Laporan Analisis Jurnal foot care.docx
-
Upload
pambudiwan4262 -
Category
Documents
-
view
226 -
download
10
description
Transcript of Laporan Analisis Jurnal foot care.docx
LAPORAN ANALISIS JURNAL
EFFECT OF A PREVENTIVE FOOT CARE PROGRAM ON LOWER EXTREMETY
COMPLICATIONS IN DIABETIC PATIENTS WITH END STAGE RENAL DISEASE
Di Ruang Anggrek RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Yogyakarta
Tugas Kelompok
Stase Keperawatan Medikal Bedah
Program Studi Ilmu Keperawatan
OLEH :
1. AMANDA KURNIASIH 12/342112/KU/1542
2. TRI KUNARSIH 12/
3. LISTYANTI ANINDA 12/
4. ANKI TIAS YOLANDA 12/
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu keadaan dimana ginjal secara bertahap dan
progresif kehilangan fungsi nefronnya. Penurunan fungsi ginjal ini bersifat kronis dan irreversible.
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat terus
diseluruh dunia. DM yang tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan komplikasi kronik, baik
komplikasi mikrovaskuler maupun komplikasi makrovaskuler. Adanya DM sebagai penyakit yang
menyertai PGK dapat memperburuk kondisi penderita, seperti komplikasi pada ekstremitas bawah.
Komplikasi pada ekstremitas bawah sangat sering terjadi pada penderita diabetes militus. Luka
yang muncul dapat memperburuk kondisi penderita dengan keadaan luka yang tak kunjung
sembuh, gula darah tidak terkontrol, infeksi jamur dan bakteri yang dapat berujung pada neuropati
dan amputasi. Penderita DM akan mengalami aliran darah yang buruk. Hal ini terjadi karena
kerusakan pembuluh darah yang disebabkan oleh kadar gula darah yang tinggi dalam waktu lama.
Aliran darah yang terganggu menyebabkan kaki tidak mendapatkan nutrisi yang cukup, sehingga
kulit kaki menjadi lemah, mudah luka dan sukar sembuh jika terjadi luka.
Selain itu, penderita DM juga mengalami kerusakan saraf. Kerusakan saraf terjadi karena kadar
gula darah yang tinggi dalam waktu lama. Kerusakan saraf menyebabkan kepekaan pasien DM
terhadap rasa nyeri menjadi berkurang, sehingga pasien tidak sadar saat kakinya terluka.
Disebabkan karena itu, perawatan kaki atau foot care sangat penting dilakukan setiap hari oleh
perawat terlatih apabila pasien berada di rawat inap atau kunjungan poli. Dan dapat dilakukan oleh
keluarga pada pasien yang berada di rumah.
Salah satu pasien di Bangsal A menunjukkan kekurangan pengetahuan tentang manajemen
diabetes dan CKD meliputi manajemen diet, cairan, kontrol glukosa, dan kurangnya perawatan diri
khususnya pada kaki.
Oleh karena latar belakang diatas, kami tertarik untuk mengetahui lebih lanjut terkait jurnal
ilmiah yang membahas tentang foot care, Apakah Foot Care Preventive dapat menerunkan
terjadinya neuropati dan meningkatkan keadekuatan penggunaan alas kaki?. Kami memilih jurnal
yang berjudul Effect of a preventive foot care program on lower extremety complications in
diabetic patients with end stage renal disease (Red, et al, 2012) untuk kami bahas sebagai tugas
analisis jurnal kami.
2
B. Manfaat
Manfaat dari analisis jurnal ini adalah
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat memperlajari lebih lanjut terkait diabetes militus dan CKD, khususnya
pada komplikasi yang sering terjadi di ekstremitas bawah. Mahasiswa juga dapat
mempelajari secara lebih dalam sesuai dengan jurnal yang dapat dijadikan sebagai evidence
based nursing khusus pada manfaat penerapan prefentif foot care.
2. Bagi Perawat Klinis
Perawat klinis dapat termotivasi untuk lebih giat menerapkan edukasi dan perawatan kaki
pada pasien yang mengalami diabetes dan CKD. Dan Perawat klinis juga dapat mempelajari
lebih dalam serta yakin dengan tindakan mandiri keperawatan yaitu foot care, edukasi
manajemen diabetes terutama diet dan kontrol gula darah.
3. Bagi Rumah Sakit
Rumah Sakit mendapatkan jurnal ilmiah terbaru tentang upaya perawatan prefentif pada
kaki yaitu foot care, manajemen diabetes, meliputi diet dan kontrol gula darah yang dapat
digunakan sebagai bahan pengembangan cabang keperawatan, pengadaan seminar atau
pelatihan bagi perawat untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes dengan Renal Disease stadium akhir dan Hemodialisis
Dengan diabetes, pembuluh darah kecil dalam tubuh yang terluka. Ketika pembuluh darah di
ginjal terluka, ginjal tidak dapat membersihkan darah dengan benar. Tubuh akan mempertahankan
lebih banyak air dan garam dari seharusnya, yang dapat menyebabkan kenaikan berat badan dan
pergelangan kaki bengkak. mungkin memiliki protein dalam urin . Selain itu, bahan limbah akan
membangun dalam darah .
Diabetes juga dapat menyebabkan kerusakan saraf dalam tubuh . Hal ini dapat menyebabkan
kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih . Tekanan yang dihasilkan dari kandung kemih
penuh dapat membuat cadangan dan melukai ginjal. Juga, jika urin tetap dalam kandung kemih
untuk waktu yang lama, dapat mengembangkan infeksi dari pesatnya pertumbuhan bakteri dalam
urin yang memiliki kadar gula tinggi.
Sekitar 30 persen pasien dengan tipe 1 (onset juvenil) diabetes dan 10 sampai 40 persen dari
mereka dengan diabetes tipe 2 (onset dewasa) akhirnya akan menderita gagal ginjal.
Tanda-tanda Penyakit Ginjal pada Penderita Diabetes
1. Albumin / protein dalam urin
2. Tekanan darah tinggi
3. Pergelangan kaki dan kaki bengkak, kram kaki
4. Pergi ke kamar mandi lebih sering di malam hari
5. Tingginya kadar BUN dan kreatinin dalam darah
6. Kurang kebutuhan insulin atau obat antidiabetes
7. Morning sickness, mual dan muntah
8. Kelemahan, pucat dan anemia
9. Gatal
Penyakit ginjal kronis (CKD) terjadi jika ginjal telah rusak. Ginjal dapat menjadi rusak dari
cedera fisik atau penyakit seperti diabetes atau tekanan darah tinggi. Setelah ginjal rusak, mereka
tidak mampu menyaring darah atau melakukan pekerjaan lain mereka cukup baik untuk membuat
tetap sehat. Beberapa penting ginjal pekerjaan lakukan:
1. Menyaring darah
2. Seimbangkan cairan tubuh
3. Mengatur hormon
4. Membantu menjaga tekanan darah di bawah kontrol
5. Menjaga tulang sehat
4
6. Membantu membuat sel darah merah
Ada lima tahap penyakit ginjal kronis. Yang paling ringan adalah tahap 1 dan 2. Dalam tahap
awal penyakit ginjal, ginjal yang rusak dan tidak bekerja dengan kekuatan penuh. Pada tahap 3,
sekitar setengah dari fungsi ginjal telah hilang. Hal ini dapat menyebabkan masalah lain, seperti
tekanan darah tinggi atau masalah tulang. Pengobatan masalah ini sangat penting, dan bahkan dapat
membantu memperlambat hilangnya fungsi ginjal. Pada tahap 4, kerusakan ginjal yang parah telah
terjadi. Pada tahap ini, sangat penting untuk memperlambat hilangnya fungsi ginjal dengan
mengikuti rencana pengobatan , dan menangani masalah-masalah lain seperti tekanan darah tinggi
atau penyakit jantung. Tahap 5 adalah gagal ginjal. Jika gagal ginjal terjadi, akan membutuhkan
transplantasi ginjal atau dialisis untuk hidup.
Menurut Brunner & Suddarth (2002), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir
(ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Konsep Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut
dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien
dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi
jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid,
2009).
Menurut Nursalam (2006) hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien
berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat.
Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian,
hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak
dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2002).
1. Prinsip yang Mendasari Kerja Hemodialisa
Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan
dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi
ke tubuh pasien.
5
Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang
berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran
darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane
semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2002).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih
rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel
yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran
air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan
penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan Madjid, 2009).
2. Akses pada Sirkulasi Darah Pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis, fistula,
tandur (Suharayanto dan Madjid, 2009).
a. Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui
kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke
dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara.
b. Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada lengan
bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan
vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut
membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini
diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi
dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum
ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir
6
melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah
yang sudah didialisis.
c. Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah tandur dapat
dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-tex
(heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila
pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.
4. Sistem Kerja Dializer
Terdapat 2 (dua) tipe dasar dializer (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :
a. Pararel plate dializer
Pararel plate dializer, terdiri dari dua lapisan selotan yang dijepit oleh dua penyokong.
Darah mengalir melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan dialisa dapat mengalir dalam
arah yang sama seperti darah, atau dengan daerah berlawanan.
7
b. Hollow Fiber atau capillary dializer
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil, dan cairan dialisa
membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisa berlawanan dengan arah aliran darah.
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan
dialisa. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari penderita melalui tabung plastik (jalur
arteri), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke penderita melalui jalur vena.
Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar
serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat
terjadi di sepanjang membrane dialisis melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion
darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit
yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++,
Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat, dan fosfat dapat berdifusi dengan
mudah dari darah ke dalam cairan dialisis karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam
cairan dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan
berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi bikarbonat. Glikosa
dalam konsentrasi yang rendah (200 mg/100 ml) ditambahkan ke dalam bak dialisis untuk
mencegah difusi glukosa ke dalam bak dialisis yang dapat mengakibatkan kehilangan
kalori.
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infuse lambat untuk
mencegah pembekuan. Bekuan darah dan gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke aliran darah. Waktu yang dibutuhkan
seseorang untuk melakukan hemodialisa adalah tiga kali seminggu, dengan setiap kali
hemodialisa 3 sampai 5 jam.
4. Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisa
Hemodilisa merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya memperpanjang
usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien
tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal
(Wijayakusuma, 2008 dalam Desita, 2010).
Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang
baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien
hemodialisa. Asupan protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan
protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan
8
kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-
umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq.hari
guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa
haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka
selama periode di antara dialisis akan terjad kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Menurut Lumenta (1992) anjuran pemberian diet pada pasien hemodialisa 2 x/ minggu :
Protein : 1 – 1,2 gr/kgBB/hari
Kalori : 126 – 147 kj/ kgBB (30 – 35 kal/kgBB/hari)
Lemak : 30 % dari total kalori
Hidrat arang : sedikit gula (55 % total kalori)
Besi : 1,8 mmol/hari (100 mg)
Air : 750 – 1000 ml/hari (500 + sejumlah urin/24 jam)
Ca : 25 – 50 mmol/hari (1000 – 2000)
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi)
harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan
jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Risiko timbuknya efek
toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Brunner & Suddarth, 2002).
5. Indikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisa
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) umumnya
indikasi dialisa pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5
ml/menit) sehingga dialisis baru dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal di
bawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/L
d. Ph darah < 7,1
e. Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
f. Fluid overloaded.
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut (Brunner & Suddarth,
2002) :
a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
9
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien.
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi
darah di luar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul
sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat
gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan
ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) komplikasi yang
jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat
dialisis dan hipoksemia.
B. Komplikasi yang sering terjadi pada ekstremitas bawah
Setiap orang dapat mengalami masalah pada kaki seperti di bawah ini. Namun bagi penyandang
diabetes dengan kadar gula darah yang tidak terkendali, masalah kaki ini dapat mengarah kepada
terjadinya infeksi dan konsekuensi yang lebih serius seperti amputasi.
1. Kalus
Merupakan penebalan kulit yang umumnya terjadi di telapak kaki. Kalus disebabkan
gesekan atau tekanan berulang pada daerah yang sama, distribusi berat tubuh yang tidak
seimbang, sepatu yang tidak sesuai, atau kelainan kulit. Kalus dapat menjadi berkembang
menjadi infeksi.
2. Kulit melepuh
Dapat terjadi jika sepatu selalu menggesek kaki pada daerah yang sama. Disebabkan
penggunaan sepatu yang kurang pas atau tanpa kaus kaki. Kulit melepuh dapat berkembang
menjadi infeksi. Hal penting untuk menangani kulit melepuh adalah dengan tidak
meletuskannya, karena kulit melindungi lepuhan dari infeksi.
3. Kuku kaki yang tumbuh ke dalam
Terjadi ketika ujung kuku tumbuh ke dalam kulit dan menimbulkan tekanan yang dapat
merobek kulit sehingga kulit menjadi kemerahan dan terinfeksi. Kuku kaki yang tumbuh ke
dalam dapat terjadi jika anda memotong kuku sampai ke ujungnya, dapat pula disebabkan
10
pemakaian sepatu yang terlalu ketat atau trauma kaki karena aktivitas seperti berlari dan
aerobik. Jika ujung kuku kaki anda kasar, gunakan kikir untuk meratakannya.
4. Pembengkakan ibu jari kaki
Terjadi jika ibu jari kaki condong ke arah jari di sebelahnya sehingga menimbulkan
kemerahan, rasa sakit, dan infeksi. Dapat terjadi pada salah satu atau kedua kaki karena
penggunaan sepatu berhak tinggi dan ujung yang sempit. Pembengkakan yang menimbulkan
rasa sakit dan deformitas (perubahan bentuk) kaki dapat diatasi dengan pembedahan.
5. Plantar warts
Kutil terlihat seperti kalus dengan titik hitam kecil di pusatnya. Dapat berkembang sendiri
atau berkelompok. Timbulnya kutil disebabkan oleh virus yang menginfeksi lapisan luar
telapak kaki.
6. Jari kaki bengkok
Terjadi ketika otot kaki menjadi lemah. Kerusakan saraf karena diabetes dapat
menyebabkan kelemahan ini. Otot yang lemah dapat menyebabkan tendon (jaringan yang
menghubungkan otot dan tulang) di kaki memendek sehingga jari kaki menjadi bengkok. Akan
menimbulkan masalah dalam berjalan dan kesulitan menemukan sepatu yang tepat. Dapat juga
disebabkan pemakaian sepatu yang terlalu pendek.
7. Kulit kaki kering dan pecah
Dapat terjadi karena saraf pada kaki tidak mendapatkan pesan dari otak (karena neuropati
diabetik) untuk berkeringat yang akan menjaga kulit tetap lembut dan lembab. Kulit yang
kering dapat pecah. Adanya pecahan pada kulit dapat membuat kuman masuk dan
menyebabkan infeksi. Dengan gula darah anda yang tinggi, kuman akan mendapatkan makanan
untuk berkembang sehingga memperburuk infeksi.
8. Athlete's foot (kaki atlet)
Disebabkan jamur yang menimbulkan rasa gatal, kemerahan, dan pecahnya kulit. Pecahnya
kulit di antara jari kaki memungkinkan kuman masuk ke dalam kulit dan menimbulkan infeksi.
Infeksi dapat meluas sampai ke kuku kaki sehingga membuatnya tebal, kekuningan, dan sulit
dipotong.
11
C. Foot Care, Pendidikan pasien tentang praktek perawatan kaki dan Pemilihan sepatu
Pendidikan yang disajikan secara terstruktur dan terorganisir, memainkan peran penting dalam
pencegahan masalah kaki. Tujuannya adalah untuk meningkatkan motivasi dan keterampilan.
Orang dengan diabetes harus belajar bagaimana mengenali potensial masalah kaki dan menyadari
langkah-langkah yang mereka perlu respon. Pendidik harus menunjukkan keterampilan, seperti cara
memotong kuku tepat.
Pendidikan harus disediakan dalam beberapa sesi, dan sebaiknya menggunakan metode
campuran. Hal ini penting untuk mengevaluasi apakah orang dengan diabetes telah memahami
pesan, termotivasi untuk bertindak, dan memiliki keterampilan perawatan mandiri. Selanjutnya,
dokter dan profesional kesehatan lainnya harus mengenyam pendidikan secara periodik untuk
meningkatkan perawatan untuk berisiko tinggi individu.
Perawatan harian yang dapat dilakukan adalah mencuci kaki dengan sabun dan air hangat.
Setelah itu, kaki harus dikeringkan dengan benar sampai ke sela-sela jari agar tidak terinfeksi
jamur. Oleskan pelembab untuk mencegah kulit kering, tetapi jangan oleskan pelembab pada sela-
sela jari. Jangan merendam kaki, karena akan membuat kulit rusak, sehingga mudah terkena
infeksi.
Saat mencuci atau mengoleskan pelembab pada kaki, perhatikan kaki. Apakah terdapat bercak
merah, kapalan, luka, kuku yang tumbuh menusuk jari kaki, kuku kuning dan rapuh,
pembengkakan kaki, kulit kaki pecah pecah ataupun melepuh. Perhatikan juga warna kulit kaki
yang menjadi biru atau hitam. Hal ini menandakan aliran darah yang buruk sehingga butuh
12
penanganan segera. Jika sulit untuk melihat telapak kaki, gunakanlah cermin atau minta tolong
kepada orang serumah.
Guntinglah kuku kaki setiap bulan dengan arah lurus, kikir ujung-ujung kuku yang tajam
dengan pengikir kuku dan jangan menggunting kutikula kuku .
Pasian DM harus selalu menggunakan alas kaki yang nyaman dipakai, baik di dalam maupun di
luar rumah. Alas kaki tidak boleh kebesaran maupun kekecilan karena dapat menyebabkan kaki
lecet. Periksalah bagian dalam sepatu sebelum menggunakannya untuk memastikan tidak ada benda
tajam yang dapat melukai kaki. Sepatu dan alas kaki harus dipilih secara khusus untuk mencegah
adanya gesekan atau tekanan pada kaki.
Untuk menjaga aliran darah ke kaki tetap baik, angkat kaki saat duduk, lalu gerakkan jari-jari
kaki dan pergelangan kaki ke atas dan ke bawah selama 5 menit sebanyak 2 -3 kali sehari. Jangan
melipat kaki dalam waktu lama.
Hal-hal yang harus dilakukan pada pasien berisiko tinggi
1. inspeksi kaki setiap hari, termasuk daerah antara jari kaki
2. perlunya orang lain yang terlatih untuk memeriksa kaki, (Jika penglihatan terganggu,
penderita diabetes tidak boleh mencoba melakukan perawatan kaki mereka sendiri)
3. mencuci kaki secara teratur dengan pengeringan hati-hati, terutama antara jari kaki13
4. Temperatur air - selalu di bawah 37 ◦ C
5. Jangan gunakan pemanas atau botol air panas untuk menghangatkan kaki
6. Menghindari berjalan di ruangan tanpa alas kaki atau di luar ruangan dan mengenakan
sepatu tanpa kaos kaki
7. hindari agen kimia atau plester untuk menghilangkan kapalan - tidak boleh digunakan
8. inspeksi dan palpasi setiap hari bagian dalam sepatu
9. Jangan memakai sepatu ketat atau sepatu dengan tepi kasar dan jahitan tidak merata
10. Penggunaan minyak pelumas atau krim untuk kulit kering - tapi tidak antara jari kaki
11. ganti kaos kaki setiap hari
12. Jangan pernah memakai kaus kaki ketat atau setinggi lutut
13. Memotong kuku lurus
14. Kutil dan kapalan - harus dipotong oleh tenaga kesehatan
15. Memberitahukan penyedia layanan kesehatan sekaligus jika terdapat luka, goresan atau
sakit telah berkembang
D. Manajemen Luka diabetes
Dasar dari perawatan ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement, offloading dan kontrol
infeksi.
Debridement
Debridement menjadi salah satu tindakan yang terpenting dalam perawatan luka. Debridement
adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, callus dan jaringan fibrotik. Jaringan
mati yang dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan
pengeluaran faktor pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka.
Metode debridement yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp), autolitik, enzimatik, kimia,
mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik dan kimia hanya membuang jaringan nekrosis
(debridement selektif), sedangkan metode mekanis membuang jaringan nekrosis dan jaringan hidup
(debridement non selektif).
Surgical debridement merupakan standar baku pada ulkus diabetes dan metode yang paling
efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat jaringan nekrosis atau terinfeksi. Pada kasus
dimana infeksi telah merusak fungsi kaki atau membahayakan jiwa pasien, amputasi diperlukan
untuk memungkinkan kontrol infeksi dan penutupan luka selanjutnya.Debridement enzimatis
menggunakan agen topikal yang akan merusak jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik seperti
papain, colagenase, fibrinolisin-Dnase, papainurea, streptokinase, streptodornase dan tripsin. Agen
topikal diberikan pada luka sehari sekali, kemudian dibungkus dengan balutan tertutup.
Penggunaan agen topikal tersebut tidak memberikan keuntungan tambahan dibanding dengan
14
perawatan terapi standar. Oleh karena itu, penggunaannya terbatas dan secara umum diindikasikan
untuk memperlambat ulserasi dekubitus pada kaki dan pada luka dengan perfusi arteri terbatas.
Debridement mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik pada dasar luka. Teknik
debridement mekanis yang sederhana adalah pada aplikasi kasa basah-kering (wet-to-dry saline
gauze). Setelah kain kasa basah dilekatkan pada dasar luka dan dibiarkan sampai mengering, debris
nekrotik menempel pada kasa dan secara mekanis akan terkelupas dari dasar luka ketika kasa
dilepaskan.
Offloading
Offloading adalah pengurangan tekanan pada ulkus, menjadi salah satu komponen penanganan
ulkus diabetes. Ulserasi biasanya terjadi pada area telapak kaki yang mendapat tekanan tinggi. Bed
rest merupakan satu cara yang ideal untuk mengurangi tekanan tetapi sulit untuk dilakukan Total
Contact Casting (TCC) merupakan metode offloading yang paling efektif. TCC dibuat dari gips
yang dibentuk secara khusus untuk menyebarkan beban pasien keluar dari area ulkus. Metode ini
memungkinkan penderita untuk berjalan selama perawatan dan bermanfaat untuk mengontrol
adanya edema yang dapat mengganggu penyembuhan luka.
Meskipun sukar dan lama, TCC dapat mengurangi tekanan pada luka dan itu ditunjukkan oleh
penyembuhan 73-100%. Kerugian TCC antara lain membutuhkan ketrampilan dan waktu, iritasi
dari gips dapat menimbulkan luka baru, kesulitan untuk menilai luka setiap harinya.
Penanganan Infeksi
Penelitian mengenai penggunaan antibiotika sebagai terapi ulkus diabetes masih sedikit,
sehingga sebagian besar didasarkan pada pengalaman klinis. Terapi antibiotik harus didasarkan
pada hasil kuftur bakteri dan kemampuan toksistas antibiotika tersebut. Pada infeksi yang tidak
membahayakan (non-limb threatening) biasanya disebabkan oleh staphylokokus dan streptokokus.
Infeksi ringan dan sedang dapat dirawat poliklinis dengan pemberian antibiotika oral, misalnya
cephalexin, amoxilin-clavulanic, moxifloxin atau clindamycin.
Sedangkan pada infeksi berat biasanya karena infeksi polimikroba, seperti staphylokokus,
streptokokus, enterobacteriaceae, pseudomonas, enterokokus dan bakteri anaerob misalnya
bacteriodes, peptokokus, peptostreptokokus. Pada infeksi berat harus dirawat dirumah sakit, dengan
pemberian antibiotika yang mencakup gram posistif dan gram negatif, serta aerobik dan anaerobik.
Pilihan antibiotika intravena untuk infeksi berat meliputi imipenem-cilastatin, B-lactam B-
lactamase (ampisilin-sulbactam dan piperacilintazobactam), dan cephalosporin spektrum luass.
Perawatan Luka
Penggunaan balutan yang efeklif dan tepat menjadi bagian yang penting untuk memastikan
penanganan ulkus diabetes yang optimal. Pendapat mengenai lingkungan sekitar luka yang bersih
dan lembab telah diterima luas. Keuntungan pendekatan ini yaitu mencegah dehidrasi jaringan dan
15
kematian sel, akselerasi angiogenesis, dan memungkinkan interaksi antara faktor pertumbuhan
dengan sel target. Pendapat yang menyatakan bahwa keadaan yang lembab dapat meningkatkan
kejadian infeksi tidak pernah ditemukan.
Beberapa jenis balutan telah banyak digunakan pada perawatan luka serta didesain untuk
mencegah infeksi pada ulkus (antibiotika), membantu debridement (enzim), dan mempercepat
penyembuhan luka.Balutan basah-kering dengan normal salin menjadi standar baku perawatan
luka. Selain itu dapat digunakan Platelet Derived Growth Factor (PDGF), dimana akan
meningkatkan penyembuhan luka, PDGF telah menunjukan dapat menstimulasi kemotaksis dan
mitogenesis neutrofil, fibroblast dan monosit pada proses penyembuhan luka.
Penggunaan pengganti kulit/dermis dapat bertindak sebagai balutan biologis, dimana
memungkinkan penyaluran faktor pertumbuhan dan komponen matrik esktraseluler. Recombinant
Human Platelet Derived Growth Factors (rhPDGF-BB) (beclpermin) adalah satu-satunya faktor
pertumbuhan yang disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA). Living skin equivalen
(LSE) merupakan pengganti kulit biologis yang disetujui FDA untuk penggunaan pada ulkus
diabetes
E. Neuropathy & pemeriksaan neuropathy
Neuropati Perifer
Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan diperkirakan merupakan akibat
penyakit vaskuler yang menutupi vasa nervorum, disfungsi endotel, defisiensi mioinositol-
perubahan sintesis mielin dan menurunnya aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis,
menyebabkan edema pada saraf tubuh serta pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose.
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama sehingga menyebabkan
kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan kadar sorbitol intraseluler, menyebabkan saraf
membengkak dan terganggu fungsinya. Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar
peptida neurotropik, perubahan metabolisme lemak, stress oksidatif, perubahan kadar bahan
vasoaktif seperti nitrit oxide mempengaruhi fungsi dan perbaikan saraf. Kadar glukosa yang tidak
teregulasi meningkatkan kadar advanced glycosylated end product (AGE) yang terlihat pada
molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-ruangan yang sempit pada ekstremitas superior dan
inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel). Kombinasi antara pembengkakan saraf yang disebabkan
berbagai mekanisme dan penyempitan kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan
double crush syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan
autonomik.
Perubahan neuropati yang telah diamati pada kaki diabetik merupakan akibat langsung dari
kelainan pada sistem persarafan motorik, sensorik dan autonomik. Hilangnya fungsi sudomotor
16
pada neuropati otonomik menyebabkan anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan
mengakibatkan masuknya bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada
penonjolan tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka kecil pada kaki.
Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis dan pembukaan arteriovenous (AV)
shunt. Neuropati motorik paling sering mempengaruhi otot intrinsik kaki sebagai akibat dari
tekanan saraf plantaris medialis dan lateralis pada masing-masing lubangnya (tunnel).
Pemeriksaan Fisik Neuropati Perifer
Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan posisi, hilangnya reflek
tendon dalam, ulserasi tropik, foot drop, atrofi otot, dan pemembentukan calus hipertropik
khususnya pada daerah penekanan misalnya pada tumit. Status neurologis dapat diperiksa dengan
menggunakan monofilament Semmes-Weinsten untuk mengetahui apakah penderita masih
memiliki "sensasi protektif”, Pemeriksaan menunjukkan hasil abnormal jika penderita tidak dapat
merasakan sentuhan monofilamen ketika ditekankan pada kaki dengan tekanan yang cukup sampai
monofilamen bengkok.
17
Alat pemeriksaan lain adalah garputala 128C, dimana dapat digunakan untuk rnengetahui
sensasi getar penderita dengan memeriksanya pada pergelangan kaki dan sendi
metatarsophalangeal pertama. Pada neuropati metabolik terdapat gradien intensitas dan paling
parah pada daerah distal. Jadi pada pasien yang tidak dapat merasakan getaran pada pergelangan
ketika garputala dipindahkan dari ibu jari kaki ke pergelangan menunjukkan gardien intensitas
karena neuropati metabolik. Pada umumnya, seseorang tidak dapat merasakan getaran garputala
pada jari tangan lebih dari 10 detik setelah pasien tidak dapat merasakan getaran pada ibu jari kaki.
Beberapa penderita dengan sensasi normal hanya menunjukkan perbedaan antara sensasi pada jari
kaki dengan tangan pemeriksa kurang dari 3 detik.
F. Pemeriksaan Fisik ekstremitas bawah
Pemeriksaan Ekstremitas3
Ulkus diabetes mempunyai kecenderungan terjadi pada beberapa daerah yang menjadi tumpuan
beban terbesar, seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (pada jari
pertama dan kedua). Ulkus dapat timbul pada malleolus karena pada daerah ini sering mendapatkan
trauma. Kelainan-kelainan lain yang ditemukan pada pemeriksaa fisik:
1. Kuku yang rapuh/pecah
2. Hammer toes
18
3. Callus hipertropik
4. Fissure
19
BAB III
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Identitas Jurnal
Judul Jurnal : Effect of a preventive foot care program on lower extremety complications
in diabetic patients with end stage renal disease
Peneliti : Andrew Red, Scoot Hurton, John M, Embil, Susan Smallwood, Lily
Thomson, James Zacharias, Mario Dascal, Mary Cheang, Elly Trepman,
Joshua Koulack
Halaman : 283-286 (4 halaman)
Terbitan : Elsevier Ltd on behalf of European Foot and Ankle Society. Foot and Ankle
Surgery 18 (2012)
Tahun Terbit : 2012
Pertanyaan Klinis : Apakah Foot Care Preventive dapat menerunkan terjadinya neuropati dan
meningkatkan keadekuatan penggunaan alas kaki?
P : Patient with diabetic and end stage renal disease
I : -
C : Preventive foot care
O : decrease in frequency of neuropathy and improved footwear adequacy
B. Isi Jurnal
Abstrak
Latar belakang : Komplikasi pada ekstremitas bawah merupakan penyebab utama morbiditas
maupun mortalitas pada pasien dengan end-stage renal disease (ESRD) dan diabetes meliitus.
Program edukasi pasien dapat menurunkan resiko komplikasi pada kaki diabetic.
Metode : Suatu program pencegahan dilaksanakan, program tersebut berisi pengkajian secara
regular oleh perawat foot care dengan keahlian pada bidang foot care dan manajemen luka serta
edukasi pasien terkait praktek foot care dan pemilihan alas kaki. Dilakukan review pada rekam
medis dan pemeriksaan pada pasien. Perbandingan dibuat dengan data terkait pasien dari penelitian
yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh institusi ini terkait pengembangan program foot care.
Hasil : Pasien dengan diabetes lebih sering mengalami kelemahan pada otot left tibialis anterior,
left tibialis posterior, dan left peroneal dibandingkan pada orang tidak dengan diabetes. Terdapat
persentase yang lebih sedikit pada pasien dengan diabetes yang mengalami sensory neuropathy
dibandingkan pada penelitian sebelumnya (dari penelitian 5 tahun yang lalu), namun terdapat
20
persentase yang lebih tinggi terkait pasien dengan diabetes yang mengalami absent pedal pulses
pada penelitian ini. Frekuensi ketidakadekuatan atau jeleknya kualitas alas kaki pada penelitian ini
lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
Kesimpulan : Data pada penelitian ini mengungkapkan bahwa program foot care yang berisi
pengkajian keperawatan dan edukasi pasien berhubungan dengan penurunan frekuensi neuropati
dan meningkatkan keadekuatan alas kaki pada pasien dengan diabetes dan ESRD.
Pendahuluan
Komplikasi pada ekstremitas bawah merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan end stage renal disease (ESRD) dan diabetes mellitus. Pada pasien diabetes
dengan ESRD, penggunaan alas kaki dan foot care seringkali kurang optimal. Sebagai tambahan,
pasien-pasien tersebut memiliki lebih dari dua kali komplikasi pada kaki dan 6,5-10 kali amputasi
pada alat gerak bawah dibandingkan pasien diabetes dengan fungsi renal yang baik. Komplikasi
kaki diabetes merupakan beban ekonomi utama pada system pelayanan kesehatan dan
mempengaruhi individu; di United States, pembiayaan dalam manajemen komplikasi kaki diabetes
melebihi pembiayaan dialysis pada seluruh pasien diabetes denga ESRD.
Kira-kira 15-25% pasien diabetes mengalami foot ulcer selama kehidupan mereka, dan 20%
dari mereka mengalami amputasi pada aal gerak bagian bawah. Angka mortalitas setelah amputasi
sebesar 13-40% pada tahun pertama, 35-65% pada tahun ketiga, dan 39-80% pada tahun kelima.
Lebih lanjut, 17% kematian pada pasien dengan dialisis mungkin berhubungan dengan komplikasi
pada kaki. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa diantara pasien diabetes dengan/yang
menjalani dialysis, 88% mengalami neuropati sensori, 71% memiliki kondisi kuku yang buruk,
28% memiliki foot ulcer, dan 27% menjalani amputasi.
Program edukasi pasien mungkin dapat menurunkan resiko komplikasi kaki diabetes. Oleh
karena itu, program foot care dikembangkan bagi pasien dengan hemodialisis, yang didalamnya
terrmasuk pengkajian regular/berkesinambungan oleh perawat foot care dan pemberian edukasi
pada pasien mengenai praktek foot care dan pemilihan alas kaki.
Kami berhipotesis bahwa program foot care ini dapat menurunkan frekuensi komplikasi kaki
diabetes pada pasien yang menjalani hemodialisis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi masalah pada ekstremitas bawah pada pasien dengan hemodialisis, termasuk
komplikasi ekstremitas bawah karena diabetes, dan untuk membandingkan frekuensi terjadinya
komplikasi pada pasien yang menerima program foot care dengan pasien yang dievaluasi sebelum
dimulainya program foot care ini.
Peneliti berhipotesis bahwa program Foot care dapat menurunkan komplikasi ekstremitas bawah
pada pasien diabetic dengan komplikasi hemodialis.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
21
mengevaluasi masalah ekstremitas bawah pada pasien yang melakukan hemodialisis, termasuk
komplikasi ekstremitas bawah dari penyakit diabetes, dan untuk membandingkan frekuensi
komplikasi pada pasien yang menerima program foot care dengan pasien yang tidak menerima
program foot care.
Material and Method
Subjek
Jumlah pasien adalah 278 pasien yang menerima terapi hemodialisis di Pusat Ilmu Kesehatan, 800
tempat tidur di Rumah Sakit Pendidikan yang berafiliasi dengan Universitas Manitoba, selama 1
minggu ( 4-9 Juni 2007) diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Ekslusi : Bila pasien
menolak berpartisipasi, tidak mampu memberikan inform consent secara tertulis, atau berada dalam
isolasi karena peraturan pengendalian infeksi. Dalam penelitian ini, 14 pasien dikeluarkan karena
11 pasien dipindahkan ke fasilitas lain, mengundurkan diri 2 pasien, dan satu pasien meninggal
dunia. Semua pasien diberikan inform consent secara tertulis (123 pasien). Studi ini disetujui oleh
Etika Penelitian Manusia Dewan University of Manitoba.
Foot Care Program
Seorang Registered Nurse yang telah mengikuti pelatihan perawatan kaki dan menejemen luka,
rutin menilai pasien saat mereka menerima hemodialisis. Saat pemeriksaan pasien tidak memakai
kaus kaki dan sepatu. Instruksi standar diberikan tentang perawatan kaki dan alas kaki. Pasien
disarankan untuk memakai sepatu pelindung yang sesuai sesering mungkin. Pemeriksaan meliputi
sepatu dan kaus kaki, penjagaan kelembapan kaki, pemantauan perkembangan kapalan dan bisul,
dan mempertahankan gaya hidup sehat termasuk normoglikemia dan berhenti merokok. Kuku
dipangkas dan kapalan dikupas secara teratur. Setiap ulkus terdeteksi dievaluasi dan diobati oleh
konsultan bedah ortopedi dan pembuluh darah, penyakit menular, dan perawatan luka. Tindakan
ajuvan diberikan resep yang diperlukan termasuk Orthosis (segala alat yang ditambahkan ke tubuh
untuk menstabilkan atau immobilize bagian tubuh, mencegah kecacatan, melindungi dari luka, atau
membantu fungsi dari anggota tubuh), sol dibentuk sesuai bentuk kaki, dan alas kaki ortopedi yang
tepat selalu dipasang.
Evaluasi
Unit Dialisis dan Rumah Sakit tercatat 123 pasien tercatat meliputi karakteristik demografis,
adanya diabetes, komplikasi kaki diabetes, komplikasi ESRD, dan komorbiditas medis. Subyek
suku aborigin dari penduduk asli Kanada dan termasuk Perserikatan bangsa pertama (Indian
Amerika Utara) dan Metis orang dengan identitas suku budaya, dan politik yang beragam.
22
Pemeriksaan fisik standar dari ekstremitas Dilakukan pemeriksaan fisik standar pada ekstremitas
bawah berdasarkan rekomendasi yang diterbitkan sebelumnya, dilakukan pada 100 (81%) subyek
yang tersedia (42 non-diabetes dan 58 subyek diabetes) selama periode 4 bulan, termasuk penilaian
bisul, tingkat amputasi, neuropati, kekuatasn motorik abnormal, penurunan tekanan kaki, dan status
alas kaki. Neuropati sensorik dinilai oleh tiga aplikasi dari 10 g semmes-weinstein monofilament
untuk setidaknya tiga lokasi pada permukaan plantar kedua kaki, sensasi pelindung itu dianggap
absen jika peserta studi tidak dapat secara akurat mendeteksi setidaknya dua dari tiga aplikasi.
Tekanan darah kaki diukur menggunakan manset kaki dan sensor aliran Doppler portable. Dalam
penilaian tindak lanjut, alas kaki peserta diabetes dievaluasi sesuai standar yang diterbitkan. Sangat
disayangkan, pada saat valuasi ini, 29 (50%) dari 58 subyek diabetes asli yang tidak tersedia karena
transfer ke pusat kesehatan lain (14 orang), kematian (12 orang), penerimaan transplantasi ginjal (2
orang) atau isolasi karena penyakit (1 orang).
Data Analisis
Semua data dianalisisdengan blind statistic terhadap kelompok pasien. Perbandingan kelompok
pasien dibuat dengan chi square, Mantel-Haenszel Chi Aquare, dan peringkat Wilcoxon tes sum.
Frekuensi komplikasi diabetes dibandingkan pada kelompok pasien dengan ESRD yang dilaporkan
sebelumnya. Signifikansi statistic didesinisikan oleh P < 0,05.
Result
Terdapat dua kali lebih banyak subyek yang mengalami diabetes dibandingkan dengan non
diabetes. Dan Subjek Aborigin lebih sering yang mengalami diabetes dibandingkan non diabetes
(Table 1). Subjek diabetes lebih sering mengalami hipertensi, infark miokard, atau gagal jantung
kongestif dibandingkan dengan subjek non diabetes (Tabel 2). Tidak ada perbedaan signifikan
dalam frekuensi komorbiditas medis antara subjek diabetes dan non diabetes (Tabel 2). Motor
Testing pada tungkai bawah menunjukkan bahwa penderita diabetes lebih sering memiliki
kelemahan kiri tibialis anterior, tibialis posterior kiri, dan otot peroneal kiri pada subjek non
diabetes.
23
Tidak ada perbedaan signifikan lainnya yang diamati diantara subjek diabetes dan non-diabetes
dalam hal uji otot lainnya.
Pemeriksaan ekstremitas bawah menunjukkan bahwa persentase yang lebih kecil dari subyek
diabetes memiliki neuropati sensori dibandingkan dengan studi sebelumnya dari institusi ini 5
tahun sebelumnya, tetapi persentase yang lebih besar dari subyek diabetes tidak memiliki pulsasi di
kaki (pedal) di penelitian ini (Tabel 4). Frekuensi ketidakadekuatan atau lemahnya kualitas alas
kaki lebh rendah pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Tabel 4). Tidak
ada perubahan signifikan dalam frekuensi subyek dengan amputasi, ulkus saat ini, atau kaki
Charcot dari penelitian sebelumnya (Tabel 4).
Diskusi
Data saat ini mendukung hipotesis bahwa program perawatan kaki terdiri dari pengkajian
keperawatan dan pendidikan pasien mungkin terkait dengan penurunan pada beberapa komplikasi
kaki diabetik pada pasien dengan ESRD. Dibandingkan dengan studi sebelumnya sebelum
24
pelaksanaan program, pasien diabetes hemodialisis dalam penelitian ini memiliki frekuensi yang
lebih rendah dalam hal neuropati dan ketidakadekuatan atau kurang berkualitasnya alas kaki.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pasien dengan alas kaki tradisional pada studi saat
ini dan 5 tahun sebelumnya (Tabel 4), kemungkinan karena sejumlah kecil peserta memakai alas
kaki tradisional. Frekuensi yang lebih besar dari pasien saat ini dibandingkan dengan pasien
sebelumnya yakni penggunaan alas kaki yang adekuat (buatan pabrik dan sepatu tradisional
gabungan) (Tabel 4). Hal ini penting karena alas kaki yang tidak sesuai dapat berkontribusi dalam
perkembangan ulkus kaki diabetik. Disamping penemuan yang mendukung ini, didapatkan hasil
bahwa tidak ada pengurangan dalam frekuensi amputasi, ulkus, atau arthropathy Charcot (Tabel 4).
Hal ini sesuai/konsisten dengan penyelidikan lain yang gagal untuk menunjukkan hubungan antara
penurunan ulkus dan pendidikan pasien.
25
C. Analisa Jurnal
Hasil yang ditemukan dari penelitian ini mendukung hipotesis bahwa program foot care yang
terdiri dari pengkajian keperawatan dan pendidikan pasien mungkin terkait dengan penurunan pada
beberapa komplikasi kaki diabetik pada pasien dengan ESRD. Pasien diabetes dengan ESRD pada
penelitian ini memiliki frekuensi neuropaty dan ketidakadekuatan alas kaki yang lebih rendah dari
penelitian sebelumnya. Frekuensi pasien yang menggunakan alas kaki yang adekuat lebih besar
daripada pasien di penelitian sebelumnya. Hal ini penting karena penggunaan alas kaki yang tidak
tepat dapat menimbulkan berkembangnya luka kaki diabetik.
Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada penurunan yang signifikan terlait
frekuensi amputasi, charcot foot, dan terjadinya ulkus, namun persentasi kejadian amputasi
charcot foot, dan ulkus diabetik cenderung lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya. Hal
ini kemungkinan berhubungan dengan rendahnya kejadian neuropati pada pasien-pasien/partisipan
penelitian ini, sehingga frekuensi kejadian amputasi, charcot, foot, dan ulkus pun juga lebih rendah.
Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain jumlah partisipan yang mungkin terlalu
sedikit untuk mendemonstrasikan relevansi dan perbaikan yang signifikan dari intervensi yang
dilakukan (foot care), matching/pencocokan partisipan dari penelitian ini dan penelitian
sebelumnya tidak dapat dilakukan sehingga tidak dapat mengeliminasi perbedaan diantara
keduanya, beberapa partisipan mungkin tidak mengimplementasikan rekomendasi terkait foot wear
26
karena keterbatasan sumber daya, dan pemeriksaan klinis dilakukan oleh beberapa investigator
yang berpotensi menimbulkan bias.
Meskipun terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini, hasil dari penelitian ini sesuai
dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang mendukung dan menekankan pentingnya program-
program preventif serta terus melakukan foot care pada pasien diabetes dengan ESRD. Di
Indonesia sendiri, foot care tentunya dapat diterapkan pada pasien-pasien dengan diabetes mellitus
baik dengan ataupun tanpa ESRD. Hal-hal yang perlu diperbaiki untuk mengoptimalkan penerapan
foot care di Indonesia antara lain perlunya diadakan pelatihan/workshop bagi tenaga kesehatan,
khususnya perawat terkait foot care serta perlunya pengoptimalan peran perawat dalam bidang
edukasi manajemen diabetes, khususnya foot care. Pengembangan klinik keperawatan khusus
untuk edukasi terkait diabetes mellitus dan foot care dapat diadakan apabila memungkinkan, serta
praktek pelaksanaan foot care secara langsung oleh perawat.
Hal yang perlu diingat, bahwa untuk menjaga kualitas hidup dan mencegah terjadinya ulkus
diabetik dan amputasi, tidak dapat dilakukan dengan hanya melakukan foot care saja, namun
pengontrolan glukosa (menjaga agar tetap memiliki kadar normoglikemi) juga harus dilakukan,
salah satunya dengan memanajemen diet.
27
BAB IV
IMPLIKASI KEPERAWATAN
Sebagai seorang perawat klinis, peran sebagai klinisi dan educator sangatlah penting. Hal-hal
yang dapat dilakukan menurut jurnal ini adalah
1. Memberikan Edukasi Manejemen Diabetes yang tepat meliputi kontrol gula darah dan
manajemen nutrisi.
Edukasi dapat diberikan secara lisan disertai dengan catatan tertulis seperti leaflet supaya
pasien dan keluarga dapat selalu mengingat dan menerapkan dengan benar dan tepat.
2. Pelaksanaan Foot Care oleh perawat dan memandirikan keluarga pasien untuk melakukan
foot care.
Selain praktek keperawatan secara langsung pada foot care, pemandirian keluarga dapat
dilakukan dengan cara praktek bersama, edukasi urgency dilakukan foot care, dapat disertai
dengan flip chart, leaflet atau buku saku khusus diabetes. Rutinitas perawatan dapat
meningkatkan kemandirian keluarga dalam melakukan foot care sekaligus sebagai evaluasi
recall pendidikan kesehatan yang telah diberikan.
Peran perawat sebagai advokat adalah mengusahakan dan memfasilitasi pasien dan keluarga
untuk mendapatkan pendidikan, perawatan, dan manajemen diabetes secara tepat, jelas, dan benar.
Sedangkan sebagai peneliti, perawat dapat mengembangkan penelitian ini dengan memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang ada pada penelitian ini.
28
BAB V
KESIMPULAN
Prevalensi diabetes militus yang mengarah ke penyakit ginjal stadium akhir meningkat dalam 2
tahun ini. Perlu dilakukan upaya preventif agar tidak terjadi komplikasi terkait ulkus diabetic pada
ekstremitas bawah, neuropati, dan ketidakadekuatan penggunaan alas kaki.
Jurnal dengan judul Effect of a preventive foot care program on lower extremety complications
in diabetic patients with end stage renal disease membahas tentang efek dari foot care pada pasien
gagal ginjal stage akhir dengan diabetes atau pun tanpa diabetes, untuk terjadinya komplikasi
dibandingkan dengan pasien yang belum menerima perawatan.
Jurnal ini dapat diterapkan di Indonesia secara mudah. Perlunya pengoptimalan peran perawat
dalam bidang edukasi manajemen diabetes, khususnya foot care. Pengembangan klinik
keperawatan khusus untuk edukasi terkait diabetes mellitus dan foot care dapat diadakan apabila
memungkinkan, serta praktek pelaksanaan foot care secara langsung oleh perawat.
Poin penting dari implikasi keperawatan aplikatif dari jurnal ini adalah perawat dapat
memberikan edukasi manejemen diabetes yang tepat meliputi kontrol gula darah dan manajemen
nutrisi dan pelaksanaan foot care oleh perawat dan memandirikan keluarga pasien untuk melakukan
foot care.
29
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Microvascular and Macrovascular Complications of Diabetes. Clinical diabetes [Internet]. 2008 [cited 2011 Des 10]; 26(2) 77-82. Available from:.http://clinical.diabetesjournals.org/content/26/2/77.full.
Apelqvist., et all. 2008. Practical guidelines on the management and prevention of the diabetic foot, Based upon the International Consensus on the Diabetic Foot (2007), Prepared by the International Working Group on the Diabetic Foot. Diabetes Metab Res Rev 2008; 24(Suppl 1): S181–S187. Diakses dari http://onlinelibrary.wiley.com/store/10.1002/dmrr.848/asset/848_ftp.pdf?v=1&t=hklwmlnc&s=3195a4116d234fee9fbd06b565fd27cf0282e2e3 pada tanggal 21 Agustus 2013.
Diabetes Melitus. 2013. Perawatan Kaki Bagi Penderita Diabetes. Diakses dari http://diabetesmelitus.org/perawatan-kaki-diabetes/ pada tanggal 21 Agustus 2013.
Dinas Kesehatan. 2013. Manfaat Air Dalam Menjaga Kesehatan Ginjal. Diakses dari http://dinkes.sumbarprov.go.id/berita-179-manfaat-air-dalam-menjaga-kesehatan-ginjal.html pada tanggal 21 Agustus 2013.
Chasani S. Nefropati diabetika. In: Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Padmomartono FS, editors. Naskah lengkap diabetes melitus ditinjau dari berbagai aspek penyakit dalam. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007. p. 181-7.
Hariani, Lynda., Perdanakusuma, David. Perawatan Ulkus Diabetes. Diakses dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/02.%20Perawatan%20Ulkus%20Diabetes.pdf pada tanggal 21 Agustus 2013.
National Kidney Foundation. 2013. Living With Stage 4 Kidney Disease. Diakses dari http://www.kidney.org/patients/peers/stage4.cfm pada tanggal 21 Agustus 2013.
Natur Indonesia. 2009. Waspadai Komplikasi Kaki Diabetik. Diakses dari http://naturindonesia.com/diabetes-militus/artikel-tentang-diabetes/450-waspadai-komplikasi-kaki-diabetik.html pada tanggal 21 Agustus 2013.
Red, Andrew., Scoot Hurton., John M., Embil., Susan Smallwood., Lily Thomson., James Zacharias., Mario Dascal., Mary Cheang., Elly Trepman., Joshua Koulack. 2012. Effect of a preventive foot care program on lower extremety complications in diabetic patients with end stage renal disease. Elsevier Ltd on behalf of European Foot and Ankle Society. Foot and Ankle Surgery 18 pg 283-286
30