ICASERD WORKING PAPER Nopse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_51_2004.pdf · Kalau...

26
ICASERD WORKING PAPER No.51 JUSTIFIKASI DAN METODE PENETAPAN KOMODITAS STRATEGIS Pantjar Simatupang Mei 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Transcript of ICASERD WORKING PAPER Nopse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_51_2004.pdf · Kalau...

ICASERD WORKING PAPER No.51

JUSTIFIKASI DAN METODE PENETAPAN KOMODITAS STRATEGIS Pantjar Simatupang Mei 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No. 51

JUSTIFIKASI DAN METODE PENETAPAN KOMODITAS STRATEGIS Pantjar Simatupang Mei 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, M. Rahmat, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]

No. Dok.072.51.04.04

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

1

JUSTIFIKASI DAN METODE PENETAPAN KOMODITAS STRATEGIS

Pantjar Simatupang Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

PENDAHULUAN

Pada putaran perundingan multilateral dalam naungan Organisasi

Perdagangan Dunia (World Trade Organization = WTO), Indonesia memelopori

proposal Special Products , yakni sejumlah “ komoditas strategis “ yang amat penting

untuk hajat hidup orang banyak, baik dari segi lapangan kerja, maupun jaminan

perolehan pangan yang cukup, perlindungan, dan dinamisasi kehidupan desa secara

berkelanjutan, serta preservasi dan stabilisasi sosial-politik yang sesungguhnya

merupakan tujuan utama pembangunan pertanian, dikecualikan dari agenda

perundingan lanjutan liberalisasi dan deregulasi perdagangan produk pertanian.

Pengecualian tersebut dimaksudkan agar pemerintah suatu negara, negara

sedang berkembang khususnya, tetap memiliki fleksibilitas atau kedaulatan dalam

menetapkan kebijakan diskresi perihal produksi dan perdagangan sejumlah terbatas

produk pertanian yang esensial bagi hajat hidup warga negaranya. Ini merupakan

salah satu hak dasar yang mesti dimiliki oleh suatu negara berdaulat.

Proposal Indonesia tersebut mendapat dukungan dari banyak negara-negara

sedang berkembang. Konsep Special Products dan Strategic Products telah

menjelma menjadi senjata diplomasi yang amat ampuh bagi kelompok negara-negara

sedang berkembang dalam menghadapi negara-negara maju yang tergabung dalam

Uni Eropa dan negara-negara eksportir utama pertanian dalam kelompok Cairns

(Cairns group).

Kalau negara-negara sedang berkembang kukuh mempertahankannya,

Amerika Serikat dan anggota Cairns Group lainnya menentang keras proposal

Special and Strategic Products tersebut. Uni Eropa cenderung mengambil posisi ”

dapat memahami ” namun enggan menyatakan dukungannya. Alasannya, Uni Eropa

juga berkepentingan untuk memperlambat proses perluasan dan intensifikasi

liberalisasi perdagangan produk pertanian. Perbedaan pendapat mengenai Special

and Strategic Products inilah yang menyebabkan Perundingan Tingkat Tinggi WTO

di Cancun, Meksiko, pada bulan September 2003 gagal menghasilkan kesepakatan

baru.

2

Special and Strategic Products masih akan terus menjadi isu sentral dalam

putaran perundingan WTO mendatang. Salah satu argumen utama yang dipakai

oposan untuk menolak konsep Special and Strategic Products tersebut ialah tidak

adanya indikator dan kriteria obyektif berdasarkan kerangka pikir ilmiah dan berlaku

umum dalam penetapan Strategic Products. Praktek yang hingga kini masih dipakai

masih berdasarkan penetapan sendiri (self–declared), yang amat subyektif dan tidak

berlaku umum bagi semua negara.

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk merumuskan kerangka pikir ilmiah,

indikator dan kriteria penetapan Strategic Products. Indikator dan kriteria tersebut

selanjutnya digunakan untuk menjustifikasi kelayakan beras, jagung, kedele dan gula

sebagai Strategic Products bagi Indonesia, seperti yang sebelumnya telah ditetapkan

sendiri secara subyektif. Konsep ini dapat dipergunakan oleh delegasi Republik

Indonesia dalam putaran perundingan WTO untuk memperjuangkan keempat

komoditas tersebut sebagai Special Products bagi Indonesia.

JUSTIFIKASI SPECIAL PRODUCTS

Setelah dilaksanakan hampir satu dekade, kesepakatan GATT/WTO di bidang

pertanian (Agreement on Agriculture=AoA) untuk secara signifikan dan berimbang

meliberalisasi perdagangan produk-produk pertanian ternyata menimbulkan banyak

kekecewaan khususnya bagi negara-negara sedang berkembang. Proteksi dan

subsidi produk pertanian, khususnya di negara-negara maju, tidak semakin menurun

sehingga menyebabkan harga-harga produk pertanian di pasar dunia menurun tajam,

yang selanjutnya telah menimbulkan kebangkrutan petani kecil, pemiskinan dan

kerawanan pangan di banyak negara-negara sedang berkembang. Kesepakatan

GATT/WTO ternyata menimbulkan persaingan tidak adil yang amat merugikan bagi

negara-negara sedang berkembang.

Proposal negosiasi special products dimaksudkan untuk memberikan

fleksibilitas bagi negara-negara sedang berkembang dalam menetapkan kebijakan

diskresi untuk melindungi (proteksi) dan memberdayakan (promosi) sejumlah produk

strategis yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sebagai

respon wajar terhadap ancaman persaingan tidak adil. Dengan demikian, special

products hendaklah dipandang sebagai mekanisme perlindungan khusus yang

fleksibel dan permanen (flexible and permanent special safeguard mechanism).

3

Berikut diuraikan bukti-bukti empiris ketidakseimbangan fasilitasi dan

dukungan kebijakan antar kelompok negara maju dan berkembang, serta dampaknya

terhadap harga dunia, ekspor-impor, ketahanan pangan dan kehidupan petani di

negara-negara sedang berkembang. Bukti-bukti empiris inilah yang menjadi justifikasi

obyektif inisiatif special products.

1. Dukungan kepada petani produsen di negara-negara maju tidak menurun nyata

Kesepakatan WTO mestinya akan menurunkan secara nyata dukungan

domestik (domestic supports) yang diberikan negara-negara maju untuk mendukung

petani produsennya. Fakta menunjukkan dukungan domestik di negara-negara maju

masih amat besar dan secara rata-rata tahunan malah menunjukkan peningkatan.

Untuk negara-negara OECD, nilai dukungan domestik meningkat dari rata-rata 23

milyar dolar AS per tahun pada periode tahun 1986-1988 (pra WTO) menjadi 248

milyar dolar AS per tahun pada periode 1999-2001 (masa implementasi kesepakatan

WTO.

Nilai subsidi domestik terbesar adalah di Amerika Serikat (AS), yang

meningkat dari rata-rata 42 milyar dolar AS per tahun pada periode tahun 1986-1988

menjadi 51 milyar dolar AS pada periode tahun 1999-2001 atau 21 persen. Di Uni

Eropa, nilai subsidi domestik meningkat dari 94 milyar dolar AS per tahun pada

periode tahun 1986-1988 menjadi 99 milyar dolar AS pada periode tahun 1999-2001

atau 5 persen (Tabel 1). Memang nilai subsidi domestik tersebut masih di bawah

komitmen kesepakatan. Namun data tersebut merupakan bukti tak terbantahkan

bahwa subsidi domestik yang amat besar di negara-negara maju merupakan salah

satu penyebab persaingan tidak adil di pasar dunia.

Tabel 1. Subsidi kepada petani produsen di negera-negara maju (milyar dolar AS)

Kelompok negara Rata-rata 1986-1988 1999 2000 2001 Rata-rata

1999-2001 OECD Uni Eropa Amerika Serikat

236

94

42

273

115

55

242

90

49

231

93

49

240

99

51

Sumber : OECD (2002)

Selain subsidi domestik, negara-negara maju juga memberikan subsidi ekspor

yang amat besar untuk produk-produk pertaniannya. Tingkat subsidi ekspor tertinggi

adalah di Uni Eropa yang mencapai hampir 90 persen dari total nilai subsidi seluruh

4

anggota WTO. Walaupun cenderung menurun dan masih jauh lebih rendah dari

ambang komitmen kepada WTO nilai subsidi ekspor masih tergolong amat besar

(Tabel 2) dan menimbulkan distorsi yang signifikan di pasar dunia. Subsidi ekspor

menyebabkan disparitas harga antara pasar dunia dan pasar domestik negara-

negara maju. Instrumen subsidi ekspor dapat dipandang sebagai fasilitasi untuk

praktik dumping yang dilarang WTO.

Tabel 2. Nilai subsidi ekspor seluruh anggota WTO dan Uni Eropa (juta dólar AS)

Kelompok negara 1995 1996 1997 1998 1995- 1998

I. Seluruh anggota WTO : 1. Komitmen 2. Notifikasi 3. Utilisasi (2/1, persen)

21.0366.852

32,4

19.8007.85739,7

17.4325.93134,0

12.987 5.533

42,8

71.25525.134

36,7

II. Uni Eropa : 1. Komitmen 2. Notifikasi 3. Utilisasi (2/1, persen)

14.5736.058

41,6

13.8707.08851,1

12.1005.26243,5

8.333 4.849

58,2

48.87623.257

47,6

Sumber : Dixit, Josling and Blandford (2001)

Subsidi domestik dan subsidi ekspor merupakan insentif dan promosi yang

berkontribusi terhadap peningkatan produksi produk pertanian di Amerika Serikat dan

Uni Eropa serta sekaligus menekan harga di pasar dunia. Anjlok harga dunia telah

menimbulkan kerugian amat besar terhadap petani di negara-negara sedang

berkembang dan ancaman serius terhadap sistem ketahanan pangan mereka.

Penghapusan subsidi yang distortif tersebut akan secara nyata meningkatkan harga

produk-produk pertanian di pasar dunia (Tabel 3).

Tabel 3. Peningkatan harga produk pertanian di pasar dunia pada berbagai skenario liberalisasi (%).

Komoditas Liberalisasi penuh

Penghapusan tarif global

Penghapusan subsidi

domestik OECD

Penghapusan subsidi ekspor

global

Terigu 18,1 3,4 12,0 2,0Beras 10,1 5,9 2,4 1,5Biji-bijian lain 15,2 1,4 12,2 0,6Sayuran dan benih 8,2 4,9 -0,1 3,0Minyak nabati 11,2 3,1 7,8 0,1Gula 16,4 10,9 1,6 3,3Tanaman lain 5,6 4,2 1,2 0,1Produk peternakan 23,3 12,2 5,2 3,1Makanan olahan 7,6 4,8 1,8 1,0

Sumber : Diao, Somwanu and Roe (2002).

5

Dengan perkataan lain, harga dunia yang amat rendah saat ini dan

melimpahnya produk pertanian di negara-negara maju merupakan akibat dari praktek

persaingan tidak sehat dan tidak adil. Oleh karena itu, selama selama subsidi

domestik dan ekspor di negara-negara maju masih tetap besar, selama itu pula

negara-negara sedang berkembang berhak atas kebijakan diskresi untuk secara

bebas menetapkan kebijakan penyelamatan bagi beberapa produk strategis atau

special products.

2. Kebijakan negara-negara maju telah menimbulkan dampak menghancurkan terhadap sektor pertanian dan perekonomian desa di negara-negara sedang berkembang

Kebijakan negara-negara maju untuk terus menberikan subsidi dan proteksi

kepada petani domestiknya terbukti telah menimbulkan dampak menghancurkan

terhadap sektor pertanian, yang berarti pula perekonomian desa dan kemiskinan

petani, di negara-negara sedang berkembang. Secara keseluruhan, kebijakan

perdagangan negara-negara maju telah menyebabkan para petani dan pengusaha

agroindustri di negara-negara sedang berkembang menderita kehilangan pendapatan

sebesar 23,486 milyar dolar AS per tahun (Tabel 4). Ini masih berupa perkiraan

minimal yang belum memperhitungkan efek dinamis dan efek keterkaitan dengan

sektor-sektor lain.

Tabel 4. Dampak kebijakan liberalisasi perdagangan negara-negara maju terhadap

pendapatan dan produksi pertanian primer dan agroindustri di negara-negara sedang berkembang (juta dolar AS).

Liberalisasi perdagangan

Kawasan Amerika Serikat Uni Eropa Jepang dan

Korea

Seluruh negara industri

Subsahara Afrika 455 1.290 150 1.945Asia 2.186 2.099 2.346 6.624Amerika Latin dan Karibia 2.896 4.480 607 8.258Negara berkembang lain 1.148 5.069 339 6.659Seluruh negara sedang berkembang

6.684 12.936 3.442 23.486

Sumber : IFPRI (2003)

Oleh karena merupakan penyedia utama lapangan kerja dan motor penggerak

perekonomian desa, dapat dipastikan anjloknya produksi pertanian dan agroindustri

berdampak amat buruk terhadap kehidupan penduduk maupun perekonomian desa.

Persoalan menjadi semakin parah karena penduduk miskin di negara-negara sedang

berkembang terutama menggantungkan kehidupannya pada usaha pertanian dan

6

atau agribisnis. Dapat dipastikan kebijakan perdagangan negara-negara maju telah

menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan atau mungkin milyaran penduduk. Hal ini

jelas bertentangan dengan kesepakatan global untuk menurunkan jumlah penduduk

miskin sebagaimana dituangkan dalam deklarasi milenium development goals (MDG)

oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.

3. Kebijakan negara-negara maju telah menyebabkan fundamental ekonomi makro negara-negara sedang berkembang semakin rawan (vulnerable).

Konsisten dengan penurunan produksi, kebijakan perdagangan pertanian

negara-negara maju juga menimbulkan dampak amat buruk terhadap neraca

perdagangan negara-negara sedang berkembang. Kebijakan perdagangan negara-

negara maju tersebut telah banyak menyebabkan negara-negara sedang

berkembang menderita kerugian penurunan neraca perdagangan produk pertanian

sebesar 60,8 milyar dolar AS per tahun. Penghapusan proteksi dan subsidi negara-

negara maju dapat meningkatkan neraca perdagangan produk pertanian negara-

negara sedang berkembang menjadi tiga kali lipat (Tabel 5). Hal ini telah

menyebabkan kerawanan neraca pembayaran (balance of payments) negara-negara

sedang berkembang yang penurunan devisanya terutama berasal dari ekspor produk

pertanian.

Tabel 5. Dampak kebijakan perdagangan negara-negara maju terhadap neraca perdagangan negara-negara sedang berkembang (milyar dolar AS per tahun)

Liberalisasi perdagangan

Kawasan Amerika Serikat Uni Eropa

Jepang dan

Korea Nilai

Pening- katan (%)

Subsahara Afrika 8,1 9,6 7,6 10,7 45

Asia 12,7 15,6 15,6 22,8 85

Amerika Latin dan Karibia 37,1 29,2 32,5 46,4 47

Negara berkembang lain (29,4) (21,4) (30,1) (9,1) 38

Seluruh negara berkembang 31,4 42,6 25,7 60,8 198

Sumber : IFPRI (2003)

Bagi negara-negara sedang berkembang dimana sektor pertanian masih

cukup dominan dalam penciptaan Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan

lapangan kerja dan perolehan devisa, maka dampak kebijakan proteksi dan subsidi

pertanian negara-negara maju tentu jauh lebih buruk lagi. Kebijakan proteksi dan

kebijakan perdagangan negara maju tidak saja melumpuhkan perekonomian desa

7

tetapi juga perekonomian makro secara keseluruhan. Fundamental ekonomi makro

yang rawan amat beresiko terperosok kedalam krisis ekonomi yang dapat

berkelanjutan menjadi krisis multi dimensi ekonomi-sosial politik.

Kebijakan subsidi dan proteksi negara-negara maju bersifat ofensif terhadap

negara-negara sedang berkembang (beggar they neighbour policy). Kebijakan they

neighbour policy sungguh tidak etis dan tidak adil. Oleh karena itu, negara-negara

sedang berkembang memiliki hak membela diri. Proposal special products dapat

dipandang sebagai dasar untuk mempertahankan hak azasi untuk membela diri (the

right to protect) atas kebijakan ofensif negara lain (Khan, et.al, 2003).

4. Fasilitas perlindungan keselamatan khusus (special safeguard) yang tersedia di dalam kesepakatan pertanian Putaran Uruguay yang kurang memadai dan pemanfaatannya amat sukar bagi negara-negara sedang berkembang.

Dalam kesepakatan pertanian Putaran Uruguay (Article 5) dan Article XIX

GATT (Agreement on Safeguards) memang tersedia mekanisme perlindungan

keselamatan khusus (special safeguard = SSG) yang dapat digunakan setiap negara

anggota untuk melakukan kebijakan ”penyelamatan” bila implementasi komitmen

WTO menimbulkan dampak berbahaya (injury) seperti lonjak impor (import surge)

dan atau anjlok harga (sharp price fall). Pada kondisi demikian, negara yang

memenuhi syarat dapat menetapkan tarif impor tambahan, menunda atau

memperlambat proses tarifikasi.

Fasilitas perlindungan ini memang tersedia untuk semua anggota WTO.

Namun demikian, mekanisme SSG amat sukar dimanfaatkan negara-negara sedang

berkembang karena setidaknya tiga alasan :

a. Proses administratif pemanfaatan SSG cukup rumit, membutuhkan dana,

kapasitas institusi dan kemampuan legal yang cukup tinggi (Matthews, 2003 ;

Khan, et.al. 2003).

b. Karena prosesnya panjang, kerusakan (injury) sudah terjadi lama sebelum

instrumen perlindungan efektif (Konandreas, 2000).

c. SSG bersifat terbatas, hanya berlaku untuk produk yang sedang mengalami

proses tarifikasi dalam rangka memenuhi ketentuan WTO.

d. SSG bersifat khusus resiko, yakni menanggulangi banjir impor (import surge)

dan anjlok harga.

e. SSG berlaku sementara (selama proses penyesuaian tarifikasi).

8

Dengan persyaratan demikian, tidak semua negara sedang berkembang

dapat memanfaatkan mekanisme SSG. Kalaupun dapat, hanya sejumlah produk

tertentu saja yang dapat dilindungi dengan fasilitas SSG. Seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 6, SSG hanya tersedia untuk 38 negara anggota, 22 negara diantaranya

merupakan negara sedang berkembang. Ironisnya jumlah produk yang dapat

dilindungi dengan fasilitas SSG lebih banyak untuk negara-negara maju daripada

negara-negara sedang berkembang. Dari total 6.072 produk layak lindung SSG,

hanya 1.930 (31,8 %) terbuka untuk negara-negara sedang berkembang,

sementara negara-negara maju 4.142 (68,2 %).

Tabel 6. Daftar negara dan jumlah produk yang dapat memperoleh perlindungan SSG

Australia (10)

Barbados (37)

Bostwana (161)

Bulgaria (21)

Canada (150)

Colombia (56)

Costa Rica (87)

Czech Rep. (236)

Ecuador (7)

El Savador (84)

EC 15 (539)

Guatemala (107)

Hungary (117)

Iceland (462)

Indonesia (13)

Israel (41)

Japan (121)

Korea (111)

Malaysia (72)

Mexico (293)

Marocco (274)

Namibia (166)

New Zealand (4)

Nicaragua (21)

Norway (581)

Panama (6)

Phillipines (118)

Poland (144)

Romania (175)

Slovak Rep. (114)

South Africa (166)

Swaziland (166)

Switzerland (961)

Thailand (52)

Tunisia (32)

United States (189)

Uruguay (2)

Venezuela (76)

Catatan : Angka didalam kurung adalah jumlah produk.

Baik dari segi eligibilitas dan cakupan produk maupun dari segi kemampuan

institusional dan legal, fasilitas SSG dalam kesepakatan pertanian tidak berimbang,

bias, lebih menguntungkan negara-negara maju. Dengan berbagai keterbatasan dan

dan ketidakadilan itulah perlu ada kesepakatan baru yang memungkinkan semua

negara-negara sedang berkembang dapat dengan cepat, mudah dan murah

melakukan tindakan atau kebijakan penyelamatan terhadap ancaman perusakan oleh

anjlok harga atau banjir impor akibat implementasi kesepakatan pertanian. Proposal

special products adalah opsi yang tepat untuk itu.

5. Segera setelah kesepakatan pertanian (agreement on agriculture) WTO mulai di implementasikan, harga produk pertanian cenderung menurun tajam dan berkelanjutan dan insiden banjir impor (import surge) pangan di negara-negara sedang berkembang meningkat drastis.

Periode implementasi kesepakatan pertanian (agreement on agriculture) WTO

ditandai oleh munculnya fenomena trend penurunan harga prooduk-produk pertanian

di pasar dunia secara tajam dan berkelanjutan, tidak saja dalam nilai riil tapi juga

9

dalam nilai nominal. Sebagai gambaran, selama periode tahun 1996-2003, harga riil

beras anjlok lebih dari 50 persen, harga riil jagung hampir 50 persen, harga riil kedele

sekitar 30 persen, sedangkan harga riil gula sekitar 20 persen (Tabel 7, Tabel 8,

Gambar 1, Gambar 2). Dapat dipastikan, anjlok harga ini meruoakjan akibat dari

liberalisasi perdagangan dan persaingan tidak sehat.

Kecendrungan penurunan harga dunia yang demikian tajam dan berkelanjutan

merupakan ancaman permanen yang amat membahayakan bagi negara-negara

sedang berkembang, tidak saja yang berstatus importir netto, tetapi juga yang

termasuk eksportir utama dunia. Kesepakatan pertanian WTO telah membuat sektor

pertanian dan agroindustri di negara-negara sedang berkembang semakin rawan

(vulnerable) terhadap ancaman anjlok harga berkepanjangan. Keharusan membuka

pasar telah menyebabkan dinamika harga dunia ditransasksikan langsung dan

sempurna ke pasar konsumen maupun petani produsen di seluruh negara-negara

anggota WTO.

Petani di negara-negara maju maju jelas mampu bertahan menghadapi anjlok

harga berkepanjangan tersebut karena tidak saja memiliki skala usaha yang amat

besar tetapi juga karena mereka memperoleh subsidi dan proteksi yang amat besar.

Sebaliknya petani di negara-negara sedang berkembang umumnya berupa usahatani

keluarga berskala kecil dan, kalaupun ada, memperoleh subsidi dan proteksi amat

kecil. Dengan demikian, dampak kecendrungan penurunan harga produk pertanian di

pasar dunia berdampak jauh lebih buruk terhadap petani, sektor pertanian dan

perekonomian desa di negara-negara sedang berkembang daripada di negara-

negara maju.

10

Tabel 7. Perkembangan Harga Beras Thai 25 %, Kedele, Jagung dan Gula Internasional 1995-2003

Nominal Nominal Nominal Nominal Riil Riil Riil Riil Thai 25 % Kedele Jagung Gula

IHK 84 = 100 Thai 25 % Kedele Jagung Gula Tahun

( US$/MT) ( US$/MT) 1995 304.50 259.17 123.49 44.03 152.38 199.67 170.02 80.98 28.85 1996 331.80 304.83 165.82 49.31 156.86 211.60 194.37 105.82 31.44 1997 289.96 295.40 117.11 48.36 160.53 180.73 184.07 72.96 30.12 1998 275.99 242.83 101.99 48.64 163.01 169.33 149.03 62.59 29.84 1999 216.21 201.67 90.23 46.60 166.58 129.88 121.09 54.19 27.99 2000 172.83 211.83 88.63 42.76 172.19 100.46 123.05 51.50 24.82 2001 152.85 195.83 90.45 47.04 177.03 86.34 110.63 51.10 26.57 2002 174.93 212.67 99.58 46.12 179.78 97.31 118.22 55.36 25.65 2003 180.94 257.27 105.28 47.76 183.99 98.35 139.77 57.22 25.96

Rataan 233.33 242.39 109.18 46.73 168.04 141.52 145.58 65.75 27.92 Sumber : World bank (2003)

11

Tabel 8. Perkembangan Harga Beras Thai 25 %, Kedele, Jagung dan Gula 1996-2003, 1996 = 100

Harga Nominal Harga Riil Thai 25 % Kedele Jagung Gula Thai 25 % Kedele Jagung Gula Tahun

( US$/MT) IHK USA, 1984 = 100

( US$/MT) 1996 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 1997 87.39 96.91 70.63 98.07 102.34 85.41 94.70 68.95 95.82 1998 83.18 79.66 61.51 98.65 103.92 80.02 76.67 59.15 94.92 1999 65.16 66.16 54.41 94.50 106.19 61.38 62.30 51.21 89.05 2000 52.09 69.49 53.45 86.72 109.78 47.47 63.31 48.66 78.94 2001 46.07 64.24 54.55 95.39 112.86 40.80 56.92 48.29 84.52 2002 52.72 69.76 60.06 93.52 114.61 45.99 60.82 52.32 81.58 2003 54.53 84.40 63.49 96.87 117.30 46.48 71.91 54.08 82.58

Sumber : WorldBank, (2003).

12

Grafik Indek Harga Riil Internasional Beras Thai 25%, Kedele, Jagung dan Gula 1996 - 2003, 1996 = 100

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

110.00

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Tahun

Inde

k (%

)

Beras Thai 25 % Kedele Jagung Gula

13

Grafik Indek Harga Nominal Internasional Beras Thai 25%, Kedele, Jagung dan Gula 1996 - 2003, 1996 = 100

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

110.00

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Tahun

Inde

k (%

)

Beras Thai 25% Kedele Jagung Gula

14

Tabel 9. Kasus insiden banjir impor pangan di negara-negara sedang berkembang

Negara Terigu Beras Jagung Minyak nabati

Daging sapi

Daging babi

Daging ayam Susu

Bangladesh 5 6 9 7 5 6 2 3 Benin 6 4 3 3 6 7 8 7 Bostwana 6 4 0 6 4 9 7 7 Burkina Faso 6 9 4 3 8 8 6 4 Cape verde 3 6 3 5 7 11 10 3 Comoros 4 5 4 6 5 3 11 4 Cote d’Ivoire 1 4 0 9 7 7 10 3 Dominican Republic

2 - 0 3 8 6 6 3

Guinea 6 5 8 9 7 5 9 6 Guinea-Bissau 6 10 2 6 6 5 9 4 Haiti 1 2 4 7 4 9 8 5 Honduras 8 5 0 8 6 8 11 3 Jamaica 3 4 3 9 3 6 3 1 Kenya 11 3 5 7 4 6 5 4 Madagascar 8 5 7 5 3 8 5 5 Malawi 7 3 9 7 5 7 10 2 Mali 4 5 5 8 8 8 5 7 Mauritania 5 2 4 5 4 5 9 2 Mauritius 2 0 2 1 7 9 6 0 Marocco 6 4 10 0 5 - 13 0 Niger 8 7 9 8 5 6 5 6 Peru 3 4 4 4 4 9 9 6 Philippines 7 9 7 9 12 9 14 5 Togo 6 8 7 7 3 3 8 5 Uganda 10 4 8 11 4 3 2 1 Unitred Republic of Tanzania

8 5 6 10 6 7 4 5

Zambia 4 2 4 4 8 8 5 6 Sumber : FAO (2003)

Perbedaan antara keharusan membuka pasar dan anjlok harga di pasar dunia telah

menyebabkan banyak negara-negara sedang berkembang kebanjiran impor (import surge).

Ironisnya, banjir impor terutama terjadi untuk produk bahan makanan utama sumber energi,

protein dan vitamin. Bukti empiris di tentang fenomena tingginya frekuensi banjir impor di

tunjukkan pada Tabel 9. Secara rata-rata, insiden impor terjadi sekali dalam tiga tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh FAO (2003) tersebut juga menyimpulkan bahwa frekuensi

insiden banjir impor tersebut terjadi lebih sering setelah periode tahun 1994, pasca implementasi

kesepakatan pertanian WTO.

Insiden banjir impor merupakan salah satu indikator utama faktor resiko sistem

ketahanan pangan nasional. Banjir impor yang terjadi berkelanjutan menyebabkan melonjaknya

ketergantungan terhadap bahan pangan impor atau anjloknya kemandirian pangan yang

berdampak pada semakin rawannya (vulnerable) sistem ketahanan pangan nasional terhadap

ketersediaan dan fluktuasi harga produk pangan di pasar dunia. Ketahanan pangan nasional

semakin rawan terhadap kebijakan strategis (misalnya penggunaan ekspor pangan sebagai

senjata politik) oleh negara-negara eksportir pangan utama. Fenomena peningkatan insiden

15

banjir impor di negara-negara sedang berkembang merupakan bukti empiris yang tak

terbantahkan bahwa mekanisme SSG yang terdapat dalam kesepakatan pertanian (AoA) tidak

efektif untuk mencegah dampak negatif liberalisasi perdagangan terhadap sistem ketahanan

pangan negara-negara sedang berkembang.

OPSI CARA PENETAPAN PRODUK STRATEGIS

Setidaknya ada empat proposal mengenai cara penetapan produk strategis yang layak

dijadikan sebagai “ Special Products “

1. Pendekatan daftar positif (positive list approach)

Negara-negara sedang berkembang menetapkan sendiri (self-declared) produk-produk

pertanian apa saja yang termasuk dalam dan tunduk kepada kesepakatan WTO

2. Pendekatan daftar negatif (negative list approach)

Negara-negara sedang berkembang menetapkan sendiri (self-declared) sejumlah terbatas

produk strategis yang dikecualikan dari kesepakatan pertanian WTO.

3. Pendekatan kelompok produk (product grouping definition)

Sejumlah terbatas produk dalam suatu kelompok, misalnya kelompok serealia, termasuk

beras, ditetapkan layak mendapatkan status perlakuan khusus dan berbeda (special and

differential treatment).

4. Pendekatan kriteria obyektif (objective criteria approach).

Komoditas strategis yang layak dijadikan sebagai Special Products ditetapkan berdasarkan

kriteria obyektif, dapat diukur secara kuantitatif, serta menggunakan data empiris yang

tersedia di negara-negara sedang berkembang pada umumnya dan terbuka bagi siapa

saja.

Opsi-1 dan opsi-2 dapat dilakukan dengan suatu kriteria tertentu. Opsi-1 misalnya dapat

menggunakan kriteria umum ambang atas pangsa ekspor di pasar dunia. Opsi-2 antara lain

dapat menggunakan batasan makanan pokok. Namun demikian, kedua opsi ini bersifat

subyektif. Selain itu, jumlah produk yang potensial layak dijadikan Special products mungkin

terlalu banyak sehingga dipandang sebagai suatu kemunduran dari keberhasilan kesepakatan

pertanian WTO.

Opsi-3 dapat ditetapkan berdasarkan konsensus umum, untuk keperluan jaminan

ketahanan pangan. Kesulitannya, kalau hanya berdasarkan kriteria bahan makanan pokok maka

produk lain yang mungkin saja memiliki peran strategis untuk kehidupan masyarakat miskin

menjadi tidak layak sebagai “ Special Products” . Selain itu, kriteria yang digunakan terlalu

umum, sehingga yang layak dijadikan sebagai “ Special Products “ mungkin terlalu banyak.

16

Opsi-4 bersifat obyektif sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman umum yang dapat

diuji oleh siapapun. Masalahnya ialah bagaimana menetapkan indikator dan kriteria yang dapat

diterima semua pihak. Indikator komoditas strategis mungkin berbeda bagi setiap negara

tergantung pada kondisi ekonomi, sosial dan politik masing-masing negara. Selain itu, data

statistik untuk perhitungan indikator belum tersedia di semua negara sedang berkembang.

Setiap opsi mengandung kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dilihat dari segi

kepraktisan Opsi-2, pendekatan daftar negatif, mungkin merupakan cara paling sesuai untuk

menetapkan komoditas strategis yang layak dijadikan sebagai Special Products. Dalam konteks

ini, setiap negara sedang berkembang diperbolehkan menetapkan sendiri (self-declared),

sejumlah terbatas komoditas strategis yang amat sangat menentukan ketahanan pangan

nasionalnya. Batasan jumlah produk dapat ditetapkan berdasarkan konsensus perundingan,

sedangkan pemilihan produk dilakukan dengan kriteria obyektif tertentu. Barangkali, pendekatan

inilah yang dilakukan oleh Indonesia dalam menetapkan beras, jagung, kedele dan gula sebagai

komoditas strategis pada putaran perundingan terdahulu.

Walaupun cukup pragmatis dan layak diusulkan negara-negara sedang berkembang,

pendekatan Opsi-2 dengan pendekatan luas tersebut mendapatkan tantangan keras dari

negara-negara maju. Negara-negara maju hanya mau mempertimbangkan proposal “ Special

Products “ jika penetapan produk strategis yang layak mendapat perlakuan khusus dan berbeda

dilakukan berdasarkan kriteria obyektif (opsi-4). Indikatir dan kriteria haruslah di tetapkan

berdasarkan kerangka pikir yang logis, mengacu pada tujuan pembangunan untuk memenuhi

kebutuhan dasar manusia (basic needs), dapat diukur secara kuantitatif, dengan data yang

tersedia di setiap negara dan dapat diakses oleh semua pihak.

Desakan untuk mempergunakan pendekatan kriteria obyektif (opsi-4) dapat dipahami

sebagai strategi untuk membatasi jumlah produk yang layak dijadikan sebagai “ Special

Products “. Pandangan ini wajar karena jika jumlah produk kategori “ Special Products “ terlalu

banyak maka kesepakatan pertanian mengalami kemunduran. Selain itu, dengan pendekatan

kriteria obyektif maka penilaian, memonitoring dan evaluasi kelayakan “ Special products “ dapat

dilakukan oleh semua pihak berkepentingan. Namun demikian, penurunan indikator dan kriteria

yang valid, praktis, dan dapat diterima semua anggota WTO bukanlah pekerjaan mudah.

INDIKATOR DAN KRITERIA OBYEKTIF PODUK STRATEGIS

Metoda obyektif dalam penetapan produk strategis yang layak dijadikan “ Strategic

Products “ haruslah dirancang dengan kisi-kisi pokok sebagai berikut :

1. Berlaku umum (generalized application).

17

Metode yang dibuat haruslah diterima dan berlaku bagi setiap anggota WTO yang layak

mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment) yakni

seluruh negara-negara sedang berkembang. Syarat ini mutlak harus dipenuhi sebagai

implementasi dari prinsip dasar persamaan hak, kewajiban dan perlakuan bagi semua

anggota WTO. Oleh karena itu, indikator dan kriteria haruslah memenuhi syarat-syarat

berikut :

a. Berkorelasi erat atau koheren dengan tujuan pembangunan yang secara universal

telah disiapkan sebagai prioritas pembangunan global yakni pemantapan ketahanan

pangan (food security), kehidupan penduduk (people livelihood), serta pembangunan

desa yang stabil dan berkelanjutan (stable and sustainable rural development).

b. Dapat diukur secara kuantitatif dengan prosedur sederhana dan mudah. Untuk itu,

indikator terpilih haruslah didasarkan pada variabel yang telah umum digunakan

dalam evaluasi kinerja pembangunan negara-negara sedang berkembang. Rumus-

rumus perhitungan indikator dan penetapan kriteria haruslah sesederhana mungkin

sehingga perhitungan dapat dilakukan oleh juru runding atau teknisi umum dengan

cepat.

2. Dapat dijadikan dasar pemikiran obyektif (objective judgment) oleh semua pihak

berkepentingan.

Prinsip ini dimaksudkan agar penetapan komoditas strategis tidak dilakukan secara

sembarangan oleh anggota WTO yang layak untuk mendapatkan perlakuan khusus dan

berbeda. Semua pihak yang berkepentingan dapat melakukan pengujian apakah usulan

produk strategis memang sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Oleh karena

itu, indikator yang digunakan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Didasarkan pada variabel yang data statistiknya tersedia di seluruh negara-negara

sedang berkembang.

b. Data statistik yang diperlukan dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan.

3. Selektif.

Indikator dan kriteria yang digunakan harus bersifat selektif sehingga jumlah produk yang

memenuhi syarat sebagai komoditas strategis terbatas pada yang benar-benar amat

sangat penting saja. Pembatasan jumlah produk amat penting, karena kalau tidak,

kesepakatan pertanian WTO akan mengalami kemunduran nyata. Hal ini jelas akan

mendapatkan tantangan luas dari anggota-anggota dominan WTO. Untuk itu, kriteria

batasan ambang (threshold) penentuan komoditas strategis haruslah didasarkan pada

norma konsensus historis, bukti empiris atau bukti akademis.

18

4. Kondisional.

Keberadaan suatu poroduk sebagai komoditas strategis atau Special Products bersifat

tidak permanen, sepanjang masa. Peran strategis suatu produk bersifat dinamis

meningkat atau minimum, tergantung pada kondisi struktur dan tingkat kemajuan negara

bersangkutan. Jumlah dan jenis produk yang memenuhi syarat sebagai produk pertanian

strategis dapat berubah menurut waktu. Oleh karena itu, indikator yang digunakan dapat

berlaku untuk setiap komoditas pertanian, di setiap negara, pada setiap tahapan

pembangunan.

Telah dikemukakan, tiga tujuan pembangunan yang secara universal diterima sebagai

prioritas dan mutlak untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, di negara-negara

sedang berkembang khususnya, yakni ketahanan pangan (food security), penghapusan

kemiskinan / peningkatan kualitas hidup manusia (poverty eradication / people livelihood

improvement), dan pembangunan desa berkelanjutan (sustainable rural development). Ketiga

prioritas tujuan pembangunan tersebut saling berkaitan. Ketahanan pangan aling pengaruh-

mempengaruhi dengan kemiskinan maupun dengan pembangunan desa. Walaupun demikian,

kiranya dapat diidentifikasi variabel pembangunan atau indikator yang paling berkorelasi erat

dengan setiap tujuan pembangunan tersebut.

Indikator yang paling tepat untuk mencirikan peranan suatu produk dalam pemantapan

ketahanan sistem pangan ialah kontribusinya dalam penyediaan zat gizi, utamanya kalori dan

protein, bagi penduduk. Tegasnya, kontribusi suatu produk dalam penyediaan total kalori dan

atau protein secara nasional dapat merupakan indikator yang tepat untuk peranan ketahanan

pangan. Data statistik untuk itu tersedia untuk semua negara dalam pengkalan data FAO

sehingga dapat dihitung secara empiris dan berlaku umum untuk semua negara.

Indikator yang paling sesuai untuk mengukur peranan suatu produk pertanian dalam

pengentasan kemiskinan atau perbaikan kehidupan penduduk (poverty eradication and people

livelihood improvement) ialah kontribusinya dalam penciptaan lapangan kerja. Perolehan

lapangan kerja merupakan syarat mutlak untuk memperoleh pendapatan, yang berarti syarat

mutlak untuk penghapusan kemiskinan dan perbaikan tingkat kehidupan ekonomi. Kontribusi

(pangsa dalam persen) suatu produk dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian dapat

dijadikan sebagai ukuran derajat peran strategisnya dalam penghapusan kemiskinan dan atau

perbaikan kualitas kehidupan ekonomi penduduk.

Peran suatu produk pertanian dalam dinamisasi perekonomian desa dapat diukur

berdasarkan kontribusniya dalam total nilai hasil produk pertanian. Perekonomian desa

umumnya berbasis pada usaha pertanian. Jika demikian halnya, besaran perekonomian suatu

desa ditentukan oleh nilai produksi hasil usaha pertanian yang ada di desa tersebut. Semakin

19

tinggi pangsa suatu produk pertanian dalam total nilai produksi pertanian, semakin penting

peranan produk tersebut dalam mendinamisasi perekonomian desa secara nasional.

Kontribusi yang diukur dengan persentase pangsa menunjukkan peranan relatif dalam

nilai absolut pada suatu waktu tertentu. Selain dalam nilai absolut, kinerja pembangunan juga

diukur berdasarkan derajat kerawanan (vulnerability), kerapuhan (fragility), dan keberlanjutan

(sustainability). Derajat kerawanan dapat diukur dengan indikator ketergantungan impor (import

dependenc). Semakin besar ketergantungan terhadap impor, semakin rentan produk tersebut

terhadap cekaman gejolak pasar internasional.

Kerapuhan (fragility) menunjukkan derajat ketahahan suatu produk dalam menghadapi

gejolak pasar internasional. Kerapuhan antara lain dapat diukur dengan fluktuasi insiden banjir

impor (import surge incidence). Insiden banjir impor mencerminkan ketidakmampuan suatu

produk dalam menghadapi desakan penetrasi produk pesaing dari negara lain. Semakin tinggi

fluktuasi, insiden banjir impor suatu produk, semakin rapuh eksistensi usaha atau produk

tersebut di dalam negeri.

Keberlanjutan (sustainability) merupakan indikator eksistensi usaha atau produksi

domestik dalam jangka panjang. Secara sederhana, keberlanjutan dapat di ukur berdasarkan

trend produksi menurut waktu. Produk yang volume produksinya semakin menurun

berkepanjangan merupakan petunjuk produk tersebut sedang dalam ancaman keberlanjutan

eksistensi. Semakin tinggi trend laju penurunan produksi, semakin cepat produk tersebut

mencapai titik kepunahannya. Koefisien trend pertumbuhan produksi dapat dihitung dengan

regresi sederhana.

Berdasarkan uraian diatas, diusulkan 6 (enam) indikator penciri produk strategis, yaitu :

1. Persentase pangsa dalam nilai total produksi pertanian domestik (peranan dalam

perekonomian desa).

2. Presentase pangsa dalam penyediaan zat gizi, kalori dan protein (peranan dalam

ketahanan pangan).

3. Persentase pangsa dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian (peranan

dalam pengentasan kemiskinan atau kehidupan penduduk).

4. Ketergantungan terhadap impor (kerentanan).

5. Insiden banjir impor (kerapuhan).

6. Trend pertumbuhan (keberlanjutan).

Tiga indikator pertama menunjukkan kontribusi relatif suatu produk dalam menentukan

dinamika perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan

ekonomi penduduk, tiga indikator utama yang disepakati luas sebagai tujuan utama

20

pembangunan pertanian. Pertanyaan selanjutnya ialah apa kriteria yang tepat untuk

menetapkan segnifikan tidaknya kontribusi tersebut ?. Dalam hal ini norma yang dapat

digunakan antara lain ialah derajat nyata yang umum dipakai dalam statistik :

a. Kurang dari 5 persen : kontribusi tidak nyata

b. 5-10 persen : kontribusi nyata

c. Lebih dari 10 persen : kontribusi besar.

Berdasarkan norma tersebut, kriteria yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu produk

layak disebut sebagai komoditas strategis adalah sebagai berikut :

a. Berkontribusi besar (pangsa lebih dari 10 persen) dalam setidaknya satu dari tiga

indikator tujuan pembangunan pertanian.

b. Berkontribusi nyata (pangsa lebih dari 5 persen) dalam setidaknya dua dari tiga indikator

tujuan utama pembangunan.

Jika untuk setiap poin persentase diberi nilai skor satu, maka ambang minimum jumlah skor

kontribusi agar suatu produk memenuhi syarat kecukupan sebagai produk strategis adalah 10

(Tabel 10).

Ketergantungan terhadap impor dihitung sebagai rasio (persen) nilai impor di dalam total

konsumsi (pasokan) domestik. Usaha produksi domestik atau sistem ketahanan pangan

nasional dikatakan rawan terhadap gejolak pasar dunia jika ketergantungan impor lebih dari 10

persen. Jika untuk setiap poin persentase ketergantngan impor diberi nilai skor satu, maka

kriteria ambang maksimum agar suatu produk pertanian dapat dikatakan rawan terhadap proses

liberalisasi sehingga layak di lindungi melalui perlakuan Special Products adalah 10.

Insiden banjir impor (import surge) diidentifikasi sebagai kasus lonjak impor yang mencapai

lebih dari 20 persen diatas rata-rata bergerak 5 tahun (5-year moving average). Insiden banjir

impor merupakan cermin kerapuhan (fragility) usaha produksi domestik terhadap penetrasi

barang impor. Insiden banjir impor dihitung untuk suatu periode yang cukup panjang (15-20

tahun). Suatu produk dikatakan rapuh jika frekuensi insiden banjir impor mencapai 25 persen

atau lebih.

Trend pertumbuhan produksi adalah laju pertumbuhan eksponensial sejak tahun 1995

(pasca implementasi kesepakatan WTO). Dalam prakteknya, laju pertumbuhan di hitung

sebagai hasil dugaan koefisien regresi logaritma produksi terhadap tahun. Suatu produk

dikatakan berada dalam ancaman ketidakberlanjutan eksistensi jika koefisien pertumbuhan

nyata dan bertanda negatif. Rangkuman indikator dan kriteria Special products ditampilkan pada

Tabel 10.

21

Tabel 10. Indikator dan kriteria produk strategis (SP).

Indikator Kisaran skor Kriteria SP

1. Pangsa dalam nilai produksi pertanian

2. Pangsa dalam nilai zat gizi (max, a,b)

a. Kalori

b. Protein

3. Pangsa dalam penyerapan tenaga kerja pertanian

4. Jumlah pangsa (1+2+3)

5. Ketergantungan terhadap impor

6. Frekuensi banjir impor

7. Trend pertumbuhan produksi

0-100

0-100

0-100

0-300

0-100

0-100

> 10

> 10

> 10

> 10

> 10

> 25

Negatif

UJI KELAYAKAN BERAS, JAGUNG, KEDELE DAN GULA

SEBAGAI PRODUK STRATEGIS BAGI INDONESIA

Metode obyektif penentuan produk strategis yang telah dirumuskan pada bagian

terdahulu selanjutnya di pergunakan untuk menguji kelayakan beras, jagung, kedele dan gula

sebagai produk strategis bagi Indonesia sebagaimana telah dideklarasikan secara subyektif oleh

delegasi pemerintah pada putaran perundingan WTO . Evaluasi dengan metode obyektif ini

amat penting sebagai bahan pertimbangan bagi delegasi pemerintah Republik Indonesia

(DELRI) dalam perundingan lanjutan di masa mendatang.

Hasil perhitungan indikator kontribusi dalam nilai produksi pertanian (pembangunan

desa), konsumsi zat gizi (ketahanan pangan) dan penyerapan tenaga kerja (pengentasan

kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan) ditampilkan pada Tabel 11. Beras terbukti sebagai

kontributor utama (major contributor) untuk ketiga indikator tujuan utama pembangunan. Nilai

produksi beras mencapai 28,28 persen dari total nilai produksi pertanian yang berarti beras

merupakan mesin penggerak sebagian besar perekonomian desa. Beras merupakan

penyumbang utama zat gizi, baik kalori (51,42 persen) maupun protein (43,39 persen).

Agribisnis beras juga penyumbang utama lapangan kerja sektor pertanian dengan pangsa 30

persen. Tidak dapat terbantahkan beras merupakan komoditas strategis bagi Indonesia.

22

Tabel 11. Kontribusi beras, jagung, kedele dan gula dalam indikator kinerja Pembangunan

Konsumsi zat gizi (%) Komoditi Nilai produksi

pertanian (%) Kalori Protein

Penyerapan tenaga kerja Jumlah skor

1 2 3 4 5 = 1+Max(2,3)+4

Beras 28.28 * 51.42 * 43.39 * 29.64 * 109.34 *

Jagung 2.86 8.23 3.36 5.70 16,79 *

Kedele 2.83 2.75 11.60 * 5.59 20.02 *

Gula 3,27 6,19 0,07 2,42 12,88 *

Catatan : *) menunjukkan kelayakan sebagai produk strategis

Sumber data : Nilai produksi dan serapan tenaga kerja dari Tabel Input-Output 2000, BPS. Konsumsi zat gizi dari Neraca Bahan Makanan, FAO

Ketergantungan terhadap impor beras tergolong rendah, atau tingkat kemandirian akan

beras tergolong tinggi. Namun demikian, frekuensi banjir impor beras tergolong tinggi yakni 40

persen atau dua kali dalam lima tahun selama periode tahun 1982-2001 (Tabel 12). Produksi

beras masih mengalami pertumbuhan positif, yang berarti ketidakberlanjutan belum menjadi

ancaman nyata. Tingginya insiden banjir impor menunjukkan bahwa usahatani padi atau

produksi beras tergolong rapuh. Oleh karena itu, beras amat memerlukan jaring pengaman

kebijakan, sehingga layak dimasukkan sebagai ” Special Product ”.

Kontribusi jagung, dalam nilai produksi pertanian tergolong kecil, hanya 2,86 persen.

Namun sebagai bahan makanan pokok dan penciptaan lapangan pekerjaan kontribusi jagung

cukup besar yakni berturut-turut 8,23 persen dan 5,70 persen. Dengan indikator tunggal jagung

tidak termasuk produk strategis. Akan tetapi dengan indikator agregat, jumlah kontribusi nilai

produksi, zat gizi dan tenaga kerja, jagung memenuhi syarat sebagai komoditas strategis

dengan jumlah skor 16,79.

Ketergantungan impor terhadap jagung tergolong rendah, hanya 5,89 persen. Produksi

jagung juga mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Namun demikian, insiden banjir impor

jagung amat tinggi dengan frekuensi 50 persen atau terjadi tiap dua tahun. Usahatani dan

produksi jagung termasuk amat rendah sehingga amat rentan terhadap gejolak pasar luar

negeri. Oleh karena itu, jagung layak dimasukkan sebagai salah satu produk strategis bagi

Indonesia.

Kedele merupakan salah satu bahan pangan utama sumber protein bagi penduduk

Indonesia dengan kontribusi 11,60 persen. Dengan indikator kontribusi terhadap zat gizi saja,

kedele memenuhi syarat sebagai komoditas strategis. Kontribusi dalam nilai produksi pertanian

tergolong kecil, hanya 2,83 persen, sedangkan dalam penciptaan lapangan kerja tergolong

cukup nyata yakni 5,59 persen.

23

Kedele tergolong rawan dan rentan terhadap gejolak pasar internasional. Tingkat

ketergantungan terhadap impor amat tinggi, mencapai 45,69 persen, demikian juga dengan

frekuensi insiden banjir impor, yang mencapai 45 persen atau hampir sekali tiap dua tahun.

Kedele juga terancam oleh masalah ketidakberlanjutan seperti yang di indikasikan oleh trend

pertumbuhan produksi negatif. Dengan demikian, kedele layak dijadikan sebagai salah satu ”

Special Products ” bagi Indonesia.

Dengan indikator tunggal, gula tidak layak sebagai produk strategis bagi Indonesia.

Kontribusi produksi gula dalam nilai produksi pertanian hanya 3,27 persen, kalori 6,19 persen,

dan penyerapan tenaga kerja 2,42 persen. Namun demikian, dengan menggunakan indikator

agregat, gula layak disebut sebagai komoditas strategis dengan jumlah skor ketiga indikator

tunggal 12,88 persen.

Tabel 12. Indikator kerawanan, kerapuhan dan keberlanjutan produksi beras, jagung, kedele dan gula

Komoditi Ketergantungan impor Insiden banjir impor (%) Koefisien pertumbuhan produksi

Beras 6.53 40 * 0.22

Jagung 5.89 50 * 0,61

Kedele 45.69 * 45 * -11.04 *

Gula 42.05 * 60 * -4.09 *

Sumber data : FAO Catatan : *) Diatas ambang kriteria produk strategis 1) Persentase frekuensi periode 1982-2001 2) Trend eksponensial 1996-2001

Ketergantungan terhadap impor gula amat tinggi, yakni 42,05 persen, yang berarti gula

amat rawan terhadap gejolak pasar internasional. Frekuensi insiden impor juga amat tinggi,

mencapai 60 persen, terjadi tiap dua tahun. Produksi gula juga terancam tidak berkelanjutan

sebagaimana ditunjukkan oleh trend produksi yang menurun. Dengan demikian, gula amat

mendesak ditempatkan sebagai salah satu ” Special products ” bagi Indonesia.

KESIMPULAN

Berdasarkan indikator dan kriteria kuantitatif-obyektif yang dirumuskan dalam makalah

ini, beras, jagung, kedele dan gula merupakan komoditas strategis yang amat menentukan

keberhasilan untuk mewujudkan tujuan utama pembangunan pertanian yakni dinamisasi

perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan, serta mengentaskan kemiskinan dan

meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk. Selain itu, keempat komoditas tersebut rentan

dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Bahkan kedele dan gula sudah dalam cekaman

24

ancaman tidak dapat berkelanjutan. Oleh karena itu, keempat komoditas tersebut layak

dijadikan sebagai ” Special Products ” bagi Indonesia. Indonesia perlu kukuh memperjuangkan

agar keempat produk strategis tersebut dikecualikan dari perundingan WTO.

Konsep, indikator dan kriteria ” Special Products ” yang disusun dalam makalah ini dapat

diusulkan sebagai metode kuantitatif-obyektif dalam penetapan ” Special Products ”. Setidaknya,

metode ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam memberi metode yang lebih sesuai.

Oleh karena itu, metode ini perlu didiskusikan secara luas sehingga metode yang definitif dapat

dirumuskan dan menjadi bahan bagi Delegasi Republik Indonesia dalam putaran Perundingan

WTO.

DAFTAR PUSTAKA

Diao, X., E.D. Bonilla, and S. Robinson. 2003. Till me where it hurts, An I Tell You Who to Call. Industrialized Countries Agriculture Policies and Developing Countries. International Food Policy Research Institute, Washington, DC.

Dixix, P.T. Josling and D. Blandford. 2001. The Current WTO Agriculture Negotiations : Options for

Progress, Synthesis. International Agricultural Trade Research Consortium Commissioned paper No. 18.

FAO. 2003. Support to the WTO Negotiations. http :// www. fao. Org / docrep / 005 /

y485e1.htm.download on December 4, 2003. FAO. 2003. Some Trade Policy Issues Relating to Trends in Agricultural Imports in the Context of Food

Security. Committee on Commodity Problems, 64th Session, Rome 18-21 March 2002. Food and Agriculture Organization.

IFPRI. 2003. How Much Does It Hurt ? International Food Policy Research Institute. Washington, D.C. Khan, A.A, S. Clarks, D. Green, and T. Rice. 2003. Agriculture Negotiations in the WTO. http : //

www.actionaid.org. Download December, 2003. Kwa, A. 2003. WTO Agriculture Talks Set to Exacubate Works Hungry.

http://www.arema.org.nz/WWthohung. htm. Download December 8, 2003. Mathews, A. 2003. Special and Differential Treatment Proposals in the WTO Agriculture Negotiations.

Contributed paper presented at the International Conference “ Agricultural Policy Reform and the WTO : where are we heading ? Capri (Italy), June, 23-26, 2003.

OECD. 2002. Agriculture Policies in OECD Countries. Monitoring and Evaluation 2002. Organization for

Economic Co-operation and Development. Paris. Reffer, T. 2003. Special Poducts : thinking through the details. Oxford Policy Management. Valdez, A. 2003. Special Safeguards for Developing Country Agriculture in WTO Negotiations.

Contributed paper presented at the International Conference “ Agricultural Policy Reform and the WTO : where are we heading ? Capri (Italy), June 23-26, 2003.