Kondisi Objektif Hukum Perdata

18
 ARTIKEL KONDISI OBJEKTIF HUKUM PERDATA DI INDONESIA DALAM RANGKA UPAYA UNIFIKASI HUKUM Oleh: Ern ie Suwarti  A b st r a ct  R if e rr in g to civ il la w v a rie ty in In d o n e si a , In d on e si a g ov e rn m e n t tr y to c re a te uniformity in civi l law. B ut thefact is, civil law un ification not yet been reached, hence Burgerlijk Wetboek still go into iffect. I. PENDAHULUAN Huk um per dat a di I ndo nes ia ada lah "be r-bhineka" yai tu ber - aneka warna. 1  Hal ini dise bab kan huk um per dat a yan g be laku ada lah  berlainan untuk segala golongan warga negara. Untuk golongan  bangsa Indonesia asli, berlaku hukum perdata adat (hukum adat), yait u hukum ya ng se jak dahulu berlaku di kala ngan rakyat, ya ng se-  bagian besar masih belum tertulis. Untuk golongan warga ne gara buka n as li ya ng ber as al da ri golo ngan Tio nghoa (C in a) dan Ero pa berl aku Kit ab Undang- Unda ng Hu kum Pe rdata  (Burgerlijk Wetboek)  dan Kit ab Undang- Undang Hu kum Dag ang  (Wetboek van Koophande~,  dengan pengertian  bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai  Burgerlijk Wetboek   tersebut ada se di ki t pe nyimpa ngan, ya itu Bagian 2 da n 3 dari cite l IV buku I me ng en ai up acara ya ng me nd ah ul ui pe rkawinan da n pe nc eg ah an  perkawinan tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada  B u rg e rl ij k S tan d  tersendi ri. Sela nj ut nya ada suat u pe raturan peri ha l  pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak dikenal di dalam  B u rg erl ij k W e tb o e k . 1 R Su be kt i,  Pokok-Pokok dari Hukum Perdata  O ak art a: PT ln ter ma sa , 1975 ), hlm.9. I •. :.•. ~ . : : ~ : ~ : . \ : \ I . . . ~e nti s'l0 lur I1e .1'~~ rI1~ r. .1,()~ t~~~r   2 ? 0 6 .  http://www.univpancasila.ac.id 7/24

Transcript of Kondisi Objektif Hukum Perdata

ARTIKEL

KONDISI OBJEKTIF HUKUM PERDATA DI INDONESIA DALAM RANGKA UPAYA UNIFIKASI HUKUMOleh: Ernie Suwarti Abstract Riferring to civil law variety in Indonesia, Indonesia government try to create uniformity in civil law. But thefact is, civil law unification notyet been reached, hence Burgerlijk Wetboek still go into iffect. I. PENDAHULUAN Hukum perdata di Indonesia adalah "ber-bhineka" yaitu beraneka warna.1 Hal ini disebabkan hukum perdata yang belaku adalah berlainan untuk segala golongan warga negara. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku hukum perdata adat (hukum adat), yaitu hukum yang sejak dahulu berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari golongan Tionghoa (Cina) dan Eropa berlaku Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab UndangUndang Hukum Dagang (Wetboek van Koophande~, dengan pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu Bagian 2 dan 3 dari citel IV buku I mengenai upacara yang mendahului perkawinan dan pencegahan perkawinan tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada Burgerlijk Stand tersendiri. Selanjutnya ada suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak dikenal di dalam Burgerlijk Wetboek.

.. :. I}'))))):::::::::::::::::::::::;

1 R Subekti, Pokok-Pokok hlm.9.

dari Hukum Perdata Oakarta: PT lntermasa, 1975),

~.::~:~:.\:\I ... ~entis'l0lurI1e

.1'~~rI1~r. .1,()~t~~~r

Kondisi Objektif Hukum Perdata di Indonesia dalam Rangka Upaya Unifikasi Hukum ...

http://www.univpancasila.ac.id

2?06

.

7/24

Untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasaI dari golongan Tionghoa (Cina) atau Eropa, yaitu Arab, India dan lain-lain berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetbaek, yang pada pokoknya hanya bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta benda saja, jadi tidak mengenai hukum pribadi dan hukum kekeluargaan, maupun yang mengenai hukum warisan. Untuk bagian hukum ini, berlaku hukum mereka sendiri dari negeri asalnya. Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli berbhineka lagi, yaitu berbeda dari daerah ke daerah. Mengingat kenyataan bahwa Burgerlijk Wetbaek oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai timan belaka dari Burgerlijk Wetbaek di negera Belanda dan untuk pertama kali diperlakukan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, maka timbul pertanyaan: Apakah dalam suasana, Indonesia yang telah merdeka dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnya untuk memandang Burgerlijk Wetbaek ini sejajar dengan suatu undangun dang yang secara resmi berlaku di Indoensia? Berhubungan dengan hal timbul suatu gagasan barn yang diajukan oleh Menteri Kehakiman, Sahardjo, pada suartu sidang Badan Perancang dari Lembaga Pembina Hukum Nasional pada bulan Mei 1962, yaitu gagasan yang menganggap Burgerlijk Wetbaek tidak sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya mengambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis."2 Gagasan ini oleh ketua Mahkamah Agung, dalam bulan Oktober 1962, ditawarkan kepada khalayak dalam seksi hukum dari kongres ilmu pengetahuan Indonesia, dan di situ mendapat persetujuan bulat dari para peserta, kemudian pada tanggal 5 Juli 1963, pada waktu penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa di dalam ilmu hukum dan masyarakat pada Universitas Indonesia, Sahardjo membuat pertanyaan yang berisi suatu dorongan agar Burgerlijk Wetbaek jangan dianggap sebagai suatu Wetboek, tetapi hendaknya diterima sebagai suatu Rechtsbaek saja."32 Azis Sa.6oedin, BeberajJahal tentang Bm;gerlijk Wetboek (Bandung: Alumni, 1982), hIm. 135. 3 Ali Afandi, Hukum WanJ, HlIkum Kelutlfl,a, HlIkum Pembllktian menllrut Kitab Undong-Undong Hukum Perdota (Bw.) Oakarta: PT. Bina Aksara, 1986), hIm. 3.

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Dikatakan bahwa Burg,erlijk Wetboek itu tidak lagi merupakan suatu Wetboek (kitab un dang-un dang) tetapi sebagai Rechtsboek (kitab hukum), oleh karena undang-undang dasar kita tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara, maka adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan warga negara itu dianggap janggal. Kita sedang berusaha membentuk kodifikasi hukum nasional, semen tara itu belum tercapai, Burg,erlijk Wetboek masih berlaku, tetapi dengan ketentuan hakim atau pengadilan dapat menggangap suatu pasal tidak berlaku lagi, jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan zaman kemerdekaan sekarang ini. Jadi hal-hal yang dimuat dalam Burg,erlijk Wetboek, dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia hams dinilai kegunaannya berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh di sini. Sehubungan dengan keanekaragaman hukum perdata yang berlaku di Indonesia, penulis berusaha menguraikan: sampai sejauh mana pemerintah Republik Indonesia berusaha menciptakan hukum nasional yang bertujuan untuk mencapai unifikasi hukum dalam bidang hukum perdata? BAB II: HUKUM PERDATA BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Hukum Perdata Hukum perdata adalah: hukum yang memuat peraturan dan ketentuan hukum yang meliputi hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain (antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain) di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.4 Dengan demikian, maka hukum perdatalah yang mengatur dan menentukan, agar dalam pergaulan di masyarakat orang dapat mengetahui dan menghormati hak-hak dan kewajiban antara orang yang satu dengan yang lain, sehingga kepentingan tiap-tiap orang dapat terjamin dan terpelihara dengan baik. Hukum perdata di Indonesia berasal dari bahasa Belanda: Burg,erlijk Recht.4

Safioedin, op.cit., hIm. 12.

l

i\!~~\~i\ll\t!."~~is

.~.olurI1e.1.' . ..~a.rI1~~.1,().~t~~~r2??~

):::\\\'I

Kondisi Objektif Hukum Perdata di Indonesia dalam Rangka Upaya Unifikasi Hukum ...

http://www.univpancasila.ac.id

.

7/24

:~::::::{t::::::::

Hukum perdata bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang disingkat KUHPerdata. Kitab Undang-Un dang Hukum Perdata juga berasal dari bahasa Belanda: Burgerlijk Wetbaek, yang di singkat BW. Hukum perdata di Indonesia yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah hukum perdata tertulis yang sudah dikodifikasikans pada tanggall Mei 1848. Di samping itu terdapat hukum perdata tertulis yang belum dikodifikasikan, yang tidak termuat dalam Burgerlijk Wetbaek, antara hak cipta dan lain lain. Sedangkan hukum perdata tidak tertulis, disebut hukum perdata adat. C. Sistematika Hukum Perdata Sistematika hukum perdata menurut Kitab Undang-Un dang Hukum Perdata terdiri atas empat buku, yaitu: Buku I yang berjudul perihal orang, memuat hukum perseorangan dan hukum kekeluargaan. Buku II yang berjudul perihal benda, memuat hukum benda dan hukum waris. Buku III yang berjudul perikatan, memuat hukum kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban. Buku IV yang bejudul perihal pembuktian dan kadaluwarsa atau lewat waktu terhadap hubungan hukum. Sedangkan sistematika hukum perdata menurut ilmu hukum sekarang ini lazimnya dibagi dalam empat bagian: 1. Hukum ten tang diri seseorang; 2. Hukum kekeluargaan; 3. Hukum kekayaan; 4. Hukum Warisan. Hukum ten tang diri seseorang memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu. Hukum kekeluargaan mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dan hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan5 Kodifikasi adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undangundang secara sistimatika dan lengkap .

..

http://www.univpancasila.ac.id

.1b~~v~m~d,~:2;;~7/24

serta hubungan hukum kekayaan suami istri, hubungaan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele. Hukum kekayaan mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang, maka yang dimaksud ialah jumlah dari segala hak dan kewajiban dari orang itu di nilai dengan uang. Hak dan kewajiban yang demikian itu biasanya dapat di pindahkan kepada orang lain. Hukum waris pengatur ten tang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.

D. Dasar Hukum Berlakunya Kitab Undang-Undang Perdata di IndonesiaBerlakunya Kitab

Hukum

(Burgerlijk Wetboek) di Indonesia

Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita lihat dalam beberapa

masa: 1. Keadaan masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pasal 131 IS. (Indische Staatsregefjn~ yang berasal dari Pasal 75 RR. (Regeringsteglemen~ lama (Staatsblad 1855-2) yang merupakan dasar berlakunya Bugerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel di Indonesia, serta merupakan pedoman politik terhadap hukum di Indonesia, yang mengatakan antara lain: a. Hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana begitu pula hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diatur dalam bentuk undang-undang atau ordonansi (ayat (1)); b. Terhadap golongan Eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negera Belanda, dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang (ayat (2) sub .a). ini merupakan azas konkordansi; c. Terhadap orang Indoneesia asli dan timur asing, ketentuan perundang-undangan Eropa dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang dapat diperlakukan, bilamana kebutuhan masyarakat mereka menghendaki (ayat (2) sub .b); d. Orang Indonesia asli dan timur asing diperbolehkan menundukkan diri kepada ketentuan-ketentuan perundangundanganan Eropa, baik sebagian maupun keseluruhannya.

...... jl~~lljlll 1

!.".e~lis~olu.~e

.1't-Ia.~~~.1,()kt~~~r?O~.6

}:::::'):::}. Kondisi Ob)ektifHukum :::::::\;:::=:.::::

http://www.univpancasila.ac.id

.

Perdata di Indonesia dalam Rangka Upaya Unifikasi Hukum ...

7/24

Peraturan dan akibatnya diatur dalam un dang-un dang/ ordonansi (ayat (4)). Perihal kemungkinan untuk menundukan diri pada hukum eropa telah diatur lebih lanjut di dalam Staatsblad1917 No. 12. Hukum adat yang masih berlaku terhadap orang Indonesia asli dan timur asing tetap mempunyai kekuatan selama dan sejauh belum ditulis dalam bentuk undang-undang/ordonansi (ayat (6)). 2. Keadaan pada masa pemerintahan J epang. Peraturan perundang-undangan pada masa pemerintahan Belanda masih tetap berlaku, tidak terkecuali pada Burgerlijk Wetboek berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, tanggal 7 Maret 1942 Pasal 3 yang dikeluarkan oleh Pembesar Balatentara Dai Nippon untuk Jawa dan Madura yang berbunyi antara lain: Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan UndangUn dang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui buat semen tara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. 2. Keadaan pada masa pemerintahan Republik Indonesia sekarang. Sama halnya dengan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang, maka peraturan dan undang-undang dari masa pemerintahan Hindia Belanda pada masa merdeka kita sekarang ini masih tetap diperlakukan berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.

BAB III: KONDISI OBYEKTIF HUKUM PERDATA DI INDONESIA DEWASA INI DALAM RANGKA UPAYA UNIFIKASI HUKUM DI INDONESIA A. Hukum Perdata yang Berlaku Dewasa Ini di IndonesiaDi Indonesia berlaku bermacam-macam hukum perdata, yaitu hukum perdata Eropa (Barat), hukum perdata timur asing dan hukum perdata adat (hukum adat), yang semuanya berlaku resmi bagi golongan penduduk di Indonesia. Keadaan demikian disebut pluralisme dalam hukum perdata (berlakunya bermacam-macam hukum perdata bagi masing-masing golongan penduduk). Ketidakseragaman dalam hukum perdata ini disebabkan adanya banyak macam golongan penduduk di Indonesia yang

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

masing-masing mempunyai kebutuhan hukum perdata yang berbedabeda pula. Penduduk Indonesia dapat dibagi berdasarkan Un dangUn dang ten tang Kewarganegaraan yang sekarang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, dan Peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda atau Indische Staatsregeling (IS) Tahun 1927. Menurut Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Tahun 1958, penduduk Indonesia dibagi dalam warga negara dan orang asing. Warga negara ialah seriap orang yang menurut UndangUn dang tentang Kewarganegaraan adalah termasuk warga negara, orang asing ialah orang yang bukan warga negara. Menurut Indische Staatsregeling Pasal 163 ayat (1), penduduk Indonesia dibagi dalarn riga golongan pendudukan yaitu: 1. Golongan Eropa ialah: a. Bangsa Belanda. b. Bukan bangsa Belanda, tetapi orang yang asalnya dari Eropa. c. Bangsa Jepang (untuk kepenringan hubungan perdagangan). d. Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sarna dengan hukum keluarga Belanda (Am erika, Australia, Rusia, Afrika Selatan). e. Keturunan mereka yarig tersebut di atas. 2. Golongan Timur Asing meliputi: a. Golongan Cina (Tionghoa). b. Golongan rimur asing bukan Cina (orang Arab, India, Pakistan, Mesir dan lain-lain). 3. Golongan bumiputra (Indonesia) ialah: a. Orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan lain. b. Orang yang mula-mula termasuk golongan lain, kemudian masuk dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Indonesia asli. Pembagian ke dalam riga golongan tersebut, sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Bahkan Instruksi Presidium Kabinet Nomor31/U/In/12/1966 telah diinstruksikan kepada Menteri Kehakiman serta Kantor Catatan Sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia

1

...i.. ~~.::I~::::::;:;:;::::;::;;::

!ltel1~is.\f.olu.rne .l'~a.rn~r. .l,()~t~~~r ..z.o.o~ http://www.univpancasila.ac.id . 7/24 :\:=::\:~:)( Kondisi ObjektlfHukum Perd.t. di Indonesi. d.l.m Rangk. Up.y. Unifikasi Hukum ...

berdasarkan Pasal 131 dan 163 IS. pada kantor catatan sipil di seluruh Indonesia. Macam-macam hukum perdata bagi masing-masing golongan penduduk di Indonesia: 1. Bagi warga negara Indonesia yang berasal dari golongan Eropa, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang diselaraskan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang berlaku di negera Belanda (Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di Indonesia). 2. Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan Eropa berlaku Kitab Undang-Un dang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di Eropa. 3. Bagi warga Negara Indonesia yang berasal dari golongan timur asing. a. Golongan Cina (Tionghoa), berdasarkan Staatsblad 1924 No. 557 berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Barat di Indonesia dengan pengecualian peraturan-peraturan tentang: 1) Pencatatan Sipil (kini hanya satu catatan sipil untuk semua warga negara Indonesia). 2) Cara-cara perkawinan (kini berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk seluruh warga negara Indonesia), ditambah dengan peraturan-peraturan tentang: Pengangkatan anak (adopsi), dan kongsi (kongsi disamakan dengan firma dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). b. Golongan bukan Cina, berdasarkan Staatsblad 1924 No. 556 berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Barat di Indonesia dengan pengecualian: hukum kekeluargaan, dan hukum waris menurut un dang-un dang (ab intestate). (hal ini disebabkan sebagian besar golongan ini menganut agarna islam, yang tentu saja tak dapat berlaku hukum kekeluargaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang barat yang berasas perkawinan yang monogami, sedang hukum waris bagi golongan

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

ini diatur dalam hukum Islam menurut AI-Qur'an). Kini berlaku Undang-Undang ten tang Perkawinan Tahun 1974 untuk semua warga negara Indonesia. 4. Bagi orang asing di Indonesioa yang berasal dari golongan timur asing berlaku hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku di . . negaranya masmg-masmg. 5. Bagi warga negara Indonesia asli berlaku hukum perdata adat (hukum adat). Hukum adat ini pada tiap-tiap daerah berlainan dan kadang-kadang saling bertentangan. Kalau hukum adat itu bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan, maka sebagai pegangan dipakai hukum perdata barat di Indonesia. 6. Bagi orang asing yang berasal dari golongan Indonesia berlaku hukum perdata dari negara di mana termasuk (tunduk).

B. Hubungan Hukum Perdata antara Golongan-Golongan Penduduk1. Hubungan hukum antara orang-orang dalam satu golongan penduduk: a. Jika dua orang atau lebih warga negara dari satu golongan penduduk mengadakan hubungan hukum, maka berlaku hukum perdata di Indonesia. Misalnya: A dan B (warga negara indonesia golongan Eropa) mengadakan persetujuan jual beli, maka berlaku hukum perdata barat di Indonesia. b. Jika dua orang atau lebih orang asing di Indonesia dari satu golongan penduduk mengadakan hubungan hukum maka berlakulah hukum perdata yang berlaku di negara asalnya. Misalnya: C dan D (orang asing di Indonesia golongan Eropa) mengadakan perkawinan, maka berlakulah hukum perdata barat di Eropa. 2. Jika dua orang atau lebih orang asing di Indonesia yang masingmasing berlainan golongan penduduknya atau masing-masing berlainan kewarganegaraannya, mengadakan hubungan hukum, maka berlaku peraturan hukum perdata intemasional. Misalnya: A orang asing di Indonesia keturunan Inggris mengadakan persetujuan sewa-menyewa dengan B orang asing di Indonesia keturunan Prancis, maka berlakulah hukum perdata intemasional. Demikian pula jika C orang asing di Indonesia keturunan Spanyol mengang-

1

1~I!iiiii

!."~~is ..'l0Iu.lTle.l :.~o.lTl~r..1 ,c). ~t~~~e

http://www.univpancasila.ac.id

2??~

.

7/24

::')))){ Kondisi Objektif Hukum Peedata di Indonesia dalam Rangka Upaya Unifikasi Hukum ... ;:;:{::;:::;:;:;:;=:

kat anak (adopsi) dari D seorang warga negara Indonesia (dari golongan manapun), maka berlakulah juga peraturan hukum perdata intemasional. Karena kebutuhan akan hukum dalam bidang hukum kekayaan, maka adalah wajar apabila hukum perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophande~ dipakai dalam setiap hubungan hukum yang dilakukan oleh warga negara Indonesia asli. Mahkamah Agung dalam hal ini menyebutkan bahwa dalam dunia perdagangan dapat diperlakukan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel (putusan tanggal3 Oktober 1973). Secara yuridis, sebetulnya dalam bidang hukum kekayaan meskipun sebelum ada peraturan nasional yang mengatumya, masalah sudah dapat dipecahkan melalui Staatsblad 1917 NO.12.dan ketentuan dalam yurisprudensi tadi, jadi sekarang ini buku III Burgerlijk Wetboek sudah lazim dipakai dalam dunia usaha, sampai nanti kalau sudah terbentuk hukum perikatan dan hukum dagang nasional yang akan menggantikan. Dengan demikian perbedaan hukum dalam hukum perdata ini yang masih ada hanyalah di dalam bidang hukum pribadi, hukum keluarga dan hukum waris. Hal ini agak sulit diatasi karena sifat dari hukum dalam bidang ini sangat sensitif, atau tidak netral seperti hukum kekayaan, disebabkan karena berkaitan erat dengan hal-hal yang sifatnya spiritual dan bersangkut paut dengan faktor yang bersifat kejiwaan yang dianut oleh masing-masing masyarakat yang jelas berbeda satu sama lain. C. Pembahan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Beberapa bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah dinyatakan tidak berlaku/ dicabut oleh beberapa undangun dang dalam bidang hukum nasional, serta Surat Edaran Mahkamah Agung yaitu: 1. Pada tahun 1960, sebagai akibat proses sosialisasi hukum maka Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ten tang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) LN 1960 No. 104 telah mencabut Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya Un dang- Undang ini. 2. Tiga tahun kemudian, sebagai akibat proses sosialisasi hukum maupun usaha menghapuskan dualisme dalam tata hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda dahulu Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September 1963 Nomor 1l5/3292/M/1963 (aslinya Nomor 3/1963). Dalam surat edaran tersebut badan pengadilan tertinggi kita menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dianggap "tidak sebagai undangundang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis" dan menggangap tidak berlaku lagi antara pasal-pasal berikut dari Burgerlijk Wetboek, yaitu Pasal 108, 110, 284, ayat (2), 1238, 1460, 1579, 1603 x ayat (1) dan (2), Pasal 1682. 3. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaian sudah dicabut, tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

D. Unifikasi di Bidang Hukum PerdataSebagaimana diketahui pada bulan Oktober 1975 di seluruh Indonesia mulai berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Un dang-un dang ini merupakan hasil usaha dalam menciptakan hukum nasional yang bertujuan untuk mencapai unifikasi hukum dalam bidang hukum keluarga. Hazairin mengatakan, bahwa "Undang-Undang ini merupakan unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhan Yang Maha Esa."6 Unifikasi tersebut bertujuan hendak memperlengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama dan kepercayaan karena dalam hal tersebut negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat serta tuntutan zaman. Dengan adanya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan di mana keabsahan perkawinan ditentukan apabila dilaksanakan berdasarkan hukum agarna masing-masing pemeluknya, sebenamya hukum perkawinan di Indonesia belum merupakan unifi6 Hazairin, Tinjauan mengenai 00. WIn. 5.

Perkawinan No. 1 Tahun 1974

0 akarta:

1975),

1

t:,}:,::tt

1!II:ll!!!.i'~~is.. .. ~olu.II1e.1.'Jo:'a.II1~~ .1,()~t~~~r ..z??~ http://www.univpancasila.ac.id

.

7/24

Kondisi Objektif Hukum Perdata di Indonesia dalam RAngka Upaya Unifikasi Hukum ...

::::::::::;;::::::;::::

kasi hukum, karena di Indonesia terdapat berbagai agama, yang berkat falsafah Paneasila dapat hidup rukun berdampingan. Jadi mereka yang beragama islam hanya sah perkawinannya apabila dilakukan berdasarkan ketentuan agama Islam, demikian pula dengan agama lainnya, dengan demikian tidak ada perkawinan di luar hukum agama masing-masing dan kepereayaannya itu dan dapat diartikan bagi mereka ini tidak ada kemungkinan kawin dengan melanggar hukum agamanya. Jelas sebetulnya dalam hokum perkawinan yang berhasil di unifikasikan hanya dalam bidang administratifnya saja, sedangkan dalam materi" hukumnya tetap berlainan." Seperti telah disebutkan terdahulu, sebetulnya Un dangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suatu us aha unifikasi hukum dalam bidang hukum keluarga karena dalam un dang-un dang ini tidak hanya diatur ten tang perkawinan saja, melainkan juga ten tang hukum keluarga lainnya meskipun peraturannya seeara garis besar saja. Yang diatur itu antara lain tentang kedudukan anak, hak dan kewajiban suami isteri, hak dan kewajiban orang tua dan anak, perwalian, kesemuanya ini merupakan bagian dari hukum keluarga. Ketentuan ten tang hukum keluarga ini diatur seeara garis besar saja, sehingga apabila terdapat kekurang jelasan dalam bidang itu harus dieari pada hukum yang berlaku sebelumnya, melalui pasal peralihan yaitu Pasal66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, beberapa hal dalam hukum keluarga telah mendapat pengaturan antara lain dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seeara tidak langsung meneabut ketentuan Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang kedudukan wan ita yang tidak eakap bertindak, yang dalam segala perbuatan hukum seorang isteri memerlukan bantuan dari suaminya. Dewasa ini menurut Pasal31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak (suami dan isteri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Kemudian tentang status anak, terutama tentang status anak luar kawin, dengan tegas disebutkan mempunyai hubungan perdatahttp://www.univpancasila.ac.id 7/24

dengan ibunya dan keluarga ibunya (sesuai dengan dasar pemikiran hukum adat), di sini kita lihat adanya usaha menyatukan status anak luar kawin, sebab Burgerlijk Wetboek menentukan lain. Di dalam Burgerlijk Wetboek seorang anak luar kawin baru mempunyai hubungan perdata baik dengan ibunya maupun bapaknya, apabila ibunya dan/ atau bapaknya mengakuinya, selama tidak ada pengakuan dari mereka, tidak ada hubungan hukum. Secara teoritis seorang anak luar kawin dapat tidak beribu maupun berbapak, apalagi hubungan dengan kerabat/keluarga, untuk ini diperlukan pengesahan terlebih dahulu. Masalah ini dengan Pasal 43 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diselesaikan, yaitu dengan menegaskan status anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Jadi anak luar kawin diberi kepastian hukum ten tang statusnya. Hal lain yang juga menyelesaikan masalah adalah masalah kedewasaan. Tentang kedewasaan ini kita lihat beberapa peraturan di Indonesia yang menentukan batasnya secara berlainan, misalnya Undang-Undang tentang Pemilu menentukan batas usia 17 tahun bagi mereka yang mempunyai hak pilih, setiap warga negara yang telah berusia 17 tahun juga diwajibkan mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP). Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak menentukan batas usia dewasa 21 tahun. Hukum adat sendiri tidak memakai ketentuan usia dalam kedewasaan, dan Burgerlijk Wetboek menentukan batas usia dewasa 21 tahun. Masalah ini dapat diatasi dengan memegang ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu ayat (1) menyebutkan, bahwa "Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya." Sedangkan Pasal 50 ayat (1) berbunyi "anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali." Jelas kita lihat di sini batas usia dewasa ditentukan 18 tahun, suatu keadaan di mana seorang anak di dalam setiap perbuatan hu-

1

IIIII111j !l'~~is~o.lu.fIle

.1.'~~IIl~~.1.' ..().~t~~~r.

((((((

Kondisi ObjektifHukum

http://www.univpancasila.ac.id

2??~

.

Perdata di Indonesia dalam Rangka Upaya Unifikasi Hukum ...

7/24

:~:::::::::::~:~:~:~:~::

kumnya tidak perlu lagi dibantu oleh orang tuanya maupun walinya (kecuali dalam melakukan perkawinan bagi laki-Iaki 19 tahun). Jadi secara umum dapat dikatakan usia dewasa adalah 18 tahun, dan ini berlaku menyeluruh bagi semua warga negara Indonesia. Dengan demikian masalah kedewasaan ini sudah-sudah diunifikasikan secara nasional. Adanya kita kaji lebih lanjut tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini dalam usahanya menuju kesatuan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia, memberikan penyelesaian pluralisme dalam hukum keluarga, tidak hanya dalam satu dasar pemikiran, tetapi beberapa dasar pemikiran, yaitu dasar pemikiran agama, hukum adat dan Burgerlijk Wetboek. Kita lihat dasar pemikiran agama Islam dalam kesahan perkawinan (pasal 2 ayat (1)), dasar pemikiran hukum adat dalam status anak (pasal 43 ayat (1), dasar pemikiran Burgerlijk Wetboek dalam perjanjian kawin (pasal29 ayat (1), (2), (3) dan (4). Hal yang sangat sulit diberi kesatuan pemikiran yaitu tentang harta perkawinan bila perkawinan putus karena perceraian (pasal37), di sini temyata dalam penyelesaian masalah diserahkan kembali kepada hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan Burgerlijk Wetboek (penjelasan Pasal37). Jadi agak tepat kalau dikatakan bahwa Undang-Undang tentang Perkawinan ini adalah satu usaha ke arah kesatuan hukum, karena dalam kenyataannya tetap masih ada atau masih sukar dipersatukan. Hal ini terutama karena sifat dari hukum keluarga sendiri, yang sangat sensitif/tidak nettal, sehingga sulit memberikan pengaturan yang sifatnya memaksa. Kesukaran ini sebenamya dalam menghadapi hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli yang mempunyai sistem kekeluargaan yang satu sarna lain berbeda, berdasarkan keadaan dan bentuk masyarakat setempat. Hukum adat mengenal tiga jenis sistem kekeluargaan yaitu sistem kekeluargaan parental, kebapakan dan keibuan. Dalam sistem kekeluargaan parental, kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan sama kuat terhadap ibu/bapaknya dan keluarga/kerabat ibu bapaknya. Mereka hak dan kewajiban yang sama terhadap kedua orang tuanya dan kerabat kedua orang tua mereka.

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Sistem kekeluargaan kebapakan, tidak demikian sebab dalam sistem ini kedudukan anak laki-Iaki dan perempuan tidak sama. Anak laki-Iaki mempunyai hak dan kewajiban yang lebih besar daripada anak perempuan terhadap orang tuanya dan terhadap kerabat bapaknya. Sedangkan dalam sistem kekeluargaan keibuan, juga ada anggota masyarakat yang menganut sistem satu segi ini, untuk dapat secara lamb at laun menerima gagasan pemerintah tersebut. Perubahan besar terhadap berlakunya Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjadi karena berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria yaitu sebagimana tercantum dalam diktum dari undang-undang tersebut menentukan bahwa mencabut Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik." Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan: "Perubahan fundamental di dalam hukum tanah Indonesia terjadi karena tadinya terdapat hukum tanah di Indonesia yang bersumber kepada hukum barat dan hukum tanah yang bersumber pada hukum adat kemudian diganti dengan hukum tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian meniadakan dualisme yang ada dalam hukum tanah menciptakan unifikasi hukum dalam hukum tanah Indonesia.7 Dengan adanya unifikasi itu, hukum tanah barat yang tadinya tertulis dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis keduakeduanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Selanjutnya dalam mengusahakan pembaharuan di bidang hukum keperdataan, Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis Besar Haluan Negara, bidang hukum, menetapkan: "Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembaharuan hukum secara terarah dan terpadu an tara lain kedifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pem6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 1981), him. 3.

I:::::::::'r~::,~::,:;;;:: .. ;=~;'http://www.univpancasila.ac.id

Up.y. Uo",",'

7/24

Hob= ...

bangunan, serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat." BAB III: P E NUTU P A. Kesimpulan Dasar hukum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) di Indonesia dapat kita lihat dalam beberapa masa: 1. Keadaan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, dasar hukumnya Pasal 131 IS. 2. Keadaan pada masa 'pemerintahan )epang, dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 Pasal3. 3. Keadaan pada masa pemerintahan Republik Indonesia sekarang, dasar hukumnya Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (perubahan ke empat UUD 1945). Keadaan hukum perdata di Indonesia berbhineka yaitu beraneka warna: 1. Untuk golongan Indonesia asli berlaku hukum adat. 2. Untuk golongan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Untuk golongan timur asing Tionghoa berlaku Kitab UndangUndang Hukum Perdata, dengan penyimpangan bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahulukan perkawinan dan mengenai pencegahan perkawinan). 4. Untuk golongan Timur Asing bukan Tionghoa (yaitu: Arab, India dan lain-lain) berlaku sebagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu mengenai hukum kekayaan harta benda saja. Upaya pemerintah menciptakan unifikasi hukum di Indonesia dengan adanya beberapa bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah dinyatakan tidak berlaku oleh beberapa undangun dang dalam bidang hukum nasional, serta Surat Edaran Mahkamah Agung yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. B. Saran Perlu diadakan penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, yang akan memuat Undang-Undang tentang Perkawinan Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), Undang-Undang tentang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), Undang-Un dang tentang Rumah Susun (UndangUndang Nomor 16 Tahun 1985), Undang-Undang tentang Hak Cipta (Undang-Undang ten tang Nomor 7 Tahun 1987), dan undangun dang atau hukum tertulis lainnya.[]

DAFTAR PUSTAKA Afandi, Ali. Hukum Wans-Hukum Keluarga-Hukum Pembuktian menurut KUH.Perdata (BW). Jakarta: PT Bina Aksara, 1986. Hasan, Djuaendah. Efek Unifikasi dalam Bidang-Bidang Hukum Keluarga (perkawinan). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1991. Hazarin. Ti'!Jauan mengenai Uu. Perkawinan No.1 Tahun 1974. Jakarta, 1975. Kansil, CST. Modul Hukum Perdata I.Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1991. Keraf, Gorys. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah, 1980. _________________ dan gqya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka . Diksi Utama, 1991. Safioedin, Asis. Beberapa Hal tentang Burgerlijk Wetboek. Bandung: Alumni, 1982. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata. Yogyakarta: Liberty, 1981. Subekti R dan RTjiptosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Pradnya Paramita, 1984. Subekti. R Pokok-Pokok dan Hukum Perdata.Jakarta: PT Intermasa, 1975. Sukarno. Indonesia Menggugat.Jakarta: Haji Masgung, 1989.

.~.:.: .~.: I::?\\\'):~:::::::::::::;::::::::

~.!\:.:. !.i'~~is'l0lllIIle .1't-la.IIl~~ .1,c:>~t~~~r http://www.univpancasila.ac.id

?~~~

.

Kondisi Objektif Hukum Perdata di Indonesia dalam JUngka Upaya Unifikasi Hukum ...

7/24