ANTECEDENTS DAN CONSEQUENCES PERCEIVED VALUE PADA …akbpstie.ac.id/cmsz/medias/file/9. MUHAMMAD...
Transcript of ANTECEDENTS DAN CONSEQUENCES PERCEIVED VALUE PADA …akbpstie.ac.id/cmsz/medias/file/9. MUHAMMAD...
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
417
Jurnal KBP
Volume 1 - No. 3, Desember 2013
ANTECEDENTS DAN CONSEQUENCES DARI
PERCEIVED VALUE PADA BANK BNI CABANG HARMONI
Muhammad Tahir
STIE”KBP” Padang
ABSTRACT
The objectives of this research was : (a) the positive effect of service quality to
perceived value, (b) the positive effect of service quality to loyalty to the firm, (c) the
positive effect of perceived value to loyalty to the firm, (d) the positive effect of service
perceived value to customer satisfaction, (e) the positive effect of service quality to
customer satisfaction, (f) the positive effect of customer satisfaction to loyalty to the
employee, (g) the positive effect of service encounter to service quality, (h) the positive
effect of service encounter to customer satisfaction, (i) the positive effect of loyalty to
the employee to loyalty to the firm.
The design of this research applies a survey toward unit of analysis on BNI Bank to
interview the customers for testing hypothesis. Meanwhile the required data consist of
eight variables; service encounter, and service quality attribute as independent
variables, perceived value as intervening variable and customer satisfaction, loyalty to
the employee, and loyalty to the firm as dependent variable. The aggregate numbers of
customer being respondent of the study are 185. Data analysis used in this research
was consists of Structural Equation Method by LISREL 8.7 as software.
The result of this research conclude that variable of service encounter, and service
quality attribute had a positive effect to perceived value, and variable perceived value
had positive effect to customer satisfaction, loyalty to the employee, and loyalty to the
firm.
Keywords: service quality, loyalty, employee loyalty to the firm, service perceived
value, customer satisfaction, dan service encounter
PENDAHULUAN
Pengetahuan mengenai bagaimana
pelanggan membuat konsep,
memahami, dan mengevaluasi jasa saat
ini sedang berkembang. Peneliti dan
praktisi sekarang lebih memahami
tentang bagaimana kualitas pelayanan
dievaluasi (Brady dan Cronin,
2001;Parasuraman et al, 1988.),
bagaimana pelanggan memperoleh nilai
dari layanan yang menawarkan (Fornell
et al, 1996;. Ostrom dan Iacobucci,
1995), apa yang mendorong kepuasan
pelanggan (Choi et al, 2005.; Fournier
dan Mick, 1999), dan faktor-faktor
yang mempengaruhi loyalitas terhadap
penyedia layanan (Gupta dan Zeithaml,
2006). Akibatnya, persepsi mengenai
pentingnya pertemuan layanan semakin
diakui (Namasivayam dan Hinkin,
2003). Bitner et al. (1994) mencatat
bahwa dari titik pandang pelanggan,
bukti kualitas pelayanan terjadi dalam
perjumpaan layanan. Mereka menyebut
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
418
interaksi pelanggan semacam ini
dengan “Moment of the Truth “.
Layanan pertemuan dapat menjadi
bagian integral dari image yang
pelanggan lihat dari perusahaan dan,
pada gilirannya, akan memainkan peran
yang berpengaruh dalam menentukan
keberhasilan perusahaan (Bitner, 1990;
Bitner et al,. 1990). Secara lebih
spesifik, Hartline et al. (2003)
berpendapat bahwa dasar evaluasi dari
pelanggan ada pada persepsi mereka
terhadap layanan pertemuan.
Meskipun para bagian pemasaran
akademik dan praktisi telah lama
tertarik pada sifat hubungan antar
bisnis-ke-bisnis (Dwyer et al., 1987),
ulasan dalam artikel-artikel
menyebutkan bahwa layanan
perjumpaan dalam bidang ini
didominasi oleh pekerjaan memeriksa
oleh konsumen ritel (Kong dan Mayo,
1993; Westbrook dan Peterson, 1998).
Seperti yang diamati oleh
Jayawardhena et al. (2007), kualitas
layanan pertemuan dalam konteks
bisnis ke bisnis cenderung diabaikan di
tingkat manajerial (Bitran dan Lojo,
1993) dan masih diteliti (Brown et al,
1994;. Chumpitaz dan Paparoidamis,
2004; Hartline dan Jones, 1996).
Dengan adanya bukti ini, dapat
dibayangkan bahwa penelitian lebih
lanjut dari peran kualitas layanan
pertemuan dalam bidang bisnis akan
memiliki tema lain yang signifikan
untuk diteliti. Konteks bisnis ke bisnis
memiliki sejumlah karakteristik yang
membuatnya cukup berbeda dari
konteks bisnis ke konsumen. Ditandai
dengan hubungan yang lebih dekat dan
lebih dalam ketimbang sekedar
hubungan konsumen (Mehta dan
Durvasula, 1998).
TINJAUAN PUSTAKA
Service Encounters
Hasil Penelitian di bidang pemasaran
menawarkan sejumlah definisi dari
Service Encounterss. Pengertian awal
adalah bahwa Service Encounterss
adalah
suatu kesatuan peran pertunjukan di
mana kedua pelanggan serta penyedia
layanan memiliki peran untuk saling
ber-aksi (Czepiel dkk, 1985). Masih
dalam pembahasan yang sama,
Surprenant dan Salomo (1987)
mendefinisikan Service Encounterss
sebagai dual interaksi antara pelanggan
dan penyedia layanan.
Service Encounters merupakan suatu
interaksi langsung antara konsumen
dengan karyawan, termasuk fasilitas
fisik yang dapat menggantikan fungsi
personel. Interaksi ini sangat penting,
karena saat pertemuan ini merupakan
saat yang menentukan kualitas jasa di
benak konsumen, apakah akan
memberikan kesan positif ataukah
sebaliknya. Interaksi ini disebut sebagai
“a moment of truth”, yang tidak hanya
menyangkut peranan kontak personel
dalam saat dan waktu yang tepat, juga
menyangkut beberapa pemahaman
tentang seberapa efektif pemasangan
tanda-tanda, pemberian petunjuk-
petunjuk maupun informasi dilihat dari
aspek jarak dan penempatannya, dan
termasuk sejauh mana pengaruh
konsumen terhadap kualitas dari
Service Encounters, terutama pada
kontak pertama (Farida Jasfar, 2005).
Dibanyak jasa, Service Encounters
merupakan kritikal dalam mencapai
kepuasan kosumen ( Jones dan Suh,
2000; Svensson, 2006). Dimana dalam
penerapannya tidak hanya melibatkan
karyawan tetapi juga organisasi serta
konsumen. Tentunya untuk dapat
menciptakan kualitas kinerja karyawan
tidak lepas dari bagaimana organisasi
mampu menetapkan prosedur dan
peraturan-peraturan yang terkadang
bisa mengurangi kebebasan karyawan
dalam hal ini kontak personel.
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
419
Definisi dari evaluasi Service
Encounterss meneurut Ching-Jui Keng
(2007) adalah suatu periode waktu di
mana seorang pelanggan langsung
berinteraksi dengan suatu layanan.
Interaksi antara seorang pelanggan dan
seorang pegawai perusahaan dapat
dianggap sebagai sebuah “encounter”
atau sebagai suatu hubungan.
Perbedaan tergantung jika pelanggan
berjanji untuk mengulang kontak
dengan seorang pegawai secara spesifik
(suatu hubungan) atau berinteraksi
tidak secara khusus dengan beberapa
perwakilan organisasi (encounter).
Bagaimanapun, banyak dari literatur
pada Service Encounters telah berfokus
kepada hasil dari sebuah proses bukan
berdasarkan prosesnya (Mckechnie,
2007). Service Encounters terjadi di
setiap waktu, dimana seorang
pelanggan berinteraksi dengan sebuah
perusahaan. Para pelanggan dapat
berinteraksi dengan perusahaan-
perusahaan dengan berbagai cara baik
personal atau melalui teknologi
(Heinonen, 2008).
Selanjutnya Joana (2000) menyatakan,
bahwa Service Encounterss adalah
kontak sosial yang terjadi tiap hari di
mana berbagai barang dan/atau jasa
telah tersedia. Meskipun internet dan
saluran belanja menjamur, tetapi
kebanyakan konter-konter ini tetap
dibutuhkan seperti yang selalu ada
seperti departemen store, agen
perjalanan dan restauran. Institusi-
institusi ini berinteraksi relatif lebih
berstruktur dan umumnya mereka
mempunyai sebuah alokasi peran yang
tetap, termasuk (paling sedikit) seorang
pelanggan dan seorang pelayan.
Para akademisi dalam jasa pemasaran
sering berfokus kepada interaksi
personal karena membuat services
encounters lebih disukai karena dapat
memperkecil risiko yang diterima yang
dihubungkan dengan pembelian sebuah
jasa dan pengembangan pengalaman
dalam berbelanja (Julian dan
Ramaseshan, 1994).
Pengaruh dari Service Encounterss
dapat dibagi menjadi dua komponen
yaitu : interaksi pribadi dengan
penyedia jasa dan lingkungan fisik dari
pengecer (Bitner 1990 ; Harris
et.,al.2003). Interaksi pertemuan
pribadi dapat dianggap sebagai periode
waktu sepanjang seorang konsumen
berinteraksi dengan penyedia jasa
(Bitner, 1990). Dimana kualitas dari
interaksi tersebut menurut Chandon et
al., (1997) dapat dinilai berdasarkan
kompetensi, kemampuan mendengar
dan tingkat dedikasinya.
Coye (2004) juga menemukan bahwa
perilaku penyedia jasa dalam hal
penyampaian sangat mempengaruhi
harapan konsumen terhadap pemberian
jasa. Sementara itu, pertemuan
lingkungan fisik diartikan sebagai suatu
periode waktu dimana seorang
pelanggan berinteraksi dengan fasilitas
fisik dan elemen fisik lainnya dalam
lingkungan jasa (Bitner,1990). (Ching-
Jung Keng, 2007) menyatakan bahwa
konsumen dalam 4 industri jasa yang
berbeda memperhatikan lingkungan
pelayanan-lokasi dimana Service
Encounterss terjadi-yang disadari
sebagai evaluasi dari kualitas
pelayanan. Serta Lingkungan fisik
memegang peranan penting dalam hal
perhatian konsumen dan hasrat untuk
merekomendasikannya kepada orang
lain.
Kepuasan Service Encounters adalah
merupakan suatu transaksi yang
khusus. Kepuasan service encouter
sangat berhubungan dengan kepuasan
konsumen secara keseluruhan. Hal ini
sangatlah penting, karena biar
bagaimanapun, untuk dapat
mengingatnya perbedaan konstruksi
tersebut dikarenakan faktor-faktor yang
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
420
mempengaruhinya berbeda pula
(Shanker et al., dalam Schijins,2002).
Kepuasan konsumen secara
menyeluruh adalah suatu hubungan
yang sangat spesifik, yang merupakan
efek kumulatif dari Service Encounters
yang berbeda atau transaksi dengan
service provider selama suatu periode
waktu (Bitner dan Hubbert dalam
Schijins, 2002). Kepuasan konsumen
merupakan hal yang sangat dibutuhkan
tapi bukanlah merupakan syarat yang
cukup agar konsumen loyal (Schijins,
2002).
Service Quality
Kualitas pelayanan pada umumnya
dipandang sebagai hasil keseluruhan
sistem pelayanan yang diterima
konsumen, dan pada prinsipnya, bahwa
kualitas pelayanan berfokus pada upaya
pemenuhan kebutuhan dan keinginan
pelanggan, serta adanya tekad untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan
harapan pelanggan. Duffy (1998),
berpendapat bahwa kualitas pelayanan
berkaitan dengan persepsi pelanggan
terhadap pelayanan yang akan diterima
dari perusahaan. Lebih jauh Duffy
menambahkan bahwa kualitas
pelayanan dapat diukur melalui
perbedaan antara persepsi terhadap
kualitas pelayanan yang diterimanya,
dengan harapan pelanggan terhadap
pelayanan yang akan diterimanya.
Sedangkan menurut Kotler (1991),
kualitas pelayanan pada prinsipnya
mengandung pengertian bahwa kualitas
harus dimulai dari kebutuhan dan
keinginan pelanggan, dan berakhir pada
persepsi pelanggan. Hal ini berarti
bahwa citra kualitas yang baik bukan
dilihat dari persepsi perusahaan,
melainkan berdasarkan pada persepsi
pelanggan. Persepsi pelanggan
terhadap kualitas pelayanan,
merupakan penilaian yang menyeluruh
atas keunggulan suatu produk atau jasa.
Kualitas pelayanan dibentuk oleh
perbandingan antara kondisi ideal dan
persepsi dari kinerja dimensi kualitas
(Oliver, 1997). Sehingga dapat
dikatakan bahwa kualitas produk atau
jasa merupakan penilaian pelanggan
terhadap kesempurnaan performansi
atas produk atau jasa yang dikonsumsi
(Mowen, 1995).
Parasuraman et al (1985) menyatakan
ada dua fakor utama yang
mempengaruhi kualitas jasa, yaitu
expective service (pelayanan yang
dupayiharapkan) dan perceived service
(pelayanan yang diterima). Karena
kualitas pelayanan berpusat pada
upaya pemenuhan dan keinginan
pelanggan serta ketepatan penyampaian
untuk mengimbangi harapan
pelanggan, untuk itu maka, zeithamal
(1996) mendefinisikan bahwa
pelayanan adalah penyampaian secara
excelen atau superior dibandingkan
dengan harapan konsumen.
Dalam perkembangan Parasuraman dkk
(dalam zeithaml dan bitner 1996)
menyatakan bahwa konsumen dalam
melakukan penilaian terhadap kualitas
jasa ada lima dimensi yang perlu
diperhatikan :
a. Tangible, yaitu meliputi fasilitas
fisik, perlengkapan, pegawai dan
sarana komunikasi.
b. Emphaty, yaitu meliputi
kemudahan dalam melakukan
hubungan, komunikasi yang baik,
perhatian pribadi dan memahami
kebutuhan pelanggan.
c. Responsivenes, keinginan para staf
untuk membatu konsumen dan
memberikan pelayanan dengan
tanggap.
d. Reabilty, kemampuan memberikan
layanan yang dijanjikan dengan
segera, akurat, kehandalan
danmemuaskan.
e. Asurance, mencakup pengetahuan,
kemampuan kesopanan, dan sifat
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
421
yang dapat dipercaya.
Tjiptono (1991) menyimpulkan, bahwa
citra kualitas layanan yang baik
bukanlah berdasarkan sudut
pandang/persepsi penyedia jasa,
melainkan berdasarkan sudut pandang/
persepsi konsumen. hal ini disebabkan
oleh konsumenlah mengkonsumsi serta
menikmati jasa layanan.
Customer Satisfaction
Teori yang paling umum digunakan
untuk menjelaskan kepuasan pelanggan
adalah teori Expectancy-
Disconfirmation. Teori ini menjelaskan
bahwa konsumen memiliki harapan
akan produk atau jasa sebelum
melakukan tindakan konsumsi atau
pembelian. Setelah konsumen membeli
dan/atau menggunakan produk atau
jasa tersebut, kemudian konsumen
mengevaluasi pengalaman dan bentuk
penampilan dari produk atau jasa yang
berkaitan dengan harapan awal mereka.
Hasil dari evaluasi ini adalah sikap
yaitu suatu keputusan apakah mereka
puas atau tidak. Apabila evaluasi dan
sikap yang muncul sesuai dengan
harapan konsumen, maka terjadilah
keadaan kepuasan. Keadaan kepuasan
ini merujuk pada sikap positif terhadap
pengalaman membeli, produk dan /
atau jasa, serta dapat secara positif
mempengaruhi niat membeli di masa
depan (Carpenter, 2008).
Akan tetapi, para peneliti menyatakan
bahwa kepuasan konsumen meliputi
penilaian kognitif dan reaksi afektif
selama proses konsumsi. Bahkan
kepuasan meliputi suatu evaluasi dari
emosi konsumsi yang datang dari
penggunaan atau pemakaian produk
atau jasa. Jooyeon dan Jang (2010)
mengutip dari Oliver menganggap
kepuasan konsumen sebagai tanggapan
pemenuhan konsumen, sejauh mana
tingkat pemenuhan tersebut
menyenangkan atau tidak
menyenangkan, menunjukan bahwa
kepuasan merefleksikan akibat dari
performa terhadap keadaan emosi
konsumen. Untuk memahami kepuasan
pelanggan lebih jauh, penelitian
terdahulu telah mengidentifikasikan
anteseden-anteseden serta konsekuensi
dari kepuasan. Kotler dan Keller (2006)
mendefinisikan kepuasan konsumen
adalah perasaan konsumen, baik berupa
kepuasan atau ketidakpuasan yang
timbul dari membandingkan
penampilan sebuah produk dengan
harapan konsumen atas produk
tersebut. Apabila penampilan produk
yang diharapkan oleh konsumen tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada
maka dapat dipastikan konsumen akan
merasa tidak puas, namun apabila
penampilan produk sesuai dengan atau
lebih baik dari yang diharapkan
konsumen maka kepuasan atau
kesenangan akan dirasakan oleh
konsumen.
Kepuasan pelanggan telah menjadi
tujuan utama dalam industri jasa karena
hal tersebut membawa manfaat /
keuntungan bagi organisasi (Ranaweera
dan Prabhu, 2003). Pentingnya
kepuasan pelanggan berasal dari
filosofi yang diterima secara umum
bahwa suatu bisnis untuk menjadi
sukses dan menguntungkan harus dapat
memuaskan pelanggan, karena melalui
kepuasan pelanggan, organisasi dapat
meningkatkan keuntungan dengan
memperluas bisnis mereka dan
memperoleh pangsa pasar yang lebih
tinggi serta bisnis yang berulang dan
referensi (Shin dan Elliott, 2001).
Untuk meraih tingkat kepuasan
konsumen yang lebih tinggi dari, maka
pihak penyedia jasa diharapkan dapat
menyampaikan dan memberikan
pelayanan dengan tingkat yang lebih
tinggi karena kualitas jasa dianggap
sebagai anteceden dari kepuasan
konsumen (Cronin et al., 2000).
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
422
Kepuasan pelanggan harus disertai
dengan pemantauan terhadap
kebutuhan dan keinginan yang bisa
dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Seperti yang diungkap oleh Cravens
(dalam Wulansari, 2007) ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi
kepuasan pelanggan yaitu: (1) adanya
sistem pengiriman. Memindahkan
produk atau menyampaikan jasa dari
produsen ke pelanggan atau pemakai
akhir dalam bisnis biasanya meliputi
saluran distribusi dari para pemasok,
pabrikan dan para perantara. Untuk
dapat memuaskan pelanggan, jaringan
ini harus berfungsi sebagai unit yang
terpadu dan terkoordinir, di mana
semua karyawannya mengerti dan
menanggapi kebutuhan dan keinginan
pelanggan; (2) adanya performa dan
keunggulan suatu produk atau jasa
sangatlah penting dalam mempengaruhi
kepuasan pelanggan, yang bisa disebut
sebagai hal utama dalam bersaing; (3)
adanya citra dan merek perusahaan
yang baik merupakan keunggulan
bersaing yang mempengaruhi tingkat
kepuasan pelanggan dari sudut positif.
Terbentuknya citra merek (brand
image) dan nilai merek (brand equity)
adalah pada saat pelanggan
memperoleh pengalaman yang
menyenangkan dengan produk atau
jasa yang dikonsumsinya; (4) Adanya
hubungan harga-nilai. Pelanggan
mengiginkan nilai yang ditawarkan dari
suatu merek produk atau jasa sesuai
dengan harga yang diberikan, oleh
karenanya terdapat hubungan yang
menguntungkan antara harga dan nilai.
Merek dipromosikan oleh perusahaan
sebagai suatu nilai yang unik sesuai
harganya. Di lain pihak, manajemen
memutuskan untuk bersaing atas dasar
harga rendah di antara merek-merek di
mana para pembeli sudah menetapkan
nilai yang seimbang; (5) adanya kinerja
atau prestasi karyawan Kinerja dari
suatu produk atau jasa dan sistem
pengiriman tergantung pada bagaimana
semua bagian organisasi bekerjasama
dalam proses pemenuhan kepuasan
pelanggan. Setiap orang dalam
organisasi mempengaruhi pelanggan,
baik hal-hal yang menyenangkan atau
pun yang tidak menyenangkan; (6)
adanya persaingan. Kelemahan dan
kekuatan para pesaing juga
mempengaruhi kepuasan pelanggan
dan merupakan peluang untuk
memperoleh keunggulan bersaing.
Pesaing yang spesifik menimbulkan
dampak baik atau buruk dalam rangka
memenuhi keinginan segmentasi pasar.
Mengetahui kesenjangan (gap) antara
keinginan pembeli dengan tawaran
yang diberikan para pesaing merupakan
peluang untuk meningkatkan kepuasan
pelanggan.
Blackwell, & Miniard (1993)
menyatakan kepuasan konsumen
merupakan respon efektif terhadap
pengalaman melakukan konsumsi atau
suatu evaluasi kesesuaian atau
ketidaksesuaian yang dirasakan antara
harapan sebelumnya dan kinerja aktual
produk setelah pemakaian. Menurut
Fornell (1992), kepuasan pelanggan
akan mempengaruhi perilaku membeli,
dimana pelanggan yang puas
cenderung menjadi pelanggan yang
loyal.
Harapan pelanggan mempunyai
peranan yang besar dalam menentukan
kualitas produk jasa dan kepuasan
pelanggan. Dalam konteks kepuasan
pelanggan, umumnya harapan
merupakan perkiraan/keyakinan
pelanggan tentang apa yang akan
diterimanya (Zeithmal, et al. 1993).
Perceived Value
Penentuan, penyampaian, dan
pengkomumkasian Customer value
merupakan hal yang sangat penting
dalam setiap kesatuan organisasional.
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
423
Ketiga aspek tersebut merupakan
bagian dari inti proses rancangan
strategis dan pada akhirnya
menentukan daya saing dan
kelangsungan hidup jangka panjang
suatu organisasi (Kotler, 1991; Narver
dan Slater, 1990; Woodruff, Locander,
dan Bamaby,1991). Customer value
yang unggul mengacu kepada
penciptaan berkesinambungan
pengalaman bisnis yang melampaui
pengharapan pelanggan. Value
merupakan suatu kendali strategis yang
diterapkan oleh setiap perusahaan
untuk membedakan did mereka dari
apa yang kebanyakan ada di benak
pelanggan (Weinstein dan Johnson,
1999). Pemahaman mengenai
Customer value akan menjadi
bertambah penting bagi institusi-
institusi pendidikan tinggi seiring
dengan semakin kentaranya langkah
cepat perubahan lingkungan.
Kecenderungan sosial, demografis,
teknologi, ekonomi, dan legislatif
lantas dipadukan dengan cara-cara
yang akan menjadikan universitas-
universitas sukses kelak dapat tampil
beda di abad ke-21 dibandingkan
dengan apa yang mereka dapatkan saat
ini (Boyer, 1987; Naisbitt dan
Aburdence, 1990).
Customer value berkaitan erat dengan
konsekuensi yang dapat berupa
keuntungan atau pengorbanan,
konsumsi atau penggunaan (Woodruff
dan Gardial di Cathey (1995).
Konsekuensi merupakan dampak yang
dirasakan individu atau suatu kelopok
sebagai akibat dari adanya konsumsi
barang/jasa, sebagai kebalikan dari
peraberian sifat dari barang itu sendiri
(Reynold dan Gutman, 1988). Hal ini
dapat berarti positif atau negatif
(Cathey, 1995). Teori nilai
menganjurkan bahwa cara orang
berhubungan dengan barang/produk
dan jasa dapat digambarkan secara
hirarki (Cathey, 1995). Saat ini para
pelanggan dihadapkan pada
melimpahnya serbuan produk serta
pilihan, harga, dan penyedia merek
(Kotler, 1996). Perkiraan pelanggan,
yang dapat menawarkan, akan
menghasilkan nilai yang paling utama.
Pelanggan merupakan nilai yang haras
dimaksimalkan dalam batasan-batasan
biaya penelusuran dan pengetahuan
yang terbatas, pemasukan, dan
mobilitas (Kotler, 1996). Pelanggan
akan mendapatkan dari perusahaan
kenyataan bahwa mereka merasa
menawarkan nilai tertinggi (Kotler,
1996 a). Pelanggan akan membentuk
suatu pengharapan akan nilai dan
bertindak untuk mendapatkannya. Pada
akhirnya, hal tersebut akan
mempengaruhi kepuasan pelanggan
dan peluang pembelian kembali oleh
pelanggan (Kotler, 1996). Nilai yang
diperoleh merupakan perihal yang
berkaitan dengan persepsi dan
penilaian dari pelanggan, tidak
berkaitan dengan harga moneter yang
dibayarkan atau biaya moneter (Kotler,
1995). Dibalik latar belakang
pendidikan, kekayaan finansial, dan
cita-cita pribadi pelanggan, kini
pelanggan memburu keuntungan yang
besar dari investasi pendidikan.
Pelanggan mendambakan pendidikan
yang terbaik (Institut Pendidikan
Tinggi di Universitas Pennsylvania,
1993).
Untuk dapat bersaing dengan baik
dalam suatu lingkungan yang sadar
nilai, para penjual harus menekankan
pada nilai penawaran mereka. Strategi
berbasis-nilai satu melibatkan
penekanan pada nilai pemerolehan
produk (yaitu, nilai perolehan) (Monroe
dan Chapman, 1987). Para penjual
dapat meningkatkan persepsi nilai
perolehan dengan meningkatkan
persepsi pembeli akan kualitas produk
atau keuntungan yang berkaitan dengan
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
424
harga penjualan (Bolton dan Drew,
1991; Dodds, Monroe, dan Grewal,
1991; Monroe dan Krisnan, 1985;
Zeithalm,1988). Perusahaan dapat
memilih salah satu dari tiga strategi
pemosisisan berbasis-nilai berikut:
kualitas tinggi/harga tinggi, kualitas
rendah/harga rendah, atau
penyeimbangan-penyeimbangan
kualitas terhadap harga Perusahaan
juga dapat membandingkan nilai
penjualan yang lebih rendah dengan
nilai rujukan dari iklan yang lebih
tinggi untuk meningkatkan persepsi
nilai pembeli. Strategi orientasi nilai
ini ditujukan pada peningkatan persepsi
yang disetujui oleh pembeli (nilai
transaksi). Meaurut Weinstein dan
Johnson (1999), value diberikan kepada
pelanggan dengan salah satu cara
berikut ini: (1) perusahaan dapat
memilih untuk mendapatkan produk
yang terbaik (kepemimpinan produk);
(2) Biaya total yang terbaik
(keunggulan operasional); (3) Solusi
total terbaik (keintiman pelanggan).
Mungkin cara terbaik untuk
mendefinisikan nilai ialah dengan
melihatnya dari sudut pandang
pelanggan sebagai suatu perniagaan
antara keuntungan yang diperoleh
versus harga yang dibayarkan
(Weinstein dan Johnson, 1999).
Dodds, Monroe, dan Grewal (1991);
Zeithalm, (1998) telah mendefinisikan
nilai perolehan yang dirasakan sebagai
keuntungan bersih yang diterima
dikaitkan dengan produk atau jasa yang
didapatkan. Nilai perolehan yang
dirasakan dari suatu produk secara
positif akan dipengaruhi oleh
keutungan yang diyakini oleh pembeli
bisa ia dapatkan dengan cara
memperoleh dan mempergunakan
produk tersebut, dan secara negatif
dipengaruhi oleh uang yang hams
dibayarkan untuk membeli produk itu.
Beberapa peneliti telah
mengkonseptualisasikan nilai
perolehan dengan cara ini, istilah
lainnya yaitu "bargain value" (Keon,
1980), "Perceived Value" (Dodds,
Monroe, dan Krisnan, 1985; Urbany,
Bearden, dan Weil baker, 1988), "harga
yang dirasakan" (Szybillo dan Jacoby,
1974), 'faedah perolehan" (Thaler,
1985), dan "kesadaran akan nilai"
(Lichtenstein, Netemeyer, dan Burton,
1990; Lichtenstein, Ridgeway, dan
Netemeyer, 1993).
Pola respon dari kajian penelitian yang
dilakukan oleh Zeithalm (1988)
menetapkan empat defmisi konsumen
terhadap value: (1) nilai ialah harga
yang rendah, (2) nilai ialah apapun
yang aku inginkan dalam suatu produk,
(3) nilai ialah kualitas yang aku
dapatkan dari harga yang aku bayarkan,
dan (4) nilai ialah apapun yang aku
dapatkan dari apa yang telah aku
berikan. Schechter (1984)
mendefinisikan value sebagai semua
faktor, yang kualitatif dan kuantitatif,
yang subyektif dan obyektif, yang
dapat memuaskan pengalaman
berbelanja yang lengkap. Definisi value
yang ketiga: ialah kualitas yang aku
dapatkan dari harga yang aku
bayarkan" selaras dengan pendapat dari
peneliti-peneliti lain yang terdapat
dalam kepustakaan (Bishop, 1984;
Dodds dan Monroe, 1984; Doyle, 1984;
Shapiro dan Rekan-rekan, 1985).
Definisi yang keempat sejalan dengan
Sawyer dan Dickson (1984) yang
mengkonseptualisasikan value sebagai
suatu perbandingan nilai yang melekat
yang lebih diberatkan oleh hasil
evaluasinya. Hal ini juga senada
dengan ukuran faedah per dolar suatu
nilai yang digunakan oleh Hauser dan
Urban (1986), Hauser dan Shugan
(1983). Zeithalm (1988)
mendefinisikan Perceived Value
sebagai penilaian konsumen secara
keseluruhan akan faedah dari suatu
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
425
produk berdasarkan persepsi mengenai
apa yang telah mereka terima dan apa
yang telah mereka berikan. Apa yang
diiginkan oleh konsumen sangat
beragam (misalnya, beberapa orang
menginginkan jumlah, kualitas yang
tinggi, atau kenyamanan) dan apa yang
diberikan oleh konsumen juga beragam
(contohnya, beberapa orang hanya
mengurusi uang yang mereka habiskan,
sementara yang lainnya memperhatikan
masalah waktu dan nilai) (Zeithalm,
1988). Jika Perceived Value
dianalogikan dengan konsep nilai
produk yang dirasakan, maka Zeithalm
menyarankan bahwa nilai jasa dapat
dianggap melibatkan perniagaan antara
evaluasi pelanggan akan keuntungan-
keuntungan dari penggunaan jasa dan
biaya yang dikeluarkan untuknya.
Penilaian pelanggan akan suatu nilai
bergantung pada pengorbanan (yaitu,
biaya moneter dan non-moneter yang
berkaitan dengan penggunaan suatu
jasa) dan kerangka rujukan dari sang
pelanggan (Zeithalm, 1988). Pasti
terdapat perbedaan pada penilaian
pelanggan akan nilai jasa akibat adanya
perbedaan biaya moneter, biaya non-
moneter, selera pelanggan, dan watak
pelanggan (Bolton dan Drew, 1991).
Terdapat beberapa literatur penelitian
yang telah mengukur hubungan antara
Perceived Value dan Customer
Satisfaction. Pandangan konsumen
terhadap nilai ini dijelaskan sebagai (1)
nilai adalah harga yang murah, (2) nilai
adalah apapun yang saya inginkan
didalam sebuah produk, (3) nilai adalah
mutu yang saya dapatkan sesuai dengan
harga yang telah saya bayarkan, dan (4)
nilai adalah apa yang saya dapatkan
sesuai dengan apa yang telah saya
berikan (Zeithaml, 1988). Zeithaml
(1988) sebagaimana dikutip oleh Zhan
(Sandy) Chen dkk (2003) pada
pembahasan Consumers Value
Perception off an E-Store and Impact
on E-store Loyalty Intention
mendefinisikan Perceived Value adalah
kemudahan secara menyeluruh dari
penggunaan sebuah produk yang
didasarkan pada apa yang telah mereka
terima dan apa yang diberikan kepada
mereka. Perceived Value merupakan
hal yang sangat penting yang
menentukan intensitas loyalitas
konsumen (Parasuraman 1997;
Woodruff 1997).
Menurut Susila yang dikutip dari
(Andreassen dan Lindestad 1998)
mendefinisikan Perceived Value adalah
pengukuran yang dilakukan konsumen
terhadap utilitas produk berdasarkan
persepsi tentang apa yang diperoleh
dan pengorbanan yang dilakukan
konsumen.
Menurut Harjati yang dikutip dari
(Kotler 2000) menyatakan bahwa
Perceived Value adalah perbandingan
antara total benefit yang diterima
pelanggan dan total biaya yang
dikeluarkannya. Sementara Woodruff
dan Gardial (2000) menyatakan
Perceived Value menguraikan
hubungan antara produk dan pelanggan
yaitu pemahaman pelanggan mengenai
apa yang mereka inginkan dengan
produk/jasa yang ditawarkan dalam
memenuhi kebutuhannya,
dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkannya. Penting dipahami
bahwa nilai pelanggan ditekankan pada
penelitian oleh pelanggan, sehingga
dapat terjadi perusahaan
mengembangkan kualitas produk
sebaik-baiknya tanpa input dari
pelanggan, setelah dihasilkan produk
kualitas tinggi menurut versi
perusahaan akhirnya harus menerima
kenyataan ditolak oleh
pasar/pelanggan, karena tidak memiliki
nilai yang tinggi, jika sesuai dengan
pelanggan. Jadi produk dikatakan
memiliki nilai yang tinggi, jika sesuai
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
426
dengan kebutuhan, keinginan dan
permintaan pelanggan.
Model ACSI (Indeks Kepuasan
Konsumen AS) di dalam penelitian
yang telah dilakukan oleh Fornell dan
rekan-rekan (1996) menunjukkan
bahwa kepuasan adalah sesuatu yang
dihasilkan dari quality dan bukan oleh
harga, namun Perceived Value juga
akan mempengaruhi kepuasan
konsumen. Selanjutnya, Cronin dan
rekan-rekan (2000) mendukung
pandangan tersebut dengan cara
menunjukkan bahwa Perceived Value
adalah sebuah faktor prediktor atau
penilaian yang sangat penting dari
kepuasan.
Customer Loyalty
Foster dan Cadogan (2000)
mengungkap adanya hubungan
kausalitas antara kepercayaan
konsumen dan loyalitas. Kepercayaan
merupakan salah satu kunci dalam
keberhasilan relationship marketing.
Loyalitas pelanggan merupakan suatu
bentuk perilaku konsumen yang
mengarah pada kemungkinan
pembelian ulang, meningkatnya
loyalitas pada harga, dan memberikan
rekomendasi pada pihak lain (Foster
dan Cadogan, 2000). Ketiga hal
tersebut juga merupakan indikator yang
membangun loyalitas pelanggan.
Sirdesmukh et al., (2002) menyatakan
bahwa meskipun kepuasan konsumen
sangat dibutuhkan untuk setiap bisnis
yang berhasil, namun kepuasan
tidaklah cukup untuk membangun
loyalitas pelanggan. Mungkin saja pada
tahun 1980-an kepuasan konsumen
merupakan kata kunci dari setiap
bisnis, sehingga setiap perusahaan
berusaha untuk menyenangkan
konsumen dengan memenuhi harapan
tersebut. Karena perusahaan percaya
bila mereka mampu memberikan
kepuasan kepada konsumen, maka
konsumen akan melakukan pembelian
ulang. Tetapi kenyataannya bahwa
tingkat kepuasan konsumen yang tinggi
bukanlah merupakan jaminan bagi
seorang konsumen untuk mengulangi
pembelian, sehingga dapat
meningkatkan penjualan bagi pihak
perusahaan. Ada empat kategori
konsumen dikatakan loyal atau setia
apabila : (1) melakukan pembelian
ulang yang teratur; (2) melakukan
pembelian terhadap lini produk / jasa
lainnya; (3) melakukan pemberian
referensi kepada orang lain; (4)
memperlihatkan adanya kekebalan
terhadap produk-produk dari para
pesaing.
Menurut Zeithaml dan Bitner (2003),
loyalitas pelanggan dinyatakan dalam
berbagai cara, sebagai contoh
keinginan untuk merekomendasikan
suatu penyedia jasa kepada konsumen
lainnya, komitmen untuk kembali
menggunakan dan berlangganan di
suatu penyedia jasa tertentu, dalam
keinginan untuk membayar suatu
premium price. Sedangkan menurut
Ting Pong Lu dan Tang Oui Yee
(2001), loyalitas pelanggan juga
dipandang sebagai suatu komitmen
yang kuat terhadap suatu pelayanan
penyedia jasa. Loyalitas pelanggan
terhadap suatu provider juga dapat
meningkatkan hubungan dengan
penyedia jasa yang bersangkutan.
Seorang konsumen yang loyal tentunya
akan berulang kali menggunakan jasa
dari suatu penyedia jasa dan biasanya
selalu berusaha untuk mencari titik
temu kepuasan yang diperoleh dari
pengalaman dengan suatu penyedia
jasa tersebut. Dalam kaitannya antara
hubungan kepuasan dan loyalitas, jika
seorang loyal customer memiliki
pengalaman yang buruk dan menjadi
kecewa dengan suatu penyedia jasa,
kemungkinan mereka akan berfikir
bahwa lebih baik bagi mereka untuk
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
427
berpindah (switching) kepada penyedia
jasa yang baru. Dengan demikian,
bisnis yang terkait tidak hanya tentang
menarik dan memuaskan pelanggan,
tetapi juga mengembangkan hubungan
jangka panjang dengan pelanggan
(Sirdesmukh et al., 2002). Sehingga
perusahaan harus bekerja keras untuk
mengembangkan hubungan dengan
pelanggan yang loyal.
Dalam hubungannya dengan loyalitas
terhadap perusahaan tidak terlepas pula
masalah pentingnya citra perusahaan,
yang merupakan bagian penting dalam
menilai pelayanan yang diberikan
kepada konsumen. Karena perusahaan
yang memiliki citra positif akan sangat
mempengaruhi penilaian terhadap hal-
hal lainnya. Perusahaan jasa tidak dapat
menyembunyikan identitasnya, karena
nama perusahaan atau distributor dapat
dikenal konsumen. Suatu perusahaan
mempunyai citra yang kuat apabila
namanya dikenal luas dan perusahaan
tersebut mempunyai reputasi yang luar
biasa. Apabila suatu perusahaan sangat
terkenal tetapi tidak dipercaya, maka
perusahaan tersebut tidak akan
memiliki citra yang luas. Sama halnya,
apabila perusahaan tidak mempunyai
citra yang kuat namun sangat dipercaya
walaupun hanya sekelompok kecil
orang.
Selain itu Kotler dan Keller (2007) pun
mengatakan konsumen memiliki
tingkat kesetiaan (loyalty) yang sangat
beragam terhadap merek, toko, dan
perusahaan tertentu. Oliver
mendefinisikan kesetiaan (loyalty)
sebagai suatu komitmen yang dipegang
kuat untuk membeli lagi atau
berlangganan lagi pada produk atau
jasa tertentu di masa depan meskipun
ada pengaruh situasi dan usaha
pemasaran yang berpotensi
menyebabkan peralihan perilaku.
Berdasarkan tinjauan di atas, maka
hipotesis penelitian adalah sebagai
berikut:
H1. Service Quality berhubungan
secara positif dengan perceived
value.
H2. Service quality berpengaruh secara
positif terhadap loyalty to the
firm.
H3. Perceived value berhubungan
secara positif dengan loyalty to the
firm.
H4. Perceived value berpengaruh
secara positif dengan customer
satisfaction
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengacu kepada
penelitian yang dilakukan oleh
Jayawerdhana (2010), yang
menerapkan metode survey untuk
menguji hipotesis, yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan
tujuan untuk menjelaskan pengaruh
Service Encounter, Service Quality,
dan Perceived Value terhadap
Customer Satisfaction, Loyalty to the
Firm, dan Loyalty to the employee.
Dalam penelitian ini, akan diuji
beberapa hipotesis yang muncul
didalam pengaruh yang terjalin antara
Service Encounter, Service Quality dan
Perceived Value terhadap Customer
Satisfaction, Loyalty to the Firm, dan
Loyalty to the emloyee, seperti yang
telah dijelaskan pada bagian perumusan
hipotesis.
Variabel dan pengukuran
Service Encounter diperoleh dari
Jayawardhena et al. (2007), yaitu :
1. Membangun hubungan yang baik
dengan Anda.
2. Sopan dalam berinteraksi.
3. Informatif dalam berinteraksi.
4. Membangun hubungan yang baik.
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
428
5. Menampilkan keakraban dalam
melayani.
Service Quality diperoleh dari Cronin
and Taylor, (1992), (1994); dan
Parasuraman et al., (1988) yaitu :
1. Karyawan Bank ini memahami
kebutuhan spesifik saya.
2. Saya merasa aman melakukan
bisnis dengan karyawan Bank ini.
3. Perilaku karyawan Bank ini
menanamkan kepercayaan pada
saya
4. Saya cukup mendapat perhatian
khusus dari karyawan Bank ini.
5. Karyawan Bank ini mampu
menjawab pertanyaan saya
Customer Satisfaction diperoleh dari
Cronin dan Taylor,( 1992) dan
Zeithaml et al., (1996), yaitu :
1. Saya merasa puas dengan layanan
yang saya terima dari Bank ini.
2. Saya bahagia dengan layanan yang
saya terima dari Bank ini.
3. Saya sangat senang dengan layanan
yang saya terima dari Bank ini.
Perceived Value diperoleh dari
Zeithaml’s (1988) dan Grewal et al.
(1998), yaitu :
1. Layanan produk Bank ini memiliki
nilai yang sangat baik.
2. Dengan Bank ini anda
mendapatkan banyak sekali untuk
uang anda.
3. Apa dan biaya yang dapatkan dari
Bank ini, membuatnya menjadi
nilai yang besar.
Loyalty to the firm diperoleh dari
Mowday et al., (1979), yaitu :
1. Saya bersedia untuk memasukkan
upaya tambahan untuk menerima
layanan dari Bank ini.
2. Bank ini mendorong saya untuk
membeli jasa dari Bank ini
berulang kali.
3. Bagi saya, Bank ini adalah
perusahaan terbaik untuk membeli
jasa dari Bank ini.
4. Saya bangga untuk memberitahu
orang lain bahwa saya membeli
pelayanan jasa dari Bank ini.
Loyalty to employee diperoleh dari
Mowday et al., (1979), yaitu :
1. Nilai-nilai saya dan nilai-nilai
kontak saya saat ini sangat mirip.
2. Saya sangat senang bahwa saya
memilih orang kontak saya saat ini
atas lain.
3. Aku benar-benar peduli tentang
nasib orang kontak saya saat ini.
Metode penilaian diatas menggunakan
skala likert 5-point, yaitu :
5 : Sangat Setuju
4 : Setuju
3 : Biasa
2 : Tidak setuju
1 : Sangat tidak setuju
Sampel dan Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan
dalam penelitian ini diperoleh dengan
cara penyebaran kuesioner kepada para
pelanggan Bank BNI Cabang Harmoni.
Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah Non-probability
sampling dengan teknik purposive,
dikarenakan jumlah populasi yang
tidak diketahui jumlahnya dan hanya
bagi kalangan yang telah memiliki
pengalaman terhadap pelayanan Bank
BNI. Dalam hal ini harapannya adalah
responden dapat memberikan
respon/tanggapan terhadap pertanyaan
yang diajukan secara langsung. Untuk
itu penyebaran kuesioner disebarkan
langsung oleh peneliti kepada
pelanggan yang pernah mengalami
proses pelayanan, kemudian
menerangkan maksud penelitian dan
membuat perjanjian waktu dengan
responden.
Penyebaran kuesioner kepada
pelanggan Bank BNI dilakukan untuk
mengumpulkan data. Selama penelitian
jumlah kuesioner yang disebarkan
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
429
kepada responden adalah 200 set
kuesioner sesuai dengan pendapat Hair
(1998), sedangkan yang kembali adalah
185 set kuesioner. Jumlah ini menurut
Hair (1998) sudah cukup memadai.
Data yang diperoleh melalui kuesioner,
menunjukan bahwa mayoritas
responden konsumen (58.38 % dari
total responden konsumen) yang
didapat dari penelitian ini adalah pria,
yaitu sebanyak 108 orang. Sedangkan
77 orang (41,62%) sisanya responden
konsumen adalah pria. Responden yang
berusia antara 30
sampai 39 tahun
merupakan kelompok usia terbanyak
yang ditemui, yaitu sebanyak 76 orang
(41,08% dari total responden yang
ada), kelompok usia yang lebih tua,
yaitu 40 sampai 49 tahun terdiri dari 35
orang (18,92 % dari seluruh responden
pada penelitian ini). Responden yang
berusia antara 20 sampai 29 tahun
sebanyak 25 orang atau 13,51% dari
total responden. Dan responden yang
lebih muda lagi, yakni 15 sampai 19
tahun sebanyak 10 orang atau 5,41%
dari seluruh total responden yang ada.
Sedangkan hanya 28 orang atau 15,14
% dari total responden yang mengaku
berusia sampai 59 tahun untuk umur
diatas 60 tahun hanya 11 orang atau
5,94 %. Sekitar 35.14 % (65 orang)
dari keseluruhan responden
berpendidikan S1 sebagai mayoritas
dari jawaban responden pada latar
belakang pendidikan. Terdapat 2.70 %
(5 orang) dari responden yang berlatar
pendidikan SMP. Untuk yang berlatar
belakang pendidikan SMA terdapat 35
orang atau 18,92 % dari total
responden. Kelompok pendidikan
diploma dijawab oleh responden
dengan jumlah 55 orang (29,73 %) dan
yang berlatar belakang lainnya terdapat
13.51% (25 orang).
Berdasarkan jenis pekerjaan, mayoritas
responden adalah PNS, yaitu sebanyak
48 orang (25,95% dari seluruh
responden). Sedangkan kelompok
kedua terbanyak dari responden ini
adalah jenis pekerjaan wiraswasta yang
terdiri dari 45 orang atau 24.32 % dari
total responden. Sebanyak 12 orang
(6.49 % dari total responden ) yang
mengaku sebagai pelajar. Sedangkan
42 orang atau 22,70% dari total
responden dengan status sebagai
karyawan swasta. Untuk kelompok
jenis pekerjaan sebagai mahasiswa
hanya terdapat 12,43% (23 orang
mahasiswa dari total responden).
Sedangkan 15 orang atau 8,11% dari
total responden mengaku mempunyai
pekerjaan lainnya.
Sekitar 93 orang menjawab bahwa rata
– rata jumlah pendapatan mereka tiap
bulannya adalah berkisar Rp. 2.500.000
– Rp. 5.000.000. (50,27% dari total
responden). Sedangkan 13 orang
menjawab bahwa rata – rata jumlah
pendapatan mereka tiap bulannya >
Rp. 5.000.000. (7,03% dari total
responden). Responden yang
berpenghasilan tiap bulannya berkisar
antara Rp.1.000.000 – Rp.2.500.000
terdapat 72 orang atau 38.92 % dari
total responden, sedangkan hanya 7
orang atau 3,78% dari total responden
yang berpenghasilan < Rp.1.000.000.
Mayoritas responden menjawab bahwa
jumlah frekuensi kunjungan mereka
sebanyak 1 kali dalam sebulan adalah
21 orang (11,34% dari total responden
yang ada), sedangkan jumlah frekuensi
kunjungan sebanyak 2 kali dalam
sebulan adalah 17,84% (33 orang dari
total responden). Untuk jumlah
frekuensi kunjungan sebanyak 3 kali
dalam sebulan sebanyak 47 orang
(25,41% dari total responden) dan
responden yang menjawab > 3 kali
dalam sebulan sebanyak 84 orang atau
45,41% dari total responden.
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
430
Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari analisis SEM
(Structural Equation Modelling)
dengan menggunakan program statistic
LISREL 8.7. Berdasarkan penganah
antar variabel sebagaimana dinyatakan
pada kerangka konseptual, proseduser
untuk meneliti penganah antar variabel
menggunakan model LISREL dengan
persamaan struktural, secara matematis
adalah sebagai berikut:
Menurut Bendesa (2006) prosedur
SEM dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu:
1. Melalui hubungan kausalitas yang
direpresentasikan oleh serangkaian
persamaan structural (misalnya,
regresi)
2. Hubungan structural ini dapat
dibuat dalam bentuk model gambar
agar diperoleh konseptualisasi yang
lebih jelas atas persoalan yang
diteliti.
Analisis factor yang digunakan dalam
SEM ini adalah confirmatory factor
analysis (CFA) dimana orde kedua
digunakan untuk memeriksa nilai
penting dimensi service quality. Indeks
goodness-of-fit (kebaikan kecocokan)
mendukung diterimanya mode
pengukuran service quality.
Berdasarkan hubungan antar teoritical
variabel, scbagaimana yang
dicantumkan dalam kerangka berpikir/
Teorilitcal Frame Work, penelititi
menggunakan tata cara untuk meneliti
pengaruh an Structural Equation
Modeling (SEM) adalah dengan
mempertimbangkan :
1. SEM memberikan kelayakan
dan teknis estimasi yang paling
efisien. Pengukuran
mengijinkan peneliti untuk
menggunakan beberapa variabel
untuk satu variabel yang
independent atau variabel
dependent.
2. SEM dapat membedakan secara
Explicit antara varibel laten dan
variabel terukur, sehingga
peneliti dapat menguji berbagai
jenis hipotesis.
3. SEM memungkirikan peneliti
untuk melakukan berbagai jenis
test yang signillkan (IKG
Bendesa,2004. Hair etal, 1998).
Pengambilan keputusan untuk
pengujian hipotesis dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Jika p-value < 0,05 maka H0
ditolak. Dengan Lisrel dilihat t
Value <t tabel (1,96).
b. Jika p-value > 0,05 maka H0
diterima. Dengan Lisrel dilihat t
value >t tabel (1.96)
Uji kesesuaian Model Persamaan
Struktural
Penelitian bertujuan untuk
menguji apakah model yang diusulkan
dalam diagram jalur (model teoritis)
sesuai atau cocok (fit) dengan data.
Evaluasi terhadap Service Quality (SQ)
model dilakukan secara menyeluruh
(overall test). Dengan kata lain
penelitian ini bertujuan untuk menguji
model Service Quality (SQ), yang
berpengaruh terhadap Perceived Value
(PV), Loyalty to the Firm (LTF) dan
Customer Satisfaction (CS). Perceived
Value (PV), Loyalty to the Employee
(LTE) yang berpengaruh terhadap
Loyalty to the Firm (LTF). Service
Ecounter (SE) dan Perceived Value
(PV) yang berpengaruh terhadap
Customer Satisfaction (CS). Serta
Service Ecounter (SE) yang
berpengaruh terhadap Service Quality
(SQ).
Hubungan struktural yang diuji
pada penelitian ini mengasumsikan
bahwa Service Quality (SQ) akan
berpengaruh positif dan signifikan
terhadap Perceived Value (PV), Loyalty
to the Firm (LTF) dan Customer
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
431
Satisfaction (CS). dan Perceived Value
(PV), Loyalty to the Employee (LTE)
berpengaruh positif dan signifikan
terhadap Loyalty to the Firm (LTF).
dan Purchase Intention (PI). Service
Ecounter (SE) dan Perceived Value
(PV) yang berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Customer
Satisfaction (CS). Serta Service
Ecounter (SE) yang berpengaruh positif
dan signifikanterhadap Service Quality
(SQ).
Hasil analisis terhadap model
persamaan structural pada model
menghasilkan nilai Degree of Freedom
(DF) = 221, Chi-square (χ2) = 767,00
Goodness of Fit Index (GFI) = 0,80,
Root Mean Square Residual (RMR) =
0,15 Root Mean Square Residual
Error of Approximation (RMSEA) =
0,12; Adjusted Goodness of Fit Index
(AGFI) = 0,77; Normed Fit Index (NFI)
= 0,89 ; Parsimony Goodness of Fit
Index (PGFI) = 0,59
Merujuk pada tabel …. Tentang
standar ukuran Goodness of Fit (GOF),
maka sebuah model bisa dikatakan fit
atau terdapat kesesuaian antara model
teoritik dengan data yang dikumpulkan,
maka nilai-nilai yang didapat dari
masing-masing perhitungan uji
kesesuaian model harus memenuhi
nilai standar GOF.
Berdasarkan hasil output dan
gambar di atas model ini sudah sesuai
dengan standar GOF yang ditetapkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh yang positif dan
signifikan antara variabel eksogen
Service Ecounter (SE), dengan variabel
endogen Service Quality (SQ), yang
berpengaruh terhadap Perceived Value
(PV), Loyalty to the Firm (LTF) dan
Customer Satisfaction (CS). Perceived
Value (PV), Loyalty to the Employee
(LTE) yang berpengaruh terhadap
Loyalty to the Firm (LTF). Service
Ecounter (SE) dan Perceived Value
(PV) yang berpengaruh terhadap
Customer Satisfaction (CS). Serta
Service Ecounter (SE) yang
berpengaruh terhadap Service Quality
(SQ).
Tabel 1.
Hasil Uji Kecocokan Keseluruhan Model
Ukuran
GOF
Target-Tingkat
Kecocokan Hasil Estimasi
Tingkat
Kecocokan
Chi-Square
P
Nilai yang kecil
p > 0.05
Χ2 = 767.00
(p = 0.00)
Kurang Baik
NCP
Interval
Nilai yang kecil
Interval yg sempit
546.00
(465.46 – 634.11)
Kurang Baik
RMSEA RMSEA ≤ 0.08 0.12 Kurang Baik
ECVI Nilai yang kecil
dan dekat dengan ECVI
saturated
M* = 4.77
S* = 3.00
I* = 49.29
Baik (Good Fit)
AIC Nilai yang kecil dan dekat
dengan AIC saturated
M* = 877.00
S* = 552.00
I* = 9068.55
Baik (Good Fit)
CAIC Nilai yang kecil dan dekat
dengan CAIC saturated
M* = 1109.11
S* = 1716.82
I* = 9165.62
Baik (Good Fit)
NFI NFI ≥ 0.90 0.89 Marginal Fit
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
432
Ukuran
GOF
Target-Tingkat
Kecocokan Hasil Estimasi
Tingkat
Kecocokan
NNFI NNFI ≥ 0.90 0.90 Baik (Good Fit)
CFI CFI ≥ 0.90 0.91 Baik (Good Fit
IFI IFI ≥ 0.90 0.91 Baik (Good Fit)
RFI RFI ≥ 0.90 0.87 Marginal Fit
CN CN ≥ 200 51.78 Kurang Baik
RMR Standardized RMR ≤ 0.05 0.15 Kurang Baik
GFI GFI ≥ 0.90 0.80 Marginal Fit
AGFI AGFI ≥ 0.90 0.77 Kurang Baik *M = Model; S = Saturated; I = Independence
Dari Hasil Uji Kecocokan
Keseluruhan Model ini adalah baik
karena lebih banyak mencapai
target/tingkat kecocokan yang
diharapkan dan hipotesis nolnya
ditolak.
Uji Hubungan Antar Variabel Laten
dengan Variabel Indikatornya
Untuk mengetahui hubungan
antar variabel laten dengan
indikatornya maka dapat diperiksa nilai
t dari mautan-muatan factor atau
koefisien-koefisien yang ada didalam
model. Nilai t suatu muatan faktor atau
koefisien yang tinggi merupakan bukti
bahwa variabel-variabel terukur atau
actor-faktor mewakili konstruk-
konstruk yang mendasarinya. Nilai t
setiap muatan harus melebihi nilai
kritis yaitu 1,96 dengan tingkat
signifikansi 0,05, atau 2,58 untuk
tingkat signifikansi 0,01.
Dalam penelitian ini nilai t yang
dipakai adalah 1,96. Nilai t hasil yang
melebihi nilai kritis menunjukkan
bahwa variabel yang bersangkutan
secara signifikan mempunyai hubungan
dengan indikator konstruk yang terkait
dan juga sebagai verifikasi hubungan
antar variabel dan indikator yang telah
didefinisikan.
Berikut disajikan gambar output Lisrel
Model berdasarkan T-Valuenya.
Berdasarkan gambar di atas nilai t
variabel dan indikator-indikatornya
lebih dari nilai yang disayaratkan oleh
SEM sebesar 1,96, oleh karena itu
variabel dan indikator-indikatornya
signifikan.
Berikut disajikan tabel
hubungan antar variabel laten dengan
variabel indikatornya.
Tabel 2.
Hasil Uji Hubungan Antar Variabel Laten dengan Indikatornya
No Indikator Std.
Loading
Error
Loading
Std.
Loading2 thitung
1. SE1 0,30 0,91 0,09 3,75
2. SE2 0,78 0,39 0,61 11,05
3. SE3 0,55 0,69 0,30 7,30
4. SE4 0,69 0,53 0,48 9,46
5. SE5 0,62 0,61 0,38 8,40
SE 2,94 3,13 1,86
6. SQ1 0,84 0,30 0,71 0,00
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
433
No Indikator Std.
Loading
Error
Loading
Std.
Loading2
7. SQ2 0,92 0,15 0,85 16,54
8. SQ3 0,90 0,18 0,81 15,98
9. SQ4 0,76 0,42 0,58 12,22
10. SQ5 0,53 0,72 0,28 7,65
SQ 3,95 1,77 3,22
11. CS1 0,95 0,09 0,55 0,00
12. CS2 0,94 0,13 0,71 23,81
13. CS3 0,81 0,35 0,79 16,10
CS 2,70 0,57 2,44
14. PV1 0,78 0,39 0,79 0,00
15. PV2 0,90 0,19 0,85 13,10
16. PV3 0,88 0,23 0,85 12,79
PV 2,56 0,81 2,19
17. LTF1 0,79 0,37 0,62 0,00
18. LTF2 0,84 0,29 0,71 12,64
19. LTF3 0,83 0,31 0,69 12,36
20. LTF3 0,79 0,37 0,62 11,64
LTF 3,25 1,34 2,64
21. LTE1 0,90 0,19 0,81 0,00
22. LTE2 0,93 0,13 0,86 20,36
23. LTE3 0,93 0,14 0,86 20,06
LTE 2,76 0,46 2,54
Nilai loading pada model ini
untuk masing-masing variabel latennya
yaitu: (1) SE: 2,54 (2) SQ: 3,95. (3)
CS: 2,70. (4) PV: 2,56 (5) LTF: 3,25
dan (6) LTE: 2,76. Sedangkan jumlah
error dari loadingnya untuk variabel
laten masing-masing adalah : (1) SE:
3,13 (2) SQ: 1,77. (3) CS: 0,57. (4)
PV: 0,81 (5) LTF: 1,34 dan (6) LTE:
0,46.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis data diperoleh dari hasil
pengujian terhadap hipotesis. Tujuan
dari pengujian hipotesis adalah untuk
menolak hipoetsis nol (H0) sehingga
hipotesis alternative (Ha) bias diterima.
Hal ini dapat dilakukan dengan melihat
signifikansi tiap-tiap hubungan.
Adapun batas toleransi kesalahan yang
digunakan adalah 5%. Apabila t <
alpha atau t > 0,05 maka terdapat
pengaruh yang signifikan antara
variable x terhadap variable y. Pada
Tabel 12 merupakan penjelasan dari
hasil pengujian hipotesis yaitu sebagai
berikut:
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
434
Tabel 3.
Hasil Pengujian Hipotesis
Hipotesis
Koefisien
Parameter t value t Tab Keputusan
H 1 Service Quality-Perceived Value 0,41 5,15 1,96
H1
Diterima
H 2 Service Quality-Loyalty to the firm 0,21 3,57 1,96
H2
Diterima
H 3 Perceived Value-Loyalty to the firm 0,39 5,98 1,96
H3
Diterima
H 4 Perceived Value-Customer Satisfaction 0,39 5,71 1,96
H4
Diterima
Hipotesa 1
Hipotesa pertama menguji apakah
Service Quality mempunyai pengaruh
terhadap Perceived Value. Berikut ini
adalah penyusunan hipotesis null (Ho)
dan hipotesis alternatifnya (Ha) :
Ho1: Service Quality tidak mempunyai
pengaruh terhadap Perceived Value
Ha1: Service Quality mempunyai
pengaruh terhadap Perceived Value
Berdasarkan dari hasil pengujian data
untuk hipotesis pertama diperoleh
nilai t-value 5,15 > 1,96 menunjukkan
bahwa Ha1 mendukung yang berarti
Service Quality mempunyai pengaruh
terhadap Perceived Value. Sedangkan
untuk hasil nilai koefisien parameter
sebesar 0,41 menunjukkan bahwa
Service Quality memiliki hubungan
yang positif dan searah terhadap
Perceived Value.
Hipotesa 2
Hipotesa kedua menguji apakah
Service Quality mempunyai pengaruh
terhadap Loyalty to the firm. Berikut ini
adalah penyusunan hipotesis null (Ho)
dan hipotesis alternatifnya (Ha) :
Ho2: Service Quality tidak mempunyai
pengaruh terhadap Loyalty to the firm
Ha2: Service Quality mempunyai
pengaruh terhadap Loyalty to the firm
Berdasarkan dari hasil pengujian data
untuk hipotesis kedua diperoleh nilai t-
value 3,57 > 1,96 menunjukkan bahwa
Ha2 mendukung yang berarti Service
Quality mempunyai pengaruh terhadap
Loyalty to the firm. Sedangkan untuk
hasil nilai koefisien parameter sebesar
0,21 menunjukkan bahwa Service
Quality memiliki hubungan yang
positif dan searah terhadap Loyalty to
the firm.
Hipotesa 3
Hipotesa ketiga menguji apakah
Perceived Value mempunyai pengaruh
terhadap Loyalty to the firm. Berikut ini
adalah penyusunan hipotesis null (Ho)
dan hipotesis alternatifnya (Ha) :
Ho3: Perceived Value tidak
mempunyai pengaruh terhadap Loyalty
to the firm
Ha3: Perceived Value mempunyai
pengaruh terhadap Loyalty to the firm
Berdasarkan dari hasil pengujian data
untuk hipotesis ketiga diperoleh nilai t-
value 5,98 > 1,96 menunjukkan bahwa
Ha3 mendukung yang berarti Perceived
Value mempunyai pengaruh terhadap
Loyalty to the firm. Sedangkan untuk
hasil nilai koefisien parameter sebesar
0,39 menunjukkan bahwa Perceived
Value memiliki hubungan yang positif
dan searah terhadap Loyalty to the firm.
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
435
Hipotesa 4
Hipotesa keempat menguji apakah
Perceived Value mempunyai pengaruh
terhadap Customer Satisfaction.
Berikut ini adalah penyusunan
hipotesis null (Ho) dan hipotesis
alternatifnya (Ha) :
Ho4: Perceived Value tidak
mempunyai pengaruh terhadap
Customer Satisfaction
Ha4: Perceived Value mempunyai
pengaruh terhadap Customer
Satisfaction
Berdasarkan dari hasil pengujian data
untuk hipotesis keempat diperoleh nilai
t-value 5,71 > 1,96 menunjukkan
bahwa Ha4 mendukung yang berarti
Perceived Value mempunyai pengaruh
terhadap Customer Satisfaction.
Sedangkan untuk hasil nilai koefisien
parameter sebesar 0,39 menunjukkan
bahwa Perceived Value memiliki
hubungan yang positif dan searah
terhadap Customer Satisfaction.
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesa
pada Tabel 14 diatas, dari sembilan
hipotesa yang digunakan, variabel
service encounter, service quality,
perceived value mempunyai pengaruh
terhadap customer satisfaction, loyalty
to the firm, dan loyalty to the employee.
Adapun pembahasan keempat hipotesa
yang digunakan adalah sebagai berikut:
Hipotesa 1
Berpengaruhnya service quality
terhadap perceived value menunjukkan
bahwa Bank BNI berupaya agar service
quality yang telah terbentuk dapat
dijalankan dengan benar. Hal ini
menjadi prioritas utama perusahaan
dalam memberikan nilai yang lebih
yang akan diterima oleh nasabah.
Dengan menjaga service quality
tersebut perusahaan akan terus menjaga
apa yang sudah diberikan kepada para
pelangganya sehingga berusaha untuk
memberikan nilai yang lebih yang akan
diterima oleh nasabah. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Jayawardhena (2010)
dimana Service quality memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
perceived value.
Hipotesa 2
Berpengaruhnya service quality
terhadap loyalty to the firm
menunjukkan bahwa kualitas jasa
sangat diperhatikan oleh Bank BNI.
Kemudian tercipta kepuasan yang
diterima oleh para nasabah Bank BNI.
Sehingga membuat nasabah loyal
terhadap Bank BNI. Logikanya disini
adalah bahwa semakin besar persepsi
Service Quality secara keseluruhan,
semakin besar kemungkinan pelanggan
akan terlibat dalam perilaku bermanfaat
bagi perusahaan, misalnya, loyalitas
kepada perusahaan. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Jayawardhena (2010)
dimana Service quality memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
loyalty to the firm.
Hipotesa 3
Berpengaruhnya perceived value
terhadap loyalty to the firm
menunjukkan bahwa Bank BNI sangat
menjaga kualitas jasa sehingga nilai
yang tercipta harus sesuai dengan nilai
yang dikeluarkan oleh nasabah.
Nasabah menunjukkan perilaku
ketertarikan terhadap penyedia jasa
selama hubungan relasi yang ada
memberikan nilai unggul. Nilai dari
suatu produk Bank BNI juga sangat
baik sehingga menjadikan nasabah
loyal terhadap Bank BNI. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Jayawardhena (2010)
dimana perceived value memiliki
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
436
pengaruh yang signifikan terhadap
loyalty to the firm.
Hipotesa 4
Berpengaruhnya perceived value
terhadap customer satisfaction
menunjukkan Bank BNI sangat
menjaga kualitas jasa sehingga nilai
yang tercipta harus sesuai dengan nilai
yang dikeluarkan oleh nasabah. Hal ini
terlihat kepuasan nasabah merupakan
konsekuensi dari nilai yang dirasakan.
Nasabah menekankan bahwa penentu
pertama dari keseluruhan kepuasan
pelanggan adalah persepsi kualitas
yang diterima yang kedua sebagai
penentu kepuasan pelanggan secara
keseluruhan dianggap adalah nilai yang
dirasakan. Nilai dari suatu produk Bank
BNI juga sangat baik sehingga
menjadikan nasabah puas akan layanan
Bank BNI. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jayawardhena (2010) dimana perceived
value memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap customer
satisfaction.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil temuan dari penelitian ini pada
industri jasa Bank BNI dengan jelas
memperlihatkan hasil untuk hipotesis
H1 bahwa service quality mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap
perceived value. Kondisi ini didukung
dengan hubungan positif dan signifikan
dari keseluruhan dimensi service
quality terhadap perceived value.
Sedangkan untuk hipótesis H2 bahwa
service quality mempunyai pengaruh
terhadap loyalty to the firm. Kondisi ini
didukung dengan hubungan positif dan
signifikan dari keseluruhan dimensi
service quality terhadap loyalty to the
firm. Kemudian hipótesis H3 bahwa
perceived value mempunyai pengaruh
terhadap loyalty to the firm. Kondisi ini
didukung dengan hubungan positif dan
signifikan dari keseluruhan dimensi
perceived value terhadap loyalty to the
firm. Selanjutnya untuk hipótesis H4
bahwa perceived value mempunyai
pengaruhnya terhadap customer
satisfaction. Kondisi ini didukung
dengan hubungan positif dan signifikan
dari keseluruhan dimensi perceived
value terhadap customer satisfaction.
Saran Untuk Penelitian Selanjutnya Penelitian ini hanya dilakukan di Bank
BNI cabang Harmoni dan hanya
mengambil sampel sebanyak 185
responden. Perlu juga objek penelitian
ini dilakukan dengan membedakan
jenis bank dengan memperbanyak
jumlah responden yaitu sebanyak 300-
500 responden sehingga dapat
teridentifikasi karateristik konsumen
dari berbagai macam industri jasa
tersebut. Untuk penelitian selanjutnya,
dapat dimasukkan variabel – variable
lainnya seperti word of mouth, firm
reputation, dan lainnya sehingga
indikator terhadap service quality
ataupun customer satisfaction ada
beberapa macam sehingga semuanya
itu bisa diterapkan dan diapplikasikan
dalam sebuah perusahaan yang
bertujuan untuk membina hubungan
baik dengan para pelanggannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bitner, M.J. (1990), “Evaluating
service encounters: the
effects of physical
surrounding on employee
responses”, Journal of
Marketing, Vol. 54 No. 2,
pp. 69-82.
Bitner, M.J., Booms, B.H. and Mohr,
L.A. (1994), “Critical
service encounters: the
employees’ viewpoint”,
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
437
Journal of Marketing, Vol.
58, pp. 95-106.
Bitner, M.J., Booms, B.H. and Tetrault,
M.S. (1990), “The service
encounter: diagnosing
favorable and unfavorable
incidents”, Journal of
Marketing, Vol. 54, pp. 71-
84.
Brady, M.K. and Cronin, J.J. Jr (2001),
“Some new thoughts on
conceptualizing perceived
service quality: a
hierarchical approach”,
Journal of Marketing, Vol.
65 No. 3, pp. 34-49.
Cronin, J.J. Jr and Taylor, S.A. (1992),
“Measuring service quality
– a re-examination and
extension”, Journal of
Marketing, Vol. 56, pp. 55-
68.
Cronin, J.J. Jr and Taylor, S.A. (1994),
“SERVPERF Versus
SERVQUAL: reconciling
performance-based and
perceptions-minus-
expectations measurement
of service quality”, Journal
of Marketing, Vol. 58, pp.
125-31.
Cronin, J.J. Jr, Brady, M.K. and Hult,
G.T. (2000), “Assessing the
effects of quality, value, and
customer satisfaction on
consumer behavioral
intentions in service
environments”, Journal of
Retailing, Vol. 76 No. 2, pp.
193-218.
Choi, K.-S., Hanjoon, L., Chankon, K.
and Sunhee, L. (2005), “The
service quality dimensions
and patient satisfaction
relationships in South
Korea: comparisons across
gender, age and types of
service”, Journal of Services
Marketing, Vol. 19 No. 3,
pp. 140-9.
Czepiel, J.A. (1990), “Service
encounters and service
relationships: implications
for research”, Journal of
Business Research, Vol. 20
No. 1, pp. 13-21.
Dwyer, F.R., Schurr, P.H. and Oh, S.
(1987), “Developing buyer-
seller relationships”, Journal
of Marketing, Vol. 51,
April, pp. 11-27.
Fornell, C., Johnson, M.D., Anderson,
E.W., Cha, J. and Bryant,
B.E. (1996), “The American
customer satisfaction index:
nature, purpose, and
findings”, Journal of
Marketing, Vol. 60 No. 4,
pp. 7-18.
Fournier, S. and Mick, D.G. (1999),
“Rediscovering
satisfaction”, Journal of
Marketing, Vol. 63, pp. 5-
24.
Grewal, D., Krishnan, R., Baker, J. and
Borin, N. (1998), “The
effect of store name, brand
name and price discounts on
consumers’ evaluations and
purchase intentions”,
Journal of Retailing, Vol. 74
No. 3, pp. 331-52.
Gupta, S. and Zeithaml, V.A. (2006),
“Customer metrics and their
impact on financial
performance”, Marketing
Science, Vol. 25 No. 6, pp.
718-39.
Hartline, M.D., Woolridge, B.R. and
Jones, K.C. (2003), “Guest
perceptions of hotel quality:
determining which
employee groups count
most”, Cornell Hotel and
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
438
Administration Quarterly,
Vol. 44 No. 1, pp. 43-53.
Hermawan, A (2003) Pedoman praktis
metodologi bisnis cetakan I
LPFE. Universitas Trisakti.
Jakarta.
Jasfar F (2005). Manajemen jasa:
pendekatan terpadu Cetakan
I Ghalia Indonesi. Bogor
Jayawardhena, C., Souchon, A.L.,
Farrell, A.M. and Glanville,
K. (2007), “Outcomes of
service encounter quality in
a business-to-business
context”, Industrial
Marketing Management,
Vol. 36 No. 5, pp. 575-88.
Mowday, R.T., Steers, R.M. and Porter,
L.W. (1979), “The
measurement of
organizational
commitment”, Journal of
Vocational Behavior, Vol.
14, pp. 224-47.
Namasivayam, K. and Hinkin, T.R.
(2003), “The customer’s
role in the service
encounter: the effects of
control and fairness”,
Cornell Hotel and
Restaurant Administration
Quarterly, Vol. 44 No. 3,
pp. 26-34.
Oliver, R.L. (1997), Satisfaction: A
Behavioral Perspective on
the Consumer, McGraw
Hill, New York, NY.
Parasuraman, A. and Grewal, D.
(2000), “The impact of
technology on the quality-
value-loyalty chain: a
research agenda”, Journal of
the Academy of Marketing
Science, Vol. 28 No. 1, pp.
168-74.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and
Berry, L.L. (1985), “A
conceptual model of service
quality and its implications
for future research”, Journal
of Marketing, Vol. 49, pp.
41-50.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and
Berry, L.L. (1986),
SERVQUAL: A Multiple-
Item Scale for Measuring
Customer Perceptions of
Service Quality, Report,
Marketing Science Institute
No. 86-108, August.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and
Berry, L.L. (1988),
“SERVQUAL: a multiple-
item scale for measuring
consumer perceptions of
service quality”, Journal of
Retailing, Vol. 64 No. 1, pp.
12-40.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A, &
Berry, L. (1994),
Reassessment of
Expectations as a
Comparison Standard in
Measuring Service Quality:
Implications for Further
Research. Journal of
Marketing, 58 (January),
111-124.