1BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hukum positif di Indonesia pada pokoknya mengenal
bentuk-bentuk perusahaan seperti Firma (Fa), Commanditair
Vennootschap (CV), Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Akan
tetapi dari bentuk-bentuk yang ada itu, selain koperasi yang
memang didorong perkembangannya, maka yang banyak didirikan
adalah PT.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini frekuensi
pendirian PT mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini
dapat disimak dari pandangan bahwa dari berbagai bentuk
perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, persekutuan
komanditer, koperasi dan lain sebaginya, maka bentuk perusahaan
PT merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan
bahwa PT merupakan bentuk perusahaan yang dominan.1
Banyaknya pendirian PT baik yang dilakukan oleh Warga
Negara Indonesia(WNI) maupun Warga Negara Asing terutama
dalam rangka kegiatan penanaman modal, lebih banyak
dilatarbelakangi pertimbangan sehubungan dengan status badan
1 Irna Nurhayati, 16/02/2010 10:55, Ulasan Tentang Status Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. H.1. Magister Hukum UGM, http://mhugm.wikidot.com
1
2hukum yang melekat pada PT, di samping itu juga karena sifat PT
sebagai suatu asosiasi.
Sifat sebagai asosiasi menempatkan PT itu dalam bidang
yang luas karena istilah tersebut dapat mengandung pengertian
bahwa pada satu sisi PT merupakan asosiasi modal dan pada sisi
lain PT adalah asosiasi orang. Sebagai asosiasi modal berarti
terdapat pengumpulan modal dari berbagai pihak dalam PT, dan
asosiasi orang mencerminkan PT merupakan wadah berkumpulnya
banyak pihak yang bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan
yang telah dituangkan dalam anggaran dasar.
Dari sifat-sifat baik sebagai asosiasi modal maupun orang,
keduanya mencerminkan satu pemahaman bahwa keberadaan PT
dapat memberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi bagi
angkatan kerja atau juga menciptakan peluang-peluang usaha
bagi banyak pihak yang nantinya merupakan mitra bisnis.
Ditinjau dari aspek hukum perjanjian perbuatan mendirikan,
memiliki dan mengelola Perseroan Terbatas (PT) tidaklah
merupakan perbuatan tunggal, melainkan sejak bentuk badan
hukum perusahaan dikenal sudah menjadi perbuatan yang
melibatkan lebih dari satu orang, bahkan banyak orang. Di dalam
PT terdapat berbagai hubungan hukum yaitu antara pemegang
saham yang satu dengan yang lain, antara perseroan dengan
3direksi, komisaris, pegawai, dan antara perseroan dengan pihak
ketiga.
Keberadaan berbagai hubungan tersebut merupakan suatu
indikator atau suatu pertanda yang menunjukan bahwa PT sejak
mulai dari perancangan pendiriannya, tahap operasional sampai
dengan berakhirnya jangka waktu untuk mana PT itu didirikan
sebenarnya penuh dengan berbagai perjanjian. Oleh karena itu
dikemukakan bahwa PT merupakan perwujudan dari perjanjian-
perjanjian.
Bertumpu pada uraian singkat tersebut semakin jelaslah di
dalam suatu PT terdapat suatu proses yang didukung oleh berbagai
perjanjian. Keberadaan perjanjian-perjanjian itu bersifat
menghidupkan, memelihara kelangsungan hidup PT yang
bersangkutan, bahkan dapat juga mengantarkan menuju pada
proses yang mengakhiri eksistensi PT itu sendiri. Perjanjian
diantara para pemegang saham pada pokoknya bersifat
menghidupkan dan sebaliknya mengakhiri, sedangkan perjanjian
dengan direksi, stake holder terutama karyawan serta pihak ketiga
mengandung sifat yang bertujuan memelihara kelangsungan hidup
PT.
Berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan dalam
rangka kelangsungan hidup atau operasional PT, maka pertama-
4tama terlihat pentingnya kedudukan pemegang saham termasuk
Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS) dan direksi, komisaris
termasuk pula para staf serta pegawai yang dipekerjakan pada PT
dan tidak ketinggalan pihak ketiga, misalnya perjanjian-perjanjian
yang dibuat oleh Direksi sebagai wakil PT dengan pihak lain
seperti perjanjian dagang.
Seluruh komponen yang telah disebutkan itu pada
pokoknya memberikan kontribusi yang tidak kecil berupa
kewajiban-kewajiban dan atau peranan sesuai porsinya masing-
masing dalam rangka memajukan dan meningkatkan
perkembangan PT. Oleh karena itu agar tercipta suatu
keseimbangan, maka dipandang perlu untuk memberikan perhatian
mengenai aspek perlindungan hukumnya.
Sehubungan dengan pandangan bahwa PT merupakan suatu
bentuk yang paling dikenal, banyak digunakan sebagai bentuk
dominan dari perusahaan , maka perkembangan pemanfaatan PT
yang pesat ini memperoleh perhatian secara yuridis. Hal ini dapat
dilihat dengan adanya pengaturan PT yang berkembang dengan
pesat pula. Pengaturan yang pada awalnya dituangkan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (pasal 26 s/d pasal 56 KUHD)
diganti dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas yang kemudian diganti dengan Undang-undang
5No. 40 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 106) atau yang disingkat dengan UUPT.
Sejalan dengan pertimbangan bahwa PT merupakan
kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka UUPT pada pokoknya
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada PT untuk
menjalankan atau mewujudkan maksud dan tujuan serta kegiatan
usahanya sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam anggaran
dasar.
Berkaitan dengan penyelenggaraan PT, undang-undang
memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Hal ini dapat dilihat antara lain dalam
Pasal 75 ayat (1) UUPT yang menentukan : RUPS mempunyai
segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau
Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini
dan / atau Anggaran Dasar. Disamping itu juga hak-hak lain
seperti hak untuk memperoleh segala keterangan yang berkaitan
dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan atau Komisaris.
Sedangkan yang berkaitan dengan pengurusan perseroan,
Pasal 92 ayat (1) UUPT menentukan : Direksi menjalankan
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan. Penjelasan pasal tersebut
6menyatakan, bahwa ketentuan tadi menugaskan Direksi untuk
mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-
hari dari Perseroan.
Bertumpu pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 92 ayat
1 UUPT tersebut sebenarnya Direksi sudah dibatasi wewenangnya
dimana Direksi dalam menjalan pengurusan Perseroan harus tetap
berpedoman dan tidak boleh bertentangan dengan maksud serta
tujuan Perseroan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar
Perseroan.
Apabila dirinci lebih jauh lagi, Direksi dalam menjalankan
pengurusan Perseroan tunduk pada prinsip-prinsip, pertama,
Direksi dalam pengurusan harus memegang prinsip kehati-hatian
dalam bertindak, kedua, direksi harus mengutamakan kepentingan-
kepentingan Perseroan daripada kepentingan pribadinya, dan yang
ketiga, tindakan-tindakan Direksi haruslah tetap sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan yang tertuang dalam Anggaran
Dasar. Apabila Direksi menyimpang dari prinsip ini terutama
terhadap yang ketiga, maka Direksi secara tidak langsung telah
menempatkan Perseroan dalam posisi melakukan tindakan yang
melampaui kewenangan yang telah diberikan. Dalam berbagai
kepustakaan hukum, tindakan ini disebut dengan ultra vires.
7Tindakan ultra vires itu dapat menimbulkan kerugian pada
Perseroan yang berarti kerugian pula bagi para pemegang saham.
Di samping itu ultra vires juga dapat merugikan pihak ketiga.
Sebagai contoh dapat dikemukakan disini misalnya Direksi sebuah
PT Perbankan yang justru lebih banyak mengalirkan dana kepada
pemegang saham sehingga mengakibatkan PT Perbankan itu
bangkrut dan atau dilikuidasi serta merugikan nasabah penyimpan.
Dalam hal ini timbul ketidaksesuaian antara norma hokum (das
sollen) pada satu sisi dengan kenyataannya dalam praktek (das
sein) pada sisi lain.
Dalam hal ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan
pemegang saham, maka UUPT telah menyediakan norma-norma
hukum yang dapat dimanfaatkan dalam rangka memberikan
perlindungan hukum kepada pemegang saham baik yang mayoritas
maupun minoritas. Norma hukum yang dimaksud antara lain
ketentuan yang mengatur hak pemegang saham melalui RUPS
meminta pertanggungjawaban Direksi, dan ketentuan mengenai
hak pemegang saham minoritas untuk meminta dilakukannya
pemeriksaan atas jalannya Perseroan.
Akan tetapi apabila ultra vires yang dilakukan Direksi
merugikan pihak ketiga, maka pertanggungjawaban Direksi
tidaklah jelas dan UUPT tidak mengaturnya secara tegas atau tidak
jelas mengaturnya. Bab VII Bagian Kesatu UUPT mulai dari Pasal
892 sampai dengan Pasal 107 tidak dijumpai ketentuan yang secara
tegas mengatur mengenai pertangungjawaban tersebut. Akan tetapi
apabila mengacu pada Pasal 97 ayat (1) yang menentukan Direksi
bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa Direksi menjalankan
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan, maka pada satu sisi dapat
dikemukakan terdapat pengaturan tanggung jawab direksi tetapi
pada sisi lain pengaturan itu tidak jelas dan lebih menekankan
tanggung jawab terhadap perseroan. Ketidakjelasan pengaturan
tersebut merupakan suatu permasalahan hukum yang harus
dicarikan kejelasannya. Di samping dalam rangka keperluan
memperjelas hukum perseroan juga berkaitan dengan upaya
menciptakan kepastian hukum dan rasa aman kepada pihak ketiga
yang sangat berperan dalam kemajuan Perseroan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang masalah seperti
di atas dapatlah dirumuskan dua pokok masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah dasar-dasar perlindungan hukum terhadap Pihak
Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra
vires?
9b. Bagaimana upaya pemulihan hak-hak Pihak Ketiga atas
tindakan ultra vires Diresksi Perseroan Terbatas
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Sehubungan dengan maksud memperoleh hasil analisis yang
terfokus, maka terhadap rumusan masalah perlu diberikan batas-
batas atau ruang lingkupnya.
Dalam rumusan masalah yang pertama permasalahan yang
dibahas berkisar pada pertanyaan bagimana hak-hak pihak ketiga,
apakah terhadap tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas
terdapat dasar hukum untuk memberikan perlindungan bagi Pihak
Ketiga. Disamping itu relevan pula dibahas adalah mengenai
kondisi dasar hukum tersebut apakah memadai dan dapat
diterapkan, serta bagaimana pula bentuk-bentuk perlindungan
hukumnya.
Sehubungan dengan rumusan masalah yang kedua
permasalahannya berkisar mengenai bentuk dan proses
pelaksanaan perlindungan hukumnya bagi Pihak Ketiga, apakah
diberikan secara langsung atau melalui perseroan dan atau
pemegang saham mengingat direksi itu diangkat oleh dan
bertanggung jawab kepada pemegang saham melalui Rapat Umum
Pemagang Saham.
10
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Sejalan dengan banyaknya dilakukan pendirian PT
untuk keperluan bisnis, pemahaman dan pengembangan aspek-
aspek ilmu hukum yang berkaitan dengan PT harus dilakukan
secara seimbang dan tidak boleh berhenti. Hal ini sesuai dengan
paradigma science as a process (ilmu sebagai proses) dimana
dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final)
dalam penggaliannya atas keebnaran di bidang obyeknya
masing-masing2. Oleh karena itu secara umum penelitian ini
bertujuan mengembangkan aspek ilmu hukum khususnya
hukum tentang Perseroan Terbatas.
1.4.2.Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis
perlindungan hokum terhadap Pihak Ketiga dalam hal
Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires
2) Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme serta
upaya-upaya yang dapat dilakukan terhadap pemulihan hak
Pihak Ketiga atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan
Terbatas.
2 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi Magisetr Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, hal. 10
11
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
teoritis bagi pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai PT
dalam berbagai hubungan hukumnya dengan berbagai pihak.
1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat
menjadi pedoman yang komprehensif bagi semua pihak yang
terkait pendirian, pemilikan, pengelolaan dan pihak-pihak yang
berhubungan atau mengadakan transaksi dengan PT dalam
pemecahan masalah tanggung jawab terhadap pihak ketiga
berkaitan dengan tindakan ultra vires.
1.6. Landasan Teoritis
Peningkatan pendirian tersebut dapat ditandai terjadinya
hampir berbarengan dengan mulai meningkatnya aktivitas
perkenomian Indonesia setelah pertengahan dasawarsa 1960an.
Disusul dengan mengalirnya investasi asing yang masuk
Indonesia dan juga bangkitnya gairah para pemilik modal
12
nasional untuk menanamkan modalnya baik secara mandiri
maupun berpatungan dengan investor asing. Peningkatan ini
berdampak positif terhadap perkembangan pendirian PT.
Di samping itu turut pula memacu peningkatan
pendirian PT di tanah air adalah semakin berkembangnya aspek
yuridis berupa penyempurnaan pengaturan terhadap bentuk
perusahaan ini yang dimulai dengan diundangkannya Undang-
undang No. 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan
atas Ketentuan pasal 54 KUHD. Dilanjutkan dengan
diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas yang menggantikan pasal 21 sampai dengan
Pasal 56 KUHD. Terakhir undang-undang ini diganti dengan
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Petrseroan
Terbatas.
Perkembangan pengaturan itu secara tidak langsung
menunjukan perkembangan pemahaman mengenai PT sehingga
mengakibatkan banyak yang memilih bentuk perusahaan ini.
Apabila ditinjau lebih jauh, terpilihnya PT sebagai bentuk
perusahaan berbadan hukum yang paling diminati saat ini
tidaklah terlepas dari elemen-elemen yang terkandung secara
integral dalam PT itu sendiri.
13
Berdasarkan penelusuran terhadap suatu bahan hukum
sekunder3 terdapat 15 elemen yuridis dari PT pada pokoknya
sebagai berikut :
1) Perjanjian
Perjanjian yang merupakan dasar pendirian PT adalah
perjanjian yang dibuat diantara para pendiri PT tersebut.
Perjanjian seperti ini dan sepanjang memenuhi syarat-syarat
menurut Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) menimbulkan perikatan diantara pihak-pihak
yang membuatnya.
2) Adanya para pendiri
Pendiri PT sering juga disebut dengan perintis yang terdiri dari
minimal 2(dua) orang. Mengingat PT merupakan suatu badan
hukum dalam pengertian person(orang) secara semu, maka PT
itu didirikan, bukan dilahirkan sehingga perlu adanya pendiri
yang menurut Pasal 7 UU. No. 40 Tahun 2007 diwajibkan
menjadi pemegang saham.
3) Pendiri atau pemegang saham bernaung dibawah satu nama
bersama
3 Samuel Label, 22/02/2010 13:00, Perseroan Terbatas dan 15 Elemen Yuridisnya, http://rechtheory.blogspot.com.
14
Undang-undang mewajibkan bahwa PT harus mempunyai nama
dan Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun
1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas yang masih
berlaku hingga saat ini menyatakan, Perseroan Terbatas dalam
kiprahnya sebagai salah satu bentuk usaha yang berbadan
hukum memerlukan suatu nama sebagai jati dirinya. Pasal 2 PP
tersebut pada pokoknya menentukan, penggunaan perkataan
Perseroan Terbatas atau yang disingkat PT yang diletakkan di
depan nama perseroan hanya dapat dilakukan oleh badan usaha
yang didirikan berdasarkan UUPT. Hal ini merupakan
perlindungan hukum terhadap nama PT dan menimbulkan daya
tarik tersendiri untuk mendirikan PT.
4) Merupakan asosiasi dari pemegang saham
Bertumpu pada teori yang menyatakan bahwa PT merupakan
perwujudan dari perjanjian dan dalam perjanjian itu sendiri
pada pokoknya terdapat dua orang atau lebih saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal, maka dikatakanlah PT itu
sebagai asosiasi orang dan karena orang-orang yang merupakan
pendiri itu diwajibkan menjadi pemegang saham yang berarti
harus mengeluarkan modal sehingga dengan demikian PT juga
merupakan asosiasi modal.
5) Merupakan badan hukum
15
PT merupakan suatu badan hukum atau rechtpersoon, legal
entity, corpotaion. Dalam keadaan seperti ini PT memiliki
kedudukan yang dipersamakan dengan manusia dan karena itu
disebut juga manusia semu. PT sebagai badan hukum memiliki
kekayaan yang terpisah dengan kekayaan pribadi para
pemegang sahamnya. Pemisahan tersebut sesuai dengan sistem
tanggung jawab terbatas pemegang saham terhadap perikatan-
perikatan yang dibuat oleh PT melalui Direksi.
6) Diciptakan oleh hukum
PT merupakan suatu badan hukum yang dipersamakan
pengertiannya dengan person atau orang. Akan tetapi dalam hal
ini baru menjadi badan hukum atau subyek hukum menurut
Pasal 7 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 (UUPT) setelah akte
pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Inilah
yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa PT diciptakan
oleh hukum.
7) Mempunyai kegiatan usaha
Sesuai pengertian Perseroan Terbatas yang tercantum dalam
dalam pasal 1 ayat (1) UUPT dan juga anggaran-aggaran dasar
PT terlihatlah bahwa tujuan pendirian PT adalah melaksanakan
satu atau beberapa bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang
akan diberikan kepada pemegang saham dalam bentuk deviden
16
sesuai kebijaksanaan perseroan sebagaimana telah menjadi
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham. Agar dapat
membagikan keuntungan maka PT itu harus memiliki dan
menjalankan usaha.
8) Berwenang melakukan kegiatan usaha
Perseroan Terbatas sebagai suatu badan hukum adalah subyek
hukum yang berarti pula merupakan pendukung dalam
pengertian pemilik dan pelaksana hak serta kewajiban-
kewajiban hukum. Dengan demikian PT sebagai badan hukum
dapat melakukan kegiatan sendiri seperti layaknya manusia
yang dilaksanakan oleh Direksi yang merupakan salah satu
organ PT. Dalam rangka eksisetnsi kelangsungan hidupnya PT
memang layak diberi wewenang melakukan kegiatan usaha.
Untuk selanjutnya wewenang yang diberikan tetap menjadi
pedoman dalam bertindak.
9) Kegiatannya termasuk dalam ruang lingkup yang ditentukan
oleh hukum positif
Kegiatan atau aktivitas terutama bisnis perseroan harus sesuai
dengan ruang lingkup sebagaimana tercantum dalam anggaran
dasarnya. Apabila PT melalui tindakan-tindakan direksinya
melakukan kegiatan di luar ruang lingkup usaha seperti yang
ditentukan dalam anggaran dasarnya, maka PT tersebut berarti
17
telah melakukan ultra vires. Sehubungan dengan ini perlu
dijelaskan lebih jauh lagi mengenai siapa yang bertanggung
jawab dan mekanisme pertanggungjawabannya.
10) Adanya modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor
Setelah PT memperoleh status badan hukum, maka PT harus
memiliki modal dasar (authorized capital), modal ditempatkan
(issued capital) dan modal disetor(paid up capital). Diantara
modal-modal yang telah disebutkan itu maka modal yang
bersifat operasional adalah modal disetor. Modal ini secara
langsung menunjukkan nilai nominal saham yang telah diambil
dan dibayar tunai oleh pemegang saham.
11) Modal perseroan dibagi kedalam saham-saham
Modal perseroan dibagi kedalam saham-saham dalam
pengertian dari modal dasar kemudian ada modal ditempatkan
dan modal disetor. Modal yang terakhir inilah yang harus
dibayar secara tunai oleh pemegang saham. Setiap saham
mengandung nilai nominal modal yang disetor.
12) Esksistensinya terus berlangsung
Kecuali disebabkan karena terjadinya kepailitan (bankruptcy)
dan dilakukan likuidasi, PT merupakan suatu bentuk
perusahaan yang dapat mempertahankan masa hidupnya atau
18
kelangsungan hidup secara terus menerus, meskipun para
pemegang sahamnya silih berganti, bahkan meninggal dunia.
Suatu PT dapat memiliki sifat seperti ini disebabkan karena PT
menganut prinsip keterpisahan sehingga eksistensi PT sebagai
badan hukum terpisah dengan para pemegang sahamnya.
Dengan demikian PT dapat berlangsung terus, walaupun terjadi
pergantian pemegang saham, peralihan saham termasuk apabila
saham itu dijadikan jaminan utang. Berkaitan dengan
kelangsungan hidup PT secara terus-menerus itu dikemukakan
bahwa PT memiliki perpetual succession. Menurut ensiklopedi
Wikipedia4 perpetual succession merupakan the continuation of
a corporations or other organizations existence despite the
death, bankruptcy, insanity, change in membership or an exit
from the business of any owner or member, or any transfer of
stock, etc... Perpetual succession, along with a common seal, is
one of the features defining a corporations legal existence as
separate from those of its owners. Sementara itu Lewis D.
Solomon dan Alan R. Palmiter5, yang mengemukakan, the
corporation creates an immortial juridical entity that exists
beyond the lives of its participants. Dari pandangan-pandangan
tersebut dapat dapat disimpulkan, PT sebagai badan hukum
dilengkapi dengan prinsip perpetual succession yang
4 Wikipedia Encyclopedia, 24/02/10, Perpetual Succession, www.En.wikipedia.org5 Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter, 1994, Corporation, Examples and Explanations, Little, Brown and Company, Boston, hal. 13.
19
memberikan semacam kehidupan atau eksistensi secara terus
menerus. Ketika jangka waktu pendiriannya berakhir, jangka
waktu tersebut masih dapat diperpanjang lagi. Ini berarti PT
akan dapat menjamin kelangsungan eksistensinya.
13) Berwenang menerima, mengalihkan dan memegang aset-
asetnya
Dalam melaksanakan kegiatan usahanya PT mempunyai
kewenangan untuk menerima, mengalihkan dan memegang
aset-asetnya menurut peraturan yang berlaku. Namun demikian
terhadap kewenangan itu terdapat juga pembatasanya. Salah
satu pembatasan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan
pemilikan hak atas tanah. PT sebagai badan hukum yang berarti
juga merupakan subyek hukum tidak ada permasalahan apabila
memegang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Pakai dan Hak Sewa. Akan tetapi untuk dapat
memegang Hak Milik atas Tanah, maka tidaklah setiap PT
dapat diberikan hak milik atas tanah, kecuali badan hukum yang
bergerak di bidang sosial dan PT-PT tertentu milik negara yang
bergerak di bidang perbankan. Pembatasan-pembatasan seperti
ini dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat
Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia/LNRI Tahun 1963 Nomor 61).
20
14) Dapat menggugat dan digugat di pengadilan
Sehubungan dengan pelaksanaan aktivitas bisnis sehari-hari
suatu PT sudah sewajarnya apabila menjalin hubungan hukum
dengan pihak lainnya atau stake holder yang antara lain
meliputi pemerintah, karyawan, dan pihak ketiga. Dalam
hubungan hukum tersebut seringkali terdapat tindakan-tindakan
yang melanggar perjanjian yang sudah disepakati. Dalam upaya
mempertahankan hak-hak masing-masing, baik PT maupun
pihak lain tersebut dapat menggugat dan digugat di pengadilan.
Dalam hal PT menggugat atau digugat di pengadilan, maka
Direksilah yang mewakili perseroan (Pasal 98 UUPT), dan
apabila dilakukan penyitaan, sesuai dengan prinsip pemisahan
kekayaan, maka penyitaan itu dilakukan terhadap aset
perseroan.
15) Mempunyai organ perseroan
PT memiliki 3 (tiga) orang yang terdiri dari Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. RUPS
adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas
yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau anggaran
dasar. Direksi merupakan organ perseroan yang berwenang dan
21
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Sedangkan Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang
bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada
Direksi. Menurut T. Kitagawa yang pada pokoknya
mengemukakan, the development of an organic theory of the
corporation may also be considered a response to the organic
theory of the state, memang tampak persamaan antara organ
perseroan dengan organ pemerintahan terutama apabila dilihat
dari segi fungsinya. Sehubungan dengan ini perlu dikemukakan
Theory of the Corporation menurut pandangan Lewis D.
Solomon dan Alan R. Palmiter6 bahwa the corporation
separates the functions of funding and managing the business.
Secara garis besarnya organ-organ PT menurut fungsi yang
dijalankan pada pokoknya dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi
pendanaan dan fungsi pengelolaan. Fungsi pertama mencakup
keberadaan pemegang saham dan yang kedua mencakup direksi
serta komisaris.
6 Ibid. hal. 5
22
Dari elemen-elemen tersebut maka yang sangat perlu
dicermati khususnya karena menyangkut topik penelitian yang
sedang digarap ini adalah elemen yang pertama, yaitu perjanjian
yang menurut Prof. Subekti7 merupakan suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan
menurut Prof. Wirjono Projodjodikoro8 perjanjian itu adalah
suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji
untuk melakukan sesuatu hal dan untuk tidak melakukan
sesuatu hal, sedang pihak lain berhak atas pelaksanaan janji itu.
Apabila dicermati dalam kegiatan-kegiatan mendirikan,
memiliki dan mengurus PT ternyata terdapat perjanjian-
perjanjian. Pada saat para pendiri mengadakan kesepakatan
mendirikan PT terdapat perjanjian yang kemudian dituangkan
dalam akte pendirian dan anggaran dasar. Sehubungan
pemilikan saham yang sebenarnya berarti pemilikan PT juga
dijumpai adanya perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli
saham. Pengurusan PT yang dilakukan Direksi pada pokoknya
merupakan pula pelaksanaan dari perjanjian bahwa Direksi
akan melaksanakan tugasnya sesuai anggaran dasar. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa PT sebagai badan hukum
7 R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 78 Syarif Basir, 2009, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, hal. 1
23
sebenarnya merupakan implementasi atau perwujudan dari
berbagai perjanjian baik yang terjadi diantara sesama pendiri,
sesama pemegang saham, antara pemegang saham dengan
pengurus atau direksi, dan antara perseroan melalui direksi
dengan berbagai komponen stake holder atau pihak ketiga.
Terhadap fenomena PT merupakan perwujudan dari
perjanjian-perjanjian melalui penelusuran berbagai kepustakaan
dijumpai landasan teoritisnya. Landasan yang dimaksud
diformulasikan dalam The Nexus of Contract Theory. Menurut
Wikipedia Encyclopedia9, PT sebagai a nexus of contract
mengandung pengertian bahwa teori tersebut .... is an
idea....which asserts that corporations are nothing more than a
collection of contracts between different parties - primarily
shareholders, directors, employees, suppliers, and customers.
Sedangkan Stefano Lombardo dan Piero Pasotti10
mengemukakan bahwa The Nexus of Contract Theory pada
pokoknya ....views the business corporation a set of
coordinated contracts among different parties.
Dengan menelusuri makna dari The Nexus of Contract
Theory sebenarnya sudah dapat dipahami bahwa teori tersebut
9 Wikipedia Encyclopedia, 16/02/2010 12:11, Nexus of Contract, http://en.wikipedia.0rg 10 Stefano Lombardo dan Oiero Pasotti, 2009, Disintegrating The Regulation of The Business Corporation As a Set of Coordinated Contracts Among Different Parties, http://journals.cambridge.org hal. 35
24
secara tidak langsung mencerminkan subyek-subyek hukum
yang menjadi para pihak dalam perjanjian-perjanjian (the
contracting party) dalam dan dengan PT itu sendiri.
Berdasarkan asas Pacta Sun Servanda yang berarti
perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian11
seperti terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum
tercermin, maka perjanjian itu berlaku seperti undang-undang
atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus ditaati.
Di samping asas Pacta Sun Servanda, maka perlu juga
memperhatikan asas Itikad Baik yang menurut M.L. Wry
seperti dikutip oleh Setia DTH12 merupakan perbuatan tanpa
tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa
menggangu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan
sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain.
Di samping asas itikad baik, asas kepastian hukum yang
menunjuk kepada perberlakuan hukum yang jelas, tetap,
konsisten dan konsekuen,13 mengajarkan agar memberikan
perlindungan terhadap hak-hak pihak ketiga yang sangat
11 Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Pacta Sun Servanda,http:// www.kamushukum.com hal. 112 Setia DTH, 2008, Itikad Baik Menurut Hukum, http://setia-ceriahati.blogspot.com 22/02/10 13:15, hal. 113 Raimond Flora Lamandesa, 2008, Penegakan Hukum, WWW.Scribb.com hal.1
25
berperan dalam menunjang perkembangan perseroan. Tanpa
ada pihak ketiga sebenarnya suatu perseroan tidak akan
berkembang.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapatlah
dikemukakan, makna-makna yang terkandung dalam The Nexus
of Contract Theory yang dikaitkan dengan Asas Pacta Sun
Servanda dan Asas Itikad Baik serta asas kepastian hukum
merupakan landasan teoritis untuk memformulasikan dasar
hukum yang sangat dibutuhkan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi para pihak dalam hal ini terutama
pihak ketiga.
Perlindungan hukum terhadap pihak ketiga perlu
mendapat perhatian sehubungan dengan alasan karena pihak
ketiga dapat mengalami kerugian yang diakibatkan oleh
perseroan dan perseroan itu sendiri menderita kerugian antara
lain karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Direksi
sebagai wakil perseroan. Tindakan-tindakan yang dimaksudkan
itu diantaranya adalah tindakan yang bersifat menyimpang dari
ruang lingkup fungsinya dalam mewakili perseroan atau
tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap anggaran dasar.
Dalam Hukum Perseroan tindakan seperti itu disebut dengan
ultra vires.
26
Robert W. Hamilton14 mengemukakan ultra
vires.literally beyond the scope of the purpose or powers of a
corporation. Sementara itu Stephen H. Gifis seperti dikuti
Munir Fuady15 pada pokoknya menyatakan hukum disetiap
negara tanpa melihat ke dalam sistem mana dia tunduk
umumnya menghadapi masalah yuridis yang disebut dengan
pelampauan kewenangan (ultra vires) dari suatu perseroan.
Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan
perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan
oleh Anggaran Dasarnya atau oleh peraturan yang melandasi
pembentukan perseroan tersebut.
Pandangan tradisional mengenai utra vires pada
pokoknya memandang bahwa tindakan itu dapat menimbulkan
konsekuensi yuridis dimana tindakan tersebut batal demi
hukum (null and void) dan karena itu maka tindakan yang
diklasifikan ultra vires itu tidak dapat diratifikasi atau tidak
dapat disahkan oleh perseroan melalui RUPS.
Pandangan secara tradisional juga menyediakan upaya-
upaya hukum yang merupakan konsekuensi yuridis antara lain
sebagai berikut :
14 Robert W. Hamilton, 1991, The Law Of Corporation In Nutshell, West Publishing Company, St. Paul, Minnesota, hal. 5215 Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,hal. 110.
27
a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya,
b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires tersebut,
c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.16
Ternyata upaya-upaya hukum yang disediakan oleh
pandangan secara tradisional tersebut bersifat sangat terbatas
sehingga tidak atau kurang maksimal dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap pihak ketiga, padahal peranan
dan kontribusi pihak ketiga sehubungan dengan kelangsungan
bisnis perseroan tidaklah kecil.
Pandangan mengenai konsekuensi yuridis dari tindakan
perseroan yang ultra vires itu ternyata juga mengalami
perkembangan dan dalam perkembangan tersebut pada
pokoknya dikemukakan,
.sebagai akibat dari berbagai modifikasi terhadap konsepsi ultra vires, telah berkembang beberapa akibat hukum yang mungkin timbul dari adanya ultra vires antara lain tanggung jawab pribadi. Tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggung jawab pribadi dari direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires itu. Memang, umumnya tindakan ultra vires menyebabkan timbulnya tanggung jawab
16 Ibid. hal. 130.
28
pribadi direksi atau petugas yang bertanggungjawab atas tindakan tersebut, antara lain berdasarkan doktrin piercing the corporate veil.
Pandangan seperti di atas pada dasarnya sudah
menunjukkan perkembangan Doktrin Ultra vires dari sifatnya
yang tradisional berkembang ke arah yang lebih luwes dan
beragam. Dari perkembangan itu pula sebenarnya tercermin
mekanisme yang dapat ditempuh mengenai bagaimana
memulihkan kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak ketiga
akibat tindakan direksi yang diklasifikasikan ultra vires.
Terlepas dari persoalan mekanisme tersebut menurut
Teori Keadilan Distributif yaitu keadilan yang memberikan
kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya,17 dengan ini dapat
dikemukakan bahwa pihak ketiga merupakan pihak yang
berjasa dalam hal ini sebesar nilai transaksi. Sehingga
berdasarkan teori ini harus diberikan keadilan, dalam pengertian
hak-haknya dapat dipulihkan.
Dari uraian-uraian yang telah disajikan pada intinya
doktrin, dan pandangan-pandangan yang telah dikemukakan itu
mengarah pada satu hal yang sangat penting bahwa pihak PT
tetap bertanggung jawab terhadap kerugia-kerugian yang
dialami oleh Pihak ketiga, dan kendati pun masih mengandung
beberapa kekaburan pada berbagai aspeknya, akan tetapi
17 L.J. van Apeldoorn, 1978, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 23
29
doktrin dan pandangan itu dapat digali lebih dalam lagi untuk
menemukan penjelasan atas permasalahan yang diangkat
melalui tesis ini.
1.7. Metode Penelitian
1.7.1.Jenis Penelitian
Dalam Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan
Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum18 dijelaskan Ilmu
Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian Hukum
Normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Usulan penelitian
untuk tesis ini termasuk dalam kategori jenis Penelitian Hukum
Normatif. Pemilihan pada jenis itu didasarkan pada alasan
karena Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga Dalam
Hal Diresksi Perseroan Terbatas Melakukan Tindakan Ultra
vires merupakan permasalahan kesenjangan hukum. Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
mengatur perlindungan hak-hak para pemegang saham secara
lebih terperinci. Sedangkan perlindungan terhadap pihak ketiga
yang sebenarnya sangat berperan demi kelangsungan hidup PT
tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya
18 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Op.cit. hal. 1.
30
kurang jelas. Jadi disinilah terjadi kesenjangan dalam norma
hukum.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Penelitian hukum normatif pada umumnya mengenal 7
jenis pendekatan yakni :
- Pendekatan Kasus (The Case Approach)
- Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)
- Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
- Pendekatan Analisis dan Konsep Hukum (Analitical &
Conseptual Approach)
- Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach),
- Pendekatan Sejarah (Historical Approach),
- Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).
Sejalan dengan tujuan dan rumusan masalahnya,
Usulan penelitian ini menggunakan 3 jenis pendekatan yang
terdiri dari:
- Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
- Pendekatan Analisis Konsep Hukum (The Analitical &
Conceptual Approach).
31
- Pendekatan Perbandingan Hukum (comparatif Approach)
Pendekatan Perundang-undangan bertujuan mengalisis
peraturan perundangan dalam hal ini Undang-undang PT
terutama yang berkaitan dengan kekosongan atau kekaburan
norma hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum
terhadap pihak ketiga. Sedangkan Pendekatan Analisis
Konsep Hukum pada pokoknya mengedepankan analisis-
analisis terhadap konsep-konsep hukum. Direksi, PT, Pihak
Ketiga dan Ultra vires adalah merupakan konsep-konsep
hukum. Analisis terhadap konsep-konsep ini ditekankan
pengertian, hak dan kewajiban (Direksi, PT, dan Pihak
Ketiga), serta tidak ketinggalan adalah mengenai ruang
lingkup dan perkembangan ultra vires. Akan tetapi karena
bahan-bahan yang dianalisis juga berkaitan dengan bahan-
bahan yang diperoleh dari sistem hukum yang berlaku di
negara lain, maka tidak tertutup kemungkinannya, usulan
penelitian ini juga menggunakan Pendekatan Perbandingan
(The Comparative Approach).
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif menggunakan Bahan Hukum
Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Bahan Hukum Primer
32
dalam hal ini terdiri dari Asas Itikad Baik, Asas Pacta Sun
Servanda dan norma-norma hukum yang tersusun terutama
dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya,antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Nama
Perseroan Terbatas. Sedangkan Bahan Hukum Sekunder
meliputi buku teks hukum (legal text book), Jurnal hukum,
karya tulis hukum yang memuat pandangan ahli hukum baik
dalam bentuk buku maupun yang termuat dalam media masa,
kamus hukum, ensiklopedi hukum.
Dalam penelitian ini dibahas juga bahan-bahan hukum
yang diperoleh dari media internet yang berkembang dengan
pesat dewasa ini seperti definisi-definisi hukum.
1.7.4. Bahan Hukum Penunjang
Di samping bahan-bahan hukum baik primer maupun
sekunder maka dalam penelitian ini digunakan pula bahan-
bahan yang diperoleh dari praktisi hukum dalam ini Notaris
yang berpengalaman atau pun pihak lain yang memahami
permasalahan mengenai tatacara menyelesaikan tanggung
jawab PT terhadap pihak ketiga. Bahan Hukum Penunjang
dapat diperoleh melalui penelusuran jaringan internet yang
33
menyediakan fasilitas informasi yang relevan dengan topik
tesis ini.
1.7.5.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan
yang akan dianalisis dalam penelitian ini pengumpulannya
dilakukan dengan menggunakan sistem kartu (card system).
Berdasarkan sistem ini informasi yang diperoleh dari berbagai
sumber itu dicatat secara cermat substansi, sumber informasi
(penulis, informan), waktu diperolehnya dan tempat
(perpustakaan, kantor).
Dalam penelitian ini tidak tertutup kemungkinannya
diperoleh bahan yang sudah tersusun dengan rapi baik berupa
buku, laporan maupun bentuk-bentuk lain yang bersifat tertulis
dan terhadap bahan-bahan seperti ini tetap diterapkan card
system yang ditekankan pada pencatan mengenai informasi
yang relevan dengan topik permasalahan.
1.7.6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam menganalisis bahan-bahan yang telah
diterapkan teknik-teknik sebagai berikut :
34
1) Teknik Interpretasi diterapkan terhadap norma-norma hukum
yang tidak jelas rumusannya sehingga harus ditafsirkan untuk
memperoleh pemahaman yang jelas dan dapat diaplikasikan untuk
memecahkan permasalahan yang dihadapi.
2) Teknik evaluasi yang berupa penilaian mengenai tepat atau
tidak tepatnya suatu informasi baik diperoleh dari Bahan Hukum
Primer maupun Sekunder juga diterapkan dalam penelitian ini untuk
memperoleh hasil yang benar-benar sesuai dengan topik yang dibahas.
3) Teknik argumentasi mengetengahkan alasan-alasan yang
merupakan hasil penalaran setelah dilakukannya teknik evaluasi.
Dalam pembahasan masalah penelitian ini sedapat mungkin akan
dilakukan teknik argumentasi menurut kemampuan yang serba
terbatas.
4) Teknik Sistematisasi yang merupakan upaya mencari hubungan
suatu norma hukum antara peraturan perundang-undangan yang
sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
5) Teknik Deskripsi merupakan teknik yang paling mendasar dan
bersifat mutlak. Hal ini mengandung pengertian, teknik ini harus
dilaksanakan dalam pembahasan hukum agar pembahasan dapat
dipahami oleh orang lain. Dalam penelitian ini berdasarkan Teknik
Deskripsi, isu-isu hukum digambarkan atau diuraikan secara lengkap
35
dan jelas sehingga dapat diketahui duduk persoalannya dan dapat
ditentukan arahnya untuk mencapai suatu solusi.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN BERTINDAK
PERSEROAN TERBATAS DAN ULTRA VIRES
2.1. Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya
Terhadap bentuk perusahaan yang menjadi topik bahasan dalam
tesis ini terdapat berbagai istilah yang bersumber dari berbagai bahasa.
Beberapa diantaranya yang seringkali dibahas dalam kepustakaan
adalah, Company Limited by shares, Naamloze Vennootschap(NV) dan
Perseroan Terbatas yang masing-masing perlu dijelaskan maknanya.
Menurut E.W. Chance19 Company Limited by shares is a partnership, the liablity of its members is restricted to the amount remaining unpaid on his shares The limitation of
19 E.W. Chance, 1948, Principles of Mercantile Law, The Gregg Publishing Co., Ltd, London, hal. 171-172
36
liability in a limited company is in respect only of the liability of the members, which is to the company. The liability of the company to its creditors is in no way restricted: the creditors may look only to the company for payment of their debts and they have no rights against the members as such. Unlike a partnership, a company is at law a corporate body, a legal persona with an existence quite independent of its members.
Naamloze Vennootschap atau yang sering disingkat dengan(NV) pada pokoknya menurut Achmad Ichsan20 merupakan suatu sebutan pada zaman Hindia Belanda untuk perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 36 s/d 56. Sebutan naamloos dalam arti tanpa nama ini disebabkan karena N.V itu tidak mempunyai nama seperti firma dan pada umumnya juga tidak menggunakan salah satu nama dari anggauta peseronya; identifikasinya terletak dalam obyek perusahaan yang menjadi tujuan usahanya umpama PT. Perusahaan Dagang Beras.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, istilah Perseroan
Terbatas atau yang sering disingkat dengan PT dapat dikatakan
merupakan istilah mulai populer penggunaannya di Indonesia. Hal ini
dapat ditelusuri dari banyaknya definisi yang diberikan oleh para
sarjana sebagai berikut:
M.H. Tirta Amidjaja mengemukakan bahwa perseroan terbatas
itu ialah perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan
dengan modal yang tertentu, yang terbagi atas saham-saham dan tiap-
tiap pesero-pemegang saham-turut serta didalamnya sebanyak satu
20 Achmad Ichsan, 1983, Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Pradnya Paramitha, Jakarta, hal. 134
34
37
saham atau lebih dengan tidak bertanggungjawab sendiri untuk
persetujuan-persetujuan perseroan itu.21
Dengan kalimat yang kurang-lebih sama maknanya K.R.M.T Tirtodiningrat kemudian mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bahagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggung jawab atas pinjaman-pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.22
Pandangan beberapa sarjana mengenai definisi PT tersebut
secara tidak langsung menunjukkan perjalanan sejarah dari istilah atau
nama yang dipergunakan secara khusus dan resmi untuk
menggambarkan perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang(KUHD) mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 56.
Pada intinya istilah Perseroan Terbatas tidaklah merupakan terjemahan
dari istilah Naamloze Vennootschap, namun demikian istilah
Perseroan Terbatas disamping merupakan istilah yang diserap dari
perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut lebih
relevan dan dapat secara lebih tepat mendeskripsikan bentuk dan sifat
perseroan yang diatur dalam pasal-pasal KUHD itu.
21 M.H. Tirta Amidjaja, 1956, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta, hal. 108. 22 K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Pembangunan, Jakarta, hal. 132
38
Hal ini dapat ditelusuri dari pendapat yang dikemukakan oleh
Prof. Soekardono23 bahwa pada dasarnya istilah tersebut lebih sesuai
dengan sifat-sifatnya bentuk perusahaan yang dijalankan.
Ditambahkan dengan pandangan
bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata, yaitu: perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham(aandeel, aktien), sedangkan kata terbatas itu tertuju pada tanggung jawab pemegang saham atau pesero yang bersifat terbatas pada jumlah nominal daripada saham-saham yang dimilikinya.
....istilah perseroan terbatas lebih tepat daripada istilah Naamloze Vennootschap, sebab arti istilah perseroan terbatas lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan senyatanya....24,
maka makna dari istilah Perseroan Terbatas menjadi semakin
jelas dan pada akhirnya istilah tersebut dipergunakan sebagai istilah
resmi dalam berbagai keperluan baik yang menyangkut dokumen
notariil maupun dokumen-dokumen negara seperti Berita Negara
Republik Indonesia(BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia(TBNRI).
Kendati pun pengaturan mengenai Perseroan Terbatas yang
dituangkan dalam KUHD mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 56
secara berturut-turut sudah digantikan dengan diundangkannya
Undang-undang No. 1 Tahun 1995 dan Undang-undang No. 47 Tahun 23 R. Soekardono, 1983, Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), CV. Rajawali, Jakarta, hal. 12724 H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk-Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, hal. 89
39
2007, penggunaan istilah Perseroan Terbatas masih tetap
dipertahankan.
Di samping menggunakan Perseroan Terbatas sebagai nama
atau titel, kedua undang-undang tersebut secara khusus juga
mencantumkan pengertian atau definisi mengenai apa yang
dimaksudkan dengan Perseroan Terbatas. Pengertian tersebut diatur
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 47 Tahun 2007 yang
menentukan :
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Dari pengertian yang ditentukan secara yuridis tersebut dapatlah
diuraikan adanya 5(lima) unsur yang pada pokoknya saling berkaitan
sebagai beikut:
a. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal,
b. didirikan berdasarkan perjanjian,
c. melakukan kegiatan usaha,
d. modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,
40
e. memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang
ini serta peraturan pelaksanaannya.
Mengingat karena beberapa hal menyangkut unsur-unsur
tersebut sudah disinggung secara garis besarnya pada bahasan
terdahulu, maka dalam bahasan pada sub bab ini sebenarnya akan lebih
ditekankan pada penguraian unsur Perseroan Terbatas adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal. Namun demikian dan
mengingat pula bahwa unsur-unsur yang lainnya juga memiliki arti
yang tidak kalah pentingnya, maka penguraiannya tidaklah cukup
hanya berupa penegasan semata-mata. Terhadap unsur-unsur yang
lainnya itu akan ditambahkan pula penjelasan-penjelasan yang perlu
dan relevan.
Ad.a. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal,
Pernyataan yang dituangkan dalam Undang-undang No. 47 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas(UUPT)bahwa Perseroan
Terbatas(PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal
mengandung dua hal; pertama,memberikan ketegasan dan kedua,
UUPT tidak menentukan secara rinci penegasan PT sebagai badan
hukum persekutuan modal.
Mengenai hal yang pertama, hendaknya patut diberikan
apresiasi yang tinggi karena dengan ditegaskannya bahwa PT adalah
41
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, berarti UUPT telah
memberikan suatu kepastian hukum mengenai status hukum PT. Di
samping itu penegasan tersebut merupakan langkah maju apabila
dibandingkan terutama dengan KUHD yang tidak menentukan secara
tegas tentang status PT sebagai badan hukum.
Berkaitan dengan hal yang kedua, perihal badan hukum dan
persekutuan modal merupakan pilar-pilar penting bagi PT yang
menimbulkan keingintahuan untuk mendalaminya lebih jauh lagi, akan
tetapi UUPT justru UUPT tidak mengatur secara terperinci mengenai
pengertian istilah tersebut. Oleh karena itu pemahamannya dilakukan
melalui penelusuran terhadap sumber bahan hukum sekunder.
Menurut R. Subekti25 badan hukum adalah suatu
perkumpulan/organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti
seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-
kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat di
muka pengadilan. Selanjutnya ditambahkan.perseroan terbatas atau
NV sebagai badan hukum atau rechtspersoon berarti bahwa perseroan
terbatas mempunyai suatu kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan
para pesero atau pengurusnya.26
25 R. Subekti, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 1426 R. Subekti, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 171.
42
Rochmat Soemitro27 mengemukakan badan hukum, dalam
bahasa Belanda Rechtspersoon, ialah suatu badan yang dapat
mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang
pribadi.
Kedua pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran
hukum Belanda yang pada pokoknya mengikuti alur berpikir menurut
Civil Law System. Oleh karena itu untuk mengimbanginya, maka
sehubungan dengan penguraian perihal badan hukum dalam bahasan
ini perlu pula diuraikan pandangan dari sistem hukum lain sebagai
pembanding.
Dalam sistem common law, badan hukum dipadankan dengan
corporation dan Henry Campbell Black28 mengemukakan bahwa
corporation merupakan an artificial person or legal entity created by
or under the authority of the laws of a state or nation. Selanjutnya
secara lebih rinci, Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter29
memandanga corporation is a structuring device for conducting
modern business. It is a framework-a legal person- through which a
business can enter into contracts, own property, sue in court and be
sued.
27 Rochmat Soemitro, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT. Eresco, Bandung, hal. 1028 Henry Campbell Black, 1979, Blacks Law Dictionary, West Publishing Co, ST.Paul Minn, hal. 30729 Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter, Op.cit., hal. 3
43
Berdasarkan penelusuran sumber-sumber bahan hukum
sekunder baik dari penulis yang pemikirannya dilatarbelakangi prinsip-
prinsip civil law system maupun common law system dapat dipetik
makna yang umum, bahwa badan hukum itu pada pokoknya
merupakan suatu entitas yang diciptakan oleh hukum dan diperlakukan
sama seperti layaknya manusia.
Dengan mengadopsi pandangan bahwa untuk adanya suatu
badan haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya harta kekayaan yang terpisah,
b. mempunyai tujuan tertentu,
c. mempunyai kepentingan sendiri,
d. adanya organisasi yang teratur30
maka dapat dikemukakan PT sebagai badan hukum yang merupakan
persekutuan modal mengandung pengertian, bahwa PT itu ditetapkan
secara yuridis mewadahi kegiatan pemupukan, pengelolaan dan
pemanfaatan modal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi para
pemegang sahamnya yang bertanggungjawab secara terbatas pada
sejumlah modal yang disetor untuk kepentingan menjalankan usaha
perseroan.
Ad.b. didirikan berdasarkan perjanjian, 30 R. Ali Rido, 1984, Hukum Dagang Tentang Aspek-Aspek Hukum Dalam Asuransi Udara Dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Remadja Karya, Bandung, hal. 231
44
PT menurut The Nexus of Contract Theory sebagaimana telah dikutip
pada halaman terdahulu pada pokoknya merupakan suatu akumulasi
atau kumpulan dari berbagai perjanjian yang dibuat diantara berbagai
pihak terutama dengan para pemegang saham, direksi, tenaga kerja,
para suplier dan pelanggan. Jadi sebenarnya PT itu penuh dengan
berbagai perjanjian.
Diantara tahap-tahap pendirian (konstruksi), beroperasi
(operasional) dan berakhirnya jangka waktu keberadaan PT(terminasi),
maka keberadaan berbagai perjanjian itu memang sangat dominan
ketika PT berada pada tahap operasional. Akan tetapi hal ini tidak
berarti bahwa perjanjian tidak terdapat pada tahap-tahap yang lainnya.
Keberadaan perjanjian dalam PT sebenarnya sudah dimulai dan
berperan ketika PT itu dirancang pendiriannya oleh dua atau lebih
calon pendiri. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan melalui
perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam anggaran dasar PT
yang bersangkutan. Perjanjian semacam inilah yang oleh Andrew
Hicks dan S.H. Goo31 termasuk dalam hubungan hukum yang disebut
dengan Pre-Incorporation Contracts yaitu perjanjian-perjanjian yang
dipersiapkan untuk dibuat oleh suatu perseroan sebelum perseroan
tersebut memasuki tahapan memperoleh status sebagai badan hukum(a
contract purpoted to be made by a company before the date of
incorporation).31 Andrew Hicks dan S.H. Goo, 2001, Case And Materials On Company Law, Blackstone Press, London, hal. 80
45
Pasal 7 ayat (1) UUPT menentukan Perseroan didirikan oleh
2(dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa
Indonesia. Berdasarkan penafsiran secara gramatikal, ketentuan
tersebut mengandung pengertian bahwa sebelum datang menghadap di
hadapan notaris, para pendiri sebenarnya sudah mempersiapkan
kesepakatan-kesepakan yang dihasilkan dari perjanjian pendahuluan
diantara mereka sebelumnya.
Adanya perjanjian pendahuluan yang sifatnya
konsensual(consensueel) atau suatu perjanjian yang didasarkan pada
kata sepakat32 itu dan juga akta notaris yang juga berisi anggran dasar
sebagai tonggak awal berdirinya suatu PT tersebut keduanya semakin
memperlihatkan dengan pasti bahwa PT didirikan berdasarkan
perjanjian. Oleh karena itu dapat dikemukakan pendirian dan
eksistensinya PT sebenarnya merupakan implementasi atau
perwujudan dari perjanjian terutama yang terjadi diantara sesama
pendiri.
Mengingat PT itu didirikan berdasarkan perjanjian, maka hal ini
mencerminkan bahwa sebenarnya pendirian PT tunduk pada Hukum
Perjanjian atau Contract Law yang menurut Gordon D Schaber dan
Claude D. Rohwer33 .is initially concerned with determining what
32 J.C.T. Simorangkir, et.al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2933 Gordon D. Schaber dan Claude D. Rohwer, 1990, Contracts In A Nutshell, West Publishing, St.Paul Minn., hal. 1
46
promises the law will enforce or otherwise recognize as creating legal
rights.
Ad.c. melakukan kegiatan usaha,
Berkaitan dengan unsur ini Pasal 2 UUPT menentukan Perseroan harus
mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.
Pertama-tama yang patut dikemukakan pasal ini pada pokoknya
merupakan suatu konsekuensi logis dari pemikiran teoritis bahwa
pendirian PT didasarkan pada perjanjian dan sebagai hasil
implementasi dari perjanjian. Oleh karena itu segala sesuatunya dan
dalam hal ini menyangkut maksud, tujuan serta kegiatan usaha
perseroan tidak boleh bertentangan dengan ketiga batasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata itu.
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan
adalah bahwa melakukan kegiatan usaha merupakan kewajiban bagi
PT. Mengikuti pandangan H.L.A. Hart34 yang menekankan kewajiban
merupakan primary rules(aturan-aturan yang menetapkan kewajiban-
kewajiban dan hak-hak warga masyarakat), dimana sebenarnya
kewajiban tersebut berkaitan erat dengan keyakinan serta motivasi
34 H.L.A. Hart, 1986. The Concept of Law, ELBS/Oxford University Press, Oxford, hal. 6
47
internal, bahwa apabila tidak dilaksanakan akan timbul akibat-akibat
yang tidak menyenangkan. Sebaliknya dengan melaksanakannya
diharapkan akibat-akibat tersebut tidak akan terjadi, bahkan diyakini
akan mendatangkan suatu kenikmatan. Dengan demikian kewajiban
tersebut harus dilaksanakan, karena apabila sebaliknya akan
menimbulkan sanksi-sanksi.
Kewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang dibebankan oleh
Pasal 2 UUPT disamping karena dirumuskan dengan kata harus
sebagai pernyataan perintah yang terdapat dalam pasal itu sendiri,
keharusan melaksanakannya juga dikaitkan kewajiban mengisi format
isian untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan
badan hukum Perseroan(Pasal 9 ayat (1) ). Apabila tidak melaksanakan
pasal ini maka berlakulah Pasal 10 ayat (4) dimana sebagai sanksinya
Menteri langsung memberitahukan penolakan pengesahan.
Secara ringkas dapatlah diuraikan, The Nexus if Contract
Theory sebenarnya mengandung makna bahwa melaksanakan kegiatan
usaha merupakan maksud dan tujuan yang dengan sendirinya harus
terbangun(built-in) dalam rangkaian perjanjian-perjanjian mendirikan
dan mengelola PT. Disamping itu mengingat PT juga merupakan
wahana bisnis, maka melaksanakan kegiatan usaha merupakan
aktivitas yang pokok dan mutlak sifatnya.
Ad.d. modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,
48
Sebelum sampai pada topik pokoknya maka terlebih dahulu akan
diuraikan mengenai komposisi permodalan Perseroan Terbatas.
Dengan demikian berarti pertama-tama yang diuraikan itu menyangkut
permasalahan modal Perseroan Terbatas itu terdiri dari apa saja atau
dari unsur-unsur apa saja permodalan Perseroan dibentuk.
Menyangkut komposisi tersebut, ketentuan-ketentuan Pasal 31 ayat
(1) dan Pasal 33 ayat UUPT pada pokoknya sudah menyatakan modal
Perseroan itu terdiri dari 3 jenis modal yaitu modal dasar(authorized
capital), modal ditempatkan(issued capital) dan modal disetor(paid up
capital). Akan tetapi dalam hal ini UUPT tidak menentukan mengenai apa
yang dimaksud dengan ketiga jenis modal itu.
Rochmat Soemitro35 yang menggunakan istilah modal perseroan,
modal yang ditempatkan dan modal bayar, secara garis besarnya
menjelaskan makna-makna dari ketiga jenis modal itu sebagai berikut:
Modal dasar merupakan modal perseroan disebut juga modal saham atau modal sero, atau dalam bahasa Belanda maatschappelijk kapitaal (statutair kapital) ialah jumlah modal yang disebut dalam akta pendirian dan merupakan suatu jumlah maksimum, sampai jumlah mana dapat dikeluarkan surat-surat saham.
Mengenai modal ditempatkan dijelaskan, modal perseroan menurut kebiasaan tidak seluruhnya sekaligus ditempatkan, akan tetapi sebagian dahulu ditempatkanm sedangkan sebagian lagi disimpan dalam portpolio, dan baru akan dikeluarkan jika ternyata dibutuhkan modal lebih banyak lagi.
Modal bayar ialah modal perseroan yang diwujudkan dalam jumlah uang.
35 Rochmat Soemitro, Loc.cit., Hal. 21-23
49
Berkaitan dengan modal perseroan perlu dijelaskan pengertian
tersebut murni merupakan pengertian yuridis.tidak ada hubungannya
dengan pengertian ekonomis.dan perihal modal perseroan itu praktis
selalu dicantumkan dalam anggaran dasar.36 Pendapat ini semakin relevan
karena dalam UUPT memang telah ditentukan kewajiban untuk
mencantum jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal
disetor(Pasal 9 ayat 1 huruf d). Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, maka
Menteri dapat melakukan penolakan(Pasal 10 ayat 4).
Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) dapat diketahui modal perseroan
terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Ketentuan ini sejalan dengan
pendapat bahwa modal Perseroan Terbatas itu selalu dibagi ke dalam
saham-saham.37 Modal perseroan yang kemudian dibagi ke dalam saham-
saham tersebut adalah modal dasar sesuai dengan klasifikasi saham
menurut UUPT.
Sehubungan dengan klasifikasi saham, Pasal 48 ayat (1) UUPT
menentukan, saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Dalam
Penjelasan pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama
pemiliknya dan Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk.
Sedangkan Pasal 53 ayat (1) UUPT menentukan, anggaran dasar
menetapkan 1(satu) klasifikasi saham atau lebih.
36 Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 180.37 Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 133
50
Pengertian yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan UUPT
tersebut menunjukkan seluruh saham yang dikeluarkan Perseroan
merupakan saham atas nama, tidak ada jenis saham lainya yang boleh
dikeluarkan. Jadi setiap saham yang dikeluarkan Perseroan itu menurut
UUPT sebenarnya sama jenisnya dan hanya berbeda klasifikasinya seperti
yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain:
a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara
b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris
c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar
dengan klasifikasi saham lain
d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas
pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif
e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa
kekayaan Perseroan dalam likuidasi.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 48 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan
ayat (4), Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama
dengan satu klasifikasi atau lebih, dimana menurut Penjelasan Pasal 53
ayat (4), klasifikasi saham tidak berdiri sendiri tetapi dapat merupakan
gabungan dua atau lebih klasifikasi.
51
Uraian tersebut diatas pada pokoknya memperlihatkan kedudukan
modal dalam perseroan dan sehubungan dengan pentingnya peranan modal
disetor dalam menunjang operasional Perseroan, maka permasalahan
mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan perlu pula diuraikan
secara garis besarnya.
Mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan, Pasal 34
UUPT menentukan:
(1) Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang
dan/atau dalam bentuk lainnya,
(2) Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham
ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga
pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan,
(3) Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus
diumumkan dalam 1(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu
14(empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah
RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.
Pasal 34 tersebut sebenarnya mengandung makna yang sangat
luas dan memberikan kesempatan yang luas pula kepada semua pihak yang
berkeinginan menanamkan modal melalui pemilikan saham Perseroan.
Dalam hal ini Pasal 34 itu memperbolehkan penyetoran atas modal saham
52
perseroan tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk
lainnya yang penilaiannya berdasarkan harga wajar sesuai harga pasar atau
penilaian ahli yang independen.
Di samping dalam bentuk uang yang memang secara umum sudah
dilakukan dan dalam bentuk lain yang dinilai dengan uang secara wajar,
Pasal 34 UUPT secara khusus menyebutkan penyetoran saham juga dapat
dilakukan dalam bentuk benda tidak bergerak. Dari sekian banyak contoh
benda tidak bergerak, maka untuk Indonesia tanah merupakan yang paling
potensial dijadikan setoran atas modal saham Perseroan. Hal ini didukung
fakta karena tanahlah yang paling mungkin dimiliki terutama oleh investor
Indonesia yang akan berpatungan mendiri Perseroan dengan investor
asing.
Uraian mengenai unsur modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham(ad.d.) tersebut pada satu sisi memberikan makna bahwa dibaginya
modal dasar kedalam saham sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan yang luas kepada khalayak khususnya investor yang berminat
menanamkan modal dengan jalan memiliki saham baik melalui partisipasi
langsung ketika PT didirikan maupun bursa efek. Pada sisi lainnya,
pembagian kedalam saham juga dimaksudkan seperti diungkapkan oleh
Mas Soebagio38 pada pokoknya adalah untuk mengetahui dan dapat
mengukur besarnya tanggung jawab dalam arti hak dan kewajiban setiap
pemegang saham dalam hubungannya dengan Perseroan Terbatas. 38 Mas Soebagio, 1976, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang, Alumni, Bandung, hal. 135
53
Ad.e. memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Unsur ini pada pokoknya semakin memperlihatkan bahwa merancang,
mendirikan dan mengelola PT sebenarnya akumulasi atau perwujudan
dari perjanjian-perjanjian(a nexus of contracts) di antara para pendiri
yang kemudian menjadi pemegang saham, antara PT dengan direksi,
dan antara PT melalui direksi dengan pihak ketiga.
Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa PT
merupakan a nexus of contract dan berarti tunduk pada Asas
Kebebasan berkontrak(Freedom of Contract atau Beginselen van
Contractvrijheid).
Di dalam asas tersebut terkandung suatu pandangan bahwa
orang bebas melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas
dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang
diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.39
Pandangan yang pada pokoknya memberikan ruang lingkup
kebebasan berkontrak yang sangat luas itu ternyata dalam prakteknya
menurut berbagai sistem hukum tidaklah berarti bahwa perjanjian
dapat dibuat dan dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Hal dapat
disimak dari pendapat sebagai berikut:
39 Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak dalam : Yuridika Vol 18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 219.
54
Asas kebebasan berkontrak bukan tanpa pembatasan. Untuk mencegah disalahgunakan asas itu baik dengan undue influence di negara-negara dengan sistem common law atau misbruik van omstandigheden di negara-negara dengan civil law, asas kebebasan berkontrak perlu didampingi asas aequitas praestationis, yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium, yaitu kepantasan menurut hukum. Asas-asas ini dapat dijumpai di dalam undang-undang, kepatutan dan ketertiban umum(openbare orde) atau public policy dalam konsep Anglo-Amerikan.40
Pendapat tersebut pada pokoknya mengemukakan setiap
perjanjian haruslah mengandung kepantasan dan kepantasan itu sendiri
dapat dijumpai dalam undang-undang baik secara implisit maupun
eksplisit. Oleh karena itu ditentukanlah bahwa PT harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang.
Disamping itu pendapatan tersebut juga menyiratkan tentang
pentingnya kedudukan Undang-undang dalam hubungannya dengan
perjanjian. Tentang pentingnya kedudukan itu dapat disimak dari
pendapat Robert Duxbury41 berkaitan dengan perjanjian dalam sistem
common law yang mengemukakan, a contract may be expressly
forbidden by a statutory provision.
Di Indonesia kedudukan yang sama kuatnya dapat dijumpai
pada Paragraf kedua Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang pada pokoknya menentukan persetujuan-persetujuan itu tidak
40 Ibid.41 Robert Duxbury, 2006, Contract In A Nutshell, Sweet & Maxwell, London, hal. 92
55
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup itu.
2.2. Kompetensi Perseroan Terbatas
Sehubungan dengan sub bahasan ini sebenarnya terdapat dua istilah
yaitu kewenangan dan kompetensi. Secara gramatikal kedua istilah ini
memiliki pengertian yang hampir sama, akan tetapi istilah kewenangan
itu sendiri pada pokoknya merupakan suatu istilah yang biasanya
dipergunakan dalam Hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat
disimak antara lain dari sebuah artikel yang disusun oleh Yosran42
sebagai berikut :
Pengertian kewenangan adalah :
Sumber-sumber kewenangan terdiri atas :
1. ATRIBUSI, yaitu Pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang Undang Dasar maupun pembentuk Undang Undang. Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membentuk Undang Undang.
2. DELEGASI, yaitu Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan dari badan /lembaga pejabat tata usaha negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan calon wakil kepala daerah.
3. MANDAT, yaitu Pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : tanggung jawab membuat keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.
42 Yosran, 2008, Teknik Pembuatan Keputusan Tata Usaha, http://ptunpdg.blogspot.com. Hal.1
56
Di samping karena istilah kewenangan dapat dikatakan sudah menjadi
bagian dari dalam hukum administrasi negara, tampak pula istilah itu
tidak ada relevansinya dengan topik bahasan tesis ini.
Sementara itu istilah kompetensi dapat dijumpai penerapannya
dalam Hukum Acara Perdata meliputi absolute kompetentie dan
relatief kompetentie.43 Absolute kompetentie atau kekuasaan mutlak
menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat
dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk
mengadili.sedangkan relatief kompetentie atau kekuasaan relatif
menyangkut batas wilayah dari satu macam pengadilan.44 Di samping
itu istilah kompetensi atau competency dipergunakan baik dalam
hukum pembuktian(in the law of evidence) yang menunjukkan
kesempurnaan alat bukti dan dalam hukum kontrak(in the law of
contract). Dalam bidang hukum ini, kompetensi pada pokoknya
mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian dibuat oleh para pihak
yang tidak memiliki cacat mental atau tidak memiliki
kapasitas(without mental disability or incapacity).45 Dalam Bahasa
Belanda, istilah kompetensi mengacu pada istilah bevoeg yang artinya
berwenang atau berkompeten.46
43 R. Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hal. 3944 Moh. Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 1945 Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 257.46 J.C.T. Simorangkir, et.al., Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 200. Hal. 19
57
Secara keseluruhan uraian mengenai pengertian kompetensi
tersebut pada pokoknya mengarah pada satu makna, bahwa kompetensi
itu menunjukkan kapasitas atau kemampuan melakukan tindakan.
Apabila pembahasannya menyangkut kompetensi PT, maka itu berarti
membahas kemampuan PT melakukan tindakan-tindakan apa saja.
Inilah yang merupakan pertimbangan mengapa dalam sub bahasan
tesis ini dipergunakan istilah kompetensi. Namun demikian karena
maknanya yang hampir sama dan sepanjang tidak mengganggu
konsistensi uraian, penggunaan istilah kewenangan secara bergantian
dengan istilah kompetensi kiranya masih dapat diterima.
Secara garis besarnya dapat diuraikan bahwa kompetensi
tersebut berkaitan erat dengan hak atau recht atau right yaitu
kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau
berbuat sesuatu.47 PT sebagai badan hukum merupakan subyek hukum
yang dapat memiliki kewajiban dan hak-hak. Oleh karena itu
dikatakanlah PT memiliki kompetensi. Namun demikian mengingat
antara manusia dan badan hukum terdapat perbedaan, maka ruang
lingkup kompetensi subyek hukum tersebut juga berbeda.
Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan perbedaan antara
manusia (natural person) dengan badan hukum(artificial person)
dalam kompetensinya berkaitan dengan hak-hak konstitusional
47 Ibid.hal. 60
58
misalnya, yaitu The Business Interest Theory dan The Purely Personal
Theory.
The Business Interest Theory holds that a corporation does have constitutional rights but only those necessary to the firms business interests. For example, when a state creates a corporation with the power to acquire and utilize property, it necessarily and implicitly guarantees that the corporation will not be deprived of that property absent due process of law.
under The Purely Personal Theory, a corporation has all the constitutional rights enjoyed by natural person except those that are purely personal. is determined on the basis of the nature, history, and purpose of that particular right.48
Menurut kedua teori yang berkembang di Amerika Serikat
tersebut sebenar kompetensi badan hukum perusahaan(business firm
corporation) itu sepanjang dipandang perlu bagi perusahaan sangat luas
ruang lingkupnya hingga meliputi hak-hak konstitusional, kecuali yang
menyangkut hak-hak yang sifatnya sangat pribadi. Dalam kaitan ini
dapatlah dikemukakan sebagai suatu contohnya adalah hak untuk
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Dikaji dari aspek sifat,
sejarah dan tujuannya, hak tersebut merupakan very purely personal
right sehingga hanya dapat diberikan kepada natural person dan tidak
dapat diberikan kepada badan hukum.
Untuk mengetahui apakah PT di Indonesia memiliki
kompetensi dan sampai sejauh mana ruang lingkupnya pertama-tama
48 Gary A. Moore, tanpa tahun, The Legal Environtment Of Business: A Contextual Approach, South Western, hal. 79
59
dipastikan kedudukan PT tersebut dalam hukum(apakah merupakan
badan hukum atau tidak) dan selanjutnya dianalisis prasyarat yang
harus dimiliki untuk dapat diberikan kompetensi.
Mengenai PT yang dinyatakan sebagai badan hukum
sebenarnya tidaklah mengherankan karena semenjak ditetapkan dalam
Wetboek van Koophandel(WvK), apa yang kemudian dikenal dengan
istilah Perseroan Terbatas itu sudah diterima sebagai suatu bentuk
badan hukum persekutuan modal atau badan hukum yang bersifat
komersial. Oleh karena itu persoalannya tidaklah terletak pada
pertanyaan apakah PT itu merupakan badan hukum atau tidak,
melainkan apakah PT sebagai badan hukum dapat memiliki kehendak
dan apabila dapat, maka apakah kehendak tersebut dapat dilaksanakan
oleh PT itu sendiri.
Berkaitan dengan persoalan kehendak, Friedrich Carl von
Savigny dengan Teori Fiksi sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali49
pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut:
.hanya manusia saja yang mempunyai kehendak.
Badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungking menjadi suatu subyek dari hubungan hukum.badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang-orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal.Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subyek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukannya ialah manusia sebagai wakil-wakilnya.
49 Chidir Ali, 1999, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 32
60
Kendati pun sangat menegaskan badan hukum tidak dapat
membuat kehendak sendiri, Teori Fiksi sebagaimana diuraikan secara
ringkas tersebut sebenarnya mengakui adanya kehendak dalam badan
hukum dan sudah tentu kehendak itu tidak dibuat oleh badan hukum itu
sendiri. Kehendak itu direncanakan oleh orang-orang yang mendirikan
badan hukum yang bersangkutan dan sekaligus melalui suatu
mekanisme berfungsi melaksanakan atau mewujudkan kehendak untuk
dan atas nama badan hukum.
Intinya, PT sebagai badan hukum memiliki kehendak yang
nantinya merupakan kompetensi badan hukum itu sendiri untuk
melaksanakannya. Di Indonesia berdasarkan Pasal 2 UUPT yang
menentukan, Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta
kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan, maka
adanya kompetensi PT dapat disaksikan dalam rumusan mengenai
Maksud Dan Tujuan Serta Kegiatan Usaha yang terdapat pada setiap
Akta Pendirian-Anggaran Dasar PT.
Untuk memperjelas uraian tersebut diatas selanjutnya disajikan
contoh rumusan Maksud Dan Tujuan Serta Kegiatan Usaha yang
dikutip dari sebuah Akta Pendirian-Anggaran Dasar PT berikut :
MAKSUD DAN TUJUAN SERTA KEGIATAN USAHA
Pasal 3
61
1. Maksud dan tujuan Perseroan ialah :
Industri penempaan, pengepresan, dan penggulungan logam;
2. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas Perseroan dapat melaksanakan kegiatan usaha sebagai berikut:
- diversifikasi produk didalam lingkup industri penempaan, pengepresan, dan penggulungan logam, termasuk tetapi tidak terbatas pada pengerjaan baja nir-karat terpadu(integrated stainless steel work), penggulungan panas dan dingin (hot and cold rolling), grinding, polishing, annealing, pickling, slitting, leveling, tube making, blanking, circle cutting.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut dapat dikemukakan,
UUPT pada pokoknya hanya mengatur hak-hak komersial(commercial
rights) saja, dan dari ketentuan itu pula dapat diketahui bahwa PT
harus mempunyai maksud dan tujuan atau kehendak serta wajib
melaksanakan kegiatan usaha yang telah ditentukan secara limitatif
dalam anggaran dasar. Berkaitan dengan bidang usaha, maka rumusan
tersebut merupakan kompetensi PT itu sendiri untuk melaksanakannya.
Penyebutan secara rinci mengenai maksud dan tujuan serta
kegiatan usaha tersebut secara langsung pula me
Top Related