Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 199-221
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1602
GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL
PEMILHAN KEPALA DAERAH
Qurrata Ayuni*
*Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Korespondensi:[email protected]
Naskah dikirim: 16 Agustus 2017
Naskah diterima untuk diterbitkan:2 Maret 2018
Abstract
The Constitutional Court in Decision Number 97 / PUU-XI / 2013 states that the
dispute over the head of region election is not included in the authority of its
constitutionality. The Lawmakers follow up this ruling by initiating a special
judicial body that will hear disputes over the results of head of region election.
Special judicial bodies should have been formed before the head of region
election simultaneously. In the transitional period, before the establishment of a
special judicial body, disputes over the results of head of region election are still
handled by the Constitutional Court in 2015 and 2017. This study aims to seek
and provide an overview of the options for the form and design of special courts
of head of region election such as through the State Administrative High Court,
Election Supervisory Board and remain in the Constitutional Court. This paper
suggests the existence of a judicial body that will handle disputes over regional
head elections that will provide legal certainty for the democratic process in
Indonesia.
Keywords; the dispute over the head of region election, special judicial
body.
Abstrak
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan
bahwa sengketa pemilihan kepala daerah bukanlah termasuk dalam kewenangan
konstitutionalitasnya. Pembentuk Undang-Undang menindaklanjuti putusan ini
dengan menggagas badan peradilan khusus yang akan mengadili sengketa hasil
pemilihan kepala daerah. Badan peradilan khusus semestinya sudah terbentuk
sebelum terselenggaranya pemilihan kepala daerah yang akan dilaksanakan
secara serentak. Dalam masa transisi, sebelum terbentuknya badan peradilan
khusus, sengketa hasil pemilihan kepala daerah masih ditangani oleh Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2015 dan tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk
mencari dan memberikan gambaran mengenai pilihan-pilihan bentuk dan desain
pengadilan khusus pemilihan kepala daerah diantaranya melalui Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, Badan Pengawas Pemilu dan tetap di Mahkamah
Konstitusi. Tulisan ini memberikan usulan keberadaan badan peradilan yang
akan menangani perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang akan
memberikan jaminan kepastian hukum bagi proses demokrasi di Indonesia.
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 200
Kata Kunci: sengketa hasil pemilihan kepala daerah, badan peradilan
khusus.
I. PENDAHULUAN
Melalui sebuah pilihan politik dan hukum, pembentuk undang-undang
sepakat untuk memaknai kata “demokratis” pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
sebagai pemilihan langsung.1 Sebenarnya pasal tersebut juga memberikan
peluang agar Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih dengan metode demokratis
lainnya, misalnya melalui lembaga perwakilan seperti Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Namun dalam semangat otonomi daerah,maka pemilihan
kepala daerah (pilkada) secara langsung dianggap cara terbaik untuk
menghidupkan demokrasi lokal.
Jimly Asshiddiqie menyatakan frasa “dipilih secara demokratis” dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bersifat luwes, sehingga dapat diartikan sebagai
pemilihan secara langsung.2 Pasal ini kemudian dijadikan dasar untuk
menyelenggarakan pemilihan langsung kepala daerah mulai dari tingkat provinsi
yang dipimpin gubernur dan di tingkat kota/kabupaten yang dipimpin bupati atau
walikota.
Secara original intent, keberadaan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 mengenai
pemilihan kepala dearah secara demokratis disahkan pada proses amandemen
tahun 2000. Lain halnya dengan Pasal 22E tentang Pemilihan Umum yang
disahkan pada tahun 2001. Pasal 22E menyatakan dengan tegas bahwa Presiden
dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD dipilih secara langsung. Usulan
mengenai adanya pemilihan kepala daerah langsung sudah pernah diungkapkan
oleh Fraksi PPP yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara
langsung oleh Rakyat yang selanjutnya diatur oleh UU.”3 Namun terdapat
kesepakatan bahwasanya norma yang telah disepakati pada amandemen
sebelumnya tidak dapat diubah pada masa perubahan selanjutnya.4 Sehingga
redaksi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dianggap telah final.
Pemilihan kepala daerah merupakan cara konstitutional untuk pengisian
kepala pemerintahan daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kota untuk dipimpin
oleh seorang Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam konteks otonomi daerah,
pemerintah daerah bersama dengan DPRD berhak untuk menjalankan
pemerintahan otonomi seluas-luasnya seperti dengan menetapkan peraturan
1 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18
ayat (4) menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” 2 Jimly Asshiddiqie, “Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat”,
(Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 22. 3 Majelis Permusyawaratan Rakyat, “Buku Kedua Jilid 3 C Risalah Rapat Panitia Ad
Hoc I Sidang Tahunan 2000”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat,
2000) hal. 255-273. 4 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV: Kekuasaan Pemerintahan
Negara Jilid 2, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2010), hal. 1421.
201 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
daerah.5 Sehingga penting bagi masyarakat juga turut terlibat dalam penentuan
pemimpin daerahnya melalui mekanisme pilkada langsung.
Proses pilkada dapat menjadi salah satu sarana integrasi bangsa untuk
membiarkan masyarakat memilih sendiri kualitas pemimpin yang diinginkan. Ia
adalah sistem untuk mengejewantahkan pemimpin idaman yang berasal dari
masyarakat itu sendiri.6 Selain itu pilkada juga dinilai dapat mengakomodir
sistem seleksi terpadu untuk melahirkan calon kepala daerah yang berkualitas.7
Mengingat makna penting pilkada itulah maka timbul urgensi untuk menjaga
kualitas proses dari penyelenggaraan pilkada. Dengan kata lain, penyelenggaraan
pilkada yang baik menjadi penentu kualitas pemerintahan dan keberhasilan
demokrasi.8
Perselisihan hasil pilkada merupakan salah satu dari beberapa masalah
yang mungkin timbul dalam penyelenggaraan pilkada. Perbedaan penghitungan
perolehan suara antara Komisi Pemilihan Umum dan peserta pilkada kerap
terjadi dan berpotensi mencederai demokrasi. Sayangnya hingga kini masih
belum jelas mengenai pengadilan mana yang dianggap cocok untuk mengadili
perselisihan hasil pilkada pasca Mahkamah Konstitusi memutus pilkada bukan
termasuk pemilihan umum.
Melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 MK menyatakan tidak lagi
berwenang untuk mengadili sengketa hasil pilkada karena secara limitatif Pasal
24C UUD 1945 hanya memberikan kewenangan untuk mengadili perkara pemilu
saja dan tidak termasuk pilkada.9Namun dalam putusan itu MK juga menyatakan
bahwa selama belum terbentuk pengadilan khusus pilkada maka MK akan tetap
mengadili perselisihan hasil pilkada. Sembari menunggu pembentuk undang-
undang menentukan kemana perselisihan hasil pilkada berlabuh, Pasal 157 ayat
(3) UU Pilkada menyatakan bahwa perkara perselisihan penetapan perolehan
suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai
dibentuknya badan peradilan khusus.10Dalam masa transisi, sengketa hasil
pemilihan kepala daerah masih ditangani oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun
2015 dan tahun 2017.
Tulisan ini akan membahas mengenai gagasan pengadilan khusus
perselisihan hasil pilkada yang mungkin diterapkan di Indonesia. Menggunakan
metode penelitian empiris-normative dengan studi pustaka ditambah dengan
5 Indonesia, Pasal 18 ayat (5) dan (6) UUD 1945 6 Kariaman Sinaga, “Efektitas Regulasi dan Perannya dalam Penyelenggaraan
Pemilukada: Dialektika Hukum dan Etika Pemilukada Serentak”, (Jakarta: Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu RI, 2016), hal. 142-143. 7 Joko J. Prihatmoko, “Mendemokrasikan Pemilu”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hal. 195-196. 8 Djoko Suyanto, “Evaluasi Pemilukada dari Prespektif Ketahanan Nasional: Demokrasi
Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia”, (Jakarta: Konpress, 2012), hal. 25. 9 Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 10 Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130
dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898, Pasal 157 ayat (3).
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 202
menganalisa peraturan perundangan-undangan terkait kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Selain itu penulis juga melakukan beberapa wawancara sebagai
pelengkap dan konfirmasi terhadap beberapa argumentasi yang diangkat dalam
tulisan ini.
Setidaknya ada tiga alternative pengadilan yang muncul berkaitan dengan
pengadilan khusus pilkada. Pertama adalah dengan melimpahkannya ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Kedua adalah dengan
memberikan kewenangan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ketiga
adalah dengan tetap memberikannya kepada MK dengan merubah pola pilkada
menjadi pilkada serentak nasional sehingga membuatnya menjadi semirip
mungkin dengan pemilu nasional.
II. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN
KEPALA DAERAH
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) adalah perselisihan antara
peserta pemilihan umum dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
penyelenggara pemilihan umum mengenai penetapan secara nasional perolehan
suara hasil pemilihan umum oleh KPU.11 Tidak semua permasalahan atau
sengketa dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah dapat
dikategorikan sebagai PHPU. Di Indonesia dikenal pula adanya tindak pidana
pemilu yang diselesaikan pada pengadilan umum, pelanggaran administrasi tata
usaha yang diselesaikan oleh Bawaslu dan pelanggaran etik penyelenggara
pemilihan umum yang diselesaikan oleh DKPP (Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu). Adapun yang dimaksud dengan perselisihan hasil
pemilihan umum meliputi penetapan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan
oleh KPU setelah diselenggarakannya pemungutan suara.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pertama kali dilaksanakan pada bulan
Juni 2005 menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.12 Sesuai UU 32/2004 Tentang Pemerintah
Daerah, penanganan sengketa hasil penghitungan suara merupakan ranah
kewenangan Mahkamah Agung (MA). Namun dalam perkembangan
selanjutnya, pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara
Pemilu mengklasifikasikan Pilkada sebagai bagian rezim dari Pemilihan Umum
(Pemilu).13
Konsekuensi dimasukkannya Pilkada dalam rezim Pemilihan Umum
memiliki dampak bahwasanya Pilkada kini menjadi bagian dari kewewangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
11 Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Topo Santoso, “Penanganan Sengketa Pemlu,
Buku 16”, (Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011), hal.6. 12 Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan (3) dipilih dalam satu pasang secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan” 13Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu disebutkan “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk
memilih kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
203 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
1945 yakni: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili…. Perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.” Oleh karenanya, semenjak ditangani oleh
Mahkamah Konstitusi, rezim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kemudian
berubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
Dimasukkan Pilkada sebagai Pemilu sebagaimana Pasal 1 angka 4 UU
22/2007 lahir usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 72-
73/PUU-II/2004 yang pada pokoknya memberikan kebebasan bagi pembuat
undang-undang untuk memasukkan pemilihan kepala daerah pada rezim
pemilihan umum ataupun tidak (open legal policy). Lebih lanjut, Pasal 236C UU
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU No.12/2008) memerintahkan
pengalihan penanganan sengketa hasil penghitungan suara Pilkada dari
Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK) paling lama 18 bulan
sejak UU tersebut di undangkan.
Penambahan wewenang MK untuk menangani sengketa hasil Pilkada
juga diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009) yang menyatakan
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk kewenangan lain yang diberikan oleh
undang-undangSehingga MK dianggap dapat mengadili penanganan sengketa
yang hasil Pilkada yang mulanya diamanatkan pada Mahkamah Agung.
Keputusan untuk memasukkan Pilkada dalam rezim Pemilu kemudian di
batalkan oleh MK melalui putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 97/ PUU-
XI/2013 yang menyatakan bahwa pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD
1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD propinsi dan
kabupaten, serta Presiden dan wakilnya yang dilaksanakan setiap lima tahun
sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap
lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan calon anggota
DPR, DPD, DPRD Propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya secara
bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara.14 Lebih jauh
MK menyatakan dalam Putusannya bahwa MK sepenuhnya menyerahkan perihal
pengaturan penanganan hasil sengketa Pilkada kepada pembentuk UU yaitu
Pemerintah dan DPR.
Kemudian lahirlah gagasan pemilihan kepala daerah tidak langsung
sebagaimana disahkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh DPR. Lahirnya konsep
pemilihan kepala daerah tidak langsung dan dipilih oleh DPRD menimbulkan
reaksi beragam dari masyarakat. Namun Presiden Yudhoyono menanggap bahwa
hal tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan menimbulkan
kegelisahan dalam masyarakat. Sehingga Presiden menerbitkan Perppu Nomor
1 Tahun 2014 yang mencabut berlakunya UndangUndang Nomor 22 Tahun 2014
yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung
melalui DPRD.
14 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/ PUU-XI/2013
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 204
Pada saat yang sama Pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD
untuk memilih kepala daerah. Perppu No. 1 Tahun 2014 disahkan menjadi UU
No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU Nomor 1 Tahun 2015 ini pun
kemudian direvisi dengan lahirnya UU No 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU 1/2015 /UU
Pilkada).
Pasal 157 ayat (1) UU 8/2015 tentang Pilkada menyatakan perkara
perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
Namun dalam Pasal 157 ayat (3) UU 8/2015 tentang Pilkada dinyatakan bahwa
selama badan peradilan khusus tersebut belum terbentuk, maka perselisihan hasil
pilkada diperiksa dan diadili oleh MK selama masa transisi. 15
Pilkada serentak untuk pertama kalinya dilaksanakan pada 9 Desember
2015. Pilkada serentak ini dilaksanakan untuk 269 kepala daerah yang terdiri
dari 9 provinsi, 36 kota dan 224 kabupaten. Pilkada serentak berikutnya
diselenggarakan pada 15 Februari 2017. Pilkada serentak 2017 ini memilih 101
kepala daerah untuk 9 Provinsi, 18 Kota dan 76 Kabupaten. Dikarenakan belum
terbentuknya pengadilan khusus Pilkada, untuk penanganan sengketa Pilkada
serentak Tahun 2015 dan 2017 masih diserahkan pada MK.
Pada UU Pilkada terbaru Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa badan
peradilan khusus wajib dibentuk sebelum adanya Pemilihan serentak nasional.
Pada Pasal 201 UU Pilkada (UU 10/2016) disebutkan bahwa Pemilihan serentak
nasional dimana Pilkada akan diselenggarakan secara bersama-sama diseluruh
Indonesia setiap lima tahun sekali.
Sehingga dapat berdasarkan sejarah pilkada langsung, ada dua lembaga
peradilan yang pernah menangani sengketa hasil pilkada yakni Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung mendapatkan kewenangan
tersebut berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU Pemda No.32/2004.16Kemudian
berpindah ke Mahkamah Konstitusi disebabkan lahirnya Pasal 236 UU Pemda
No. 12/2008.17 Hingga akhirnya MK menyatakan tidak lagi berwenang untuk
mengadili perselisihan hasil pilkada.
15 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi
Undang-Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 57 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678, Pasal 157 ayat (1) dan ayat (3). 16 Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor125 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor4437, Pasal 106 ayat (1) 17 Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah
yang berbunyi; “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama
18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
205 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
A. Penyelesaian Keberatan Penetapan Hasil Pilkada di Mahkamah
Agung
Dasar hukum diberikannya kewanangan memeriksa, mengadili dan
memutus keberatan penetapan hasil Pilkada di Mahkamah Agung (MA)
bersumber pada Pasal 106 UU Pemda (UU 23/2004). Melalui UU Pemda tersebut
dinyatakan bahwa keberatan penetapan hasil Pilakda dilakukan paling lambat 3
hari setelah penetapan hasil Pilkada.18 Keberatan tersebut hanya dapat diajukan
sepanjang berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi
terpilihnya pasangan calon.19 MA diberikan waktu selama 14 hari untuk
memutus sengketa hasil Pilkada yang mana putusannya bersifat final dan
mengikat.20
Dalam pelaksanaan kewenangan yang diperoleh oleh Mahkamah Agung,
Pasal 106 ayat (6) UU Pemda (UU 23/2004) mempersilahkan MA untuk
mendelegasikan kepada pengadilan tinggi untuk memutus sengketa penetapan
hasil Pilkada. Selanjutnya MA menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap
Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Wakil Kepala Daerah
dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota (Perma 1/2005). Perma ini
memberikan legalitas kewenangan kepada MA untuk dapat mendelegasikan
kepada Pengadilan Tinggi (PT) untuk memutus sengketa Pilkada
Kabupaten/kota. Kemudian dikeluarkan juga peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan
terhadap Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Wakil Kepala
Daerah dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota (Perma 2/2005).
Melalui pengaturan yang disebutkan dalam Perma maupun UU Pemda
maka MA berwenang mengadili keberatan penetapan hasil Pilkada Gubernur dan
Wakil Gubernur sedangkan Pengadilan Tinggi berwenang mengadili keberatam
penetapan hasil Pilkada Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota.
Wacana menghapus kewenangan Mahkamah Agung untuk mengadili
keberatan penetapan Pilkada ramai usai adanya rekomendasi Komisi Yudisial
bagi sejumlah Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menangani sengketa
Pilkada Kota Depok Tahun 2005. Komisi Yudisial memberikan rekomendasi
agar Nana Juwana, Ketua PT Jabar, yang juga majelis hakim dalam sengketa
Pilkada Depok tersebut di nonaktifkan selama satu tahun. Sedangkan anggota
majelis yang lainnya Hadi Lelana, Rata Kembaren, Ginalita Silitonga dan
Sopyan Royan direkomendasikan untuk diberi teguran tertulis.21
Pemberian rekomendasi KY menandakan adanya persoalan kualitas dan
bahkan keraguan atas independensi hakim dalam memutus perkara. Namun
Mahkamah Agung akhirnya melakukan koreksi terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Jawa Barat tersebut melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor
18 Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 19 Pasal 106 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 20 Pasal 106 ayat (3) dan (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 21 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14067/sengketa-piwlkada-ma-
kabulkan-peninjauan-kembali-kpud-depok. diakses pada 29 September 2011
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 206
1PK/PILKADA/2005 membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan
memenangkan Pasangan Nurmahmudi dan Yuyun pada Pilkada Depok 2005.
Selain itu, disinyalir terdapat pula permasalahan-permasalahan pilkada
dalainnya lain yang menimbulkan pro dan kontra atas putusan Mahkamah
Agung. Diantaranya adalah kasus sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (SulSel),
Maluku Utara (Malut) yang dianggap tidak menunjukkan keadilan dan kepastian
hukum bagi para pihak yang bersengketa atas keberatan hasil penghitungan suara
KPU.22
Wacana lain pengalihan kewenangan sengketa Pilkada dari MA ke MK
juga bermunculan dengan alasan bahwasanya MA sudah terlalu overload dengan
perkara yang ada. Sehingga penambahan kewenangan yang ada di MA akan
membebani kinerja yudisial MA dan tidak menjamin kepastian hukum bagi para
pihak. Sehingga pada akhirnya timbul wacana untuk mengalihkan kewenangan
penyelesaian sengketa Pilkada dari MA ke MK melalui tiga perundangan yakni;
(1) UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, (2) UU Nomor 12
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan (3) UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru pada tahun 2008 akhirnya MA tidak lagi
menerima kewenangan untuk penyelesaian keberatan penetapan hasil Pilkada
yang menurut perundang-undangan dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
B. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada di Mahkamah
Konstitusi
Perselisihan Hasil Pemilukada ditangani oleh Mahkamah Konstitusi
dipicu oleh Putusan MK Nomor 72-73/PUU- II/2004 tentang UU Pemerintahan
Daerah yang memberikan kemungkinan bagi pembentu undang-undang untuk
memasukkan pemilihan kepala daerah dalam rezim Pemilu atau tidak. Dalam
pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan; 23
“Sebagai akibat (konsekuensi) logis dari pendapat Para Pemohon
yang menyatakan bahwa Pilkada langsung adalah Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 yang dijabarkan
dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka perselisihan mengenai hasil
pemilu, menurut Para Pemohon, harus diputus oleh Mahkamah
Konstitusi. Tentang permohonan Para Pemohon untuk menyatakan
Pasal 106 ayat (1) sampai dengan ayat (7) sebagai bertentangan
dengan UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa secara
konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan
bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena
itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan
Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan
22 R. Nazriyah. “Penyelesaian Sengketa Pilkada Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XI/2013”, Jurnal Konstitusi, Vol 12. Nomor 3, September 2015. hal. 457. 23 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/PUU- II/2004 hal. 114-115.
207 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang
disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya
ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung
sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ….”
Melalui putusan yang diputus pada Maret 2005 itulah, MK selanjutnya
memberikan sebuah jurisprundensi hukum atas lahirnya peraturan perundangan
yang memasukkan pemilihan kepada daerah dalam rezim pemilihan umum.
Meskipun Pasal 24C UUD 1945 tidak memberikan peluang adanya
penambahan kewenangan MK untuk mengadili sengketa hasil Pemilukada,
namun pembentuk UU memberikan sebuah klausul yang memungkinkan MK
mendapatkan kewenangan tersebut. Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa MK dapat
mengadili kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
Menggunakan landasan hukum yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (1)
huruf e UU Kekuasaan Kehakiman, akhirnya MK mendapatkan kewenangan
untuk menjalankan ketentuan sebagaimana Pasal 1 butir (4) UU Penyelenggara
Pemilu dan Pasal 236C UU Pemda.24 MK kemudian mulai aktif menerima
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) pada 29 Oktober
2008 dengan menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili
antara Ketua MA dan Ketua MK.25 Semenjak itulah MK akhirnya memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Secara khusus MK membentuk pedoman beracara Pemilukada yang
menjadi dasar hukum formil mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Pedoman beracara ini dibentuk melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)
Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Kepala Daerah (PMK 15/2008).
Dalam PMK tersebut dinyatakan bahwa yang dapat menjadi Pemohon
adalah pasangan calon Pemilukada.26 Sedangkan permohonan diajukan dalam 3
x 24 jam sejak KPU menetapkan hasil Pemilukada. MK juga diberikan batas
waktu untuk melakukan sidang dan menetapkan putusan yakni hanya dalam
jangka waktu
Pada perjalanan memutus perselisihan hasil Pemilukada, MK telah
melakukan terobosan hukum diantaranya melalui Putusan nomor 41/PHPU.D-
VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Pada
24 Pasal 1 butir (4) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan; “Pemilu Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah adala Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dan Pasal 236C UU Pemda (UU
12/2008) menyatakan; “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling
lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.” 25 Tim Penyusun. Laporan Hasil Penelitian Kembalinya Mahkamah Kalkulator,
Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2015, Konstitusi dan Demokrasi
(Kode) Insiatif dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan International
Foundation for Electoral System (IFES) 2016, hal.8 26 Pasal 1 angka 9 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 208
putusan tersebut, MK melakukan terobosan hukum dengan mendalilkan bahwa
terdapat pelanggaran secara Terstuktur, Sistemasif dan Masif (TSM) dalam
Pemilukada Jawa Timur yang mengharuskan MK untuk memutus perintah
penghitungan suara ulang dan pemungutan suara ulang dibeberapa wilayah.
Mahkamah menyatakan bahwa sebagai peradilan konstitusi, MK tidak
boleh membiarkan keadilan procedural (procedural justice) memasung dan
mengesampingkan keadilan substantif (subtantive justice). Mahkamah
Konstitusi pada saat itu tidak ingin sekedar menjadi Mahkamah Kalkulator
dimana hanya menghitung kesalahan penjumlahan formulir rekap suara tanpa
melihat adanya pelanggaran subtansial dalam proses demokrasi.
Hingga pada Oktober 2013 terjadi krisis kepercayaan kepada MK terjadi
disebabkan tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).27 Akil Mochtar dinyatakan bersalah atas
kasus suap terkait 10 perkara Pemilukada dan tindak pidana pencucian uang. Akil
Mochtar terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada dalam
dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar),
Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada
Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), serta Pilkada Kota
Palembang (sekitar Rp 3 miliar).28
Akil Mochtar langsung diturunkan dari jabatannya sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi dan digantikan oleh wakilnya yakni Hamdan Zoelfa
sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Pada periode Hamdan Zoelfa, MK
membuat sebuah putusan penting yang melepaskan kewenangan MK untuk
mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah.
Melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pemerintahan Daerah dan
Kekuasaan Kehakiman, MK menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah
(Pilkada) bukan merupakan rezim pemilihan umum. Putusan ini sekaligus
memberikan ketentuan mengenai pelepasan kewenangan MK untuk memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. MK berpendapat, memasukkan
pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilihan umum tidak sesuai
dengan original intent pemilu dalam konstitusi. Sehingga secara limitatif
kewenangan MK yang telah ditentukan dalam UUD 1945 tidak dapat ditambah
maupun dikurangi. Oleh karenanya, penambahan kewenangan MK untuk
mengadili perkara hasil pemilihan pilkada dengan memperluas makna pemilu
(Pasal 22E UUD 1945) adalah inkonstitutional.29
Dalam amar putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 lebih jauh MK
menyatakan bahwa Pasal 236C UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan dalam amar putusan yang
sama, MK menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
27 Mustafa Fakhri, Kalaeidoskop Konstitusi 2014, Ketatanegaraan dalam Tahun Politik.
Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2014, hal 207. 28 http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/17445991/MA.Tolak.Kasasi.Vonis.
Akil.Mochtar.Tetap.Seumur.Hidup, diunduh pada 29 September 2016. 29 Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pemerintahan Daerah dan Kekuasaan
Kehakiman hal 60.
209 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada Undang-
Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.”
Terdapat kejanggalan serius dalam putusan MK ini. Dalam pertimbangan
hukum, MK menyatakan bahwa Pemilukada bukan bagian dari rezim pemilu.
Sehingga konsep Pemilukada akan kembali pada konsep Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada). Namun dalam amar putusan, MK masih menyatakan bahwa
Pilkada sebagai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah secara tekstual.
Sehingga menimbulkan inkonsistensi tentang konsep Pilkada atau Pemilukada
yang diakui oleh MK.30
Mahkamah Konstitusi masih menjadi pengadilan yang memutus
perselisihan hasil Pilkada pada tahun 2015. Seusai dengan Pasal 157 ayat (3) UU
Pilkada yang menyatakan (3) ”Perkara perselisihan penetapan perolehan suara
tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi
sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”31
Baik pada Pilkada 2015 mapupun 2017, MK diberikan waktu untuk
memutus perkara dalam jangka waktu 45 hari kerja. UU Pilkada juga
memberikan sejumlah persentase batasan mengenai jumlah selisih suara yang
dianggap mampu mempengaruhi perolehan suara sebagai syarat untuk memiliki
kedudukan hukum (legal standing) di MK. Adapun sesuai dengan Pasal 158 UU
Pilkada (10/2016) ditentukan sejumlah ketentuan mengenai selisih suara yang
dapat diajukan ke MK yakni; 32
Sumber ilustrasi dari www.indonesiabaik.id33
Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan jumlah penduduk
provinsi dua juta jiwa maka selisih yang dapat diajukan ke MK adalah paling
banyak 2% dari perolehan total suara sah KPU. Namun jika jumlah penduduk 2
juta hingga 6 juta maka selisih maksimal adalah 1.5%, jumlah penduduk provinsi
6 juta hingga 12 juta maka selisih maksimal adalah 1% dan jumlah penduduk
provinsi lebih dari 12 juta maka selisih maksimal suara adalah 0.5%.34
30 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Amar Putusan Poin 2
“Mahkamah Konstitusi Berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah
selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.” Hal. 63. 31Indonesia, Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada UU 10/2016 32 Pasal 158 UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota. 33https://indonesiabaik.id/infografis/sengketa-pilkada-2017 34 Pasal 158 ayat (1) UU 10 Tahun 2016
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 210
Sedangkan untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan
Wakil Walikota dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa maka selisih yang dapat
diajukan ke MK paling banyak 2% dari perolehan suara sah KPU.Jika jumlah
penduduk 500 ribu maka selisih maksimal adalah 1,5%, penduduk 1 juta maka
selisih maksimal adalah 1% dan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka selisih
maksimal adalah 0.5% dari total suara sah KPU.35
Dari 147 Permohonan perselisihan Pilkada Serentak 2015, MK hanya
melanjutkan sidang mengenai pokok perkara pada 7 permohonan saja.36
Sedangkan, 140 permohonan dianggap tidak memenuhi legal
standing/kedudukan hukum disebabkan tidak dapat memenuhi persentase selisih
suara sebagaimana ditetapkan oleh UU Pilkada (UU 1/2015). Bagi permohonan
yang tidak dianggap memenuhi syarat selisih suara maka persidangan berhenti
pada sidang pemeriksaan pendahuluan dan MK tidak memeriksa pokok perkara
lebih lanjut.
Sedangkan pada Pilkada Serentak 2017, MK menerima 53 permohonan
PHPU Kepala Daerah (PHPU.D). Namun hanya 3 permohonan yang dikabulkan
sebagian. Sedangkan 42 permohoan tidak dapat diterima, 4 permohonan ditolak,
2 perintah pemungutan suara ulang dan 1 rekapitulasi penghitungan suara
lanjutan.37
Nampaknya MK telah lebih tegas dalam menerapkan ambang batas dan
berpegang pada keadilan prosedural. Pada putusannya, MK tidak lagi membahas
dan mengadili pada persoalan pelanggaran pilkada lain yang mungkin
mempengaruhi jalannya demokrasi. Sehingga MK lebih banyak tidak menerima
permohonan disebabkan tidak tercapainya ambang batas selisih suara yang tidak
tercapai untuk mengajukan permohonan ke MK.
III. ALTERNATIF PENGADILAN KHUSUS PILKADA
Salah satu gagasan yang muncul adalah dengan memberikan kewenangan
penanganan sengketa Pilkada pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT
TUN). Gagasan ini beberapa kali disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra yang
menyarankan agar sengketa Pilkada menjadi kewenangan PT TUN sebagaimana
berikut: 38
“….yang ideal menangani sengketa Pemilukada tingkat
Kabupaten/Kota adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT
TUN) setempat.
Mahkamah Agung (MA) harus segera memperbanyak Pengadilan
Tinggi TUN yang sekarang hanya ada di Medan, Jakarta, Semarang,
35 Pasal 158 ayat (2) UU 10 Tahun 2016 36 Tim Penyusun, Op Cit., hlm. 20. 37 Tim Penulis, “Laporan Penelitian Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala
Daerah Serentak Tahun 2017 Oleh Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta: Konstitusi Demorasi
Inisiatif (Kode Inisiatif) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2017) hal.
18. 38 MK dan Pemilukada, https://web.facebook.com/permalink.php?id=
302310959806242&storyfbid=590805017623500&_rdr diunduh pada 8 April 2016
211 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Surabaya dan Makassar. Keputusan KPUD tentang rekapitulasi hasil
Pemilukada dan penetapan pasangan pemenang pada hakikatnya
adalah putusan TUN. Sebagai putusan pejabat TUN maka yang
paling berwenang mengadilinya adalah pengadilan TUN. Namun
untuk lebih cepat, maka langsung PT TUN. Namun PT TUN
membuka sidang seperti pengadilan tingkat pertama, bukan
memeriksa berkas seperti pemeriksaan banding.
PT TUN dapat membatasi waktu pemeriksaan perkara Pemilukada
misalnya 30 hari kerja sejak perkara didaftarkan. Mengingat hakim
tinggi TUN cukup banyak, maka mereka dapat membentuk beberapa
majelis, tidak hanya 1 majelis seperti MK. Dengan demikian, proses
pemeriksaan perkara bisa mendalam dilakukan oleh majelis hakim,
tidak terlalu buru-buru, kejar target waktu.”
Wacana lainnya disampaikan oleh Fitra Arsil yang memberikan
pandangan bahwa dimasa depan Bawaslu dapat diberikan kewenangan untuk
mengadili sengketa hasil pilkada. Hal ini dikarenakan peran Bawaslu yang
diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan penyelesaian sengketa
administrasi pemilu. Sehingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi
forum terakhir setelah sengketa administrasi pemilu diajukan ke Bawaslu. Hal ini
menunjukkan adanya tren untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga quasi
peradilan yang diberikan kewenangan memberikan putusan dan bukan sekedar
rekomendasi.39
Lain hal gagasan dari Ketua Perludem yakni Titi Anggraini yang masih
mengharapkan agar kewenangan untuk memutus sengketa hasil Pilkada ada pada
Mahkamah Konstitusi.40 Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah desain untuk
menjadikan Pilkada sebagai sebuah pemilihan umum local yang diselenggarakan
secara nasional dan serentak sehingga dimasa depan dapat diklasifikasi kembali
menjadi pemilihan umum.
A. Pengadilan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pengadilan dibawah
Mahkamah Agung yang memiliki tugas untuk mengadili sengketa yang timbul
dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa
kepegawaian, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.41
Ketentuan mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara diatur melalui Undang-
39 Dr. Fitra Arsil merupakan Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Peneliti pada 22 September 2016. 40 Berdasarkan wawancara yang dilakukan 30 September 2016. 41Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079, Pasal
1 angka 10.
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 212
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Hadirnya pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu ciri dari
konsep negara hukum menurut Julius Stahl yang juga dikenal dengan istilah
‘rechsstaat’. Adapun rechstaat sendiri mencakup empat elemen penting yakni;
(1) Perlindungan Hak Asasi Manusia, (2) Pembagiaan Kekuasaan, (3)
Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang dan (4) Peradilan Tata Usaha
Negara.42 Oleh karenanya, hadirnya pengadilan tata usaha negara merupakan
bentuk perlindungan constitutional bagi warga negara dari kesewenangan negara
melalui keputusan pejabat negara.
Kewenangan khas dari pengadilan tata usaha negara adalah
kemampuannya untuk mengadili perkara keputusan administrasi (beschikking).
Hans Kelsen menjabarkan bentuk dari keputusan administrasi dengan ciri
keputusan yang bersifat “concrete and individual norm.”43 Lebih jauh, Jimly
menambahkan bahwa selain bersifat konkrit dan individual, keputusan
administrasi juga harus dilahirkan sebagai “produk kekuasaan eksekitif murni.”44
Oleh karenanya yang dimaksud sebagai Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.45
Jika disandingkan dengan perkara perselisihan hasil pemilihan umum,
maka Surat Keputusan (SK) penetapan hasil pemilihan umum juga termasuk
dalam kategori keputusan administrasi (beschikking) sesuai dengan definisi
Keputusan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 10 (UU PTUN). Hal ini
disebabkan dua hal; Pertama, Komisi Pemilihan Umum merupakan salah satu
badan eksekutif pejabat negara yang mengeluarkan SK penetapan hasil pemilu.
Kedua, SK Komisi Pemilihan Umum bersifat konkret, individual dan final bagi
para pihak yang memiliki akibat hukum bagi para pihak dalam pemilu/pilkada.
Namun, dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan:
“Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut Undang- undang ini : ….
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.”
42Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia” http://www.jimly.com/
makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diunduh pada 30 September
2016. 43 Jimly Asshiddiqie, “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi”, (Jakarta:
Konstitusi Perss, 2005), hal. 154. 44Ibid, hal. 153. 45Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079, Pasal
1 angka 9.
213 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Ketentuan dalam Pasal 2 huruf g UU PTUN merupakan salah satu catatan
yang dapat diubah apabila hendak memberikan kewenangan perselisihan hasil
Pilkada pada pengadilan tata usaha negara. Meski demikian terdapat praktik
dimana pengadilan tata usaha negara juga sudah diberikan kewenangan untuk
mengadili sejumlah sengketa tata usaha negara yang disebabkan oleh keputusan
KPU.
Salah satunya adalah dengan melimpahkan kewenangan sengketa
administrasi (TUN) kepada Bawaslu sebagai pemutus sengketa banding
administrasi. Mahkamah Agung sendiri telah menerbitkan Surat Mahkamah
Agung Nomor 34/KMA/HK.01/II/2013 tertanggal 21 Februari 2013 yang
mengakui posisi Bawaslu sebagai pemutus sengketa pemilihan yang lahir akibat
keputusan KPU menyebabkan Bawaslu bertindak sebagai lembaga banding
administrasi.46Dalam hal ini, peran pengadilan tata usaha negara sehingga
apabila terdapat pihak yang tidak puas terhadap putusan Bawaslu sebagai
lembaga banding administrasi, maka dapat langsung mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Menurut Fitra Arsil, Bawaslu memang diberikan kewenangan sebagai
lembaga banding administrasi yang dapat melakukan penegakkan hukum pada
produk-produk keputusan KPU semisal penetapan pasangan calon, penetapan
DPT dan penetapan proses Pilkada.47 Namun menurutnya penetapan hasil suara
merupakan sebuah produk yang berbeda yang berhubungan dengan hasil akhir
sebuah proses demokrasi. Khusus dalam problem adanya pelanggaran
administrasi dalam proses Pilkada, maka Bawaslu sebagai lembaga banding
administrasi dapat menjadi salah satu penegak hukum sebagaimana diberikan
kewenangan melalui SEMA 34/KMA/HK.01/II/2013.
Kewenangan mengadili layakanya pengadilan khusus Pilkada dapat
dibentuk di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk khusus menangani
perselisihan hasil Pilkada pada masa-masa Pilkada Serentak. Pengadilan khusus
telah didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU PTUN:
“Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang
diatur dalam undang-undang.”
Adapun, bagi hakim-hakim yang akan memutus perkara Pilkada, dapat
pula ditunjuk hakim ad hoc yakni hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.48
46 Muhammad, “Menilik Kesiapan Bawaslu dalam Menangani Pelanggaran dan
Sengketa Pemilu 2014”,Jurnal Pemilu dan Demokrasi, jurnal # 6, 2013 (Jakarta: Perludem, 2-
13), hal. 19. 47 Fitra Arsil merupakan Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Peneliti pada 22 September 2016. 48 Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 214
Hal ini akan menciptakan efisiensi, dimana dimasa depan, Pilkada hanya
dilaksanakan lima tahun sekali dalam konteks Pilkada Serentak Nasional.
Sehingga keberadaan pengadilan pilkada tidak selalu bersidang sepanjang tahun,
melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu saja.
Aternatif lainnya adalah dengan menggunakan Majelis Khusus Tata
Usaha Negara Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 472 UU Pemilu (UU No.
7/2017). Disebutkan bahwa Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu memiliki
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa proses pemilu
yakni manakala terdapat partai politik atau calon peserta pemilu yang tidak lolos
verifikasi KPU, penetapan pasangan calon dan pencoretan daftar calon tetap.49
Hakim khusus dalam Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu terdiri
dari hakim khusus yang merupakan hakim karir yang di lingkungan pengadilan
tata usaha negara. Hakim tersebut adalah hakim yang telah melaksanakan
tugasnya sebagai hakim minimal tiga tahun dan memiliki pengetahuan tentang
Pemilu.50 Secara khusus Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung mengenai pemilihan Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu melalui
PERMA No. Tahun 2017 Tentang Hakim Khusus dalam Sengketa Proses
Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara. Selain itu untuk melengkapi
proses penyelesaian sengketa pada pengadilan dibawah Mahkamah Agung,
diterbitkan pula PERMA No. 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian
Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di MA dan PERMA No. 5 Tahun
2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Penulis menilai bahwa adanya perangkat hukum yang sudah cukup
mumpuni yang dimiliki oleh Mahkamah Agung terkait Majelis Khusus Tata
Usaha Negara Pemilu memiliki peluang untuk diberikan tambahan kewenangan
untuk menangani sengketa hasil pilkada. Adanya kecenderungan bahwa
perselisihan hasil pilkada terlebih dahulu harus ditentukan oleh masuk tidaknya
ambang batas selisih suara sebagaimana preseden MK pada pilkada serentak
2015 dan 2017 membuat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat menyaring
pekara-perkara yang dapat disidangkan lebih lanjut.
Diberikannya kewenangan atau adanya pengadilan khusus Pilkada pada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara akan memberikan peluang adanya upaya
banding/upaya luar biasa ke Mahkamah Agung.51 Ada kekuatiran dimana
Mahkamah Agung akan mendapatkan tambahan kasus yang akan membebani
MA. Namun apabila diteliti dari beberapa kecenderungan permohonan, maka
sejak adanya Pilkada Serentak dan adanya pengaturan ambang batas yang sangat
ketat, maka jumlah permohonan ke PT TUN boleh jadi tidak akan terlalu banyak.
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079, Pasal
1 angka 6. 49 Indonesia, Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
6109, Pasal 470. 50 Ibid, Pasal 472. 51 Apabila diatur bahwa putusan PT TUN adalah putusan final dan mengikat, maka dapat
dilakukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung.
215 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Pun, usai melalui PT TUN, akan semakin terjaring dan semakin sedikit lagi
perkara yang akan banding/upaya luar biasa ke Mahkamah Agung.
B. Kewenangan Quasi Judisial Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Gagasan untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga yang berwenang
untuk mengadili perselisihan hasil pilkada bukan merupakan hal yang mustahil.
Hal ini dikarenakan adanya perubahan fungsi Bawaslu yang mulanya hanya
bertugas untuk menjadi pengawas pelaksanaan pemilu menjadi memiliki
kewenangan quasi judisial dalam sengekta administrasi pemilu dan tindak pidana
pemilu.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 34/KMA/HK.01/II/2013 yang
memungkinkan adanya banding administrasi dalam kasus sengketa administrasi
pemilu. Sehingga Bawaslu dimungkinkan untuk memeriksa ulang Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh instansi dari badan/pejabat Keputusan
Tata Usaha Negara yakni KPU. Sehingga Bawaslu dapat memeriksa dan
memutus perkara tata usaha negara yang dikeluarkan oleh KPU yang tidak terkait
dengan hasil verifikasi Partai Politik Perserta Pemilu, penetapan daftar calon
tetap perserta pemilu dan penetapan pasangan calon.52
Pasal 153 UU Pilkada (UU No. 10/2016) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan sengketa tata usaha negara pilkada adalah sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota sebagai akitbat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi
dan/atau KPU Kabupaten/Kota.53
Peran Bawaslu dan/atau Panwas Kabupaten/Kota adalah untuk menerima
keberatan dari peserta Pilkada yang merasa dirugikan dengan keputusan KPU
Provinsi atau Kabupaten/Kota. Peserta pilkada yang merasa dirugikan dapat
mengajukan keberatan tersebut hanya dalam jangka waktu paling lama tiga hari
setelah KPU menetapkan putusan.54 Dalam hal ini Bawaslu ditegaskan sebagai
pelaksana upaya banding administatif dimana peserta Pilkada diharuskan untuk
mengajukan keberatannya kepada Bawaslu dalam urusan keputusan tata usaha
pemilu. Baru setelah Bawaslu memberikan keputusan, namun calon atau peserta
pilkada merasa kurang puas dapat diajukan gugatan atas sengketa tata usaha
negara pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara setelah seluruh upaya
administratif di Bawaslu sudah selesai.
52 Indonesia, Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
6109, Pasal 469. 53 Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130
dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898, Pasal 153. 54 Ibid, Pasal 154.
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 216
Kewenangan Bawaslu untuk dapat melakukan pemeriksaan dan memutus
perkara administrasi pemilu diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 95 UU
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa
Bawaslu berwenang untuk memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran,
administrasi Pemilu. Lebih dari itu, pasal yang sama juga memberikan
kewenangan bagi Bawaslu untuk memeriksa, mengkaji, dan memutus
pelanggaran politik uang yang sebenarnya adalah tindak pidana pemilu.55 Selain
itu Bawaslu juga dapat memeriksa, memediasi, mengadjudikasi dan memutus
penyelesaian sengketa proses Pemilu.56
Prosedur untuk menyampaikan keberatan ini pun juga diatur secara
khusus dalam UU Pemilu (UU No. 7/2017). Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
Bawaslu Kabupaten/Kota diharuskan untuk memutus sengketa proses Pemilu
paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya permohonan. Bawaslu
melakukan sejumlah tahapan sebelum adjudikasi seperti melakukan pengkajian
permohonan dab mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mediasi.
Namun jika para pemohon tidak puas terhadap putusan Bawaslu maka dapat
diajukan gugatan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Penulis melihat adanya kecenderungan untuk menjadikan Bawaslu
sebagai sebuah lembaga yang mampu memutus perkara dan menjadi lembaga
quasi judicial. Lebih jauh tambahan kewenangan ini sangat mungkin untuk
bertambah untuk diberikan tambahan kewenangan lagi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Jimly Asshidiqie yang melihat adanya kemungkinkan Bawaslu untuk
bertransformasi menjadi pengadilan pemilu (election court).
Tren menjadikan Bawaslu sebagai lembaga yang menangani sengketa
untuk menyelesaikan sengketa pemilu dapat pula menjadi celah untuk
menjadikan Bawaslu sebagai lembaga pertama yang dapat menyelesaikan
sengketa perselisihan hasil pilkada. Hal ini dikarenakan sengketa hasil pilkada
dalam praktiknya hanya dapat disidangkan manakala memenuhi syarat selisih
suara yang ditentukan oleh undang-undang. Pun dalam hal ini, Bawaslu dapat
segera menindak adanya kesalahan penjumlahan atas selisih yang didalilkan
karena Bawaslu memiliki petugas-petugas yang secara langsung ada pada tiap
TPS dan ada pada tiap tahap penghitungan suara.
Namun harus tetap ada forum untuk melakukan banding ke pengadilan.
Penulis melihat bahwa metode untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga
tahap pertama untuk menyeleksi sengketa hasil pilkada dapat dikombinasikan
dengan banding selanjutnya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).
Sehingga para pasangan calon yang tidak puas atas keputusan Bawaslu dapat
mengajukan permohonan ke PT TUN sebagai forum terakhir untuk menangani
sengketa hasil penghitungan suara pilkada.
55 Indonesia, Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
6109, Pasal 95 56 Ibid.
217 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
C. Kembali Ke Mahkamah Konstitusi Melalui Pilkada Serentak
Nasional
Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan menolak
ditambahkannya kewenangan untuk mengadili dan memutus perselisihan hasil
Pilkada namun wacana untuk tetap menjadikan MK sebagai pemutus sengketa
hasil Pilkada tetap kuat di ranah publik. Anggapan bahwasanya memberikan opsi
Pilkada sebagai rezim pemilu dalam Putusan Nomor 72-73/PUU- II/2004 tentang
Pemerintahan Daerah lalu diubah dalam Putusan Nomor 97/ PUU-XI/2013 yang
mengeluarkan Pilkada dalam rezim pemilu masih akan dapat berubah kembali
dimasa depan.
Titi Anggraini, Direktur Perludem, berpendapat bahwa penetapan Pilkada
seharusnya berada pada rezim pemilihan umum.57 Meskipun Pilkada diatur
dalam Pasal 18 UUD 1945 mengenai Pemerintah Daerah, namun prinsip-prinsip
yang digunakan menggunakan prinsip Pemilihan Umum sebagaimana dalam
Pasal 22E UUD 1945 yakni langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Titi menilai
bahwa keputusan untuk menetapkan Pilkada dalam sebuah pemilihan langsung
yang berdasarkan prinsip-prinsip Pemilihan Umum adalah sebuah open policy.
Sehingga apabila telah disepakati bahwa Pilkada dilaksanakan melalui pemilihan
langsung maka ia sebenarnya termasuk dalam rezim pemilihan umum.
Dalam konteks demikian, hanya ada satu pengadilan yang dapat
menyelesaikan sengketa perselisihan hasil Pilkada yakni Mahkamah Konstitusi.
Amar putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama
belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.” Sehingga
pada pokoknya MK memberikan kembali kewenangan kepada pembentuk
undang-undang untuk menilai kepada siapa kewenangan ini diberikan. Meskipun
MK telah menolak adanya penambahan kewenangan dikarenakan sudah
menghapuskan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman, namun Titi
berpendapat bahwa apabila ada perintah undang-undang bagi MK untuk
menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada, maka MK pada prinsipnya tidak boleh
menolaknya.
Perubahan rezim Pilkada menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah juga
amat dimungkinkan terjadi dengan adanya rancangan perihal Pilkada Serentak
Nasional. Pengaturan mengenai Pilkada Serentak Nasional terdapat pada Pasal
201 ayat (8) UU Pilkada (UU 10/2016) pada 2024;
“Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.”
UU Pilkada telah merencanakan adanya pemilihan umum serentak daerah
setiap lima tahun sekali yang mirip dengan pemilihan umum Presiden/Wakil
Presiden, DPR,DPD, dan DPRD. Adanya pengaturan mengenai pemilihan umum
kepala daerah serentak nasional ini seolah-olah memberikan sebuah pemaknaan
57 Wawancara yang dilakukan pada 30 September 2016
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 218
bahwa Pilkada adalah Pemilu Daerah. Dalam konteks bahwa Pilkada sebagai
Pemilu daerah sebagaimana design Pilkada Serentak Nasional, maka tidak
menutup kemungkinan adanya perubahan rezim kembali atas Pilkada (pemilihan
kepala daerah) menjadi Pemilukada (pemilihan umum kepala daerah).
Atas pendapat demikian, maka Penulis menilai bahwa kewenangan MK
secara limitatif telah ditentukan oleh Pasal 24C UUD 1945. Sehingga
penambahan kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada
merupakan sebuah tindakan extraordinary yang menuntut adanya perubahan
mendasar tentang dua hal; dipertegasnya rezim Pilkada sebagai rezim pemilihan
umum dalam UUD 1945 dan/atau pemaknaan ulang atas Pilkada Nasional
Serentak sebagai bagian dari rezim Pemilihan Umum melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi.
Keduanya merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat memberikan
memberikan legalitas bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus
perselisihan hasil Pilkada sebagai bagian dari Pemilihan Umum Daerah. Namun
pilihan pertama yakni adanya penegasan mengenai rezim Pilkada sebagai rezim
Pemilihan Umum membutuhkan sebuah proses besar yakni amandemen kelima
UUD 1945. Hal ini tentunya bukan merupakan sebuah kegiatan tata negara yang
mudah untuk dilaksanakan.
Sedangkan opsi kedua yakni pemaknaan ulang putusan MK mengenai
Pilkada Nasional Serentak sebagai rezim Pemilihan Umum yang dilaksanakan
pada pemerintahan daerah dapat dilakukan selama adanya Undang-Undang yang
menegaskan demikian. Sebagai the interpreter of constitutions, MK dapat
melakukan konstitutionalitas tafsir sebuah UU terhadap UUD 1945. Sehingga
MK dapat menilai ulang sebuah norma UU atas UUD 1945 dan menyatakan
Pilkada Nasional Serentak sebagai rezim Pemilihan Umum pada pemerintahan
daerah dimasa depan.
Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 ada pada saat kepercayaan kepada MK
turun pasca ditangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, dalam kasus suap
perselisihan hasil Pilkada. Hal ini menimbulkan sebuah kecurigaan bahwa
putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 merupakan putusan reaktif dari MK atas
peristiwa tersebut. Namun dalam konteks substansi Putusan 97/PUU-XI/2013,
MK pada dasarnya melakukan bantahan atas putusannya sendiri yakni dalam
putusan 72-73/PUU- II/2004. Sehingga dimasa depan, adanya kemungkinan
perubahan tafsir amat mungkin terjadi melihat sejumlah faktor dan design yang
berbeda pada Pilkada sebagai Pilkada Serentak Nasional.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 bukan termasuk dalam rezim
pemilihan umum. Sehingga diperlukan adanya pengadilan khusus yang
diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil Pilkada.
2. Salah satu usulan kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada
dapat diberikan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibawah
219 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Mahkamah Agung baik dengan mekanisme pengadilan ad hoc maupun
Majelis Khusus Tata Usaha Pemilu yang sudah ada melalui undang-undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum.
3. Usulan lain untuk memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk menjadi
lembaga yang mengadili sengketa hasil pilkada menjadi memungkinkan
dengan peran Bawaslu sebagai lembaga quasi judicial. Sehingga dapat
dikembangkan menjadi election court dalam perkembangan penanganan
sengketa pilkada maupun pemilu dimasa depan.
4. Gagasan lain adalah dengan memformat ulang dan mendefinisikan kembali
Pilkada sebagai Pilkada Serentak Nasional yang dilaksanakan lima tahun
sekali secara serentak diseluruh daerah di Indonesia. Hal ini diharapkan akan
memberikan pemaknaan bahwasanya Pilkada serentak Nasional adalah
ajang demokrasi (local) nasional yang dapat masuk rezim pemilihan umum.
B. Saran
Perlu segera diputus perihal pengadilan apa yang secara khusus
menangani perselisihan hasil Pilkada. Hal ini disebabkan perlu adanya
penyesuaian dan proses persiapan dalam menangani perselisihan Pilkada yang
tidak mudah. Sehingga pada pengadilan khusus Pilkada ini akan siap digunakan
pada Pilkada Serentak Nasional dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly. “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi”, Jakarta:
Konstitusi Perss, 2005.
-----------------------. “Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan
keempat”, Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2002.
Fakhri, Mustafa. “Kalaeidoskop Konstitusi 2014, Ketatanegaraan dalam Tahun
Politik”. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2014.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku
IV: Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 2, Edisi Revisi”, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, “Buku Kedua Jilid 3 C Risalah Rapat Panitia
Ad Hoc I Sidang Tahunan 2000”, Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat, 2000.
Sinaga,Kariaman. “Efektitas Regulasi dan Perannya dalam Penyelenggaraan
Pemilukada: Dialektika Hukum dan Etika Pemilukada Serentak”,
Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI, 2016
Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto dan Topo Santoso, “Penanganan Sengketa
Pemlu, Buku 16”, Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan, 2011.
Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 220
Suyanto,Djoko. “Evaluasi Pemilukada dari Prespektif Ketahanan Nasional:
Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia”, Jakarta:
Konpress, 2012
Tim Penyusun, “Laporan Penelitian Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan
Kepala Daerah Serentak Tahun 2017 Oleh Mahkamah Konstitusi”,
Jakarta: Konstitusi Demorasi Inisiatif (Kode Inisiatif) dan Perkumpulan
Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2017.
Tim Penyusun. “Laporan Hasil Penelitian Kembalinya Mahkamah Kalkulator,
Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2015”,
“Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Insiatif dan Perkumpulan untuk
Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan International Foundation for
Electoral System (IFES) 2016.
Prihatmoko,Joko J. “Mendemokrasikan Pemilu”,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008
Jurnal
Muhammad, “Menilik Kesiapan Bawaslu dalam Menangani Pelanggaran dan
Sengketa Pemilu 2014”,Jurnal Pemilu dan Demokrasi, 2013. Jakarta:
Perludem.
Nazriyah. R. “Penyelesaian Sengketa Pilkada Setelah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013”, Jurnal Konstitusi, Vol 12. Nomor
3, September 2015.
Tesis
Andharinalti, “Analisis Yuridis Kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah,
Tesis
Penelitian
Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Kepala
Daerah”. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
Tim Penulis, “Laporan Penelitian Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan
Kepala Daerah Serentak Tahun 2017 Oleh Mahkamah Konstitusi”,
(Jakarta: Konstitusi Demorasi Inisiatif (Kode Inisiatif) dan Perkumpulan
Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2017)
Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/PUU- II/2004.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.
Wawancara
Fitra Arsil merupakan Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
UniversitasIndonesia. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Peneliti
pada 22 September 2016. Dan Berdasarkan wawancara yang dilakukan
30 September 2016.
Peraturan Perundang-undangan
221 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130
dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 57
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004
Nomor125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor4437.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun
2008Nomor59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor4844.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 160 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah
Website
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14067/sengketa-piwlkada-ma-
kabulkan-peninjauan-kembali-kpud-depok. diakses pada 29 September
2011
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/17445991/MA.Tolak.Kasasi.Voni
s.Akil.Mochtar.Tetap.Seumur.Hidup, diunduh pada 29 September 2016.
MK dan Pemilukada https://web.facebook.com/permalink.php?id=
302310959806242&story_ fbid=590805017623500&_rdr diunduh pada
8 April 2016
Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”
http://www.jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_I
ndonesia.pdf, diunduh pada 30 September 2016.
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/17445991/MA.Tolak.Kasasi.Voni
s.Akil.Mochtar.Tetap.Seumur.Hidup.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14067/sengketa-piwlkada-ma-
kabulkan-peninjauan-kembali-kpud-depok.
Top Related