Hukum HibahWasiat Terhadap Anak Angkat menurut Hukum Perdata · PDF filesekunder, seperti...
Transcript of Hukum HibahWasiat Terhadap Anak Angkat menurut Hukum Perdata · PDF filesekunder, seperti...
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 109
Hukum HibahWasiat Terhadap Anak Angkat menurut Hukum Perdata
Enik Isnaini*)
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRACT
It’s natural for a parent to be wanting a child. However, in reality it’s quite not a rarity that a parent
doesn’t get what they want. By far, the most sustainable way to get an offspringto complete that
purpose is by adopting someone’s child.
Adopted children has the same position as biological children of their adoptive parents.; That way,
they can inherit their adoptive parents possession only on the inheritable parts. For that matter,
adoptive parents can inherit that for them based on Undang-Undang or based on the testament (Hibah
wasiat).
Keywords :Hibah Wasiat, Adopted Chidren.
1. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
paling mulia merupakan mahluk sosial yang
tidak dapat hidup menyendiri atau terpisah dari
kelompok manusia lainnya.Sudah merupakan
kodrat manusia untuk hidup berdampingan
sesama manusia dan berusaha untuk
meneruskan keturunan dengan cara
melangsungkan perkawinan. Guna
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian
masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh
dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat
yang adil dan makmur. Dalam hal ini,
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa
Peraturan – Peraturan dan Undang – Undang
yang mengatur tentang perkawinan terutama
Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua
warga Negara.
Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 disebutkan :
“ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tujuan suatu perkawinan adalah untuk
membentuk suatu keluarga. Keluarga
mempunyai peranan penting dalam kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial dan
merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang
terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak. Anak
adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya.
Keinginan untuk mempunyai seorang anak
adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan
tetapi pada kenyataannya tidak jarang sebuah
rumah tangga atau keluarga tidak mendapatkan
keturunan. Apabila suatu keluarga itu tidak
dilahirkan seorang anak maka untuk
melengkapi unsur keluarga itu atau untuk
melanjutkan keturunannya dapat dilakukan
suatu perbuatan hukum yaitu dengan
mengangkat anak (adopsi).
Didasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bahwa pengangkatan anak
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan
adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka
9 Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa
:
”Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan”.
Dengan demikian sahnya pengangkatan anak
menurut hukum apabila telah memperoleh
putusan pengadilan.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 110
Berdasarkan Pasal 1 dan 2 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54
Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak,
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
hukum yang mengalihkan seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan keputusan
atau penetapan pengadilan.
Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pengangkatan Anak menyatakan
bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan
darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua kandungnya.
Perbuatan pengangkatan anak
mengandung konsekuensi - konsekuensi
yuridis bahwa anak angkat itu mempunyai
kedudukan hukum terhadap yang
mengangkatnya. Di berbagai daerah di
Indonesia anak angkat mempunyai kedudukan
hukum yang sama dengan anak keturunan
sendiri, juga termasuk hak untuk dapat
mewarisi kekayaan yang ditinggalkan orang
tua angkatnya pada waktu meninggal dunia,
akan tetapi dalam kenyataannya anak angkat
yang sah masih dianggap bukan bagian dari
keluarga yang merupakan kesatuan masyarakat
terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak,
sehingga mereka dianggap tidak berhak atas
harta peninggalan orang tuanya karena bukan
ahli waris dari orang tua yang mengangkatnya.
Hal ini karena adanya pengaruh dari sistem
hukum Islam yang tidak mengatur tentang
adanya pengangkatan anak yang dijadikan
sebagai anak kandung hal ini tidak dibenarkan.
Untuk melindungi agar anak angkat tetap
mendapatkan haknya atas harta peninggalan
orang tua angkatnya , maka orang tua angkat
membuat hibah wasiat.
Hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi
pemilik harta kekayaan untuk semasa masih
hidupnya menyatakan keinginannya yang
terakhir tentang pembagian harta
peninggalannya kepada ahli waris, yang baru
akan berlaku setelah ia meninggal.
Di dalam Pasal 957 KUH Perdata
disebutkan :
“ Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat
yang khusus, dengan mana si yang mewariskan
kepada seseorang atau lebih memberikan
beberapa barang – barangnya dari suatu jenis
tertentu, seperti misalnya, segala barang
bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan
hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta
peninggalannya”.
II. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukuan adalah
metode penelitian hukum normatif yang
disebut juga penelitian kepustakaan (Library
Research), adalah suatu prosedur penelitian
ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuwan hukum dari sisi
normatif. Oleh karena itu penelitian hukum ini
difokuskan untuk mengkaji penelitian hukum
tentang kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif.
Pendekatan masalah yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan yang
berhubungan dengan pokok permasalahan.
Selain itu juga digunakan pendekatan analisa
(Analisis Aproach). Pendekatan analisa ini
digunakan dalam rangka untuk menganalisa
penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktek sesuai
dengan ketetapan.
Bahan hukum yang dipakai dalam
penelitian ini, yaitu : (1) Bahan primer yaitu
data yang dikumpulkan oleh peneliti yakni
putusan pengadilan tentang hibah wasiat anak
angkat, (2) Bahan sekunder yaitu data yang
diambil dari tulisan-tulisan para ahli hukum,
artikel, makalah yang berkaitan dengan
tinjauan hukum hak mewaris anak angkat
didasarkan hibah wasiat, (3) Bahan tersier
yaitu data yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap data primer dan
sekunder, seperti kasus hukum, majalah, dan
lain-lain.
Pengumpulan bahan hukum Baik
bahan primer maupun sekunder dikumpulkan
berdasakan topik permasalahan yang telah
dirumuskan dan diklarifikasi menurut sumber
dan hirarkinya untuk dikaji secara
komprehensif.Pengolahan bahan hukum adalah
kegiatan merapikan hasil pengumpulan data
kepustakaan sehingga siap pakai untuk
dianalisis. Prosedur pengolahan bahan hukum
dimulai dengan memeriksa data secara
korelatif yaitu yang hubungannya antara gejala
yang satu dengan yang lain, selanjutnya data
dianalisa sehingga dapat diperoleh gambaran
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 111
yang jelas tentang Hibah Wasiat terhadap
Anak Angkat menurut Hukum Perdata.
III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
A. Dasar Hukum Waris
Yang dinamakan mewaris ialah menggantikan
hak dan kewajiban seseorang yang meninggal.
Adapun yang digantikan itu adalah hak dan
kewajiban dalam bidang hukum kekayaan,
artinya hak dan kewajiban dapat dinilai dengan
uang.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi
sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum
waris KUH Perdata ada dua cara, yaitu:
1. Menurut ketentuan undang-undang.
2. Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen)
adalah suatu pernyataan tentang apa yang
dikehendaki setelah ia meninggal dunia.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau
seluruhnya hartanya dengan surat wasiat.
Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian
dari hartanya melalui surat wasiat, maka
sisanya merupakan bagian ahli waris
berdasarkan undang-undang (ahli waris ab
intestato). Jadi pemberian seseorang pewaris
berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud
untuk menghapuskan hak untuk mewaris
secara ab intestato.
Hukum waris yang berlaku di Indonesia
sekarang ini masih tergantung pada hukum
waris mana yang berlaku bagi yang meninggal
dunia. Apabila yang meninggal dunia atau
pewaris termasuk golongan penduduk di
Indonesia maka yang berlaku hukum waris
adat, sedangkan apabila pewaris termasuk
golongan Eropa atau timur asing Tionghoa,
bagi mereka berlaku hukum waris Barat. Bila
pewaris termasuk golongan penduduk
Indonesia yang beragama Islam mereka
mempergunakan peraturan hukum waris
berdasarkan hukum waris Islam. Bila pewaris
termasuk golongan penduduk timur asing Arab
atau India, bagi mereka berlaku hukum adat
mereka.
B. Pengertian Hukum Waris Barat (KUH
Perdata)
Tidak terdapat pasal yang memberikan
pengertian tentang hukum waris, namun
sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 830
KUH Perdata, bahwa:
“pewarisan hanya berlangsung karena
kematian”.
Dengan demikian menurut hukum Barat
terjadinya pewarisan apabila adanya orang
yang mati dan meninggalkan harta kekayaan.
Untuk terjadinya pewarisan harus
dipenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) Pewaris
adalah orang yang meninggal dunia
meninggalkan harta kepada orang lain, (2) Ahli
waris adalah orang yang menggantikan
pewaris di dalam kedudukannya terhadap
warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk
sebagian, (3) Harta warisan adalah segala harta
kekayaan dari orang yang meninggal dunia.
C. Kedudukan Anak Angkat
Perbuatan mengangkat anak mempunyai
akibat hukum. Menurut pasal 14 Staatblad
1917 no.129 pengangkatan anak memberi
akibat bahwa status anak yang bersangkutan
berubah menjadi seperti seorang anak sah.
Hubungan keperdataan dengan orang tua
kandungnya menjadi putus sama sekali.
Pengangkatan anak menurut hukum perdata
(BW) mempunyai akibat hukum anak angkat
mempunyai kedudukan seperti anak kandung
dan memperoleh bagian warisan dari orang tua
angkatnya.
Sedangkan pengangkatan anak menurut
hukum adat mempunyai akibat hukum yang
berbeda-beda baik mengenai kedudukannya
maupun kewarisannya. Hal ini tergantung pada
kelembagaan pengangkatan anak (sistem
hukum) yang hidup dan berkembang didaerah
yang bersangkutan.
D. Ahli Waris Menurut KUH Perdata
KUH Perdata membagi dua ahli waris,
yaitu : (1) Ahli waris menurut undang-undang
adalah ahli waris yang ditunjuk atau ditentukan
oleh undang-undang. Undang-undang
menunjuk sebagai ahli waris adalah keluarga
sedarah dan suami atau istri yang masih hidup.
Jadi seluruh pewarisan menurut undang-
undang berdasarkan atas hubungan sedarah
dan hubungan perkawinan, (2) Ahli waris
menurut tastemen adalah siapa saja yang
disebutkan dalam testemendengan tidak
mengurangi kekecualian yang diatur dalam
Pasal 895-912 KUH Perdata. Ahli waris
menurut surat wasiat jumlahnya tidak tertentu
tergantung kehendak pembuat wasiat. Dengan
demikian, ahli waris mendapat bagian warisan
berdasarkan penunjukan si pewaris pada waktu
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 112
ia masih hidup. Terkadang wasiat berisi
penunjukan seorang atau beberapa orang ahli
waris yang akan mendapat seluruh atau
sebagian warisan dan memperoleh segala hak
dan kewajiban dari pewaris. Namun demikian,
kebebasan untuk membuat surat wasiat
dibatasi Pasal 881 ayat (2) KUHPerdata yang
menyatakan, bahwa:
“Dengan sesuatu pengangkatan waris atau
pemberian hibah yang demikian, si yang
mewariskan tidak boleh merugikan para ahli
warisnya yang berhak atas sesuatu bagian
mutlak.”
Dari kedua macam ahli waris di atas,
timbullah persoalan ahli waris yang manakah
yang lebih diutamakan, apakah ahli waris
menurut undang-undang atau ahli waris
menurut surat wasiat. Berdasarkan beberapa
peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH
Perdata tentang surat wasiat, dapat
disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah
ahli waris menurut undang-undang. Hal ini
terbukti beberapa peraturan yang membatasi
kebebasan seseorang untuk membuat surat
wasiat agar tidak sekehendak hatinya.
Ahli waris menurut undang-undang atau
ahli waris Ab Intestato yang berdasarkan
hubungan darah dibedakan menjadi empat
golongan :
a) Golongan 1 : Keluarga dalam garis lurus
kebawah, meliputi anak-anak beserta
keturunan mereka beserta suami/istri yang
ditinggalkan/yang hidup paling lama.
Suami/istri yang ditinggalkan atau hidup
paling lama ini baru diakui sebagai ahli
waris pada tahun 1935, sedangkan
sebelumnya suami/istri tidak saling
mewarisi.
b) Golongan 2 : Anggota keluarga garis lurus
keatas yaitu, ayah, ibu, saudara dan
keturunannya. Menurut Pasal 854 KUH
Perdata :
a. Ayah dan ibu masing-masing mendapat
1/3 bagian dari harta warisan jika hanya
terdapat 1 orang saudara pewaris.
b. Ayah dan ibu mendapat ¼ bagian dari
harta peninggalan jika pewaris
meninggalkan lebih dari 1 orang saudara
laki-laki atau perempuan. Jika ibu atau
ayah sudah meninggal dunia, maka yang
hidup terlama menurut ketentuan Pasal
855 KUH Perdata akan memperoleh
bagian sebagai berikut :
1) 1/2 bagian dari seluruh harta
warisan, jika ia mewaris bersama
dengan saudaranya, baik laki-laki
atau perempuan.
2) 1/3 bagian dari seluruh harta
warisan, jika mewaris bersama-
sama dengan 2 orang saudara.
3) 1/4 bagian dari seluruh harta
warisan, jika ia mewaris bersama-
sama dengan 3 orang atau lebih
saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu pewaris sudah
tidak ada lagi maka harta peninggalan
dibagikan kepada saudara-saudara
pewaris, sebagai ahli waris golongan 2
baik saudara seayah maupun saudara
seibu.
c) Golongan 3 : Kakek, nenek dalam garis
lurus keatas dari pihak ayah dan ibu si
pewaris. Dalam hal ini, sebelum harta
warisan dibuka terlebih dahulu dibagi dua
(Kloving) yaitu 1/2 merupakan bagian
keluarga dari ayah pewaris dan 1/2 bagian
keluarga dari ibu pewaris. (Pasal 850 dan
Pasal 853 Ayat (1) KUH Perdata).
d) Golongan 4 : Garis menyamping (paman,
bibi, sepupu) sampai derajat ke 6.
Ahliwaris menurut surat wasiat
(testamentair) yaitu siapa saja yang disebutkan
dalam testamenterdengan tidak mengurangi
kekecualian yang diatur dalam Pasal 895-912
KUH Perdata tentang kecakapan seseorang
untuk membuat wasiat atau untuk menikmati
keuntungan dari surat wasiat.
Jumlah ahli waris menurut wasiat tidak
tentu, karena ahli waris ini bergantung pada
kehendak si pembuat wasiat. Surat wasiat
seringkali berisi penunjukan seorang atau
beberapa orang ahli waris yang akan mendapat
seluruh atau sebagian dari warisan dan mereka
tetap akan memperoleh segala hak dan
kewajiban dari pewaris seperti halnya ahli
waris menurut undang-undang.
Seseorang yang akan menerima waris harus
memenuhi syarat-syarat, yaitu:
1. Harus ada yang meninggal dunia (Pasal 830
KUHPerdata).
2. Ahli waris atau para ahli waris harus ada
pada saat pewaris meninggal dunia.
3. Ahli waris harus cakap serta berhak
mewaris, dalam artian tidak dinyatakan
oleh undang-undang sebagai seseorang
yang tidak patut mewaris karena kematian
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 113
atau dianggap tidak cakap menjadi ahli
waris.
Di dalam Pasal 838 KUH Perdata
ditegaskan tentang orang yang dianggap tidak
patut menjadi ahli waris dan dikecualikan dari
pewarisan adalah :
1. Mereka yang telah dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh, atau
mencoba membunuh si yang meninggal.
2. Mereka yang dengan putusan Hakim pernah
dipersalahkan karena secara fitnah telah
menunjukan pengaduan terhadap pada si
yang meninggal, ialah suatu pengaduan
telah melakukan sesuatu kejahatan yang
terancam dengan hukuman penjara 5 tahun
lamanya atau hukuman berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau
perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk membuat dan mencabut
surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak
atau memalsukan surat wasiat si yang
meninggal.
Ketidakpatutan ini menghalangi ahli waris
tersebut untuk menerima warisan. Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi pewaris dan
keluarganya dari tindakan pihak lain (ahli
waris) yang tidak beritikad baik.
Dalam KUH Perdata, peralihan harta dari
orang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya tergantung pada kehendak dan
kerelaan ahli waris yang bersangkutan. Ahli
waris dimungkinkan untuk menolak warisan,
karena apabila ia menerima maka harus
menerima segala konsekuensinya, salah
satunya adalah melunasi seluruh hutang
pewaris.
E. Warisan Menurut KUH Perdata
Warisan menurut hukum waris Barat (KUH
Perdata) meliputi seluruh harta benda beserta
hak – hak dan kewajiban – kewajiban pewaris
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang
dapat dinilai dengan uang, akan tetapi terhadap
ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian,
dimana hak – hak dan kewajiban – kewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan ada
juga yang tidak dapat beralih kepada para ahli
waris, antara lain :
1. Hak memungut hasil (vruchtgebruik).
2. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan
yang harus dilakukan bersifat pribadi.
3. Perjanjian pengkongsian dagang, baik yang
berbentuk maatschap menurut BW maupun
Firma menurut WvK, sebab pengkongsian
ini berakhir dengan meninggalnya salah
seorang anggota / persero.
F. Pengertian Pengangkatan Anak
Di dalam Pasal 1 angka (9) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002, disebutkan :
“Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
kedalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan”
Dari pengertian tersebut diatas dapat
dibedakan antara pengangkatan anak dengan
adopsi. Di dalam pengangkatan anak hubungan
antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya tidak putus sehingga ia mewaris
baik dari orang tua angkatnya maupun orang
tua kandungnya, sedangkan dalam adopsi
hubungan antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya putus sama
sekali sehingga ia hanya mewaris dari orang
tua angkatnya saja.
G Pengangkatan Anak Menurut Hukum
Barat
Pengangkatan anak dalam Hukum Barat
(Perdata) hanya terjadi dengan akta Notaris,
tata cara pembuatannya adalah sebagai berikut
:
1. Para pihak datang menghadap Notaris
2. Boleh dikuasakan, tetapi untuk itu harus
didasarkan surat kuasa khusus yang
dibubuhi materai.
3. Pada akta dituangkan pernyataan
persetujuan bersama antara orang tua
kandung dengan orang tua angkat.
4. Akta tersebut disebut „akta adopsi‟.
H. Pengertian Hibah Wasiat Hibah wasiat adalah pernyataan kehendak
seseorang mengenai apa yang akan dilakukan
terhadap hartanya setelah ia meninggal dunia
kelak.
Pelaksanaan hibah wasiat ini baru
dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.
Didalam praktik pelaksanaannya, hibah wasiat
harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 114
agar pelaksanaannya tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum waris dan tidak
merugikaan para ahli waris lain yang tidak
memperoleh pemberian melalui hibah wasiat.
Dalam kaitan ini pula hukum membatasi
kekuasaan seseorang untuk menentukan
kehendak terakhirnya melalui hibah wasiat
agar ia tidak mengesampingkan anak sebagai
ahli waris melalui hibah wasiat.
Hibah wasiat dapat dibuat oleh pewaris
sendiri atau dibuat secara notariil. Yang mana
Notaris khusus diundang untuk mendengarkan
ucapan terakhir itu dengan disaksikan oleh dua
orang saksi, dengan cara demikian maka hibah
wasiat memperoleh bentuk akta notaris dan
disebut wasiat atau testamen.
Dalam Pasal 875 KUA Perdata
menyebutkan pengertian tentang surat wasiat,
yaitu :
“Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta
yang memuat pernyataan seseorang tentang
apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah
ia meninggal dunia dan dapat dicabut
kembali”.
I. Pembatasan Dalam Hal Membuat Hibah
Wasiat
Menurut Hukum Barat (KUH Perdata)
pembatasan dalam hal membuat hibah wasiat
yaitu tentang besar kecilnya harta warisan
yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris
yang disebut “Ligitime Portie”, atau ”wettelijk
erfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh
Undang-Undang). Hal ini diatur dalam Pasal
913-929 KUH Perdata.
Ligitime Portie( bagian mutlak ) adalah
suatu bagian dari harta peninggalan atau
warisan yang harus diberikan kepada para
waris dalam garis lurus, terhadap bagain mana
si pewaris dilarang menetapkan sesuatu baik
yang berupa pemberian (Hibah) maupun hibah
wasiat. Begitulah bunyi pasal 913 KUH
Perdata.
Dalam garis lurus kebawah, apabila si
pewaris itu hanya meninggalkan anak sah satu
– satunya, maka bagian mutlak baginya itu
adalah setengah dari harta peninggalan. Jadi
apabila tidak ada testamen maka anak satu –
satunya itu mendapat seluruh harta warisan,
jika ada testamen anak satu – satunya itu
dijamin akan mendapat setengah dari harta
peninggalan.
Apabila 2 ( dua ) orang anak yang
ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah
masing – masing 2/3. Ini berarti bahwa mereka
itu dijamin bahwa masing – masing akan
mendapat 2/3 dari bagian yang akan
didapatnya seandainya tidak ada testamen.
Apabila 3 ( tiga ) anak atau lebih yang
ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah
masing – masing ¾ . Ini berarti bahwa mereka
dijamin masing – masing akan mendapatkan ¾
dari bagian yang akan didapatnya seandainya
tidak ada testamen.
Dalam garis lurus keatas ( orang tua, kakek
dan seterusnya ) bagian mutlak itu selamanya
adalah setengah, yang menurut Undang –
undang menjadi bagian tiap – tiap mereka
dalam garis itu dalam pewarisan karena
kematian.
Perlu juga diperhatikan bahwa anak luar
kawin (anak angkat) yang telah diakui dijamin
dengan jaminan mutlak, yaitu setengah dari
bagian yang menurut Undang– undang harus
diperolehnya. Seandainya tidak ada keluarga
sedarah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas
serta tidak ada anak luar kawin yang telah
diakui, maka hibah atau hibah wasiat boleh
meliputi seluruh harta peninggalan.
Apabila ketentuan – ketentuan mengenai
bagian mutlak seperti yang dijelaskan diatas
dilanggar, maka pewaris yang dijamin dengan
bagian mutlak itu dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan supaya hibah atau hibah
wasiat tersebut dikurangi, sehingga tidak
melanggar ketentuan Undang – Undang
khususnya KUH Perdata.
Jadi peraturan tentang bagian mutlak ini
pada hakekatnya merupakan pembatasan
terhadap kebebasan orang membuat testamen.
J. Cara Penghibahan Wasiat
Menurut Pasal 931 KUH Perdata,bahwa
dalam pembuatan wasiat atau hibah wasiat
dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Testamen Rahasia (geheim)
2. Testamen Umum
3. Testamen tertulis sendiri (olografis), yang
biasanya bersifat rahasia ataupun tidak
rahasia.
Dalam ketiga testamen ini dibutuhkan
campur tangan seorang notaris. Dalam
testamen olografis (Pasal 932 KUH Perdata)
ditetapkan bahwa testamen ini seluruhnya
ditulis dengan tangan dan ditandatangani
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 115
pewaris sendiri. Kemudian surat wasiat
tersebut harus diserahkan untuk disimpan pada
seorang notaris dan penyerahan kepada notaris
ini ada dua cara, yaitu bisa diserahkan dalam
keadaan terbuka bisa juga dalam keadan
tertutup. Kedua cara penyerahan dan
penyimpana pada notaris itu mempunyai akibat
hukum yang satu sama lain berbeda, yaitu:
1. Apabila surat wasiat diserahkan dalam
keadaan terbuka maka dibuatlah akta
notaris tentang penyerahan itu dan
ditandatangani oleh pewaris, saksi-saksi,
dan juga notaris. Akta penyimpanan
tersebut ditulis dikaki surat wasiat tersebut,
jika tidak ada tempat kosong pada kaki
surat wasiat tersebut, maka amanat ditulis
lagi pada sehelai kertas yang lain.
2. Apabila surat wasiat diserahkan kepada
notaris dalam keadaan tertutup, maka
pewaris harus menuliskan kembali pada
sampul dokumen itu bahwa surat tersebut
berisikan wasiatnya dan harus
menandatangani keterangan itu dihadapan
notaris dan saksi-saksi. Setelah itu pewaris
harus membuat akta penyimpanan surat
wasiat pada kertas yang berbeda.
Dalam Pasal 932 Ayat 2 KUH Perdata
mengulas tentang kemungkinan
berhalangannya si peninggal warisan untuk
menandatangani sampul atau akta penerimaan
setelah menulis dan menandatangani
testamennya. Jika hal ini terjadi maka notaris
wajib mencatat hal ini serta penyebab
berhalangnya ini.
Ditetapkan pada Pasal 933 KUH Perdata,
bahwa :
“kekuatan testamen olografis ini sebanding
dengan kekuatan testamen terbuka yang dibuat
dihadapan Notaris dan dianggap terbuat di
tanggal dari akta penerimaan oleh Notaris. Jadi
tidak dikesampingkan tentang tanggal yang
ditulis dalam testamennya sendiri”.
Pasal 933 Ayat 2 KUH Perdata berisi suatu
peraturan tentang keaslian dari testamen
tersebut apakah benar-benar ditulis dan
ditandatangani oleh si peninggal warisan, atau
di belakang hari terbukti palsu. Melalui pasal
tersebut dicegah terjadinya perselisihan di
hadapan hakim tentang pembagian tugas
membuktikan sesuatu hal.
Berdasarkan Pasal 934 KUH Perdata,
bahwa:
“si peninggal warisan bisa menarik kembali
testamenya”.
Biasanya hal ini dilaksanakan dengan cara
permintaan kembali tersebut harus dinyatakan
dalam suatu akta otentik (akta notaris). Dengan
menerima kembali testamen olosgrafis ini,
hibah warisan harus dianggap seolah-olah
ditarik kembali (herroepen), hal ini ditegaskan
oleh ayat 2 Pasal 934 KUH Perdata.
Sedangkan oleh Pasal 937 ditetapkan, jika
testamen olosgrafis ini diserahkan kepada
Notaris dengan cara tersebut pada suatu
sampul bersegel, maka Notaris tidaklah berhak
membuka segel tersebut. Jadi segel tersebut
boleh dibuka setelah si peninggal warisan
wafat, dengan cara menyerahkannya kepada
Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk
dibuka dan diselesaikan sebagaimana dengan
testamen rahasia (Pasal 942 KUH Perdata),
yakni dengan membuat proses verbal atas
pembukaan ini dan atas keadaan testamen yang
diketemukan, selanjutnya testamen tersebut
harus diserahkan kembali kepada notaris.
Testamen umumdiatur pada Pasal 938 KUH
Perdata menetapkan testamen umum wajib
dibuat dihadapan Notaris dengan mengajukan
dua orang saksi. selanjutnya orang yang
meninggalkan warisan mengutarakan
keinginannya kepada Notaris dengan
secukupnya maka Notaris wajib mencatat
keterangan – keterangan ini dalam kalimat –
kalimat yang jelas. Hal itu tidak dapat
dilakukan dengan perantara orang lain, baik
anggota keluarganya maupun notaris yang
bersangkutan.
Dalam Pasal 939 Ayat 2 KUH Perdata
menerangkan bahwa :
“Jika penuturan itu berlangsung diluar
hadirnya saksi-saksi, dan rencana surat wasiat
telah disiapkannya, makasebelum rencana
dibacakannya, simewariskan harus sekali lagi
menuturkan kehendaknya dihadapan saksi-
saksi”
Selanjutnya menurut Pasal 939 Ayat 3
KUH Perdata menerangkan bahwa:
“kemudian dengan dihadiri saksi-saksi, notaris
harus membacakan surat tadi, setelah mana
kepada si yang mewariskan harus ditanya,
apakah benar yang dibacakan tadi memuat
kehendaknya.”
Dalam pembuatan testamen umum, terdapat
beberapa orang yang tidak boleh menjadi saksi
yaitu:
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 116
1. Para ahli waris atau orang-orang yang
diberi hibah atau sanak saudara mereka
sampai derajat keempat.
2. Anak-anak, cucu-cucu, dan anak-anak
menantu,dan anak atau cucu Notaris.
3. Pelayan-pelayan Notaris.
Testamen Rahasia yaitu surat wasiat yang
ditulis sendiri atau orang lain yang disuruhnya
untuk menulis kehendak terakhirnya.
Kemudian ia harus menandatangani surat
tersebut. Surat wasiat macam ini harus
disampul dan disegel, kemudian diserahkan
kepada notaris dengan dihadiri empat orang
saksi. Penutupan dan penyegelan dapat juga
dilakukan dihadapan notaris dan empat orang
saksi. Selanjutnya pembuat wasiat
harusmembuat keterangan dihadapan notaris
dan saksi-saksi bahwa yang termuat dalam
sampul itu adalah surat wasiatnya yang ia tulis
sendiri atau ditulis orang lain dan ia
menandatangani. Kemudian notaris membuat
keterangan yang isinya membenarkan
keterangan tersebut.
Pasal 940 Ayat 4 KUH Perdata
menetapkan bahwa:
“Tiap-tiap surat wasiat tertutup atau
menerimanya, diantaranya surat-surat asli yang
ada padanya.”
Pasal 941 Ayat 1 KUH Perdata
menjelaskan bahwa:
“Jika si yang mewariskan tidak dapat bicara,
namun dapat juga menulis, maka dalam hal
yang demikianpun bolehlah ia membuat surat
wasiat tertutup, asl surat tersebut ditulis,
ditanggali dan ditandatangani olehnya sendiri,
surat tadi kemudian harus ditunjukkan kepada
notaris dihadapan saksi-saksi, setelah itu
dihadapan saksi-saksi tersebut, diatas skta
pengalamatan surat harus ditulis dan
ditandatangani pula, bahwa kertas yang
ditunjukkannya memuat wasiatnya,akhirnya
notaris harus menulis akta pengalamatan surat
wasiat tadi dengan menerangkan didalamnya,
bahwa si yang mewariskan telah menulis surat
itu didepannya dan didepan saksi-saksi,pun
harus diperhatikan juga, apa yang telah
ditentukan dalam pasal yang lalu.”
Jika si penghibah wasiat meninggal dunia,
maka yang berkewajiban memberitahukan
kepada mereka yang berkepentingan adalah
Notaris, hal ini berdasarkan Pasal 943 KUH
Perdata menjelaskan bahwa:
“Tiap-tiap notaris yang menyimpan surat-surat
wasiat diantara surat-surat aslinya, biar dalam
bentuk apapun juga, harus setelahsi yang
mewariskan meninggal dunia,
memberitahukannya kepada semua yang
berkepentingan.”
4. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Anak angkat mempunyai kedudukan
sebagai anak sendiri (kandung) dari orang
tua angkatnya sebagaimana anak yang lahir
dari perkawinan orang tua angkatnya.
Demikian juga anak angkat menjadi ahli
waris dari orang tua angkatnya tetapi anak
angkat tersebut hanya menjadi ahli waris
dari bagian yang tidak diwasiatkan. Karena
ketentuan ini, maka anak angkat tidak
mempunyai bagian yang ditentukan.
2. Hak mewaris anak angkat tidak diatur
didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, namun demikian khusus bagi
Warga Negara Indonesia keturunan
Tionghoa, kedudukan anak angkat adalah
sama dengan anak sah. Untuk itu ia berhak
mewaris harta warisan orang tua angkatnya
menurut Undang-undang atau mewaris
berdasarkan hukum waris Testamentair
apabila ia mendapatkan testament (Hibah
Wasiat).
B. Saran
Adapun saran-saran yang penulis
kemukakan adalah sebagai berikut :
1. Staatsblad 1917 nomor 129 tentang
pengangkatan anak sudah tidak sesuai
dengan perkembangan yang terjadi di
dalam masyarakat. Karena itu Undang-
Undang dan Peraturan-peraturan
Pemerintah yang mengatur pengangkatan
anak sangat dibutuhkan agar tidak adanya
perbedaan dalam pengangkatan anak, baik
bagi Warga Negara Indonesia Keturunan
maupun Warga Negara Indonesia Asli,
serta bagi anak yang diangkat tidak hanya
pada anak laki-laki saja, tetapi juga bagi
anak perempuan. Dan juga diperlukan
adanya Undang-undang nasional tentang
hukum waris sehingga adanya kesamaan
dalam pembagian hak waris baik bagi anak
sah maupun anak angkat yang dapat
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 117
dijadikan pedoman dalam penyelesaian
sengketa waris.
2. Supaya masyarakat yang mampu secara
sosial dan ekonomi, serta mampu
mengemban amanah untuk tergerak hatinya
membantu anak-anak yang miskin, terlantar
dan kurang mampu yang sangat
membutuhkan bantuan, kasih sayang dan
belas kasihan dengan jalan mengangkat
anak.
DAFTAR PUSTAKA
Djaja S. Meliala. 1982. Pengangkatan Anak
(Adopsi) di Indonesia. Bandung.
Tarsito.
Eman Suparman. 2011. Hukum Waris
Indonesia-Dalam Perspektif Islam, Adat,
dan BW. Bandung. Refika Aditama.
Subekti, S.H. 1990. Ringkasan Tentang
Hukum Keluarga dan Hukum Waris..
Jakarta. Intermasa.
Peraturan Perundang – Undangan :
- Kitab Undang-Undang Hukum perdata
- Staatblad 1917 Nomor 129
- Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
- Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
- Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pengangkatan Anak
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 118
Pengaruh Merek Dagang Dan Harga Terhadap Keputusan Pembelian
Produk Shampo Masyarakat Desa Payaman Kecamatan Maduran
Kabupaten Lamongan
Ratna Handayati*, Nur Auwaliyah **)
* Dosen Program Studi Manajemen FE Unisla
** Program Studi Manajemen FE Unisla
ABSTRAK
Dalam perkembangan dunia yang semakin maju dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin pesat menyebabkan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai segi
kehidupan, baik sosial, ekonomi, atau bisnis, politik, hukum serta agama. Unsur – unsur dalam
bauran ada 4 unsur diantaranya : unsur strategi produk, strategi harga, strategi distribusi
pemasaran, strategi promosi. Dari keempat strategi bauran pemasaran tersebut peneliti cenderung
memiliki strategi produk dan harga sehingga saya tertarik untuk mengetahui perilaku konsumen
dalam keputusan pembelian produk shampo dilihat dari merek dagang dan harga bagi masyarakat
desa payaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah merek dagang dan harga berpengaruh
terhadap keputusan pembelian shampo dan mengetahui variable manakah yang berpengaruh paling
dominan terhadap keputusan pembelian shampo. Dalam penelitian ini penulis mengambil hipotesis,
yaitu diduga merek dan harga berpengaruh terhadap keputusan pembelian produk shampo di desa
Payaman. Dan diduga harga mempunyai pegaruh paling dominan terhadap keputusan pembelian
produk shampo di Desa Payaman. Alat analisis yang digunakan mengetahui merek dan harga
terhadap keputusan pembelian produk shampo adalah Regresi Linier Ganda. Dan untuk mengetahui
sejauh mana pengaruh merek dagang terhadap keputusan pembelian produk shampo digunakan
analisa korelasi yang dibuktikan dengan uji t.
I. Pendahuluan
Dalam perkembangan dunia yang
semakin maju dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi pengetahuan yang
semakin pesat menyebabkan pengaruh yang
cukup besar dalam berbagai segi kehidupan,
baik sosial, ekonomi atau bisnis, politik hukum
serta agama. Dari berbagai perubahan yang
terjadi saat ini kehidupan ekonomi bisnis
mengalami perubahan yang cukup pesat,
sebagai contoh permasalahan sekarang bagi
banyak perusahaan yang bergerak dibidang
produk barang maupun jasa melainkan lebih
dari itu yaitu masalah pemasaran, karena
pemasaran merupakan kegiatan yang utama
bagi perusahaan baik perusahaan kecil maupun
perusahaan besar. Saat ini banyak perusahaan
yang berlomba-lomba untuk menarik
konsumen agar bersedia membeli produk yang
ditawarkan melalui media-media yang ada saat
ini baik cetak maupun elektronik, sehingga
dari pemikiran tersebut dapat diketahui
perilaku konsumen dalam keputusan
pembelian shampo dilihat dari merek dagang
dan harga bagi masyarakat desa payaman.
Dalam bauran pemasaran semua unsur
yang terkait didalamnya merupakan suatu
kesatuan yang tak bisa dipisahkan, sehingga
unsur yang satu menjadi penunjang bagi unsur
yang lain. Adapun unsur dalam bauran
diantaranya unsur strategi produk, strategi
harga, strategi distribusi pemasaran, strategi
pemasaran. Adapun strategi produk yang saya
bahas adalah merek dagang untuk itu dalam
mengembangkan strategi perusahaan terutama
unsur strategi atau kebijakan produk yaitu
pemberian merek dagang hal ini untuk
membedakan barang atau jasa dari kelompok
penjual dan dari produk saingan. Merek
dagang hendaknya mudah dii. ngat, dibaca,
dan mudah dibedakan sehingga konsumen
dapat mencari dan membeli produk yang
diinginkan tersebut.
Strategi produk yang dibahas di sini
adalah masalah merek dagang, untuk itu dalam
mengembangkan strategi perusahaan terutama
unsur strategi atu kebijakan produk yaitu
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 119
pemberian merek dagang hal ini untuk
membedakan barang atau jasa dari kelompok
penjual dan dari produk saingan. Merek
dagang hendaknya mudah diingat, dibaca dan
mudah dibedakan. Sehingga dengan pemberian
merek, konsumen dapat mencari dan membeli
produk yang diinginkan tersebut. Merek
tertentu juga merupakan suatu standar kualitas
atau mutu tertentu, sehingga dapat
mempengaruhi konsumen untuk membeli agar
penjualan dan pesnguasaan pasar dapat dicapai
bahkan diharapkan lebih besar.
Berdasarkan latar belakang tersebut di
atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
a. Apakah faktor merek dagang dan harga
mempengaruhi keputusan pembelian
produk shampo ?
b. Faktor manakah yang paling dominan
mempengaruhi keputusan pembelian
produk shampo ?
Pengertian merek dagang dalam
pengembangan strategi pemasaran untuk
produk – produk individual, penjual harus
mnghadapi keputusan pembelian merek
(branding). Pemberian merek merupakan
masalah utama dalam strategi produk sehingga
dalam pemasaran profesional yang paling
khusus adalah kemampuan mereka
menciptakn, memelihara, melindungi dan
meningkatkan merek. Merek adalah nama
istilah, tanda, symbol, atau desain atau
kombinasi semuanya atau yang dimaksudkan
untuk mengidentifikasi barang atau jasa
seseorang atau sekelompok dan untuk
membedakan dari barang atau jasa pesaing.
Tujuan merek (a) Sebagai identitas, yang
bermanfaat dalam diferensiasi atau
membedakan produk suatu perusahaan dengan
produk pesaingnya, (b) Alat promosi yaitu
sebagai daya tarik produk, (c) untuk membina
citra yaitu dengan memberikan keyakinan
jaminan kualitas serta prestise tertentu
terhadap konsumen, (d) mengendalikan pasar.
Harga adalah jumlah uang (ditambah
beberapa produk kalau mungkin) yang
dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah
kombinasi dari produk dan pelayanannya.
Harga masih tetpa merupakan salah satu unsur
terpenting yang menentukan mangsa pasar dan
profitabilitas perusahaan. Harga merupakan
slah satu elemen bauran pemasaran yang
paling fleksibel karena harga dapat dirubah
dengan cepat. Oleh sebab itu, harga juga
merupakan masalah nomor satu yang dihadapi
oleh eksekutif pemasaran, maka dari itu
penetapan harga menjadi sangat penting untuk
diperhatikan. Berdasarkan penjelasan tersebut
setiap perusahaan dapat menetapkan harga
dapat memberikan keuntungan yang lebih baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Adapun beberapa tujuan penetapan harga (a)
kelangsungan hidup, (b) laba sekarang
maximum, (c) pendapatan sekarang maximum,
(d) pertumbuhan sekarang maximum, (e)
skimming pasar maximum (memerah pasar
maximum), (f) kepemimpinan mutu produk.
Prosedur penetapan harga antara lain
penetapan harga dengan orientasi biaya yang
meliputi penetapan harga secara mark up
(mark up pricing) yang dilakukan dengan cara
menambah suatu prosetase tertentu dari total
biaya varfiabel atau harga beli dari seseorang;
penetapan harga dengan cost plus (cost plus
pricing) yang dilakukan dengan cara
menambahkan prosentase tertentu dari total
biaya; penetapan harga sasaran(target pricing)
yang dalam hal ini harga jual yang ditetapkan
dapat memberikan tingkat keuntungan tertentu
yang dianggap wajar, keuntungan yang wahar
ini diperoleh untuk suatu tingkat investasi
tertentu dan resiko yang mungkin terjadi.
Penetapan harga ini kan memberikan target
keuntunganpada suatu tingkat total biaya
dengan suatu volumeproduksi standar yang
diperkirakan. Penetapan harga dengan orientasi
permintaan yang meliputi penetapan harga
berdasarkan persepsi/ penilaian konsumen
terhadap suatu produk yang sangat
berpengaruh terhadap posisi produk di pasar,
dan penetapan harga dengan cara
diskriminasi/diferensiasi harga yang dilakukan
dengan mempertimbangkan perbedaan
permintaan berdasarkan langganan, produk,
tempat, dan waktu. Penetapan harga dengan
orientasi persaingan yang meliputi penetapan
harga berdasarkan tingkat harga rata – rata
industri, penetapan harga seperti ini ditetapkan
dengan alasan bahwa perusahaan mengalami
kesukaran untuk menukar biaya sehingga sulit
menetukan harga yang wajar. Kemudian untuk
penepatan harga tender atau pelelangan
biasanya diajukan dalam sampul yang tertutup,
sedangkan pembeli dapat memilih penjual
yang dianggapnya mempunyai harga yang
rendah dengan spesifikasi yang diharapkannya.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 120
II. Metode Penelitian
Data yang diperoleh dari pengamatan
dan observasi secara langsung terhadap obyek
yang diteliti atau dengan kata lain data ini
dikumpulkan langsung dari responden yang
diteliti dan diolah sendiri. Dalam penelitian ini
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai
maka jenis penelitian ini menggunakan
penelitian kuantitatif. Data ini adalah sumber
utama penelitian yang akan dilakukan.
Kelayakan penelitian ini tergantung pada
pengolahan data primer yang akan diperoleh
setelah pengisian kuisioner oleh pihak-pihak
yang dipilih secara acak. Adapun populasi dari
penelitian ini yaitu keseluruhan objek
penelitian dari semua elemen yang ada dalam
wilayah penilaian. Alat analisis yang
digunakan oleh peneliti yaitu kuesioner dan
dokumentasi.
III. Hasil Dan Pembahasan
Dalam memperlancar dan melakukan
kegiatan perusahaan, perusahaan menawarkan
produknya kepada konsumen untk
mengkonsumsi produk – produk yang telah
dibuatnya yaitu memberika janji dari manfaat
yang ada pada produk tersebut. Dalam
menentukan tehnik penarikan sampel, terlebih
dahulu harus ditetapkan populasinya yaitu
kelompok atau individu yang diminati dalam
penelitian yang berarti kelompok atau individu
yang akan dikenakan untuk diambil penelitian
dan semakin dipersempit populasinya maka
penilaian yang dilakukan aka menghemat
waktu, tenaga, dan biaya. Oleh sebab itu
sasaran yang mudah untuk diakses adalah
warga desa Payaman.
Dari hasil penelitian di atas merupakan
jawaban dari diskripsi data, analisa data dan
pengujian hipotesis dengan jawaban di atas di
peroleh hasil bahwa untuk megetahui
sejauhmana hubungan antara merek dagang
dan harga terhadap keputusan pembelian
diperoleh hasil korelasi yaitu : r1 = 0.745 dan r2
= 0.866 artinya hipotesis yang menduga antara
merek dagang dan harga mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap keputusan pembelian
shampo terbukti kebenarannya. Dan hipotesis
yang menyatakan bahwa harga lebih dominan
terhadap keputusan pembelian produk
shampoo terbukti kebenarannya. Dan apabila
untuk membuktikan signifikan atau tidaknya
pengaruh antara kedua variable maka dihitung
dengan uji t, dimana t1 hitung = 8,448 > t table =
2,000 sedang t2 hitung = 13,19 > t table = 2,000 dan
selisih yang terjadi antara t hitung dan t table adalah
cukup besar sehingga dari keadaan tersebut
dapat diarik kesimpulan Ho ditolak dan H1
diterima yang berarti variable merek dagang
dan harga mempengaruhi keputusan pembelian
produk shampoo terbukti.
Pengaruh merek dagang dan harga
terhadap keputusan pembelian produk
shampoo dibuktikan dengan regresi linier
ganda yang hasilnya Y=-32,382 + 1.67X1 +
1,5X2. Dari persamaan tersebut dapat
disimpulkan bahwa a= -32,382 yang artinya
tingkat keputusan pembelian rata-rata adalah
sebesar -32,382 set bila merek dagang dan
harga nol, b1 = 1,67 yang artinya merek dagang
shampoo Clear akan mempengaruhi keputusan
pembelian sebesar 1,67 produk, b2 = 1,5 yang
berarti harga akan mempengaruhi keputusan
pembelian sebesar 1,5 produk.
IV. Kesimpulan Dan Saran
a. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian mengenai merek
dagang dan harga terhadap keputusan
pembelian produk shampoo, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa untuk mengetahui
sejauhmana hubungan antara merek dagang
dan harga terhadap keputusan pembelian
diperoleh hasil korelasi yaitu : r1 = 0.745 dan r2
= 0.866 yang berarti hipotesis antara merek
dagang dan harga mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap keputusan pembelian
shampoo terbukti kebenarannya. Dan hipotesis
yang menyatakan bahwa harga lebih dominan
terhadap keputusan pembelian produk
shampoo terbukti kebenarannya. Sedangkan
untuk membuktikan signifikan atau tidaknya
pengaruh antara kedua variable maka dihitung
dengan uji t, dimana t1 hitung = 8,448 > ttabel =
2000 sedang t2 hitung = 13,19 > t table = 2,000 dan
selisih yang terjadi antara t hitung dan t table adalah
cukup besar sehingga dari keadaan tersebut
dapat diarik kesimpulan Ho ditolak dan H1
diterima yang berarti variable merek dagang
dan harga mempengaruhi keputusan pembelian
produk shampoo terbukti.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 121
b. Saran
Saran yang bisa dikemukakan setelah
mempelajari keadaan yang terjadi pada
masyarakat desa Payaman sebagai
rekomendasi penunjang hasil penelitian, yang
sekiranya berguna bagi masyarakat atau
konsumen adalah dengan diketahui harga maka
faktor yang paling dominan terhadap
keputusan pembelian shampoo, hendaknya
konsumen bukan hanya memperhatikan harga
saja tetapi konsumen juga harus
memperhatikan cocok atau tidaknya shampoo
yang dipakai. Kosumen dalam pamakaian
shampoo hendaknya tidak mengganti-ganti
merek sehingga dapat mencapai hasil yang
maksimal dan menggunakan shampoo sesuai
dengan kebutuhan pada rambut.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta,
Asdi Mahastya.
Assauri sofyan, 1991. Manajemen Produksi.
Jakarta, Edisi Keempat, FEUI.
Kotler Philip, 1997. Manajemen Pemasaran,
PT. Prenhalindo. Jakarta.
Kotler dan Amstrong, 2001. Prinsip-Prinsip
Pemasaran. Terjemahan oleh damus
Sihombing. Jakarta Erlangga.
Kotler Philip, 1998. Manajemen Pemasaran,
Yogyakarta, BPFE.
Nitisemito S. Alex, 1981. Marketing. Jakarta
: Ghalia Indonesia
Prof. Dr. Sudjana M.A, M.Sc. 1996. Metoda
Statistika. Edisi Keenam, penerbit
Tarsito Bandung.
Prof. Dr. Sugiono, 2006. Statistika Untuk
Penelitian. Penerbit CV. ALFABETA
Bandung.
Swastha Basu dan Irawan, 2005, Manajemen
Pemasaran Modern, Yogyakarta
Liberty.
Tjiptono Fandy, 1997. Strategi Pemasaran.
Penerbit ANDI Yogyakarta.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 122
Problematika Pembelajaran Bahasa Arab Bagi Mahasiswa Non Arab
(Studi Kasus Kondisi Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN STS Jambi)
Yusraini dan Yogia Prihartini *
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN STS Jambi
Jl. Jambi Ma-Bulian KM. 16 S. Sungai duren Kab. Muaro Jambi
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan dengan observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Sedang Untuk memeriksa keabsahan dan kebenaran data, maka
dilakukan dengan trianggulasi data. Tujuan umum perkuliahan Bahasa Arab di IAIN STS Jambi
adalah membangun kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Arab, baik istima’, kalam, qira’ah
maupun kitabah. Karakteristik mata kuliah bahasa Arab di IAIN STS Jambi adalah materi
perkuliahan bahasa Arab disusun pihak Institut, pengelolaan bahasa Arab dikelola secara independen
oleh setiap fakultas. Kendala pembelajaran bahasa Arab di IAIN STS Jambi adalah: Waktu
perkuliahan kurang efektif karena dilakukan di siang hari, Lingkungan berbahasa kurang efektif,
kurangnya sarana pembelajaran bahasa Arab dan jumlah mahasiswa pada setiap kelas terlalu banyak,
kejenuhan mahasiswa belajar bahasa Arab serta tidak adanya follow up dari pembelajaran bahasa
Arab. Karakteristik mahasiswa perkuliahan bahasa Arab adalah: Perbedaan latar belakang pendidikan
mahasiswa, dan kurang motivasi mahasiswa dalam belajar bahasa Arab.
Kata Kunci : Problematika, Pembelajaran dan Bahasa Arab.
Abstract
The objective this research is to discribe The Problem of Arabic Instruction for Non Arabic
Spoken Student : A Spoken Student : A Case Study Study Condition of Arabic Instruction IAIN STS
Jambi. This is a cualitative research the data were obtained by observation, documention, and
interview, checked by data trianggulation. The general objective of arabic instruction at IAIN STS
Jambi is to develop, student skill is listening, speaking, reading ang writting of arabic. Caracteristict of
arabic instruction is the teaching material is provided by institute, while its instruction is handled by
the individual faculty. Its found that the problem of arabic instruction at IAIN STS Jambi is that the
timing of instruction, enviroment an facility are an adequited, and in addition large of number is
student in is class, and limited time provided for arabic instruction also constribute to the problematic
faced by arabic instruction, differcity of student educational background and lack of student
motivation in studying arabic also constribute to the Arabic instruction.
Key words : Problematic, Instruction and Arabic
A. Pendahuluan
Teknologi Pendidikan sering
didefinisikan sebagai proses yang
kompleks dan terpadu yang melibatkan
orang, prosedur, ide, peralatan, dan
organisasi untuk menganalisis masalah,
mencari jalan pemecahan, melaksanakan,
mengevaluasi, dan mengelola pemecahan
masalah yang menyangkut semua aspek
belajar manusia (AECT, 1986: 1).
Definisi lain yang lebih singkat dan lebih
mutakhir menyebutnya sebagai studi
sistematis tentang sarana yang digunakan
untuk mencapai tujuan pendidikan (Seels
& Richey, 1994: 19). Definisi pertama
menitik beratkan pada pemecahan
masalah belajar, sedang definisi kedua
menitik beratkan pada pendayagunaan
berbagai sarana belajar. Namun kedua-
duanya mempunyai arah yang sama dan
bermuara pada upaya untuk membantu
memecahkan masalah belajar manusia.
Pemecahan masalah belajar dapat
dilakukan dengan memanfaatkan secara
teoritis dan praktis 5 domain (desain,
pengembangan, pemanfaatan,
pengelolaan, dan evaluasi) dalam kawasan
Teknologi Pendidikan. Teori tersusun atas
konsep, konstruk, prinsip, proposisi yang
memberikan kontribusi pada khasanah
pengetahuan. Sedang praktek merupakan
penerapan pengetahuan itu untuk
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 122
memecahkan masalah (Seels & Rchey,
1994: 11). Domain desain merupakan
proses menspesifikasi kondisi belajar.
Domain pengembangan merupakan proses
penerjemahan spesifikasi desain ke dalam
bentuk fisik. Domain pemanfaatan
tindakan untuk menggunakan berbagai
proses dan sumber untuk belajar. Domain
pengelolaan merupakan melibatkan
pengontrolan Teknologi Pembelajaran
melalui perencanaan, organisasi,
koordinasi, dan supervisi. Domain
evaluasi merupakan suatu proses
penentuan kesesuaian pembelajaran dan
belajar.
Kondisi pembelajaran yang
merupakan salah satu cakupan strategi
pembelajaran dalam domain desain,
sering diidentikkan dengan model
pembelajaran (Seels & Richey, 1994: 32).
Model pembelajaran dan strategi
pembelajaran perlu melaksanakan model
yang berbeda sesuai dengan situasi
belajar, sifat isi pembelajaran dan tipe
belajar yang dikehendaki. Menurut
Degeng, kondisi pembelajaran merupakan
variabel pembelajaran yang tidak dapat
dimanipulasi dan karena itu harus
diterima sebagai adanya (given) oleh
desainer pembelajaran. Namun demikian,
penerimaan ini harus tetap disertai dengan
analisis pembelajaran secara mendalam.
(Degeng, 1988: 37)
Analisis ini diperlukan untuk
lebih memahami berbagai komponen
kondisi pembelajaran, agar lebih mudah
dalam mendeskripsikan hubungan antar
berbagai variabel pembelajaran. Dengan
ini diharapkan pembelajaran akan
memberikan makna teoritis dan praktis
bagi desainer pembelajaran.
Dalam perspektif Bahasa Arab,
kondisi pembelajaran juga mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap hasil
belajar. Namun demikian, kajian
mengenai kondisi pembelajaran Bahasa
Arab belum banyak dilakukan. Kajian
pembelajaran Bahasa Arab, selama ini
lebih banyak diorientasikan pada metode
pembelajaran. Padahal metode
pembelajaran dan kondisi pembelajaran
mempunyai pengaruh yang sama dalam
meningkatkan hasil pembelajaran (Ali,
1996: 105).
Hasil belajar dalam Bahasa Arab
ditandai dengan kemampuan mahasiswa
untuk dapat menguasai materi Qiraah,
Kalam, Istima‟, dan Kitabah. Kemampuan
ini akan dapat dicapai kalau variabel
pembelajaran, termasuk kondisi
pembelajaran, mempunyai kontribusi
yang signifikan dalam pembelajaran.
Untuk itu, kondisi pembelajaran dalam
pembelajaran Bahasa Arab tidak dapat
diabaikan (Ali, 1996: 128).
Meskipun banyak penelitian yang
dilakukan di IAIN, tetapi untuk penelitian
yang mengkaji tentang kondisi
pembelajaran Bahasa Arab belum pernah
dilakukan. Untuk itu, penelitian ini sangat
penting dilakukan untuk menemukan
kondisi pembelajaran Bahasa Arab di
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
B. Pembelajaran Bahasa Arab
Mempelajari bahasa kedua (B2)
berarti berupaya bagaimana mampu
menggunakan bahasa tersebut selain
bahasa ibu. Dalam hal ini ia mampu
memahami simbol-simbol B2 ketika ia
mendengarkannya, mampu dalam hal
berbicara, mambaca dan menulis. Dari sisi
dipahami bahwa ada dua tahap yang
ditempuh oleh pelajar bahasa, pertama
menerima bahasa itu,dan Kedua,
menggunakannya. Sehingga pada tujuan
idealnya, proses pembelajaran bahasa arab
diharapkan dapat mencapai tahap-tahap
sebagai berikut (Rusydi Ahmad
Thaimiyah, 44) : 1). Menguasai bunyi dan
spesifikasinya yaitu memahami konotasi
bunyi yang didengarkannya atau
sebagaimana istilah Karl”menguasai
symbol-simbol bunyi”. 2). Memahami
berbagai aspek dalam pola pembentukkan
(sintaksis) dan penyusunan kalimat
(tarakib) atau yang disebut oleh
Karl”Kepekaan grametika”. 3).
Menguasai kaidah umum yang
membentuk ungkapan kalimat, termasuk
memahami segi-segi sinonim, himonimy
dan seterusnya. 4). Mampu menggunakan
bahasa arab secara benar sesuai kultur
penutur aslinya.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 123
Dalam konteks pengajaran,
mengajarkan bahasa atau ilmu lainnya
tidak lain adalah merekturisasi
kemampuan, ilmu, orientasi serta nilai
yang didapatkan oleh pebelajar. Prinsip
ini dinilai lebih efektif dibanding sekedar
menyuguhi pebelajar sekian banyak
macam ilmu. Hal senada disampaikan
oleh Bruner; menurutnya: ketika kita
mengajarkan ilmu tertentu kepada
seseorang, bukan bertujuan agar
kemudian otaknya penuh dengan ”beban
otak”, melainkan kita mengajarkan
bagaimana murid turut berpartisipasi
dalam proses. Kita mengajarkan suatu
ilmu bukan bertujuan akan menghasilkan
suatu catatan kesimpulan, akan tetapi kita
mengantar pebelajar untuk dapat berfikir
secara mandiri (Bruner sebagaimana
dikutip oleh Hamid, 1982; 262).
Pembelajaran bahasa Arab di
Indonesia, telah diajarkan di sekolah-
sekolah pada umumnya, dan sekolah-
sekolah agama pada khususnya, sejak
tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga
tingkat Perguruan Tinggi. Adapun materi
yang diajarkan di sekolah-sekolah itu
sangat bervariatif sesuai dengan tingkat
pengetahuan anak didik. Untuk anak-anak
usia MI, pembelajaran bahasa Arab
biasasnya dimulai dengan pengenalan
huruf-huruf Arab dan cara membacanya
dengan benar, tanpa harus memahaminya
dari sisi makna. Sedangkan untuk tingkat
yang lebih tinggi, yaitu sejak kelas III MI,
mereka sudah mulai diajari dengan kosa
kata-kosa kata Arab yang bersifat ringan
dan mudah dihafal. Kemampuan itu terus
ditingkatkan sedikit demi sedikit hingga
anak mampu mendengar, bercakap,
membaca dan menulis bahasa Arab
dengan baik dan benar.
Di perguruan tinggi Agama Islam,
baik negeri maupun swasta, pembelajaran
bahasa Arab diajarkan dalam bentuk Mata
Kuliah Bahasa Arab yang diarahkan untuk
mendorong, membimbing,
mengembangkan dan membina
kemampuan berbahasa Arab fusha', baik
produktif maupun reseptif, serta
menumbuhkan sikap postif terhadap
bahasa itu sendiri. Kemampuan bahasa
Arab produktif adalah kemampuan
menggunakan bahasa itu sebagai alat
komunikasi baik lisan maupun tulisan.
Kemampuan berbahasa reseptif adalah
kemampuan untuk memahami
pembicaraan orang lain dan kemampuan
memahami bacaan. Kemampuan
berbahasa Arab dan sikap positif terhadap
bahasa Arab merupakan unsur penting,
karena dapat membantu mahasiswa dalam
memahami sumber Islam seperti Al-
Qur'an, hadits dan kitab-kitab berbahasa
Arab lainnya.
C. Tujuan Pembelajaran Bahasa Arab
Secara umum pembelajaran
bahasa Arab, memiliki fungsi dan tujuan
yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan
yang akan dicapai dalam pembelajaran
tersebut. Menurut Abid Taufiq Al-
Hasyimi dalam bukunya "Al-Muwajih Al-
Amali Limudarrisi Al-Lughah Al-
Arabiyah dijelaskan bahwa tujuan umum
pengajaran bahasa Arab adalah (Al-
Hasyimi, 1983: 16 )
1. Memperindah susunan kalimat dalam
berbicara dan menulis. Dengan belajar
bahasa Arab diharapkan siswa mampu
menyusun kalimat-kalimat pendek dan
panjang, baik dalam bahasa lisan
maupun tulis.
2. Membiasakan untuk menggunakan
bahasa fushah dalam berbicara dan
menulis.
3. Membiasakan ketepatan dalam
memberikan harakah dan sukun pada
tiap huruf.
4. Melafalkan setiap huruf dengan tepat.
5. Memperkaya kemampuan dalam
pelafalan.
6. Menunjukkan cara penulisan yang
benar dan indah.
7. Menumbuhkan rasa kebahasaan.
Menurut criteria di atas maka
pembelajaran bahasa Arab secara umum
dapat dikatakan sebagai sarana untuk
melatih dan membiasakan siswa untuk
menggunakan bahasa Arab secara tepat
dan benar, baik dalam bahasa lisan
maupun tulis, yang dilanjutkan dengan
pemupukan rasa keindahan dalam
berbahasa dan berkomunikasi.
D. Materi Pembelajaran Bahasa Arab.
Menurut Al-Hasyimi Abid Taufiq
(1983;14) bahwa materi pembalajaran
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 124
bahasa Arab secara umum dapat
dikategorikan menjadi enam macam :
1. Qira'ah: yaitu sebuah materi
kebahasaan yang titik tekannya pada
kemampuan siswa untuk membaca
teks-teks yang tertulis.
2. Kajian sastra: yaitu materi kebahasaan
yang titik tekannya pada aspek
keindahan berbahasa dan rasa
kebahasaan.
3. Kaidah bahasa (Nahwu): yaitu materi
kebahasaan yang titik tekannya pada
aspek gramatikal dan susunan kalimat
4. Insya': yaitu materi kebahasaan yang
titik tekannya pada kemampuan siswa
untuk menulis dan mengungkapkan
apa yang ada di dalam pikiran ke
dalam bahasa tulis.
5. Imla': yaitu materi kebahasaan yang
titik tekannya pada kemampuan siswa
dalam menulis kata dan kalimat secara
tepat dan benar.
6. Khath: yaitu materi kebahasaan yang
titik tekannya pada kemampuan siswa
untuk menulis bagus dan indah.
E. Efektivitas Pembelajaran Bahasa Arab
Efektivitas adalah sebagai tingkat
keberhasilan suatu organisasi mencapai
tujuan. (Robbin, 1995: 49) Efektivitas
juga dapat dikatakan ukuran keberhasilan
pencapai suatu tujuan, atau apa yang
dicapai dibandingkan dengan apa yang
direncanakan. (Santono, 1999: 27)
Efektivitas adalah apabila suatu kegiatan
dapat diselesaikan. pembelajaran yang
efektif adalah belajar yang bermanfaat
dan bertujuan bagi peserta didik melalui
prosedur yang tepat (Miarso: 2004, 636).
Pengertian ini mengandung 2
indikator , yaitu pertama , terjadinya
proses belajar pada peserta didik, kedua,
apa yang dilakukan oleh tenaga pendidik.
Oleh karena itu, rencana yang telah
ditetapkan tenaga pendidik dan terbukti
peserta didik akan dijadikan fokus dalam
usaha meningkatkan efektivitas
pembelajaran bahasa Arab.
Adapun ciri-ciri pembelajaran
yang efektif diantaranya: pertama, peserta
didik menjadi pengkaji yang aktif
terhadap lingkunganya melalui observasi,
perbandingan, penemuan kesamaan dan
perbedaaan-perbedaan serta membentuk
konsep dan generalisasi berdasarkan
kesamaan yang ditemukan, ketiga, guru
menyediakan materi sebagai fokus
berpikir dan berinteraksi dalam
pembelajaran; keempat, aktivitas peserta
didik sepenuhnya didasarkan pengkajian,;
kelima, guru secara aktif terlibat dalam
pemberian arahan dan tuntunan kepada
peserta didik dalam menganalisis
informasi; keenam, orientasi pembelajaran
penguasaan isi pelajaran dan
pengembangan keterampilan berpikir.
Ketujuh, guru menggunakan teknik yang
bervariasi sesuai dengan tujuan dan gaya
pembelajaran tenaga pendidik.(Warsita:
2008, 289).
F. Bentuk-Bentuk Keterampilan
Berbahasa. Menurut Nashir Abdullah Al-
Ghali (1991: 51) dalam bukunya "Ususu
I'dadi Al-Kutub At-Ta'limiyah Lighairi
An-Nathiqina bi Al-Arabiyah"
menjalaskan bahwa yang dimaksud
dengan ketrampilan (kemahiran) adalah
kecepatan, kedetilan dan kebagusan
seseorang dalam melakukan suatu
pekerjaan. Jika ada seseorang memiliki
kecepatan, kedetilan dan kebagusan dalam
berbicara dengan lafal yang fasih, susunan
kalimat yang bagus, memperhatikan
setiap titik dan koma, mengungkapkannya
dengan suara yang pas dan sebagainya,
maka pada saat itu kita katakan bahwa dia
mahir dalam berbicara. Dengan demikian
yang dimaksud dengan kemahiran atau
ketrampilan berbahasa adalah kecepatan,
kedetilan dan kebagusan seseorang dalam
berbahasa.
G. Peranan Pembelajaran Bahasa Arab
Bahasa Arab juga memiliki peran
yang sama bila dibandingkan dengan
bahasa-bahasa lainnya. Di samping
sebagai bahasa komunikasi, di perguruan
tinggi Islam, bahasa Arab juga memiliki
peran dan fungsi lain yang bisa kita
klasifikasikan dalam beberapa poin
berikut: 1). Bahasa Arab Sebagai Bahasa
komunikasi, salah satu fungsi utama
bahasa Arab dalam kehidupan manusia
sehari-hari adalah sebagai alat komunikasi
bagi penggunanya, khususnya orang-
orang Arab dan orang-orang Islam di
seluruh penjuru dunia yang
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 125
memahaminya. 2). Bahasa Arab Sebagai
Bahasa Literatur, fungsi dan peran bahasa
Arab lainnya dewasa ini yang sangat
kelihatan nyata buktinya secara fisik
adalah bahasa Arab sebagai bahasa
literatur. Sangat banyak sekali buku-buku
keagamaan yang ditulis dengan bahasa
Arab. Bahkan bisa dikatakan bahwa teks-
teks asli buku keagamaan di masa lampau
dan masa kini adalah tertulis dengan
bahasa Arab, karena sumber asli ilmu-
ilmu keagamaan berasal dari Arab yang
kemudian ditransfer atau diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa dunia lainnya,
baik yang bersifat local, nasional maupun
internasional. Sebagai bahasa literatur, di
Perguruan Tinggi Islam, bahasa Arab
sudah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu
yang aneh. Bahkan untuk materi-materi
keagamaan tertentu, seperti tafsir, hadits,
dan fikih, bahasa Arab telah menjadi
sebuah keniscayaan. 3). Bahasa Arab
Sebagai Bahasa Pengantar,di samping
sebagai bahasa literatur, bahasa Arab di
lingkungan perguruan tinggi Islam, juga
digunakan sebagai bahasa pengantar
perkuliahan.. Bahkan di beberapa
perguruan tinggi Islam, mengharuskan
belajar bahasa Arab dulu sebelum
memasuki perkuliahan, supaya mereka
benar-benar siap menerima materi
perkuliahan yang disampaikan dengan
bahasa Arab. 4). Bahasa Arab Sebagai
Bahasa Ilmiah, fungsi lain bahasa Arab di
perguruan tinggi Islam adalah sebagai
bahasa ilmiah. Telah banyak universitas
dan perguruan tinggi Islam di dunia, yang
mewajibkan kepada mahasiswanya untuk
menulis skripsi, tesis maupun disertasi
dengan bahasa Arab. Ini berarti bahwa
bahasa Arab telah menjadi salah satu
bahasa ilmiah di perguruan tinggi agama.
F. Metode Pembelajaran Bahasa Arab
Dalam pembelajaran bahasa Arab,
terdapat lima metode klasik yang hingga
kini masih eksis dipergunakan di berbagai
lembaga pendidikan formal tentu saja
dengan modifikasi, inovasi dan
perkembangan masing-masing. Kelima
metode tersebut adalah: 1). Metode
Gramatika Tarjamah (Thariah al-qawa‟id
wa al-tarjamah) 2). Metode Langsung (al-
Thariqah al-Mubasyarah) 3). Metode
Membaca (al-Thariqah al-Qira‟ah) 4).
Metode Audiolingual (al-Thariqah al-
sam‟iyyah al-syafahiyyah) 5). Metode
Eklektik (al-Thariqah al-Intiqaiyyah).
(Radliyah. 2005: 37-43)
H. Kondisi Pembelajaran
Menurut Reigeluth dan Stein
kondisi pembelajaran sebagai salah satu
variabel pembelajaran terdiri atas tiga
sub-komponen, yaitu: (1) tujuan dan
karakteristik bidang studi, (2) kendala dan
karakteristik bidang studi, dan (4)
karakteristik siswa. Ketiga komponen
tersebut mempunyai hubungan interaktif
yang saling mempengaruhi( Reigeluth,
C.M. & Stein, F.S.1983 :19).
Tujuan pembelajaran pada
hakekatnya mengacu pada hasil
pembelajaran yang diinginkan. Tujuan
pengajaran terdiri atas tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umum merupakan
pernyataan umum mengenai hasil
pembelajaran yang diinginkan. Sedang
tujuan khusus merupakan pernyataan
khusus mengenai hasil pembelajaran yang
diinginkan.
Karakteristik bidang studi
merupakan ciri-ciri khusus yang melekat
pada bidang studi. Karakteristik bidang
studi terdiri atas struktur bidang studi dan
tipe isi bidang studi. Struktur bidang studi
mengacu pada hubungan-hubungan di
antara bagian-bagian bidang studi itu.
Sedang tipe isi bidang studi merupakan
konstruk bidang studi yang terdiri atas
fakta, konsep, prinsip, dan prosedur
(Degeng, 1988:61).
Kendala pembelajaran merupakan
keterbatasan sumber-sumber belajar,
seperti waktu, media, personalia, dan
uang. Kendala ini harus menjadi
pertimbangan penting dalam pemilihan
strategi penyampaian pembelajaran.
Karakteristik siswa (mahasiswa)
merupakan aspek-aspek atau kualitas
perseorangan siswa. Aspek ini berupa
bakat, motivasi belajar, atau kemampuan
awal yang telah dimiliki. Pada bagian ini
akan menitikberatkan pada uraian
mengenai kemampuan awal mahasiswa.
Ini dilakukan karena kemampuan awal
amat penting peranannya dalam
meningkatkan kebermaknaan
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 126
pembelajaran, yang selanjutnya membawa
dampak dalam memudahkan proses-
proses internal yang berlangsung dalam
diri mahasiswa ketika belajar.
Kondisi pembelajaran dalam
aplikasinya tidak terlepas dari setting
pembelajaran. Ia akan terkait dengan
berbagai karakteristik obyek dan subyek
pembelajaran. Demikian juga kondisi
pembelajaran dalam Bahasa Arab, akan
selalu terkait dengan kelebihan dan
keunikan Bahasa Arab tersebut.
Kelebihan dan keunikan Bahasa Arab
tersebut antara lain: (1) memiliki
kekayaan istilah-istilah yang baku dalam
epistemologi Islam yang sampai sekarang
belum tergantikan dengan istilah lain yang
memadai, (2) autentisitas keilmuan,
dimana dengan metode transkripsi dari
guru kepada siswa dan dari generasi ke
generasi, kualifikasi sanad dapat terjaga
secara ketat, (3) memiliki dokumentasi
pemikiran dan penalaran para
cendekiawan muslim dalam menghadapi
dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an
maupun As-Sunnah dan cara mereka
mengambil solusi masalah fiqhiyah yang
pantas diteladani, dan (4) sebagai
pembawa mata rantai keilmuan Islam dari
satu masa ke masa lainnya, sehingga
terjadi kesinambungan budaya dan
keutuhan wawasan (Hasan, M.T,
1987:104).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan
dengan observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Sedang instrumen, sesuai dengan
sifat penelitian kualitatif, maka instrumen
pokok dari penelitian ini adalah peneliti sendiri
dibantu dengan alat kamera, tape recorder,
pedoman wawancara, dan alat-alat lain yang
diperlukan secara insidentil. Disamping itu,
peneliti juga akan dibantu oleh beberapa orang
pemandu (guider) dan pekerja lapangan (field
worker) sesuai dengan permasalahan yang ada
di lapangan.
Untuk memeriksa keabsahan dan
kebenaran data, maka dilakukan dengan a)
observasi terus menerus, b) menguji secara
triangulasi, c) mencari kasus yang
bertentangan, d) melibatkan informan untuk
me-review, e) mendiskusikan data dengan ahli
IAIN f) memeriksa kembali catatan lapangan,
dan g) mencocokkan data pada obyek
penelitian (Moleong, 1990: 175).
PEMBAHASAN
1. Tujuan Pembelajaran Bahasa Arab di
IAIN STS Jambi
Di dorong oleh keinginan mewujudkan
“Ulama Yang Intelek Professional” dan
“Intelek Professional Yang Ulama”, IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, berupaya
memadukan penguasaan ilmu pengetahuan
modern dengan ilmu-ilmu agama. IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi menilai bahwa
pengembangan Bahasa Arab di IAIN sangat
strategis dan sifatnya mendesak karena banyak
kalangan yang merasa prihatin dengan kondisi
riil perguruan tinggi Islam di Indonesia,
termasuk para menteri dan mantan menteri
agama.
Tujuan umum program khusus
perkuliahan Bahasa Arab adalah membangun
kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Arab
yang selanjutnya dijadikan sebagai alat untuk
melakukan kajian keislaman. Melalui
pembelajaran Bahasa Arab secara intensif dan
kreatif ini diharapkan mahasiswa mampu
melakukan kajian terhadap literature yang
berbahasa Arab secara mandiri, sehingga
harapan agar mahasiswa mengembangkan
keilmuan lebih lanjut dapat terwujud.
Dapat diungkapkan bahwa tujuan
umum perkuliahan Bahasa Arab di IAIN
Saifuddin Jambi adalah memberikan empat
kemahiran berbahasa yaitu menyimak,
berbicara, membaca dan menulis secara
sederhana. Tujuan secara khusus adalah a).
Mahasiswa mampu mengenalkan diri dan
orang lain secara sederhana. b). Mahasiswa
mampu melafalkan dan membuat pola kalimat
yang terdapat unsur kata benda. c). Mahasiswa
mampu melafalkan dan membuat pola kalimat
yang terdapat unsur kata kerja. d). Mahasiswa
menguasai secara sederhana empat kemahiran
berbahasa Arab yaitu istima„, kalam, Qira‟ah
dan Kitabah. (dokumentasi IAIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi Tahun 2013)
Berdasarkan observasi dan wawancara
dengan dosen yang mengampu mata kuliah
bahasa Arab, tujuan dari pembelajaran bahasa
Arab yang diinginkan sulit untuk tercapai
dengan baik karena pada saat proses
perkuliahan sebagian besar mahasiswa
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 127
khususnya jurusan tadris, Ekonomi Islam,
belum pernah belajar bahasa Arab dan tidak
dapat menulis huruf hijaiyah dengan baik serta
tidak memiliki kosa kata bahasa Arab. Ini
menjadi penyebab tujuan perkuliahan bahasa
tidak dapat tercapai dengan baik.
2. Karakteristik Mata Kuliah Bahasa
Arab di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi
Mata kuliah bahasa Arab termasuk
mata kuliah institut dan mata kuliah wajib di
semua fakultas dan jurusan. Baik itu fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, fakultas
Syari‟ah, fakultas Ushuluddin maupun fakultas
Adab, dan setiap mahasiswa wajib mengambil
mata kuliah bahasa Arab sebagai prasyarat
perkuliahan. 1). Materi Perkuliahan Bahasa
Arab, Materi perkuliah Bahasa Arab untuk
semester satu dan pada semester enam (mata
kuliah TOAFL) disusun oleh Tim Ahli dari
setiap fakultas. Mata kuliah bahasa Arab pada
tahap pertama di perkenalkan kata benda
sepert muannas dan muzakar, kata tempat, kata
ganti orang, kata sifat, kata superlatif, warna
dan bentuk benda. Dan pada tahap kedua
dikenalkan dengan kata kerja yang meliputi
kata kerja masa lampau (Fi‟il Madhi) kata
kerja masa sekarang (Fi‟il Mudhori‟) dan kata
kerja perintah (Fi‟il Amar). (dokumentasi
IAIN STS Jambi, tahun 2013)
Berdasarkan observasi dan wawancara
dengan dosen mata kuliah bahasa Arab yaitu
M.Qadri, Siti Khodijah, Maria Ulfa,
Badaruddin, Ismail Fachri menyatakan:
materi-materi tersebut terlalu padat untuk
diajarkan dengan 14 kali tatap muka di luar
Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir
Semester. karena latar belakang pendidikan
dari SMA, SMK, MAN dan MAS maka
kemampuan mahasiswa juga sangat kurang
dibandingkan mereka yang dari pesantren.
2). Pengelolaan Mata Kuliah Bahasa Arab
secara independen, pengelolaan Bahasa Arab
dibedakan dengan mata kuliah-mata kuliah
yang lain karena dalam belajar bahasa
diperlukan kontinuitas dan evaluasi yang terus
menerus, baik terhadap peserta pembelajaran
maupun terhadap dosen. Sehingga untuk upaya
memudahkan tercapainya semua tujuan
pembelajaran itu maka perkuliahan bahasa
Arab dikelola secara khusus oleh setiap
fakultas yang ada di IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi. Terutama roster perkuliahan
bahasa Arab. Menurut dosen bahasa Arab
Musli, Rasidin, Badaruddin, Nurlaily :
sebenarnya mata kuliah bahasa Arab mulai
tahun 1999 sampai sekarang akan di kelola
oleh Lembaga Pusat Studi Bahasa, yaitu Arab
dan Inggris, baik dari segi dosen maupun
materi perkuliahan, namun tidak dapat
terealisasi sampai sekarang masih di kelola
oleh fakultas masing-masing. (Wawancara,
tanggal 14,15 dan 16 Agustus 2013) ketika hal
ini dikonfirmasi ke ketua lembaga pusat
bahasa, membenarkan hal tersebut. Karena
keterbatasan dana dan tenaga dan kurangnya
koordinasi dengan para dosen bahasa dan
pihak jurusan maka ide tersebut tidak dapat
dilaksanakan. (wawancara, Mahyuzar Rahman,
tanggal 20 Agustus 2013)
3). Kemahiran Berbahasa, dalam
pembelajaran Bahasa Arab menekankan empat
ketrampilan berbahasa sebagai
berikut:Ketrampilan mendengar (maharatul
istima‟), Ketrampilan berbicara( maharatul
kalam ), Ketrampilan membaca (muthala’ah)
Ketrampilan kitabah (kitabah insya’iyah).
Dalam tujuan pembelajaran bahasa Arab yang
disusun oleh pihak IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi cukup jelas bahwa mahasiswa
diharapkan menguasai secara sederhana empat
kemahiran berbahasa Arab yaitu istima„,
kalam, Qira‟ah dan Kitabah.
3. Kendala Pembelajaran Bahasa Arab di
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
1). Waktu Perkuliahan, pembelajaran Bahasa
Arab dilaksanakan sesuai dengan roster
perkuliahan yang telah ditetapkan oleh setiap
fakultas. Dengan waktu sesuai dengan jumlah
sks dari mata kuliah bahasa Arab 2 SKS dan
waktu yang disediakan adalah 100 menit,
dengan waktu 100 menit tersebut idealnya
mahasiswa cepat menyerap materi yang
diberikan oleh dosen, juga cukup waktu untuk
latihan-latihan berbahasa. Berdasarkan
observasi dan wawancara, bahwa kejenuhan
mahasiswa dalam belajar bahasa Arab diantara
penyebabnya adalah keterbatasan waktu
dengan komposisi materi cukup padat dan
waktu perkuliahan bahasa Arab lebih banyak
dilaksanakan pada siang hari, pada jam-jam
kurang efektif untuk belajar bahasa Arab.
2). Lingkungan berbahasa, lingkungan bahasa
tidak terbentuk secara maksimal di kampus
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,
termasuk juga di jurusan Pendidikan Bahasa
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 128
Arab dan Jurusan Sastra Arab. Lingkunga
bahasa yang ada di IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi yaitu di Ma‟had al‟Aly karena
semua mahasiswa baru wajib masuk asrama
selama 2 semester untuk ditempatkan dalam
satu lingkungan yang mudah terkontrol, namun
karena keterbatasan tempat maka tidak semua
mahasiswa baru dapat ditempatkan di asrama,
penempatan mahasiswa sebagai mahasantri di
ma‟had al‟Ali ditentukan berdasarkan hasil
seleksi yang dilakukan oleh Ma‟had al Aly.
Berdasar hasil pengamatan bahwa lingkungan
al-‟Arabiyah yang telah dibentuk belum
berjalan sesuai visi dan misi Ma‟had al‟Aly.
3). Kurangnya sarana pembelajaran Bahasa
Arab, faktor pendukung dalam keberhasilan
proses pembelajaran bahasa Arab salah
satunya media pembelajaran karena fungsi
media pembelajaran adalah untuk
membangkitkan rasa senang dan gembira serta
konsentrasi kepada pelajaran. Media
pembelajaran bahasa Arab antara lain berupa
laboratorium bahasa, parabola, dan alat-alat
permainan bahasa. Jumlah sarana yang ada
sangat tidak seimbang dengan jumlah
mahasiswa perkuliahan bahasa Arab. Jika
dilihat dari jumlah mahasiswa baru angkatan
2013 sebanyak 1.250 mahasiswa, sedangkan
laboratorium bahasa yang dimiliki IAIN STS
Jambi hanya 1 laboratorium bahasa. Ini tentu
jauh dari rasio jumlah mahasiswa yang ada.
(Observasi dan dokumentasi IAIN STS Jambi
2013)
Berdasarkan hasil wawancara dengan
pengelola laboratorium bahasa dan para dosen
yang pernah menngunakan laboratorium
mengatakan bahwa kondisi laboratorium
cukup baik namun dari segi peralatan tidak
dapat difungsikan dengan baik seperti
komputer tidak dapat dipakai karena aliran
listrik tidak memadai jika semua komputer
dihidupkan. Dan ada beberapa headphone
tidak dapat digunakan karena rusak.
(wawancara. 15 September 2013). Parabola
dan alat-alat permainan bahasa memang tidak
ada baik itu di jurusan Pendidikan bahasa Arab
maupun di jurusan Sastra Arab. Perkuliahan
bahasa arab lebih banyak verbal dan latihan.
4). Jumlah mahasiswa, pada tahun 2013 IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi menerima
mahasiswa baru sebanyak 1250 mahasiswa
kontribusi yang paling besar pada fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, peminat terbesar
untuk jurusan adalah jurusan Tadris-
Matematika, jumlah mahasiswa pada setiap
kelas terlalu banyak. Rata-rata jumlah setiap
kelas 30 sampai 35 orang. Dan jumlah ini
hampir berlaku disemua fakultas yang ada di
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi kecuali
fakulta ushuluddin. Dan Jumlah itu terlalu
banyak untuk perkuliahan bahasa. (
Dokumentasi dan Observasi, 1 Agustus 2013)
5). Kejenuhan Mahasiswa dalam belajar
bahasa Arab, kejenuhan mahasiswa dalam
belajar bahasa Arab karena mahasiswa belum
memahami bahasa dengan baik. Berdasarkan
pengamatan peneliti terlihat memang
mahasiswa yang mampu dan termotivasi
belajar berbahasa Arab adalah mahasiswa yang
mempunyai basic pondok pesantren.
mahasiswa IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi sebagian besarnya memang bukan
tamatan pondok pesantren, rata-rata mereka
tamatan Madrasah Aliyah dan sekolah umum,
maka secara umum mereka menjadi jenuh
untuk belajar bahasa Arab sedangkan
mahasiswa yang mempunyai kemampuan
dalam berbahasa memilih jurusan pendidikan
bahasa Arab pada fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan dan Jurusan Sastra Arab pada
Fakultas Adab.
6). Tidak adanya follow up pembelajaran
Bahasa Arab, perkuliahan bahasa Arab hanya
dilaksanakan satu semester yaitu pada
semester satu, setelah itu apa yang telah
mereka pelajari nyaris tidak digunakan. Lebih-
lebih untuk mereka yang berada di Jurusan
Tadris. Padahal bahasa adalah sebagai alat
komunikasi jika tidak pernah digunakan maka
seseorang tidak akan menguasainya. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa Arab tidak
akan bisa dipahami jika diajarkan satu
semester tanpa dilakukan follow up.
4. Karakteristik Mahasiswa peserta
Pembelajaran Bahasa Arab di IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
a). Perbedaan Latar belakang Pendidikan
Mahasiswa, mahasiswa yang memiliki
kemampuan berbahasa Arab yang berbeda-
beda. Ada yang berasal dari pesantren dengan
jenjang pendidikan Madrasah Aliyah Diniyyah
mereka telah memiliki bekal kemampuan
bahasa Arab yang baik, ada juga yang berasal
dari Madrasah Aliyah Keagamaan, tetapi ada
juga yang memiliki kemampuan bahasa Arab
yang lemah, bahkan ada yang sama sekali
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 129
belum pernah belajar bahasa Arab sebelumnya,
karena mereka berasal dari SMU atau SMK
dan sejenisnya.
b). Kurang motivasi mahasiswa dalam belajar
bahasa Arab, kurangnya Motivasi mahasiswa
dalam belajar bahasa Arab, terutama
mahasiswa yang di jurusan-jurusan umum.
Mereka masuk IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi dengan tujuan ingin mendalami
keilmuan sesuai dengan jurusan yang dipilih,
sehingga perkuliahan bahasa Arab bagi mereka
hanyalah mata kuliah sampingan, yang tidak
begitu penting bagi mereka. Terdapat beberapa
mahasiswa yang sebenarnya masuk IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi atas keinginan
orang tuanya saja, jadi tidak karena
kehendaknya sendiri, sehingga ketika
memperoleh perkuliahan Bahasa Arab,
motivasi belajar mereka rendah. Mahasiswa-
mahasiswa seperti ini, meskipun tidak banyak,
sangat mudah menular dan mempengaruhi
mahasiswa-mahasiswa yang lain.
KESIMPULAN
Tujuan umum perkuliahan Bahasa
Arab di IAIN STS Jambi adalah membangun
kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Arab,
baik istima’, kalam, qira’ah maupun kitabah.
Karakteristik Mata Kuliah Bahasa Arab di
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi adalah
materi perkuliahan Bahasa Arab, pengelolaan
Bahasa Arab dikelola secara independen dan
Kemahiran berbahasa. Kendala Pembelajaran
Bahasa Arab di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi adalah: Waktu perkuliahan kurang
efektif, Lingkungan berbahasa, Kurangnya
sarana pembelajaran Bahasa Arab dan Jumlah
mahasiswa pada setiap kelas terlalu banyak,
kejenuhan mahasiswa belajar bahasa Arab
serta tidak adanya follow up dari pembelajaran
Bahasa Arab. Karakteristik mahasiswa adalah
perbedaan latar belakang pendidikan
mahasiswa dan kurang motivasi dalam belajar
Bahasa Arab.
PUSTAKA
AECT. 1986. Definisi Teknologi Pendidikan.
Jakarta: Rajawali.
Ali, N. 1996. Strategi Penyampaian
Pembelajaran Bahasa Arab di
Pesantren, Studi Kasus di PP Nurul
Jadid Paiton Probolinggo. Tesis tidak
diterbitkan. Malang: PPS IKIP.
Abdullah, Abdul Hamid. 1991 Ususu I'dad Al-
Kutub At-Ta'limiyah Lighairi Nathiqina
bi Al-Arabiyah, Riyad: Darul Ghali.
Degeng, I.N.S. 1988.Ilmu Pengajaran,
Taksonomi Variabel. Jakarta: P2LPTK.
Dhofier, Z. 1985. Tradisi Pesantren: Studi
Tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES.
Glaser, B.G. & Strauss, A.M. 1980. The
Discovery of Grounded Theory,
Strategis for Qualitative Research. New
York: Aldine Publishing Company.
Hasan, M.T. 1987. Islam Dalam Perspektif
Sosial Budaya. Jakarta: Galasa
Nusantara.
Moleong, L.J. 1990. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Radliyah, dkk 2005 Metodologi dan Strategi
Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab.
Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group.
Robbin, P. Stephen. 1995. Organisasai:
Struktur Desain dan Aplikasi.
Terjemahan Yusuf Udaya Jakarta:
Arcan.
Santono, Prawira Suryadi. 1999. Kebijakan
Kinerja Karyawan Yogyakarta: BPFE.
Seels, B. Barbara & Richey C. Rita 1994.
Instructional Technology: The
Definition and Domains of The Field.
Washington, DC: AECT.
Miarso, Yusuf Hadi. 2004 Menyemai Benih
Pendidkan . Jakarta: Prenada Media.
Warsita, Bambang .2008 Teknologi
Pembelajaran Landasan dan
Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta
.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 130
The Relationship Between Morphological Awareness And Vocabulary
Knowledge Of EFL Learners Of Islamic University Of Lamongan
Chothibul Umam1) and Mohammad Faizal Mubarok
2)
1) Faculty of Teacher Training, Islamic University of Lamongan,
email: [email protected]
2) Faculty of Teacher Training, Islamic University of Lamongan,
email: [email protected]
Abstract The present study examines the relationship between morphological awareness and
English vocabulary mastery of EFL learners of UNISLA. The participants are 46 fifth
semester students of UNISLA who had taken English Morphology subject. To determine
the relationship between morphological awareness and their vocabulary knowledge, it is
necessary to first measure these two variables in the study. Two types of tests are used: the
Morphological Awareness Test and the Vocabulary Knowledge Test. Then, correlational
analysis is done to test the scores on the two tests.
The result of Morphological Awareness test shows that, among 46 students, 19 students
have low morphological awareness, 26 students have fair morphological awareness, and 1
student has high morphological awareness. The vocabulary knowledge test results show
that the highest vocabulary level the student can reach is 6900 word families, the lowest is
2300 word families and the voabulary knowledge of the average students is estimated to be
4052 word families. The correlation between students’ morphological awareness and their
vocabulary knowledge was 0.227 in two tailed level of significant. Seeing the result of
statistical computation of correlation between them and considering the interpretation
table of significance, 0.227 is in the interval 0,200-0,400, it means that the variables have
low positive correlation.
Keywords: Morphological awareness, vocabulary knowledge, word family
Introduction
Vocabulary, a set of words that is
the basis for making and understanding
sentences (Miller, 1991), is a key part of
any language-teaching program.
Vocabulary plays an important role and is
central to English language teaching
because without sufficient vocabulary
students cannot understand others or
express their own ideas. It is one of the
essential and fundamental components of
communication. Without some knowledge
of that vocabulary, neither language
production nor language comprehension
would be possible (Anglin, 1993: 2).
Wilkins (1972: 111–112) wrote that while
without grammar very little can be
conveyed, without vocabulary nothingcan
be conveyed. Lewis (1993: 89) went
further to argue that lexis is the core or
heart of language.
The research literature in
vocabulary learning in a second language
(L2) or foreign language (FL) has revealed
the importance of knowing a sufficient
number of words to be able to function in
the language (Zimmerman, 2005: 52-60).
There have been many studies about the
significance of vocabulary in language
learning. For example, Walker,
Greenwood, Hart and Carta (1994) stated
that early vocabulary knowledge has been
shown to be a strong predictor of school
progress in the first language (L1). They
found that vocabulary knowledge was
particularly important in reading
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 131
achievement. In addition, Tschirner (2004)
states that vocabulary size has been
identified as one of the most important
indicators of L2 reading proficiency and of
academic language skills in general. He
discusses the relationship between the
extent of ESL students‟ English
vocabulary and other background
information such as length of time spent in
English language-speaking countries,
number of English books read per year,
learning strategies, etc. In other studies, the
size of students‟ vocabulary has also been
found to closely correlate with L2 writing
ability (Laufer and Nation, 1995; Laufer,
1998; Zimmerman, 2005). Furthermore,
Duin and Graves (1987) found that if
students are given a related set of words
(through an intensive vocabulary
instruction as a prewriting technique)
before they write an essay in which the
words might be used, the quality of their
writing improves. Vocabulary provides the
enabling knowledge, which is required to
be successful in other areas of language
proficiency (Laufer and Nation, 1999).
Considering the importance of
vocabulary, then methods for learning
vocabulary are an important part of
language learning. Nation (2001) proposed
four general goals that are important in a
language classroom. These learning goals
concern on: Language, which includes
vocabulary; Ideas, which covers content
and subject matter as well as cultural
knowledge; Skills; and finally Text or
discourse. In learning a language,
specifically for vocabulary goals, there are
three aspects to be looked at: the number
of words in the language, the number of
words known by the native speakers, and
the number of words needed by a learner to
use the language productively.
Anglin (1993)proposed three
approaches in the research literature to the
development of vocabularyknowledge. The
first approach is direct instruction of
vocabulary in school (McKeown, Beck,
Omalson, and Pople, 1985). The second is
learning words and their meanings from
context, especially during readingactivities
(Miller, 1991; Nagy and Anderson, 1984).
In addition, Zimmerman(2005) emphasizes
that the primary method for acquiring new
vocabulary(breadth) and deepen
understanding for existing
vocabulary(depth)is throughextensive
reading. Furthermore, Krashen, (1985,
1989, as cited in Morin,2003) believes that
reading is the most efficient way to learn
vocabularynaturally. And the third is by
applying morphological knowledge to infer
the meanings of words (Nagy
andAnderson, 1984; Wysocki and Jenkins,
1987).
The third approach is the focus of
this study. Although only a handful of
studies have examined the role of
morphological awareness in L2 vocabulary
development, the findings suggest that
various aspects of morphological
awareness may be particularly useful for
vocabulary building. For example,
Wysocki and Jenkins (1987) found that
students were able to learn new words by
generalizing from those sharing a root
morpheme. Pica (1988, in Morin, 2003:
107) also states the importance of the study
of interlanguage morphology and the belief
that "morpheme analysis can provide
important insights into the sequences,
processes, and input relevant to second
language acquisition" (Morin, 2003: 107).
Related to the link between
morphological awareness and vocabulary
mastery, there have only been a limited
number of studies done on languages such
as Finnish, Spanish and Hebrew.
Therefore, more research is needed to
provide a stronger empirical basis for our
understanding of the issue. Motivated by
earlier studies, this research investigates
the importance of morphological
awareness in learning and teaching English
vocabulary in Indonesian university. The
present study examines the relationship
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 132
between English vocabulary mastery and
morphological awareness of EFL learners
of Islamic University of Lamongan.
Vocabulary Learning Learning strategies can play an
important role in development because
theyencourage the learner‟s active
involvement in the learning process.
Vocabularyinstruction is most effective
when students are positively and actively
involved in theirlearning and they are
allowed to use their own strategies to learn
the vocabulary (Longand Rule, 2004).
Therefore, investigating instructional
approaches to the use ofmorpheme or root
word families in teaching vocabulary could
develop the students‟ vocabulary better
when vocabulary was taughtthrough
concrete representations or traditional class
instruction methods.
The use of morphological
knowledge as a potential strategy for
vocabularylearning was the focus of the
following studies. Anglin (1993) found
that the studentscould analyze the
morphological structure of complex words
which they have notactually learned before
to figure out the meanings. Morin (2003)
proposed the strategy ofusing
morphological knowledge to infer word
meanings, and with it, the need to
developmorphological awareness in the
L2. She characterizes morphological
awareness as theability to reflect on and
manipulate morphemes and word
formation rules in a language. Similarly,
Chang et al. (2005) define morphological
awareness as theawareness of and access to
the meaning and structure of morphemes
(the smallest unitsof meaning in a
language) in relation to words.
Morphology and Morpheme English morphology involves
knowledge of both inflectional and
derivationalprocesses, and each makes a
distinctive contribution to language
learning and use.Fromkin, Blair and
Collins (1999) define inflectional
morphology as changes in the formof a
word according to its grammatical
function, for example, talk becomes talked
toindicate activity in the past time. On the
other hand, derivational morphology
concernschanges of a word to give
additional meaning to the original word
(e.g. sufficientbecomes insufficient) and
may be in a different grammatical class
from the underivedword as well (e.g.
beauty, a noun, becomes beautiful, an
adjective).
The term morpheme refers to the
smallest, visible unit of semantic content
or grammatical function of which words
are made up (Katamba, 1993). Morphemes
can be divided into four general classes:
free, bound, derivational, and inflectional
morphemes. Free morphemes are those
which can stand alone in words such as
dog, cat, and house. Bound morphemes
must be attached to other morphemes to
make sense, such as un-, dis-, and ex-.
Derivational morphemes create new words
by changing the part of speech or the
meaning, e.g. legal/illegal. Inflectional
morphemes add a grammatical element to
the word without changing its meaning or
part of speech, e.g. book/books. In English,
the same morpheme, -s, can be both
inflectional and derivational. For example,
the s in the word organizers is both
inflectional and derivational; it changes the
verb into a noun and indicates plural form.
Morphological Awareness as a
Vocabulary Learning Strategy Morphological awareness refers to
the awareness of and access to the meaning
and structure of morphemes that are part of
or related to the word. It includes
knowledge of derivational morphology
such as prefixes (e.g., the un- in
undisciplined to indicate the antonym of
the original, disciplined), suffixes (e.g., the
–ion in graduation changes the part of
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 133
speech of the base word –graduate is a
verb whereas graduation is a noun), and
compounding (e.g., cowboy to create new
word combining the two root morphemes:
cow and boy). On the other hand,
knowledge of inflectional morphology
focuses primarily on indicating
grammatical changes in words (e.g., the s
in dogs to indicate the plural form of the
base or the -ed in acted to refer to the
action in the past time).
Kuo and Anderson (2006) argue
that morphological awareness in L1
English becomes an increasingly important
predictor of reading ability, as children
grow older because this awareness
contributes to the decoding of
morphologically complex words and it is
therefore assumed to contribute to the
development of reading comprehension.
They also suggested that morphological
awareness is intertwined with other aspects
of metalinguistic awareness and linguistic
competence, especially phonological
awareness, syntactic awareness, and
vocabulary knowledge.
Schiff and Calif (2007) compared
previous studies that investigated the
relationship between phonology and
reading, and morphology and reading.
They found that the relationship between
phonology and reading development in
English (as an L1) is well-documented
(Nagy and Anderson, 1998), but the
parallel relationship between
morphological awareness and reading skill
has been less studied (Singson, Mahony,
andMann, 2000). Even fewer studies have
dealt with vocabulary learning and
morphology or morphological awareness,
but the small corpus of existing research
suggests a strong link between
morphological awareness and vocabulary
learning. Prince (2007) reports a study
done by Nonie Lesaux, a profesor of
education at Harvard University, that
shows that a learner who understands how
words are formed, by combining prefixes,
suffixes, and roots, tends to have larger
vocabularies and better reading
comprehension. The main concern for this
present study is to relate morphological
knowledge to vocabulary learning in the
L2.
They conclude that an awareness of
morphology should benefit the
development of children's vocabulary.
Thus, for L1 learners, knowledge of
English morphology makes a significant
contribution to the vocabulary size and
other language skills. This present study is
then aimed to investigate if such
knowledge makes a significant
contribution to English vocabulary
learning for EFL students in Indonesia.
Research Method The primary goal of this study is to
investigate whether morphological
awareness can be related to the vocabulary
size of EFL Indonesian university students.
First, a measure of English morphological
awareness for these learners is obtained.
Then the English vocabulary size of the
English department students of UNISLA is
measured. Finally, the link between
morphological awareness and vocabulary
size is assessed, with possible implications
for morphological awareness as a predictor
of vocabulary learning. The participants
are 46 fifth semester students of UNISLA
who had taken English Morphology
subject.
Two kinds of test are used as the
instrument in this research ; the
Morphological Awareness Test and the
Vocabulary Size Test. Morphological
awareness test required the test-takers to
choose the base word of 50
morphologically complex words. In this
test, the participants were asked to identify
the simpler word that is morphologically
related to each of the complex words. By
itself, the score of the test would represent
the student‟s basic knowledge of general
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 134
derivational word-formation processes (or
morphology skill).
Meanwhile, the students‟
vocabulary mastery is tested by using the
simplified version of Vocabulary Size Test
which was created by Nation and Beglar
(2007) based on the British National
Corpus (BNC). It consists of 14 levels of
1,000 words, with the first level consisting
of the most frequent word families and the
14th level consisting of the least frequent.
The simplified version of the test used in
this study contains 80 multiple-choice
items, 10 at each 1,000-word family level.
Because there are ten items at each 1,000
word level, each item in the test represents
the knowledge of that level of vocabulary.
If a test-taker got every item on the test
correct, then it is assumed that that person
knows the most frequent 8,000 word
families of English.
A student‟s score needs to be
multiplied by 100 in order to estimate total
vocabulary size out of 8,000 word families.
For example, if a student‟s score on this
test was 43 out of 80, his vocabulary
knowledge is 4,300 word-families (43 x
100), which means he is in the fourth
1,000-word-family level. In this test, each
word appears in the context of a sentence.
Students choose the correct definition from
four choices. To know the relationship
between morphological awareness and
vocabulary mastey of EFL learners at
UNISLA, Pearson product-moment
formula in the software of SPSS 20 was
applied. Afterward, the researcher uses
coefficient correlationas an index to
measure the relation.
Results
The data about the students‟
morphological awareness is obtained from
morpheme identification test that consists
of 50 multiple choice questions. From the
test, it is concluded that 19 or 41,3% of the
whole students have low morphological
awareness, 26 students or 56,5% among 46
students have fair morphological
awareness, and there is only 1 student who
has high morphological awareness.
From the vocabulary knowledge
test, it can be summarized that the highest
vocabulary level the student can reach is
6900 word families. Then, the lowest
vocabulary level the student has is 2300
word families. Meanwhile, the voabulary
knowledge of the average students is
estimated to be 4052 word families. Using
Nation‟s (2012) framework on word
family level, the data shows that 8,7%
students among 46 students reach 2nd
1000 word families, 52,2% of the studenst
reached 3rd 1000 word families, 21,7% of
the students reached 4th word families,
2,2% reached 5th 1000 word families, and
15,2% of the students reached 6th 1000
word families
.
Table 1. The level of vocabulary knowledge of English Department students of
UNISLA based on Nation‟s (2012) framework.
Level Number of Students Category
1st 1000 0 (0%) High frequency words
2nd 1000 4 (8,7%)
3rd 1000 24 (52,2%)
Mid frequency words 4th 1000 10 (21,7%)
5th 1000 1 (2,2%)
6th 1000 7 (15,2%)
7th 1000 0 (0%)
8th 1000 0 (0%)
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 135
From the scores of two tets, the
researcher then draws the descriptive
statistics to get the mean and standard
deviation of both test. The following are
the table of the descriptive statistics result.
Table 2. The descriptive statistics of morphological awareness and
vocabulary test
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
Morphology 58.61 11.360 46
Vocabulary 50.74 14.361 46
The table shows that the mean
score of morphological awareness is 58.61
and the std. deviation is 11.360.
Meanwhile, the mean score of vocabulary
test is 50.74 and the std. deviation is
14.361. Then, to know the correlation
between students‟ vocabulary knowledge
and their morphological awareness, the
researcher uses SPSS 20 to calculate the
correlation. The result is as shown in the
following table.
Table 3. The Correlation between students’ morphological
awareness and their vocabulary knowledge
Morphology Vocabulary
Morphology Pearson
Correlation 1.000 .227
Sig. (2-tailed) .130
N 46.000 46
Vocabulary Pearson
Correlation .227 1.000
Sig. (2-tailed) .130
N 46 46.000
The correlation table above
explains that the correlation between
students‟ morphological awareness and
their vocabulary knowledge was 0.227 in
two tailed level of significant. While, the
value of Sig. 0,000 < 0,005 which shows
that H0 was rejected (there is correlation).
Seeing the result of statistical computation
of correlation between them and
considering the interpretation table of
significance, 0.227 is in the interval 0,200-
0,400, it means that the variables have low
correlation.
Discussion
The findings demonstrate that
thestudents‟ overall morphological
awareness seems somewhat unsatisfactory.
It is because the number of the students
who have low morphological awareness is
relatively great in quantity, i.e. 19 or
41,3% of the whole students. The score of
these students are under 60. The score of
the students who have fair morphological
awareness shows the greatest in quantity.
And there is only 1 student who has high
morphological awareness.
These percentages show that the
overall morphological awareness of the
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 136
students was relatively limited. The score
of this finding is considered low if it is
compared to the finding of Mc-
BrideChange et al. (2005: 428). They
found that „morphological awareness were
good predictorsof vocabulary knowledge‟.
This highlights the students‟ limited
abilities toreflect and manipulate the
morphological structure of words.
Inability to recognize the
morphological structure of complex words
suggests thatthere is an urgent need for
morphological awareness intervention and
explicit teachingof morphological units.
For one thing, it is likely that
morphological awareness leadsto better
learning outcomes as it is related to various
language skills such as, spelling(Bear,
Invernizzi, Tempelton Templeton, &
Johnston, 2008), vocabulary growth,
andreading comprehension (Fowler &
Liberman, 1995; Qian, 2002). Moreover, it
hasbeen demonstrated that learners are
able to use their morphological knowledge
toarrive at the meaning of complex words
(Gordon, 1989; Carlisle, 2000; Carlisle
andStone, 2003; Wysocki and Jenkins,
1987).
Then, the Vocabulary knowledge
test was used to measure the participants‟
vocabulary mastery after studying the
English language for two years at the
college level. The test score revealed that
the participants‟ vocabulary mastery was
over 4,000 word-families. In other studies
that used this test, the results revealed that
undergraduate non-native speakers
studying at an English-speaking university
have a vocabulary of 5,000-6,000 word-
families. Similarly, competent non-native
speaking doctoral students have around a
vocabulary of 9,000 word-families (Nation
& Beglar, 2007). This means that a certain
size of vocabulary has to be known to the
learners before the students can approach a
text comfortably. Furthermore, in order to
comprehend a text, readers should be
familiar with 98% of the words in the text
at any level (Hu & Nation, 2000).
Considering that the vocabulary
mastery of competent undergraduate non-
native speakers studying at an English-
speaking university is in the range of
5,000-6,000 word-families, the low
vocabulary size of the participants in the
current study (around 4,000 word families)
requires rapid intervention. Therefore, the
teachers or lecturers should do everything
they can to enlarge the vocabulary size of
the students. Since they encounter more
academic and specialized texts, a large
vocabulary size is essential for their
academic success. Good vocabulary size is
critical for understanding and interpreting
written texts. Students in this study are
supposed to read different texts in the
foreign language as a part of their
translation program. Thus, increasing their
vocabulary size should be a top priority.
According to Nation (1997), 2000
word families cover 90% of the text of the
novel for teenagers, which means that the
students who master 2000 word families
will find 1 unknown word in every 10
words in the novel. The 2000 words plus
proper nouns cover 93,7% text in the novel
which means that the students with the
mastery of these words will find 1
unknown word in every 16 words.
Students with 2600 words will find 1
unknown word in every 25 words because
these words cover 96% of words used in
teenagers‟ novel. And those who master
5000 words will find 1 unknown word in
every 67 words in teenagers‟ noovel.
These words cover 98,5% of words used in
the novel. The following table shows this
description
.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 137
Table 4. Vocabulary size and text coverage in novels for teenagers
Vocabulary size % Coverage Density of unknown words
2000 words
2000 + proper
nouns
2600 words
5000 words
90%
93.7%
96%
98.5%
1 in every 10
1 in every 16
1 in every 25
1 in every 67
Another opinion is proposed by Francis &
Kucera (1982). The test takers of this
vocabulary knowledge test will face a great
difficulty if they are asked to read
American present day text.
Table 5. Vocabulary size, Coverage, and Density of Difficulty in reading
American Present Day text (Francis & Kucera, 1982)
Vocabulary size % coverage Density of unknown words
1000 72% 1 word in every 4 words
2000 79,70% 1 word in every 5 words
3000 84% 1 word in every 6 words
4000 86,80% 1 word in every 8 words
5000 88,70% 1 word in every 9 words
6000 88,90% 1 word in every 10 words
15.851 97,80% 1 word in every 45 words
A thousand word families cover
72% of American present day text which
means that the students who master these
words will find 1 unknown word in every 4
words. 2000 word families cover 79,70%
of the same texts and the density of
unknown word is 1 in every 5 words. The
students with 3000 to 6000 word families
will find 1 unknown word in every 6 to 10
ten words used in American day text. It is
needed 15.851 word families to cover
97,80% of the words which means that the
students who master the vocabulary in this
level will just find 1 unknown word in
every 45 words used in American present
day text.
Liu Na and Nation (1985) has
shown that this ratio of unknown to known
words is not sufficient to allow reasonably
successful guessing of the meaning of the
unknown words. At least 95% coverage is
needed for that (guessing). The importance
of measuring vocabulary size is a
preliminary step in identifying the amount
of vocabulary needed to perform basic
tasks at the university level, such as
reading a novel, reading newspapers,
watching movies, and listening to friendly
conversations. Some studies have
suggested that the vocabulary size needed
for EFL learners to carry on such receptive
tasks is a vocabulary size of 8,000 word-
families (Nation& Beglar, 2007).
The study conducted by McBride-
Chang et al. (2005) showed that
morphological awareness was significantly
correlated with word identification, word
attack, and vocabulary scores among
kindergartners and second graders. Itwas
expected that performance on vocabulary
knowledge, as assessed by the vocabulary
test, wouldcorrelate positively with the
performance on morphological awareness.
However, the correlation between
students‟ morphological awareness and
their vocabulary knowledge was 0.227 in
two tailed level of significant. Seeing the
result of statistical computation of
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 138
correlation between them and considering
the interpretation table of significance,
0.227 is in the interval 0,200 - 0,400, it
means that the variables have low positive
correlation.
Pedagogical Implication
Vocabulary growth is especially
important for English language learners
(ELLs). Limited vocabulary size is a
serious problem for these students.
Students with deficits in their vocabulary
are less able to comprehend texts, succeed
academically, and communicate with
speakers of the target language.
The data obtained from the testing
instruments indicates that the vocabulary
size of the students in this study and their
morphological awareness level are
relatively low. Teachers of English as a
foreign language should focus more on
expanding the vocabulary size of their
students. Teachers should give vocabulary
a high profile in the syllabus and in the
classroom so that students can see its
importance and understand that learning a
language involves more than just its
grammar. Also, teachers should discover
what learning strategies work best for their
students to learn vocabulary. Teachers
should introduce different learning
strategies to their students. Students should
be explicitly taught word-learning
strategies to deepen their knowledge of
how to decode an unknown word and
choose the appropriate meaning in any
given context. Since learning the entire
lexicon of a language is impossible, having
the right strategies can be useful. However,
these strategies must be adapted to the
strengths and needs of ELLs.
Conclusion
The conclusions here are made
based on the focus of the study. They
consist of the students‟ morphological
awareness, the students‟ vocabulary
mastery, and the correlation between the
students‟ morphological awareness and
their vocabulary mastery.
First, after calculating the students‟
score of morphological awareness test,
then it can be concluded that 19 or 41,3%
of the whole students have low
morphological awareness, 26 students or
56,5% among 46 students have fair
morphological awareness, and there is only
1 student who has high morphological
awareness.
Second, from the vocabulary
knowledge test, it can be summarized that
the highest vocabulary level the student
can reach is 6900 word families. Then, the
lowest vocabulary level the student has is
2300 word families. Meanwhile, the
voabulary knowledge of the average
students is estimated to be 4052 word
families. Using Nation‟s framework on
word family level, the data shows that
8,7% students among 46 students reach
2nd 1000 word families, 52,2% of the
studenst reached 3rd 1000 word families,
21,7% of the students reached 4th word
families, 2,2% reached 5th 1000 word
families, and 15,2% of the students
reached 6th 1000 word families.
Third, the correlation between
students‟ morphological awareness and
their vocabulary knowledge was 0.227 in
two tailed level of significant. While, the
value of Sig. 0,000 < 0,005 which shows
that H0 was rejected (there is correlation).
Seeing the result of statistical computation
of correlation between them and
considering the interpretation table of
significance, 0.227 is in the interval 0,200-
0,400, it means that the variables have low
correlation. To sum up, the results of the
present study supported that the students‟
overall morphological awareness and
vocabulary knowledge were limited.
References
Anglin, J. M. (1993). Vocabulary
development: A morphological
analysis. Monographs of the Society
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 139
for Research in Child Development,
58 (10), Serial #238.
Bear, D.R., Invernizzi, M., Tempelton, S.,
and Johnston, F. (2008). Words
TheirWay:Word Study for phonics,
vocabulary, and spelling instruction
(4th
edition). Upper Saddler River, NJ:
Pearson Prentice Hall.
Carlisle, J. F. (2000). Awareness of the
structure and meaning of
morphologically complexwords:
Impact on reading. Reading and
Writing: An Interdisciplinary Journal,
12, 169–190.
Carlisle, J. F & Stone, C. A. (2003). The
effect of morphological structure
onchildren‟s reading derived words in
English. In E. M. Assink, & D.Sandra.
(Eds). (2003). Reading complex
words: cross- language studies(27-
52). New York: Kluwer Academic/
Plenum Publishers.
Chang, C. M., Wagner, R. K., Muse, A.,
W.-Y., B., & Chow, H. S. (2005). The
role of morphological awareness in
children‟s vocabulary acquisition in
English. AppliedPsycholinguistics, 26,
415–435.
Duin, A. H., & Graves, M. F. (1987).
Intensive vocabulary instruction as a
prewritingtechnique. Reading
Research Quarterly, 22(3), 311-330.
Fowler, A. E., & Liberman, I. Y. (1995).
The role of phonology and
orthography inmorphological
awareness. In L. B. Feldman (Ed.)
Morphological aspects of
languageprocessing (pp. 157–188).
Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Francis, W. N. and H. Kucera (1982).
Frequency Analysis of English Usage:
Lexicon and Grammar. Boston:
Houghton Mifflin.
Fromkin, V., Blair, D., & Collins, P.
(1999). An Introduction to Language
(4th Ed.).Sydney: Harcourt Australia.
Gordon, P. (1989). Levels of affixation in
the acquisition of English
morphology.Journal of Memory and
Language, 28, 519- 530.
Hu, M. & Nation, I.S.P. (2000). Unknown
vocabulary density and reading
comprehension. Reading in a Foreign
Language 13 (1), 403-430.
Katamba, F. (1993). Morphology: Modern
linguistics. New York, NY: Palgrave
Macmillan.
Kuo, L.-j., & Anderson, R. C. (2006).
Morphological awareness and
learning to read: A cross-language
perspective. Educational
Psychologist, 41(3), 161–180.
Laufer, B., and Nation, P. (1995).
Vocabulary size and use: lexical
richness in L2written production.
Applied Linguistics, 16 (3), 307- 322.
Laufer, B., & Nation, P. (1999). A
vocabulary-size test of controlled
productive ability.Language Testing,
16, 33 - 51.
Laufer, B. (1998). The development of
passive and active vocabulary in a
secondlanguage: same or different?
Applied Linguistics, 19(2), 255-271.
Lewis, Michael. (1993). The Lexical
Approach: The State of ELT and a
Way Forward. Hove, England:
Language Teaching Publications.
Liu Na and I.S.P. Nation. 1985. Factors
affecting guessing vocabulary in
context. RELC Journal 16, 1: 33-42
Long, D., & Rule, A. C. (2004). Learning
vocabulary through morpheme word
family object boxes. Journal of
Authentic Learning, 1, 40-50.
Mc-Bride-Chang, C., Wagner, R. K.,
Muse, A., Chow, B. W, & Shu, H.
(2005). The role of morphological
awareness in children‟s vocabulary
acquisition in English. Applied
Psycholinguistics, 26(3), 415- 435.
McKeown, M. G., Beck, I. L., Omason, R.
C., & Pople, M. T. (1985). Some
effects of the nature and frequency of
vocabulary instruction on the
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 140
knowledge and use of words. Reading
Research Quarterly, 2 (5), 522-535.
Miller, G. A. (1991). The Science of
Words. New York: Scientific
American Library.
Morin, R. (2003). Derivational
morphological analysis as a strategy
for vocabulary acquisition in Spanish.
The Modern Language Journal, 87,
200-221.
Nagy, W. E., & Anderson, R. C. (1984).
How many words are there in printed
school English? Reading Research
Quarterly, 19(3), 304-330.
Nation, I. S. P., & Waring, R. (1997).
Vocabulary size, text coverage, and
word lists. In N. Schmitt and M.
McCarthy (Eds.), Vocabulary:
Description, acquisition and pedagogy
(pp. 6–19). Cambridge: Cambridge
University Press.
Nation, , I. S. P. (2012) Vocabulari Size
Test Information and specificatio.
Retrieved 27 August 2013 from
https://www.victoria.ac.nz/lals/about/s
taff/paul-nation-pubsdate
Nation, I. S. P. (2001). Learning
vocabulary in another language.
Cambridge; New York: Cambridge
University Press.
Nation, P. & Beglar, D. (2007) A
vocabulary size test. The Language
Teacher 31(7), 9- 13.
Prince, R. E. C. (2007). Morphological
analysis: New light on a vital reading
skill [Electronic Version]. Retrieved
14 May 2007 from
http://www.uknow.gse.harvard.edu/te
aching/TC102-407.html.
Qian, D. D. (2002). Investigating the
relationship between vocabulary
knowledge andacademic reading
performance: an assessment
perspective. Languagelearning, 52
(3), 513-536.
Schiff, R., & Calif, S. (2007). Role of
phonological and morphological
awareness in L2 oral word reading.
Language Learning, 57(2), 271–298.
Singson, M., Mahony, D., & Mann, V.
(2000). Reading ability and sensitivity
to morphological relations. Reading
and Writing, Volume 12(3), 191-218.
Tschirner, E. (2004). Breadth of
vocabulary and advanced English
study: An empirical investigation.
Electronic Journal of Foreign
Language Teaching, 1 (1), 27-39.
Walker, D., Greenwood, C., Hart, B., &
Carta, J. (1994). Prediction of school
outcomesbased on early language
production and socioeconomic
factors. ChildDevelopment, Children
and Poverty 65(2), 606-621
.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 141
Formalisasi UMKM ke dalam Sistem Perpajakan dan Dampaknya
Terhadap Inklusi Finansial di Indonesia
M.Yaskun *) *)
Program Studi Ekonomi Manajemen Universitas Islam Lamongan
Abstrak
Sebuah fenomena di dunia institusi keuangan yang bertujuan untuk menggandeng semua lapisan
masyarakat di suatu negara untuk ikut serta dalam sektor keuangan dan diyakini dapat mengurangi kesenjangan
sosial. Femonena tersebut disebut dengan inklusi finansial (financial inclusion), bahkan Indonesia merupakan
salah satu negara yang mencoba menerapkan program ini. Dengan salah satu program yang dijalankan oleh
sektor swasta dan sektor perbankan yakni branchless banking, merupakan sebuah langkah awal akan adanya
realisasi program tersebut. Namun, pada kenyataanya inklusi finansial belum berjalan secara maksimal di
Indonesia yang dibuktikan dengan masih meningkatnya kesenjangan sosial di masyarakat.
Penelitian ini akan bersifat sebagai bahan yang membangun terhadap regulasi pemerintah (regulator’s
advice) dimana penulis memberikan solusi mengenai “formalisasi UMKM ke dalam sistem perpajakan”, yaitu
program yang dijalankan oleh pihak swasta khususnya UMKM yang memformalkan dirinya menjadi Wajib
Pajak. Program ini diyakini akan membawa beberapa dampak positif terhadap perekonomian Indonesia.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan sektor finansial di Indonesia saat ini
digambarkan oleh dua paradoks (twin paradoxes)
yang masih timpang keterkaitannya. Paradoks yang
pertama adalah kemajuan Indonesia sebagai
pemimpin dalam sektor microfinance selama dua
puluh lima tahun berbanding terbalik dengan
kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan
untuk mengakses sektor keuangan. Hal ini
dibuktikan dengan tingginya angka koefisien Gini
yang menjadi indikator kesenjangan ekonomi
mencapai poin 0.41 pada 2011. Padahal, pada
faktanya pertumbuhan perekonomian Indonesia
secara umum dalam beberapa tahun terakhir
mengalami peningkatan yang sangat signifikan
dibanding negara berkembang (emerging country)
lainnya. Indonesia mengalami pertumbuhan rata-
rata 6%, menduduki peringkat ketiga setelah
Republik Rakyat China dan India. Paradoks yang
kedua adalah kondisi usaha mikro, kecil dan
menegah mengalami kesulitan modal dan kredit
macet, sedangkan kondisi sektor perbankan
Indonesia khususnya bank-bank komersial
memiliki kas yang cukup, dapat memberikan kredit
dan profitable. Kedua kondisi ini menjadi
pertanyaan yang harus diselesaikan oleh pakar-
pakar ekonomi guna mendukung terwujudnya
financial inclusion di Indonesia.
Financial inclusion merupakan strategi yang
dikembangkan oleh beberapa negara untuk
meningkatkan partisipasi seluruh lapisan, baik
pemerintah maupun swasta dalam sektor keuangan
guna mempermudah masyarakat untuk
menggunakan jasa keuangan. Di Indonesia, strategi
ini bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
ekonomi melalui pengentasan kemiskinan,
distribusi pendapatan dan stabilitas keuangan
dengan sistem yang dapat diakses dengan mudah
oleh seluruh pihak.
Salah satu program yang dikembangkan oleh
pemerintah melalui sektor perbankan dalam
mensukseskan terwujudnya financial inclusion di
Indonesia adalah branchless banking. Branchless
banking merupakan program inovasi di bidang
saluran distribusi dimana jasa keuangan yang
diberikan kepada masyarakat tidak melalui kantor
cabang resmi, namun diberikan melalui
penggunaan teknologi seperti operator jaringan
telekomunikasi, dan beberapa instansi
pemerintahan seperti PT Pos Indonesia. Program
branchless banking memberikan keuntungan bagi
bank, yaitu meminimalisasi biaya operasional dan
alokasi sumber daya manusia. Di sisi lain, program
ini juga memberikan keuntungan bagi pihak swasta
yang menjadi partner pelaksana program
branchless banking seperti perusahaan penyedia
jasa telekomunikasi, mengingat tingginya jumlah
pengguna telepon genggam di Indonesia.
Kerjasama antar institusi juga sangat penting dalam
perwujudan financial inclusion, khususnya
kerjasama pihak swasta yang memiliki program-
program inovasi lainnya dan BUMN ataupun
pemerintah sebagai regulator serta penyedia
infrastruktur ke seluruh pelosok negeri.
1.2 Tujuan Penulisan
Kertas kerja ini dilakukan untuk beberapa tujuan,
yaitu:
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 142
Sumber: StatistikdariKementriankoperasidanUMKM
1. Mengetahui strategi-strategi dan tindakan
nyata yang dapat dilakukan oleh sektor swasta
dalam mendukung terwujudnya financial
inclusion di Indonesia.
2. Mengetahui pengaruh terbesar dari sektor
perbankan (bank led) atau sektor teknologi
(technological led) yang dapat mendorong
operasional branchless banking beserta
kelebihan, kekurangan dan pengaruhnya di
segala aspek, terutama regulasi.
II. PEMBAHASAN MASALAH
2.1 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) mendominasi sektor swasta di
Indonesia
Kementrian Negara Koperasi dan UKM
mendefinisikan UMKM sebagai berikut:
Usaha mikro adalah sebuah kegiatan
ekonomi yang dimiliki oleh perorangan
atau usaha perorangan dengan aktiva
bersih sebesar Rp 50 juta, tidak
termasuk tanah dan bangunan, dengan
tingkat penjualan tidak kurang dari Rp
300juta.
Usaha kecil adalah sebuah kegiatan
ekonomi yang dijalankan oleh
perorangan atau bisnis independen,
bukan sebuah cabang, anak perusahaan
atau bagian dari bisnis entitas lain yang
secara langsung maupun tidak
langsung dimiliki atau dikontrol oleh
perusahaan menengah atau besar
dengan aktiva bersih antara Rp 50 juta
sampai dengan Rp 500 juta, tidak
termasuk tanah dan bangunan. Serta
memiliki penjualan lebih besar dari Rp
300 juta sampai dengan Rp 2.5 miliar.
Usaha menengah adalah sebuah
kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh
perorangan atau bisnis independen,
bukan sebuah cabang, anak
perusahaan, atau bagian dari bisnis
entitas lain yang secara langsung
maupun tidak langsung dimiliki atau
dikontrol oleh perusahaan kecil atau
besar. Dengan aktiva besar antara Rp
500 juta sampai 10 miliar, tidak
termasuk dengan tanah dan bangunan
dan penjualan mencapai lebih dari Rp
2.5 miliar sampai 50 miliar.
Dari pengertian di atas, jumlah dari
usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) memiliki pengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Grafik 2.1 menunjukan
perbandingan antara bisnis unit UMKM
dengan unit perusahaan besar, dimana
meningkatnya jumlah UMKM dalam
beberapa tahun terakhir dari tahun 2005
sampai 2010 yang terhitung sebanyak 99
persen dari unit bisnis di Indonesia.
UMKM juga menyumbang lebih dari 50
persen dari PDB indonesia yang
ditunjukan pada Grafik 2.2
. Grafik 2.1. Bisnis unit di Indonesia di dominasi oleh UMKM(UMKM: sumbu disebelah kanan, dalam
jutaan)
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 143
Grafik 2.2 UMKM memberikan kontribusi lebih dari 50% dari total PDB (di sebelah
kiri)(sisi kiri dalam persen, kanan dari miliar rupiah)
Sementara itu, penyerapan tenaga kerja UMKM
bervariasi antara satu sektor ekonomi dengan sektor
yang lain dan juga bergantung terhadap ukuran
perusahaan. Untuk bisnismikro, sektor pertanian –
termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan –
adalah penyumbang terbesar dalam hal penyerapan
tenaga kerja diikuti oleh sector perdagangan, hotel
dan restoran. Untuk bisnis kecil, sektor manufaktur
merupakan penyumbang terbesar penyerapan
tenaga kerja diikuti oleh sector perdagangan, hotel
dan restoran. Untuk bisnis menengah, sektor
manufakturjuga menjadi penyumbang angka
terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja, diikuti
oleh sektor pertanian dan konstruksi di tempat
kedua dan ketiga secara berurutan. Secara
keseluruhan, sektor ekonomi seperti
pertanian;perdagangan, hotel dan restoran;
manufaktur; dan konstruksi mendominasi
penyerapan tenaga kerja UMKM. Di sisi lain,
semakin besar ukuran suatu bisnis, justru akan
menurunkan ketergantungannya terhadap sektor
pertanian. Dan, semakin kecil ukuran perusahaan,
kendala akses pendanaan dari sektor perbankan pun
pada umumnya akan cenderung meningkat.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 144
Grafik 2.3 Penyerapan tenaga kerja UMKM bervariasi dan bergantung dari
jenissektorekonomi danukuran perusahaan(2010, Usaha mikro pada sumbu sisi kiri,
dalam ribuan orang)
Bahkan saat ini, jumlah nilai investasi UMKM
hampir setengah dari total investasi bisnis swasta di
Indonesia. Namun, pertumbuhan dari investasi
perusahaan besar sedikit lebih besar daripada
investasi di UMKM. Grafik 2.4 menunjukkan 49.19
persen dari investasi bisnis swasta yang berasal dari
UMKM, sementara 50.81 persen berasal dari
investasi perusahaan besar. Kontribusi UMKM
terhadap total investasi swasta pada dasarnya
bersumber dari bisnis menengah dengan
menyumbangkan 23.24 persen dari nilai
investasiUMKM. Dalam hal pertumbuhan
investasi, UMKM rata-rata mengalami
pertumbuhan sebesar 10 persen dari tahun 2009 ke
2010, sedangkan perusahaan besar tumbuh sebesar
15 persen tahun 2010.
Diantara UMKM, tingkat pertumbuhan terbesar
adalah berasal daribisnis mikro yang mencapai
13.72 persen, diikuti oleh bisnis kecil dan
menengah 9.5 persen dan 9.78 persen secara
berurutan. Potensi pertumbuhan investasi dari
sektor mikro menunjukkan angka terbesar, namun
justru masalah kendala akses pendanaan cenderung
berada di sektor mikro.
Sumber: StatistikdariKementriankoperasidan UKM
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 145
0
20
40
60
80
100
120
0
100
200
300
400
500
600
2009 2010
Dal
am t
riliu
n
Dal
am t
riliu
n Mikro
UMKM
Kecil
Menengah
Perusahaan besar
Grafik 2.4. UMKM memberikan kontribusi hampir separuh dari total investasi
swasta(Investasi dari usaha mikro,kecil dan menengah pada sisi kanan,
dalam triliun rupiah)
2.2 Formalisasi UMKM mendorong inklusi
finansial
2.2.1 Profil pengusaha di Indonesia berdasarkan
survei
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) pada tahun 2012 menunjukkan bahwa
sebagaian besar pengusaha di Indonesia di sektor
non-formal mempunyai rata-rata tingkat
pendapatan bersih per bulan di bawah Rp 20 juta.
Grafik 2.5 menunjukkan bahwa pengusaha-
pengusaha non-formal di Indonesia sebagaian besar
berada di sektor UMKM dengan pendapatan
bulanan pekerja yang relatif kecil.
Grafik 2.5. Densitas Distribusi Normal
Sumber: StatistikdariKementriankoperasidan UKM
0
1.0e
-07
2.0e
-07
3.0e
-07
4.0e
-07
Den
sita
s pr
obab
ilita
s
0 20000000 40000000 60000000 80000000 100000000Pendapatan bersih per bulan
Sumber :Susenas 2012, diolaholehtim.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 146
Namun, jika melihat lebih jauh kontribusi di sektor
UMKM terhadap PDB Indonesia yang begitu besar
yakni melebihi 50 persen (Grafik2.2), hal ini dapat
disimpulkan bahwa sektor UMKM memiliki
potensi yang signifikan untuk meningkatkan
pendapatan pajak negara.
2.2.2 Perlunya formalisasi sektor UMKM ke
dalam sistem perpajakan di Indonesia
Bersamaan dengan mendorong
perkembangan ekonomi melalui pertumbuhan
UMKM, upaya peningkatan pendapatan pajak juga
menjadi hal penting di Indonesia. Selain pajak
sebagai sumber utama penerimaan negara yang
nantinya diperuntukkan dalam pembiayaan
berbagai pengeluaran pemerintah, pajak juga
melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari
masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi
yang lebih tinggi kepada masyarakat yang
kemampuan ekonominya lebih rendah. Oleh karena
itu, demi tercapainya redistribusi pendapatan,
tingkat kepatuhan wajib pajak termasuk pelaku
UMKM dalam malaksanakan kewajiban
perpajakannya secara baik dan benar merupakan
syarat yang harus dipenuhi sebelum UMKM beralih
dari sektor non-formal menjadi sektor formal yang
lebih bankable.
Peningkatan wajib pajak juga menjadi hal
penting dalam rangka mendorong pendapatan pajak
pemerintah Indonesia. Data dari World Bank
berikut menunjukkan bahwa selama 10 tahun
terakhir, tingkat pendapatan pajak per PDB
(tax/GDP ratio) di Indonesia masih sangat rendah.
Grafik 2.6 menunjukkan bahwa persentase
pendapatan pajak terhadap PDB di Indonesia hanya
11.8 persen di tahun 2011 dan berada cukup jauh
jika dibandingkan dengan beberapa negara
berkembang lainnya, seperti Malaysia, Filipina, dan
Brazil.
Peningkatan pendapatan pajak sangat penting
dilakukan oleh pemerintah Indonesia mengingat
bahwa pajak memiliki peran penting
sebagaiautomatic stabilizer dalam sebuah negara.
Automatic stabilizer adalah struktur pajak dan
program pengeluaran pemerintah yang
menyebabkan anggaran deficituntuk tumbuh secara
otomatis selama menghadapi krisis, atau
surplusuntukmengurangi pertumbuhan ekonomi
yang relatif tinggi. Ketika Indonesia menghadapi
krisis, pemerintah akan menurunkan pajak (tax
rate) guna menstimulasi kegiatan perekonomian di
masyarakat. Sebaliknya, ketika Indonesia dalam
masa pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi,
pemerintah akan menaikkan tax rate dengan tujuan
untuk menyerap uang beredar (money supply) yang
berlebih di masyarakat. Oleh karena itu, tanpa
adanya pendapatan pajak yang signifikan,
Indonesia tidak akan memiliki pendapatan APBN
yang cukup jika terjadi krisis atau gejolak makro.
Grafik 2.6PendapatanPajak (% dari PDB) Indonesia adalah yang terendah
Sumber : World Bank
12.4 12.3 12.5 12.3 12.413
11.4 10.911.8
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Pe
rse
nta
se (
%)
Indonesia Malaysia Filipina Thailand Brazil Peru
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 147
2.3 Dampak positif formalisasi UMKM ke dalam
sistem perpajakan Formalisasi UMKM ke dalam sistem
perpajakan bertujuan meningkatkan kualitas
pendataan usaha-usaha yang berkembang di
Indonesia. Apabila formalisasi UMKM dapat
dilakukan secara maksimal, dampak positif yang
ditimbulkan sangat besar terhadap pemerintah
maupun UMKM itu sendiri. Dampak positif yang
pertama adalah meningkatkan proporsi investasi di
Indonesia. Suksesnya formalisasi pajak juga
membawa dampak positif terhadap peningkatan
pendapatan pajak negara seperti yang telah
dipaparkan pada poin 2.2. Meningkatnya
pendapatan pajak negara akan berpengaruh
terhadap meningkatnya program-program
pemerintah untuk mendorong inklusi finansial
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan UMKM.
Formalisasi UMKM juga akan membuat sektor
UMKM menjadi sektor formal yang akan
menurunkan kendala pembiayaan dari sektor
perbankan.
Dampak positif formalisasi UMKM lainnya
adalah meningkatkan PDB Indonesia.
Meningkatnya pendapatan pajak berpengaruh
terhadap kenaikan pengeluaran negara (government
spending). Selama pengeluaran dialokasikan untuk
tujuan produktif, termasuk untuk mendorong
program-program pengembangan UMKM, maka
akan meningkatkan output ekonomi.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Dalam mendukung program inklusi
finansial kepada sektor swasta, dalam
hal ini UMKM, beberapa hal yang perlu
dilakukan oleh sektor swasta atau
UMKM itu sendiri adalah sebagai
berikut:
1.1. Perlu kesadaran dari sektor
UMKM untuk mendaftarkan diri
ke dalam sistem perpajakan di
Indonesia dengan menjadi Wajib
Pajak. Hal ini penting
dikarenakan UMKM yang sudah
memiliki nomor wajib pajak akan
otomatis terdaftar di dalam basis
data milik pemerintah, sehingga
pemerintah dapat memonitor
kinerja UMKM tersebut dalam
rangka mendorong pertumbuhan
bisnis mereka. Di saat yang sama,
hal ini akan memudahkan
pemerintah untuk melakukan
kebijakan terstruktur dengan
menjalin kerjasama dengan bank-
bank lokal untuk mendanai
UMKM berpotensi yang sudah
terdaftar. Pendataan yang baik
juga akan membuat data-data
UMKM lebih akurat di tingkat
daerah, sehingga pemerintah akan
lebih mudah mengidentifikasi
sektor-sektor mana yang dominan
di suatu daerah tertentu, dan
sektor-sektor mana yang perlu
dibantu oleh akses pendanaan
dari perbankan.
1.2. Dari Grafik 2.3, terlihat bahwa
sebagian besar bisnis mikro yang
menyerap tenaga kerja adalah di
sektor pertanian dan jasa. Hal ini
berarti bahwa sektor mikro hanya
bertumpu pada dua sektor ini. Hal
yang perlu diperhatikan adalah
sektor pertanian ini cukup
berisiko dari kacamata
perbankan. UMKM yang hanya
bertumpu pada produk-produk
bahan mentah, terutama untuk
tujuan ekspor, tentu akan
mendapatkan kendala
pembiayaan lebih besar dari
sektor perbankan. Hal ini
dikarenakan harga-harga bahan
mentah bersifat fluktuatif di pasar
internasional, sehingga akan
meningkatkan risiko gagal bayar
ketika bank-bank memberikan
kredit kepada sektor UMKM
tersebut. Dengan demikian,
sektor swasta khususnya UMKM
perlu beralih dari sektor pertanian
menuju sektor yang lebih
memiliki value-added seperti
sektor manufaktur agar kendala
pembiayaan dari sektor
perbankan berkurang.
1.3. Dalam hal ini pemerintah juga
perlu memberikan credit
guarantee kepada bank-bank
yang memberikan kredit kepada
sektor-sektor UMKM potensial
yang dapat membuat produk-
produk dengan value-added yang
lebih tinggi selain di sektor non-
pertanian. Dengan demikian,
bank-bank tidak takut akan risiko
gagal bayar ketika berinvestasi
dalam mendanai UMKM. Peran
Bank Pembangunan Daerah
(BPD) dapat diperluas sebagai
penjamin kredit di tingkat lokal.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 148
2. Dalam rangka mengoptimalkan
pengaruh terbesar dari sektor perbankan
(bank led) atau sektor teknologi
(technological led) yang dapat
mendorong operasional branchless
banking;hal-hal yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
2.1. Melakukan edukasi dan capacity
building bagi sektor UMKM agar
mempunyai kemampuan
teknologi informasi, setidaknya
dalam melakukan transaksi
perbankan, dan mengoperasikan
komputer dalam kegiatan sehari-
hari mereka. Edukasi ini dapat
dilakukan oleh pemerintah-
pemerintah lokal beserta
lembaga-lembaga swadaya
masyarakat yang berkonsetrasi
untuk pengembangan UMKM.
2.2. Regulasi-regulasi terkait aktivitas
branchless banking kepada sektor
UMKM justru sedapat mungkin
diminimalkan karena terlalu
banyak regulasi akan menambah
kompleksitas yang akan sulit
dipahami oleh sektor UMKM.
2.3. Mendorong bank-bank lokal dan
kecil, seperti Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) atau Bank
Pembangunan Daerah (BPD)
untuk melakukan pendampingan
kepada UMKM. Sektor UMKM
yang skala aktivitas ekonominya
relatif kecil akan lebih cocok
ketika didampingi oleh bank-
bank kecil juga, dan bukan bank-
bank besar apalagi bank-bank
asing. Dalam konteks ini, perlu
dukungan dari pemerintah
sebagai credit guarantee,
termasuk di dalamnya regulasi
yang baik, agar memperluas
ruang gerak bank-bank kecil di
sektor UMKM. Hal ini secara
tidak langsung membatasi ruang
gerak atau pasar bank-bank besar
dan asing yang akan masuk ke
sektor UMKM. Dengan
demikian, kompetisi yang tidak
adil antara bank-bank kecil dan
besar dapat dihindari, sehingga
bank-bank kecil dapat mengatur
biaya operasional mereka secara
efisien ketika tidak berkompetisi
dengan bank-bank besar. Pada
akhirnya, efisiensi biaya dari
bank-bank kecil ini akan dapat
dimanfaatkan untuk
mengembangkan branchless
banking dan teknologinya yang
kemudian berdampak pada
turunnya biaya kredit
(intermediation cost) bagi sektor
UMKM, dan inklusi finansial
dapat diperkuat.
Dari beberapa langkah diatas, dapat
disimpulkan bahwa demi tercapainya
kesuksesan financial inclusion, sektor
perbankan memiliki peran yang lebih dominan
(bank led). Ketikan bank led
diimplementasikan, pemerintah secara tidak
langsung akan mengikutsertakan sektor
teknologi untuk mendukung branchless
banking. Hal ini tidak berlaku sebaliknya,
ketika technological led diutamakan, sektor
perbankan belum tentu dapat berkembang dan
diikutsertakan dalam program inklusi finansial
karena adanya ketidaksiapan menghadapi
perubahan teknologi.
PUSTAKA
Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia. (2013).
Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah
(UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun
2010 – 2011. Diunduh 17 April 2013 dari
http://www.depkop.go.id/
Mourougane, A. (2012). Promoting SME
development in Indonesia. OECD
Economics Department Working Papers,
No. 995, OECD Publishing. Diunduh pada
16 April 2013 dari
http://dx.doi.org/10.1787/5k918xk464f7-
en
Rand, J., & Torm, N. (n.d). The benefits of
formalization: evidence from vietnamese
smes. Diunduh 16 April 2013 dari
mit.econ.au.dk/dgpe/dgpe-workshop-
2010/torm.pdf
World Bank. (2013). Tax revenue (% of GDP).
Diunduh 18 April 2013 dari
http://data.worldbank.org/indicator/GC.TA
X.TOTL.GD.ZS
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 149
Analisa Faktor Psikologis Perilaku Konsumen Yang Berpengaruh Terhadap
Keputusan Pembelian Produk-Produk Momilen (Studi Kasus Pada Pasien Bidan
Praktek Swasta (BPS)
Muhammad rizal Nur irawan
*)Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan
ABSTRAKSI
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah fakor psikologis, diantaranya:
motivasi, persepsi dan pembelajaran. Pokok permasalahannya adalah apakah fakor psikologis perilaku konsumen
(motivasi, persepsi, pembelajaran) berpengaruh secara simultan maupun secara parsial terhadap keputusan
pembelian?Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor psikologis
yang terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran terhadap keputusan pembelian produk-produk Momilen.Data
diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner kepada responden yang merupakan pasien ibu hamil BPS Widya Desa
Geger.Analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor psikologis terhadap keputusan pembelian
adalah dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Dari hasil analisa data diperoleh hasil Y = 2,038
+ 0,383X1 + 0,709X2 + 0,681X3. Dari pengujian model regresi dengan uji F diketahui nilai Fhitung (221,602) >
Ftabel (2,807). Ini berarti keseluruhan variabel bebas memberikan pengaruh simultan yang signifikan terhadap
keputusan pembelian.Dari pengujian model regresi dengan uji t diketahui bahwa semua variabel bebas, secara
parsial memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat (keputusan pembelian).Dari pengujian
model regresi dan uji t juga diketahui bahwa pada variabel Motivasi (X1) thitung> dari ttabel (2,154 > 2,013),
persepsi (X2) thitung> dari ttabel (2,783 > 2,013), pembelajaran (X3) thitung> dari ttabel (2,374 > 2,013).Variabel yang
mempunyai pengaruh paling dominan terhadap keputusan pembelian adalah variabel persepsi, karena
mempunyai koefisien regresi yang paling besar dan mempunyai nilai signifikasi yang lebih kecil daripada
variabel bebas lainnya.
Kata Kunci : Motivasi, Persepsi, Pembelajaran, dan Keputusan Pembelian
LATAR BELAKANG
Perubahan terjadi setiap detik selama
kehidupan berjalan, setiap orang mengalami
perubahan dalam segala hal setiap saat. Perubahan
tersebut meliputi perubahan psikologis, budaya,
teknologi, lingkungan sosial, dan lingkungan makro
lain yang tentu memiliki implikasi terhadap
perubahan gaya hidup masyarakat. Perubahan
tersebut telah mengubah berbagai aspek kehidupan
termasuk perilaku konsumen.
Studi tentang perubahan perilaku konsumen
akan menjadi dasar yang amat penting dalam
manajemen pemasaran. Hasil dari kajiannya akan
membantu para pelaku pasar untuk: merancang
bauran pemasaran, menetapkan segmentasi pasar,
merumuskan positioning dan pembedaan produk,
memformulasikan analisis lingkungan bisnisnya,
dan mengembangkan riset pemasarannya.
Menganalisis perilaku konsumen akan lebih
mendalam dan berhasil apabila kita dapat
memahami aspek-aspek psikologis manusia secara
keseluruhan. Schiffman dan Kanuk (2007)
mengatakan bahwa psikologi konsumen berisi
konsep dasar psikologi yang menentukan perilaku
individu dan mempengaruhi perilaku konsumsi.
Kemampuan dalam menganalisis perilaku
konsumen berarti keberhasilan dalam menyelami
jiwa konsumen dalam memenuhi kebutuhannya.
Perusahaan dalam menjalankan usahanya
harus selalu memantau perubahan perilaku
konsumen sehingga dapat mengantisipasi
perubahan perilaku konsumen tersebut untuk
memperbaiki strategi pemasarannya. Perusahaan
yang berorientasi pada konsumen akan selalu
beradaptasi dan bereaksi terhadap kebutuhan dan
keinginan konsumen yang selalu berubah, dengan
cara menerapkan perencanaan strategi pemasaran.
Demikian halnya juga dengan perusahaan farmasi,
pemenuhan kebutuhan dan keinginan akan produk
obat-obatan perlu direncanakan dengan strategis
agar produk dan perusahaannya selalu menjadi
yang terdepan.
PT.First Medipharma dengan produknya
“Momilen” sebagai produk farmasi yang menjadi
teman setia ibu hamil dan bayi, juga perlu
mengetahui sejauhmana faktor-faktor psikologis
perilaku konsumen berpengaruh terhadap
keputusan pembelian produknya. Hal tersebut
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 150
berguna dalam penentuan inovasi dan modifikasi
yang diperlukan baik dalam penyusunan strategi
pemasaran, maupun pengembangan produk sesuai
dengan kebutuhan konsumen..
METODE
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Pengertian penelitian
deskriptif kualitatif yaitu prosedur penelitian
berdasarkan data deskriptif, yaitu berupa lisan atau
kata tertulis dari seseorang subjek yang diamati dan
telah memiliki karakteristik bahwa data yang
diberikan merupakan data asli yang tidak diubah
serta menggunakan cara yang sistematis dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
(http://www.bimbingan.org/pengertian-penelitian-
deskriptif-kualitatif.html)
Operasional masing-masing variabel yang
akan diamati dalam penelitian ini yaitu variabel
bebas adalah Faktor Psikologis (X) yang dijabarkan
dalam beberapa variabel antara lain: Motivasi (X1),
Persepsi (X2), dan Pembelajaran (X3). Variabel
terikat yaitu Keputusan Pembelian (Y). Untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap
variabel terikat digunakan alat analisa antara lain:
uji validitas, uji reliabilitas, regresi linear
berganda,korelasi berganda,uji F, uji t, determinasi)
Berdasarkan hasil dari penyebaran kuesioner
penelitian yang dilakukan kepada 50 responden
telah didapatkan sikap dari jawaban responden,
berikut penyajian data sikap dan jawaban
responden sebagai berikut:
:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Distribusi Jawaban Responden tentang Variabel Motivasi
Indikator SS (5) S (4) CS (3) TS (2) STS (1) Total
Skor F % F % F % F % F %
Anda akan lebih memilih
produk-produk obat yang
berkualitas tanpa
mempertimbangkan terlalu
jauh berapa harganya
2 4% 15 30
% 22 44% 9 18% 2 4% 156
Jika anda merasa sudah
sehat, anda akan tetap
berusaha meningkatkan
kesehatan anda walaupun
harus mengeluarkan biaya
1 2% 30 60
% 11 22% 8 16% 0 0% 174
Total Skor 330
Sumber : Data diolah, 2014
Distribusi Jawaban Responden tentang Variabel Persepsi
Indikator SS (5) S (4) CS (3) TS (2) STS (1) Total
Skor F % F % F % F % F %
Menurut anda produk-
produk Momilen
mempunyai kinerja yang
lebih baik dari produk-
produk lain sejenis
2 4% 27 54% 16 32% 3 6% 2 45 174
Menurut anda produk-
produk Momilen
mempunyai harga yang
sebanding dengan
kualitasnya
8 16% 24 48% 15 30% 3 6% 0 0% 145
Total Skor 319
Sumber : Data diolah, 2014
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 151
Distribusi Jawaban Responden tentang Variabel Pembelajaran
Indikator SS (5) S (4) CS (3) TS (2) STS (1) Total
Skor F % F % F % F % F %
Berdasarkan pengalaman
pribadi anda, anda akan
tetap mengkonsumsi obat
yang telah terbukti manjur
meskipun ada tawaran
produk baru yang
kelihatannya lebih menarik
7 14% 28 56% 12 24% 3 6% 0 0% 156
Anda akan membeli produk
obat yang disarankan orang
lain atau yang menurut
orang lain produknya
berkualitas meskipun anda
belum pernah
menggunakannya.
3 6% 28 56% 17 34% 2 4% 0 0% 182
Total Skor 338
Sumber : Data diolah, 2014
Distribusi Jawaban Responden tentang Variabel Keputusan Pembelian
Indikator SS (5) S (4) CS (3) TS (2) STS (1) Total
Skor F % F % F % F % F %
Anda memiliki kebutuhan
akan kesehatan diri dan bayi 8 16% 30 60% 7 14% 5 10% 0 0% 191
Anda selalu bertanya
kepada bidan mengenai
obat/produk yang dapat
mengoptimalkan kesehatan
diri dan bayi
3 6% 35 70% 10 20% 2 4% 0 0% 189
Dari sekian banyak
obat/produk maternity &
baby care anda menyadari
bahwa Momilen paling
mampu memenuhi
kebutuhan kesehatan diri
dan bayi
0 4% 29 60% 19 32% 1 4% 1 0% 176
Setiap kali anda
membutuhkan obat/produk
maternity & baby care
maka anda menjatuhkan
pilihan pada Momilen
3 6% 30 60% 14 28% 2 4% 1 2% 182
Total Skor 738
Sumber : Data diolah, 2014
h a l | 152
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
Berdasarkan data di atas, dengan perhitungan
menggunakan Program SPSS 19 maka dapat
diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Regresi berganda Y = 2,038 + 0,383X1 +
0,709X2 + 0,681X3 a = 2,038, artinya konstanta yang
menyatakan bahwa jika variabel bebas
yaitu motivasi (X1), persepsi (X2),
danpembelajaran (X3) konstan, maka
keputusan pembelian sebesar 2,038.
b1 = 0,383, artinya koefisien regresi
X1(motivasi)diperoleh sebesar 0,383
dengan tanda positif. Hal ini berarti
apabila motivasi dinaikkan sebesar 1
satuan, maka keputusan pembelian akan
meningkatkan sebesar 0,383 dengan
asumsi variabel lain yang mempengaruhi
dianggap konstan (a, X2, dan X3 = 0).
b2= 0,709, artinya koefisien regresi
X2(persepsi) diperoleh sebesar
0,709dengan tanda positif. Hal ini berarti
apabila persepsi dinaikkan sebesar 1
satuan, maka keputusan pembelian akan
meningkatkan sebesar 0,709 dengan
asumsi variabel lain yang mempengaruhi
dianggap konstan (a, X1, dan X3 = 0).
b3= 0,681, artinya koefisien regresi
X3(pembelajaran) diperoleh sebesar
0,681dengan tanda positif. Hal ini berarti
apabila pembelajaran dinaikkan sebesar 1
satuan, maka keputusan pembelian akan
meningkatkan sebesar 0,681 dengan
asumsi variabel lain yang mempengaruhi
dianggap konstan (a, X1, dan X2 = 0).
Secara keseluruhan dari ketiga variabel
tersebut, berdasarkan hasil analisis diatas
dapat diketahui bahwa variabel yang
mempunyai pengaruh paling dominan
terhadap keputusan pembelian adalah
variabel persepsi dengan nilai Beta sebesar
0,414 yang lebih besar dari variabel
independent lainnya.
2. Dari uji ANOVA atau F test, diperoleh
Fhitung adalah 221.602dengan tingkat
signifikan 0,000 yang lebih kecil dari 0,05.
Sedangkan nilai Ftabel pada tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05) maka
diperoleh nilai Ftabel = 2,807 dengan
demikian Fhitung> Ftabel, yaitu 307,115 >
2,807. Oleh karena itu maka dapat
dikatakan, motivasi, persepsi, dan
pembelajaran secara bersama-sama
berpengaruh terhadap keputusan
pembelian terhadap produk-produk
Momilen.
3. Pada variabel motivasi hasil nilai thitung
sebesar 2,154 yang lebih besar dari
ttabeldengan α = 5% yaitu sebesar 2,013. Ini
berarti bahwa thitung> dari ttabel (2,154 >
2,013), sehingga dapat disimpulkan bahwa
motivasi mempunyai pengaruh yang
signifikan secara parsial terhadap
keputusan pembelian. Maka dari
pengujian hipotesis kedua yang
menyatakan motivasi berpengaruh
terhadap keputusan pembelian, hipotesis
tersebut diterima.
4. Pada variabel persepsi hasil nilai thitung
sebesar 2,738 yang lebih besar dari
ttabeldengan α = 5% yaitu sebesar 2,013. Ini
berarti bahwa thitung> dari ttabel(2,738 >
2,013), sehingga dapat disimpulkan bahwa
persepsi mempunyai pengaruh yang
signifikan secara parsial terhadap
keputusan pembelian. Maka dari
pengujian hipotesis kedua yang
menyatakan persepsi berpengaruh
terhadap keputusan pembelian, hipotesis
tersebut diterima.
5. Pada variabel pembelajaran hasil nilai
thitung sebesar 2,374 yang lebih besar dari
ttabel dengan nilai α = 5% yaitu sebesar
2,013. Ini berarti bahwa thitung>ttabel(2,374
> 2,013), sehingga dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran mempunyai pengaruh
yang signifikan secara parsial terhadap
keputusan pembelian. Maka dari
pengujian hipotesis kedua yang
menyatakan pembelajaran berpengaruh
terhadap keputusan pembelian, hipotesis
tersebut diterima.
6. R square diketahui sebesar 0,935. Hal ini
berarti sekitar 93,5 % keputusan
pembelian dapat dijelaskan oleh motivasi,
persepsi, dan pembelajaran. Sedangkan
sisanya ( 100 % - 93,5 % = 6,5 % )
dijelaskan oleh sebab-sebab lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang
terdapat pada BAB V, maka dapat diambil
kesimpulan antara lain :
1. Motivasi (X1), persepsi (X2), dan
pembelajaran (X3) secara bersama-sama
(simultan) mempunyai pengaruh yang
positif signifikan terhadap keputusan
pembelian produk-produk Momilen. Hal
ini berarti hipotesis pertama terbukti,
yang dilihat dari hasil uji F, dimana
Fhitung> Ftabel, yaitu 221,602 > 2,807.
2. Secara parsial, Motivasi (X1), persepsi
(X2), dan pembelajaran (X3) mempunyai
pengaruh yang positif signifikan terhadap
keputusan pembelian produk-produk
Momilen. Hal ini berarti hipotesis kedua
terbukti, yang dilihat dari hasil uji t,
dimana pada variabel Motivasi (X1)
thitung> dari ttabel (2,154>2,013), persepsi
(X2) thitung> dari ttabel (2,783>2,013),
h a l | 153
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
pembelajaran (X3) thitung> dari ttabel
(2,374>2,013).
3. Diantara ketiga variabel indepedent yang
memiliki pengaruh paling dominan
terhadap keputusan pembelian produk-
produk Momilen adalah variabel persepsi
(X2) karena mempunyai koefisien regresi
dan nilai thitung yang paling besar yaitu
0,709 dan 2,783, hal ini membuktikan
bahwa hipotesis yang menyatakan
persepsi memiliki pengaruh paling
dominan terbukti.
A. Saran – Saran
Saran yang penulis kemukakan
sebagai rekomendasi penunjang hasil
penelitian, yang sekiranya berguna bagi
perusahaan antara lain sebagai berikut :
1. Bagi perusahaan atau produsen produk-
produk Momilen harus selalu
memperhatikan perilaku konsumen yang
setiap saat selalu berubah-ubah sesuai
dengan perkembangan zaman.
2. Dalam penelitian ini faktor psikologi
(motivasi, persepsi, dan pembelajaran)
mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam mempengaruhi keputusan
pembelian yaitu sebesar 93,5%, oleh
karena itu perusahaan harus selalu
memperhatikan dan memaksimalkan
keputusan konsumen yang dipengaruhi
oleh faktor psikologis tersebut.
3. Perusahaan harus selalu melakukan
market research terhadap produk
pesaing yang beredar di pasar dan
harga yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Nugroho.J, 2013. Perilaku
KonsumenPasar, Cetakan Ke-5, Penerbit,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta:
2013.
Philip Kotler, 2002. Manajemen Pemasaran,
Edisi Millenium, Jilid 1, Alih
Bahasa,Hendra Teguh, Rony A. Rushi dan
Benjamin Molan, Jakarta: Prenhalindo.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Bisnis,
cetakan ke-17, penerbit, Alfabeta
Bandung: 2013.
Tatik Suryani, 2013. Perilaku Konsumen di Era
Internet,Implikasi Pada Strategi
Pemasaran, cetakan pertama, Penerbit,
Graha Ilmu, Yogyakarta: 2013
Basu Swastha DEI, 2009. Manajemen Berani
Dalam Pemasaran, Edisi ke Dua, cetakan
pertama, penerbit, 13PFE, Yogyakarta :
2009.
Joseph 1‟. Guiltinan dan Gordon W. Paul,
1990.Manajemen Pemasaran, Edisi ke Dua,
Alih Bahasa Jr. Agus Maulana, Cetakan
kedua, penerbit, Airlangga.
Suharsimin Arikunto, 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta :
Rineka Cipta.
h a l | 154
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
SISTEM PENGENDALIAN INTERN KREDIT DAN DAMPAK PELUNASAN
KREDIT PARA NASABAH PADA PT. BPR DAMATA ARTA NUGRAHA
BRONDONG LAMONGAN
Abdul Ghofur
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan
ABSTRAKSI
Bank BPR merupakan lembaga keuangan atau perbankkan dimana salah satu kegiatan usahanya adalah
memberikan kredit kepada nasabah- nasabah. Permasalahan yang biasanya dihadapi oleh bank adalah ketidak
sanggupan debitur dalam melunasi kreditnya pada jatuh tempo yang sudah ditentukan. Untuk meminimalkan
terjadinya hal tersebut maka dalam pemberian putusan kredit atas permohonan kredit. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui bagaimana sistem pengendalian intern yang digunakan diperusahaan serta
mengetahu dampak sistem pengendalian intern kredit terhadap pelunasan kredit nasabah. Sehubungan dengan
masalah tersebut penelitian ini menggunakan methode deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan demgam
cara dua tahap yaitu : sitem pengendalian intern yang digunakan di Bank Damata arta Nugraha Brondong
Lamongan dan dampak pngendalian intern terhadap pelunasan kredit. Dari hasil penelitian ini adalah: Sistem
pengendalian intern yang digunakan diBank Damata arta Nugraha Brondong Lamongan meliputi :Lingkungan
pengendalian, Penaksiran resiko, Aktivitas pengendalian, Informasi dan komunikasi, Pemantaun. Dan dampak
sistem pengedalian intern terhadap pelunasan kredit adalah untuk meminimalkan jumlah kredit yang
bermasalah.
PENDAHULUAN
Bank merupakan lembaga masyarakat
yang menghimpun dana dan menggunakannya
semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa
uangnya akan diperoleh kembali pada waktunya
dan disertai imbalan berupa bunga. Perbankan
Indonesia merupakan sector yang mengalami
dampak langsung krisis moneter berkepanjangan
yang menyebabkan perekonomian Indonesia pada
tahun 1998 terpuruk sampai kondisi terendah,
sehingga mempengaruhi keadaan makro ekonomi
nasional. Puspani (2004 : 1) menyatakan bahwa
“kondisi perbankan saat iini sudah lebih baik
dibandingkan sebelum dilaksanakannya
rekapitalisasi kredit yang mulai berjalan, baik yang
ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) maupun masing-masing bank”.
Bank sebagai salah satu badan usaha
keuangan merupakan lembaga perantara antara
pihak yang kelebihan dana (deposan) dan pihak
yang kekurangan dana. Pihak yang kelebihan dana
menanamkan uangnya pada bank dalam bentuk
deposito, tabungan, dan produk-produk simpanan
bank lainnya, sedangkan pihak yang kekurangan
dana memperoleh bantuan keuangan dari bank
dalam bentuk pinjaman. Adanya rentang waktu
pengembalian pinjaman menimbulkan resiko yang
sangat besar yang mungkin ditanggung bank
terhadap ketidakpastian pengembalian pinjaman
dari debitur. Timbulnya kredit bermasalah
selanjutnya dapat mengakibatkan kesulitan dari
bank tersebut untuk memenuhi kewajibannya
kepada para deposan.
Bank dengan aktivitas penyaluran kredit,
bank menghadapi resiko yang cukup besar yaitu
tidak sanggupnya debitur membayar pinjaman
pokok dan bunganya pada saat jatuh tempo. Inilah
yang dinamakan tunggakan kredit atau kredit
macet.
Kredit macet menjadi bagian dari kinerja
bank tetapi jika jumlahnya sangat besar akan
mengganggu kinerja dan kesehatan bank yang
bersangkutan. Kredit bermasalah di sebuah bank
dapat berupa kredit kurang lancar, kredit diragukan
dan kredit macet. Diantara beberapa faktor yang
dapat menjadi pemicu timbulnya kredit macet
adalah kurang ketatnya pengamanan pada saat
pencairan atau penyaluran kredit, misalnya kredit
tanpa agunan (jaminan) yang pasti atau kredit
digunakan dengan agunan yang nilainya lebih kecil
dari nilai kredit. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, bank perlu mempertimbangkan beberapa
factor dalam mengavulasi pemberian kredit pada
debitur, mengenai prinsip-prinsip perkreditan yang
di kenal dengan 7P, antara lain Personality, Party ,
Purpose, Prospect, Payment, Profitability,
Protection.
Pemberian kredit merupakan resiko bank
yang paling besar, struktur pengendalian intern
dalam perkreditan dimulai sejak adanya
permohonan kredit hingga pelunasan dan
penyelesaian kredit. Pengalokasian dana ke dalam
bentuk kredit bukan merupakan hal yang mudah,
karena kredit itu sendiri pada dasarnya adalah
pengelolaan resiko yang tidak luput dari
kemungkinan timbulnya resiko kredit bermasalah
merupakan konsekuensi yang akan diterima. Oleh
Karena itu salah satu cara untuk meminimaliskan
resiko tersebut adalah melakukan pengendalian
kredit dengan baik sesuai struktur pengendalian
intern.
Menurut Mulyadi (2002) bahwa
pengendalian intern suatu perusahaan atau
organisasi atas kebijakan dan prosedur yang
h a l | 155
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
diciptakan untuk memberikan jaminan yang
memadai agar tujuan perusahaan atau organisasi
dapat dicapai. Dimana sistem dan prosedur
kebijakan suatu Bank perkreditan pada
pengendalian terhadap pemberian kredit untuk
mencegah timbulnya kredit macet.
Kredit yang telah diberikan oleh suatu
lembaga kredit didasarkan atas kepercayaan,
sehingga dengan demikian pemberian kredit
merupakan pemberian kepercayaan. Ini berarti
suatau lembaga kredit akan memberikan kredit
kalau mereka betul-betul yakin bahwa si penerima
kredit akan mengembalikan pinjaman yang
diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan
syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua pihak,
tanpa keyakinan tersebut suatu lembaga kredit akan
meneruskan simpanan masyarakat yang
diterimanya.
Pemberian kredit mempunyai tujuan
tertentu. Tujuan pemberian kredit tersebut tidak
akan terlepas dari misi bank. Adapun tujuan utama
pemberian kredit yaitu :mencari
keuntungan,membantu usaha nasabah,membantu
pemerintah, Oleh karena itu, dalam proses
pemberian kredit, bank harus memperhatikan
prinsip-prinsip pemberian kredit yang benar.
Artinya sebelum suatu fasilitas kredit diberikan
maka bank harus merasa yakin terlebih dahulu
bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan
kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil
penilaian kredit sebelum kredit tersebut
disalurkan.Penilaian kredit oleh bank dapat
dilakukan dengan berbagai prinsip untuk
mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yang bersifat
deskriptif kualitatif. dengan metode penelitian
kualitatif sebagai pendekatan penelitian, maka
penelitian menghadapi objek penelitian yang
bersifat alamiah, dimana sebagai instrument
mempunyai peran yang sangat penting. Penelitian
dihadapkan pada kenyataan - kenyataan yang
terjadi pada objek, dimana penelitian diharapkan
tidak melakukan intervensi dalam objek tersebut.
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel
penelitian ini adalah biro pemasaran dimana
mempunyai tugas memasarkan dan menyalurkan
dana dalam bentuk kredit pada periode Desember
2012–Desember 2013, mencari pasar sebagai
sumber pemodalan dana dan penghimpun dana dari
masyarakat atau lembaga lain yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang -
undangan. Dimana penelitian ini merupakan studi
tentang evaluasi pelaksanaan prosedur sistem
penegendalian intern penyaluran kredit pada Bank
dan juga pengendalian intern kredit guna
mendukung pelunasan kredit para nasabah sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati.
Untuk mendapatkan data yang sesuai
dengan masalah yang akan dianalisis, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai
berikut :Melakukan evalusi terhadap sistem
pengendalian intern yang digunakn di Bank
Damata Arta Nugraha Brondong Lamongan,
dengan memperhatikan aspek – aspek pengendalian
intern, Mengidentifikasi sistem pengendalian intern
kredi tpada Bank BPR Damata Arta Nugraha
Brondong Lamongan. Mengidentifikasi prosedur
permohonan kredit yang berdasarkan analisis
kelayakan kredit yang menggunakan criteria 7P. Dari hasil penelitian ini menyatakan
bahwa Sistem Pengendalian Intern Sebuah sistem
merupakan suatu cara tertentu dan biasanya
berulang untuk melaksanakan suatu atau
serangkaian aktivitas, para manajer pada umumnya
menghadapi situasi dimana aturan tidak
terdefinikasikan secara baik sehingga harus
menggunakan penilaian terbaik mereka dalam
memutuskan tindakan apa yang akan diambil.
Keefektifan tindakan mereka ditentukan oleh
kepiawaian dalam berhadapan dengan orang-orang
terutama para nasabah. Aspek – aspek sistem
pengendalian intern terdiri dari : lingkungan
pengendalian,penaksiran resiko,aktivitas
pengendalian, informasi dan komunikasi,
pemantauan.
Dalam upaya untuk meningkatkan
pemantauan secara dini terhadap kredit-kredit yang
akan atau diduga merugikan bank, maka bank
wajib melakukan pengawasan secara khusus. Yaitu
dengan cara memperhatikan prosedur permohonan
kredit, menguji kelayakan kredit dengan
menggunakan 7P & analisis keuangan,
mengelompokkan jenis kredit, serta memberikan
keputusan kredit pada kreditur yang layak menjadi
nasabah. penaksiran resiko, aktivitas pengendalian,
informasi dan komunikasi dan penerapannya pada
entitas kecil dan menengah (pemantauan).
PEMBAHASAN
Didalam penelitian ini analisis dan
pembahasan mengenai audit kepatuhan dibatasi
pada efektifitas struktur pengendalian intern
perusahaan atas kepatuhan terhadap persyaratan
tertentu yaitu berkaitan dengan pemberian kredit.
Oleh karena itu analisis yang disampaikan adalah
terdiri dari lima aspek dalam pengendalian intern
yang meliputi lingkungan pengendalian terdiri dari
tindakan, kebijakan dan prosedur yang
mencerminkan sikap menyeluruh manajemen
puncak, menengah dan dibawah dalam hal ini
perusahaan telah berusaha untuk menciptakan
lingkungan pengendalian kondusif sehingga
manajemen dan karyawan memiliki kesamaan
sikap dan presepsi terhadap setiap program dan
prosedur yang diterapkan. Berkaitan dengan
manajemen resiko kredit maka dalam hal ini untuk
mengenali beberapa kelemahan yang ada dimana
h a l | 156
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
selanjutnya telah dilakukan upaya-upaya perbaikan.
Ada beberapa hal dimana penyebab masalah
tersebut:sisi debitur dan sisi intern bank.
Dalam aktifitas pengendalian adalah
kebijakan dalam prosedur yang dibuat manajemen
untuk mematuhi tujuannya. Banyak sekali
kebijakan dan prosedur dalam suatu satuan usaha.
Secara umum prosedur pengendalian dapat
dikelompokkan kedalam lima kategori yaitu;
pemisahan tugas yang cukup, otoritas yang pantas
atas transaksi dan aktivitas bank, dokumen dan
catatan yang memadai, pengendalian fisik atas
aktiva dan catatan, pengendalian independent atas
pelaksanaan
Didalam satuan usaha komunikasi dan
informasi digunakan untuk mengidentifikasi,
menggabungkan, mengklarifikasi, menganalisa,
mencatat dan melaporkan transaksi satu satuan
usaha dan untuk mengelola akuntabilitas atas
transaksi terkait. Keadaan ini sudah sesuai dengan
teori yang ada, untuk itu pihak bank harus
melakukan bank to bank information dengan
maksud agar pihak bank dapat mengetahui
informasi mengenai calon debitur sehingga dapat
menghindari kemungkinan yang akan merugikan
pihak lain. Selain itu dengan adanya prosedur ini
dalam pengendalian ini dalam pengendalian
internal juga ditunjukkan dengan adanya
kesesuaian informasi yang terdapat dlam surat
perjanjian kredit dengan informasi yang tercantum
dalam dokumen pendukung hal ini sudah pasti
terjadi karena surat perjanjian kredit dilakukan
dihadapan notaris dan dibuat berdasarkan analisis
pelayakan kredit pada saat pengajuan kredit.
Didalam operasional perusahaan maka
memiliki pedoman dalam pelaksanaan perkreditan
yang memiliki peranan sebagai berikut :(a)
Merupakan penjabaran kebijakan umum
perkreditan yang disusun unuk mencapai sasaran.
(b)Merupakan pedoman operasional kredit yang
berisi tentang sistem dan prosedur kegiatan
perkreditan.(c)Untuk menjadi acuhan dalam
membuat surat edaran (SE) atau surat keputusan
(SK) direksi, yang merupakan petunjuk
pelaksanaan perkreditan. (d)Sebagai acuhan yang
harus dipahami dalam melaksanakan manajemen
resiko kredit.
Untuk pemantaun yang berkaitan dengan
penilaian evektifitas rancangan dan operasi sruktur
pengendalian internal secara periodik dan terus
menerus oleh manajemen untuk melihat apakah
telah dilaksanakan dengan semestinya dan telah
diperbaiki sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini
pemantauan data tidak hanya dilaksanakan pada
saat permohonan kredit tetapi harus dilakukan
sampai pada pelaksanaannya. Kemudian kemudian
melakukan identifikasi potensi ekonomi disemua
unit kerja dan juga melakukan pembinaan kredit
dari pencairan kredit sampai dengan pelunasan
kredit, dalam artian bahwa inspeksi ketempat usaha
debitur harus dilakukan secara rutin untuk
meyakinkan pihak manajemen bahwa kredit yang
diberikan telah digukan dengan sebenarnya. Selain
itu peninjau lapangan juga berfungsi untuk
memberikan gambaran mengenai perkembangan
usaha debitur setelah menerima kredit dari pihak
bank. Untuk itu pihak bank harus benar-benar
melakukan seleksi terhadap calon debitur sebelum
melakukan persetujuan kredit. Dan jika ada debitir
yang mengalami kesulitandalam melunasi
kreditnya atau usahanya tidak mempnyai prospek
lagi atau mempunyai itikad tidak baik, maka pihak
bank harus mengambil tindakan penyelesaian
kredit bermasalah.
Untuk itu pihak bank harus benar-benar melakukan
seleksi terhadap calon debitur sebelum melakukan
persetujuan kredit. Dan jika ada debitir yang
mengalami kesulitandalam melunasi kreditnya atau
usahanya tidak mempnyai prospek lagi atau
mempunyai itikad tidak baik, maka pihak bank
harus mengambil tindakan penyelesaian kredit
bermasalah.(1) Penyelesaian kredit bermasalah
secara damai, (2)penyelesaian melalui jalur hukum.
(3)kewenangan memutus.
KESIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peranan sistem pengendalian intern pada PT. BPR
Damata Arta Nugraha Brondong Lamongan dan
dampak terhadap pelunasan kredit pada nasabah.
Maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Sistem
pengendalian intern atas penyaluran kredit yang
telah diterapkan oleh PT. BPR Damata Arta
Nugraha Brondong Lamongan adalah sentralisasi.
Untuk mewujudkan lingkungan pengendalian ynag
efektif maka bank telah menyusun struktur
organisasi yang telah membatasi garis tanggung
jawab dan wewenang yang ada dan juga pada
aktivitas pengendalian dan pemantauan telah
dijalankan dengan dibuatnya prosedur penyaluran
kredit, meskipun masih terdapat kekurangan pada
prosedur penyaluran kredit. Dan Mengenai sistem
pengendalian atas penyaluran kredit yang
tercantum didalam prosedur penyaluran kredit.
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sistem
pengendalian intern yang baik maka sangat
berdampak untuk pelunasan kredit.
SARAN
Adapun saran – saran yang dianggap penulis perlu
disampaikan dengan tujuan sebagai
penyempurnaan penerapan sistem pengendalian
intern atas penyaluran kredit yang efektif adalah
sebagai berikut :
(1)Sebaiknya Bank BPR Damata Arta Nugraha
Brondong Lamongan tetap mempertahankan sistem
pengendalian intern yang digunakan agar kualitas
Bank tetap bertahan. karena hal ini sangat
h a l | 157
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan bank
terhadap kemajuan usaha debitur untuk
menghindari adanya kredit yang bermasalah.
(2)Untuk lebih meningkatkan efektifitas kebijakan
perkreditan dan meningkatkan kualitas dalam
proses pencairan kredit, hendaknya PT. BPR
Damata arta Nugraha Brondong perlu melakukan
pengendalian resiko secara efektif dan efisien
untuk menghindari penyimpangan atau kejadian
yang tidak diharapkan dengan cara lebih
meningkatkan sistem dan prosedur pemberian
kredit dengan menerapkan sistem pengendalian
intern yang mencakup lima hal yaitu lingkungan
pengendalian, penaksiran resiko, aktivitas
pengendalian, komunikasi dan informasi serta
pemantauan dengan tepat agar dapat dilakukan
pencegahan timbulnya kredit macet.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi, 2002, Auditing,Edisi Kelima, Salemba
Empat Jakarta.
Suharsimi Arikunto,2010,Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik, Rhineka Cipta,
Jakarta.
Puspani, 2004. Penerapan Prosedur dan Kebijakan
Pemberian Kredit Bank Rakyat Indonesia.
Skripsi Sarjana tak diterbitan. Universitas
Airlangga Surabaya.
Al Haryono Jusup, 2011, Dasar-dasar
Akuntansi,Edisi Ketujuh, Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta
Kasmir, 2012, Bank dan Lembaga keuangan
Lainnya, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Anthony, Robert N dan Govindarojan Vijay, 2002,
System Pengendalian Manajemen,
Salemba Empat Jakarta, Edisi Pertama.
Thomas Suyatno, 2009, Dasar-dasar perkreditan,
Gramedia Pustaka Cipta, Jakarta.
h a l | 158
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
Analisa Keberadaan Departemen Store Ramayana Dan Lamongan Plaza
Terhadap Minat Belanja Masyarakat Lamongan
Titin *)
*)Dosen Fakultas ekonomi prodi ekonomi manajemen universitas islam lamongan
ABSTRAKSI
Semakin ketatnya persaingan bisnis dimasa sekarang baik perusahaan jasa maupun perusahaan social, setiap
perusahaan dituntut untuk memiliki kelebihan yang dapat memikat hati pelangganya salah satunya dengan
memberikan pelayanan prima. Menurut Tjiptono (2006), salah satu cara untuk merebut hati konsumen adalah
dengan meningkatkan pelayanan kepada konsumen dengan sebaik-baiknya. Hal ini tidak terkecuali pada
PT.RAMAYANA TBK.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh keberadaan
departemen store Ramayana dan lamongan plaza terhadap minat belanja masyrakat lamongan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian eksplanatori (ekplanatory research), dengan pegambilan sampel
menggunakan teknik Accidental sampling (berdasarkan kebetulan), jumlah sampel pada penelitian ini adalah
sebanyak 100 responden. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data skunder dengan teknik
observasi, wawancara, dan angket.Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung lokasi (0.813), Produk (2.456), harga
(5.033), promosi (0.871), suasana toko (3.604) dan pelayanan ritel (1.275). Variabel bebas produk, harga dan
suasana toko yang mempunyai nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel (1,68) yang berarti bahwa
variabel bebas produk, harga dan suasana toko mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap minat belanja.
PENDAHULUAN
Dalam era yang serba modern seperti saat ini,
tingkat persaingan bisnis yang tinggi membuat
perusahaan berlomba-lomba untuk
mempertahankan,memenangkanpersaingan pasar
serta memperluas keeksistensiannya.
Industrisejenisakanselaluberusaha memperebutkan
pasar yang sama. Imbas dari persaingan itu
tentunya sangat jelas dimana konsumen kemudian
menjadi semakin kritis memilih yang terbaik bag
imereka. Maka dari itu pemasar perlu mengetahui
dan mempelajari,serta karakter yang dimiliki
konsumen Salah satu bidang usaha yang
berkembang pesat saatini adalah retail.Hal ini
ditandai dengan semakin banyaknya usaha retail
di Indonesia karena banyaknya permintaan
masyarakat dan gaya hidup masyarakat yang
semakin modern, yakni lebih menyenangi suasana
kenyamanan berbelanja, kemudahan dalam
menemukan produk, kepraktisan dengan harga
terjangkau. Departemen Store Ramayana dan
lamongan plaza merupakan suatu sarana berbelanja
retail yang menawarkan berbagai jenis produk
berbagai supplier untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan konsumen.Oleh karena itu, peran bauran
penjualan eceran menjadi semakin penting dan
persaingannya pun semakin ketat.
Pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang
penting dijalankanoleh suatu perusahaan dalam
usahanya untuk mengembangkan, mendapatkan
keuntungan dan mempertahankan kelangsungan
hidup perusahaan itu sendiri. Pada suatu
perusahaan, pemasaran adalah keseluruhan bisnis
yang dilihat dari hasil akhirnya, yaitu dari sudut
pelanggan. Keberhasilan perusahaan tidak hanya
ditentukan oleh produsen melainkan pula
ditentukan oleh pelanggan. Pemasaran juga
merupakan suatu fungsi bisnis perusahaan yang
bertujuan untuk mengidentifikasi atau menganalisis
kebutuhan dan keinginan konsumen, menetapkan
pasar sasaran utama yang dapat melayani
organisasi secara baik dan merancang produk atau
jasa, serta program yang paling tepat yang akan
digunakan untuk melayani pasar.
Pengertian pemasaran menurut Djaslim Saladin
(2007:1), adalah sebagai berikut : “Pemasaran
adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang
dirancang untuk merencanakan, menentukan harga,
promosi, dan mendistribusikan barang-barang yang
dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar
sasaran serta tujuan perusahaan”.
Definisi lain yang dikemukakan oleh Philip Kotler
dan Keller yang dialih bahasakan oleh Bob Sabran
(2009:6), mendefinisikan pemasaran adalah sebagai
berikut :
“Pemasaran adalah proses sosial dan manajerial
yang di dalamnya individu dan kelompok
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan
inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan
secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai
dengan pihak lain”.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pemasaran adalah suatu
proses atau kegiatan bisnis yang dirancang untuk
merencanakan, menentukan harga, promosi, serta
memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan
akan barang dan jasa, serta menciptakan nilai bagi
pelanggan dan membangun hubungan yang kuat
dengan pelanggan melalui proses pertukaran dan
mencapaipasar sasaran serta tujuan
perusahaan.Sedangkan menurut Hurlock dalam
Efnita (2005:17), minat adalahsuatu sumber
h a l | 159
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
motivasi yang dapat mendorong seseorang untuk
melakukan apayang diinginkannya.Pada dasarnya
minat merupakan bentuk penerimaan akan
suatuhubungan antara diri seseorang dengan
sesuatu di luar dirinya, semakin kuat Atau dekat
hubungan tersebut maka semakin besar minat.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa minat tidak dibawa dari lahir,melainkan
diperoleh kemudian sebagai akibat rangsangan
adanya suatu hal yang menarik.sedangkan minat
beli adalah ketertarikan seseorang atau individu
terhadap barang atau jasa dalam hal ini di
pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah:faktor mempengaruhi minat beli adalah
variabel (lokasi (x1),produk (x2),harga (x3),promosi
(x4), suasana toko (x5), pelayanan ritel (x6).dengan
pertanyaan apa ada pengaruh secara parsial
maupun simultan diantara 6 variabel tersebut
dengan minat belanja masyrakat lamonagan?
sedangkan variabel apa yang piling signifikan
dalam mempengaruhi minat belanja masyarakat
lamongan untuk menjawab pertanyaan di atas kita
menggunakan metode analisis data yaitu uji
realibilitas adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukan sejauh mana hasil pengukuran relatif
konsistensi apabila pengukuran pada gejala yang
sama diulangi dua kali atau lebih. Dengan kata lain
reabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh
mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau
diandalkan.Berikut ini adalah langkah-langkah
untuk melakukan uji reliabilitas dengan
menggunakan Alpha Crombach diproses dengan
SPSS.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan eksplanatori
dengan pendekatan kuantitatif. Adapun penelitian
eksplanatori menurut Sugiyono (2006:10) adalah
penelitian yang menjelaskan hubungan kausal
antara variabel-variabel yang mempengaruhi
hipotesis. Pada penelitian ini minimal terdapat dua
variabel yang dihubungkan dan penelitian ini
berfungsi menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol suatu gejala. Oleh karena itu dalam
penelitian ini nantinya akan dijelaskan mengenai
adanya hubungan interaktif atau timbal balik antara
variabel yang akan diteliti dan sejauh mana
hubungantersebut saling mempengaruhi.Alasan
utama pemilihan jenis penelitian eksplanatori ini
untuk menguji hipotesis yang diajukan agar dapat
menjelaskan pengaruh variabel bebas terhadap
variabel terikat baik secara parsial maupun
simultan yang ada dalam hipotesis
tersebut.Penelitianini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan metode yang digunakan adalah
metode penelitian survai. Menurut Sugiyono
(2006:7), penelitian survai adalah penelitian yang
dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi
data yang dipelajari adalah data dari sampel yang
diambil dari populasi tersebut.Metode penelitian
survai bertujuan untuk memperoleh data atau fakta-
fakta yang tidak dapat diamati, keterangan masa
lalu yang belum dicatat maupun dari sikap
responden.
Menurut Sugiyono (2012:61), “Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya”. Menurut Arikunto (2010:173)
“Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian”.
Berdasarkan pengertian populasi tersebut, populasi
yang akan menjadi pengamatan dalam penelitian
ini adalah minat belanja masyrakat lamongan.
Sampel Menurut Arikunto (2010:174)
“Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang
diteliti”. Pendapat lain menurut Sugiyono
(2012:62) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi”.minimal
jumlah sampel yang di gunakan 100 responden.
Menurut Sugiyono (2012:137), jenis dan
sumber data terbagi menjadi 2(dua) yaitu: Data
primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data,dan
sumber data sekunder merupakan sumber yang
tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data
Data sekunder adalah merupakan sumber yang
tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data.
Sumber data dalam penelitian adalah subjek
dari mana data tersebut diperoleh”. Sumber data
yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber
data sekunder yang diperoleh melalui berbagai
sumber, yaitu literatur, artikel, situs internet yang
berkenaan dengan objek penelitianMenurut
Arikunto (2010:172)
Penelitian Lapangan (Field Research)Field
research adalah teknik pengumpulan data dengan
cara mengadakan peninjauan langsung ke objek
penelitian, melalui:
Wawancara adalah bentuk komunikasi
secara lisan baik langsung maupun tidak
langsung untuk memperoleh data primer melalui
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan
pewawancara kepada responden.
Kuisioner adalah alat penelitian yang berupa
daftar pertanyaan mengenai masalah yang akan
diteliti untuk memperoleh data primer dari
sejumlah responden.
ObservasiYaitu teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara mengamati langsung
objek yang akan diteliti. Observasi ini dilakukan
untuk memperoleh gambaran nyata mengenai
store atmosphere yang dilakukan oleh perusahaan.
Library research adalah alat penelitian
untuk meneliti objek penelitian yang digunakan
sebagai data sekunder melalui teori-teori yang
sudah teruji kebenarannya, di mana data diperoleh
melalui dokumen-dokumen,buku-buku atau tulisan
h a l | 160
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
ilmiah yang ada kaitan dengan teman penelitian
penulis, dengan maksud untuk melengkapi data
primer yang ada di lapangan.uji validitas
Instrumen penelitian yang digunakan
harus diuji validitasnya. Valid artinya dapat
digunakan untuk mengukur apa yang harus
sebenarnya diukur (Sugiyono 2010: 172). Analisis
ini digunakan untuk mengetahui kuat atau
lemahnya hubungan variabel bebas dengan variabel
tidak bebas.Uji validitas merupakan sejauh mana
ketetapan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melaksanakan fungsi ukurnya.Hasil penelitian yang
valid bila terdapat kesamaan antara data yang
terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi
pada objek yang diteliti.
PEMBAHASAN
Dari hasil jawaban responden dengan
menggunakan berbagai teori di antaranya
Variabel Lokasi (X1)jawaban responden
atas pertanyaan yang berkaitan dengan lokasi untuk
soal nomor satu menunjukkan jawaban sangat
setuju 64 responden (64%), setuju 36 responden
(36%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang
setuju 0 responden (0%). dan dua menunjukkan
jawaban sangat setuju 63 responden (c%), setuju 37
responden (37%), cukup setuju 0 responden (0%)
dan kurang setuju 0 responden (0%).
Variabel Produk (X2)Dari table diatas dapat
kita ketahui bahwa jawaban responden atas
pertanyaan yang berkaitan dengan produk untuk
soal nomor satu menunjukkan jawaban sangat
setuju 64 responden (64%), setuju 36 responden
(36%), cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang
setuju 0 responden (0%). Sedangkan untuk soal
nomor dua menunjukkan jawaban sangat setuju 53
responden (53%), setuju 47 responden (47%),
cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0
responden (0%).
Variabel Harga (X3)
jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan
dengan harga untuk soal nomor satu menunjukkan
jawaban sangat setuju 58 responden (58%), setuju
42 responden (42%), cukup setuju 0 responden
(0%) dan kurang setuju 0 responden (0%).
Sedangkan untuk soal nomor dua menunjukkan
jawaban sangat setuju 59 responden (59%), setuju
41 responden (41%), cukup setuju 0 responden
(0%) dan kurang setuju 0 responden (0%).
Variabel Promosi (X4)
jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan
dengan promosi untuk soal nomor satu dan dua
menunjukkan jawaban sangat setuju 52 responden
(52%), setuju 48 responden (48%), cukup setuju 0
responden (0%) dan kurang setuju 0 responden
(0%).
Variabel Suasana Toko (X5)
jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan
dengan suasana toko untuk soal nomor satu
menunjukkan jawaban sangat setuju 66 responden
(66%), setuju 34 responden (34%), cukup setuju 0
responden (0%) dan kurang setuju 0 responden
(0%). Sedangkan untuk soal nomor dua
menunjukkan jawaban sangat setuju 59 responden
(59%), setuju 38 responden (38%), cukup setuju 3
responden (3%) dan kurang setuju 0 responden
(0%).
Pelayanan ritel (X6)
jawaban responden atas pertanyaan yang berkaitan
dengan pelayanan ritel untuk soal nomor satu
menunjukkan jawaban sangat setuju 56 responden
(56%), setuju 44 responden (44%), cukup setuju 0
responden (0%) dan kurang setuju 0 responden
(0%). Sedangkan untuk soal nomor dua
menunjukkan jawaban sangat setuju 51 responden
(51%), setuju 49 responden (49%), cukup setuju 0
responden (0%) dan kurang setuju 0 responden
(0%).
jawaban responden atas pertanyaan yang
berkaitan dengan minat belanja untuk soal nomor
satu menunjukkan jawaban sangat setuju 52
responden (52%), setuju 48 responden (48%),
cukup setuju 0 responden (0%) dan kurang setuju 0
responden (0%) dan dua menunjukkan jawaban
sangat setuju 51 responden (51%), setuju 49
responden (49%), cukup setuju 0 responden (0%)
dan kurang setuju 0 responden (0%).
Dalam menganalisa hasil penelitian
digunakan pengujian statistic dengan menggunakan
bantuan aplikasi SPSS versi 20 sehingga diperoleh
hasil sebagai berikut:
Uji validitas digunakan untuk mengukur
sah atau valid tidaknya suatu kuesioner.Uji
signifikansi dilakukan dengan membandingkan
nilai rhitung
dengan rtabel atau dengan melihat nilai
signifikasi tiap soal < 0,05. Adapun hasil
perhitungan melaui IBM SPSS versi 20 terlihat
pada tabel berikut ini :
hasil uji validitas dapat diketahui bahwa untuk
masing-masing soal pada tiap variabel bebas
(lokasi, produk, harga, promosi, suasana toko, dan
pelayanan ritel) dan variable terikatnya (minat
belanja) nilai Sig (2-tailed)< p=0.05, maka dapat
disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini valid.
Reliabilitas menunjuk pada suatu
pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat
dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul
data karena instrumen tersebut sudah
baik.Reliabilitas menunjuk tingkat keterandalan
sesuatu.Reliabel artinya dapat dipercaya, jadi dapat
diandalkan. Suatu konstruk atau variabel dikatakan
reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha
(𝛼) > 0,60. Adapun hasil uji reliabilitas yang
dilakukan terhadap instrumen penelitian ini dengan
menggunakan bantuan aplikasi program IBM SPSS
versi 20 dapat dijelaskan pada tabel berikut
ini.semua variabel bebas (lokasi, produk, harga,
promosi, suasana toko, dan pelayanan ritel) dan
h a l | 161
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
variable terikat (minat belanja) nilai alpha-nya
lebihbesar dari 0,6, sehingga dapat disimpulkan
variable yang dipakai dapat dikatakan realibel.
Analisa regresi linear berganda digunakan
untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-
masing variabel harga, pelayanan terhadapminat
belanja. Dalam regresi linear berganda dilakukan
uji F dan uji t.Dengan berdasarkan hasil
perhitungan regresi pada tabel di atas didapatkan
suatu persamaan regresi sebagai berikut:
Y= -1,120 + 0,059 X1 + 0,234 X2 + 0,451 X3 +
0,065 X4 + 0,242 X5 + 0,085 X6 + e
Persamaan regresi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a = -1,120merupakan intersep (constan)
yang berarti bahwa apabila variabel bebas dalam
penelitian (lokasi, produk, harga, promosi, suasana
toko, dan pelayanan ritel) pengaruhnya = 0, maka
hasil yang diperoleh dari minat belanjaadalah
sebesar -1,120.
b1= 0,059artinya untuk variabel lokasi
koefisien regresi (bi) menunjukan nilai 0,059yang
berarti apabila variabel lokasimengalami kenaikan
satu unit, maka akan dapat meningkatkan minat
belanja sebesar 0,059pada saat variabel bebas yang
lain sama dengan nol.
b2 =0,234artinya untuk variabel produk
koefisien regresi (b2) menunjukan nilai 0,234yang
berarti apabila variabel produk mengalami
kenaikan satu unit, maka akan dapat meningkatkan
minat belanja sebesar 0,234pada saat variabel
bebas yang lain sama dengan nol.
b3= 0,451artinya untuk variabel harga
koefisien regresi (bi) menunjukan nilai 0,451yang
berarti apabila variabel hargamengalami kenaikan satu
unit, maka akan dapat meningkatkan minat belanja
sebesar 0,451pada saat variabel bebas yang lain
sama dengan nol.
b4 =0,065artinya untuk variabel promosi
koefisien regresi (b2) menunjukan nilai 0,065yang
berarti apabila variabel promosi mengalami
kenaikan satu unit, maka akan dapat meningkatkan
minat belanja sebesar 0,065pada saat variabel
bebas yang lain sama dengan nol.
b5= 0,242artinya untuk variabel suasana
toko koefisien regresi (bi) menunjukan nilai
0,242yang berarti apabila variabel suasana
tokomengalami kenaikan satu unit, maka akan dapat
meningkatkan minat belanja sebesar 0,242pada saat
variabel bebas yang lain sama dengan nol.
b6 =0,085artinya untuk variabel pelayanan
ritel koefisien regresi (b2) menunjukan nilai
0,085yang berarti apabila variabel pelayanan ritel
mengalami kenaikan satu unit, maka akan dapat
meningkatkan minat belanja sebesar 0,085pada saat
variabel bebas yang lain sama dengan nol.
Dari hasil koefisien variabel-variabel
bebas diatas bernilai positif. Hal ini berarti
mempunyai arah perubahan yang searah dengan
variabel terikat.Disamping itu koefisien variabel
harga dengan koefisien regresi sebesar 0,484
mempunyai nilai terbesar dibandingkan dengan
koefisien regresi variabel bebas lainnya.Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor
yang pailng dominan mempengaruhi minat belanja
adalah faktor harga.
Untuk melihat seberapa jauh pengaruh parameter
yang dihasilkan maka dilakukan pengujian statistik.
Pengujian statistik dilakukan secarakeseluruhan
(uji F) dan secara parsial (uji t).
diperoleh koefisien determinasi (2
R )
yaitu sebesar 0,554.Dari nilai 2
R tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa variabel bebas lokasi,
produk,harga, promosi, suasana toko dan pelayanan
ritel secara bersama-sama telah mampu
menjelaskan atau menerangkan keragaman dari
variabel terikat yaitu minat belanja. Pengaruh
variabel bebasbebas lokasi, produk,harga, promosi,
suasana toko dan pelayanan ritel terhadap minat
belanja (Y) memberikan kontribusi sebesar
55,4%. Sedangkan sisanya sebesar 44,6%
dijelaskan oleh variabel bebas yang lain yang tidak
dimasukkanke dalam model persaial
Uji t pada dasarnya menunjukkan
apakah variabel bebas secara individu mempunyai
pengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
Adapun kriteria daerah penolakan dan penerimaan
hipotesis adalah:
H0 ditolak dan Ha diterima yaitu jika thitung > ttabel
artinya variabel bebas secara parsial mempengaruhi
variabel terikat.
H0 diterima dan Ha ditolak yaitu jika thitung < ttabel
artinya variabel bebas secara parsial tidak
mempengaruhi variabel terikat.
Dengan analisa sebagai berikut:
Variabel Lokasi (X1) tidak berpengaruh
Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (0.813) lebih
kecil dari nilai t tabel (1,68) sehingga
tabelhitungtt maka H0 diterima dan Ha ditolak,
yang berarti variabel bebas secara parsial
mempengaruhi variabel terikat yang artinya bahwa
tidak ada pengaruh yang signifikan variabel lokasi
ramaya departemen store dan plaza lamongan
terhadap minat belanja masyarakat.
Variabel Produk (X2) berpengaruh
Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (2.456) lebih
besar dari nilai t tabel (1,68) sehingga
tabelhitungtt maka H0 ditolak dan Ha diterima,
yang berarti variabel bebas secara parsial
mempengaruhi variabel terikat. yang artinya
bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel
produk terhadap minat belanja.
Variabel Harga (X3) paling dominan
Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (5.033) lebih
besar dari nilai t tabel (1,68) sehingga
tabelhitungtt maka H0 ditolak dan Ha diterima,
yang berarti variabel bebas secara parsial
mempengaruhi variabel terikat. yang artinya
h a l | 162
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel harga
terhadap minat belanja.
Variabel Promosi (X4) tidak berpengaruh
Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung (0.871) lebih
kecil dari nilai t tabel (1,68) sehingga
tabelhitungtt maka H0 diterima dan Ha ditolak,
yang berarti variabel bebas secara parsial tidak
mempengaruhi variabel terikat. yang artinya
bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan variabel
promosi terhadap minat belanja.
Variabel suasana toko (X5)
berpengaruhDari hasil uji t diperoleh nilai t hitung
(3.604) lebih besar dari nilai t tabel (1,68) sehingga
tabelhitungtt maka H0 ditolak dan Haditerima,
yang berarti variabel bebas secara parsial
mempengaruhi variabel terikat. yang artinya
bahwaada pengaruh yang signifikan variabel
suasana toko terhadap minat belanja
Variabel pelayanan ritel (X6) tidak
berpengaruhDari hasil uji t diperoleh nilai t hitung
(1.275) lebih kecil dari nilai t tabel (1,68) sehingga
tabelhitungtt maka H0 diterima dan Ha ditolak,
yang berarti variabel bebas secara parsial tidak
mempengaruhi variabel terikat. yang artinya
bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan variabel
pelayanan ritel terhadap minat belanja sehingga
dapat dilihat dibawah ini.
Ujisimultandigunakan untuk mengetahui
apakah variable bebas secara bersama-sama
berpengaruh nyata atau tiddak nyata terhadap
variable terikat. Jika H0 ditolak dan Ha diterima
yaitu Fhitung > Ftabel berarti variable bebas (X1,X2)
secara simultan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel terikat (Y). Jika H0
diterima dan Ha ditolak yaitu Fhitung < Ftabel berarti
variable bebas (X1,X2) secara simultan tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
variabel terikat (Y)diperoleh hitung
F sebesar
19.225sedangkan tabelF sebesar 2,39. Karena
hitungF > tabel
F maka oH ditolak dan Ha diterima
artinya bahwa variabel bebas (lokasi, produk,
harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel)
secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap minat belanja. Sehingga dapat
di lihat pada kurva di bawah ini;
Uji F untuk mengetahui apakah semua
variabel independen mampu menjelaskan variabel
dependennya, maka dilakukan uji hipotesis secara
bersama-sama (simultan )terhadapvariable
independen (ghozali,2005:84). Berdasarkan analisa
diatas dapat diintrepetasikan sebagai berikut:
Dari uji validitas dapat diketahui bahwa untuk
masing-masing soal pada tiap indikator variabel
bebas dan terikat nilai Sig (2-tailed) < p=0.05,
maka dapat disimpulkan bahwa instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini valid.
KESIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Hasil penelitian ini Dari uji realibilitas, nilai
alpha semua variabel bebasnya yaitu harga,
pelayanan dan minat belanja lebih besar dari 0,6
dengan tingkat signifikasi α = 5 % sehingga dapat
disimpulkan bahwa instrumen dalam variabel bebas
dan terikatnya realibel.
Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung lokasi
(0.813), Produk (2.456), harga (5.033), promosi
(0.871), suasana toko (3.604) dan pelayanan ritel
(1.275). Variabel bebas produk, harga dan suasana
toko yang mempunyai nilai t hitung yang lebih
besar dari nilai t tabel (1,68) yang berarti bahwa
variabel bebas produk, harga dan suasana toko
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
minat belanja. Sedangkan untuk persamaan
regresinya diperoleh: Y= -1,120 + 0,059 X1 + 0,234
X2 + 0,451 X3 + 0,065 X4 + 0,242 X5 + 0,085 X6 +
e. Dengan melihat koefisien regresi masing-
masing variabel bebasnya pada persamaan regresi
dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang pailng
dominan mempengaruhi minat belanja adalah
faktor harga.
Dari tabel Anova diperoleh hitung
F sebesar
19,225 sedangkan tabelF sebesar 2,39. Karena
hitungF > tabel
F maka oH ditolakdan Ha diterima
artinya bahwa variabel bebas (lokasi, produk,
harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel)
secara bersama-sama mempunyaipengaruh yang
signifikan terhadap minat belanja
Dari uji koefisien determinasi didapatkan
kesimpulanpengaruh variabel bebasbebas lokasi,
produk,harga, promosi, suasana toko dan pelayanan
ritel terhadap minat belanja (Y) memberikan
kontribusi sebesar 54,4%. Sedangkan sisanya
sebesar 45,6% dijelaskan oleh variabel bebas yang
lain yang tidak dimasukkanke dalam model
persamaan.
Berdasarkan hasil analisis dan hasil pembahasan
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Dari hasil uji t diperoleh nilai t hitung
lokasi (0.813), Produk (2.456), harga (5.033),
promosi (0.871), suasana toko (3.604) dan
pelayanan ritel (1.275). Variabel bebas produk,
harga dan suasana toko yang mempunyai nilai t
hitung yang lebih besar dari nilai t tabel (1,68)
yang berarti bahwa variabel bebas produk, harga
dan suasana toko mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap minat belanja.
1. Dari tabel Anova diperolehhitung
F sebesar
19,225 sedangkan tabelF sebesar 2,39. Karena
hitungF > tabel
F maka oH ditolak dan Ha diterima
artinya bahwa variabel bebas (lokasi, produk,
harga, promosi, suasana toko dan pelayanan ritel)
h a l | 163
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap minat belanja
Y= -1,120 + 0,059 X1 + 0,234 X2 + 0,451 X3 +
0,065 X4 + 0,242 X5 + 0,085 X6 + e. Dengan
melihat koefisien regresi masing-masing variabel
bebasnya pada persamaan regresi dapat ditarik
kesimpulan bahwa faktor yang pailng dominan
mempengaruhi minat belanja adalah faktor harga.
SARAN
Keberadaan departemen store Ramayana di
lamongan sebaiknya kita manfaatkan sebagai
fasilitas tempat pembelanjaan yang baik,dari
berbagai factor yang mempengaruhi minat belanja
saya mempunyai saran hendaknya Ramayana lebih
efisien dalan menentukan kebijakan harga.
DAFTAR PUSTAKA
Philip Kotler, 2002, Manajemen Pemasaran,
Edisi Milinnium, Prenhallindo,
Jakarta.
Tjiptono, 2002, Strategi Pemasaran, Jogjakarta,
Andi Offset
Nazir, 2003, Metodelogi Penelitian, Jakarta,
Ghalia Indonesia
Suharsimi arikunto, 2010, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi,
P.Rineka, Jakarta
Kotler,philip dan G. Amstrong, 2006, Prinsip-
prinsip pemasaran, Edisi Kedua Belas,
Jakarta : Erlangga
Tjiptono,2004, Kualitas Layanan, Jogjakarta,
Andi Offset
Sutrisno Hadi,2000, Analisis Regresi, Andi
Yogjakarta.
Kotler, philip,2007, Manajemen Pemasaran,
Edisi Millenium jilid I, II, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama
Soejono, 2005, Metode Penelitian Suatu
Pemikiran dan Penerapan, Jakarta :
Rineka Cipta
Singarimbun, 1995, Metodelogi Penelitian
Survai, Jakarta LP3S
h a l | 164
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
Motivasi Berprestasi Dan Kinerja Guru Dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Sekolah
HM. Tsalits Fahami *)
Dosen FKIP Universitas Islam Lamongan
Abstraks: This study is to explain the function of achievement motivation of teachers to
improve the quality of education and its relationship with the performance of the teacher in the
learning process, futhermore to get the affects the quality of student learning outcomes in
schools. Achievement motivation is influenced by the personality of teachers and
environmental conditions, on the other hand of the policies adopted by educational decision
makers. School institution have the authority to the policies related to teachers' motivation and
performance. The school leadership, encourage and motivate the teachers to improved
performance and achievements of teachers in improving the quality of education in schools.
Keyword : Motivasi, Kinerja Guru, Mutu Pendidikan.
A. Pendahuluan
Berbagai persoalan sekolah memerlukan
pendekatan strategis untuk diurai dan didaya
gunakan sehingga memunculkan sebuah lembaga
pendidikan yang mampu menghantarkan peserta
didiknya menuju keberhasilan yang dicita-citakan.
Berbagai persoalan sekolah menghadang untuk
menjadi sekolah yang mampu berkembang dan
memiliki prestasi membanggakan sesuai dengan
harapan para orang tua ataupun stakeholder
melalui prestasi yang dihasilkan oleh siswa.
Tantangan yang dihadapi sekolah datang dari
dalam sekolah itu sendiri dan juga datang dari luar
sekolah yang secara bersamaan mempengaruhi
kelangsungan hidup sekolah baik sebagai energi
pendorong atau sebagai penghambat
perkembagangan sekolah. Salah satu tantangan
lembaga sekolah yang dominan adalah sumberdaya
manusia terutama tenaga pendidik atau guru.
Upaya pengembangan guru menjadi program
strategis sekolah bilamana sekolah menginginkan
peningkatan mutu pendidikannya.
Permasalahan guru juga memiliki
kompleksitas tersendiri, oleh karenanya kajian ini
akan menfokuskan pada persoalan motivasi
berprestasi guru hubungannya dengan kinerja guru
yang akan berdampak pada peningkatan mutu
pendidikan di sekolah. Motivasi merupakan salah
satu faktor yang berperan dalam menentukan
keefektifan kerja, ia juga sebagai tenaga pendorong
guru dalam menggerakan tingkah laku kearah
tujuan yang hendak dicapai. Motivasi dapat dekati
dalam pandangan dua katagori, Motivasi ekstrinsik
yang merupakan motivasi yang dipengaruhi oleh
kondisi dan situasi dari luar dan motivasi intrinsik
yang ditentukan oleh pengaruh dari dalam diri
sendiri. Guru yang mempunyai motivasi ekstrinsik
akan melaksanakan tugas dengan giat dan
semangat untuk meraih kegembiraan ketika
siswanya sukses, giat bertugas karena adanya
jaminan kesejahteraan, lingkungan yang kondusif,
dan penghargaan dari pimpinan. Motivasi instrinsik
guru membawa guru pada semangat bekerja karena
dorongan pengabdian yang ada pada diri guru
sehingga mendapatkan kepuasan atas usahanya
serta memandang bahwa tugas yang dilakukan
didorong dan akan bermanfaat bagi dirinya.
Motivasi ekstrinsik dan motivasi instrinsik sebagai
dua kesatuan, keduanya adalah kontekstual dan
dapat berubah setiap saat.
Guru yang memiliki dan mampu mendaya
gunakan faktor pendorong dalam berkarya menjadi
giat bekerja dan haus akan prestasi, selanjutnya
menjadi motivasi berprestasi yang mempengarui
kinerja guru. Motiasi guru dipengaruhi oleh sebab
dari pengaruh diri sendiri yaitu kemampuan
abstraksi dan komitmen guru, abstraksi guru
meliputi; kemampuan keilmuan, kemampuan
paedagogis untuk membuat persiapan mengajar,
membuat bahan ajar, RPP, penggunaan media
pembelajaran, pengelolaan kelas. Sedangkan
tingkat komitmen guru adalah kedewasaan dan
kepribadian adiluhung guru. Pengaruh lingkungan
memberikan sumbangsih terhadap motivasi guru
juga dominan, antara lain; kepemimpinan sekolah,
budaya dan iklim sekolah serta reward yang
diberikan oleh lembaga sekolah. Mutu pendidikan
di sekolah akan ditentukan selanjutnya oleh
pengaruh motivasi berprestasi dan kinerja guru,
oleh karenanya muara kajian ini ada pada capaian
yang dapat diperoleh oleh sekolah setelah adanya
motivasi berprestasi dan kinerja guru.
B. Teori Motivasi
Motivasi merupakan kekuatan dalam diri
seseorang yang menggerakkan tingkah laku,
menuntun upaya pada tujuan, dan tata cara
menghadapi tantangan. Motivasi adalah tenaga
pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya
tingkah laku ke arah tujuan tertentu guna
memenuhi dan memuaskan kebutuhan pribadi.
(Robbin, 2001) Motivasi merupakan energi yang
ada dalam diri seseorang untuk berupaya kearah
h a l | 164
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
tujuan guna memenuhi kebutuhan individual.
Dalam hal tahapan untuk melakukan sesuatu
(Maslow, 1970) memberikan pengertian bahwa
motivasi adalah tenaga pendorong dari dalam yang
menyebabkan manusia berbuat sesuatu atau
berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.
Pemenuhan kebutuhan selangkah demi se langkah
dimulai dari tingkatan yang paling rendah.
Dalam pandangan psikologis (Owens,
1995) Motivasi merupakan kondisi kejiawaan
seseorang yang mampu memberikan dorongan
untuk berbuat suatu tindakan dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Motivasi ini berpungsi
untuk meberikan tenaga dan mendorong seseorang
untuk berbuat sesuatu, memberikan arah dan
mengatur prilaku, serta menetukan tingkah laku.
Menurut (Amstrong, 1988) Motivasi merupakan
sesuatu yang membuat orang bertindak atau
berprilaku dalam cara-cara tertentu. Motivasi
sebagai sesuatu yang menggerakkan orang untuk
mencapai rasa memiliki tujuan bersama dengan
memastikan bahwa sejauh mungkin keinginan dan
kebutuhan organisasi serta keinginan dan
kebutuhan anggotanya berada dalam keadaan
harmonis dan seimbang. Ada empat rincian tahapan
motivasi berpretasi, a) mengenal kebutuhan, b)
menentukan sasaran untuk mencapai pemenuhan
kebutuhan, c)melakukan tindakan untuk mncapai
sasaran, d) menimbulkan keinginan atau motivasi
yang dalam diri untuk memenuhi kebutuhan.
Berhubungan dengan motivasi berprestasi
(Mc Clleland, 1986) memberikan pendapatnya,
motivasi adalah unsur penentu untuk
mempengaruhi perilaku yang terdapat dalam setiap
individu. Salah satu determinan perilaku dalah
motivasi yang mempengaruhi unjuk kerja
seseorang. Motivasi berprestasi seseorang adalah
dorongan untuk mencapai keberhasilan, memenuhi
kebutuhannya, dan memperoleh penghargaan atas
apa yang telah dicapai. Dorongan keberhasilan
inilah yang disebut sebagi kebutuhan berprestasi.
Oleh karena itu, berdasarkan teori-teori dan
pendapat para ahli yang telah diuraikan, dapat
dikatakan bahwa Motivasi berprestasi adalah
dorongan atau hasrat untuk meraih keberhasilan
atau untuk mengerjakan sesuatu lebih baik dan
keinginan untuk terhindar dari kegagalan. Mc.
Clelland mengelompokan 3 kebutuhan manusia
yang dapat memotivasi gairah bekerja seseorang,
yaitu : Kebutuhan akan Prestasi (Need for
Achievment), Kebutuhan akan Afiliasi (Need for
Affiliation), dan Kebutuhan akan Kekuasaan (Need
for Power).
Teori Existence, Relatedness, and Growth
dari Alderfer, memberikan penyempurnaan dari
teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow.
Bahwa ada 3 kelompok kebutuhan yang utama,
yaitu : 1) Kebutuhan akan Keberadaan (Existence
Needs), eksistensi ini berhubungan dengan
kebutuhan dasar yang didalamnya ada
Physiological Needs dan Safety Needs sebagaimana
yang dikemukanan dalam teori Maslow. 2)
Kebutuhan akan Afiliasi (Relatedness Needs),
kebutuhan ini menekankan akan pentingnya
hubungan antar individu (interpersonal
relationship) dan bermasyarakat (social
relationship). Dan 3) Kebutuhan akan Kemajuan
(Growth Needs), dimana keinginan atau motif
intrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau
meningkatkan kemampuan pribadinya.
Beberapa teori tentang motivasi kerja
memberikan jawaban dan penjelasan terhadap
permaslahan mengapa guru berperilaku dalam
organisasi. teori kandungan motivasi kerja berfokus
pada apakah yang memotivasi guru. Teori proses
berfokus kepada menjelaskan mengapa pekerja
termotivasi untuk mencapai hal berbeda dan untuk
memahami bagaimana pekerja memutuskan mana
perilaku yang akan dilakukan, berapa banyak usaha
diberikan, dan seberapa teguh saat berhadapan
dengan kesulitan (George & Jones, 1996).
Beberapa kajian teori diatas utamanya berfokus
kepada empat teori yang menjelaskan hubungan
tentang motivasi dan prestasi kerja:
Teori kebutuhan, sebuah teori kandungan
yang berfokus kepada pernyataan bahwa
kebutuhan yang memotivasi pekerja untuk
memenuhi pekerjaannya menggunakan teori
kebutuhan Maslow
Teori harapan, sebuah teori proses yang
menjelaskan bagaimana pekerja membuat
pilih di antara perilaku alternatif dan level
usaha
Teori ekuitas, teori proses yang didasarkan
pada ide bahwa ketika pekerja memutuskan
apa perilaku yang dilakukan, tingkat usaha,
dan level keteguhan untuk melakukan
pekerjaannya, mereka dimotivasi oleh
keinginan mendapatkan ekuitas atau keadilan.
Teori keadilan prosedural, sebuah teori proses
yang menyampaikan bahwa motivasi
dipengaruhi oleh seberapa besar pekerja
merasa proses pengambilan keputusan
organisasi adil dan wajar.
Teori-teori Motivasi kerja tersebut diatas
menjadi urgen untuk difahami dan diaplikasikan
oleh pimpinan sekolah sehingga dapat
menggerakkan komponen sumberdaya manusia
sekolah utamanya guru dalam meningkatkan
motivasi berprestasi dan kinerja guru.
C. Motivasi Berprestasi
Motivasi berprestasi adalah keinginan
individu untuk mencapai prestasi sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Motivasi berprestasi
merupakan keinginan sesorang untuk meraih
kesuksesan, untuk melibatkan diri dalam tugas,
dengan keinginan seserang untuk berhasil dalam
menjalankan tugas yang sulit (chalphin, 1979 dan
salvin, 1994). Individu dengan Motivasi berprestasi
h a l | 165
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
yang tinggi dapat diketahui melalui karakteristik
sebagai berikut : 1) senang bekerja keras untuk
mencapai keberhasilan, 2) menyukai situasi yang
dapat menilai sendiri kemajuan dan keberhasilan,
3) senang melakukan control pribadi atas
pelaksanaan tugasnya, 4) cenderung bertindak atau
menetapkan pilihan yang realitas, 5) memiliki
persfektif waktu yang jauh kedepan. Motivasi
beprestasi guru adalah suatu proses yang dilakukan
untuk menggerakkan guru agar prilaku mereka
dapat diarahkan pada upaya-upaya nyata untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan sehingga
akan memunculkan dorongan dari dalam diri dan
dari luar diri seseorang untuk melakukan sesuatu
dengan hasil yang maksimal, yang mencakup
dimensi doronngan internal dan dimensi dorongan
external.
Dalam meraih keberhasilan dan
mengantisipasi kegagalan, (Owens, 1995)
mengemukakan bahwa setiap individu digerakkan
2 karakteristik yang dapat dipelajari yaitu, 1)
Keinginan atau hasrat untuk meraih keberhasilan,
dan 2) keinginan untuk menghindari kegagalan.
Dua karakter yang merupakan dua sifat Motivasi
ini berbeda pada sesorang dengan yanga lain.
Sebagian orang memiliki keinginan keberhasilan
tinggi dan keinginan menghindari kegagalan
rendah ,sementara sebagaian orang memiliki
keinginan untuk menghindar dari kegagalan tinggi,
sedangkan keinginan untuk keberhasilan rendah.
Motivai berprestasi merupakan hal yang
komplek, karena Motivasi itu melibatkan falktor-
faktor individual dan factor-facktor organisasional.
Yang termasuk factor individual antara lain
kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan-tujuan (goals)
sikap (attitude), dan kemampuan (ability).
Sedangkan factor-faktor organisasioanal abatara
lain pembayaran, atau gaji (pay), keamanan
pekerjaan (job security), sesama pekerja
(coworker), pengawasan (supervision)
pujian(praise), dan pekerjaan itu sendiri (job it self)
(chung & Meginson, 1981)
Secara umum Motivasi berprestasi timbul
diakibatkan dua faktor, yaitu faktor internal yang
timbul dari dalam diri sendiri atau instrinsik dan
factor ekternal, yang berada diluar individu yang
disebut factor ekstrinsik. Factor yang berasal dari
dalam diri sendiri menyangkut kepribadian, sikap,
pengalaman dan pendidikan atau berbagai harapan,
cita-cita yang menjangkau kemasa depan.
Sedangkan factor diluar diri dapat ditimbul;kan
oleh berbagai sumber, diantaranya karena pengaruh
pimpinan, kolega, budaya, dan iklim organisasi,
kebutuhan akan keperluan diri dan tugasnya.
Motivasi berprestasi dalam lingkup
organisasi, (Mc Clleland, 1986) mengemukakan
bahwa Motivasi untuk berprestasi meliputi : 1)
Kebutuhan akan prestasi (need for achivement),
yaitu dorongan untuk mengungguli, mencapai
standar yang telah ditetapkan, berjuang untuk
keberhasilan, dan 2) kebutuhan akan kekuatan
(need for fower), yaitu kebutuhan untuk membuat
orang lain berprilaku seperti yang diinginkan
olehnya, serta 3) kebutuhan akan afiliasi (need for
Avilation), yaitu keinginan untuk bersahabat dan
menjalin hubungan yang baik dan personal.
D. Kinerja Guru
Istilah kinerja berkaitan dengan perilaku
individu dalam melaksanakan pekerjaan. Upaya
untuk memperoleh kinerja yang baik diperlukan
suatu proses dan pengelolaan yang
berkesinambungan agar diperoleh hasil yang
diinginkan. (Baird, 1986), bahwa "Performance is
a working with people to accomplish desires
results". Sedangkan Menurut (Webster, 1980),
"Performance is the ability to perform; capacity to
achieve desired resulf'. Dan "is output derived from
processes, human or otherwise” - Ini berarti bahwa
kinerja adalah kemampuan dan ketrampilan yang
dilakukan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan atau merupakan hasil pelaksanaan dari
ruatu proses kerja seseorang. Kinerja adalah suatu
aktivitas yang berhubungan dengan aspek perilaku
(kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan), aspek
hasil dan aspek keefektifan organisasi (langkah-
langkah dalam mempertimbangkan pelaksanaan
kerja dan hasil kerja).
Kinerja adalah kuantitas dan kualitas
kontribusi tugas individu atau kelompok
melaksanakan pekerjaan. Penekanan dalam
pengertian ini adalah pada kualitas dan kuantitas
kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kinerja dengan kuantitas dan kualitas kerja
seseorang sesuai dengan kemampuannya dalam
mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilanya
dalam melaksanakan tugas sehingga memperoleh
hasil yang nyata. Kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang
pegawai dalarn melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Tinggi kinerja pekerja berkaitan dengan sistim
penghargaan yang diberikan oleh organisasi tempat
seseorang bekerja. Penghargaany ang diberikan
kepada pekerja atau pegawai, bila tidak tepat, akan
berpengaruh pada kinerjanya.
Kinerja dipengaruhi oleh beberapa fackor
dari (Yamin, M dan Masiah, 2010), yaitu:
1) factor personal/individu
2) faktor kepemimpinan/manajer,
3) faktor tim, berupa dukungan dan
semangat dari rekan satu tim
4) faktor sistem, dan
5) factor kontektual/situsional
Kinerja merupakan perpaduan motivasi
dan kemampuan (Suryadi Prawirosentono 1999)
mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja dicapai
oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
organisasi dalam rangka upaya mencapai tujuan
secara legal. Kinerja dipandang sebagai hasil
h a l | 166
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
perkalian antara kemampuan dan motivasi.
Kemampuan menujuk pada kecakapan seseorang
dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu, dan
motivasi merupakan keinginan (desire) individu
untuk menunjukkan perilaku dan kesediaan
berusaha.
Kinerja guru akan berdampak pada
kualitas hasil pendidikan. Sedangkan kebijakan
dalam pendidikan yang diambil oleh penentu
kebijakan juga akan berdampak pada kinerja guru.
Sebagai contoh, adanya pergantian sistim
kurikulum yang terlalu sering juga akan
mempengaruhi guru secara psikologis. Guru
dengan kemampuan yang terbatas akan merasakan
kesulitan penyesuaian diri terhadap kebijakan
pergantian kurikulum yang terlalu sering. Terdapat
5 komponen kinerja guru, meliputi ; pengajaran
(instruction), penilaian (assessment), lingkungan
pembelajaran (learning environtment), komunikasi
(communication/community relations), dan
profesionalisme (Profesionalism). Pengukuran
untuk kinerja guru didasarkan atas standar kinerja
(Performance standsrds), yang selanjutnya
diuraikan dalam indicator kinerja (Performance
indicators) yang mencakup 5 domain kinerja guru
tersebut diatas.
Harus diakui bahwa guru merupakan
faktor utama dalam proses pembelajaran,.
Meskipun fasilitas pembelajarannya lengkap dan
canggih,namun bila tidak ditunjang oleh
keberadaan guru yang berkualitas, maka mustahil
akan menimbulkan proses belajar dan pembelajaran
yang maksimal. (Davis dan Thomas 1989), ciri-ciri
guru yang efektif antara lain memiliki kemampuan
yang berkaitan dengan iklim belajr di kelag
memiliki kemampuan yang berkaitan dengan
strategi manajemen pembelajaran, memiliki
kemampuan yang berkaitan dengan pemberian
umpan balik (feed back) dan penguatan
(reinforcement), dan memliki kemampuan yang
berkaitan dengan peningkatan kemampuan diri.
Kinerja guru dalam pembelajaran dapat
dilihat dari seorang guru mulai dari merencanakan
program pembelajaran, persiapan mengajar,
pelaksanaan pembelajaran, pengelolaan kelas,
penciptaan situasi belajar yang kondusif,
pembimbingan terhadap peserta didik,
melaksanakan evaluasi belajar, diskusi dengan
kolega, dan pengembanganp rofesi melalui
pelatihan dan karya-karya ilmiah. Dalam tugas
pembelajaran, guru juga mempertimbangkan
tentang metodologi yang akan digunakan, alat
media pendidikan yang akan dipakai, dan alat
penilaian apa yang digunakan di dalam
pelaksanaan evaluasi.
E. Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah
Sekolah maju atau juga disebut sekolah
berprestasi, (Arifin, 2008) sering diasumsikan
masyarakat di Indonesia sebagai sekolah atau
madrasah favorit ditengah-tengah masyarakat.
Eksistensi sekolah favorit diidentikkan pula dengan
sekolah unggul, sekolah mahal atau sekolah
mewah. (Sergiovani, dalam Arifin 2008)
menetapkan criteria sekolah maju dengan
pendekatan tujuan dan pendekatan proses. Oleh
karenanya tolok ukur keefektifan sekolah salah
satunya dengan prestasi akademik yang dicapai
oleh siswa melalui motivasi berprestasi dan kinerja
guru. Guru yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi dan perfomansi yang ditopak oleh
kompetensi professional akan berdampak pada
peningkatan mutu pendidikan di sekolah. (Mantja,
2010) Dalam pandangan profesionalisme kerja,
guru bertanggungjawab secara profesional untuk
terus menerus meningkatkan kompetensinya.
Peningkatan mutu pendidikan di sekolah
dapat dilihat dari kinerja guru dan prestasi yang
dicapai oleh peserta didik. Kinerja guru dapat
tergambar dalam performant guru yang bisa
berwujud Prestasi kerja guru, dimana stakeholder
sekolah akan mudah menilai sebagai sebuah
tampilan aktivitas guru atau kemampuan
profesionalnya sesuai dengan standar kerja yang
telah ditetapkan dalam tujuan organisasi sekolah
dalam waktu tertentu. Tampilan aktifitas guru
tersebut dapat berupa :
1. menguasai landasan pendidikan
2. menguasai bahan pengajaran
3. menyusun program pengajaran
4. menyajikan program pengajaran
5. mengevaluasi belajar
6. menganalisis hasil belajar
7. menyusun dan melaksanakan program
perbaikan dan pengayaan
Kinerja guru yang efektif - konstruktif,
dengan gaya kerja yang kreatif, inovatif, penuh
dedikasi dan bersumber dari motivasi berprestasi
yang positif. Guru yang professional dituntut
mampu menampilkan kinerja yang konstruktif
dalam mengajar, yang akan berdampak
positifterhadap prestasi belajar siswa. Kinerja guru
yang baik akan menghasilkan kualitas mengajar
yang tinggi. Richey (1973), menjelaskan bahwa
ada lima hal pokok yang dapat dijadikan tolok ukur
terhadap kualitas mengajar yang tinggi.
1. Bekerja dengan siswa secara individu,
meliputi pemberian tugas secara individual,
memeriksa pekerjaan siswa dan segera
mengembalikan hasilnya, sering melakukan
percakapan guru-siswa untuk memberikan
Motivasi kepada sisuwa dan menciptakan
hubungan yang akrab antara guru dan siswa.
2. Perencanaan dan persiapan mengajar yang
meliputi pembuatan rencana dan strategi
pembelajaran, mengadakan praktik
lapangan, pengetahuan guru sebagai sumber
h a l | 167
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
dan ditambah dengan buku- buku,dan selalu
menyajikan materi pelajaran yang esensial.
3. Penggunaana lat bantu mengajar,y ang
meliputi pemanfaatan buku sumber belajar,
pemberian tugas dan ketrampilan yang
berhubungan dengan alat-alat praktik, dan
pemberian tugas yang berkaitan dengan
perpustakaan.
4. Mengikutsertakan siswa dalam berbagai
pengalaman belajar, yang meliputi pelibatan
siswa dalam perencanaan pembelajaran,
pemberian tanggungiawab siswa terhadap
tugas-tugasnya, memberi Motivasi belajar
kepada siswa, dan penyajian bermacam-
macam pengalaman belajar oleh guru.
5. Kepemimpinan guru, meliputi membantu
siswa dalam memecahkan masalah,
memberi kesempatan kepada siswa untuk
menjadi pemimpin, memberi kesempatan
kepada siswa untuk berdiskusi dan
mengemukakan pendapatnya dan
mendayagunakan permainan untuk media
belajar.
Guru-guru yang memiliki kebutuhan
berprestasi tinggi memiliki potensi dan keunggulan
berupa kinerja yang baik, usaha-usaha dan
pekerjaan yang mereka lakukan dapat
disumbangkan sepenuhnya untuk kemajuan
sekolah. Namun, apabila tidak dikelola dengan
baik, tentu dapat menjadi masalah bagi sekolah.
Bahwa guru yang memiliki dorongan untuk
keberhasilan yang kuat, memiliki konstribusi yang
besar terhadap keefektifan sekolah. Guru-guru pada
sekolah tersebut menunjukkan prilaku professional
yang dapat diimplementasikan berdasarkan
kemandirian yang dimiliki oleh guru dalam
menjalankan tugas pembelajaran di kelas. Guru
juga tertantang untuk dapat menyesuaikan dengan
tantangan baru, dan menerapkannya dalam tugas
lain dari kegiatatan pembelajaran di kelas.
Untuk memahami apakah guru sudah
termotivasi untuk berprestasi dapat dilihat melalui
perfomansi yang dimiliki :
1. Hasrat untuk mengerjakan sesuatu
lebih baik.
2. Usaha untuk mendapakan
tanggungjawab dalam pemecahan
masalah.
3. Usaha untuk memperoleh umpan
balik atas apa yang telah dikerjakan
untuk perbaikan kemudian.
4. Tujuan yang menantang.
5. Sikap tidak menyukai keberhasilan
yang diperoleh secara kebetulan.
6. Sikap lebih menyukai pekerjaan yang
memerlkan keterampilan yang
dimiliki.
7. Kepuasan dari prestasi dan apa ayang
diuasakan.
Selanjutnya mutu pendidikan di sekolah
yang baik memerlukan evaluasi dan penilaian
kinerja. Keberhasilan pembelajaran di sekolah
perlu dilakukan penilaian kinerja, sehingga
hasilnya dapat digunakan untuk :
1. Perbaikan pelaksanaan pekerjaan
2. Penyusunan kompensasi
3. Keputusan penempatan
4. Kebutuhan akan pelatihan dan
pengembangan karir
5. Kekurangan dalam proses penyusunan
tenaga kerja
6. Ketidaktelitian informasi
7. Kesalahan rencana jabatan
8. Kesempatan kerja yang sama
9. Tantangan ekstrim
E. Kesimpulan
Guru professional memiliki komitmen
untuk belajar secara terus menerus, motivasi yang
melandasi kinerja guru akan berdampak pada
meningkatnya mutu pendidikan di sekolah. Secara
sistematis dapat digambarkan bahwa dorongan dari
dalam diri guru berupa motivasi berprestasi
bersemai dengan ketersediaan kondisi dan
lingkungan yang dinamis, merangsang untuk maju,
dan harmonis akan menghasilkan kinerja guru yang
performansinya terarah dan terukur. Motivasi
berprestasi dan kinerja guru dimaksud tidak
muncul secara kebetulan, melainkan perlu
dikondisikan sedemikian rupa oleh kepemimpinan
sekolah.
Mutu pendidikan di sekolah merupakan
tanggungjawab bersama antara guru dan pimpinan
sekolah. Guna kepentingan mengembangkan
sekolah menjadi sekolah unggul, maka guru dan
pimpinan sekolah mesti berpadu dalam merawat
motivasi berprestasi dan kinerja guru untuk selalu
progresif dan siap menghadapi tantangan dunia
pendidikan yang menghadang. Dengan demikian
upaya untuk menciptakan hari ini lebih baik dari
kemaren melalui terciptakanya penningkatan mutu
pendidikan di sekolah akan semakin terasa indah
dan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan
nasional secara nyata dan merata.
h a l | 168
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
DAFTAR RUJUKAN
Amstrong, M. 1998. Manajemen sumber daya
Manusia. Alih Bahasa : hadyana
Pujaatmaja. Jakarta:PT Elex Media
Komputindo
Arifin, Imron. 2008. Kepemimpinan Kepala
Sekolah dalam Mengelola Sekolah
Berprestasi. Yogjakarta: Aditya Media.
Bafadal, Ibrahim. 2009. Peningkatan
Profesionalisme Guru Sekolah Dasar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Baird, L. 1986. Managemen Performance. Toronto:
John Wiley and Sons, inc
Davis, G.A & Thomas, M.A. 1989. Effectifve
school and effective Teachers. Boston,
MA: Allyn and Bacon
George & Jones. 1996. Organizational Behavior.
USA, wisely publishing company, inc
Mc Clelland D.C. 1986. How Motive, skill, and
Values Determine what people Do. New
York: American Psychologist
Mantja, W. 2010. Profesionalisasi tenaga
Kependidikan: Manajemen Pendidikan
dan Supervisi Pendidikan. Malang: Elang
Mas.
Owens, RG, 1995. Organizational Behavior in
educational, Boston: Allyn and Bacon, Inc
Richey, R 1973. Planning for teaching. New York :
logman.
Robbins, S.P. 2001. Organizational Behavior : 9th
Edition. New Yersey : Prentice Hall
Sergiovani, T. J. & Starrat, 1983, The supervision:
Human Perfective (3rd
). New York:
McGraw-Hill Book Co
Soetopo, Hendyat. 2010. Prilaku organisasi: teori
dan Praktek dalam Bidang Pendidikan.
Bandung: Rosda Karya
Suryadi Prawirosentono, 1999. Kebijakan Kinerja
Karyawan , Kiat Membangun Organisasi
Kompetitif Menjelang Perdagangan
Bebas. Yogyakarta:BPFE
Yamin, M dan Masiah, 2010. Standarisasi Kinerja
Guru. Jakarta: Gaung Persada GP Pres
h a l | 164
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
Pengaruh Pendidikan, Pengalaman dan Independensi Terhadap
Kinerja Auditor Dengan Motivasi Sebagai Variabel Intervening
Noer Rafikah Zulyanti *)
Universitas I slam Lamongan
ABSTRAKSI
Pengawasan yang dilakukan Auditor Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam
menciptakan efisiensi nasional, sehingga auditor pemerintah harus menjaga dan meningkatkan profesionalisme
dalam melaksanakan tugasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pendidikan, pengalaman dan
Independensi terhadap Kinerja Auditor dengan motivasi sebagai variable intervening. Penelitian ini
menggunakan adalah metode pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh
signifikan antara Pendidikan terhadap Motivasi Auditor ditunjukan, tidak terdapat pengaruh signifikan antara
Independensi dan Pengalaman terhadap Motivasi Auditor, tidak terdapat pengaruh signifikan antara Pendidikan
dan Pengalaman terhadap Kinerja Auditor, terdapat pengaruh signifikan antara Independensi dan motivasi
terhadap Kinerja. Tidak terdapat pengaruh signifikan Pendidikan dan Pengalaman terhadap Kinerja Auditor di
Inspektorat Kabupaten Lamongan melalui motivasi dan terdapat pengaruh signifikan antara Independensi
terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten Lamongan melalui motivasi secara tidak langsung.
Kata Kunci: Pendidikan, Pengalaman, Independensi, Motivasi, Kinerja Auditor
LATAR BELAKANG
Terdapat tiga aspek yang mendukung
terciptanya kepemerintahan yang baik (good
governance), yaitu pengawasan, pengendalian, dan
pemeriksaan. Pengawasan merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh pihak di luar eksekutif, yaitu
masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan
(Efendy, 2010). Pengendalian (control) adalah
mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif untuk
menjamin bahwa sistem dan kebijakan manajemen
dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan
organisasi dapat tercapai. Sedangkan pemeriksaan
(audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
pihak yang memiliki independensi dan memiliki
kompetensi professional untuk memeriksa apakah
hasil kinerja pemerintah telah sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
Secara garis besar di Indonesia yang
melaksanakan fungsi pemeriksaan dipisahkan
menjadi dua bagian yaitu auditor eksternal dan
auditor internal. Auditor eksternal pemerintah
diimplementasikan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Sedangkan Auditor internal
pemerintah diimplementasikan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
INSPEKTORAT dan badan pengawas internal di
setiap departemen yaitu Inspektorat Jendral
(IRJEN). Salah satu unit yang melakukan
audit/pemeriksaan terhadap pemerintah daerah
adalah Inspektorat Daerah
(Propinsi/Kabupaten/Kota).
Pengawasan yang dilakukan oleh auditor
pemerintah memiliki peran yang sangat penting
dalam menciptakan efisiensi nasional, sehingga
auditor pemerintah harus menjaga dan
meningkatkan profesionalisme dalam
melaksanakan tugasnya. Salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi adalah pendidikan di bidang
akuntansi, karena dengan pendidikan di bidang
akuntansi maka seorang auditor dapat memperoleh
pengetahuan dan pemahaman yang erat kaitannya
dalam melaksanakan tugas audit. Untuk
membuktikan keahlian atau profesionalisme
seorang auditor harus memiliki pengalaman dalam
praktek audit..
Independensi adalah sikap mental dimana
auditor tidak memihak terhadap kepentingan pihak
manapun, Dalam Efendy (2010) menyatakan
bahwa kerjasama dengan obyek pemeriksaan yang
terlalu lama dan berulang bisa menimbulkan
kerawanan atas independensi yang dimiliki oleh
auditor.
Motivasi dibedakan menjadi dua bagian
yakni motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi
yang bersifat intrinsik adalah manakala sifat
pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang
termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan
dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena
rangsangan lain seperti status ataupun materi
sehingga dapat dikatakan orang tersebut sedang
melakukan hobynya. Motivasi ekstrinsik adalah
manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang
melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama
yang membuat seorang termotivasi seperti status
ataupun kompensasi. Kinerja audit pemerintahan
merupakan salah satu elemen penting dalam rangka
penegakan good government.
h a l | 164
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
Inspektorat Kabupaten Lamongan
dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Lamongan Nomor 04 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah
Kabupaten Lamongan dan mempunyai tugas
pokok yaitu “ Melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan urusan pemerintahan didaerah,
pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan
Pemerintahan dan pelaksanaan urusan
Pemerintahan Desa“.
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif karena
data yang disajikan berhubungan dengan angka dan
menggunakan analisis statistik. Penelitian ini
berupa studi kasus yang bertujuan untuk mencari
pengaruh antara variabel bebas yaitu Pendidikan
(X1), Pengalaman (X2), dan Independensi (X3)
terhadap variabel terikat yaitu Kinerja Auditor (Y)
pada Inspektorat Kabupaten Lamongan dengan
variabel intervening Motivasi (M). Populasi
penelitian adalah staf Inspektorat Kabupaten
Lamongan yang berjumlah 34 (tiga puluh empat)
orang dijadikan sampel. Pengumpulan data yang
dilakukan adalah dengan menggunakan metode
survey (survey method), yaitu pengumpulan data
primer yang diperoleh secara langsung dari sumber
asli dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan
(kuesioner) secara personal yang akan diisi atau
dijawab oleh responden.
HASIL
Inspektorat Kabupaten Lamongan
merupakan salah satu Satuan Perangkat Kerja
Daerah (SKPD) yang ada pada Pemerintah
Kabupaten Lamongan dimana Inspektorat
Kabupaten Lamongan memiliki tugas melakukan
pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan
Daerah dan pemerintahan Desa. Kabupaten
Lamongan merupakan salah satu dari Kabupaten
yang ada di Propinsi Jawa Timur dengan nilai
Belanja yang cukup besar. Dari hasil penelitian
yang dilakukan maka diketahui bahwa dari 35 (tiga
puluh lima) orang responden sebanyak 21 (dua
puluh satu) orang laki-laki sedangkan sisanya
sebanyak 14 (empat belas) orang adalah
perempuan. Mayoritas usia responden adalah 31-
40 tahun yakni 16 (enam belas) orang sedangkan
sisanya 5 (lima) orang usia 20-30 tahun, 9
(sembilan) orang usia 41-50 tahun sedangkan 5
(lima) orang sisanya berusia diatas 50 tahun.
Karakteristik Responden Berdasarkan tingkat
Pendidikan SMA sebanyak 7 (tujuh) orang,
Diploma III 1 (satu) orang, Sarjana (S1) sebanyak
17 (tujuh belas) orangdan Magister (S2) sebanyak
10 (sepuluh) orang responden. Sedangkan
Kareakteristik menurut Masa kerja antara lain 0-3
tahun sebanyak 12 (dua belas) orang, 4-7 tahun
sebanyak 6 (enam) orang, 8-14 tahun sebanyak 12
(dua belas) orang dan sisanya sebanyak 5 (lima)
orang memiliki masa kerja lebih dari 15 (lima
belas) tahun.
PEMBAHASAN
Berikut hasil pengolahan data yang telah
dilakukan menggunakan bantuan Program SPSS 16
for Windows diperoleh hasil:
Uji Validitas
Data penelitian yang telah terkumpul kemudian
diolah untuk menguji kualitas data berupa uji
validitas dan reliabilitas. Dari hasil uji validitas
yang dilakukan dengan bantuan program SPSS
versi 16 menunjukkan bahwa koefisien korelasi
pearson moment untuk setiap item butir pernyataan
dengan skor total variabel Kinerja Auditor (Y),
Pendidikan (X1) Pengalaman (X2), Independensi
(X3) dan motivasi (M) signifikan pada tingkat
signifikansi 0,01. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa seluruh butir pertanyaan valid.
Uji Reabilitas
Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini
menggunakan uji One Shot, artinya satu kali
pengukuran saja dan kemudian hasilnya
dibandingkan dengan pertanyaan lainnya atau
dengan kata lain mengukur korelasi antar jawaban
pertanyaan. Hasil perhitungan uji reliabilitas
menunjukkan bahwa nilai Cronbach Alpha (α)
untuk masing-masing variabel adalah lebih besar
dari 0,60. Dari hasil penelitian seluruh item-item
instrumen untuk masing-masing variabel adalah
reliabel.
Uji Partial (Uji T)
Terdapat Pengaruh Signifikan antara
Pendidikan terhadap Motivasi Auditor
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama (H1)
yang menyebutkan bahwa Pendidikan aparat
inspektorat berpengaruh signifikan terhadap
motivasi. Pendidikan memberikan pengetahuan
bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan
tugas, tetapi juga landasan untuk mengembangkan
diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana
yang ada untuk kelancaran pelaksanaan tugas.
Untuk meningkatkan motivasi khususnya dalam
rangka aktualisasi diri seorang auditor perlu untuk
memperoleh penghargaan ekstrinsik yakni
peningkatan karir dan status. Dengan demikian
semakin tinggi tingkat pendidikan seorang auditor
maka makin tinggi pula motivasinya.
Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara
Pengalaman terhadap Motivasi Auditor
Pengalaman tidak berpengaruh terhadap Motivasi
atau dengan kata lain Hipotesis kedua ditolak.
Semakin sering auditor/pemeriksa melakukan
pekerjaan yang sama, semakin terampil dan
semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan
tersebut. Pengalaman kerja yang semakin kaya dan
luas, dan semakin berpeluang bagi auditor untuk
meningkatkan motivasi mereka. Pengalaman secara
h a l | 165
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
tidak langsung memberikan penghargaan intrinsik
(kenikmatan pribadi dan kesempatan membantu
orang lain) dan penghargaan ekstrinsik
(peningkatan karir dan status) bagi seorang auditor.
Pada Responden Inspektorat Kabupaten Lamongan
pengalaman tidak mempengaruhi motivasi mereka
hal ini disebabkan bagi mereka baik
berpengalaman maupun tidak berpengalaman
mereka tidak akan mendapatkan penghargaan
apapun dari pimpinan.
Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara
Independensi terhadap Motivasi Auditor
Independensi tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap motivasi dan Hipotesis ketiga ditolak.
Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan
pemeriksaan, seorang auditor/pemeriksa harus
bebas dalam sikap mental dan penampilan dari
gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang
dapat mempengaruhi independensinya. Para
Auditor/pemeriksa bertanggung jawab untuk dapat
mempertahankan independensinya sedemikian
rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan
atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang
dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak
memihak oleh pihak manapun. Seharusnya hal ini
mampu memotivasi seorang auditor yakni dalam
kebutuhan Sosial dan Kasih sayang dimana auditor
merasa perlu untuk diterima oleh orang lain (sense
of belonging), kebutuhan untuk maju dan tidak
gagal (sense of achievement), kekuatan ikut serta
(sense of participation). hal ini disebabkan mereka
tidak peduli akan pendapat orang serta diduga
karena independensi aparat inspektorat Kabupaten
Lamongan masih terpengaruh dengan penentu
kebijakan dan sering adanya mutasi antar satuan
kerja perangkat daerah. Akibatnya, meskipun
aparat acapkali mendapat fasilitas dari auditee.
Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara
Pendidikan terhadap Kinerja Auditor
Hipotesis ini tidak dapat dibuktikan diduga karena
aparat Inspektorat Kabupaten Lamongan
beranggapan bahwa tidak peduli latar belakang
pendidikan mereka apa mereka pasti bisa
melakukan audit (tidak perlu latar belakang
pendidikan akuntansi) cukup memiliki pengetahuan
dibidang pemerintahan saja.
Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara
Pengalaman terhadap Kinerja Auditor
Pengujian H5 dimana terdapat pengaruh signifikan
antara Pengalaman terhadap Kinerja Auditor di
Inspektorat Kabupaten Lamongan diperoleh hasil
bahwa Pengalaman aparat inspektorat tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor
dengan kata lain H5 ditolak. Diduga tidak dapat
dibuktikan karena adanya anggapan bahwa mereka
merasa bisa melakukan audit walaupun mereka
orang baru serta adanya anggapan bahwa
pembuatan laporan yang tepat waktu bukanlah
ukuran untuk menunjukkan kinerja mereka bagus
atau tidak melainkan diukur dengan jenis
temuannya.
Terdapat Pengaruh Signifikan Antara
Independensi terhadap Kinerja Auditor
Independensi merupakan sikap mental dimana
auditor tidak memihak kepada kepentingan pihak
manapun. Tingginya independensi auditor
mendorong Kinerja Auditor menjadi semakin
tinggi karena auditor merasa perlu untuk menjaga
performanya dimata orang lain (masyarakat atau
obyek pemeriksaan)
Terdapat pengaruh signifikan antara Motivasi
terhadap Kinerja Auditor
Hasil pengujian ini menginterpretasikan bahwa
variabel Motivasi aparat inspektorat signifikan
terhadap Kinerja Auditor pada taraf signifikansi
5% atau dengan kata lain H7 diterima. Hal ini
sejalan dengan yang dikatakan oleh Goleman
(2001) dalam Muh. Taufiq Efendy tahun 2010
bahwa hanya motivasi yang akan membuat
seseorang mempunyai semangat juang yang tinggi
untuk meraih tujuan dan memenuhi standar yang
ada. Rasa ingin membuat hati pimpinan merasa
senang atas keberhasilan tugas yang dilaksanakan
memotivasi auditor untuk melakukan pekerjaannya
dengan baik.
Analisis Jalur (Variabel Intervening)
Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara
Pendidikan Terhadap Kinerja Auditor Di
Inspektorat Kabupaten Lamongan Melalui
Motivasi. Pendidikan tidak dapat mempengaruhi Kinerja
Auditor melalui motivasi yang dimilikinya diduga
karena persepsi auditor mereka tidak akan dapat
menduduki jabatan dengan segera walaupun
pendidikan mereka tinggi hal ini disebabkan karena
aturan birokrasi yang menggunakan Daftar Urut
Kepangakatan sehingga siapa yang pangkatnya
lebih tinggi walaupun mereka hanya lulusan SMA
dialah yang akan menduduki jabatan dulu.
Tidak Terdapat Pengaruh Signifikan Antara
Pengalaman Terhadap Kinerja Auditor Di
Inspektorat Kabupaten Lamongan Melalui
Motivasi.
Diduga tidak dapat karena karena persepsi auditor
mereka tidak akan dapat menduduki jabatan
dengan segera walaupun pengalaman mereka
banyak ini terbukti aturan birokrasi yang
menggunakan Daftar Urut Kepangkatan sehingga
siapa yang pangkatnya lebih tinggi walaupun tidak
memiliki pengalaman audit dialah yang akan
menduduki jabatan dulu
Terdapat Pengaruh Signifikan Antara
Independensi terhadap Kinerja Auditor di
Inspektorat Kabupaten Lamongan Melalui
Motivasi
Hasil analisis jalur diketahui bahwa Independensi
tidak berpengaruh secara langsung terhadap
Kinerja Auditor melalui motivasi namun
h a l | 166
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
berpengaruh secara tidak langsung melalui
motivasi terhadap kinerja dengan nilai 0,0107
(0,272 x 0,374).
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat
disimpulkan (1)Terdapat pengaruh signifikan
antara Pendidikan terhadap Motivasi Auditor.
Untuk meningkatkan motivasi khususnya dalam
rangka aktualisasi diri seorang auditor perlu untuk
memperoleh penghargaan ekstrinsik yakni
peningkatan karir dan status. Dengan demikian
semakin tinggi tingkat pendidikan seorang auditor
maka makin tinggi pula motivasinya (2)Tidak
terdapat pengaruh signifikan antara Pengalaman
terhadap Motivasi Auditor diduga bagi mereka baik
berpengalaman maupun tidak berpengalaman
mereka tidak akan mendapatkan penghargaan
apapun dari pimpinan. (3)Tidak terdapat pengaruh
signifikan antara Independensi terhadap Motivasi
Auditor. Diduga mereka tidak peduli akan pendapat
orang serta karena independensi aparat inspektorat
Kabupaten Lamongan masih terpengaruh dengan
penentu kebijakan dan sering adanya mutasi antar
satuan kerja perangkat daerah. Akibatnya,
meskipun aparat acapkali mendapat fasilitas dari
auditee. (4) Tidak Terdapat pengaruh signifikan
antara Pendidikan terhadap Kinerja Auditor diduga
karena aparat Inspektorat Labupaten Lamongan
beranggapan bahwa tidak peduli latar belakang
pendidikan mereka apa mereka pasti bisa
melakukan audit (tidak perlu latar belakang
pendidikan akuntansi) cukup memiliki pengetahuan
dibidang pemerintahan saja (5)Tidak terdapat
pengaruh signifikan antara Pengalaman terhadap
Kinerja Auditor. Diduga tidak dapat dibuktikan
karena adanya anggapan bahwa mereka merasa
bisa melakukan audit walaupun mereka orang baru
serta adanya anggapan bahwa pembuatan laporan
yang tepat waktu bukanlah ukuran untuk
menunjukkan kinerja mereka bagus atau tidak
melainkan diukur dengan jenis temuannya.
(6)Terdapat pengaruh signifikan antara
Independensi terhadap Kinerja Auditor. Tingginya
independensi auditor mendorong Kinerja Auditor
menjadi semakin tinggi karena auditor merasa
perlu untuk menjaga performanya dimata orang
lain (masyarakat atau obyek pemeriksaan) (7)
Terdapat pengaruh signifikan antara Independensi
terhadap Kinerja Auditor. Rasa ingin membuat hati
pimpinan merasa senang atas keberhasilan tugas
yang dilaksanakan memotivasi auditor untuk
melakukan pekerjaannya dengan baik. (8) Tidak
terdapat pengaruh signifikan antara Pendidikan
terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten
Lamongan melalui motivasi. Hal ini diduga
disebabkan karena aturan birokrasi yang
menggunakan Daftar Urut Kepangakatan sehingga
siapa yang pangkatnya lebih tinggi walaupun
mereka hanya lulusan SMA dialah yang akan
menduduki jabatan dulu. (9) Tidak terdapat
pengaruh signifikan antara Pengalaman terhadap
Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten
Lamongan melalui motivasi. Diduga tidak dapat
karena karena persepsi auditor mereka tidak akan
dapat menduduki jabatan dengan segera walaupun
pengalaman mereka banyak ini terbukti aturan
birokrasi yang menggunakan Daftar Urut
Kepangkatan sehingga siapa yang pangkatnya lebih
tinggi walaupun tidak memiliki pengalaman audit
dialah yang akan menduduki jabatan dulu. (10)
Terdapat pengaruh signifikan antara Independensi
terhadap Kinerja Auditor di Inspektorat Kabupaten
Lamongan melalui motivasi Hasil analisis jalur
diketahui bahwa Indepensi tidak berpengaruh
secara langsung terhadap Kinerja Auditor melalui
motivasi namun berpengaruh secara tidak langsung
melalui motivasi terhadap kinerja dengan nilai
0,0107 (0,272 x 0,374). Munculnya pengaruh tidak
langsung karena adanya perasaan takut dari aparat
inspektorat jika mereka tidak independen maka
atasan tidak akan puas dan menegur atau
memberikan hukuman kepada mereka.
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dan
kesimpulan di atas maka dapat diberikan saran-
saran antara lain sebagai berikut: (1) Bagi Auditor
Pendidikan, pengalaman dan Independensi serta
adanya pengaruh baik langsung maupun tidak
langsung dari motivasi Untuk meningkatkan
Kinerja Auditor dibutuhkan pendidikan yang
diperoleh dari bangku perkuliahan maupun
pelatihan.(2)bagi Peneliti Lain dimana Penelitian
mendatang sebaiknya melakukan sebuah penelitian
dengan menggunakan metode wawancara langsung
untuk mengumpulkan data penelitian agar dapat
mengurangi adanya kelemahan terkait internal
validity dan memperluas objek penelitian pada
aparat inspektorat kabupaten/kota se-Provinsi Jawa
Timur sehingga hasilnya dapat digeneralisasi.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2008. Peraturan Daerah Kabupaten
Lamongan Nomor 04 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Teknis Daerah Kabupaten
Lamongan.Lamongan. Bagian Hukum
Sekretariat Daerah Kabupaten
Lamongan.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
2008. Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara
nomor PER/05/M.PAN/03/2008
tentang Standar Audit Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah.
Jakarta
h a l | 167
Jurnal Ilmu Sosial & HumanioraI ISSN : 2302-3562
Efendy, Muh. Taufiq. 2010. Pengaruh Kompetensi,
Independensi, Dan Motivasi Terhadap
Kualitas Audit Aparat
Inspektoratdalam Pengawasan
Keuangan Daerah (Studi Empiris
Pada Pemerintah Kota Gorontalo).
Tesis Program Studi Magister Sains
Akuntansi Program Pascasarjana
Universitas diponegoro.
Mulyadi. 2002. Auditing Buku 1. Salemba Empat.
Jakarta
Mareta, Rena. 2011. Pengaruh Tingkat Pendidikan,
Pengalaman Dan Kompensasi Terhadap Kinerja
Auditor Pada Kantor Akuntan Publik Di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta.