BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. a. Pengertian ...eprints.umm.ac.id/40887/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. a. Pengertian ...eprints.umm.ac.id/40887/3/BAB...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Media Massa
a. Pengertian Media Massa
Istilah media massa berasal dari bahasa Inggris, yaitu singkatan dari
mass media of communication atau media of massa communication, yang
dalam bahasa Indonesia berarti komunikasi media massa atau komunikasi
massa. Adapun komunikasi massa adalah komunikasi melalui media
massa (media cetak dan media elektronik) yang dapat menjangkau massa
sebanyak-banyaknya dan arena seluas-luasnya (Nurudin, 2007:2).
Menurut Wahyudi (1991:90), media massa adalah sarana untuk
menyampaikan isi pesan/pernyataan/informasi yang bersifat umum,
kepada sejumlah orang yang jumlahnya relatif besar, tinggalnya tersebar,
heterogen, anonim, tidak terlembagakan, perhatiaannya terpusat pada isi
pesan yang sama, yaitu pesan dari media massa yang sama, dan tidak dapat
memberikan arus balik secara langsung pada saat itu.
10
b. Karakteristik Media Massa
Ciri-ciri atau karakteristik media massa secara umum dinyatakan oleh
Jensen dan kawan-kawan (2003:19) adalah:
1) Sifatnya satu arah
2) Selalu ada proses seleksi
3) Karena media massa mampu menjangkau masyarakat secara luas,
jumlah media yang diperlukan sebenarnya tidak terlalu banyak sehingga
kompetisinya selalu berlangsung ketat
4) Untuk meraih khalayak sebanyak mungkin harus berusaha membidik
sasaran tertentu
5) Komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap
kondisi lingkungannya.
Adapun menurut Muhtadi (1999:80) bahwa karakteristik media massa
adalah sebagai berikut:
1) Publisitas. Media massa diperuntukkan bagi masyarakat umum. Tidak
ada batasan siapa yang boleh atau harus membaca, menonton, atau
mendengarkan dan siapa yang tidak boleh atau harus membaca,
menonton, atau mendengarkan.
2) Universalitas. Media massa bersifat umum dalam menyampaikan suatu
materi pada khalayaknya.
3) Aktualitas. Media massa harus mampu menyampaikan berita secara
cepat kepada khalayak.
11
Sedangkan karakteristik media massa menurut Cangara (2002:134-
135) adalah sebagai berikut:
1) Bersifat melembaga.
2) Bersifat satu arah.
3) Meluas dan serempak.
4) Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat
kabar dan semacamnya.
5) Bersifat terbuka.
c. Fungsi dan Peranan Media Massa
Media massa sebagai sarana komunikasi antara manusia untuk
penyebaran informasi dan gagasan. Sehingga, media massa tersebut
tentunya memegang peranan penting dalam kehidupan manusia dalam
berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya.
Shoemaker & Reese (1996) menyatakan ada beberapa fungsi media
(massa) tersebut, yaitu:
1) Untuk pengawasan lingkungan, atau fungsi surveillance of
environment. Dalam fungsi pengawasan ini, media berupaya
mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi mengenai berbagai
peristiwa di dalam atau di luar lingkungan suatu masyarakat. Berita
yang disebarluaskan diharapkan oleh khalayak sebagai peringatan awal
agar khalayak dapat menilai dan menyesuaikan pada kondisi yang
sedang berkembang dan berubah. Fungsi ini terlihat jelas dalam upaya
12
mengatur opini publik, memonitor dan mengontrol kekuasaan dan
sebagainya.
2) Untuk korelasi antar bagian-bagian masyarakat dalam memberikan
respon terhadap lingkungan, atau fungsi correlation of the parts of
society. Fungsi ini berkaitan dengan interpretasi terhadap informasi dan
preskripsi untuk mencapai konsensus dalam upaya mencegah
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan akan terjadi.
3) Untuk transmisi/sosialisasi atau pewarisan nilai-nilai pengetahuan dari
satu generasi kepada generasi berikutnya, atau fungsi transmition of the
social heritage. Pada fungsi ini, media massa diharapkan dapat
melakukan pendidikan kepada masyarakat melalui informasi, karena
melalui informasi yang diterimanya ini, anggota masyarakat tertenti
merasa menjadi satu dengan anggota masyarakat lainnya. Fungsi media
ini menjadi sangat penting dalam memelihara identifikasi anggota-
anggota masyarakat bersangkutan. Dahulu fungsi ini banyak dilakukan
oleh para orang tua dan guru-guru sekolah, namun dengan adanya
urbanisasi, setelah banyak orang yang meninggalkan keluarga atau
merantau, atau ketika terjadi isolasi dan anonimitas pada orang banyak,
peranan media massa menjadi amat penting dalam proses sosialisasi
dan pemindahan warisan sosial.
4) Untuk mendapatkan hiburan (entertainment). Fungsi ini menunjuk pada
usaha-usaha yang dilakukan media massa dalam memberikan hiburan
pada masyarakat. Anggota masyarakat yang memanfaatkan media
13
untuk fungsi ini menjadikan media sebagai salah satu sarana untuk
melepas rasa lelah dan mengatasi kejenuhan.
Adapun peranan media massa dalam kehidupan manusia dapat
dirumuskan secara singkat (Sutaryo, 2005:290-295), antara lain:
1) Media massa dapat membantu untuk menyusun agenda kegiatan atau
kerja, rencana berbagai kegiatan yang hendak dilakukan, bahkan
mengubah ataupun mengatur kembali rencana-rencana yang sebenarnya
sudah lama ditetapkan.
2) Media massa dikenal sebagai media hiburan.
3) Media massa membantu anggota masyarakat dalam melakukan
sosialisasi.
4) Media massa sebagai pemberi informasi kepada masyarakat dan
membantu manusia untuk mengetahui secara jelas segala sesuatu
tentang dunia sekelilingnya.
5) Media massa telah membantu sekalian untuk mengenali, memahami
dan berhubungan dengan berbagai kelompok etnis yang tersebar di
seluruh wilayah Nusantara bahkan yang berada di luar negeri sekalipun.
Media massa dapat digunakan untuk membujuk dalam berbagai
khalayak dalam berbagai kegiatan termasuk kegiatan bisnis.
d. Jenis Media Massa
Pada dasarnya media massa dapat dibagi menjadi dua kategori yakni
media massa cetak dan media massa elektronik. Media cetak yang dapat
memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah,
14
sedangkan media elektronik berupa radio siaran, televisi, film, dan media
online (internet) (Ardianto dan Erdinaya, 2007:103).
1) Surat kabar
Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan
dengan jenis media massa lainnya. Sejarah telah mencatat keberadaan
surat kabar dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann
Guternberg di Jerman. Untuk menyerap isi surat kabar, pembaca
dituntut untuk bisa membaca serta memiliki kemampuan intelektualitas
tertentu.
2) Majalah
Edisi perdana majalah diluncurkan di Amerika Serikat pada
pertengahan 1930-an, meraih kesuksesan besar. Majalah telah membuat
segmentasi pasar tersendiri dan membuat fenomena baru dalam dunia
media massa. Majalah merupakan media yang paling sederhana
organisasinya, relatif lebih mudah mengelolanya, serta tidak
membutuhkan modal yang besar.
3) Radio
Radio adalah media massa elektronik tertua dan sangat luwes.
Selama hampir satu abad lebih keberadaanya. Perbedaan mendasar
antara media cetak dengan radio siaran ialah media cetak dibuat untuk
dikonsumsi mata, sedangkan radio siaran untuk konsumsi telinga.
15
4) Televisi
Dari semua media komunikasi yang ada, televisi yang paling
berpengaruh pada kehidupan manusia. Dari sekian fungsi komunikasi
massa yang ada, fungsi menghibur lebih dominan dalam media massa
televisi. Pada umumnya tujuan utama khalayak menonton televisi
adalah untuk memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh
informasi.
5) Film
Film atau gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi
massa visual di belahan dunia ini. Film Amerika diproduksi di
Hollywood. Film yang dibuat di sini membanjiri pasar global dan
mempengaruhi sikap, perilaku dan harapan orang-orang di belahan
dunia. Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding siaran radio
dan televisi. Menonton film di bioskop ini menjadi aktifitas populer
bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an.
6) Media Online (Internet)
Internet merupakan jaringan longgar dari ribuan komputer yang
menjangkau jutaan orang di seluruh dunia. Misi awalnya menyediakan
sarana bagi para peneliti untuk mengakses data dari sejumlah sumber
daya perangkat keras komputer yang mahal. Namun, sekarang internet
telah berkembang menjadi ajang komunikasi yang sangat cepat dan
efektif, sehingga telah menyimpang jauh dari misi awalnya. Dewasa ini,
internet telah tumbuh berkembang menjadi sedemikian besar dan
16
berdaya sebagai alat informasi dan komunikasi yang tak dapat
diabaikan.
2. Program Acara Televisi
Tidak ada yang lebih penting dari acara atau program sebagai faktor
yang paling penting dan menentukan dalam mendukung keberhasilan
finansial suatu stasiun penyiaran radio dan televisi. Adalah program yang
membawa audien mengenal suatu stasiun penyiaran. Pendapatan dan
keuntungan stasiun penyiaran sangat dipengaruhi oleh programnya
(Morissan, 2009:199). Dalam penelitian ini program acara reality show ”86”
yang ditayangkan oleh stasiun televisi nasional Net.tv.
a. Program Televisi Berdasarkan Jenisnya
Menurut Morissan (2009:208-219) berbagai jenis program televisi
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar berdasarkan jenisnya,
yaitu:
1) Program Informasi
Program informasi adalah segala jenis siaran yang tujuannya untuk
memberikan tambahan pengetahuan (informasi) kepada khalayak
audien. Program informasi tidak hanya melulu program berita dimana
presenter atau penyiar membacakan berita tetapi segala bentuk
penyajian informasi termasuk juga talk show (perbincangan), misalnya
wawancara dengan artis, orang terkenal atau dengan siapa saja.
Program informasi dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
berita keras (hard news) dan berita lunak (soft news).
17
a) Berita Keras (Hard News)
Berita keras atau hard news adalah segala informasi penting
dan/atau menarik yang harus segera disiarkan oleh media penyiaran
karena sifatnya yang harus segera segera ditayangkan agar dapat
diketahui oleh khalayak audiens secepatnya. Media televisi biasanya
menyajikan berita keras secara reguler yang ditayangkan dalam
suatu program berita. Berita keras disajikan dalam suatu program
berita yang berdurasi mulai dari beberapa menit saja (misalnya
breaking news) hingga program berita yang berdurasi 30 menit,
bahkan satu jam. Dalam hal ini berita keras dapat dibagi ke dalam
beberapa bentuk berita, yaitu: straight news, features, dan
infotainment.
b) Berita Lunak (Soft News)
Berita lunak atau soft news adalah segala informasi yang penting
dan menarik yang disampaikan secara mendalam (indepth) namun
tidak bersifat harus segera ditayangkan. Program yang masuk ke
dalam kategori berita lunak ini adalah: current affair, magazine,
dokumenter, dan talk show.
2) Program Hiburan
Program hiburan adalah segala bentuk siaran yang bertujuan untuk
menghibur audien dalam bentuk musik, lagu, cerita, dan permainan.
Program yang termasuk dalam kategori hiburan adalah drama,
permainan (game), musik, dan pertunjukan.
18
a) Drama
Kata “drama” berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti
bertindak atau berbuat (action). Program drama adalah pertunjukan
(show) yang menyajikan cerita mengenai kehidupan atau karakter
seseorang atau beberapa orang (tokoh) yang diperankan oleh pemain
(artis) yang melibatkan konflik dan emosi. Program televisi yang
termasuk dalam program drama adalah sinema elektronik (sinetron)
dan film.
b) Permainan
Permainan atau game show merupakan suatu bentuk program
yang melibatkan sejumlah orang baik secara individu ataupun
kelompok (tim) yang saling bersaing untuk mendapatkan sesuatu.
Program ini pun dapat dirancang dengan melibatkan audiens.
Permainan merupakan salah satu produksi acara televisi yang paling
mudah dibuat. Program permainan biasanya membutuhkan biaya
produksi yang relatif rendah namun dapat menjadi acara televisi
yang sangat digemari. Program permainan dapat dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu: quiz show, ketangkasan, dan reality show.
c) Musik
Program musik dapat ditampilkan dalam dua format, yaitu
videoklip atau konser. Program musik berupa konser dapat dilakukan
di lapangan (outdoor) ataupun di dalam studio (indoor). Program
musik di televisi saat ini sangat ditentukan dengan kemampuan artis
19
menarik audiens. Tidak saja dari kualitas suara namun juga
berdasarkan bagaimana mengemas penampilannya agar menjadi
lebih menarik.
d) Pertunjukan
Pertunjukkan adalah program yang menampilkan kemampuan
(performance) seseorang atau beberapa orang pada suatu lokasi baik
di studio ataupun di luar studio, di dalam ruangan (indoor) ataupun
di luar ruangan (outdoor).
Berdasarkan jenisnya, program acara reality show “86” di Net.TV
termasuk jenis program informasi. Program informas dalam tayangan
reality show “86” di Net.TV tersebut dalam bentuk berita lunak (soft news)
yang tergolong dokumenter.
b. Program Televisi Berdasarkan Formatnya
Format acara televisi adalah sebuah perencanaan dasar dari suatu
konsep acara televisi yang akan menjadi landasan kreativitas dan desain
produksi yang akan terbagi dalam berbagai kriteria utama yang
disesuaikan dengan tujuan dan target pemirsa acara tersebut (Naratama,
2004:63). Ada tiga bagian dari format acara televisi, yaitu drama, non
drama, dan berita olahraga. Bisa juga dikategorikan menjadi fiksi,
nonfiksi, dan news-sport.
1) Fiksi (Drama)
Fiksi atau drama adalah sebuah format acara televisi yang
diproduksi dan dicipta melalui proses imajinasi kreatif dari kisah-kisah
20
drama atau fiksi yang direkayasa dan dikreasi ulang. Format yang
dipergunakan merupakan interpretasi kisah kehidupan yang diwujudkan
dalam suatu runtutan cerita dalam sejumlah adegan. Contoh: drama
percintaan (love story), tragedi, horor, komedi, legenda, aksi (action),
dan sebagainya.
2) Non Fiksi (Non Drama)
Non fiksi atau non drama adalah sebuah format acara televisi yang
diproduksi dan dicipta melalui proses pengolahan imajinasi kreatif dari
realitas kehidupan sehari-hari tanpa harus menginterprestasi ulang dan
tanpa harus menjadi dunia khayalan. Nondrama bukanlah sebuah
runtutan cerita fiksi dari setiap pelakunya. Untuk itu, format-format
program acara nondrama merupakan sebuah runtutan pertunjukan
kreatif yang mengutamakan unsur hiburan yang dipenuhi dengan aksi,
gaya dan musik. Contoh: talk show, konser musik, dan variety show.
3) Berita dan Olahraga (news-sport)
Berita dan olahraga adalah sebuah format acara televisi yang
diproduksi berdasarkan informasi dan fakta atas kejadian dan peristiwa
yang berlangsung pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Format ini
memerlukan nilai-nilai faktual dan aktual yang disajikan dengan
ketepatan dan kecepatan waktu dimana dibutuhkan sifat liputan yang
independen. Contoh: berita ekonomi, liputan siang, dan laporan
olahraga (Naratama, 2004:66).
21
Berdasarkan bentuk formatnya, program acara reality show “86” di
Net.TV termasuk ke dalam format berita karena menyajikan kejadian dan
peristiwa aktual tentang upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh
pihak Kepolisian RI.
3. Konstruksi Realitas Sosial
a. Konstruksi Sosial Peter L. Berger & Thomas Luckmann
Peter L. Berger, seorang sosiolog dari New School for Social
Reserach, New York, Amerika Serikat dan Thomas Luckmann, sosiolog
dari University of Frankfurt, Jerman, punya kaitan sangat erat dengan teori
konstruksi sosial. Mereka memperkenalkan konstruksi realitas sosial
sebagaimana tertulis dalam buku mereka yang berjudul “The Social
Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge” di
tahun 1966. Berger dan Luckman menjelaskan dalam buku mereka, bahwa
realitas sosial adalah suatu teori yang memisahkan pemahaman
“kenyataan” dan “pengetahuan”. Kenyataan diartikan sebagai kejadian
yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak
manusia sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kejadian
dengan karakteristik yang dibentuk secara spesifik (Bungin, 2010:191).
Pendek kata realitas tidak terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya
individu-individu yang membentuknya.
Contoh kasus yang memperkuat statement di atas misalnya;
masyarakat Indonesia dengan sadar mengetahui masih banyak rakyat
Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sumber daya alam
22
Indonesia belum dikelola dengan maksimal dan permasalahan sosial lain
seperti maraknya tindak kriminal dikarenakan sempitnya lapangan kerja.
Namun di balik kesadaran tersebut ada sekelompok masyarakat Indonesia
mengklaim bahwa Indonesia adalah negara yang kaya. Sumber daya alam
juga sumber daya manusia di Indonesia melimpah ruah. Wilayah
kekuasaan Indonesia sangatlah luas. Pendapat sekelompok masyarakat ini
terus digemakan kepada masyarakat lain secara rutin dan
berkesinambungan yang berefek pada kepercayaan masyarakat lain bahwa
Indonesia adalah negara yang kaya raya. Padahal disamping kepercayaan
itu, masyarakat sadar betul keadaan nyata yang sebenarnya belum serupa
dengan pernyataan sekelompok masyarakat lain tersebut. Maksud dari
contoh kasus di atas ialah, realitas tidaklah muncul dengan sendirinya
namun dibentuk oleh subjektivitas individu-individu yang kemudian
berlanjut membentuk objektivitas baru.
Masyarakat senantiasa menganggap realitas adalah suatu objektivitas
dan fakta riil yang muncul dan terjadi dengan sendirinya. Pandangan
masyarakat ini kemudian disebut paradigma positivis. Di balik pandangan-
pandangan tersebut realitas sosial adalah ibarat gedung kokoh yang
dibangun dengan berbagai unsur yang didapat dari kehidupan sosial itu
sendiri. Proses konstruksi realitas sosial dibentuk oleh masyarakat sendiri
melalui interaksi sosial satu sama lain secara berkesinambungan.
Masyarakat melakukan dialog, tatap muka, bahkan di era internet
masyarakat pun telah berinteraksi tanpa perlu jumpa antarindividu. Tanpa
23
disadari masyarakat telah mengonstruksi realitas sosial yang menjadi
kerutinan maupun kebiasaan. Kebiasaan tersebutlah yang kemudian
menjadi konstruksi realitas sosial.
Menurut Berger, masyarakat merupakan produk dari manusia dan
manusia merupakan produk masyarakat. Namun seseorang dapat menjadi
diri sendiri yang beridentitas ketika ia tetap tinggal dalam masyarakatnya.
Bungin (2010:15) menyatakan bahwa proses dialektika tersebut terjadi
dalam tiga tahap. Tahap pertama eksternalisasi, yakni proses ketika
seseorang menerima realitas nyata yang didapati dari lingkungan dimana
ia menetap. Realitas tersebut merupakan buah pikir individu-individu lain
yang diselaraskan dengan kondisi sosial di lingkungan tersebut. Kedua
objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif
yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Proses ini
adalah tahapan ketika seseorang menerima realitas dan disaring sesuai
dengan pola pikir dan persetujuan diri yang dilandasi pengetahuan juga
pengalaman. Pada tahap ini, seseorang memilih apakah akan menerima
realita tersebut atau menolaknya. Ketiga adalah internalisasi, yakni proses
individu mengidentivikasi dirinya sendiri terhadap lembaga sosial dimana
dia tinggal. Dengan kata lain internalisasi merupakan proses seseorang
menyerap kembali realitas objektif ke dalam kesadaran, kemudian
dibentuk sesuai subjektivitasnya. Bagi Berger realitas tidak dibentuk
secara ilmiah dan tidak juga diturunkan oleh Tuhan, akan tetapi realitas
merupakan hasil bentukan dan dikosntruksi oleh manusia itu sendiri.
24
Dengan kata lain manusia mengonstruksi realitas yang ada dalam
masyarakat tersebut.
Atas dasar pemahaman itu realitas bersifat dinamis dan berwajah
ganda atau plural. Setiap orang akan memiliki konstruksi yang berbeda-
beda atas suatu realitas. Hal tersebut didasari oleh pengalaman, preferensi,
pendidikan, lingkungan dan pergaulan antara satu individu dengan
individu yang lain, dari sini lah setiap orang akan menafsirkan realitas
sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Eriyanto, 2012:16-17).
Dalam tiga proses tahapan eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi tersebut, masyarakat mengonstruksi sendiri realitas sosial
yang ada dalam masyarakat. Realitas-realitas tersebut ada yang bersifat
objektif dan juga ada yang bersifat subjektif. Realitas objektif terjadi
akibat proses eksternalisasi individu terhadap lingkunganya. Sedangkan
realitas subjektif terjadi akibat proses internalisasi. Individu menyerap
realitas yang terobjektivasi tersebut ke dalam pikirannya sehingga
mengakibatkan subjektivitas individu.
Berger menegaskan bahwa realitas sehari-hari memiliki dimensi
subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan
realitas sosial yang objektif melaui proses eksternalisasi. Hal tersebut
memengaruhi dalam proses internalisasi yang mencerminkan realitas
sosial secara subjektif. Berger juga melihat masyarakat adalah produk dari
manusia dan manusia adalah produk dari masyarakat (Polama, 2013:320).
25
Realitas sosial dalam masyarakat merupakan bentukan atau
dikonstruksi oleh manusia yang ada dalam masyarakat tersebut.
Manusialah yang membentuk sebuah kelompok yang mengakibatkan
timbulnya sebuah kelompok sosial. Selain itu manusia dapat berkembang
tidak hanya dengan lingkungan tertentu, tetapi dengan tatanan budaya dan
sosial tertentu (Bungin, 2010:66). Dengan kata lain, manusia dapat
berkembang tidak hanya berinteraksi dengan lingkunaganya, namun juga
dengan sosial budaya yang ada di lingkungan tersebut.
Di dalam realitas sosial bentukan individu tersebut akan timbul sebuah
kebudayaan, karena kebudayaan adalah produk dari seluruh rangkaian
proses sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat dengan
segala aktivitas. Kebudayaan ini merupakan hasil dari proses objektivitas.
Hasil dari kebudayaan tersebut merupakan realitas objektif bagi
masyarakat. Sementara itu manusia memiliki kodrat sendiri atau lebih
jelasnya manusialah yang mengostruksi kodratnya sendiri atau dapat
dibilang manusia menghasilkan diri sendiri (Berger & Luckmann,
1966:67).
Ritzer dalam Bungin (2010:15) menjelaskan bahwa manusialah yang
menjadi aktor kreatif dari realitas sosial berdasarkan ide dasar teori dalam
paradigma definisi sosial yang sebenarnya. Manusia secara kreatif
memiliki kebebasan berekspresi untuk membentuk sebuah realitas sosial
yang ada dalam lingkungannya.
26
Kreativitas yang ada dalam masyarakat tersebut menghasilkan
lingkungan dengan tingkat sosial yang berbeda-beda sesuai dengan
keadaan mereka bercampur dengan individu-individu lainnya. Ini karena
memang setiap individu tidaklah dapat membentuk sebuah realitas sosial
tanpa ada individu yang lainya. Realitas sosial merupakan keadaan yang
sebenarnya dalam kehidupan masyarakat, namun realitas yang ada tersebut
merupakan hasil kreatif masyarakat dengan menggunakan kekuatan
kosntruksi sosial masyarakat.
Selain itu juga dalam pandangan ontologi konstruktivis, realitas
merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu (). Individu
bebas melakukan sesuatu sesuai keinginannya agar terbentuk sebuah
hubungan antara individu dengan individu lain, karena pada dasarnya
manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa ada orang lain di sekitarnya.
Walaupun individu bebas melakukan sesuatu sesuai kreativitas
masing-masing, namun pastilah mereka memiliki sebuah tujuan yang
berguna bagi dirinya atupun masyarakat di sekitarnya. Seperti yang
dijelaskan oleh Max Webber, realitas sosial merupakan perilaku sosial
yang memiliki makna subjektif, karena perilaku memiliki tujuan dan
motivasi.
b. Konstruksi Media Terhadap Realitas
Media massa dapat berperan dalam mengonstruksi suatu peristiwa
untuk membentuk realitas sosial. Pendekatan konstruksi sosial telah
menjadi gagasan penting dan populer dalam ilmu sosial. Menurut Keneth
27
Gergen, konstruksi sosial memusatkan perhatiannya pada proses dimana
individu menanggapi kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman
mereka (Sendjaja, 2015:83).
Pandangan konstruktivisme memahami tugas dan fungsi media massa
berbanding terbalik dengan pandangan positivisme. Positivisme
memandang media massa sebagai alat penyampai pesan dari komunikator
(wartawan, jurnalis) ke khalayak. Media massa benar-benar merupakan
alat netral, mempunyai tugas utama penyampai pesan, tanpa maksud lain.
Jika media menyampaikan suatu peristiwa atau kejadian, memang itulah
yang terjadi. Itulah realitas sebenarnya. Tidak ditambah tidak dikurang
(Sendjaja, 2015:83).
Dalam pandangan konstruktivisme, menurut Bennet dalam Imran
(2011:62) bahwa media massa bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi
juga sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan
pandangan, bias, dan pemihakan. Di sini, media massa dipandang sebagai
agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.
Dalam pembentukan opini publik, media massa secara umum
melakukan tiga kegiatan. Pertama, menggunakan simbol-simbol untuk
memunculkan pengenalan. Kedua, melakukan strategi pengemasan pesan
(framing), hal ini bertujuan agar pesan yang sampai pada masyarakat
sesuai dengan apa yang media harapkan. Ketiga, melakukan fungsi agenda
media untuk menentukan prioritas pesan mana yang disampaikan kepada
audiens media massa tersebut (Hamad, 2014:2-3).
28
Pelaksanaan tiga kegiatan tersebut bisa saja terpengaruhi oleh faktor
internal berupa kebijakan redaksional yang didasari keterpihakan
pengelola media dalam menaik-turunkan tokoh, atau bahkan kelompok,
dan berbagai faktor eksternal seperti tekanan pasar audiens, sistem hukum
negara, maupun kekuatan-kekuatan publik lainnya. Dengan demikian, bisa
jadi satu peristiwa mampu menimbulkan opini publik yang berbeda
tergantung cara masing-masing media melaksanakan tiga kegiatan tersebut
(Hamad, 2014:2-3).
Khalayak penikmat media maka selayaknya menyadari, bahwa media
harus dipandang sebagai hasil konstruksi dari realita-realitas yang dikemas
hingga sedemikian rupa. Pengemasan program atau acara didasari atas
konsepsi yang berbeda-beda, sesuai pola pandang dan interaksi pegiat
media dengan realita, kemudian disajikan bagi publik. Dalam dunia politik
modern media massa sering menjadi media pembentuk citra terutama oleh
para penguasa, juga menjadi pintu bagi setiap kelompok sosial sebagai
jalur propaganda guna mempengaruhi opini publik (Hamad, 2014:8).
Pembentukan ini dilakukan dengan upaya membangun opini dan
karakteristik yang gencar ditampilkan terus-menerus.
4. Citra
a. Pengertian Citra
Citra memiliki banyak pengertian dari berbagai ahli, sebagaimana
yang dirangkum oleh Soemirat dan Ardianto (2010:111-171) berikut ini.
29
1) G. Sach: citra adalah pengetahuan mengenai kita dan sikap-sikap
terhadap kita yang mempunyai kelompok-kelompok yang berbeda.
2) Katz: citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah
perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas.
3) Bill Canton: citra adalah kesan, perasaan, gambaran dari publik
terhadap perusahaan. Kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu
obyek, orang atau organisasi.
4) Jalaludin Rakhmat: citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak
harus sesuai dengan realitas, citra adalah dunia menurut persepsi.
Jefkins (2003:93) mengemukakan pengertian citra dalam konteks
humas, citra diartikan sebagai kesan, gambaran, atau impresi yang tepat
(sesuai dengan kenyataan) atas sosok keberadaan berbagai kebijakan
personil-personil atau jasa-jasa dari suatu organisasi atau perusaahaan.
Citra dapat dikatakan sebagai persepsi masyarakat dari adanya
pengalaman, kepercayaan, perasaan, dan pengetahuan masyarakat itu
sendiri terhadap perusahaan, sehingga aspek fasilitas yang dimiliki
perusahaan, dan layanan yang disampaikan karyawan kepada konsumen
dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap citra.
Kotler (2009:299) mendefinisikan citra sebagai seperangkat
keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu
objek. Adapun menurut Alma (2007:375) bahwa citra adalah kesan yang
dipikirkan dan yang diketahui oleh seseorang atau kelompok mengenai
30
suatu hal, baik perusahaan maupun produknya yang diperoleh melalui
pengalaman.
Berdasarkan berbagai definisi tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan pengertian citra adalah gambaran kesan yang diperoleh
seseorang dari lingkungan sekitar atau pihak lain sebagai hasil dari
pengalaman dan pengetahuannya tentang suatu obyek.
b. Jenis-jenis Citra
Menurut Anggoro (2010:59-69) bahwa terdapat 5 (lima) jenis citra
yang melekat pada seseorang atau organisasi, yakni:
1) Citra bayangan
Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota
organisasi mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya.
Dengan kata lain, citra bayangan adalah citra yang dianut oleh orang
dalam mengenai pandangan luar terhadap organisasinya. Citra ini sering
kali tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak
memadainya informasi, pengetahuan maupun pemahaman yang dimiliki
oleh kalangan dalam organisasi mengenai pendapat atau pandangan
pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif, karena
kita biasa membayangkan hal yang serba hebat mengenai diri kita
sendiri sehingga kita pun percaya bahwa orang lain juga memiliki
pemikiran yang serupa dengan kita.
31
2) Citra yang berlaku
Citra ini adalah suatu citra atau pandangan yang melekat pada
pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya
dengan citra bayangan, citra yang berlaku tidak selamanya, bahkan
jarang, sesuai dengan kenyataan karena semata-mata terbentuk dari
pengalaman atau pengetahuan orang-orang luar yang bersangkutan
yang biasanya tidak memadai. Biasanya pula citra ini cenderung
negatif. Citra ini amat ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi
yang dimiliki oleh penganut atau mereka yang mempercayainya.
3) Citra harapan
Citra harapan adalah suatu citra yang diharapkan oleh pihak
manajemen. Citra ini juga tidak sama dengan citra yang sebenanya.
Biasanya citra harapan lebih baik atau lebih menyenangkan daripada
citra yang ada, walaupun dalam kondisi tertentu, citra yang terlalu baik
juga bisa merepotkan. Namun secara umum yang disebut sebagai citra
harapan itu memang sesuatu yang berkonotasi lebih baik. Citra harapan
ini biasanya dirumuskan dan diperjuangkan untuk menyambut sesuatu
yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum mempunyai informasi
yang memadai.
4) Citra perusahaan
Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara
keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan pelayanannya saja. Citra
perusahaan ini terbentuk oleh banyak hal. Hal-hal positif yang dapat
32
meningkatkan citra suatu perusahaan antara lain adalah sejarah atau
riwayat hidup perusahaan yang gemilang, keberhasilan-keberhasilan di
bidang keuangan yang pernah diraihnya, sukses ekspor, hubungan
industri yang baik, reputasi yang baik sebagai pencipta lapangan kerja
dalam jumlah besar, kesediaan turut memikul tanggung jawab sosial,
komitmen mengadakan riset dan sebagainya.
5) Citra majemuk
Setiap perusahaan atau organisasi pasti memiliki banyak unit dan
pegawai (anggota). Masing-masing unit dan individu tersebut memiliki
perilaku dan perangai tersendiri, sehingga secara sengaja atau tidak
sengaja mereka pasti memunculkan suatu citra yang belum tentu sama
dengan citra organisasi atau perusahaan secara keseluruhan. Jumlah
citra yang dimiliki suatu perusahaan boleh dikatakan sama banyaknya
dengan jumlah pegawai yang dimilikinya. Untuk menghindari berbagai
hal yang tidak diinginkan, variasi citra itu harus ditekan seminim
mungkin dan citra perusahaan secara keseluruhan harus ditegakkan.
Banyak cara yang dapat ditempuh antara lain dengan mewajibkan
semua karyawan untuk mengenakan seragam, menyamakan jenis dan
warna mobil dinas, bentuk toko yang khas, simbol-simbol tertentu, dan
sebagainya.
c. Proses Pembentukan Citra
Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan
dan pengertian tentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk mengetahui citra
33
seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap
objek tersebut. Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, pada
informasi, dan pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori sikap
atau aksi sosial yang ridak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-
dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses
pembentukkan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan
dan informasi-informasi yang didapat seseorang. Komunikasi tidak dapat
secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung
mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita terhadap lingkungan
(Soemirat dan Ardianto, 2010:114).
Proses pembentukan citra dalam struktur kognisi yang sesuai dengan
pengertian sistem komunikasi yang dijelaskan oleh Nimpoeno dalam
Soemirat dan Ardianto (2010:115), yakni:
Gambar 1
Model Pembentukan Citra
Sumber: Nimpoeno dalam Soemirat dan Ardianto (2010:115)
Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yaitu public
relations digambarkan sebagai output-input. Proses intern dalam model ini
Kognitif
Motivasi
Persepsi Sikap Stimulus
Rangsang Respon
Perilaku
Pengalaman mengenai stimulus
34
adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan
dan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Citra itu sendiri
digambarkan melalui persepsi, kognisi, motivasi, dan sikap.
Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang
berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respon. Stimulus
(rangsang) yang diberikan pada individu dapat diterima atau ditolak. Jika
rangsang ditolak, maka proses selanjutnya tidak dapat berjalan. Hal ini
menunjukkan bahwa rangsang tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi
individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya jika
rangsang diterima oleh individu, maka itu berarti terdapat komunikasi dan
perhatian organisme, dengan demikian proses selanjutnya dapat berjalan.
d. Faktor-faktor yang Membentuk Citra
Ada 4 (empat) komponen citra menurut Nimpoeno dalam Soemirat
dan Ardianto (2010:115) yakni persepsi, kognisi, sikap dan motivasi yang
diartikan sebagai citra individu terhadap rangsangan. Jika stimulus
mendapat perhatian, maka individu akan berusaha untuk mengerti tentang
rangsangan tersebut. Penjelasan keempat komponen itu adalah sebagai
berikut:
1) Persepsi
Persepsi diartikan sebagai hasil pengamatan terhadap unsur
lingkungan yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan. Dengan
kata lain, individu akan memberikan makna terhadap rangsangan
berdasarkan pengalamannya mengenai rangsangan. Kemampuan
35
mempersepsikan itulah yang dapat melanjutkan proses pembentukan
citra. Persepsi atau pandangan individu akan positif bila informasi yang
diberikan oleh rangsangan dapat memenuhi kognisi individu.
2) Kognisi
Kognisi yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus.
Keyakinan akan timbul apabila individu telah mengerti rangsang
tersebut, sehingga individu harus diberikan informasi-informasi yang
cukup yang dapat mempengaruhi perkembangan kognisinya.
3) Sikap
Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan
merasa dalam menghadapi objek, ide situasi atau nilai. Sikap bukan
perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan
cara-cara tertentu. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi.
Sikap menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu,
menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan. Sikap
mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan
atau tidak menyenangkan. Sikap ini juga dapat diperteguh atau diubah.
4) Motivasi
Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna
mencapai suatu tujuan.
36
5. Framing
a. Konsep Framing
Menurut Eriyanto (2012:4) bahwa framing atau bingkai berfungsi
untuk menjaga pandangan kita terhadap suatu gambar yang ada. Tuchman
framing sebagai jendela. Apa yang ada di luar jendela terlihat dari
bagaimana jendela yang kita pakai untuk melihatnya. Jendela yang luas,
misalnya, akan memungkinkan kita melihat tidak hanya halaman rumah
kita saja, tapi juga rumah-rumah lain atau pemandangan lain yang bisa
lebih luas jangkauannya. Berbeda dengan apabila kita menggunakan
jendela berukuran kecil yang pada akhirnya sangat membatasi apa yang
bisa kita lihat.
Menurut Eriyanto (2012:71) bahwa konsep framing dalam studi media
banyak berasal dari lapangan psikologi dan sosiologi. Dalam dimensi
psikologi, framing dilihat dari pengaruh kognisi seseorang yang
membentuk skema tentang diri. Skema lahir dari proses pengetahuan dan
pengalaman seseorang. Selain itu, lingkungan sosial juga ikut
mempengaruhi kehadiran skema. Skema merupakan aktivitas kognitif
seseorang dalam melihat dunia sosialnya dengan perspektif tertentu.
Secara psikologis, individu akan cenderung melihat realitas yang
kompleks dengan perspektif pribadi (Eriyanto, 2012:72). Kecenderungan
ini yang membuat perspektif tentang suatu realitas antar individu berbeda.
Setiap individu mempunyai perspektif masing-masing yang tidak sama
sesuai dengan aktivitas kognisinya.
37
Untuk itu, skema digunakan untuk menyederhanakan realitas-realitas
kompleks yang ditangkap individu tersebut. Penyederhanaan tersebut
dilakukan agar pikiran kita mudah mengerti dan memahami suatu realitas
(Eriyanto, 2012:86). Skema ini pula bergantung pada pengetahuan dan
pengalaman yang dialami individu. Pembentukan makna akan sesuatu bagi
anak-anak pastinya berbeda dengan yang sudah dewasa. Oleh karenanya,
framing dilihat sebagai perspektif yang membatasi pandangan individu
terhadap suatu realitas tersebut.
Dengan skema, maka sesorang akan mampu untuk membedakan satu
hal dan yang lainnya berdasarkan klasifikasi. Klasifikasi ini merupakan
perspektif yang dibuat seseorang untuk memberikan ciri-ciri khusus agar
mudah diingat dan membedakannya dengan hal serupa namun tak sama
maknanya (Eriyanto, 2012:87).
Selain itu, skema juga membuat kita mengeneralisir suatu hal. Kalau
klasifikasi berhubungan dengan bagaimana satu peristiwa atau orang
dibedakan dengan ciri-cirinya, generalisasi berhubungan dengan
bagaimana satu orang yang mempunyai ciri dan sifat yang berdeketan
digeneralisasikan dengan melekatkan pada ciri-ciri yang sama (Eriyanto,
2012:88). Tidak hanya menyederhanakan realitas, mengklasifikasikan, dan
mengeneralisir saja, namun skema juga bisa mengasosiasikan peristiwa
satu dan yang lainnya. Hal ini yang menyebabkan sesuatu yang sering
dihubung-hubungkan dengan hal lain sehingga memunculkan perspektif
yang kadang bias.
38
Sedangkan dalam dimensi sosiologis, konsep framing banyak berasal
dari Alfred Schutz, Erwin Goffman, dan juga Peter Berger (Eriyanto,
2012:79-80). Gagasan Schutz tentang manusia sebagai aktor kreatif dalam
pemberian makna diartikan bahwa teks berita di media massa awalnya
hanya berupa teks biasa tanpa makna, namun, kita sendiri sebagai pembaca
yang memberikan makna tersebut (Poloma, 2013:299). Itu pula yang
terjadi pada proses peliputan dan penulisan berita oleh wartawan dan pihak
redaksi. Peristiwa yang mereka lihat adalah mereka sendiri yang
memaknainya.
Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson
tahun 1955, yang menjelaskan bahwa mulanya, frame dimaknai sebagai
struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir
pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan
kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas (Sobur, 2012:161).
Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974,
yang mengandaikan frame sebagai kepentingan-kepentingan perilaku
(strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas
oleh media.
Goffman menjelaskan bahwa strips adalah urutan aktivitas sesorang
dengan framing sebagai pola dasar yang mendefinisikan strips (Eriyanto,
2012:82). Alat makan, mengambil makanan, kemudian memakannya
merupakan strips yang diorganisasikan menjadi satu pola bernama
aktivitas makan yang merupakan frame. Begitu pula dalam konteks berita.
39
Peristiwa yang ada diruntun dengan bahasa dan simbol yang sedemikian
rupa oleh wartawan yang disebut strips lalu menjadi satu berita utuh yang
merupakan frame.
Setiap wacana memiliki struktur internal sendiri di dalamnya. Struktur
internal tersebut memiliki sebuah gagasan inti yang kita bahas sekarang,
yaitu framing. Sebagai suatu metode analisis wacana, framing bertugas
menemukan perspektif media dalam wacananya. Perspektif media inilah
yang digunakan untuk mengkonstruksi suatu peristiwa. Perspektif itu pada
akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang
ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut
(Nugroho dkk, 2009:21).
Dengan framing, maka wacana itu bisa dilihat lebih dalam tentang
bagaimana pesan diorganisir, digunakan, dan dipahami. Proses framing
(pembingkaian pesan), menurut George J. Aditjondro merupakan metode
penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari
secara total, tetapi dibelokkan secara halus (Siahaan, 2005:9).
Framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas
sedemikian rupa, sehingga dihasilkan sebuah wacana (discourse) yangdi
dalam media massa wacana ini paling banyak mengambil bentuk dalam
wujud berita. Seperti halnya teori semiotika yang bisa dipakai sebagai
wacana teori semiotika, teori framing juga bisa dipakai sebagai salah satu
metode untuk memahami “information strategy” dari strategi penyusunan
40
realitas, maka analisis framing berfungsi untuk membongkar muatan
wacana (Hamad, 2014:21-22).
Proses framing juga dapat menjadi implikasi politik yang sangat
signifikan. Framing dapat membentuk rekayasa opini publik tentang suatu
kasus. Dengan mempertajam frame tertentu tentang sebuah isu politik,
mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang
mendukung kepentingan mereka, atau konvergen dengan “klaim
kebenaran” mereka (Sudibyo, 2009:188).
Realitas dan peristiwa itu begitu kompleks dan acak, ia harus
diidentifikasi (diberi nama, diidentifikasi, dan dihubungkan dengan
peristiwa lain yang diketahui oleh khalayak) dan ditempatkan dalam
konteks sosial tertentu dimana khalayak tersebut berada (sering kali itu
dilakukan dengan menempatkan peristiwa dalam kerangka acuan yang
familiar dari khalayak) (Eriyanto, 2012:119). Maka dari itu, efek framing
yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks dan tidak
beraturan dibuat sederhana dan beraturan. Framing menyediakan alat
bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal
khalayak. Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan
informasi yang tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya, dan diingat
dalam benak mereka.
b. Pengertian Framing
Beberapa pengertian framing yang disampaikan oleh beberapa ahli
telah dirangkum dan diringkas oleh Eriyanto (2012:67-68), antara lain:
41
1) Menurut Robert Etman: framing adalah proses seleksi di berbagai aspek
realitas sehingga aspek tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol
dibandingkan aspek lainnya. Ia juga menyatakan informasi-informasi
dalam konteks yang khas sehingga tertentu mendapatkan alokasi lebih
besar daripada sisi lainnya.
2) Menurut Todd Gitlin: framing adalah strategi bagaimana realitas atau
dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan
kepada khalayak. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan
agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu
dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan dan presentasi aspek
tertentu dari realitas.
3) Menurut David Snow dan Robert Benford: framing adalah pemberian
makna untuk ditafsirkan peristiwa dari kondisi yang relevan. Frame
mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata
kunci tertentu, seperti anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi dan
kalimat tertentu.
4) Menurut Zhongdan dan Pan Konsicki: framing didefinisikan sebagai
konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan
dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa dihubungkan dengan
rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
Proses pembentukan dan konstruksi realita tersebut hasil akhirnya ada
bagian-bagian tertentu yang ditonjolkan dan ada bagian-bagian yang lain
disamarkan atau bahkan dihilangkan. Aspek yang tidak ditonjolkan
42
kemudian akan terlupakan oleh khalayak karena khalayak digiring pada
satu realitas yang ditonjolkan oleh media tersebut. Framing adalah sebuah
cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Di tambah pula dengan
berbagai kepentingan, maka konstruksi realitas politik sangat ditentukan
oleh siapa yang memiliki kepentingan dengan berita tersebut (Sobur,
2012:167).
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa framing adalah proses membuat suatu pesan lebih menonjol,
menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih
tertuju pada pesan tersebut. Adapun analisis framing digunakan untuk
membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta.
Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke
dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih
diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektifnya.
Analisis framing dalam penelitian ini menggunakan model framing Robert
Entman.
c. Framing Robert Entman
Framing Robert Entman menjadi model framing paling terdepan yang
mendefinisikan framing adalah memilih beberapa aspek dari realitas yang
dirasakan dan membuat mereka lebih menonjol dalam teks komunikasi,
sedemikian rupa untuk mempromosikan definisi masalah tertentu,
interpretasi kausal, evaluasi moral, dan/atau rekomendasi pengobatan
(Entman, 1993).
43
Entman dalam McQuail (2010:380) juga menyebutkan bahwa aspek
utama dari sebuah framing adalah pendefinisian masalah, penyebab
masalah, evaluasi moral, dan solusi penyelesaian masalah. Menurut
Entman (1993), „Framing melibatkan seleksi dan arti-penting‟. Dia
merangkum aspek utama pembingkaian dengan mengatakan bahwa
kerangka mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, membuat
penilaian moral, dan menyarankan pengobatan. Jelas bahwa sejumlah
besar perangkat tekstual dapat digunakan untuk melakukan aktivitas ini.
Mereka termasuk menggunakan kata-kata atau frase tertentu, membuat
referensi kontekstual tertentu, memilih gambar atau film tertentu,
memberikan contoh-contoh yang khas, mengacu pada sumber-sumber
tertentu dan sebagainya.
Pembahasan utama framing dari Entman adalah soal penyeleksian dan
penonjolan isu. Aspek penyeleksian isu terjadi oleh pihak redaksi dimana
ada pemilihan isu yang nantinya akan disebarkan lewat pemberitaannya
atau tulisan di media massanya. Penyeleksian ini meliputi soal pemilihan
isu mana yang akan diambil dan mana yang tidak. Tidak semua bisa
ditampilkan oleh pihak media, oleh karenanya, isu yang sudah diterima
khalayak adalah hasil penyeleksian dari wartawan dan redaksi media
tersebut.
Framing pada dasarnya adalah penonjolan isu di mana suatu peristiwa
ditonjolkan dengan menggunakan aksen-aksen tambahan serta bahasa
yang menjadikannya mudah diingat pembaca. Dengan bentuk seperti iti,
44
sebuah ide/gagasan/informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah
diperhatikan, diingat, dan ditafsirkan, karena berhubungan dengan skema
pandangan khalayak (Eriyanto, 2012:186).
Proses framing adalah kegiatan yang tak terpisahkan dari pihak media
dalam mengkonstruksikan fakta. Bagaimana si wartawan memilih
peristiwa yang akan diangkatnya menjadi sebuah berita yang memiliki
nilai berita, siapa saja yang ia pilih untuk menjadi narasumbernya, serta
bagaimana ia menuliskannya. Tentunya menjadikan berita yang ia tulis
menjadi subjektif secara tidak langsung. Tidak hanya wartawan, karena
pemilihan angle atau tema atas berita yang ditulis juga menjadi keputusan
rapat redaksi media bersangkutan. Berita yang ditulis wartawan pun
nantinya akan kembali disunting oleh editor yang juga sesuai dengan
perspektif si editor atas berita tersebut. Redaktur pun memiliki
kewenangan dalam memutuskan apakah cerita tersebut layak muat atau
tidak. Begitu pula dengan para layouter atau tata letak, mereka akan
menambahkan gambar, karikatur, dan aksen lainnya untuk memperkuat
gagasan dalam tulisan tersebut baik tanpa maupun melalui kebijakan dari
redakturnya.
Entman menerangkan bahwa framing bahkan bisa menjadi sebuah
paradigma sendiri. Ini dikarenakan proses dari praktik jurnalistik yang
demikian. Ada pemilihan dan penonjolan isu sendiri yang akan diangkat
oleh pihak redaksi dari media bersangkutan.
45
Model framing Entman, sebagaimana yang ia selalu tekankan dalam
definisinya tentang framing adalah dilakukannya pengidentifikasian
masalah (problem identification), mencari penyebab masalah (causal
interpretation), membuat keputusan moral (moral judgement), dan solusi
atas masalah (treatment recommendation).
Pada pendefinisian masalah akan dilihat bagaimana suatu masalah
atau peristiwa dilihat. Satu masalah atau peristiwa akan dimaknai berbeda
oleh wartawan yang berbeda. Itu dikarenakan skema individu yang
berbeda, karena setiap individu memiliki perspektifnya masing-masing
atas suatu masalah. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan, di
dalamnya, konsepsi dan skema interpretasi wartawan (Eriyanto,
2012:189). Menurut Entman (1993) bahwa identifikasi masalah adalah
mengidentifikasi apa yang dilakukan agen penyebab masalah dengan
menggunakan istilah-istilah umum yang sesuai dengan nilai budaya
setempat.
Memperkirakan penyebab masalah (causal interpretation) merupakan
tahapan dimana peristiwa dilihat dari siapa atau apa yang
menyebabkannya. Di sini, Entman menyebutkan bahwa causal
interpretation adalah pengidentifikasian kekuatan yang menyebabkan
masalah. Penyebab masalah tidak harus terpaku oleh apa, namun juga
siapa aktor, yang dalam wacana tersebut dituding sebagai peenyebab
masalah. Dalam tahap ini, dapat terlihat bahwa ada yang dianggap sebagai
pelaku dan juga ada yang dianggap sebagai korban.
46
Membuat pilihan moral (make moral judgement), tahapan ini adalah
tahapan dimana terjadi evaluasi terhadap si penyebab masalah dan efek
yang ditimbulkan oleh masalah tersebut. Ada penguatan argument dalam
pendefinisian masalah. Artinya, ada argument lain yang menegaskan
gagasan yang ingin disampaikan wartawan dan pihak redaksi. Gagasan
yang dikutip berdasarkan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak
(Eriyanto, 2012:191).
Elemen yang terakhir adalah solusi atas masalah atau treatment
recommendation. Dengan tahapan ini, kita bisa mencari apa sebenarnya
yang ditawarkan penulis sebagai solusi atas masalah yang diangkat
sebagaimana yang ada di pengidentifikasian masalah. Apa yang menjadi
jalan keluar yang menunjukkan sikap wartawan atau redaksi yang
ditawarkan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Keempat tahapan atau elemen di atas merupakan alat untuk memilah
dan mengetahui framing yang dipakai media untuk mengemas suatu
perstiwa atau berita. Eriyanto (2012:189) menyatakan tentang dua level
frame berita yang timbul, yaitu bahwa frame berita timbul dalam dua level.
Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi
dan sebagai karakteristik dari teks berita. Kedua, perangkat spesifik dari
narasi berita yang dipakai untuk membengun pengertian mengenai
peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep,
simbol, citra yang ada dalam narasi berita.
47
Model framing Entman memang banyak berbicara tentang aksen-
aksen yang menjadikan suatu wacana menonjol dan mendapat perhatian
lebih. Seperti misalnya, penempatan berita menjadi headline yang bearada
di halaman muka surat kabar. Jenis font yang dicetak tebal dan besar.
Belum lagi, penambahan foto, gambar, diagram, karikatur, dan lain-lain
yang membuatnya menjadi menonjol sehingga menarik khalayak untuk
membacanya.
Aksen-aksen tersebut merupakan penguatan yang dilakukan terhadap
teks berita atau wacana. Kata menjadi senjata utama bagi para penulis
dalam mengemas isu mereka. Oleh karenanya, dengan model framing
Entman, pembedahan kata-kata tersebut akan lebih mudah teridentifikasi.
Kata memiliki kekuatan yang besar untuk memengaruhi cara
memaknai teks oleh pembaca. Kata hanya mempunyai makna setelah ia
diasosiasikan dengan referen. Artinya, ketika kita berbicara tentang
denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi
kebanyakan anggota suatu masyarakat linguistik tertentu, sedangkan
konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi
seorang atau lebih anggota masyarakat itu (Tubbs & Moss, 2008:71).
Oleh karenanya, Entman memandang bahwa wacana merupakan arena
pertarungan simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan
pokok persoalan wacana. Masing-masing pihak saling menonjolkan
perspektif dan argumennya agar diterima khalayak. Setiap pihak juga
menggunakan simbol, retorika, dan bahasa-bahasa tertentu dengan
48
konotasi tertentu. Dengan kata lain, proses framing menjadikan media
massa sebagai suatu arena di mana informasi tentang masalah-masalah
tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak
yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca
(Eriyanto, 2012:196). Inilah yang disebut Eriyanto dengan efek framing.
Namun Entman juga menyatakan bahwa sebuah kalimat bisa saja
menunjukkan lebih dari satu dari empat elemen framing-nya, walaupun
banyak kalimat dalam teks yang sama yang tidak menunjukkan satu pun
dari keempat framing tersebut.
Dalam proses komunikasi, setidaknya ada empat lokasi yang
menunjukkan suatu framing, yaitu komunikator, teks, si penerima, dan
juga budaya. Komunikator berperan membuat suatu bingkai yang secara
disadari maupun tidak menentukan apa yang ingin dikatakan dan
menggiring dengan menggunakan schemata yang telah diorganisasikan.
Teks yang terdiri atas potongan bingkat tersebut kemudian dikonstruksi
dan ditonjolkan dengan menggunakan kata-kata kunci tertentu, frase,
gambar, sumber informasi, atau apa pun yang bisa menggiring si pembaca
ke arah bingkai yang dimaksud si komunikator. Framing pun kemudian
diterima si pembaca yang sesuai dan diperkuat dengan nilai-nilai budaya
dari suatu kelompok tersebut.
Cara framing bekerja adalah menonjolkan beberapa informasi dari
teks. Kata penonjolan itu sendiri pun perlu diberi makna. Artinya,
membuat potongan sebuah informasi itu lebih ditandai pembaca, lebih
49
bermakna, dan juga lebih diingat pembaca. Sebuah teks bisa saja menjadi
menonjol dengan penempatan-penempatan di kolom yang lebih besar,
lebih mudah ditemukan, dan sebagainya. Atau teks tersebut selalu diulang
untuk meninggalkan kesan yang kuat untuk diingat. Teks yang dianalisis
framing dalam penelitian ini adalah ucapan atau kata-kata pihak
Kepolisian RI dalam tayangan reality show 86 di Net.TV.
B. Penelitian Terdahulu
Damayanti (2013) melakukan penelitian dengan judul “Konstruksi
Makna Tayangan Indonesia Bersatu Debat Capres-Cawapres Pilpres 2009 di
Metro TV”. Penelitian ini memfokuskan makna konstruktif dari Metro TV
pada debat pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Presiden
2009. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
paradigma konstruktif. Pendekatan studi kasus terlihat paling
menggambarkan aktivitas humas politik dalam penelitian ini. Penelitian ini
dibagi menjadi dua bagian, pertama, analisis framing visual di Metro TV.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa makna konstruksi di Metro TV dalam
sebuah debat yang disiarkan di “Indonesia bersatu” melalui sebuah bingkai:
Perdebatan 2009 yang merupakan pesta demokrasi sebagai sebuah peristiwa
politik rakyat Indonesia. Artifisial konstruktif yang disiarkan di Metro TV
mencoba memberi pengertian kepada masyarakat Indonesia terutama para
pemirsa untuk menjadi pemilih yang rasional, bukan yang emosional dengan
menyiarkan diskusi tentang debat presiden 2009.
50
Penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu memiliki beberapa
kesamaan, terutama dalam hal media yang dianalisis yakni berupa tayangan
atau program acara yang disiarkan oleh televisi nasional, objek penelitian
berupa ucapan dari narasumber, dan penggunaan analisis framing dengan
model Robert N. Entman. Tetapi penelitian sekarang dengan penelitian
terdahulu juga memiliki beberapa perbedaan, terutama pada jenis tayangan
atau program televisi, media televisi yang menyiarkan tayangan, dan
konstruksi yang dibangun dalam analisis framing. Penelitian terdahulu
menggunakan jenis program televisi berupa talkshow, sedangkan penelitian
sekarang berupa reality show. Penelitian terdahulu menggunakan tayangan
yang disiarkan oleh Metro TV, sedangkan penelitian sekarang menggunakan
tayangan yang disiarkan oleh Net.TV. Konstruksi yang dibangun dalam
analisis framing pada penelitian terdahulu adalah kontruksi makna tayangan
debat, sedangkan penelitian sekarang berupa konstruksi citra lembaga
penegak hukum atau institusi Kepolisian RI.
C. Kerangka Pemikiran
Berikut ini adalah kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagaimana
terlihat pada gambar berikut.
51
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan gambar 2.1 di atas maka dapat dijelaskan bahwa Kepolisian
RI bekerjasama dengan Net.TV menyelenggarakan dan menyiarkan suatu
tayangan atau program acara reality show dengan nama “86”, yang menampilkan
kehidupan nyata dan aksi-aksi anggota Kepolisian RI saat sedang bertugas di
lapangan. Pada setiap episode terdapat seorang anggota Polisi yang menjadi
narasumber yang menjelaskan permasalahan yang terjadi dan evaluasi dari
masalah tersebut di depan kamera. Ucapan narasumber tersebut baik berupa kata,
frase, maupun kalimat dituangkan dalam bentuk teks atau ditranskripsi oleh
peneliti sebagai data atau objek yang akan diteliti. Analisa data dalam penelitian
ini menggunakan analisis framing, khususnya model framing yang dikembangkan
oleh Robert N. Entman. Model tersebut dipilih karena analisisnya bersifat tahapan
Tayangan Reality Show
“86” di Net.TV Narasumber Anggota Polisi
Transkripsi
Analisis Framing
Model R.N. Entman
Konstruksi Citra
52
sehingga dapat lebih mudah untuk melakukan pembingkaian. Selain itu, model
Entman juga cenderung bersifat solutif karena menyediakan rekomendasi solusi
atas penyelesaian dari permasalahan yang telah teridentifikasi.
Analisis framing model Robert N. Entman dilakukan dengan empat cara
atau tahapan. Pertama, identifikasi masalah (problem identification), yaitu
peristiwa dilihat sebagai sesuatu yang mana positif dan yang mana negatif. Kedua,
interpretasi penyebab masalah (causal interpretation), yaitu siapa yang dianggap
penyebab masalah. Ketiga, evaluasi moral (moral evaluation), yaitu penilaian atas
penyebab masalah; dan keempat, saran penanggulangan masalah (treatment
recommendation), yaitu menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadang
kala memprediksikan hasilnya. Berdasarkan kerangka hasil framing model Robert
N. Entman maka dapat dibingkai citra atau kesan seperti apa yang ingin dibangun
oleh Kepolisian RI melalui tayangan reality show 86 di Net.TV kepada khalayak.