Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

61
[Bappeda Aceh] [ISSN: 0852-9124] [Vol. 5 No.1, Juli 2014] [0651-29713] | [0651-21440] | [[email protected]] Jurnal Ekonomi dan Pembangunan T. Saiful Bahri dan Romano Potensi dan Skenario Pengembangan Tiga Pangan Pokok Berbasis Kluster di Provinsi Aceh (Development Potential and Scenario of Three Main Food With Cluster-Based Approach in Aceh Province) Andjar Prasetyo Upaya Pemanfaatan Tempat Pengolah Sampah Terpadu (TPST) Jurangombo Utara Kota Magelang (The Utilizing Efforts of Integrated Waste Utilization Place (IWUP) North Jurangombo Magelang) Tongku Nizwan Siregar, dkk Peningkatan Produktivitas Sapi Aceh Melalui Implementasi Teknologi Transfer Embrio (Increasing Productivity Through the Implementation of Aceh Cattle Embryo Transfer Technology) Iswahyudi Model Analisis Sistem Ketahanan Pangan di Kabupaten Aceh Timur (Analysis Model of Food Security System in Aceh Timur District) Hasfiandi Analisis Penentuan Sektor Unggulan Kota Subulussalam Provinsi Aceh: Pendekatan Analisis Tipology Klassen, Location Quotion (LQ), Dan Shift Share Analysis (SSA) (Analysis of Competitive Sector in Subulussalam, Province Of Aceh: Using Tipology Klassen, Location Quotion (LQ), and Shift Share Analysis (SSA)) Sanusi Bintang Pengaturan Desain Industri Sebagai Hak Kekayaan Intelektual dan Urgensi Implementasi Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (Regulating Industrial Designs as Intellectual Property Rights and Urgency of Implementation in Facing ASEAN Economic Community) BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH 2014

Transcript of Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Page 1: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

[Bappeda Aceh] [ISSN: 0852-9124]

[Vol. 5 No.1, Juli 2014] [0651-29713] | [0651-21440] | [[email protected]]

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

T. Saiful Bahri dan RomanoPotensi dan Skenario Pengembangan Tiga Pangan Pokok Berbasis Kluster diProvinsi Aceh(Development Potential and Scenario of Three Main Food With Cluster-BasedApproach in Aceh Province)

Andjar Prasetyo Upaya Pemanfaatan Tempat Pengolah Sampah Terpadu (TPST) Jurangombo Utara Kota Magelang(The Utilizing Efforts of Integrated Waste Utilization Place (IWUP) North Jurangombo Magelang)

Tongku Nizwan Siregar, dkk Peningkatan Produktivitas Sapi Aceh Melalui Implementasi Teknologi Transfer Embrio (Increasing Productivity Through the Implementation of Aceh Cattle Embryo Transfer Technology)

Iswahyudi Model Analisis Sistem Ketahanan Pangan di Kabupaten Aceh Timur (Analysis Model of Food Security System in Aceh Timur District)

Hasfiandi Analisis Penentuan Sektor Unggulan Kota Subulussalam Provinsi Aceh: Pendekatan Analisis Tipology Klassen, Location Quotion (LQ), Dan Shift Share Analysis (SSA) (Analysis of Competitive Sector in Subulussalam, Province Of Aceh: Using Tipology Klassen, Location Quotion (LQ), and Shift Share Analysis (SSA))

Sanusi BintangPengaturan Desain Industri Sebagai Hak Kekayaan Intelektual dan Urgensi Implementasi Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (Regulating Industrial Designs as Intellectual Property Rights and Urgency of Implementation in Facing ASEAN Economic Community)

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH 2014

Page 2: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

POTENSI DAN SKENARIO PENGEMBANGAN TIGA PANGAN POKOK BERBASIS KLUSTER

DI PROVINSI ACEH Development Potential and Scenario of Three Main Food With Cluster-

Based Approach in Aceh Province

T. Saiful Bahri1 dan Romano1

1Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala E-mail: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menilai kinerja dari tiga makanan pokok (beras, kedelai dan jagung)

pengembangan berdasarkan faktor dominan setiap cluster di provinsi Aceh; yang telah dilakukan di 18 kabupaten di tiga daerah sentra produksi pangan melalui tiga langkah metode hirarkis. Pengembangan program didasarkan pada tiga klaster makanan pokok ini telah dilaksanakan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh dianggap sangat tepat. Berdasarkan potensi lahan basah dan lahan kering masih dominan dalam cluster 1 (wilayah pantai timur utara- Aceh), tapi dua kelompok lain menunjukkan kontribusi yang signifikan terhadap ketersediaan pangan (beras, kedelai dan jagung). Ada tiga skenario utama dalam pengembangan klaster prioritas sembako pada peningkatan luas tanaman (PAT), peningkatan kualitas dan pengurangan kehilangan hasil intensifikasi. Perluasan areal tanam terutama untuk meningkatkan indeks penanaman (IP) 1,3 menjadi 1,4. Peningkatan luas tanaman yang didukung peningkatan produktivitas akan mampu meningkatkan produksi toga pangan pokok sepuluh persen di Aceh. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor penting untuk pengembangan kelompok makanan pokok adalah: ketersediaan agro - input, agro - industri dan agro – niaga.

Kata kunci: pengembangan klaster, tiga makanan pokok, potensi, skenario

ABSTRACT This study aims to assess the performance of the three staple foods (rice, soy and corn) based on the

development of the dominant factors of each cluster in the province; which has been conducted in 18 districts in the three central areas of food production through a three-step hierarchical method. The development program is based on three clusters of staple foods has been implemented Department of Agriculture Aceh is considered very appropriate. Based on the potential wetland and dry land is still dominant in cluster 1 (region of north-eastern coast of Aceh), but two other groups showed a significant contribution to the availability of food (rice, soy and corn). There are three main scenarios in cluster development priority on increasing the planted area of basic needs (PAT), quality improvement and reduction of yield loss intensification. The expansion of planting area, especially to increase the planting index (IP) 1.3 to 1.4. Increased plant area supported an increase in productivity will be able to increase the production of staple food toga ten percent in Aceh. The results also show that an important factor for the development of basic food groups are: the availability of agro - inputs, agro - industrial and agro - marketing.

Key word: cluster development, the three staple foods, potential, scenario

Page 3: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

PENDAHULUAN

Pembangunan tanaman pangan berbasis kluster dilakukan dengan mengelompokkan areal pengembangan pangan atas wilayah strategis dengan dukungan sistem agribisnis yang sinergis. Abramson, G. 1998, telah melakukan penelitin sistematis tentang efektifitas pembangunan berbasis kluster pada berbagai sector pembangunan. Amin, A. 2004. Telah menyusun strategi pembangunan wilayah dengan mensinergikan komponen hulu dan hilir sehingga terdapat efektifitas program pembangunan. Palacios JJ (2008) dan Romano, dkk. (2009), untuk system bisnis yang sinergis mulai dari subsistem agro-input, agro-produksi, agro-industri, agro-niaga dan pendukung memberikan kontribsusi terhadap efektifitas program dan efisiensi pemanfaatan investasi pada tanaman pangan. Selanjutnya Jain (2009) merumuskan strategi pembangunan kluster dengan merumuskan faktor terkait antara hulu dan hilir dalam sebuah system ekonomi.

Pembangunan pertanian tanaman pangan khususnya makanan pokok seperti padi, kedelai dan jagung memiliki dimensi utama dan pendukung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh telah menerapkan pembangunan tanaman pangan berbasis cluster. Pengembangan padi sawah telah dibagi dalam tiga cluster, yaitu: (a) Kluster pantai timur utara, (b) Kluster wilayah tengah dan (c) Kluster Pantai Barat Selatan. Tiga cluster padi sawah ini mestinya didukung dengan ketersediaan benih, peralatan mekanisasi, dan system irigasi yang memadai. Untuk padi sawah ini tiga dimensi yang diperinci menjadi enam variable berikut ini: (1) Ratio penggunaan benih VUB label biru, (2) Jumlah benih yang digunakan; (3) Total kapasitas kerja peralatan olah tanah; (4) Volume kerja peralatan oleh tanah; (5) luas sawah beririgasi teknis, (6) Rasio kecukupan air sawah beririgasi.

Untuk kedelai dan jagung variable penentu lebih dominan pada dukungan program bantuan benih cadangan nasional atau daerah, keterjaminan pasar dan dukungan infrastruktur industry hilirnya. Dengan demikan untuk merumuskan strategi pengembangan produksi tiga pangan pokok ini diperlukan dukungan enam dimensi di atas. Pada penelitian ini akan dirumuskan strategi pengembangan cluster tiga pangan pokok dengan dukungan enam dimensi dia atas.

METODE PENDEKATAN

Penelitian strategi pengembangan tiga pangan pokok berbasis kluster dirancang selama dua tahun berturut-turut dengan metode hirarki proses mulai dari tahun 2013 s/d 2014. Tiga tahapan kegiatan penelitian mulai dari penentuan model-model kluster, survey persepsi pemangku kepentingan, menyusun simpul kritis masing-masing kluster, workshop dan penyusunan strategi pembangunan pertanian tanaman pangan.

Analisis data dilakukan dengan hirarki prioritas masing-masing kluster dengan dimensi (a) efektifitas program, (b) efisiensi program, (c) kendala-kendala. Tiga dimensi ini dimasukkan pada matrik (eugen value) dan disusun ranking masing-masing model. Berdasarkan tiga dimensi tersebut dilakukan breakdown terhadap masing-masing model intervensi dengan matrik berpasangan dan perhitungan pay-off matrix untuk menghasilkan peringkat strategi intervensi.

Setelah proses penyusunan hirarki telah selesai sampai tahapan telah dievaluasi, langkah selanjutnya adalah melakukan verifikasi narasumber (expert) telah mengerti atau memahami dan menyetujui bentuk hirarki yang telah disusun tersebut. Tahap kedua adalah penyempurnaan hirarki, pengisian persepsi yang dilakukan melalui penggalian persepsi informan kunci/narasumber untuk pengisian matriks perbandingan berpasangan.

Page 4: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 Untuk data pembanding dilakukan penggalian persepsi dari masing-masing kelompok. Hasil perhitungan rata-rata dengan rumus: aw =

n XanXXaXaa ....321 dimana: aw = penilaian gabungan (penilaian akhir); a1 … an = penilaian responden ke - 1 hingga ke-n dan n = jumlah responden.

Faktor kritis ditentukan oleh narasumber yang diwawancara secara mendalam dan dibandingkan dengan matrik persepsi pengambil kebijakan. Faktor kritis tersebut antara lain: Faktor hulu yang termasuk pada agro-input (X1), Faktor hilir yang temasuk pada agro-industri dan agro-niaga (X2); Sistem transportasi dan infrastruktur (X3); Sumberdaya manusia dan kompetensi teknologi (X4); Ketersediaan tenaga kerja dan tingkat upahnya (X5); Dukungan kebijakan pemerintah kabupaten (X6); Ketersedian Lahan untuk Pengembangan (X7); dan) Pola Tanam dan Kalender Tanem (X8).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Padi dan Palawija serta Peluang Peningkatan. Produksi padi di Provinsi Aceh selama lima tahun terakhir (tahun 2008 s/d 2012) memiliki trend meningkat, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tiga Pangan Pokok di Aceh Tahun 2007 s/d 2012

Komoditi Tahun Pertum-

buhan rata- rata per tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Padi Sawah Luas Panen (Ha) 326.678 352.006 347.727 375.860 383.322 3% Produksi (Ton) 1.396.814 1.539.448 1.571.041 1.760.658 1.781.325 5% Produktivitas (Kw/Ha) 42,8 43,7 45,2 46,8 46,5 2% Padi Ladang Luas Panen (Ha) 2.431 7.369 4.554 4.826 4896 15% Produksi (Ton) 5.474 17.410 11.353 12.304 11998 17% Produktivitas (Kw/Ha) 23 24 25 26 24,5 2% Total Padi Luas Panen (Ha) 329.109 359.375 352.281 380.686 388218 3% Produksi (Ton) 1.402.288 1.556.858 1.582.394 1.772.962 1.793.323 5% Produktivitas (Kw/Ha) 42,6 43,3 44,9 46,6 46,2 2% Jagung Luas Panen (Ha) 34.164 39.731 43.885 41.853 39.038 5% Produksi (Ton) 112.894 137.753 167.091 168.860 148.961 8% Produktivitas (Kw/Ha) 33,0 34,7 38,1 40,4 38,2 3% Kedelai Luas Panen (Ha) 32.898 45.110 37.469 35.370 35.599 2% Produksi (Ton) 43.885 63.538 53.346 50.007 52.247 4% Produktivitas (Kw/Ha) 13,3 14,1 14,2 14,1 14,7 2% Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh, 2014

Potensi peningkatan produksi padi sawah dan padi ladang masih cukup tinggi dengan penerapan inovasi baru mulai dari alokasi sarana produksi dan sistem budidaya. Seperti yang kita ketahui bahwa budidaya Sistem Rice Intensification (SRI) telah mampu

Page 5: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

meningkatkan produktivitas sampai dengan 8 ton/Ha di Kabupaten Aceh Barat Daya. Apalagi di wilayah pesisir pantai timur Aceh dengan keadaan irigasi sawah yang relatif lebih baik dapat ditingkatkan di atas 8 ton per hektar. Dengan demikian, potensi peningkatan produksi padi pada masa yang akan datang cukup tinggi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat potensi peningkatan produktivitas padi sawah rata-rata 2 persen per tahun dari data dasar tahun 2008. Walaupun pada tahun 2008 dan tahun 2010 sempat mengalami penurunan, namun pada tahun 2011 telah dapat ditingkatkan melalui berbagai program. Pada tahun 2011 mencapai 1.772.962 ton.Secara keseluruhan selama lima tahun terakhir terdapat kenaikan produksi padi di Provinsi Aceh rata-rata 3 persen per tahun. Dari pembahasan Angka Tetap (ATAP) bersama Biro Pusat statistik 2012, ditetapkan bahwa jumlah produksi padi sawah sebesar 1,76 juta ton GKP. Sedangkan padi ladang jumlah produksi sebesar 12.304 ton GKP. Dengan demikian, produksi padi seluruhnya adalah sebesar 1,77 juta ton GKP. Jika dibandingkan dengan produksi tahun 2010, terjadi peningkatan produksi padi sebesar 12,04 persen, dimana produksi padi tahun 2010 adalah sebesar 1,58 juta ton GKP.

Terjadi Kenaikan produksi padi yang cukup signifikan tersebut selain disebabkan kenaikan luas panen juga disebabkan adanya kenaikan produktivitas rata-rata per hektar, dari 45,18 kwintal per hektar menjadi 46,84 kwintal per hektar. Dari Angka Tetap (ATAP 2012), produksi palawija yang mengalami peningkatan dibandingkan produksi tahun 2011, adalah kedelai mengalami peningkatan produksi sebesar 29,45 persen, jagung mengalami peningkatan sebesar 1,06 persen.

Pemerintah Aceh optimis akan mampu meningkatkan produksi jagung dan kedelai secara signifikan dalam waktu lima tahun ke depan. Optimisme peningkatan produksi jagung dan kedelai ini juga didasarkan pada peningkatan luas tanaman selama lima tahun terakhir dan potensi pengembangan lima tahun ke depan (2013 s/d 2017). Terdapat potensi peningkatan luas tanam dan luas panen jagung dan kedelai, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Potensi Peningkatan Luas Tanam dan Luas Panen Jagung dan Kedelai Tahun 2013 s/d 2017 Uraian 2012* 2013 2014 2015 2016 2017

Jagung Luas Tanam 43.475 48.000 50.500 53.000 55.800 59.000 Luas Panen 39.038 45.600 47.975 50.350 53.010 556.050

Kedelai Luas Tanam 37871 78.500 82.500 87.000 91.500 96.500 Luas Panen 35.599 76.000 78.375 82.650 86.925 91.675

Sumber: BPS 2012 dan Pergub No. 70 Tahun 2012.

Sasaran Peningkatan Produksi Dan Kendala Rencana Strategis peningkatan produksi tiga bahan pangan pokok (padi, kedelai dan

jagung), berdasarkan potensi dan kondisi eksisting saat ini. Adapun sasaran luas panen, produksi dan produktivitas padi, kedelai dan jagung sesuai dengan RPJM 2013, sebagaimana ditunjukkan Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Sasaran, Luas Tanam, Produksi dan Produktivitas Padi, Kedelai dan Jagung di Aceh Tahun 2013 s/d 2017

Komiditi 2012* 2013 2014 2015 2016 2017

Padi

Luas Tanam 433.240 438.000 465.000 493.000 523.000 550.000

Luas Panen 407.039 425.530 441.750 468.350 496.850 522.500

Page 6: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

Provitas 46,78 47,00 49,80 53,38 54,34 57,42 Produksi 1.904.069 2.000.000 2.200.000 2.500.000 2.700.000 3.000.000

IP 109 112 115 119 130 137

Jagung

Luas Tanam 43.475 48.000 50.500 53.000 55.800 59.000

Luas Panen 39.038 45.600 47.975 50.350 53.010 56.050

Provitas 38,16 41,89 43,77 43,89 44,52 44,60 Produksi 167.285 191.000 210.000 221.000 236.000 250.000

Kedelai

Luas Tanam 37.871 78.500 82.500 87.000 91.500 96.500

Luas Panen 35.599 76.000 78.375 82.650 86.925 91.675

Provitas 1. 47 14,25 15,44 16,33 17,14 17,89 Produksi 52247 108.300 121.000 135.000 149.000 164.000

*Sumber BPS 2012 dan Pergub No. 70 Tahun 2012.

Sasaran produksi tersebut akan dicapai dengan upaya peningkatan produktivitas padi pada tahun 2013 sebesar 47,00 Ku/ha dan pada tahun 2017 mencapai 57,40 Ku/ha.. Bersamaan dengan itu, pada tahun 2013 sasaran luas tanam sekitar 438.000 ha dengan luas panen sekitar 425.530 ha. Sasaran luas tanam pada tahun 2017, sekitar 550.000 dan luas panen 522.500 ha.

Demikian juga sasaran produksi dan produktivitas,jagung, apabila pada tahun 2013 luas tanam 48.000 ha dengan luas panen 45.600 ha dan tingkat produktivitas 41,89 Ku/ha, maka pada tahun 2017 harus dapat dicapai luas tanam 59.000 ha, luas panen 56.050 ha dengan tingkat prodktivitas 57,42 Ku/ha.

Untuk mencapai sasaran produksi kedelai, apabila luas tanam dan produktivitas kedelai tahun 2013 sebesar 78.500 ha, luas panen 76.000 ha dengan produktivitas 1.43 ton/ha, maka pada tahun 2017 luas tanam kedelai harus mencapai minimal 96.500 ha, dengan luas panen 91.675 ha dan produktivitasnya mencapai 1.6 - 1.9 ton/ha.

Skenario Percepatan Peningkatan Produksi Skenario percepatan peningkatan produksi dapat ditempuh melalui: (1) Perluasan

areal tanam dan peningkatan IP; (2) Peningkatan produktivitas, melalui penerapan teknologi yang tepatdan spesifik lokasi, serta (3) Pengurangan kehilangan hasil (losses). Skenario perluasan areal tanam ditempuh melalui: optimalisasi pemanfaatan lahan, terlantar, peningkatan Indeks pertanaman (IP), dan perluasan areal baru.

Bila perluasan areal terkendala pada anggaran pencetakan sawah baru, maka yang sangat mungkin dilakukan dengan peningkatan IP dan pemanfaatan lahan tidur. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, luas lahan yang dapat digunakan untuk pertanam padi adalah pada lahan sawah irigasi seluas 194 ribu hektar, lahan sawah tadah hujan 200 ribu hektar, pasang surut dan lainnya sebesar 2.600 hektar dan lahan kering 270 ribu hektar.

Sedangkan berdasarkan potensi areal pertanaman padi yang dapat dilakukan pada empat kategori lahan tersebut, maka lahan sawah irigasi dapat mendukung minimal areal pertanaman padi dua kali pertahun atau mempunyai potensi menyumbang luas tanam padi minimal 388 ribu hektar, lahan sawah tadah hujan dan pasang surut dan lainnya dapat mendukung areal pertanaman padi minimal satu kali pertahun atau luas tanam padi minimal 203 ribu hektar, dan lahan kering dapat mendukung areal pertanaman padi

Page 7: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

minimal satu kali dalam satu tahun atau luas tanam padi minimal 270 ribu hektar. Potensi terbesar perluasan areal tanam padi berada di lahan kering yaitu sebesar 270

ribu hektar. Sedangkan potensi lainnya dari lahan sawah irigasi, masih dapat meningkat luas pertanaman padi (dari 2kali setahun menjadi 2,4sampai 2,6 kali pertahun). Demikian pula halnya untuk lahan sawah tadah hujan.Kenyataannya pertanaman padi di areal lahan tadah hujan dilakukan secara bertahap dari IP 0.8 sampai 1,5 kali per tahun. Meskipun faktanya saat ini, realisasi IP padi di Aceh rata-rata masih 1,2 pada tahun 2012, hal ini menjadi potensi yang akan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Peningkatan produktivitas dapat ditempuh dengan penerapan inovasi baru dalam usaha budidaya padi, kedelai dan jagung. Peningkatan produktivitas terutama ditempuh melalui peningkatan mutu intensifikasi (PMI). Inovasi baru yang terdiri dari: (a) Teknologi; (b) Penggunaan benih unggul; dan (c) pemupukan berimbang.

Benih bermutu dapat memacu peningkatan produksi antara 10 sampai dengan 30 %. Apalagi didukung dengan pemanfatan agro input lain sesuai anjuran.

Untuk peningkatan produktivitas padi sawah sangat tergantung pada ketersediaan air irigasi. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas hanya dapat ditempuh dengan perbaikan Jaringan irigasiTingkat Usaha Tani (JITUT) dan Jaringan Irigasi Desa (JIDES), serta perbaikan dan pembangunan Tata Air Mikro (TAM) akan sangat berperan membantu distribusi air irigasi secara efisien.

Untuk tanaman kedelai dan jagung peningkatan produktivitas tergantung pada penggunaan benih unggul bermutu dan alokasi input tenaga kerja, pupuk sesuai anjuran yang didukung sistem usaha tani yang sinergis. Pengalaman pada periode 2008-2012 telah menunjukkan kenaikan produksi yang melebihi kenaikan produktivitas rata-rata jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada periode 2003-2007. Walaupun demikian, peningkatan produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan. Dengan kata lain produktivitas padi, kedelai dan jagung masih dapat ditingkatkan lagi pada 5 tahun mendatang dengan dukungan berbagai sarana usahatani, agroinput, dukungan kebijakan pemerintah dan penerapan teknologi yang tepat dan spesifiklokasi.

Seperti yang telah disinggung di atas, peningkatan produktivitas dapat ditempuh dengan penambahandan pergantian jumlah varietas padi yang mempunyai potensi produktivitas tinggi.

Permasalahannya adalah, varitas padi, jagung dan kedelai unggul yang memiliki produktivitas tinggi itu apakah tersedia cukup di Aceh. Apabila belum tersedia dalam jumlah yang cukup maka pengadaan benih padi, kedelai dan jagung masih harus dilakukan melalui Revitalisasi Institusi Perbenihan. Selama ini padi sawah nonhibrida mempunyai 30 varietas dengan potensi produkivitas antara 7.0-8.0 ton per hektar.Padi hibrida mempunyai 7 varietas yang memiliki potensi produktivitas antara 8.0–12.0 ton per hektar. Adapun padi gogo/ladang mempunyai 5 varietas dengan potensi produktivitas antara 4.0–7.0 ton per hektar, dan padi rawa mempunyai 14 varietas dengan potensi produktivitas antara 3.0–6,0 ton per hektar. (BPTP Aceh 2013).

Keterlibatan Instansi penelitian dan pengembangan untukmendukung peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi budidaya yang tepat harus ditingkatkan, sehingga hasil penelitian dapat diterapkan oleh petani dilapangan dan tidak terdapat kesejangan antara tingkat produktivitas yang ditemukan melalui penelitian dengan produktivitas di lapangan. Kesenjangan produktivitas padi antara lapangan dengan potensi tingkat produksi yang dimiliki oleh varietas unggul tersebut dapat juga dikurangi. Perbedaan hasil itu dapat juga dilakukan melalui introduksi paket teknologi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Kombinasi pelaksanaan paket

Page 8: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 SL-PTT dengan berbagai teknologi lainnya diyakini akan memberikan peningkatan produksi secara signifikan. Penerapan SL-PTT dengan teknologi budidaya Sistem Rice Intensification (SRI), atau sistem legowo, dengan penerapan tanam bibit muda, pemupukan berimbang dan penggunaan pupuk organik serta pengelolaan hama terpadu (PHT), dapat memperkecil kesenjangan produktivitas padi.

Fokus utama percepatan peningkatan produktivitas jagung dan kedelai melalui SL-PTT berbasis kawasan. Kegiatan SL-PTT jagung dan kedelai yang difokuskan pada kegiatan peningkatan produktivitas padakawasan areal tanam seluas 40.000 Ha pada tahun 2013 dan 120.000 hektar pada tahun 2017 yang terdiri dari: (1) Kawasan Pertumbuhan seluas: 54.700 ha: a. Jagung hibrida seluas 9.000 ha yang dialokasikan di 9 Kabupaten/Kota, dan b. Jagung komposit seluas 45.700 ha yang dialokasikan di 2 Kabupaten/Kota; (2). Kawasan Pengembangan seluas: 170.300 ha untuk jagung hibrida seluas 170.300 ha yang dialokasikan di 4 Kabupaten/Kota; dan (3) Kawasan Pemantapan seluas: 35.000 ha: a. Jagung hibrida seluas 35.000 ha yang dialokasikan di 3 Kabupaten/Kota. Alokasi SL-PTT Jagung Tahun 2013, per Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan b. Upaya peningkatan produksi jagung di luar fokus utama peningkatan produktivitas dan produksi dilakukan dengan pembinaan, pendampingan dan bimbingan yang terkoordinasi dan terintegrasi dengan memanfaatkan benih bersubsidi, benih non subsidi dan atau benih dari sumber-sumber lainnya, pupuk bersubsidi, dan swadaya murni petani.

Upaya peningkatan produktivitas jagung dapat dilakukan melalui upaya perluasan areal tanam, penggunaan benih jagung hibrida produktivitas tinggi, disamping peningkatan pemupukan berimbang. Lokasi-lokasi yang masih menggunakan varietaslokal dan varietas komposit produktivitas rendah agar diupayakan dapat diganti dengan jagung hibrida atau jagung komposit produktivitas tinggi.

Dengan demikian, meluasnya penggunaan benih jagung hibrida diharapkan dapat meningkatkan produksi dan menarik minat petani.Upaya perluasan areal tanam jagung dapat dilakukan melalui pemanfaatan areal potensial (baik lahan lama atau lahan bukaan baru) yang ada, disamping itu diupayakan pula dengan peningkatan indeks pertanaman (IP) di lahan yang masih mempunyai potensi. Upaya lain harus pula dilakukan melalui pemanfaatan lahan perkebunan dan lahan kehutanan untuk pengembangan pola multiple crop antara jagung atau kedelai dengan tanaman perkebunan atau kehutanan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan melakukan koordinasi yang intensif dengan Dinas Perkebunan serta Dinas Kehutanan dalam rangkan memanfaatan lahan bukaan baru untuk pengembangan pangan pokok (padi ladang, jagung dan kedelai) Tabel 4. Pencapaian Produksi Kedelai Pada Tahun 2013

No Uraian Luas

Lahan (Ha)

Luas Panen (Ha)

Provitas (Ku/Ha)

Produksi (Ton)

1 SL– PTT 29.000 27.260 14,55 39.663 2 Pengembangan Model 15.000 14.100 15,55 21.926 3 Carry Over CBN 4.000 3.760 14,25 5.358 4 PATB 55.000 52.250 14,5 75.763 5 APBA 300 282 14,1 398

6 Swadaya Masyarakat/ Bantuan Lain 28.799 26.044 13,48 35.115

JUMLAH 132.099 123.696 14,4 178.223 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh, 2014

Page 9: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Untuk peningkatan produksi yang direncanakan akan didukung program SL-PTT dan Non SL-PTT per kabupaten di Provinsi Aceh. Skenario Pengurangan Kehilangan Hasil dan Peningkatan Mutu.

Pengurangan kehilangan hasil mulai dari pra panen, panen dan pasca panen serta pada pengolahan hasil perlu dilakukan secara terprogram dan terencana. Kegiatan pra panen yang perlu diintensifkan untuk mengurangi kehilangan hasil, antara lain: penerapan varietas resisten terhadap bencana kekeringan, serangan hama, dan lainnya. Pada pasca panen kehilangan cukup besar terutama berkaitan dengan umur panen dan kebiasaan masyarakat dalam memperlakukan produksi. Penanganan kehilangan (losses) padi, jagung dan kedelai terutama pada saat perlakuan setelah panen (pasca panen) dan pengolahan hasil di Aceh masih tergolong tinggi.

Penurunan produksi akibat kehilangan (losses) pada saat pasca panen pada padi misalnya, mencapai 5,4 % atau setara dengan 85.449 ton GKG/tahun, dan ditambah losses pada saat pengolahan dari gabah ke beras sebesar 2,5 %/tahun. Kehilangan produksi pada kegiatan terakhir itu setara dengan 23.008 ton beras, yang seharusnya dapat menambah pendapatan petani dan memberi sumbangan yang tidak kecil terhadap ketersediaan pangan Aceh.

Untuk meningkatkan mutu hasil gabah, jagung dan kedelai juga harus didukung dengan penerapan teknologi pasca panen yang tepat pada masing-masing tahapan mulai dari pemanenan sampai pengolahan, penyimpanan dan distribusi. Teknologi pasca panen yang termasuk dalam model budidaya diintrodusir pada masing-masing sentra produksi padi, jagung dan kedelai.

Analisis Faktor Kritis Faktor kritis berdasarkan hasil survey dan matrik persepsi pengambil kebijakan

dengan bobot masing-masing sebagai berikut: (a) Faktor hulu yang termasuk pada agro-input (X1) = 15 %; (b) Faktor hilir yang temasuk pada agro-industri dan agro-niaga (X2)= 20 %; (c) Sistem transportasi dan infrastruktur (X3) = 5 %; (d) Sumberdaya manusia dan kompetensi teknologi (X4)= 20 %; (e) Ketersediaan tenaga kerja dan tingkat upahnya (X5) = 15 %; (f) Dukungan kebijakan pemerintah kabupaten (X6) = 10 %; (g) Ketersedian Lahan untuk Pengembangan (X7) = 10 %; dan (h) Pola Tanam dan Kalender Tanem (X8) = 5 %.

Pendekatan terhadap factor kritis yang dilakukan untuk rumusan strategi pegambangan kluster tiga pangan pokok ini dengan menggunakan hirarki proses dan analisis Ranking Procedure memberikan hasil yang sangat beragam di antara kluster. Kinerja Kluster 1 wilayah pantai timur-utara Aceh memeberikan kinerja kluster pangan yang jauh lebih tinggi disbanding dua kluster lainnya, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Analisis Rating Terhadap Penilaian Faktor Kritis Kinerjja Kluster Tiga Pangan Pokok di Provinsi Aceh.

Faktor Kritis Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3

Agro-input 9 7 6 Agro-industri dan agro-niaga 9 7 6 Sistem Transportasi dan Infrastruktur 9 7 6 Sumberdaya Manusia dan Kompetensi Teknologi 8 7 7 Ketersediaan Tk dan upah 7 7 6 Dukungan Kebijakan Pemerintah Kabupaten 8 7 7 Ketersediaan Lahan untuk pengembangan 6 8 9 Pola Tanam dan Kalender Tanam 7 7 6

Page 10: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

Total 63 57 53

Kluster 2 wilayah tengah Aceh walaupun potensi produksi padi relative rendah namun secara keseluruhan kinerja kluster pangan ini lebih baik dibandingkan dengan kluster 3 wilayah pantai barat-selatan Aceh. Hal ini dapat kita maklumi, karena kawasan ini tengah giat mengembangkan komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan kakao. Konversi lahan sawah menjadi lahan sawit di wilayah ini sangat besar, sehingga indeks kinerja kluster pangan lebih rendah disbanding dua kluster lainnya. Walaupun demikian seluruh koefisien kinerja factor kritis menunjukkan angka positif, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Koefisien Faktor Kritis Kinerja Kluster Pengembangan Tiga Pangan Pokok di Provinsi Aceh.

Koefsien Faktor Kritis Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3

Agro-input (X1) 1.35 1.05 0.9 Agro-industri dan agro-niaga (X2) 1.8 1.4 1.2 Sistem Transportasi dan Infrastruktur (X3) 0.45 0.35 0.3 Sumberdaya Manusia dan Kompetensi Teknologi (X4) 1.6 1.4 1.4 Ketersediaan Tk dan upah (X5) 1.05 1.05 0.9 Dukungan Kebijakan Pemerintah Kabupaten (X6) 0.8 0.7 0.7 Ketersediaan Lahan untuk pengembangan (X7) 0.6 0.8 0.9 Pola Tanam dan Kalender Tanam (X7) 0.35 0.35 0.3 Total 8.00 7.10 6.60

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa untuk masa akan dating tendensi

peningkatan produksi padi kedelai dan jagung masih akan optimis. Dari koefisien factor kritis yang perlu diwaspadai oleh pemerintah provinsi dan kabupaten masing-masing sentra produksi pangan adalah agro-input, agro-industri dan agro-niaga. Untuk factor agro-input ketersediaan benih, terutama benih ES dengan VUB masih menjadi factor kritis utama. Olehh karena itu revitalisasi perbenihan daerah mulai dari tingkat provinsi sampai ke petani penangkar benih masih sangat perlu diprioritaskan. Hal ini berlaku untuk tiga kluster di atas. Bobot kepentingan agro-input ini sangat dominan di cluster 1 wilayah pantai timur-utara. Untuk kluster 3 wilayah pantai barat-selatan bobot ini sedikit kecil, karena penggunaan benih local seperti padi lading dan padi sawah “Sigupai” masih dominan di wilayah ini. Walaupun demikian sangat tinggi kesenjangan penggunaan benih VUB dengan label biru dan benih turunan lainya dari hasil panen petani. Penurunan produktivitas VUB karena ketarampilan budidaya menyebabkan sebagian petani beralih ke benih padi unggul lokal.

Untuk factor kritis aro-industri dan agro-niaga masih didominasi oleh padagang antar provinsi yang berani membeli gabah kering panen dengan harga yang lebih tinggi. Oleh karena itu usaha penggilingan padi di tiga kluster ini sering bekerja di bawah kapasitas kerja. Untuk mendorong usaha agro-produksi pangan dalam bentuk usaha komersil, banyak pengusaha sector hilir yang telah mulai menawarkan modal kerja. Hal ini menjadi salah satu factor pendukung agro-produksi padi, kedelai dan jagung. Untuk Kabupaten Aceh Tenggara jagung sudah menjadi komoditas unggulan tanaman pangan dan memberi kontribusi cukup besar untuk Aceh. Walaupun demikian agro-industri masih menerima nilai tambah yang paling besar. Agro-industri ini tentu saja berada di Provinsi Sumatera Utara dengan rantai nilai yang telah tertata mulai dari petani, pedagang pengumpul

Page 11: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

sampai pabrik.

PENUTUP

Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pengembangan tiga pangan pokok berbasis kluster dinilai sudah sangat tepat. Walaupun dukungan sumberdaya alam berdasarkan potensi lahan sawah dan lahan kering masih dominan di kluster 1 wilayah pantai timur-utara Aceh, akan tetapi dua kluster lainnya menunjukkan kontribusi yang signifikan terhadap ketersediaan pangan (padi, kedelai dan jagung) di daerah ini.

Faktor kritis dominan untuk pengembangan kluster pangan ini adalah agro-input, agro-industri dan agro-niaga, Perbenihan tanaman pangan terutama padi dan kedelai masih perlu program revitalisasi sampai pada petani penangkar benih. Untuk system agri-industri perlu dipromosikan investasi penciptaan nilai tambah produk dengan rantai nilai yang lebih tertata.

Saran Terdapat tiga scenario utama dalam pengembangan kluster pangan pokok ini yang diprioritaskan pada peningkatan areal tanam (PAT), peningkatan mutu intensifikasi dan pengurangan kehilangan hasil. Perluasan areal tanam terutama diupayakan peningkatan indek pertananam dari IP 1,3 menjadi 1,4. Dengan demikian terdapat potensi peningkatan luas tanam padi, kedelai dan jagung paling kurang 7 persen dari luas baku lahan yang ada. Bila peningkatan areal tanam ini dapat didukung dengan peningkatan produktivitas rata-rata lima persen per tahun, maka potensi peningkatan produksi di atas sepuluh persen dapat dicapai.

DAFTAR PUSTAKA Abramson, G. 1998. Cluster Power Competitive Strategies: “If you Can’tBeat ’em Join ’em” Rings True to

Proponents of Industrial Clustering,a New Business Strategy. CIO Enterprise 11: 48–57. Amin, A. 2004. An Institutional Perspective on Regional Economic Development. In Reading Economic

Geography, edited by T. J. Barnes, Jain, N. 2009. Issues and Challenges in Asian Economies. Keynote speechat the Asian Institute of Management

(AIM) Business week, Makati, 23 July. Kumral, N., and Ç. Deger. 2008. The Strategies and Policies for EconomicCompetitiveness in the Istanbul

Metropolitan Region. working Paper 5.Istanbul: Ege University, Department of Economics. Kumssa, A., and T. G. McGee, eds. 2001. New Regional DevelopmentParadigms. westport, CT: Greenwood

Publishing Group. Palacios, J.J. 2008. Economics agglomeration and industrial clustering in developing country; Thes case of the

Mexican silicon valley, Cambridge, MA;MIT Press Romano, Agussabti, Fajri dan Indra. 2009. Pewilayahan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Provinsi

Aceh, Journal Ilmiah “AGRISEP” Volume 10. No.2. ISSN 14411-3848.

Page 12: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 -9124 Vol. 5, No.1, Juli 2014

UPAYA PEMANFAATAN TEMPAT PENGOLAH SAMPAH TERPADU (TPST) JURANGOMBO

UTARA KOTA MAGELANG

The Utilizing Efforts of Integrated Waste Utilization Place (IWUP) North Jurangombo Magelang

Andjar Prasetyo1 Kantor Penelitian Pengembangan dan Statistik Kota Magelang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK Kajian ini bertujuan mencari upaya yang perlu dilakukan sehingga fasilitas tersebut bisa dipergunakan

sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam pembangunan TPST Magelang. TPST tersebut tidak digunakan sejak dibangun pada tahun 2010 dengan menelan biaya sebesar Rp.129930000. Mangkraknya kegiatan proyek tersebut merupakan potret dari proyek yang banyak terjadi dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dalam kerangka evaluasi proyek untuk menarasikan informasi dan data yang tersedia, menganalisis permasalahan yang ada, dihasilkan pemecahan masalah dalam pemanfaatan TPST Magelang. Hasilnya adalah Pemerintah perlu segera mengambil langkah dalam menghindari mangkraknya hasil pembangunan TPST melalui proses pertama, menginventarisir aset yang sudah ada, kedua, memformulasikan bentuk pemanfaatan, ketiga apabila memang berpotensi sesuai dengan data timbulan sampah dari sisi pengelolaan bisa dilakukan dengan pilihan model Kemitraan Sektor Publik dan Sektor Swasta.

Kata kunci: Mangkrak, Pemanfaatan TPST, Kemitraan

ABSTRACT This study was aimed to explore the efforts that need to be done so that the facility can be used in

accordance with a predetermined plan in development IWUPs Magelang. The dump site was not used since it was built in 2010 at a cost of Rp129930000,-. The stalled of project activity is a portrait of the many projects going on in the implementation of development in Indonesia. By using a qualitative descriptive approach within the framework of the project evaluation to narrate the information and data available and analyzed the existing problems, resulting in the use of problem solving IWUPs Magelang. The result of this study was the government needs to take steps to avoid stalled IWUPs development results through the first process, an inventory of existing assets. Second, formulate forms of utilization. Third, if it is potentially amenable to the generation of data from the management side can take any number of Public Sector Partnership Model and the Private Sector. Key word: stalled, Utilization IWUPs, Partnership

PENDAHULUAN

Salah satu misi Pembangunan di Kota Magelang tahun 2010–2015 adalah meningkatkan pembangunan pelayanan perkotaan dengan pengembangan budaya daerah disertai dengan peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan aspek kemandirian. Misi ini dimplementasikan pula pada sektor sarana dan prasarana bidang kebersihan. Pada tahun 2010 salah satu realisasi misi tersebut

Page 13: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Andjar Prasetyo adalah program Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, dalam program tersebut dilaksanakan pembangunan berupa Tempat Pengolah Sampah Terpadu.

Dengan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), konsep TPST ini bertitik tolak pada aktifitas pengelolaan sampah untuk tujuan pemanfaatan kembali guna mereduksi sampah, didalamnya terdapat fasilitas untuk merubah sampah menjadi bentuk yang lebih berguna yang teknik pengolahan sampahnya seperti pemilahan sampah, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan dan pemprosesan akhir sampah (UU No.18 2008).

Dasar dalam pelaksanaan kegiatan selain amanat dari UU no. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, adalah data rata-rata timbulan sampah di TPS dan Transfer Depo Kota Magelang yang pada tahun 2010 diestimasikan sebanyak 195 m3/hari, dan ternyata setelah pada kali pertama dilakukan pemetaan kegiatan timbulan sampah di Kota Magelang pada tahun 2012 adalah 204,16 m3/hari dan tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi 217,92 m3/hari.

Keberadaan TPST Jurangombo tersebut disiapkan dalam rangka mengantisipasi meningkatnya volume sampah yang ada di Kota Magelang. Proyek tersebut ternyata masih belum bisa dipergunakan sebagaimana yang direncanakan. Sejak diserahkan pada bulan Oktober 2010 hingga pada tahun 2013, fasilitas yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Kondisi ini terjadi karena pada saat pembangunan tersebut tidak didukung dengan kegiatan untuk operasional TPST. Padahal dalam TPST tersedia sarana prasarana yang harus dioperasionalkan, seperti gedung, instalasi air dan listrik, pompa air, mesin pencacah dan kendaraan operasional roda tiga, semua fasilitas tersebut sudah pasti memerlukan pemeliharaan. Dan yang menjadi lebih krusial lagi adalah operasional TPST yang belum ditambahkan pula dalam proses perencanaan. Upaya-upaya telah dilakukan dalam rangka memaksimalkan fungsi fasilitas tersebut namun sampai dengan tahun 2013 belum ada yang secara signifikan mampu menjawab permasalahan operasional proyek tersebut atau bisa disebut mangkrak. Proyek atau kegiatan mangkrak di Indonesia memang terjadi di berbagai daerah. (Sanjaya, dkk 2013) menerangkan beberapa masalah pada proses pelaksanaan penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (PAMSIMAS) yakni pada komponen pendukung keberhasilan Program PAMSIMAS seperti perencanaan dengan keterlibatan masyarakat, pembangunan dengan pelayanan sanitasi dan kesehatan masyarakat, dan pengelolaannya dengan penyediaan sarana air minum dan sanitasi.

Permasalahan Dalam pembangunan TPST karena proses pelaksanaannya berupa pelimpahan

kegiatan maka terjadi miskomunikasi antara Provinsi dan Kota dalam hal pemanfaatannya, sehingga permasalahannya dibatasi menjadi bagaimana upaya yang dilaksanakan untuk memanfaatkan fasilitas tersebut sehingga tidak mangkrak.

Tujuan Kajian ini menggunakan aspek evaluasi proyek untuk memberikan masukan bagi

pemerintah, diharapkan dalam kajian ini diperoleh upaya yang perlu dilakukan sehingga TPST bisa dipergunakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam pembangunan TPST Jurangombo Utara.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipergunakan dalam kajian ini adalah kualitatif memberikan penjelasan terhadap masalah yang dihadapi dilengkapi dengan berbagai informasi yang bersifat penjabaran data-data dalam bentuk pendapat dan angka-angka yang dinarasikan.

Page 14: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui survey dan wawancara terhadap pejabat struktural pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kantor Lingkungan Hidup Kota Magelang, Dinas Kebersihan, Tata Kota dan Pertamanan Kota Magelang dan Kelurahan Jurangombo Utara, tempat TPST tersebut berada. Sumber data ialah data primer hasil wawancara di lapangan serta data sekunder berupa buku, jurnal/artikel ilmiah, dan media massa. Teknik analisis data yang digunakan ialah dengan skema analisis data interaktif oleh Miles and Huberman (1992) yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Proyek Banyak kalangan baik pakar maupun organisasi yang mendefinisikan proyek itu apa,

bagaimana proyek itu berjalan, namun sebagian besar mengacu pada ‘Guide to Project Management’ (Project Planning and Control, Fourth Edition;1; 2003),

‘A unique set of co-ordinated activities, with definite starting and finishing points, undertaken by an individual or organization to meet specific objectives within defined schedule, cost and performance parameters.’ Dalam definisi tersebut secara umum dijelaskan bahwa proyek adalah satu rangkaian

kegiatan yang dilaksanakan secara terkoordinasi, dimulai dari persiapan sampai dengan selesai, yang dilaksanakan baik oleh seorang individu atau organisasi untuk memenuhi tujuan tertentu dalam jadwal yang ditetapkan, dengan parameter biaya dan kinerja.

Keberadaan Fasilitas dalam pendekatan proyek pun tidak bisa berjalan sesuai dengan definisi di atas. Beberapa bagian yang dipersyaratkan dalam hal parameter kinerja tidak terpenuhi.

(Project Planning and Control, Fourth Edition;2; 2003), As stated in the definition, a project has a definite starting and finishing point and must meet certain specified objectives. Broadly these objectives, which are usually defined as part of the business case and set out in the project brief, must meet three fundamental criteria: 1 The project must be completed on time; 2 The project must be accomplished within the budgeted cost; 3 The project must meet the prescribed quality requirements. These criteria can be graphically represented by the well-known project triangle (Figure 1.1). Some organizations like to substitute the word ‘quality’ with ‘performance’, but the principle is the same – the operational requirements of the project must be met, and met safely.

Proyek baik dikerjakan pemerintah atau swasta merupakan bentuk kongkretisasi rencana pembangunan yang dimiliki dan disusun oleh pemerintah negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Proyek baik proyek fisikal maupun spiritual yang langsung dapat dinikmati oleh masyarakat (Soetrisno: 1982)

Sebagaimana dinyatakan dalam definisi, proyek memiliki awal yang pasti dan titik selesai, harus memenuhi tujuan tertentu. Tujuan tersebut, biasanya didefinisikan sebagai bagian dari bisnis kasus dan ditetapkan dalam proyek singkat, harus memenuhi tiga kriteria mendasar: 1) Proyek ini harus selesai tepat waktu; 2) Proyek ini harus dicapai dalam biaya yang dianggarkan; dan 3) Proyek ini harus memenuhi persyaratan kualitas yang ditentukan.

Page 15: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Andjar Prasetyo

Kriteria ini dapat dijelaskan melalui grafis proyek yang dikenal segitiga (Gambar 2). Beberapa organisasi mengganti kata ‘kualitas’ dengan kinerja, tetapi prinsipnya adalah sama – operasional persyaratan proyek harus dipenuhi, dan selesai dengan aman.

Gambar 1. Segitiga Proyek

Evaluasi proyek adalah tahap terakhir dari studi kelayakan, sedangkan studi kelayakan merupakan tahap persiapan dalam penyusunan perencanaan ekonomi (Soetrisno: 1982).

Aspek – aspek dalam evaluasi proyek Dalam Evaluasi proyek dikenal beberapa aspek yang mempengaruhi berjalan atau

tidaknya suatu proyek. Aspek-aspek tersebut meliputi: 1. Aspek pasar : Bertujuan untuk mengetahui permintaan terhadap barang dan jasa yang

dihasilkan oleh proyek; Bentuk pasar: penjelasan aspek pasar produsen dan konsumenyang dipilih; Luas pasar, pertumbuhan permintaan dan market share dari proyekterhadap seluruh industri; Kondisi persaingan antar produsen dan siklus hidup produk:introduksi, bertumbuh, dewasa, atau menurun ; Mengukur dan meramal permintaandan penawaran: penjelasan kondisi permintaan dan penawaran produk sejenis baikpada saat ini maupun prediksi masa mendatang.

2. Aspek pemasaran adalah kegiatan untuk menjual produk dan menciptakan hubunganjangka panjang (yang saling menguntungkan) dengan pelanggan; Menentukan ciri-ciripasar yang akan dipilih (target market); menentukan strategi untuk dapat meraih danmemuaskan pasar. Urutan-urutan penulisannya: a) Sikap, perilaku, dan kepuasankonsumen: penjelasan mengenai sikap, perilaku, dan kepuasan konsumen terhadapproduk sejenis saat ini; b) Segmentasi – target - posisi di pasar: Segmentasi pasar,Target pasar dan strategi positioning untuk menguasai target pasar.a. Situasi persaingan di lingkungan industri: penjelasan situasi persaingan antar

perusahaan yang memproduksi produk sejenis dengan produk yang akandiproduksi perusahaan di pasar yang dipilih.

b. Manajemen pemasaran (bauran pemasaran): bagaimana kebijakan bauranpemasaran yang akan dilaksanakan.

Page 16: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 3. Aspek teknis dan teknologi: menentukan strategi dan teknologi produksi/operasi yang

akan dipilih: kapasitas produksi, jenis teknologi yang dipakai, pemakaian peralatan dan mesin, lokasi, dan tata letak pabrik yang paling menguntungkan. Urutan-urutannya: a) Pemilihan strategi produksi; b) Pemilihan dan perencanaan produk yang akan diproduksi; c) Rencana kualitas; d) Pemilihan teknologi; e) Rencana kapasitas produksi; f) Perencanaan letak pabrik; g) Perencanaan tata letak (layout); h) Perencanaan jumlah produksi; i) Manajemen Persediaan; j) Pengawasan kualitas produk.

4. Aspek Manajemen: menentukan manajemen baik dalam konstruksi proyek maupun saat operasional rutin proyek: pihak perencana, pelaksana manajerial, koordinasi dan pengawasan, bentuk badan usaha, struktur-organisasi. Urutan-urutannya: a. Pembangunan proyek: 1) Perencanaan kegiatan, waktu, SDM, keuangan dan

produk ; 2) Pengorganisasian, termasuk struktur, bentuk dan prestasi organisasi; 3) Pengarahan dan motivasi, termasuk kepemimpinan; 4) Pengendalian, termasuk penentuan sistem pengendalian yang efektif.

b. Operasionalisasi Proyek, meliputi : 1) Perencanaan kegiatan, waktu, SDM, keuangan dan produk ; 2) Pengorganisasian, termasuk struktur, bentuk dan prestasi organisasi ; 3) Pengarahan dan motivasi, termasuk kepemimpinan ; 4) Pengendalian, termasuk penentuan sistem pengendalian yang efektif. Aspek inilah yang memberikan sumbangan mangkrak paling dominan karena pada

saat dilakukan diskusi informal dengan pejabat di dua SKPD yaitu Dinas Kebersihan Pertamanan dan Tata Kota (DKPTK) dan Kantor Lingkungan Hidup, kegiatan tersebut murni kegiatan yang dilaksanakan dari Provinsi Jawa Tengah Kota Magelang tidak dilibatkan dalam proses perencanaan sampai dengan evaluasi. Akhirnya keterbatasan aturan lah yang memangkrakan sarana tersebut. Pihak Provinsi selaku pemilik kegiatan dengan berdasar pada aturan yang ada kesulitan untuk menyerahkan aset tersebut ke Pemerintah Kota Magelang. Sementara itu Kota Magelang tidak bisa melakukan pengendalian melalui APBD Kota Magelang dan Operasional utamanya dalam hal pemeliharaan dan pelaksanaan mobilisasi menjadi kendala utama mangkraknya.

5. Aspek sumberdaya manusia; menentukan peran SDM baik dalam konstruksi proyek maupun saat operasional rutin proyek: jenis pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, cara rekrutmen, renumerasi, lama bekerja, cara bekerja, dan pengembangan SDM; Menjelaskan kajian terhadap sepuluh tahapan Manajemen SDM bagi dua kegiatan utama proyek, yakni pembangunan proyek dan operasionalisasinya. Urutan-urutannya: 1) Perencanaan SDM; 2) Analisis pekerjaan; 3) Rekrutmen, seleksi dan orientasi; 4) Produktivitas; 5) Pelatihan dan pengembangan; 6) Prestasi kerja; 7) Kompensasi; 8) Perencanaan karir; 9) Keselamatan dan kesehatan kerja; 10) Pemberhentian.

6. Aspek Ekonomi, sosial, dan politik; menjelaskan pengaruh bagaimana kondisi lingkungan perekonomian, sosial, dan politik daerah dan negara diperkirakan akan mempengaruhi rencana proyek, begitu pula sebaliknya, bagaimana pengaruh proyek terhadap perekonomian, sosial dan politik daerah dan negara. a. Aspek ekonomi (sisi rencana pembangunan nasional/daerah, distribusi nilai

tambah, investasi per tenaga kerja, meliputi pengaruh lingkungan ekonomi terhadap proyek dan pengaruh proyek terhadap lingkungan ekonomi.

b. Aspek sosial, meliputi: pengaruh lingkungan sosial terhadap proyek dan pengaruh proyek terhadap lingkungan sosial.

Page 17: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Andjar Prasetyo

c. Aspek lingkungan alam, meliputi: pengaruh lingkungan alam terhadap proyek dan pengaruh proyek terhadap lingkungan alam (AMDAL).

d. Aspek politik, meliputi pengaruh lingkungan politik terhadap proyek dan pengaruh proyek terhadap lingkungan politik.

7. Aspek keuangan; menentukan pengaturan rencana keuangan: penghitungan perkiraan jumlah dana yang dibutuhkan, struktur pembiayaan yang paling menguntungkan, analisis keuangan kemampuan laba, aliran kas, dan sebagainya. Urutan-urutannya : a. Kebutuhan dana dan sumber dana. b. Biaya modal (cost of capital), yang terdiri dari meliputi biaya hutang dan biaya

modal sendiri. c. Analisis kepekaan (sensitivity analysis) d. Kelayakan finansial proyek meliputi 1) proyeksi kemampulabaan (projected

income statement); 2) Proyeksi aliran kas (projected cashflow); 3) benefit-cost ratio; 4) internal rate of return dan 5) analisa kelayakan finansial lainnya.

Definisi Mangkrak Mangkrak dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan terbengkelai. Isu terkait

mangkrak dapat dijelaskan dalam beberapa aspek berikut: a. Lingkup kebijakan definisinya tidak seragam (bersinggungan dengan masalah

perencanaan daerah, pengadaan barang dan jasa, keuangan daerah, dan politik anggaran).

b. Secara kelembagaan, urusan aset di Pemerintah daerah berlainan karena pemahaman Undang-Undang Otonomi Daerah.

c. Kualitas manajemen aset sangat tergantung kepada visi Bupati / Walikota. d. Pengalaman aparat Pemerintah daerah dalam pemanfaatan aset melalui PPP (Public-

Private-Partnership) masih sangat terbatas. e. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah lebih berperan sebagai “pengguna anggaran”

dan bukan sebagai “pengguna barang”. f. Salah tafsir dan multi-interpretasi mengenai pemanfaatan aset untuk “kepentingan

umum”. g. Lima jenis pemanfaatan barang menurut ketentuan (sewa, pinjam-pakai, kerrjasama

pemanfaatan, BOT, BTO) tidak selalu bisa diterapkan dalam kerjasama dengan swasta atau masyarakat.

h. Penilaian aset (asset valuation) kurang profesional, tidak didukung kemampuan SDM yang memadai.

Kerugian dari aset yang tidak dikelola: a. Nilai aset akan menurun karena biaya langsung (misalnya : pajak) b. Penyusutan (depresiasi) c. Kesempatan yang hilang (missing opportunites) dari warga sebagai pengguna fasilitas

publik. d. Kemungkinan negative externalities, pemanfaatan oleh pendompleng atau orang yang

tak bertanggungjawab. e. Kerugian reputasi Pemerintah Daerah (dipandang tidak kompeten, tidak peduli, atau

tidak cerdas).

Definisi PPP A PPP is an agreement between a government and a private firm under which

the private firm delivers an asset, a service, or both, in return for payments.

Page 18: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

These payments are contingent to some extent on the long-term quality or other characteristics of outputs delivered.

PPP (atau KPS: Kerjasama Pemerintah dan Swasta) dapat diartikan sebagai: suatu pengaturan pihak swasta berpartisipasi dalam, atau memberi dukungan kepada, atau membangun infrastruktur, dan atau memberikan layanan kepada publik atasnama Pemerintah.

Biasanya pelayanan publik oleh swasta tersebut berjangka waktu tertentu saja, setelah habis kontrak, maka pelayanan tersebut dilakukan/dilanjutkan oleh Pemerintah.

Pengertian Public-Private Partnership (PPP) menurut William J. Parente dari USAID adalah

an agreement or contract, between a public entity and a private party, under which: a) private party undertakes government function for specified period of time, b) the private party receives compensation for performing the function, directly or idirectly, c) private party is liable for the risks arising from performing the function and, d) the public facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private party.

Dari definisi tersebut PPP merupakan bentuk perjanjian atau kontrak antara sektor publik dan sektor privat yang terdiri atas beberapa ketentuan, antara lain: sektor privat menjalankan fungsi pemerintah untuk periode tertentu; sektor privat menerima kompensasi atas penyelenggaraan fungsi, baik secara langsung maupun tidak langsung; sektor privat bertanggung jawab atas resiko yang timbul dari penyelenggaraan fungsi tersebut; dan fasilitas publik, tanah, dan sumber daya lainnya dapat ditransfer atau disediakan untuk sektor privat.

PPP merupakan bentuk privatisasi. Dalam arti luas, privatisasi berarti melambangkan suatu cara baru dalam memperhatikan kebutuhan masyarakat dan pemikiran kembali mengenai peranan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Privatisasi memberikan kewenangan yang lebih besar pada institusi masyarakat dan mengurangi kewenangan pemerintah dalam merumuskan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, privatisasi merupakan tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran sektor privat dalam aktivitas atau kepemilikan aset publik (Savas: 1986).

Pengertian kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat adalah kewenangan kepemilikan asset yang masih dimiliki oleh pemerintah, sedangkan untuk kerjasama swastanisasi asset menjadi milik swasta. Ada beberapa bentuk kerja sama yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. Private Sector Partisipation (PSP) atau kemitraan sektor privat. PSP merupakan jenis

kemitraan yang pada umumnya tidak padat modal, sektor swasta melakukan pengadaan dan operasionalisasi prasarana, sedangkan pemerintah sebagai penyedia prasarana yang sesuai dengan kebijakannya. Pemerintah tetap sebagai pemilik asset dan pengendali pelaksana kerjasama.

b. Public Private Partnership (PPP) atau kerjasama sektor publik dan sektor privat. Kemitraan ini melibatkan investasi yang besar/padat modal yang dibiayai oleh sektor swasta, membangun, dan mengelola sarana dan prasarana, sedangkan sektor publik menangani peraturan pelayanan, sebagai pemilik asset, dan pengendali pelaksana kerjasama.

c. Public Private Community Partnership (PPCP). Kemitraan ini melibatkan sektor privat dan masyarakat untuk membantu pelaksanaan pembangunan yang dirancang

Page 19: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Andjar Prasetyo

oleh sektor publik. Sektor privat dan masyarakat terlibat dalam hal pembiayaan dan pengelolaan. Build-Operate-Transfer (BOT). BOT adalah pola atau struktur yang menggunakan

investasi swasta untuk mengerjakan pembangunan infrastruktur atau sektor publik. BOT terkadang diartikan menjadi build-own-transfer atau membangun – memiliki – mengalihkan (UNINDO, 1996). Dalam pola BOT, perusahaan proyek diberi kepercayaan oleh pemerintah setempat untuk mengembangkan, membiayai, membangun, dan mengoperasikan suatu fasilitas untuk suatu jangka waktu konsesi tertentu. Pendapatan yang dikumpulkan oleh perusahaan proyek ditentukan dengan cara tolling, take or pay, atau perjanjian pembelian sebagaimana standard teknis hasil pelaksanaan yang harus dipenuhi oleh perusahaan proyek. Biasanya, fasilitas yang dibangun dengan pola BOT merupakan fasilitas untuk umum dan infrastruktur, antara lain: jalan tol, pembangkit atau tenaga listrik, penyedia air minum, telekomunikasi, terowongan, bendungan, pelabuhan dan bandara (Walker dan Smith, 1995; UNINDO, 1996; Tiogn, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

TPST Jurangombo Utara TPST Jurangombo Utara berlokasi di Kelurahan Jurangombo Utara Kecamatan

Magelang Selatan Kota Magelang. TPST tersebut dibangun pada tahun 2010 dengan menelan biaya sebesar Rp.129930000,-. Diharapkan dengan didirikan bangunan tersebut bisa mengakomodasi timbulan sampah yang ada di Kota Magelang. Dalam proses pelaksanaannya keterlibatan masyarakat melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang berada di dekat lokasi TPST Jurangombo Utara, untuk menjadi pengelola TPST tersebut. Fasilitas yang ada TPST di Jurangombo Utara terdiri dari dua hasil pembangunan yaitu tempat pengolahan sampah meliputi gedung TPST, instalasi air, sarana jalan paving, sumur gali, pompa air, sedangkan peralatan pendukung pengolah sampah 3R terdiri atas mesin pencacah satu unit dan kendaraan roda tiga sebanyak dua unit dengan kondisi baik sampai dengan Mei 2013.

Namun sampai dengan tahun 2013 tersebut sarana ini belum dimanfaatkan/mangkrak karena masih muncul berbagai masalah, diantaranya: 1. Mekanisme pembangunan yang belum terkoordinasi antara Satuan Kerja

Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Direktorat Jendral Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum di Provinsi Jawa Tengah selaku pemilik kegiatan dengan Pemerintah Kota Magelang selaku penyedia lokasi kegiatan.

2. Status aset proyek yang ada tersebut belum jelas sehingga Pemerintah Kota Magelang tidak bisa melakukan pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana tersebut.

3. Manajemen pengelolaan TPST tidak termasuk dalam pembangunan TPST tersebut.Pembangunan TPST tersebut direncanakan untuk aktifitas pengelolaan sampah yang bertujuan pemanfaatan kembali guna mereduksi sampah, didalamnya terdapat fasilitas untuk merubah sampah menjadi bentuk yang lebih berguna yang teknik pengolahan sampahnya seperti pemilahan sampah, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan dan pemprosesan akhir sampah.

4. Keterbatasan komunikasi antara pemilik kegiatan dengan penyedia lokasi dalam proses perencanaan. Penyedia lokasi hanya benar-benar menyediakan lokasi, dari sisi perencanaan awal sampai dengan pelaksanaan pembangunan tidak dilibatkan sehingga kesulitan dalam hal penggunaan fasilitas tersebut. Kesulitan yang terjadi

Page 20: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

adalah tidak tersedianya keterbukaan dokumentasi dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.

Timbulan Sampah di Kota Magelang Seperti disampaikan di atas bahwa timbulan sampah di Kota Magelang pada tahun

2012, dengan menggunakan data rata-rata timbulan sampah di TPS dan Transfer Depo Kota Magelang, dapat diperoleh timbulan sampah di Kota Magelang adalah 204,16 m3/hari. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Data Timbulan Sampah TD dan TPS Kota Magelang tahun 2012 TD/TPS Timbulan sampah (m3/hari) Prosentase (%)

TPS Tarumanegara 14.42 7.06 TD Kuncen 5.59 2.74 TD Sanden 7.60 3.72 TD Jl Maluku 50.48 24.73 TD Dalangan 9.51 4.66 TPS Magersari 13.40 6.56 TD Jurangombo 12.42 6.08 TD Cacaban 26.10 12.79 TD Perum Korpri 5.60 2.74 TD Tidar 18.90 9.26 TPS Tidar Baru 4.96 2.43 TD Depok 31.21 15.29 TD Sunan Giri 3.97 1.94

Jumlah 204.16 100,00 Sumber: Kantor Lingkungan Hidup, 2012, diolah

Tabel 2. Data Timbulan Sampah TD dan TPS Kota Magelang tahun 2013 NO TD/TPS Timbulan sampah (m3/hari) Prosentase (%) 1 TPS Tarumanegara 18,56 8,52 2 TD Kuncen 6,09 2,79 3 TD Sanden 7,55 3,46 4 TD Jl Maluku 56,52 25,94 5 TD Dalangan 9,87 4,53 6 TPS Magersari 14,68 6,74 7 TD Jurangombo 12,65 5,81 8 TD Cacaban 29,41 13,50 9 TD Tidar 22,82 10,47 10 TPS Tidar Baru 5,26 2,41 11 TD Depok 30,59 14,04 12 TD Sunan Giri 3,90 1,79 Jumlah 217,92 100,00

Sumber: Kantor Lingkungan Hidup, 2013, diolah

Upaya yang telah dilakukan dalam pemanfaatan kembali TPST Jurangombo Utara dari aspek pasar adalah Keberadaan TPST Jurangombo Utara pada dasarnya sudah memperhatikan aspek pasar, walaupun dalam pelaksanaan pembangunan tersebut tidak ada data pasti tentang besarnya timbulan sampah, namun hanya menggunakan estimasi

Page 21: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Andjar Prasetyo ternyata pada tahapan semestinya TPST tersebut berfungsi kalau memang tidak mangkrak mampu melakukan pemilahan dan pengolahan sampah.

Adapun letak TPS dan TD tersebut di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Rata-rata timbulan sampah di TPS dan Transfer Depo Kota Magelang, dapat diperoleh timbulan sampah di Kota Magelang adalah 204,16 m3/hari pada tahun 2012 dan tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi 217,92 m3/hari. Data tersebut menunjukkan adanya ketersediaan bahan olahan yang cukup untuk nantinya diolah di TPST Jurangombo. Selain itu keberadaan TPST Jurangombo tersebut disiapkan dalam rangka mengantisipasi meningkatnya volume sampah yang ada di Kota Magelang.

Page 22: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

Aspek ini merupakan aspek substansi dalam pengelolaan sampah dengan tersedianya mesin pencacah dan kendaraan roda tiga yang diharapkan mampu menjangkau timbulan sampah yang ada di Kota Magelang, luasan Kota Magelang yang hanya mencapai 18,12 Km2 sudah memadai.

Pada kenyataannya di dalam TPST sendiri masih terdapat banyak kendala seperti fasilitas yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Kondisi ini terjadi karena pada saat pembangunan tersebut tidak didukung dengan kegiatan untuk operasional TPST. Padahal dalam TPST tersedia sarana prasarana yang harus dioperasionalkan, seperti gedung, instalasi air dan listrik, pompa air, mesin pencacah, dan kendaraan operasional roda tiga.

Aspek manajemen yang memberikan sumbangan mangkrak paling dominan karena pada saat dilakukan diskusi informal dengan pejabat di dua SKPD yaitu Dinas Kebersihan Pertamanan dan Tata Kota (DKPTK) dan Kantor Lingkungan Hidup, kegiatan tersebut murni kegiatan yang dilaksanakan dari Provinsi Jawa Tengah akan tetapi Kota Magelang tidak dilibatkan dalam proses perencanaan sampai dengan evaluasi. Akhirnya keterbatasan aturan lah yang memangkrakkan sarana tersebut. Pihak Provinsi selaku pemilik kegiatan dengan berdasar pada aturan yang ada kesulitan untuk menyerahkan aset tersebut ke Pemerintah Kota Magelang. Sementara itu Kota Magelang tidak bisa melakukan pengendalian melalui APBD Kota Magelang dan operasional utamanya dalam hal pemeliharaan dan pelaksanaan mobilisasi menjadi kendala utama mangkraknya.

Proyek TPST menjadi proyek mangkrak disinyalir karena banyaknya kendala teknis, namun yang lebih krusial dalam hal ini adalah operasional TPST yang belum ditambahkan pula dalam proses perencanaan. Hal tersebut menandakan kurang siapnya pihak pengelola proyek tersebut karena tidak memperhatikan manajemen perencanaan pada khususnya.

Pada aspek sumber daya manusia, keterlibatan kelompok swadaya masyarakat mampu memberikan sumbangan terhadap pelaksanaan operasional pengolahan sampah di TPST. Namun terkendala dengan ketergantungan KSM tersebut terhadap insentif dari Pemerintah. Asumsi bahwa fasilitas tersebut merupakan aset negara mengakibatkan timbulnya ketergantungan tersebut. Padahal salah satu upaya kemandirian daerah adalah ketersediaan warga yang mengurangi atau bahkan anti insentif terhadap pemerintah.

Pada sisi tertentu bukan dalam maksud membiaskan bahasan utama, masih di wilayah Kota Magelang, terdapat kelompok yang melakukan pengolahan skala kecil (dasawisma) di Kelurahan Wates namun esensi dari kemampuan SDM dalam pengolahan sampah sangat terwakili. Pemerintah tidak memiliki akses untuk memberikan insentif hal ini terjadi karena sudah adanya kesadaran SDM dalam pengolahan sampah.

Aspek sumber daya manusia dalam proyek TPST ini kurang baik, hal tersebut tercermin dari proyek TPST yang menjadi proyek mangkrak. Namun di sisi lain dalam proses pelaksanaannya keterlibatan masyarakat melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang berada di dekat lokasi TPST Jurangombo Utara, untuk menjadi pengelola TPST tersebut dapat menjadi lapangan pekerjaan yang baru maupun sampingan bagi masyarakat sekitar guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik memang belum bisa secara signifikan berjalan karena adanya keterbatasan operasional, namun dalam perencanaan ditargetkan dengan adanya TPST pada akhirnya nanti mampu memberikan sumbangan pendapatan dari sektor penerimaan retribusi.

Upaya dari aspek ekonomi dalam rangka mengurangi mangkraknya fasilitas ini adalah tersedianya fasilitas listrik dan air yang dibayar oleh Dinas Kebersihan

Page 23: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Andjar Prasetyo Pertamanan dan Tata Kota Magelang. Fasilitas tersebut mulai bisa dilaksanakan pada tahun 2014 setelah sebelumnya pada tahun 2013 dilakukan penyerahan aset tersebut dari pihak provinsi kepada Kota Magelang.

Aspek keuangan, TPST Jurangombo Utara dibangun pada tahun 2010 dengan menelan biaya sebesar Rp.129930000,-. TPST tersebut pembangunannya telah menelan dana besar dan sangat disayangkan pengelolaannya mangkrak di tengah jalan sehingga anggaran yang dikeluarkan pemerintah setempat menjadi sia-sia sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Upaya yang perlu dilakukan adalah pertama, menginventarisir aset yang sudah ada, dengan memberikan keterangan tentang kondisi, kualitas, kuantitas dari sarana dan prasarana yang tersedia. Kedua, memformulasikan bentuk pemanfaatan yang akan dilaksanakan karena TPST tersebut dari sumber daya manusianya tersedia dari masyarakat. Ketiga apabila memang berpotensi sesuai dengan data timbulan sampah dari sisi pengelolaan bisa dilakukan dengan pilihan model sebagai berikut: a) Private Sector Partisipation (PSP) atau kemitraan sektor privat. PSP merupakan jenis kemitraan yang pada umumnya tidak padat modal, sektor swasta melakukan pengadaan dan operasionalisasi prasarana, karena permasalahan yang dihadapi dalam TPST adalah operasional sedangkan pemerintah sebagai penyedia prasarana yang sesuai dengan kebijakannya. Pemerintah tetap sebagai pemilik asset dan pengendali pelaksana kerjasama; b) Public Private Partnership (PPP) atau kerjasama sektor publik dan sektor privat. Kemitraan ini melibatkan investasi yang besar/padat modal dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola sarana dan prasarana, sedangkan sektor publik menangani peraturan pelayanan, sebagai pemilik asset, dan pengendali pelaksana kerjasama; dan c) Public-Private-Community Partnership (PPCP). Kemitraan ini melibatkan sektor privat dan masyarakat untuk membantu pelaksanaan pembangunan yang dirancang oleh sektor publik. Sektor privat dan masyarakat terlibat dalam hal pembiayaan dan pengelolaan.

PENUTUP

Kesimpulan Pada tahun 2010 salah satu realisasi misi tersebut adalah program Pengembangan

Penyehatan Lingkungan Permukiman, yang dalam program tersebut dilaksanakan pembangunan berupa Tempat Pengolah Sampah Terpadu.TPST Jurangombo Utara berlokasi di Kelurahan Jurangombo Utara Kecamatan Magelang Selatan Kota Magelang. TPST tersebut dibangun pada tahun 2010 dengan menelan biaya sebesar Rp. 129.930.000,-.Proyek tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya karena terjadi kesalahan teknis seperti: gedung, instalasi air dan listrik, pompa air, mesin pencacah, kendaraan operasional roda tiga, dimana fasilitas tersebut sudah pasti memerlukan pemeliharaan. Dan yang menjadi lebih krusial lagi adalah operasional TPST yang belum ditambahkan pula dalam proses perencanaan. Hal-hal tersebut yang menjadikan proyek ini saat ini menjadi proyek mangkrak.

Hal yang perlu dilakukan dalam pemanfaatan TPST Jurangombo Utara adalah pertama, menginventarisir aset yang sudah ada. Kedua, memformulasikan bentuk pemanfaatan. Ketiga apabila memang berpotensi sesuai dengan data timbulan sampah dari sisi pengelolaan bisa dilakukan dengan pilihan model Private Sector Partisipation

Page 24: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 (PSP) atau kemitraan sektor privat atau Public Private Partnership (PPP) atau kerjasama sektor publik dan sektor privat atau Public-Private-Community Partnership (PPCP).

Ucapan Terima Kasih Terima kasih pada Bapak Nurul Anwar, SE, MS, Ph.D yang telah membaca dan

mengkritisi tulisan ini sehingga mendapat masukan yang berguna bagi pengembangan tulisan ini. Masukan di dalam tulisan ini ialah bagaimana agar tulisan ini mudah dibaca.

DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kota Magelang, 2010, Rencana Pembangunan Jangka Pendek Pemerintah Kota Magelang 2010 –

2015, tidak dipublikasikan DPKTK, 2010, Dokumen Pembangunan Tempat Pengolah Sampah Terpadu Kota Magelang, tidak

dipublikasikan Djunedi, Praptono. “Implementasi Public-Private Partnerships dan Dampaknya Ke APBN”.

www.fiskal.depkeu.go.id/ webbkf/kajian%5Cartikel_ PPP_prap.pdf diunduh pada 18 April 2014 pukul 09.43 WIB.

Elsevier Butterworth-Heinemann, 2003, Project Planning and Control Fourth Edition, Butterworth & Co (Publishers) Ltd.

Hariyana,dkk, 2010, Perbandingan Administrasi Negara: Perbandingan Pembangunan Jalan Di Indonesia, India, dan Hong Kong, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, tidak dipublikasikan.

Kantor Lingkungan Hidup Kota Magelang, 2014, Laporan Volume Sampah Harian tahun 2013, tidak dipublikasikan.

Kantor Lingkungan Hidup Kota Magelang, 2013, Laporan Volume Sampah Harian tahun 2012, tidak dipublikasikan.

Miharjana, Dodi, 2006,”Feasibility Analysis and Risks in PPP Projects” dalam Workshop on “Fundamental Principles and Techniques for Effective Public Private Partnerships in Indonesia”, Jakarta.

Parente and William J., 2006, ”Public Private Partnerships” dalam Workshop on “Fundamental Principles and Techniques for Effective Public Private Partnerships in Indonesia”, Jakarta.

Sanjaya, Barkah Welli, Yuwanto, Astuti, Puji, 2013, Evaluasi Pelaksanaan Program Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) Tahun 2009-2010 di Kabupaten Grobogan, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro, Semarang.

Soetrisno Ph, 1982, Dasar-dasar Evaluasi Proyek, Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Andi Offset, Yogyakarta.

Sri Susilih. 2002. Desentralisasi Public Service dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002 Hal. 36-37.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. http://staff.ui.ac.id/system /files/ users/ guido.benny29/ material/ evapro02 evapro desain dan gagasan.pdf,

diakses tanggal 19 Maret 2014.

Page 25: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 -9124 Tongku Nizwan Siregar, dkk

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI ACEH MELALUI IMPLEMENTASI TEKNOLOGI

TRANSFER EMBRIO

Increasing Productivity Through the Implementation of Aceh Cattle Embryo Transfer Technology

Tongku Nizwan Siregar1, Amiruddin2, Vici Imshar3, Hamdan1, Arman Sayuti2, dan Teuku Armansyah4

1Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

3Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

4Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kebuntuingan sapi aceh setelah transfer embrio. Sampel yang

digunakan adalah 6 ekor sapi aceh betina (3 ekor donor 3 ekor resipien) yang telah didiagnosis sehat reproduksinya, dengan kisaran umur 5-8 tahun, dan mempunyai minimal dua kali siklus reguler. Sapi-sapi disuperovulasi menggunakan protokol standar menggunakan hormon follicle stimulating hormone (FSH). Pada hari (-2) dilakukan palpasi rektal untuk mengetahui status reproduksi dan keberadaan korpus luteum, pada hari (-1) sapi donor dan resipien diinjeksi menggunakan PGF2α, pada hari (0) sapi estrus, pada hari (9-12) sapi diinjeksi dengan FSH dosis menurun (3-3, 2-2, 1-1, 0,5-0,5 ml), pada hari (11) sapi resipien diinjeksi dengan PGF2α kedua, pada hari (12) sapi donor diinjeksi dengan PGF2α kedua, pada hari (13-14) dilakukan inseminasi, dan pada hari (20-21) dilakukan koleksi dan transfer embrio. Koleksi embrio dilakukan dengan cara tanpa operasi (non surgical) pada hari ke 7 setelah inseminasi buatan. Evaluasi embrio mengunakan mikroskop dengan pembesaran 70x. Embrio yang dapat ditransfer embrio adalah kelas A atau kelas B. Dari hasil konfirmasi konsentrasi progesteron pada hari ke-21 kebuntingan, 1 dari 3 resipien mempunyai konsentrasi >5 ng/ml yang mengindikasikan kebuntingan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa angka keberhasilan transfer embrio pada sapi aceh adalah 33,33%.

Kata kunci: sapi aceh, transfer embrio, angka konsepsi

ABSTRACT Purpose of this research is to predict the pregnance value of aceh cattle after remaining embrio transfer. 6

cows consist of 3 donor and 3 recipient are the object of samples wich is reproduction health condition had been diagnosed and the cows age are about 5-8 years old. The cows have 2 reguler cycles and being superovulted by standard protocol using FSH. At day (-1) the cows had been injected by PGF2α. At day (0) estrus cows. At day (9-12) the cows were injected by FSH with low dose (3-3, 2-2, 1-1, 0,5-0,5ml ). At day (11) the recipiebt were injected by second PGF2α, at day (12) the donors injected bya second PGF2α, at day (13-14) insemination, at day (20-21) the collection and the transfer of the embryo. The embryo's collection was carried out by means of without the operation (non surgical) at day 7 after artificial insemination. The evaluation of the embryo using the microscope with the enlargement 70x and then the embryo was classified according to the method shimohira (1991) the A class very good, the B class good, the C class was, the D class bad/ugly. The embryo who could be transferred by the A class embryo or the B class. from results of confirmation of the concentration progesteron on the 21st day of pregnant, 1 from 3 recipients had >5 ng/ml that indicated of pregnant. From results of this research could be concluded that the success figure of the transfer of the embryo to Aceh cattle was 33.33%.

Key words: aceh cattle, embryo transfer, conception rate

Page 26: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sapi aceh merupakan salah satu jenis sapi potong lokal yang ada di Indonesia selain sapi bali dan sapi madura. Walaupun tidak mempunyai laju pertumbuhan yang sama dengan sapi silangan namun sapi potong lokal mampu menunjukkan produktivitas dan efisiensi ekonomi yang maksimal pada berbagai kondisi yang terbatas. Berdasarkan hal tersebut, maka sapi potong lokal akan tetap lebih tepat dan ekonomis dikembangkan pada pola dan kondisi peternakan rakyat (Romjali et al., 2007). Penyebaran sapi aceh terdapat di Aceh dan Sumatera Utara dengan jumlah yang tidak diketahui sampai saat ini. Berdasarkan survei, diketahui bahwa populasi sapi aceh berada pada posisi yang mengkhawatirkan dan mengalami kecenderungan penurunan. Jika penurunan populasi sapi aceh ini tidak diperhatikan maka dikhawatirkan populasi sapi aceh akan terancam punah (FAO, 1996).

Berdasarkan kenyataan di atas, perlu dilakukan upaya pelestarian sapi aceh. Armansyah et al. (2011) bekerjasama dengan Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Aceh Indrapuri telah melakukan kerjasama dalam upaya memurnikan sapi aceh baik secara fenotipe maupun genotipe. Setelah upaya pemurnian dilakukan maka usaha lain yang harus dilakukan adalah melestarikan plasma nutfah sapi aceh. Salah satu teknologi yang menjamin pelestarian tersebut adalah melalui implementasi teknologi transfer embrio.

Salah satu tahapan penting dalam pelaksanaan transfer embrio (TE) adalah proses transfer embrio dari donor kepada resipien. Beberapa faktor memengaruhi angka kebuntingan sapi hasil TE antara lain: kualitas embrio, embrio segar atau beku, breed resipien, dan tingkat sinkronisasi estrus antara donor dan resipien (Hasler, 2004). Pengaruh keberhasilan TE karena faktor breed masih menjadi hal yang diperdebatkan sampai saat ini. Suatu studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan angka kebuntingan hasil TE antara sapi potong dengan sapi perah (Hasler, 2001) meskipun secara umum diketahui bahwa faktor breed mempunyai pengaruh yang signifikan (Hasler, 2004).

Sampai saat ini laporan mengenai keberhasilan pelaksanaan TE pada sapi aceh masih terbatas pada kualitas embrio dan konsentrasi steroid yang dihasilkan (Dewi, 2010; Arismunandar, 2010), sedangkan angka kebuntingannya belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang bertujuan mengetahui angka kebuntingan sapi aceh hasil TE.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Teaching Farm dan Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian ini dilaksanakan pada akhir Januari sampai dengan Maret 2012.

Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan 6 ekor sapi aceh betina (3 ekor donor dan 3 ekor resipien)

yang telah didiagnosis sehat reproduksinya, dengan kisaran umur 5-8 tahun, dan mempunyai minimal 2 siklus reguler. Sapi yang digunakan secara klinis sehat dan mempunyai skor kondisi tubuh dengan kriteria baik antara 3-4 pada skala skor 5. Sapi-sapi ditempatkan dalam kandang terbuka yang mempunyai sekat-sekat yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Sapi-sapi tersebut diberi pakan hijauan dua kali sehari dan konsentrat satu kali sehari serta air minum ad libitum.

Page 27: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Tongku Nizwar Siregar

Kriteria sapi aceh yang digunakan sesuai dengan petunjuk Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54/permentan/ot.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice) dengan ciri-ciri fenotip: 1) warna bulu coklat muda, coklat merah (merah bata), coklat hitam, hitam dan putih, abu-abu, kulit hitam memutih ke arah sentral tubuh, 2) betina berpunuk kecil, 3) punuk jantan terlihat jelas, dan 4) tinggi gumba sapi betina berumur 18-24 bulan minimal 100 cm sedang tinggi gumba sapi jantan berumur 24-36 bulan minimal 105 cm. Sapi-sapi disuperovulasi menggunakan protokol standar menggunakan hormon FSH. Protokol sinkronisasi dan superovulasi disajikan di bawah ini.

Protokol sinkronisasi dan superovulasi pada hewan donor/resipien Hari -2 : Palpasi rektal untuk melihat status reproduksi dan keberadaan CL. Hari -1 : Injeksi sapi (donor dan resipien dengan PGF2 alpha) Hari ke-0 : Sapi estrus Hari 9-12 : Injeksi sapi dengan dengan FSH dosis menurun (3-3, 2-2, 1-1, dan 0,5-0,5 ml) Hari ke-11 : Injeksi resipien dengan PGF 2 alpha kedua Hari 12 : Injeksi donor dengan PGF 2 alpha kedua Hari 13-14 : Inseminasi Hari 20-21 : Koleksi/transfer embrio

Koleksi Embrio Koleksi embrio dilakukan dengan cara tanpa operasi (non surgical) pada hari ke-7

setelah inseminasi buatan. Sapi ditempatkan dalam nostal. Pangkal ekor dijepit, dibersihkan dengan sabun dan dibilas dengan alkohol 70%. Selanjutnya, sapi dianestesi epidural yang diberikan pada vertebrae antara sacrum terakhir dan coccygea pertama dengan 2 ml lidocain chloride 2%. Feses dikeluarkan dari rektum.

Pembuka serviks (servical expander) dimasukkan ke dalam vagina dan ditempatkan pada bagian lumen serviks untuk memanipulasi serviks sehingga lintasan balon kateter terbuka. Kateter Foley 2 jalur batang pengeras anti karat dimasukkan dengan hati-hati ke dalam vagina dan ke dalam lumen serviks bagian depan, terus ke badan uterus yang dituntun dengan palpasi rektal seperti pada pelaksanaan inseminasi buatan. Kateter tersebut dimasukkan ke kornua uterus secara bergantian. Kemudian balon dikembangkan dengan udara sampai lengket sehingga medium tidak dapat keluar di antara balon dan dinding uterus.

Medium flushing ditempatkan ke dalam botol yang dihubungkan dengan pipa penyalur (untuk saluran medium). Pipa dari botol dihubungkan dengan pipa inflow (saluran menuju uterus) pada kateter Foley dengan penghubung Y. Setelah kornua uterus menggelembung terisi 50 ml medium flushing, pipa aliran dibuka dan ditampung pada botol 1000 ml. Proses ini diulang sampai 250 ml untuk satu kornua uterus. Selanjutnya, medium diperiksa di bawah mikroskop untuk evaluasi embrio yang diperoleh.

Evaluasi Embrio Embrio dievaluasi menggunakan mikroskop dengan pembesaran 70x. Evaluasi

embrio dilakukan menurut cara Shimohira (1991) yang mengklasifikasikan embrio menjadi:

Kelas A: Bagus sekali, bentuk blastomer jelas, seragam, dan tidak dijumpai adanya penonjolan-penonjolan blastomer. Embrio kategori ini dapat ditransfer dan dibekukan.

Kelas B: Bagus, bentuk blastomer jelas, ada penonjolan-penonjolan blastomer dan bentuk irreguler sampai dengan 25%. Embrio kategori ini dapat ditransfer dan dibekukan.

Page 28: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

Kelas C: Sedang, bentuk blastomer banyak yang irreguler dan banyak penonjolan-penonjolan sampai 50%. Embrio kategori ini dapat ditransfer, tetapi tidak dapat dibekukan.

Kelas D: Jelek, bentuknya irreguler, abnormalitas sel-sel blastomer melebihi 60%, termasuk di sini embrio yang mengalami degenerasi, ova yang tidak mengalami fertilisasi. Embrio kategori ini tidak dapat ditransfer dan tidak dapat dibekukan.

Prosedur Transfer Proses transfer embrio dilakukan secara non surgical dengan cara melewatkan gun

transfer mencapai kornua uterus. Sapi sebelumnya, dianestesi epidural yang diberikan pada vertebrae antara sacrum terakhir dan coccygea pertama dengan 2 ml lidocain chloride 2%. Sapi resipien menerima satu embrio kelas B pada salah satu kornuanya.

Pemeriksaan Kebuntingan Pemeriksaan kebuntingan sapi resipien dilakukan dengan pemeriksaan konsentrasi

progesteron menggunakan metode enzymelinkedimmunoabsorbant (ELISA). Sapi dikategorikan bunting jika pada hari ke-21 pasca estrus menunjukkan konsentrasi progesteron >2 ng/ml (Amiruddin et al., 2001)

Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil konfirmasi konsentrasi progesteron pada hari ke-21 kebuntingan, 1 dari 3 resipien mempunyai konsentrasi >5 ng/ml yang mengindikasikan terjadinya kebuntingan sehingga angka keberhasilan transfer embrio pada sapi aceh adalah 33,33%. Konsentrasi >2 ng/ml pada hari ke-21 setelah inseminasi merupakan level ketika sapi lokal positif bunting pada sapi potong (Amiruddin et al., 2001) dan sapi perah (Lelananingtias dan Dinardi, 2006). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hasler et al. (1980) bahwa konsentrasi progesteron sapi resipien bunting dan tidak bunting pada hari ke-20, 21, dan 22 setelah estrus masing-masing adalah 5,14+0,34 dan 1,17+0,25 ng/ml. Reichenbach et al. (1992) melaporkan akurasi metode pemeriksaan progesteron pada hari ke-21 kebuntingan untuk mendiagnosis sapi bunting adalah 86%, sedangkan akurasi untuk mendiagnosis sapi tidak bunting dengan konsentrasi progesteron <1,4 ng/ml adalah 100%. Oleh karena itu, metode diagnosis ini sangat tepat digunakan untuk menentukan sapi bunting atau tidak setelah proses transfer embrio.

Jika dibandingkan dengan penelitian pada sapi lain, angka keberhasilan transfer embrio pada penelitian ini tergolong rendah. Barati et al. (2007) memperoleh angka kebuntingan mencapai 64,30% pada sapi Sistani setelah transfer embrio menggunakan embrio segar. Meskipun demikian, angka keberhasilan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan embrio beku yang hanya mencapai 17,86%. Penurunan angka keberhasilan transfer embrio dengan embrio beku berhubungan dengan waktu ekuilibrasi. Pengurangan waktu ekuilibrasi dari 10 menit menjadi 5 menit akan meningkatkan angka keberhasilan transfer embrio (Martinez et al., 2002).

Rendahnya angka keberhasilan transfer embrio pada sapi aceh kemungkinan berhubungan dengan stres panas. Meskipun pada penelitian ini, suhu lingkungan pada saat pelaksanaan penelitian tidak diperhatikan, tetapi secara fisik pada saat kegiatan suhu relatif sangat panas. Stres panas dapat menyebabkan penurunan durasi dan intensitas estrus, periode siklus diperpanjang, perubahan keseimbangan hormonal, peningkatan

Page 29: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Tongku Nizwar Siregar suhu uterus, dan penurunan angka konsepsi. Kematian embrio pada saat proses transfer embrio melewati serviks secara non surgical diduga kuat penyebab utama rendahnya angka keberhasilan pada kondisi stres panas. Hal ini dibuktikan dengan tidak terjadinya penurunan angka konsepsi ketika pelaksanaan transfer embrio dilakukan dengan cara surgical, ketika proses penempatan embrio relatif lebih cepat dibandingkan dengan secara non surgical (Weaver et al., 1986). Penempatan embrio pada pelaksanaan transfer embrio sapi aceh cenderung lebih lama karena ukuran serviks sapi aceh relatif kecil dibandingan serviks sapi breed lain. Meskipun stres panas dianggap dapat menurunkan angka keberhasilan transfer embrio (Weaver et al., 1986; Lamb, 2005), tetapi laporan lain menyatakan hasil yang berbeda. Barati et al. (2007) melaporkan tidak terjadi penurunan angka keberhasilan transfer embrio yang dilakukan pada musim panas dibandingkan pada musim dingin yakni masing-masing adalah 18,5 dan 17,2%.

Faktor lain penyebab rendahnya angka keberhasilan transfer embrio pada penelitian ini kemungkinan berhubungan dengan tidak sinkronnya fase siklus antara donor dan resipien. Sinkronisasi siklus antara donor dan resipien lebih kritis pada sapi potong dibandingkan sapi perah (Hasler, 2004). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Lamb (2005), bahwa estrus yang tidak sinkron sekitar 24 jam tidak memengaruhi angka keberhasilan pada pelaksanaan transfer embrio baik menggunakan embrio beku maupun embrio segar.

Kemungkinan lain penyebab rendahnya angka keberhasilan transfer embrio sapi aceh disebabkan penempatan embrio pada kornua uterus tanpa memperhatikan posisi korpus luteum (CL). Pada penelitian ini disebabkan kendala teknis, penempatan embrio pada kornua dilakukan secara acak. Tervit et al. (1977) melaporkan peningkatan angka keberhasilan transfer embrio jika embrio ditempatkan pada kornua ipsilateral dibandingkan kontralateral terhadap CL yakni masing-masing adalah 54 dan 39%. Di samping kemungkinan tersebut, pada penelitian ini hanya menempatkan satu embrio pada kornua unilateral setiap sapi resipien. Reichenbach et al. (1992) melaporkan peningkatan angka keberhasilan sapi resipien yang memperoleh transfer embrio pada kornua bilateral menjadi 53% dibandingkan sapi yang memperoleh transfer satu atau dua embrio pada kornua unilateral yakni masing-masing adalah 47 atau 49%.

Sapi aceh yang berhasil bunting setelah transfer embrio mengalami abortus pada usia kebuntingan 2 bulan yang disebabkan kejadian piometra. Kegagalan memelihara kebuntingan ini disebabkan seleksi resipien yang tidak memenuhi standar yang ditentukan yakni sapi yang mempunyai sejarah gangguan reproduksi tidak dapat digunakan sebagai resipien. Kondisi tersebut merupakan salah satu keterbatasan penelitian ini. Meskipun demikian, pada seleksi resipien yang baik tetap terdapat peluang terjadinya kasus abortus. King et al. (1985) melaporkan bahwa tingkat abortus pada usia kebuntingan 2-3 dan 3-7 bulan masing-masing berkisar 3,15 dan 2,14%. Faktor-faktor penyebab abortus pada program transfer embrio adalah usia embrio pada saat koleksi, kualitas embrio, periode penyimpanan antara koleksi dan transfer, tidak sinkronnya fase siklus resipien dengan donor, usia donor, respons ovarium donor, dan sejarah infertilitas pada donor.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional atas kepercayaan mendanai riset ini melalui skim Hibah Stranas tahun 2009.

Page 30: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

PENUTUP

Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa angka keberhasilan transfer embrio

pada sapi aceh adalah 33,33%.

Saran Diperlukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sampel sapi aceh resipien yang

lebih banyak dengan seleksi yang lebih baik sehingga data mengenai angka keberhasilan transfer embrio sapi aceh mempunyai validitas yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, T.N. Siregar, G. Riady, dan Hamdani (2001). Efektivitas beberapa metode kebuntingan pada sapi.

Jurnal Medika Veterinaria 1(2): 23-27. Arismunandar (2011). Konsentrasi Progesteron pada Sapi Aceh yang Diinduksi dengan FSH dan PMSG.

Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh Armansyah, T., Al-Azhar, dan T.N. Siregar (2011). Analisis isozim untuk mengetahui variasi genetika sebagai

upaya pemurnian breed sapi aceh. Jurnal Veteriner 12 (4):254-262. Barati, F., A. Niasari-Naslaji, M. Bolourchi, K. Razavi, E. Naghzali, and F. Sarhaddi (2007). Pregnancy rates of

frozen embryos recovered during winter and summer in Sistani cows. Iranian J. Vet. Research 8(2):151-154.

Boediono, A. (1995). Aplikasi bioteknologi reproduksi pada hewan ternak dalam rangka peningkatan produksi dan kualitas. Inovasi 6:26-33.

Dewi, R. (2010). Perolehan Embrio Sapi Aceh Kualitas Baik yang Diinduksi dengan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh

FAO. (1996). Proceedings of the First Regional Training Workshop on the Conservation of Domestic Animal Diversity and the Second National Coordinators Meeting, Rome.

Hasler, J. F. (2001). Factors affecting frozen and fresh embryo transfer pregnancy rates in cattle. Theriogenology 56:1401-1415.

Hasler, J.F. (2004). Factors influencing the success of embryo transfer in cattle. Proceedings of the WBC Congress, Québec. Canada.

Hasler, J.F., R. A. Bowen, L. D. Nelson, and G. E. Seidel, Jr. (1980). Serum progesterone concentrations in cows receiving embryo transfers. J. Reprod. Fert. 58:71-77.

King, K.K., G. E. Seidel, Jr., and R. P. Elsden (1985). Bovine embryo transfer pregnancies. I. Abortion rates and characteristics of calves. J. Anim. Sci. 61:747-757.

Lamb, C. (2005). Factors affecting an embryo transfer program. Proceedings Applied Reproductive Strategies in Beef Cattle, October 27-28, Reno. Nevada.

Lelananingtias, N. dan Dinardi. 2006. Pola Konsentrasi Progesteron Pada Sapi Perah Setelah Inseminasi Buatan. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Fungsional Teknis Non Peneliti. 19 Desember 2006, Batan.

Reichenbach, H. D., J. Liebrich, U. Berg, and G. Brem (1992). Pregnancy rates and births after unilateral or bilateral transfer of bovine embryos produced in vitro. J. Reprod. Fert. 95:363-370.

Romjali, E., Mariyono, D.B. Wijono, dan Hartati (2007). Rakitan Teknologi Pembibitan Sapi Potong. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati-Pasuruan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. http://jatim.litbang.deptan.go.id

Shimohira, I. (1991). Manual of Embryo Transfer and In Vitro Fertilization Technology for Cattle. Japan International Cooperation Agency.

Tervit, H.R., P.G. Havik, and J.F. Smith (1977). Egg transfer in cattle: Pregnancy rate following transfer to the uterine horn ipsilateral or contralateral to the functional corpus luteum. Theriogenology 7(1):3-10.

Weaver, L.O., J. Galland, U. Sosnik, and P. Cowen (1986). Factors affecting embryo transfer success in recipient heifers under field conditions. J. Dairy Sci. 69:2711-2717.

Page 31: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 -9124 Iswahyudi

MODEL ANALISIS SISTEM KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN ACEH TIMUR

Analysis Model of Food Security System in Aceh Timur District

Iswahyudi1,2 1Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Samudra Langsa, Langsa

2Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor

E-mail: [email protected]

ABSTRAK Masalah ketahanan pangan dunia menjadi isu penting, dan banyak kalangan yakin bahwa dunia sedang

menghadapi krisis pangan sejak 2007 karena laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara di sisi lain lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian terbatas. Kabupaten Aceh Timur sebagai salah satu penyangga pangan di Provinsi Aceh mempunyai tingkat produksi padi yang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Luas lahan yang tersedia bersifat tetap, bahkan cenderung berkurang karena beralih fungsi ke non pertanian. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ketahanan pangan di Kabupaten Aceh Timur dengan pendekatan sistem dinamis. Penelitian ini berupa penelitian studi pustaka, dengan menggunakan Software Powersim Constructor Version 2.5d. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi beras, apabila tidak diikuti oleh peningkatan produksi beras maka akan terjadi kekurangan stok beras.

Kata kunci: ketahanan pangan, lahan, sistem dinamis, konsumsi beras

ABSTRACT

Issue of world food security becomes an important issue, and people believe that the world is facing a food crisis since 2007 due to high world population growth rate each year, while on the other side the availability of agricultural land are limited. East Aceh is one of granary in Aceh Province has rice production levels fluctuate over the year. The availability of land area is remained and tended to decrease due to the non-agricultural switching function. The purpose of this study was to determine the food security in East Aceh using a dynamic systems approach. This study was a literature study, using Powersim Software Version 2.5d Constructor as analysis tools. The results showed that the increase in the population will lead to increase the consumption of rice, if not followed by the increase in rice production there will be a shortage of rice stocks.

Key words: food security, land, dynamic system, the consumption of rice

PENDAHULUAN

Masalah ketahanan pangan dunia menjadi isu penting, dan banyak kalangan yakin bahwa dunia sedang menghadapi krisis pangan sejak 2007 karena laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara di sisi lain lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian terbatas, atau laju pertumbuhannya semakin kecil, atau bahkan secara absolut cenderung semakin sempit. Pandangan ini persis seperti teori Malthus yang memprediksi suatu saat dunia akan dilanda kelaparan karena defisit produksi/stok.

World Food Program (WFP) menyatakan bahwa akibat melejitnya harga pangan dunia, sekitar 100 juta orang di tiap benua terancam kelaparan. Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini menyebut krisis pangan tersebut sebagai the silent tsunami,

Page 32: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 petaka yang melanda diam-diam. Sementara itu, Oxfam, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Inggris, memperkirakan setidaknya 290 juta orang terancam kelaparan akibat krisis pangan (Hadar, 2008). Orang yang terancam kelaparan dalam jumlah yang besar tersebut mengindikasikan bahwa memang, seperti yang dinyatakan di Sunday Herald bahwa krisis pangan kali ini adalah yang terbesar sejak awal abad ke-21. Sayogya yang disitasi oleh Triyanto (2006), menggunakan equivalen konsumsi beras per kapita sebagai ukuran kemiskinan di Indonesia. Di sebagian negara-negara Asia, beras memiliki nilai politik strategis yang mempunyai implikasi pemerintahan akan labil jika harga berasnya tidak stabil dan sulit diperoleh. Di Indonesia kondisi ini masih diperburuk dengan adanya kendala di sisi produksi.

Ada empat masalah yang berkaitan dengan kondisi pangan padi di Indonesia, pertama rata-rata luas garapan petani hanya 0,3 ha, kedua sekitar 70% petani padi termasuk golongan masyarakat miskin dan berpendapatan rendah, ketiga hampir seluruh petani padi adalah net consumer beras, dan keempat rata-rata pendapatan dari usaha tani padi hanya sebesar 30% dari total pendapatan keluarga. Dengan kondisi ini pemerintah selalu dihadapkan pada posisi sulit, di satu sisi pemerintah harus menyediakan beras dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, dan di sisi lain pemerintah harus melindungi petani produsen dan menjaga ketersediaan secara cukup.

Jika dilihat dari aspek konsumsi, perwujudan ketahanan pangan juga mengalami hambatan karena sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini memenuhi kebutuhan pangan sebagai sumber karbohidrat berupa beras. Dengan tingkat konsumsi beras sebesar 130 kg/kapita/tahun membuat Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia, jauh melebihi Jepang (45 kg), Malaysia (80 kg), dan Thailand (90 kg). Penduduk Indonesia yang berjumlah 212 juta membutuhkan beras untuk keperluan industri dan rumah tangga lebih dari 30 juta ton per tahun. Kebutuhan beras tersebut akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk. Jika rata-rata pertumbuhan penduduk 1,8% per tahun, maka jumlah penduduk Inonesia tahun 2010 diperkirakan 238,4 juta dan tahun 2015 menjadi 253,6 juta. Dengan melihat kondisi potensi produksi padi nasional, diperkirakan tahun 2015 persediaan beras akan mengalami defisit sebesar 5,64 juta ton (Siswono et al., 2002 yang disitasi oleh Briawan, 2004). Pada akhir bulan Agustus tahun 2013, Indonesia sudah mengimpor beras hingga 35.818 ton dengan nilai US$ 19.132 juta. Jika diakumulasikan dari bulan Januari hingga Agustus 2013, banyaknya beras yang masuk ke Indonesia dari 5 negara (Vietnam, Thailand, Pakistan, India, dan Myanmar) tercatat sedikitnya 302.707 ton beras dengan nilai US$ 156.332 juta (BPS, 2013).

Kabupaten Aceh Timur sebagai salah satu penyangga pangan di Provinsi Aceh mempunyai tingkat produksi padi yang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Produksi pada dasarnya merupakan hasil kali luas panen dengan produktivitas per hektare lahan, sehingga seberapa besar produksi suatu wilayah sangat tergantung berapa luas panen pada tahun yang bersangkutan atau berapa tingkat produktivitasnya. Luas lahan yang tersedia bersifat tetap, bahkan cenderung berkurang karena beralih fungsi ke non pertanian. Luas panen padi di Kabupaten Aceh Timur rata-rata sebesar 35.153 ha/tahun, dan luas ini bervariasi dari tahun ke tahun karena lahan yang ada digunakan untuk berbagai komoditas. Tingkat produktivitas per satuan luas, merupakan cerminan tingkat penerapan teknologi usaha tani, baik penggunaan bibit, luas lahan, tenaga kerja, dan pemupukan (BPS Kabupaten Aceh Timur, 2010). Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan pangan di Kabupaten Aceh Timur dengan pendekatan sistem dinamis.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian studi pustaka, data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Sumber-sumber kepustakaan diperoleh dari buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet dan

Page 33: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Iswahyudi koran). Tahapan penelitian ini meliputi proses mengidentifikasikan teori secara sistematis, penemuan pustaka, dan analisis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah Software Powersim Constructor Version 2.5d.

Analisis Kebutuhan Tahapan kerja dalam pendekatan sistem yang pertama dilakukan adalah dengan

melakukan analisis kebutuhan terhadap semua pihak/pelaku yang terlibat dalam penyediaan kebutuhan beras, untuk mengetahui keseimbangan kebutuhan antar komponen (pelaku). Analisis kebutuhan terhadap pelaku yang terlibat dalam penyediaan kebutuhan beras dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis kebutuhan terhadap pelaku yang terlibat dalam penyediaan kebutuhan beras No Komponen (Pelaku) Kebutuhan

1 Petani − Harga jual tanah tinggi − Produktivitas tinggi − Penguasaan teknologi baik − Kesejahteraan meningkat

2 Konsumen − Harga beras stabil − Kualitas beras baik − Stok beras terjamin

3 Koperasi Pertanian − Semua petani menjadi anggota koperasi − Kesejahteraan anggota meningkat − Berperan sebagai penjual dan pembeli sesuai dengan

mekanisme pasar − Kredit berjalan lancar

4 Usaha Pengolahan Beras − Keuntungan tinggi − Target produksi tercapai − Kualitas beras produksi baik − Produksi lancar dan stabil

5 Pemerintah (BULOG/DOLOG)

− Mendorong peningkatan produksi dan kualitas beras − Menjamin kestabilan harga yang terjangkau konsumen

dan menguntungkan bagi petani Sumber: Data primer diolah, 2013

Perumusan Masalah Tahapan selanjutnya setelah analisis kebutuhan adalah dirumuskannya masalah yang

dihadapi dalam sistem penyediaan beras di Kabupaten Aceh Timur, yaitu (1) berfluktuasinya harga akibat adanya ketidakseimbangan antara tingkat penyediaan dan tingkat permintaan oleh konsumen; (2) adanya tingkat produksi yang belum dapat menjamin adanya peningkatan konsumsi; (3) pendapatan petani yang masih rendah; (3) tingkat produksi dan penyediaan yang bersifat musiman; (4) sentra produksi yang masih terpusat, sehingga menambah mahal biaya distribusi; (5) tingkat konsumsi yang terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk; (6) tingkat konsumsi yang bersifat kontinyu; dan (7) operasi Badan Urusan Logistik (BULOG)/DOLOG yang tidak boleh rugi, padahal ada fluktuasi harga di pasar pada lokasi yang berbeda.

Pemodelan Variabel yang digunakan dalam pemodelan ini seperti terlihat pada Tabel 2.

Page 34: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 Tabel 2. Variabel yang digunakan

No Variabel 1 Persentase pertumbuhan penduduk (%) 2 Laju pertambahan penduduk (jiwa/tahun) 3 Jumlah penduduk (jiwa) 4 Konsumsi per kapita (ton/kapita/tahun) 5 Total konsumsi Beras (ton/tahun) 6 Posisi stok/penyediaan beras nasional (ton/tahun) 7 Pertumbuhan luas panen (%) 8 Laju pertumbuhan luas panen (ha/tahun) 9 Jumlah luasan panen (ha) 10 Produktivitas lahan (ton/ha) 11 Jumlah produksi gabah kering (ton) 12 13

Jumlah produksi beras (ton) Konversi gabah kering ke beras (%)

Sumber: Data primer diolah, 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterkaitan antar komponen dalam sistem perlu dibuat untuk mengarahkan pada pembentukan model kuantitatif dalam bentuk diagram simpal causal yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram simpal causal penyediaan kebutuhan beras

Pada Gambar 1 dapat dilihat terdapat dua buah simpal dalam pemodelan ini, yaitu (1) simpal antara variabel produksi padi, produksi beras, dan harga beras dan (2) simpal antara jumlah penduduk dan kelahiran. Simpal yang terbentuk antara variabel produksi padi, produksi beras, dan harga beras saling memengaruhi membentuk simpal negatif. Produksi padi berpengaruh terhadap produksi beras. Jika produksi padi meningkat maka akan meningkatkan produksi beras dan jika produksi beras meningkat, maka harga beras akan menurun.

Simpal yang terbentuk antara variabel jumlah penduduk dan jumlah kelahiran saling memengaruhi membentuk simpal positif. Semakin tinggi angka kelahiran maka jumlah penduduk semakin meningkat, dan semakin bertambahnya jumlah penduduk maka angka kelahiran semakin meningkat. Sedangkan variabel curah hujan yang optimal untuk

Page 35: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Iswahyudi tanaman padi, pencetakan sawah baru, dan harga dasar gabah yang tinggi akan meningkatkan luas panen padi. Produktivitas padi dipengaruhi oleh luas panen padi dan perkembangan teknologi. Jika luas panen padi dan perkembangan teknologi meningkat, maka luas panen padi akan meningkat.

Harga input pertanian juga akan memengaruhi produktivitas padi. Jika harga input meningkat, maka akan mengurangi produktivitas padi. Produksi padi dipengaruhi oleh produktivitas dan luas panen padi, jika produktivitas dan luas panen padi meningkat, maka produksi padi juga meningkat dan sebaliknya. Harga beras dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, jumlah penduduk, dan angka kelahiran. Pendapatan perkapita, jumlah penduduk, dan angka kelahiran yang tinggi akan menyebabkan jumlah konsumsi beras juga akan meningkat. Oleh karena itu konsep jika maka ini sangat berpengaruh di dalam pemodelan sistem dinamis, karena terjadinya keterkaitan satu variabel dengan variabel yang lain yang saling memengaruhi.

Model yang dibangun dijalankan dengan menggunakan data pada tahun 2000-2010 dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Timur dengan beberapa asumsi seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Asumsi-asumsi pemodelan

No Parameter Jumlah Satuan 1 Nilai awal populasi penduduk Kabupaten Aceh Timur 349.417 Jiwa 2 Nilai awal total luas panen padi 35.153 ha 3 Persentase pertumbuhan luas panen 0,18 % 4 Persentase pertumbuhan penduduk 0,02 % 5 Produktivitas lahan 5,428 ton/ha 6 Rata-rata konsumsi per kapita 0,69 ton/kapita/tahun 7 Rata-rata konversi gabah ke beras 85 % 8 Rata-rata luas cetak sawah baru 10 ha

Sumber: Data primer diolah, 2013

Model dijalankan dalam kurun waktu simulasi 10 tahun yaitu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. Dalam model ini semua asumsi dimasukkan sebagai input awal. Hasil simulasi dalam kurun waktu tersebut disajikan pada Gambar 2, 3, 4, dan Tabel 4.

Gambar 2. Diagram alir penyediaan kebutuhan beras

Page 36: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

Tabel 4. Hasil simulasi model kebutuhan beras

Gambar 3. Grafik hubungan antara jumlah penduduk dan waktu

Gambar 4. Grafik hubungan antara total konsumsi beras dan waktu

Page 37: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Iswahyudi

Model dibangun hanya dengan menggunakan dua parameter yaitu persentase pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan luas panen. Berdasarkan simulasi model terlihat bahwa dalam jangka waktu selama sepuluh tahun jumlah penduduk dan konsumsi beras di Kabupaten Aceh Timur terus bertambah.

Dari hasil simulasi model kita dapat melihat tingkat kebutuhan beras di Kabupaten Aceh Timur dari tahun ke tahun dan tingkat produksi berasnya. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka menyebabkan kebutuhan konsumsi beras juga meningkat. Berdasarkan survei (BPS, 2013), indeks konsumsi beras penduduk Indonesia adalah 139 kg/kapita/tahun. Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2000 yang semula sebesar 349.417 jiwa, meningkat menjadi 417.585 jiwa pada tahun 2010, sejalan dengan itu maka kebutuhan beras untuk konsumsi yang semula 241.097,73 ton/tahun akan meningkat menjadi 288.134,11 ton/tahun. Apabila laju pertumbuhan penduduk ini tidak ikuti oleh peningkatan produksi beras, maka pada masa yang akan datang Kabupaten Aceh Timur akan mengalami kekurangan beras. Untuk memenuhi kebutuhan beras, Kabupaten Aceh Timur membutuhkan tambahan luas lahan sawah baru. Ini berarti Pemerintah Kabupaten Aceh Timur harus mencari lahan sawah baru untuk memenuhi kekurangan lahan sawah tersebut.

Apabila terjadi defisit antara kebutuhan dan produksi, maka yang terjadi adalah kenaikan harga yang akan membebani masyarakat khususnya masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Badan Urusan Logistik Kabupaten Aceh Timur bertanggung jawab terhadap penyediaan beras dalam mengantipasi naik turunnya harga beras di pasaran dengan menyediakan tingkat persediaan yang aman dalam mengantipasi keadaan bencana alam (kemarau, banjir) dan peningkatan kebutuhan beras pada bulan ramadhan dan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Secara sederhana model ini dapat dijadikan dasar dalam memperkirakan proyeksi kebutuhan beras di masa yang akan datang di Kabupaten Aceh Timur.

Permasalahan ketahanan pangan telah melanda Indonesia, begitu pula yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur. Peningkatan produksi padi di Kabupaten Aceh Timur yang diharapkan dapat mengimbangi peningkatan jumlah dan konsumsi penduduk sudah dapat dicapai, namun dalam beberapa tahun terakhir produksi padi di Kabupaten Aceh Timur malah cenderung mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena berbagai permasalahan yang melanda pertanian Kabupaten Aceh Timur, seperti semakin berkurangnya areal garapan petani, keterbatasan pasokan air irigasi, dan mahalnya harga input serta relatif rendahnya harga produk pertanian. Perilaku konsumsi beras penduduk Kabupaten Aceh Timur juga menjadi perhatian, anggapan bahwa seseorang belum bisa dikatakan makan jika belum makan nasi masih menjadi pemahaman yang kental di masyarakat Kabupaten Aceh Timur. Darwanto (2005) menggambarkan bahwa ketahanan pangan sangat tergantung dari ketersediaan stok beras yang bisa disediakan secara nasional. Beras dapat digolongkan menjadi komoditas subsistem karena produk yang dihasilkan dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga produsen atau petani dan selebihnya untuk dijual ke pasar.

Suatu hal yang sangat realistik apabila upaya pengadaan beras di Kabupaten Aceh Timur bertumpu pada kemampuan produksi sendiri mendapat prioritas dari Pemda dan seluruh masyarakat di Kabupaten Aceh Timur. Perlu digarisbawahi bahwa terjadinya alih fungsi lahan pertanian boleh dikatakan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan saja. Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat multifungsi, maka keputusan untuk melakukan pengendaliannya harus memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan itu sendiri. Hal tersebut mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang

Page 38: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 berbeda, baik ditinjau dari segi jasa yang dihasilkan maupun beragam fungsi yang melekat didalamnya. Sehubungan dengan isu tersebut, direkomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus pengendalian alih fungsi lahan sawah, yaitu melalui kebijakan penetapan sawah abadi, peningkatan produktivitas padi, dan pemberian intensif kepada petani padi.

Istilah “sawah abadi” mulai dikampanyekan sejak diadakan Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah di Bogor Provinsi Jawa Barat tahun 2001, yang juga dihadiri oleh para aktivis dan pecinta sawah dari negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 2009 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadamgan. Undang-undang ini merupakan jawaban terhadap lemahnya payung hukum yang melindungi lahan pertanian pangan yang selama ini sangat tinggi tingkat konversinya menjadi lahan non pertanian. Peralihan fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan ancaman yang sangat serius dalam menyediakan persediaan pangan, khususnya beras, dan hal itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Rusastra dan Budhi (1997) dan Irawan, (2004) menyatakan bahwa dengan adanya sawah-sawah abadi akan mampu menghilangkan adanya kekhawatiran akan punahnya lahan sawah dapat dihindari, sekaligus kelestarian swasembada pangan tetap dapat dipertahankan.

Salah satu penyebab konversi lahan yang berimplikasi pada menurunnya kemampuan produksi tersebut diantaranya adalah peningkatan kebutuhan akan pemukiman akibat pertumbuhan penduduk, meningkatnya kebutuhan akan lahan non-pertanian untuk sektor-sektor industri dan jasa, dan meningkatnya prasarana dan infrastruktur yang menyertainya. Pembangunan pemukiman dan kawasan-kawasan terbangun biasanya berkaitan dengan pengembangan pusat pertumbuhan, dan selalu diikuti pula oleh meningkatnya prasarana infrastruktur, diantaranya jalan. Berdasarkan beberapa penelitian, infrastruktur jalan merupakan penghela pertumbuhan ekonomi dan wilayah secara umum (Juliantina, 2012; Widiatmaka et al., 2013).

Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, harus segera menetapkan kawasan lahan persawahan abadi, agar tidak mudah dikonversikan untuk kepentingan lain. Langkah ini diambil untuk menjamin ketersediaan pasokan pangan berupa beras. Ketersediaan lahan abadi sudah menyangkut kepentingan nasional, di tengah-tengah isu impor beras yang jumlahnya cenderung meningkat tiap tahun di Indonesia. Adimihardja et al. (2004) menyatakan lahan sawah mempunyai fungsi utama sebagai penyedia bahan pangan nasional, sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan pemanfaatannya sebagai lahan pertanian.

Peningkatan produktivitas padi melalui introduksi varietas padi baru sangat memungkinkan dilakukan di Kabupaten Aceh Timur. Selama ini, sudah banyak peneliti yang telah menemukan varietas padi unggul di Indonesia. Institut Pertanian Bogor (IPB) sangat intensif melakukan penelitian untuk menemukan varietas padi unggul. Berkontribusi untuk ketahanan pangan serta kemajuan agrikultur Indonesia, IPB meluncurkan lima varietas padi unggulan. Kelima varietas unggulan yang diluncurkan tersebut adalah IPB 3S, IPB 4S, IPB Batola 5R, IPB Batola 6R, dan IPB Kapuas 7R. Kelima varietas padi tersebut memiliki keunggulan masing-masing. IPB 3S, misalnya, cocok bagi sawah tadah hujan dan lahan irigasi. Jenis padi ini memiliki produktivitas 7 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 11,2 ton per ha. Untuk jenis IPB 4S baik dikembangkan pada media sawah tadah hujan dan lahan irigasi. Padi jenis ini memiliki produktivitas 7 ton dan berpotensi menghasilkan 10,5 ton per ha. Baik IPB 3S dan IPB 4S memiliki ketahanan terhadap tungro, agak tahan terhadap penyakit blast, dan agak tahan terhadap hawar daun bakteri (Dikti, 2012).

Page 39: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Iswahyudi

Jenis ketiga adalah IPB Batola 5R yang diperuntukkan bagi lahan pasang surut dan lebak. Padi jenis ini memiliki produktivitas 4,3 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 5,3 ton per ha Gabah Kering Giling (GKG). Kemudian, jenis IPB Batola 6R memiliki produktivitas 4,2 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 4,9 ton per ha GKG. Keempat varietas tersebut berhasil mendapatkan SK dari Kementerian Pertanian (Kementan) pada 28 Maret 2011. Jenis IPB Kapuas 7R merupakan varietas unggul padi bagi daerah rawa. Jenis padi ini berhasil mendapatkan SK dari Kementan 7 Juli 2012 dengan produktivitas 4,5 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 5,1 ton ha GKG. Varietas ini tahan terhadap penyakit blast, agak peka pada wereng batang coklat, tahan cekaman Al dan Fe, serta tahan cekaman (Dikti, 2012).

Kemiskinan yang dialami oleh petani padi di Indonesia karena petani kita tidak terorganisasi dengan baik dan sekaligus tidak punya database padi (Irawan et al., 2004). Dua hal inilah yang dimiliki petani padi India, Thailand, dan Vietnam. Meski harga pupuk naik, mereka tetap bisa mengekspor beras ke Indonesia sebab mereka selalu surplus. Petani Indonesia sangat lemah karena pemerintah tidak pernah mampu melihat permasalahan pokok yang dihadapi para petani padi kita. Hingga solusi yang diberikan pun juga selalu salah. Indonesia memang punya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) serta Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA). Himpunan Kerukunan Tani Indonesia adalah hasil peleburan berbagai ormas tani atas kehendak pemerintah Orde Baru pada tahun 1973, sedangkan KTNA merupakan perkembangan dari lembaga serupa yang sudah ada sejak zaman Belanda. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia adalah society, sedangkan KTNA baru kelompok. Sampai saat ini, keduanya dirasakan tidak mampu untuk memakmurkan kehidupan petani.

Petani kita perlu Kelompok Tani Padi, Koperasi Produksi Padi, dan Asosiasi Petani Padi. Kalau ada pertemuan padi internasional, umumnya yang datang dari negara lain adalah wakil Asosiasi Padi, bukan ketua society seperti wakil dari Indonesia. Kita memang sudah punya koperasi unit desa (KUD). Namun, KUD adalah koperasi serba usaha, yang kerjanya memberikan kredit (seperti koperasi kredit), menjual minyak tanah (seperti halnya koperasi konsumsi), dan membeli gabah petani dengan harga yang selalu jauh di bawah harga pasar. Itulah sebenarnya “penyakit utama” yang diderita petani kita, yang selalu diklaim sebagai database pertanian oleh aparat Departemen Pertanian sebenarnya hanyalah data statistik, bukan database pertanian.

Pemberian subsidi ke petani sebenarnya sangat tidak sehat. Sebab, petani yang tidak berprestasi pun akan ikut menikmati subsidi. Beda dengan insentif, yang hanya akan diberikan apabila petani mencapai standar tertentu dalam memproduksi komoditas pertanian. Para petani di Jepang menerima insentif ketika bersedia menanam padi. Sebab, minat menanam padi sudah sangat menurun di negeri ini. Kalau panen mereka melampaui target, insentifnya tambah. Kalau para petani padi ini mau menanami lahan pertanian nonpadi, insentifnya akan bertambah besar lagi. Insentif tertinggi diberikan apabila para petani padi tersebut menanami lahan nonpertanian yang masih menganggur.

Salah satu bentuk insentif adalah pemberian kredit dengan bunga murah. Di Taiwan, petani padi yang mau menanami lahan pertanian nonpadi akan memperoleh kredit dengan tingkat suku bunga lebih rendah. Petani yang bersedia menanam padi di lahan nonpertanian akan memperoleh pembebasan pajak bumi. Pemberian insentif melalui bunga murah ini bisa berlangsung dengan tertib karena adanya asosiasi dan tersedianya database padi. Tanpa itu semua, pemberian kredit murah hanya akan menghasilkan salah urus. Database dan pembentukan koperasi produksi padi serta asosiasi petani padi mutlak diperlukan. Kalau harga pupuk naik dan petani ingin protes, yang protes adalah asosiasi petani padi, bukan LSM atau society yang membela petani, sambil menggendong kepentingan politik mereka. Sebaliknya pemberian disinsentif diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan yang implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.

Page 40: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Terdapat dua buah simpal dalam pemodelan ini, yaitu (1) simpal antara variabel

produksi padi, produksi beras, dan harga beras dan (2) simpal antara jumlah penduduk dan kelahiran. Model dibangun hanya dengan menggunakan dua parameter yaitu persentase pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan luas panen. Berdasarkan simulasi model terlihat bahwa peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Timur akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi beras, apabila tidak diikuti oleh peningkatan produksi beras maka akan terjadi kekurangan stok beras di Kabupaten Aceh Timur. Prioritas Pemda dan seluruh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan beras untuk mewujudkan ketahanan pangan di Kabupaten Aceh Timur harus bertumpu pada kemampuan produksi sendiri.

Saran Untuk mewujudkan ketahanan pangan di Kabupaten Aceh Timur, direkomendasikan

tiga pendekatan secara bersamaan, yaitu melalui kebijakan penetapan sawah abadi, peningkatan produktivitas padi, dan pemberian intensif kepada petani padi.

DAFTAR PUSTAKA Adimihardja A., Wahyunto, dan Shofiyati R. 2004. Gagasan Pengendalian Konversi Lahan Sawah dalam

Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Puslitbangtanak, Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Timur. 2010. Aceh Timur Dalam Angka. Tahun 2010. Idi. www.bps.go.id.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Strategis BPS. Jakarta. www.bps.go.id. Briawan, D. 2004. Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok dalam Rangka Mendukung Ketahanan Pangan

Nasional. Tesis. SPS Institut Pertanian Bogor. Bogor. Darwanto, D.H. 2005. Ketahanan pangan berbasis produksi dan kesejahteraan petani. Jurnal Ilmu Pertanian.

12(2):152-164. DIKTI (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi). 2012. IPB Luncurkan Varietas Padi Unggul. www.dikti.go.id. Hadar, I. 2008. Memerangi Kelaparan. Kompas, Opini, Sabtu, 21 Juni: 6. www.kompas.com. Irawan, E. Husen, Maswar, L.R. Watung, dan A. Fahmuddin. 2004. Persepsi dan Apresiasi Masyarakat terhadap

Multifungsi Pertanian. Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan. 18 Desember 2003 dan 7 Januari 2004. Puslitbang Tanah dan Agroklimat Bogor. Bogor.

Irawan. 2004. Analisis Ketersediaan Beras Nasional: Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Pertanian 2005. Bogor.

Juliantina, I. 2012. Peran peningkatan infrasruktur jalan dalam pertumbuhan perekonomian kota palembang. Jurnal Rekayasa Sriwijaya. 21(3): 20-24.

Rusastra, I.W. dan G.S. Budhi. 1997. Konversi lahan pertanian dan strategi antisipatif dalam penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian. 16(4):107-113.

Triyanto, J. 2006. Analisis Produksi Padi di Jawa Tengah. Tesis. PPS Universitas Diponegoro. Semarang. Widiatmaka, . Ambarwulan, K. Munibah, dan P.B.K. Santoso. 2013. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

dan Kesesuaian Lahan Untuk Sawah di Sepanjang Jalur Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Nasional Pantura, Kabupaten Karawang. Prosiding Seminar Nasional dan Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia (FIT-ISI) 2013. 31 Oktober 2013. Yogyakarta.

Page 41: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 -9124 Hasfiandi ANALISIS PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN KOTA SUBULUSSALAM PROVINSI ACEH: PENDEKATAN ANALISIS TIPOLOGY KLASSEN, LOCATION QUOTION

(LQ), DAN SHIFT SHARE ANALYSIS (SSA)

Analysis of Competitive Sector in Subulussalam, Province Of Aceh: Using Tipology Klassen, Location Quotion (LQ),

and Shift Share Analysis (SSA)

Hasfiandi1 1Bidang P2EK Bappeda Aceh, Banda Aceh

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis dan mengidentifikasi sektor unggulan daerah melalui pendekatan sektor penyusun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Subulussalam. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis Tipology Klassen, Location Quotion (LQ), dan Shift Share Analysis (SSA). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni data PDRB Kota Subulussalam dan Provinsi Aceh periode 2008-2012, serta data sekunder lainnya yang masih terkait dengan lingkup kajian penelitian. Hasil penelitian diperoleh bahwa sektor unggulan Kota Subulussalam adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Pengelompokan sektor tersebut dalam sektor unggulan daerah karena tergolong ke dalam sektor maju dan tumbuh dengan pesat (kuadran I) dan sektor basis. Selain itu juga pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan Provinsi Aceh sehingga memiliki daya saing yang tinggi (kompetitif).

Kata kunci: sektor unggulan, sektor basis, kompetitif, PDRB

ABSTRACT The purpose of this study is to analyze and identify local competitive sector based on sectors that contribute

to the Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) of Subulussalam. The methodology analyses used in this study are Tipology Klassen, Location Quotion (LQ), and Shift Share Analysis (SSA). The data used in this study are secondary data using the likes of PDRB of Subulussalam and the Province of Aceh for the period 2008-2012, as well as other secondary data sources that are still relevant to the scope of the study. This study found out that the most competitive sector in Subulusssalam Municipality is trade, hotels and restaurants sector. The selection of this sector (trade, hotels and restaurants) as the leading sector in Subulussalam is because of the fast growing (quadrant I) and sector basis. This sector also grows faster in Subulussalam compared to the Province of Aceh and ultimately has high competitiveness.

Key words: leading sector, sector basis, competitiveness, PDRB

PENDAHULUAN

Perencanaan dan pembangunan merupakan dua hal melekat yang tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan keduanya dikarenakan pembangunan membutuhkan perencanaan. Perencanaan merupakan indikator sukses atau tidaknya sebuah pembangunan mulai dari pemerintah pusat maupun daerah. Salah satu dampak keberhasilan pembangunan dapat terlihat dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kualitas kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan

Page 42: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 oleh Todaro (2003) bahwa pada dasarnya tujuan dari pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi daerah, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.

Pertumbuhan ekonomi daerah dapat dilihat dari seberapa besar proses kenaikan pendapatan per kapita daerah yang dapat diukur melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Perekonomian suatu daerah dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan perekonomian PDRB yang dicapai lebih tinggi dari waktu tahun sebelumnya (Arsyad, 1999). Upaya peningkatkan PDRB tersebut tercermin dari optimalnya potensi ekonomi daerah berupa sumber daya lokal baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang merupakan kunci dalam perekonomian daerah juga mengalami peningkatan.

Potensi ekonomi yang dimiliki satu wilayah dengan wilayah lainnya relatif berbeda tergantung karakteristik wilayahnya. Perbedaan potensi ekonomi juga menjadi tolok ukur kemakmuran daerah yang membawa dampak terhadap kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh Glasson (1990) yang mengatakan bahwa kemakmuran suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan potensi wilayah melalui struktur ekonominya sebagai faktor utama.

Kota Subulussalam adalah salah satu daerah yang terdapat di Provinsi Aceh yang memiliki luas wilayah sekitar 1.391 km². Subulussalam merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2007. Letaknya yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara menjadikannya sebagai jalur lintas perdagangan yang memberikan keuntungan dalam perkembangan pembangunan daerah. Pada tahun 2008 Kota Subulussalam mempunyai PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp 289.326,09 juta dan pada tahun 2012 sebesar Rp 443.583,08 juta, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2008 sebesar Rp 237.181,80 juta dan pada tahun 2012 sebesar Rp 292.964,75 juta (BPS Kota Subulussalam, 2013). Secara garis besar pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari PDRB Kota Subulussalam terus mengalami peningkatan dan dapat dijadikan sebagai indikator potensi ekonomi dari setiap sektor penyusun PDRB daerah tersebut.

Untuk mengoptimalkan potensi ekonomi tersebut diperlukan kajian guna mengidentifikasi sektor-sektor unggulan Kota Subulussalam yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam merumuskan perencanaan pembangunan Kota Subulussalam yang lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengidentifikasi potensi ekonomis Kota Subulussalam dengan cara : a) mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi Kota Subulussalam dengan pendekatan Tipology Klassen; b) mengidentifikasi sektor basis dan non basis Kota Subulussalam dengan analisis LQ; c) mengidentifikasi dan menganalisis kinerja sektor-sektor ekonomi terutama untuk mengetahui sektor yang mempunyai daya saing kompetitif dan spesialisasi berdasarkan pendekatan shift share; dan d) menentukan sektor unggulan Kota Subulussalam.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada wilayah Kota Subulussalam dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari PDRB atas dasar harga konstan Kota Subulussalam dan Provinsi Aceh dalam periode 2008-2012 serta data sekunder lainnya yang masih terkait dengan lingkup kajian penelitian. Penggunaan PDRB atas dasar harga konstan dimaksudkan untuk mengeluarkan pengaruh inflasi dari nilai barang dan jasa tiap sektor.

Page 43: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Hasfiandi Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya analisis kutub pertumbuhan wilayah (Tipology Klassen), analisis Location Quotion (LQ), dan analisis Shift Share (SSA).

Analisis Kutub Pertumbuhan (Tipology Klassen) Metode untuk penentuan kutub pertumbuhan wilayah dilakukan dengan pendekatan

identifikasi kawasan andalan atau Tipologi Klassen. Analisis ini bertujuan mengetahui kondisi perekonomian suatu subwilayah dibandingkan dengan subwilayah lain dalam satu wilayah yang lebih luas. Analisis ini digunakan dengan melihat rata-rata pertumbuhan dan kontribusi selama periode tertentu di suatu wilayah dengan menggunakan tabel Tipologi Klassen (Sjafrizal, 2008 yang disitasi Fachrurrazy, 2009).

Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah dengan menentukan pertumbuhan dan kontribusi rata-rata Kota Subulussalam dan Provinsi Aceh dalam periode 2008-2012 per sektor, kemudian dilakukan pengklasifikasian nilai-nilai tersebut berdasarkan Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi sektor PDRB menurut Tipologi Klassen

Kuadran I Sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat (developed sector) si > s dan ski > sk

Kuadran II Sektor maju tapi tertekan (stagnant sector) si < s dan ski > sk

Kuadran III Sektor potensial atau masih dapat berkembang (developing sector) si > s dan ski < sk

Kuadran IV Sektor relatif tertinggal (Underdeveloped Sector) si < s dan ski < sk

si= rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota; s = rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi; ski= rata-rata kontribusi sektor ekonomi kabupaten/kota; sk= rata-rata kontribusi sektor ekonomi provinsi (Sjafrizal, 2008 yang disitasi Fachrurrazy, 2009).

Analisis Location Quotion (LQ) Analisis Location Quotient (LQ) merupakan cara untuk menentukan sektor maupun

subsektor yang menjadi unggulan sebagai penentu pertumbuhan ekonomi di Kota Subulussalam dari sisi kontribusi sektornya dibandingkan dengan kontribusi sektor dan subsektor ekonomi yang sama dengan Provinsi Aceh. Untuk mendapatkan nilai LQ maka digunakan metode yang mengacu pada formula sebagai berikut:

LQ= /

yakni:

PDRB S.Salam,i : PDRB sektor i di Kota Subulussalam pada tahun tertentu. ΣPDRB S.Salam : Total PDRB di Kota Subulussalam pada tahun tertentu. PDRB Aceh,i : PDRB sektor i di Provinsi Aceh pada tahun tertentu. ΣPDRB Aceh : Total PDRB di Provinsi Aceh pada tahun tertentu. Nilai LQ = 1. Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i di Kota Subulussalam

adalah sama dengan sektor yang sama dalam perekonomian Provinsi Aceh; Nilai LQ > 1. Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i di Kota Subulussalam lebih besar dibandingkan dengan sektor yang sama dalam perekonomian Provinsi Aceh; dan Nilai LQ < 1. Ini berarti bahwa tingkat spesialisasi sektor i di Kota Subulussalam lebih kecil dibandingkan dengan sektor yang sama dalam perekonomian Provinsi Aceh.

Page 44: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

Apabila nilai LQ>1, maka dapat disimpulkan bahwa sektor tersebut merupakan sektor basis dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian Kota Subulussalam (Tarigan, 2004).

Analisis Shift Share (SSA) Menurut Arsyad (1999) analisis shift–share digunakan untuk menganalisis dan

mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di Kota Subulussalam, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat Provinsi Aceh. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data PDRB Kota Subulussalam 2008-2012, yakni akan diperoleh hasil bahwa pertumbuhan ekonomi dan pergeseran struktural suatu perekonomian Kota Subulussalam melalui tiga komponen:

Provincial share (PS), yang digunakan untuk mengetahui pertumbuhan atau pergeseran struktur perekonomian Kota Subulussalam dengan melihat nilai PDRB nya pada periode awal yang dipengaruhi oleh pergeseran pertumbuhan perekonomian Provinsi Aceh.

Proportional Shift (P) adalah pertumbuhan Nilai Tambah Bruto suatu sektor i di Kota Subulussalam dibandingkan sektor i di tingkat Provinsi Aceh. Dengan ketentuan jika P positif maka pertumbuhan sektor i di Kota Subulussalam lebih cepat dibandingkan sektor sejenis di tingkat Provinsi Aceh. Jika P negatif maka pertumbuhan sektor i di Subulussalam lebih lambat di bandingkan sektor sejenis di tingkat provinsi.

Differential Shift (D), adalah perbedaan antara pertumbuhan ekonomi Kota Subulussalam dan nilai tambah bruto sektor yang sama di tingkat provinsi. Dengan ketentuan jika D positif maka sektor i memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan sektor sejenis di tingkat Provinsi. Jika D negatif maka sektor i memiliki daya saing yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor sejenis di tingkat provinsi.

yakni:

Aceh : Provinsi sebagai wilayah yang lebih tinggi jenjangnya SS : Subulussalam sebagai wilayah analisis PDRB : Nilai PDRB I : Sektor dalam PDRB t : Tahun 2012 t-1 : Tahun awal (2008) (Sjafrizal, 2008 yang disitasi Fachrurrazy, 2009)

Page 45: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Hasfiandi

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Ekonomi Kota Subulussalam Berdasarkan PDRB

Struktur perekonomian Kota Subulussalam tahun 2012 sebagian besar didominasi oleh sektor pertanian. Berdasarkan struktur PDRB (harga konstan) menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian sebesar 39,24 persen (tahun 2012). Sedangkan kontribusi sektor terbesar kedua adalah pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi 32,16 persen (tahun 2012). Pada dasarnya proporsi sektor pembentuk PDRB tersebut memiliki kontribusi yang tidak berbeda jauh dari tahun ke tahun, dimana sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar dibandingkan sektor lainnya dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran adalah sektor terbesar kedua, sedangkan sektor terbesar ketiga adalah sektor konstruksi.

Bila dibandingkan dengan struktur ekonomi Provinsi Aceh, maka sektor pertanian Kota Subulussalam masih tinggi dimana pada tahun 2012 sektor pertanian tersebut sebesar 26,94 persen di Aceh. Sektor terbesar kedua di Provinsi Aceh adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Pada sektor ini juga Kota Subulussalam lebih unggul dibandingkan provinsi dimana provinsi memiliki kontribusi sebesar 20,68 persen sedangkan Subulussalam 32,16 persen (tahun 2012).

Tabel 2. Klasifikasi Sektor PDRB (harga konstan) Kota Subulussalam Tahun 2008-2012 berdasarkan Tipologi Klassen

Analisis Kutub Pertumbuhan (Tipology Klassen) Berdasarkan hasil analisis Tipologi Klassen yang dilakukan terhadap PDRB (harga

konstan) Kota Subulussalam 2008-2012 diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 menunjukkan klasifikasi sektor PDRB Kota Subulussalam tahun 2008-

2012 berdasarkan Tipologi Klassen bahwa hanya terdapat dua sektor yang termasuk kedalam kategori sektor maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I), yaitu sektor konstruksi dan sektor perdagangan. Pengelompokan sektor tersebut ke dalam kuadran I karena pertumbuhan dan kontribusi rata-ratanya dalam kurun waktu 5 tahun lebih besar dari pada laju pertumbuhan dan kontribusi rata-rata sektor tersebut di provinsi. Hal tersebut terlihat dari laju pertumbuhan rata-rata sektor konstruksi Kota Subulussalam

Kuadran I Sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat (developed sector) si > s dan ski > sk

- Konstruksi - Perdagangan

Kuadran II Sektor maju tapi tertekan (stagnant sector) si < s dan ski > sk - Pertanian

Kuadran III Sektor potensial atau masih dapat berkembang (developing sector) si > s dan ski < sk

- Pertambangan dan penggalian - Industri pengolahan - Listrik, gas dan air bersih - Pengangkutan dan komunikasi - Keuangan, real estate &jasa pershn - Jasa-jasa

Kuadran IV Sektor relatif tertinggal (Underdeveloped Sector) si < s dan ski < sk -

Sumber: Hasil Olahan

Page 46: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 sebesar 4,61%, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata sektor tersebut di provinsi sebesar 4,47%. Begitu juga dengan kontribusi rata-ratanya, yakni kontribusi sektor tersebut di Kota Subulussalam sebesar 13,86 persen sedangkan kontribusi rata-ratanya di provinsi sebesar 8,12 persen. Kondisi tersebut juga terdapat pada sektor perdagangan yang dikelompokkan ke dalam kuadran I (Tabel 2), sedangkan yang termasuk ke dalam sektor maju tapi tertekan adalah sektor pertanian (Kuadran II). Sektor ini dikelompokkan ke dalam kuadran II karena laju pertumbuhan rata-ratanya di Kota Subulussalam lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan rata-ratanya di provinsi, yakni laju pertumbuhannya di Subulussalam sebesar 0,37% sementara di provinsi 3,88%. Namun bila dilihat dari kontribusi rata-rata, sektor ini lebih unggul dibandingkan provinsi yakni kontribusinya di Subulussalam sebesar 43,65% sedangkan provinsi 30,49%. Ini menunjukkan bahwa sektor tersebut masih dapat dikelompokkan ke dalam kuadran I, bila produksi sektor pertanian Kota Subulussalam tersebut terus ditingkatkan (Tabel 3).

Berdasarkan hasil analisis Tipology Klassen juga menunjukkan bahwa sebagian besar sektor-sektor penyusun PDRB Kota Subulussalam banyak dikelompokkan ke dalam sektor potensial atau masih dapat berkembang (Kuadran III) diantaranya sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, pengangkutan dan komunikasi, keuangan real estate dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa. Kelompok kuadran III ini adalah kebalikan dari kuadran II, dimana laju pertumbuhan rata-rata Kota Subulussalam lebih besar dibandingkan provinsi, namun kontribusi rata-ratanya lebih rendah dibandingkan provinsi. Ini terlihat dari tabel 2 yang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata sektor tersebut di Kota Subulussalam lebih besar dibanding provinsi namun tidak untuk kontribusinya. Tabel 3. Laju pertumbuhan dan kontribusi rata-rata sektor PDRB Provinsi Aceh dan Kota Subulussalam tahun 2008-2012

Sumber: BPS Aceh 2013, Diolah

Analisis Location Quotion (LQ) Analisis LQ ini dilakukan dengan menghitung index LQ yang menggambarkan sektor

basis Kota Subulussalam. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa terdapat tiga sektor yang memiliki nilai indeks LQ>1. Tarigan (2004) mengungkapkan bahwa jika nilai LQ lebih besar daripada satu menunjukkan sektor tersebut memiliki potensi dan prospek yang besar didalam perekonomian suatu daerah atau bisa disebut sektor basis. Ketiga sektor tersebut diantaranya: sektor pertanian, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, hotel & restoran.

SEKTOR

Aceh (%) Kota Subulussalam (%) Rata-rata

pertumbuhan (S)

Rata-rata Kontribusi

(Sk)

Rata-rata pertumbuhan

(Si)

Rata-rata Kontribusi

(Ski) Pertanian 3,88 30,49 0,37 43,65 Pertambangan & penggalian 3,64 1,49 5,32 1,12 Industri pengolahan 4,62 5,55 10,74 1,30 Listrik, gas & air bersih 11,50 0,40 12,15 0,31 Konstruksi 4,47 8,12 4,61 13,86 Perdagangan, hotel & restoran 5,97 22,74 11,51 28,58 Pengangkutan & komunikasi 5,94 8,41 13,59 6,07 Keuangan, real estat, & js. Prsh. 6,22 2,13 9,94 1,00 Jasa-jasa 3,84 20,67 7,72 4,12

Page 47: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Hasfiandi

Sektor pertanian memiliki nilai indeks rata-rata dalam periode 2008-2012 sebesar 1,68. Namun secara keseluruhan dari tahun 2008 hingga tahun 2012 nilai indeks LQ tersebut terus mengalami penurunan, dimana pada tahun 2008 nilai indeks LQ sebesar 1,98 kemudian terus mengalami penurunan di tahun 2012 dengan nilai indeks 1,46. Bila dilihat dari pertumbuhannya, maka rata-rata penurunan nilai indeks LQ selama lima tahun tersebut sebesar -7,35 persen. Meskipun terus mengalami penurunan, namun sektor ini masih dikelompokkan ke dalam sektor basis karena nilai LQ > 1.

Sektor lain yang memiliki nilai indeks LQ >1 adalah sektor konstruksi dengan nilai indeks sebesar 2,00. Besarnya nilai indeks sektor ini dikarenakan kontribusinya terhadap nilai tambah PDRB Kota Subulussalam mencapai 13,45 persen (tahun 2012). Besarnya kontribusi sektor ini karena saat ini Kota Subulussalam berupaya meningkatkan infrastruktur daerah. Berdasarkan BPS Kota Subulussalam (2012) bahwa saat ini banyak bangunan baru baik itu perkantoran, sekolah, rumah, jalan, irigasi dan lainnya sehingga memberikan nilai tambah terhadap sektor ini. Selain bangunan ada juga jalan, dimana saat ini semua jalan menuju ibukota kecamatan sudah terhubung dengan jalan aspal. Ini mengindikasikan bahwa sektor kontruksi semakin memberikan kontribusi terhadap pembentuk PDRB.

Sektor perdagangan, hotel dan restoran juga memiliki nilai indeks LQ > 1 (1,46). Besarnya nilai indeks LQ sektor ini juga berkorelasi positif dengan besarnya kontribusinya terhadap PDRB Kota Subulussalam. Hasil analisis LQ dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis perhitungan indeks Location Quotion (LQ) Kota Subulussalam Tahun 2008-2012

Sumber: Hasil Olahan

Analisis Shift Share (SSA) Berdasarkan analisis shift share menunjukkan bahwa total pertumbuhan PDRB Kota

Subulussalam dalam periode 2008-2012 yaitu sebesar Rp. 92.994,84 juta/tahun yang dipengaruhi oleh pertumbuhan PDRB Provinsi Aceh sebesar Rp. 55.027,33 juta/tahun, komponen proporsional shift (P) sebesar Rp. 37.181,42 juta/tahun, dan Differencial Shift (D) sebesar Rp. 786,09 juta/tahun.

Pengaruh pertumbuhan PDRB Provinsi Aceh terhadap pertumbuhan PDRB sektor di Kota Subulussalam bernilai positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB Provinsi Aceh memberikan kontribusi positif terhadap tumbuhnya PDRB seluruh sektor di Kota Subulussalam. Sektor pertanian adalah sektor yang memperoleh pengaruh besar dari pertumbuhan PDRB Provinsi Aceh dengan nilai sebesar Rp. 26.268,92

SEKTOR TAHUN LQ rata-

rata 2008 2009 2010 2011 2012

Pertanian 1,98 1,75 1,64 1,55 1,46 1,68 Pertambangan & penggalian 0,07 0,13 0,14 0,15 0,16 0,13 Industri pengolahan 0,09 0,14 0,11 0,12 0,13 0,12 Listrik, gas & air bersih 0,99 0,88 0,83 0,86 0,90 0,89 Konstruksi 2,25 2,01 1,97 1,91 1,84 2,00 Perdagangan, hotel & restoran 1,46 1,39 1,42 1,49 1,56 1,46 Pengangkutan & komunikasi 0,82 0,79 0,82 0,86 0,89 0,84 Keuangan, real estat, & js. Prsh. 0,57 0,50 0,53 0,56 0,58 0,55 Jasa-jasa 0,24 0,22 0,23 0,23 0,24 0,23

Page 48: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 juta/tahun. Selain pertanian, sektor yang juga memperoleh manfaat besar dari pertumbuhan PDRB Provinsi Aceh tersebut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai sebesar Rp. 13.996,55 juta/tahun. Kemudian dikuti juga oleh sektor konstruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi dengan nilai berturut-turut sebesar Rp. 7.862,47 juta/tahun dan Rp. 2.871,33 juta/tahun.

Nilai komponen P secara keseluruhan dalam periode 2008-2012 bernilai positif. Secara keseluruhan sektor–sektor pembentuk PDRB memiliki nilai positif dimana sektor yang memiliki nilai terbesar adalah sektor pertanian dengan nilai Rp. 113.225,74 juta/tahun, kemudian sektor Perdagangan, hotel & restoran dengan nilai sebesar Rp. 60.328,63 juta/tahun. Semua sektor memiliki komponen P bernilai positif, ini menunjukkan bahwa pertumbuhan semua sektor tersebut di Kota Subulussalam lebih cepat dibandingkan sektor sejenis di tingkat Provinsi Aceh.

Nilai Differential Shift sektor perekonomian Kota Subulussalam selama periode tahun 2008-2012 juga memiliki nilai positif dan negatif. Nilai D positif terdapat pada sektor berikut: sektor pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, real estat, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Sedangkan sektor yang memiliki nilai komponen D negatif adalah sektor pertanian dan sektor konstruksi. Nilai D negatif pada sektor pertanian dan sektor konstruksi menggambarkan bahwa sektor-sektor tersebut tumbuh lebih lambat dibandingkan sektor yang sama di tingkat Provinsi Aceh. Sedangkan sektor-sektor yang memiliki nilai komponen D positif memiliki pertumbuhan lebih cepat dari pada sektor yang sama di Provinsi Aceh (Tabel 5). Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Shift Share Kota Subulussalam Tahun 2008-2012

Sumber: Hasil Olahan

Analisis Gabungan Analisis ini digunakan untuk mengambil kesimpulan dengan menggabungkan tiga

hasil analisis, yaitu analisis Klassen Typologi, analisis Location Quotient (LQ), dan analisis shift share untuk menentukan sektor unggulan dengan pertimbangan bahwa ketiga analisis terpenuhi. Nilai tersebut terpenuhi atau tidak dapat dilihat dari dari ketiga komponen dimana akan diberi tanda positif ( + ) dan negatif ( - ). Untuk analisis Tipology Klassen akan diberi nilai positif bila berada di kuadran I dan negatif jika bukan di kuadran I, sedangkan untuk analisis LQ, nilai positif artinya nilai indeks LQ > 1 dan negatif bila indeks LQ < 1. Begitu juga dengan analisis shift share bernilai positif artinya nilai Proportional (P) dan Differential Shift (D) keduanya positif dan negatif jika salah satu atau keduanya negatif.

Lapangan usaha Provincial Share (PS)

Proporsional shift (P)

Differencial shift (D) Total

Pertanian 26.268,92 113.225,74 (20.816,07) 118.678,59 Pertambangan & penggalian 611,22 2.634,54 94,15 3.339,91 Industri pengolahan 615,29 2.652,04 540,48 3.807,81 Listrik, gas & air bersih 146,76 632,26 43,68 822,70 Konstruksi 7.862,47 33.889,23 (2.437,16) 39.314,54 Perdagangan, hotel & restoran 13.996,55 60.328,63 17.098,13 91.423,31 Pengangkutan & komunikasi 2.871,33 12.376,08 4.144,24 19.391,65 Keuangan, real estat, & js. Prsh. 505,86 2.180,31 474,11 3.160,28 Jasa-jasa 2.148,96 9.262,59 1.644,52 13.056,06

Jumlah 55.027,33 37.181,42 786,09 92.994,84

Page 49: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Hasfiandi

Bila dari hasil analisis tersebut diperoleh ketiganya positif (+++) maka dikatakan bahwa sektor tersebut adalah sektor unggulan di Kota Subulussalam adalah sektor basis, sektor yang maju dan tumbuh dengaooln cepat dan sektor yang berspesialisasi dan tumbuh lebih cepat dibandingkan tingkat provinsi. Gabungan ketiga analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Gabungan analisis Tipology Klassen, LQ, dan Shift Share.

No Sektor Tipology Klassen LQ Shift Share

1 Pertanian - + - 2 Pertambangan & penggalian - - + 3 Industri Pengolahan - - + 4 Listrik, gas dan air bersih - - + 5 Konstruksi + + - 6 Perdagangan, hotel dan restoran + + + 7 Pengangkutan dan komunikasi - - + 8 Keuangan, real estate dan js perusahaan - - + 9 Jasa-jasa - - +

Sumber: Hasil Olahan

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa sektor dengan nilai ketiga komponen analisis yang memiliki nilai positif adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi rata-rata dalam periode 2008-2012 sektor ini mencapai 28,58 persen, dan kontribusi tersebut lebih besar dibandingkan dengan kontribusi rata-rata sektor tersebut di Provinsi Aceh yang mencapai 22,74 persen. Begitu juga dengan laju pertumbuhannya, sektor ini mempunyai laju pertumbuhan rata-rata sebesar 11,51 persen dan laju pertumbuhan tersebut lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan rata-rata sektor tersebut di Provinsi Aceh sebesar 5,97 persen. Sehingga sektor perdagangan, hotel dan restoran Kota Subulussalam di klasifikasikan sebagai sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I) berdasarkan analisis Tipology Klassen.

Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran termasuk ke dalam sektor basis, karena nilai indeks LQ yang diperoleh sebesar 1,39 (LQ > 1). Sedangkan hasil analisis shift share diperoleh nilai komponen P sebesar 60.328,63 dan nilai D sebesar 17.098,13. Kedua nilai komponen tersebut menggambarkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh dengan cepat di provinsi, dan pertumbuhannya di Kota Subulussalam lebih cepat atau memiliki daya saing tinggi/kompetitif (Tabel 7). Tabel 7. Analisis sektor perdagangan, hotel dan restoran

Sumber: Hasil Olahan

No Aspek Parameter Makna

1 Tipologi Klassen Kuadran I Sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat

2 LQ > 1 Sektor basis 3 P Positif Tumbuh cepat di provinsi

4 D Positif Pertumbuhan lebih cepat dibanding provinsi

Page 50: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

PENUTUP

Kesimpulan Hasil analisis Tipology Klassen menunjukkan bahwa sektor konstruksi dan sektor

perdagangan merupakan sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat karena konstribusi dan laju pertumbuhan rata-ratanya di Kota Subulussalam lebih besar dibandingkan Provinsi Aceh. Hasil analisis Location Quotion (LQ) menggambarkan bahwa sektor pertanian; sektor konstruksi; dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor basis dengan nilai indeks LQ>1. Hasil analisis Shift Share menunujukkan bahwa sektor yang memiliki tingkat daya saing tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air bersih, sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor pengangkutan, dan sektor keuangan real estate dan jasa perusahaan. Sektor unggulan Kota Subulussalam adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, karena berdasarkan hasil ketiga analisis menunjukkan nilai positif. Saran

Untuk meningkatkan PDRB Kota Subulussalam, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan dan pengembangan sektor unggulannya tanpa mengabaikan sektor lainnya. Peningkatan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai sektor unggulan daerah dapat terus ditingkatkan melalui optimalisasi dana otsus dan migas yang tersedia. Sektor konstruksi dapat dijadikan sebagai sektor unggulan kedua bila daya saing sektor tersebut lebih ditingkatkan di Kota Subulussalam.

DAFTAR PUSTAKA Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama, BPFE-UGM,

Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Potensi Unggulan Kota Subulussalam 2011. BPS Subulussalam. Badan Pusat Statistik. 2013. Aceh Dalam Angka 2012. BPS Aceh. Badan Pusat Statistik. 2013. Kota Subulussalam Dalam Angka 2012. BPS Subulussalam Fachrurrazy. 2009. Analisis Penentuan Sektor Unggulan Perekonomian Wilayah Kabupaten Aceh Utara dengan

Pendekatan Sektor Pembentuk PDRB. Tesis. PPs Universitas Sumatera Utara. Medan. Glasson, J. 1990. Pengenalan Perancangan Wilayah Konsep dan Amalan (alih bahasa Ahris Yaakup). Dewan

bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia Kuala lumpur. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional. Bumi Aksara, Jakarta. Todaro, M.P. and S.C.Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Negara Ketiga. 8th ed. Pearson Education

Limited, United Kingdom.

Page 51: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 -9124 Sanusi Bintang

PENGATURAN DESAIN INDUSTRI SEBAGAI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN URGENSI

IMPLEMENTASI MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Regulating Industrial Designs as Intellectual Property Rights and Urgency of Implementation in Facing

ASEAN Economic Community

Sanusi Bintang1 1Staf Pengajar Bagian Hukum Keperdataan dan International Class Program (ICP)

Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

ABSTRAK Indonesia telah memiliki hukum desain industri sebagai bagian dari pengaturan sistem hukum HKI, namun

implementasi hukum tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, peranannya semakin penting untuk meningkatkan daya saing produk domestik dalam menghadapi MEA yang sudah di depan mata. Artikel ini menjelaskan perkembangan pengaturan desain industri dalam konteks perbandingan dan internasional, termasuk MEA dan pokok-pokok pengaturan dan kelemahan substansi hukum desain industri di Indonesia sekarang ini. Perkembangan hukum desain industri dimulai dari hukum nasional di negara-negara Barat, yang kemudian diikuti negara-negara lain termasuk Indonesia, baik sendiri-sendiri melalui hukum nasional masing-masing, maupun melalui kerja sama antarnegara. Peningkatan implementasi hukum desain industri penting terutama dalam upaya memperkuat daya saing produk domestik menyongsong MEA 2015, meskipun ASEAN belum secara khusus dan tegas mengatur tentang desain industri dalam kaitannya dengan standar perlindungan HKI.

Kata kunci: desain industri, pengaturan, implementasi, MEA

ABSTRACT

Indonesia has promulgated laws on industrial designs as part of regulating IPRs legal system, however, the implementation of the laws have not been done properly. Despite that, its role is becoming urgent to enhance the competitiveness of domestic products in facing AEC in the near future. This article discusses the development of laws of industrial designs in comparative and internasional perspectives, including AEC, main rules and weaknesses of existing Indonesian laws of industrial designs. The enhancement of implementation of the laws is importance to increase the competitiveness of domestic products in facing of EAC, eventhough ASEAN has not explicitly and specifically regulates industrial designs in relation to IPRs protection measures.

Key words: Industrial designs, legislation, implementation, AEC

PENDAHULUAN

Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) sudah di depan mata, yaitu pada tahun 2015 mendatang ini. Untuk itu, semua negara ASEAN, termasuk Indonesia perlu mempersiapkan diri sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang akan semakin tebuka dan dalam menghadapi risiko

Page 52: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 kerugian akibat persaingan bisnis antarnegara ASEAN itu sendiri, maupun antara negara-negara ASEAN dengan negara luar.

ASEAN Vision 2020 disepakati para kepala negara ASEAN pada ASEAN Summit di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 1997, yang kemudian ditetapkan 3 (tiga) tiang penyangga untuk mencapainya, yaitu AEC, ASEAN Political-Security Community dan ASEAN Socio-Cultural Community pada ASEAN Summit di Bali, Indonesia, tahun 2003. Kemudian, para kepala negara ASEAN menandatangani dokumen percepatan AEC dari tahun 2020 menjadi tahun 2015 pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, tahun 2007 (Deperd, tanpa tahun).

Salah satu upaya penting yang perlu dilakukan Indonesia untuk mempersiapkan diri memasuki MEA tersebut adalah meningkatkan daya saing produk domestik sehingga mampu bertahan dan memainkan peranannya dalam pasar ASEAN yang akan terbuka tersebut. Persiapan itu banyak aspeknya, salah satu yang tidak kalah pentingnya adalah menghasilkan produk barang yang memiliki desain yang menarik minat konsumen, baik di pasar domestik Indonesia, maupun di pasar luar negeri, khususnya di dalam kawasan ASEAN. Dengan demikian, konsumen juga akan memiliki banyak pilihan desain industi produk barang dari berbagai negara ASEAN, dan yang paling baik kualitas desain industrinya akan dapat menguasai pasar lebih baik pula.

Sekarang ini desain industri di banyak negara dan perusahaan telah menjadi bagian dari strategi bisnis dan pemasaran. Desain industri menjadi penting dalam rangka memenangkan kompetisi bisnis yang semakin tinggi. Oleh karena itu, negara dan perusahaan dimaksud memperhatikan aspek desain industri secara khusus dengan menyediakan investasi tersendiri untuk kegiatan penelitian dan pengembangan yang dapat menghasilkan desain baru yang lebih berkualitas dan mempunyai daya saing yang tinggi di pasar.

Dari aspek hukum, keberadaan dan pengembangan krativitas pendesain untuk menghasilkan suatu desain industri tertentu telah diatur di dalam siatem hukum hak kekayaan intelektual (HKI). Perkembangan hukum HKI di Indonesia telah mencapai pada tingkat tertentu, yang juga mengikuti perkembangan di negara-negara lain secara internasional. Dalam hal ini berpedoman pada standar minimum yang ditetapkan terutama dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/General Agreement on Tariffs and Trade/World Trade Organization (TRIPs/GATT/WTO). Desain industri merupakan suatu bidang hukum HKI yang umurnya relatif masih muda di Indonesia dibandingkan dengan bentuk HKI lain, seperti hak cipta, paten, dan merek.

Pengaturan desain industri tersebut termuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (selanjutnya disingkat UUDI). Dalam konsiderans dan penjelasan umum UUDI disebutkan bahwa UUDI lahir atas dasar selain untuk melaksanakan traktat multilateral di atas, juga untuk mewujudkan iklim yang memotivasi kreativitas pendesain dalam menghasilkan dan mengembangkan desain industri, termasuk yang inspirasinya bersumber pada kekhasan dan keragaman budaya bangsa Indonesia yang muncul sepanjang sejarah.

Namun, pengaturan yang ada tersebut belum dapat terimplemantasi secara baik sebagaimana diharapkan karena adanya kendala yang antara lain bersumber pada substansi hukum di dalam UUDI itu sendiri, sehingga dibandingkan dengan negara lain dalam beberapa hal, substansi hukum desain industri di Indonesia masih tergolong lemah. Dengan demikian perumusan permasalahan hukum adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana perkembangan hukum desain industri dalam konteks perbandingan dan internasional, dan urgensi implementasi bagi Indonesia dalam menghadapi MEA mulai

Page 53: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Sanusi Bintang tahun 2015? (2) Bagaimana pokok- pokok pengaturan dan apa saja kelemahan substansi hukum desain industri di Indonesia sekarang ini?

Artikel ini menjelaskan perkembangan pengaturan desain industri mulai dari luar negeri, di Indonesia dan kemudian pengaturan pada tingkat global atau hukum internasional, termasuk dalam konteks pembentukan MEA mulai tahun 2015. Setelah itu, akan dibahas tentang pokok-pokok pengaturan dalam hukum Indonesia dan kelemahan substansi hukum yang ada. Rinciannya dimulai dengan pengertian, kriteria perlindungan, jangka waktu perlindungan, kepemilikan hak, permohonan pendaftaran, pemeriksaan, pengalihan hak dan lisensi, dan penegakan hukum. Terakhir akan dikemukakan kesimpulan dan saran.

PEMBAHASAN

Perkembangan Pengaturan dalam Konteks Perbandingan dan Internasional, termasuk MEA

Sebagaimana pengaturan HKI lainnya (paten, merek, dan hak cipta), sejarah pengaturan desain industri mulai di Barat. Hal ini karena disamping Barat telah lebih dahulu memiliki peradaban dan kualitas hidup yang tinggi, juga berkembangnya sifat individualisme dan kapitalisme. Berbeda dengan negara-negara di Timur yang pada umumnya memiliki peradaban dan kualitas hidup yang relatif lebih rendah, dan masyarakatnya lebih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional, seperti kolektivisme atau kebersamaan.

Dalam masyarakat Barat, hak milik atau kekayaan pribadi mendapatkan penghargaan yang tinggi sehingga dapat menunjang kegiatan dan perkembangan industrialisasi. Pemahaman konsep hak milik pribadi tersebut semakin meluas sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri yang dimulai pada barang atau benda berwujud (bergerak dan tidak bergerak) sampai kepada benda tidak berwujud, termasuk HKI seperti desain industri. Ruang lingkup perkembangan bentuk HKI pun semakin melebar, yang menyebabkan pengertian hak milik pribadi semakin meluas pula.

Sejarah pengaturan desain industri di Barat dapat ditelusuri kembali pada perlindungan pertama dalam hukum Inggris. Undang-Undang Desain Industri pertama di Inggris merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Monopoli (the Statute of Monopolies) yang muncul pada tahun 1623 yang memberikan sekedar perlindungan terhadap desain industri, walaupun tidak secara eksplisit disebutkan (Puri, 1986). Perlindungan tersebut lahir dari adanya tuntutan dari para pencetak kain, seniman, pendesain gambar, pengukir, dan pemilik asli cetakan linen, kapas dan kain. Para pendesain tersebut meminta perlindungan hukum karena banyak terjadi perbanyakan dan percetakan desain industri tersebut yang merugikan mereka. Akhirnya pada waktu itu parlemen Inggris (the House of Commons) menampung petisi mereka tersebut dengan mengeluarkan undang-Undang Desain Industri Tahun 1787 (Lahore, 1981). Kini undang-undang tersebut telah mengalami banyak perubahan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Sementara negara-negara lain, terutama negara-negara commonwealth seperti Australia mulai mengatur desain industri berdasarkan pengalaman Inggris tersebut.

Di Indonesia, desain industri pertama kali diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Pokok-Pokok Perindustrian (Stb. 1964 No. 22 TLN No. 3274). Pada waktu itu desain industri belum diatur secara khusus, melainkan hanya sebagai bagian kecil dari

Page 54: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 pengaturan umum perindustrian di Indonesia. Undang-Undang no. 5 Tahun 1984 ini hanya menegaskan saja bahwa desain industri memperoleh perlindungan hukum. Pengaturan detil akan diatur dalam suatu peraturan pemerintah tersendiri. Akan tetapi, peraturan pemerintah yang dijanjikan tidak terbentuk hingga awal tahun 2000. Akibatnya, ketentuan undang-undang tentang desain industri tersebut tidak dapat diimplementasikan sebagaimana layaknya.

Sebagai salah satu negara yang menandatangani Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property), Konvensi Berne (Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works) dan GATT 1994, Indonesia wajib mengatur tentang desain industri sebagai salah satu bentuk HKI, yang sudah mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara internasional tersebut. Sebagaimana diketahui, TRIPs/GATT/WTO sebagai konvensi perdagangan internasional yang besar mewajibkan anggotanya untuk mematuhi ketentuan minimum yang diatur dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan internasional dan memajukan HKI secara lebih memadai dan efektif, disamping untuk menjamin bahwa pelaksanaan hukum HKI tidak akan merintangi perdagangan internasional yang sah. Undang-Undang yang khusus mengatur tentang desain industri di Indonesia yang lahir dalam kerangka konvensi internasional tersebut adalah UUDI.

Hukum desain industri nasional seperti di Inggris dan Indonesia tersebut memiliki jangkauan yang terbatas. Ia hanya mempunyai daya laku di dalam negeri saja. Akibatnya, pelanggaran desain industri di luar negeri tidak dapat dicegah atau diselesaikan berhubung adanya kedaulatan negara lain. Persoalan antarnegara tersebut dapat diselesaikan melalui kerjasama dalam bentuk traktat atau perjanjian internasional publik. Kesepakatan internasional demikian memperluas ruang lingkup berlakunya hukum desain industri yang dapat melintasi batas negara. Dengan demikian desain industri yang dilindungi di suatu negara tertentu juga mendapatkan perlindungan di negara lain yang memiliki kesepakatan dengan negara tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam hukum internasional publik tersebut. Adanya kesepakatan internasional demikian sampai pada tingkat tertentu dapat menciptakan harmonisasi hukum desain industri, perlakuan nondiskriminatif kepada semua pihak dan pengurangan biaya yang diperlukan dalam proses perolehan perlindungan.

Hingga saat ini terdapat beberapa konvensi internasional baik yang langsung mengatur mnegenai desain industri, yang mengatur desain industri sebagai bagian dari bentuk HKI lain dan yang mengatur bidang lain yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai desain industri. Dalam kategori pertama adalah Persetujuan Hague (The Haque Agreement concerning the International Deposit of Industrial Designs) dan Persetujuan Locarno (the Locarno Agreement on International Classification of Industrial Designs), kedua adalah Konvensi Paris dan Konvensi Berne, dan yang ketiga adalah TRIPs/GATT/WTO.

Persetujuan Haque merupakan suatu persetujuan yang mengatur tentang penyimpanan desain industri. Persetujuan ini pertama kali ditandatangani 6 November 1925 dan sudah menjalani beberapa kali perubahan dan penambahan, yaitu tahun 1934 dan 1960. Sedangkan persetujuan Locarno merupakan suatu persetujuan yang berkaitan dengan klasifikasi internasional desain industri. Persetujuan ini ditandatangani pada tanggal 8 Oktober 1968. Setiap penandatangan persetujuan menjadi anggota suatu uni khusus dan menerima klasifikasi tunggal desain industri, yang dinamakan klasifikasi internasional (Puri, 1986). Meskipun secara resmi Indonesia belum menjadi anggota, namun menggunakan persetujuan Locarno ini sebagai acuan penting dalam pemeriksaan.

Page 55: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Sanusi Bintang

Dalam konteks perbandingan, sebagaimana yang berlaku di berbagai negara secara internasional, terdapat pendekatan yang berbeda antara negara-negara dalam memilih model perlindungan desain industri. Ada negara yang cenderung pada model paten yang merupakan salah satu bentuk hak kekayaan perindustrian (industrial property rights), sebagaimana diatur Konvensi Paris. Sementara negara-negara lain ada yang cenderung memakai model hak cipta sebagaimana diatur dalam Konvensi Berne seperti Inggris. Desain industri mengandung kedua ciri bentuk HKI tersebut, baik paten maupun hak cipta, dan karena itu ia berada diantara keduanya yang dalam pengaturan hukum nasional masing-masing negara dapat mencontoh salah satu atau perpaduan dari kedua model tersebut. Indonesia juga telah menjadi anggota kedua konvensi tersebut.

Terkait dengan Konvensi Paris ada dua prinsip umum yang penting, yaitu perlakuan nasional dan hak prioritas. Perlakuan nasional maksudnya hukum nasional harus memberikan perlindungan desain industri baik kepada warga negara Indonesia maupun warga negara asing dengan standar perlindungan yang sama atau hak prioriras atau tanpa diskriminasi. Hak prioritas merupakan suatu fasilitas kepada pendaftar desain industri di beberapa negara yang perhitungan jangka waktu perlindungan diundurkan menjadi sejak tanggal pertama kali pendaftaran di negara asal. Sedangkan terkait Konvensi Berne yang memberikan pengertian ciptaan (literary and artistic works), meliputi juga seni terapan (works of applied art) yang meliputi di dalamnya desain industri. Beberapa prinsip penting meliputi prinsip perlakuan nasional atau nondiskriminasi, tanpa formalitas tertentu, dan kebebasan pada setiap negara untuk memberikan perlindungan khusus terhadap seni terapan atau memberikan perlindungan sebagai desain industri atau perpaduan keduanya (Puri, 1986).

Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/General Agreement on Tariffs and Trade/World Trade Organization merupakan persetujuan internasional terkait yang mutakhir. Persetujuan TRIPs (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Conterfeit Goods) merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari dokumen Persetujuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). General Agreement on Tariffs and Trade berbeda dengan konvensi yang telah dibahas sebelumnya bukanlah merupakan persetujuan khusus tentang HKI, namun di dalam isinya ikut mengatur HKI, termasuk desain industri, sebagai bagian dari pengaturan perdagangan internasional pada umumnya. GATT termasuk TRIPs di dalamnya ditandatangani pada tahun 1994 sebagai hasil Perundingan Uruguay. Indonesia menjadi salah satu negara penandatangan kesepakatan tersebut, yang sekarang ini semuanya tergabung dalam organisasi perdagangan dunia WTO.

Dalam Persetujuan TRIPs desain industri merupakan salah satu bentuk HKI yang mendapatkan pengaturan. Selain desain industri TRIPs mengatur tentang bentuk HKI lain meliputi hak cipta dan hak terkait, paten, merek, indikasi geografis, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan perlindungan varietas tanaman. Desain industri sendiri diatur secara khusus dalam Pasal 25 dan Pasal 26. Adapun standar umum pengaturan minimalnya sebagai diuraikan di bawah ini.

Menyangkut syarat-syarat perlindungan diatur dalam Pasal 25. Ayat (1) Pasal tersebut menetapkan bahwa negara anggota harus memberikan perlindungan terhadap desain industri yang dihasilkan secara terpisah (independent), baru atau asli. Negara-negara anggota boleh memberikan perlindungan desain industri yang tidak baru atau asli jika mereka tidak berbeda banyak dari desain industri yang telah ada atau gabungan dari ciri desain industri yang sudah ada. Negara-negara anggota boleh menentukan bahwa perlindungan demikian tidak diberikan terhadap desain industri yang pada dasarnya

Page 56: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014 hanya ditentukan berdasarkan pertimbangan teknis dan fungsional. Ayat (2) mengatur tentang keharusan perlindungan desain industri tekstil, yang tentunya cukup penting bagi negara-negara penghasil dan pengekspor tekstil ke luar negeri, seperti Indonesia. Dalam hal ini kepada setiap negara anggota diberikan kebebasan untuk mengatur perlindungan khusus tekstil tersebut di dalam hukum desain industri atau hukum hak cipta nasional masing-masing.

Pasal 26 ayat (1) mengatur bahwa pemilik desain industri harus mempunyai hak untuk mencegah pihak lain tanpa persetujuannya membuat, menjual atau mengimpor produk yang memakai desain industri yang digandakan atau sebagian dasar digandakan, dari desain industri yang dilindungi, apabila tindakan demikian dilakukan untuk tujuan komersial. Ayat (2) Pasal ini memberikan hak kepada negara anggota untuk mengatur pengecualian secara terbatas terhadap hak eksklusif pemegang hak. Ayat (3) pasal ini menetapkan jangka waktu perlindungan minimum, yaitu selama 10 tahun.

Dalam MEA tidak diatur secara eksplisit tentang desain industri, namun ada kesepakatan tentang penguatan dan perluasan kerja sama perlindungan tentang HKI, yang tidak hanya pada merek dan paten, tetapi juga hak cipta. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Gusmardi Bustami perlu dicermati bahwa integrasi ekonomi ASEAN yang lebih tampak dalam MEA antara lain adalah untuk meningkatkan daya saing negara-negara ASEAN secara umum di pasar global, yang membuka peluang bagi Indonesia sebagai anggota MEA untuk memanfaatkan peluang yang semakin terbuka tersebut. Dalam konteks organisasi regional ASEAN ini telah dibentuk beberapa panitia koordinasi/kelompok kerja tertentu, antara lain adalah WGIPC (Working Group on Intellectual Property Cooperation).

Upaya peningkatan daya saing dimaksud tentunya terkait erat antara lain dengan kualitas produk barang yang dipasarkan oleh negara-negara anggota MEA tesebut. Salah satu strategi peningkatan kualitas tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan desain industri pada produk barang yang ditawarkan baik ke pasar internal ASEAN maupun ke pasar eksternal di negara-negara lain. Disinilah letak pentingnya peningkatan perlindungan desain industri yang dapat memotivasi krativitas dan inovativitas pendesain dan usaha industri, antara lain dengan mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang telah ada sebagaimana juga dimaksudkan oleh konsiderans UUDI Indonesia. Apabila produk barang negara-negara MEA memiliki desain industri yang lebih berkualitas tentu saja akan lebih kompetitif di pasar karena akan lebih diminati oleh konsumen.

Dalam AEC Blue Print yang merupakan panduan dalam pembetukan AEC ditetapkan 4 (empat) butir penting dalam merealisasikannya, meliputi pertama pasar tunggal yang bedasarkan produsi tunggal dengan unsur aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terpelajar dan kapital yang lebih mudah; kedua, kawasan yang memiliki daya saing yang tinggi dengan dukungan hukum kompetisi, perlindungan konsumen, HKI, pengembangan prasarana, perpajakan dan perdagangan elektronik. Jadi, standar perlindungan internasional HKI menjadi salah satu hal yang dipentingkan pada unsur yang kedua ini; ketiga, pemerataan pengembangan ekonomi ASEAN termasuk usaha kecil dan menengah (UKM) dan perluasan keanggotaan ASEAN; dan keempat ASEAN menjadi terintegrasi secara penuh dengan ekonomi global dengan berperan aktif di dalamnya.

Terdapat 12 sektor prioritas integrasi dalam butir pasar tunggal dan berbasis produksi sebagai salah satu unsur AEC, yang disebut priority integration sector (PIS), meliputi agro-based product, air travel, automotives, e-ASEAN, electronics, fisheries, healthcare, rubber-based product, textiles and apparels, tourism, wood-based products, and logistics

Page 57: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Sanusi Bintang (Deperindag, tanpa tahun). Hampir semua produk dalam PIS tersebut sampai pada tingkat tertentu dapat dikaitkan dengan isu tentang pentingnya perlindungan hukum desain industri di atas.

Pokok-Pokok Pengaturan di Indonesia dan Kelemahan Substansi Hukum Pengertian, Kriteria dan Jangka Waktu Perlindungan

Pasal 1 angka 1 UUDI memberikan definisi desain industri adalah “suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.” Sebagai perbandingan dalam hukum Australia desain industri didefinisikan sebagai “the features of shape, configuration, pattern or ornamentation which when applied to product give the product a unique appearance” (IPAustralia, 2000).

Dari definisi dalam UUDI di atas jelas bahwa desain industri merupakan suatu kreasi yang tentunya dihasilkan manusia dengan menggunakan kemampuan intelektualnya, yang dapat berupa: (a) Bentuk, atau (b) Konfigurasi, atau (c) Komposisi garis atau warna, atau (d) Garis dan warna, atau (e) Gabungan dari hal-hal tersebut di atas.

Untuk dapat dikualifikasikan sebagai desain industri, komponen-komponen di atas haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut (a) Memberikan kesan estetis; (b) Dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi; dan (c) Dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan.

Syarat pertama “memberikan kesan estetis,”artinya ciptaan tersebut mengandung nilai keindahan. UUDI tidak menjelaska tingkat keindahan yang diperlukan. Oleh karena itu, diserahkan kepada instansi pendaftar dan pengadilan untuk menilainya. Kiranya untuk dapat didaftarkan suatu desain industri tidak perlu harus ciptaan yang memiliki nilai estetis yang tinggi, cukup apabila ia sudah memberikan sekedar nilai keindahan yang tidak hanya semata-mata diciptakan untuk keperluan fungsional. Dalam praktik memang agak sulit untuk memisahkan secara tegas antara aspek estetis yang memberikan nilai keindahan yang menarik mata, dan aspek fungsional yang berkaitan dengan kegunaan suatu produk, barang, komoditas, atau kerajinan tangan.

Menurut Ita (1992) selain aspek estetis yang berkaitan dengan penghargaan terhadap nilai keindahan yang tertuju pada pemenuhan selera pengguna, para pendesain dalam menciptakan suatu desain industri juga sering mempertimbangkan aspek teknis untuk keamanan dan kesehatan pengguna, aspek fisik untuk menyesuaikan dengan kelompok pengguna tertentu (anak atau orang dewasa), aspek psikologis untuk menyesuaikan dengan latarbelakang dan nilai-nilai simbolis tetentu dari pengguna, aspek ekonomis untuk efisiensi harga dan mutu, dan aspek sosial untuk menampung kebutuhan dan dampak tertentu pada masyarakat. Namun, UUDI hanya mengatur tentang aspek estetis, tidak aspek lainnya.

Syarat kedua “dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi”. Ciptaan tiga dimensi misalnya sustu model tertentu dan ciptaan dua dimensi misalnya gambar tertentu. Yang penting disini, ciptaan tersebut tidak hanya sekedar ide dalam pikiran pendesain saja, tetapi ide tersebut haruslah direalisasikan dalam bentuk tiga atau dua dimensi dimaksud.

Syarat ketiga “dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan”. Syarat ini maksudnya kreasi tersebut dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk. Produk tersebut tidak harus dihasilkan dengan menggunakan mesin, tetapi dapat juga dengan menggunakan tangan manusia.

Page 58: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

UUDI telah menetapkan kriteria perlindungan hak cipta dalam Pasal 2 ayat (1), yang menentukan bahwa suatu desain industri untuk memperoleh perlindungan haruslah baru. Ayat (2) Pasal tersebut menambahkan bahwa “desain insustri dianggap baru, apabila pada tanggal Penerimaan Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.” Sebagai perbandingan di dalam hukum Australia ditentukan bahwa untuk dapat didaftarkan, suatu desain industri harus baru atau asli (new or original) (IPAustralia, 2000). Sejalan dengan itu, Pasal 25 ayat (1) TRIPs juga menggunakan kata-kata yang sama, yaitu new or original.

Untuk menilai ada tidaknya kriteria baru menurut UUDI suatu desain industri pembuat undang-undang membandingkan antara desain industri yang ingin didaftarkan dengan pengungkapan sebelumnya (prior art). Apabila yang ingin didaftarkan berbeda dengan pengungkapan sebelumnya, maka sifat kebaruan tersebut terpenuhi, sehingga dianggap memenuhi syarat untuk didaftarkan dalam rangka memperoleh perlindungan hukum. Sebaliknya, apabila yang ingin didaftarkan adalah sama dengan pengungkapan sebelumnya, maka unsur kebaruan tidak terpenuhi sehingga tidak akan memperoleh perlindungan hukum.

Dalam UUDI, pengertian pengungkapan sebelumnya yang menghilangkan sifat kebaruan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (3), yaitu sebelum tanggal penerimaan (filing date) atau tanggal prioritas jika pendaftaran dilakukan dengan hak prioritas, telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia. Di sini terlihat lingkup kebaruan yang digunakan bersifat internasional (worldwide), karena tidak hanya melihat di dalam, tetapi juga di luar negeri. Suatu pengecualian terhadap ketentuan kebaruan ini terdapat dalam Pasal 3, yaitu yang memberikan waktu bebas pengumuman dalam 6 (enam) bulan untuk pameran resmi dan percobaan untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan.

Menurut Noerhadi (2013), sejalan dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1) TRIPs suatu desain industri memenuhi kriteria baru apabila ia memiliki kesan estetis berbeda dan jika memiliki perbedaan yang penting (differ significantly) dengan desain sebelumya . Dalam hal ini UUDI tdak menjelaskan secara tegas bagaimana apabila kreasi baru tersebut hanya memiliki sedikit perbedaan (immaterial difference) dengan desain industri yang telah ada. Mengenai berapa besar atau kualitas perbedaan tersebut diperlukan tampaknya pembuat undang-undang menyerahkan penilaiannya pada instansi pendaftar, atau kalau terjadi sengketa kepada pengadilan.

Terdapat beberapa kelemahan substansi hukum dari UUDI berkenaan dengan kriteria kebaruan ini (Noerhadi, 2013). Pertama, pada prinsipnya tidak diperlukan pemeriksaan substantif untuk dapat diterima pendaftarannya, kecuali dalam hal ada keberatan pihak lain, yang dalam praktik dapat disalahgunakan dengan mendaftarkan yang tidak baru. Kedua, sertifikat desain industri sebagai bukti hak dapat diberikan kepada pihak yang sebenarnya tidak berhak. Ketiga, terlalu fleksibel dalam penapsiran yang menganggap desain industri yang didaftarkan memenuhi kriterium baru, walaupun kenyataanya serupa atau sama pada pokoknya dengan pengungkapan sebelumnya, dan dianggap tidak baru hanya apabila terdapat persamaan pada keseluruhannya (100%) dengan pengungkapan sebelumnya.

UUDI menetapkan jangka waktu perlindungan dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu 10 (sepuluh) tahun, mulai tanggal penerimaan (filing date). Pasal 5 ayat 92) menambahkan bahwa tanggal mulai berlakunya dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Perlindungan yang terlalu pendek tidak akan memberikan kesempatan yang cukup kepada yang berhak untuk menikmati manfaat ekonomi dari hasil kreasinya tersebut. Sebaliknya, perlindungan yang telalu lama akan memberikan dampak yang negatif kepada masyarakat luas, karena adanya perlindungan juga menimbulkan biaya tertentu pada masyarakat. Biaya tersebut, seperti juga pada hak cipta, antara lain tingginya harga produk yang menggunakan desain industri tersebut,

Page 59: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Sanusi Bintang biaya transaksi yang terjadi dalam perolehan izin penggunaan hak tersebut, dan biaya operasionalisasi sistem perlindungan yang dilakukan negara dan perusahaan (Bard dan Kenlantzick, 1999).

Berkaitan dengan jangka waktu perlindungan ini, UUDI telah memenuhi standar minimum yang ditetapkan dalam TRIPs/GATT/WTO. Namun, perlu ada pengkajian apakah jangka waktu minimum tersebut sudah cukup bagi Indonesia sekarang ini dan ke depan, termasuk untuk meningkatkat daya saing menyongsong MEA. Dan apakah kelemahan dalam penggunaan fasilitas perlindungan, terutama oleh UMKM dan koperasi, yang enggan mendaftarkan desain industri ada kaitannya dengan masa perlindungan yang minimum atau pendek tersebut. Sebagai perbandingan di Australia, perlindungan desain industri diberikan untuk beberapa tahapan, yaitu tahapan pertama selama 1 (satu) tahun, tahap kedua masa perpanjangan selama maksimum16 tahun, dengan total masa perlindungan seluruhnya sampai 17 tahun (IPAustralia, 2000). Berbeda dengan masa perlindungan merek yang dapat dimintakan terus perpanjangannya untuk setiap 10 (sepuluh) tahun, asalkan ia masih digunakan, masa perlindungan desain industri tidak dapat diperpanjang, dan setelah habis masa perlindungan ia akan jatuh menjadi milik umum (public domain).

Kepemilikan Hak, Pendaftaran, Pemeriksaan dan Penegakan Hukum Desain industri adalah suatu bentuk HKI, karena itu ia tergolong hak milik atau

kekayaan pribadi (personal property). Kekayaan pribadi demikian menggambarkan hubungan antara pribadi tertentu dan objek perlindungan tersebut. Di sini penekanannya adalah pada adanya hubungan (relationship) antara pemilik dengan benda yang menjadi objek pemilikannya (Hepburn, 1998). Dengan demikian, di sini yang dipersoalkan semata-mata adalah berkaitan dengan ‘hubungan” antara pendesain dengan desain industri yang dihasilkannya, bukan mengenai desain industri itu sendiri. Hubungan inilah yang memberikan pendesain hak untuk mengontrol desain industri yang dihasilkannya. Inilah yang merupakan landasan pemberian hak eksklusif kepada pendesain.

Hak desain industri lahir atas dasar pendaftaran. Artinya, tanpa pendaftaran desain industri tidak mendapatkan perlindungan hukum. Walaupun demikian, tampaknya UUDI kurang konsisten dengan pemikiran tersebut karena sebagaimana diatur dalam Pasal 12 bahwa terdapat pengecualian, yaitu pihak yang tidak mendaftarkan pun masih diberikan perlindungan hukum desain industri, asalkan dapat membuktikan kepemilikannya di pengadilan.

Sebagai hak milik pribadi, desain industri dapat dialihkan melalui pengalihan hak atau perjanjian lisensi. Pengalihan hak dari pemilik kepada pihak lain dapat terjadi melalui salah satu cara yang diatur Pasal 31 UUDI, yaitu pewarisan, hadiah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain sesuai hukum. Pengalihan hak demikian harus disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak, dicatat dan diumumkan. Berbeda dengan pengalihan hak adalah lisensi. Pada lisensi terdapat pembatasan tertentu yang luas lingkupnya dapat diatur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian lisensi. Dalam lisensi, pemilik hak desain industri mengizinkan pihak lain untuk menggunakan hak tersebut selama jangka waktu tertentu dan untuk tujuan tertentu. Pada lisensi, hak milik tidak beralih tetapi tetap berada pada pemilik asli (licensor), sementara pemilik baru (licensee) berhak untuk menggunakan desain industri tersebut sepanjang sesuai dengan ketentuan khusus dan batasan jangka waktu pemberian izin saja (Elias, 1985).

Pasal 24 UUDI menetapkan bahwa Direktorat Jenderal HKI melakukan pemerikasaan terhadap permohonan pendaftaran desain industri. Pemeriksaan tahap awal disebut pemeriksaan administratif yang harus ada pada semua permohonan, sedangkan pemeriksaan berikutnya adalah pemeriksaan substantif, yang hanya diperlukan dalam hal ada pihak yang mengajukan keberatan.

Page 60: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 5, No.1, Juli 2014

Pemeriksaan administratif adalah pemeriksaan tentang kelengkapan persyaratan administrasi permohonan pendaftaran, misalnya menyangkut pengisian formulir permohonan, keberadaan contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian desain industri, dan pembayaran biaya. Sedangkan pemeriksaan substantif adalah pemeriksaan desain industri itu sendiri. Sebelum pemeriksaan substantif dilakukan, terlebih dahulu dilaksanakan pengumuman untuk memberi kesempatan kepada siapa saja yang berkepentingan mengajukan keberatan. Menurut Pasal 26 ayat (5) UUDI dalam hal adanya keberatan inilah pemeriksaan substantif baru dilakukan. Artinya, kalau tidak ada keberatan dalam masa pengumuman resmi tersebut, pemeriksaan substantif ditiadakan, dan pemohon pendaftaran yang memenuhi persyaratan pemeriksaan administratif langsung diberikan sertifikat desain industri sebagai bukti kepemilikan.

Perumusan substansi hukum tentang pemeriksaan administratif dan pemeriksaan substantif sebagaimana diatur dalam UUDI tersebut menurut Sinungan (Salim dan Nurbani, 2013) merupakan kelemahan lainnya dari hukum desain industri Indonesia sekarang. Kelemahan tersebut telah menimbulkan permasalahan dalam implementasi UUDI tersebut, antara lain pemberian desain industri tanpa adanya pemeriksaan substantif dan pemanfaatan sertifikat desain industri yang diberikan kepada pendaftar yang tidak beritikat baik untuk melakukan aksi hukum kepada kompetitor yang menggunakan desain industri tersebut tetapi tidak mendaftarkannya secara resmi.

Menurut Darus salah satu negara Asia yang telah menggunakan perlindungan desain industri sebagai bagian dari strategi bisnis dan pemasaran adalah Korea Selatan. Korea Selatan sekarang memiliki hukum desain industri yang ketat, antara lain dengan menerapkan kewajiban pemeriksaan substansif dalam setiap permohonan pendaftaran desain industri sehingga dapat mencegah kesalahan atau penyalahgunaan sebagaimana diuraikan di atas. Namun bagi Indonesia, perubahan demikian juga akan memiliki konsekuensi penambahan jumlah biaya yang diperlukan untuk proses pendaftaran, yang perlu dipertimbangkan juga solusinya sehingga tidak memberatkan dunia usaha, khususnya UMKM dan koperasi (Darus, 2010).

Penegakan hukum desain industri menggunakan pendekatan hukum ekonomi. Artinya, pendekatan yang dilakukan meluas tidak hanya dalam bentuk gugatan berdasarkan hukum keperdataan, tetapi juga dengan menggunakan pendekatan hukum publik, dalam hal ini perkara pidana. Penyelesaian perkara perdata dapat dilakukan di pengadilan niaga atau di luar pengadilan melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa termasuk arbitrase. Gugatan perdata diajukan ke pengadilan niaga dengan hak yang dapat dituntut meliputi ganti rugi dan lain-lain. Penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui pengadilan negeri melalu proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Dalam penyedikan di samping terdapat penyidik umum POLRI, terdapat juga penyidik khusus HKI pada Kementerian Hukum dan HAM.

KESIMPULAN

Kesimpulan Perkembangan pengaturan desain industri dimulai dari negara-negara Barat, yang

kemudian diikuti oleh negara lainnya, termasuk Indonesia. Pada awalnya muncul dan berkembang dalam hukum nasional masing-masing negara, namun kemudian timbul kebutuhan kerja sama pengaturan secara internasional. Perkembangan terakhir desain industri sama dengan bentuk HKI lainnya telah diatur dalam konteks pengaturan perdagangan internasional dalam TRIPs/GATT/WTO. ASEAN Economic Community sendiri belum mengatur secara khusus dan tegas tentang desain industri sebagai bagian dari standar perlindungan HKI, meskipun demikian peranannya penting dalam

Page 61: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Sanusi Bintang mewujudkan salah satu tujuan utamanya, yaitu meningkatkan daya saing negara-negara yang tergabung di dalamnya, baik di pasar regional ASEAN maupun di pasar global. Khusus bagi Indonesia implementasi hukum desain desain industri di dalam negeri menjadi penting dalam rangka memperkuat daya saing produk domestik Indonesia terutama dalam memenangkan persaingan bisnis di pasar dalam negeri dan memanfaatkan keterbukaan pasar di negara ASEAN lainnya.

Beberapa isu penting yang diatur UUDI adalah pengertian, kriteria perlindungan, jangka waktu, kepemilikan hak, pendaftaran, pemeriksaan dan penegakan hukum. Beberapa kelemahan yang masih ada dalam UUDI meliputi pengaturan tentang kriteria perlindungan, jangka waktu, pendaftaran dan pemeriksaan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diperbaiki baik melalui perbaikan legislasi, maupun upaya penapsiran, baik yang dilakukan pemeriksa desain industri maupun hakim pengadilan niaga dan Mahkamah Agung.

Saran Disarankan kepada pemerintah untuk meningkatkan sosialisasi hukum desain industri

dan pembinaan serta fasilitasi dalam pendaftaran dan pengembangan desain industri terutama kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta koperasi. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan koperasi merupakan sektor yang potensial untuk mengembangkan desain industri dalam upaya untuk meningkatkan daya saing, terutama menghadapi MEA, namun dalam kenyataan belum banyak yang melakukannya. Disarankan juga kepada pembuat undang-undang untuk melakukan penelitian, review atau kajian akademik lebih lanjut tentang perlu tidaknya perbaikan dan penyempurnaan perumusan beberapa ketentuan di dalam UUDI di atas, dalam rangka meningkatkan daya saing produk Indonesia menghadapi persaingan global akibat liberalisasi dan globalisasi ekonomi dan bisnis, terutama MEA.

DAFTAR PUSTAKA Bard, R.L. and L. Kenlantzick. 1999. Copyright and the Making of Copyright Policy. Australian & Winfield

Publishers. Sanfransisco. Darus. P. 2010. “Perlindungan Hukum terhadap Desain Industri Masih Kurang” Sinar Harapan, 29 Mei 2010,

primaxp-primadarus.blogspot.com/2010/05/perlindungan-hukum terhadap desain.html. Deperd (Departemen Perdagangan Republik Indonesia). Tanpa tahun. Menuju Asean Economic Community

2015. Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Luar Negeri. Jakarta Elias, S.R. 1985. Intellectual Property Law Dictionary. (Warner, R. Ed). Nolo Press, Sanfransisco. Hepburn, S.J. 1998. Principles of Property Law. Cavendish Publising Pty Limited, Sydney. IPAustralia: Patent-Trade Marks-Designs. 2000. The Design Information Pact: How to Register and Look After

Your Design. Commonwealth of Australia, Canberra. Ita, G. 1992, Desain Produk Industri.Jakarta: Gramedia Offset. Lahore, J. 1981. Intellectual Property In Australia: Patents, Designs and Trade Mark Law. Vol. I Commentary.

Butterworths, Sydney. Noerhadi, C,C.. 2013. The Weak Aspects of the Industrial Design Protection System in Indonesia. Indonesia

Law Review. 2:115-123. Puri, K.K. 1986. Industrial Design Law in Australia and New Zealand. Butterworth, Sydney. Salim, H.S. dan E.S. Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta.