ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Transcript of ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Jurnal Computech & Bisnis, Vol. 10, No 2, Desember 2016, 106-118 ISSN 2442-4943
106
ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA
Ruhyana
SDN Sabagi Kecamatan Sumedang, Kabupaten Sumedang E-Mail: [email protected]
Abstract
This article is an analysis of the test results about mathematical problem solving
6th grade elementary school students. The analysis aimed to find out the kinds of
difficulties, causes difficulties, and how the handling of student difficulties in
solving mathematical problems. From the analysis, teachers are expected to be
able to anticipate what factors can make obstacles for students to work on the
problems of mathematical problem solving.
Keywords: mathematical problem solving.
Abstrak
Artikel ini merupakan analisis terhadap hasil test soal pemecahan masalah
matematika siswa kelas 6 sekolah dasar. Analisis yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui jenis-jenis kesulitan, faktor penyebab kesulitan, dan bagaimana
penanganan terhadap kesulitan siswa dalam pemecahan masalah matematika. Dari
hasil analisis tersebut, diharapkan guru mampu mengantisipasi faktor apa saja
yang dapat menjadikan hambatan bagi siswa dalam mengerjakan soal pemecahan
masalah matematika.
Kata Kunci: pemecahan masalah matematika.
Ruhyana, 107 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
PENDAHULUAN
Pembelajaran matematika di sekolah
dasar tidak hanya diarahkan pada
peningkatan kemampuan siswa
dalam berhitung, tetapi juga
diarahkan kepada peningkatan
kemampuan siswa dalam pemecahan
masalah (Problem Solving), baik
masalah matematika maupun
masalah lain yang secara kontekstual
menggunakan matematika untuk
memecahkannya (Lidinillah, 2008).
Sejalan dengan pernyataan tersebut
National Council of Teacher of
Mathematics di Amerika pada tahun
1989 yang mengembangkan
Curriculum and Evaluation
Standards for School Mathematics,
dimana pemecahan masalah dan
penalaran menjadi tujuan utama
dalam program pembelajaran
matematika di sekolah dasar.
Tidak dipungkiri matematika
menjadi salah satu mata pelajaran
dengan tingkat kesulitan belajar
paling banyak yang dialami siswa.
Oleh karena itu diperlukan
penelurusan lebih dalam terhadap
apa saja hambatan belajar yang
dialami siswa sehingga siswa
mengalami kesulitan dalam
mengerjakan soal matematika
terutama soal pemcehan masalah,
serta bagaimana cara meminimalisir
berbagai hambatan belajar tersebut.
Dalam laporan ini, penulis akan
mencoba mengidentifikasi beberapa
kesulitan yang dialami siswa dalam
materi bilangan dan pecahan.
Menurut Brousseau (1997) bahwa
pada praktiknya, siswa secara
alamiah mengalami situasi yang
disebut hambatan belajar atau yang
dikenal dengan learning obstacle.
Hal ini disebabkan oleh tiga faktor,
yaitu hambatan ontogeni (kesiapan
mental belajar), hambatan didaktis
(pengajaran guru atau bahan ajar),
dan epistimologis (pengetahuan
siswa yang memiliki konteks aplikasi
yang terbatas). Beberapa kesalahan
umum yang dilakukan oleh siswa
yang berkesulitan dalam belajar
matematika menurut Lerner dalam
Sugiharto (2003) adalah kekurangan
pemahaman tentang : simbol, nilai
tempat, perhitungan, penggunaan
proses yang keliru dan tulisan yang
tidak terbaca. Sedangkan kesalahan
siswa dalam mengerjakan
matematika merupakan kesalahan
dasar, kesalahan dalam pemahaman
soal, kesalahan dalam pengambilan
keputusan dan kesalahan dalam hal
perhitungan.
Untuk mengetahui kesulitan siswa
dalam mengerjakan soal pemecahan
masalah matemtika, sebelumnya
penulis melakukan tes diagnosis
kepada 30 siswa di salah satu SD di
kota Bandung. Dari hasil test
tersebut selanjutnya akan dilakukan
analisis secara mendalam terhadap
kesulitan-kesulitan apa saja yang
ditemui siswa dalam mengerjakan
soal tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka
tujuan penelitian adalah:
Ruhyana, 108 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
1. Untuk mengetahui jenis-jenis
kesulitan yang dialami siswa
dalam mengerjakan soal
pemecahan masalah dengan
topik bilangan dan pecahan di
kelas 6.
2. Untuk mengetahui faktor apa
saja yang menyebakan siswa
mengalami kesulitan dalam
mengerjakan soal pemecahan
masalah dengan topik bilangan
dan pecahan di kelas 6.
3. Untuk mengetahui bagaimana
penanganan yang tepat terhadap
kesulitan siswa dalam
mengerjakan soal pemecahan
masalah dengan topik bilangan
dan pecahan di kelas.
KAJIAN PUSTAKA
Masalah dan Pemecahan Masalah
Matematika
Suatu masalah biasanya memuat
situasi yang mendorong seseorang
untuk menyelesaikannya akan tetapi
tidak tahu secara langsung apa yang
harus dikerjakan untuk
menyelesaiknnya. Jika suatu masalah
diberikan kepada seorang anak dan
anak tersebut dapat mengetahui cara
penyelesainnya dengan benar, maka
soal tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai masalah. Sesuatu dianggap
masalah bergantung kepada orang
yang menghadapi masalah tersebut
disamping secara impilisit suatu soal
bisa memiliki karakteristik sebagai
masalah.
Dalam pembelajaran matematika,
masalah dapat disajikan dalam
bentuk soal tidak rutin yang berupa
soal cerita, penggambaran penomena
atau kejadian, ilustrasi gambar atau
teka-teki. Masalah tersebut kemudian
disebut masalah matematika karena
mengandung konsep matematika.
Terdapat beberapa jenis masalah
matematika, walaupun sebenarnya
tumpang tindih, tapi perlu dipahami
oleh guru matematika ketika akan
menyajikan jenis soal matematika.
Menurut Hudoyo & Sutawijaya
(1997:191), masalah matematika
dapat berupa (1) masalah transalasi,
(2) masalah aplikasi, (3) masalah
proses, dan (4) masalah teka-teki.
Polya (1985) mengartikan
pemecahan masalah sebagai suatu
usaha mencari jalan keluar dari suatu
kesulitan guna mencapai suatu tujuan
yang tidak begitu segera dapat
dicapai. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Ruseffendi (1991)
mengemukakan bahwa suatu soal
merupakan soal pemecahan masalah
bagi seseorang bila ia memiliki
pengetahuan dan kemampuan untuk
menyelesaikannya, tetapi pada saat ia
memperoleh soal itu ia belum tahu
cara menyelesaikannya. Dalam
kesempatan lain Ruseffendi (1991)
juga mengemukakan bahwa suatu
persoalan itu merupakan masalah
bagi seseorang jika: pertama,
persoalan itu tidak dikenalnya.
Kedua, siswa harus mampu
menyelesaikannya, baik kesiapan
mentalnya maupun pengetahuan
siapnya; terlepas daripada apakah
akhirnya ia sampai atau tidak kepada
jawabannya. Ketiga, sesuatu itu
merupakan pemecahan masalah
Ruhyana, 109 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
baginya, bila ia ada niat untuk
menyelesaikannya.
Lebih spesifik Sumarmo et al.,
(1994) mengartikan pemecahan
masalah sebagai kegiatan
menyelesaikan soal cerita,
menyelesaikan soal yang tidak rutin,
mengaplikasikan matematika dalam
kehidupan sehari-hari atau keadaan
lain, dan membuktikan atau
menciptakan atau menguji konjektur.
Berdasarkan pengertian yang
dikemukakan Sumarmo tersebut,
dalam pemecahan masalah
matematika tampak adanya kegiatan
pengembangan daya matematika
(mathematical power) terhadap
siswa.
Menurut Polya (1985) dalam
bukunya yang berjudul how to solve
it, untuk menemukan solusi dari
sebuah masalah, maka diperlukan
strategi. Strategi itu disebut strategi
heuristik. Heuristik adalah suatu
langkah-langkah umum yang
memandu pemecah masalah dalam
menemukan solusi masalah. Langkah
tersebut terbagi menjadi 4 tahapan
yaitu memahami masalah,
perencanaan penyelesaian masalah,
melaksanakan perencanaan
penyelesaian, dan melihat kembali.
a. Memahami Masalah
Pelajar seringkali gagal dalam
menyelesaikan masalah karena
semata-mata mereka tidak
memahami masalah yang
dihadapinya. Atau mungkin
ketika suatu masalah diberikan
kepada anak dan anak itu
langsung dapat menyelesaikan
masalah tersebut dengan benar,
namun soal tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai masalah.
Untuk dapat memahami suatu
masalah yang harus dilakukan
adalah pahami bahasa atau istilah
yang digunakan dalam masalah
tersebut, merumuskan apa yang
diketahui, apa yang ditanyakan,
apakah informasi yang diperoleh
cukup, kondisi/syarat apa saja
yang harus terpenuhi, nyatakan
atau tuliskan masalah dalam
bentuk yang lebih operasional
sehingga mempermudah untuk
dipecahkan. Kemampuan dalam
menyelesaikan suatu masalah
dapat diperoleh dengan rutin
menyelesaikan masalah.
Berdasarkan hasil dari banyak
penelitian, anak yang rutin dalam
latihan pemecahan masalah akan
memiliki nilai tes pemecahan
masalah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang
jarang berlatih mengerjakan soal-
soal pemecahan masalah. Selain
itu, ketertarikan dalam
menghadapi tantangan dan
kemauan untuk menyelesaikan
masalah merupakan modal utama
dalam pemecahan masalah.
b. Perencanaan Penyelesaian
Masalah
Memilih rencana pemecahan
masalah yang sesuai bergantung
dari seberapa sering pengelaman
kita
menyelesaikan masalah
sebelumnya. Semakin sering kita
Ruhyana, 110 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
mengerjakan latihan pemecahan
masalah maka pola penyelesaian
masalah itu akan semakin mudah
didapatkan. Untuk merencanakan
pemecahan masalah kita dapat
mencari kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi
atau mengingat-ingat kembali
masalah yang pernah diselesaikan
yang memiliki kemiripan sifat /
pola dengan masalah yang akan
dipecahkan. Kemudian barulah
menyusun prosedur
penyelesaiannya.
c. Melaksanakan Perencanaan
Penyelesaian Masalah
Langkah ini lebih mudah dari
pada merencanakan pemecahan
masalah, yang harus dilakukan
hanyalah menjalankan strategi
yang telah dibuat dengan
ketekunanan dan ketelitian untuk
mendapatkan penyelesaian.
d. Melihat Kembali
Kegiatan pada langkah ini adalah
menganalisi dan mengevaluasi
apakah strategi yang diterapkan
dan hasil yang diperoleh benar,
apakah ada strategi lain yang lebih
efektif, apakah strategi yang
dibuat dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah sejenis,
atau apakah strategi dapat dibuat
generalisasinya. Ini bertujuan
untuk menetapkan keyakinan dan
memantapkan pengalaman untuk
mencoba masalah baru yang akan
datang.
Kesulitan Belajar Matematika
Kesulitan siswa dalam
menyelesaikan soal matematika
dapat diduga dari kesalahan-
kesalahan dalam mengerjakannya.
Menurut Davis dan McKillip dalam
Suryanto, kesalahan dalam
memecahkan masalah atau soal
matematika ada yang disebabkan
oleh kecerobohan, ada yang
disebabkan oleh masalah belajar.
Sedangkan menurut Wood (2007)
bahwa beberapa karakteristik
kesulitan siswa dalam belajar
matematika adalah : (1) kesulitan
membedakan angka, simbol-simbol,
serta bangun ruang, (2) tidak
sanggup mengingat dalil-dalil
matematika, (3) menulis angka tidak
terbaca atau dalam ukuran kecil, (4)
tidak memahami simbol-simbol
matematika, (5) lemahnya
kemampuan berpikir abstrak, (6)
lemahnya kemampuan metakognisi
(lemahnya kemampuan
mengidentifikasi serta memanfaatkan
algoritma dalam memecahkan soal-
soal matematika). Sedangkan
menurut Radatz (1979) kesalahan
yang sering dilakukan siswa adalah
kesalahan dalam penggunaan bahasa
matematika dengan bahasa sehari-
hari, kemampuan dalam keruangan,
kemampuan dalam penguasaan
prasyarat, kesalahan dalam
penguasaan teori, dan kesalahan
dalam penerapan aturan yang
relevan.
Diagnosis Kesulitan Belajar
Menurut Thorndike dan Hagen yang
dikutip oleh Sugiharto (2003)
diagnosis dapat diartikan sebagai
berikut: (1) Upaya atau proses
menemukan kelemahan atau
Ruhyana, 111 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
penyakit apa yang dialami seseorang
dengan melalui pengujian dan studi
yang seksama mengenai gejala
gejalanya, (2) Studi yang seksama
terhadap fakta sesuatu hal untuk
menemukan karakteristik atau
kesalahan kesalahan dan sebagainya
yang esensial, (3) Keputusan yang
dicapai setelah dilakukan studi yang
seksama atas gejala gejala atau fakta
tentang suatu hal.
Tes diagnostik ini dapat
dilaksanakan dengan cara lisan,
tertulis, perbuatan atau kombinasi
ketiganya. Tes diagnostik ini untuk
mengidentifikasi kesulitan-kesulitan
siswa dalam menyelesaikan soal
matematika yang dipandang dari
aspek kognitif : (1) recall factual
knowledge (C1), yaitu pengetahuan
mengingat fakta, terbatas pada
pertanyaan-pertanyaan yang hanya
membutuhkan ingatan tentang
definisi-definisi, rumus tanpa
melakukan perhitungan, (2) perform
mathematical manipulation (C2),
yaitu melakukan manipulasi
matematika dalam penyelesaian soal
tanpa dibatasi bagaimana cara
menyelesaikannya, (3) solve Rutin
problem (C3), yaitu menyelesaikan
soal-soal rutin dengan diberikan
batasan penyelesaiannya, (4)
demonstrated comprehension of
mathematical ideas and concepts
(C4), yaitu menampilkan
pemahaman gagasan-gagasan serta
konsep-konsep matematika, dalam
hal ini siswa dituntut tidak hanya
memutuskan apa yang harus
dikerjakan tetapi juga bagaimana
cara mengerjakannya, (5) solve
nonroutine problems requiring
insight or ingenuity (C5), yaitu
menyelesaikan masalah non rutin
yang memerlukan pengertian yang
mendalam, siswa dituntut
mengembangkan tekniknya sendiri
dalam menyelesaikan soal yang
mungkin tidak ditemukan dibuku
catatan dan (6) aplly higher mental
processes to mathematics (C6), yaitu
menggunakan proses mental yang
tinggi, yaitu menyangkut evaluasi,
pembuktianrumus, induksi,
penarikan kesimpulan
(Gronlund,1971).
Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan tes diagnosis tertulis
berupa soal uraian berjumlah 4 soal.
Topik yang digunakan adalah
mengenai bilangan dan pecahan.
Masalah yang diangkat dalam soal
terdiri dari masalah rutin dengan
tingkat kesukaran sedang dan soal
non rutin yang memerlukan
penyelesaian yang mungkin belum
pernah siswa temukan di buku
catatan.
ANALISIS DAN IDENTIFIKASI
KESALAHAN
Berikut ini disajikan contoh–contoh
jawaban salah yang dikerjakan oleh
siswa. Setelah diidentifikasi menurut
jenis kesalahannya, selanjutnya
diidentifikasi menurut kesulitan yang
diduga menjadi penyebab atau
sumber terjadinya kesalahan yang
berupa kesulitan dalam memahami
atau menggunakan simbol,
menggunakan proses yang tepat,
menguasai konsep dan prasyarat,
Ruhyana, 112 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
menggunakan bahasa, menerapkan
aturan yang relevan, ketelitian,
perhitungan atau komputasi,
mengingat, memahami maksud soal,
memahami keputusan, memahami
fakta, mengaitkan konsep dengan
fakta.
Soal nomor 1
Roni mempunyai 5 bungkus permen.
Setiap bungkus berisi 12 permen.
Berapa banyak permen Roni
semuanya?
Jawaban yang diharapkan adalah:
5 x 12 = 60 permen
Jawaban yang muncul dari siswa:
Gambar 1. Contoh kesalahan jawaban
siswa pada nomor 1
Gambar 2. Contoh kesalahan jawaban
siswa pada nomor 1
Kemungkinan kesulitan yang muncul
sehingga mengakibatkan kesalahan
menjawab adalah:
a. Siswa tidak memahami kalimat
matematika yang terkandung
dalam soal cerita tersebut
(verbal).
b. Siswa tidak menguasai konsep
prasyarat atau mungkin lupa
mengenai operasi perkalian.
Kebanyakan siswa mampu untuk
mengerjakan soal nomor 1. Tapi ada
beberapa siswa yang belum
memberikan jawaban seperti yang
diharapkan. Hal tersebut bisa
disebabkan kemampuan verbal siswa
untuk mencerna kalimat soal cerita
menjadi kalimat matematika masih
rendah. Namun ada juga yang
dimungkinkan karena prasyarat yang
dimiliki kurang terutama dalam
perkalian sehingga menjadikan
pemahaman konsep materi pada
perkalian dua bilangan menjadi tidak
paham. Untuk dapat memahami
konsep perkalian dua bilangan atau
lebih maka siswa harus memiliki
kemampuan konsep prasyarat antara
lain sebagai berikut : kemampuan
memahami konsep penjumlahan,
konsep perkalian, konsep perkalian
dua bilangan dengan cara bersusun.
Pembelajaran yang dilakukan agar
nantinya siswa lebih memahami
perkalian pada bilangan bulat adalah
dengan lebih menekankan pada fakta
dasar perkalian. Penguasan fakta
dasar perkalian merupakan kunci
agar siswa mampu mengerjakan
operasi hitung perkalian. Metode
yang bisa diterapkan untuk
mengajarkan fakta dasar pada anak
salah satunya dengan metode drill.
Setelah siswa menguasai fakta dasar
perkalian, konsep selanjutnya adalah
perkalian secara bersusun. Sebaiknya
guru juga lebih memperhatikan
kondisi siswa, dalam hal ini
kemampuan yang dimiliki siswa,
sehingga guru dapat memilih suatu
metode pembelajaran yang tepat
yang mengakibatkan pembelajaran
menjadi lebih bermakna. Dan yang
Ruhyana, 113 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
tidak kalah penting adalah
membiasakan siswa untuk
mengerjakan soal-soal cerita yang
sesuai dengan konteks siswa.
Soal nomor 2
Ani dan Susi masing-masing memiliki
pita.
Pita milik Ani lebih panjang 30cm
daripada pita Susi.
Jika panjang pita Ani adalah 1,5
meter, berapakah panjang pita Susi
Jawaban yang diharapkan adalah:
1,5 m = 150 cm
Pita Ani = Pita Susi + 30 cm
Sehingga:
Pita Susi = Pita Ani – 30
= 150 – 30
= 120 cm
Jawaban yang muncul dari siswa
Gambar 3. Contoh kesalahan jawaban
siswa pada nomor 2
Gambar 4. Contoh kesalahan jawaban
siswa pada nomor 2
Kemungkinan kesulitan yang muncul
sehingga mengakibatkan kesalahan
menjawab adalah:
a. Siswa tidak memahami
kalimat matematika yang
terkandung dalam soal cerita
tersebut (verbal).
b. Siswa tidak menguasai materi
prasyarat mengenai konversi
satuan panjang.
Soal nomor dua merupakan soal
operasi hitung yang sederhana.
Namun dari beberapa jawaban yang
didapatkan ternyata ada beberapa
siswa yang tidak mengerjakan seperti
yang diharapkan, hal ini
dimungkinkan bahwa siswa tersebut
memang sepenuhnya tidak mengerti
dan memahami konsep satuan
panjang dan konversi antar satuan
panjang. Padahal konsep ini sudah
diperkenalkan sejak siswa kelas 3
dan terus diulang di kelas
selanjutnya. Hal ini mungkin
disebabkan pembelajaran yang
dilaksanakan kurang bermakna
sehingga konsep tersebut tidak dapat
diingat oleh anak. Biasanya guru
mengajarkan konsep satuan panjang
dengan menggunakan tangga satuan,
siswa disuruh untuk menghafal
urutan satuan tersebut dan setiap
turun satu tangga maka dikali 10,
begitupun apabila naik satu tangga
maka dibagi 10. Pembelajaran seperti
ini dirasa kurang efektif untuk siswa,
karena kemampuan yang diasah
disitu hanya kemampuan hafalan
saja. Pembelajaran yang tidak
mengandalkan kemampuan
procedural atau mekanistik
merupakan salah satu solusi dalam
menerapkan konsep satuan panjang.
Salah satunya adalah siswa
diperkenalkan terlebih dahulu
Ruhyana, 114 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
dengan satuan-satuan yang tidak
terstandar atau baku. Misalkan siswa
disuruh membandingkan panjang
lantai dengan menggunakan sedotan.
Ada berapa sedotan yang dapat
disusun sehingga sama dengan 3
ubin lantai? Kegiatan informal
seperti ini penting untuk dilakukan
untuk memupuk konsep dasar satuan
dan pengukuran. Kegiatan lanjutan
dalam pembelajaran konsep satuan
panjang adalah siswa disuruh untuk
membuat penggaris/alat ukur dengan
satuan yang ditentukan oleh siswa
seperti gambar berikut.
Gambar 5. Penggaris tagboard
Setelah siswa paham mengenai
konsep dasar satuan dan pengukuran
menggukanan cara informal, barulah
siswa diperkenalkan dengan satuan-
satuan terstandar.
Soal nomor 3
Harga sepasang sandal adalah Rp
60.000,00. Wati membeli sandal
tersebut dan mendapat potongan
harga (discount) sebesar 10%. Jika
Wati membayar dengan uang
Rp100.000,00, berapakan uang
kembalian yang diterima Wati?
Jawaban yang diharapkan:
Diketahui:
Harga sandal = 60.000
Diskon = 10%
Uang yang dibayarkan = 100.000
Berapa uang kembaliannya?
Harga sandal setelah diskon = 90% x
60.000 = 54.000
Uang kembalian = 100.000 – 54.000 =
Rp 56.000,00
Jawaban yang muncul dari siswa:
Gambar 6. Contoh kesalahan
jawaban siswa pada nomor 3
Gambar 7. Contoh kesalahan jawaban
siswa pada nomor 3
Gambar 8. Contoh kesalahan jawaban
siswa pada nomor 3
Kemungkinan kesulitan yang muncul
sehingga mengakibatkan kesalahan
menjawab adalah:
a. Siswa tidak memahami
kalimat matematika yang
terkandung dalam soal cerita
tersebut (verbal).
Ruhyana, 115 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
b. Siswa tidak memahami
konsep pecahan.
c. Siswa tidak memahami
pengetahuan prasyarat seperti
jenis-jenis pecahan dan
bagaimana menngubah
pecahan, operasi hitung
perkalian, pembagian dan
pengurangan.
d. Siswa kurang memahami
penggunaan bahasa.
e. Siswa tidak memahami
penerapkan aturan yang
relevan.
f. Kurang teliti dalam
menyelesaikan soal dalam hal
perhitungan atau komputasi
g. Siswa tidak memahami dalam
penggunaan symbol atau
lambang dalam matematika
h. Siswa tidak mampu
menggunakan proses yang
tepat dalam menyelesaikan
masalah matematika
i. Siswa kurang terampil dalam
mengaitkan antara konsep
dengan fakta.
Dari beberapa contoh hasil
pengerjaan siswa pada nomor 3 ini.,
letak kesalahan terbanyak adalah
ketika menentukan harga setelah
mendapat diskon atau potongan.
Kebanyakan siswa beranggapan
bahwa 10% dari 60.000 adalah
10.000, sehingga harga sandal
setelah diskon adalah 50.000. Ini
membuktikan penguasaan konsep
siswa terhadap pecahan masih sangat
rendah. Oleh karena itu diperlukan
upaya yang serius untuk
mengembangkan masalah
proporsional seperti ini.
Banyak penelitian yang telah
dilakukan untuk menentukan
bagaimana anak-anak berpikir dalam
berbagai tugas proporsional.
Penelitian-penelitian tersebut
memberikan pencerahan bagaimana
situasi pembelajaran yang dapat
mengembangkan penalaran
proporsional. Walle (2007)
memberikan gambaran kondisi
pembelajaran yang harus
dikembangkan, diantaranya adalah:
a. Sajikan materi yang
berhubungan dengan proporsi
dan rasio secara luas.
b. Berikan dorongan kepada anak
untuk berdiskusi dan mencoba
menyelesaikan masalah
proporsi. Serta sajikan contoh
dari masalah proporsional dan
bukan masalah proporsional agar
anak dapat membedakannya.
c. Bantu anak menghubungkan
penalaran proporsional dengan
proses-proses yang sudah ada.
d. Sebisa mungkin hindari
pengajaran prosedural
menggunakan formula singkat
seperti operasi kali silang di
awal pembelajaran dan
sebaiknya metode ini tidak
diperkenalkan sampai siswa
memiliki banyak pengalaman
dengan metode intuitif dan
konseptual.
Dari uraian di atas jelas tergambar
bahwa pembelajaran yang dapat
mengembangkan penalaran
proporsional bukanlah pembelajaran
klasikal yang hanya menjadikan
murid sebagai objek pasif, melainkan
pembelajaran penuh aktivitas yang
melibatkan seluruh siswa untuk ikut
berperan. Gurupun harus
memberikan contoh-contoh nyata
Ruhyana, 116 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
yang ada di kehidupan siswa dan
memberikan siswa kebebasan untuk
berdiskusi mengenai masalah-
masalah proporsional dan bukan
proporsional. Dan yang paling
penting adalah menghindari
pembelajaran prosedural dimana
guru menyajikan algoritma
penyelesaian masalah di awal dan
menjelaskan secara verbal contoh
bagaimana cara mengerjakannya
tanpa disertai media apapun.
Kegiatan ini jelas akan membunuh
semangat siswa dalam berekslporasi
mencari pengetahuannya sendiri.
Membiasakan siswa memecahkan
masalah dengan jalan pintas tanpa
disertai proses berpikir hanya akan
menyebabkan kemampuan logika
proporsional menjadi tidak
berkembang (Walle, 2007).
Soal nomor 4
Sebuah kantong berisi sejumlah
kelereng berwarna merah dan
berwarna putih. Dua per lima dari
kelereng itu berwarna merah dan
sisanya berwarna putih.
a. Berapa bagiankah kelereng
dalam kantong itu berwarna
putih?
b. Jika di dalam kantong itu
terdapat 126 kelereng merah,
berapa banyak kelereng putih?
c.
Jawaban yang diharapkan:
Diketahui:
Kelereng merah = 2
5 = 126 kelereng
a. Bagian kelereng putih =
total kelereng – kelereng merah
= 5
5 - 2
5 =
3
5
b. Banyak kelereng putih = 3
2
x 126 = 189 kelereng.
Jawaban yang muncul dari siswa:
Gambar 9. Contoh kesalahan jawaban
siswa pada nomor 4
Gambar 10. Contoh kesalahan
jawaban siswa pada nomor 4
Gambar 11. Contoh kesalahan jawaban
siswa pada nomor 4
Kemungkinan kesulitan yang muncul
sehingga mengakibatkan kesalahan
menjawab adalah:
a. Siswa tidak memahami
kalimat matematika yang
terkandung dalam soal cerita
tersebut (verbal).
b. Siswa tidak memahami
konsep pecahan.
c. Siswa tidak memahami
pengetahuan prasyarat seperti
jenis-jenis pecahan dan
Ruhyana, 117 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
bagaimana menngubah
pecahan, operasi hitung
perkalian, pembagian dan
pengurangan.
d. Siswa kurang memahami
penggunaan bahasa.
e. Siswa tidak memahami
penerapkan aturan yang
relevan.
f. Kurang teliti dalam
menyelesaikan soal dalam hal
perhitungan atau komputasi
g. Siswa tidak memahami dalam
penggunaan symbol atau
lambang dalam matematika
h. Siswa tidak mampu
menggunakan proses yang
tepat dalam menyelesaikan
masalah matematika
i. Siswa kurang terampil dalam
mengaitkan antara konsep
dengan fakta.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesulitan belajar matematika yang
dialami oleh siswa pada bahasan
bilangan disebabkan kemampuan
verbal siswa untuk mencerna kalimat
soal cerita menjadi kalimat
matematika masih rendah. Namun
ada juga yang dimungkinkan karena
prasyarat yang dimiliki kurang
terutama dalam perkalian sehingga
menjadikan pemahaman konsep
materi pada perkalian dua bilangan
menjadi tidak paham. Untuk dapat
memahami konsep perkalian dua
bilangan atau lebih maka siswa harus
memiliki kemampuan konsep
prasyarat antara lain sebagai berikut :
kemampuan memahami konsep
penjumlahan, konsep perkalian,
konsep perkalian dua bilangan
dengan cara bersusun.
Sedangkan dalam bahasan pecahan,
terlhat sekali bahwa penguasaan
konsep siswa terhadap pecahan
masih sangat rendah. Terlihat dari
masih terjadi kesalahan dalam
menentukan bagian dari sebuah
pecahan atau bagaimana menghitung
persentase dari suatu harga.
Kesulitan yang menjadi penyebab
atau sumber terjadinya kesalahan
siswa dalam mengerjakan soal-soal
matematika adalah kesulitan dalam
memahami dan menggunakan
lambang, menggunakan proses yang
tepat, menggunakanbahasa,
menguasai fakta dan konsep
prasyarat, menerapkan aturan yang
relevan, mengerjakan soal tidak
teliti, memahami konsep,
perhitungan atau komputasi,
mengingat, memahami maksud soal,
mengambil keputusan,memahami
gambar, dan mengaitkan konsep dan
mengaitkan fakta. Aspek kognitif
sebagai acuannya, kesalahan yang
paling banyak dilakukan siswa
adalah pada C4 yaitu menampilkan
pemahaman tentang gagasan-
gagasan serta konsep-konsep
matematika.
Perlu dilakukannya langkah-langkah
konkret untuk mengatasi atau
setidaknya mengurangi kesalahan-
kesalahan yang dilakukan siswa
dalam mengerjakan soal matematika.
Tindakan yang dipilih tentu yang
sesuai dengan kemampuan siswa,
kemampuan guru dan kondisi
sekolah dimana terjadi proses
belajar-mengajar berlangsung.
Ruhyana, 118 Analisis Kesulitan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematika
Karena bisa saja masalah yang sama
tetapi situasi dan kondisinya berbeda
maka dibutuhkan penanganan yang
berbeda pula. Kegiatan yang
dimaksud dapat berupa kegiatan
yang menumbuhkan minat dan
motivasi serta meningkatkan
pemahaman terhadap matematika,
terutama pada bagian-bagian dimana
siswa mengalami kesulitan.
Kemungkinan langkah-langkah
untuk mengatasi kelemahan tersebut
adalah perlu diadakannya program
pengajaran khusus sebagai
pengayaan, perlu ditinjau kembali
dan dikembangkan system penilaian
yang bersifat edukatif yang dapat
menumbuhkan motivasi siswa dalam
belajar matematika, perlu
dipenuhinya komponen-komponen
belajar mengajar pokok yang
disyaratkan. Perubahan pembelajaran
yang menggunakan inovasi baru
untuk lebih memotivasi siswa perlu
dilakukan, peningkatan kemampuan
guru dalam memberikan
pembelajaran perlu ditingkatkan.
REFERENSI
Brousseau, G. (1997). Theory of
didactical situations (N.
Balacheff, M. Cooper, R.
Sutherland, V. Warfield Eds &
Trans). Dordrecht, Netherland:
Kluwer Academic.
Hudoyo., & Sutawijaya. (1998).
Pendidikan Matematika I.
Jakarta. Dirjen Dikti Depdiknas.
Lidinillah, D. A. M. (2008). Strategi
Pembelajaran Pemecahan
Masalah di Sekolah
Dasar. Jurnal Pendidikan
Dasar, 1(10), 67-77.
Polya, G. (1985). How to solve it: A
new aspect of mathematical
method. Princeton university
press.
Radatz, H. (1979). Error analysis in
mathematics education. Journal
for Research in Mathematics
Education, 163-172.
Ruseffendi, E. T (1991a). Pengantar
kepada Membantu Guru
Mengem-bangkan
Kompetensinyadalam
Pengajaran Matematika untuk
Meningkatkan CBSA. Bandung:
Tarsito
Ruseffendi, E.T (1991b). Penilaian
Pendidikan dan Hasil Belajar
Siswa Khususnya dalam
Pengajaran Matematika untuk
Guru dan Calon Guru. Bandung:
Tidak diterbitkan.
Sugiharto. (2003). Diagnosis
kesulitan siswa SMU dalam
menyelesaikan soal–soal
Matematika, Tesis, PPS UNY
Sumarmo, U., Dedy, E., & Rahmat.
(1994). Suatu Alternatif
Pengajaran untuk
MeningkatkanPemecahan
Masalah Matematika pada Guru
dan Siswa SMA. Laporan Hasil
Penelitian FPMIPA IKIP
Bandung.
Walle, J. A. (2007). Pengembangan
Pengajaran Matematika Sekolah
Dasar dan Menengah edisi ke-6
jilid 2 (terjemahan Suyono).
Jakarta: Erlangga.
Wood, D. R. (2007). Professional
learning communities: Teachers,
knowledge, and
knowing. Theory into
Practice, 46(4), 281-29.