BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Informasi Akuntansi 2.1.1...
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Informasi Akuntansi 2.1.1...
9
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Sistem Informasi Akuntansi
2.1.1. Pengertian Sistem Informasi
Menurut Laudon dan Laudon (2004, p8), “an information system can be
defined technically as a set of interrelated components that collect (or retrieve),
process, store, and distribute information to support decision making and control
in an organization.” Penulis menterjemahkan bahwa sistem informasi dapat
didefinisikan sebagai sekumpulan dari komponen-komponen yang saling
berhubungan dalam mengumpulkan (atau memperoleh), memproses,
menyimpan, dan mendistribusikan informasi untuk mendukung pengambilan
keputusan, koordinasi, dan pengendalian di dalam sebuah perusahaan.
Menurut O’Brien (2003, p7), “an information system can be any
organized combination of people, hardware, software, communication networks,
and data resources that collects, transforms, and disseminates information in an
organization.” Penulis menterjemahkan bahwa sistem informasi dapat
merupakan kombinasi dari orang, perangkat keras, piranti lunak, jaringan-
jaringan komunikasi¸ dan sumber daya data yang mengumpulkan, mengubah,
dan menyebarkan informasi di dalam suatu perusahaan.
Sedangkan menurut Turban et al. (2003, p15), “an information system
collects, processes, stores, analyzes, and disseminates information for a specific
purpose. Like any other system, an information system includes inputs (data,
10
instructions) and outputs (reports, calculation). It processes the inputs and
produces outputs that are sent to the user or to other system.” Penulis
menterjemahkan bahwa sebuah sistem informasi mengumpulkan, memproses,
menyimpan, menganalisis, dan menyebarkan informasi untuk tujuan tertentu.
Seperti sistem lainnya, sebuah sistem informasi mencakup input berupa data dan
instruksi-instruksi serta output berupa laporan-laporan dan kalkulasi-kalkulasi.
Sistem informasi memproses input dan menghasilkan output yang akan
dikirimkan ke pengguna atau ke sistem-sistem lainnya.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem informasi
adalah sekumpulan komponen yang terdiri dari orang, perangkat keras, piranti
lunak, jaringan komunikasi, dan sumber data yang saling berinteraksi dalam
mengumpulkan, memproses, mengubah, menyebarkan, dan menyimpan
informasi yang dibutuhkan bagi pengambilan keputusan dan pencapaian sasaran
perusahaan.
2.1.2. Pengertian Akuntansi
Menurut Bodnar dan Hopwood, yang diterjemahkan oleh Jusuf dan
Tambunan (2000, h1), akuntansi sebagai suatu sistem informasi,
mengidentifikasikan, mengumpulkan, dan mengkomunikasikan informasi
ekonomik mengenai suatu badan usaha kepada beragam orang.
Menurut Horngren et al. (2002, p5), ”accounting is the information
system that measures business activities, processes that information into reports,
and communicates the results to decision makers.” Penulis menterjemahkan
bahwa akuntansi merupakan sebuah sistem informasi yang mengukur aktivitas-
11
aktivitas bisnis, memproses informasi menjadi laporan-laporan, dan
mengkomunikasikan hasil-hasil tersebut kepada para pembuat keputusan.
Menurut Wilkinson et al. (2000, p5), yang diterjemahkan oleh penulis,
akuntansi memiliki beberapa sisi. Pertama, akuntansi mencakup pencatatan data
ekonomi (koleksi data), pemeliharaan data yang disimpan (pemeliharaan data),
dan menyajikan informasi kuantitatif dalam istilah-istilah finansial (information
generation). Kedua, akuntansi merupakan “bahasa bisnis” yang mengekspresikan
dan meringkas peristiwa-peristiwa penting pada perusahaan bisnis. Terakhir,
akuntansi dapat dipandang sebagai suatu informasi keuangan yang diperlukan
untuk keseluruhan fungsi dari suatu entitas (seperti perusahaan bisnis). Informasi
keuangan utama tertentu, misalnya, merefleksikan hasil-hasil operasi selama
periode akuntansi serta status dari aset dan modal pada akhir periode akuntansi.
Berbagai jenis pemakai, baik yang berada di dalam entitas dan maupun di luar
entitas, menggunakan informasi ini untuk berbagai macam tujuan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akuntansi adalah suatu
sistem informasi yang mengumpulkan dan mencatat data ekonomi dari aktivitas-
aktivitas bisnis perusahaan dan kemudian memprosesnya menjadi sebuah laporan
yang berguna dalam pembuatan keputusan berbagai pihak pemakai, baik dari
dalam atau luar perusahaan.
2.1.3. Pengetian Sistem Informasi Akuntansi
Menurut Gelinas dan Dull (2005, p14), ”accounting information system
(AIS) is a specialized subsystem of the IS. The purpose of this separate AIS was
to collect, process, and report information related to the financial aspects of
12
business events.” Penulis menterjemahkan bahwa sistem informasi adalah
subsistem spesialisasi dari sistem informasi yang bertujuan mengumpulkan,
memproses, dan melaporkan informasi yang berhubungan dengan aspek-aspek
keuangan dari kegiatan-kegiatan dalam bisnis.
Menurut Jones dan Rama (2006, p5), ”accounting information system is a
subsystem of an MIS that provides accounting and financial information, as well
as other information obtained in the routine processing of accounting
transactions.” Penulis menterjemahkan bahwa sistem informasi akuntansi
merupakan suatu subsistem dari sistem informasi manajemen (SIM) yang
menyediakan informasi akuntansi dan keuangan sebagaimana informasi lain
yang diperoleh di dalam pemrosesan rutin dari transaksi-transaksi akuntansi.
Sedangkan menurut Wilkinson et al. (2000, p7), “accounting information
system is a unified structure within an entity, such as a business firm, that
employs physical resources and other components to transform economic data
into accounting information, with the purpose of satisfying the information needs
of a variety of users.” Penulis menterjemahkan bahwa sistem informasi akuntansi
adalah sebuah struktur dalam sebuah entitas, seperti perusahaan bisnis, yang
menggunakan sumber daya fisik dan komponen-komponen lainnya untuk
memproses data ekonomi menjadi informasi akuntansi, dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan informasi dari berbagai user.
Jadi dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem informasi
akuntansi adalah sebuah subsistem dari sistem informasi manajemen yang
menggabungkan entitas yang ada di dalam perusahaan dan menggunakan sumber
daya fisik serta komponen-komponen lainnya guna memenuhi kebutuhan
13
berbagai user akan informasi, baik informasi akuntansi maupun informasi
lainnya.
2.1.4. Tujuan dan Kegunaan Sistem Informasi Akuntansi
Menurut Jones dan Rama (2006, p6), yang diterjemahkan oleh penulis,
ada lima tujuan dan kegunaan sistem informasi akuntansi, yaitu:
1. Menghasilkan laporan eksternal
Perusahaan menggunakan sistem informasi akuntansi untuk menghasilkan
laporan-laporan khusus yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan
informasi yang dibutuhkan oleh pihak eksternal perusahaan seperti investor,
kreditur, penagih pajak, dan lainnya. Laporan-laporan tersebut mencakup
laporan keuangan, tax return, dan laporan lainnya yang dibutuhkan oleh
pihak-pihak yang terkait.
2. Mendukung aktivitas yang rutin
Manajer menggunakan sistem informasi akuntansi untuk mendukung
aktivitas rutin perusahaan selama siklus operasi perusahaan seperti menerima
pesanan pelanggan, pemenuhan jasa, dan pengiriman barang, menagih
pelanggan, dan menerima pembayaran.
3. Mendukung keputusan
Informasi juga dibutuhkan untuk mendukung pengambilan keputusan yang
bersifat non-rutin pada semua tingkatan dalam sebuah perusahaan seperti
mengetahui produk yang paling laku dijual dan mengetahui pelanggan mana
yang melakukan pembelian paling banyak. Informasi ini sangat penting
dalam perencanaan produk baru, pembuatan keputusan mengenai produk
14
yang akan disimpan sebagai persediaan, dan cara pemasaran produk ke
pelanggan.
4. Perencanaan dan pengawasan
Sebuah sistem informasi juga dibutuhkan dalam aktivitas perencanaan dan
pengendalian. Informasi mengenai anggaran dan biaya-biaya standar
disimpan menggunakan sistem informasi kemudian laporan dirancang untuk
membandingkan antara anggaran yang ditetapkan dengan jumlah yang
sebenarnya.
5. Mengimplementasikan pengendalian internal
Pengendalian internal meliputi kebijakan, prosedur dan sistem informasi
yang digunakan untuk melindungi aset perusahaan dari kehilangan atau
penggelapan dan untuk menjaga keakuratan data keuangan. Hal tersebut
dapat berhasil dengan membuat sebuah sistem informasi akuntansi yang
terkomputerisasi seperti penggunaan password untuk membatasi
pengaksesan data dari pihak yang tidak berwenang.
2.1.5. Subsistem dari Sistem Informasi Akuntansi
Menurut Hall (2001, h12), Sistem Informasi Akuntansi (SIA) terdiri atas
tiga subsistem utama, antara lain:
1. Sistem Pemrosesan Transaksi (SPT) / Transaction Processing System (TPS)
merupakan pusat dari seluruh fungsi sistem informasi dengan:
a. Mengkonversi peristiwa ekonomi ke transaksi keuangan.
b. Mencatat transaksi keuangan dalam record akuntansi (jurnal dan buku
besar).
15
c. Mendistribusikan informasi keuangan yang utama ke personel operasi
untuk mendukung kegiatan operasional harian mereka.
Sistem Pemrosesan Transaksi (SPT) menangani peristiwa-peristiwa bisnis
yang muncul secara berkala. STP terdiri atas 3 (tiga) siklus transaksi, yaitu:
siklus pendapatan, siklus pengeluaran, dan siklus konversi.
2. Sistem Pelaporan Buku Besar / Keuangan (General Ledger / Financial
Reporting System)
Sistem Buku Besar (SBB) dan Sistem Pelaporan Keuangan (SPK) adalah
subsistem yang saling erat terkait. Namun, karena interdependensi
operasional mereka, keduanya dipandang sebagai suatu sistem tunggal yang
integratif – SBB/PK. Besarnya input ke Sistem Buku Besar datang dari siklus
transaksi. Rangkuman aktivitas siklus transaksi ini diproses oleh Sistem
Buku Besar untuk memperbaharui akun-akun kontrol buku besar. Transaksi
lainnya yang tidak terlalu sering, seperti transaksi stok, merger, dan
penyelesaian tuntutan hukum, di mana mungkin siklus pemrosesan formal
tidak terjadi, juga memasuki SBB sebagai sumber alternatif. SPK mengukur
dan melaporkan status sumber daya keuangan dan perubahan dalam sumber
daya-sumber daya tersebut. SPK mengkomunikasikan informasi ini terutama
kepada pemakai eksternal.
3. Sistem Pelaporan Manajemen (Management Reporting System)
Sistem Pelaporan Manajemen (SPM) menyediakan informasi keuangan
internal yang diperlukan untuk mengatur sebuah bisnis. Para manajer
membutuhkan informasi yang berbeda untuk berbagai jenis keputusan yang
harus dilakukan. Laporan yang dihasilkan meliputi anggaran, laporan varians,
16
analisis biaya-volume-laba, dan laporan yang menggunakan data biaya lancar
(bukan yang historis).
2.1.6. Komponen-komponen Sistem Informasi Akuntansi
Menurut Romney dan Steinbart (2006, p6), yang diterjemahkan oleh
penulis, terdapat enam komponen dari sebuah sistem informasi akuntansi, yaitu:
1. Orang-orang yang mengoperasikan sistem dan melaksanakan berbagai
fungsi.
2. Prosedur-prosedur dan instruksi-instruksi, baik manual maupun yang
terotomatisasi, yang terlibat dalam pengumpulan, pemrosesan, dan
penyimpanan data mengenai aktivitas-aktivitas organisasi.
3. Data mengenai organisasi dan proses-proses bisnisnya.
4. Perangkat lunak yang digunakan untuk memproses data organisasi.
5. Infrastruktur teknologi informasi, yang mencakup komputer-komputer,
perangkat pendukung, dan perangkat komunikasi jaringan yang digunakan
untuk mengumpulkan, menyimpan, memproses, serta mentransmisikan data
dan informasi.
6. Pengukuran keamanan dan pengendalian internal yang mengamankan data
dalam sistem informasi akuntansi.
2.1.7. Siklus Sistem Informasi Akuntansi
Menurut Wilkinson et al. (2000, p45), yang diterjemahkan oleh penulis,
siklus sistem informasi akuntansi yang merupakan siklus transaksi akuntansi
(transaction cycles) terdiri dari:
17
1. General Ledger and Financial Reporting Cycle
Merupakan pusat dari siklus lainnya. Siklus ini unik di mana pemrosesan
transaksi individual bukanlah merupakan fungsi keseluruhannya maupun
fungsinya yang paling penting. Selain itu, juga lebih banyak bekerja sama
dengan pemrosesan yang berhubungan dengan akuntansi daripada kejadian
bisnis. Arus masuk utamanya timbul dari output siklus transaksi lainnya.
Sebagai tambahan, siklus ini meliputi transaksi non rutin dan penyesuaian
yang timbul selama atau pada akhir tiap periode akuntansi.
2. Revenue Cycle
Siklus ini meliputi tiga kejadian bisnis atau transaksi kunci, yaitu: permintaan
atas proyek, eksekusi proyek dan pengiriman (penjualan), serta penerimaan
kas.
3. Expenditure Cycle
Siklus ini meliputi dua kejadian bisnis atau transaksi kunci: pembelian dan
pengeluaran kas.
4. Resources-Management Cycle
Siklus ini terdiri dari semua aktivitas yang berhubungan dengan sumber daya
fisik perusahaan. Resources-management cycle ini melibatkan kejadian bisnis
sebagai berikut:
• Memperoleh modal dari berbagai sumber (termasuk pemilik),
menginvestasikan modal, dan membayar modal ke penerimanya.
• Memperoleh, memelihara, dan menyingkirkan fasilitas (aset tetap).
• Memperoleh, menyimpan, dan menjual persediaan (barang dagangan).
18
• Memperoleh, memelihara, dan membayar personil (seperti para pegawai,
manager, konsultan dan pihak luar lainnya).
5. Other Transaction Cycles
Siklus ini merupakan siklus-siklus lain selain yang telah dijelaskan di atas,
yang dimodifikasi sesuai dengan jenis perusahaannya. Misalnya, pada
perusahaan manufaktur menambahkan siklus produksi atau konversi
(production / conversion cycle).
2.2. Pembelian
2.2.1. Pengertian Pembelian
Menurut Bodnar dan Hopwood, yang diterjemahkan oleh Jusuf dan
Tambunan (2000, h277), pembelian adalah kegiatan yang dilakukan oleh
perusahaan dengan membeli barang secara tunai atau kredit atau membeli aktiva
produksi untuk digunakan dalam kegiatan perusahaan atau membeli barang dan
jasa berhubungan dengan kegiatan perusahaan.
Kemudian, menurut Gelinas dan Dull (2005, p420), yang diterjemahkan
oleh penulis, proses pembelian adalah sebuah struktur interaksi antara orang-
orang, peralatan, metode-metode, dan pengendalian (kontrol) yang didesain
untuk mencapai fungsi-fungsi utama sebagai berikut :
1. Menangani rutinitas pekerjaan yang berulang-ulang dari departemen
pembelian dan departemen penerimaan.
2. Mendukung kebutuhan pengambilan keputusan dari orang-orang yang
mengatur departemen pembelian dan penerimaan.
3. Membantu dalam penyiapan laporan internal dan eksternal.
19
Menurut Render dan Heizer (2001, h414), pembelian berarti perolehan
barang atau jasa. Tujuan dari kegiatan pembelian adalah:
1. Membantu identifikasikan produk dan jasa yang dapat diperoleh secara
eksternal.
2. Mengembangkan, mengevaluasi, dan menentukan pemasok, harga dan
pengiriman yang terbaik bagi barang dan jasa tersebut.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem informasi
akuntansi pembelian merupakan suatu sistem yang dibangun untuk mendukung
dan mengotomatisasikan kegiatan sehari-hari perusahaan yang berhubungan
dengan pembelian, yang harus disertai dengan adanya pengendalian internal
yang baik sehingga dapat mencegah dan meminimalisasi kemungkinan
terjadinya kecurangan dan kesalahan di dalam aktivitas pembelian perusahaan.
2.2.2. Fungsi – Fungsi yang Terkait
Menurut pendapat Wilkinson et al. (2000, p470), yang diterjemahkan
oleh penulis, fungsi-fungsi yang terkait dalam siklus pengeluaran (expenditure
cycle) adalah:
1. Inventory Management / Logistics
Dalam perusahaan dagang, tujuan dari fungsi ini adalah untuk mengatur
persediaan barang dagang yang diperoleh perusahaan untuk dijual kembali.
Dalam perusahaan pabrik, aktivitas yang termasuk ke dalam inventory
management dapat dikombinasikan dengan aktivitas produksi agar
memperluas fungsi logistik. Selain bertanggung jawab atas perencanaan,
20
inventory management juga mencakup pembelian, penerimaan, dan
penyimpanan.
Pembelian secara utama berfokus pada pemilihan supplier yang paling tepat
bagi perusahaan untuk melakukan pemesanan barang dan jasa. Pemilihan
supplier didasarkan pada faktor-faktor seperti harga unit untuk barang atau
jasa, kualitas barang atau jasa yang ditawarkan, syarat dan tanggal
pengiriman yang dijanjikan, dan juga kehandalan dari supplier. Bersama
dengan pengendalian persediaan (yang berada di bawah fungsi akuntansi),
bagian pembelian akan menjamin kuantitas barang yang akan diterima.
Bagian Penerimaan memiliki tanggung jawab untuk hanya menerima barang
yang dipesan, menverifikasi kuantitas dan kondisinya, dan memindahkan
barang ke gudang. Bagian Penyimpanan memiliki tanggung jawab untuk
menjaga barang dari pencurian, kehilangan dan perusakan serta
menyiapkannya dengan tepat waktu ketika terdapat permintaan atas barang
tersebut.
2. Finance / Accounting
Tujuan dari pengaturan keuangan dan akuntansi (financial and accounting
management) berhubungan dengan pembiayaan, data, informasi,
perencanaan, dan pengendalian sumber daya-sumber daya. Dalam
hubungannya dengan siklus pembelian, tujuan ini terbatas kepada
perencanaan dan pengendalian kas perusahaan, mengatur data yang berkaitan
dengan pembelian dan akun supplier, pengendalian persediaan, dan informasi
yang berkaitan dengan kas, pembelian dan supplier.
21
2.2.3. Proses Pembelian
Menurut Jones dan Rama (2006, p356), yang diterjemahkan oleh penulis,
proses pembelian setiap jenis perusahaan hampir serupa dan biasanya meliputi
beberapa atau seluruh kegiatan berikut ini :
1. Konsultasi dengan supplier
Sebelum mengadakan pembelian, sebuah perusahaan dapat menghubungi
beberapa supplier untuk mendapatkan pemahaman mengenai ketersediaan
kuantitas dan harga dari barang dan jasa.
2. Memproses permintaan barang
Dokumen permintaan barang atau jasa pertama-tama disiapkan oleh
karyawan dan disetujui oleh supervisor. Permintaan ini kemudian digunakan
oleh departemen pembelian untuk memesan barang.
3. Mengadakan perjanjian dengan supplier untuk pembelian barang atau jasa
dimasa yang akan datang
Perjanjian dengan supplier meliputi pesanan-pesanan pembelian (pesanan
yang sebenarnya dikirim ke supplier) dan kontrak dengan supplier.
4. Penerimaan barang atau jasa dari supplier
Perusahaan harus memastikan bahwa barang yang diterima adalah sesuai
dengan yang dipesan dan berada dalam kondisi yang baik. Pada perusahaan-
perusahaan yang besar, terdapat unit penerimaan yang terpisah yang akan
bertanggung jawab dalam menerima barang. Departemen penerimaan barang
akan menerima barang dan menyampaikannya ke departemen permintaan
barang.
22
5. Pengakuan kewajiban atas barang dan jasa yang diterima
Setelah barang-barang diterima, supplier akan mengirimkan sebuah invoice.
Jika tagihan tersebut akurat, departemen hutang akan mencatat invoice
tersebut.
6. Pemilihan invoice yang akan dibayar
Banyak perusahaan memilih invoice untuk pembayaran berdasarkan jadwal
dan seringkali secara mingguan.
7. Penulisan cek
Setelah memilih invoice yang akan dibayar, lalu dilakukan penulisan,
penandatanganan, dan pengiriman cek kepada supplier.
2.2.4. Manajemen Pembelian
Menurut Render dan Heizer (2001, h420), manajemen pembelian
mempertimbangkan berbagai faktor, seperti biaya persediaan dan transportasi,
ketersediaan pasokan, kinerja pengiriman, dan mutu pemasok. Suatu perusahaan
mungkin mempunyai kemampuan di semua bidang manajemen pembelian dan
kemampuan luar biasa di bidang-bidang tertentu. Walaupun begitu, fungsi
operasi yang luar biasa memerlukan adanya hubungan pemasok (vendor) yang
sempurna. Hubungan penjual yang efektif mengharuskan pembelian dilakukan
dengan proses tiga tahap, yaitu:
1. Evaluasi penjual
Tahap pertama, evaluasi penjual, mencakup pencarian penjual potensial, dan
penentuan kemungkinan penjual tersebut menjadi pemasok yang baik. Fase
ini menuntut agar dilakukan evaluasi kriteria. Pilihan pemasok yang
23
kompeten merupakan sesuatu yang sangat penting. Bila yang dipilih bukan
pemasok yang baik, semua usaha pembelian lainnya akan menjadi sia-sia.
2. Pengembangan penjual
Pembelian memastikan bahwa penjualnya menghargai kebutuhan akan mutu
dan kebijakan pemerolehan bahan baku. Pengembangan penjual dapat
mencakup semuanya, mulai dari pelatihan sampai ke bantuan rekayasa dan
produksi, sampai ke format untuk transfer informasi elektronik.
3. Negosiasi
Strategi negosiasi terdiri dari tiga jenis klasik yaitu: model harga berdasarkan
biaya (cost-based price model), model harga berdasarkan pasar (market-
based proce model) dan perebutan tender (competitive bidding).
2.2.5. Tugas dan Tanggung Jawab Bagian Pembelian
Menurut Assauri (2008, h228), tanggung jawab bagian pembelian antara
lain adalah:
1. Bertanggung jawab atas pelaksanaan pembelian bahan-bahan agar rencana
operasi dapat dipenuhi dan pembelian bahan-bahan tersebut pada tingkat
harga yang perusahaan pabrik akan mampu bersaing dalam memasarkan
produknya.
2. Bertanggung jawab atas usaha-usaha untuk dapat mengikuti perkembangan
bahan-bahan baru yang dapat menguntungkan dalam proses produksi,
perkembangan dalam desain, harga dan faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi produk perusahaan, harga dan desainnya.
24
3. Bertanggung jawab untuk meminimalisasi investasi atau meningkatkan
perputaran (turn over) bahan, yaitu dengan penentuan skedul arus bahan ke
dalam pabrik dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
produksi.
4. Bertanggung jawab atas kegiatan penelitian dengan menyelidiki data dan
perkembangan pasar, perbedaan sumber-sumber penawaran (supply), dan
memeriksa pabrik supplier untuk mengetahui kapasitasnya dan kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan perusahaan.
5. Sebagai tambahan, kadang-kadang bertanggung jawab atas pemeliharaan
bahan-bahan yang dibeli setelah diterima, yaitu pekerjaan di gudang pabrik
dan bertanggung jawab atas pengawasan persediaan (inventory control).
Menurut Assauri (2008, h228), tugas-tugas yang dilakukan bagian
pembelian dalam memenuhi tanggung jawab antara lain adalah:
1. Melakukan pembelian bahan-bahan secara bersaing atas dasar nilai yang
ditentukan tidak hanya oleh harga yang tepat tetapi juga oleh waktu yang
tepat, jumlah dan mutu / kualitas yang tepat.
2. Membantu melakukan pemilihan bahan-bahan dengan menyelidiki /
substitusi.
3. Untuk memperoleh sumber-sumber pilihan dari suplai dengan melakukan
usaha-usaha pencarian paling sedikit dua sumber dari suplai.
4. Mempengaruhi tingkat persediaan yang terendah (the lowest stock levels).
5. Menjaga hubungan baik dengan supplier yang baik.
25
6. Melakukan kerjasama dan koordinasi yang efektif dengan fungsi-fungsi
lainnya dalam perusahaan.
7. Melakukan penelitian tentang keadaan perdagangan dan pasar.
8. Melakukan pembelian seluruh bahan-bahan dan perlengkapan yang
dibutuhkan tepat pada waktunya sehingga tidak mengganggu rencana
produksi dari perusahaan pabrik tersebut.
2.2.6. Dokumen-dokumen yang Terkait pada Pembelian
Menurut Wilkinson et al. (2000, p472), yang diterjemahkan oleh penulis,
dokumen-dokumen yang terkait kepada siklus pengeluaran (expenditure cycle)
adalah :
1. Purchase Requisition (Permintaan Pembelian)
Form yang digunakan dalam proses pembelian untuk mengotorisasi
pemesanan terhadap barang dan jasa.
2. Purchase Order (Pemesanan Pembelian)
Form yang resmi dan dibuat secara rangkap, yang berasal dari permintaan
pembelian.
3. Receiving Order (Penerimaan Pesanan)
Dokumen yang mencatat penerimaan barang.
4. Supplier’s (Vendor’s) Invoice
Dokumen tagihan yang berasal dari supplier yang menyediakan barang atau
jasa.
26
5. Disbursement Voucher
Dokumen di dalam sistem voucher yang mengakumulasikan invoice dari
supplier untuk pembayaran.
6. Disbursement Check
Dokumen terakhir dalam siklus pembelian yang menyediakan pembayaran
kepada supplier atas suatu barang atau jasa.
7. Debit Memorandum
Dokumen yang mengotorasi pengembalian atau retur pembelian.
8. New Supplier (Vendor) Form
Form yang digunakan dalam pemilihan supplier baru, menunjukkan data
mengenai harga, tipe barang atau jasa yang disediakan, pengalaman, posisi
kredit dan referensi.
9. Request for Proposal (or Quotation)
Form yang digunakan dalam prosedur penawaran yang bersaing,
menunjukkan barang atau jasa yang diperlukan dan persaingan harga, jangka
waktu pembayaran dan lain sebagainya.
2.2.7. Hubungan Pembelian dengan Fungsi Persediaan
Menurut Assauri (2008, h239), perusahaan dapat melakukan pembelian
atas bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan antara lain untuk memenuhi
beberapa fungsi persediaan sebagai berikut:
1. Batch Stock atau Lot Size Inventory
Yaitu persediaan yang diadakan karena kita membeli atau membuat bahan-
bahan / barang-barang dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah yang
27
dibutuhkan pada saat itu. Dalam hal ini, terjadi pembelian atau pembuatan
yang dilakukan untuk jumlah besar sedangkan penggunaan atau pengeluaran
dilakukan dalam jumlah kecil. Jadi, terjadinya persediaan dikarenakan
adanya pengadaan bahan / barang yang dilakukan lebih banyak daripada
yang dibutuhkan.
2. Fluctuation Stock
Yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan
konsumen yang tidak dapat diramalkan. Dalam hal ini perusahaan
mengadakan persediaan untuk dapat memenuhi permintaan konsumen
apabila tingkat permintaan menunjukkan keadaan yang tidak beraturan atau
tidak tetap dan fluktuasi permintaan tidak dapat diramalkan terlebih dahulu.
Jadi, apabila fluktuasi permintaan sangat besar maka persediaan ini
(fluctuation stock) yang dibutuhkan akan sangat besar juga untuk menjaga
kemungkinan naik turunnya permintaan tersebut.
3. Anticipation Stock
Yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan
yang dapat diramalkan, berdasarkan pola musiman yang terdapat di dalam
satu tahun dan untuk menghadapi penggunaan atau penjualan permintaan
yang meningkat. Di samping itu, anticipation stock juga dimaksudkan untuk
menjaga kemungkinan akan sukarnya perolehan bahan-bahan sehingga tidak
mengganggu jalannya proses produksi.
28
2.3. Persediaan
2.3.1. Pengertian Persediaan
Menurut Chase et al. (2004, p545), “inventory is the stock of any item or
resources used in the organization.” Penulis menterjemahkan bahwa persediaan
merupakan stok dari item atau sumber daya apapun yang digunakan dalam
sebuah perusahaan.
Menurut Ma’arif (2003, h276), persediaan adalah suatu aktiva yang
meliputi barang-barang perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu
periode usaha yang normal atau barang-barang yang masih dalam proses
produksi ataupun persediaan bahan baku yang masih menunggu untuk digunakan
dalam suatu proses produksi.
Menurut Handoko (2000, h333), persediaan adalah suatu istilah umum
yang menunjukkan segala sesuatu atau sumber daya-sumber daya organisasi
yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sistem akuntansi persediaan merupakan
suatu sistem yang dibangun untuk mendukung kegiatan perusahaan sehubungan
dengan pencatatan, pengendalian tingkat persediaan serta penyediaan laporan
yang berhubungan dengan persediaan bahan baku, barang dalam proses dan
barang jadi yang dimiliki perusahaan.
2.3.2. Manfaat Persediaan
Menurut Ma’arif (2003, h277), persediaan yang dilakukan oleh
perusahaan memiliki beberapa kegunaan, antara lain:
1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang.
29
Jika barang yang dipesan terlambat datang sedangkan proses produksi
berjalan terus, maka persediaan akan dikeluarkan dan dipakai untuk
keperluan produksi. Hal ini akan terus berlangsung sampai barang yang
dipesan datang. Untuk pemasok yang nakal dalam arti tidak menepati waktu
pengiriman pesanan barang, maka dapat digunakan taktik ”memperpanjang
masa perkiraan datangnya barang” sehingga persediaan yang dilakukan lebih
besar daripada yang dilakukan terhadap pemasok yang baik.
2. Menghilangkan resiko dari material yang dipesan tidak baik.
Jika barang yang dipesan cacat, rusak atau ditolak (reject), maka persediaan
dapat digunakan sambil menunggu barang yang baik dikirimkan. Barang
yang dipesan hendaknya mencapai kualitas yang diinginkan. Jika tidak sesuai
dengan kualitas yang disepakati, maka perusahaan dapat me-reject barang
dengan alasan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ada dalam kontrak.
3. Untuk menumpuk barang-barang yang dihasilkan secara musiman.
Ini berlaku bagi produk-produk pertanian. Karena sifatnya musiman, maka
ketika musim panen, persediaan dilakukan dalam jumlah besar. Sedangkan
jika tidak musim, maka persediaan yang besar tadi dikeluarkan.
4. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan.
Pada akhirnya, persediaan memiliki kegunaan untuk mempertahankan agar
produksi terus berjalan. Jika produksi berhenti, maka stabilitas operasi
perusahaan akan terganggu.
5. Mencapai pengunaan mesin yang optimal.
Persediaan pun diperlukan untuk mencapai penggunaan mesin agar optimal.
Karena jika tidak ada barang, maka mesin akan idle. Dalam kondisi tidak ada
30
barang yang masuk, maka persediaan menjadi wajib hukumnya untuk
dikeluarkan.
6. Memberikan jaminan tetap tersedianya barang jadi.
Jaminan ini menjadi penting, disebabkan karena image konsumen terhadap
perusahaan. Jika tidak ada jaminan barang jadi selalu tersedia, maka
konsumen tidak akan pernah loyal dengan barang kita tersebut.
2.3.3. Jenis-Jenis Persediaan
Berdasarkan pendapat Handoko (2000, h334), menurut jenisnya
persediaan dapat dibedakan menjadi :
1. Persediaan bahan mentah (raw materials), yaitu persediaan barang berwujud
yang digunakan dalam proses produksi.
2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts / components),
yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang
diperoleh dari perusahaan lain, di mana secara langsung dapat dirakit menjadi
suatu produk.
3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies), yaitu persediaan
barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak
merupakan bagian atau komponen barang jadi.
4. Persediaan barang dalam proses (work in process), yaitu persediaan barang-
barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi
atau yang diolah menjadi suatu bentuk tetapi masih perlu diproses lebih
lanjut menjadi barang jadi.
31
5. Persediaan barang jadi (finished goods), yaitu persediaan barang-barang yang
telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau
dikirim kepada pelanggan.
2.3.4. Fungsi Persediaan
Menurut Render dan Heizer (2001, h314), persediaan (inventory) dapat
memilki fungsi penting yang menambah fleksibilitas dari operasi suatu
perusahaan. Ada enam penggunaan persediaan, yaitu:
1. Untuk memberikan suatu stok barang-barang agar dapat memenuhi
permintaan yang diantisipasi akan timbul dari konsumen.
2. Untuk memasangkan produksi dengan distribusi. Misalnya, bila permintaan
produknya tinggi hanya pada musim panas, suatu perusahaan dapat
membentuk stok selama musim dingin sehingga biaya kekurangan stok dan
kehabisan stok dapat dihindari. Demikian pula, bila pasokan suatu
perusahaan berfluktuasi, persediaan bahan baku ekstra mungkin diperlukan
untuk ”memasangkan” proses produksinya.
3. Untuk mengambil keuntungan dari potongan jumlah karena pembelian dalam
jumlah besar dapat secara substansial menurunkan biaya produk.
4. Untuk melakukan hedging terhadap inflasi dan perubahan harga.
5. Untuk menghindari dari kekurangan stok yang dapat terjadi karena cuaca,
kekurangan pasokan, masalah mutu, atau pengiriman yang tidak tepat. ”Stok
pengaman” misalnya, barang di tangan ekstra, dapat mengurangi resiko
kehabisan stok.
32
6. Untuk menjaga agar operasi dapat berlangsung dengan baik dengan
menggunakan ”barang dalam proses” dalam persediaannya. Hal ini karena
perlu waktu memproduksi barang dan karena sepanjang berlangsungnya
proses, terkumpul persediaan-persediaan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa persediaan memiliki fungsi penting bagi
kelangsungan proses produksi suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan dengan
adanya persediaan, perusahaan dapat mengantisipasi adanya kenaikan
permintaan konsumen, bertahan pada saat terjadi inflasi dan peningkatan harga
dari konsumen, serta mendapatkan potongan harga karena membeli dalam
jumlah yang besar sehingga dapat meningkatkan keuntungan yang akan diterima
perusahaan.
2.3.5. Dokumen-dokumen Persediaan
Menurut Assauri (2008, h283), yang dimaksudkan dengan pencatatan
dalam pengawasan persediaan adalah semua pencatatan atau pembukuan
mengenai penerimaan, persediaan di gudang dan pengeluaran bahan baku dan
bahan-bahan lainnya serta hasil produksi dalam suatu perusahaan. Pencatatan-
pencatatan tersebut diperlukan untuk menjamin bahan-bahan atau barang-barang
yang terdapat dalam persediaan dipergunakan secara efisien dan perusahaan
dapat mengikuti perkembangan persediaannya dengan baik.
Menurut Assauri (2008, h284) pada dasarnya terdapat lima buah catatan
yang paling penting dalam sistem persediaan :
33
1. Permintaan untuk dibeli (Purchase Requisition)
Dokumen ini merupakan permintaan dari sebagian persediaan kepada bagian
pembelian untuk membeli bahan-bahan atau barang-barang yang sesuai
dengan jenis dan jumlah tertentu seperti yang dinyatakan dalam surat
permintaan itu. Permintaan itu diadakan untuk menjamin adanya persediaan
yang cukup dari bahan-bahan / barang-barang tersebut atau mengisi kembali
persediaan bila persediaan bahan-bahan tertentu yang ada akan mendekati
titik yang terendah atau minimum yang telah ditentukan lebih dahulu.
Biasanya daftar atau form ini dibuat rangkap tiga oleh bagian persediaan.
Rangkap aslinya dikirim kepada bagian pembelian untuk memungkinkan
bagian ini memperoleh wewenang untuk membeli bahan-bahan tersebut,
rangkap dua digunakan oleh bagian pembelian untuk menggambarkan
pesanan dan menyelesaikannya, dan rangkap ketiga dipegang oleh bagian
pemesanan (order) sebagai catatan untuk menggambarkan permintaannya
akan bahan-bahan ini.
2. Laporan Penerimaan (Receiving Report)
Dokumen ini penting karena satu copy / rangkap dari laporan ini akan
memberikan informasi bahwa penjaga gudang telah menerima bahan-bahan
yang dipesan ini di pabrik. Apabila bahan-bahan perlu digunakan segera,
maka bahan-bahan itu dapat dengan segera diinspeksi, walaupun ada
ketentuan-ketentuan yang harus diikuti. Pada waktu penerimaan bahan-bahan
di gudang, copy / rangkap laporan penerimaan yang menyertai bahan-bahan
itu terinci dan akan memberikan rincian bahan-bahan tersebut dan jika telah
disetujui (OK) oleh pertugas yang melakukan inspeksi, maka berarti bahan-
34
bahan tersebut telah sesuai dengan standar dan spesifikasi yang diperlukan.
Dengan demikian maka petugas / penjaga gudang dapat mengisi kembali
bahan-bahan tersebut untuk menggantikan bahan-bahan yang sama yang
telah dikeluarkan dari persediaan.
3. Daftar Persediaan (Balances of Stores Forms)
Dokumen ini merupakan catatan yang paling penting dalam pengawasan
persediaan. Dokumen / daftar ini merupakan dasar atau titik pangkal dari
pelaksanaan sistem pengawasan persediaan dan memberikan informasi baik
bagi pabrik maupun bagi bagian accounting. Daftar ini seringkali
dipergunakan dengan nama yang berbeda seperti: perpetual inventory card,
stock record card, storage ledger sheet, balance of stores form, stores
balance sheet dan material ledger sheet. Dengan balance of stores card ini
manajemen mungkin dapat mencapai tujuan untuk mempunyai bahan-bahan
yang tepat dan tempat yang tepat, serta investasi yang minimum. Daftar ini
juga membantu pimpinan produksi untuk menentukan delivery schedule yang
dibutuhkan.
Informasi atau bahan-bahan keterangan yang terdapat dalam balance of
stores card berbeda-beda tergantung dari perusahaan pabrik yang
menggunakannya. Akan tetapi data-data yang minimun yang biasanya
terdapat dalam daftar ini adalah :
a. Gambaran atau deskripsi lengkap dari bahan-bahan tersebut.
b. Jumlah dari bahan-bahan yang tersedia di gudang, yang dipesan dan yang
dialokasikan untuk produksi.
35
c. Jumlah bahan-bahan yang akan atau harus dibeli bila waktunya telah tiba
untuk mengadakan pemesanan baru.
d. Harga bahan-bahan itu per unit
e. Jumlah yang dipakai selama suatu periode atau jangka waktu tertentu.
f. Nilai dari persediaan yang ada.
4. Daftar Permintaan Bahan (Material Requisition Form)
Formulir yang dibuat oleh petugas gudang untuk dipergunakan oleh bagian
pembelian dalam mengadakan pesanan. Daftar ini juga penting dalam
pengawasan persediaan karena dapat menunjukkan bahan-bahan yang perlu
segera dibeli untuk pengisian kembali persediaan gudang.
5. Perkiraan Pengawasan (Control Accounting)
Material control accounting umumnya untuk menjaga supaya perkiraan
(general ledger) yang dibuat oleh bagian akuntansi tetap merupakan alat
yang penting dalam sistem pengawasan yang efektif. Semua pembelian akan
didebit dan semua pemakaian akan dikredit dalam perkiraan ini sehingga
saldonya harus sama dengan saldo yang terdapat pada perpetual inventory
cards. Tidak sesuainya saldo antara keduanya mengharuskan diadakannya
penyelidikan selanjutnya. Di sini letak pengawasan (control) yang penting
dari material control account karena merupakan “system of check and
balance”. Perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara general ledger
control account balance dan perkiraan dari balances on the perpetual
inventory card diteliti atau diperiksa. Pemeriksaan ini harus menemukan
sebab-sebab perbedaan atau ketidaksesuaian ini. Dalam hal ini, sistem
36
pengecekan dan neraca (balance) dibutuhkan oleh suatu sistem pengawasan
persediaan yang efektif.
2.3.6. Metode Pencatatan Persediaan
Menurut Assauri (2008, h244), ada dua sistem umum yang dikenal dalam
menentukan jumlah persediaan pada akhir suatu periode, yaitu:
1. Periodic System, yaitu setiap akhir periode dilakukan perhitungan secara fisik
dalam menentukan jumlah persediaan akhir.
2. Perpertual System, atau juga disebut Book Inventories, yaitu dalam hal ini
dibina catatan administrasi persediaan. Setiap mutasi dari persediaan sebagai
akibat dari pembelian ataupun penjualan dicatat dan dilihat dalam Kartu
Administrasi persediaannya. Bila metode ini yang dipakai, maka perhitungan
secara fisik hanya dilakukan paling tidak setahun sekali, yang biasanya
dilakukan untuk keperluan counterchecking antara jumlah persediaan
menurut fisik dengan menurut catatan dalam Kartu Administrasi
Persediaanya.
2.3.7. Metode Penilaian Persediaan
Menurut Assauri (2008, h244), ada beberapa cara yang dapat digunakan
untuk menilai suatu persediaan, di antaranya dengan :
1. Cara First-In, First-Out (FIFO Method)
Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa harga barang yang sudah terjual
dinilai menurut harga pembelian barang yang terdahulu masuk. Dengan
37
demikian persediaan akhir dinilai menurut harga pembelian barang yang
akhir masuk.
2. Cara Rata-rata ditimbang (Weight Average Method)
Cara ini didasarkan atas harga rata-rata di mana harga tersebut dipengaruhi
oleh jumlah barang yang diperoleh pada masing-masing harganya.
3. Cara Last-In, First-Out (LIFO Method)
Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa barang yang telah terjual dinilai
menurut harga pembelian barang yang terakhir masuk. Sehingga persediaan
yang masih ada atau stock, dinilai berdasarkan harga pembelian barang yang
terdahulu.
2.3.8. Permintaan Dependen dan Independen
Menurut Render dan Heizer (2001, h318), model pengendalian
persediaan mengasumsikan bahwa permintaan untuk suatu barang bersifat
independen atau dependen terhadap permintaan barang lainnya. Misalnya,
permintaan untuk kulkas bersifat independen terhadap permintaan untuk oven
pemanggangan roti. Meskipun demikian, permintaan untuk oven pemanggangan
roti bersifat dependen terhadap kebutuhan produksi dari oven pemanggangan
roti.
Menurut Russell dan Taylor (2003, p457), yang diterjemahkan oleh
penulis, permintaan dependen atas items secara tipikal merupakan bagian-bagian
komponen atau bahan baku yang digunakan dalam proses penghasilan
(producing) produk jadi. Jika perusahaan automobile merencanakan untuk
memproduksi 1000 mobil baru, kemudian memerlukan 5000 roda (wheels) dan
38
ban (termasuk spares). Dengan demikian, permintaan akan ban bergantung pada
produksi mobil–permintaan akan item bergantung pada item lainnya. Permintaan
independen atas items merupakan produk jadi atau akhir (finished goods) yang
bukan fungsi dari aktivitas produksi internal atau permintaannya tidak
bergantung pada penjualan produk lain, seperti mobil, retail items, grocery
products, dan office supplies. Permintaan independen bisanya ditentukan oleh
kondisi-kondisi pasar eksternal dan berada di bawah kendali langsung suatu
organisasi.
2.3.9. Metode Pengendalian Persediaan
2.3.9.1. Lead Time
Menurut Carter dan Usry (2004, h295), lead time adalah interval
waktu antara saat pemesanan dilakukan dan saat bahan baku tersedia di
pabrik untuk produksi.
Menurut Render dan Heizer (2001, h320), lead time adalah
waktu antara pemesanan dan penerimaan pesanan.
Sedangkan menurut Assauri (2008, h264), lead time adalah
lamanya waktu antara mulai dilakukannya pemesanan bahan-bahan
sampai dengan kedatangan bahan-bahan yang dipesan tersebut dan
diterima di gudang persediaan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lead time merupakan tenggang
waktu yang dihitung sejak dilakukannya pesanan sampai dengan bahan-
bahan yang dipesan tiba di gudang persediaan.
39
2.3.9.2. Economic Order Quantity (EOQ)
Menurut Bodnar dan Hopwood (2001, h315), pengendalian
persediaan bertujuan meminimalkan total biaya persediaan sehingga
suatu keputusan penting yang perlu dibuat merupakan ukuran setiap
kuantitas pesanan pembelian, yaitu Economic Order Quantity (EOQ).
Kuantitas pemesanan pembelian harus menyeimbangkan dua sistem
biaya, yaitu total biaya penyimpanan (carrying costs) dan total biaya
pemesanan (ordering costs). Suatu formula untuk pengkalkulasian EOQ
adalah sebagai berikut:
EOQ = 2 x R x S P x I
Keterangan:
EOQ = Economic Order Quantity (unit)
R = Kebutuhan atau requirements untuk item periode ini (unit)
S = Biaya pembelian per pemesanan
P = Biaya unit
I = Biaya penyimpanan persediaan per periode, diperlihatkan
sebagai suatu persentase dari nilai persediaan periode (%)
Berikut ini, penulis memberikan contoh pembuktian atas
perhitungan EOQ:
Diketahui:
Besar Pesanan (R) = 1600 ton
Biaya Per Pemesanan (Co atau S) = Rp 8.000.000,00
Biaya Unit (P) = Rp 1.600.000,00
40
Biaya Penyimpanan Persediaan Per Periode (I) = 10%
Biaya Penyimpanan Per Unit Per Tahun (Cc) = 10% X Rp 1.600.000 =
Rp 160.000,00
EOQ = 2 x 1600 x 8.000.000 10 % x 1.600.000 = 160.000 = 400
Jadi, dari hasil perhitungan di atas dapat diketahui bahwa frekuensi
pemesanan ekonomis per tahun adalah 1600 : 400 = 4 kali.
Berdasarkan data-data di atas, maka penulis melakukan
perhitungan biaya EOQ yang disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perhitungan Biaya EOQ
Frekuensi 1x 2x 4x 5x 8x 10x 16x Unit (Q) 1600 800 400 320 200 160 100 Average Inventory (Q/2)
800 400 200 160 100 80 50
Carrying Cost (Cc x Q/2) (Rp 000.000)
128 64 32 25.6 16 12.8 8
Ordering Cost(Rp 000.000)
8 16 32 40 64 80 128
Total Cost (Rp 000.000)
136 80 64 65.6 80 92.8 136
(Sumber: Penulis) Dari data pada tabel 2.1 di atas, dapat dilihat bahwa pada saat frekuensi
pemesanan 4 x dalam setahun, besarnya carrying cost dan ordering cost
adalah sama, yaitu Rp 32.000.000,00. Tabel di atas juga menunjukkan
bahwa total cost atau biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan
41
perusahaan, yang terendah adalah pada saat frekuensi pemesanan 4 kali
dalam setahun, yaitu sebesar Rp 64.000.000,00.-
Grafik atas perhitungan EOQ pada tabel 2.1 adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Grafik Biaya EOQ Berdasarkan Perhitungan Penulis (Sumber: Penulis)
2.3.9.3. Reorder Point (ROP)
Menurut Sumayang (2003, h211), reorder point adalah posisi
persediaan yang ditentukan sebagai batas untuk melakukan pemesanan
ulang. Reorder point ditetapkan pada tingkat persediaan yang cukup
tinggi untuk mengurangi resiko kemungkinan persediaan habis dan untuk
menghitung kemungkinan ini. Perhitungan reorder point adalah sebagai
berikut:
R = m +St
42
Keterangan:
R = Reorder point
m = Jumlah permintaan selama tenggang waktu pemesanan atau expected
demand over the lead time
St = Persediaan penahan atau safety stock atau buffer stock
di mana:
St = z s
z = Faktor yang merupakan deviasi kepercayaan terhadap pelayanan atau
safety stock yang besarnya ditentukan oleh tingkat service level
s = Standar deviasi permintaan selama tenggang waktu pemesanan atau
standar deviation of demand over the lead time
Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan reorder point:
Demand Rate
Lead Time
Order Receipt
Order Receipt
Order Placed
Order Placed
Lead Time
Time
Reorder Point, R
0
Order Quantity, Q
Inve
ntor
y Le
vel
Gambar 2.2 Grafik ROP (Sumber: Russel dan Taylor (2003, h465))
43
2.3.9.4. Safety Stock
Menurut Assauri (2008, h263), persediaan penyelamat (safety
stock) adalah persediaan tambahan yang diadakan untuk melindungi atau
menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan (stock-out).
Kemungkinan terjadinya stock-out dapat disebabkan karena penggunaan
bahan baku yang lebih besar daripada penggunaan semula, atau
keterlambatan dalam penerimaan bahan baku yang dipesan. Akibat
pengadaan persediaan penyelamat terhadap biaya perusahaan adalah
mengurangi kerugian yang ditimbulkan karena terjadinya “stock-out”,
akan tetapi sebaliknya akan menambah besarnya “carrying cost”.
Besarnya pengurangan biaya atau kerugian perusahaan adalah sebesar
perkalian antara jumlah persediaan penyelamat yang diadakan untuk
menghadapi stock-out dengan biaya per unitnya. Sebaliknya pertambahan
biaya terjadi sebesar perkalian antara persentase carrying cost terhadap
harga atau nilai persediaan penyelamat. Oleh karena itu, pengadaan
persediaan penyelamat oleh perusahaan dimaksudkan untuk mengurangi
kerugian yang ditimbulkan karena terjadinya stock-out, tetapi juga pada
saat itu diusahakan agar carrying cost adalah serendah mungkin.
Berikut ini penulis memberikan contoh perhitungan yang terkait
dengan ROP dan safety stock:
Diketahui:
Tingkat penggunaan = 60 ton per minggu
Waktu tunggu (lead time) normal 1 minggu, tetapi bisa mencapai 3
minggu
44
Maka titik pemesanan kembali adalah sebesar 240 ton, yang diperoleh
dari:
Penggunaan normal selama waktu tunggu (1 minggu x 60 ton) = 60 ton
Persediaan pengaman (safety stock) (3 minggu x 60 ton) = 180 ton
Titik pemesanan kembali 240 ton
2.3.10. Biaya yang Timbul dari Persediaan
Menurut Handoko (2000, h336), biaya-biaya yang harus dipertimbangkan
dalam pembuatan setiap keputusan yang akan mempengaruhi besarnya (jumlah)
persediaan antara lain:
1. Biaya penyimpanan (holding costs atau carrying costs)
Biaya penyimpanan terdiri atas biaya-biaya yang bervariasi secara langsung
dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin
besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak atau rata-rata
persediaan semakin tinggi. Biaya-biaya yang termasuk sebagai biaya
penyimpanan adalah:
a. Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan (termasuk penerangan, pemanas atau
pendingin).
b. Biaya modal (opportunity cost of capital, yaitu alternatif pendapatan atas
dana yang diinvestasikan dalam persediaan).
c. Biaya keusangan
d. Biaya penghitungan fisik dan konsiliasi laporan
e. Biaya asuransi persediaan
f. Biaya pajak persediaan
45
g. Biaya pencurian, perusakan, atau perampokan
h. Biaya penanganan persediaan, dan sebagainya
2. Biaya pemesanan (pembelian)
Setiap kali suatu bahan dipesan, perusahaan menanggung biaya pemesanan
(order costs atau procurement costs). Biaya-biaya pemesanan secara terperinci
meliputi:
a. Pemrosesan pesanan dan biaya ekspedisi
b. Upah
c. Biaya telepon
d. Pengeluaran surat menyurat
e. Biaya pengepakan dan penimbangan
f. Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan
g. Biaya pengiriman ke gudang
h. Biaya hutang lancar; dan sebagainya
Secara normal, biaya per pesanan (di luar biaya bahan dan potongan kuantitas)
tidak naik bila kuantitas pesanan bertambah besar. Tetapi, bila semakin banyak
komponen yang dipesan setiap kali pesan, jumlah pesanan per periode turun,
maka biaya pemesanan total akan turun. Ini berarti, biaya pemesanan total per
periode (tahunan) adalah sama dengan jumlah pesanan yang dilakukan setiap
periode dikalikan biaya yang harus dikeluarkan setiap kali pesan.
3. Biaya penyiapan (manufacturing)
Bila bahan-bahan tidak dibeli, tetapi diproduksi sendiri “dalam pabrik”
perusahaan, perusahaan menghadapi biaya penyiapan (setup costs) untuk
memproduksi komponen tertentu. Biaya-biaya ini terdiri dari:
46
a. Biaya mesin-mesin menganggur
b. Biaya persiapan tenaga kerja langsung
c. Biaya scheduling
d. Biaya ekspedisi, dan sebagainya
Seperti biaya pemesanan, biaya penyiapan total per periode adalah sama
dengan biaya penyiapan dikalikan jumlah penyiapan per periode.
4. Biaya kehabisan atau kekurangan bahan
Dari semua biaya-biaya yang berhubungan dengan tingkat persediaan, biaya
kekurangan bahan (shortage costs) adalah yang paling sulit diperkirakan. Biaya
ini timbul bilamana persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan.
Biaya-biaya yang termasuk biaya kekurangan bahan adalah sebagai berikut:
a. Kehilangan penjualan
b. Kehilangan langganan
c. Biaya pemesanan khusus
d. Biaya ekspedisi
e. Selisih harga
f. Terganggunya operasi
g. Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial, dan sebagainya
Biaya kekurangan bahan sulit diukur dalam praktek, terutama karena kenyataan
bahwa biaya ini sering merupakan opportunity cost, yang sulit diperkirakan
secara obyektif.
47
2.4. Pengendalian Internal
2.4.1. Pengertian dan Tujuan Pengendalian Internal
Menurut Hall (2001, h150), pengendalian internal merangkum pada
kebijakan, praktek dan prosedur yang digunakan untuk mencapai 4 tujuan utama,
yaitu :
1. Untuk menjaga aktiva perusahaan.
2. Untuk memastikan akurasi dan dapat diandalkannya catatan dan informasi
akuntansi.
3. Untuk mempromosikan efisiensi operasi perusahaan.
4. Untuk mengukur kesesuaian dengan kebijakan dan prosedur yang telah
ditetapkan oleh manajemen.
Menurut Wilkinson et al. (2000, p234), yang diterjemahkan oleh penulis,
pengendalian internal sebagai sebuah sistem, struktur, atau proses yang
diimplementasikan oleh jajaran direksi perusahaan, manajemen, dan personil
lainnya, yang diharapkan mampu memberikan jaminan tentang pencapaian
tujuan dari kontrol dalam kategori-kategori berikut ini:
1. Efektivitas dan efisiensi operasi-operasi
2. Keandalan laporan keuangan
3. Kepatuhan dengan hukum dan peraturan yang berlaku
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengendalian internal
merupakan sebuah suatu proses yang diimplementasikan perusahaan sebagai
suatu cara untuk mengamankan aset perusahaan, menjamin efektivitas dan
efisiensi operasi perusahaan, kehandalan atas laporan keuangan serta kepatuhan
perusahaan terhadap hukum yang berlaku.
48
2.4.2. Komponen-komponen Pengendalian Internal
Menurut Jones dan Rama (2006, h105), COSO (Committee of Sponsoring
Organizations) mengidentifikasikan lima komponen dari pengendalian internal,
yaitu:
1. Control Environment
Berhubungan dengan beberapa faktor yang disusun organisasi untuk
mengontrol kesadaran para karyawannya. Faktor tersebut berhubungan
dengan integritas, nilai etika, filosofi manajemen dan operating style. Hal ini
juga termasuk cara manajemen menetapkan otoritas dan tanggung jawab,
mengatur dan mengembangkan sumber daya manusia serta perhatian dan
petunjuk yang diberikan jajaran direksi.
2. Risk Assessment
Merupakan proses identifikasi dan analisis terhadap resiko yang dapat
menghambat pencapaian tujuan pengendalian internal.
3. Control Activities
Merupakan kebijakan dan prosedur yang dikembangkan oleh organisasi
untuk menangani resiko-resiko. Control activities mencakup:
• Performance reviews, kegiatan yang berhubungan dengan analisis
terhadap kinerja, misalnya dengan membandingkan hasil yang didapat
dengan anggaran, standar perhitungan dan data pada periode sebelumnya.
• Segregation duties, terdiri dari penetapan tanggung jawab untuk
mengotorisasi transaksi, melakukan transaksi, mencatat transaksi dan
menjaga aset yang dilakukan oleh karyawan yang berbeda.
49
• Application controls, berhubungan dengan aplikasi SIA.
• General controls, merupakan pengawasan yang lebih luas yang
berhubungan dengan berbagai aplikasi.
4. Information and Communication
Sistem informasi perusahaan adalah kumpulan dari prosedur (baik otomatis
maupun manual) dan pencatatan dalam memulai, mencatat, memproses dan
melaporkan kejadian atas proses-proses yang terjadi dalam organisasi.
Komunikasi mencakup pemberian pemahaman atas peran dan tanggung
jawab individu.
5. Monitoring
Manajemen harus mengawasi pengendalian internal untuk memastikan
bahwa pengendalian internal organisasi berjalan sesuai tujuan yang
ditetapkan.
2.4.3. Pengendalian Internal atas Pembelian
Menurut Wilkinson et al. (2000, p498), yang diterjemahkan oleh penulis,
tujuan pengendalian internal dalam siklus pengeluaran adalah untuk memastikan
bahwa:
• semua pembelian diotorisasi atas dasar waktu ketika dibutuhkan dan atas
dasar perhitungan economic order quantity.
• semua barang yang diterima diverifikasi untuk menentukan bahwa
kuantitasnya sesuai dengan yang dipesan dan dalam kondisi yang baik.
50
• semua jasa diotorisasi sebelum dilakukan dan dimonitor untuk menjamin
bahwa jasa tersebut dilakukan dengan benar.
• semua faktur dari supplier diverifikasi berdasarkan waktu dan dicocokan
dengan barang atau jasa yang diterima.
• semua diskon pembelian yang ada diidentifikasi sehingga potongan tersebut
dapat dimanfaatkan jika secara ekonomi menguntungkan.
• semua retur pembelian diotorisasi dan dicatat secara akurat dan berdasarkan
pengembalian barang yang aktual.
• semua pengeluaran kas dicatat secara lengkap dan akurat.
• semua transaksi pembelian kredit dan pengeluaran kas diposting ke akun
supplier secara tepat dalam buku besar hutang dagang.
• semua catatan akuntansi dan persediaan barang dagang terlindungi.
2.4.4. Pengendalian Internal atas Persediaan
Berdasarkan pendapat Horngren et al. (2002, p365), yang diterjemahkan
oleh penulis, pengendalian internal pada persediaan penting karena persediaan
merupakan aset yang penting bagi perusahaan. Elemen-elemen pengendalian
persediaan yang baik meliputi:
• Penghitungan persediaan secara fisik sedikitnya sekali setiap tahun.
• Penyimpanan persediaan untuk melindunginya dari pencurian, kerusakan,
dan kekurangan.
• Pemberian akses hanya kepada personil yang tidak memiliki akses terhadap
catatan-catatan akuntansi.
51
• Tidak mencadangkan (stockpiling) terlalu banyak persediaan; ini
menghindari kemacetan uang dalam item-item yang tidak diperlukan.
2.5. Analisis dan Perancangan Sistem
2.5.1. Pengertian Analisis Sistem
Menurut Bodnar dan Hopwood yang diterjemahkan oleh Jusuf dan
Tambunan (2000, h356), analisis sistem merupakan tanggung jawab untuk
pengembangan rancangan umum aplikasi-aplikasi sistem. Analisis sistem bekerja
sama dengan pemakai untuk mendefinisikan kebutuhan informasi spesifik
mereka. Kebutuhan-kebutuhan tersebut kemudian dikomunikasikan ke fungsi
perancangan sistem. Terdapat empat tahap dalam analisis sistem, yaitu:
• Tahap pertama adalah survei sistem berjalan.
Penting bagi analis untuk memahami sistem berjalan sebelum perubahan atau
modifikasi diusulkan. Juga, penting bagi analis untuk menetapkan hubungan
kerja dengan pemakai, karena kesuksesan sistem baru sangat tergantung pada
penerimaan pemakai.
• Tahap kedua adalah mengidentifikasi kebutuhan informasi pemakai.
Analis harus mempelajari keputusan-keputusan yang dibuat pemakai dalam
konteks kebutuhan informasi mereka. Tahap analisis sistem ini seringkali
yang paling sulit, karena pemakai seringkali tidak yakin pada informasi apa
yang sebenarnya mereka butuhkan sekarang.
• Tahap ketiga adalah mengidentifikasi kebutuhan sistem yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan informasi pemakai.
52
Kebutuhan informasi pemakai biasanya dispesifikasikan sebagai masukan
dan keluaran-keluaran.
• Tahap keempat adalah penyajian laporan analisis sistem.
Laporan analisis sistem harus mendokumentasikan spesifikasi pemakai untuk
sistem yang diusulkan dan keseluruhan perancangan konseptual dari sistem
yang diusulkan. Laporan analisis sistem akan ditelaah oleh manajemen untuk
menetapkan apakah pekerjaan sistem yang diusulkan merupakan hasil tahap
perancangan sistem dari pengembangan sistem.
2.5.2. Pengertian Perancangan Sistem
Menurut Bodnar dan Hopwood yang diterjemahkan oleh Jusuf dan
Tambunan (2000, h357), perancangan sistem merupakan formulasi spesifikasi
rinci dari sistem yang diusulkan. Terdapat tiga tahap dalam perancangan sistem,
yaitu:
• Tahap pertama adalah evaluasi rancangan alternatif dari sistem yang
diusulkan.
Rancangan-rancangan alternatif harus dilihat satu per satu, diuraikan, dan
dievaluasi dengan menggunakan kriteria manfaat dan biaya.
• Tahap kedua adalah penyajian spesifikasi rancangan rinci.
Perancang harus bekerja mundur (backwards) dari keluaran yang diinginkan
ke masukkan yang dibutuhkan. Format-format laporan, struktur data, dan
langkah-langkah pemrosesan harus diidentifikasikan.
• Tahap ketiga adalah penyajian laporan perancangan sistem
53
Laporan perancangan sistem harus mencakup semua hal yang penting untuk
mengimplementasikan sistem yang diusulkan.
2.6. Analisis dan Perancangan Berorientasi Objek
Menurut Mathiassen et al. (2000), yang diterjemahkan oleh penulis, metode
analisis dan perancangan berorientasi objek menggunakan objects dan classes sebagai
konsep utama dan membangun empat prinsip-prinsip umum dalam menganalisa dan
merancang yaitu: pemodelan konteks sistem, penekanan pada pertimbangan-
pertimbangan arsitektural, penggunaan kembali pola-pola yang dapat menggambarkan
ide-ide perancangan yang dibangun dengan baik, dan penyesuaian metode terhadap
setiap situasi pengembangan. (p3)
Analisis dan perancangan berorientasi objek meliputi empat perspektif melalui
empat aktivitas utama yaitu problem domain analysis, application domain analysis,
architectural design, dan component design. (p14)
54
Problem Domain Analysis
Architectural Design
Application Domain Analysis
Specifications of Architecture
Model
Specifications of Components
Requirements for Use
Component Design
Gambar 2.3 Aktivitas Utama dan Hasil-hasil dari Analisis dan Perancangan
Berorientasi Objek (Sumber: Mathiassen et al.(2000, p15))
2.6.1. Prinsip-Prinsip Umum Analisis dan Perancangan Berorientasi Objek
Menurut Mathiassen et al. (2000, p6), yang diterjemahkan oleh penulis,
ada empat prinsip-prinsip umum dalam analisis dan perancangan berorientasi
objek yaitu:
55
• Pemodelan konteks (Model the Context)
Sebuah konteks sistem dapat dilihat dari dua perspektif yang saling
melengkapi yaitu problem domain dan application domain. Problem domain
merupakan bagian dari konteks yang dikelola, diawasi, atau dikendalikan
oleh sebuah sistem. Application domain merupakan sebuah organisasi yang
mengelola, mengawasi, atau mengendalikan suatu problem domain.
Kesuksesan dan kegagalan sebuah sistem tergantung dari seberapa baik
application dan problem domain terhubung bersama-sama ke dalam fungsi
keseluruhan.
• Penekanan Arsitektur (Emphasize the Architecture)
Analisis dan perancangan berorientasi objek menekankan arsitektur sistem
sebagai sebuah tantangan utama, menfokuskan kepada kemudahan
pemahaman, fleksibilitas, dan kegunaannya sebagai kualitas perancangan
yang penting. Sebuah arsitektur sistem harus mudah untuk dimengerti karena
ia menyediakan dasar bagi keputusan dan sebagai komunikasi serta alat kerja
pada tugas pengembangan selanjutnya. Arsitektur sistem harus fleksibel
karena pengembangan sistem terjadi pada lingkungan yang bergejolak.
Terakhir, arsitektur sistem harus dapat bermanfaat karena kesuksesan sebuah
sistem tergantung dari bagaimana sistem itu dapat berperan di dalam
organisasi pengguna. Dalam analisis dan perancangan berorientasi objek, ada
tiga komponen arsitektur dasar yaitu: model component, function component,
dan interface component. Model component berisi sebuah model dinamis dari
problem domain sistem. Function component berisi fasilitas-fasilitas bagi
user untuk melakukan update dan menggunakan model component. Interface
56
component merangkaikan sistem ke dalam konteksnya dengan dua cara. Cara
pertama, interface mencakup monitor dengan teks dan grafik-grafik,
printouts, dan fasilitas lain yang membuat user dapat mengaktifkan fungsi-
fungsi sistem. Cara kedua, interface terhubung secara langsung dengan
technical system lain seperti radar dan sensor.
• Penggunaan Kembali Pola-Pola (Reuse Patterns)
Cara pokok untuk memastikan kualitas dan efisiensi dalam analisis dan
perancangan adalah dengan menggunakan kembali ide-ide yang telah diuji
dan digunakan dalam situasi-situasi lain. Analisis dan perancangan
berorientasi objek mengilhami penggunaan kembali ini dengan dua cara,
yaitu dengan menggunakan objects dan components dan dengan
menggunakan pola analisis dan perancangan.
• Penyesuaian Metode (Tailor the Method)
Untuk membuat metode-metode lebih mudah untuk digunakan kembali, kita
harus merancang dengan sedemikian rupa sehingga adaptasi, perbaikan, dan
penggantian bagian lebih mudah untuk diimplementasikan. Analisis dan
perancangan berorientasi objek merefleksikan empat perspektif sentral pada
suatu sistem dan konteksnya, yaitu isi informasi dari sistem, bagaimana
sistem akan digunakan, sistem sebagai keseluruhan dan komponen-
komponen dari sistem. Perspektif-perspektif tersebut terhubung dengan
aktivitas-aktivitas utama dari analisis dan perancangan berorientasi objek,
yaitu problem domain analysis, application domain analysis, architectural
design, dan component design, secara berturut-turut.
57
2.6.2. Object
Menurut Mathiassen et al. (2000, p4), yang diterjemahkan oleh penulis,
object merupakan sebuah entitas dengan identity, state, dan behaviour. Object
dalam analisis menjelaskan kejadian-kejadian di luar sistem, seperti orang-orang
dan benda-benda yang biasanya independen. Meskipun kita tidak dapat selalu
memerintah mereka tetapi kita harus mencatat kejadian-kejadian yang mereka
lakukan dan alami. Sedangkan object dalam perancangan menjelaskan kejadian
di dalam sistem yang dapat kita kendalikan.
2.6.3. System Definition
Menurut Mathiasssen et al (2000, p24), yang diterjemahkan oleh penulis,
system definition merupakan suatu definisi singkat atas sebuah sistem yang
terkomputerisasi yang ditunjukkan dalam bahasa natural. Sebuah system
definition menjelaskan sistem di dalam konteks, informasi apa saja yang harus
terkandung di dalamnya, fungsi-fungsi apa saja yang harus disediakan, di mana
sistem tersebut dapat digunakan, dan kondisi-kondisi apa yang akan digunakan
dalam pengembangan sistem tersebut.
2.6.4. Rich Picture
Menurut Mathiassen et al. (2000, p26), yang diterjemahkan oleh penulis,
rich picture adalah sebuah gambaran informal yang merepresentasikan
pemahaman ilustrator terhadap sebuah situasi. Dengan membuat rich picture,
kita dapat memperjelas pandangan user yang penting mengenai situasi,
memudahkan dalam diskusi, dan memperoleh gambaran umum dari situasi
58
dengan cepat. Tujuan dari pembuatan rich picture bukan antuk membuat
deskripsi yang mendetail dari semua keadaan yang mungkin, tetapi lebih untuk
memperoleh gambaran umum.
2.6.5. FACTOR Criterion
Menurut Mathiassen et al. (2000, p39), yang diterjemahkan oleh penulis,
FACTOR Criterion terdiri atas enam elemen, yaitu:
• Functionality: Fungsi-fungsi sistem yang mendukung tugas-tugas dari
application domain.
• Application domain: Bagian-bagian dari organisasi yang mengelola,
mengawasi, atau mengendalikan sebuah problem domain.
• Conditions: Kondisi-kondisi di mana sistem akan dikembangkan dan
digunakan.
• Technology: Teknologi yang digunakan untuk mengembangkan sistem dan
teknologi di mana sistem tersebut akan dijalankan.
• Objects: Objek-objek utama di dalam problem domain.
• Responsibility: Keseluruhan tanggung jawab sistem dalam kaitannya dengan
konteks.
2.6.6. Problem Domain Analysis
Menurut Mathiassen et al. (2000, p45), yang diterjemahkan oleh penulis,
problem domain adalah bagian dari konteks yang dikelola, diawasi, dan
dikendalikan oleh sebuah sistem. Problem domain analysis memfokuskan pada
59
sebuah pertanyaan inti mengenai informasi apa yang seharusnya terlibat dalam
sistem. Problem domain analysis dibagi ke dalam tiga aktivitas seperti
ditunjukkan oleh Gambar 2.4. Aktivitas pertama adalah memilih objek-objek,
class-class, dan event-event yang akan menjadi elemen dari model problem
domain. Kemudian, membangun model dengan memfokuskan kepada hubungan-
hubungan struktural di antara class-class dan objek-objek yang telah dipilih.
Terakhir, memfokuskan pada property dinamik dari objek. Pada Tabel 2.2
terdapat ringkasan isi dari aktivitas individual dalam problem domain analysis.
Tabel 2.2 Aktivitas-Aktivitas dalam Problem Domain Analysis
Aktivitas Isi Konsep
Classes Objek-objek dan event-event mana yang merupakan bagian dari problem domain?
Class, objek, dan event
Structure Bagaimana class-class dan objek-objek secara konseptual saling berkaitan?
Generalization, aggregation, association, dan cluster
Behavior Properti dinamik mana yang dimiliki oleh objek-objek?
Event trace, behavioral pattern, dan attribute
(Sumber: Mathiassen et al. (2000, p48))
60
Behavior
Structure
System Definition
Model
Classes
Gambar 2.4 Aktivitas-Aktivitas dalam Pemodelan Problem Domain (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p46))
2.6.6.1. Classes
Menurut Mathiassen et al. (2000), yang diterjemahkan oleh
penulis, events merupakan sebuah kejadian seketika yang melibatkan satu
atau lebih objek. (p51). Sementara class adalah sebuah deskripsi dari
sekumpulan objek-objek yang berbagi struktur, behavioral pattern, dan
atribut-atribut. Untuk menjalankan aktivitas class dimulai dengan
mengidentifikasi kandidat-kandidat yang secara potensial relevan untuk
menjadi classes dan events dalam model problem domain. Selanjutnya
kita mengevaluasi kandidat-kandidat tersebut secara sistematis dan
memilih yang benar-benar relevan dengan konteks sistem.(p53). Aktivitas
61
class akan menghasilkan sebuah event table seperti yang terlihat pada
Tabel 2.3. Dimensi horizontal pada event table berisikan class-class yang
terpilih, dimensi vertikal berisikan event-event yang terpilih dan tanda
cek mengindikasikan objek-objek dari class yang terlibat dalam event-
event spesifik. (p49)
Tabel 2.3 Contoh Event Table untuk Sistem Hair Salon
Classes Events Customer Assistant Apprentice Appoint-
ment Plan
Reserved Cancelled Treated
Employed Resigned
Graduated Agreed
(Sumber : Mathiassen, et al.(2000, p50))
2.6.6.2. Structure
Menurut Mathiassen et al. (2000, p69), yang diterjemahkan oleh
penulis, aktivitas structure memfokuskan pada hubungan antara classes
dan objects. Hasil dari kegiatan structure ini adalah sebuah class
diagram. Sebuah class diagram menyediakan gambaran yang koheren
mengenai problem domain dengan mendeskripsikan semua hubungan
struktural antara classes dan objek-objek dalam model.
Terdapat dua tipe structure dalam object-oriented , yaitu :
1. Class structure, menggambarkan hubungan konseptual yang statis
antar class. Hubungan statis ini tidak akan berubah, kecuali terjadi
62
perubahan pada deskripsinya. Class structure dibagi menjadi dua
macam, yaitu :
a. Generalization Structure, merupakan hubungan antara dua atau
lebih class yang lebih spesial (specialization class) dengan sebuah
class yang lebih umum (general class). Struktur generalisasi
menggambarkan pewarisan, dimana specialized classes mewarisi
properti-properti dan behavioral pattern dari general class.
Contoh dari struktur generalisasi dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Passenger Car
Taxi Private Car
Gambar 2.5 Contoh Generalization Structure (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p73))
b. Cluster, merupakan sekumpulan dari class-class yang saling
berhubungan. Notasi grafik dari cluster adalah sebuah file folder
yang terdiri dari class-class yang saling berhubungan di
dalamnya. Class-class dalam satu cluster biasanya terhubung
melalui struktur generalization atau aggregation. Sedangkan
hubungan antara class dengan cluster yang berbeda biasanya
berupa struktur association. Contoh dari cluster dapat dilihat
pada Gambar 2.6.
63
<<cluster>> Cars
<<cluster>> People
Car
Engine Passenger Car
Cylinder Taxi
Owner
Clerk
Gambar 2.6 Contoh Cluster Structure (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p75))
2. Object Structure, menggambarkan hubungan dinamis antar objek.
Hubungan ini dapat berubah secara dinamis tanpa menyebabkan
perubahan pada deskripsinya. Object Structure dibagi menjadi 2
macam, yaitu :
a. Aggregation Structure, merupakan hubungan antara dua atau
lebih objek di mana objek yang superior (keseluruhan) terdiri atas
beberapa objek yang inferior (bagian-bagian). Agregasi
digambarkan sebagai sebuah garis di antara class-class yang
menyeluruh (superior) dan class-class yang berupa bagian, di
mana garis tersebut diberi tanda belah ketupat pada class yang
menyeluruh (superior). Dalam bentuk kalimat, aggregation
structure dieskpresikan dengan formulasi “has a ”, “a-part-of”,
64
atau “is-owned-by”. Contoh dari agregasi dapat dilihat pada
Gambar 2.7.
Car
Body Engine Wheel
Cam Shaft Cylinder
1 1
1 1
1 4..*
1 2..*
1 1..*
Gambar 2.7 Contoh Aggregation Structure (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p76))
b. Assosiation Structure, menggambarkan hubungan yang memiliki
arti antara beberapa objek, tetapi objek pada assosiation ini tidak
mendefinisikan properti dari sebuah objek. Dalam bentuk kalimat,
association structure diekspresikan dengan formulasi “knows”
atau “associated-with”. Contoh dari asosiasi dapat dilihat pada
Gambar 2.8 (p72).
Car Person 0..* 1..*
Gambar 2.8 Contoh Association Structure (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p77))
65
2.6.6.3.Behavior
Menurut Mathiassen et al. (2000), yang diterjemahkan oleh
penulis, kegiatan behavior bertujuan untuk memodelkan perilaku dinamis
dalam problem-domain. Dalam aktivitas behavior, kita menambah
definisi-definisi class yang ada pada class diagram dengan menambahkan
deskripsi-deskripsi mengenai behavioral pattern dan atribut-atribut dari
setiap class. Hasil dari kegiatan ini adalah behavioral pattern yang
diekspresikan secara grafis dalam statechart diagram. Contoh dari
statechart diagram dapat dilihat pada Gambar 2.9 (p89).
/ account opened
/ account closed (date)
/ account withdrawn (date, amount)
/ account deposite (date, amount)
Open
Gambar 2.9 Contoh Statechart Diagram untuk Class Customer (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p90))
Behavioral pattern memiliki struktur kontrol sebagai berikut :
• Sequence adalah events yang terjadi satu per satu. Notasinya: “+”.
• Selection adalah sebuah event yang terjadi dari suatu set events.
Notasinya: “|”.
66
• Iteration adalah sebuah event yang terjadi sebanyak nol atau berulang
kali. Notasinya : “*” (p93).
2.6.7 Application Domain Analysis
Menurut Mathiassen et al. (2000), yang diterjemahkan oleh penulis,
application domain dalah sebuah organisasi yang mengatur, mengawasi, atau
mengendalikan problem domain. Tujuan dari application domain analysis adalah
menentukan kebutuhan fungsi sistem. Prinsip dari application domain analysis
adalah bekerja sama dengan user dan menentukan application domain dengan
use cases. (p115)
Aktivitas dari application domain analysis terdiri dari usage, functions,
dan interfaces seperti yang terdapat pada Tabel 2.4 dan Gambar 2.10 (p117)
Tabel 2.4 Aktivitas dalam Application Domain Analysis
Kegiatan Isi Konsep Usage Bagaimana sistem berinteraksi
dengan user dan dengan sistem lain dalam konteks?
Use case dan actor
Functions Bagaimana kemampuan sistem dalam memproses informasi ?
Function
Interfaces Apa kebutuhan atau persyaratan dari interface sistem yang ditargetkan ?
Interface, user interface, dan system interface
(Sumber: Mathiassen et al.(2000, p117))
67
System Definition
Requirements
Usage
Functions
Interfaces
Gambar 2.10 Application Domain Analysis (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p117))
2.6.7.1. Usage
Menurut Mathiassen et al. (2000, p119), yang diterjemahkan oleh
penulis, tujuan dari kegiatan usage adalah untuk menentukan bagaimana
actor-actor berinteraksi di dalam sistem. Actor adalah sebuah abstraksi dari
pengguna atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem target. Interaksi
antara actor dan sistem dinyatakan dalam use case. Use case adalah sebuah
pola untuk interaksi antara sistem dan actor-actor dalam application
domain. Hubungan antara actors dengan use cases dapat diilustrasikan
dengan actor table atau use case diagram. (p121)
68
2.6.7.2. Functions
Menurut Mathiassen et al. (2000, p138), function merupakan
sebuah fasilitas yang digunakan untuk membuat model berguna bagi
actors. Tujuan dari aktivitas function adalah untuk menentukan
kemampuan pemrosesan informasi dari sebuah sistem. Prinsip-prinsip yang
digunakan adalah dengan mengidentifikasikan seluruh functions, hanya
menspesifikasikan functions yang kompleks, memeriksa konsistensi dengan
use cases dan model. Terdapat empat tipe dari function, yaitu:
1. Update function, merupakan fungsi yang diaktifkan oleh event dari
problem-domain dan menghasilkan perubahan dalam state dari model
tersebut.
2. Signal function, merupakan fungsi yang diaktifkan oleh perubahan state
dari model yang dapat menghasilkan reaksi pada konteks.
3. Read function, merupakan fungsi yang diaktifkan oleh kebutuhan
informasi dalam pekerjaan actor dan mengakibatkan sistem
menampilkan bagian yang berhubungan dengan model.
4. Compute function, merupakan fungsi yang diaktifkan oleh kebutuhan
informasi dalam pekerjaan actor dan berisi perhitungan yang
melibatkan informasi yang disediakan oleh actor atau model; hasilnya
adalah sebuah tampilan dari hasil perhitungan tersebut.
69
2.6.7.3. Interfaces
Menurut Mathiassen et al. (2000), yang diterjemahkan oleh
penulis, interface adalah suatu fasilitas yang membuat suatu model dan
fungsi-fungsi dari sistem tersedia bagi actor. (p151)
Interface terdiri dari dua macam, yaitu:
1. User interface, yang menghubungkan human actor (manusia) dengan
sistem. Terdapat empat jenis pola dialog yang penting dalam menentukan
interface pengguna, yang terdiri dari:
• Pola menu-selection, yang terdiri dari daftar pilihan yang mungkin
dalam interface pengguna.
• Pola fill-in, merupakan pola klasik untuk entry data.
• Pola command-language, di mana user memasukkan dan memulai
format perintah sendiri.
• Pola direct manipulation, di mana user dapat memilih objek dan
melaksanakan function atas objek dan melihat hasil dari interaksi
mereka tersebut dengan segera.
2. Syistem interface, menghubungkan sistem lain (system actor) dengan
sistem lain yang sedang dikembangkan.. Sistem lain tersebut dapat
berupa external device (misalnya sensor, switch, dll) dan sistem komputer
yang kompleks sehingga dibutuhkan suatu protokol komunikasi. System
interface dispesifikasikan sebagai class diagram dari external device dan
sebagai protokol dalam berinteraksi dengan sistem lain. (p154-164)
70
2.6.8. Architectural Design
Menurut Mathiassen et al. (2000, p173), tujuan dari architectural design
adalah untuk menstrukturkan sebuah sistem yang terkomputerisasi. Prinsip-
prinsip yang digunakan adalah mendefinisikan dan memprioritaskan criteria,
menjembatani criteria dengan technical platform, mengevaluasi perancangan
sejak awal. Hasil yang diperoleh berupa struktur bagi komponen-komponen dan
proses-proses sistem. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam architectural
design diperlihatkan pada Gambar 2.11 dan Tabel 2.5 berikut ini.
Architectural Specification
Analysis Document
Component Architectur
Criteria
Process Architecture
Gambar 2.11 Aktivitas-aktivitas dalam Architectural Design (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p176))
Tabel 2.5 Aktivitas dalam Architectural Design
Aktivitas Isi Konsep Criteria Apa kondisi dan kriteria untuk
desain ? Criterion
Components Bagaimana sistem dibentuk menjadi komponen – komponen ?
Component architecture dan component
Processes Bagaimana proses sistem didistribusikan dan dikordinasikan ?
Process architecture dan process
(Sumber: Mathiassen et al. (2000, p176))
71
2.6.8.1. Criteria
Menurut Mathiassen et al. (2000, p177), yang diterjemahkan oleh
penulis, tujuan dari criteria adalah untuk mempersiapkan prioritas dari
sebuah perancangan. Aktivitas ini bertujuan untuk membuat perancangan
(design). Hasil dari aktivitas ini adalah sekumpulan criteria yang
diprioritaskan. Suatu perancangan yang baik harus memperhatikan criteria-
criteria yang dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Kriteria-Kriteria Umum bagi Kualitas Software
Criteria Pengukuran dari Usable Kemampuan sistem untuk beradaptasi dengan
konteks organisasi, berhubungan dengan pekerjaan, dan teknis.
Secure Tindakan pencegahan dalam menghadapi akses yang tidak terotorisasi terhadap data dan fasilitas.
Efficient Eksploitasi ekonomis dari fasilitas-fasilitas technical platform.
Correct Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan. Reliable Pemenuhan ketepatan yang dibutuhkan dalam
pengeksekusian atau pelaksanaan fungsi. Maintainable Biaya untuk menemukan dan memperbaiki
kerusakan-kerusakan sistem. Testable Biaya untuk memastikan bahwa sistem yang dibentuk
dapat melaksanakan fungsi yang diinginkan. Flexible Biaya untuk mengubah sistem yang dibentuk. Comprehensible Usaha yang diperlukan untuk mendapatkan
pemahaman terhadap sistem. Reusable Kemungkinan atau potensi untuk menggunakan
bagian sistem pada sistem lain yang berhubungan. Portable Biaya untuk memindahkan sistem ke technical
platform yang lain. Interoperable Biaya untuk menggabungkan sistem ke sistem yang
lain. (Sumber: Mathiassen et al. (2000, h178))
72
2.6.8.2. Component Architecture
Menurut Mathiassen et al. (2000, p189), yang diterjemahkan oleh
penulis, component architecture adalah sebuah struktur sistem yang terdiri
dari komponen-komponen yang saling berhubungan. Komponen merupakan
kumpulan dari bagian-bagian program yang membentuk suatu kesatuan dan
memiliki tanggung jawab yang jelas. Prinsip-prinsip yang digunakan adalah
mengurangi kompleksitas melalui pemisahan perhatian (concerns),
merefleksikan struktur konteks yang stabil, menggunakan kembali
komponen-komponen yang sudah ada. Hasil dari aktivitas ini berupa sebuah
class diagram dengan spesifikasi-spesifikasi dari komponen-komponen yang
kompleks. Sebuah arsitektur komponen yang baik membuat sistem menjadi
lebih mudah untuk dipahami, mengorganisasikan pekerjaan perancangan,
menggambarkan stabilitas dari konteks sistem, dan mengubah tugas
perancangan menjadi beberapa tugas yang tidak terlalu kompleks.
Terdapat beberapa pola umum yang dapat digunakan untuk
merancang suatu component architecture, yaitu:
1. The Layered Architecture Pattern
Arsitektur ini terdiri dari beberapa component yang dirancang sebagai
layers dan merupakan bentuk yang paling umum dalam software.
Rancangan dari setiap component menggambarkan tanggung jawabnya
masing-masing serta interface bagian atas maupun bagian bawah.
Interface bagian atas akan menggambarkan operasi yang tersedia untuk
layer di bawahnya. Pola ini diilustrasikan seperti pada Gambar 2.12.
73
<<component>> Layeri+1
<<component>> Layeri-1
<<component>> Layeri
Upwards Interface
Downwards Interface Gambar 2.12 Layered Architecture Pattern
(Sumber: Mathiassen et al. (2000, p193))
2. The Generic Architecture Pattern
Pola ini digunakan untuk memperinci sistem dasar yang terdiri dari
interface, function, dan model components. Model component yang
mengandung model dari sistem object, dapat berupa layer yang paling
bawah, diikuti dengan layer system function, dan yang paling atas
merupakan component interface. Layer interface dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu user interface dan system interface. Pola ini
diilustrasikan seperti pada Gambar 2.13.
74
<<component>> Interface
<<component>> User Interface
<<component>> System Interface
<<component>> Technical Platform
<<component>> UIS
<<component>> DBS
<<component>> NS
<<component>> Function
<<component>> Model
<<component>> Technical Platform
Gambar 2.13 Generic Architecture Pattern (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p196))
3. The Client-Server Architecture Pattern
Pola ini awalnya dikembangkan untuk mengatasi masalah distribusi
sistem di antara beberapa processor yang tersebar secara geografis.
Komponen dari client-server architecture ini adalah sebuah server dan
beberapa clients. Server memiliki sekumpulan operasi yang tersedia bagi
client. Server bertanggung jawab untuk menyediakan hal-hal yang umum
bagi client-nya, seperti database atau sumber daya lain yang bisa
75
digunakan bersama. Server menyediakan operasi bagi client melalui suatu
jaringan. Client bertanggung jawab untuk menyediakan interface lokal
bagi para user. Pola ini diilustrasikan seperti pada Gambar 2.14 berikut
ini.
<<component>> Client1
<<component>> Client2
<<component>> Clientn
<<component>> Server
Gambar 2.14 Client-Server Architecture Pattern (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p197))
Ada beberapa jenis distribusi dalam client server architecture, seperti
yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.7 Bentuk-Bentuk Distribusi pada Client-Server Architecture
Client Server Architecture U U+F+M Distributed presentation U F+M Local presentation U+F F+M Distributed functionality U+F M Centralized data U+F+M M Distributed data
(Sumber: Mathiassen et al. (2000, p200))
76
2.6.8.3. Process Architecture
Menurut Mathiassen et al. (2000), yang diterjemahkan oleh penulis,
process architecture adalah struktur dari eksekusi sistem yang terdiri dari proses-
proses yang saling tergantung. Untuk mengeksekusi atau menjalankan sebuah
sistem dibutuhkan processor. Sedangkan external device adalah processor khusus
yang tidak dapat menjalankan program. Process architecture harus dapat
memastikan bahwa sistem dapat dijalankan secara memuaskan dengan
menggunakan processor yang telah tersedia. (p209)
Objek-objek yang terlibat dalam sistem berorientasi objek yang berjalan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu active object yang telah ditugaskan sebuah proses
dan aktif selama sistem dijalankan; dan program component yang pasif selama
eksekusi sistem, kecuali pada saat dipanggil sebagai bagian dari eksekusi proses
sampai eksekusi proses tersebut selesai dijalankan. (p211-213)
Prinsip-prinsip yang digunakan adalah fokus pada arsitektur tanpa adanya
kemacetan (bottlenecks), mendistribusikan components pada processors, dan
mengkoordinasikan sharing sumber daya dengan active objects. Hasil dari
aktivitas ini adalah deployment diagram yang menunjukkan processors dengan
program components (sebuah modul fisik dari kode program) dan active objects
yang ditugaskan.
Beberapa pola distribusi dalam kegiatan desain process architecture :
1. The Centralized Pattern
Pada pola ini semua data ditempatkan pada server dan client hanya menangani
user interface saja. Keseluruhan model dan semua fungsi bergantung pada
server, dan client hanya berperan seperti terminal.
77
: Client
User
Interface
System
Interface
: Server
User Interface
System Interface
Function
Model
More Clients
Gambar 2.15 Deployment Diagram untuk Centralized Pattern
(Sumber: Mathiassen et al. (2000, p216))
78
2. The Distributed Pattern
Pola ini merupakan kebalikan dari centralized pattern. Pada pola ini, semua
didistribusikan kepada client dan server hanya diperlukan untuk melakukan
update model di antara clients.
: Server
More Clients
User Interface
Function
Model
System Interface
System Interface
: Client
Gambar 2.16 Deployment Diagram untuk Distributed Pattern (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p217))
79
3. The Decentralized Pattern
Pola ini merupakan gabungan dari kedua pola sebelumnya. Pada pola ini, client
memiliki datanya sendiri sehingga hanya data yang bersifat umum terdapat
pada server. (p218)
80
More Clients
: Client
User
Interface
System
Interface
Function
Model (Local)
: Server
User
Interface
System
Interface
Function
Model
(Common)
Gambar 2.17 Deployment Diagram untuk Decentralized Pattern (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p219))
81
2.6.9. Component Design
Menurut Mathiassen et al. (2000, p231), yang diterjemahkan oleh penulis,
component design bertujuan untuk menentukan implementasi kebutuhan dalam
sebuah kerangka arsitektural. Kegiatan component design bermula dari spesifikasi
arsitektural dan kebutuhan sistem, sedangkan hasil dari kegiatan ini adalah
spesifikasi dari komponen yang saling berhubungan. Aktivitas-aktivitas dalam
component design ditunjukkan pada Gambar 2.18
Component Specification
Architectural Specifications
Design of Components
Design of Component Connections
Gambar 2.18 Component Design (Sumber: Mathiassen et al. (2000, p232))
2.6.9.1 Model Component
Menurut Mathiassen et al. (2000, p235), yang diterjemahkan oleh penulis,
model component adalah bagian dari sistem yang mengimplementasi model
problem domain. Tujuan dari komponen model adalah untuk mengirimkan data
sekarang dan data historis ke function, interface dan terutama kepada pengguna
dan sistem yang lain. Konsep utama dalam desain model component adalah
struktur.
82
Hasil dari kegiatan model component adalah revisi dari class diagram dari
kegiatan analisis. Kegiatan revisi biasanya terdiri dari kegiatan menambahkan
kelas, attribute, dan struktur baru yang mewakili event.
Revisi class dapat terjadi pada:
1. Generalization, jika terdapat dua class dengan atribut yang sama, maka dapat
dibentuk class baru (revised class).
2. Association, jika terdapat hubungan many-to-many.
3. Embedded Iterations, yang merupakan embedded di dalam state chart
diagram. Misalnya, jika sebuah class terdapat state chart diagram yang
mempunyai tiga iterated events maka dapat dibentuk tiga class di dalam
perancangan model. (p243-246)
2.6.9.2 Function Component
Menurut Mathiassen et al. (2000), yang diterjemahkan oleh penulis,
function component adalah bagian dari sistem yang mengimplementasikan
kebutuhan fungsional. Tujuan dari function component adalah untuk memberikan
akses bagi user interface dan komponen sistem lainnya ke model. Function
component adalah penghubung antara model dan usage. Hasil dari kegiatan ini
adalah class diagram dengan operations dan spesifikasi dari operations yang
kompleks. (p252)
Subaktivitas dalam function design adalah:
1. Merancang function sebagai operation, yaitu mengidentifikasi tipe utama dari
functions tersebut. Ada empat tipe functions , yaitu update, read, compute, dan
signal. (p253)
83
2. Menelusuri pola yang dapat membantu dalam implementasi function sebagai
operation. Terdapat empat pola yaitu:
a. Model Class Placement
Pola ini menempatkan operation dalam model component class dan
berguna ketika sebuah operation mengakses hanya sebuah single object
atau struktur aggregation yang sederhana. Pola ini juga dapat digunakan
ketika beberapa object terlibat, namun hanya jika tanggung jawab
operation tersebut dapat dengan jelas ditempatkan pada salah satu dari
model class.
b. Function Class Placement
Pola ini digunakan ketika tanggung jawab operation tidak dapat dengan
jelas ditempatkan dalam model class. Sebaliknya satu atau lebih functional-
component class dapat digambarkan dengan menempatkan operation yang
merealisasikan function.
c. Strategy
Pola ini digunakan untuk mendefinisikan sekumpulan operations yang
umum terenkapsulasi dan dapat dipertukarkan.
d. Active Function
Active signal function dapat direalisasikan sebagai operation yang secara
permanen aktif dan berkala memberikan sinyal kepada interface. Active
function ditempatkan sebagai active object dan performance-nya
tergantung dari state pada model component. (p260-263)
84
3. Spesifikasikan operasi yang kompleks.
Terdapat tiga cara untuk melakukannya, yaitu operation specification,
sequence diagram, dan statechart diagram. (p265)