Jurnal karbohidrat

17
KARAKTERISASI EMPAT JENIS UMBI TALAS VARIAN MENTEGA, HIJAU, SEMIR, DAN BENENG SERTA TEPUNG YANG DIHASILKAN DARI KEEMPAT VARIAN UMBI TALAS Rd Rina Nur Apriani (1) , Setyadjit( 2) , M. Arpah (1) Abstract Four variants of taro (var. Beneng, Mentega, Semir and Hijau) from several areas in West Java are described and illustrated their morphological structure, including shape, length, width, diameter, weight and color of the corms. These taro variants are processed as flour and characterized their chemical compound including water content, ash, crude fat, crude protein, starch, amilose, amilopecktin, crude fiber, dietary fiber, carbohydrate, calories, and oxalate compound. These variant is also measured their degree of color. Flour of taro variant Hijau has the largest oxalate compound among the others. It is about 759,98±11,01 ppm/bb, while the Taro Variant Beneng, Mentega and Semir are about 220,36±3,83, 260,07±4,44, and 219,33±3,83 ppm/bb. Taro variant Mentega, Hijau, Semir and Beneng have water contents between 4,29-5,72% in average. The ash compound is about 1,55-3,43% while the crude protein compound is about 5,75-6,29%. The crude fat in these variants was measured between 1,12-1,36% and the starch is between 75,01-79,07%. The carbohydrate content of these variants is about 84,88-85,91%. The crude fiber content is about 2,25-2,99% among these variants. Also, there is about 6,08-7,19% dietary fiber in these variants. There are about 374,69-378,98 kcal/100 g calories in these variants. [Key words: taro, starch, chemical compounds]. 1 )Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. 2 )Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor. PENDAHULUAN Kebutuhan akan pangan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berbagai jenis pangan diproduksi dengan meningkatkan kuantitas serta kualitasnya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Selain dengan meningkatkan jumlahnya, pemenuhan kebutuhan pangan juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan sumber bahan pangan yang beraneka ragam. Hal ini dilakukan sebagai upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal. Salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dijadikan alternatif usaha diversifikasi pangan adalah umbi talas (Colocasia esculenta). Produksi umbi talas di Bogor mencapai 57.311 ton pada tahun 2008 (Bappeda Bogor, 2008). Umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang penting sebagai penghasil energi di daerah tropis dan subtrobis (Liu et al., 2006 a). Umbi talas merupakan bahan pangan yang rendah lemak, bebas gluten dan mudah dicerna. Bagian tanaman talas berupa umbi berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sebesar 23,79 g per 100 g talas mentah (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1972). Kandungan protein pada talas mencapai 20 g per kilogram talas, sedangkan umbi kayu dan umbi jalar hanya setengahnya (Parkinson, 1984). Selain itu, umbi talas juga mengandung lemak, vitamin dan mineral walaupun dalam jumlah sedikit. Mineral yang terkandung dalam umbi talas adalah mineral Ca sebesar 28 mg dan mineral P sebesar 61 mg per 100 g talas mentah. Vitamin yang terkandung pada umbi talas adalah vitamin A, B1 dan sedikit vitamin C (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Talas terdiri dari banyak verietas yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Varietas talas dapat dibedakan berdasarkan morfologinya. Perbedaan varietas ini berpengaruh pada besar umbi talas. Selain itu perbedaan varietas juga dapat dilihat pada warna umbi, daun dan pelepah daun, umur panen, bentuk dan ukuran pucuk, rasa gatal dan komposisi kimianya (Ali,1996). Karakteristik umbi talas yang diamati menurut deskriptor plasma nutfah talas terdapat pada Gambar 1 (Minantyorini dan Somantri, 2002). Penduduk di beberapa daerah di Hawaii dan Kepulauan Pasifik, menggunakan talas dalam bentuk tepung sebagai bahan baku makanan sapihan bayi dan balita yang hipersensitif terhadap susu (Jane et al., 1992). Selain itu, talas juga sering dikonsumsi sebagai makanan pokok bagi orang-orang yang alergi terhadap biji- bijian tertentu yang mengandung gluten terutama gandum (Lee, 1999). Konsumsi umbi-umbian sebagai

description

H

Transcript of Jurnal karbohidrat

KARAKTERISASI EMPAT JENIS UMBI TALAS VARIAN MENTEGA, HIJAU, SEMIR, DAN

BENENG SERTA TEPUNG YANG DIHASILKAN DARI KEEMPAT VARIAN UMBI TALAS

Rd Rina Nur Apriani(1)

, Setyadjit(2)

, M. Arpah(1)

Abstract

Four variants of taro (var. Beneng, Mentega, Semir and Hijau) from several areas in West Java are described and illustrated their morphological structure, including shape, length, width, diameter, weight

and color of the corms. These taro variants are processed as flour and characterized their chemical compound including water content, ash, crude fat, crude protein, starch, amilose, amilopecktin, crude

fiber, dietary fiber, carbohydrate, calories, and oxalate compound. These variant is also measured their degree of color. Flour of taro variant Hijau has the largest oxalate compound among the others. It is

about 759,98±11,01 ppm/bb, while the Taro Variant Beneng, Mentega and Semir are about

220,36±3,83, 260,07±4,44, and 219,33±3,83 ppm/bb. Taro variant Mentega, Hijau, Semir and Beneng have water contents between 4,29-5,72% in average. The ash compound is about 1,55-3,43% while the crude protein compound is about 5,75-6,29%. The crude fat in these variants was measured between

1,12-1,36% and the starch is between 75,01-79,07%. The carbohydrate content of these variants is about 84,88-85,91%. The crude fiber content is about 2,25-2,99% among these variants. Also, there is about 6,08-7,19% dietary fiber in these variants. There are about 374,69-378,98 kcal/100 g calories in these

variants. [Key words: taro, starch, chemical compounds].

1)Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

2)Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor.

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan pangan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berbagai jenis

pangan diproduksi dengan meningkatkan kuantitas serta kualitasnya untuk memenuhi kebutuhan pangan

masyarakat. Selain dengan meningkatkan jumlahnya, pemenuhan kebutuhan pangan juga dapat dilakukan

dengan mengoptimalkan penggunaan sumber bahan pangan yang beraneka ragam. Hal ini dilakukan

sebagai upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal.

Salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dijadikan alternatif usaha diversifikasi pangan adalah umbi

talas (Colocasia esculenta). Produksi umbi talas di Bogor mencapai 57.311 ton pada tahun 2008 (Bappeda

Bogor, 2008). Umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang penting sebagai penghasil energi di

daerah tropis dan subtrobis (Liu et al., 2006 a). Umbi talas merupakan bahan pangan yang rendah lemak,

bebas gluten dan mudah dicerna.

Bagian tanaman talas berupa umbi berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sebesar

23,79 g per 100 g talas mentah (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1972). Kandungan protein pada

talas mencapai 20 g per kilogram talas, sedangkan umbi kayu dan umbi jalar hanya setengahnya (Parkinson,

1984). Selain itu, umbi talas juga mengandung lemak, vitamin dan mineral walaupun dalam jumlah sedikit.

Mineral yang terkandung dalam umbi talas adalah mineral Ca sebesar 28 mg dan mineral P sebesar 61 mg

per 100 g talas mentah. Vitamin yang terkandung pada umbi talas adalah vitamin A, B1 dan sedikit vitamin

C (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Talas terdiri dari banyak verietas yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Varietas talas dapat

dibedakan berdasarkan morfologinya. Perbedaan varietas ini berpengaruh pada besar umbi talas. Selain itu

perbedaan varietas juga dapat dilihat pada warna umbi, daun dan pelepah daun, umur panen, bentuk dan

ukuran pucuk, rasa gatal dan komposisi kimianya (Ali,1996). Karakteristik umbi talas yang diamati

menurut deskriptor plasma nutfah talas terdapat pada Gambar 1 (Minantyorini dan Somantri, 2002).

Penduduk di beberapa daerah di Hawaii dan Kepulauan Pasifik, menggunakan talas dalam bentuk tepung

sebagai bahan baku makanan sapihan bayi dan balita yang hipersensitif terhadap susu (Jane et al., 1992).

Selain itu, talas juga sering dikonsumsi sebagai makanan pokok bagi orang-orang yang alergi terhadap biji-

bijian tertentu yang mengandung gluten terutama gandum (Lee, 1999). Konsumsi umbi-umbian sebagai

sumber karbohidrat selain gandum dan bahan pangan lain yang mengandung gluten dapat mereduksi

Coeliac disease (CD) atau reaksi hipersensitif lainnya (Fasano dan Catassi, 2001; Rekha dan Padmaja,

2002; Fasano, 2005; Shan et al., 2002).

Pembuatan tepung talas pada umumnya dilakukan melalui tahap pengupasan, pengirisan, pencucian,

pengeringan dan penggilingan (Kay 1973; Onwueme 1978; Ali, 1996; Fauzan, 2005; Mayasari, 2010).

Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering atau dengan menggunakan sinar

matahari (Suarnadwipa et al., 2008). Pengeringan dengan menggunakan pengering buatan memiliki lebih

banyak keuntungan dibandingkan dengan menggunakan sinar matahari. Hal ini dikarenakan suhu

pengeringan dan aliran udaranya dapat diatur sehingga pengeringan lebih cepat dan merata (Winarno,

1993). Selain itu, kebersihan dapat lebih terjaga. Salah satu jenis alat pengering yang biasa digunakan

adalah tray drier (pengering rak). Alat ini bekerja dengan menggunakan bantuan panas dan mudah

dioperasikan (Brown,1950 di dalam Budiyati, et al., 2004).

Proses pengeringan dengan tray drier yang memanfaatkan aliran udara panas menghasilkan produk dengan

penyusutan yang lebih besar dibandingkan pengeringan dengan microwave atau dengan pengering beku

(Heldman et al., 2007). Hal ini dikarenakan pengeringan dengan try drier membutuhkan waktu yang lebih

lama sehingga produk akan mengalami jumlah penyusutan lebih besar (Heldman et al., 2007).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan baku produksi terdiri dari umbi talas varian Mentega, Hiaju, Beneng dan Semir. Umbi talas yang

didapat berasal dari beberapa daerah sekitar Jawa Barat. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk

keperluan analisis antara lain adalah asam klorida, aseton, pankreatin, indikator PP, asam borat, asam sulfat

(pa), pereaksi Cu-Nelson, buffer Na-phosphat, termamyl, larutan iod, natrium hidrodiksida (pa), asam borat

(pa), asam klorida (pa), heksan (teknis), etanol (pa), kalsium karbonat (pa), timbal asetat (pa), natrium

oksalat (pa) dan perkloric acid (pa) dan lain-lain. Bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis sebagian

diperoleh dari toko kimia.

Alat untuk produksi yang digunakan diantaranya adalah timbangan, pengering rak, pin discmill, ayakan 60

mesh dan perlengkapan lainnya. Sedangkan alat yang digunakan untuk keperluan analisis antara lain adalah

timbangan analitik, cawan alumunium, cawan porselen, oven, tanur, desikator, labu lemak, soxhlet, corong

buncher, alumunium foil, waterbath, spektrofotometer, vakum, kjeldahl, sentrifuse, crusibel, kertas saring,

milipore selulosa asetat dan perlengkapan analisis berupa alat-alat gelas.

Metode

Karakterisasi Umbi Talas yang Digunakan

Beberapa varietas talas dikarakterisasi penampakan umbinya, beratnya serta dihitung

rendemennya. Pengamatan karakter umbi pada saat panen meliputi bentuk umbi, warna kulit umbi, warna

daging umbi panjang umbi dan berat umbi. Karakter umbi talas yang diamati menurut deskriptor plasma

nutfah talas (Minantyorini dan Somantri, 2002). Karakter umbi talas diklasifikasikan dengan kode sebagai

berikut:

Panjang umbi : 3 (<8 cm), 5 (8-12 cm), 7 (12-18 cm), dan 99 (>18 cm)

Bentuk umbi: 1 (kerucut), 2 (membulat), 3 (silindris), 4 (elips), 5 (halter), 6 (memanjang), 7 (datar dan

bermuka banyak), 8 (tandan) dan 99 (lainnya)

Warna daging umbi: 1 (putih), 2 (kuning), 3 (oranye), 4 (merah muda), 5 (merah), 6 (merah ungu), 7 (ungu)

dan 99 (lainnya)

Warna kulit umbi: 1 (Putih), 2 (Kuning atau kuning-oranye), 3 (Merah), 4 (Merah muda), 5 (Coklat), 6

(Ungu), 7 (Kehitaman), dan 99 (Lainnya)Berat umbi: 1 (<0,5 kg), 2 (0,5-2,0 kg), 3 (2,0-4,0 kg) dan 99

(>4,0 kg)

b. Penepungan Umbi Talas

Empat jenis talas yaitu talas Beneng, talas Semir, talas Mentega dan talas Hijau diproses menjadi tepung

dengan metode yang dijelaskan pada Gambar 2.

Sebelum mengalami proses penepungan, talas mengalami proses pengupasan atau peeling. Setelah itu, umbi

talas yang telah dikupas kemudian diiris dengan mesin slicer yang menghasilkan lempengan umbi dengan

ketebalan 1-2 mm. Umbi yang telah diiris kemudian direndam dengan air garam 10% selama 30 menit

untuk mereduksi kadar oksalat (Mayasari, 2010). Setelah mengalami proses perendaman, irisan umbi talas

kemudian mengalami pengukusan selama 20 menit. Setelah itu, irisan talas dikeringkan selama 12 jam pada

suhu 50-60oC (Lingga et al., 1989). Irisan talas yang telah dikeringkan kemudian ditepungkan dengan pin

disc mill menggunakan ayakan 60 mesh.

c. Karakterisasi Tepung Talas

1. Analisis Warna (Chromameter Minolta, Gaurav, 2003)

Analisis warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter Minolta. Uji warna dilakukan dengan sistem

warna Hunter L*, a*, b*. Chromameter terlebih dahulu dikalibrasi dengan standar warna putih yang

terdapat pada alat tersebut. Sampel yang dianalisis adalah tepung talas Hijau, tepung talas Beneng, tepung

talas Mentega dan tepung talas Semir. Hasil analisis derajat putih yang dihasilkan berupa nilai L*, a*, b*.

Pengukuran total derajat warna digunakan basis warna putih sebagai strandar (L1, a1, b1) dengan rumus:

2. Analisis Kadar Oksalat (Ross et al., 1999)

Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu erlenmeyer 100 ml. Kemudian

ditambahkan 50 ml HCl 2M (pH 0.08) untuk analisis total oksalat. Kemudian dipanaskan dalam waterbath

pada suhu 800C selama 20 menit. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambah

HCl 2M hingga tanda tera. Setelah itu, disentrifuse dengan kecepatan 1400 rpm selama 15 menit.

Supernatan dari hasil sentrifuse disaring dengan milipore selulosa asetat 0,45 mikrometer. Kemudian

diinjeksikan ke dalam HPLC.

4. Kadar Air (AOAC, 2005)

Sebanyak 1-2 g sampel ditimbang. Setelah itu dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui

beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC selama 3 jam. Kemudian

didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat konstan.

Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar air =

Keterangan:

a= berat cawan dan sampel akhir (g)

b= berat cawan (g)

c= berat sampel awal (g)

4. Kadar Abu (AOAC, 2005)

Sebanyak 2 – 3 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel

dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di

dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC selama 4 – 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna

putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Pengeringan diulangi hingga

diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar abu =

5. Kadar Lemak (AOAC, 2005)

Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 1-2 g, kemudian dibungkus dengan selongsong kertas

saring yang dilapisi dengan kapas dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi

pelarut (dietil eter atau heksana).

Refluks dilakukan selama 6 jam (minimum) pada suhu 800C. Setelah itu pelarut yang ada di dalam labu

lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada

suhu 105oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar lemak (%) =

6. Kadar Protein (AOAC, 2005)

Sebanyak 1,0±0,1 g K2SO4, 40 ml HgO dan dan 2±0,1 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam 0,5 – 1 g

sampel. Sampel dididihkan selama kurang lebih 2 jam sampai cairan menjadi jernih kehijau-hijauan.

Sampel dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air destilata selama

beberapa kali. Sebanyak 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3 ditambahkan ke dalam sampel.

Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan indikator BCG-MR (campuran bromcresol green dan methyl

red) diletakan di bawah ujung kondensor. Sampel didestilasi hingga diperoleh 10-15 ml destilat. Destilat

sampel diencerkan hingga 50 ml. Larutan sampel dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga berwarna

merah muda. Dilakukan penetapan blanko. Penetapan kadar N dan kadar protein dilakukan dengan

persamaan berikut:

Kadar N (%) =

Kadar protein = %N x faktor konversi (tepung talas 5,87, tepung kacang hijau 5,7, tepung pisang 6,25)

b. Penepungan Umbi Talas

Empat jenis talas yaitu talas Beneng, talas Semir, talas Mentega dan talas Hijau diproses menjadi tepung

dengan metode yang dijelaskan pada Gambar 2.

Sebelum mengalami proses penepungan, talas mengalami proses pengupasan atau peeling. Setelah itu, umbi

talas yang telah dikupas kemudian diiris dengan mesin slicer yang menghasilkan lempengan umbi dengan

ketebalan 1-2 mm. Umbi yang telah diiris kemudian direndam dengan air garam 10% selama 30 menit

untuk mereduksi kadar oksalat (Mayasari, 2010). Setelah mengalami proses perendaman, irisan umbi talas

kemudian mengalami pengukusan selama 20 menit. Setelah itu, irisan talas dikeringkan selama 12 jam pada

suhu 50-60oC (Lingga et al., 1989). Irisan talas yang telah dikeringkan kemudian ditepungkan dengan pin

disc mill menggunakan ayakan 60 mesh.

c. Karakterisasi Tepung Talas

1. Analisis Warna (Chromameter Minolta, Gaurav, 2003)

Analisis warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter Minolta. Uji warna dilakukan dengan sistem

warna Hunter L*, a*, b*. Chromameter terlebih dahulu dikalibrasi dengan standar warna putih yang

terdapat pada alat tersebut. Sampel yang dianalisis adalah tepung talas Hijau, tepung talas Beneng, tepung

talas Mentega dan tepung talas Semir. Hasil analisis derajat putih yang dihasilkan berupa nilai L*, a*, b*.

Pengukuran total derajat warna digunakan basis warna putih sebagai strandar (L1, a1, b1) dengan rumus:

2. Analisis Kadar Oksalat (Ross et al., 1999)

Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu erlenmeyer 100 ml. Kemudian

ditambahkan 50 ml HCl 2M (pH 0.08) untuk analisis total oksalat. Kemudian dipanaskan dalam waterbath

pada suhu 800C selama 20 menit. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambah

HCl 2M hingga tanda tera. Setelah itu, disentrifuse dengan kecepatan 1400 rpm selama 15 menit.

Supernatan dari hasil sentrifuse disaring dengan milipore selulosa asetat 0,45 mikrometer. Kemudian

diinjeksikan ke dalam HPLC.

4. Kadar Air (AOAC, 2005)

Sebanyak 1-2 g sampel ditimbang. Setelah itu dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui

beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC selama 3 jam. Kemudian

didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat konstan.

Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar air =

Keterangan:

a= berat cawan dan sampel akhir (g)

b= berat cawan (g)

c= berat sampel awal (g)

4. Kadar Abu (AOAC, 2005)

Sebanyak 2 – 3 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel

dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di

dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC selama 4 – 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna

putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Pengeringan diulangi hingga

diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar abu =

5. Kadar Lemak (AOAC, 2005)

Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 1-2 g, kemudian dibungkus dengan selongsong kertas

saring yang dilapisi dengan kapas dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi

pelarut (dietil eter atau heksana).

Refluks dilakukan selama 6 jam (minimum) pada suhu 800C. Setelah itu pelarut yang ada di dalam labu

lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada

suhu 105oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar lemak (%) =

6. Kadar Protein (AOAC, 2005)

Sebanyak 1,0±0,1 g K2SO4, 40 ml HgO dan dan 2±0,1 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam 0,5 – 1 g

sampel. Sampel dididihkan selama kurang lebih 2 jam sampai cairan menjadi jernih kehijau-hijauan.

Sampel dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air destilata selama

beberapa kali. Sebanyak 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3 ditambahkan ke dalam sampel.

Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan indikator BCG-MR (campuran bromcresol green dan methyl

red) diletakan di bawah ujung kondensor. Sampel didestilasi hingga diperoleh 10-15 ml destilat. Destilat

sampel diencerkan hingga 50 ml. Larutan sampel dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga berwarna

merah muda. Dilakukan penetapan blanko. Penetapan kadar N dan kadar protein dilakukan dengan

persamaan berikut:

Kadar N (%) =

Kadar protein = %N x faktor konversi (tepung talas 5,87, tepung kacang hijau 5,7, tepung pisang 6,25).

7. Analsis Karbohidrat (by difference, Winarno, 1986)

Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu dengan perhitungan melibatkan kadar air,

kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam menghitung

kadar karbohidrat dengan metode by difference.

Kadar karbohidrat (%) = 100% – (% kadar air + %kadar abu + %kadar protein + % kadar lemak)

8. Kadar Serat Kasar (AOAC, 2005)

Sebanyak 2,0 g contoh dipindahkan ke dalam labu ekstraksi (500 ml) dengan pendingin tegak. Contoh

dididihkan dengan 200 ml H2SO4 1,25% selama 30 menit. Dilakukan penimbangan pada kertas saring yang

akan digunakan (A). Sampel disaring dengan kertas saring pada corong Buchner yang dihubungkan dengan

vakum dan dicuci dengan air panas. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke cawan porselin yang telah

diketahui bobotnya (B). Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, kemudian didinginkan dan

ditimbang hingga bobotnya tetap (C). Bila ternyata kadar serat kasar lebih besar dari 1%, kertas saring

beserta isinya diabukan, ditimbang dan didinginkan hingga bobot tetap (D).

Serat kasar < 1%, Kadar serat kasar =

Serat kasar > 1%, Kadar serat kasar =

9. Analisis Amilosa dan Amilopektin (Hartati et al., 2003)

Sampel sebanyak 100 mg ditempatkan dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9

ml NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih hingga terbentuk gel, kemudian dipindahkan ke

dalam labu takar 100 ml. Gel ditambahkan dengan air dan dikocok, kemudian ditepatkan dengan air hingga

100 ml. Sebanyak 5 ml larutan dimasukan ke dalam labu takar dan ditambahkan dengan 1 ml asam asetat 1

N dan 2 ml larutan iod. Larutan ditepatkan hingga 100 ml kemudian dikocok dan dibiarkan selama 20

menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625

nm. Kadar amilosa dihitung berdasarkan persamaan kurva standar amilosa. Kadar amilopektin dihitung

berdasarkan selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa yang didapatkan.

10. Analisis Serat Pangan Metode Enzimatis (Asp et al., 1983)

Satu gram sampel bebas lemak dimasukan ke dalam Erlenmeyer, ditambahkan 25 ml 0,1 M buffer Na-

phosphat pH 6 dan diaduk. Setelah itu, ditambah 0,1 ml enzim termamyl dan diinkubasi dalam penangas air

suhu 1000C selama 15 menit. Labu sampel diangkat, didinginkan kemudian ditambahkan 20 ml air destilata

dan pH diatur menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin dan

pH dikondisikan hingga 1,5. Setelah itu diinkubasikan kembali pada suhu 400C. Setelah diagitasi selama 60

menit, sampel ditambah 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6,8. Setelah itu ditambahkan 100 mg

pankreatin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 400C selama 60 menit sambil diagitasi. Terakhir pH diatur

dengan HCl hingga 4,5. Sampel dicuci dua kali dengan 10 ml etanol 95% dan dua kali dengan 10 ml aseton.

Setelah itu 100ml etanol 95% hangat dan diendapkan selama 1 jam. Endapan disaring dengan crucible

kering dan dicuci dengan dua kali 10 ml etanol 78% dan dua kali 10 ml aseton. Setelah itu dikeringkan

hingga berat konstan, setelah itu ditimbang (D). Selanjutnya diabukan dan ditimbang (I).

TDF =

Keterangan:

w= berat sampel (g)

D= berat setelah dianalisis dan dikeringkan (g)

I= berat setelah diabukan (g)

B= berat blanko bebas serat (g)

11. Kadar Pati (Hartati et al., 2003)

Analisis kadar pati dilakukan pada tepung talas, tepung kacang hijau dan tepung pisang untuk mengetahui

jumlah pati yang terdapat pada tepung. Tepung dengan kadar pati yang tinggi merupakan tepung yang akan

digunakan sebagai bahan baku. Sampel dihidrolisis dengan alkohol 80% dalam waterbath. Kemudian

endapan dipisahkan dan dihidrolisis kembali dengan 9,2 N HClO4 sebanyak tiga kali dan dinetralisir

kembali dengan 1 N NaOH. Selanjutnya direduksi dengan pereaksi Cu dan Nelson. Kadar Pati diukur

dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm.

13. Rendemen

Perhitungan rendemen dihitung berdasarkan bobot awal dengan bobot akhir. Rendemen dihitung menggunakan

persamaan:

Rendemen=

14. Kalori

Kadar kalori dihitung berdasarkan jumlah karbohidrat, protein dan lemak yang terdapat dalam bahan pangan.

Berikut ini adalah perhitungan yang dilakukan untuk menentukan jumlah kalori.

Kalori (Kkal/100g) = (a x 4) + (b x 4) + (c x 9)

Keterangan:

a= hasil analisa karbohidrat (g/100g)

b= hasil analisa protein (g/100g)

c= hasil analisa lemak (g/100g)

15. Pengolahan Data

Uji anova dilakukan dengan menggunakan SPSS 11.5. Uji tersebut dilakukan dengan analisis univariate untuk

melihat adanya perbedaan nyata pada selang kepercayaan 95%. Apabila terdapat perbedaan nyata pada selang

kepercayaan 95% maka, analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan untuk melihat sampel yang

berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Sampel yang berbeda nyata ditunjukan dengan huruf yang berbeda

dan terdapat pada subset yang berbeda.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisasi Umbi Talas

Pemilihan bahan merupakan langkah awal dalam penelitian ini. Terdapat empat jenis talas yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu talas Mentega, talas Hijau, talas Semir dan talas Beneng. Talas yang akan digunakan

perlu dikarakterisasi sebelum dijadikan tepung. Hal ini dilakukan untuk melihat karakteristik talas yang akan

digunakan. Umbi talas yang digunakan adalah talas dengan umur panen 8-10 bulan. Pengamatan karakter umbi

pada saat panen meliputi bentuk umbi, warna kulit umbi, warna daging umbi, panjang umbi dan berat umbi.

Karakteristik berbagai varietas talas dapat dilihat pada Tabel 1.

x 100%

Berat bahan akhir (g)

Berat bahan awal (g)

Tabel 1. Karakteristik berbagai varietas talas

Karakteristik talas Varietas

Mentega Hijau Semir Beneng

Asal Sukabumi Bogor Sumedang Pandeglang

Bentuk Umbi kerucut membulat halter memanjang

Warna kulit umbi merah merah coklat coklat

Warna daging umbi kuning putih putih kuning

Panjang Umbi(cm) 7 10,3 11 93

Diameter Umbi (cm) 8 19 12 13

Berat Umbi (g) 460,0 1.380,0 950,0 16.900,0

Berat Umbi kupas (g) 273,3 980,0 716,66 12.430,0

Berat Kulit+batang (g) 213,33 400,00 230,48 4.500,0

Rendemen (%) 59,41 71,01 75,43 73,29

Talas yang ditemukan di daerah tersebut rata-rata memiliki tampilan fisik dan ukuran yang bervariasi.

Minantyorini dan Somantri (2002) mengklasifikasikan bentuk umbi talas ke dalam 8 kategori (gambar 1). Talas

Mentega yang berasal dari daerah sekitar antara Sukabumi dan Bogor memiliki umbi berbentuk kerucut (kode

1). Berbeda dengan talas Mentega, talas Hijau yang berada di daerah sekitar Bogor memiliki bentuk umbi yang

membulat (kode 2). Sedangkan talas Semir yang berasal dari daerah Sumedang memiliki umbi berbentuk halter

dan talas Beneng dari daerah Pandeglang memiliki umbi berbentuk memanjang (kode 6).

Talas Beneng merupakan talas dengan ukuran umbi yang relatif besar dibandingkan dengan talas Hijau, dan

talas Mentega. Onwueme (1978) menyatakan bahwa umbi primer berbentuk silinder yang panjangnya mencapai

30 cm dan berdiameter hingga 15 cm. Ukuran panjang talas Hijau dan talas Semir temasuk ke dalam kategori 5

yaitu dengan ukuran panjang umbi 8-12 cm talas (Minantyorini dan Somantri 2002). Talas Hijau memiliki

ukuran diameter silinder umbi 19 cm dengan panjang umbi 10,3 cm. Talas Semir memiliki ukuran diameter

silinder umbi 12 cm dengan panjang umbi 11 cm. Gambar 3 menunjukkan umbi talas yang digunakan.

Umbi talas Mentega Umbi talas Beneng Umbi talas Semir Umbi talas Hijau

Gambar 3. Empat jenis umbi talas yang dikarakterisasi

Berbeda dengan talas Hijau dan talas Semir, talas Mentega diklasifikasikan dalam kategori 3 (<8cm) menurut

ukuran panjang umbi talas (Minantyorini dan Somantri 2002). Talas Mentega memiliki ukuran diameter silinder

umbi 8 cm dengan panjang umbi 7 cm. Talas Beneng merupakan talas dengan ukuran paling besar yaitu dengan

ukuran diameter umbi 13 cm dan panjang umbi 93 cm. Talas ini diklasifikasikan ke dalam kategori 9 dengan

ukuran panjang umbi >18cm (Minantyorini dan Somantri 2002).

Ukuran talas yang berbeda-beda menghasilkan bobot umbi yang berbeda. Menurut klasifikasi Minantyorini dan

Somantri (2002), kategori bobot talas dibagi menjadi 3 yaitu kategori 1 (<0,5 kg), 2 (0,5-2,0 kg), 3 (2,0-4,0) dan

99 (>4,0).Talas Mentega merupakan talas dengan bobot rata-rata terendah yaitu sebesar 460 gr dan termasuk ke

dalam kategori 1 (<0,5 kg). Berat umbi talas Hijau dan talas Semir termasuk ke dalam kategori 2 dengan berat

umbi antara 0,5-2,0 kg. Rata-rata berat umbi talas Hijau adalah 1,380 kg dan talas Semir 0,950 kg. Sedangkan

talas Beneng merupakan talas dengan bobot paling besar yaitu dengan berat 16,9 kg dan termasuk dalam

kategori 99.

Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa semakin besar ukuran umbi maka semakin berat bobotnya. Hal

ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Setyowati (2007) bahwa panjang umbi berbanding lurus dengan bobot

umbi. Hal ini menunjukkan kecenderungan semakin panjang umbi semakin besar diameter umbinya sehingga

ukuran umbi semakin besar. Rendemen talas yang dapat dimakan dari umbi talas berkisar anara 59,41%-

75,43%. Talas Mentega memiliki rendemen terendah yaitu 59,41%, talas Hijau 71,01%, talas Beneng 73,29%

dan talas Semir 75,43%. Perbedaan besar rendemen dipengaruhi oleh berat kulit dan batang umbi talas masing-

masing varietas. Talas dengan kulit yang tebal dan batang yang besar memiliki rendemen yang lebih rendah

dibandingkan talas dengan kulit yang lebih tipis dan batang yang kecil.

Berdasarkan hasil pengamatan, warna kulit umbi bervariasi antara coklat dan kemerah-merahan, sedangkan

warna daging umbi talas yang dikarakterisasi bervariasi antara kuning dan putih. Perbedaan warna kulit dan

daging umbi dipengaruhi oleh varietas tanaman, tempat tumbuh, nutrisi yang didapatkan dan faktor cuaca.

Talas Mentega memiliki kulit umbi berwarna kemerah-merahan dengan daging umbi berwarna kuning. Sama

halnya dengan talas Mentega, talas Hijau memiliki kulit umbi berwarna kemerah-merahan namun dengan

daging umbi yang berwarna putih. Talas Semir dan talas Beneng memiliki kulit umbi berwarna coklat. Talas

Semir memiliki daging umbi berwarna putih sedangkan talas Beneng berwarna kuning. Menurut Muchtadi dan

Sugiyono (1992), talas memiliki kulit berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh.

Setyowati (2007) melaporkan bahwa umbi talas yang banyak dipasarkan adalah yang berwarna putih dan

kuning.

B. Karakterisasi Fisik dan Kimia Tepung Talas

Keempat jenis umbi talas yang digunakan kemudian diolah menjadi tepung. Penepungan pada umbi talas

mengakibatkan perubahan struktur fisik produk dan komponen kimia di dalamnya akibat tahap pengeringan

yang dilakukan pada proses penepungan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi proses, metode proses, kondisi bahan

dan perlakuan pendahuluan, suhu dan waktu pengeringan (Mohamed dan Hussein, 1994; Heldman et al., 2007).

Gambar 4 menunjukkan hasil penepungan talas.

Gambar 4. Empat jenis tepung talas hasil penepungan

Pengeringan menyebabkan kadar air berkurang hingga kadar air mencapai kesetimbangan sehingga bersifat

mengawetkan (Wiratakusumah et al., 1992; Fellows, 2000; Muchtadi et al., 1995 di dalam Asgar et al., 2006).

Selain itu, pengeringan juga menyebabkan penyusutan bahan (Heldman et al., 2007). Hal ini disebabkan pada

saat air keluar dari bahan terjadi gradien tekanan pada bahan yang menyebabkan bahan mengalami penyusutan

(Mayor et al., 2004; Heldman et al., 2007).

Berikut ini adalah hasil karakterisasi fisik dan kimia yang dilakukan terhadap keempat jenis tepung talas untuk

mendapatkan satu jenis tepung talas dengan karakteristik yang diinginkan.

1. Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu parameter yang penting pada bahan pangan karena berkaitan dengan mutu dan

umur simpan produk (Winarno, 1995). Kadar air tepung talas yang diperoleh berkisar antara 4,29-5,72%.

Kondisi ini sudah memenuhi syarat kadar air yang aman untuk tepung yaitu <14% sehingga dapat mencegah

pertumbuhan kapang (Winarno dan Jenie, 1974 di dalam Honestin, 2007; Fardiaz, 1989). Gambar 5

menunjukkan hasil analisis kadar air tepung talas.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 5. Hasil analisis kadar air berbagai jenis tepung talas

Talas Hijau

Talas Mentega

Talas Semir

Talas Beneng

Berdasarkan analisis ANOVA, tepung talas Hijau memiliki kadar air tertinggi diantara keempat varietas,

sedangkan tepung talas Beneng memiliki kadar air terendah diantara keempat varietas. Hasil analisis kadar air

tepung talas dari keempat varietas yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan tepung talas pada

penelitian sebelumnya yaitu sebesar 6,05-8,19% (Ridal, 2003; Aprianita et al., 2009). Perbedaan kadar air dapat

disebabkan karena perbedaan jenis talas yang digunakan, kondisi saat panen, penyimpanan bahan, dan kondisi

proses pengeringan.

2. Kadar Abu

Kadar abu tepung talas yang diperoleh, rata-rata berkisar antara 1,55-3,43%. Berdasarkan analisis ANOVA,

tepung talas hijau dan tepung talas Semir dan Hijau memiliki kadar abu terendah diantara keempat varietas.

Sedangkan tepung talas Beneng memiliki kadar abu sebesar 3,43 0,1% yang merupakan kadar abu tertinggi

diantara keempat varietas. Gambar 6 menunjukkan hasil analisis kadar abu tepung talas.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 6. Hasil analisis kadar abu berbagai jenis tepung talas

Kadar abu merupakan komponen yang berisi unsur mineral yang tertinggal setelah bahan dibakar hingga bebas

dari karbon. Komponen ini tidak mudah menguap pada proses pembakaran dan pemijaran senyawa organik.

Perbedaan kadar abu yang terdapat pada tepung talas dapat disebabkan dari mineral dalam umbi segar,

pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan (Soebito, 1988 di

dalam Ridal, 2003).

3. Kadar Pati

Kadar pati keempat jenis tepung talas yang diuji berkisar antara 75,01-79,07%. Berdasarkan hasil pengolahan

data dengan uji ANOVA, kadar pati tertinggi terdapat pada tepung talas Mentega dengan nilai 79,07±0,9%.

Perbedaan jumlah kadar pati pada tepung talas yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaaan varietas

tanaman tersebut. Gambar 7 menunjukkan hasil analisis pati tepung talas.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 7. Hasil analisis kadar pati berbagai jenis tepung talas

Nilai analisis kadar pati yang dilakukan sesuai dengan yang dilaporkan Quach et al. (2000) yang menyatakan

bahwa kandungan pati pada umbi talas berkisar antara 70-80 gr/100 gr basis kering. Menurut Aprianita et al.

(2009) dan Perez et al. (2007), pati talas memiliki viskositas yang tinggi yang disebabkan oleh ukuran

granulanya yang kecil. Hal ini mengindikasikan struktur granula yang rigid dan menyebabkan tingginya

swelling power sehingga viskositanya tinggi (Singh et al., 2003; Leon et al., 2006). Sifat fungsional pati pada

tepung dipengaruhi oleh varietas, kondisi alam, dan tempat tanaman tersebut berasal (Srichuwong et al., 2005;

Riley et al., 2006).

5. Kadar Oksalat

Kadar oksalat tepung talas yang diperoleh berkisar antara 219,33-759,98 ppm. Kadar oksalat tertinggi terdapat

pada tepung talas Hijau. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2010). Sedangkan yang

terendah adalah kandungan oksalat tepung talas Semir, tepung talas Beneng dan tepung talas Mentega. Namun,

kandungan oksalat keempat jenis tepung talas yang diperoleh berada di bawah batas toksik yaitu antara 2-

5g/100g bahan (Hui, 1992; Munro dan Bassir, 1969 di dalam McEwan, 2008). Gambar 9 menunjukkan hasil

analisis kadar oksalat tepung talas.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 9. Hasil analisis kadar oksalat tepung talas

Asam oksalat (H2C2O4) merupakan asam organik yang tersebar di seluruh bagian tanaman (Liebman, 2002).

Garamnya terdapat dalam bentuk oksalat terlarut dan tidak terlarut (Huang et al., 1992). Oksalat merupakan

komponen antinutrisi yang dapat menyebabkan iritasi kulit pada jumlah tertentu. Proses perlakuan pada bahan

pangan dapat menghilangkan sebagian dari zat antinutrisi yang terdapat pada bahan pangan (Adeparusi, 2001;

West et al., 2007). Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan perendaman dalam larutan garam dan

pengukusan (Fauzan, 2005; Mayasari, 2010; Wahyudi, 2010). Perbedaan jumlah kadar oksalat pada tepung talas

yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaaan varietas tanaman tersebut (Wahyudi, 2010).

6. Kadar Lemak

Kadar lemak tepung talas yang didapatkan, rata-rata berkisar antara 1,12-1,36%. Gambar 10 menunjukkan hasil

analisis kadar lemak tepung talas. Berdasarkan analisis ANOVA, terdapat beberapa data kadar lemak dari

keempat tepung talas yang memiliki perbedaan nyata pada selang kepercayaan 95%.

Tepung talas Mentega memiliki kadar lemak tertinggi, sedangkan tepung talas Beneng dan tepung talas Semir

memiliki kadar lemak terendah diantara keempat jenis tepung talas. Namun, kadar lemak pada tepung yang

dihasilkan masih tergolong rendah. Perbedaan kadar lemak pada keempat jenis tepung talas disebabkan

perbedaan varietas talas yang digunakan.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 10. Hasil analisis kadar lemak tepung talas

Kadar lemak yang tinggi pada tepung dapat mengganggu proses gelatinisasi karena lemak dapat membentuk

kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa (Fennema, 1996). Selain itu, lemak juga

dapat membentuk lapisan hidrofobik pada granula pati yang dapat menghambat terjadinya proses gelatinisasi

(Fennema, 1996).

7. Kadar Protein

Kadar protein keempat jenis tepung talas yang diuji berkisar antara 5,75-6,29%. Berdasarkan hasil pengolahan

data dengan uji ANOVA, kadar protein tertinggi terdapat pada tepung talas Beneng (6,29±0,18%). Perbedaan

kadar protein pada keempat jenis tepung talas disebabkan perbedaan varietas talas yang digunakan. Gambar 11

menunjukkan hasil analisis kadar protein tepung talas.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 11. Hasil analisis kadar protein tepung talas

Nilai kadar protein yang diperoleh dari hasil pengujian hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Aprianita et al. (2009) yaitu sebesar 6,28±0,07% dan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh

Tattiyakul et al. (2006) yaitu sebesar 0,9-1,3%. Kadar protein yang tinggi pada tepung dapat menyebabkan

viskositasnya menurun. Hal ini disebabkan karena granula pati melekat pada matriks protein yang dapat

menurunkan interaksi antara granula pati dengan air sehingga dapat menurunkan kemampuan swelling power

granula pati (Aprianita et al., 2009). Namun, kandungan protein yang tinggi dapat menguntungkan karena tidak

memerlukan adanya bahan substitusi lain dalam aplikasinya.

8. Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat keempat jenis tepung talas yang diuji berkisar antara 84,88-85,91%. Gambar 12

menunjukkan hasil analisis kadar karbohidrat tepung talas. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan uji

ANOVA, kadar karbohidrat terendah terdapat pada talas Beneng. Menurut Jane et al. (1992), kadar karbohidrat

berbagai jenis talas yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda memiliki nilai yang bervariasi. Perbedaan

ini juga disebabkan varietas yang berbeda dan kondisi budidaya yang berbeda.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 12. Hasil analisis kadar karbohidrat tepung talas

Talas merupakan jenis umbi-umbian yang merupakan sumber karbohidrat yang penting sebagai sumber energi

yang digunakan sebagai bahan pangan pokok di daerah tropis dan subtropis (Liu et al., 2006a). Tingginya kadar

karbohidrat tidak tercerna pada talas menyebabkan umbi talas memiliki daya cerna yang rendah. Hal ini dapat

memberikan dampak positif bagi kesehatan dalam mencegah penyakit seperti obesitas dan tekanan darah tinggi

(Aprianita et al., 2009).

9. Kadar Serat kasar

Serat kasar tepung talas rata-rata berkisar antara 2,25-2,99%. Gambar 13 menunjukkan hasil analisis kandungan

serat kasar pada tepung talas. Berdasarkan analisis ANOVA, Talas Beneng memiliki kadar serat kasar tertinggi

diantara keempat jenis talas sedangkan yang terendah adalah tepung talas Mentega. Perbedaan kadar serat kasar

pada keempat jenis tepung talas disebabkan perbedaan varietas talas yang digunakan.

Serat kasar memberikan dampak positif bagi kesehatan untuk mengurangi resiko penyakit degeneratif

diantaranya adalah menurunkan respon insulin dan indeks glikemik bahan pangan, menurunkan kadar

kolesterol yang berlebihan dan menurunkan resiko penyakit kanker kolon (Asp et al., 1996;

Granfeldt et al., 1992 di dalam Saifullah et al., 2009).

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 13. Hasil analisis kadar serat kasar tepung talas

Selain serat, terdapat juga karbohidrat tidak tercerna lainnya yaitu pati resisten yang memiliki fungsi yang sama

dengan serat dalam memberikan manfaat kesehatan (Asp et al., 1996; Medoua et al., 2007). Menurut Aprianita

et al. (2009), kandungan pati resisten yang terdapat pada talas lebih besar dibandingkan dengan kandungan yang

terdapat pada gandum dan beras yang dilaporkan oleh Liu et al. (2006a).

10. Kadar Serat Pangan

Kadar serat pangan yang didapat berkisar antara 6,08-7,19%. Gambar 14 menunjukkan hasil analisis kandungan

serat pangan pada tepung talas. Tepung talas Mentega memliki kandungan serat pangan terendah diantara ketiga

tepung talas lainnya sedangkan tepung talas Beneng mengandung kadar serat pangan tertinggi diantara keempat

tepung talas lainnya. Perbedaan kandungan serat pangan pada bahan tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan

varietas tanaman.

Serat pangan merupakan komponen dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim

pencernaan manusia, namun masih dapat dihidrolisis dengan asam atau basa (Muchtadi, 2001).

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 14. Hasil analisis kadar serat pangan tepung talas

Kadar serat pangan dihitung dengan secara enzimatis. Kadar serat pangan total terdiri serat pangan larut air dan

pangan tidak larut air (Muchtadi, 2001). Serat pangan larut air berperan dalam menurunkan kadar kolesterol

dalam plasma darah, sehingga dapat mencegah timbulnya arterosklerosis dan penyakit jantung koroner

(Muchtadi, 2001). Sedangkan serat pangan yang tidak larut berfungsi dalam mengatasi masalah pencernaan

sehingga dapat mengurangi resiko kanker kolon (Muchtadi, 2001).

11. Kadar Kalori

Kadar kalori keempat jenis tepung talas yang didapat berkisar antara 374,69-378,98 kkal. Gambar 15

menunjukkan hasil analisis kandungan kalori pada tepung talas.

Ket: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 15. Hasil analisis kadar kalori tepung talas

Kadar kalori keempat tepung talas dihitung dengan menggunakan perhitungan kadar protein, kadar lemak dan

kadar karbohidrat. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan uji ANOVA, kandungan kalori yang tertinggi

terdapat pada tepung talas Mentega sedangkan yang terendah terdapat pada tepung talas Beneng. Perbedaan

kadar kalori yang didapat diantara keempat jenis tepung talas disebabkan oleh perbedaan komponen

karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat pada masing-masing jenis tepung talas tersebut.

12. Analisis warna

Nilai L*,a* dan b* dikonversi menjadi nilai ΔE sehingga dapat dilihat nilai total derajat warna yang dihasilkan

(Moodley et al., 1999). Semakin rendah nilai ΔE, maka warna sampel semakin mendekati warna standar yaitu

putih. Tabel 2 menujukkan hasil analisis dengan chromameter.

Tabel 2. Hasil pengamatan warna dengan Chromameter

Ket:

nilai

dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan hasil analisis ANOVA, tepung talas Mentega memiliki nilai ΔE terendah dibandingkan keempat

tepung talas lainnya. Hal ini berarti tepung talas Mentega memiliki warna paling putih, mendekati warna

standar. Perbedaan warna tepung yang dihasilkan terjadi karena perbedaan warna daging umbi. Hal ini

disebabkan varietas umbi talas yang berbeda.

C. Ringkasan Hasil Analisis Kimia Tepung Talas

Berdasarkan hasil karakterisasi yang dilakukan, perbedaan yang dimiliki dari keempat tepung talas baik dari

segi fisik maupun kimia tidak banyak berbeda kecuali kandungan oksalat yang terdapat di dalamnya. Tabel 3

menunjukkan ringkasan hasil analisis komponen kimia tepung talas yang dilakukan.

Tabel 3. Hasil analisis komponen kimia tepung talas

Ket: nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan hasil anaslisis komponen kimia, perbedaan tertinggi terletak pada kandungan oksalat pada tepung

talas. Tepung talas Hijau memiliki kandungan oksalat yang paling tinggi diantara keempat tepung talas,

sedangkan kandungan oksalat pada tepung talas Mentega tidak berbeda nyata dengan kandungan oksalat tepung

talas Beneng dan Semir.

IY. KESIMPULAN

Umbi talas Mentega berasal dari Sukabumi memiliki kulit umbi berwarna kemerahan dengan warna daging

umbi kekuningan dan memiliki umbi berbentuk kerucut dengan ukuran panjang <8cm. Umbi talas Hijau berasal

dari Bogor memiliki kulit umbi berwarna kemerahan dengan warna daging umbi putih dan memiliki umbi

dengan bentuk membulat. Umbi talas Hijau memiliki ukuran umbi dengan panjang 8-12 cm. Umbi talas Semir

berasal dari Sumedang memiliki kulit umbi berwarna kecoklatan dengan warna daging umbi putih dan memiliki

umbi dengan bentuk halter. Umbi talas Semir memiliki ukuran umbi dengan panjang 8-12 cm. Umbi talas

Beneng berasal dari Pandeglang memiliki kulit umbi berwarna kecoklatan dengan warna daging umbi

kekuningan dan memiliki umbi dengan bentuk memanjang. Umbi talas Beneng memiliki ukuran umbi dengan

panjang >18cm.

Berdasarkan hasil karakterisasi kimia dan fisik yang dilakukan terhadap empat varian tepung talas, perbedaan

yang dimiliki dari segi fisik maupun kimia tidak banyak berbeda kecuali kandungan oksalat yang terdapat di

dalamnya. Tepung talas Hijau memiliki kandungan oksalat yang paling tinggi diantara keempat tepung talas,

sedangkan kandungan oksalat pada tepung talas Mentega tidak berbeda nyata dengan kandungan oksalat tepung

talas Beneng dan Semir. Kadar oksalat tepung talas yang diperoleh berkisar antara 219,33-759,98 ppm. Kadar

air tepung talas yang diperoleh berkisar antara 4,29-5,72% sedangkan kadar abunya rata-rata berkisar antara

1,55-3,43%. Kadar pati keempat jenis tepung talas yang diuji berkisar antara 75,01-79,07% dengan kadar lemak

yang didapatkan, rata-rata berkisar antara 1,12-1,36%. Kadar protein dari keempat jenis tepung talas tersebut

berkisar antara 5,75-6,29% sedangkan kadar karbohidratnya berkisar antara 84,88-85,91%. Serat kasar yang

terdapat pada keempat jenis tepung talas yang diuji rata-rata berkisar antara 2,25-2,99% sedangkan kadar serat

pangannya berkisar antara 6,08-7,19%. Selain itu, kadar kalori keempat jenis tepung talas yang didapat berkisar

antara 374,69-378,98 kkal.

V. DAFTAR PUSTAKA

1. Adeparusi, EO. 2001. Effect of processing on the nutrients and anti-nutrients of lima bean (Phaseolus

lunatus L.) flour. Nahrung I Food 45, 94 – 96.

2. Ali, AA. 1996. Mempelajari Pengaruh Sulfurisasi dan Suhu Pengeringan Terhadap Sifat Fisik Kimia

Tepung Talas Lampung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

3. AOAC. 2005. Official of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. Arlington:

AOAC Inc.

4. Aprianita, A, U Purwandari, B Watson dan T Vasiljevic. 2009. Physico-chemical properties of fours

and starches from selected commercial tubers available in Australia. International Food Research

Journal 16: 507-520.

5. Asgar, A dan D Musaddad. 2006. Optimalisasi cara, suhu, dan lama blansing sebelum

pengeringan pada wortel. J. Hort. 16(3):245-252.

6. Asp, NG, CG Johannson, H Hallmer dan M Sijestrin. 1983. Rapid Assay of Insoluble and Soluble

Dietary Fiber. J. Agr. Food Chem 31: 476-482.

7. Asp, NG, JMM Van Amelsvoort dan JGAJ Hautvast. 1996. Nutritional implications of resistant starch.

Nutrition Research Review 9, 1–31.

8. Bappeda Bogor. 2008. www.bogorkab.go.id. Diakses 3 Januari 2010.

9. Brown, GG. 1950. Unit Operation. Jhon Willey & Sons, New York.

10. Budiyati, CS dan Kristinah Haryani. 2004. Pengaruh suhu terhadap kadar vitamin c pada pembuatan

tepung tomat. Prosiding Seminar nasional rekayasa kimia dan proses 2004. Jurusan Teknik Kimia,

Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

11. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 1972. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata. Jakarta.

57pp.

12. Fasano, A. 2005. Clinical presentation of coeliac disease in the pediatric population. Gastroenterologia

128, 68–73.

13. Fasano, A dan C Catassi, 2001. Current approaches to diagnosis and treatment of coeliac disease, an

evolving spectrum. Gastroenterologia 120, 636–651.

14. Fauzan, F. 2005. Formulasi Flakes Komposit dari Tepung Talas, Tepung Tempe dan Tapioka. Skripsi.

Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

15. Fellows, PJ. 2000. Food Processing Technology: Principle and Practice. Edisi ke dua. CRC Press. Boca

Ranton. England.

16. Fennema, OR. 1996. Food Chemistry. 3rd

Edition. Marcel Decker Inc. New York.

17. Gaurav, Sharma. 2003. Digital Color Imaging Handbook. CRC Press. ISBN 084930900X.

18. Granfeldt, Y, I Björck, A Drews dan J Tovar. 1992. An in vitro procedure based on chewing to

predict metabolic response to starch in cereal and legume products, European Journal of Clinical

Nutrition 46: 649-660.

19. Hartati dan Prana. 2003. Ananlisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa Kultivar Talas. Jurnal

Natur Indonesia 6 (1):29-33.

20. Heldman, DR dan Darryl B. Lund (editor). 2007. Handbook of Food Engineering. Edisi ke 2. CRC

Press.

21. Honestin, Trifena. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas). Skripsi.

Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

22. Huang AS dan LS Tanudjaja.. 1992. Application of anion-exchange high-performance liquid

chromatography in determining oxalates in taro (Colocasia esculenta) corms. J. Agri Food Chem 40,

2123 – 6.

23. Hui, YH. 1992. Oxalates. In: Encyclopedia of Food Science and Technology. Vol. 3, John Wiley and

sons, Inc. p 58.

24. Jane, J, L Shen, S Lim, T Kasemsuwantt dan WK Nip. 1992. Physical and chemical studies of taro

starches and flours. J. Cereal Chemistry, pp: 69.

25. Kay, DE. 1973. Roots Crop. The Tropical Products Institute Foreign and Common Wealth Office.

London.

26. Lee, W. 1999. Taro (Colocasia esculenta) [Electronic Version]. Ethnobotanical Leaflets.

27. Leon, AE, GN Barrera, GT Perez, PD Ribotta dan CM Rosell. 2006. Effect of damaged starch levels on

four-thermal behaviour and bread staling. European Food Research and Technology 224: 187-192.

28. Liebman, M. 2002. The truth about oxalate: answers to frequently asked questions. The Vulvar Pain

Newsletter, no. 22 [online].

29. Lingga, P, B Sarwono, I Rahardi, PC Rahardjo, JJ Afriastini, R Wudianto dan WH Apriadji. 1989.

Bertanam Umbi-Umbian. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

30. Liu, Q, E Donner, Y Yin, RL Huang dan MZ Fan. 2006

a. The physicochemical properties and in vitro digestibility

of selected cereals, tubers, and legumes grown in China. Food Chemistry 99: 470-477.

31. Mayasari, N. 2010. Pengaruh Penambahan Larutan Asam dan Garam sebagai Upaya Reduksi Oksalat.

Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian-IPB. Bogor.

32. Mayor, L dan AM Sereno. 2004. Modelling shrinkage during convective drying of food materials: a

review. J. Food Eng., 61: 373–386.

33. McEwan, Ronalda. 2008. Anti-nutritional Constituent of Colocasia esculenta (Amadumbe) A

Traditional Crop Food in Kwazulu-Natal. Thesis. Faculty of Science University Zululand.

34. Minantyorini dan IH Somantri 2002. Panduan Karakterisasi dan Evaluasi Plasma nutfah Talas. Komisi

Nasional Plasma Nutfah. 83 hlm.

35. Mohamed, S dan R Hussein. 1994. Effect of low temperature blanching, Cysteine-HCl, N-acetyl-L-

Cysteine, Na-Metabisulphit and drying temperature

on the firmness and nutrient content of dried carrots. J. Food Proc and Pres. 18:343-348.

36. Moodley, M, A Dunsmore dan L De Jager. 1999. Evaluation of the hunterlab colour measuring. Proc S

Afr Sug Teclznol Ass (1999) 73.

37. Muchtadi, TR, dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU. Bogor.

38. Muchtadi, D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah timbulnya penyakit

degeneratif. Jurnal Tek. Industri Pangan, VoL XII, No.1: 61-71

39. Muchtadi, D, CH Wijaya, S Koswara dan R Afrina.

1995. Pengaruh pengeringan dengan alat pengering

semprot dan drum terhadap aktivitas antitrombotik bawang putih dan bawang merah.

Bul. Teknol. Industri Pangan 6(3):28-32.

40. Munro, A dan O Bassir. 1969 Oxalate in Nigeria vegetables. Wafri J Bioi Appl Chem 12, p14-18.

41. Onwueme, IC. 1978. The Tropical Tubers Crops, Yams, Cassava, Sweet Potato, and Cooyams. John

Willey dan Chisester, New York.

42. Parkinson, S. 1984. The Contribution of Aroid in the Nutrition of Peoples in South. The International

Society for Tropical Root Crops. Oweri.

43. Perez, E, FS Schultz, dan EP de Delahaye. 2007. Characterization in some properties of starched

isolated from Santosoma sagittifolium (tannia) and Colocasia esculenta L (taro). J. Charbohydrate

Polimer 60:139-145.

44. Peroni F, T Rocha dan C Franco. 2006. Some structural and physicochmical characteristics of tuber

and root starches. Food Sci. Tech. Int. 12(6): 505-513.

45. Quach ML, LD Melton, PJ Harris, JN Burdon, dan BG Smith. 2000. Cell wall compositions of raw and

cooked corms of taro (Colocasia esculenta). J Sci Food Agri pp 81, 311-8.

46. Rekha, MR dan G Padmaja. 2002. Alpha-amylase inhibitor changes during processing of sweet

potato and taro tubers. Plant Food for Human Nutrition 52: 285-294.

47. Ridal, Stiff. 2003. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung dan Pati Talas (Colocasia esculenta) dan

Kimpul (Xanthosoma sp) dan Uji penerimaan alfa-amilase Terhadap Patinya. Skripsi. Fakultas

Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

48. Riley, CK, AO Wheatley, dan HN Asemota. 2006. Isolationand characterization

of starches from eight Dioscorea alata cultivars grown in Jamaica. Afri. J. Biotechnol. 5 (7): 1528-

1536.

49. Ross, AB, Savage, GP, Martin RJ dan Vanhanen L. 1999. Oxalate in Oca (New Zealand Yam) (Oxalis

Tuberosa Mol.). Journal of Agriculture and Food Chemistry 47, pp 5019-5022.

50. Saifullah, R, FMA Abbas, SY Yeoh dan ME Azhar. 2009. Utilization of green banana flour as a

functional ingredient in yellow noodle. International Food Research Journal 16: 373-379.

51. Setyowati, Mamik, Ida Hanarida, dan Sutoro. 2007. Karakteristik Umbi Plasma Nutfah Tanaman Talas

(Colocasia esculenta). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Genetik Pertanian. Bogor.

52. Shan, L, O Molberg, I Parrot, F Hausch, F Filiz, GM Gray, LM Sollid dan C Khosla. 2002. Structural

basis for gluten intolerance in coeliac sprue. Science 297, 2275–2279.

53. Singh, N, J Singh, L Kaur, NS Sodhi, BS Gill. 2003. Morphological, thermal and rheological properties

of starches from different botanical sources. Food Chem. 81: 219-231.

54. Srichuwong, S, TC Sunarti, T Mishima, N Isono, dan M Hisamatsu. 2005. Starches from different

botanical sources II: Contribution of starch structure to swelling and pasting properties.

Carbohydrate Poly. 62: 25-34.

55. Suarnadwipa, N dan Hendra W. 2008. Pengeringan jamur dengan dehumifier. Jurnal Ilmiah Teknik

Mesin CAKRAM. Vol 2. No 1. Juni 2008. (30-33)

56. Tattiyakul, Jirarat , Sukruedee Asavasaksakul dan Pasawadee Pradipasena. 2006. Chemical and

Physical Properties of Flour Extracted from Taro Colocasia esculenta (L.) Schott Grown in Different

Regions of Thailand.

57. Tester, RF dan WR Morrison. 1990. Swelling and gelatinisation of cereal starches. I. Effect of

amylopectin amylose and lipids. J. Cereal Chemistry 67: 551-559.

58. Wahyudi, D. 2010. Pengaruh Suhu Perendaman Terhadap Kandungan Oksalat dalam Talas pada Proses

Pembuatan Tepung Talas. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

59. West BJ, H Tani, AK PaIu, CB Tolson dan CJ Jensen. 2007. Safety tests and antinutrient analyses of

noni (Morinda citrifolia L.) leaf. Journal of the Science of Food and Agriculture 87, 2583 – 2588.

60. Winarno, FG. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta

61. Winarno, FG dan SL Jenie. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan

Peracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta, IPB. Bogor.

62. Winarno, FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

63. Wiratakusumah, A, Subarna, M Arpah, Dahrul Syah dan Siti Isyanu Budiwati. 1992. Peralatan dan

Unit Proses Industri Pangan.