HUBUNGAN ANTARA DERAJAT DRY EYE DAN SITOLOGI IMPRESI DENGAN PROFIL BAKTERI KONJUNGTIVA PADA SINDROM DRY EYE
Azhar Farid Musaddik, Rukiah Syawal, dan Junaedi Sirajuddin
Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin email: [email protected].
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara derajat dry eye dan sitologi impresi
dengan profil bakteri konjungtiva pada pasien yang mengalami sindrom dry eye.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo dan Balai Kesehatan
Mata Masyarakat (BKMM) Sulawesi Selatan pada bulan Oktober sampai November 2011.
Terdapat 47 subjek penelitian dengan diagnosis dry eye dibagi tiga derajat, yaitu ringan,
sedang, dan berat. Data diperoleh dari anamnesis terhadap keluhan, tes schirmer, break up
time, tinggi meniskus, evaluasi glandula meibom, kultur bakteri konjungtiva, serta pemeriksaan
sitologi impresi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat dry eye terbanyak ditemukan adalah dry
eye derajat 1 dengan 26 subjek (55,3%). Hasil pemeriksaan dry eye menunjukkan nilai yang
normal yakni schirmer 12,3±5,2, break up time 10,6±1,7, dan tinggi meniskus 0,485±0,0955.
Dianata 47 strain yang diisolasi terdapat lima spesies bakteri yang ditemukan, yaitu 33
Stafilokokus epidermidis, 10 Stafilokokus aureus, 2 Providencia alkalifaciens, 1 Pseudomonas
aeruginosa, dan 1 Acinetobacter calcoaceticus. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara
profil bakteri konjungtiva pada ketiga derajat dry eye. Terdapat kecenderungan peningkatan
jumlah bakteri pada dry eye derajat 3 dibandingkan derajat 2. Tidak terdapat hubungan
bermakna antara jumlah bakteri konjungtiva dengan derajat sitologi impresi.
Kata Kunci : Dry Eye dan Profil Bakteri
Abstract The cross-sectional research had been conducted to investigate the correlation between
the dry eye grade and the impression cytology and the conjunctival bacteria profile on the
patients with dry eye syndrome.
The research was carried out in Wahidin Sudirohusodo Hospital, and Community Eye
Medical Clinic (CEMC), South Sulawesi from October to November 2011. There were 47
research subjects with dry eye diagnosis and they were divided into three grades: mild,
moderate, and severe. Data were obtained from anamnesis towards complaints, Schrimer’s
test, break up time, meniscus height, evaluation of meibomian gland, conjunctival bacterial
culture, and impression cytology examination.
The result of the research indicates that the most dry eye grade found out is the dry eye
of grade 1 with 26 subjects (55,3%). The result of the dry eye examination indicates that the
normal value is Schirmer: 12.3±5.2, Break up time: 10.6±1.7, meniscus height: 0.485±0.0955.
Among 47 bacterial strains isolated, there are five bacterial species which are found out: 33
Staphylococcus epidermidis, 10 Staphylococcus aureus, 2 Providencia alkalifaciens, 1
Pseudomonas aeruginosa, and 1 Acinetobacter calcoaceticus. There is no significant difference
on the conjunctival bacterial profiles on the three dry eye grades. Nevertheless, there is the
tendency of the increase of the number of conjunctival bacteria on grade three compared with
grade two. There is no significant correlation between the number of conjunctival bacteria and
the impression cytology grade.
PENDAHULUAN
Permukaan okuler dilapisi oleh lapisan air mata (LAM) yang berfungsi proteksi, lubrikasi,
dan refraksi.Lapisan air mata manusia memiliki peran penting dalam menjaga permukaan
okuler dari berbagai macam pathogen.1 Selain itu LAM juga mensuplai oksigen ke kornea,
mengandung anti mikroba dan membantu mengeluarkan sisa kotoran yang berasal dari
permukaan okuler.2
Penelitian yang dilakukan oleh Schaumberg (2003) melaporkan bahwa prevalensi dry
eye pada populasi di Amerika Serikat yang berumur ≥50 tahun yaitu perempuan sebanyak
7,8% atau sekitar 3,2 juta dan laki-laki sebanyak 4,7% atau sekitar 1,6 juta.3 Senada dengan
hasil tersebut, Beaver Dam Eye Study melaporkan terdapat 14,4% populasi dengan keluhan dry
eye dan 99% diantaranya orang berkulit putih. Penelitian oleh Melbourne study di Australia
melaporkan prevalensi sekitar 7,4% diantara populasi dengan rata-rata umur 59 tahun.4,5,6 Di
Makassar sendiri, kasus dry eye lebih banyak ditemukan pada wanita dengan perbandingan
wanita : laki-laki sekitar 2:1.2
Proses inflamasi dan instabilitas air mata memainkan peranan penting dalam sindrom
dry eye.7 Tahap awal proses inflamasi adalah adanya satu stimulus yang dapat berasal baik
dari stres lingkungan maupun perubahan komposisi LAM sebagai akibat sekunder dari inflamasi
glandula lakrimalis. Hal ini akan diikuti ekspresi mediator-mediator proinflamasi (sitokin,
kemokin, faktor-faktor adesi).8 Terdapat bukti tidak langsung bahwa permukaan okuler terlibat
langsung pada tahap awal proses inflamasi ini, seperti yang dipaparkan Pflugfelder (1999)
bahwa terjadi peningkatan konsentrasi beberapa sitokin proinflamasi (IL-1α dan β, IL-6, TGF-
β1, dan TNF-α) pada epitel konjungtiva akan diikuti peningkatan konsentrasi beberapa sitokin
(IL-1α dan β, IL-6) pada LAM pasien sindrom Sjogren.9 Peningkatan konsentrasi sitokin dalam
LAM akan mengakibatkan diferensiasi epitel permukaan okuler terganggu, sehingga akan
mengurangi produksi molekul protektif epitel permukaan okuler, termasuk musin membrane-
associated MUC-1, yang memiliki fungsi antibakteri.10
Beberapa penelitian memperlihatkan protein peptida yang memiliki kemampuan
antibakteri efektif melawan patogen pada permukaan okuler secara in vitro. Protein peptida
yang akhir-akhir ini banyak diteliti dalam fungsinya sebagai antibakteri adalah defensins yang
terbagi dua tipe yaitu α dan β. Peningkatan konsentrasi sitokin meskipun dengan kadar yang
paling rendah dalam LAM seperti IL-1β akan meningkatkan kadar β-defensins. Namun
hubungan antara besar peningkatan kadar defensins ini dengan perubahan profil bakteri
konjungtiva belum banyak diketahui.11 Permukaan okuler pada penderita dry eye rentan
terhadap infeksi mikroba yang dimungkinkan sebagai akibat menurunnya fungsi proteksi lapisan
air mata terhadap bakteri. Namun sebaliknya, Danjo melalui penelitiannya menyimpulkan
bahwa meskipun konsentrasi protein antibakteri seperti laktoferin yang terdapat pada lapisan air
mata menurun pada pasien dry eye, namun tidak terdapat peningkatan koloni bakteri pada
konjungtiva.12
Degradasi musin pada dry eye akan menyebabkan turnover Lapisan Air Mata terhambat
sehingga akan menurunkan fungsi proteksi terhadap infeksi bakteri. Berdasarkan penelusuran
kepustakaan, penelitian-penelitian mengenai efek dry eye terhadap perubahan profil bakteri
konjungtiva belum banyak dilakukan sehingga dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai
profil bakteri konjungtiva pada pasien dry eye.
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study. Populasi penelitian
adalah semua pasien yang didiagnosis dry eye di Poliklinik mata RS. Wahidin Sudirohusodo
dan Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Sulawesi Selatan dan memenuhi kriteria inklusi
serta bersedia ikut serta dalam penelitian yang dibuktikan dengan informed consent.
Kriteria inklusi adalah pasien yang didiagnosis dry eye dan bersedia ikut dalam
penelitian, sedangkan kriteria ekslusi adalah pasien dry eye yang menderita infeksi permukaan
okuler, riwayat diabetes mellitus, sementara menggunakan obat-obatan mata yang dapat
mempengaruhi sekresi air mata dan terdapat abnormalitas pada konjungtiva dan kornea.
Pengambilan samper dilakukan secara berurutan (consecutive sampling). Setiap pasien dry eye
dilakukan pemeriksaan oftalmologi umum dan pemeriksaan lapisan air mata untuk menentukan
derajat dry eye yang diderita. Derajat dry eye yang diderita menggunakan kriteria Dry Eye
Workshop Study (DEWS) tahun 2007, yang tampak pada tabel dibawah. Pemeriksaan Sitologi
Impresi dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Unhas. Penentuan
derajat sitologi impresi menggunakan kriteria Nelson (tabel 2), sedangkan pemeriksaan kultur
bakteri dilakukan di laboratorium mikrobiologi RS Pendidikan Unhas.
Tabel 1. Derajat Dry Eye menurut DEWS, 2007
Tabel 2. Kriteria Sitologi Impresi (menurut Nelson)
Grade Features
0 >500 goblet cells/mm2
Small, round epithelial cells with large nuclei
1 350-500 goblet cells/mm2
Slightly larger and more polygonal epithelial cells; smaller nuclei
2 100-350 goblet cells/mm2
Even larger and polygonal epithelial cells, occasionally
multinucleated, with variable staining cytoplasm, small nuclei
3 <100 goblet cells/mm2
Large, polygonal epithelial cells with small pyknotic nuclei,
occasionally completely absent
HASIL
Diperoleh 47 sampel penelitian dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan
tidak berbeda. Rentang umur subyek penelitian berada pada 40-84 tahun dengan rerata
58,4±11,4 tahun dengan kelompok umur terbanyak pada umur >60 tahun yaitu sebesar 42,5%.
Keluhan mata terbanyak adalah perih yakni 34% sedangkan frekuensi keluhan terbanyak yang
ditemukan adalah sering dengan 70,2%.
Tabel 3. Karakteristik Subyek Penelitian
Variabel N (%) Umur (mean)
40-50 51-60 >60
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Keluhan Mata Berpasir Gatal Kering Perih
Frekuensi Keluhan Kadang-kadang Sering Terus Menerus
58,4±11,4 11 (23,4) 16 (34,1) 20 (42,5)
23 (48,9) 24 (51,1)
12 (25,5) 6 (12,8) 13 (27,7) 16 (34,0)
8 (17,0) 33 (70,2) 6 (12,8)
n = jumlah subyek
Sebaran derajat dry eye menurut jenis kelamin tampak pada tabel 4, dimana derajat dry
eye pada jenis kelamin laki-laki terbanyak adalah derajat 1 yakni 56,5% sedangkan pada
perempuan terbanyak juga derajat 1 sebanyak 54,2%.
Tabel 4. Sebaran Derajat Dry Eye menurut Jenis Kelamin
Derajat Dry Eye Total n (%) 1
n (%) 2
n (%) 3
n (%)
Jenis Kelamin
L 13 (56,5) 7 (30,4) 3 (13,0) 23 (100)
P 13 (54,2) 8 (33,3) 3 (12,5) 24 (100)
Total 26 (55,3) 15 (31,9) 6 (12,8) 47 (100)
Chi Square tes (p=0,978)
Hasil pemeriksaan tes dry eye seperti yang tampak pada tabel 5, diperoleh rerata nilai
Schirmer 12,3±5,2mm dengan nilai terendah 3mm dan nilai tertinggi 25mm. Rerata nilai TBUT
10,6±1,7 sedangkan rerata tinggi meniskus yaitu 10,6±1,7.
Tabel 5. Nilai Rerata Tes Dry Eye
Tes Dry Eye N Mean (SD)
Schirmer 47 12,3±5,2
TBUT 47 10,6±1,7
Meniscus 47 0,485±0,0955
N: jumlah sampel; SD: Standar Deviasi
Pada tabel 6 tampak sebaran derajat dry eye dan sitologi impresi yang menunjukkan
derajat dry eye terbanyak pada derajat 1 sebanyak 55,3% (26 sampel) sedangkan tidak
terdapat sampel dengan derajat 4. Derajat sitologi impresi yang terbanyak pada derajat 0
(normal) yakni 68,1% sampel sedangkan derajat terendah adalah derajat 2 sebanyak 12,8%.
Tabel 6. Sebaran Derajat Dry Eye dan Sitologi Impresi
Derajat N %
Dry Eye
1 26 55,3
2 15 31,9
3
4
6
0
12,8
0
Sitologi Impresi 0 32 68,1
1 9 19,1
2 6 12,8
Total 47 100,0
Tabel 7 memperlihatkan hubungan yang signifikan antara derajat dry eye dengan
derajat sitologi impresi (p=0,027), meskipun sebaran jumlah sampel dry eye dengan derajat 1
ditemukan lebih banyak terutama pada derajat 0 sitologi impresi, namun persentase subyek
dengan sitologi impresi derajat 2 lebih banyak ditemukan pada dry eye derajat 3.
Tabel 7. Hubungan Derajat Dry Eye dengan Derajat Sitologi Impresi
Derajat Sitologi Impresi Total n (%)
0
n (%)
1
n (%)
2
n (%)
Derajat Dry Eye
1 20 (76,9) 4 (15,4) 2 (7,7) 26 (100,0)
2 11 (73,3) 3 (20,0) 1 (6,7) 15 (100,0)
3 1 (16,7) 2 (33,3) 3 (50,0) 6 (100,0)
Total 32 (68,1) 9 (19,1) 6 (12,8) 47 (100,0)
Chi Square tes (p=0,027)
Hubungan pemeriksaan kelenjar meibom dengan derajat sitologi impresi pada pasien
dry eye tampak pada tabel 8, dimana tidak terdapat hubungan antara disfungsi kelenjar meibom
dengan derajat sitologi impresi pada penelitian ini (p=0,414). Dari 47 subyek dry eye yang
diteliti, jumlah subyek dry eye yang mengalami disfungsi kelenjar meibom sendiri yakni 8
subyek dengan derajat sitologi impresi 0 memiliki proporsi terbanyak dengan 4 subyek.
Tabel 8. Hubungan Pemeriksaan kelenjar meibom dengan sitologi impresi
Derajat Sitologi Impressi
0 n (%)
1 n (%)
2 n (%) Total
Meibom
N 28 (71,8) 7 (17,9) 4 (10,3) 39 (100,0)
Y 4 (50,0) 2 (25,0) 2 (25,0) 8 (100,0)
Total 32 (68,1) 9 (19,1) 6 (12,8) 47 (100,0)
Chi Square tes (p=0,414)
Rerata jumlah bakteri pada ketiga derajat dry eye yang diperoleh pada penelitian ini
tampak pada tabel 9. Pada dry eye derajat 1 didapatkan rerata tertinggi jumlah bakteri yakni
2722280,81±8245622,4 dari 26 subyek yang termasuk dalam dry eye derajat 1. Uji Anova
menunjukkan tidak ada hubungan antara derajat dry eye dengan jumlah bakteri dengan derajat
dry eye (p=0,512), namun terdapat kecenderungan peningkatan rerata jumlah bakteri dry eye
derajat 3 (1541700,0±2941253,1) dibandingkan dry eye derajat 2 (349988,80±708654,5).
Tabel 9. Hubungan Derajat Dry Eye dengan jumlah bakteri
Derajat n Mean SD p
1 26 2722280,81 8245622,4
0,512 2 15 349988,80 708654,5
3 6 1541700,00 2941253,1
Anova test
Pada tabel 10 terlihat bahwa Jenis bakteri aerob yang ditemukan adalah gram positif
dan negatif dengan spesies bakteri gram positif terbanyak adalah Stafilokokus epidermidis
yakni 70,2% sedangkan gram negatif adalah Providencia alkalifaciens dengan 4,3%. Sebaran
spesies bakteri berdasarkan derajat sitologi impresi terbanyak ditemukan pada sitologi impresi
derajat 0 dimana bakteri terbanyak adalah Stafilokokus epidermidis (78,1%). Spesies bakteri
Providencia alkalifaciens hanya ditemukan pada sitologi impresi derajat 2 (33,3%).
Tabel 10. Sebaran spesies bakteri berdasarkan derajat sitologi impresi
Jenis Bakteri Spesies Bakteri Derajat Sitologi Impressi Total
0 n (%)
1 n (%)
2 n (%)
Gram Negatif
A. calcoaceticus 1 (3,1) 0 (0) 0 (0) 1 (2,1)
P. aeruginosa 0 (0) 1 (11,1) 0 (0) 1 (2,1)
P. alkalifaciens 0 (0) 0 (0) 2 (33,3) 2 (4,3)
Gram Positif
S. aureus 6 (18,8) 2 (22,2) 2 (33,3) 10 (19,1)
S. epidermidis 25 (78,1) 6 (66,7) 2 (33,3) 33 (70,2)
Total 32 (100,0) 9 (100,0) 6 (100,0) 47 (100,0)
Catatan: tidak bisa diuji karena banyak nilai 0 dalam sel tabel
Hubungan antara derajat sitologi impresi dengan jumlah bakteri konjungtiva tampak
pada tabel 11. Terlihat bahwa tidak terdapat hubungan antara derajat 0, 1 dan 2 yang
ditemukan pada subyek dengan peningkatan jumlah bakteri yang terdapat pada konjungtiva
subyek dengan dry eye (p=0,862).
Tabel 11. Hubungan Derajat Sitologi Impresi dengan jumlah bakteri
Derajat N Mean SD P
0 32 2139472,8 7500683,4
0,862 1 9 861111,4 737943,4
2 6 1511033,3 2951273,1
Anova test
PEMBAHASAN
Penentuan derajat dry eye pada penelitian ini dilakukan berdasarkan DEWS tahun 2007
yang dilaporkan oleh Foulk dkk, meliputi anamnesis terhadap keluhan utama, gejala
penglihatan, pemeriksaan kelenjar meibom, TBUT, dan tes Schirmer. Keluhan meliputi rasa
tidak nyaman yang dirasakan (gatal, berpasir, perih, berair) dengan frekuensi keluhannya.
Berbeda dengan studi oleh Schein13 pada tahun 1997 yang menegakkan diagnosis dry eye
berdasarkan adanya satu atau lebih keluhan iritasi mata yang dikonfirmasi dengan 1 tanda
positif dari hasil pemeriksaan LAM, pada DEWS, adanya keluhan ringan dengan frekuensi jaran
cukup untuk penegakan diagnosis dry eye derajat terendah (derajat 1), meskipun pemeriksaan
lapisan air mata normal. Pada penelitian ini kami menambahkan pemeriksaan tinggi meniskus
yang tidak menjadi pemeriksaan dalam penentuan derajat dry eye berdasarkan DEWS.7
Penelitian oleh Ashraf (2010) mengenai dry eye pada perokok aktif juga menggunakan
pemeriksaan tinggi meniskus dalam penentuan dry eye.14
Karakteristik subyek penelitian seperti yang tampak pada tabel 3, dimana umur minimal
sesuai kriteria inklusi adalah 40 tahun. Selanjutnya untuk memudahkan analisis, maka subyek
penelitian dibagi menjadi tiga kelompok umur yaitu 40-50 tahun, >50-60 tahun dan >60 tahun.
Penentuan umur minimal ini didasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya seperti yang
dinyatakan oleh Brewitt dkk dan Moss yang menyatakan bahwa peningkatan umur memiliki
signifikansi lebih tinggi terhadap kejadian dry eye.5,15
Tabel 4 menunjukkan sebaran jenis kelamin pada derajat dry eye. Penelitian ini
menunjukkan subyek penderita dry eye berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan
jenis kelamin laki-laki. Meskipun data yang diperoleh ini secara statistik tidak bermakna, namun
hal ini sesuai data penelitian prevalensi sebelumnya, yakni Beaver Dam Eye study yang
menemukan prevalensi dry eye sebanyak 14 % dengan rentang umur 48-91 tahun dan
perempuan menderita dry eye lebih banyak dibandingkan laki-laki (16,7% versus 11,4%), dan
sebelumnya di Kanada juga dilaporkan hasil yang serupa dengan 60,4% prevalensi dry eye
pada perempuan.5,16 Prevalensi dry eye dilaporkan berkisar antara 5-30% diantara populasi
pada berbagai rentang umur. sedangkan di Makassar sendiri juga tidak berbeda seperti yang
dinyatakan oleh Syawal bahwa prevalensi dry eye pada perempuan lebih tinggi dibandingkan
laki-laki yaitu sebanyak 2:1.2
Seperti yang tampak pada tabel 5, pemeriksaan LAM meliputi tiga pemeriksaan yakni
Schirmer I, TBUT, tinggi meniskus dan ada tidaknya MGD. Pemeriksaan-pemeriksaan LAM
pada penelitian ini dilakukan hanya untuk menentukan derajat dry eye yang diderita sehingga
nilai-nilai yang didapatkan tidak dianalisa lebih jauh. Tabel 5 menunjukkan rerata nilai Schirmer
nilai yang tidak berbeda (12,3±5,2) dengan rerata nilai Schirmer penelitian lainnya seperti oleh
Sangkereng yaitu 11,57±7,08 pada kelompok subyek non-DM. Rerata Schirmer menunjukkan
nilai normal yang menurut kami disebabkan mayoritas derajat dry eye yang menjadi subyek
penelitian adalah derajat 1.17 Pemeriksaan Schirmer 1 masih merupakan pemeriksaan yang
umum dilakukan untuk menentukan derajat dry eye. Menurut Lemp, pada kasus-kasus dry eye
yang berat, tes ini memberikan manfaat yang baik, namun pada kasus-kasus dry eye derajat
ringan sampai sedang, tes Schirmer memiliki keterbatasan karena sekresi air mata yang masih
dalam batas normal.18 Tingkat hiperosmolaritas yang rendah pada kelenjar air mata
dimungkinkan menjadi penyebab nilai normal tes Schirmer pada dry eye derajat ringan.7
Sementara itu, rerata TBUT pada penelitian ini dalam batas normal yaitu 10,6±1,7
meskipun pada beberapa subyek, nilai TBUT ditemukan kurang dari normal (<10 detik). Hal ini
sesuai dengan temuan kami dimana pada beberapa subyek dengan dry eye derajat 1 dan 2
yang memiliki nilai TBUT kurang dari normal, sedangkan pada dry eye derajat 3 terdapat nilai
yang kurang dari normal untuk TBUT. Nilai normal TBUT pada penelitian ini juga dapat
disebabkan adanya variasi percepatan penipisan LAM pada pasien dry eye seperti yang
dinyatakan oleh Nichols dkk.19
Adanya hubungan antara peningkatan derajat dry eye dengan derajat sitologi impresi
(p=0,027), menguatkan dugaan bahwa pada derajat dry eye lebih tinggi telah terjadi metaplasia
skuamosa dan penurunan sel goblet konjungtiva yang memproduksi musin pada dry eye derajat
lebih tinggi. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan sel epitel dan goblet konjungtiva
adalah inflamasi permukaan okuler. Penelitian oleh Foulk mendukung hal ini, dimana
menunjukkan bukti bahwa adanya marker-marker inflamasi seperti HLA-DR dan dan ICAM-1
pada kondisi dry eye yang tampak pada sitologi impresi dan flow cytometry akan cenderung
menurunkan ekspresi marker-marker musin meskipun hal ini masih perlu dibuktikan lagi.7
Faktor Diabetes mellitus juga dapat mempengaruhi hiperosmolaritas yang akan menyebabkan
inflamasi dan mengganggu produksi komponen air mata, namun karena pada penelitian ini
faktor DM tidak dijadikan kriteria inklusi, maka faktor hiperosmolaritas yang mungkin terjadi
pada dry eye derajat 2 dan 3 yang ditemukan dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh
faktor lain, dimana hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan alat yang lebih
canggih.17
Jenis bakteri yang dikultur dalam penelitian ini adalah jenis bakteri aerob gram, positif
dan negatif. Uji chi square tidak menunjukkan adanya hubungan antara derajat dry eye dengan
jenis bakteri konjungtiva subyek dengan dry eye (p=0,063), namun tampak bahwa 2 dari bakteri
gram negatif diperoleh dari dry eye derajat 3. Tampak pula bahwa sesuai American Academy of
Ophthalmology, flora bakteri yang umumnya ditemukan pada konjungtiva, pada penelitian ini
jenis bakteri gram positif paling banyak ditemukan pada konjungtiva subyek dengan dry eye
yaitu 91,5% (43 subyek). Dari keseluruhan jenis bakteri gram positif paling banyak ditemukan
pada subyek dengan dry eye derajat 1. Namun bila dilihat dari spesies bakteri yang tumbuh,
maka Stafilokokkus epidermidis merupakan bakteri terbanyak yakni 70,2% (33 subyek). Serupa
dengan hasil penelitian sebelumnya, Seal juga melaporkan koloni bakteri yang terbanyak
ditemukan pada konjungtiva subyek dry eye adalah Stafilokokus epidermidis yakni 42%, diikuti
Stafilokokus aureus yakni 17%.20 Sedikit berbeda dengan penelitian ini, Hori dkk pada
penelitiannya memperoleh hasil yakni Propionibacterium acnes menjadi koloni bakteri
terbanyak yang ditemukan pada subyek dry eye, disusul stafilokokkus aureus.1
Propionibacterium acnes sendiri pada orang normal lebih banyak ditemukan pada daerah
margo palpebra meskipun jumlah koloninya masih lebih sedikit dibandingkan stafilokokus
epidermidis.21,22
Selain bakteri gram positif, bakteri gram negatif juga ditemukan pada konjungtiva
pasien dry eye yakni sebanyak 8,5%, dengan spesies P. alkalifaciens, Acinetobacter
calcoaceticus dan Pseudomonas aeruginosa. Bakteri-bakteri ini tidak banyak ditemukan pada
konjungtiva, namun dapat sangat berbahaya. Terdapat 1 laporan kasus endoftalmitis pasca
operasi katarak yang dilaporkan oleh Gopal dkk yang disebabkan oleh bakteri Acinetobacter
calcoaceticus, sedangkan Syawal juga melaporkan bahwa dari 6 kasus endoftalmitis pasca
bedah katarak yang terjadi pada tahun 2006 di RS Wahidin Sudirohusodo, 2 kasus diantaranya
disebabkan Pseudomonas aeruginosa.23,24 Mekanisme infeksi bakteri ini yakni melalui reseptor-
reseptor molekuler pada epitel yang rusak ataupun melalui sekresi ekstraseluler beberapa
toksin, protease, dan enzim sehingga menyebabkan nekrosis stroma kornea.25
Hubungan antara derajat dry eye dengan jumlah rerata bakteri, tidak menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan (p=0,512). Berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu
yang hanya melakukan identifikasi bakteri dan tidak melakukan hitung jumlah bakteri pada
pasien dry eye, pada penelitian ini kami melakukan hitung jumlah bakteri untuk membandingkan
perbedaan jumlah bakteri pada setiap derajat dry eye. Bila dibandingkan dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Hori dkk, tidak ditemukan peningkatan signifikan profil bakteri pada
subyek dry eye dengan subyek non-dry eye (p=0,06) namun pada tes sensitivitas terhadap
bakteri, terdapat signifikansi resistensi antibiotik pada pasien dry eye dibandingkan non-dry eye,
sedangkan Seal dkk mendapatkan hasil yang hampir sama yaitu tidak terdapat perbedaan
signifikan jumlah koloni bakteri stafilokokkus aureus dan stafilokokkus epidermidis antara
konjungtiva orang normal dengan konjungtiva subyek dry eye meskipun terdapat kenaikan
jumlah koloni bakteri-bakteri tersebut.1,20 Hasil berbeda dipaparkan oleh Albietz yang meneliti
total unit koloni bakteri pada subyek dry eye dibandingkan dengan subyek non-dry eye.
Dilaporkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dimana jumlah koloni bakteri pada
subyek dry eye lebih banyak dibandingkan jumlah koloni bakteri pada subyek non-dry eye.26
Hubungan derajat sitologi impresi dengan jumlah bakteri tidak menunjukkan hubungan
yang bermakna (p=0,862). Jumlah bakteri yang didapatkan pada penelitian ini tidak dapat
menggambarkan virulensi bakteri pada konjungtiva, namun kecenderungan peningkatan jumlah
bakteri yang ditemukan, dapat disebabkan mulai berkurangnya jumlah sel epitel dan goblet
konjungtiva yang memproduksi musin ataupun keadaan hiperosmolaritas LAM. Peranan
protein peptide seperti defensin, laktoferin dan lisozim turut serta dalam menjaga keseimbangan
bakteri pada permukaan okuler. Faktor imun baik tipe innate maupun adapatif juga dapat
mempengaruhi keadaan flora bakteri pada permukaan konjungtiva.18,27,28
KESIMPULAN
Walaupun tidak terdapat hubungan antara derajat dry eye dengan jumlah bakteri
konjungtiva pada pasien dry eye, namun terdapat kecenderungan peningkatan jumlah bakteri
pada pasien dry eye derajat 3 dibandingkan pasien dry eye derajat 2. Tidak terdapat hubungan
bermakna antara derajat sitologi impresi dengan jumlah bakteri konjungtiva pada pasien dry eye
(p=0,862), meskipun terdapat kecenderungan peningkatan jumlah bakteri pada sitologi impresi
derajat 2 dibandingkan derajat 1.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hori Y, Maeda N, Sakamoto M, Koh S, Inoue T, Tano Y. Bacteriologic profile of the conjunctiva in the patients with dry eye. Am J Ophthalmol 2008;146:729–734.
2. Syawal SR. Suatu Cakrawala Baru Mengenai Patogenesis dari Penanganan Sindrom “Dry Eye”. Jurnal Medika Nusantara Suplement. 2005;26:84-7.
3. Schaumberg DA, Sullivan DA, Buring JE, Dana MR. Prevalence of dry eye syndrome among US women. Am J Ophthalmol 2003; 136:318–326.
4. Abelson MB, Rosner R. Epidemiologic studies of dry eye in dry eye and ocular surface disorders. Suresh K. Pandey ed. Jaypee Brother Medical Publisher, New Delhi. 2001:3-9
5. Brewitt H, Sistani F. Dry eye disease: The scale of the problem. Surv Ophthalmol. 2001;45:199-201.
6. McCarry CA, Bansal AK, Livingston PM et al. The epidemiology of dry eye in Melbourne, Australia. Ophthalmology 1998;105:1114-9.
7. Foulk GN et al. 2007 Report of the International Dry Eye Workshop (DEWS). The Ocular Surface. 2007;2:1-24.
8. Asbell PA, Lemp MA. Dry Eye Disease the Clinician’s Guide to Diagnosis and Treatment. Thieme. 2-57.
9. Pflugfelder SC, Jones D, Ji Z, Afonso A, Monroy D. Altered cytokine balance in the tear fluid and conjunctiva of patients with Sjögren's syndrome keratoconjunctivitis sicca. Curr Eye Res. 1999 Sep;19(3):201-11.
10. Jones DT, Monry D, Ji Z, Pflugfelder SC. Alteratios of ocular surface gene expression in Sjogren’s syndrome. Adv Exp Med Biol 1998;438:533-536.
11. McDermott AM, Defensins and other antimicrobial peptides at the ocular surface. Ocul Surf. 2004 October; 2(4): 229–247.
12. Danjo Y, Lee M, Horimoto K, Hamano T.Ocular surface damage and tear lactoferrin in dry eye syndrome. Acta Ophthalmol (Copenh). 1994 Aug;72(4):433-7.
13. Schein OD, Hochberg MC, Murioz B et al. Dry Eye and Dry Mouth in the Elderly. A Population Based Study. Arch Intern Med. 1999 ; 159 : 1359-63.
14. Ashraf A, Syawal SR, Sirajuddin J. Dry eye pada perokok aktif di makassar. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2010.
15. Moss SE, KleinR, Klein BEK. Prevalence of and Risk Factors for Dry eye syndrome. Arch Ophthalmol. 2000 ; 118: 1264-8.
16. Gayton JL. Etiology, prevalence and treatment of dry eye disease. Clinical Ophthalmology. 2009; 3 : 405-12.
17. Sangkereng N, Syawal SR, Sirajuddin J. Profil lapisan air mata dan sitologi impresi pada diabetes mellitus tipe 2. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2011.
18. Lemp M. Advances in understanding and managing dry eye disease. Am J Ophthalmol. 2008;146:350–356.
19. Nichols J J, Sinnott LT. Tear film, contact lens, and patient-related factors associated with contact lens-related dry eye. Invest Ophthalmol Vis Sci 2006;47:1319-28.
20. Seal DV, McGill JI, Mackie IA, Liakos GM, Jacobs P, Goulding NJ. Bacteriology and tear protein profiles of the dry eye. Br J Ophthalmol 1986;70:122–125.
21. Groden LR, Murphy B, Rodnite J et al. Lid flora in blepharitis. Cornea;1991:10:50. 22. Doyle A, Beigi B, Early A et al: Adherence of bacteria to intraocular lenses: a prospective
study. Br J Ophthalmol 1995;79:347 23. Syawal SR. The outbreak of acute postoperative cataract endophthalmitis at dr wahidin
sudirohusodo general hospital makassar. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2007;5(2):139. 24. Gopal L, Ramaswamy AA, Madhavan HN, Saswade M, Battu RR. Postoperative
endophthalmitis caused by sequestered Acinetobacter calcoaceticus. Am J Ophthalmol 2000;129:388–390
25. Bourcier T, Thomas F, Borderie V, Chaumeil C, Laroche L. Bacterial keratitis: predisposing factors, clinical and microbiological review of 300 cases. Br J Ophthalmol 2003;87:834–838.
26. Albietz J, Lenton L. Effect of antibacterial honey on the ocular flora in tear deficiency and meibomian gland Disease. Cornea. 2006 Oct ;25 (9):1012-1019.
27. Evans DJ, McNamara NA, Fleiszig SMJ. Life at the front: dissecting bacterial-host interactions at the ocular surface. Ocular Surf 2007;5:213–227
28. Beuerman RW, Stern ME. Neurogenic inflammation: a first line of defense for the ocular surface. Ocular Surf 2005;3: S203–S206
Top Related