GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

23
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 199-221 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1602 GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL PEMILHAN KEPALA DAERAH Qurrata Ayuni* *Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Korespondensi:[email protected] Naskah dikirim: 16 Agustus 2017 Naskah diterima untuk diterbitkan:2 Maret 2018 Abstract The Constitutional Court in Decision Number 97 / PUU-XI / 2013 states that the dispute over the head of region election is not included in the authority of its constitutionality. The Lawmakers follow up this ruling by initiating a special judicial body that will hear disputes over the results of head of region election. Special judicial bodies should have been formed before the head of region election simultaneously. In the transitional period, before the establishment of a special judicial body, disputes over the results of head of region election are still handled by the Constitutional Court in 2015 and 2017. This study aims to seek and provide an overview of the options for the form and design of special courts of head of region election such as through the State Administrative High Court, Election Supervisory Board and remain in the Constitutional Court. This paper suggests the existence of a judicial body that will handle disputes over regional head elections that will provide legal certainty for the democratic process in Indonesia. Keywords; the dispute over the head of region election, special judicial body. Abstrak Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa sengketa pemilihan kepala daerah bukanlah termasuk dalam kewenangan konstitutionalitasnya. Pembentuk Undang-Undang menindaklanjuti putusan ini dengan menggagas badan peradilan khusus yang akan mengadili sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Badan peradilan khusus semestinya sudah terbentuk sebelum terselenggaranya pemilihan kepala daerah yang akan dilaksanakan secara serentak. Dalam masa transisi, sebelum terbentuknya badan peradilan khusus, sengketa hasil pemilihan kepala daerah masih ditangani oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015 dan tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk mencari dan memberikan gambaran mengenai pilihan-pilihan bentuk dan desain pengadilan khusus pemilihan kepala daerah diantaranya melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Badan Pengawas Pemilu dan tetap di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini memberikan usulan keberadaan badan peradilan yang akan menangani perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang akan memberikan jaminan kepastian hukum bagi proses demokrasi di Indonesia.

Transcript of GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Page 1: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 199-221

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1602

GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL

PEMILHAN KEPALA DAERAH

Qurrata Ayuni*

*Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Korespondensi:[email protected]

Naskah dikirim: 16 Agustus 2017

Naskah diterima untuk diterbitkan:2 Maret 2018

Abstract

The Constitutional Court in Decision Number 97 / PUU-XI / 2013 states that the

dispute over the head of region election is not included in the authority of its

constitutionality. The Lawmakers follow up this ruling by initiating a special

judicial body that will hear disputes over the results of head of region election.

Special judicial bodies should have been formed before the head of region

election simultaneously. In the transitional period, before the establishment of a

special judicial body, disputes over the results of head of region election are still

handled by the Constitutional Court in 2015 and 2017. This study aims to seek

and provide an overview of the options for the form and design of special courts

of head of region election such as through the State Administrative High Court,

Election Supervisory Board and remain in the Constitutional Court. This paper

suggests the existence of a judicial body that will handle disputes over regional

head elections that will provide legal certainty for the democratic process in

Indonesia.

Keywords; the dispute over the head of region election, special judicial

body.

Abstrak

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan

bahwa sengketa pemilihan kepala daerah bukanlah termasuk dalam kewenangan

konstitutionalitasnya. Pembentuk Undang-Undang menindaklanjuti putusan ini

dengan menggagas badan peradilan khusus yang akan mengadili sengketa hasil

pemilihan kepala daerah. Badan peradilan khusus semestinya sudah terbentuk

sebelum terselenggaranya pemilihan kepala daerah yang akan dilaksanakan

secara serentak. Dalam masa transisi, sebelum terbentuknya badan peradilan

khusus, sengketa hasil pemilihan kepala daerah masih ditangani oleh Mahkamah

Konstitusi pada tahun 2015 dan tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk

mencari dan memberikan gambaran mengenai pilihan-pilihan bentuk dan desain

pengadilan khusus pemilihan kepala daerah diantaranya melalui Pengadilan

Tinggi Tata Usaha Negara, Badan Pengawas Pemilu dan tetap di Mahkamah

Konstitusi. Tulisan ini memberikan usulan keberadaan badan peradilan yang

akan menangani perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang akan

memberikan jaminan kepastian hukum bagi proses demokrasi di Indonesia.

Page 2: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 200

Kata Kunci: sengketa hasil pemilihan kepala daerah, badan peradilan

khusus.

I. PENDAHULUAN

Melalui sebuah pilihan politik dan hukum, pembentuk undang-undang

sepakat untuk memaknai kata “demokratis” pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945

sebagai pemilihan langsung.1 Sebenarnya pasal tersebut juga memberikan

peluang agar Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih dengan metode demokratis

lainnya, misalnya melalui lembaga perwakilan seperti Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD). Namun dalam semangat otonomi daerah,maka pemilihan

kepala daerah (pilkada) secara langsung dianggap cara terbaik untuk

menghidupkan demokrasi lokal.

Jimly Asshiddiqie menyatakan frasa “dipilih secara demokratis” dalam

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bersifat luwes, sehingga dapat diartikan sebagai

pemilihan secara langsung.2 Pasal ini kemudian dijadikan dasar untuk

menyelenggarakan pemilihan langsung kepala daerah mulai dari tingkat provinsi

yang dipimpin gubernur dan di tingkat kota/kabupaten yang dipimpin bupati atau

walikota.

Secara original intent, keberadaan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 mengenai

pemilihan kepala dearah secara demokratis disahkan pada proses amandemen

tahun 2000. Lain halnya dengan Pasal 22E tentang Pemilihan Umum yang

disahkan pada tahun 2001. Pasal 22E menyatakan dengan tegas bahwa Presiden

dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD dipilih secara langsung. Usulan

mengenai adanya pemilihan kepala daerah langsung sudah pernah diungkapkan

oleh Fraksi PPP yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara

langsung oleh Rakyat yang selanjutnya diatur oleh UU.”3 Namun terdapat

kesepakatan bahwasanya norma yang telah disepakati pada amandemen

sebelumnya tidak dapat diubah pada masa perubahan selanjutnya.4 Sehingga

redaksi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dianggap telah final.

Pemilihan kepala daerah merupakan cara konstitutional untuk pengisian

kepala pemerintahan daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kota untuk dipimpin

oleh seorang Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam konteks otonomi daerah,

pemerintah daerah bersama dengan DPRD berhak untuk menjalankan

pemerintahan otonomi seluas-luasnya seperti dengan menetapkan peraturan

1 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18

ayat (4) menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” 2 Jimly Asshiddiqie, “Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat”,

(Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 22. 3 Majelis Permusyawaratan Rakyat, “Buku Kedua Jilid 3 C Risalah Rapat Panitia Ad

Hoc I Sidang Tahunan 2000”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat,

2000) hal. 255-273. 4 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV: Kekuasaan Pemerintahan

Negara Jilid 2, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi, 2010), hal. 1421.

Page 3: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

201 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

daerah.5 Sehingga penting bagi masyarakat juga turut terlibat dalam penentuan

pemimpin daerahnya melalui mekanisme pilkada langsung.

Proses pilkada dapat menjadi salah satu sarana integrasi bangsa untuk

membiarkan masyarakat memilih sendiri kualitas pemimpin yang diinginkan. Ia

adalah sistem untuk mengejewantahkan pemimpin idaman yang berasal dari

masyarakat itu sendiri.6 Selain itu pilkada juga dinilai dapat mengakomodir

sistem seleksi terpadu untuk melahirkan calon kepala daerah yang berkualitas.7

Mengingat makna penting pilkada itulah maka timbul urgensi untuk menjaga

kualitas proses dari penyelenggaraan pilkada. Dengan kata lain, penyelenggaraan

pilkada yang baik menjadi penentu kualitas pemerintahan dan keberhasilan

demokrasi.8

Perselisihan hasil pilkada merupakan salah satu dari beberapa masalah

yang mungkin timbul dalam penyelenggaraan pilkada. Perbedaan penghitungan

perolehan suara antara Komisi Pemilihan Umum dan peserta pilkada kerap

terjadi dan berpotensi mencederai demokrasi. Sayangnya hingga kini masih

belum jelas mengenai pengadilan mana yang dianggap cocok untuk mengadili

perselisihan hasil pilkada pasca Mahkamah Konstitusi memutus pilkada bukan

termasuk pemilihan umum.

Melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 MK menyatakan tidak lagi

berwenang untuk mengadili sengketa hasil pilkada karena secara limitatif Pasal

24C UUD 1945 hanya memberikan kewenangan untuk mengadili perkara pemilu

saja dan tidak termasuk pilkada.9Namun dalam putusan itu MK juga menyatakan

bahwa selama belum terbentuk pengadilan khusus pilkada maka MK akan tetap

mengadili perselisihan hasil pilkada. Sembari menunggu pembentuk undang-

undang menentukan kemana perselisihan hasil pilkada berlabuh, Pasal 157 ayat

(3) UU Pilkada menyatakan bahwa perkara perselisihan penetapan perolehan

suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai

dibentuknya badan peradilan khusus.10Dalam masa transisi, sengketa hasil

pemilihan kepala daerah masih ditangani oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun

2015 dan tahun 2017.

Tulisan ini akan membahas mengenai gagasan pengadilan khusus

perselisihan hasil pilkada yang mungkin diterapkan di Indonesia. Menggunakan

metode penelitian empiris-normative dengan studi pustaka ditambah dengan

5 Indonesia, Pasal 18 ayat (5) dan (6) UUD 1945 6 Kariaman Sinaga, “Efektitas Regulasi dan Perannya dalam Penyelenggaraan

Pemilukada: Dialektika Hukum dan Etika Pemilukada Serentak”, (Jakarta: Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu RI, 2016), hal. 142-143. 7 Joko J. Prihatmoko, “Mendemokrasikan Pemilu”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),

hal. 195-196. 8 Djoko Suyanto, “Evaluasi Pemilukada dari Prespektif Ketahanan Nasional: Demokrasi

Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia”, (Jakarta: Konpress, 2012), hal. 25. 9 Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 10 Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130

dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898, Pasal 157 ayat (3).

Page 4: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 202

menganalisa peraturan perundangan-undangan terkait kekuasaan kehakiman di

Indonesia. Selain itu penulis juga melakukan beberapa wawancara sebagai

pelengkap dan konfirmasi terhadap beberapa argumentasi yang diangkat dalam

tulisan ini.

Setidaknya ada tiga alternative pengadilan yang muncul berkaitan dengan

pengadilan khusus pilkada. Pertama adalah dengan melimpahkannya ke

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Kedua adalah dengan

memberikan kewenangan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ketiga

adalah dengan tetap memberikannya kepada MK dengan merubah pola pilkada

menjadi pilkada serentak nasional sehingga membuatnya menjadi semirip

mungkin dengan pemilu nasional.

II. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN

KEPALA DAERAH

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) adalah perselisihan antara

peserta pemilihan umum dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai

penyelenggara pemilihan umum mengenai penetapan secara nasional perolehan

suara hasil pemilihan umum oleh KPU.11 Tidak semua permasalahan atau

sengketa dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah dapat

dikategorikan sebagai PHPU. Di Indonesia dikenal pula adanya tindak pidana

pemilu yang diselesaikan pada pengadilan umum, pelanggaran administrasi tata

usaha yang diselesaikan oleh Bawaslu dan pelanggaran etik penyelenggara

pemilihan umum yang diselesaikan oleh DKPP (Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu). Adapun yang dimaksud dengan perselisihan hasil

pemilihan umum meliputi penetapan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan

oleh KPU setelah diselenggarakannya pemungutan suara.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pertama kali dilaksanakan pada bulan

Juni 2005 menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah.12 Sesuai UU 32/2004 Tentang Pemerintah

Daerah, penanganan sengketa hasil penghitungan suara merupakan ranah

kewenangan Mahkamah Agung (MA). Namun dalam perkembangan

selanjutnya, pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara

Pemilu mengklasifikasikan Pilkada sebagai bagian rezim dari Pemilihan Umum

(Pemilu).13

Konsekuensi dimasukkannya Pilkada dalam rezim Pemilihan Umum

memiliki dampak bahwasanya Pilkada kini menjadi bagian dari kewewangan

Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD

11 Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Topo Santoso, “Penanganan Sengketa Pemlu,

Buku 16”, (Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011), hal.6. 12 Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah menyatakan “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dan (3) dipilih dalam satu pasang secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan” 13Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara

Pemilu disebutkan “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk

memilih kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Page 5: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

203 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

1945 yakni: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili…. Perselisihan

tentang hasil pemilihan umum.” Oleh karenanya, semenjak ditangani oleh

Mahkamah Konstitusi, rezim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kemudian

berubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).

Dimasukkan Pilkada sebagai Pemilu sebagaimana Pasal 1 angka 4 UU

22/2007 lahir usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 72-

73/PUU-II/2004 yang pada pokoknya memberikan kebebasan bagi pembuat

undang-undang untuk memasukkan pemilihan kepala daerah pada rezim

pemilihan umum ataupun tidak (open legal policy). Lebih lanjut, Pasal 236C UU

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU No.12/2008) memerintahkan

pengalihan penanganan sengketa hasil penghitungan suara Pilkada dari

Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK) paling lama 18 bulan

sejak UU tersebut di undangkan.

Penambahan wewenang MK untuk menangani sengketa hasil Pilkada

juga diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009) yang menyatakan

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk kewenangan lain yang diberikan oleh

undang-undangSehingga MK dianggap dapat mengadili penanganan sengketa

yang hasil Pilkada yang mulanya diamanatkan pada Mahkamah Agung.

Keputusan untuk memasukkan Pilkada dalam rezim Pemilu kemudian di

batalkan oleh MK melalui putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 97/ PUU-

XI/2013 yang menyatakan bahwa pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD

1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang

diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD propinsi dan

kabupaten, serta Presiden dan wakilnya yang dilaksanakan setiap lima tahun

sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap

lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan calon anggota

DPR, DPD, DPRD Propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya secara

bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara.14 Lebih jauh

MK menyatakan dalam Putusannya bahwa MK sepenuhnya menyerahkan perihal

pengaturan penanganan hasil sengketa Pilkada kepada pembentuk UU yaitu

Pemerintah dan DPR.

Kemudian lahirlah gagasan pemilihan kepala daerah tidak langsung

sebagaimana disahkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh DPR. Lahirnya konsep

pemilihan kepala daerah tidak langsung dan dipilih oleh DPRD menimbulkan

reaksi beragam dari masyarakat. Namun Presiden Yudhoyono menanggap bahwa

hal tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan menimbulkan

kegelisahan dalam masyarakat. Sehingga Presiden menerbitkan Perppu Nomor

1 Tahun 2014 yang mencabut berlakunya UndangUndang Nomor 22 Tahun 2014

yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung

melalui DPRD.

14 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/ PUU-XI/2013

Page 6: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 204

Pada saat yang sama Pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah yang intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD

untuk memilih kepala daerah. Perppu No. 1 Tahun 2014 disahkan menjadi UU

No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU Nomor 1 Tahun 2015 ini pun

kemudian direvisi dengan lahirnya UU No 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU 1/2015 /UU

Pilkada).

Pasal 157 ayat (1) UU 8/2015 tentang Pilkada menyatakan perkara

perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.

Namun dalam Pasal 157 ayat (3) UU 8/2015 tentang Pilkada dinyatakan bahwa

selama badan peradilan khusus tersebut belum terbentuk, maka perselisihan hasil

pilkada diperiksa dan diadili oleh MK selama masa transisi. 15

Pilkada serentak untuk pertama kalinya dilaksanakan pada 9 Desember

2015. Pilkada serentak ini dilaksanakan untuk 269 kepala daerah yang terdiri

dari 9 provinsi, 36 kota dan 224 kabupaten. Pilkada serentak berikutnya

diselenggarakan pada 15 Februari 2017. Pilkada serentak 2017 ini memilih 101

kepala daerah untuk 9 Provinsi, 18 Kota dan 76 Kabupaten. Dikarenakan belum

terbentuknya pengadilan khusus Pilkada, untuk penanganan sengketa Pilkada

serentak Tahun 2015 dan 2017 masih diserahkan pada MK.

Pada UU Pilkada terbaru Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa badan

peradilan khusus wajib dibentuk sebelum adanya Pemilihan serentak nasional.

Pada Pasal 201 UU Pilkada (UU 10/2016) disebutkan bahwa Pemilihan serentak

nasional dimana Pilkada akan diselenggarakan secara bersama-sama diseluruh

Indonesia setiap lima tahun sekali.

Sehingga dapat berdasarkan sejarah pilkada langsung, ada dua lembaga

peradilan yang pernah menangani sengketa hasil pilkada yakni Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung mendapatkan kewenangan

tersebut berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU Pemda No.32/2004.16Kemudian

berpindah ke Mahkamah Konstitusi disebabkan lahirnya Pasal 236 UU Pemda

No. 12/2008.17 Hingga akhirnya MK menyatakan tidak lagi berwenang untuk

mengadili perselisihan hasil pilkada.

15 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi

Undang-Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 57 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678, Pasal 157 ayat (1) dan ayat (3). 16 Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor125 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor4437, Pasal 106 ayat (1) 17 Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah

yang berbunyi; “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama

18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Page 7: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

205 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

A. Penyelesaian Keberatan Penetapan Hasil Pilkada di Mahkamah

Agung

Dasar hukum diberikannya kewanangan memeriksa, mengadili dan

memutus keberatan penetapan hasil Pilkada di Mahkamah Agung (MA)

bersumber pada Pasal 106 UU Pemda (UU 23/2004). Melalui UU Pemda tersebut

dinyatakan bahwa keberatan penetapan hasil Pilakda dilakukan paling lambat 3

hari setelah penetapan hasil Pilkada.18 Keberatan tersebut hanya dapat diajukan

sepanjang berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi

terpilihnya pasangan calon.19 MA diberikan waktu selama 14 hari untuk

memutus sengketa hasil Pilkada yang mana putusannya bersifat final dan

mengikat.20

Dalam pelaksanaan kewenangan yang diperoleh oleh Mahkamah Agung,

Pasal 106 ayat (6) UU Pemda (UU 23/2004) mempersilahkan MA untuk

mendelegasikan kepada pengadilan tinggi untuk memutus sengketa penetapan

hasil Pilkada. Selanjutnya MA menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor

1 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap

Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Wakil Kepala Daerah

dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota (Perma 1/2005). Perma ini

memberikan legalitas kewenangan kepada MA untuk dapat mendelegasikan

kepada Pengadilan Tinggi (PT) untuk memutus sengketa Pilkada

Kabupaten/kota. Kemudian dikeluarkan juga peraturan Mahkamah Agung

Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan

terhadap Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Wakil Kepala

Daerah dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota (Perma 2/2005).

Melalui pengaturan yang disebutkan dalam Perma maupun UU Pemda

maka MA berwenang mengadili keberatan penetapan hasil Pilkada Gubernur dan

Wakil Gubernur sedangkan Pengadilan Tinggi berwenang mengadili keberatam

penetapan hasil Pilkada Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota.

Wacana menghapus kewenangan Mahkamah Agung untuk mengadili

keberatan penetapan Pilkada ramai usai adanya rekomendasi Komisi Yudisial

bagi sejumlah Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menangani sengketa

Pilkada Kota Depok Tahun 2005. Komisi Yudisial memberikan rekomendasi

agar Nana Juwana, Ketua PT Jabar, yang juga majelis hakim dalam sengketa

Pilkada Depok tersebut di nonaktifkan selama satu tahun. Sedangkan anggota

majelis yang lainnya Hadi Lelana, Rata Kembaren, Ginalita Silitonga dan

Sopyan Royan direkomendasikan untuk diberi teguran tertulis.21

Pemberian rekomendasi KY menandakan adanya persoalan kualitas dan

bahkan keraguan atas independensi hakim dalam memutus perkara. Namun

Mahkamah Agung akhirnya melakukan koreksi terhadap putusan Pengadilan

Tinggi Jawa Barat tersebut melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor

18 Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 19 Pasal 106 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 20 Pasal 106 ayat (3) dan (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 21 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14067/sengketa-piwlkada-ma-

kabulkan-peninjauan-kembali-kpud-depok. diakses pada 29 September 2011

Page 8: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 206

1PK/PILKADA/2005 membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan

memenangkan Pasangan Nurmahmudi dan Yuyun pada Pilkada Depok 2005.

Selain itu, disinyalir terdapat pula permasalahan-permasalahan pilkada

dalainnya lain yang menimbulkan pro dan kontra atas putusan Mahkamah

Agung. Diantaranya adalah kasus sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (SulSel),

Maluku Utara (Malut) yang dianggap tidak menunjukkan keadilan dan kepastian

hukum bagi para pihak yang bersengketa atas keberatan hasil penghitungan suara

KPU.22

Wacana lain pengalihan kewenangan sengketa Pilkada dari MA ke MK

juga bermunculan dengan alasan bahwasanya MA sudah terlalu overload dengan

perkara yang ada. Sehingga penambahan kewenangan yang ada di MA akan

membebani kinerja yudisial MA dan tidak menjamin kepastian hukum bagi para

pihak. Sehingga pada akhirnya timbul wacana untuk mengalihkan kewenangan

penyelesaian sengketa Pilkada dari MA ke MK melalui tiga perundangan yakni;

(1) UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, (2) UU Nomor 12

Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan (3) UU Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru pada tahun 2008 akhirnya MA tidak lagi

menerima kewenangan untuk penyelesaian keberatan penetapan hasil Pilkada

yang menurut perundang-undangan dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.

B. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada di Mahkamah

Konstitusi

Perselisihan Hasil Pemilukada ditangani oleh Mahkamah Konstitusi

dipicu oleh Putusan MK Nomor 72-73/PUU- II/2004 tentang UU Pemerintahan

Daerah yang memberikan kemungkinan bagi pembentu undang-undang untuk

memasukkan pemilihan kepala daerah dalam rezim Pemilu atau tidak. Dalam

pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan; 23

“Sebagai akibat (konsekuensi) logis dari pendapat Para Pemohon

yang menyatakan bahwa Pilkada langsung adalah Pemilu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 yang dijabarkan

dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka perselisihan mengenai hasil

pemilu, menurut Para Pemohon, harus diputus oleh Mahkamah

Konstitusi. Tentang permohonan Para Pemohon untuk menyatakan

Pasal 106 ayat (1) sampai dengan ayat (7) sebagai bertentangan

dengan UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa secara

konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan

bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena

itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan

Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD

1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan

22 R. Nazriyah. “Penyelesaian Sengketa Pilkada Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 97/PUU-XI/2013”, Jurnal Konstitusi, Vol 12. Nomor 3, September 2015. hal. 457. 23 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/PUU- II/2004 hal. 114-115.

Page 9: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

207 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang

disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya

ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung

sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ….”

Melalui putusan yang diputus pada Maret 2005 itulah, MK selanjutnya

memberikan sebuah jurisprundensi hukum atas lahirnya peraturan perundangan

yang memasukkan pemilihan kepada daerah dalam rezim pemilihan umum.

Meskipun Pasal 24C UUD 1945 tidak memberikan peluang adanya

penambahan kewenangan MK untuk mengadili sengketa hasil Pemilukada,

namun pembentuk UU memberikan sebuah klausul yang memungkinkan MK

mendapatkan kewenangan tersebut. Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa MK dapat

mengadili kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

Menggunakan landasan hukum yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (1)

huruf e UU Kekuasaan Kehakiman, akhirnya MK mendapatkan kewenangan

untuk menjalankan ketentuan sebagaimana Pasal 1 butir (4) UU Penyelenggara

Pemilu dan Pasal 236C UU Pemda.24 MK kemudian mulai aktif menerima

perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) pada 29 Oktober

2008 dengan menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili

antara Ketua MA dan Ketua MK.25 Semenjak itulah MK akhirnya memutus

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Secara khusus MK membentuk pedoman beracara Pemilukada yang

menjadi dasar hukum formil mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.

Pedoman beracara ini dibentuk melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)

Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil

Pemilihan Kepala Daerah (PMK 15/2008).

Dalam PMK tersebut dinyatakan bahwa yang dapat menjadi Pemohon

adalah pasangan calon Pemilukada.26 Sedangkan permohonan diajukan dalam 3

x 24 jam sejak KPU menetapkan hasil Pemilukada. MK juga diberikan batas

waktu untuk melakukan sidang dan menetapkan putusan yakni hanya dalam

jangka waktu

Pada perjalanan memutus perselisihan hasil Pemilukada, MK telah

melakukan terobosan hukum diantaranya melalui Putusan nomor 41/PHPU.D-

VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Pada

24 Pasal 1 butir (4) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan; “Pemilu Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah adala Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara

langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dan Pasal 236C UU Pemda (UU

12/2008) menyatakan; “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling

lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.” 25 Tim Penyusun. Laporan Hasil Penelitian Kembalinya Mahkamah Kalkulator,

Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2015, Konstitusi dan Demokrasi

(Kode) Insiatif dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan International

Foundation for Electoral System (IFES) 2016, hal.8 26 Pasal 1 angka 9 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang

Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah

Page 10: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 208

putusan tersebut, MK melakukan terobosan hukum dengan mendalilkan bahwa

terdapat pelanggaran secara Terstuktur, Sistemasif dan Masif (TSM) dalam

Pemilukada Jawa Timur yang mengharuskan MK untuk memutus perintah

penghitungan suara ulang dan pemungutan suara ulang dibeberapa wilayah.

Mahkamah menyatakan bahwa sebagai peradilan konstitusi, MK tidak

boleh membiarkan keadilan procedural (procedural justice) memasung dan

mengesampingkan keadilan substantif (subtantive justice). Mahkamah

Konstitusi pada saat itu tidak ingin sekedar menjadi Mahkamah Kalkulator

dimana hanya menghitung kesalahan penjumlahan formulir rekap suara tanpa

melihat adanya pelanggaran subtansial dalam proses demokrasi.

Hingga pada Oktober 2013 terjadi krisis kepercayaan kepada MK terjadi

disebabkan tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).27 Akil Mochtar dinyatakan bersalah atas

kasus suap terkait 10 perkara Pemilukada dan tindak pidana pencucian uang. Akil

Mochtar terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada dalam

dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar),

Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada

Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), serta Pilkada Kota

Palembang (sekitar Rp 3 miliar).28

Akil Mochtar langsung diturunkan dari jabatannya sebagai Ketua

Mahkamah Konstitusi dan digantikan oleh wakilnya yakni Hamdan Zoelfa

sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Pada periode Hamdan Zoelfa, MK

membuat sebuah putusan penting yang melepaskan kewenangan MK untuk

mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah.

Melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pemerintahan Daerah dan

Kekuasaan Kehakiman, MK menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah

(Pilkada) bukan merupakan rezim pemilihan umum. Putusan ini sekaligus

memberikan ketentuan mengenai pelepasan kewenangan MK untuk memutus

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. MK berpendapat, memasukkan

pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilihan umum tidak sesuai

dengan original intent pemilu dalam konstitusi. Sehingga secara limitatif

kewenangan MK yang telah ditentukan dalam UUD 1945 tidak dapat ditambah

maupun dikurangi. Oleh karenanya, penambahan kewenangan MK untuk

mengadili perkara hasil pemilihan pilkada dengan memperluas makna pemilu

(Pasal 22E UUD 1945) adalah inkonstitutional.29

Dalam amar putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 lebih jauh MK

menyatakan bahwa Pasal 236C UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan

tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan dalam amar putusan yang

sama, MK menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili

27 Mustafa Fakhri, Kalaeidoskop Konstitusi 2014, Ketatanegaraan dalam Tahun Politik.

Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2014, hal 207. 28 http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/17445991/MA.Tolak.Kasasi.Vonis.

Akil.Mochtar.Tetap.Seumur.Hidup, diunduh pada 29 September 2016. 29 Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pemerintahan Daerah dan Kekuasaan

Kehakiman hal 60.

Page 11: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

209 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada Undang-

Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.”

Terdapat kejanggalan serius dalam putusan MK ini. Dalam pertimbangan

hukum, MK menyatakan bahwa Pemilukada bukan bagian dari rezim pemilu.

Sehingga konsep Pemilukada akan kembali pada konsep Pemilihan Kepala

Daerah (Pilkada). Namun dalam amar putusan, MK masih menyatakan bahwa

Pilkada sebagai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah secara tekstual.

Sehingga menimbulkan inkonsistensi tentang konsep Pilkada atau Pemilukada

yang diakui oleh MK.30

Mahkamah Konstitusi masih menjadi pengadilan yang memutus

perselisihan hasil Pilkada pada tahun 2015. Seusai dengan Pasal 157 ayat (3) UU

Pilkada yang menyatakan (3) ”Perkara perselisihan penetapan perolehan suara

tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi

sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”31

Baik pada Pilkada 2015 mapupun 2017, MK diberikan waktu untuk

memutus perkara dalam jangka waktu 45 hari kerja. UU Pilkada juga

memberikan sejumlah persentase batasan mengenai jumlah selisih suara yang

dianggap mampu mempengaruhi perolehan suara sebagai syarat untuk memiliki

kedudukan hukum (legal standing) di MK. Adapun sesuai dengan Pasal 158 UU

Pilkada (10/2016) ditentukan sejumlah ketentuan mengenai selisih suara yang

dapat diajukan ke MK yakni; 32

Sumber ilustrasi dari www.indonesiabaik.id33

Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan jumlah penduduk

provinsi dua juta jiwa maka selisih yang dapat diajukan ke MK adalah paling

banyak 2% dari perolehan total suara sah KPU. Namun jika jumlah penduduk 2

juta hingga 6 juta maka selisih maksimal adalah 1.5%, jumlah penduduk provinsi

6 juta hingga 12 juta maka selisih maksimal adalah 1% dan jumlah penduduk

provinsi lebih dari 12 juta maka selisih maksimal suara adalah 0.5%.34

30 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Amar Putusan Poin 2

“Mahkamah Konstitusi Berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah

selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.” Hal. 63. 31Indonesia, Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada UU 10/2016 32 Pasal 158 UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan

Walikota. 33https://indonesiabaik.id/infografis/sengketa-pilkada-2017 34 Pasal 158 ayat (1) UU 10 Tahun 2016

Page 12: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 210

Sedangkan untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan

Wakil Walikota dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa maka selisih yang dapat

diajukan ke MK paling banyak 2% dari perolehan suara sah KPU.Jika jumlah

penduduk 500 ribu maka selisih maksimal adalah 1,5%, penduduk 1 juta maka

selisih maksimal adalah 1% dan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka selisih

maksimal adalah 0.5% dari total suara sah KPU.35

Dari 147 Permohonan perselisihan Pilkada Serentak 2015, MK hanya

melanjutkan sidang mengenai pokok perkara pada 7 permohonan saja.36

Sedangkan, 140 permohonan dianggap tidak memenuhi legal

standing/kedudukan hukum disebabkan tidak dapat memenuhi persentase selisih

suara sebagaimana ditetapkan oleh UU Pilkada (UU 1/2015). Bagi permohonan

yang tidak dianggap memenuhi syarat selisih suara maka persidangan berhenti

pada sidang pemeriksaan pendahuluan dan MK tidak memeriksa pokok perkara

lebih lanjut.

Sedangkan pada Pilkada Serentak 2017, MK menerima 53 permohonan

PHPU Kepala Daerah (PHPU.D). Namun hanya 3 permohonan yang dikabulkan

sebagian. Sedangkan 42 permohoan tidak dapat diterima, 4 permohonan ditolak,

2 perintah pemungutan suara ulang dan 1 rekapitulasi penghitungan suara

lanjutan.37

Nampaknya MK telah lebih tegas dalam menerapkan ambang batas dan

berpegang pada keadilan prosedural. Pada putusannya, MK tidak lagi membahas

dan mengadili pada persoalan pelanggaran pilkada lain yang mungkin

mempengaruhi jalannya demokrasi. Sehingga MK lebih banyak tidak menerima

permohonan disebabkan tidak tercapainya ambang batas selisih suara yang tidak

tercapai untuk mengajukan permohonan ke MK.

III. ALTERNATIF PENGADILAN KHUSUS PILKADA

Salah satu gagasan yang muncul adalah dengan memberikan kewenangan

penanganan sengketa Pilkada pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT

TUN). Gagasan ini beberapa kali disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra yang

menyarankan agar sengketa Pilkada menjadi kewenangan PT TUN sebagaimana

berikut: 38

“….yang ideal menangani sengketa Pemilukada tingkat

Kabupaten/Kota adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT

TUN) setempat.

Mahkamah Agung (MA) harus segera memperbanyak Pengadilan

Tinggi TUN yang sekarang hanya ada di Medan, Jakarta, Semarang,

35 Pasal 158 ayat (2) UU 10 Tahun 2016 36 Tim Penyusun, Op Cit., hlm. 20. 37 Tim Penulis, “Laporan Penelitian Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala

Daerah Serentak Tahun 2017 Oleh Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta: Konstitusi Demorasi

Inisiatif (Kode Inisiatif) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2017) hal.

18. 38 MK dan Pemilukada, https://web.facebook.com/permalink.php?id=

302310959806242&storyfbid=590805017623500&_rdr diunduh pada 8 April 2016

Page 13: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

211 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Surabaya dan Makassar. Keputusan KPUD tentang rekapitulasi hasil

Pemilukada dan penetapan pasangan pemenang pada hakikatnya

adalah putusan TUN. Sebagai putusan pejabat TUN maka yang

paling berwenang mengadilinya adalah pengadilan TUN. Namun

untuk lebih cepat, maka langsung PT TUN. Namun PT TUN

membuka sidang seperti pengadilan tingkat pertama, bukan

memeriksa berkas seperti pemeriksaan banding.

PT TUN dapat membatasi waktu pemeriksaan perkara Pemilukada

misalnya 30 hari kerja sejak perkara didaftarkan. Mengingat hakim

tinggi TUN cukup banyak, maka mereka dapat membentuk beberapa

majelis, tidak hanya 1 majelis seperti MK. Dengan demikian, proses

pemeriksaan perkara bisa mendalam dilakukan oleh majelis hakim,

tidak terlalu buru-buru, kejar target waktu.”

Wacana lainnya disampaikan oleh Fitra Arsil yang memberikan

pandangan bahwa dimasa depan Bawaslu dapat diberikan kewenangan untuk

mengadili sengketa hasil pilkada. Hal ini dikarenakan peran Bawaslu yang

diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan penyelesaian sengketa

administrasi pemilu. Sehingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi

forum terakhir setelah sengketa administrasi pemilu diajukan ke Bawaslu. Hal ini

menunjukkan adanya tren untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga quasi

peradilan yang diberikan kewenangan memberikan putusan dan bukan sekedar

rekomendasi.39

Lain hal gagasan dari Ketua Perludem yakni Titi Anggraini yang masih

mengharapkan agar kewenangan untuk memutus sengketa hasil Pilkada ada pada

Mahkamah Konstitusi.40 Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah desain untuk

menjadikan Pilkada sebagai sebuah pemilihan umum local yang diselenggarakan

secara nasional dan serentak sehingga dimasa depan dapat diklasifikasi kembali

menjadi pemilihan umum.

A. Pengadilan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pengadilan dibawah

Mahkamah Agung yang memiliki tugas untuk mengadili sengketa yang timbul

dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai

akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa

kepegawaian, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.41

Ketentuan mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara diatur melalui Undang-

39 Dr. Fitra Arsil merupakan Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Peneliti pada 22 September 2016. 40 Berdasarkan wawancara yang dilakukan 30 September 2016. 41Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079, Pasal

1 angka 10.

Page 14: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 212

Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Hadirnya pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu ciri dari

konsep negara hukum menurut Julius Stahl yang juga dikenal dengan istilah

‘rechsstaat’. Adapun rechstaat sendiri mencakup empat elemen penting yakni;

(1) Perlindungan Hak Asasi Manusia, (2) Pembagiaan Kekuasaan, (3)

Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang dan (4) Peradilan Tata Usaha

Negara.42 Oleh karenanya, hadirnya pengadilan tata usaha negara merupakan

bentuk perlindungan constitutional bagi warga negara dari kesewenangan negara

melalui keputusan pejabat negara.

Kewenangan khas dari pengadilan tata usaha negara adalah

kemampuannya untuk mengadili perkara keputusan administrasi (beschikking).

Hans Kelsen menjabarkan bentuk dari keputusan administrasi dengan ciri

keputusan yang bersifat “concrete and individual norm.”43 Lebih jauh, Jimly

menambahkan bahwa selain bersifat konkrit dan individual, keputusan

administrasi juga harus dilahirkan sebagai “produk kekuasaan eksekitif murni.”44

Oleh karenanya yang dimaksud sebagai Keputusan Tata Usaha Negara

adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata

usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,

dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.45

Jika disandingkan dengan perkara perselisihan hasil pemilihan umum,

maka Surat Keputusan (SK) penetapan hasil pemilihan umum juga termasuk

dalam kategori keputusan administrasi (beschikking) sesuai dengan definisi

Keputusan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 10 (UU PTUN). Hal ini

disebabkan dua hal; Pertama, Komisi Pemilihan Umum merupakan salah satu

badan eksekutif pejabat negara yang mengeluarkan SK penetapan hasil pemilu.

Kedua, SK Komisi Pemilihan Umum bersifat konkret, individual dan final bagi

para pihak yang memiliki akibat hukum bagi para pihak dalam pemilu/pilkada.

Namun, dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan:

“Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

menurut Undang- undang ini : ….

g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,

mengenai hasil pemilihan umum.”

42Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia” http://www.jimly.com/

makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diunduh pada 30 September

2016. 43 Jimly Asshiddiqie, “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi”, (Jakarta:

Konstitusi Perss, 2005), hal. 154. 44Ibid, hal. 153. 45Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079, Pasal

1 angka 9.

Page 15: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

213 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Ketentuan dalam Pasal 2 huruf g UU PTUN merupakan salah satu catatan

yang dapat diubah apabila hendak memberikan kewenangan perselisihan hasil

Pilkada pada pengadilan tata usaha negara. Meski demikian terdapat praktik

dimana pengadilan tata usaha negara juga sudah diberikan kewenangan untuk

mengadili sejumlah sengketa tata usaha negara yang disebabkan oleh keputusan

KPU.

Salah satunya adalah dengan melimpahkan kewenangan sengketa

administrasi (TUN) kepada Bawaslu sebagai pemutus sengketa banding

administrasi. Mahkamah Agung sendiri telah menerbitkan Surat Mahkamah

Agung Nomor 34/KMA/HK.01/II/2013 tertanggal 21 Februari 2013 yang

mengakui posisi Bawaslu sebagai pemutus sengketa pemilihan yang lahir akibat

keputusan KPU menyebabkan Bawaslu bertindak sebagai lembaga banding

administrasi.46Dalam hal ini, peran pengadilan tata usaha negara sehingga

apabila terdapat pihak yang tidak puas terhadap putusan Bawaslu sebagai

lembaga banding administrasi, maka dapat langsung mengajukan banding ke

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Menurut Fitra Arsil, Bawaslu memang diberikan kewenangan sebagai

lembaga banding administrasi yang dapat melakukan penegakkan hukum pada

produk-produk keputusan KPU semisal penetapan pasangan calon, penetapan

DPT dan penetapan proses Pilkada.47 Namun menurutnya penetapan hasil suara

merupakan sebuah produk yang berbeda yang berhubungan dengan hasil akhir

sebuah proses demokrasi. Khusus dalam problem adanya pelanggaran

administrasi dalam proses Pilkada, maka Bawaslu sebagai lembaga banding

administrasi dapat menjadi salah satu penegak hukum sebagaimana diberikan

kewenangan melalui SEMA 34/KMA/HK.01/II/2013.

Kewenangan mengadili layakanya pengadilan khusus Pilkada dapat

dibentuk di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk khusus menangani

perselisihan hasil Pilkada pada masa-masa Pilkada Serentak. Pengadilan khusus

telah didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU PTUN:

“Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai

kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang

diatur dalam undang-undang.”

Adapun, bagi hakim-hakim yang akan memutus perkara Pilkada, dapat

pula ditunjuk hakim ad hoc yakni hakim yang bersifat sementara yang memiliki

keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan

memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.48

46 Muhammad, “Menilik Kesiapan Bawaslu dalam Menangani Pelanggaran dan

Sengketa Pemilu 2014”,Jurnal Pemilu dan Demokrasi, jurnal # 6, 2013 (Jakarta: Perludem, 2-

13), hal. 19. 47 Fitra Arsil merupakan Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Peneliti pada 22 September 2016. 48 Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara

Page 16: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 214

Hal ini akan menciptakan efisiensi, dimana dimasa depan, Pilkada hanya

dilaksanakan lima tahun sekali dalam konteks Pilkada Serentak Nasional.

Sehingga keberadaan pengadilan pilkada tidak selalu bersidang sepanjang tahun,

melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu saja.

Aternatif lainnya adalah dengan menggunakan Majelis Khusus Tata

Usaha Negara Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 472 UU Pemilu (UU No.

7/2017). Disebutkan bahwa Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu memiliki

kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa proses pemilu

yakni manakala terdapat partai politik atau calon peserta pemilu yang tidak lolos

verifikasi KPU, penetapan pasangan calon dan pencoretan daftar calon tetap.49

Hakim khusus dalam Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu terdiri

dari hakim khusus yang merupakan hakim karir yang di lingkungan pengadilan

tata usaha negara. Hakim tersebut adalah hakim yang telah melaksanakan

tugasnya sebagai hakim minimal tiga tahun dan memiliki pengetahuan tentang

Pemilu.50 Secara khusus Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah

Agung mengenai pemilihan Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu melalui

PERMA No. Tahun 2017 Tentang Hakim Khusus dalam Sengketa Proses

Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara. Selain itu untuk melengkapi

proses penyelesaian sengketa pada pengadilan dibawah Mahkamah Agung,

diterbitkan pula PERMA No. 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian

Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di MA dan PERMA No. 5 Tahun

2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di

Pengadilan Tata Usaha Negara.

Penulis menilai bahwa adanya perangkat hukum yang sudah cukup

mumpuni yang dimiliki oleh Mahkamah Agung terkait Majelis Khusus Tata

Usaha Negara Pemilu memiliki peluang untuk diberikan tambahan kewenangan

untuk menangani sengketa hasil pilkada. Adanya kecenderungan bahwa

perselisihan hasil pilkada terlebih dahulu harus ditentukan oleh masuk tidaknya

ambang batas selisih suara sebagaimana preseden MK pada pilkada serentak

2015 dan 2017 membuat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat menyaring

pekara-perkara yang dapat disidangkan lebih lanjut.

Diberikannya kewenangan atau adanya pengadilan khusus Pilkada pada

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara akan memberikan peluang adanya upaya

banding/upaya luar biasa ke Mahkamah Agung.51 Ada kekuatiran dimana

Mahkamah Agung akan mendapatkan tambahan kasus yang akan membebani

MA. Namun apabila diteliti dari beberapa kecenderungan permohonan, maka

sejak adanya Pilkada Serentak dan adanya pengaturan ambang batas yang sangat

ketat, maka jumlah permohonan ke PT TUN boleh jadi tidak akan terlalu banyak.

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079, Pasal

1 angka 6. 49 Indonesia, Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Lembaran

Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

6109, Pasal 470. 50 Ibid, Pasal 472. 51 Apabila diatur bahwa putusan PT TUN adalah putusan final dan mengikat, maka dapat

dilakukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung.

Page 17: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

215 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Pun, usai melalui PT TUN, akan semakin terjaring dan semakin sedikit lagi

perkara yang akan banding/upaya luar biasa ke Mahkamah Agung.

B. Kewenangan Quasi Judisial Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

Gagasan untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga yang berwenang

untuk mengadili perselisihan hasil pilkada bukan merupakan hal yang mustahil.

Hal ini dikarenakan adanya perubahan fungsi Bawaslu yang mulanya hanya

bertugas untuk menjadi pengawas pelaksanaan pemilu menjadi memiliki

kewenangan quasi judisial dalam sengekta administrasi pemilu dan tindak pidana

pemilu.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 34/KMA/HK.01/II/2013 yang

memungkinkan adanya banding administrasi dalam kasus sengketa administrasi

pemilu. Sehingga Bawaslu dimungkinkan untuk memeriksa ulang Keputusan

Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh instansi dari badan/pejabat Keputusan

Tata Usaha Negara yakni KPU. Sehingga Bawaslu dapat memeriksa dan

memutus perkara tata usaha negara yang dikeluarkan oleh KPU yang tidak terkait

dengan hasil verifikasi Partai Politik Perserta Pemilu, penetapan daftar calon

tetap perserta pemilu dan penetapan pasangan calon.52

Pasal 153 UU Pilkada (UU No. 10/2016) menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan sengketa tata usaha negara pilkada adalah sengketa yang

timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur dan

Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon

Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU

Kabupaten/Kota sebagai akitbat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi

dan/atau KPU Kabupaten/Kota.53

Peran Bawaslu dan/atau Panwas Kabupaten/Kota adalah untuk menerima

keberatan dari peserta Pilkada yang merasa dirugikan dengan keputusan KPU

Provinsi atau Kabupaten/Kota. Peserta pilkada yang merasa dirugikan dapat

mengajukan keberatan tersebut hanya dalam jangka waktu paling lama tiga hari

setelah KPU menetapkan putusan.54 Dalam hal ini Bawaslu ditegaskan sebagai

pelaksana upaya banding administatif dimana peserta Pilkada diharuskan untuk

mengajukan keberatannya kepada Bawaslu dalam urusan keputusan tata usaha

pemilu. Baru setelah Bawaslu memberikan keputusan, namun calon atau peserta

pilkada merasa kurang puas dapat diajukan gugatan atas sengketa tata usaha

negara pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara setelah seluruh upaya

administratif di Bawaslu sudah selesai.

52 Indonesia, Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Lembaran

Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

6109, Pasal 469. 53 Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130

dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898, Pasal 153. 54 Ibid, Pasal 154.

Page 18: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 216

Kewenangan Bawaslu untuk dapat melakukan pemeriksaan dan memutus

perkara administrasi pemilu diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 95 UU

Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa

Bawaslu berwenang untuk memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran,

administrasi Pemilu. Lebih dari itu, pasal yang sama juga memberikan

kewenangan bagi Bawaslu untuk memeriksa, mengkaji, dan memutus

pelanggaran politik uang yang sebenarnya adalah tindak pidana pemilu.55 Selain

itu Bawaslu juga dapat memeriksa, memediasi, mengadjudikasi dan memutus

penyelesaian sengketa proses Pemilu.56

Prosedur untuk menyampaikan keberatan ini pun juga diatur secara

khusus dalam UU Pemilu (UU No. 7/2017). Bawaslu, Bawaslu Provinsi,

Bawaslu Kabupaten/Kota diharuskan untuk memutus sengketa proses Pemilu

paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya permohonan. Bawaslu

melakukan sejumlah tahapan sebelum adjudikasi seperti melakukan pengkajian

permohonan dab mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mediasi.

Namun jika para pemohon tidak puas terhadap putusan Bawaslu maka dapat

diajukan gugatan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Penulis melihat adanya kecenderungan untuk menjadikan Bawaslu

sebagai sebuah lembaga yang mampu memutus perkara dan menjadi lembaga

quasi judicial. Lebih jauh tambahan kewenangan ini sangat mungkin untuk

bertambah untuk diberikan tambahan kewenangan lagi. Hal ini sesuai dengan

pendapat Jimly Asshidiqie yang melihat adanya kemungkinkan Bawaslu untuk

bertransformasi menjadi pengadilan pemilu (election court).

Tren menjadikan Bawaslu sebagai lembaga yang menangani sengketa

untuk menyelesaikan sengketa pemilu dapat pula menjadi celah untuk

menjadikan Bawaslu sebagai lembaga pertama yang dapat menyelesaikan

sengketa perselisihan hasil pilkada. Hal ini dikarenakan sengketa hasil pilkada

dalam praktiknya hanya dapat disidangkan manakala memenuhi syarat selisih

suara yang ditentukan oleh undang-undang. Pun dalam hal ini, Bawaslu dapat

segera menindak adanya kesalahan penjumlahan atas selisih yang didalilkan

karena Bawaslu memiliki petugas-petugas yang secara langsung ada pada tiap

TPS dan ada pada tiap tahap penghitungan suara.

Namun harus tetap ada forum untuk melakukan banding ke pengadilan.

Penulis melihat bahwa metode untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga

tahap pertama untuk menyeleksi sengketa hasil pilkada dapat dikombinasikan

dengan banding selanjutnya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).

Sehingga para pasangan calon yang tidak puas atas keputusan Bawaslu dapat

mengajukan permohonan ke PT TUN sebagai forum terakhir untuk menangani

sengketa hasil penghitungan suara pilkada.

55 Indonesia, Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Lembaran

Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

6109, Pasal 95 56 Ibid.

Page 19: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

217 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

C. Kembali Ke Mahkamah Konstitusi Melalui Pilkada Serentak

Nasional

Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan menolak

ditambahkannya kewenangan untuk mengadili dan memutus perselisihan hasil

Pilkada namun wacana untuk tetap menjadikan MK sebagai pemutus sengketa

hasil Pilkada tetap kuat di ranah publik. Anggapan bahwasanya memberikan opsi

Pilkada sebagai rezim pemilu dalam Putusan Nomor 72-73/PUU- II/2004 tentang

Pemerintahan Daerah lalu diubah dalam Putusan Nomor 97/ PUU-XI/2013 yang

mengeluarkan Pilkada dalam rezim pemilu masih akan dapat berubah kembali

dimasa depan.

Titi Anggraini, Direktur Perludem, berpendapat bahwa penetapan Pilkada

seharusnya berada pada rezim pemilihan umum.57 Meskipun Pilkada diatur

dalam Pasal 18 UUD 1945 mengenai Pemerintah Daerah, namun prinsip-prinsip

yang digunakan menggunakan prinsip Pemilihan Umum sebagaimana dalam

Pasal 22E UUD 1945 yakni langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Titi menilai

bahwa keputusan untuk menetapkan Pilkada dalam sebuah pemilihan langsung

yang berdasarkan prinsip-prinsip Pemilihan Umum adalah sebuah open policy.

Sehingga apabila telah disepakati bahwa Pilkada dilaksanakan melalui pemilihan

langsung maka ia sebenarnya termasuk dalam rezim pemilihan umum.

Dalam konteks demikian, hanya ada satu pengadilan yang dapat

menyelesaikan sengketa perselisihan hasil Pilkada yakni Mahkamah Konstitusi.

Amar putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama

belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.” Sehingga

pada pokoknya MK memberikan kembali kewenangan kepada pembentuk

undang-undang untuk menilai kepada siapa kewenangan ini diberikan. Meskipun

MK telah menolak adanya penambahan kewenangan dikarenakan sudah

menghapuskan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman, namun Titi

berpendapat bahwa apabila ada perintah undang-undang bagi MK untuk

menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada, maka MK pada prinsipnya tidak boleh

menolaknya.

Perubahan rezim Pilkada menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah juga

amat dimungkinkan terjadi dengan adanya rancangan perihal Pilkada Serentak

Nasional. Pengaturan mengenai Pilkada Serentak Nasional terdapat pada Pasal

201 ayat (8) UU Pilkada (UU 10/2016) pada 2024;

“Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur

dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan

Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.”

UU Pilkada telah merencanakan adanya pemilihan umum serentak daerah

setiap lima tahun sekali yang mirip dengan pemilihan umum Presiden/Wakil

Presiden, DPR,DPD, dan DPRD. Adanya pengaturan mengenai pemilihan umum

kepala daerah serentak nasional ini seolah-olah memberikan sebuah pemaknaan

57 Wawancara yang dilakukan pada 30 September 2016

Page 20: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 218

bahwa Pilkada adalah Pemilu Daerah. Dalam konteks bahwa Pilkada sebagai

Pemilu daerah sebagaimana design Pilkada Serentak Nasional, maka tidak

menutup kemungkinan adanya perubahan rezim kembali atas Pilkada (pemilihan

kepala daerah) menjadi Pemilukada (pemilihan umum kepala daerah).

Atas pendapat demikian, maka Penulis menilai bahwa kewenangan MK

secara limitatif telah ditentukan oleh Pasal 24C UUD 1945. Sehingga

penambahan kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada

merupakan sebuah tindakan extraordinary yang menuntut adanya perubahan

mendasar tentang dua hal; dipertegasnya rezim Pilkada sebagai rezim pemilihan

umum dalam UUD 1945 dan/atau pemaknaan ulang atas Pilkada Nasional

Serentak sebagai bagian dari rezim Pemilihan Umum melalui Putusan

Mahkamah Konstitusi.

Keduanya merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat memberikan

memberikan legalitas bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus

perselisihan hasil Pilkada sebagai bagian dari Pemilihan Umum Daerah. Namun

pilihan pertama yakni adanya penegasan mengenai rezim Pilkada sebagai rezim

Pemilihan Umum membutuhkan sebuah proses besar yakni amandemen kelima

UUD 1945. Hal ini tentunya bukan merupakan sebuah kegiatan tata negara yang

mudah untuk dilaksanakan.

Sedangkan opsi kedua yakni pemaknaan ulang putusan MK mengenai

Pilkada Nasional Serentak sebagai rezim Pemilihan Umum yang dilaksanakan

pada pemerintahan daerah dapat dilakukan selama adanya Undang-Undang yang

menegaskan demikian. Sebagai the interpreter of constitutions, MK dapat

melakukan konstitutionalitas tafsir sebuah UU terhadap UUD 1945. Sehingga

MK dapat menilai ulang sebuah norma UU atas UUD 1945 dan menyatakan

Pilkada Nasional Serentak sebagai rezim Pemilihan Umum pada pemerintahan

daerah dimasa depan.

Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 ada pada saat kepercayaan kepada MK

turun pasca ditangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, dalam kasus suap

perselisihan hasil Pilkada. Hal ini menimbulkan sebuah kecurigaan bahwa

putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 merupakan putusan reaktif dari MK atas

peristiwa tersebut. Namun dalam konteks substansi Putusan 97/PUU-XI/2013,

MK pada dasarnya melakukan bantahan atas putusannya sendiri yakni dalam

putusan 72-73/PUU- II/2004. Sehingga dimasa depan, adanya kemungkinan

perubahan tafsir amat mungkin terjadi melihat sejumlah faktor dan design yang

berbeda pada Pilkada sebagai Pilkada Serentak Nasional.

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi

melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 bukan termasuk dalam rezim

pemilihan umum. Sehingga diperlukan adanya pengadilan khusus yang

diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil Pilkada.

2. Salah satu usulan kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada

dapat diberikan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibawah

Page 21: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

219 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Mahkamah Agung baik dengan mekanisme pengadilan ad hoc maupun

Majelis Khusus Tata Usaha Pemilu yang sudah ada melalui undang-undang

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum.

3. Usulan lain untuk memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk menjadi

lembaga yang mengadili sengketa hasil pilkada menjadi memungkinkan

dengan peran Bawaslu sebagai lembaga quasi judicial. Sehingga dapat

dikembangkan menjadi election court dalam perkembangan penanganan

sengketa pilkada maupun pemilu dimasa depan.

4. Gagasan lain adalah dengan memformat ulang dan mendefinisikan kembali

Pilkada sebagai Pilkada Serentak Nasional yang dilaksanakan lima tahun

sekali secara serentak diseluruh daerah di Indonesia. Hal ini diharapkan akan

memberikan pemaknaan bahwasanya Pilkada serentak Nasional adalah

ajang demokrasi (local) nasional yang dapat masuk rezim pemilihan umum.

B. Saran

Perlu segera diputus perihal pengadilan apa yang secara khusus

menangani perselisihan hasil Pilkada. Hal ini disebabkan perlu adanya

penyesuaian dan proses persiapan dalam menangani perselisihan Pilkada yang

tidak mudah. Sehingga pada pengadilan khusus Pilkada ini akan siap digunakan

pada Pilkada Serentak Nasional dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi”, Jakarta:

Konstitusi Perss, 2005.

-----------------------. “Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan

keempat”, Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2002.

Fakhri, Mustafa. “Kalaeidoskop Konstitusi 2014, Ketatanegaraan dalam Tahun

Politik”. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2014.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Naskah Komprehensif Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku

IV: Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 2, Edisi Revisi”, Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, “Buku Kedua Jilid 3 C Risalah Rapat Panitia

Ad Hoc I Sidang Tahunan 2000”, Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis

Permusyawaratan Rakyat, 2000.

Sinaga,Kariaman. “Efektitas Regulasi dan Perannya dalam Penyelenggaraan

Pemilukada: Dialektika Hukum dan Etika Pemilukada Serentak”,

Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI, 2016

Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto dan Topo Santoso, “Penanganan Sengketa

Pemlu, Buku 16”, Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata

Pemerintahan, 2011.

Page 22: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa, Qurrata Ayuni 220

Suyanto,Djoko. “Evaluasi Pemilukada dari Prespektif Ketahanan Nasional:

Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia”, Jakarta:

Konpress, 2012

Tim Penyusun, “Laporan Penelitian Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan

Kepala Daerah Serentak Tahun 2017 Oleh Mahkamah Konstitusi”,

Jakarta: Konstitusi Demorasi Inisiatif (Kode Inisiatif) dan Perkumpulan

Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2017.

Tim Penyusun. “Laporan Hasil Penelitian Kembalinya Mahkamah Kalkulator,

Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2015”,

“Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Insiatif dan Perkumpulan untuk

Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan International Foundation for

Electoral System (IFES) 2016.

Prihatmoko,Joko J. “Mendemokrasikan Pemilu”,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2008

Jurnal

Muhammad, “Menilik Kesiapan Bawaslu dalam Menangani Pelanggaran dan

Sengketa Pemilu 2014”,Jurnal Pemilu dan Demokrasi, 2013. Jakarta:

Perludem.

Nazriyah. R. “Penyelesaian Sengketa Pilkada Setelah Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013”, Jurnal Konstitusi, Vol 12. Nomor

3, September 2015.

Tesis

Andharinalti, “Analisis Yuridis Kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah,

Tesis

Penelitian

Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Kepala

Daerah”. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.

Tim Penulis, “Laporan Penelitian Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan

Kepala Daerah Serentak Tahun 2017 Oleh Mahkamah Konstitusi”,

(Jakarta: Konstitusi Demorasi Inisiatif (Kode Inisiatif) dan Perkumpulan

Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2017)

Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/PUU- II/2004.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.

Wawancara

Fitra Arsil merupakan Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

UniversitasIndonesia. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Peneliti

pada 22 September 2016. Dan Berdasarkan wawancara yang dilakukan

30 September 2016.

Peraturan Perundang-undangan

Page 23: GAGASAN PENGADILAN KHUSUS UNTUK SENGKETA HASIL …

221 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua

atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130

dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang,

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 57

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004

Nomor125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor4437.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun

2008Nomor59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor4844.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 160 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5079.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman

Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah

Website

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14067/sengketa-piwlkada-ma-

kabulkan-peninjauan-kembali-kpud-depok. diakses pada 29 September

2011

http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/17445991/MA.Tolak.Kasasi.Voni

s.Akil.Mochtar.Tetap.Seumur.Hidup, diunduh pada 29 September 2016.

MK dan Pemilukada https://web.facebook.com/permalink.php?id=

302310959806242&story_ fbid=590805017623500&_rdr diunduh pada

8 April 2016

Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”

http://www.jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_I

ndonesia.pdf, diunduh pada 30 September 2016.

http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/17445991/MA.Tolak.Kasasi.Voni

s.Akil.Mochtar.Tetap.Seumur.Hidup.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14067/sengketa-piwlkada-ma-

kabulkan-peninjauan-kembali-kpud-depok.