BAB III TINJAUAN UMUM PLURALISME A. Pengertian Pluralisme
Transcript of BAB III TINJAUAN UMUM PLURALISME A. Pengertian Pluralisme
33
BAB III
TINJAUAN UMUM PLURALISME
A. Pengertian Pluralisme
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, “pluralism”. Apabila merujuk
dari Wikipedia bahasa Inggris, definisi Pluralism adalah: “In the social sciences,
pluralism is a framework in which groups show sufficient respect and tolerance
of each other, that hey fruitfully coexist and interact without confiuct or
assimilation.” Suatu ruang lingkup dimana tempat setiap kelompok menampilkan
rasa hormat dan toleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi
(pembauran/pembiasaan). Dalam kamus teologi, Pluralisme adalah pandangan
filosofis yang tidak menganggap segala sesuatu pada satu prinsip terakhir,
melainkan menerima adanya keragaman. Pluralisme dapat menyangkut bidang
cultural, politik dan religius.1
Sedangkan pluralisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
pluralisme adalah keadaan masyarakat yang mejemuk (bersangkutan dengan
sistem sosial dan politiknya).2
Saat ini, plualisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan
mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, pluralism, perbedaan itu
adalah:
1. Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural.
2. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar-ajaran agama.
1 Moh. Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama, Yogyakarta, Samudra Biru,
2011, hlm. 48 2 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(KBBI), Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2005, hal. 883
34
3. Pluralisme digunakan sebagai untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai
dengan ajaran agama lain alasan.
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa
pluralisme di Indonesia tidak sama dengan pluralism, melainkan bentuk sintetis
asimilasi yang dikemas dalam kata lain. Dan, tidaklah aneh jika kondisi ini
memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak. Sehingga pertentangan yang
terjadi semakin membingungkan disebabkan adanya perbedaan pemahaman dalam
mengartikan suatu bahasa, kerena munculnya kerancuan bahasa seorang yang
mengucapkan pluralisme-non-asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata
pluralisme-asimilasi, sudah semestinya muncul penelusuran pendapat agar tidak
timbul kerancuan.
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralisme-non-asimilasi, hal ini disalah
pahami sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, masyarakat yang terdiri
atas berbagai suku, ras, dan agama bukan sesuatu yang dianggap baik, dianggap
suatu kemunduran berbangsa. sementara di sisi lain bagi penganut definisi
pluralisme-asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka
kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda pemikiran
dan perkembangan.
Pluralisme tidak hanya menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Namun, yang dimaksud bagaimana pluralisme terlibat aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat
dijumpai dimana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat bekerja, di
sekolah tempat belajar, bahkan di pasar tempat berbelanja. Tapi seseorang baru
35
dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif
dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme
agama adalah bahwa setiap pemeluk agama di tuntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.3
B. Pluralisme dalam Agama
1. Sejarah dan Perkembangan Pluralisme Agama
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan
(enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering
disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu
masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia
yang berorientasi pada superioritas akal (nasionalisme) dan pembebasan akal dari
kukungan-kukungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di
Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dan konflik-konflik yang terjadi
antra gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang
dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan,
toleransi, persamaan dan keraganan atau pluralisme.
Oleh karena paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai mazhab
sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk
gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik.
Maka tidaklah aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul
3 Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta, Kanisius, 2007,
Hlm. 27-29
36
dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik”, yang merupakan produk dari
“liberalisme politik”. Muhammad Legenhausen, seorang pemikir Muslim
Kontemporer, juga berpedapat bahwa munculnya faham “liberalisme politik” di
eropa pada abad ke-18, sebagian besar didorong oleh kondisi masyarakat yang
carut-marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis
dan sektarian yang pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar ras,
sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan. Jelas, faham “liberalisme”
tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen
Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun
kondisi pluralistic semacam ini hanyalah terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa
untuk sekian lama, baru kemudian pada abad ke-20 berkembang hingga mencakup
komunitas-komunitas lain di dunia.
Meskipun hembusan angin pluralisme telah mulai mewarnai pemikiran
Eropa pada saat itu, namun masih belum secara kuat menakar dalam kultur
masyarakat. Beberapa sekte Kristen masih mengalami perlakuan dikriminatif dari
gereja. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama
sebenarnya merupaka upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen
untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini, gagasan
pluralisme agama bisa dilihat sebagai salah satu elemen gerakan reformasi
pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen
pada abad ke-19, dalam gerakan “Liberal Protestanism” yang dipelopori Friedrich
Schleiermacher.4
4 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama…, hlm. 16-18.
37
2. Pengertian Pluralisme Agama
Dari pluralisme lahirlah pluralisme agama, istilah “pluralisme agama”
sendiri sering disalah artikan atau mengandung pengertian yang kabur, meskipun
terminologi ini begitu populer dan tampak disebut begitu hangat secara universal.
Hal ini dapat dilihat dari semakin banyak nya orang yang mengkajinya sampai
internasional, khususnya setelah Konsili Vertikan II. Sungguh sangat
mengejutkan, ternyata tidak banyak, bahkan langka, yang mencoba
mendefinisikan pluralisme agama itu. Seakan wacana pluralisme agama sudah
disepakati secara konsensus dan finaliti, dan untuk itu taken for granted. Karena
pengaruhnya yang luas, istilah ini memerlukan pendefinisian yang jelas dan tegas
baik dari segi arti literalnya.
Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu
“pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyah
al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena istilah
pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya
secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti
“jamak” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga
pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan; (i) sebutan untuk orang yang
memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua
jabatan atau lebih secara bersama, baik sifat kegerejaan maupun non-kegerejaan.
Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya
landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga,
pengertian sosio-politis; adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi
38
keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan
tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara
kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa
disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya sebagai kelompok atau
keyakinan di satu waktu dengan setiap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan
karakteristik masing-masing.
Sementara itu, definisi agama dalam wacana pemikiran Barat telah
mengundang perdebatan dan polemik yang tak berkesudahan, baik di bidang ilmu
filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi, maupun di bidang ilmu
perbandingan agama (religion swissens chaff) sendiri. Sehingga sangat sulit,
bahkan hampir bisa dikatakan mustahil, untuk mendapatkan definisi agama yang
bisa diterima atau disepakati semua kalangan. Dan saking sulitnya, sampai-sampai
sebagai pemikir berpendapat bahwa agama adalah kata-kata yang tidak mungkin
didefinisikan. Seorang pakar ilmu perbandingan agama, Wilfred Cantwell Smith,
juga mengakui betapa sulitnya mendefinisikan agama, dia menyatakan bahwa:
“Terminologi (agama) luar biasa sulitnya di definisikan (The term is
notoriously indefinable). Paling tidak, dalam beberapa dasawarsa terakhir
ini terdapat beragam definisi yang membingungkan yang tak satu pun
diterima secara luas… Oleh karenanya, istilah ini harus dibuang dan
ditinggalkan untuk selamanya.”5
Pandangan Smith ini tentu saja sangat berlebihan, karena sebagian besar
sarjana ahli agama tak berpendapat demikian. Disamping secara obyektif,
terminologi agama masih tetap digunakan dalam bahasa sehari-hari baik oleh
orang awam maupun para ahli. Berangkat dari kenyataan ini, tidaklah salah-
5 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama…, hlm. 11-12.
39
bahkan suatu keniscayaan untuk memilih satu definisi agama yang memadai
sebagai pijakan ilmiah dan metodologi yang mutlak diperlukan untuk melakukan
sebuah pengkajian dan analisis. Untuk mendefinisikan agama yang melakukan
sebuah pengkajian dan analisis.6
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,
yang justru hanya gambaran kesan fragmantasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga
tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at
bay), Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekkaan dalam
ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the ponds of
civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat
manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan
mekanisme pengawasan dan pengembangan antara sesama manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan
yang melimpah kepada umat manusia. “Seandainya Allah tidak mengimbangi
segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur
namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh Alam.” (Qs.
Al-Baqarah 2:251).
Tulisan di atas menegaskan adanya masalah besar dalam kehidupan
beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme sekarang ini. Dan salah satu
6 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama…, hlm. 13
40
masalah besar dari paham pluralisme yang telah menjadi perdebatan abadi,
menyangkut masalah keselamatan adalah bagaimana suatu teologi dari suatu
agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Dalam bahasa John
Lyden, seorang ahli agama-agama, what should one think about religions other
than one’s own? (apa yang seseorang pikirkan mengenai agama lain,
dibandingkan agama sendiri?). Berkaitan dengan semakin berkembang
pemahaman mengenai pluralisme dan toleransi agama-agama, berkembanglah
suatu paham teologia religionum (teologi agama-agama) yang menekankan
semakin pentingnya dewasa ini untuk dapat “berteologi dalam konteks agama-
agama,” untuk suatu tujuan:
Berteologi dalam konteks agama-agama mempunyai tujuan untuk memasuki
dialog antar agama, dan dengan demikian mencoba memahami cara baru yang
mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamat.
Pengalaman ini penting untuk memperkaya pengalaman antar iman, sebagai pintu
masuk ke dalam dialog teologis.
Dalam pergaulan antar agama sekarang ini, memang semakin hari semakin
merasakan pertemuan agama-agama itu. Pada tingkat pribadi, sebenarnya
hubungan antartokoh-tokoh agama di Indonesia, terlihat suasana yang semakin
akrab, penuh toleransi, dengan keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam usaha
memecahkan persoalan-persoalan hubungan antaragama yang ada dalam
masyarakat. Tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari agama itu
muncul kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana
masyarakat harus mendefinisikan diri di tengah agama-agama lain yang juga
41
eksis, dan punya keabsahan. Dalam persoalan ini didiskusikanlah apakah ada
kebenaran dalam agama lain yang implikasinya adalah apakah ada keselamatan
dalam agama lain? Pertanyaan ini sebelumnya berakar dalam pertanyaan teologis
yang sangat mendasar, apakah manusia menyembah Tuhan yang sama? Dan
repotnya, justru ketika mencoba memahami konsep ketuhanan antaragama itu dan
menganggap bahwa menyembah Tuhan yang sama tupanya setiap agama
mempunyai konsep ketuhanan yang berbeda.7
3. Pluralisme dalam Agama
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative, oleh
sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya
saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan
di surga.
Menurut Nurcholis Madjid, Pluralisme agama dapat diambil melalui tiga
sikap agama:
a. Sikap eksklusif dalam melihat agama-agama lain
Sikap ini memandang agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang
menyesatkan umat.
b. Sikap Inklusif
Sikap ini memandang agama-agama lain adalah bentuk implicit agama kita.
7 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis…, hlm. 39-41
42
c. Sikap pluralis
Sikap ini bisa terekspresikan dalam macam-macam rumusan, misalnya
“agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran
yang sama”, “agama-agama lain berbicara berbeda, tetapi merupakan kebenaran
yang sama sah”, atau “ setiap agama mengepresikan bagian penting bagi sebuah
kebenaran”.
Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat
inklusif dan merentangkan tafsirannya kearah yang semakin pluralis, buktinya
dalam surat Ali Imran: 85
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan Dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi.8
Yang diterjemahkan oleh Abdurrahman Wahid ayat tersebut jelas
menunjukkan kepada masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan
lainnya, dengan tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai agama
lainnya.9
Jadi, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah ketetapan Tuhan (sunnatullah)
yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin kalau tidak menjunjung tinggi
semua keberagaman yang ada atau multikulturalisme.10
8 Lihat QS. Ali-Imran: 85 9Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta, The Wahid Institute,
2002, hlm. 133 10 Nurcholis Madjid, Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman
Indonesia. Dalam Jalan Baru, hlm. 106
43
Selanjutnya menurut Nurcholish Madjid yang dikutip Rachman,
mengatakan bahwa Pluralisme agama tidak dapat dipahami hanya dengan
mangatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, berdiri dari
berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi
bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian kebhinekkaan
dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine angagement of diversities within the bond
of civility).
Pada era sekarang ini, yang oleh Nurcholis Madjid, di istilahkan menjadi
“desa buana” (Global Village), dimana manusia bebas dan mudah berhubungan
dengan manusia yang lain, baik secara etnis, budaya, bahasa, dan agama. Dalam
kondisi semacama ini, manusia akan semakin mudah dalam halnya mengenal dan
memahami orang lain, sekaligus akan lebih mudah terbawa pada penghayatan
konfrontasi langsung.
Adanya dunia “tanpa jarak” ini, menuntut sikap kritis dan apresiasif dengan
mengedepankan sikap yang memandang bahwa semua adalah bagian dari
keniscayaan hidup yang harus dihargai sebagai semestinya. Sehingga dapat hidup
menjadi bagian dari masyarakat dunia.
Seringnya terjadi konflik, yang berakhir pada kerusuhan dan kekerasan fisik
saat ini, sebagai ketidak mampuan sikap sebagai kelompok atau agama untuk
melakukan adaptasi dan menyikapi secara kritis terhadap perkembangan informasi
budaya. Latar belakang yang menjadi pemicunya memang beragam, namun situasi
seperti itu, agama seringkali menjadi faktor yang paling sering terjadi dan simbol-
simbol agama menjadi spanduk menangis, meskipun akar masalahnya tidak
44
memiliki kaitan sedikitpun dengan agama, namun konflik yang di tampakkan
dipermukaan dicoba, dikaitkan dengan agama, sehingga bersimbol agama dan di
anggap “perang suci”.
C. Pluralisme Agama dalam Pandangan Islam
Islam memandang pluralisme sebagai sikap saling menghargai dan toleransi
terhadap agama lain, namun bukan berarti semua agama adalah sama artinya tidak
menganggap bahwa dalam Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian
sembah. Namun demikian Islam tetap mengakui adanya pluralisme agama yaitu
dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum
waliyadin), disini pluralisme diorientasikan untuk menghilangkan konflik,
perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan pada nilai-nilai
pluralisme, sebagaimana al-Qur’an sampaikan:
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka,
dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri".11
Di dalam buku Anggukan retmis kaki pak kyai (1995) Emha Ainun Najib
sampaikan bahwa ditengah pluralitas sosial dan agama di era modern saat ini
11 Lihat Qs. Al-Ankabut : 46
45
merupakan lahan kita untuk menguji dan memperkembangkan kekuatan
keislaman kita. 12 karena pemenang dilihat dari siapa yang konsisten dengan
keimanan dan berpegang teguh pada ketaqwaannya, maka dialah pemenangnya.
Keberagaman merupakan sunnatullah yang harus dirasakan dan dipercayai
kunci bagi keberlangsungan dalam menjalankan agamanya masing-masing adalah
umat beragama itu sendiri. Setiap agama itu memiliki kebenaran sendiri, dalam
filsafat prenial suatu konsep dalam wacana filsafat yang banyak membicarakan
hakekat Tuhan sebagai wujud absolute merupakan sumber dari segala sumber
wujud. Sehingga semua agama samawi berasal dari wujud yang satu, atau adanya
the common vision menghubungkan kembali the man of good dalam realitas
eksoterik agama-agama. Di samping itu pluralisme harus dipahami sebagai
pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralisme
adalah suatu keharusan bagi keselamatan manusia, melalui mekanisme dan
pengimbangan masing-masing pemeluk agama dan menceritakan secara obyektif
dan transparan tentang histories agama yang dianutnya. (QS. Al-Baqarah 2: 251),
agama sering dijadikan faktor munculnya berbagai persoalan dan perkelahian,
yang memicu adanya kebencian, padahal semua itu muncul di karenakan
kurangnya pengertahuan seseorang terhadap agama termasuk budaya itu sendiri,
padahal semua agama mengjarkan tentang kebaikan dan kemanusia, seperti
dalam. (QS. Al-Maidah 6:48).13
12 Emha Ainun Najib, Anggukan retmis kaki pak kyai, Surabaya, Risalah gusti, 1995, hlm.
79 13 M. Syaiful Rahman, Islam dan Pluralisme, Jurnal, Pascasarjana STAIN Pamekasan,
Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, hlm. 404-405
46
Sayyid Huseyn Fadhlullah (tokoh Hizbullah Lebanon) menafsirkan surat al-
Baqarah : 62, yang diulang dengan redaksi yang agak berbeda pada al-Maidah: 69
dan al-Hajj: 17, dikutip dari buku Jalaluddin Rahmat “Islam dan Pluralisme:
“sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan merek, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan tidak (pula mereka bersedih hati)”14
Sayyid Husyen Fadhlullah dalam tafsirannya menjelaskan:
“Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada
hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-
beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah
dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah,
hari akhir, dan amal saleh. Ayat-ayat itu memang sangat jelas untuk
mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok
agama benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini
menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka
beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Sebagian mufasir yang
eksklusif mengakui makna ayat-ayat itu sebagaimana dijelaskan oleh
Husseyn Fadhlullah, tetapi, mereka menganggap ayat-ayat itu dihapus
(mansukh) oleh Al-Imran: 85; barang siapa mencari agama lain selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima dari padanya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Mereka bersandar pada
hadist yang lemah dari Ibn ‘Abbas.
Menurut Sayyid Husseyn Fadhlullah, makna ayat ini tidaklah bertentangan
dengan ayat yang di bicarakan. Karena itu, tidak ada ayat yang dimansukh.
Islam pada Al-Imran 85 adalah Islam yang “umum yang meliputi semua
risalah langi, bukan Islam dalam arti istilah”, bukan Islam dalam arti agama
Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Kesimpulan itu diambil
Fadhlullah dari konteks ayat itu. Pada Al-Imran 19, Tuhan berfirman:
sesungguhnya agama itu di sisi Allah adalah Islam. Menurut Alquran,
semua agama itu Islam. Ini diperkuat dengan ayat-ayat yang lain: Ingatlah
ketika Tuhannya berkata kepadanya (Ibrahim); Islamlah kamu. Ibrahim
berkata: Aku Islam kepada Tuhan Pemelihara semesta Alam. Dan ketika
Ibrahim dan Ya’qub berwasiat dengannya kepada anak-anaknya: wahai
anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih bagi kamu agama, maka
janganlah kamu mati kecuali kamu menjadi orang-orang Islam (Qs. al-
Baqarah: 131-132)”15
14 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan,
Jakarta, Serambi, 2006, hlm. 22 15 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme…,hlm. 23-25.
47
Jadi disimpulkan dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran
kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari
keberagaman. Namun lain halnya di Indonesia anggapan yang mengatakan bahwa
semua agama itu sama (pluralisme) tidak diperkenankan. Pada 28 Juli 2005,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwah melarang paham pluralisme
dalam agama Islam. Dalam fatwah tersebut, pluralisme didefinisikan sebagai
“Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
kerenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua
pihak agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga”
Sementara itu MUI mempunyai pendapat lain mengenai paham ini. Melalui
fatwahnya yang dikeluarkan dalam MUNAS ke 7 tahun 2005, MUI telah dengan
tegas menyatakan bahwa Pluralisme merupakan paham yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Bahkan melarang kepada segenap umat Islam untuk mengikuti
apalagi mengamalkan paham ini. Argumentasi MUI melarang paham ini adalah
ayat-ayat al-Qur’an, seperti firman Allah SWT:
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-
kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan Dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi.16
16 Lihat Ali-Imran :85
48
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab17 kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.18
untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.19
Selain ayat Al-Qur’an argumentasi lainnya adalah Hadist Rasulullah SAW.
Imam Muslim (w.262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan hadist
Rasulullah SAW: “Demi zat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada
seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari
umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku
bawa, kecuali ia mati akan menjadi penghuni neraka”. Begitu juga Nabi
mengirimkan surat-surat Dakwah kepada orang-orang non muslim, antara lain
kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-najasyi raja Absenia
yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi
mengajak mereka untuk masuk Islam. (Hadist Riwayat Ibnu Sa’ad dalam al-
Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam shahih al Bukhari).
Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian
disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadapnya adanya
17 maksudnya ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran. 18 Lihat Ali-Imran :19 19 Lihat Al-Kaafirun :6
49
pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama
masing-masing. Walaupun ada sebagian berpendapat bahwa solusi paham
pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus
menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Salah satu
kelompok yang di anggap mendukung pluralisme agama adalah Jaringan Islam
Liberal (JIL). Di halaman utama situsnya tertulis: “Dengan nama Allah, Tuhan
Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala agama”.20
Ali Mansyur Musa didalam bukunya “Membumi Islamkan Nusantara:
Raspon Islam Terhadap Isu-Isu Aktual” menafsirkan Qs. Ali-Imran 19:
“Bahwa Islam secara tegas mengajarkan umatnya untuk senantiasa menjaga
hubungan baik dengan sesama manusia. Selama non-Muslim tidak
mengganggu seorang Muslim dalam menjalankan ibadahnya, umat Islam
dilarang untuk mengganggu pemeluk agama lain. Rasulullah saw, telah
memberikan teladan yang sangat baik dalam hal ini. Beliau adalah seorang
pemimpin yang bijaksana dan senantiasa berlaku adil kepada manusia.
Fakta-fakta sejarah, antara lain tertulis di dalam Piagam Madinah,
menunkkan toleransi yang luar biasa dari pihak muslim kepada golongan
non-muslim, seandainya prinsip-prinsip Piagam Madina ini dapat kita
implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak mustahil
akan tercipta sebuah tatanan kehidupan bernegara yang diidamkan oleh
semua anak bangsa.”21
Dengan demikian, perbedaan dan keragaman merupakan fakta yang harus
diterima sebagai sunnatullah. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah
menciptakan semua ini dengan hikmah dan maksud yang sangat mulia. Karena
perbedaan sesungguhnya tidak hanya dalam ranah agama-agama tapi juga intra
agama. Umat Islam dianjurkan untuk memahami keragaman tersebut lewat al-
20 Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Intelektual, Jakarta, Gema Insani Pers,
2008, hlm. 80-83. 21 Ali Mansyur Musa, Membumi Islamkan Nusantara: Raspon Islam Terhadap Isu-Isu
Aktual, Jakarta, Serambi, 2014, hlm. 52.
50
Qur’an sehingga bisa terwujudnya suatu keharmonisan dan toleransi hubungan
antar umat beragama.
Dapat disimpulkan pluralitas dalam Islam adalah Sunnah ilahiyah disemua
bidang kehidupan yang telah menjadi karakteristik utama makhluk Allah.
Pluralitas dalam persperktif Islam juga merupakan telitas yang telah mewujud dan
mungkin dipungkiri karena suatu hakikat perbedaan dan keagamaan yang timbul
sebab adanya kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah.
Konsep dan pemahaman pluralitas seperti ini didukung oleh naql (teks
wahyu) dan realtas historis. Banyak ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa
perbedaan dan keragamaan memang telah dikehendaki oleh Allah, selain itu
adanya piagam madina di masa Rasulullah merupakan bukti historis bahwa sikap
pluralitas agama telah menjadi realitas kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, isu pluralitas agama lebih sesuai digunakan dalam
perspektif Islam ketimbang pluralisme agama. Karena pluralitas agama
merupakan pengakuan akan realitas ontologis agama-agama yang beraneka ragam
yang merupakan konsekuensi logis dari pandangan Islam terhadap fenomena
keberagamaan agama, dan pluralitas agama tidak bisa disejajarkan dengan
pluralisme agama yang merupakan pengakuan akan realitas teologis (ajaran atau
syariat) agama-agama.22
Jadi, pluralisme tidak lahir dari Islam namun Islam menegakkan toleransi
dengan penganut agama apa saja, Islam juga mengajarkan umatnya untuk saling
22 Erwan Susanto, Pemikiran Pluralisme Agama Zauhari Misrawi…, hlm. 60-61.
51
menghormati dan menyuruh kepada umat nya untuk hidup berdampingan secara
damai.