KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS …
Transcript of KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS …
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DITINJAU
DARI ADVERSITY QOUTIENT PADA MODEL GUIDED DISCOVERY
LEARNING PENDEKATAN METAKOGNITIF BERBANTUAN
SCHOOLOGY
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Pendidikan
Oleh :
Tri Wahyuningsih
0401517051
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran
menggunakan model pembelajaran GDL pendekatan metakognisi berbantuan
schoology lebih baik dari siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model PBL
pendekatan saintifik
Tesis ini kupersembahkan kepada :
Almameterk u, Universitas Negeri Semarang
iv
ABSTRAK
Wahyuningsih, Tri. 2019. “Kemampuan Pemecahan Masalah Ditinjau Dari
Adversity Qoutient Pada Model Guided Discovery Learning
Pendekatan Metakognitif Berbantuan Schoology. Universitas
Negeri Semarang”. Tesis. Program Study Pendidikan Matematika.
Program Pascasarjana Universitas Negeri Seamarang.
Pembimbing I Dr. Nur Karomah Dwidayati, M.Si., Pembimbing
II Dr. Wardono, M, Si.
Kata Kunci: Kemampuan Pemecahan Masalah, Adversity Qoutient, Guided
Discovery Learning, Pendekatan Metakognitif, Schoology
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui efektivitas pembelajaran
Guided Discovery Learning dengan pendekatan Metakognitif Berbantuan
Schoology terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa, (2) mengetahui
deskripsi proses pemecahan masalah siswa pada model guided discovery
learning dengan pendekatan metakognitif ditinjau dari Adversity Qoutient (AQ)
siswa . Metode penelitian ini berjenis mix method tipe sequential explanatory.
Sampel penelitian ini adalah 2 kelas VIII SMP Negeri 13 Semarang tahun ajaran
2018/2019 dengan satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai
kelas kontrol. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII F. Analisis yang
digunakan pada penelitian ini adalah analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis
kuantitatif menggunakan meliputi uji proporsi, uji beda proporsi, uji t dan uji beda
rata-rata. Analisis tes kemampuan matematika dilakukan pada setiap indikator
dengan menggunakan langkah pemecahan masalah Polya. Sedangkan analisis data
kualitatif yang dilakukan adalah reduksi data, penyajian data, dan menarik
kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) model pembelajaran GDL
berpendekatan metakognitif siswa berbantuan Schoology efektif terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa; (2) ditemukan kemamapuan pemecahan
masalah ditinjau dari AQ yang bervariasi, hal ini ditunjukkan dari kemampuan
pemecahan siswa quitter telah tuntas 1 indikator, kemampuan pemecahan siswa
camper telah tuntas 3 indikator dan kemampuan pemecahan siswa climber telah
tuntas 4 indikator dengan tepat.
v
ABSTRACT
Wahyuningsih, Tri. 2019. “Problem Solving Skill Seen From Adversity Quotient
On Guided Discovery Learning Model With Metacognitive
Approach Assisted By Schoology”. Thesis. Program of
Mathematics Education, Postgraduate Program of Universitas
Negeri Semarang. Supervisor I Dr. Nur Karomah Dwidayati,
M.Si., Supervisor II Dr. Wardono, M, Si.
This study aims to: (1) determine the effectiveness of Guided Discovery
Learning with the Schoology-Based Metacognitive Approach to students' problem
solving abilities, (2) to gain the description of students 'problem solving processes
in the guided discovery learning model with a metacognitive approach in terms of
students' Adversity Qoutient (AQ). This is a mixed method sequential explanatory
research. The sample of this study was 2 classes VIII of SMP Negeri 13 Semarang
in the 2018/2019 school year with one class as an experimental class and one class
as a control class. The subjects of the study were students of class VIII F. The
analysis used in this research is quantitative and qualitative analysis. Quantitative
analysis uses include proportion testing, proportion difference testing, t test and
average difference testing. Mathematical ability test analysis is performed on each
indicator using Polya's problem solving steps. While qualitative data analysis is
done is data reduction, data presentation, and conclusions.
The results showed that (1) the GDL learning model with the
metacognitive approach of students assisted by Schoology was effective in
students' problem solving abilities; (2) found the ability to solve problems in terms
of AQ that varies, this is shown from the ability to solve 1 quitter students have
completed 1 indicator, the ability to solve camper students 3 indicators and the
ability to solve students climber has completed 4 indicators correctly.
vi
PRAKATA
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Kemampuan Pemecahan Masalah Ditinjau Dari Adversity Qoutient
Pada Model Guided Discovery Learning Pendekatan Metakognitif Berbantuan
Schoology”. Penelitian ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena iu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini. Ucapan
terima kasih pertama kali disampaikan kepada pembimbing: Dr. Nur Karomah
Dwidayati, M.Si, (Pembimbing 1) dan Dr.Wardono, M.Si (Pembimbing 2).
Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada semua pihak yang telah membantu
selama proses penyelesaian tesis ini, diantaranya:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Prof. Dr. H. Achmad Slamet, M.Si., Dekan Program Pascasarjana Universitas
Negeri Semarang.
3. Prof. Dr. St. Budi Waluya, M.Si., Ketua Prodi Matematika Program
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
4. Prof. Dr. Mungin, M.Pd., Kons., dan Trubus Raharjo,S.Psi.,M.Si. atas
ketersediaannya sebagai validator instrumen penelitian.
5. Drs. Nusantara, M.M, Kepala Sekolah SMP Negeri 13 Semarang.
vii
6. Kuswati, S.Pd., guru matematika SMP Negeri 13 Semarang serta staf
karyawan yang telah bekerjasama dengan baik dan membantu penulis selama
penelitian ini.
7. Siswa SMP Negeri 13 Semarang kelas VIII yang telah bekerja sama dalam
kelancaran penelitian ini.
8. Kedua orang tuaku karena atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang
tiada henti.
9. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang dan
semua pihak yang telah membantu baik secara moral maupun material dalam
penulisan tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tesis ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak. Semoga hasil penelitian ini
bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Semarang, Agustus 2019
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ...................................................................................................................... i
LEMBAR PEN GES AHAN...................................................................................... ii
PERNYATAAN KEAS LIAN ................................................................................. iii
MOTTO DAN PERS EMBAHAN .......................................................................... iv
ABS TRAK ............................................................................................................... v
ABS TRAC T ............................................................................................................ vi
PRAKATA ............................................................................................................. vii
DAF TAR IS I ........................................................................................................... ix
DAF TAR TABEL .................................................................................................. xii
DAF TAR GAMBAR ............................................................................................ xiv
DAF TAR LAMPIRAN .........................................................................................xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah .........................................................................................11
1.3 Cakupan Masalah .............................................................................................12
1.4 Rumusan Masalah .......................................................................... ..................12
1.5 Tujuan Penelitian..............................................................................................13
1.6 Manfaat Penelitian............................................................................................13
1.6.1 Manfaat Teoritis ...................................................................................13
1.6.2 Manfaat P raktis ....................................................................................13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, KERANGKA
BERFIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Teori......................................................................................................15
ix
2.1.1 Efektivitas Pembelajaran ............................................................................15
2.1.2 Teori Belajar Yang Mendukung.................................................................17
2.1.2.1 Teori Jean P iaget .................................................................................17
2.1.2.2 Teori Vygotsky....................................................................................18
2.1.2.3 Teori Ausubel......................................................................................20
2.1.2.4 Teori Brunner ......................................................................................22
2.1.3 Kemampuan Pemecahan Masalah..............................................................23
2.1.4 Adversity Qoutient......................................................................................29
2.1.5 Model Guided Discovery Learning ............................................................34
2.1.6 Pendekatan Metakognitif............................................................................43
2.1.7 Schoology ...................................................................................................46
2.1.8 Penerapan Guided Discovery Learning-Metakognitif ..............................48
2.2 Kerangka Teori.................................................................................................50
2.3 Kerangka Berfikir.............................................................................................58
2.4 Hipotesis Penelitian ..........................................................................................61
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ..............................................................................................62
3.2 Tahap Pra Penelitian.........................................................................................63
3.3 Tahap Penelitian ...............................................................................................63
3.4 Tahap Analisis Data .........................................................................................66
3.5 Latar, Populasi, Sampel dan S ubjekPenelitian.................................................67
3.6 Variabel Penelitian ...........................................................................................69
3.7 Metode Pengumpulan Data ..............................................................................69
3.7.1 Metode Dokumentasi ........................................................................69
3.7.2 Metode Kuesioner .............................................................................70
3.7.3 Metode Wawancara ...........................................................................70
3.7.4 Metode Tes........................................................................................71
3.8 Instrumen dan Perangkat Penelitian .................................................................71
3.8.1 Perangkat Pembelajaran ....................................................................71
3.8.2 Instrument Data Kuantitatif ..............................................................72
x
3.8.3 Instrument Data Kualitatif ................................................................72
3.9 Teknik Analisis Data ........................................................................................73
3.9.1 Kriteria Keterlaksanan Pembelajaran ...........................................74
3.9.2 Analisis Kelayakan Instrumen Tes ...............................................78
3.9.2.1 Validasi Butir Soal..............................................................78
3.9.2.2 Reliabilitas .........................................................................80
3.9.2.3 Taraf Kesukaran .................................................................81
3.9.2.4 Daya Pembeda Soal ............................................................83
3.9.2.5 Kriteria Soal Yang Digunakan............................................84
3.9.3 Analisis Kelayakan Instrumen Non Tes .......................................86
3.10 Analisis Data Kuantitatif ..........................................................................87
3.10.1 Analisis Populasi ..........................................................................87
3.10.1.1 Uji Normalitas .............................................................87
3.10.1.2 Uji Homogenitas ..........................................................88
3.10.2 Asumsi Prasyarat .........................................................................89
3.10.2.1 Uji Normalitas .............................................................89
3.10.2.2 Uji Homogenitas ..........................................................90
3.10.2.3 Uji Kesamaan Rata-Rata Data Awal ...........................90
3.10.3 Uji Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah .........................91
3.10.3.1 Uji Normalitas Data Penelitian ....................................92
3.10.3.2 Uji Homogenitas Data Penelitian ................................92
3.10.4 Uji Keefektifan Model Pembelajaran Guided Discovery Learning
Dengan Pendekatan Metakognitif Berbantuan Schoology
3.10.4.1 Uji Ketuntasan Individual............................................93
3.10.4.2 Uji Ketuntasan K lasikal ...............................................94
3.10.4.3 Uji Beda P roporsi ........................................................95
3.10.4.4 Uji Beda Rata-Rata ......................................................96
3.10.4.5 Uji Peningkatan Pembelajaran.....................................97
3.11 Metode Kualitatif ...................................................................................100
3.11.1 Uji Keabsahan Data ....................................................................100
3.11.1.1 Uji Credibility ............................................................100
xi
3.11.1.2 Uji T ransferability .....................................................101
3.11.1.3 Uji Dependability.......................................................101
3.11.2 Analisis Data Kualitatif ..............................................................102
3.11.2.1 Reduksi Data ..............................................................102
3.11.2.2 Penyajian Data ...........................................................102
3.11.2.3 Penarikan Kesimpulan ...............................................103
3.12 Analisis Data Gabungan.........................................................................103
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Keefektifan Pembelajaran Guided Discovery Learning Pendekatan
Metakognisi Berbantuan Schoology Pada Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis S iswa ..........................................................................................104
4.2 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau Dari Adversity
Qoutient Pada Pembelajaran Guided Discovery Learning Pendekatan
Metakognisi Berbantuan Schoology...............................................................119
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ......................................................................................................156
5.2 Saran ...............................................................................................................159
DAFTAR PUS TAKA .........................................................................................161
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Tahap - Tahap Perkembangan Kognitif P iaget .....................................17
Tabel 2.2. Langkah- langkah Pemecahan Masalah Polya. .....................................28
Tabel 2.3 Indikator AQ berdasarkan kategori. .......................................................33
Tabel 2.4 Tahapan Discovery Learning ................................................................34
Tabel 2.5 Fase-Fase Penerapan
Model Pembelajaran Guided Discovery Learning ........................................38
Tabel 2.6 Tahapan Guide Discovery Learning ......................................................40
Tabel 2.7 Tahapan Pendekatan Metakognisi..........................................................45
Tabel 2.8 Sintaks Pembelajaran Guided Discovery Learning
Metakognisi Berbantuan Schoology ..............................................................48
Tabel 3.1 Desain penelitian Pretest-postest ...........................................................62
Tabel 3.2 Kriteria Pengkategorian AQ ...................................................................67
Tabel 3.3 Kriteria Penilaian Keterlaksanaan Kegiatan Pembelajaran....................74
Tabel 3.4 Hasil Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran ......................................74
Tabel 3.5 Hasil Perhitungan Validitas Soal Uji Coba ............................................78
Tabel 3.6 Kriteria Reliabilitas Soal Uraian ............................................................79
Tabel 3.7 Reabilitas butir soal P re Test dan Post Test ...........................................80
Tabel 3.8 Taraf Kesukaran Uji Coba Soal Pre Test dan Post Test ........................81
Tabel 3.9 Kategori Daya Pe mbeda.........................................................................83
Tabel 3.10 Daya Pembeda Soal Uji Coba Pre Test dan Post Test ........................83
Tabel 3.11 Hasil Analisis Uji Coba Soal Pre Test dan Post Test Instrumen .........84
Tabel 3.12 Hasil Penilaian Angket ........................................................................85
Tabel 3.13 Uji Asumsi Normalitas ........................................................................86
Tabel 3.14 Uji Asumsi Homogenitas .....................................................................87
Tabel 3.15 Uji Normalitas Data Sampel ................................................................89
Tabel 3.16 Uji Homogenitas Data S ampel.............................................................89
Tabel 3.17 Uji Kesamaan Rata-Rata ......................................................................90
Tabel 3.18 Kategori Gain Ternormalisasi ..............................................................97
xiii
Tabel 4.1 O utput Hasil Uji Normalitas TKPM ....................................................104
Tabel 4.2 Hasil Uji Homogenitas TKPM .............................................................105
Tabel 4.3 O utput One-Sample t Test ....................................................................106
Tabel 4.4 Ringkasan Ketuntasan K lasikal............................................................107
Tabel 4.5 Ringkasan Ketuntasan Uji Beda Rata-Rata..........................................108
Tabel 4.6 O utput Independent Sample t Test ......................................................109
Tabel 4.7 Gain Ternormalisasi Peningkatan
Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Kelas Eksperimen.................110
Tabel 4.8 Pengelompokkan S iswa Berdasarkan AQ ............................................112
Tabel 4.9 Hasil Penentuan S ubjek Penelitian Berdasarkan Skor AQ .................113
Tabel 4.10 Hasil Penyajian Data ..........................................................................136
Tabel 4.12 Ringkasan hasil TKPM Ditinjau Dari AQ .........................................145
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir ...................................................................58 Gambar 3.1 Diagram alir Penelitian ......................................................................63 Gambar 1a. Jawaban S ubjek F-04 Dalam Memamahi Soal Nomor 1 ................308
Gambar 2a. Jawaban S ubjek F-04 Dalam Memamahi Soal Nomor 3 .................308
Gambar 3a. Jawaban Subjek F-04 Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 ......................................................................310
Gambar 4a. Jawaban Subjek F-04 Dalam Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................310
Gambar 5a. Jawaban Subjek F-04 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 .....................................................................311
Gambar 6a. Jawaban Subjek F-04 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................312
Gambar 7a. Jawaban Subjek F-04 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 1 .....................................................................313
Gambar 8a. Jawaban Subjek F-04 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 3 ......................................................................313
Gambar 1b. Jawaban S ubjek F-19 Dalam Memamahi Soal Nomor 1 ................314
Gambar 2b. Jawaban S ubjek F-19 Dalam Memamahi Soal Nomor 3 .................314
Gambar 3b. Jawaban Subjek F-19 Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 ......................................................................316
Gambar 4b. Jawaban Subjek F-19 Dalam Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................316
Gambar 5b. Jawaban Subjek F-19 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 .....................................................................317
Gambar 6b. Jawaban Subjek F-19 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................318
Gambar 7b. Jawaban Subjek F-19 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 1 .....................................................................319
Gambar 8b. Jawaban Subjek F-19 Dalam Melakukan Pengecekan
xv
Kembali Soal Nomor 3 ......................................................................319
Gambar 1c. Jawaban S ubjek F-31 Dalam Memamahi Soal Nomor 1 ................320
Gambar 2c. Jawaban S ubjek F-31 Dalam Memamahi Soal Nomor 3 .................320
Gambar 3c. Jawaban Subjek F-31 Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 ......................................................................322
Gambar 4c. Jawaban Subjek F-31 Dalam Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................322
Gambar 5c. Jawaban Subjek F-31 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 .....................................................................323
Gambar 6c. Jawaban Subjek F-31 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................324
Gambar 7c. Jawaban Subjek F-31 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 1 .....................................................................325
Gambar 8c. Jawaban Subjek F-31 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 3 ......................................................................325
Gambar 1d. Jawaban S ubjek F-16 Dalam Memamahi Soal Nomor 1 ................326
Gambar 2d. Jawaban S ubjek F-16 Dalam Memamahi Soal Nomor 3 .................326
Gambar 3d. Jawaban Subjek F-16 Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 ......................................................................327
Gambar 4d. Jawaban Subjek F-16 Dalam Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................327
Gambar 5d. Jawaban Subjek F-16 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 .....................................................................328
Gambar 6d. Jawaban Subjek F-16 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................328
Gambar 7d. Jawaban Subjek F-16 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 1 .....................................................................330
Gambar 8d. Jawaban Subjek F-16 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 3 ......................................................................330
Gambar 1e. Jawaban S ubjek F-03 Dalam Memamahi Soal Nomor 1 ................332
Gambar 2e. Jawaban S ubjek F-03 Dalam Memamahi Soal Nomor 3 .................332
xvi
Gambar 3e. Jawaban Subjek F-03 Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 ......................................................................334
Gambar 4e. Jawaban Subjek F-03 Dalam Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................334
Gambar 5e. Jawaban Subjek F-03 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 .....................................................................335
Gambar 6e. Jawaban Subjek F-03 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................336
Gambar 7f. Jawaban Subjek F-03 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 1 .....................................................................339
Gambar 8f. Jawaban Subjek F-03 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 3 ......................................................................339
Gambar 1 f. Jawaban S ubjek F-09 Dalam Memamahi Soal Nomor 1 .................314
Gambar 2 f. Jawaban S ubjek F-09 Dalam Memamahi Soal Nomor 3 ..................341
Gambar 3f. Jawaban Subjek F-09 Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 ......................................................................342
Gambar 4f. Jawaban Subjek F-09 Dalam Dalam Merencanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................342
Gambar 5f. Jawaban Subjek F-09 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 1 .....................................................................343
Gambar 6f. Jawaban Subjek F-09 Dalam Melaksanakan Pemecahan
Masalah Soal Nomor 3 ......................................................................343
Gambar 7f. Jawaban Subjek F-09 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 1 .....................................................................345
Gambar 8f. Jawaban Subjek F-09 Dalam Melakukan Pengecekan
Kembali Soal Nomor 3 ......................................................................345
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
A.1 Silabus ......................................................................................................171
A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen .................180
A.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Kontrol ........................200
A.4 Lembar Kerja S iswa(LKS) .........................................................................215
A.5 K isi-K isi Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ..............................227
A.6 Soal Pretest dan Tes Akhir Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ...........232
A.7 Pedoman Penskoran Soal Tes Akhir ..........................................................236
A.8 Rubik Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah .........................245
A.9 K isi-K isi Skala Penilaian Adversity Qoutieny ..........................................246
A.10 Angket Adversity Qoutient ......................................................................248
A.11 Analisis Data Adversity Qoutient Kelas Eksperimen................................256
A.12 Daftar Pengelompokkan S iswa Berdasarkan AQ .....................................257
A.13 Pedoman Wawancara Kemampuan Pemecahan Masalah.........................258
B.1 Uji Validitas Soal TKPM Awal ................................................................261
B.2 Uji Reliabilitas Soal TKPM Awal.............................................................264
B.3 Daya Pembeda Soal TKPM Awal .............................................................267
B.4 Taraf Kesukaran Soal TKPM Awal ..........................................................270
B.5 Uji Validitas Soal TKPM Akhir ................................................................272
B.6 Uji Reliabilitas Soal TKPM Akhir ............................................................275
B.7 Daya Pembeda Soal TKPM Akhir ............................................................278
B.8 Taraf Kesukaran Soal TKPM Akhir..........................................................282
B.9 Kriteria Soal Yang Digunakan ..................................................................284
C.1 Daftar N ilai UTS S iswa ............................................................................288
C.2 Daftar N ilai Pretes Kelas Eksperimen dan Kontrol ..................................290
C.3 Daftar N ilai Posttes Kelas Eksperimen dan Kontrol .................................291
C.4 Uji Normalitas Populasi ............................................................................292
xviii
C.5 Uji Homogenitas Populasi.........................................................................293
C.6 Uji Normalitas Data P retest ......................................................................294
C.7 Uji Homogenitas Data Prasyarat P retest .................................................295
C.8 Uji Kesamaan Rata-Rata Data Pretest.......................................................296
C.9 Uji Normalitas Data Posttes .....................................................................297
C.10 Uji Homogenitas Data Posttes .................................................................298
C.11 Uji Ketuntasan Individual ........................................................................299
C.12 Uji Ketuntasan K lasikal ...........................................................................301
C.13 Uji Beda Proporsi .....................................................................................303
C.14 Uji Beda Rata-Rata...................................................................................306
C.15 Uji Peningkatan Pembelajaran .................................................................308
C.16 Keabsahan Data ........................................................................................312
D.1 Foto Kegiatan Pembelajaran ....................................................................363
D.2 Lembar Observasi Guru dan S iswa ..........................................................365
D.3 Rekaman Wawancara ...............................................................................373
D.4 Lembar Validasi Angket ..........................................................................375
D.5 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian....................................382
xix
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bloom, Madaus, & Hasting (dalam Hartanto & Mariani, 2019)
menyatakan bahwa pendidikan adalah proses untuk mengubah siswa. Artinya, ada
sebuah proses dalam pendidikan yang harus dilalui siswa. Salah satunya adalah
pendidikan matematika. Matematika merupakan ilmu yang menekankan
pentingnya peningkatan kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika, salah
satunya adalah peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Pemecahan masalah
merupakan salah satu tujuan pembelajaran yang dimana siswa diharapkan mampu
memahami masalah, merencanakan strategi atau langkah pemecahan masalah,
melakukan strategi pemecahan masalah, serta memeriksa kebenaran jawaban dan
hasil yang diperoleh. Kemampuan pemecahan masalah juga menentukan tingkat
kecerdasan seseorang, selain itu kegiatan pemecahan masalah diharapkan akan
menumbuhkan sikap kreatif siswa dalam pembelajaran matematika, sehingga
suasana pembelajaran akan lebih meningkatkan kemampuan siswa.
Senthamarai, Sivapragasam & Senthilkumar (2016), mengemukakan
bahwa pemecahan masalah adalah jantung dalam studi matematika. Pentingnya
mengajar matematika dan pembelajaran matematika untuk mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah di matematika dan untuk menemukan solusi
masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan pemecahan masalah
merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dikuasai dalam
1
2
pembelajaran matematika (Kurniawati, 2017) dan kemampuan pemecahan
masalah matematika peserta didik sangat penting untuk dikembangkan (Fajariah,
Dwidayati, dan Cahyono, 2017). Maka dari itu, salah satu tugas seorang guru
ialah mampu mengembangkan kemampuan kognitif siswa dalam belajar
matematika, salah satunya adalah kemampuan pemecahan masalah. Menurut
Runisah, Herman, & Dahlan (2017) bahwa guru jika tidak mengetahui prosesnya
dan kemampuan kognitif siswanya, maka kemampuan siswa tidak akan
meningkat. Hal ini diperkuat oleh Ulfa ( 2016), untuk menciptakan manusia yang
berkualitas maka guru harus mempersiapkan pembelajaran yang berkualitas yaitu
dengan menggunakan model pembelajaran yang mengarahkan keaktifan peserta
didik. Agustina dkk (dalam Riau & Junaedi, 2016) dalam penelitianya juga
menjelaskan bahwa Proses berpikir dalam pemecahan masalah perlu mendapat
perhatian guru untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah baik dalam konteks dunia nyata maupun konteks
matematika.
Kemampuan pemecahan masalah menjadi tujuan utama di antara beberapa
tujuan belajar matematika. Holmes (1995:35) Orang yang mampu memecahkan
masalah akan mampu berpacu dengan kebutuhan hidupnya, menjadi pekerja yang
lebih produktif, dan memahami isu-isu kompleks yang berkaitan dengan
masyarakat global. Selain itu Branca (dalam Sayful, 2012) mengatakan bahwa
kemampuan pemecahan masalah adalah jantungnya matematika. Russefendi
(2006) juga mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah amat penting
dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang kemudian hari akan mendalami
3
matematiika, melainkan juga mereka yang akan menerapkan dalam studi lain dan
dalam kehidupan sehari-hari. NCTM (dalam Senthamarai, Sivapragasam &
Senthilkumar. 2016 ) menyatakan bahwa sikap siswa dalam menghadapi
matematika dan kepercayaan dapat mempengaruhi prestasi mereka dalam
matematika. Sebagai Faktanya, pengalaman dalam memecahkan masalah subjek
sangat penting untuk mengembangkan keterampilan berpikir siswa dan membantu
mereka mendapatkan lebih banyak keterampilan dalam menyelesaikan masalah di
kehidupan sehari-hari.
Menurut NCTM (2000) proses berfikir matematika dalam pembelajaran
matematika meliputi lima kompetensi standar utama yaitu kemampuan
pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi, kemampuan
komunikasi dan kemampuan representasi (Hesti & Styowati, 2016). Rumapea
(2018) menjelaskan bahwa Pentingnya peranan pendidikan matematika tidak
sejalan dengan hasil belajar matematika siswa yang beberapa tahun terakhir
mengalami kemunduran. hal ini terlihat pada Rendahnya kemampuan pemecahan
masalah siswa di Indonesia dapat dilihat dari hasil riset PISA (Program for
International Student Assesment), studi yang memfokuskan pada pemecahan
masalah bacaan, matematika, dan IPA. Hasil studi menurut the program for
international student assessment (PISA) 2015 yang melibatkan dan mengukur
kemampuan pemecahan masalah, menyatakan bahwa kemampuan anak didik di
indonesia berada pada level rendah dengan skor 386, peringkat 63 dari 70 negara
peserta sedangkan skor rata-rata internasional 490 (OECD, 2016). Faktor yang
menjadi penyebab dari rendahnya prestasi siswa Indonesia dalam PISA yaitu
4
lemahnya kemampuan pemecahan masalah pada soal nonroutine atau level tinggi.
Soal yang diujikan dalam PISA terdiri atas 6 level (level 1 terendah dan level 6
tertinggi) dan soal-soal yang diujikan merupakan soal kontekstual,
permasalahannya diambil dari dunia nyata. Sedangkan siswa di Indonesia hanya
terbiasa dengan soal-soal rutin pada level 1 dan level 2. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa Indonesia
masih tergolong rendah (surya dan hararap, 2017).
Selain itu, Hasil riset TIMMS (Trends in International Mathematics and
Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada rangking amat rendah
dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan
pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur, dan pemecahan masalah dan
(4) melakukan investigasi (Supinah dan Widdiharto, 2015 : 32).
Berdasarkan hasil nilai ulangan matematika siswa masih banyak yang
dibawah KKM yaitu 72, ini terlihat dari hasil nilai UTS semester Gasal bahwa
rata-rata nilai matematika pada kelas VIII ialah 62,6 dan 65% siswa belum dapat
mengerjakan soal dengan benar dan tepat. Dari hasil observasi yang dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah masih
rendah, bahkan masih banyak siswa yang kesulitan dalam memahami soal.
Contoh salah satu pekerjaan siswa dapat dilihat pada soal nomor 3 dan nomor 4
sebagai berikut.
5
Gambar 1. Contoh Hasil Pe kerjaan Siswa
Gambar diatas menjelaskan bahwa masih ada siswa yang belum mampu
memahami soal dengan tepat sehingga siswa belum mampu menuliskan informasi
yang diketahui maupun yang ditanyakan. Selain itu siswa juga belum mampu
menggambarkan soal ke bentuk geometri atau sketsa gambar yang sesuai dengan
soal, sehingga akan menghambat proses perhitungan. Hal ini selaras dengan hasil
peneelitian dari Mulhamah & Putrawangsa (2016) bahwa pada studi awal Masih
banyak ditemukan di kalangan siswa SMP yang memiliki pola pikir yang
keliru, kurang kritis, dan kurang memiliki kemampuan menyelesaikan
masalah, salah satu penyebab masalah tersebut adalah karena siswa lebih senang
menyelesaikan masalah dengan cara singkat.
Kemampuan individu dalam menghadapi kesulitan ini disebut adversity
quotient (AQ). Pada saat pembelajaran, AQ siswa berperan penting dalam
kegiatan pembelajaran matematika, khususnya ketika siswa dituntut untuk
mengerahkan kemampuan pemecahan masalah dalam menghadapi kesulitan dan
hambatan ketika belajar matematika (Hakim, 2018). Tingkat kemampuan
pemecahan siswa berbeda-beda bergantung tingkat kesulitan setiap siswa, ada
siswa yang kesulitan pada bahasasan materi matematika tertentu, ada juga siswa
yang kesulitan pada semua materi matematika, sehingga berpengaruh pada
6
kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika. Disinilah AQ sangat
dibutuhkan dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika.
Adapun hubungan dan pengaruh kemampuan pemecahan masalah pada
adversity qoutient dilihat pada penelitian yang terdahulu yaitu 1) Afri (2018 : 48)
Keberhasilan siswa dalam memecahkan masalah dipengaruhi oleh cara siswa
merespon kesulitan yang dihadapi saat mencari solusi dari masalah tersebut, 2)
Penelitian yang dilakukan oleh Frimadani (2018) di dapat hasil bahwa ada
korelasi positif antara kemampuan pemahaman konsep dan adversity quotient
dengan kemampuan pemecahan masalah matematika ditunjukan oleh koefisien
regresi R = 0,500. Dengan koefisien determinasi R = 0,250 berarti pengaruh
pemahaman konsep dan adversity quotient dengan kemampuan pemecahan
masalah hanya sebesar 25% dan 75 % dipengaruhi faktor lain, 3) Menurut
Merianah (2019) Adversity quotient berpengaruh langsung terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika dengan nilai koefisien jalur dengan 0,456,
= 5,247 dan Sig. = 0,000, sedangkan nilai t tabel = 2,001 pada 𝛼 = 0,05 dengan derajat
kebebasan. Simpulan ini memperkuat teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi daya
juang (adversity quotient) yang dimiliki oleh seorang siswa, maka akan semakin tinggi
pula kemampuan pemecahan masalah matematika yang terdapat dalam diri siswa.
Adversity Qoutient (AQ) merupakan kecerdasan seseorang dalam
menghadapi kesulitan atau permasalahan. AQ membantu meningkatkan potensi
diri peserta didik. Kecerdasan ini berbicara tentang bagaimana cara pandang
manusia tersebut memandang sebuah kesulitan dan cara mereka keluar dari
kesulitan yang dihadapi. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa setiap manusia
memiliki kecerdasan adversity yang berbeda-beda. Siswa yang memiliki AQ
7
tinggi tentu lebih mampu mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi. Namun, bagi
siswa dengan tingkat AQ lebih rendah cenderung menganggap kesulitan sebagai
akhir dari perjuangan dan menyebabkan motivasi berprestasi siswa menjadi
rendah.
Guru perlu memiliki kemampuan dalam menggunakan metode
pembelajaran yang variatif yang lebih banyak melibatkan peserta didik dalam
kegiatan pembelajaran dan guru lebih dituntut untuk berperan sebagai fasilitator
yang membantu peserta didik memanfaatkan sumber belajar yang tersedia
(Agustyarini & Jailani, 2015). Menurut Kariman, et all (2019) salah satu cara
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran adalah dengan memilih strategi yang
sesuai dengan kesulitan siswa. Seorang guru harus bisa menggunakan strategi atau
model pembelajaran yang cocok untuk kebutuhan siswa dalam belajar. Sehingga,
pemeilihan model yang tepat sangatlah penting. Selain itu, Surya, Putri, &
Mukhtar (2017) mengatakan bahwa salah satu penyebab rendahnya kemampuan
siswa dalam memecahkan masalah terletak pada model pembelajaran. Jelas bahwa
penggunaan suatu model sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah siswa dalam belajar matematika.
Menurut Sumartini (2016) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah siswa, perlu didukung oleh model pembelajaran yang tepat. Salah satu
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah adalah model
guided discovery learning. Hal ini sesuai dengan pendapat Leo Adhar (2012)
bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan representasi dan
8
pemecahan masalah memberikan hasil yang baik dan menumbuhkan sikap positif
terhadap matematika dengan model pembelajaran guided discovery learning.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di
atas yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang inovatif guided
discovery learning karena menurut Sutrisno (2012:212) mengemukakan bahwa
pembelajaran dengan penemuan terbimbing memberikan kesempatan pada siswa
untuk menyusun, memproses, mengorganisir suatu data yang diberikan guru.
Melalui proses penemuan ini, siswa dituntut untuk menggunakan ide dan
pemahaman yang telah dimiliki untuk menemukan sesuatu yang baru, sehingga
pemahaman konsep matematis siswa dapat meningkat. Adanya perbaikan tersebut
diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa sehingga kemampuan
pemecahan masalah siswa akan lebih baik.
Dengan demikian, pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing
memungkinkan siswa memahami apa yang dipelajari dengan baik. Penerapan
model pembelajaran guided discovery learning akan lebih efektif digunakan
apabila diterapkan dengan mengkolaborasikan dengan beberapa pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dari permasalahan yang dihadapi
siswa.
Sutrisno & Retnawati (2017), mengatakan bahwa Suasana dalam proses
belajar mengajar menjadi peran penting dalam usaha menyampaikan materi agar
bisa diterima dengan baik oleh siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi, dan prestasi, Jika seorang guru tidak bijaksana dalam
memilih pendekatan yang tepat, maka siswa tidak dapat merasakan suasana
9
belajar yang nyaman dan kondusif dalam menerima materi. Salah satu pendekatan
yang bisa digunakan adalah pendekatan metakognitif. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hutauruk (2016) bahwa pendekatan pembelajaran yang dianggap sesuai
dan tepat untuk kegiatan pemecahan masalah adalah pendekatan metakognitif.
Metakognisi siswa dapat dikembangkan melalui penerapan pendekatan
metakognitif. O’Neil & Brown (dalam Arsyad, 2016: 35) mengemukakan
pengertian metakognisi sebagai proses seseorang berpikir tentang berpikir mereka
sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah.
Mengajarkan kesadaran diri pada siswa merupakan dasar dari pendekatan
metakognitif. Dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif, guru
membimbing peserta didik untuk merencanakan, memantau, serta mengevaluasi
pekerjaan mereka sendiri. Hal ini penting untuk membuat peserta didik
menyadari apa yang harus mereka lakukan saat melakukan suatu kesalahan.
Dengan demikian kemampuan pemecahan masalah siswa akan lebih berkembang
(Chrissanti & Widjajanti, 2015)
Penyebab kurang optimalnya pencapaian kemampuan pemecahan masalah
adalah masih kurangnya proses melibatkan kesadaran siswa dalam belajar
matematika. Akibatnya proses belajar siswa hanya menggunakan teknik hafalan
tanpa adanya usaha dalam memahami materi. Pendekatan metakognisis dapat
membantu siswa dalam melatih kemandirian untuk belajar, dan memungkinkan
siswa untuk menyadari kekurangan dan kelebihannya, sehingga dapat melakukan
kontrol terhadap pengetahuannya.
10
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin
pesat pada jaman sekarang, guru perlu mengambil peranan penting untuk
memanfaatkannya dalam pembelajaran. Penggunaan internet oleh siswa
hendaknya diarahkan ke hal yang positif dan bermanfaat, salah satunya adalah
yang dapat menunjang pendidikan mereka. Selain itu, guru harus bisa
mengaplikasikan metode-metode belajar dalam media yang digunakan agar siswa
mampu menyerap materi lebih baik. Maka dengan hal ini perlunya ada inovasi-
inovasi dalam rangka memanfaatkan teknologi komputer dan jaringan internet
dalam pembelajaran matematika agar diharapkan pembelajaran matematika lebih
efektif (Nugroho,Putra, Putra , & Syazali, 2017).
Pembelajaran berbantuan internet atau e-learning dapat digunakan untuk
menciptakan suasana pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Hal ini
diperkuat dengan hasil penelitian oleh Banitt (2013), Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa dengan menggunakan teknologi mampu meningkatkan motivasi siswa
. Salah satu media berbantuan internet yang merupakan perpaduan antara Social Media
dan Learning Management System (LMS) adalah schoology. Schoology membantu
guru dalam membuka kesempatan komunikasi yang luas kepada siswa agar siswa
dapat lebih mudah untuk mengambil peran dalam diskusi dan kerja sama dalam
kelompok. Selain itu, siswa dapat mendapatkan materi dan latihan soal yang ada
di schoology yang sudah disiapkan guru baik di sekolah maupun di rumah dengan
menggunakan laptop ataupun tel epon genggam secara mandiri (Maskur, Much.
2016)
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti bermaksud
mengadakan penelitian tentang “ Kemampuan Pemecahan Masalah Ditinjau Dari
11
Adversity Qoutient Pada Model Guided Discovery Learning Pendekatan
Metakognitif Berbantuan Schoology”.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari beberapa permasalahan yang disebutkan dalam latar belakang, dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.
1.2.1 Kemampuan pemecahan masalah siswa masih rendah, hal ini berdasarkan
hasil tes yang dikeluarkan oleh PISA tahun 2012 dan 2015. Berdasarkan
hasil observasi dan wawancara dengan guru matematika di SMP Negeri 13
Semarang, didapatkan informasi bahwa kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah matematika belum maksimal. Kesulitan tersebut
dapat dilihat dari kesalahan – kesalahan dalam menyelesaikan soal
matematika yang diberikan oleh guru.
1.2.2 Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah siswa adalah melakukan inovasi
pembelajaran yaitu diperlukannya model pembelajaran yang dapat melatih
kemampuan pemecahan masalah siswa.
1.2.3 AQ siswa berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam memecahkan
suatu masalah, kategori AQ yang berbeda akan menghasilkan kemampuan
pemecahan masalah yang berbeda pula.
1.2.4 Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam kegiatan pembelajaran.
Schoology merupakan salah satu e-learning berbantuan jejaring sosial
yang belum familiar digunakan dan di duga dapat menciptakan suasana
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
12
1.3 Cakupan Masalah
Keberhasilan penelitian tidak terletak pada luasnya masalah melainkan
pada kedalamannya, untuk mencapai hal tersebut maka perlu ditetapkan cakupan
masalah penelitian. Cakupan masalah penelitian diuraikan sebagai berikut:
1.3.1 Ruang Lingkup Masalah
Penelitian akan menerapkan model Guided Discovery Learning dengan
pendekatan mtekognisi siswa berbantuan schoology untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan matematika ditinjau dari Adversity Qoutient.
1.3.2 Subjek Penelitian
Subyek penelitian atau populasinya adalah siswa kelas VIII.
1.3.3 Objek Penelitan
Objek merupakan sesuatu yang menjadi fokus masalah untuk diteliti. Objek
penelitian yang dimaksud adalah:
1.3.1.1 Pembelajaran Guided Discovery Learning dengan pendekatan mtekognisi
siswa.
1.3.1.2 Kemampuan kemampuan pemecahan matematika materi statistika.
1.3.1.3 Media Schoology.
1.4 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Bagaimana keefektifan pembelajaran model Guided Discovery learning
pendekatan metakognitif berbantuan Schoology terhadap kemampuan
pemecahan masalah siswa ?
13
1.4.2 Bagaimana kemampuan pemecahan masalah ditinjau dari Adversity
Qoutient (AQ) peserta didik pada model Guided Discovery learning
dengan pendekatan metakognitif berbantuan Schoology?
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis keefektifan pembelajaran model Guided Discovery Learning
dengan pendekatan metakognitif berbantuan Schoology terhadap
kemampuan pemecahan masalah.
2. Menganalisis kemampuan pemecahan masalah siswa ditinjau dari
Adversity Qoutient (AQ) pada pembelajaran Guided Discovery Learning
dengan pendekatan metakognitif berbantuan Schoology.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan diharapkan memberikan manfaat teoritis dan
praktis sebagai berikut.
1.6.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diharapkan akan menghasilkan
tesis mengenai kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada
pembelajaran Guided Discovery Learning pendekatan metakognisi berbantuan
Schoology yang ditinjau dari AQ siswa.
1.6.2 Manfaat Praktis
1.6.2.1 Bagi Siswa
14
Penelitian ini dapat memberikan kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan representasi matematis melalui
pembelajaran guided discovery learning dengan pendekatan metakognitif.
1.6.2.2 Bagi Guru
Penelitian ini dapat memberikan referensi mengenai pembelajaran
yang mengembangkan kemampuan representasi matematis sehingga dapat
menjadi bahan masukan memperbaiki cara mengajar serta
mengembangkan kreatifitas dalam melaksanakan proses pembelajaran.
1.6.2.3 Bagi Sekolah
Bagi sekolah, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk
melakukan inovasi pembelajaran matematika serta peningkatan kualitas
dan pengembangan sistem pembelajaran di sekolah dalam rangka
pengembangan representasi matematis siswa.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
1.1 Kajian Pustaka
1.1.1 Efektifitas pembelajaran
Nuriyatin, S., Hartono, H., (2018), Pembelajaran yang baik adalah yang
dapat memaksimalkan pengembangan pengalaman peserta didik dengan terlibat
aktif dalam kegiatan pembelajaran. Keefektifan pembelajaran juga merupakan
salah satu tolak ukur dalam pembelajaran. Menurut Yusuf (2018) Efektif adalah
perubahan yang membawa penbaruh, makna dan manfaat tertentu. Pembelajaran
dikatakan efektif jika ditandai dengan sifatnnya yang menekankan pada
pemberdayaan peserta didik secara aktif. Yusuf (2018) memaparkan lima
indikator pembelajaran efektif, yaitu : (1) pengelolaan pelaksanaan pembelajaran,
(2) proses komunikatif, (3) respond peserta didik, (4) aktifitas belajar, (5) hasil
belajar. Selain itu, Hamalik (dalam Rohmawati, 2015) menyatakan bahwa
pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan
belajar sendiri atau melakukan aktivitas seluas-luasnya kepada siswa untuk
belajar. John Carroll (Supardi, 2013) dalam bukunya berjudul “A Model of School
Learning”, menyatakan bahwa Instructional Effectiveness tergantung pada lima
faktor: 1) Attitude (sikap) ;2) Ability to Understand Instruction (kemampuan
untuk memahami pembelajaran) ;3) Perseverance (ketekunanan); 4) Opportunity
(peluang) ; 5) Quality of Instruction (kualitas pembelajaran).
Dari berbagai pendapat mengenai efektivitas pembelajaran, peneliti
mempertimbangkan ketercapaian dan aplikatif, maka dalam penelitian ini
15
16
dikatakan mempunyai kualitas dalam pembelajaran jika : 1) Rata – rata nilai
kemampuan pemecahan masalah siswa pada pembelajaran guided discovery
learning dengan pendekatan metakognisi berbantuan schoology lebih dari batas
tuntas aktual yaitu 60. 2) Proporsi ketuntasan siswa yang dikenai model guided
discovery learning dengan pendekatan metakognisis berbantuan schoology
melampaui 75%, 3) Proporsi ketuntasan kemampuan pemecahan masalah siswa
yang diajarkan dengan model guided discovery learning berpendekatan
metakognisi berbantuan schoology lebih dari kemampuan pemecahan masalah
siswa yang diajarkan dengan pembelajaran problem based learning – scientific, 4
) Rata – rata kemampuan pemecahan masalah siswa siswa pada kelas dengan
model guided discovery learning berpendekatan metakognisi berbantuan
schoology lebih dari rata – rata kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa pada kelas dengan pembelajaran problem based learning – scientific, 5)
Terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa pada pembelajaran
model guided discovery learning berpendekatan metakognisi berbantuan
schoology.
Dalam penelitian ini batas tuntas minimal ditentukan nilai rata-rata aktual
yang dicapai oleh sekelompok siswa (Sudjana, 2016). Rumus yang digunakan
adalah , dengan adalah rata-rata nilai kemamapuan pemecahan
masalah pada kelompok siswa eksperimen. Dengan demikian pembelajaran
dikatakan efektif bila semua indikator tersebut dalam kategori minimal baik.
17
1.1.2 Teori Belajar Yang Mendukung
Ada beberapa teori belajar yang menjadi dasar penggunaan model
pembelajaran discovery learning menggunakan pendekatan metakognisi siswa
dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut.
1.1.2.1 Teori perkembangan kognitif Jean Piaget
Menurut Denise Kay and Jonathan kibble (2016 : 17 - 26) Teori belajar
kognitif merupakan proses belajar mental yang dimana siswa menerima,
mengkode, menyimpan, dan mengingat informasi. Peserta didik menjadi lebih
aktif karena mereka harus memperhatikan dan berusaha untuk mempertahankan
dan mereproduksi pengetahuan dan keterampilan mereka.
Teori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu teori yang
menjelasakan bagaimana anak beradaptasi dengan dan menginterpretasikan objek
dan kejadian-kejadian sekitarnya. Piaget memandang bahwa siswa memainkan
peran aktif dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas. Artinya siswa
tidak menerima informasi secara langsung. Perkembangan kognitif merupakan
pertumbuhan berfikir logis dari masa bayi hingga dewasa, menurut Piaget
perkembangan yang berlangs ung melalui empat tahap, yaitu:
Tabel 2.1 Tahap- Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap Perkiraan usisa Keterangan
Sensori-motor 0 – 1,5 tahun Anak mulai berinteraksi dengan
lingkungan
Pra–
operasional
1,5 – 6 tahun Anak mulai menggunakan simbol –
simbol yang menggambarkan objek
yang ada di sekitarnya.
18
Operasional
Konkrit
6 – 12 tahun Anak mampu berfikir logis. Mampu
memperhatikan lebih dari satu aspek
sekaligus dan dapat menghubungkan
aspek satu dengan yang lain. Tetapi
belum mampu berfikir abstrak.
Operasional
Formal
12 tahun keatas Anak mampu berfikir abstrak dan
dapat menganalisis masalah secara
ilmiah dan mampu menyelesaikan
masalah.
Fatima (2015 : 32)
Teori piaget dianggap sangat penting bagi guru matematika agar dapat
mengetahui tingkatan kemampuan kognitif siswa-siswanya, agar guru dapat
memilih metode, teknik atau model pembelajaran yang tepat.
1.1.2.2 Teori Kontruktivis me sosial Vygotsky
Konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan eksternal
yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar. Utami (2016 :8 )
Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks
sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar. Inti teori Vygotsky adalah
menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky,
funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam
konteks budaya.
19
Ada dua istilah penting dalam teori Vygotsky (Utami, 2016 : 8), yaitu
Zone of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding. Zona of proximal
development merupakan rentang antara tingkat perkembangan sesungguhnya
(kemampuan pemecahan masalah tanpa melibatkan bantuan orang lain) dan
tingkat perkembangan potensial (kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih
mampu). Selain itu, istilah penting dari Vygotsky adalah scaffolding, berarti
memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan
pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke
dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru
berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan
memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan
keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer yang
mengelola sumber belajar, serta sebagai rewarder yang memberikan penghargaan
pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang
lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya, siswalah yang dapat
menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu pengetahuan.
Menurut Artiani (2016 : 20) prinsip utama pada teori belajar Vygotsky adalah
bagian kegiatan yang pembelajarannya melalui kerja kelompok. Melalui kegiatan
20
kelompok, maka beberapa penemuan dapat dikumpilkan kemudian
digeneralisasikan dan disimpulkan bersama dalam kelompok.
Apabila siswa bersama kelompok mengalami kesulitan dalam kegiatan
pemecahan masalah, guru memberikan arahan dan bimbingan, sehingga setiap
siswa bisa berkembang secara maksimal dalam zona perkembangan proksimal
masing-masing. Penelitian ini menggunakan model guided discovery learning
atau penemuan terbimbing, yang dimana guru memberikan bantuan dan
bimbingan kecil kepada siswa dalam kegiatan pemecahan masalah matematika.
Hal ini sejalan dengan konsep scaffolding dalam teori Vygotsky
1.1.2.3 Teori belajar Ausubel
Menurut Ausubel (dalam Trianto, 2009) agar terjadi belajar bermakna,
konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang
sudah ada dalam struktur kognitif siswa. Belajar bermakna ini dapat pula terjadi
apabila siswa secara langsung menemukan rumus-rumus dan konsep dari suatu
materi. Pembelajaran Bermakna terjadi jika suatu proses dikaitkannya informasi
baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang, selanjutnya bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk
mengasimilasikan pengertian baru pada konsep-konsep yang relevan yang sudah
ada dalam struktur kognitif, maka akan terjadi belajar hafalan. Proses belajar
bermakna terdiri dari dua proses yaitu proses penerimaan dan proses penerimaan
dan proses penemuan (Ahmad : 2016). Ausubel memisahkan antara belajar
bermakna dengan belajar menghafal. Ketika seorang peserta didik melakukan
21
belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan menguasai bahan
yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna
ini terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur
kognitif yang ada pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas,
kejelasan dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh
individu. Teori belajar bermakna Ausubel menuntut kemampuan guru untuk
memahami pengetahuan dasar yang telah dimiliki siswa. Hal ini diperlukan
karena proses asimilasi pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan
pengetahuan baru yang diperoleh akan berjalan baik jika siswa memiliki
pengetahuan awal yang cukup.
Teori belajar ini sejalan dengan model pembelajaran discovery learning
dan pendekatan metakognisi siswa. Metakognitif yang diterapkan dalam
pembelajaran matematika memberikan siswa kesempatan untuk melaksanakan
kegiatan metakognitif yaitu merencanakan, mengontrol, dan merefleksi
(mengevaluasi) seluruh proses kognitif (berpikir) yang terjadi selama
pembelajaran sehingga menjadikan pembelajaran menjadi bermakna. Selain itu,
toeri Ausubel memandang belajar berpusat pada siswa, yang dimana sejalan
dengan kemampuan yang akan diukur yaitu kemampuan pemecahan masalah,
belajar matematika menjadi tidak bermakna manakala hanya sekedar hafalan
tanpa ada kegiatan pemecahan masalah, siswa siswa dapat terlibat aktif melalui
penyampaian ide-ide maupun gagasan-gasannya.
22
1.1.2.4 Teori belajar Bruner
Teori belajar lain yang mendukung pembelajaran dengan menggunakan
model Guided Discovery Learning adalah teori Bruner. Dasar ide Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam
belajar di kelas. Pembelajaran brunner ( Noer dan Asri, 2015 : 891) terdapat 3
tahap proses belajar yaitu (1) enactive (anak terlihat langsung dalam
memanipulasi objek), (2) iconic (anak memanipulasi objek tidak langsung seperti
pada enactive), (3) symbolic (anak memanipulasi simbol).
Menurut Bruner ( Hawa, 2014 : 12) metode belajar merupakan faktor yang
menentukan dalam pembelajaran dibandingkan dengan pemerolehan khusus.
Metode yang sangat didukungnya yaitu metode penemuan (discovery). Discovery
learning dari Buner, merupakan model pengajaran yang dikembangkan
berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip- prinsip
konstruktivis. Dalam teori Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar yang
di mana siswa dihadapkan dengan suatu masalah sehingga siswa dapat mencari
jalan pemecahan. Siswa disarakan untuk menemukan sesuatu, merumuskan suatu
hipotesa, dan menarik suatu kesimpulan sendiri. Bruner (dalam Sulistiyoningsih,
Kartono, & Mulyono, 2015) berpendapat bahwa belajar matematika siswa harus
menemukan sendiri, menemukan disini terutama adalah menemukan lagi
(discovery) bukan menemukan yang sama sekali baru (invention).
Discovery learning yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang
terjadi bila siswa tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, akan
tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri (Yanuarto, 2015). Sebagaimana
23
pendapat Bruner, bahwa: “Discovery learning can be defined as the learning that
takes place when the student is not presented with subject matter in the final form,
but rather is required to organize it him self”
Pernyatan bruner diatas mendukung bahwa pembelajaran akan lebih
bermakna jika pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing, yang dimana
akan menguatkan siswa dalam pemahaman mengenai suatu konsep baru yang
sebelumnya belum pernah diketahui.
1.1.3 Kemampuan Pemecahan Masalah
Kata “Masalah” sering didengar dalam kehidupan sehari-hari. Kriteria
masalah yang baik dalam pembelajaran matematika adalah dapat mengembangkan
siswa mengeksplor ide-ide matematika dan memelihara ketekunan siswa dalam
menyelesaikan masalah. Soal matematika akan menjadi sebuah masalah ketika
tidak bisa langsung mendapat penyelesaian. Masalah dalam matematika sering
disebut juga soal-soal yang harus di jawab dan dipecahkan oleh siswa, dalam
permasalahan matematika beberapa bentuk diantaranya soal rutin dan soal dan
soal non rutin. Soal rutin ialah soal yang sering diterapkan dalam kelas dan
langsung mendapatkan penyelesaian. Berbeda dengan soal non rutin, soal non
rutin memerlukan pemikiran yang mendalam untuk bisa mendapat penyelesaian.
Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan yang digunakan
ketika menyelesaikan soal matematika (Ayubi, Erwanuddin & Bernard, 2018).
Syah (dalam Millah, Waluya & Walid, 2018) Pada dasarnya, belajar pemecahan
masalah adalah belajar untuk menggunakan metode ilmiah atau berpikir secara
sistematis, secara logis, teratur, dan menyeluruh. Tujuannya adalah untuk
24
memperoleh kognitif kemampuan dan keterampilan untuk dipecahkan masalah
secara rasional, lurus ke depan dan tuntas. Warli & Fidiana (dalam Purwati,
Rochmad & Wuryanto, 2018) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan
masalah menjadi bagian penting dari belajar dan harus dikembangkan.
Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa, sanggup)
melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan berarti kesanggupan, kecakapan,
kekuatan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 552 - 553).
Menurut Stephen, dkk (dalam Syahharuddin, 2016) kemampuan (ability) berarti
kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu
pekerjaan. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah
kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam menguasai suatu keahlian
dan digunakan untuk mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan.
Sedangkan pemecahan masalah merupakan aktivitas yang sangat penting dalam
pembelajaran matematika.
Polya (1985) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai satu usaha
mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan untuk segera
dicapai. Hal ini akan menuntut siswa untuk meningkatkan pola pikir siswa lebih
kreatif dalam menciptakan ide-ide atau teknik dalam pemecahan masalah. NCTM
(2000:52) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai satu kesatuan dalam
pembelajaran matematika dan tidak bisa dipisahkan dengan program yang
terdapat dalam ilmu matematika.
Branca (Effendi, 2012:2) menyatakan “kemampuan pemecahan masalah
adalah jantungnya matematika”. Selanjutnya, Pehkonen (Wardani, 2010:35)
25
mengemukakan alasan-alasan yang diberikan dalam literatur matematika untuk
mengajarkan pemecahan masalah diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu:
a. Pemecahan masalah mengembangkan keterampilan kognitif umum.
b. Pemecahan masalah mengembangkan kreativitas.
c. Pemecahan masalah adalah bagian dari proses aplikasi matematika.
d. Pemecahan masalah memotivasi siswa untuk mempelajari matematika.
Beberapa indikator kemampuan pemecahan masalah matematika oleh
NCTM (dalam Hartono, et all, 2012) adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi
elemen yang diketahui, diminta, dan kecukupan elemen yang diperlukan; (2)
merumuskan masalah matematika atau untuk mengembangkan model
matematika; (3) menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah (dan jenis
masalah baru) di dalam atau di luar matematika; (4) menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil sesuai masalah asal; (5) menggunakan matematika
secara signifikan.
Polya (1973) menyatakan terdapat empat tahap pemecahan masalah, yaitu
memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, melaksanakan
perencanaan penyelesaian masalah, dan melihat kembali penyelesaian. Tahapan
tersebut secara rinci adalah sebagai berikut.
1. Memahami masalah
Pada tahap ini, siswa perlu mengidentifikasi masalah agar siswa dapat
memahami masalah matematika yang dihadapi dan dapat menentukan rancangan
penyelesaian untuk masalah tersebut. Menururt Martion (2017) Memahami
masalah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut 1) Memahami secara
26
berulang masalah tersebut. Memahami kata demi kata dan kalimat demi kalimat,
2) Mengidentifikasi apa yang diketahui dari masalah tersebut, 3) Mengidentifikasi
apa yang hendak dicari, 4) Mengabaikan hal-hal yang tidak relevan dengan
permasalahan, 5) Tidak menambahkan hal-hal yang tidak ada sehingga
permasalahn menjadi berbeda dengan masalah yang dihadapi.
2. Menyusun perencanaan penyelesaian masalah
Yang dimaksud perencanaan ini ialah sekumpulan kegaitan dan pemutusan
selanjutnya, yang dimana siswa tahu langkah apa yang harus diambil dan
bagaimana cara menyelesaikan permasalahan. Perencaan ini bersifat kreatif, pada
kegiatan ini siswa dituntut untuk kreatif dalam memilih perencanaan dalam
penyelesaian masalah, selain itu siswa perlu mengaitkan antara masalah dengan
pengetahuan yang dimiliki siswa. Kekreatifan siswa dalam memecahkan masalah
tergantung pada pengalaman siswa. Pada umumnya, semakin bervariasi
pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun
rencana penyelesaian masalah.
3. Melaksanakan perencanaan penyelesaian masalah
Siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana penyelesaian, siswa
harus yakin bahwa setiap langkah sudah benar.
4. Melihat kembali penyelesaian
Pada tahap ini, siswa melakukan pengecekan ulang terhadap penyelesaian
yang mereka lakukan, untuk mengetahui apakah penyelesaian sudah sesuai
dengan ketentuan yang diketahui dan jawaban yang diinginkan. Menurut Martion
27
(2017) ada empat komponen untuk melihat kembali suatu penyelesaian yaitu : (1)
mengecek hasilnya ; (2) menginterprestasi jawaban yang diperoleh; (3) dan,
mengecek kembali apakah ada cara lain untuk mendapatkan penyelesaian yang
sama.
Pada penelitian ini alat yang digunakan untuk mengukur kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa adalah tes yang berbentuk essay (uraian).
Menurut Sinaga (2016) Mengukur kemampuan khususnya kemampuan
pemecahan masalah dan penalaran siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara
salah satunya dengan memberikan tes. Sedangkan Menurut Sugiman & Kusuma
(2013) bahwa cara mengukur kemampuan pemecahan matematik pada siswa SMP
dapat dilakukan dengan memberikan soal uraian untuk diselesaikan secara tuntas.
Selain itu, menurut Nana Sujana dengan tes uraian siswa dibiasakan dengan
kemampuan pemecahan masalah, mencoba merumuskan hipotesis, menyusun dan
mengekspresikan gagasannya, dan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan.
Untuk menyelesaikan masalah seseorang harus menguasai hal - hal yang telah
dipelajari sebelumnya dan kemudian menggunakan dalam situasi baru. Karena itu
masalah yang disajikan kepada peserta didik harus sesuai dengan kemampuan dan
kesiapan siswa.
Manfaat yang didapat siswa ketika mampu melakukan kegiatan
pemecahan masalah menurut Syaharuddin (2016), ialah :
a. Peserta didik akan belajar bahwa akan ada banyak cara untuk menyelesaikan
masalah suatu soal dan ada lebih dari satu solusi yang mungkin dari suatu soal.
28
b. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan membentuk nilai-nilai sosial
kerja kelompok.
c. Peserta didik berlatih untuk bernalar secara logis.
Indikator kemampuan pemecahan masalah yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan pada indikator NCTM dan tahapan pemecahan masalah
yang harus dikuasai menggunakan tahapan pemecahan masalah Polya.
Berdasarkan indikator pada NCTM, masalah yang diberikan kepada siswa disusun
sesuai dengan standar pemecahan masalah NCTM. Langkah pemecahan masalah
berdasarkan tahapan pemecahan masalah Polya dirangkum pada tabel 2.1.
Tabel 2.2. Langkah-langkah Pemecahan Masalah Polya
No Tahapan Pemecahan
Masalah Indikator
1. Memahami masalah Siswa dapat menyebutkan informasi
-informasi yang diberikan dari pertanyaan yang diajukan.
(1) Menuliskan informasi yang
diketahui (2) Menentukan pemilahan fakta-
fakta
(3) Menentukan hubungan diantara fakta-fakta
(4) Membuat Formulasi pertanyaan masalah
(5) Menuliskan gambaran/sketsa
permasalahan(jika diperlukan)
2. Membuat perencanaan
pemecahan masalah
Siswa memiliki rencana pemecahan
masalah yang ia guna serta alasan
penggunanya
(1) Menyusun rencana pemecahan
masalah berdasarkan informasi
yang telah diketahui dan
pengetahuan yang telah dimiliki.
29
(2) Memperkirakan rumus yang akan
digunakan dalam memecahkan masalah.
3. Melaksanakan rencana Siswa dapat memecahkan masalah
yang ia gunakan dengan hasil yang
benar.
(1) Menyelesaikan masalah sesuai
dengan startegi yang
direncanakan. (2) Memperoleh penyelesaian
masalah yang benar.
4. Memeriksa kembali Siswa memeriksa kembali langkah pemecahan masalah yang ia gunakan
(1) Memeriksa kembali hasil pada
setiap langkah yang dilakukan
dalam pemecahan masalah.
Kemampuan pemecahan masalah harus dimiliki siswa untuk melatih agar
terbiasa menghadapi berbagai permasalahan, baik masalah dalam matematika,
masalah dalam bidang studi lain ataupun masalah dalam kehidupan sehari-hari
yang semakin kompleks. Oleh sebab itu, kemampuan siswa untuk memecahkan
masalah matematis perlu terus dilatih sehingga ia dapat memecahkan masalah
yang ia hadapi (Effendi, 2012). Pemecahan masalah matematika merupakan
tujuan penting dalam pembelajaran matematika karena pemecahan masalah ini
menuntut siswa untuk menggunakan daya nalar, pengetahuan, ide dan konsep –
konsep matematika yang disusun bentuk bahasa matematika.
1.1.4 Adversity Qoutient (AQ)
AQ adalah Kecerdasan seseorang dalam mengatasi Kesulitan. AQ
membantu meningkatkan potensi siswa (Sunandar, M.A., Zaenuri, Dwidayati,
30
N.K., 2018). Menurut Stoltz (2000), AQ merupakan kemampuan yang dapat
meramalkan kinerja, motivasi dan kreativitas seseorang. Terdapat banyak jenis
kecerdasan yang dimiliki siswa, salah satunya adalah Adversity Quotient (AQ).
Adversity quotient merupakan kecerdasan yang mampu mengubah hambatan atau
kesulitan menjadi peluang. Kecerdasan ini berbicara tentang bagaimana cara
pandang manusia tersebut memandang sebuah kesulitan dan cara mereka keluar
dari kesulitan yang dihadapi. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa setiap
manusia memiliki kecerdasan adversity yang berbeda-beda (Leonard dan Amana,
2014).
Menurut Nurhayati dan Fajrianti (2015), adversity quotient (AQ)
merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang dianggapnya
sulit namun ia akan tetap bertahan dan berusaha untuk menyelsaikan dengan
sebaik-sebaiknya supaya menjadi individu yang memiliki kualitas baik, hal ini,
dapat terbentuk apabila didalam diri individu terdapat dimensi-dimensi yang
menyertainya seperti memiliki keyakinan dan kepercayaan diri dalam melakukan
tugas semudah atau sesulit apapun, bertanggung jawab dan fokus dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan serta memiliki jiwa kreatif dalam
penyelesaian tugas tersebut, supaya tidak monoton dan membosankan. Selain itu,
AQ yang dimiliki siswa tidak berpengaruh pada gender, hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nikam, V.B., & Uplane, M.M. (2013) yang
membandingkan AQ siswa usia 13-15, bahwa tidak ada Perbedaan AQ antara
anak perempuan dan anak laki-laki dalam kecerdasan, kemampuan mengambil
keputusan dan kemampuan mengambil risiko.
31
Menurut Vibhawari (dalam Martion, 2017) AQ menyatakan bahwa aspek -
aspek dari adversity quotient (AQ) mencakup beberapa komponen yang kemudian
disingkat menjadi CO2RE, antara lain:
1) Kendali atau control (C)
Kontrol adalah sejauh mana seseorang merasa mereka dapat
mempengaruhi sesuatu hal , apa pun yang terjadi selanjutnya. Mengukur derajat
kendali siswa dalam kedaan yang kurang baik atau dalam kesulitan. Semakin
tinggi skor pada dimensi control (C) semakin besar kemungkinannya siswa
memiliki tingkat kendali yang kuat atas masalah yang dihadapi. Sebaliknya
semakin rendah skor pada dimensi control (C) semakin besar kemungkinan
seseorang merasa bahwa masalah yang dihadapi di luar kendalinya.
2) Pengakuan atau origin and ownership (O2)
Komponen ownership digabungkan dengan origin ( asal- usul ) sehingga
disebut O2. Mengukur besarnya tanggung jawab dan asal- usul timbulnya
kesulitan yang dialami oleh siswa. asal-usul atau origin ada kaitannya dengan rasa
bersalah. Orang yang AQ-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang
tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi, atau dengan kata lain
orang yang skor Origin (asal - usulnya) rendah akan cenderung berfikir bahwa
semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan,
kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran
merusak semangatnya. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai
satu-satunya penyebab atau asal usul ( origin) kesulitan tersebut.
32
Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan mempersalahkan orang lain
sambil mengelakkan tanggung jawab. Orang yang AQ-nya tinggi lebih unggul
daripada orang yang AQ-nya rendah dalam kemampuan untuk belajar dari
kesalahan- kesalahan.
3) Jangkauan atau Reach (R)
Mengukur derajat sejauh mana seseorang melihat kesulitan akan
menjangkau aspek-aspek dalam kehidupan. AQ yang rendah akan kesulitan dalam
mengkaitkan aspek-aspek lain dalam kehidupan sehingga mudah panik, sulit tidur,
menjauhkan diri dengan orang lain dan pengambilan keputusan yang ia lakukan
tidak tepat.
4) Daya tahan atau endurance (E)
Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau
tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian
tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan
yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan
atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki
oleh individu, maka semakin besar kemungkinan seseorang dalam me mandang
kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara dan orang yang
mempunyai adversity quotient yang rendah akan menganggap bahwa kesulitan
yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi, dan sulit untuk
diperbaiki.
Selanjutnya, Stoltz (Fauziyah, dkk, 2013 :78) mengelompokkan manusia
dalam tiga kategori AQ, yaitu :
33
a. Quitter (AQ rendah)
Quitters merupakan kelompok manusia yang kurang memiliki kemauan
untuk menerima tantangan dalam hidupnya. Anak kategori quitter adalah anak
yang berusaha menjauh dari permasalahan. Ciri- ciri anak quitter adalah
usahannya sangat minim, begitu melihat kesulitan ia akan memilih mundur, dan
tidak berani menghadapi masalah.
b. Camper (AQ sedang )
Campers merupakan kelompok manusia yang sudah memiliki kemauan
untuk berusaha menghadapi masalah dan tantangan yang ada, tetapi mereka
berhenti karena merasa sudah tidak mampu lagi. Anak kategori camperadalah
anak yang tak mau mengambil resiko yang terlalu besar dan merasa puas dengan
kondisi atau keadaan yang telah dicapinnya saat ini. Mereka tidak
memaksimalkan usahanya walupun kesempatan dan peluang ada.
c. Climber (AQ tinggi)
Climbers merupakan kelompok manusia yang memilih untuk terus
bertahan untuk berjuang mengahadapi berbagai macam hal yang akan terus
menerjang, baik berupa masalah, tantangan, hambatan, maupun hal-hal lain yang
terus didapat setiap harinya. Anak kategori climber adalah anak yang
mempunyai tujuan atau target untuk mencapai tujuannya, ia juga memiliki
keberanian dan disiplin tinggi. Kategori inilah yang memiliki AQ yang baik.
Dari uraian di atas dapat dirangkum indikator Adversity Qoutient (AQ)
berdasarkan kategorinya pada tabel 7.3 (Stoltz, 2000).
34
Tabel 2.3 Indikator AQ berdasarkan kategori
Kategory AQ Indikator
Quitter
Camper
Climber
a. Cenderung menjauh dari masalah.
b. Ada Usaha untuk mengatasi masalah
sangat minim
a. Ada usaha untuk mencoba
menyelesaikan masalah. b. Merasa puas dengan usaha yang
dilakukan walaupun belum sesuai
target. a. Ulet dan dalam menyelesaikan
masalah b. Berusaha hingga tujuan atau target
terpenuhi
1.1.5 Model Guided Discovery Learning (GDL)
Discovery berasal dari kata “discover” yang berarti menemukan dan
“discovery” adalah penemuan (Kamus bahasa inggris – indonesia). Makna
menemukan dalam pembelajaran ialah memperoleh pengetahuan yang membawa
kepada suatu konsep, teori, pemahaman, dan pemecahan masalah. Sedang guided
dapat diartikan sebagai bimbingan atau terbimbing (Qorri’ah, 2011). Model
guided discovery merupakan salah satu alternatif yang diharapkan mampu
mengaktifkan anak, menemukan sesuatu yang beda (inovatif), mengembangkan
kreatifitas sehingga efektif namun tetap menyenangkan. Sundawan & Nopriana
(2019), mengatakan bahwa model pembelajaran guided-discovery merupakan
suatu model pembelajaran yang progressif serta menitik beratkan kepada aktifitas
siswa dalam belajar dan model pembelajaran penemuan terbimbing merupakan
35
model pembelajaran yang bersifat student oriented dengan teknik trial and error,
menerka, menggunaan intuisi, menyelidiki, menarik kesimpulan, serta
memungkinkan guru melakukan bimbingan dan penunjuk jalan dalam membantu
siswa untuk mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang mereka miliki
untuk menemukan pengetahuan yang baru (Purnomo, 2014).
Sejalan dengan uraian diatas, Fajar (2016) mengungkapkan Metode
Guided Discovery atau penemuan terbimbing merupakan metode pembelajaran
yang menciptakan situasi belajar yang melibatkan siswa belajar secara aktif dan
mandiri dalam menemukan suatu konsep atau teori, pemahaman, dan pemecahan
masalah. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Afrida, Sugiarto &
Soedjoko (2015), Model pembelajaran Guided Discovery merupakan
pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif serta mengharuskan siswa untuk
menemukan sendiri konsep dan langkah-langkah dalam memecahkan suatu
masalah. Proses penemuan tersebut membutuhkan guru sebagai fasilitator dan
pembimbing. Pembelajaran penemuan terbimbing (yang dikembangkan oleh
Bruner) menekankan pada kemandirian proses mental dalam penyelesaian
masalah dan penemuan hubungan dan prinsip baru yang memungkinkan pelajar
untuk menganalisis masalah secara kognitif (Bruner, 1915 : 489). Pembelajaran
dengan metode penemuan merupakan salah satu cara untuk menyampaikan
ide/gagasan dengan proses menemukan, dalam proses ini siswa berusaha
menemukan konsep dan rumus dan semacamnya dengan bimbingan guru (Karim,
Asrul, 2012). Menurut Maya, Y., Ibrahim, L.,Safrina, K., (2018), Model
pembelajaran Guided Discovery Learning memiliki ciri khas yaitu siswa dapat
36
menemukan/menyelidiki suatu konsep yang sesuai dengan langkah-langkah yang
diarahkan oleh guru. Selanjutnya, Nuraina (2018 :15) mengungkapkan bahwa
model pembelajaran guided discovery adalah model pembelajaran dimana guru
memberi siswa contoh topik spesifik memandu siswa memahami topik tersebut.
Guru sebagai fasilitator membimbing siswa menemukan penyelesaian persoalan
dengan pertanyaan atau lembar aktivitas siswa dan siswa mengikuti petunjuk serta
menemukan sendiri penyelesaiannya.
Sejalan dengan uraian diatas, Eggen; Kauchak (dalam Nuraina, 2018),
“model guided discovery learning atau pembelajaran penemuan terbimbing adalah
pendekatan mengajar dimana guru memberi siswa contoh topik spesifik dan
memandu siswa memahami topik tersebut”. Model ini efektif mendorong
keterlibatan dan motivasi siswa serta membantu mereka mendapatkan pemahaman
mendalam tentang topik yang jelas. Saat menggunakan model pembelajaran ini,
guru memberi siswa contoh yang menggambarkan materi yang ingin dipahami.
Lalu, guru membimbing pikiran mereka saat mengenali infomasi penting di dalam
contoh itu. Artinya, siswa membangun pemahaman tentang dunia dibandingkan
menyimpannya dalam bentuk yang sudah tertata, model ini menuntut guru untuk
mengajukan pertanyaan dan membimbing pemikiran siswa.
Asri dan Noer (2015) mengungkapkan bahwa guiede discovery learning
(penemuan terbimbing) adalah model pembelajaran penemuan yang dalam
pelaksanannya dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk-petunjuk guru.
Petunjuk diberikan pada umumnya berbentuk pernyataan membimbing. Model
penemuan terbimbing ini sebagai suatu metode pembelajaran dari sekian banyak
37
metode pembelajaran yang ada, menempatkan guru sebagai fasilitator, guru
membimbing siswa dimana guru diperlukan. Dalam metode ini, siswa didorong
untuk berfikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan
bahan atau data yang telah disediakan oleh guru, dengan model penenemuan
terbimbing ini, diharapkan dapat mengubah gaya belajar siswa sehingga siswa
menjadi aktif dalam mengikuti pelajaran. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing,
tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.
Sitorus & Rahayu (2016) Pembelajaran penemuan didefinisikan sebagai
jenis pembelajaran ketika pelajar membangun pengetahuan mereka sendiri dengan
bereksperimen dengan domain, dan menyimpulkan aturan dari hasil percobaan
ini. Guru harus memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengumpulkan
informasi, membandingkan, mengategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
dan mengatur serta membuat kesimpulan mereka. Belajar tidak hanya ingin
mencapai tujuan dalam bentuk hasil belajar (produk), tetapi juga dapat
membentuk proses pembelajaran. Pada saat belajar, siswa harus didorong untuk
berkomunikasi, berdiskusi dan melakukan berbagai kegiatan
Menurut Muhibbin (dalam Qorri’ah : 2011), bahwa tahap-tahap penerapan
dalam discovery lerning disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2.4 Tahapan Discovery Learning
No Tahap Keterangan
1. Stimulus Kegiatan belajar dimulai deng an memberikan
pertanyaan yang menganjurkan dan
merangsang mendorongnya
berpikir siswa, untuk membaca
buku dan aktivitas belajar lain yang mengarah
kepada persiapan pemecahan masalah.
38
4. Data processing Mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui
kegiatan wawancara, observasi, dan lain lain. Data
tersebut kemudian ditafsirkan.
5. Verifikation Mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk
6. Generalitation Mengadakan penarikan kesimpulan untuk
dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua
2. Problem
statement
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang
relevan dengan bahan pelajaran, kemudian
memilih dan merumuskannya dalam bentuk
hipotesis (jawaban sementara dari masalah
tersebut).
3. Data collection Memberikan kesempatan kepada siswa
mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-
banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya
hipotesis tersebut.
membuktikan benar tidaknya hipotesis yang ditetapkan dengan hasil pengolahan data.
kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Pada proses penemuan terbimbing ini guru bertindak sebagai penunjuk
jalan, ia membantu siswa agar menggunakan ide, konsep, dan keterampilan yang
sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru.
Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas siswa dan
membantu mereka dalam menemukan pengetahuan yang baru tersebut. Metode ini
memerlukan waktu yang relatif banyak dalam pelaksanaannya, akan tetapi hasil
belajar yang dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang digunakan.
Eggen; Kauchak ( dalam Nuraina , 2018), menerapkan pelajaran dengan
model pembelajaran penemuan terbimbing dilakukan atas 4 fase yang saling
terkait. Fase tersebut dan deskripsinya, yaitu:
39
\
Tabel 2.5 Fase-Fase Penerapan Model Pembelajaran
Guided Discovery Learning
Fase Deskripsi
Fase 1 : Pendahuluan Guru berusaha menarik perhatian siswa dan
menetapkan fokus pelajaran
Fase 2 : Fase Terbuka Guru memberi siswa contoh dan meminta
siswa untuk mengamati dan membandingkan
contoh.
Fase 3 : Fase Konvergen Guru menanyakan pertanyaan-pertanyaan lebih
spesifik yang dirancang untuk membimbing
siswa mencapai pemahaman tentang konsep
atau generalisasi.
Fase 4 : penutup dan penerapan Guru membimbing siswa memahami definisi
suatu konsep atau pernyataan generalisasi dan
siswa menerapkan pemahaman mereka ke
dalam konteks baru.
Menurut Markaban (2008 :18), kelebihan dan kekurangan guided
discovery learning, yaitu sebagai berikut.
Kelebihan model guided discovery adalah :
a. Siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, karena ia berfikir dan
menggunakan kemampuannya untuk menemukan hamberikan wahana
interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru.
b. Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan
lebih lama hilang, karena siswa dilibatkan langsung dalam proses
penemuannya.
c. Mendukung kemampuan problem solving siswa.
40
d. Siswa memahami benar bahan pelajaran, karena siswa mengalami sendiri
proses menemuknnya, sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama
diingat.
e. Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas, kepuasan batin ini
mendorong ingin melakukan penemuan lagi hingga minat belajar
meningkat.
f. Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan
lebih mampu mentrasfer pengetahuannya keberbagai konteks.
g. Metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.
h. Situasi belajar menjadi lebih menggairahkan.
Kekurangan guided discovery antara lain :
a. Metode ini banyak menyita waktu, dan tidak menjamin siswa bersemangat
mencari penemuan-penemuan.
b. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini.
c. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan metode ini.
d. Tidak setiap guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan
cara penemuan.
e. Tidak semua anak mampu melakukan penemuan. Apabila bimbingan guru
tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa, ini dapat merusak struktur
pengetahuannya, dan bimbingan yang terlalu banyak dapat mematikan
inisiatifnya.
f. Kelas yang banyak siswanya akan sangat merepotkan guru dalam
memberikan bimbingan dan pengarahan belajar dengan penemuan.
41
Guru perlu memperhatikan kelebihan yang ada dan berupaya
memanfaatkan kelebihan tersebut, namun guru juga perlu mewaspadai
kekurangan agar guided discovery learning dapat memberikan dampak positif
dalam proses pembelajaran. Berdasarkan penjelasan di atas, langkah-langkah
model guided discovery learning yang akan dilakukan pada penelitian ini seperti
pada tabel berikut.
Tabel 2.6 Tahapan Guide Discovery Learning
No Tahap Keterangan
1. Stimulus Kegiatan awal pembelajaran berupa Guru
menyampaikan tujuan pembelajaran kepada guru memberikan pertanyaan-pertanyaan
siswa, yang
merangsang berfikir siswa agar menarik perhatian
dan fokus siswa.
2. Problem
statement
Guru membimbing siswa dalam mengidentifikasi
masalah dan membimbing siswa dalam perumusan
masalah
3. Data collection Guru membimbing siswa dalam pengumpulan data
baik berupa kegiatan eksperimen atau pengumpulan informasi dari buku,
internet maupun sumber lain.
4. Data processing Guru membimbing siswa mengolah data yang
5.
Verifikation
didapat agar menemukan suatu konsep.
Mengadakan pemeriksaan secara
cermat
untuk
membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan cara guru menentukan siswa atau kelompok tertentu untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Selanjutnya hasil
dari diskusi kelompok tersebut dibandingkan dengan
hasil diskusi kelompok lain yang dipimpin oleh guru
untuk memformalkan konsep/definisi/prinsip
matematika yang ditemukan siswa.
6. Generalitation Guru meminta siswa menarik kesimpulan untuk
dijadikan prinsip
kejadian atau
umum yang berlaku untuk semua
masalah yang sama dengan
42
memperhatikan hasil verifikasi.
1.1.6 Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang
diterapkan dalam kurikulum 2013. Model PBL adalah suatu model pembelajaran
yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik
untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan ketrampilan pemecahannya, serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial (Cahyani & Setyawati,
2016). Menurut Akcay (dalam Sulistyoningsih, Kartono & Mulyono, 2015 )
Pembelajaran berbantuan masalah (PBL) adalah cara berpengaruh untuk
pembelajaran berbantuan penyelidikan dengan siswa menggunakan masalah
otentik sebagai konteks untuk penyelidikan mendalam tentang apa yang mereka
butuhkan
dan apa yang harus mereka tahu. Dari beberapa pengertian diatas, dapat
dsimpulkan bahwa pembelajaran problem based learning yaitu kegiatan yang
berpusat pada siswa yang menggunakan konteks dunia nyata pada permasalahan
yang diberikan agar siswa mampu membangun konsepnya sendiri dan dengan
bantuan guru siswa mampu memahami konsep matematika dengan baik.
Sintaks model Problem Based Learning menurut Arends yaitu: (1)
memberikan orientasi tentang permasalahan kepada siswa, (2) mengorganisasikan
siswa untuk meneliti, (3) membantu pemecahan mandiri/kelompok, (4)
mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya, dan (5) menganalisis dan
mengevaluasi proses pembelajaran (Maskur, 2016)
43
1.1.7 Pendekatan Metakognitif
Seorang siswa yang memiliki kemampuan untuk mengontrol respon dalam
belajar lebih tangguh dan tidak mudah putus asa. Jika siswa mampu memikirkan
pada proses berpikir, maka mereka akan memahami sifat kesulitan dalam belajar
matematika dan apa yang mereka rencanakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
ini. Dengan kata lain, siswa perlu terbiasa mengendalikan proses berpikir yang
disebut metakognisi. Metakognisi didefinisikan sebagai kesadaran untuk berpikir
tentang berpikir (Amir MZ dan Wahyudin, 2016).
Metakognisi adalah pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang proses-
proses kognitifnya sendiri. Seseorang tahu bagaimana melakukan berbagai tugas
bila dibandingkan dengan orang lain. Jadi metakognitif bisa dikatakan
pengetahuan dimana hanya orang itu sendiri yang mengetahui apa yang ada dalam
dirinya sendiri, bukan orang lain. Matlin (dalam Khoiriah, 2011 ) menjelaskan
bahwa metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran dan pengontrolan seseorang
terhadap proses kognisinya dan metakognisi juga sangat penting karena
pengetahuan tentang proses kognisi dapat membantu seseorang dalam menyeleksi
strategi – strategi pemecahan masalah. Mulbar (Dalam Diandita, Johar & Abidin,
2017 ) mengungkapkan bahwa kemampuan metakognitif adalah kesadaran
berpikir seseorang tentang proses berfikirnya sendiri, sedangkan kesadaran
berfikir adalah kesadaran seseorang tentang apa yang dilakukan.
Pendekatan metakognitif pertama kali diperkenalkan oleh Kramarski
adalah pendekatan pembelajaran untuk melatih siswa untuk dapat memiliki
keterampilan metakognisi. Pada pendekatan metakognitif siswa diajarkan
44
bagaimana menginterpretasikan suatu masalah sehingga hal itu terjadi mampu
mendeskripsikan masalah matematika dengan bahasa mereka sendiri sehingga
mampu menyelesaikan masalah (Maryanti dan Arvyati, 2018). Pertanyaan-
pertanyaan pemahaman, yang dirancang untuk mendorong siswa dalam
membayangkan atau memikirkan tugas atau pertanyaan sebelum dipecahkan.
1. Pertanyaan koneksi, untuk mendorong siswa untuk fokus pada persamaan
atau perbedaan tugas / pekerjaan yang mereka lakukan sekarang dengan
tugas / pekerjaan yang sudah mereka lakukan sebelumnya.
2. Pertanyaan strategis yang dirancang, untuk mendorong siswa untuk
mempertimbangkan strategi yang tepat dalam menyelesaikan tugas atau
masalah dan apa yang bisa diberikan.
3. Pertanyaan refleksi dirancang, untuk mendorong siswa merefleksikan
intuisi dan pemahaman mereka selama proses berlangsung.
Pendekatan metakognitif tertanam dalam praktik pembelajaran seperti
pembelajaran berbantuan masalah, survei pengetahuan, dan latihan reflektif
selama dikelas, dan kegiatan yang dirancang untuk mendukung pemikiran kritis.
Sayangnya, banyak instruktur berasumsi baik bahwa mahasiswa telah memiliki
keterampilan metakognitif yang diperlukan, atau bahwa keterampilan ini terlalu
canggih untuk mengajar di kursus pengantar. Suzana (dalam maulana, 2008)
mendefinisikan pembelajaran dengan pendekatan ketrampilan metakognitif
sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang,
memonitor, serta mengontrol, tentang apa yang mereka ketahui; apa yang
diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya. Pembelajaran
45
dengan pendekatan metakognitif menitik beratkan pada aktifitas belajar siswa;
membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan; serta membantu siswa
untuk mengembangkan konsep diri apa yang dilakukan saat belajar matematika.
Sedangkan Cohors-Fresenborg dan Kaune (2007 :1180-1189) merangkum
komponen-komponen metakognisi ke dalam 3 aktivitas metakognisi yang
dilakukan pada pemecahan masalah yang terdiri dari: 1. Merencanakan
(Planning), 2. Memantau (monitoring) dan 3. Merefleksi (evaluation). 1) Proses
Merencanakan Pada proses ini diperlukan peserta didik untuk meramal apakah
yang akan dipelajari, bagaimana masalah itu dikuasai dan kesan dari pada masalah
yang dipelajari, dan merencanakan cara tepat untuk memecahkan suatu masalah.
2) Proses memantau, Pada proses ini peserta didik perlu mengajukan pertanyaan
pada diri sendiri seperti apa yang saya lakukan? apa makna dari soal ini?,
bagaimana saya harus memecahkannya?, dan mengapa saya tidak memahami soal
ini? 3) Proses menilai/evaluasi Pada proses ini peserta didik membuat refleksi
untuk mengetahui bagaimana suatu kemahiran, nilai dan suatu pengetahuan yang
dikuasai oleh peserta didik tersebut. Mengapa peserta didik tersebut mudah atau
sulit untuk menguasainya, dan apa tindakan atau perbaikan yang harus dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas maka langkah-langkah pembelajaran dengan
pendekatan metakognisi, disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2.7 Tahapan Pendekatan Metakognisi
No Tahapan Keterangan
1. Tahap perencanaan (Planning)
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran atau topik yang akan dipelajari.
46
2. Tahap pemantauan
(Monitoring)
3. Tahap evaluasi (Evaluation)
Siswa bekerja secara mandiri atau kelompok
menyelesaiakan tugas dari guru. Guru
berkeliling memandu siswa dalam kegiatan
menyelesaikan soal matematika.
Guru dan siswa melakukan evaluasi bersama
dari penyelesaian yang dilakukan, dilakukan
dengan presentasi di depan kelas perkelompok
maupun secara individu.
1.1.8 Schoology
Shoology merupakan salah satu laman web yang berbentuk web sosial
yang mana ia menawarkan pembelajaran sama seperti di dalam kelas secara
percuma dan mudah digunakan seperti Facebook. Menurut Lestari dan
Yudhanegara (dalam Hidayat, Wardono & Rusilowati, 2017) Aplikasi shoology
ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan proses pembelajaran di kelas saja,
melainkan dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Selain itu juga shoology
sangat praktis, karena dengan media ini siswa dapat menggunakan dan mengakses
alat bantu belajar seperti bahan ajar dan materi latihan dalam sekali klik saja.
Melalui Schoology, pembelajaran akan semakin mudah. Menurut Luaran
(2012 : 104), para pendiri Schoology adalah Jeremy Friedman, Ryan Hwang, Tim
Trinidad dan Bill Kindler yang mengumpulkan dan memulai pengembangan
schoology pada akhir 2009. Tujuan dari e-learning ini adalah untuk menemukan
kemali teknologi yang dapat diimplimentasikan di dalam kelas. Shoology
merupakan e-learning yang menggabungkan antara jejaring sosial dan LMS
(Learning Management System) berbantuan web untuk berinteraksi sosial
sekaligus belajar. E-learning ini juga memberikan akses pada pengajar dan peserta
47
didik untuk absensi, pengumpulan tugas, latihan soal dan media sumber belajar
yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun serta juga memberikan akses pada
orang tua untuk memantau perkembangan belajar peserta didik di sekolah.
Schoology sangatlah lengkap dengan berbagai alat pembelajaran yang seperti
dilakukan di dunia nyata, mulai dari pengecekan kehadiran, tes, kuis, hingga
pengumpulan tugas peserta didik (Amiroh, 2013). Adapun fitur yang dimiliki
oleh schoology yaitu:
1. Courses, dengan menu courses, pengguna dapat membuat kelas baru,
bergabung dengan kelas yang sebelumnya sudah ada atau browsing melalui
daftar kelas yang telah ditetapkan.
2. Groups , berfungsi seperti pesan dinding di mana anggota grup juga dapat
mem-posting pesan dinding. Ketika bergabung dengan sebuah grup, pengguna
dapat mencari bagian dari grup yang pengguna inginkan.
3. Resources, untuk menjaga, melacak dokumen, file, dan gambar yang
pengguna upload dalam kelas.
4. Recent Activity, untuk menampilkan berita terbaru yang terdapat pada akun
Schoology. Kita dapat mem-posting dan mengupdate dalam akun serta
memilih halaman mana yang akan pengguna posting.
5. Calendar, untuk menampilkan halaman kalender yang telah diposting
sebelumnya di Recent Activity.
6. Messages, untuk mengirimkan pesan atau melihat pesan antara sesama
pengguna Schoology.
7. People, untuk dapat melihat daftar pengguna dalam suatu kelas.
48
Sumber:(http://www.schoology.com)
Menurut Amiroh (dalam Effendi, 2017) menyebutkan beberapa kelebihan
dari schoology, antara lain:
a) Schoology menyediakan lebih banyak pilihan resources daripada yang
disediakan oleh Edmodo.
b) Schoology dapat menampung jenis soal (question bank) yang akan digunakan
saat kuis.
c) Schoology menyediakan fasilitas attandance absensi yang digunakan untuk
mengecek kehadiran siswa.
d) Schoology juga menyediakan fasilitas analityc untuk melihat semua aktivitas
siswa pada setiap course, assignment, discussion dan aktivitas lain yang
disiapkan untuk siswa. Schoology ini juga bisa diunduh melalui google
playstore untuk mempermudah peserta didik dan pengajar dalam proses belajar
mengajar berlangsung dengan baik dengan langsung memantau lewat
handphone ketika tidak sempat membuka lewat komputer atau laptop.
1.1.9 Penerapan Guided Discovery Learning – Metakognisis berbantuan
Schoology
Pembelajaran guided discovery learning – metakognisi berbantuan
schoology merupakan pembelajaran yang menggabungkan model guided
discovery learning dengan pendekatan metakognisi dan menggunakan schoology.
Sintaks ini diadopsi dari Eggen; Kauchak ( dalam Nuraina , 2018) dan Atma
murni (2010), Adapun sintaks pembelajaran guided discovery learning –
metakognisi berbantuan schoology disajikan dalam tabel berikut.
49
Tabel 2.8 Sintaks Pembelajaran Guided Discovery Learning – Metakognisi
Berbantuan Schoology
Langkah – langkah
Model Guided
Discovery Learning
1. Stimulation
(Pemberian
Stimulus)
2. Problem Statement
(Pernyataan/
identifikasi masalah)
3. Data Collection (Pengumpulan Data)
Strategi Pendekatan Metakognisis berbantuan
schoology
Tahap Pe ndahulua n
1) Guru Membuat peraturan bersama peserta didik agar pembelajaran kondusif
2) Menjelaskan topik dan materi pelajaran Dalam tahap ini guru menjelaskan tujuan yang akan dicapai, topik yang akan dipelajari, kegiatan yang
kan dilakukan dikelas, yang ditampilkan di Schoology. (Planning)
Tahap pemahaman masalah (understanding the
problem)
1) Siswa diminta mengidentifikasi proses
metakognitifnya dengan penuh keyakinan dan
kesadaran mengajukan pertanyaan pada diri sendiri.
Misalnya: “Apa makna soal ini?”, “Pengetahuan
awal apakah yang perlu saya gunakan?”, “Konsep
apakah yang saya butuhkan untuk menyelesaikan
masalah ini?”, “Mengapa saya menggunakan
pengetahuan awal ini?”, “Apakah yang harus saya
lakukan pertama kali?”, “Mampukah saya
menyelesaikan soal ini?” (self questioning) 2) Guru ikut membimbing dan menyakinkan siswa
siswa pada tahap pemahaman masalah, misalnya:,
“Apakah Anda sudah paham dengan makna
soalnya?”. Guru meminta siswa membaca ulang
soal yang juga dapat digunakan untuk menyelidiki
kebenaran representasi.
1) Guru membimbing siswa dalam pengumpulan data
baik berupa kegiatan eksperimen atau
pengumpulan informasi dari buku, internet maupun
sumber lain. 2) Guru mendorong siswa untuk berkontribusi secara
aktif dan kreatif dalam mengumpulkan informasi
yang relevan untuk membuktikan atau menemukan
suatu konsep.
3) Guru mengontrol dan memonitor proses berpikir siswa dengan mengajukan pertanyaan atau siswa
mengajukan pertanyaan pada diri sendiri. Misalnya: “data atau informasi yang dikumpulkan apakah
50
4. Data Processing
(Pengolahan Data)
5. Verification (Memverifikasi)
6. Generalization
(Penarikan
Kesimpulan/
Generalisasi)
sudah benar?”,” apakah sudah sesuai dengan permasalahan?”
Tahap pengolahan data
1) Guru membimbing siswa dengan cara tanya jawab,
agar merangsang kemampuan metakognitif siswa,
dan siswa dapat terlibat dalam diskusi secara
interaktif serta saling bertukar ide dengan teman
sekelompoknya. (Monitoring)
2) Guru mengontrol dan memonitor proses berpikir
siswa dengan mengajukan pertanyaan atau siswa
mengajukan pertanyaan pada diri sendiri. Misalnya:
“sudah sesuaikah langkah penyelesaian masalah
yang sudah dilakukan?”,” adakah informasi baru
yang didapat setelah melakukan eksperimen?”, “
apa hubungan informasi lama (dari data awal)
dengan informasi yang baru di temukan ?” Tahap Ve rifikasi / pe me riksaan (Fase Te rbuka) 1) Mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan
cara guru menentukan siswa atau kelompok
tertentu untuk mempresentasikan hasil kerjanya.
(Evaluating)
2) Guru meminta siswa untuk mengamati dan
membandingkan hasil pekerjaan dari kelompok
lainnya, yang dipimpin oleh guru untuk
memformalkan konsep/definisi/prinsip matematika
yang ditemukan siswa.
Pe nutup dan pe ne rapan
1) Guru meminta siswa menarik kesimpulan untuk
dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama dengan
memperhatikan hasil verifikasi. 2) Siswa menerapkan pemahaman mereka ke dalam
konteks baru.
1.2 Kerangka Teoritis
Masalah siswa adalah soal matematika. Masalah dalam matematika pada
umumnya muncul dalam bentuk soal-soal matematika. Menurut Saefulloh
51
(2015:11), soal/pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang
dimiliki penjawab. Menurut Dwijayanti (dalam Santoso, F.A., Soedjoko, E.,
2019) Semua orang akan selalu dihadapkan dengan masalah di hidup mereka,
karena itu sangat penting untuk semua orang termasuk siswa untuk belajar
pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan salah satu bagian terpenting
pada kurikulum matematika karena dalam proses pembelajaran maupun
penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan
pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada
pemecahan masalah dan Menurut Priangga & Wardono, ( 2019 ) kemampuan
pemecahan masalah siswa sangatlah penting, kemampuan tersebut berkaitan
dengan kemampuan siswa dalam mencari dan menerima informasi, kemudian
mengelolanya menjadi rangkaian solusi yang terstruktur dan sistematis.
Rochani (2016) mengemukakan bahwa kemampuan peserta didik dalam
menyelesaikan masalah matematika antara yang satu dengan yang lain berbeda
karena dipengaruhi oleh faktor dirinya sendiri dan lingkungan sekitar.
Kemampuan pemecahan masalah salah satu kemampuan yang dibutuhkan peserta
didik dalam belajar matematika, karena tidak sedikit siswa memilih jalan pintas
dalam mengerjakan soal-soal pemecahan masalah matematis yang berakhir
dengan jawaban salah. Sebaliknya, mereka kurang terbiasa dengan tahap -tahap
memahami masalah, merencanakan strategi, melakukan pengerjaan atau
perhitungan, dan memeriksa jawaban (Darma & Sujadi, 2014).
Menurut NCTM (2000) yang mengatakan bahwa memiliki kemampuan
pemecahan masalah akan mendatangkan keuntungan besar dalam kehidupan
52
sehari-hari, di masyarakat dan di tempat kerja. Pemecahan masalah merupakan
fokus dalam pembelajaran matematik yang mencakup masalah tertutup dengan
solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan
berbagai cara penyelesaiannya (Permendiknas No. 22 Tahun 2006). Selain itu,
NCTM (Pehkonen et aIl, 2013) mengemukakan bahwa pemecahan masalah
didefinisikan sebagai pengajaran metode yang dapat meningkatkan kualitas
pengajaran matematika di sekolah.
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) menetapkan
pemahaman, pengetahuan, dan kemampuan yang harus diperoleh siswa, mulai
dari taman kanak-kanak hingga kelas 12. Standar isi pada NCTM memuat
bilangan dan operasi, aljabar, geometri, pengukuran, analisis data, dan peluang
yang secara eksplisit dijelaskan sebagai kemampuan yang harus dimiliki siswa
dalam pembelajaran. Standar prosesnya memuat kemampuan pemecahan masalah,
penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi yang
merupakan cara penting untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan
(Oktavien dkk., 2012, hlm. 158). Hasil studi PISA 2012, Indonesia berada di
peringkat ke-64 dari 65 negara peserta dengan skor rata-rata 375, sedangkan skor
rata-rata internasional 494. Hasil studi PISA 2015, Indonesia berada di peringkat
ke-63 dari 70 negara peserta dengan skor rata-rata 386 sedangkan skor rata-rata
internasional 490 (OECD, 2016).
Salah satu faktor yang menjadi penyebab dari rendahnya prestasi siswa
Indonesia dalam PISA yaitu lemahnya kemampuan pemecahan masalah soal non-
routine atau level tinggi. Soal yang diujikan dalam PISA terdiri atas 6 level (level
53
1 terendah dan level 6 tertinggi) dan soal-soal yang diujikan merupakan soal
kontekstual, permasalahannya diambil dari dunia nyata (Harahap, 2017). Menurut
Afri (2018 : 48) Keberhasilan siswa dalam memecahkan masalah dipengaruhi
oleh cara siswa merespon kesulitan yang dihadapi saat mencari solusi dari
masalah tersebut. Kemampuan individu dalam menghadapi kesulitan ini disebut
adversity quotient (AQ). Hidayat, W., Sariningsih, R., (2018) mengatakan bahwa
tingkat kecerdasan seseorang relative berbeda. Kecerdasan dalam menghadapi
suatu kesulitan termasuk salah satu jenis adversity quotient. Adversity quotient
merupakan kecerdasan individu dalam mengatasi setiap kesulitan yang muncul.
Adversity quotient sering diindentikkan dengan daya juang untuk melawan
kesulitan. Adversity quotient dianggap sangat mendukung keberhasilan siswa
dalam meningkatkan prestasi belajar.
AQ sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa, hal ini terlihat dari
studi Huijuan (2009) dan Bakare (2015) keduanya bertujuan untuk menentukan
apakah ada hubungan yang signifikan antara AQ dan kinerja akademik. Dalam
studi Huijuan, sebagian besar peserta memiliki AQ rendah sementara dalam studi
Bakare, sebagian besar memiliki skor AQ sedang. Kedua penelitian telah
menunjukkan bahwa AQ memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja
siswa (Amparo & Maureen M, 2015).
Selain itu, Matore (2015) juga mengatakan bahwa AQ berpengaruh
terhadap prestasi belajar. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkatan AQ
mempengaruhi tinggi rendahnya hasil belajar siswa. Aspek pada hasil belajar
matematika salah satunya adalah kemampuan pemecahan masalah, oleh karena itu
54
kemampuan pemecahan masalah merupakan fokus dari matematika sekolah dan
AQ berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa.
Media pembelajaran adalah salah satu aspek terpenting dalam kegiatan
pembelajaran. Dalam menanggapi hal ini, guru harus menguasai tiga komponen
utama pengetahuan yaitu konten, pedagogi, dan teknologi. Menurut Tinio (dalam
Utami, E.U., Nugroho, A.A.N., Dwijayanti, I., Sukarno, A., 2018), Media yang
baik juga akan mampu memberikan motivasi dan meningkatkan ketrampilan dasar
peserta didik. Karena itu, guru harus dapat menggunakan media dan pendekatan
pengajaran yang efektif serta mampu mengevaluasi pengajaran yang berkualitas ,
salah satunya adalah pengajaran berbantuan teknologi. Penggunaan media e-
learning di luar kelas dapat dikombinasikan dengan metode penemuan terbimbing
untuk menginstruksi di kelas. LMS (Learning Management System) yang juga
milik e-learning bisa jadi dikombinasikan dengan metode penemuan terbimbing
yang dapat mengurangi kegagalan siswa dalam belajar. Dalgarno, Kennedy, dan
Bennett (2004) merekomendasikan bahwa e-learning (simulasi berbantuan
komputer) harus dikombinasikan dengan dipandu metode penemuan. Salah satu
teknologi yang dapat di manfaatkan adalah Schoology.
Menurut Wardono et al. (2017) menyatakan bahwa dengan menggunakan
schoology merupakan media menyenangkan yang sesuai dengan perkembangan
zaman dan siswa belajar tidak terbatas pada ruang kelas dan waktunya. Schoology
dapat digunakan untuk komunikasi yang luas antara guru dan siswa, agar siswa
dapat lebih mudah untuk mengambil peran dalam diskusi dan kerja sama dalam
kelompok. Selain itu, siswa dapat mendapatkan materi dan latihan soal yang ada
55
di schoology yang sudah disiapkan sebalumnya oleh guru baik di sekolah maupun
di rumah dengan menggunakan laptop ataupun telepon genggam secara mandiri.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan teknologi dalam
pembelajaran memiliki efek positif pada pemecahan masalah kemampuan. Hal ini
didukung oleh hasil studi dari Ulfa Lu’luilmaknun and Dhoriva Urwatul Wutsqa
yang berjudul “The Effectiveness of E-learning Media with Guided Discovery
Method from The Perspective of Student’s Mathematics Problem Solving Skill”
hasil posttest dari kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol, sehingga dapat
disimpulkan bahwa media dengan metode penemuan terbimbing efektif
digunakan pada kemampuan pemecahan matematika siswa. Selain itu, Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati, Widodo, & Sumarni (dalam Imawan, O.R.,
2015) menunjukkan bahwa model GDL dapat meningkatkan keterampilan pemecahan
masalah peserta didik, dimana keterampilan pemecahan masalah merupakan salah satu
jenis keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Syazali, M. 2015 dalam studinya mengatakan, keberhasilan pencapaian
kompetensi satu mata pelajaran bergantung kepada beberapa aspek. Salah satu
aspek yang sangat mempengaruhi adalah bagaimana seorang guru dalam
melaksanakan pembelajaran. Selain itu, Yulianto & Jailani, (2014) dalam studinya
mengatakan bahwa paradigma baru dalam pembelajaran menuntut perubahan
proses dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Salah satu model
pembelajaran yang dapat menjadikan pembelajaran berpusat pada siswa dan
mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa adalah model
56
pembelajaran guided discovery learning. Pendapat ini diperkuat dengan hasil
penelitian oleh Nuraina (2018), bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa menggunakan model pembelajaran guided discovery lebih baik
dari pada siswa menggunakan pembelajaran PBL saintifik. Selain itu, Yurniwati
& Hanum (2017) “that guided discovery learning improves students’ mathematics
learning outcomes”, mengatakan bahwa pembelajaran penemuan dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
Metakognisi siswa juga sangat penting dalam kegiatan pembelajaran.
Penelitian Nanang (2012) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
siswa meningkat ketika kegiatan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
pendekatan metakognitif. Hasil dari studi Özsoy , Gökhan and Aysegül Ataman
(2009), mengungkapkan bahwa, ada peningkatan keterampilan pemecahan
masalah siswa yang menggunakan pendekatan metakognisi. Pembelajaran
metakognitif mengajak siswa untuk mengembangkan konsep belajarnya. Siswa
bisa menyadari pentingnya penguasaan sebuah kemampuan matematika, melatih
kemandirian untuk belajar, dan memungkinkan siswa untuk menyadari
kekurangan dan kelebihannya, sehingga dapat melakukan kontrol terhadap
pengetahuannya (Nurasyiyah, D. A., 2014). Metakognisi siswa dapat
dikembangkan dengan menerapkan pendekatan metakognitif (Mawaddah, NE.,
Kartono, Suyitno, H., 2015).
Maka dari itu, metakognisi dapat digunakan sebagai alat yang berguna
untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Dalam proses
pembelajaran, pemilihan model dan media sangat dibutuhkan agar tujuan dari
57
pembelajaran dapat tercapai. Namun, bukan hanya model dan media yang
berpengaruh dalam proses pebelajaran, terdapat faktor lain yang juga berpengaruh
di dalamnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan proses
pembelajaran adalah AQ siswa. AQ siswa merupakan salah satu variabel yang
penting dan menyangkut dengan cara siswa memahami pelajaran di sekolah
khususnya pelajaran matematika. AQ membantu meningkatkan potensi diri
peserta didik. Kemampuan pemecahan masalah sangat berkorelasi dengan
kecerdasan, kreativitas, kemampuan penalaran, kemampuan numerik, dan
kemampuan matematika Pimta (dalam Ismawati, dkk, 2017).
Stoltz (Fauziyah, dkk, 2013) mengelompokkan manusia dalam tiga kategori
AQ, yaitu: quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ tinggi).
Quitters merupakan kelompok manusia yang kurang memiliki kemauan untuk
menerima tantangan dalam hidupnya. Campers merupakan kelompok manusia
yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapi masalah dan
tantangan yang ada, tetapi mereka berhenti karena merasa sudah tidak mampu
lagi. Berikutnya, Climbers merupakan kelompok manusia yang memilih untuk
terus bertahan untuk berjuang menghadapi berbagai macam hal yang akan terus
menerjang, baik berupa masalah, tantangan, hambatan, maupun hal–hal lain yang
terus didapat setiap harinya. Keberadaan AQ di kelas membantu peserta didik
dalam meningkatkan kemampuan dan prestasi belajar yang dicapai.
Pembelajaran dengan menggunakan model guided discovery learning
berpendekatan metakognisi berbantuan schoology yang tinjauan dari adversity
qoutient diharapkan dapat mengatasi kesulitan siswa dalam menyelesaikan
58
berbagai pemecahan masalah matematika sehingga dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah.
1.3 Kerangka Berfikir
Pemecahan masalah memiliki peran khusus dalam studi matematika.
Tujuan utama pengajaran dan pembelajaran matematika adalah mengembangkan
kemampuan memecahkan berbagai masalah matematika yang kompleks. NCTM
sangat menyarankan memasukkan pemecahan masalah dalam matematika
sekolah. Ada banyak pertimbangan untuk melakukan hal ini, yaitu: pertama,
pemecahan masalah adalah suatu bagian terbesar dari matematika. Kedua,
matematika mempunyai banyak aplikasi dan seringkali aplikasi-aplikasi tersebut
merupakan masalah penting dalam matematika. Ketiga, terdapat suatu motivasi
intrinsik yang melekat dalam pemecahan masalah matematika. Keempat,
pemecahan masalah dapat merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan, dan
yang terakhir, pemecahan masalah harus terdapat di dalam kurikulum matematika
sekolah agar dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
seni tentang pemecahan masalah. (Wilson, Fernandez & Hadaway, 1993).
Maka perlu pemilihan sebuah model pembelajaran yang tepat untuk
mendukung peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Model pembelajaran
yang cocok dalam permasalahan ini yaitu model pembelajaran guided discovery
learning. Salah satu kelebihan model pembelajaran GDL adalah siswa akan lebih
aktif dan kreatif sehingga dapat mendukung kemampuan problem solving siswa.
Keberhasilan belajar siswa tidak hanya dipengaruhi oleh IQ (Intellegence
Qoutient) , EQ ( Emotional Qoutient), dan SQ (Spiritual Qoutient) saja. Dalam
59
pembelajaran perlu diperhatikan juga AQ (Adversity Qoutient). Adversity
Qoutioent akan memperlihatkan perbedaan usaha dan hasil belajar siswa dalam
mencapai tujuan siswa. Tingkat Adversity Qoutioent akan mempengaruhi usaha
siswa dalam memecahkan masalah. Siswa yang masuk dalam AQ kategori
climber akan menyukai hal-hal yang menantang dan tidak mudah menyerah jika
mengalami kegagalan. Sikap seperti ini dibutuhkan dalam proses pemecahan
masalah. Berbeda dengan siswa yang memiliki AQ kategori quitter, mereka lebih
senang menghadapi tugas-tugas yang kurang menantang dan kurang berani
mengambil resiko dalam melakukan suatu hal, bahkan akan mimilih mundur jika
mengalami kegagalan (Martion, 2017). Pada penelitian ini dirancang suatu
penelitian dimana peneliti ingin mengetahui kemampuan pemecahan masalah
selama proses pemecahan masalah berdasarkan Adversity Qoutient yang
berbantuan Schoology. Kerangka berfikir pada penelitian ini terlihat pada gambar
2.1.
60
1. NCTM (2000) pros es berfikir matematika dalam pembelajaran matematika meliputi
lima kompetens i s tandar utama yaitu kemampuan pemecahan mas alah, kemampuan
penalaran, kemampuan koneks i, kemampuan komunikas i dan kemampuan
repres entas i.
2. Branca (Sayiful, 2012), bahwa kemampuan pemecahan ma s alah adalah jantungnya
Masalah Kemampuan pemecahan mas alah s is wa yang
tergolong mas ih rendah
Penyebab
1. Kurang penerapan model dan media pembelajaran kreatif dan berbas is pemecahan
mas alah.
2. Pembelajaran mas ih dominan pada guru
3. Guru hanya terfokus pada perhitungan rutin s aja.
4. Guru belum memahami AQ s is wa.
5. Kegiatan pembelajaran mas ih terbataas tempat, waktu dan media.
Has il tes awal kemampuan pemecahan mas alah s is wa
Solusi
Model guided discovery learning
dengan pendekatan metakognis i
berbantuan schoology
Model problem based learning
(PBL)
Menurut teori bruner bahwa pembelajaran
akan lebih bermakna jika pembelajaran
melalui metode penemuan terbimbing, yang
dimana akan menguatkan s is wa dalam
pemahaman mengenai s uatu kons ep baru yang
s ebelumnya belum pernah diketahui.
Penggunaan media schoology berdampak pada
pembelajaran yang tidak terbatas waktu dan
Sis wa yang AQ pada tingkatan rendah akan
kes ulitan dalam memahami materi, s ehingga s is wa
yang dari awal tidak paham dengan materi,
menimbulkan antus ias me s is wa akan berkurang
s ehingga tidak ada us aha dan gampang menyerah
dalam menyeles aikan s oal. Sis wa yang AQ pada
tingkatan tinggi mempunyai kemauan ya ng pos itif
dan mudah memahami materi, s ehingga ada us aha
dan kerja keras dalam menyeles aikan mas alah
Has il tes akhir kemampuan pemecahan mas alah
s is wa
1. Rata – rata nilai kemamp uan p emecahan masalah siswa p ada p embelajaran guided discovery learning
dengan p endekatan metakognisi berbantuan schoology melamp aui Kriteria Ketuntasan M inimal (KKM )
dengan KKM kemamp uan p emecahan masalah matematika 60.
2. Prop orsi ketuntasan siswa y ang dikenai model guided discovery learning dengan p endekatan realistik
berbantuan schoology lebih dari 75%.
3. Prop orsi ketuntasan kemamp uan p emecahan masalah siswa y ang diajarkan dengan model guided discovery
learning berp endekatan metakognisi berbantuan schoology lebih baik dari kemamp uan p emecahan matematika siswa y ang diajarkan dengan p embelajaran PBL saintifik .
4. Rata – rata kemamp uan p emecahan masalah siswa p ada kelas dengan model guided discovery learning
berp endekatan metakognisi berbantuan schoology lebih baik darip ada rata – rata kemamp uan p emecahan masalah siswa p ada kelas dengan p embelajaran PBL saintifik.
5. Peningkatan kemamp uan p emecahan masalah siswa dengan p embelajaran guided discovery learning berp endekatan metakognisi berbantuan schoology lebih tinggi darip ada siswa p ada kelas PBL saintifik .
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir
61
1.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah.
1. Rata – rata nilai kemampuan pemecahan masalah siswa pada pembelajaran
guided discovery learning dengan pendekatan metakognisi berbantuan
schoology melampaui Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan KKM
kemampuan pemecahan masalah matematika 60.
2. Proporsi ketuntasan siswa yang dikenai model guided discovery learning
dengan pendekatan realistik berbantuan schoology lebih dari 75%.
3. Proporsi kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan dengan model
guided discovery learning berpendekatan metakognisi berbantuan schoology
lebih baik dari kemampuan pemecahan matematika siswa yang diajarkan
dengan pembelajaran PBL saintifik .
4. Rata – rata kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas dengan model
guided discovery learning berpendekatan metakognisi berbantuan schoology
lebih baik daripada rata – rata kemampuan pemecahan masalah siswa pada
kelas dengan pembelajaran PBL saintifik .
5. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran
guided discovery learning berpendekatan metakognisi berbantuan schoology
lebih tinggi daripada siswa pada kelas PBL saintifik .
156
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1) Pembelajaran guided discovery learning berpendekatan metakognisi
berbantuan schoology efektif terhadap kemampuan pemecahan
masalah siswa kelas VIII. Hal ini ditunjukkan dengan hasil dari
kuantitatif berikut ini.
a) Kemampuan pemecahan masalah pada kelas yang diajar dengan
model Guided Discovery Learning pendektan metakognitif
berbantuan Schoology melebihi batas tuntas aktual yang telah
diperoleh dari perhitungan tes awal kemampuan pemecahan
masalah yaitu 60 ;
b) Pembelajaran padakelas yang menggunakan model Guided
Discovery Learning pendektan metakognitif berbantuan Schoology
mampu menghantarkan siswa mencapai batas tuntas aktual secara
klasikal dengan mencapai ketuntasan lebih dari 75 %. ;
c) Proporsi kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajarkan
dengan model guided discovery learning berpendekatan
metakognisi berbantuan schoology lebih baik dari kemampuan
pemecahan matematika siswa yang diajarkan dengan pembelajaran
PBL saintifik ;
156
157
d) Kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas dengan model
guided discovery learning berpendekatan metakognisi berbantuan
schoology lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah
siswa pada kelas dengan pembelajaran PBL saintifik,
e) Adanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa
dengan pembelajaran guided discovery learning berpendekatan
metakognisi berbantuan schoology lebih tinggi daripada siswa pada
kelas PBL saintifik.
2) Berdasarkan analisis kemmapuan pemecahan masalah ditinjau dari AQ
diperoleh hasil sebagai berikut.
a) Kategori Quitters
Siswa dengan kategori Quitters dalam pemecahan masalah,
dapat menuliskan informasi yang diketahui dan ditanyakan, namun
tahapan pemahamannya masih rendah. Subjek Quitters dapat
menyebutkan informasi yang diketahui dan ditanyakan pada soal
walaupun belum maksimal. Pada tahap perencanaan pemecahan
masalah, subjek Quitters tidak menuliskan secara jelas rencana
pemecahan masalahnya pada lembar jawab dan belum mampu
menuliskan rencananya secara bertahap dan jelas. Tahap
melaksanakan rencana pemecahan masalah, siswa Quitters belum
mampu menuliskan penyelesaian dengan jelas, ada beberapa
tahapan yang tidak sesuai dengan perhitungan yang sebelumnya
walaupun hasil akhir yang didapat benar. Pada tahap pemeriksaan
158
kembali, siswa Quitters belum mampu melakukan pengecekan
kembali secara maksimal.
b) Kategori Campers
Siswa dengan kategori Campers dalam pemecahan masalah,
mampu memahami soal dengan baik. Selain itu, siswa campers
mampu mengemukakan kembali masalah dengan bahasanya
sendiri. Pada proses perencanaan pemecahan masalah, siswa
campers menuliskan data-data pendukung untuk digunakan dalam
penyelesaian soal. Kemudian, pada proses pelaksanaan rencana
pemecahan masalah, siswa campers mampu menuliskan
penyelesaian dengan baik dan sesuai dengan aturan matematika.
Siswa campers pada tahapan pengecekan kembali, menganggap
proses tersebut tidaklah penting dan tidak percaya diri atas jawaban
yang diperolehnya.
c) Kategori Climbers
Siswa dengan kategori Climbers dalam pemecahan
masalah, mampu menuliskan informasi yang diketahui dan
ditanyakan secara tegas. Pada tahap perencanaan pemecahan
masalah, siswa climbers dapat menuliskan data-data pendukung
untuk digunakan dalam penyelesaian soal, seperti menuliskan
rumus sampai dengaan rencana akhir. Proses pelaksanaan
perencanaan pemecahan masalah, siswa climbers mampu
melaksanakan rencana pemecahan masalah dengan baik. Ia tidak
159
mengalami kesulitan yang berarti dan dapat menyelesaikannya
sesuai dengan apa yang direncanakannya. Siswa climbers juga
menuliskan satuan pada setiap perhitungannya dan hasil
perhitungannya juga benar. Pada tahap pengecekan kembali, siswa
climbers melakukan pengecekan kembali secara mandiri dan lebih
teliti.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperolah peneliti memberikan saran-saran
sebagai berikut.
1. Bagi Guru
a. Penggunaan model Guided Discovery Learning pendekatan
metakognisi siswa berbantuan Schoology efektif dalam
mengembangan kemampuan pemecahan masalah siswa. Oleh
karena itu, model pembelajaran ini bisa menjadi salah satu pilihan
untuk dapat diterapkan dikelas dalam pengembangan kemampuan
pemecahan masalah siswa.
b. Setiap siswa mempunyai kemampuan AQ yang berbeda dan
memiliki kemampuan pemecahan yang berbeda-beda, oleh karena
itu guru sebaiknya memberikan perhatian yang lebih terhadap
siswa yang kategori Quitters agar supaya siswa tersebut tidak
terbiasa selalu menyerah dalam menyelesaikan soal.
160
2. Bagi Siswa
Melalui pembelajaran GDL pendekatan metakognisi
berbantuan Schoology, kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa meningkat.
3. Bagi Sekolah
Dijadikan bahan untuk memotivasi guru dalam mengembangkan
pembelajaran matematika, terutama kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa.
161
DAFTAR PUSTAKA
Afri, L.D., 2018. Hubungan Adversity Quotient Dengan Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa SMP Pada Pembelajaran Matematika. Axiom, 7 (2) : 48
Afrida, A.N., Sugiarto, Soedjoko, E. 2015. Keefektifan Guided Discovery
Berbantuan Smart Sticker Terhadap Rasa Ingin Tahu Dan Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa Kelas VII, UJME, 4 (2):104-109.
Agustyarini, Y.,Jailani. 2015. Pengembangan Bahan Ajar Matematika Dengan
Pendekatan Kontekstual Dan Metode Penemuan Terbimbing Untuk
Meningkatkan EQ Dan SQ Siswa SMP Akselerasi, JRPM , 2 (1) : 135 – 147
Amparo, M. M. , 2015. The Level Of Adversity Quotient And Social Skills Of
Student Leaders At De La Salle Lipa, A Thesis Presented To The Faculty
Of Psychology Department College Of Education, Arts And Sciences De
La Salle Lipa
Archambault, J. 2008. The Effect of Developing Kinematics Concepts
Graphically Prior to Introducing Algebraic Problem Solving Technique.
Action Reasearch Required for the Master of Natural Science Degree with
Concentration in Physics; Arizona State Univers ity.
Arifin, Z. 2014. Evaluasi Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S., 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta :Bumi Aksara
Arvyaty, S. dan Maryanti, E. 2018. Teaching Material Mathematics with a
Metacognitive Approach Guidance. Department of Mathematics Education,
Halu Oleo University, Indonesia, Journal of Education and Learning
(EduLearn) 12 (2): 306-310 ISSN: 2089-9823
Ayubi, I.I.A., Erwanuddin, Bernard, M., 2018. Pengaruh Pembelajaran
Berbantuan Masalah Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa SMA, JPMI, 1(3) , ISSN 2614-2155
Banitt, J. 2013. The Effects of Technology Integration on Student
Engagement.http://sophia.stkate.edu/maed/7/. Diunduh tanggal 16 September 2018.
Buyung. 2017, Analisis Kemampuan Literasi Matematika Dan Karakter Kerja
Keras Melalui Pembelajaran Inkuiri Dengan Strategi Scaffolding. Tesis
Pensisikan Matematika, S2. Unnes : Semarang.
Bruner, Jerome S, 1915. Encyclopedia of the sciences of learning. Springer, DOI
10.1007/978-1-4419-1428-6,
162
Chrissanti, M.I.C., Widjajanti, D.B., 2015. Keefektifan Pendekatan Metakognitif
Ditinjau Dari Prestasi Belajar, Kemampuan Berpikir Kritis, Dan Minat
Belajar Matematika. JRPM, 2 (1) : 51-62
Dalgarno, B., Kennedy. G., and Bennett, S., 2014. The impact of students’
exploration strategies on discovery learning using computer-based
simulations EMI. Educ. Media Int. 51 pp. 310–329
Darojat, latifah. 2016. Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Dalam
Menyelesaikan Soal Open Ended Berdasarkan AQ Dengan Learning Cycle
7e. Vol. 5 (1)
Darma, Y., Sujadi, I., 2014. Strategi Heuristik Dengan Pendekatan Metakognitif
Dan Investigasi Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau Dari Kreativitas Siswa Madrasah Aliyah, JPM, 15(2)
Diandita, E.R., Johar, R., Abidin, T.F., 2017. Kemampuan Komunikasi Matematis
Dan Metakognitif Siswa SMP Pada Materi Lingkaran Berdasarkan Gender.
JPM, 11 (2), Hal 79-97
Dewi, dkk. 2017. Pengaruh Guided Discovery Learning Terhadap Pemecahan Masalah Matematis dan Self-Efficacy Siswa. JPM , 18(2).
Effend i, L. A. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan
Terbimbing untuk Meningkatkan Kemapuan Representasi dan Pemecahan
Masalah Matematis Siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol.13(2), 1412565X.
Fajar, I.B., 2016 Perbandingan Penggunaan Antara Model Guided Inquiry Dengan
Guided Discovery Learning Dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada
Pembelajaran TIK (Studi kasus siswa kelas VII SMP Kesatrian 1 Semarang
tahun ajaran 2014/2015). Vol 3(1)
Fajariah, Dwidayati, Cahyono. 2017. Kemampuan Pemecahan Masalah Ditinjau
dari Self-Efficacy Siswa dalam Implementasi Model Pembelajaran Arias
Berpendekatan Saintifik. UJMER Vol.6 (2)
Fauziyah, L., Kartono. 2017. Model Problem Based Learning dengan Pendekatan
Open- Endedu untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa.
UJMER 6 (1): 59-67
Cohors-Fresenborg, E., and Kaune, C., 2007, Modelling Classroom Discussion
and Categorizing Discursive and Metacognitive Activities, In Proceeding of
CERME 5
163
Hakim, dkk. 2018. Hubungan self confidence dan adversity qoutient terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Jurnal penelitian
pendidikan. ISSN 1412-565 x. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
Hartono, Y., Zulkardi, Novita, R. 2012. Exploring Primary Student’s Problem-
Solving Ability by Doing Tasks Like PISA’s Question. JME, 3(2) : 133-
150
Hartanto, F., D., Mariani, Sc., 2019. An Analysis of Mathematical Problem
Solving Ability in Terms of Students’ Cognitive Style in Learning PBL
Includes Ethnomatematics, UJMER 8 (1) : 65-71
Hastuti, E.D., Suyitno, H., Waluyo, S.B., 2014. Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Pada Pembelajaran Terpadu Model Integrated Bermuatan
Pendidikan Karakter UJMER 3 (2) ISSN 2252-6455
Hawa, Siti. 2014. Pengembangan Pembelajaran Matematika. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Hamalik, Oemar. (2002). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi.
Jakarta: Bumi Aksara
Hidayat, W., Sariningsih, R., 2018. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Dan Adversity Quotient Siswa Smp Melalui Pembelajaran Open Ended,
JNPM , 2 (1) : 109
Hidayat, Y.,N., Wardono, Rusilowati, A., 2017. Analisis Kemampuan Literasi
Matematika Ditinjau Dari Metakognisi Siswa dalam Pembelajaran Synectic
Berbantuan Schoology, ISSN 2613 – 9189
Herlambang, 2013. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Kelas VII-A SMP Negeri 1 Kepahiang tentang Bangun Datar Ditinjau Dari
Teori Van Hielle. Tesis. Bengkulu: PPS Universitas Bengkulu.
Hesti, C. dan Setyawati, R. W. 2016. Pentingnya Peningkatan Kemampuan
Pemecahan Masalah melalui PBL untuk Mempersiapkan Generasi Unggul
Menghadapi MEA. Seminar Nasional Matematika X. Semarang :
Universitas Negeri Semarang
Hutauruk, J.B. dan Agusmanto. 2016. Pendekatan Metakognitif Dalam
Pembelajaran Matematika. ISSBN 978-602-71252-1-6. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia.
Ibda, Fatimah. 2015, Perkembangan Kognitif : Teori Jean Piaget. Jurnal Dosen
Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Ar-Raniry.
164
Imawan, O.R., 2015. Perbandingan antara Keefektifan Model Guided Discovery
Learning dan Project-Based Learning pada Matakuliah Geometri, JPM
10(2):179-188, ISSN : 1978-4538
Kaune, C. & Cohor, E. F. 2003. Mechanisms Of The Taking Effect Of
Metacognition In Understanding Prosesses In Mathematics Teaching
Germany : institute for cognitive mathematics faculty of mathematics and
computer science university of osnarbruck. D-49069
Kariman, D., Harisman, Y., Sovia, A., Prahmana, R.C.I., 2019 Effectiveness Of
Guided Discovery-Based Module: A Case Study In Padang City, Indonesia.
JME, 10 (2): 239-250
Karim, A., 2012. Penerapan Metode Penemuan Terbimbing Dalam Pembelajaran
Matematika Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Kemampuan
Berfikir Kritis Siswa Sekolah Dasar. ISSN 1412-565X
Kay, D. dan Kibble, J. 2016. Learning theories 101 : aplikcation to everyday
teaching and scholarship. Doi : 10.1152. medical education, college of medicine, university of central florida, orlando, florida.
Mawaddah, NE., Kartono, Suyitno, H., 2015. Model Pembelajaran Discovery
Learning Dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan
Metakognisi Dan Kemampuan BerpikirKreatif Matematis. UJMER 4 (1)
ISSN 2252 -6455
Maskur. 2016, Model PBL dengan Scaffolding Berbantuan Schoology untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Karakter Mandiri.
Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Maya, Y., Ibrahim, L.,Safrina, K., 2018. Penerapan Model Pembelajaran Guided
Discovery Learning (Gdl) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Pada Siswa
Smpn I Bandar Baru, Vol.2 (2) , ISSN 2549-3906
Mayer R E. 2002. The Promise of Educational Psychology, Vol II Teaching for
Meaningful Learning (Pearson Education, New Jersey)
Martio, F. 2017, Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemandirian Siswa
Berdasarkan Adversity Qoutient Pada Pembelajaran Berbantuan Masalah.
Vol. 2 (1)
165
Millah, N., Waluya, B.St., Walid, 2018. Problem solving skill through think pair
share model with murder approach viewed from learning interest of tenth
grade students, UJME 7 (3) :172-179, ISSN : 2252 – 6927
Merianah. 2019. Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Adversity Quotient
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SDIT
IQRA’1 Kota Bengkulu. JPMR , 4(1): 29- 35
Mulhamah dan Putrawangsa, S., 2016. Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Dalam Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika, JPM,
10 (1) : 59-80
MZ, Z.A., & Wahyudin. 2016. Exploration of metacognitive ability at elementary
school students in learning mathematics (Case study in 1 th Grade students
of elementary school). Journal of Innovative Technology and Education,
3(1) : 179-184.
MZ, Z.A., Risnawati, Kurniati, A., Prahmana, R.C.I., 2017. Adversity Quotient in
Mathematics Learning (Quantitative Study on Students Boarding School in
Pekanbaru), IJEME, Vol. 1 (2) : 169-176
NCTM. 2000. Principles And Standards For School Mathematics. Reston VA : NCTM.
National Council of Teacher of Mathematics. 1973. Principles and Standards for
School Mathematics. Reston. VA: NCTM. Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA.
E-ISSN 2502-5457, p-ISSN 2088-351X
Nuraina. 2018, Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery
Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Pada Materi Trigonometri. Majalah Ilmiah Universitas Almuslim, Volume 10 (3) ISSN : 2085-6172.
Nurhayati, dan Fajrianti, Noram. 2015, Pengaruh Adversity Qoutient (AQ) Dan Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Belajar Matematika.
Nugroho, A.A.N., Putra, R.W.Y.,Putra, F.G., Syazali, M., 2017. Pengembangan
Blog Sebagai Media Pembelajaran Matematika, Al-Jabar, Vol.8 (2) :197-
203
Nurasyiyah, D. A., 2014. Pendekatan Metakognitif Dalam Pembelajaran
Matematika Untuk Pencapaian Kemampuan Koneksi Dan Pemecahan
Masalah Matematik Siswa Sma. JMP, 6 (2): 115-125
Noer, S. H. dan Asri, E. Y. 2015. Guided Discovery Learning dalam
Pembelajaran Matematika. Hal : 891. ISBN. 978-602-73403-0-5. Seminar
Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika UNY.
166
Nikam, V.B., & Uplane, M.M. 2013. Adversity quotient and defense mechanism
of secondary school student. Universal Journal of Educational Research,
1(4), 303-308.
Nuriyatin, S., Hartono, H., 2018. Pengembangan Pembelajaran Penemuan
Terbimbing Untuk Meningkatkan Berfikir Kritis Dan Motivasi Belajar
Geometri Di SMP, Pythagoras : Jurnal Pendidikan Matematika, 11 (2) :
207-218
Noriza, M.D., Kartono, & sugianto, 2015. Kemampuan Pemecahan Masalah Dan
Disposisi Matematis Siswa Kelas X Pada Pembelajaran Berbantuan
Masalah. UJMER 4 (2) ISSN 2252-6455
Lestari, I., Andinny, Y., mailizar, 2019. Pengaruh Model Pembelajaran Situation
Based Learning dan Kemandirian Belajar Terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis, JNPM , 3 (1)
Leonard dan Amana. 2014, Pengaruh Adversity Quotient (AQ) Dan Kemampuan
Berpikir Kritis Terhadap Prestasi Belajar Matematika. Universitas
Indraprasta PGRI
OECD. 2016. PISA 2015 Results in Focus. New York: Columbia University
Özsoy , Gökhan and Aysegül Ataman, 2009. The effect of metacognitive
strategy training on mathematical problem solving achievement,
international Electronic Journal of Elementary Education , 1(2), Aksaray
University, Aksaray, Turkey
Pehkonen, E., Näveri, L., & Laine, A. 2013. On teaching problem-solving in
school mathematics. CEPS Journal: Center for Educational Policy Studies
Journal, 3(4) : 9-23.
Prameswari, 2016. Profil Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Ditinjau
Dari Adversity Quotient (AQ). Vol. 5(3). Universitas Negeri Surabaya
Priangga, Y.S., dan Wardono, 2019. Pengembangan Media Pembelajaran
PLSolves Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Materi SPLTV
Aturan Cramer, ISSN 2613- 9189.
Purnomo, Y.W., 2014. Keefektifan Model Penemuan Terbimbing dan
Cooperative Learning Pada Pembelajaran Matematika, Vol. 41 (1) :37-54
Purwati, L., Rochmad, Wuryanto, 2018. An analysis of mathematical problem
solving ability based on hard work character in mathematics learning using
connecting organizing reflecting extending model, UJME, 7 (3) :195 -202 ,
167
ISSN : 2252-6927
Polya, G. 1973. How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Methods. New Jersey: Pearson Education, Inc
Polya, G. 1985. How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Methods. New
Jersey: Pearson Education, Inc
Qorri’ah. 2011. “Penggunaan Metode Guided Discovery Learning Untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa Pada Pokok Bahasan Bangun
Ruang Sisi Lengkung”. Skripsi. Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah
Rumapea, R., 2018. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Dan
Pemberian Soal Open-Ended Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis Siswa Ditinjau Dari Kemampuan Awal Matematika, JPM,
Volume 12 (1) : 1-14
Runisah, Herman, T., & Dahlan, J.A. (2017). Using the 5e learning cycle with
metacognitive technique to enhance students’ mathematical critical thinking
skills. International Journal on Emerging Mathematics Education, Vol.1(1)
: 87-98.
Ruseffendi. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: Tarsito
Rochani, S. 2016. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Adversity
Quotient Siswa SMP Melalui Pembelajaran Open Ended, Jurnal Riset
Pendidikan Matematika, Vol. 3(2) : 273-283
Rohmawati, Afifatu. 2015. Efektivitas Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Usia
Dini. Vol. 9 Edisi 1. Jakarta : PAUD Pps Universitas Negeri Jakarta.
Riau, B.E.S., Junaedi, I., 2016. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematik Siswa Kelas VII Berdasarkan Gaya Belajar Pada Pembelajaran
PBL. UJMER 5 (2)
Santoso, F.A., Soedjoko, E., 2019. The Problem Solving ability of 7th grade
students on problem based learning assisted by mathematics mobile
learning application, UJME 8 (2) : 89- 97, ISSN : 252-6927
168
Sinaga, N.A., 2016. Pengembangan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Dan
Penalaran Matematika Siswa SMP Kelas VIII, Pythagoras: Jurnal
Pendidikan Matematika, 11 (2) :169-181
Sitorus, J.S., Rahayu, A., 2016.Effect of Guided Discovery Method And Problem
Solving Method fo Students’ Critical Thinking Ski ls, advances in
Economics, Business and Management Research, Vol 15 : 224-228
Senthamarai, K.B., C. Sivapragasam, & R. Senthilkumar. 2016. A Study On
Problem Solving Ability In Mathematics of IX Standard Students in
Dindigul District. International Journal of Applied Research, 2(1): 797-799.
Sugiman, Kusuma, Y.S., 2013. Dampak Pendidikan Matematika Realistik
Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Smp. JME,
1 (1) : 41-51
Sulistiyoningsih, T., Kartono, Mulyono, 2015. PBL Bernuansa Adiwiyata Dengan
Blended Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah
Dan Karakter Peduli Lingkungan, UJMER 4 (2) ISSN 2252-6455
Sunandar, M.A., Zaenuri, Dwidayati, N.K., 2018. Mathematical Problem
Solving Ability Of Vocational School Students On Problem Based
Learning Model Nuanced Ethnomatematics Reviewed From Adversity
Quotient, UJMER 7 (1) : 1-8
Sundawan, M.D., Nopriana, T., 2019. Guided-Discovery Learning, Representasi
Matematis dan Konsep Diri Mahasiswa pada Materi Geometri, JNPM, 3 (1),
DOI: http://dx.doi.org/10.33603/jnpm.v3i1.1868.
Supinah dan Widdiharto, R. 2015.Implementasi Kurikulum 2013 dalam
Pembelajaran Matematika.Yogyakarta : PPPPTK Matematika
Supardi. 2013. Sekolah Efektif, Konsep Dasar dan Praktiknya. Jakarta: Rajawali
Pers.
Surya, E., Putri, F.A., Mukhtar, 2017, Improving Mathematical Problem-Solving
Ability And Self-Confidence Of High School Students Through
Contextual Learning Model, Vol. 8(1) : 85-94
Suryapuspitarini,B.K., Dewi,N.R., 2018. Problem Solving Ability Viewed From
The Adversity Quotient on Mathematics Connected Mathematics Project
Learning (CMP) With Etnomathematics Nuanced. UJMER 7(2) : 123-129
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
169
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sudjana, Nana. 2005. Dasar-dasar Proses\Belajar Mengajar. Bandung. Sinar
Baru Algensindo.
Sukestiyarno. 2014. Statistika Dasar. Yogyakarta: ANDI.
Sukestiyarno, 2012. Olah Data Penelitian Berbantuan SPSS. Cetakan 4. Semarang
: Universitas Negeri Semarang
Sumartini, T.S., 2016. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa melalui Pembelajaran Berbantuan Masalah. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP Garut. 8 (3).
Stefano, Besana. 2012. Schoology: Il Learning Management System Diventa
Social. Online di
http://www.schoollibraryjournal.com.article/schoology.html//.Diunduh tanggal 30 September 2018.
Syaharuddin, 2016. Deskripsi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Dalam Hubungan Dengan Pemahaman Konsep Ditinjau Dari Gaya Belajar
Siswa Kelas VIII SMPN 4 Binamu Kabupaten Jeneponto. Tesis Universitas
Negeri Makassar.
Stoltz, PG. 2000. Adversity Quotoient, Mengubah Hambatan Menjadi Peluang
(diterjemahkan oleh T Hermaya). Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Bisnis, Cetakan ke-17, Bandung : Alfabeta.
Sugiyono. 2014, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R &D. Bandung: Alfabeta.
Susanti, Musdi, E., Syarifuddin, 2017. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Matematika Materi Statistika Berbantuan Penemuan Terbimbing Untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Materi
Statistika. JNPM, 1 (2) : 305
Syaiful, 2012. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Melalui
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. ISSN: 2088-2157. Vol. 02 (01)
Universitas Jambi.
Syazali, M. 2015. Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving
Berbantuan Maple II Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis,
Al-Jabar, Vol.6 (1) : 91-98
170
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1989).
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif -Progresif. Jakarta:
Kencana.
Ulfa, M., 2016. Perbandingan Keefektifan Antara Pembelajaran Penemuan
Terbimbing Dan Budaya Lokal Ditinjau Dari Prestasi Dan Motivasi Belajar. Pythagoras : Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 11 (2) : 149-159
Utami, L. P. 2016, Konstruktivisme dan teori sosiokultural : aplikasi dalam
pengajaran bahasa inggris. Jurnal bahasa, seni, dan pengajarannya.
Universitas Pendidikan Ganesha. Vol 11 (1).
Utami, E.U., Nugroho, A.A.N., Dwijayanti, I., Sukarno, A., 2018. Pengembangan
E-Modul Berbantuan Etnomatematika Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah, JNPM, Vol.2 (2) : 268
Ulfa, L., dan Wutsqa ,D. U.l, 2016. The Effectiveness of E-learning Media with
Guided Discovery Method from The Perspective of Student’s Mathematics
Problem Solving Skill, ICRIEMS Proceedings Published by Faculty Of
Mathematics And Natural Sciences Yogyakarta State University, ISBN 978-602-74529-3-0
Vendiagrys, L.,Junaedi, I., Masrukhan, 2015. Analisis Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Soal Setipe TIMSS Berdasarkan Gaya Kognitif Siswa
Pada Pembelajaran Model Problem Based Learning, UJMER 4 (1), ISSN
2252-6455
Wardono, Waluya, S.B., Kartono, Mulyono dan Mariani, S. 2018. Literasi
Matematika Siswa SMP pada Pembelajaran Problem Based Learning
Realistik Edmodo Schoology. PRISMA, Prosiding Seminar Nasional
Matematika. Vol. 1 (21) : 477 – 497
Wardhani, Sri dkk. 2010. Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK.
Widyastuti, Rany. 2015. Proses Berpikir Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah
Matematika Berdasarkan Teori Polya Ditinjau Dari Adversity Quotient Tipe
Climber. Al-Jabar, Vol.6(2) : 183-193
Wilson, J.W., Fernandez, M.L., dan Hadaway, N. (1993). Mathematical Problem
Solving. [online]. Tersedia: http://jwilson.coe.uga.edu/emt725/PSsyn/ Pssyn.
html. [25 September 2018]
171
Yulianto & Jailani, 2014, Pengembangan Perangkat Pembelajaran Geometri Smp
Menggun Akan Metode Penemuan Terbimbing Pada Kelas VIII Semester II
JRPM, Vol. 1(1) : 127-138
Yanuarto , Wanda Nugroho. 2015. Discovery Learning Dalam Mata Kuliah Teori
Belajar Dan Pembelajaran Untuk Menumbuhkan Kemampuan Penemuan
Diri. Isbn : 978-602-14930-3-8 Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian
Dan Pengabdian Lppm Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Yurniwati & Hanum, L. (2017). Improving mathematics achievement of
Indonesian 5 grade students through guided discovery learning. Journal on
Mathematics Education, 8(1):77–84.
Yusuf, Bistari Basuni. 2018. Konsep dan indikator pembelajaran efektif . Jurnal
kajian pembelajaran dan keilmuan, Pendidikan Matematika FKIP Untan.
Vol.1(2).