangi perubahan oksidatif dan mendapatkan kondisi

headspace yang vakum pada proses pengalengan (Estiasih dan Ahmadi 2011).

Peralatan yang digunakan dalam proses blanching adalah steam blancher, hot water blancher

dan microwave blancher. Faktor - faktor yang mempengaruhi waktu blanching adalah tipe buah dan

sayur, ukuran dan jumlah bahan, suhu blanching, dan metode pemanasan. Proses blanching dapat

menurunkan berat bahan dan kandungan zat gizi, memudahkan pelarutan senyawa toksik,

menurunkan kadar mikroorganisme kontaminan, merubah warna, menghilangkan cita rasa yang

volatile, dan merubah struktur dan tekstur bahan pangan (Estiasih dan Ahmadi 2011).

Menurut Muchtadi, Sugiyono, dan Ayustaningwarno (2010), sayuran memerlukan waktu

blanching sekitar 2 – 4 menit pada suhu 98.9 – 100 oC, jika dalam bentuk irisan kecil atau tipis. Jika

irisan berukuran besar atau tebal maka diperlukan waktu blanching 5 – 15 menit. Proses blanching ini

dapat dilakukan secara batch atau kontinyu sesuai dengan jumlah bahan yang akan di-blanching.

Blanching dapat dilakukan dengan sulfit, fosfat atau karbonat. Penambahan bahan kimia ini terutama

untuk mempertahankan warna produk ketika nantinya produk diproses dengan pengeringan.

7

2.3 Perubahan Warna

Menurut Muchtadi et al. (2010), jika sayuran atau buah – buahan terpotong atau terluka,

maka biasanya pada bagian yang terpotong atau terluka tersebut permukaannya akan berubah

warnanya menjadi coklat. Reaksi perubahan ini disebut sebagai reaksi browning. Browning sendiri

bisa dikategorikan kedalam browning enzimatik dan non-enzimatik. Reaksi browning enzimatik

disebabkan oleh oksidasi phenol atau poliphenol karena adanya enzim phenol oksidase (phenolase)

atau poliphenol oksidase (poliphenolase). Menurut Desrosier (2008), interaksi asam amino dan gula

reduksi (reaksi Maillard) adalah reaksi pencoklatan secara non-enzimatik dan dapat dicegah dengan

menggunakan sulfit.

Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimianya, dan diduga dapat

mengubah warna bahan pangan. Karotenoid dan antosianin diketahui berubah selama proses

pengeringan. Makin tinggi suhu dan makin lama waktu pengeringan yang diberikan, makin banyak zat

warna yang berubah. Untuk menghindari proses browning dan perubahan warna akibat pengeringan

maka digunakan bahan sulfit, fosfat atau karbonat pada medium blanching (Muchtadi et al. 2010).

Metode penambahan bahan kimia yang berbeda untuk mempertahankan warna produk

diungkapkan oleh Setiadi (2008). Cabai merah yang sudah di-blanching pada suhu 90 oC selama 6

menit lalu direndam dalam larutan kalium metabisulfat 0.2% (setiap 2 gram bahan dicampur 1 liter

air). Menurut Wiryanta (2002), supaya warna cabai tidak pudar, pada pengeringan cabai yang dibelah

dahulu, buah cabai dapat direndam di dalam larutan natrium bisulfit 0.2% selama lima menit.

Berdasarkan (Marsudi 1993), bahan rendaman yang memiki tingkat kecerahan dan warna yang baik

adalah perendaman menggunakan natrium bisulfit. Metode lain untuk mempertahankan warna produk,

menghambat pertumbuhan bakteri, khamir dan kapang sebelum dikeringkan adalah dengan

pencelupan terhadap bahan kimia berupa larutan dipsol, natrium bisulfit dan magnesium hidroksida.

2.4 Teori Pengeringan

Menurut Heldman dan Singh (1981), pengeringan pada umumnya adalah menghilangkan

sebagian kandungan air dalam produk dengan menggunakan panas pada suhu di bawah titik didih.

Mekanisme pengeringan dapat dipengaruhi oleh karakteristik produk, kontak antara udara panas dan

permukaan produk, dan karakteristik pindah panas dan pindah massa dari luar produk ke bagian dalam

produk atau sebaliknya. Laju pengeringan, pada awalnya, akan tergantung pada laju perpindahan

panas dan massa dari permukaan produk ke udara sekitarnya. Saat produk mencapai kadar air kritis di

mana kadar air bebas telah diuapkan, maka tingkat pengeringan akan ditentukan oleh laju pergerakan

air dari dalam ke permukaan produk, dan jarak panas tersebut melewati bagian dalam bahan.

Kurva karakteristik pengeringan umumnya digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan

mekanisme pindah panas dan pindah massa selama proses pengeringan dan untuk membandingkan

karakteristik produk pada metode pengeringan yang digunakan. Kurva karakteristik pengeringan

diperoleh dari plotting laju pengeringan dengan kadar air basis basah seperti yang digambarkan pada

Gambar 2 di bawah ini :

8

Gambar 2. (a) Kurva perubahan kadar air terhadap waktu pengeringan, (b) Kurva laju pengeringan

terhadap kadar air (Heldman dan Singh 1981).

Menurut Henderson dan Perry (1976), proses pengeringan dibagi menjadi dua periode, yaitu

periode laju pengeringan tetap dan periode laju pengeringan menurun. Laju pengeringan tetap terjadi

sampai saat bahan mencapai kadar air kritis. Laju pengeringan dipengaruhi oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal meliputi bentuk, ukuran dan susunan bahan saat dikeringkan. Faktor

eksternal meliputi suhu, kelembaban, dan kecepatan aliran udara pengeringan.

Air yang diuapkan selama proses pengeringan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas

adalah bagian air yang terdapat pada permukaan bahan yang dipergunakan oleh mikroba untuk

pertumbuhan dan sebagai media reaksi kimiawi. Air ini yang pertama menguap pada saat

pengeringan. Air terikat terbagi menjadi dua macam, yaitu air terikat secara fisik dan air terikat secara

kimiawi. Air yang terikat secara fisik merupakan bagian air bahan yang terdapat dalam jaringan

matriks bahan karena adanya ikatan fisik. Bila kandungan air terikat diuapkan maka pertumbuhan

mikroba, reaksi pencoklatan, hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi. Air yang terikat secara

kimiawi adalah air yang terikat dengan protein, lemak dan karbohidrat yang terkandung dalam bahan

pangan (Henderson dan Perry 1976).

2.5 Pengering Tipe Rak

Pengeringan kabinet atau disebut juga pengeringan tipe rak adalah pengering dengan sistem

batch dimana proses pengeringan dilakukan pada suhu yang konstan dan di dalamnya terdapat rak-rak

yang berfungsi untuk meletakkan bahan yang akan dikeringkan. Alat ini terdiri dari alat pemanas,

kipas untuk sirkulasi udara, alat pengatur kecepatan udara serta bagian inlet dan outlet udara. Alat

pengering ini biasanya digunakan untuk pengembangan produk baru sebelum diproduksi skala besar

(Estiasih dan Ahmadi 2011).

Menurut Henderson dan Perry (1976), sayuran dan buah-buahan cocok dikeringkan dengan

menggunakan pengering rak. Bahan diletakkan di atas rak yang dipasangkan pada kereta untuk

memudahkan pemindahannya. Pengering rak merupakan pengering yang paling murah pembuatannya,

mudah pemeliharaannya, dan sangat luwes penggunaannya (Desrosier, 2008).

Menurut Heldman dan Singh (1981), ada dua kekurangan atau permasalahan yang dimiliki

alat pengering ini. Masalah pertama adalah ketidakseragaman tingkat kekeringan produk akibat letak

(a)

Decreasing

Drying Rate

Constant

Drying Rate

Bound

Moisture

Content

Moisture Content (g H2O/g solid)

Dry

ing

Ra

te (

g H

2O

/m2 h

r)

E

D

C B

A Critical Moisture Content

Free Moisture Content

(b)

9

rak yang bervariasi (bertingkat-tingkat). Permasalahan kedua adalah kecepatan pengeringan produk

tidak sama, dimana produk akan lebih cepat kering jika dekat dengan sumber panas masuk ruang

pengering. Namun masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan cara memindahkan atau memutar

letak rak. Selain itu dapat diatasi juga dengan pembalikan arah aliran udara.

2.6 Karakteristik Pengeringan

2.6.1 Kadar Air

Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap banyaknya air yang diuapkan dan lamanya

proses pengeringan. Menurut Henderson dan Perry (1976) kadar air dari suatu bahan biasanya

dinyatakan dalam persentase berat dalam basis basah. Kadar air basis basah adalah perbandingan berat

air per 100 gram bahan.

Dimana m adalah kadar air basis basah dalam persen, Wm adalah berat air sedangkan Wd adalah berat

bahan kering. Kadar air dapat pula dinyatakan dalam basis kering sebagai berikut :

Metode yang digunakan untuk mengukur kadar air dapat secara langsung atau tidak

langsung. Metode secara langsung dilakukan dengan pengovenan, sedangkan metode tidak langsung

dapat menggunakan alat yang menggunakan prinsip tahanan elektrik.

2.6.2 Laju Pengeringan

Laju pengeringan adalah banyaknya kadar air yang diuapkan (satuan berat) per satuan

tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeringan adalah 1) bentuk bahan, ukuran, volume

dan luas permukaan, 2) sifat termofisik bahan seperti panas laten, panas jenis spesifik, konduktivitas

termal dan emisivitas termal, 3) komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal bahan, dan 4)

keadaan di luar bahan, seperti suhu, kelembaban dan laju aliran udara.

Proses pengeringan dapat dibedakan atas dua periode utama, yaitu periode dengan laju

pengeringan tetap dan periode dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode ini dibatasi oleh

kadar air kritis (titik C pada Gambar 2b). Air yang diuapkan dalam pengeringan terdiri atas air bebas

dan air terikat. Laju pengeringan tetap bila konsentrasi air bebas pada permukaan bahan cukup besar.

Penguapan ini dapat disamakan dengan laju penguapan pada permukaan air bebas.

10

2.7 Analisis Performansi Alat Pengering

2.7.1 Laju Aliran Udara Pengering

Laju aliran udara pengering yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan dapat dihitung

dengan persamaan berikut (Rokhani 1989) :

dimana Q = laju aliran udara, m3/jam

Wa = jumlah uap air yang dikeluarkan bahan, kg

v = volume spesifik udara, m3/kg uk (udara kering)

Ha = kelembaban mutlak udara keluar alat pengering, kg air/kg uk.

Hd = kelembaban mutlak udara pengering, kg air/kg uk.

t = waktu pengeringan, jam

M1 = kadar air awal, %bb (basis basah)

M2 = kadar air akhir, %bb

Wd = berat bahan kering, kg

2.7.2 Energi Untuk Memanaskan Udara Pengering

Energi panas yang digunakan untuk memanaskan udara pengering dapat dihitung dengan

persamaan berikut (Rokhani 1989) :

dimana q1 = energi yang dibutuhkan untuk memanaskan udara pengering, kJ/jam

Q = laju aliran udara, m3/jam

Hd = entalpi udara pengering, kJ/kg uk.

Ho = entalpi udara lingkungan, kJ/kg uk.

v = volume spesifik udara, m3/kg uk.

2.7.3 Energi Untuk Menguapkan Air Bahan

Energi untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan dihitung dengan persamaan (6)

dengan asumsi panas laten yang dikandung bahan sama dengan panas laten penguapan dari air bebas

(Rokhani 1989).

11

Dimana q2 = energi yang dibutuhkan untuk menguapkan air dari bahan, kJ/jam

w = laju penguapan air dari bahan, kJ/kg

hfg = panas laten penguapan air, kJ/kg (dari tabel pada Lampiran 4)

2.7.4 Efisiensi Pengeringan

Efisinsi dapat dibedakan atas efisiensi penggunaan panas, efisiensi pemanasan dan efisiensi

pengeringan total. Efisiensi penggunaan panas adalah nilai perbandingan antara jumlah energi panas

yang digunakan untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan dengan jumlah energi panas

efektif yang digunakan untuk memanaskan udara pengering. Efisiensi pemanasan adalah nilai

perbandingan antara jumlah energi yang digunakan untuk memanaskan udara pengering dengan

jumlah energi panas yang dihasilkan bahan bakar. Sedangkan efisiensi pengeringan total adalah

adalah nilai perbandingan antara jumlah energi panas yang digunakan untuk menguapkan air dari

bahan yang dikeringkan dengan jumlah energi panas yang dihasilkan bahan bakar (Rokhani 1989).

Rumus perhitungan tiap-tiap efisiensi dituliskan dalam persamaan 7, 8, dan 9.

dimana Eg = efisiensi penggunaan panas, %

Ep = efisiensi pemanasan, %

Ek = efisiensi pengeringan total, %

q1 = energi yang digunakan untuk memanaskan udara pengering, kJ/jam

q2 = energi untuk penguapan air bahan, kJ/jam

qm = energi yang dihasilkan bahan bakar, kJ/jam

p = daya yang digunakan, Watt

t = lama pengeringan, jam

2.8 Ekstraksi Oleoresin

Oleoresin berasal dari kata oleo yang berarti minyak dan resin yang berarti gum. Jadi

oleoresin adalah campuran minyak dan resin yang diperoleh dari ekstraksi, pemekatan dan

standarisasi minyak atsiri dan komponen non volatile dari rempah-rempah (anonim 2009). Oleoresin

12

dihasilkan dengan mengekstrak rempah-rempah yang sudah digiling halus agar minyak dan komponen

flavornya larut. Larutan yang dihasilkan dipisahkan dari ampasnya dengan penyaringan dan

pelarutnya didestilasi. Ekstraksi oleoresin dipengaruhi oleh jenis bahan, jenis pelarut dan kondisi

ekstraksi. Kondisi ekstraksi meliputi metode ekstraksi, waktu ekstraksi, jenis pelarut, perbandingan

bahan dengan pelarut, suhu ekstraksi dan derajat kehalusan bahan.

Untuk memperoleh oleoresin cabai rawit yang optimal dilakukan dengan cara mengekstrak

bubuk cabai (ukuran 30-40 mesh) menggunakan pelarut ethanol (96.5%) dengan perbandingan bahan

dan pelarut 1:6, suhu 40 oC, selama 110 menit menggunakan metode perkolasi dengan kecepatan

putaran pengaduk 300 rpm (Komara 1991).

2.9 Kosmetik

Kosmetik adalah bahan yang diaplikasikan secara topikal yang digunakan untuk

memperbaiki penampilan, menghilangkan kotoran kulit, meningkatkan rasa percaya diri,

mempertahankan komposisi cairan kulit, melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet dan

memperlambat timbulnya kerutan (Wasitaatmaja, 1997). Secara umum kosmetik dibagi menjadi 13

kelompok antara lain :

1. Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi dan bedak bayi.

2. Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi dan bath capsule.

3. Preparat untuk mata, misalnya maskara dan eye shadow.

4. Preparat untuk wangi-wangian, misalnya parfum dan toilet water.

5. Preparat untuk rambut, misalnya cat rambut dan hair spray.

6. Preparat pewarna rambut, misalnya cat rambut.

7. Preparat make-up (kecuali mata), misalnya bedak dan lipstick.

8. Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi dan mouthwhashes.

9. Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodorant.

10. Preparat kuku, misalnya cat kuku dan lotion kuku

11. Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih, pelembab dan pelindung.

12. Preparat cukur, misalnya sabun cukur.

13. Preparat untuk sunscreen, misalnya sunscreen foundation.

Kosmetik dapat pula digolongkan menurut sifat dan cara pembuatan yaitu kosmetik modern dan

kosmetik tradisional. Kosmetik modern adalah kosmetik yang diramu dari bahan kimia dan diolah

secara modern. Sedangkan kosmetik tradisional adalah kosmetik yang terbuat dari bahan alam dan

diolah menurut resep dan cara yang turun temurun, misalnya mangir dan lulur. Menurut kegunaan

bagi kulit, kosmetik digolongkan menjadi kosmetik perawatan kulit dan kosmetik dekoratif.

Kosmetik dahulu diramu dari bahan-bahan alami yang terdapat di alam. Sekarang kosmetik

dibuat tidak hanya dari bahan alami tetapi juga bahan buatan. Bahan buatan yang digunakan ternyata

dapat menimbulkan banyak masalah seperti iritasi kulit, ruam bahkan dapat memicu timbulnya

kanker. Kosmetik bahan alami adalah solusi untuk menghindari bahaya toksik bagi kesehatan

manusia. Kosmetik bahan alami adalah kosmetik yang sebagian atau seluruhnya berbahan dasar

herbal atau alami. Kosmetik ini cenderung lebih aman digunakan manusia.

Zat warna adalah hal yang paling penting dalam kosmetik untuk tujuan riasan dekoratif. Zat

warna yang lazim digunakan adalah zat warna yang berasal dari tumbuhan dan zat pewarna sintetis.

Zat pewarna sintetis yang banyak digunakan dapat mengandung bahan yang berbahaya bagi tubuh.

13

Untuk itu pengembangan bahan pewarna dari tumbuhan sangat diperlukan untuk mengurangi

penggunaan pewarna sintetik yang berbahaya bagi tubuh. Zat pewarna yang berasal dari cabai merah

ini dapat digunakan dalam preparat mata, preparat pewarna rambut dan preparat make up (kecuali

mata).

2.10 Analisis Warna

Warna merupakan salah satu atribut mutu yang sangat penting pada kosmetik. Peran warna

sangat nyata karena umumnya konsumen akan mendapat kesan pertama, baik suka atau tidak suka

terhadap produk yang ditawarkan. Pewarna alami dibentuk oleh adanya pigmen yang secara alami

terdapat dalam bahan. Pigmen alami yang sering ditemui adalah karotenoid, klorofil, betalain,

antosianin, melanoidin, dan mioglobin. Antosianin merupakan pigmen berwarna merah, biru dan

violet. Betalain merupakan pigmen berwarna violet-merah atau kuning. Karotenoid merupakan

pigmen berwarna kuning-orange. Klorofil merupakan pigmen berwarna hijau. Mioglobin merupakan

pigmen berwarna merah (Andarwulan, Kusnandar, dan Herawati 2011)

Warna merupakan sifat yang dapat dipandang sebagai sifat fisik (objektif) dan sifat

organoleptik (subjektif). Karena memiliki dua sifat tersebut, warna dapat diukur secara objektif

menggunakan instrumen atau dengan organoleptik. Namun pengukuran warna menggunakan

organoleptik cenderung tidak seragam hasilnya. Hal ini karena selera atau tingkat kesukaan yang

berbeda pada panelis. Untuk mengetahui hasil secara pasti warna dari suatu bahan tertentu maka

digunakan instrumen dengan sistem notasi warna (Andarwulan et al. 2011).

Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik dan objektif untuk menyatakan atau

mendeskripsikan suatu jenis warna. Dalam sistem notasi warna ini, suatu produk dinyatakan dengan

notasi huruf dan atau angka. Dengan sistem notasi warna ini, maka warna yang diinginkan dapat

dinyatakan dengan bahasa kuantitatif dan dapat dipahami secara konsisten oleh semua pihak. Sistem

notasi warna yang banyak digunakan adalah sitem notasi I.C.I. (International Commission on

Illumination), sistem notasi Munsel dan sistem notasi Hunter (Andarwulan et al. 2011).

Sistem notasi warna I.C.I. didasarkan pada prinsip bahwa semua jenis warna dapat dibentuk

dari 3 warna dasar, yaitu merah (λ = 720 nm), hijau (λ = 520 nm) dan biru (λ = 380 nm). Masing-

masing warna dasar ini dinyatakan dengan besaran X untuk merah, Y untuk hijau dan Z untuk biru.

Dengan memilih filter warna dasar tersebut, sinar pantul dapat dicatat sebagai besaran X, Y dan Z

yang berkaitan dengan warna dasar. Tiap warna dapat disajikan dengan 2 parameter yang berkaitan

dengan nilai X, Y dan Z. Dalam praktiknya, sistem notasi warna I.C.I menggunakan peta warna di

bawah ini.

14

Gambar 3. Peta warna sistem notasi I.C.I. (Andarwulan et al. 2011).

Cara pengukuran dengan sistem ini adalah nilai x dan y pada peta warna dihitung dengan persamaan

di bawah ini :

X, Y dan Z adalah nilai reflektan total dari pengukuran warna produk yang dianalisis dengan alat

scanning spektrofotometer menggunakan filter merah (X), hijau (Y) dan biru (Z). Dalam mengukur

warna berdasarkan sistem I.C.I., warna produk diukur dengan alat tersebut dan di-scanning pada

urutan panjang gelombang dari 380 nm hingga 770 nm pada selang 10 nm.

Sistem notasi Munsel dikembangkan pertama kali oleh Munsel pada tahun 1900-an.

Pengukuran warna didasarkan pada 3 atribut warna yaitu warna kromatik (hue), kecerahan (value) dan

intensitas warna (chroma atau saturation). Warna kromatik meliputi warna monokromatik yang terdiri

dari warna pelangi dan warna campurannya. Kecerahan menyatakan warna akromatik yang berkisar

dari warna hitam pekat sampai putih bersih. Nilai intensitas warna berkisar dari nilai tidak berwarna

sampai warna penuh. Sistem notasi warna Munsel, warna kromatik, intensitas warna dan kecerahan

disusun dalam suatu susunan konstruksi berbentuk bola imajiner. Susunan bola imajiner ini disebut

bola warna Munsel seperti pada gambar di bawah ini :

15

Gambar 4. Bola warna Munsel (Andarwulan et al. 2011).

Keliling garis ekuator dan garis-garis meridian menyatakan warna kromatik (hue) yang

dinyatakan dengan notasi huruf dan angka. Notasi huruf adalah R dan Yr (red, yellow red), Y dan Gy

(Yellow, green yellow), G dan GB (green, green blue), B dan Pb (blue, purple blue), P dan RP (purple,

red purple). Notasi angka adalah skor 0 sampai 10 dengan 5 menyatakan nilai tengah dari jenis warna

yang bersangkutan. Sebagai contoh, warna benda dengan notasi 5R 4/12 memiliki nilai hue 5R

(artinya berwarna merah cerah), nilai value 4 (artinya kecerahannya abu-abu) dan nilai chroma 12

(artinya intensitas warna merahnya sangat kuat atau tajam). Warna benda dengan notasi 10 RP 8/10

memiliki nilai hue 10 RP (artinya berwarna antara merah dan merah ungu), nilai value 8 (artinya cerah

cemerlang), dan chroma 10 (artinya warnanya tajam sekali).Warna benda dengan notasi 5R 3/14 :

merah, value 3, chroma 14 artinya merah, tidak terlalu terang tetapi tajam.

Sistem notasi Hunter dikembangkan oleh Hunter tahun 1952. Sistem ini dicirikan dengan 3

parameter warna yaitu warna kromatik (hue) a*, intensitas warna (chroma) b*, kecerahan (value) L*.

Keuntungan menggunakan notasi Hunter adalah pengukuran dapat dilakukan secara obyektif,

prosedur pengukuran cepat dan mudah, notasinya dapat diterjemahkan atau dikonversikan dengan

sistem notasi lain, seperti I.C.I, alat pengukur warna relatif sederhana sehingga harganya relatif

rendah.

Sistem notasi Hunter adalah sebagai berikut

1. Notasi L* (0 (hitam); 100 (putih)) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna

akromatik putih, abu-abu dan hitam.

2. Notasi a* warna kromatik campuran merah-hijau, dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80

untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau.

3. Notasi b* warna kromatik campuran biru-kuning, dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70

untuk warna kuning dan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru

16

Gambar 5. Diagram warna Hunter (Andarwulan et al. 2011).

Pengukuran warna dengan sistem Hunter dapat dilakukan dengan menggunakan chromameter yang

ditembakkan pada bahan. Hasil pengukuran dapat diplotkan pada Gambar 5 untuk mengetahui warna

produk yang diuji (Andarwulan et al, 2011).

17

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai September 2012 di Laboratorium

TPPHP (Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Balittro (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah)

serta Laboratorium PAU (Pusat Antar Universitas).

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Laboratorium TPPHP meliputi pengeringan, pengecilan

ukuran, analisis warna, dan persiapan sebelum dilakukan uji organoleptik tingkat kepedasan. Ekstraksi

oleoresin bubuk cabai merah dilakukan di Laboratorium Balittro, sedangkan uji organoleptik tingkat

kepedasan dilakukan di Laboratorium PAU.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan adalah cabai merah besar (Capsicum annuum L.) yang telah berwarna

merah diseluruh kulit buah yang berasal dari Pasar Ciluar, Bogor Utara. Waktu pengambilan cabai

merah ini pada bulan Maret 2012. Technical-grade natrium bisulfit (Na2S2O5) 0.2% untuk proses

blanching, technical-grade ethanol (C2H5OH) 96% untuk proses ekstraksi oleoresin, dan technical-

grade ethanol 95% serta analytical-grade sukrosa (C12H22O11) (Merck, Jerman) untuk uji kepedasan

bubuk cabai merah.

3.2.2 Alat

Peralatan yang digunakan meliputi :

a. Sunbeam Food Dehydrator Tipe DT5600 (Sunbeam Corporation, China)

Alat ini merupakan alat pengering tipe rak berskala rumah tangga dengan dehumidifier

menggunakan tenaga listrik (Gambar 6). Spesifikasi alat pengering ini tertera pada Tabel 4

sedangkan gambar alat secara lebih terperinci ada pada Lampiran 1 – 3.

Tabel 4. Spesifikasi alat pengering

Spesifikasi Keterangan

Merk Sunbeam

Model Food dryer DT5600

Dimensi (p x l x t), cm 218 x 338 x 339

Bobot, kg 2.4

Jumlah rak 5

Luas rak total, cm2 707

Daya yang dibutuhkan, watt 250

Thermostat Ada

18

Gambar 6. Alat pengering Sunbeam DT5600

b. Alat-alat yang digunakan untuk persiapan bahan yang akan dikeringkan (alat-alat produksi)

Alat-alat produksi digunakan untuk mempersiapkan bahan yang akan dikeringkan serta untuk

mempersiapkan larutan yang akan digunakan untuk blanching cabai merah. Alat-alat yang digunakan

meliputi :

Tabel 5. Alat-alat produksi

Nama alat Merk/Produsen Keterangan

Pisau - Alat untuk membelah cabai

Talenan kayu - Alas untuk membelah cabai

Tray - Wadah untuk meniriskan cabai setelah

direndam

Hot water blancher

Blender

Vonavex, Hamburg

Miyako, Indonesia

Alat untuk blanching cabai merah

Untuk menggiling bubuk cabai

c. Peralatan ukur yang digunakan untuk mengetahui karakteristik pengeringan cabai merah

Alat-alat ini digunakan untuk mengukur parameter-parameter yang diperlukan untuk

mengetahui karakteristik pengeringan cabai merah. Alat-alat yang digunakan meliputi :

Tabel 6. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui karakteristik pengeringan

Nama alat Merk/Produsen Keterangan

Termokopel

Anemometer

-

Intel Instrumen AR836, India

mengukur suhu

mengukur kecepatan angin

Termometer - mengukur suhu

Stopwatch - mengukur waktu

Hybrid recorder Yokogawa MV1000, Jepang merekan data dari termokopel

Timbangan digital Adam PW 184, UK mengukur berat

Drying oven

Desikator

Cawan aluminum

Isuzu 2-2120, Jepang

-

-

mengeringkan bahan

meletakkan cawan dari sebelum

ditimbang

meletakkan bahan pada oven

Gelas ukur - mengukur volume larutan

Chromameter Konica Minolta CR-400, Jepang mengukur warna bahan

d. Alat-alat lain

Peralatan lain yang digunakan untuk analisis data pengukuran dan pengamatan selama penelitian

meliputi kalkulator, alat tulis, personal computer (PC), dan kamera digital.

19

3.3 Metode Penelitian

Secara ringkas, diagram alir penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

Persiapan

Perlakuan (Blanching 90o C dengan kontrol

natrium bisulfit 0.2% selama 3, 5, 7 dan 9 menit) (blanching 0 menit atau tanpa blanching)

Karakteristik pengeringan Pengeringan Uji performa alat pengering

1. Kadar air 1. Suhu tanpa beban

2. Laju pengeringan Penggilingan 2. Suhu dengan beban

3. Lama pengeringan 3. Karakteristik udara pengering

4. Rendemen pengeringan Bubuk cabai merah 4. Efisiensi pengeringan

Analisis warna

Kontrol

Uji kestabilan warna

Perlakuan

1. pengaruh suhu penyimpanan

2. pengaruh kondisi penyimpanan

3. pengaruh sinar matahari

4. pengaruh sinar lampu

Ekstraksi oleoresin

Kontrol Tanpa kontrol

(sebelum ekstraksi)

Analisis warna Analisis tingkat kepedasan

Perlakuan Perlakuan

(setelah ekstraksi oleoresin) (setelah ekstraksi oleoresin)

Gambar 7. Diagram alir penelitian Karakteristik Pengeringan Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

sebagai Pewarna Alami Kosmetik

20

3.3.1 Persiapan Pengeringan

Pada tahap persiapan pengeringan, cabai merah disortasi, dibuang tangkainya, lalu

ditimbang. Cabai merah dicuci bersih, dibelah dua dan dihilangkan biji serta urat putih cabai,

ditimbang kembali kemudian di-blanching pada suhu 90 oC selama 3, 5, 7 dan 9 menit dan ditiriskan.

Iswari, Aswardi, dan Artati (2004) telah melakukan penelitian pengaruh beberapa larutan

yang digunakan untuk blanching cabai merah terhadap warna pada produk hasil pengeringan. Hasil

pengeringan cabai merah yang telah di-blanching dengan menggunakan beberapa larutan tersebut

kemudian diuji menggunakan uji organoleptik untuk mendapatkan larutan terbaik yang dapat

memberikan warna yang baik dan dapat diterima oleh konsumen. Hasil penelitian tersebut dapat

dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji organoleptik bubuk cabai pada perlakuan blanching yang berbeda

(Iswari et al. 2004)

Perlakuan Warna Aroma Kecerahan

Natrium bisulfit 0.1% 4.20 4.02 4.36

Natrium bisulfit 0.2% 5.80 5.87 6.00

Natrium bisulfit 0.3% 5.32 4.56 5.45

Garam dapur 0.5% 3.80 4.88 3.56

Garam dapur 1% 4.87 5.84 5.31

Garam dapur 1.5% 5.43 5.66 5.89

Asam sitrat 0.1% 4.67 5.65 6.00

Asam sitrat 0.2% 4.73 5.78 6.00

Asam sitrat 0.3% 4.00 4.01 4.00

Tanpa blanching (kontrol) 2.35 3.24 2.14

Keterangan :

Warna Aroma Kecerahan

1 = sangat tidak suka 1 = sangat tidak suka 1 = sangat tidak cerah

2 = tidak suka 2 = tidak suka 2 = tidak cerah

3 = agak suka 3 = agak suka 3 = agak cerah

4 = hampir suka 4 = hampir suka 4 = hampir cerah

5 = suka 5 = suka 5 = cerah

6 = sangat suka 6 = sangat suka 6 = sangat cerah

Hasil penelitian yang dilakukan Iswari et al. (2004) menunjukkan bahwa natrium bisulfit

0.2% dapat mempertahankan warna dengan baik selama pengeringan. Iswari et al (2004) menyatakan

bahwa penambahan natrium bisulfit 0.2% pada saaat blanching dapat mempertahankan warna merah

pada bubuk cabai selama penyimpanan 6 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa natrium bisulfit mampu

memberikan lingkungan yang cukup alkalis untuk mempertahankan warna, aroma dan kecerahan.

Menurut Desrosier (1988), lingkungan alkalis saat blanching sayuran sebelum dikeringkan dapat

mempertahankan pigmen sayuran.

Oleh karena itu, penambahan natrium bisulfit 0.2% pada media blanching untuk

mempertahankan warna produk selama pengeringan dilakukan dalam penelitian ini. Setelah dilakukan

blanching dengan natrium bisulfit 0.2%, bahan diletakkan di atas rak untuk dikeringkan. Penggunaan

natrium bisulfit bertujuan untuk memepertahankan warna produk selama pengeringan.

21

3.3.2 Pengeringan

3.3.2.1 Uji performansi alat pengering

Pada tahap awal dilakukan uji performansi dari alat pengering. Pengujian ini meliputi

pengukuran suhu pengeringan tanpa beban, suhu pengeringan dengan beban, karakteristik udara

pengeringan dan perhitungan efisiensi pengeringan.

Suhu pengeringan tanpa beban dilakukan dengan meletakkan termokopel pada masing-

masing rak sebanyak 2 buah dan pada tempat dimana keluar hembusan udara panas dari fan (suhu

plenum) seperti yang ditunjukkan oleh titik-titik pada Gambar 8. Keterangan lebih lengkap dari

Gambar 8 bisa dilihat dalam Lampiran 1 – 3. Pengukuran suhu bola basah dan suhu bola kering pada

udara yang keluar pengering dan udara di lingkungan sekitar pengering dilakukan menggunakan

termometer alkohol. Pengukuran suhu tanpa beban ini dilakukan setiap 5 menit sekali. Setting alat

pengering pada saat pengujian tanpa beban adalah 35oC (set I), 55

oC (set II) dan 75

oC (set III). Tujuan

dari uji ini adalah untuk mengetahui sebaran suhu pada rak-rak pengering, suhu udara keluar

pengering dan suhu di lingkungan sekitar pengering sebagai dasar untuk melakukan setting suhu alat

yang direkomendasikan oleh literatur.

Keterangan :

: termokopel

Gambar 8. Penempatan termokopel pada alat pengering.

Pada saat pengeringan berlangsung, setting alat pengering yang digunakan adalah 75 oC (set

III) berdasarkan analisa data yang diperoleh dari pengujian alat pengering tanpa beban. Selama

pengeringan dilakukan juga pengukuran suhu dalam pengering, suhu udara keluar pengering dan suhu

di lingkungan sekitar pengering seperti pada pengukuran tanpa beban. Pengukuran ini dilakukan

setiap 30 menit sekali.

Setelah suhu bola basah dan suhu bola kering terukur, data suhu diplotkan dalam

psychrometric chart untuk mengetahui karakteristik udara pengering. Hal ini bertujuan untuk

menghitung efisiensi pengeringan yang meliputi efisiensi penggunaan panas (Eg) (Persamaan 7) ,

efisiensi pemanasan (Ep) (Persamaan 8) dan efisiensi pengeringan total (Ek) (Persamaan 9).

22

3.3.2.2 Karakteristik pengeringan

Cabai yang telah di-blanching pada tahap persiapan, kemudian ditimbang dan diletakkan

pada masing-masing tray, lalu proses pengeringan dimulai. Berat bahan dimonitor selama

pengeringan. Pengukuran berat dilakukan pada saat awal, selama proses dan pada saat akhir

pengeringan. Berat bahan diukur setiap 15 menit sekali pada dua jam pertama, setiap 30 menit sekali

untuk tiga jam hingga tujuh jam pengeringan dan 60 menit sekali hingga berat bahan konstan. Dari

perubahan data berat bahan dapat dihitung karakteristik pengeringan bahan yang meliputi kadar air,

laju pengeringan, lama pengeringan dan rendemen pengeringan.

3.3.2.2.1 Kadar Air

Pengukuran kadar air awal bahan dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cabai di

ambil sebanyak 15 buah kemudian masing-masing buah ditimbang sebagai berat awal bahan. Sampel

cabai ini dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC. Berat bahan sampel dimonitor selama

pengeringan dengan frekuensi seperti yang sudah dijelaskan di 3.3.2.2. Sampel di keluarkan dari oven,

diletakkan di dalam desikator untuk pendinginan selama kurang lebih 30 menit, lalu ditimbang dengan

timbangan digital. Setelah ditimbang, sampel dikeringkan kembali di dalam oven sampai berat bahan

konstan (kurang lebih selama 36 jam). Kadar air dihitung menggunakan Persamaan (1).

3.3.2.2.2 Laju Pengeringan

Laju pengeringan adalah banyaknya kadar air (satuan berat) yang diuapkan per satuan

tertentu. Dari berat bahan yang dimonitor secara berkala, berat air yang diuapkan dapat diketahui

beserta waktu yang dibutuhkan untuk penguapan. Laju pengeringan pada penelitian ini dihitung

dengan rumus

3.3.2.2.3 Rendemen

Rendemen adalah persentase hasil atau berat akhir suatu produk dan dibandingkan dengan

berat awal bahan tersebut. Perhitungan rendemen dapat dilihat pada persamaan berikut :

3.3.3 Penggilingan

Penggilingan cabai merah kering dilakukan dengan blender yang biasa digunakan untuk

menghaluskan bumbu. Hasilnya diayak menggunakan ayakan Tyler berukuran 30 mesh. Bagian yang

23

masih kasar dan tertahan pada ayakan digiling kembali hingga berukuran 30 mesh. Hasil ayakan ini

menghasilkan bubuk cabe dengan ukuran diameter sekitar 0.6 mm. Pengayakan dilakukan agar bubuk

cabai merah berukuran seragam sehingga memudahkan pada saat analisis warna dan ekstraksi

oleoresin. Proses penggilingan ini dilakukan satu kali untuk setiap sampel.

3.3.4 Analisis Warna

Analisis warna dilakukan menggunakan chromameter. Bahan yang telah digiling dan

berukuran seragam diletakkan pada cawan petri dan ditembak dengan menggunakan chromameter.

Hasil pengukuran dinyatakan dalam sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L*, a* dan b*.

Pengukuran ini dilakukan sekali untuk setiap sampel.

3.3.5 Uji Stabilitas Warna

Warna bubuk cabai merah diuji stabilitasnya dalam beberapa kondisi. Bubuk cabai merah

diletakkan dalam cawan petri dan stabilitasnya karena hal-hal sebagai berikut diuji (Samsudin dan

Khoirudin 2008) :

a. Pengaruh sinar matahari

Bubuk dijemur di bawah sinar matahari mulai pukul 8 pagi hingga pukul 2 siang. Pengukuran

warna menggunakan chromameter dilakukan dengan interval 3 jam sekali. Pengukuran ini

dilakukan untuk mengetahui kestabilan warna kosmetik pada saat digunakan oleh konsumen

yang berada diluar ruangan.

b. Pengaruh sinar lampu

Bubuk disinari lampu TL dengan kekuatan 20 watt (560 lumen) selama 48 jam dan pengukuran

warna dilakukan setiap 12 jam sekali. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui kestabilan

warna kosmetik ketika digunakan oleh konsumen yang berada di dalam kotak hitam berukuran

50 x 50 cm yang diberi lampu sebagai sumber cahaya.

c. Pengaruh kondisi penyimpanan

Bubuk disimpan dalam suhu kamar (25 – 27 oC) dan pada suhu dingin ( 8 – 10

oC). Setelah 2

hari, warnanya diukur menggunakan chromameter. Pengukuran ini dilakukan berdasarkan

perilaku sebagian konsumen yang menyimpan produk kosmetiknya dalam lemari pendingin.

d. Pengaruh oksidasi

Bubuk dimasukkan kedalam wadah tertutup rapat dan warnanya diukur setelah 2 hari

penyimpanan. Sementara, bubuk lainnya dibiarkan dalam wadah terbuka.

3.3.6 Ekstraksi Oleoresin

Ekstraksi oleoresin bertujuan untuk menghilangkan zat pedas (kapsaisin) dari bubuk cabai

agar aman untuk diaplikasikan pada kulit. Ekstraksi oleoresin dilakukan dengan prosedur sebagai

berikut :

1. Bubuk cabai merah (bahan) ditimbang.

2. Bahan dimasukkan kedalam wadah berbahan stainless steel.

3. Bahan kemudian ditambah pelarut ethanol 96% dengan perbandingan 1 bagian bahan dengan

5 bagian pelarut.

4. Bahan dan pelarut kemudian dicampur dengan menggunakan pengaduk dengan kecepatan

putar 200 rpm selama kurang lebih 3 jam.

24

5. Bahan diendapkan semalam.

6. Bahan kemudian disaring untuk memisahkan ampas dan hasil ekstraksi dengan menggunakan

kertas saring.

7. Hasil ekstraksi yang masih mengandung pelarut diuapkan pada suhu 50 oC selama 1 – 5 jam.

8. Hasil ekstraksi ditimbang untuk mengetahui rendemen oleoresin.

Ekstraksi ini dilakukan sekali untuk setiap sampel.

3.3.7 Analisis Warna (setelah ekstraksi oleoresin)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstraksi oleoresin terhadap warna dari

bubuk cabai. Setelah bubuk cabai diekstraksi oleoresinnya, pengukuran warna dilakukan kembali

untuk mengetahui perubahan warna yang terjadi pada saat ekstraksi. Hasil pengukuran dinyatakan

dalam sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L*, a* dan b*. Warna bubuk cabai sebelum

diekstraksi digunakan sebagai kontrol. Analisis warna ini dilakukan satu kali untuk setiap sampel.

3.3.8 Analisis Tingkat Kepedasan

Analisis tingkat kepedasan dilakukan untuk memastikan apakah bubuk cabai merah masih

mengandung zat pedas atau tidak. Tingkat kepedasan dinyatakan dalam Scoville Heat Unit (SHU)

yang ditentukan dengan Metoda Official FCC (Farrel, 1985). Prosedur untuk menguji tingkat

kepedasan adalah sebagai berikut:

A. Bubuk cabai ditimbang sebanyak 200 mg dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml. Ethanol

95% ditambahkan sampai tanda tera, dihomogenisasi selama 12 jam untuk memastikan kapsaisin

larut dalam alkohol. Larutan ini kemudian didiamkan hingga bagian padatan mengendap.

B. Larutan sukrosa. Larutan sukrosa dibuat dengan melarutkan sukrosa bubuk sebanyak 100 gram

ke dalam air sebanyak 1 liter sehingga konsentrasi larutan sukrosa adalah 10% (b/v).

C. Larutan standar. Larutan standar dibuat dengan mencampur 140 ml larutan sukrosa yang dibuat

pada langkah B dengan 0.15 ml filtrat dari larutan A.

Larutan standar diencerkan dengan menggunakan larutan sukrosa 10%. Tingkat

pengencerannya yaitu 20 ml larutan standar masing-masing ditambah larutan sukrosa 0 ml, 20 ml dan

seterusnya seperti terlihat pada Tabel 8.

Larutan standar yang telah diencerkan dengan pengenceran tertentu tersebut diuji secara

organoleptik oleh 5 panelis terlatih yang telah memiliki sertifikat uji organoleptik. Pengujian ini

dilakukan dari tingkat pengenceran terendah. Pedas di sini dianalogikan dengan sensasi panans di

mulut. Setiap panelis mendapatkan 5 ml larutan uji untuk dirasakan rasa panasnya. Jika 3 dari 5

panelis menyetujui adanya rasa panas, maka pada tingkat pengenceran tersebut dilihat nilai Scoville

Heat Unit (SHU) pada Tabel 8.

Jika tingkat kepedasan bahan kurang dari 240,000 SHU, maka penentuan tingkat kepedasan

adalah sebagai berikut : 0.15 larutan filtrat yang diperoleh dari langkah 1 diencerkan dengan larutan

sukrosa 10% berturut-turut 60 ml, 70 ml, 100 ml dan 120 ml. Prosedur yang dilakukan sama dengan

penentuan sebelumnya. Penentuan tingkat kepedasan bahan dilakukan dengan menggunakan Tabel 9.

25

Tabel 8. Tingkat pengenceran dan nilai SHU pada uji kepedasan

Larutan

standar (ml)

Larutan

sukrosa (ml)

Total volume

larutan uji (ml) SHU

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130

140

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130

140

150

160

240,000

360,000

480,000

600,000

720,000

840,000

960.000

1,080,000

1,200,000

1,320,000

1,440,000

1,560,000

1,680,000

1,800,000

1,920,000

Tabel 9. Tingkat kepedasan dan nilai SHU pada uji kepedasan

bahan di bawah 240,000 SHU

Larutan filtrat (ml) Larutan sukrosa (ml) SHU

0.15

0.15

0.15

0.15

60

70

100

120

100,000

117,000

170,000

205,000

3.3.9 Metode Pengolahan Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak lengkap

(RAL) dengan model linier aditif dengan rumus sebagai berikut :

Dimana :

i = 1,2, …, t dan j = 1,2, …, r

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i = µi - µ

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

bentuk hipotesis

H0 : τ1 = … = τ6 = 0

(perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

26

H1 : paling sedikit ada satu i dimana τi ≠ 0

atau

H0 : µ1 = … = µ6 = µ

(semua perlakuan memberikan respon yang sama)

H1 : paling sedikit ada sepasang perlakuan (i, i’) dimana µi ≠ µi’

Tolak H0 jika p-value < alpha 5%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap respon yang diamati.

Perlakuan dalam penelitian ini adalah lama blanching cabai merah dengan menggunakan

natrium bisulfit. Penamaan sampel sesuai dengan perlakuan pada proses blanching. Penamaan sampel

adalah sebagai berikut :

N0U1 = kontrol (tidak di-blanching) ulangan 1

N1U1 = di-blanching selama 3 menit ulangan 1

N2U1 = di-blanching selama 5 menit ulangan 1

N3U1 = di-blanching selama 7 menit ulangan 1

N4U1 = di-blanching selama 9 menit ulangan 1

N0U2 = kontrol (tidak di-blanching) ulangan 2

N1U2 = di-blanching selama 3 menit ulangan 2

N2U2 = di-blanching selama 5 menit ulangan 2

N3U2 = di-blanching selama 7 menit ulangan 2

N4U2 = di-blanching selama 9 menit ulangan 2

Analisis data dilakukan dengan analisis sidik ragam menggunakan ANOVA yang dilanjutkan

dengan uji lanjut Duncan bila hasilnya menyatakan ada pengaruh perlakuan terhadap respon

(intensitas warna bubuk cabai merah). Hasil analisa ragam yang akan dihasilkan oleh uji Duncan

menggunakan software SPSS (Statistical Product and Service Solutions) terhadap intensitas warna

dari bubuk cabai merah tersebut.

27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Performa Alat Pengering

4.1.1 Performa Alat Pengering Tanpa Beban

Uji performa tanpa beban alat pengering ini dilakukan karena alat pengering ini merupakan

alat yang baru digunakan untuk penelitian di Laboratorium TPPHP. Alat ini merupakan alat pengering

berskala rumah tangga yang menggunakan tenaga listrik. Hasil pengujian alat pengering tanpa beban

pada 35 °C (set I), 55 °C (set II), dan 75 °C (set III) berupa sebaran suhu di dalam ruang pengering.

Ruang pengering dan gambar alat secara lengkap terdapat pada Lampiran 2. Grafik hasil pengujian

tersebut disajikan pada Gambar 9, 10 dan 11, sedangkan data hasil pengujian tersaji dalam Lampiran 5

– 7.

Gambar 9. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 35 oC (set I)

Gambar 10. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 55 oC (set II)

28

Gambar 11. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 75 oC (set III)

Dari hasil pengukuran tersebut dapat terlihat bahwa pada pengujian tanpa beban suhu yang

terukur tidak pernah mencapai suhu set pada alat pengering dan menunjukkan bahwa udara panas

mengalir dari plenum kemudian dihembuskan hingga membentur dinding rak dasar menuju rak di

atasnya yaitu rak 5 – rak 4 – rak 3 – rak 2 dan rak 1. Suhu dalam ruang pengering tidak seragam. Suhu

pada rak 5 merupakan suhu paling tinggi dan suhu pada rak 1 merupakan suhu yang paling rendah

karena udara pengering mengalami penurunan suhu selama melewati rak-rak pengering. Hal ini tentu

berpengaruh terhadap produk hasil pengeringan. Produk yang diletakkan pada rak 5 akan lebih cepat

kering dibandingkan pada rak 1. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan rotasi rak pada saat

pengeringan dengan beban.

Pada set suhu 75oC terlihat bahwa sebaran suhu masing-masing rak cukup seragam dan

cukup stabil mulai menit ke 140. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Soleh (2012) yang melakukan

simulasi sebaran suhu menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) untuk mengetahui

sebaran suhu dalam alat pengering Sunbeam Food Dehidrator. Hasil simulasi tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Sebaran suhu pada irisan penampang alat pengering (Soleh 2012)

Berdasarkan hasil simulasi pada Gambar 12 diketahui bahwa sebaran suhu pada ruang

pengering cukup beragam. Hal ini terlihat dari perbedaan suhu yang cukup besar antara suhu plenum,

suhu pada rak pengering dan suhu udara keluar pengering. Mula-mula udara pengering yang

29

dihembuskan dari plenum memiliki suhu 70 – 75 oC, kemudian dihembuskan hingga membentur

dinding rak dasar dan akhirnya menyebar menuju rak-rak pengering yang berada di atasnya. Udara

pengering mengalami penurunan suhu selama melewati rak-rak pengering. Penurunan suhu ini

disebabkan oleh adanya kehilangan panas melalui dinding serta material rak dari alat pengering.

Namun pada rak-rak pengering memiliki suhu yang cukup seragam yaitu sekitar 60 – 65 oC.

Menurut Purseglove et al. (1981), suhu optimum untuk pengeringan cabai pada pengeringan

mekanis adalah 60 – 75 oC, dimana perubahan warna tidak terjadi selama pengeringan hingga 72 jam

pada suhu ini. Dilihat dari keseragaman suhu dari grafik hubungan waktu dan suhu pada set III (75 oC)

dan hasil simulasi Soleh (2012) serta berdasarkan Purseglove et al. (1981), maka pengeringan cabai

merah dalam penelitian ini menggunakan suhu 75 oC (set III).

4.1.2 Performa Alat Pengering dengan Beban

Pengukuran sebaran suhu pada saat pengeringan cabai merah dilakukan pada setiap

perlakuan bahan yang meliputi pengukuran suhu udara pengering, bahan tiap rak dan suhu plenum.

Grafik hasil pengukuran sebaran suhu dapat dilihat pada Gambar 13 – 17 sedangkan data pengukuran

tersaji pada Lampiran 8 – 12.

Gambar 13. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan kontrol.

30

Gambar 14. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan blanching 3 menit.

31

Gambar 15. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan blanching 5 menit.

32

Gambar 16. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan blanching 7 menit.

33

Gambar 17. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –

suhu bahan pada perlakuan blanching 9 menit.

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa suhu bahan relatif lebih rendah dibandingkan dengan suhu

ruang pengering. Hal ini terjadi karena perambatan suhu dalam bahan relatif lebih lambat

dibandingkan perambatan suhu udara dalam ruang pengering. Perkembangan suhu udara pengering

dan suhu bahan selama proses pengeringan menunjukkan adanya fluktuasi. Hal ini disebabkan jarak

antar rak dari sumber panas yang tidak sama, ketebalan bahan yang berbeda sehingga terjadi

perbedaan laju penguapan air, serta adanya pembukaan penutup pengering untuk pengambilan sampel

yang akan diukur kadar airnya.

34

4.2 Efisiensi Pengeringan

Selain pengukuran suhu dalam ruang pengering, dilakukan juga pengukuran suhu udara

keluar alat pengering serta suhu lingkungan. Suhu yang diukur meliputi suhu bola basah dan suhu

bola kering. Data kemudian diplotkan dalam psychrometric chart untuk mengetahui karakteristik

udara pengeringan dan udara lingkungan. Data karakteristik udara ini digunakan untuk menghitung

efisiensi pengeringan. Hasil perhitungan efisiensi pengeringan disajikan pada Tabel 10 sedangkan

contoh perhitungan efisiensi ini yang meliputi efisiensi penggunaan panas (Eg), efisiensi pemanasan

(Ep) dan efisiensi pengeringan total (Ek) tersaji dalam Lampiran 13.

Tabel 10. Efisiensi alat pengering pada pengeringan cabai merah

Uraian Efisiensi (%)

Eg Ep Ek

Kontrol 56.91 29.82 16.97

Blanching 3 menit 57.18 36.01 20.59

Blanching 5 menit 56.57 33.91 19.18

Blanching 7 menit 56.14 54.78 30.75

Blanching 9 menit 64.26 60.12 38.63

Efisiensi pemanasan relatif rendah jika dibandingkan dengan efisiensi penggunaan panas. Efisiensi

pemanasan yang rendah menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil energi panas dari sumber pemanas

dapat digunakan untuk memanaskan udara pengering. Hal ini disebabkan oleh konsep pindah panas

yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya, terjadi kehilangan panas baik secara konduksi dan

konveksi ke dinding plenum dan dinding pengering.

Efisiensi penggunaan panas tertinggi pada perlakuan blanching selama 9 menit. Hal ini

terjadi karena waktu pengeringan yang lebih singkat dan cabai merah mengering cukup seragam di

setiap raknya, sehingga rak yang seluruh cabai merah telah kering diangkat. Hal ini menyebabkan

tidak banyak ruang kosong setelah bahan mengalami penyusutan.

Beberapa faktor yang disebutkan di atas, secara keseluruhan dapat mempengaruhi efisiensi

pengeringan total. Efisiensi pengeringan total menunjukkan besarnya energi panas dari sumber

pemanas yang dapat digunakan untuk menguapkan air pada bahan yang dikeringkan.

4.3 Karakteristik Pengeringan Cabe Merah

Selama proses pengeringan, karakteristik produk selama pengeringan perlu diketahui.

Karakteristik pengeringan cabai merah dapat dilihat pada Tabel 11 untuk ulangan 1 dan Tabel 12

untuk ulangan 2.

Pada Tabel 11 dan 12 terlihat bahwa kadar air awal bahan rata-rata sebesar 85 %bb dan kadar

air cabai merah kering sekitar 7 – 8 %bb. Pada tabel di atas, nilai kadar air akhir didapat dari hasil

perhitungan. Untuk membuktikan kebenaran data hasil perhitungan maka dilakukan pengukuran kadar

air dengan menggunakan metode oven. Perbedaan data hasil perhitungan dengan data dari metode

oven disajikan pada Tabel 13.

35

Tabel 11. Karakteristik pengeringan cabai merah ulangan 1.

No. Parameter Ulangan 1

N0U1 N1U1 N2U1 N3U1 N4U1

1 Berat bahan awal (g) 1274.12 10071.10 1043.95 1022.07 1024.53

2 Berat bahan tanpa biji (g) 739.42 895.50 887.40 859.56 842.86

3 Berat bahan setelah blanching

(g) 739.42 736.64 807.23 867.53 830.70

4 Berat kering bahan total (g) 78.08 75.23 92.01 97.50 94.94

5 Berat bubuk total (g) 77.61 72.18 90.10 96.47 93.22

6 Rendemen pengeringan (%) 10.56 10.21 11.40 11.24 11.43

7 Kadar air awal (%bb) 84.65 84.89 85.40 84.88 85.30

8 Kadar air akhir (%bb) 8.59 7.04 7.51 7.51 8.34

9 Laju pengeringan (gram air

yang diuapkan/menit) 10.87 11.12 15.58 15.47 19.24

10 Kecepatan udara pengering

(m/det) 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9

11 Lama pengeringan (jam) 7 7 5 5 4

Tabel 12. Karakteristik pengeringan cabai merah ulangan 2.

No. Parameter Ulangan 2

N0U2 N1U2 N2U2 N3U2 N4U2

1 Berat bahan awal (g) 1003.45 1346.60 1302.80 1544.37 1508.80

2 Berat bahan tanpa biji (g) 716.92 1032.80 1082.90 1045.47 1056.94

3 Berat bahan setelah blanching

(g) 716.92 1020.80 1071.61 1011.10 1049.10

4 Berat kering bahan total (g) 94.05 130.70 124.88 125.04 112.75

5 Berat bubuk total (g) 92.64 128.97 123.17 117.33 105.70

6 Rendemen pengeringan (%) 13.12 12.80 11.65 12.37 10.75

7 Kadar air awal (%bb) 84.65 84.89 85.40 84.88 85.30

8 Kadar air akhir (%bb) 8.33 7.25 8.34 7.86 7.13

9 Laju pengeringan (gram air

yang diuapkan/menit) 10.90 11.09 15.41 15.40 19.54

10 Kecepatan udara pengering

(m/det) 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9

11 Lama pengeringan (jam) 7 7 5 5 4

Tabel 13. Data hasil perhitungan dengan metode oven

Perlakuan Kadar air akhir (%bb)

Perhitungan Oven

kontrol 8.46 ± 0.13 8.26 ± 0.15

blanching 3 menit 7.15 ± 0.11 9.15 ± 0.13

blanching 5 menit 7.93 ± 0.42 9.07 ± 0.33

blanching 7 menit 7.69 ± 0.18 8.42 ± 0.17

blanching 9 menit 7.74 ± 0.61 8.79 ± 0.13

Pada Tabel 13 terlihat bahwa kadar air yang diukur dengan metode oven berbeda dari kadar

air dari hasil perhitungan. Perbedaan ini karena untuk mendapatkan data kadar air dilakukan sampling

pada masing-masing rak. Menurut Purseglove et al. (1981), pengeringan cabai dilakukan hingga kadar

air 6 – 8 %bb untuk memperpanjang umur simpan cabai kering tersebut. Hasil pengeringan pada

Tabel 13 menunjukkan bahwa kadar air akhir cabai merah kering dari metode oven berada pada

36

rentang 8 – 9 %bb. Hal ini mungkin saja terjadi karena pada cabai merah selain sampel, yang tidak

diukur kadar airnya selama proses pengeringan, memiliki kadar air di atas 8%bb.

Rendemen pengeringan berkisar 10 – 13%. Banyaknya beban pengeringan tidak

mempengaruhi besar kecilnya rendemen pada saat pengeringan. Dari data berat bahan dapat terlihat

bahwa perlakuan blanching dapat menurunkan berat dari cabai merah yang akan dikeringkan. Namun

hal sebaliknya terjadi pada waktu blanching 7 menit pada ulangan 1 karena cabai merah belum

ditiriskan secara sempurna yang mengakibatkan air dipermukaan cabai ikut tertimbang. Blanching

dapat pula mempengaruhi laju pengeringan. Semakin lama proses blanching maka akan semakin cepat

laju pengeringannya, sehingga mempercepat proses pengeringan cabai merah. Menurut Aristiawati

(1990), perlakuan blanching selain berfungsi untuk menginaktifkan enzim, mencegah perubahan bau,

rasa dan warna juga dapat menjadikan membran sel lebih permeabel sehingga cairan akan lebih

mudah keluar selama proses pengeringan. Apabila cairan dalam bahan lebih mudah keluar, maka

proses pengeringan akan lebih cepat.

Pada penelitian ini, penurunan kadar air diukur selama proses pengeringan. Pengukuran ini

dimaksudkan untuk melihat perubahan kadar air akhir bahan selama proses pengeringan. Dari hasil

pengukuran, diperoleh data penurunan kadar air bahan untuk setiap perlakuan (Lampiran 14 – 23).

Gambar 18. Grafik perubahan kadar air selama pengeringan pada ulangan 1.

Gambar 19. Grafik perubahan kadar air selama pengeringan pada ulangan 1.

37

Dari Gambar 18 dan 19, penurunan kadar air yang paling cepat pada perlakuan blanching

selama 9 menit. Namun pada proses penurunan kadar airnya, blanching 5 menit lebih cepat kemudian

melambat ketika hampir mencapai kadar air yang diinginkan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh laju

pengeringan. Laju pengeringan menunjukkan seberapa cepat air dalam bahan menguap. Grafik laju

pengeringan cabai merah terhadap waktu disajikan pada Gambar 20 dan 21.

Gambar 20. Grafik laju pengeringan selama pengeringan pada ulangan 1.

Gambar 21. Grafik laju pengeringan selama pengeringan pada ulangan 2.

Grafik pada Gambar 20 dan 21 di atas menunjukkan bahwa laju pengeringan pada bubuk cabai merah

yang di-blanching 5 menit lebih tinggi dari perlakuan blanching 9 menit selama proses mencapai

kadar air yang diinginkan. Namun ketika hampir mencapai kadar air yang diinginkan atau akhir waktu

pengeringan, laju pengeringan menurun kemudian konstan dan lajunya paling lambat dibandingkan

laju pengeringan bubuk cabai dengan perlakuan yang lain. Pada blanching 9 menit, laju pengeringan

38

lebih rendah dari perlakuan blanching 5 menit hingga mencapai titik puncak, kemudian lebih cepat

dari perlakuan lainnya ketika hampir mencapai kadar air yang diinginkan atau waktu akhir

pengeringan. Hal inilah yang menyebabkan perlakuan blanching 9 menit paling cepat mencapai kadar

air yang diinginkan. Namun bila dilihat dari grafik perubahan kadar air pada ulangan 1 dan ulangan 2

serta grafik laju pengeringan ulangan 1 dan ulangan 2, ada perbedaan perubahan kadar air dan laju

pengeringan. Hal ini terjadi karena ketebalan daging dan ukuran cabai merah yang tidak sama.

Dari Gambar 20 dan 21, dapat dilihat juga bahwa laju pengeringan terhadap waktu

menunjukkan grafik yang fluktuatif. Tingginya tingkat fluktuasi laju pengeringan ini kemungkinan

besar dipengaruhi oleh tingkat intensitas udara panas yang diterima bahan dan juga dipengaruhi oleh

pembukaan rak pengering pada saat pengambilan sampel bahan untuk diketahui penurunan beratnya.

Fluktuasi ini mungkin juga disebabkan oleh faktor eskternal seperti suhu dan kelembaban,

karakteristik fisik dan kimiawi bahan, kadar air awal dan ikatan air dalam bahan.

Di dalam proses pengeringan terdapat dua periode utama, yaitu periode pengeringan dengan

laju pengeringan tetap dan periode pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Periode ini

dibatasi oleh kadar air kritis (Henderson dan Perry 1955). Pada awal pengeringan dapat terlihat dari

grafik bahwa laju pengeringan naik cukup signifikan dan cenderung tetap kenaikannya, hal ini sejalan

dengan kenaikan suhu pengering. Pada tahap ini, hanya air bebas yang diuapkan oleh udara panas

pengering. Pada titik tertentu, laju pengeringan mencapai puncaknya dan kemudian cenderung turun.

Laju pengeringan menurun ini terbagi menjadi dua yaitu laju pengeringan menurun cepat dan laju

pengeringan menurun lambat. Menurut identifikasi dari data penelitian pada perlakuan blanching

selama 5 menit ulangan 1, diperoleh grafik laju pengeringan menurun cepat dan menurun lambat

seperti yang disajikan pada (Gambar 22)

Gambar 22. Grafik laju pengeringan menurun tetap (titik A-B) dan menurun lambat (titik B-C).

Laju pengeringan menurun cepat terjadi pada saat air bebas masih terdapat dalam bahan,

sedangkan laju pengeringan menurun lambat terjadi pada saat air bebas telah menguap semua dan

hanya tinggal air terikat yang relatif lebih sulit untuk diuapkan. Laju pengeringan menurun sesuai

39

dengan penurunan kadar air dan lama waktu pengeringan. Jumlah air yang terkandung dalam bahan

akan terus menurun hingga mencapai kondisi setimbang.

Laju pengeringan ini dapat dipengaruhi oleh perlakuan blanching. Perlakuan blanching

dapat mempercepat laju pengeringan. Blanching dapat mempengaruhi tekstur dan struktur bahan

pangan menjadi lebih lunak sehingga terjadi rongga antar sel yang menyebabkan air di dalam sel

mudah menguap.

4.4 Produk Hasil Pengeringan

4.4.1 Proses Penggilingan Cabai Merah Kering

Dari hasil pengeringan didapatkan cabai merah kering dengan kadar air sekitar 7 – 8 %bb.

Cabai kering ini kemudian dikecilkan ukurannya menggunakan blender yang biasa digunakan untuk

menghaluskan bumbu kering. Kadar air selama proses pengecilan ukuran berkurang. Pengurangan

kadar air bubuk dapat dilihat pada Tabel 14. Pada Tabel 14, terlihat bahwa kadar air selama proses

pengecilan ukuran berkurang sekitar 3 – 4% (diukur dengan metode oven). Hal ini terjadi akibat

gesekan antara bahan dengan pisau pencacah, gesekan antara bahan dengan bahan dalam blender,

lama proses pengecilan ukuran serta luas permukaan bahan meningkat sehingga air dari dalam bahan

mudah menguap. Gesekan antar bahan dan pisau pencacah dapat menimbulkan panas yang dapat

menguapkan air yang terkandung dalam bubuk. Setelah proses pengecilan ukuran, dilakukan

pengayakan dengan ayakan Tyler berukuran 30 mesh (ukuran setara dengan 0.6 mm) untuk

mempermudah proses analisis warna dan ekstraksi oleoresin.

Tabel 14. Kadar air cabai kering dan kadar air bubuk cabai

Perlakuan KA cabai kering KA bubuk

(%bb) (%bb)

Kontrol 8.46 ± 0.18 5.14 ± 0.66

blanching 3 menit 7.15 ± 0.15 4.21 ± 0.18

blanching 5 menit 7.93 ± 0.59 4.18 ± 0.06

blanching 7 menit 7.69 ± 0.25 4.48 ± 0.18

blanching 9 menit 7.74 ± 0.86 4.50 ± 0.38

4.4.2 Analisis Warna

Pengukuran warna bubuk cabai merah yang telah kering menggunakan Chromameter

ditampilkan hasilnya pada Gambar 23 dan 24. Warna produk secara visual disajikan pada Lampiran

30.

40

Gambar 23. Grafik hubungan antara nilai L* dengan lama blanching.

Dari analisa sidik ragam berdasarkan nilai L* diketahui bahwa p value 0.008 < alpha 5%

artinya lama blanching berpengaruh nyata terhadap kecerahan warna. Selanjutnya dilakukan uji

Duncan yang menunjukkan bahwa perlakuan blanching dengan natrium bisulfit selama 9 menit

memberikan tingkat kecerahan paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Sementara

perlakuan kontrol memberikan tingkat kecerahan paling rendah. Tingkat kecerahan pada perlakuan

blanching dengan natrium bisulfit selama 5 dan 7 menit tidak berbeda nyata, sedangkan perlakuan

blanching dengan natrium bisulfit selama 3 menit sama dengan tingkat kecerahan perlakuan blanching

dengan natrium bisulfit selama 5 dan 7 menit serta 9 menit.

Gambar 24. Grafik hubungan antara nilai a* dengan lama blanching.

Dari analisa sidik ragam berdasarkan nilai a* diketahui bahwa p-value 0.032 < alpha 5%,

artinya lama blanching berpengaruh nyata terhadap warna merah. Selanjutnya dilakukan uji Duncan

yang menunjukkan bahwa rata-rata warna merah yang paling tinggi yaitu pada perlakuan blanching

dengan natrium bisulfit selama 7 menit sedangkan yang terendah pada perlakuan blanching dengan

natrium bisulfit selama 9 menit. Perlakuan kontrol, blanching dengan natrium bisulfit selama 5 menit,

dan perlakuan blanching dengan natrium bisulfit selama 7 menit tidak berbeda nyata, sedangkan

perlakuan blanching dengan natrium bisulfit selama 3 menit sama dengan perlakuan kontrol,

blanching dengan natrium bisulfit selama 5 menit, blanching dengan natrium bisulfit selama 7 menit

dan blanching dengan natrium bisulfit selama 9 menit. Perlakuan blanching dengan natrium bisulfit

selama 9 menit berbeda nyata dengan perlakuan yang lain.

Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa perlakuan 9 menit memiliki tingkat kecerahan

paling tinggi namun memiliki intensitas warna merah yang paling rendah dibandingkan dengan

perlakuan lain. Namun bila dilihat secara nominal perbedaan nilai warna merah pada perlakuan ini

41

dengan nilai warna merah tertinggi (perlakuan blanching 7 menit) hanya sebesar 0.64 dari range nilai

warna merah 0 – 50. Sehingga perlakuan 9 menit ini dapat dikatakan perlakuan terbaik.

4.4.3 Uji Stabilitas Warna Produk

Warna merah hingga kuning pada cabai merah dikarenakan kandungan karotenoid.

Karotenoid ini sebagian besar berupa hidrokarbon serta berikatan dengan senyawa yang strukturnya

mirip dengan lemak. Karotenoid dapat larut dalam lemak, ethanol dan methanol tetapi sukar larut

dalam air. Karotenoid mempunyai ikatan rangkap yang menyebabkan bahan ini mudah teroksidasi

serta dapat mengalami auto oksidasi. Karotenoid dapat mengabsorbsi sinar UV dan sinar tampak yang

kemudian ditransmisi atau diabsorbsi sehingga dapat mempengaruhi penampakan warnanya.

Karotenoid juga dapat terdegradasi secara termal pada suhu 190 – 220 oC. Perubahan struktur pigmen

karotenoid dari trans menjadi cis akibat suhu, pH, pengoksidasi dan cahaya dapat mengakibatkan

warna menjadi lebih terang (Gross 1991).

Uji stabilitas warna yang dilakukan meliputi pengukuran perubahan warna akibat pengaruh

suhu penyimpanan, pengaruh kondisi penyimpanan, pengaruh sinar matahari dan pengaruh sinar

lampu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya nilai a*, yang menjadi indikasi warna merah, yang

mengalami perubahan yang dapat ditarik kesimpulan pada tiap perlakuan uji stabilitas warna.

Sedangkan nilai L* menunjukkan bahwa nilai perubahannya berbeda-beda pada tiap perlakuan uji

stabilitas warna sehingga sulit untuk menarik kesimpulan. Data penurunan intensitas warna tersaji

pada Lampiran 24 – 27.

Untuk mengetahui stabilitas warna pada suhu penyimpanan yang berbeda, bubuk cabai

merah disimpan pada suhu ruang (25 – 27 oC) dan pada suhu dingin (8 – 10

oC). Penyimpanan ini

berlangsung selama 2 hari. Hasil pengujian dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 25. Perubahan intensitas warna akibat suhu penyimpanan.

Grafik pada Gambar 25 menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu ruang menyebabkan penurunan

intensitas warna yang lebih besar dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu dingin.

42

Gambar 26. Perubahan intensitas warna akibat kondisi penyimpanan.

Pada Gambar 26, penurunan intensitas warna pada bubuk cabai merah yang disimpan dengan terbuka

lebih besar dibandingkan dengan yang disimpan dalam kondisi tertutup. Pada kondisi bahan yang

dibiarkan terbuka pada suhu ruang, maka yang terjadi adalah bubuk cabai merah mengalami oksidasi.

Menurut Erawati (2006), pengaruh oksidasi lebih dominan jika dibandingkan dengan pengaruh suhu

pada penurunan pigmen karotenoid. Hal ini terjadi karena ikatan rangkap yang dimiliki oleh pigmen

karotenoid.

Untuk uji stabilitas warna akibat pengaruh sinar matahari, bubuk cabai merah diletakkan di

bawah sinar matahari selama 6 jam pada saat intensitas cahaya matahari paling tinggi yaitu pada pukul

8 hingga pukul 2 siang. Perubahan intensitas warnanya diukur setiap 3 jam. Hasil pengukuran tersaji

pada Gambar 27.

Gambar 27. Perubahan intensitas warna akibat sinar matahari.

43

Sinar matahari ternyata dapat menurunkan intensitas warna dari bubuk cabai. Penurunan ini

diakibatkan oleh pigmen karotenoid dapat mengabsorbsi sinar UV matahari dan mengubah struktur

trans karotenoid menjadi cis karotenoid. Semakin banyak struktur cis maka warna merah akan

semakin pudar (Erawati 2006).

Pada uji stabilitas warna akibat pengaruh sinar lampu, bubuk cabai merah diletakkan di

bawah sinar lampu TL berdaya 20 Watt selama 2 hari. Perubahan intensitasnya diukur setiap 12 jam.

Gambar 28. Perubahan intensitas warna akibat sinar lampu.

Hasil pengukuran pada Gambar 28 menunjukkan bahwa semakin lama berada di bawah sinar lampu

maka intensitas warna bubuk cabai merah akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan pigmen

karotenoid dapat mengalami photoxidasi, yaitu oksidasi akibat sinar lampu (Gross 1991).

Uji stabilitas warna akibat pengaruh sinar matahari dan sinar lampu ini penting untuk bubuk

cabai yang telah digunakan untuk pewarna kosmetik dan telah diaplikasikan ke kulit pemakai. Hal ini

bertujuan untuk mengetahui degradasi warna pada saat pemakai berada di luar ruangan atau di dalam

ruangan yang diberi penerangan lampu. Namun hasil ini juga bergantung kepada faktor internal

pemakai seperti jenis dan kondisi kulit pemakai yang dapat pula mempengaruhi kestabilan warna

kosmetik tersebut.

Dari semua uji stabilitas warna yang dilakukan, perlakuan blanching selama 9 menit

menunjukkan kestabilan warna bubuk cabai merah yang baik. Hal ini dibuktikan dari persentase

penurunan intensitas warna merah pada tabel berikut :

44

Tabel 15. Persentase penurunan intensitas warna merah pada uji stabilitas warna.

Lama Kontrol Suhu penyimpanan (%) Kondisi penyimpanan (%) Sinar matahari (%) Sinar lampu (%)

blanching (%) 25 - 27 oC 8 - 10

oC terbuka tertutup 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam

0 100 -8.54 -3.28 -8.52 -5.19 -6.64 -8.45 -1.94 -2.95 -4.25 -4.61

3 100 -5.14 -4.24 -6.27 -1.71 -1.09 -3.05 -2.47 -3.53 -3.68 -5.81

5 100 -6.12 -3.23 -5.31 -3.89 -2.01 -3.58 -1.14 -1.23 -1.72 -3.26

7 100 -3.52 -1.38 -3.62 -2.11 -1.46 -4.53 -1.40 -2.67 -4.68 -6.04

9 100 -1.17 -0.56 -3.13 -1.06 -0.29 -0.89 -0.20 -0.74 -1.53 -3.06

45

Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa dari semua perlakuan uji kestabilan warna yang diberikan pada

bubuk cabai dengan perlakuan pendahuluan blanching selama 9 menit memiliki penurunan intensitas

warna merah paling kecil dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini terjadi akibat pengaruh

natrium bisulfit yang ditambahkan pada air sebagai medium blanching dan lama perendaman dalam

larutan blanching tersebut. Iswari et al (2004) menyatakan bahwa penambahan natrium bisulfit 0.2%

pada saaat blanching dapat mempertahankan warna merah pada bubuk cabai selama penyimpanan 6

bulan. Hal ini menunjukkan bahwa natrium bisulfit mampu memberikan lingkungan yang cukup

alkalis untuk mempertahankan warna, aroma dan kecerahan. Menurut Desrosier (1988), lingkungan

alkalis saat blanching sayuran sebelum dikeringkan dapat mempertahankan pigmen sayuran. Lama

blanching juga berpengaruh terhadap perubahan warna pada bubuk cabai merah. Hal ini dikarenakan

pada bubuk cabai merah dengan perlakuan pendahuluan blanching yang lebih lama dapat

menonaktifkan enzim-enzim yang dapat menyebabkan browning pada bubuk cabai merah dengan

optimal.

4.4.4 Analisis Warna Setelah Ekstraksi Oleoresin

Tahap selanjutnya adalah ekstraksi oleoresin bubuk cabai untuk menghilangkan kepedasan

bubuk cabai. Jika bahan masih memiliki tingkat kepedasan yang tinggi maka akan menimbulkan

iritasi kulit dan kulit akan terasa panas. Bubuk yang telah diekstrak oleoresinnya kemudian dilakukan

analisis warna untuk mengetahui apakah ekstraksi oleoresin berpengaruh terhadap warna produk.

Gambar 29. Perubahan nilai L* setelah ekstraksi oleoresin.

46

Gambar 30. Perubahan a* setelah ekstraksi oleoresin.

Hasil yang tersaji pada Gambar 29 dan 30 menunjukkan bahwa ekstraksi oleoresin dapat menurunkan

intensitas warna bubuk cabai merah. Nilai a* dari grafik pada Gambar 30 di atas terlihat menurun

pada kondisi setelah ekstraksi. Hal ini terjadi karena sebagian warna merah ikut larut bersama

oleoresin. Pelarutan ini juga mengakibatkan perubahan pada nilai L*. Nilai L* meningkat setelah

ekstraksi pada perlakuan kontrol, dan perlakuan blanching 5 menit. Untuk perlakuan blanching 3

menit, perlakuan blanching 7 menit dan perlakuan blanching 9 menit nilai L* menurun.

Tabel 16. Persentase penurunan intensitas warna merah

Setelah ekstraksi oleoresin

lama blanching Sebelum (%) Setelah (%)

0 100 -9.90

3 100 -10.51

5 100 -3.60

7 100 -9.28

9 100 -3.51

Untuk bubuk cabai merah dengan perlakuan blanching 9 menit dapat mempertahankan warna merah

dengan baik. Hal ini terlihat pada Tabel 16 dimana penurunan intensitas warna merah paling kecil

dibandingkan perlakuan lain.

Setelah dilakukan analisis warna tidak dilakukan kembali uji stabilitas warna. Hal ini terjadi

karena hanya pada bubuk cabai merah dengan perlakuan pendahuluan blanching 9 menit saja yang

masih berwarna merah sedangkan pada bubuk cabai dengan perlakuan lain berwarna kuning pucat.

4.4.5 Analisis Tingkat Kepedasan

Ekstraksi oleoresin bertujuan untuk menghilangkan kepedasan pada bubuk cabai. Oleh

karena itu dilakukan analisis tingkat kepedasan untuk mengetahui apakah ekstraksi berlangsung secara

sempurna atau tidak. Analisis ini dilakukan dengan uji organoleptik pada panelis terlatih sebanyak 5

47

orang. Awalnya analisis ini dilakukan dengan mengoleskan bahan yang telah dilakukan proses

pengenceran seperti pada prosedur penelitian (Bagian 3.3.8) ke kulit panelis selama 5 menit. Namun

semua panelis tidak merasakan efek apapun pada kulit mereka. Kemudian pengujian ini dilakukan

dengan merasakan pedas bubuk cabai yang telah diencerkan pada rongga mulut. Pengujian ini akan

valid bila 3 dari 5 panelis dapat mengenali rangsangan pada satu tingkat kepedasan tertentu.

Kepedasan di sini dianalogikan dengan rasa panas di rongga mulut. Namun setelah dilakukan uji

kepedasan, panelis mengatakan bahwa rasa panas tersebut terasa pada sudut bibir saja sedangkan pada

rongga mulut terasa seperti ada sensasi menusuk.

Pada sampel pertama dengan perlakuan kontrol, semua panelis setuju bahwa bubuk cabai

sudah tidak terasa panas dimulut. Sampel kedua yaitu ulangan dari sampel pertama, semua panelis

menyetujui bahwa bubuk cabai tersebut masih memiliki tingkat kepedasan sebesar 117,000 SHU.

Sampel ketiga dengan perlakuan blanching selama 3 menit, 4 dari 5 panelis setuju bahwa bubuk cabai

tersebut masih memiliki tingkat kepedasan sebesar 170,000 SHU. Pada sampel keempat yaitu ulangan

dari sampel ketiga, 4 dari 5 panelis setuju bahwa bubuk cabai masih sudah tidak pedas lagi. Pada

sampel kelima yaitu perlakuan blanching selama 5 menit, semua panelis setuju bubuk cabai memiliki

tingkat kepedasan sebesar 117,000 SHU. Sempel keenam yaitu sampel ulangan dari sampel 5, semua

panelis setuju bahwa tingkat kepedasan bubuk cabai sama dengan sampel 5. Pada sampel ketujuh

yaitu perlakuan blanching selama 7 menit, semua panelis setuju bahwa tingkat kepedasan bubuk cabai

ini adalah 100,000 SHU. Begitu pula dengan sampel kedelapan yang merupakan ulangan dari sampel

ketujuh. Pada sampel kesembilan yaitu perlakuan blanching selama 9 menit, semua panelis

menyetujui tingkat kepedasan bubuk cabai merah ini sebesar 100,000 SHU. Begitu pula pada sampel

kesepuluh yang merupakan ulangan dari sampel kesembilan. Tabel 17 menunjukkan tingkat

kepedasan pada tiap perlakuan blanching.

Tabel 17. Tingkat kepedasan bubuk

cabai merah

Kode

sampel

Tingkat

kepedasan (SHU)

N0U1 0

N0U2 117,000

N1U1 170,000

N1U2 0

N2U1 117,000

N2U2 117,000

N3U1 100,000

N3U2 100,000

N4U1 100,000

N4U2 100,000

Nilai SHU pada Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa bubuk cabai merah masih pedas.

Tingkat kepedasan bubuk cabai merah ini tidak seragam. Bubuk cabai merah dengan tingkat

kepedasan 170,000 SHU lebih terasa panas bila dibandingkan dengan bubuk cabai merah dengan

tingkat kepedasan 117,000 SHU dan 100,000 SHU. Bubuk cabai merah yang masih tinggi tingkat

kepedasannya tidak aman jika digunakan untuk pewarna kosmetik karena kulit akan terasa panas dan

mungkin dapat terjadi iritasi atau ruam pada kulit. Perbedaan tingkat kepedasan pada masing – masing

ulangan mungkin diakibatkan oleh tingkat kepedasan awal dari bubuk cabai merah yang berbeda.

48

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Pada saat uji performansi alat pengering tanpa beban dengan setting suhu 75oC memiliki sebaran

suhu yang seragam pada masing-masing rak dibandingkan dengan setting suhu 35oC dan 55

oC.

2. Pada saat uji performansi alat menggunakan beban pengeringan suhu ruang pengering lebih

tinggi dibandingkan dengan suhu bahan. Hal ini terjadi karena perambatan panas dalam bahan

lebih lambat dibandingkan dengan perambatan panas pada udara pengering.

3. Efisiensi pengeringan paling tinggi pada perlakuan blanching selama 9 menit yaitu sebesar

38.63%. Hal ini terjadi karena waktu pengeringan lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan

lain dan dinding sel menjadi lebih permeabel sehingga air yang terdapat dalam bahan lebih cepat

diuapkan.

4. Perlakuan blanching selama waktu tertentu pada pengeringan cabai merah dapat mempengaruhi

karakteristik pengeringan cabai merah. Semakin lama waktu blanching maka waktu yang

dibutuhkan untuk mengeringkan cabai merah akan semakin cepat. Perlakuan ini berpengaruh

terhadap berat bahan yang akan di keringkan. Berat bahan akan menyusut setelah proses

blanching. Perlakuan blanching ini mampu mempercepat laju pengeringan. Semakin lama waktu

blanching maka laju pengeringan akan semakin meningkat. Namun, perlakuan blanching tidak

mempengaruhi kadar air akhir dari cabai merah yang dikeringkan. Rendemen pengeringan pada

penelitian ini sekitar 10 – 13 % dengan kadar air akhir 8 – 9 %bb

5. Perlakuan blanching menggunakan natrium bisulfit 0.2% dapat mempertahankan warna merah

akibat pengaruh suhu, kondisi penyimpanan, pengaruh sinar matahari dan sinar lampu.

6. Bubuk cabai merah dengan perlakuan blanching selama 9 menit adalah perlakuan yang terbaik.

Hal ini karena pada perlakuan ini memiliki efisiensi paling tinggi dibandingkan dengan

perlakuan lain. Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa perlakuan 9 menit memiliki tingkat

kecerahan paling tinggi namun memiliki intensitas warna merah yang paling rendah

dibandingkan dengan perlakuan lain. Namun bila dilihat secara nominal perbedaan nilai warna

merah pada perlakuan ini dengan nilai warna merah tertinggi (perlakuan blanching 7 menit)

hanya sebesar 0.64 dari range nilai warna merah 0 – 50 sehingga masih dapat diterima sebagai

perlakuan terbaik. Warna merah pada perlakuan ini paling stabil setelah mendapat pengaruh

eksternal yaitu suhu penyimpanan, kondisi penyimpanan, sinar matahari, sinar lampu dan

ekstraksi oleoresin.

7. Ekstraksi ini juga berpengaruh terhadap warna bubuk. Warna merah pada bubuk cabai merah

dapat larut dalam pelarut beserta oleoresin yang dihasilkan sehingga bubuk akan berubah

warnanya menjadi orange hingga kuning cerah. Setelah ekstraksi oleoresin tidak dilakukan uji

stabilitas warna kembali, hal ini karena hanya bubuk cabai dengan perlakuan pendahuluan

blanching selama 9 menit saja yang masih berwarna merah.

8. Ekstraksi oleoresin dapat menurunkan tingkat kepedasan bubuk cabai merah. Namun perlu

diketahui tingkat kepedasan awal dari bubuk cabai merah yang akan diekstraksi untuk

menghilangkan kepedasan yang optimal. Bubuk cabai merah hasil penelitian ini masih memiliki

tingkat kepedasan bubuk sekitar 100,000 - 170,000 SHU. Jika bubuk cabai merah masih

49

memiliki tingkat kepedasan tertentu maka dapat menimbulkan iritasi kulit dan menimbulkan rasa

panas pada kulit.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan analisis tingkat kepedasan bubuk cabai merah sebelum dilakukan ekstraksi

oleoresin untuk memastikan tingkat kepedasan dari bubuk cabai tersebut.

2. Metode ekstraksi karotenoid langsung dapat dilakukan agar warna dapat terekstrak dengan

baik sehingga tidak perlu melakukan ekstraksi oleoresin.

3. Perlu dilakukan analisis kestabilan warna bubuk cabai merah ketika telah digunakan sebagai

pewarna kosmetik.

50

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan N, Kusnandar F dan Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Anonim. 2009. Teknologi pengolahan oleoresin. www.teknologipertanian.com [13 September 2012].

Anonim. 2012. Standar Nasional Indonesia No. 01 – 4480 – 1998 Cabai Merah Segar.

pphp.deptan.go.id [17 Juli 2012]

Aristiawati PL. 1990. Karakteristik pengeringan beberapa komoditas pertanian [skripsi]. Bogor :

Fakultas Teknologi Pertania, IPB

Desrosier NW. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press.

Estiasih T dan Ahmadi KGS. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta : Bumi Aksara.

Erawati CM. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten Selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar(Ipomea

batatas L.) [thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB

Farima D. 2009. Karakterisasi dan Ekstraksi Simplisia Tumbuhan Bunga Mawar (Rosa hybrida L.)

serta Formulasinya dalam Sediaan Pewarna Bibir [skripsi]. Medan : Fakultas Farmasi,

Universitas Sumatera Utara.

Farrel KT. 1985. Spices, Condiments and Seasoning. AVI Publishing Co. Inc. Westport.

Connecticut.

Gross J. 1991. Pigments in Vegetables. New York : AVI Publ.

Heldman DR dan Singh RP. 1981. Food Process Engineering. Second Edition.AVI Publishing Co.

Inc. Westport. Connecticut.

Henderson SM dan Perry ME. 1976. Agricultural Process Engineering. Third Edition. AVI

Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.

Iswari K, Aswardi dan Artati F. 2004. Kajian Pengolahan Tepung Cabai Merah. Makalah pada

seminar Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian ,

2004, Sumatera Barat.

Komara A. 1991. Mempelajari Ekstraksi Oleoresin dan Karakteristik Mutu Oleoresin Dari Bagian

Cabe rawit (Capsicum frustecens L.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Pertanian Bogor.

Marsudi F. 1993. Pengaruh Cara Pengeringan dan Pencelupan dalam Dipsol, Natrium Metabisulfit

dan Magnesium Hidroksida Terhadap Kualitas Bubuk Cabe Kering Giling [makalah].

Yogyakarta : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Yogyakarta

51

Muchtadi T, Sugiyono dan Ayustaningwarno F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor : CV.

Alfabeta.

Pitojo S dan Zumiati. 2009. Pewarna Nabati Makanan. Yogyakarta : Kanisius.

Prajnanta F. 2007. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Jakarta :Penebar Swadaya

Purseglove JW, Brown EG, Green CL dan Robbins SRJ. 1981. Spices. London : Longman.

Setiadi. 2008. Bertanam Cabai. Jakarta : Penebar Swadaya.

Soleh, M. 2012. Uji Performansi Alat Pengering Tipe Rak dan Pengaruh Perlakuan Awal Terhadap

Mutu Jahe Kering (Zingiber officinale Rosc.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian,

IPB.

Susila. 1989. Capsicum spp. Bogor : Jurusan budidaya pertanian, Fakutas pertanian, IPB.

Trinanda W. 2012. Formulasi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Buah Rasberi (Rubus rosifolius

J. E. Smith) sebagai Pewarna [skripsi]. Medan : Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

Udin F dan Mochtar E. 1993. Kajian pengaruh bahan pengisi dan konsentrasi natrium benzoat

terhadap mutu produk pasta cabai merah hot beauty (Capsicum annuum L. Var Hot Beauty). J.

Tek.Ind. Pert. Vol 10 (3) : 109 – 117.

Utami R. 2011. Formulasi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Beras Ketan Hitam (Oryza sativa L.

Var. Forma glutinosa) sebagai Pewarna [skripsi]. Medan : Fakultas Farmasi, Universitas

Sumatera Utara.

Wasitaatmaja. 1997. Ilmu Pengetahuan Kosmetik Medik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Wiryanta BTW. 2002. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Jakarta : AgroMedia Pustaka

52

LAMPIRAN

53

Lampiran 1. Dimensi alat pengering (Soleh 2012)

54

Lampiran 2. Susunan rak dalam alat pengering (Soleh 2012)

55

Lampiran 3. Posisi fan dalam alat pengering (Soleh 2012)

56

Lampiran 4. Nilai panas laten penguapan air pada suhu tertentu (Heldman dan Singh 1981)

Suhu Panas laten penguapan (hfg)

(kJ/kg)

0.01 2501.40

3 2494.33

6 2487.20

15 2465.91

21 2451.76

30 2430.51

40 2406.73

45 2394.75

50 2382.77

55 2370.67

60 2358.77

65 2346.24

70 2333.82

75 2321.37

80 2308.79

85 2296.00

57

Lampiran 5. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban

Menit

ke

T set

(oC)

Rak 1

(oC)

Rak 2

(oC)

Rak 3

(oC)

Rak 4

(oC)

Rak 5

(oC)

Rak dasar

(oC)

Plenum

(oC)

0 35 20.1 22.2 24.4 23.4 23.9 25.1 28.7

5 35 19.5 23.3 27.1 25.5 26.2 26.3 30.1

10 35 20.3 24.1 28.0 26.1 26.9 27.0 30.8

15 35 20.2 24.4 28.6 26.7 26.9 27.2 31.4

20 35 21.3 24.9 28.6 26.7 27.5 27.5 31.2

25 35 21.0 24.9 28.8 27.1 27.6 27.6 31.5

30 35 21.1 25.2 29.3 27.4 28.0 27.9 31.9

35 35 21.0 25.1 29.2 27.6 28.2 27.7 32.0

40 35 21.5 25.6 29.8 27.3 28.1 28.4 32.2

45 35 21.6 25.8 30.0 27.5 28.2 28.5 32.3

50 35 21.7 25.7 29.7 27.6 28.7 28.3 31.8

55 35 21.1 25.6 30.2 27.9 28.4 28.2 32.2

60 35 20.8 25.5 30.2 28.0 28.6 28.3 32.2

65 35 20.9 25.4 29.9 27.6 28.2 27.4 31.9

70 35 21.3 25.7 30.1 27.9 28.5 27.8 32.1

75 35 21.4 25.8 30.2 28.0 28.6 28.1 32.4

80 35 21.6 26.0 30.5 28.2 28.9 28.3 32.4

85 35 21.2 25.9 30.7 28.3 28.9 28.3 32.6

90 35 21.8 26.1 30.4 28.2 28.8 28.4 32.2

95 35 21.4 25.9 30.4 28.3 29.1 28.3 32.2

100 35 21.5 26.1 30.8 28.6 29.2 28.7 32.5

105 35 21.2 26.1 31.0 28.6 29.3 28.8 32.6

110 35 21.3 26.1 30.9 28.4 29.5 29.7 32.3

115 35 21.1 26.0 30.9 28.7 29.6 29.5 32.3

120 35 21.2 26.1 31.0 28.8 29.7 29.7 32.4

125 35 21.2 26.2 31.2 28.9 29.8 29.9 32.7

130 35 21.4 26.4 31.5 28.9 30.2 30.3 32.9

135 35 21.1 26.5 31.9 29.3 30.5 30.7 33.2

140 35 20.7 26.2 31.8 29.5 30.3 30.2 33.0

145 35 21.2 26.6 32.0 29.2 30.5 30.8 32.9

150 35 20.7 26.5 32.3 29.6 30.6 30.9 33.5

155 35 21.4 26.5 31.6 28.7 29.8 30.5 32.5

160 35 22.2 27.3 32.5 29.4 30.4 31.1 33.2

165 35 23.4 28.1 32.8 29.6 30.5 31.6 33.4

170 35 23.8 28.4 33.0 29.7 31.0 31.8 33.4

175 35 23.6 28.5 33.5 30.1 31.0 32.1 33.8

180 35 23.7 28.5 33.3 30.2 31.3 31.9 33.5

58

Lampiran 6. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban (lanjutan)

menit

ke

T set

(oC)

T rak 1

(oC)

T rak 2

(oC)

T rak 3

(oC)

T rak 4

(oC)

T rak 5

(oC)

T rak dasar

(oC)

Plenum

(oC)

0 55 24.6 27.1 29.6 30.2 32.3 33.6 42.6

5 55 24.2 27.6 31.0 31.6 33.4 35.3 43.5

10 55 24.2 28.1 32.0 32.7 35.1 36.3 44.2

15 55 24.8 28.7 32.6 33.4 35.5 36.7 44.3

20 55 25.2 29.1 33.0 33.9 35.7 37.1 44.7

25 55 27.2 30.7 34.2 35.0 37.1 38.0 44.9

30 55 30.3 32.5 34.7 35.5 37.6 38.4 45.0

35 55 30.7 32.8 34.9 35.6 37.8 38.6 45.1

40 55 31.0 33.0 35.0 35.9 38.0 38.9 45.9

45 55 29.0 32.2 35.4 36.6 37.9 39.2 45.8

50 55 30.5 33.3 36.1 37.2 38.4 39.4 45.7

55 55 31.7 34.6 37.5 38.6 39.2 40.1 45.8

60 55 31.6 34.6 37.6 38.6 39.3 40.1 45.9

65 55 31.8 34.8 37.8 38.9 39.4 40.3 46.0

70 55 31.7 34.3 36.9 37.9 38.8 39.8 47.0

75 55 33.7 35.9 38.1 39.0 39.7 40.4 47.0

80 55 33.8 36.1 38.4 39.2 39.8 40.6 47.1

85 55 34.0 36.2 38.4 39.3 40.0 40.7 47.3

90 55 33.8 36.2 38.6 39.3 40.0 40.7 47.1

95 55 34.1 36.3 38.5 39.4 40.0 40.6 47.0

100 55 34.1 36.3 38.5 39.3 39.9 40.6 47.1

105 55 34.2 36.4 38.6 39.3 39.9 40.6 47.3

110 55 34.3 36.6 38.9 39.6 40.1 40.7 47.3

115 55 34.3 36.6 38.9 39.6 40.1 40.9 47.4

120 55 34.3 36.6 38.9 39.6 40.2 40.9 47.6

125 55 34.2 36.7 39.2 39.8 40.4 41.1 47.8

130 55 34.2 36.7 39.2 40.0 40.5 41.3 48.0

135 55 34.0 36.7 39.4 40.1 40.6 41.3 47.9

140 55 34.3 36.9 39.5 40.1 40.1 41.1 48.1

145 55 34.4 37.0 39.6 40.2 40.2 41.1 48.2

150 55 34.7 37.3 39.9 40.5 40.2 41.4 48.3

155 55 34.8 37.4 40.0 40.6 40.3 41.5 48.4

160 55 35.0 37.5 40.0 40.6 40.3 41.5 48.8

165 55 35.1 37.6 40.1 40.7 40.4 41.6 48.6

170 55 35.0 37.6 40.2 40.9 40.5 41.8 48.8

175 55 35.3 37.9 40.5 41.1 40.7 41.9 49.0

180 55 35.3 37.9 40.5 41.1 40.8 41.9 49.0

59

Lampiran 7. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban (lanjutan).

menit ke T set

(oC)

T rak 1

(oC)

T rak 2

(oC)

T rak 3

(oC)

T rak 4

(oC)

T rak 5

(oC)

T rak dasar

(oC)

Plenum

(oC)

0 75 23.7 24.7 25.4 25.7 26.1 26.5 46.1

5 75 25.4 26.8 28.2 30.9 32.1 34.1 52.8

10 75 26.2 28.6 31.0 34.3 35.7 37.0 54.5

15 75 27.6 30.3 33.0 36.4 38.0 38.9 55.1

20 75 30.9 33.3 35.7 38.9 40.8 41.4 56.7

25 75 34.8 36.7 38.6 41.3 43.4 43.8 57.8

30 75 36.0 38.4 40.8 42.8 45.4 45.0 59.3

35 75 36.6 38.6 41.6 43.5 46.1 46.5 60.6

40 75 37.3 39.6 41.9 44.0 46.3 45.9 60.0

45 75 39.8 41.3 39.8 44.9 48.3 49.9 61.7

50 75 40.2 42.0 40.2 45.3 48.8 50.2 62.1

55 75 44.2 46.7 49.2 50.5 52.0 53.6 63.5

60 75 47.2 47.7 48.2 47.6 48.9 51.2 63.9

65 75 51.7 52.8 53.9 55.1 54.5 55.5 64.6

70 75 45.7 47.9 50.1 51.9 52.8 54.1 64.0

75 75 46.0 48.3 50.6 52.6 53.6 54.9 65.1

80 75 52.7 54.5 56.3 58.4 56.6 57.0 65.2

85 75 48.8 51.0 53.2 54.8 55.3 56.0 66.0

90 75 53.7 55.5 57.3 59.3 57.6 58.4 66.8

95 75 53.4 55.3 57.2 58.7 57.6 58.4 66.9

100 75 54.0 54.7 55.4 58.2 55.9 56.3 67.0

105 75 54.3 54.9 55.5 58.5 55.9 56.4 67.0

110 75 54.5 55.1 55.7 58.8 56.2 56.6 67.2

115 75 54.1 55.9 57.7 59.7 58.0 58.7 67.2

120 75 50.8 52.6 54.4 55.5 55.8 57.0 67.1

125 75 51.3 52.3 53.3 55.8 54.4 57.1 68.3

130 75 51.5 52.4 53.3 55.9 54.4 57.1 67.9

135 75 54.5 55.3 56.1 59.2 56.5 56.8 67.3

140 75 51.5 52.4 53.3 55.9 54.3 56.9 67.3

145 75 51.5 52.4 53.3 55.9 54.4 57.0 67.8

150 75 51.4 52.4 53.4 55.9 54.5 57.0 67.8

155 75 51.4 52.4 53.4 55.9 54.3 56.9 67.5

160 75 51.4 52.4 53.4 55.9 54.4 57.0 67.2

165 75 51.4 52.4 53.4 55.8 54.4 57.0 67.5

170 75 51.5 52.4 53.3 55.9 54.4 57.0 67.6

175 75 51.6 52.5 53.4 55.9 54.4 57.0 67.8

180 75 51.6 52.5 53.4 55.9 54.3 56.9 67.5

60

Lampiran 8. Sebaran suhu pada perlakuan kontrol

menit ke suhu plenum suhu pengering (

oC) suhu bahan (

oC)

rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1

0 60.8 50.7 49.2 46.3 45.9 44.3 42.7 47.6 47.9 44.9 40.5 40.6

30 59.0 48.7 46.7 45.3 45.1 42.6 40.1 47.6 46.3 42.7 40.8 39.6

60 60.0 51.9 50.8 49.7 49.6 48.5 47.3 50.8 50.6 47.2 46.6 43.8

90 61.3 52.5 51.8 51.0 51.0 49.1 47.3 51.6 51.1 48.9 47.6 44.7

120 62.0 52.4 51.1 50.7 51.1 47.5 43.9 51.6 50.7 49.3 47.5 44.0

150 63.6 54.3 53.7 53.3 53.5 51.5 49.5 53.5 52.9 52.2 50.3 47.8

180 63.1 52.5 52.4 52.3 52.3 51.8 51.4 51.6 50.8 51.0 49.6 47.8

210 64.4 55.5 54.7 54.2 53.6 53.9 54.2 53.7 53.1 53.6 51.2 48.8

240 66.8 57.6 57.5 57.1 57.2 56.6 56.0 56.5 55.9 55.7 54.5 52.8

270 64.3 52.2 51.0 50.4 48.2 50.9 53.6 51.7 50.5 49.7 48.0 43.9

300 67.0 56.5 56.0 55.6 56.7 55.9 55.1 54.2 53.9 55.4 52.7 51.9

330 67.6 56.9 56.4 56.0 57.2 56.4 55.5 54.8 54.3 55.8 53.3 52.4

360 69.6 57.6 56.6 56.2 57.6 56.2 54.8 55.4 55.0 56.0 53.5 51.2

390 73.6 60.6 60.0 59.8 61.4 60.7 60.0 58.5 58.3 59.6 57.4 55.3

420 75.5 62.0 60.5 59.3 61.2 61.7 62.2 60.7 58.6 59.4 57.2 56.4

61

Lampiran 9. Sebaran suhu pada perlakuan blanching selama 3 menit

menit ke suhu plenum suhu pengering (

oC) suhu bahan (

oC)

rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1

0 60.7 51.0 49.7 47.0 46.4 44.8 41.8 48.2 48.3 45.7 40.9 41.3

30 59.5 49.9 47.8 46.9 46.1 43.9 43.0 48.2 47.7 44.9 41.8 40.3

60 60.1 52.2 51.0 50.5 49.4 48.7 47.7 50.6 50.9 48.8 46.9 44.1

90 61.4 52.7 51.9 52.0 50.5 49.4 47.6 51.9 51.5 49.8 47.9 45.1

120 62.5 52.9 51.7 52.3 50.8 48.4 49.2 52.3 51.6 50.1 48.1 44.8

150 64.2 54.7 54.0 54.4 52.9 51.7 50.6 53.1 53.5 52.3 50.5 48.1

180 64.5 54.6 53.9 54.3 52.6 52.8 55.3 53.0 53.1 52.4 50.5 48.5

210 63.4 56.1 55.4 55.1 54.2 50.1 57.0 54.7 54.2 53.6 51.0 48.5

240 66.9 58.1 57.6 58.3 56.3 56.8 59.0 56.7 56.2 55.6 54.7 52.8

270 65.6 54.7 53.5 52.7 52.1 53.4 58.4 53.8 53.3 52.0 50.4 46.7

300 67.1 56.6 56.1 57.2 55.3 56.0 57.8 55.4 54.1 54.4 52.8 51.9

330 64.0 56.7 56.3 54.8 55.0 55.7 58.2 55.6 54.5 54.7 52.7 49.7

360 72.6 59.6 59.1 60.6 58.5 59.5 61.9 58.5 57.3 57.6 56.2 54.6

390 73.3 60.8 60.3 62.0 59.8 61.0 63.8 59.8 58.8 59.1 57.7 55.6

420 75.4 61.1 60.8 61.7 59.3 61.7 64.7 61.8 60.0 58.9 57.1 56.8

62

Lampiran 10. Sebaran suhu pada perlakuanblanching selama 5 menit

menit ke suhu plenum suhu pengering (

oC) suhu bahan (

oC)

rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1

0 61.0 52.6 50.9 49.4 48.3 47.3 46.2 50.0 49.8 46.9 46.2 43.4

30 61.2 52.5 51.0 50.2 49.3 47.4 45.5 51.4 51.2 48.1 47.2 43.6

60 62.8 54.2 53.3 52.8 51.2 51.6 51.0 53.0 53.0 51.1 49.9 47.4

90 64.8 55.6 54.9 54.6 54.0 52.7 51.3 54.6 53.5 53.3 52.0 49.3

120 64.3 55.8 55.2 54.8 54.9 53.2 51.4 54.1 53.7 53.8 52.1 50.2

150 66.1 57.5 56.7 56.1 56.4 54.4 52.4 55.8 55.4 55.0 54.2 51.3

180 67.0 58.6 57.9 57.6 59.0 55.8 52.6 56.7 56.7 56.2 55.9 53.1

210 66.0 55.1 54.1 53.6 54.4 53.0 51.5 53.3 53.8 53.5 51.3 48.5

240 67.4 56.7 56.2 55.9 57.4 55.1 52.8 54.5 55.3 55.6 54.1 52.3

270 70.9 58.3 57.7 57.4 59.2 56.7 54.2 56.3 57.1 57.2 55.6 53.1

300 73.7 60.6 60.6 59.9 62.2 60.4 58.5 60.3 60.0 59.9 59.5 56.4

63

Lampiran 11. Sebaran suhu pada perlakuan blanching selama 7 menit

menit ke suhu plenum suhu pengering (

oC) suhu bahan (

oC)

rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1

0 61.2 52.5 50.6 49.1 48.5 47.7 47.0 49.9 49.7 46.8 45.8 43.0

30 61.8 53.1 52.0 51.3 50.7 49.4 48.1 51.8 51.4 49.3 47.8 45.0

60 63.6 55.1 54.2 53.7 54.4 52.3 50.2 54.0 53.4 52.1 51.0 48.6

90 64.7 55.7 55.1 54.7 55.7 53.2 50.8 54.0 53.7 53.5 51.8 49.9

120 66.2 57.4 56.8 56.4 57.8 54.6 51.4 56.1 55.4 55.1 54.0 51.8

150 66.1 57.8 57.3 56.9 58.9 55.2 51.5 55.6 55.4 55.8 55.0 52.7

180 67.0 57.3 56.8 56.3 57.9 55.0 52.2 55.4 54.8 55.4 54.4 52.3

210 67.4 57.8 57.3 56.9 58.6 55.6 52.5 55.7 55.3 56.0 55.1 52.8

240 67.0 56.2 55.7 55.3 57.4 54.6 51.8 54.2 53.7 55.1 53.5 51.0

270 69.9 58.7 58.3 58.0 60.8 57.4 54.0 56.7 56.3 57.8 56.5 54.0

300 73.8 61.2 60.3 59.7 62.4 60.1 57.7 59.5 58.4 59.4 59.1 56.2

64

Lampiran 12. Sebaran suhu padaperlakuan blanching selama 9 menit

menit ke suhu plenum suhu pengering (

oC) suhu bahan (

oC)

rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1

0 61.0 52.1 50.3 48.6 47.5 45.2 43.0 49.5 49.6 45.8 43.3 42.7

30 61.3 53.3 52.1 51.3 50.0 47.4 45.5 51.8 51.4 49.0 48.0 44.8

60 62.9 53.5 52.5 52.0 50.8 47.5 45.9 52.5 52.3 50.4 48.8 44.1

90 63.7 54.7 54.0 53.7 53.0 49.4 48.4 53.9 53.7 52.6 50.7 45.8

120 65.1 56.6 55.9 55.4 54.0 51.6 50.4 54.6 54.0 54.6 52.3 49.1

150 67.1 58.5 57.8 57.5 57.2 52.0 53.1 56.7 56.5 56.0 54.8 46.8

180 66.8 57.4 56.9 56.6 56.5 52.0 52.5 55.3 55.4 55.8 53.9 47.6

210 67.8 56.9 56.4 56.0 56.3 51.6 51.9 54.8 55.4 55.7 53.2 46.8

240 73.3 60.3 59.9 59.6 60.6 55.2 55.1 58.4 59.2 59.5 57.2 49.8

65

Lampiran 13. Perhitungan efisiensi pengering pada tiap perlakuan

Keterangan Satuan Kontrol Blanching

3 menit

Blanching

5 menit

Blanching

7 menit

Blanching

9 menit

Udara lingkungan

Bk oC 24.50 25.30 24.70 26.10 26.00

Bb oC 21.00 22.00 22.00 22.50 24.30

Dew point oC 19.06 20.23 20.48 20.63 23.27

h1 kJ/kg 60.76 64.38 64.40 66.23 73.33

V m3/kg 0.8626 0.8664 0.865 0.8693 0.8729

Density kg/m3 1.1593 1.1542 1.156 1.1504 1.1457

RH % 73.48 75.33 79.32 73.68 87.09

H g/kg 0.0142 0.0153 0.0155 0.0157 0.0182

Udara pengering

Bk oC 65.35 65.31 65.46 65.39 65.70

Bb oC 30.90 31.50 31.60 31.70 32.80

Dew point oC 19.06 20.23 20.48 20.63 22.95

h2=h3 kJ/kg 102.91 105.73 106.54 106.87 113.65

V m3/kg 0.9810 0.9826 0.9834 0.9834 0.9881

Density kg/m3

1.0194 1.0177 1.0169 1.0168 1.0120

RH % 8.89 9.57 9.66 9.78 11.12

H g/kg 0.0142 0.0153 0.0155 0.0157 0.0182

Udara keluar pengering

Bk oC 43.37 43.61 43.64 44.39 42.01

Bb oC 30.70 31.30 31.40 31.50 32.60

Dew point oC 26.76 27.45 27.66 27.54 29.83

h2=h3 kJ/kg 102.91 105.73 106.54 102.91 105.73

V M3/kg 0.9300 0.9321 0.9327 0.9346 0.9328

Density kg/m3

1.0753 1.0728 1.0722 1.0700 1.0721

RH % 40.95 42.13 42.57 40.66 52.61

H g/kg 0.0230 0.0240 0.0243 0.0241 0.0277

ma kg 0.73 0.88 0.58 0.94 0.94

M1 %bb 84.65 84.89 85.4 84.88 85.3

M2 %bb 8.46 7.14 7.92 7.69 8.39

Wd kg 0.11 0.13 0.08 0.14 0.14

T jam 7 7 5 5 4

P watt 340 340 340 340 340

h2 kJ/kg 102.91 105.73 106.54 106.87 113.65

h1 kJ/kg 60.76 64.38 64.4 66.23 73.33

Ha g/kg 0.0230 0.0240 0.0243 0.0241 0.0277

Hd g/kg 0.0142 0.0153 0.0155 0.0157 0.0182

Hfg kJ/kg 2398.82 2398.08 2398 2396.21 2397.12

Wa kg 0.61 0.74 0.49 0.79 0.79

Q m3/jam 8.49 10.47 9.69 16.23 18.03

q1 kJ 2554.65 3085.53 2075.20 3352.59 2943.36

q2 kJ 1453.84 1764.35 1173.96 1882.12 1891.52

Qm kJ 8568.00 8568.00 6120.00 6120.00 4896.00

Eg % 56.91 57.18 56.57 56.14 64.26

Ep % 29.82 36.01 33.91 54.78 60.12

Ek % 16.97 20.59 19.18 30.75 38.63

66

Lampiran 14. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan kontrol ulangan 1

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

(gram air/menit) rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5

0 4.06 3.41 3.62 3.69 4.00 3.75 0.56 3.19 84.65 566.67 0.00

15 3.82 3.12 3.31 3.35 3.56 3.43 0.56 2.87 83.59 509.25 0.03

30 3.51 2.82 2.92 2.95 2.92 3.02 0.56 2.46 81.37 436.79 0.02

45 3.24 2.55 2.63 2.66 2.50 2.72 0.56 2.15 79.26 382.21 0.02

60 2.98 2.31 2.33 2.37 2.16 2.43 0.56 1.87 76.85 331.89 0.01

75 2.65 2.19 2.18 2.18 1.99 2.24 0.56 1.68 74.85 297.68 0.01

90 2.30 2.06 2.00 1.96 1.82 2.03 0.56 1.47 72.24 260.27 0.01

105 2.07 1.94 1.85 1.76 1.71 1.87 0.56 1.30 69.81 231.26 0.01

120 1.89 1.82 1.70 1.59 1.56 1.71 0.56 1.15 67.10 203.91 0.01

150 1.57 1.62 1.44 1.33 1.32 1.46 0.56 0.89 61.38 158.92 0.01

180 1.33 1.35 1.23 1.15 1.14 1.24 0.56 0.68 54.64 120.45 0.01

240 0.87 0.91 0.94 0.83 0.82 0.87 0.56 0.31 35.57 55.21 0.00

300 0.69 0.65 0.71 0.70 0.71 0.69 0.56 0.13 18.63 22.89 0.00

420 0.66 0.55 0.59 0.62 0.65 0.62 0.56 0.05 8.59 9.39 0.00

67

Lampiran 15. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan kontrol ulangan 2

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

(gram air/menit) rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5

0 4.85 5.45 4.55 4.82 4.85 4.91 0.74 4.17 84.65 566.67 0.00

15 4.16 5.00 3.65 4.06 3.56 4.09 0.74 3.35 82.00 455.40 0.03

30 3.82 4.52 3.12 3.44 2.92 3.56 0.74 2.83 79.34 384.10 0.03

45 3.48 4.10 2.63 2.95 2.35 3.10 0.74 2.37 76.30 321.85 0.03

60 3.08 3.61 2.23 2.48 1.95 2.67 0.74 1.93 72.45 262.96 0.02

75 2.53 3.33 2.02 2.25 1.77 2.38 0.74 1.64 69.08 223.46 0.02

90 2.07 3.06 1.81 2.04 1.60 2.12 0.74 1.38 65.24 187.67 0.01

105 1.72 2.84 1.64 1.87 1.44 1.90 0.74 1.16 61.27 158.22 0.01

120 1.49 2.62 1.46 1.71 1.32 1.72 0.74 0.98 57.20 133.67 0.01

150 1.17 1.86 1.21 1.40 1.18 1.36 0.74 0.63 46.06 85.38 0.01

180 0.96 1.41 1.05 1.19 1.09 1.14 0.74 0.40 35.46 54.93 0.00

240 0.88 0.88 0.81 0.94 0.88 0.88 0.74 0.14 16.26 19.42 0.00

300 0.82 0.88 0.77 0.87 0.86 0.84 0.74 0.10 12.34 14.07 0.00

420 0.78 0.88 0.77 0.79 0.80 0.80 0.74 0.07 8.33 9.09 0.00

68

Lampiran 16. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 3 menit ulangan 1

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

(%bk/menit) rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5

0 4.93 3.35 3.99 4.29 4.16 4.14 0.62 3.52 84.89 566.67 0.00

15 4.67 3.04 3.60 3.69 2.71 3.54 0.62 2.92 82.45 469.71 0.01

30 4.42 2.71 3.21 3.18 3.18 3.34 0.62 2.72 81.38 437.11 0.03

45 4.15 2.43 2.84 2.75 2.38 2.91 0.62 2.29 78.64 368.15 0.02

60 3.86 2.11 2.48 2.38 2.07 2.58 0.62 1.96 75.93 315.49 0.02

75 3.57 1.82 2.16 2.07 1.77 2.28 0.62 1.66 72.74 266.80 0.02

90 3.27 1.54 1.88 1.84 1.54 2.02 0.62 1.39 69.16 224.22 0.01

105 2.98 1.34 1.68 1.65 1.35 1.80 0.62 1.18 65.47 189.58 0.02

120 2.46 1.04 1.34 1.34 1.09 1.45 0.62 0.83 57.23 133.81 0.01

150 2.11 0.85 1.09 1.12 0.92 1.22 0.62 0.60 49.02 96.16 0.01

180 1.71 0.63 0.85 0.91 0.81 0.98 0.62 0.36 36.61 57.76 0.00

240 1.27 0.54 0.71 0.71 0.70 0.79 0.62 0.17 21.18 26.88 0.00

300 0.90 0.52 0.65 0.71 0.67 0.69 0.62 0.07 10.00 11.11 0.00

420 0.81 0.52 0.65 0.70 0.67 0.67 0.62 0.05 7.04 7.57 0.00

69

Lampiran 17. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 3 menit ulangan 2

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram air/menit)

0 2.67 3.05 2.58 2.66 3.08 2.81 0.42 0.01 84.89 566.67 0.00

15 2.49 2.85 2.35 2.34 2.63 2.53 0.42 0.02 83.37 501.44 0.01

30 2.39 2.69 2.14 2.09 2.28 2.32 0.42 0.01 81.83 450.30 0.02

45 2.28 2.49 1.92 1.78 1.89 2.07 0.42 0.01 79.69 392.36 0.01

60 2.16 2.33 1.72 1.56 1.59 1.87 0.42 0.01 77.51 344.55 0.01

75 1.77 2.22 1.57 1.41 1.42 1.68 0.42 0.01 74.89 298.32 0.01

90 1.47 2.08 1.44 1.28 1.26 1.51 0.42 0.01 72.05 257.79 0.01

105 1.19 1.92 1.30 1.14 1.13 1.34 0.42 0.01 68.51 217.58 0.01

120 0.99 1.79 1.18 1.00 0.99 1.19 0.42 0.01 64.57 182.28 0.01

150 0.78 1.06 1.01 0.83 0.82 0.90 0.42 0.00 53.25 113.88 0.01

180 0.56 0.75 0.84 0.68 0.69 0.70 0.42 0.00 40.01 66.71 0.00

240 0.44 0.63 0.71 0.49 0.51 0.56 0.42 0.00 24.17 31.88 0.00

300 0.44 0.53 0.53 0.45 0.51 0.49 0.42 0.00 14.29 16.68 0.00

420 0.44 0.50 0.41 0.44 0.49 0.45 0.42 0.03 7.25 7.81 0.00

70

Lampiran 18. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 5 menit ulangan 1

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

0.00

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram air/menit)

0 5.02 4.09 4.34 4.75 4.79 4.60 0.69 0.05 85.40 566.67 0.00

15 4.61 3.59 3.59 3.85 3.68 3.86 0.69 0.04 82.14 459.90 0.05

30 4.06 2.92 2.46 2.99 2.99 3.08 0.69 0.03 77.61 346.67 0.04

45 3.29 2.34 1.83 2.57 2.44 2.49 0.69 0.03 72.32 261.26 0.03

60 2.64 1.93 1.46 2.10 2.03 2.03 0.69 0.02 66.02 194.30 0.03

75 2.18 1.47 1.17 1.73 1.55 1.62 0.69 0.01 57.44 134.98 0.02

90 1.81 1.16 1.02 1.39 1.28 1.33 0.69 0.01 48.15 92.85 0.01

105 1.49 0.97 0.84 1.20 1.08 1.12 0.69 0.00 38.17 61.74 0.01

120 1.25 0.84 0.74 0.97 0.93 0.95 0.69 0.00 27.11 37.20 0.00

150 1.08 0.75 0.71 0.84 0.87 0.85 0.69 0.00 18.82 23.19 0.00

180 0.95 0.70 0.70 0.79 0.83 0.79 0.69 0.00 13.10 15.07 0.00

240 0.85 0.65 0.70 0.78 0.81 0.76 0.69 0.00 9.21 10.14 0.00

300 0.82 0.65 0.70 0.78 0.78 0.75 0.69 0.06 8.00 8.70 0.00

71

Lampiran 19. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 5 menit ulangan 2

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

0.00

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram air/menit)

0 3.63 2.59 2.39 2.71 4.13 3.09 0.46 0.03 85.40 566.67 0.00

15 3.40 2.33 2.09 2.14 3.15 2.62 0.46 0.03 82.33 465.84 0.03

30 3.11 1.98 1.78 1.68 2.32 2.17 0.46 0.02 78.67 368.90 0.03

45 2.79 1.63 1.50 1.31 1.69 1.78 0.46 0.02 73.99 284.47 0.02

60 2.48 1.31 1.31 1.06 1.28 1.49 0.46 0.01 68.86 221.18 0.02

75 2.16 1.03 1.12 0.87 1.02 1.24 0.46 0.01 62.60 167.39 0.01

90 1.83 0.78 0.93 0.72 0.82 1.02 0.46 0.01 54.44 119.49 0.01

105 1.58 0.64 0.81 0.65 0.74 0.88 0.46 0.00 47.45 90.29 0.01

120 1.36 0.54 0.70 0.59 0.71 0.78 0.46 0.00 40.63 68.43 0.00

150 1.04 0.45 0.57 0.49 0.67 0.64 0.46 0.00 28.10 39.09 0.00

180 0.81 0.45 0.46 0.45 0.67 0.57 0.46 0.00 18.30 22.40 0.00

240 0.62 0.44 0.39 0.45 0.67 0.51 0.46 0.00 9.94 11.04 0.00

300 0.59 0.43 0.39 0.44 0.67 0.51 0.46 0.04 8.34 9.10 0.00

72

Lampiran 20. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 7 menit ulangan 1

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

0.00

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram air/menit)

0 4.25 5.30 4.19 4.42 4.53 4.54 0.68 0.03 84.88 566.67 0.00

15 3.59 4.63 3.66 4.01 4.24 4.02 0.68 0.03 83.08 491.16 0.03

30 2.92 3.93 3.19 3.60 3.89 3.50 0.68 0.03 80.58 414.86 0.03

45 2.49 3.33 2.75 3.46 3.55 3.11 0.68 0.02 78.14 357.47 0.03

60 2.12 2.86 2.35 2.68 3.22 2.64 0.68 0.02 74.26 288.52 0.02

75 1.86 2.54 2.04 2.35 2.84 2.33 0.68 0.02 70.74 241.71 0.02

90 1.62 2.23 1.76 2.09 2.32 2.00 0.68 0.02 66.02 194.30 0.02

105 1.37 1.90 1.47 1.79 1.83 1.67 0.68 0.01 59.32 145.83 0.02

120 1.19 1.63 1.24 1.54 1.49 1.42 0.68 0.01 52.02 108.41 0.01

150 0.91 1.34 0.97 0.91 1.03 1.03 0.68 0.00 34.04 51.61 0.01

180 0.78 1.13 0.82 0.76 0.72 0.84 0.68 0.00 18.96 23.40 0.00

240 0.71 0.97 0.76 0.69 0.68 0.76 0.68 0.00 10.59 11.85 0.00

300 0.71 0.84 0.76 0.69 0.68 0.74 0.68 0.06 7.51 8.12 0.00

73

Lampiran 21. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 7 menit ulangan 2

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram air/menit)

0 3.58 3.43 3.14 2.82 3.51 3.30 0.49 0.02 84.88 566.67 0.00

15 3.47 3.30 2.94 2.48 3.27 3.09 0.49 0.02 84.00 525.14 0.02

30 3.31 3.17 2.73 2.16 2.41 2.76 0.49 0.02 82.07 457.60 0.02

45 3.13 3.01 2.51 1.85 1.94 2.49 0.49 0.02 80.12 403.13 0.02

60 2.90 2.82 2.30 1.57 1.57 2.23 0.49 0.02 77.84 351.37 0.02

75 2.32 2.67 2.22 1.37 1.42 2.00 0.49 0.01 75.26 304.18 0.02

90 1.84 2.51 1.97 1.17 1.26 1.75 0.49 0.01 71.72 253.62 0.01

105 1.44 2.31 1.77 1.00 1.12 1.53 0.49 0.01 67.61 208.73 0.01

120 1.20 2.12 1.64 0.87 0.99 1.36 0.49 0.01 63.76 175.97 0.01

150 0.92 1.40 1.45 0.69 0.86 1.06 0.49 0.00 53.50 115.03 0.01

180 0.70 1.01 1.22 0.57 0.67 0.83 0.49 0.00 40.56 68.25 0.00

240 0.58 0.61 0.59 0.44 0.58 0.56 0.49 0.00 11.80 13.38 0.00

300 0.58 0.56 0.53 0.44 0.58 0.54 0.49 0.04 7.86 8.53 0.00

74

Lampiran 22. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 9 menit ulangan 1

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram air/menit)

0 4.83 4.60 5.20 5.19 4.06 4.77 0.72 0.03 85.30 566.67 0.00

15 4.45 4.30 4.78 4.65 3.40 4.32 0.72 0.03 83.41 502.62 0.03

30 4.05 3.88 4.28 4.10 2.76 3.82 0.72 0.04 81.23 432.91 0.03

45 3.66 3.42 3.76 3.63 2.19 3.33 0.72 0.02 78.52 365.51 0.04

60 3.12 2.91 3.07 3.11 1.64 2.77 0.72 0.02 74.15 286.86 0.02

75 2.33 2.63 2.90 2.80 1.35 2.40 0.72 0.02 70.17 235.20 0.02

90 1.95 2.40 2.64 2.50 1.20 2.14 0.72 0.02 66.51 198.61 0.02

105 1.58 2.17 2.37 2.22 0.98 1.86 0.72 0.01 61.59 160.36 0.02

120 1.08 1.96 2.10 1.90 0.80 1.57 0.72 0.01 54.36 119.12 0.01

150 0.90 1.48 1.76 1.61 0.69 1.29 0.72 0.00 44.34 79.65 0.01

180 0.72 0.89 1.53 1.30 0.66 1.02 0.72 0.00 29.78 42.42 0.00

240 0.66 0.74 0.89 0.95 0.66 0.78 0.72 0.07 8.34 9.09 0.00

75

Lampiran 23. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 9 menit ulangan 1

Menit ke Berat bahan (gram) Rata-rata

(gram)

Berat kering

(gram)

Berat air

(gram)

0.00

Kadar air

(%bb)

Kadar air

(%bk)

Laju pengeringan

rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram air/menit)

0 2.89 2.54 2.86 2.57 2.96 2.77 0.41 0.01 85.30 566.67 0.00

15 2.78 2.45 2.66 2.18 2.53 2.52 0.41 0.02 83.55 507.84 0.01

30 2.71 2.30 2.46 1.92 2.14 2.31 0.41 0.01 82.02 456.09 0.02

45 2.59 2.14 2.23 1.60 1.72 2.05 0.41 0.01 79.81 395.34 0.01

60 2.41 1.93 1.97 1.25 1.67 1.85 0.41 0.02 77.52 344.87 0.01

75 2.21 1.70 1.75 0.97 1.58 1.64 0.41 0.01 74.74 295.85 0.02

90 1.87 1.39 1.39 0.65 1.46 1.35 0.41 0.01 69.32 225.94 0.01

105 1.63 1.17 1.21 0.52 1.36 1.18 0.41 0.01 64.83 184.31 0.01

120 1.41 1.01 1.07 0.44 1.27 1.04 0.41 0.01 60.12 150.72 0.01

150 1.03 0.78 0.74 0.43 1.04 0.80 0.41 0.00 48.37 93.67 0.01

180 0.68 0.58 0.54 0.42 0.87 0.62 0.41 0.00 32.66 48.51 0.00

240 0.47 0.41 0.45 0.42 0.48 0.45 0.41 0.03 7.13 7.68 0.00

76

Lampiran 24. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan suhu penyimpanan

77

Lampiran 25. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan sinar matahari

78

Lampiran 26. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan sinar lampu

79

Lampiran 27. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan kondisi simpan

80

Lampiran 28. Data perubahan intensitas warna pada uji kestabilan warna

Pengaruh suhu penyimpanan

lama blanching awal suhu ruang % penurunan suhu dingin % penurunan

0 33.51 30.65 8.54 32.41 3.28

3 33.57 31.85 5.14 32.15 4.24

5 33.64 31.58 6.12 32.55 3.23

7 33.67 32.49 3.52 33.21 1.38

9 33.04 32.65 1.17 32.85 0.56

Pengaruh sinar matahari

lama blanching awal 3 jam % penurunan 6 jam % penurunan

0 33.51 31.28 6.64 30.68 8.45

3 33.57 33.21 1.09 32.55 3.05

5 33.64 32.96 2.01 32.43 3.58

7 33.67 33.18 1.46 32.15 4.53

9 33.04 32.94 0.29 32.74 0.89

Pengaruh sinar lampu

lama blanching awal 12 jam % penurunan 24 jam % penurunan 36 jam % penurunan 48 jam % penurunan

0 33.51 32.86 1.94 32.52 2.95 32.08 4.25 31.96 4.61

3 33.57 32.74 2.47 32.39 3.53 32.34 3.68 31.62 5.81

5 33.64 33.25 1.14 33.22 1.23 33.06 1.72 32.54 3.26

7 33.67 33.20 1.40 32.77 2.67 32.10 4.68 31.64 6.04

9 33.04 32.97 0.20 32.79 0.74 32.53 1.53 32.03 3.06

81

Lampiran 29. Data perubahan intensitas warna pada uji kestabilan warna (lanjutan)

Pengaruh kondisi simpan

lama blanching awal terbuka % penurunan tertutup % penurunan

0 33.51 30.65 8.52 31.77 5.19

3 33.57 31.47 6.27 33.00 1.71

5 33.64 31.85 5.31 32.33 3.89

7 33.67 32.45 3.62 32.96 2.11

9 33.04 32.00 3.13 32.69 1.06

Pengaruh ekstraksi oleoresin

lama blanching sebelum setelah % penurunan

0 31.20 28.11 9.90

3 31.03 27.77 10.51

5 30.68 29.57 3.60

7 32.02 29.05 9.28

9 31.45 30.35 3.51

82

Lampiran 30. Warna produk secara visual

83

Lampiran 31. Hasil analisa sidik ragam menggunakan SPSS

Kecerahan (L*) awal:

Tabel ANOVA

Source Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.999a 4 0.500 12.569 0.008

Intercept 27331.984 1 27331.984 687424.145 0.000

Lama_blanching 1.999 4 0.500 12.569 0.008

Error .199 5 0.040

Total 27334.182 10

Corrected Total 2.198 9

Tabel Uji Duncan Perlakuan

Lama Blanching Mean Duncan Grouping

N0 51.5550 A

N2 52.1750 B

N3 52.2350 B

N1 52.5200 BC

N4 52.9150 C

Merah (a*) awal:

Tabel ANOVA

Source Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 0.528a 4 0.132 6.539 0.032

Intercept 11184.342 1 11184.342 553954.556 0.000

Lama_blanching 0.528 4 0.132 6.539 0.032

Error 0.101 5 0.020

Total 11184.972 10

Corrected Total 0.629 9

Tabel Uji Duncan Perlakuan

Lama_blanching Mean Duncan Grouping

N4 33.0350 A

N1 33.3700 AB

N0 33.5050 B

N2 33.6350 B

N3 33.6700 B