DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · ABSTRACT Eigenrechting or commonly termed the public and media to...
Transcript of DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · ABSTRACT Eigenrechting or commonly termed the public and media to...
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................................... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ............................................................................. ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ..................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/ PENGESAHAN .......................... iv
HALAMAN PENETAPAN PENGUJI ..................................................................... v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
ABSTRAK ................................................................................................................ xiv
ABSTRACT ................................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah ...................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 10
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................... 10
1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 10
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 11
1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................... 11
1.5.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 11
1.6 Landasan Teoritis ............................................................................... 11
1.7 Metode Penelitian ............................................................................... 18
1.7.1 Jenis Penelitian ........................................................................ 19
1.7.2 Jenis Pendekatan ...................................................................... 19
1.7.3 Sumber Bahan Hukum .......................................................... 20
1.7.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 21
1.7.6 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................................... 21
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1 Pertanggungjawaban Pidana ............................................................... 23
2.1.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana ........... 23
2.2 Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) ................................ 29
2.2.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Perbuatan Pidana ...................... 29
2.2.2 Pengertian dan Unsur-Unsur Perbuatan Main Hakim Sendiri
(eigenrechting) .................................................................................. 33
2.2.3 Ketentuan Pidana dan Jenis Pidana Yang Dapat Dijatuhkan Pada
Pelaku Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) .................... 37
BAB III AKIBAT HUKUM PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI
SEHINGGA MENYEBABKAN KEMATIAN
3.1 Pengaturan Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) Di Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ............................................ 40
3.2 Pengaturan Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) Yang
Menyebabkan Kematian Dalam Peraturan Di Indonesia ................ 46
3.1 Akibat Hukum Perbuatan Main Hakim Sendiri Sehingga
Menyebabkan Kematian ..................................................................50
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERBUATAN
MAIN HAKIM SENDIRI (EIGENRECHTING) SEHINGGA
MENYEBABKAN KEMATIAN
4.1 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perbuatan Main Hakim Sendiri
(Eigenrechting) Yang Menyebabkan Kematian............................... 52
4.2 Analisa Putusan Hakim Dengan Putusan Nomor : 140/ Pid.Sus/
2014/ PN. Nga ................................................................................. 56
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 65
5.2 Saran .................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
Main hakim sendiri atau yang biasa diistilahkan masyarakat luas dan media
massa dengan peradilan massa, penghakiman massa, pengadilan jalanan, pengadilan
rakyat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “EIGENRECHTING” yang
berarti cara main hakim sendiri, mengambil hak tanpa mengindahkan hukum.
Perbuatan main hakim sendiri (Eigenrechting) merupakan tindakan yang menyalahi
aturan hukum. Pengaturan tentang perbuatan main hakim sendiri secara langsung
belum tercantum di salah satu pasal-pasal baik di dalam Kitab Udang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undangaan lainnya di
Indonesia, namun terdapat beberapa pasal yang menjelaskan secara tersirat tentang
perbuatan main hakim sendiri. Maka dari itu, dalam penulisan ini permasalahan yang
diangkat adalah bagaimana pengaturan tentang perbuatan main hakim sendiri
(eigenrechting) di Indonesia dan bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku
perbuatan main hakim sendiri. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui
pengaturan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) di Indonesia dan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan main hakim sendiri sehingga
menyebabkan kematian. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini
adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini digunakan karena mengingat
terjadinya kekosongan norma dimana terdapat Pasal dalam KUHP yang secara
tersirat menyatakan bahwa adanya perbuatan main hakim sendiri namun tidak tertulis
secara jelas menyatakan bahwa perbuatan itu “main hakim sendiri”. Pengaturan
tentang perbuatan main hakim sendiri secara tersirat terdapat dalam Pasal 170 ayat
(2) butir 2 dan 3 KUHP, Pasal 338 KUHP, Pasal 351 ayat (1) dan (2) KUHP, Pasal
354 ayat (1) dan (2), Pasal 358 KUHP sedangkan pada peraturan perundang-undang
lainnya terdapat dalam Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum, Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun
1952 tentang senjata api, dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan main hakim sendiri
(eigenrechting) dilihat berdasarkan jenis tindak pidana yang telah memenuhi unsur-
unsur pidana pada salah satu pasal di KUHP. Pertanggungjawaban pidana terhadap
kasus dengan Putusan Nomor : 140/ Pid.Sus/ 2014/ PN. Nga yaitu dikenakan Pasal
338 KUHP karena atas perbuatannya dengan sengaja menghilangkan nyawa orang
lain.
Kata Kunci : Perbuatan, Main hakim sendiri, Pertanggungjawaban pidana
ABSTRACT
Eigenrechting or commonly termed the public and media to peradilan massa,
the judgment of the mass, street justice, the court society is a translation of the Dutch
language is "EIGENRECHTING" which means vigilante, taking the right irrespective
of law. The regulation of the act of eigenrechting directly have not been listed in
either the articles both in the Penal Code nor the laws and regulations in Indonesia,
however there are several articles that explain the implied act of eigenrechting.
Therefore, in this paper the problems raised is how the regulation of the act of
eigenrechting in Indonesia and how the criminal liability for the offender acts of
eigenreachting. This research purposed by for known the arrangement regulation of
eigenrechting in Indonesia and the criminal liability to eigenrechting offender until
causing the death victim. The method used in this research is a normative legal
research methods. This research was used because given the empty of the norm
where there is article of the Penal Code which implicitly provides that act of
eigenrechting but are not written explicitly stated that the action was eigenrechting.
The arrangement of the act of eigenrechting implicitly contained in Article 170
paragraph (2) items 2 and 3 Penal Code, Article 338 of the Penal Code, article 351
paragraph (1) and (2) Penal Code, article 354 paragraph (1) and (2), article 358
Penal Code whereas the laws and other regulations contained in Act No. 9 of 1998
on freedom of expression in public, Undang-Undang Darurat No. 12 of 1952 on
firearms, and Act No. 39 of 1999 on Human Rights, The criminal liability of the
eigenrechting offender divided by type of crime that have fulfilled the elements of
crime in one of the articles in the Penal Code. Criminal liability in cases with
Putusan: No. 140 / Pid.Sus / 2014 / PN. Nga is subjected to Article 338 of the Penal
Code because for the actions of case have deliberately omitted human life.
Keywords: act, eigenrechting, criminal liability
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan sarana untuk mengatur tiap individu dalam berkehidupan
bermasyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Hukum perlu ditegakkan, namun proses penegakan hukum
tersebut tidak mudah, hal ini terlihat dengan adanya perbuatan main hakim sendiri
(eigenrechting) yang terjadi di dalam masyarakat. Perbuatan main hakim sendiri
(eigenrechting) merupakan salah satu bentuk reaksi masyarakat karena adanya
pelanggaran norma yang berlaku di masyarakat.
Main hakim sendiri atau yang biasa diistilahkan masyarakat luas dan media
massa dengan peradilan massa, penghakiman massa, pengadilan jalanan, pengadilan
rakyat, amuk massa, anarkisme massa atau juga brutalisme massa, merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Eigenrechting” yang berarti cara main hakim
sendiri, mengambil hak tanpa mengindahkan hukum, tanpa sepengetahuan
pemerintah dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah.1
Penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia orang lain adalah merupakan
kewajiban baik itu oleh individu maupun oleh aparatur penegak hukum sendiri.
Adanya budaya perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) di masyarakat,
1 Septian Adyatma, 2016, “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Main Hakim Sendiri
(Eigenrechting) Terhadap Pelaku Pencurian”, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Mataram, h.
4.
merupakan tindakan yang jelas telah menyalahi aturan hukum.2 Adapun bentuk
pelanggaran hak atas aturan hukum tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 dan
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(selanjutnya disebut UU No 39 Tahun 1999). Ketentuan Pasal 4 UU No 39 Tahun
1999 yang dinyatakan sebagai berikut :
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No 39 Tahun 1999 yang dinyatakan sebagai berikut :
setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaannya.
Kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan main hakim sendiri
(eigenrechting) merupakan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum dan
melanggar hak asasi manusia.
Berbagai tindakan anarkis yang terjadi belakangan ini, merupakan perwujudan
dari apa yang diistilahkan oleh Smelser dalam bukunya H. Zainuddin yang berjudul
Sosiologi Hukum sebagai a hostile outburst (ledakan kemarahan) atau a hostile
frustration (ledakan tumpukan kekecewaan).3 Tingkat kepercayaan warga masyarakat
2 S. Feriansyah, 2011, tanpa judul, URL : http://e-journal.uajy.ac.id/689/2/1HK08470.pdf. diakses
tanggal 5 Oktober 2016.
terhadap pranata formal. Termasuk terhadap law enforcement, sudah teramat buruk.
Sudah menjadi adagium yang universal, ketika tingkat kepercayaan warga terhadap
penegakkan hukum itu memburuk, otomatis tingkat tindakan main hakim sendiri
(eigenrechting) akan meningkat, demikian sebaliknya. Wacana yang mengemukakan
bahwa Indonesia membutuhkan suatu strategi raksasa dalam upaya penanggulangan
tindakan anarki (eigenrechting) sangatlah beralasan. Apa yang dimaksudkan sebagai
strategi raksasa ialah pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan
aparat penegak hukum.4
Tindakan menghakimi sendiri (eigenrechting) tidak lain merupakan tindakan
untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang,
tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan. Hakekatnya tindakan menghakimi
sendiri ini merupakan pelaksanaan sanksi oleh perseorangan.5 Perbuatan main hakim
sendiri (eigenrechting) hampir selalu berjalan sejajar dengan pelanggaran hak-hak
orang lain, dan oleh karena itu tidak diperbolehkan. Perbuatan ini menunjukkan
bahwa adanya indikasi rendahnya kesadaran terhadap hukum.6
Unsur-unsur perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) dapat ditarik dari
beberapa pengertian diatas diantaranya yaitu adanya tindakan, adanya kehendak,
bersifat sewenang-wenang dan melawan hukum, serta tanpa persetujuan pihak lain.
3 H. Zainuddin Ali, 2008, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 60
4 Ibid.
5 Sudikno Mertokoesumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 23.
6 Ibid
Terjadinya perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) dapat disebabkan dari
beberapa teori kejahatan yaitu diantaranya teori kriminal, teori mental tester, dan teori
psikiatrik. Teori-teori tersebut dapat melatarbelakangi seseorang melakukan
kejahatan, namun tidak semua teori tersebut dapat terbukti.
Mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya perbuatan main
hakim sendiri secara langsung belum terdapat pengaturannya di dalam hukum positif
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP)
sendiri sebenarnya mengatur perbuatan main hakim sendiri, namun dalam
pengaturannya tersebut tidak dinyatakan secara langsung. Pengaturan mengenai
tindakan penganiayaan dapat dilihat pada Pasal 351 KUHP, dalam pasal tersebut
tidak disebutkan bahwa “penganiayaan” merupakan tindakan main hakim sendiri.
Contohnya ketika ada pelaku pencurian kendaraan bermotor yang tertangkap basah
oleh warga kemudian dipukuli beramai-ramai oleh warga tersebut, tindakan
“penganiayaan” dapat masuk atau dikategorikan sebagai tindakan main hakim
sendiri. Bentuk pertanggungjawaban pidana perbuatan main hakim sendiri yang
diatur di dalam KUHP selain terdapat dalam ketentuan Pasal 351 KUHP, terdapat
pula di dalam ketentuan Pasal 170 ayat (2) butir 2 dan 3 KUHP, Pasal 338 KUHP,
Pasal 354 ayat (1) dan (2) KUHP, Pasal 358 KUHP dan Pasal 363 KUHP yang
menyatakan:
1) Pasal 351 KUHP
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
2) Pasal 170 KUHP
Ayat 2 butir 2
Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat.
Ayat 2 butir 3
Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan
mengakibatkana maut.
3) Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4) Pasal 354 KUHP
Ayat (1):
Barang siapa sengaka melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
Ayat (2):
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
5) Pasal 358 KUHP
Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan dalam penyerangan atau
perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-
masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat
penyerangan atau perkelahian ituada yang luka-luka berat;
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada
yang mati.
6) Pasal 363 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. pencurian ternak
2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau
gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar,kecelakaan kereta
api, hura-hura, pemberontakan atau bahaya perang
3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau perkarangan rumah atau
perkarangan yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu
tidak diketahui atau tidak dikehendaki ole orang yang berhak;
4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau untuk sampai pada barang
yang diambil, dilakukan dengan merusak, memoong atau memanjat, atau
dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal
dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana paling lama sembilan tahun
Tindakan-tindakan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) hanya
ditanggapi dengan penanganan sangat parsial dan sempit oleh aparat penegak hukum
yang mengabaikan “akar masalah”nya sendiri dan perlu disadari bahwa perbuatan
main hakim sendiri itu lahir dalam suatu lingkungan yang kondusif baik secara
struktural maupun situasional.
Salah satu kasus pencurian di Kecamatan Jembrana yang menarik perhatian
adalah pada tahun 2014 terjadi kasus pencurian ayam yang mengakibatkan pelaku
pencurian meninggal karena salah satu pelaku pencurian di bacok oleh korban
pencurian. Kasus ini terjadi di kawasan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana
yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat Kota Negara. Kasus ini baru pertama
kali terjadi di Kabupaten Jembrana dan berbeda dengan kasus pencurian lainnya
karena korban pencurian melakukan pembunuhan terhadap pelaku pencurian
sehingga pelaku pencurian menjadi korban pembunuhan dan pelaku pembunuhan
menjadi korban pencurian. Kasus ini bermula ketika 5 orang anak SMA di Jalan
Mayor Sugianyar 1 melakukan pencurian ayam di Lingkungan Dauhwaru, Kelurahan
Dauhwaru pada malam hari di sebuah kebun yang terdapat kandang ayam beserta
ayam milik I Ketut Kaler. Aksi pencurian tersebut di pergoki oleh I Ketut Kaler. I
Ketut Kaler yang sedang membawa sabit, langsung mengejar anak SMA tersebut
sambil mengacung-acungkan sabitnya sehingga terjadi aksi kejar-kejaran. Akhirnya I
Ketut Kaler membacok salah satu dari pelaku pencurian hingga tewas.7
Tanggal 7 Oktober 2014 Pengadilan Negeri Negara mengeluarkan Putusan,
Nomor : 140/Pid.Sus/ 2014/ PN.Nga atas nama terdakwa I Ketut Kaler, Majelis
Hakim menyatakan bahwa “Perbuatan terdakwa Ketut Kaler telah memenuhi unsur-
unsur pada Pasal 338 KUHP terbukti secara sah melakukan tindak pidana
Pembunuhan.” Salah satu hal yang memberatkan adalah terdakwa telah melakukan
tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) dan korbannya masih anak-anak. Salah
satu hal yang meringankan adalah terdakwa merupakan korban tindak pidana
pencurian ayam yang dilakukan oleh korban bersama teman-temannya.8
Perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) yang dapat dilihat dari kasus di
atas adalah bermula ketika terdakwa I Ketut Kaler (korban pencurian ayam) mengejar
sekaligus mengacungkan sabit kearah kelima orang anak SMA yang menjadi pelaku
pencurian ayam di kebun milik terdakwa. Kemudian aksi tersebut dilanjutkan dengan
membacok salah satu pelaku pencurian hingga tewas. Apabila dicermati lebih lanjut,
seharusnya ketika terdakwa mendapati kelima pelaku sedang mencuri ayam terdakwa
7 Jatmiko Adhi Ramdhan, 2014, “Sabet Pencuri Ayam Dengan Sabit, Kaler Divonis 9 Tahun
Penjara”, URL : http://www.merdeka.com/peristiwa/sabet-pencuri-ayam-dengan-sabit-kaler-divonis-
9-tahun-penjara.html, diakses tanggal 5 Oktober 2016.
8 Pengadadilan Negeri Negara, 2014, Putusan Nomor : 140/Pid.Sus/ 2014/ PN.Nga, URL :
http://sipp.pn-negara.go.id/list_perkara/search_detail diakses pada tanggal 30 September 2016.
melaporkan hal tersebut kepada pihak berwenang dan tidak semestinya melakukan
perbuatan main hakim sendiri.
Putusan terkait kasus ini, perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur
yang terdapat dalam ketentuan Pasal 338 KUHP dan 351 ayat (3) KUHP. Unsur-
unsur dari perbuatan main hakim sendiri apabila dikaitkan dengan kedua pasal
tersebut diantaranya dilakukan dengan sengaja, mengakibatkan kematian atau
hilangnya nyawa seseorang. Vonis dijatuhkan terhadap terdakwa dikenakan pidana
penjara selama 9 tahun.
Hukum mengatur seseorang tidak dapat dianggap bersalah sebelum adanya
putusan pengadilan, di dalam proses peradilan tentunya telah ada pembuktian dan bila
telah terbukti bersalah barulah kemudian pelaku dapat dijatuhkan pidana. Tindakan
perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) juga bertentangan dengan asas praduga
tidak bersalah (Presumption of innocence) terkait dengan pencuri, bisa saja ia
mengambil barang yang sebenarnya kepunyaan sendiri. Eksistensi hukum pada
hakekatnya adalah untuk mengatur perhubungan hukum dalam pergaulan masyarakat,
baik antar orang seorang, orang yang satu dengan orang lain, antara orang dengan
Negara dan mengatur hubungan antar lembaga-lembaga Negara, dengan demikian
perbuatan semena-mena yang menjauhkan cita-cita hukum dapat dihindarkan
sehingga cita-cita bernegara dan berbangsa untuk mencapai keadilan social dapat
terwujud.9
9 Ibid.
Perbuatan main hakim sendiri (Eigenrechting) merupakan suatu perbuatan
sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena telah
melakukan suatu kejahatan. Pelaku kejahatan sesungguhnya mempunyai hak yaitu
memperoleh perlindungan hukum dan tidak diperbolehkan untuk menghakimi sendiri
pelaku kejahatan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dirasa perlu untuk
mengangkat skripsi dengan judul “ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP
PELAKU PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI (EIGENRECHTING) HINGGA
MENYEBABKAN KEMATIAN”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, ditemukan beberapa
permasalahan yang penting untuk dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana akibat hukum dari perbuatan main hakim (eigenrechting) sendiri
sehingga menyebabkan kematian?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan main
hakim sendiri (eigenrechting) sehingga menyebabkan kematian ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas
batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga pembahasan yang
diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang
diinginkan. Hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari
pokok permasalahan, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :
- Pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan tentang perbuatan
main hakim sendiri (eigenrechting) dalam peraturan di Indonesia.
- Kedua akan membahas tentang pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) sehingga
menyebabkan kematian.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi secara
keilmuan terkait pengaturan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) dan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku main hakim sendiri (eigenrechting)
hingga menyebabkan kematian.
b. Tujuan Khusus
Terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai dengan dilakukannya
penulisan hukum ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui pengaturan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting)
sehingga menyebabkan kematian di Indonesia;
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku main hakim sendiri
(eigenrechting) sehingga menyebabkan kematian.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah
bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya
pemahaman teoritis pengaturan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) di
Indonesia beserta pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku main hakim
sendiri (eigenrechting) sehingga menyebabkan kematian.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan
solusi kongkrit bagi para lembaga yang berwenang untuk membentuk undang-
undang serta bagi para lembaga penegak hukum, terkait dengan pengaturan
hukum terhadap perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) sehingga
menyebabkan kematian dan menindaklanjuti secara tegas mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku main hakim sendiri (eigenrechting)
hingga menyebabkan kematian.
1.6 Landasan Teoritis
1.6.1 Teori-teori penyebab terjadinya kejahatan
Kriminologi, dikenal adanya beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk
menganalisis permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori-
teori penyebab kejahatan tersebut terbagi antara lain :
a. Teori Born Criminal
Teori Born Criminal dari Cesare Lambrosso lahir dari ide yang diilhami
oleh teori Darwin tentang evolusi manusia. Lambrosso membantah sifat free will
yang dimiliki manusia. Doktrin atavisme menurutnya membuktikan adanya sifat
hewani yang diturunkan oleh nenek moyang manusia. Gen ini dapat muncul
sewaktu-waktu dari turunannya yang memunculkan sifat jahat pada manusia
modern. Ajaran inti dalam penjelasan awal Lambrosso tentang kejahatan adalah
bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan fisik, yang berbeda dengan non
criminal. Lambrosso mengklaim bahwa para penjahat mewakili bentuk
kemerosotan termanifestasikan dalam karakter fisik yang merefleksikan suatu
bentuk awal dari evolusi.10
b. Teori Mental Tester
Teori mental tester ini muncul pada dasarnya menjawab apa yang tidak bisa
dikemukakan oleh Lambrosso. Teori ini dalam metodologinya menggunakan tes
mental untuk membedakan penjahat dan bukan penjahat. Setiap penjahat adalah
10
Yesmil Anwar dan Adang, 2010, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, h. 53.
orang yang otaknya lemah, karena orang yang otaknya lemah tidak dapat
menilai perbuatannya, dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari
perbuatannya tersebut atau menangkap serta menilai arti hukum. Berdasarkan
pendapat tersebut, teori ini memandang kelemahan otak merupakan pembawaan
sejak lahir dan merupakan penyebab orang melakukan kejahatan. 11
c. Teori Psikiatrik
Sebagaimana dengan teori yang dikemukakan oleh Lambrosso dalam
bukunya Yesmil Anwar dan Adang yang berjudul Kriminologi, teori ini
menekankan pada gangguan emosional (unsur psikologi). Bagi teori ini,
gangguan emosional diperoleh dalam interaksi social.
Teori ini lebih banyak dipengaruhi oleh teori dari Sigmud Freud dalam
bukunya Yesmil Anwar dan Adang yang berjudul Kriminologi, tentang struktur
kepribadian. Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga, yaitu:
- Ego atau diri yang sadar, kepribadian sehari-hari yang jelas
- Id atau diri yang tak sadarkan, keinginan dan ingatan yang ditekankan
- Superego atau patokan moralitas masyarakat yang dipaksakan kepada
pribadi dari luar, yang dengannya orang yang bersangkutan dapat hidup. 12
1.6.2 Teori Pertanggungjawaban Pidana
11
Ibid, h. 54.
12
Ibid, h. 55.
Pada hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban”
merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan.13
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana ini menganut asas “Tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi
mens sir rea)”. Asas tersebut diakui melalui Pasal 1 ayat 1 KUHP.14
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah
seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atau
tidak. Apabila ternyata tindakannya bersifat melawan hukum dan mampu
bertanggungjawab maka dapat dipidana.
Kemampuan bertanggungjawab tersebut dapat dilihat dari segi kesalahan,
baik kesengajaan atau kealpaan. Serta apakah tindakan pelaku terdapat alasan
pembenar atau pemaaf atau tidak ada keduanya.
Moeljatno menyatakan bahwa untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal
disamping melakukan perbuatan pidana.
a. Pertama : adanya keadaan bathin yang tertentu, dan
b. Kedua : adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut
dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan.15
KUHP tidak mengatur ketentuan arti kemampuan bertanggung jawab,
namun terdapat pasal yang berhubungan yaitu Pasal 44 KUHP yang
menyatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
13
Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,
h. 107.
14
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 165.
15
Ibid, h. 171.
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan
atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.16
Moeljatno menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggung jawab
dalam Pasal 44 KUHP , ialah:
a. Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan
yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan huku;
b. Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Pertama merupakan faktor akal (intelektual faktor) yaitu dapat
membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.
Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional faktor) yaitu
dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang
diperbolehkan dan mana yang tidak.17
1.6.3 Teori Pemidanaan
Secara umum hukum pidana bertujuan untuk melindungi dan
mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya
ketertiban umum. Manusia mempunyai berbagai cara untuk memenuhi
kebutuhan hidup, terkadang cara yang dilakukan menimbulkan kerugian bagi
pihak lain.
Tujuan hukum pidana tidak harus dicapai dengan pengenaan pidana,
tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan
pengamanan. Perlu dibedakan antara pengertian pidana dan tindakan
(maatregel). Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada
pembuat karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir
16
Ibid.
17
Ibid, h.179.
tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena
tindakan dapat berupa nestapa juga tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana
dan tindakan dapat menjadi satu, yakni memperbaiki pembuat.18
Berkaitan dengan tujuan pidana, maka muncul teori-teori mengenai
tujuan pidana. Teori-teori tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Teori Absolute atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)
Pandangan dalam teori ini adalah bahwa syarat dan pembenaran dalam
penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari fungsi
praktis yang diharapkan dari penjatuhan pidana tersebut. Ajaran ini, pidana
terlepas dari dampaknya dimasa depan, karena telah dilakukan suatu
kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman. Maksud dan tujuan ajaran
absolute selain sebagai pembalasan, menurut pandangan Stammler dalam
bukunya Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan yang
berjudul Catatan Mahasiswa Pidana adalah untuk menunjukkan kepada
masyarakat bahwa hukum telah ditegakkan.19
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Teori ini berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib hukum dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk
mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib
18
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 27.
19
Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Pidana,
Indie Publishing. Jawa Barat, h. 35.
masyarakat tetap terpelihara. Teori relative penjatuhan pidana tergantung dari
efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang
tidak mengulangi perbuatannya.20
c. Teori Gabungan (Vernegins Theorien)
Teori gabungan adalah gabungan kedua teori yakni teori absolute atau
teori pembalasan dan teori relative atau teori tujuan . Gabungan kedua teori ini
mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata
tertib dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.21
Melihat pada teori di atas, dalam setiap penjatuhan pidana memiliki
maksud dan tujuan tertentu. Pada dasarnya terdapat tiga pemikiran tentang
tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan yaitu:
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;
b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan kejahatan;
c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang
dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.22
Berdasarkan tujuan pemidanaan yang telah dijabarkan sebelumnya,
sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
20
Ibid, h. 36.
21
Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cet.VI, Sinar Grafika, Jakarta, h.
105.
22
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 11
a. Pidana pokok :
- Pidana mati;
- Pidana penjara;
- Pidana kurungan;
- Pidana denda;
- Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
- Pencabutan hak-hak tertentu;
- Perampasan barang-barang tertentu;
- Pengumuman putusan hakim.
Sanksi yang dijabarkan pada Pasal 10 KUHP tersebut merupakan
jenis-jenis sanksi yang dijatuhhkan kepada pelaku yang terlibat dalam
perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting), sesuai dengan berat ringannya
akibat yang ditimbulkan dari perbuatan main hakim (eigenrechting) tersebut.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini termasuk dalam
kategori/jenis penelitian normative.23
Dipilihnya jenis penelitian normative karena
penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada untuk selanjutnya
23
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV Rajawali,
Jakarta, h. 15.
dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bentuk praktek hukum.24
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya
kekosongan norma hukum yang berkaitan dalam permasalahan penelitian, sehingga
didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber bahan hukum, yaitu berupa bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier. Dimana belum ada pengaturan tentang
perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) secara lengkap dan belum ada
pengaturan yang jelas atau norma kabur mengenai hal yang dimaksud dengan “main
hakim sendiri” dalam KUHP maupun di peraturan perundang-undangan yang lainnya.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini mengunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The Statue
Approach), pendekatan fakta (The Fact Approach), dan pendekatan analisis konsep
hukum (Analitical & The Conseptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian
ini.25
Pendekatan perundang-udangan (The Statue Approach) digunakan untuk
24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.
mengkaji beberapa aturan hukum yang ada dalam mengetahui pengaturan hukum
tentang perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting). Pendekatan fakta (The Fact
Approach) digunakan berdasarkan pada fakta-fakta atau kenyataan aktual yang terjadi
dalam masyarakat terkait dengan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting).
Pendekatan analisa konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach)
merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan yang
jelas tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku main hakim sendiri
(eigenrechting).
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini berasal dari :
1) Sumber bahan hukum primer
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni
berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat.26
Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah :
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum;
- Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
25 Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 302.
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press,
Jakarta, h. 34
- Putusan Nomor : 140/ Pid. Sus/ 2014/ PN. Nga.
2) Sumber bahan hukum sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis,
dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.27
Dipergunakan juga bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui
electronic research yaitu melalui internet dengan cara mengcopy atau mendownload
bahan hukum yang diperlukan.
3) Sumber bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia
dan kamus hukum.28
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan
dalam penelitian ini yakni teknik kepustakaan (study document) dan teknik
wawancara.29
Teknik kepustakaan (study document) adalah telaah kepustakaan
27
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 141.
28
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, h. 119.
29
H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.
dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi
dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.Teknik wawancara wawancara dalam kegiatan ilmiah dilakukan
bukan sekedar bertanya kepada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-
pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan
masalah penelitian kepada responden maupun informan, agar hasil wawancara
nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif
analisis dengan menggunakan metode sistematis, metode interprestatif dan metode
argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam
bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.
Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan sesuatu
dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang
berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab
akibat menyangkut obyeknya.30
Obyek yang dimaksud dalam skripsi ini yakni
tentang pertanggungjawaban pelaku perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting)
sehingga menyebabkan kematian.
30
Amiruddim dan H. Zainal Asikin, Op.cit., h. 128.
Metode interpretatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-
undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau
dengan keseluruhan sistem hukum.31
Karena suatu undang-undang pada hakikatnya
merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku
sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Metode argumentatif adalah alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan
secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum,
norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan
hukum, yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
perbuatan main hakim sendir (eigenrechting).
31
H. Zainuddin Ali, Op.cit., h.111.