7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia atau sering disebut
manajemen personalia diartikan sebagai: Personal
administration is the art acquiring, developing and maintaining
a competent work force in such a manner as to accomplish with
maximum efficiency and economy the functions and objectives
of organization (Pigor & Mayer dalam Manullang, 2006: 7).
Flipo dalam Manulang (2006: 8) mendefinisikan bahwa
personal management is the planning, organizing, directing and
controlling of procurement, development, compensation,
integration dan maintenance of human resources and that
organizational and sosial objectives may be accomplished.
Pendapat tersebut memberikan makna bahwa
manajemen personalia merupakan suatu seni untuk
menggunakan, mengembangkan dan memelihara sumber
tenaga kerja secara efisien dan ekonomis untuk mencapai
tujuan dan fungsi organisasi. Di dalam proses manajemen
tersebut memuat perencanaan, pengaturan, pengarahan dan
pengawasan.
Sekolah merupakan suatu organisasi yang memiliki
sumber daya manusia tenaga pendidikan dan kependidikan.
Guru sebagai pendidik merupakan kunci utama
keberlangsungan proses pendidikan, karena keberadaannya
tidak bisa tergantikan oleh yang lain. kualitas pendidikan
tergantung dari kualitas guru dalam melakukan proses
pendidikan. Oleh karena itu, sumber daya ini perlu diatur
sehingga dapat melaksanakan kegiatan proses pendidikan
secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan.
8
Menurut UUSPN/20/2003 pasal 3 menyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung-jawab. Tujuan tersebut tidak akan
terwujud apabila tidak dilakukan manajemen sumber daya
manusia yaitu guru sebagai pendidik.
2.2 Manajemen Pelatihan
Manajemen pada hakikatnya merupakan seni mengelola
berbagai kegiatan oleh sekelompok orang dalam suatu
organisasi dengan menggunakan kemampuan manajerial dan
keterampilan teknis pada kegiatannya untuk mencapai tujuan
yang efektif dan efisien (Siagian, 2007: 1).Dikatakan seni
mengelola karena merupakan aktivitas bagaimana
mengkolaborasi pengetahuan, pengalaman dan kreativitas
dalam wadah manajemen. Manajemen berarti pula sebagai
suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan
bimbingan, pengarahan pada sekelompok orang kearah tujuan
organisasional atau tujuan yang nyata (Terry dan Rue, 2009:
1).
Seorang guru yang profesional yang ditugaskan untuk
melaksanakan tugasnya sebagai pendidikan sudah memiliki
latar belakang pendidikan formal sesuai spesifikasi yang
dipersyaratkan, namun dalam melaksanakan tugasnya perlu
diberikan pelatihan-pelatihan agar dapat bekerja mengikuti
perkembangan yang ada.
Dalam manajemen pelatihan lebih dikenal 6M (man,
money, materials, methods, machines dan market), melalui tiga
9
aktivitas utama manajemen yaitu: merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi pelatihan (Sugiyono:
2002).Pada manajemen pelatihan untuk guru sosiologi,
terdapat tiga fungsi manajemen dalam pelaksanaan pelatihan
yaitu planning, actuating dan controlling (PAC) artinya dalam
setiap action pada pelatihan, fungsi organizing merupakan
komando yang mensinergikan komponen dalam
penyelenggaraan pelatihan, sehingga kerjasama antara
sumber daya manusia yang terlibat secara aktif di dalam
manajemen pelatihan mengetahui tugas dan tanggung
jawabnya masing-masing.
Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pelatihan
guru sosiologi meliputi instruktur, panitia, dan pihak lain
yang membantu pelaksanaan pelatihan. Sumber daya
manusia dalam pelatihan ini harus diorganisir agar mampu
menggerakkan semua komponen pelatihan sesuai tugas dan
fungsinya masing-masing. Selanjutnya dalam pelatihan guru
sosiologi ini tidak terlepas dengan masalah pembiayaan. Biaya
merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pelatihan
karena pelaksanaan akan berjalan sesuai rencana apabila
didukung dengan dana yang memadai.
Materi pelatihan ditetapkan berdasarkan need
assesment yang dituangkan dalam perencanaan pelatihan
berupa kurikulum pelatihan, buku panduan pelatihan, dan
materi pelatihan. Selanjutnya ditetapkan instruktur yang
memiliki kepakaran di bidang sosiologi yang terkait dengan
budaya lokal, waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan dan
metode pelatihan serta sarana prasarana pendukung
pelatihan.
Evaluasi pelatihan diawali dengan pre-tes, yaitu untuk
mengukur kemampuan guru sebelum dilakukan tindakan
pelatihan, dan hasil pre-tes dilakukan analisis untuk
10
menentukan jenis, materi dan teknik pelatihan. Selama
pelatihan, evaluasi dilakukan dengan mengamati reaksi
peserta atau penilaian proses, dan post-tes (penilaian kinerja)
untuk mengukur kompetensi guru tentang pembelajaran
inkuri berbasis budaya lokal, pembuatan perangkat
pembelajaran sosiologi dengan metode inkuiri berbasis budaya
lokal setelah diberikan tindakan pelatihan.
2.2.1 Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu kegiatan untuk
menetapkan tujuan yang ingin dicapai beserta menetapkan
strategi untuk mencapai tujuan tersebut, dengan kata lain
perencanaan merupakan usaha konkret berupa langkah-
langkah yang harus dilajukan yang dasar-dasarnya telah
ditetapkan dalam strategi organisasi (Siagian, 2007: 35)
Perencanaan pelatihan dapat dibedakan berdasarkan
orientasi pengelolaannya yaitu; (1) model manajemen
pelatihan berpusat pada kepentingan lembaga penyelenggara
pendidikan yang mencakup langkah-langkah: (a) menentukan
kebutuhan pelatihan dengan menganalisa kebutuhan
organisasi, analisa tugas, analisa kebutuhan individual para
pelaksana tugas, dan menetapkan tujuan pelatihan, (b)
menyusun kriteria keberhasilan pelatihan; (2) model
manajemen berpusat pada peserta pelatihan, fungsi
perencanaannya yaitu; (a) mengidentifikasi kebutuhan; (b)
sumber-sumber dan kemungkinan hambatan pelatihan; (c)
merumuskan tujuan pelatihan; (d) menyusun program
pelatihan; (e) menetapkan seleksi peserta; (f) menyusun alat
penilaian awal dan akhir; dan (g) Menyiapkan pelatih yang
berkompeten (Sudjana, 2007: 12).
2.2.2 Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan keseluruhan suatu proses
pengelompokan orang, alat, tugas, serta wewenang dan
11
tanggung jawab yang bergerak secara bersama untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain
pengorganisasian dilakukan untuk menghimpun dan
mengatur semua sumber-sumber yang diperlukan, sehingga
pekerjaan yang dikehendaki berhasil dilaksanakan. Handoko
(2008: 167), menjelaskan pengorganisasian merupakan proses
penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan
organisasi, sumber-sumber daya yang dimilikinya, dan
lingkungan yang melingkupinya. Hal senada dikemukan oleh
Terry dan Rue (2010: 82), bahwa pengorganisasian adalah
proses pengelompokan kegiatan-kegiatan untuk mencapai
tujuan-tujuan dan penugasan setiap kelompok pada seorang
manajer yang mempunyai kekuasaan, yang perlu mengawasi
anggota kelompoknya.
Pengorganisasian merupakan kegiatan yang sangat
penting untuk memberdayakan sumber-sumber yang ada
dalam suatu organisasi untuk mewujudkan kerjasama antara
manusia yang terlibat secara aktif di dalamnya melalui
pembidangan dan pembagian tugas.Hal ini dimaksudkan agar
setiap orang yang terlibat di dalamnya mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing. Faktor penting dalam
pembagian tugas dalam organisasi akan membantu
koordinasi, memperlancar pengawasan, menghemat biaya,
dan memperlancar komunikasi (Terry, 2009: 96-97). Fungsi
pengorganisasian dalam manajemen pelatihan adalah untuk
mengetahui prinsip-prinsip pengorganisasian yang berkaitan
dengan kebermaknaan, keluwesan dan kedinamisan
organisasi/lembaga.
Pengorganisasian merupakan kegiatan yang sangat
penting untuk pemberdayaan sumber-sumber yang ada
melalui kerjasama antara manusia yang terlibat di dalamnya
secara efektif dan efisien melalui pembidangan, pengunitan
12
dan pembagian tugas. Pembidangan dan pembagian tugas ini
akan bermanfaat agar orang-orang terlibat di dalamnya
mengetahui tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Pelaksanaan pengorganisasian yang sukses akan membuat
suatu organisasi mencapai tujuannya. Proses ini tercermin
pada struktur organisasi yang mencakup: (1) pembagian kerja;
(2) departementalisasi; (3) bagan organisasi formal; (4) rantai
perintah dan kesatuan perintah, (5) tingkat-tingkat hikarki
manjemen; (5) saluran komunikasi, (6) penggunaan komite;
dan (7) rentang manajemen dan kelompok informal yang tak
dapat dihindari (Handoko, 2008: 169).
2.2.3 Pelaksanaan / Penggerakan
Pelaksanaan program pelatihan mencakup program
penggerakkan dan pembinaan (Sudjana, 2007:
12).Pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen
yang utama.Fungsi actuating lebih menekankan pada
kegiatan.Actuating merupakan usaha untuk menggerakkan
sekelompok orang dengan terencana sehingga mencapai
tujuan organisasi yang diinginkan (Terry & Rue, 2010:
168).Pada pelatihan, actuating merupakan upaya menjadikan
perencanaan menjadi kenyataan, melalui kegiatan dalam
bentuk pengarahan, transfer pengetahuan, keterampilan dan
motivasi agar peserta pelatihan dapat melaksanakan kegiatan
secara optimal.
Pelatihan akan menghasilkan suatu perubahan
perilaku pada peserta pelatihan. Secara nyata perubahan
perilaku itu berbentuk peningkatan mutu kemampuan dari
peserta pelatihan.Menurut Sudjana (2007: 198) pelatihan
dilakukan melalui tahapan yaitu: (1) pembinaan keakraban
sebelum kegiatan pembelajaran, hal ini dimaksudkan agar
hambatan psikologis peserta pelatihan dapat diminimalisir; (2)
identifikasi kebutuhan, fungsinya untuk menyempurnakan
13
kebutuhan dan memenuhi kebutuhan peserta pelatihan; (3)
kontrak pembelajaran, yaitu perjanjian tertulis yang dibuat
oleh peserta pelatihan. Isi format kontrak mencakup
komitmen peserta pelatihan untuk mengikuti semua kegiatan
pelatihan yang diberikan; (4) tes awal (pre test), berfungsi
untuk mengetahui kompetensi awal peserta; (5) proses
pembelajaran dalam pelatihan yang meliputi: materi, metode
dan tehnik; (6) test akhir (post test), berfungsi untuk
membandingkan antara perubahan kompetensi awal sebelum
mengikuti pelatihan dan sesudah mengikuti pelatihan.
Metode pelatihan merupakan faktor yang penting dalam
pelatihan. Metode merupakan cara yang digunakan dalam
interaksi belajar. Metode pembelajran pelatihan dijelaskan
Rifa’i (2009: 99), suatu cara mengorganisasikan peserta
pelatihan untuk mencapai tujuan pelatihan yang efektif.
Metode pembelajaran perlu memperhatikan karateristik orang
dewasa yaitu: (1) orang dewasa mandiri, sehingga
pembelajaran membutuhkan kebebasan yang bersifat
pengarahan diri; (2) orang dewasa mempunyai kesiapan
belajar sesuai dengan peran sosialnya, sehingga program
pembelajaran dalam pelatihan disusun dan disesuaikan
dengan kebutuhan peserta pelatihan yang relevan dengan
tugas yang diembannya; (3) orang dewasa berharap segera
dapat menerapkan perolehan belajarnya, sehingga muatan
materi pelatihan didasarkan pada kebutuhan peserta yang
dapat diimplementasikan (Rifa’i, 2009: 24).
Selain itu komunikasi harus efektif agar instruktur dan
peserta pelatihan mampu menyampaikan dan menerima
pesan denga baik. Dalam kegiatan pelatihan ini juga perlu
menggunakan pendekatan pembinaan keakraban dengan
pembentukan kelompok kerja kecil, demonstrasi
(demontration), dan diskusi (discussion), sedangkan alat bantu
14
pembelajaran pada pelatihan berupa LCD, video tentang
pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal.
2.2.4 Pengawasan
Pengawasan merupakan proses pengamatan dari
seluruh kegiatan organisasi guna lebih menjamin bahwa
semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2007:
125). Sedangkan menurut Handoko (2008: 360),pengawasan
dapat juga berarti menetapkan standar pelaksanaan dengan
tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi
umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan
standart yang telah ditetapkan sebelumnya, menetapkan dan
mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil
tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa
semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara
efektif dan efisien dalam pencapaian perusahaan.
Sebagai fungsi organik, pengawasan (controlling)
merupakan salah satu tugas yang mutlak diselenggarakan.
Pengawasan berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai,
dilaksanakan berdasarkan strategi dasar organisasi yang
telah dirumuskan dan ditetapkan, serta dirinci menjadi
program dan rencana kerja. Pengawasan ditujukan untuk
usaha mencegah timbulnya berbagai jenis dan bentuk
penyimpangan atau penyelewengan baik disengaja maupun
tidak. Kegiatan pengawasan dapat meliputi; (1) penetapan
ukuran-ukuran; (2) memantau hasil-hasil, (3) perbandingan
hasil-hasil pemantauan dengan ukuran-ukuran, (4) perbaikan
penyimpangan-penyimpangan; (5) pengubahan dan
penyesuaian cara-cara pengawasan dan perubahan kondisi-
kondisi; dan (6) berhubungan selalu selama proses
pengawasan.
15
2.3 Model – Model Pelatihan
Gaffar dan Nurdin (2007: 569)menyatakan bahwa”
kelemahan dari sistem pelatihan selama ini disebabkan oleh
lemahnya manajemen pelatihan baik pada tingkatan mikro,
mezzo dan makro. Di bawah ini adalah beberapa model
pelatihan yang sering dilakukan dalam mengelola pelatihan
diantaranya model ADDIE, Siklus Lima Tahap oleh Goad,
model pelatihan deduktif dan pelatihan induktif.
2.3.1 Model ADDIE
Model ADDIE (Analyse, Design, Development,
Implementation, Evaluation) digambarkan dalam tahap seperti
pada diagram berikut.
Gambar 2.1
Model Lima Fase diadaptasi dari Molenda (2003: 34-35)
Pada tahap analisis (analyse), melakukan identifikasi
kebutuhan pelatihan, pengetahuan dan keterampilan peserta,
perumusan tujuan dan lingkungan belajar.Tahap desain
(design), meliputi merumuskan isi pelatihan, analisis materi
pelajaran, perencanaan pelajaran, pemilihan media dan
instrument pelatihan. Langkah dalam tahap desain yaitu: (1)
dokumen proyek instruksional, visual dan teknis desain
strategi; (2) terapkan strategi pembelajaran sesuai domain
kognitif, afektif, dan psikomotor; (3) desain pengalaman
pengguna pelatihan; (4) buat protitipe; (5) terapkan desain
visual (grafis).Tahap pengembangan (development), merupakan
revision
Analyse revision
Design Evaluation Implement
revision
Development revision
16
tahapan pengembangan instruksional.Proyek pelatihan ini
ditinjau dan direvisi sesuai dengan umpan balik yang
diterima.
Tahap implementasi (implementation), pada tahap ini
dikembangkan prosedur untuk pelatihan fasilitator dan
peserta didik.Tahap ini mencakup kurikulum.Metode
pembelajaran, prosedur evaluasi, sapras pelatiha,
mengevaluasi desain dan hasil belajar.Pada tahap ini,
persiapan peserta didahului dengan pendaftaran seleksi
peserta pelatihan.Tahap evaluasi (evaluation) terdiri dari dua
bagian yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan
disetiap langkah atau proses ADDIE.
2.3.2 Model Pelatihan Siklus Lima tahap oleh Goad
Model pelatihan siklus lima tahap oleh Goad dalam
Nedler (1982: 11) terdiri dari siklus pelatihannya terdiri dari:
(a) analisis kebutuhan pelatihan (analisyze to determine
training reqruitmens). (b)desain pendekatan pelatihan (design
the training approach). (c) pengembangan materi pelatihan
(depelov the training materials). (d) pelaksanaan pelatihan
(conduct the training) dan (e) evaluasi dan pemutakhiran
pelatihan(evaluate and update the training). Langkah tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.2 Siklus Pelatihan Lima Tahap Goad dalam Nedler
(1982: 11)
Analyze
Design Evaluate
Conduct Develop
17
Pelatihan yang ditujukan bagi orang dewasa sebagai
sasaran perlu memperhatikan aspek: (1) orang dewasa belajar
dengan melakukan (orang dewasa ingin dilibatkan); (2)
masalah dan contoh relevan dan realistis; (3) lingkungan
belajar terbaik adalah lingkungan informal; (4) tidak
menerapkan sistem peringkat apapun; (5) fasilitator berperan
sebagai agen pembaharuan: (6) fasilitator bertanggung jawab
memfasilitasi pembelajaran; (7) variasi metode yang
melahirkan gairah peserta pelatihan; (8) dampak pelatihan
langsung bisa dirasakan peserta (Nedler, 1982: 41).
2.3.3 Model Pelatihan Induktif
Pendekatan yang digunakan dalam model Induktif
menekankan pada usaha yang dilakukan dari pihak yang
terdekat, langsung, dan bagian-bagian ke arah pihak yang
luas, dan menyeluruh. Oleh karena itu, melalui pendekatan
ini diusahakan secara langsung pada kemampuan yang telah
dimiliki setiap Sasaran didik (pelatihan), kemudian
membandingkannya dengan kemampuan yang diharapkan
atau harus dimiliki sesuai dengan tuntutan yang datang
kepada dirinya.
18
Gambar 2.3 Langkah-langkah Model Pelatihan Induktif (Kamil, 2010)
Model ini digunakan untuk mengidentifikasi jenis
kebutuhan belajar yang bersifat kebutuhan terasa (felt needs)
atau kebutuhan belajar dalam pelatihan yang dirasakan
langsung oleh peserta pelatihan. Pelaksanaan identifikasinya
pun harus dilakukan secara langsung kepada peserta
pelatihan itu sendiri.Keuntungan model induktif ini adalah
dapat diperoleh informasi yang langsung, dan tepat mengenai
jenis kebutuhan peserta pelatihan, sehingga memudahkan
kepada tutor (pelatih) untuk memilih materi pelatihan (belajar)
yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Namun kerugiannya,
dalam menetapkan materi pendidikan yang bersifat
menyeluruh, dan umum untuk peserta pelatihan yang banyak
19
dan luas akan membutuhkan waktu, dana, dan tenaga yang
banyak. Karena setiap peserta pelatihan yang mempunyai
kecenderungan ingin atau harus belajar dimintai informasinya
mengenai kebutuhan pelatihan (belajar) yang diinginkan.
2.3.4 Model Pelatihan Deduktif
Pendekatan model deduktif merupakan model pelatihan
yang menggenaralisasi secara umum dari identifikasi
kebutuhan pelatihan dilakukan, dengan sasaran yang luas.
Hasil identifikasi dibutuhkan untuk keseluruhan peserta
pelatihan (sasaran) yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Hasil
identifikasi macam ini digunakan dalam menyusun materi
pelatihan (belajar) yang bersifat massal dan menyeluruh. Hal
ini sebagaimana telah dilakukan dalam menetapkan
kebutuhan pelatihan minimal untuk peserta pelatihan dengan
sasaran tertentu seperti melihat latar belakang pendidikan,
usia, atau jabatan dan lainnya. Kemudian dikembangkan ke
proses pembelajaran dalam pelatihan yang lebih khusus
(Kamil, 2010).
Keuntungan dari tipe ini adalah bahwa hasil identifikasi
dapat diperoleh dari sasaran yang luas, sehingga ada
kecenderungan penyelesaiannya menggunakan harga yang
murah, dan relatif lebih efesien dibanding dengan tipe induktif
karena informasi kebutuhan belajar yang diperoleh dapat
digunakan untuk penyelenggaraan proses belajar dalam
pelatihan secara umum. Namun demikian, model ini
mempunyai kelemahan dari segi efektifitasnya, karena belum
tentu semua peserta pelatihan (sasaran) diduga memiliki
karakteristik yang sama akan memanfaatkan, dan
membutuhkan hasil identifikasi tersebut. Hal ini didasarkan
atas kenyataan bahwa keanekaragaman peserta pelatihan
20
(sasaran) cenderung memiliki minat dan kebutuhan belajar
yang berbeda (Kamil, 2010).
Kebutuhan belajar hasil identifikasi model deduktif
termasuk jenis kebutuhan terduga (expected needs), dalam
pengertian bahwa peserta pelatihan (sasaran) pada umumnya
diduga membutuhkan jenis kebutuhan belajar tersebut. Hal
menarik bahwa, pernyataan jenis kebutuhan bisa tidak
diungkapkan oleh diri peserta pelatihan (sasaran) secara
langsung, akan tetapi oleh pihak lain yang diduga memahami
tentang kondisi peserta pelatihan (sasaran). Oleh karena itu,
mengapa banyak terjadi "Drop out dalam pelatihan", atau
kebosanan belajar, tidak adanya motivasi, malas, karena ada
kecenderungan bahan belajar yang dipelajarinya dalam
pelatihan kurang sesuai dengan kebutuhan belajar yang
dirasakannya (Kamil, 2010).
2.4 Materi Pelatihan Pembelajaran Sosiologi dengan
metode Inkuiri berbasis Budaya Lokal
Pembelajaran inkuiri menurut Sumantri (1999:164),
merupakan cara penyajian pelajaran yang memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan informasi
dengan atau tanpa bantuan guru. Dengan melalui metode ini
dapat membantu siswa untuk belajar mandiri. Hal ini sesuai
dengan pendapat Suchman (1996 : 3), pembelajaran inkuiri
adalah suatu pola untuk membantu para siswa belajar
merumuskan dan menguji pendapatnya sendiri dan memiliki
kesadaran akan kemampuannya. Konsep dasar lain juga
disampaikan Widja (2005), metode pembelajaran inkuiri
adalah suatu metode yang menekankan pengalaman-
pengalaman belajar yang mendorong siswa dapat menemukan
konsep-konsep dan prinsip. Konsep tersebut juga didukung
oleh Nasution (2002), menyatakan bahwa metode
21
pembelajaran inkuiri adalah merupakan proses belajar yang
memberikan kesempatan pada siswa untuk menguji dan
menafsirkan problema secara sistematika yang memberikan
konklusi berdasarkan pembuktian.
Dengan demikian konsep pembelajaran inkuiri
menitikberatkan pada pemberian kesempatan pada siswa
untuk berperan aktif peserta didik dalam menyelesaikan
masalah melalui pembuktian yang dilakukan oleh siswa. Hal
ini juga dipertegas oleh Trowbridge dan Bybee ( 1973 : 210)
menyatakan bahwa, dengan pendekatan inkuiri maka
pembelajaran menjadi lebih berpusat pada anak, proses
belajar melalui inkuiri dapat membentuk dan
mengembangkan konsep diri pada diri siswa, mengembangkan
bakat, menghindari siswa dari cara-cara belajar dengan
menghafal, dan memberikan waktu pada siswa untuk
mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model
inkuiri merupakan model pembelajaran yang berupaya
menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa,
sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak
belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam
memecahkan masalah, sehingga siswa benar-benar
ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Dalam pelaksanaan
pembelajaran inkuiri memiliki tujuan iringan (nurturant effect)
yaitu: (1) memperoleh keterampilan untuk memproses secara
ilmiah (mengamati, mengumpulkan, mengorganisasi-kan data,
mengidentifikasikan variabel, merumuskan, dan menguji
hipotesis, serta mengambil kesimpulan); (2) lebih
berkembangnya daya kreativitas anak; (3) belajar secara
mandiri; (4) perolehan sikap ilmiah terhadap ilmu
pengetahuan yang menerimanya secara tentatif (Gulo,
2002:101).
22
Dalam perkembangan dunia pendidikan sekarang ini,
metode pembelajaran inkuiri mempunyai peranan penting
yaitu: (1) menekankan kepada proses perolehan informasi
oleh siswa, (2) membuat konsep diri siswa bertambah dengan
penemuan-penemuan yang diperolehnya, (3) memiliki
kemampuan untuk memperbaiki dan memperluas
penguasaan keterampilan dalam proses memperoleh kognitif
para siswa, (4) penemuan-penemuan yang diperoleh siswa
dapat menjadi kepemilikannya dan sangat sulit
melupakannya,(5) tidak menjadikannya guru sebagai satu-
satunya sumber belajar, karena siswa belajar dengan
memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar (Sumantri,
1999:166).
Agar pelaksanaan pembelajaran inkuiri dapat mencapai
hasil yang optimal maka diperlukan syarat–syarat. Adapun
syarat pembelajaran inkuiri adalah : (1) suasana terbuka yang
mengundang siswa berdiskusi atau tidak ada hambatan
untuk mengemukakan pendapatnya; (2) inkuiri berfokus pada
hipotesis, siswa perlu menyadari bahwa pada dasarnya semua
pengetahuan bersifat tentatif artinya tidak ada kebenaran
yang bersifat mutlak atau kebenarannya selalu bersifat
sementara; (3) penggunaan fakta sebagai evidensi, di dalam
kelas dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta
sebagaimana dituntut dalam pengujian hipotesis pada
umumnya (Gulo, 2002:85).
Sehubungan dengan tujuan dan syarat pembelajaran
inkuiri maka peranan utama guru sebagai berikut: (1)
motivator, yang memberi rangsangan supaya siswa aktif dan
gairah berpikir; (2) fasilitator, yang menunjukkan jalan keluar
jika ada hambatan dalam proses berpikir siswa; (3)
administrator, yang bertanggungjawab terhadap seluruh
kegiatan di dalam kelas; (4) pengarah, yang memimpin arus
23
kegiatan berpikir siswa pada tujuan yang diharapkan; (5)
manajer, yang mengelola sumber belajar, waktu, dan
organisasi kelas; (6) rewarder, yang memberi penghargaan
pada prestasi yang dicapai dalam rangka peningkatan
semangat heuristik pada siswa (Gulo, 2002: 86).
Manfaat lain yang didapat dari penerapan pembelajaran
inkuiri yaitu dapat mengembangkan kemampuan intelektual,
pengembangan emosional dan pengembangan
keterampilannya. Langkah pembelajar-an inkuiri meliputi (1)
merumuskan masalah; (2) merumuskan hipotesa; (3)
mengumpulkan bukti ; (4) menguji hipotesa, dan; (5) menarik
kesimpulan (Gulo,2004 : 94)
Adapun langkah pembelajaran inkuiri tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.4 Proses Inkuiri ( Gulo, 2004 : 94)
Pembelajaran inkuiri diawali dari sebuah permasalahan
yang perlu dikaji oleh siswa. Sebelum melakukan pengamatan
untuk mengambil data, siswa perlu merumuskan hipotesis
yaitu dugaan sementara atas jawaban berdasarkan literatur-
literatur. Setelah melakukan pengamatan di lapangan maka
24
hasil data informasi melalui wawancara dan pengamatan
dapat digunakan untuk menguji dugaan dan ditarik
kesimpulan.
Model pembelajaran yang dapat diadaptasi dalam
pembelajaran sosiologi antropologi untuk mengembangkan
wawasan pengetahuan peserta didik dengan penekanan
proses pengamatan secara langsung dengan budaya lokal.
Pembelajaran model inkuiri berbasis budaya lokal adalah
pendekatan pembelajaran pada masalah autentik terkait
budaya lokal sehingga siswa dapat menyusun
pengetahuannya, menumbuhkembangkan kemandirian, serta
meningkatkan percaya diri pada siswa (Abbas. 2000:12).
Model pembelajaran tersebut memiliki kelebihan sebagai
berikut :(1) dengan metode pembelajaran inkuiri akan melatih
siswa berani mengemukakan pendapat dan menemukan
sendiri pengetahuannya berdasarkan hasil pengamatan
langsung,(2) model pembelajaran ini dikemas menjadi proses
membangun bukan menerima pengetahuan artinya siswa
membangun pengetahuan secara mandiri melalui keterlibatan
aktif dalam proses belajar mengajar dengan memanfaatkan
berbagai sumber, dengan demikian pembelajaran berpusat
pada siswa. Penerapan pembelajaran model inkuiri terdiri
dari 5 langkah sebagai berikut :
25
Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Model Inkuiri
Langkah
Pembelajaran Berbasis Masalah
Kegiatan guru
Orientasi siswa pada masalah dan mampu merumuskan masalah
Guru menjelaskan tujuan pembela- jaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan dan memotivasi siswa terlibat dalam aktifitas
Mengorganisir siswa dalam belajar
Guru membagi siswa dalam kelompok Guru membantu siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas–tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah yang dikaji
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai dengan laporan, video, dan model, membantu mereka membagi tugas dengan temannya
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang digunakan
Sumber : Abbas, 2000:14–15
2.5 Keefektifan Pembelajaran Inkuiri
26
Pembelajaran model inkuiri adalah pendekatan
pembelajaran pada masalah autentik sehingga siswa dapat
menyusun pengetahuannya, menumbuh kembangkan
kemandirian, serta meningkatkan percaya diri pada siswa
(Abbas. 2000:12). Menurut Slavin (1994: 310) untuk
mengetahui tingkat keefektifan pembelajaran model
ditentukan empat indikator yaitu: kualitas pembelajaran
(quality of instruction), kesesuaian tingkat pembelajaran
(appropriate level of instruction ), insentif ( incentive ), dan
waktu ( time ).
Kualitas pembelajaran adalah banyaknya informasi atau
keterampilan yang disajikan sehingga siswa dapat
mempelajarinya dengan mudah. Dengan kata lain, makin kecil
tingkat kesalahan yang diperoleh makin efektiflah tingkat
pembelajaran. Penentuan tingkat efektivitas pembelajaran
tergantung pada pencapaian tujuan pembelajaran, biasanya
disebut ketuntasan belajar. Kesesuaian tingkat belajar adalah
sejauh mana guru memastikan kesiapan siswa untuk
mempelajari pengetahuan baru (siswa mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan
pengetahuan baru tersebut). Dengan kata lain materi
pelajaran yang diberikan tidak terlalu sulit dan tidak terlalu
mudah. Insentif adalah seberapa besar seorang guru
memotivasi siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajar.
Semakin besar motivasi yang diberikan guru kepada siswa
maka keaktifan siswa semakin besar pula. Dengan demikian
pembelajaran akan lebih efektif.
Pembelajaran akan efektif apabila siswa dapat
menyelesaikan pembelajaran sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.Konsekuensinya bahwa dalam pembelajaran
sangat perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa
dalam pengorganisasian pelajaran dan pengetahuannya.
27
Semakin aktif siswa maka ketercapaian ketuntasan
pembelajaran semakin besar, sehingga semakin efektiflah
pembelajaran.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa
pembelajaran model inkuiri dikatakan efektif apabila
memenuhi paling sedikit dua dari tiga persyaratan adalah (1)
belajar siswa secara klasikal sudah tuntas; (2) tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan tercapai;(3) respon siswa
terhadap pembeajaran positif.
2.6 Konstruktivisme
Pembelajaran inkuiri merupakan salah satu
pembelajaran yang menganut kontruktivisme. Menurut kaum
konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa
mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-
lain. Hal tersebut juga dipertegas lagi oleh Suparno (1997:61),
bahwa belajar merupakan proses asimiliasi dan
akomodasiyaitu menghubungkan pengalaman atau bahan
yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai
seseorang sehingga pengertian dikembangkan. Menurut Court
dalam Suparno (1997:65) mengajar berarti partisipasi dengan
pembelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat
makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan
justifikasi.Hal ini sejalan dengan pendapat kaum konstruktivis
bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan
yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya.
Salah satu model pembelajaran yang memberikan
peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri dan menumbuh kembangkan sikap ilmiah adalah
pembelajaran model inkuiri. Pendapat para ahli senada
28
tersebut adalah Bruner dalam Dahar ( 1989:103) yang
menyatakan selama kegiatan belajar berlangsung hendaknya
siswa dibiarkan mencari atau menemukan sendiri makna
segala sesuatu yang dipelajari. Adapun manfaat pembelajaran
model inkuiri berbasis masalah juga disampaikan oleh
Trowbridge dan Bybee (1973:210-212), yang menyatakan
bahwa dalam pendekatan inkuiri , pembelajaran lebih
berpusat pada siswa , proses belajar melalui inkuiri dapat
membentuk dan mengembangkan konsep diri pada diri siswa,
tingkat pengharapan bertambah, pendekatan inkuiri dapat
mengembangkan bakat pendekatan inkuiri dapat menghindari
siswa dari cara-cara belajar dengan menghafal, dan
pendekatan inkuiri memberikan waktu pada siswa untuk
mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.
Beberapa teori belajar konstruktivis yang mendasari
pembelajaran model inkuiri berbasis masalah diantaranya :
1) Teori Piaget
Menurut Piaget dalam Suherman (2003: 37) tentang
aspek aspek perkembangan kognitif yaitu tahap (1) sensory
motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4)
formal operational. Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih
berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif peserta didik. Sebagai contoh dalam pembelajaran
sosiologi, peserta didik perlu diberikan contoh-contoh secara
konkrit, melakukan observasi ke masyarakat, karena dalam
tahap perkembangannya remaja SMA masih berada pada
tahap conrete operational.
Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang
oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyaan pilihan dari guru. Guru hendaknya banyak
memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
29
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam
pembelajaran adalah: (a) bahasa dan cara berfikir anak
berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara
berfikir anak; (b) anak-anak akan belajar lebih baik apabila
dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus
membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya; (c) bahan yang harus dipelajari anak
hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing; (d) berikan
peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya;(e)
di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk
saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
2). Teori Vygotsky
Menurut Vygotsky dalam Nur (1996:25) menekankan
pada hakekat sosiokultural pembelajaran, yaitu siswa belajar
melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya.
Lebih lanjut Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih
tinggi umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama
antar indinvidu (interaksi dengan orang dewasa dan teman
sebaya ) sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap
ke dalam individu tersebut.
Vygotsky mendifinisikan zona of proximal development
(ZPD) sebagai jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu
(Nur, 1996: 29). Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi
apabila anak belajar menangani tugas - tugas yang belum
30
dipelajarai namun tugas itu masih berada dalam jangkauan
atau masih dalam zona of proximal development mereka.
Fungsi mental yang lebih tinggi pada munculnya dalam
percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi
mental.
Teori lain dari Vygotsky adalah scaffolding yaitu
pemberian sejumlah besar bantuan kepada seseorang peserta
didik selama tahap awal pembelajaran dan kemudian peserta
didik tersebut mengambil alih tanggungjawab yang semakin
besar segera ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat
berupa petunjuk peringatan atau dorongan yang
memungkinkan peserta didik tumbuh sendiri.
3). Teori J. Bruner.
Salah satu model intruksional kognitif yang sangat
berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal
dengan belajar penemuan (Discovery learning). Bruner dalam
Dahar (1998:125) menganggap, bahwa belajar penemuan
sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh
manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling
baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah
serta pengetahuan yang menyertai, menghasilkan
pengetahuan yang benar–benar bermakna.
Bruner dalam Trianto (2007: 26) menyarankan agar
siswa–siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif
dengan konsep – konsep dan prinsisp – prinsip, agar
melakukan eksperimen - eksperimen yang mengizinkan
mereka untuk menemukan prinsip- prinsip itu sendiri.
2.7 Pembelajaran Inkuiri Berbasis Budaya Lokal pada
Mata Pelajaran Sosiologi
31
Pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal merupakan
proses pembelajaran yang memadukan metode inkuiri yaitu
menekankan pengalaman-pengalaman belajar yang
mendorong siswa dapat menemukan konsep-konsep dan
prinsip melalui pengamatan yang melibatkan budaya lokal.
Yang dimaksud budaya menurut Koentjoroningrat adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan segala hasil karya
manusia dalam rangka khidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan cara belajar (Gering Supriyadi
2003). Pembelajaran inkuiri berbasis budaya merupakan
pembelajaran yang melibatkan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan
budaya lokal sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Pendekatan ini didasarkan pada pengakuan terhadap budaya
sebagai bagian yang fundamental dalam pendidikan.
Pelajaran sosiologi lebih banyak berhubungan dengan
masalah dan gejala yang muncul di masyarakat. Pembelajaran
sosiologi yang selama ini diterapkan lebih didominasi di dalam
kelas dengan pembahasan dan informasi dari guru cenderung
berjalan satu arah yaitu proses transfer knowledge. Dengan
berlakunya kurikulum 2013, paradigma pembelajaran sudah
berubah pada pembelajaran berpusat pada siswa, bahkan
guru sifatnya sebagai salah satu sumber belajar, bukan satu-
satunya sumber belajar. Belajar dalam konteks kurikulum
2013 sudah menuntut penggunaan berbagai sumber belajar,
termasuk lingkungan masyarakat sekitar sebagai wadah
melakukan pengamatan. Terkait dengan hal tersebut, peserta
didik dapat melakukan proses pengamatan terhadap budaya-
budaya lokal di sekitar peserta didik, melakukan wawancara
dengan narasumber yang relevan. Dari proses pengamatan,
perserta didik juga berlatih berkomunikasi, melalui kegiatan
menanya dan akhirnya mendapatkan sekumpulan informasi
32
baik dalam bentuk informasi lesan, tertulis maupun rekaman
dalam bentuk video. Informasi-informasi tersebut dijadikan
peserta didik sebagai bahan melakukan asosiasi atau
pengolahan informasi dalam bentuk diskusi di dalam kelas.
Hasil diskusi secara kelompok digunakan sebagai bahan
peserta didik melakukan proses presentasi kelas. Kegiatan ini
sebagai bentuk melatih diri bagaimana peserta didik
mengkomunikasikan hasil pengamatan pada orang lain.
Objek-objek pengamatan yang dapat diamati dalam
proses pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal adalah
objek multikultur masyarakat di sekitar peserta didik. Secara
khusus di wilayah Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal,
terdapat objek-objek budaya lokal seperti kesenian Kuda
Lumping, Sintren (Laes), kegiatan Nyadran (sedekah bumi)
dan Merti Desa melalui wayang kulit. Peserta didik dapat
melakukan pengamatan, perekaman, wawancara dan
akhirnya menganalisis bagaimana sejarahnya, fungsi-fungsi
dan tujuan kegiatan, nilai-nilai yang terkandung dalam
kegiatan dan nilai ekonomis. Peserta didik dapat menggali
potensi-potensi budaya lokal sebagai aset wilayah sebagai
desa wisata.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran inkuri berbasis budaya lokal merupakan proses
pembelajaran yang melibatkan peserta didik melakukan
pengamatan dengan objek-objek budaya lokal.
2.8 Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian lain yang terkait dengan
penelitian ini antara lain dilakukan oleh Wardani dan
Abubakar. Penelitian Wardani (2012:50), The Effectiveness Of
Inkuiri Learning Approach In The Sosial Laboratory The
Towards The Enhancement Of Learning Creativity Of 5 Th”
Grade Sosial Study Subject (IPS) Students Of Elementary
33
School, menyimpulkan bahwa guru diharapkan merubah
pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran
berpusat pada siswa dengan mendasain pembelajaran inovatif
terutama menggunakan pendekatan inkuiri yang mendorong
kreativitas siwa. Pelaksanaan pembelajaran inkuiri
dilaksanakan di laboratorium sosial misalnya didekatkan
langsung ke masyarakat atau pembelajaran di luar
kelas.Penelitian Abubakar (2012:61-125), Prinsip dan
Problema Pembelajaran Sosiologi, Lembaga Pendidikan di
Banda Aceh,mengatakan bahwa karakteristik, prinsip sifat-
sifat dan paradigma sosiologi dapat mempengaruhi strategi
pembelajaran dan penyusunan silabus dan tujuan yang
diharapkan. Dengan sifat hierarkis, maka materi
pembelajaran sosiologi perlu disusun secara logis dan
sistimatis dengan tekanan kajian adalah struktur masyarakat,
pengalaman yang tersedia dalam buku ajarnya adalah
gambaran fakta masyarakat yang dicermati dengan berbagai
metode.
Dari kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran sosiologi diperlukan model pembelajaran yang
inovatif dan kreatif terutama menggunakan pendekatan
inkuiri dan juga diperlukan strategi pembelajaran sosiologi
yang disusun secara logis dan sistimatis. Dengan demikian
maka diperlukan suatu pelatihan guru sosiologi, dengan
tujuan agar guru sosiologi dapat membuat dan menyusun
perangkat pembelajaran sosiologi dengan pembelajaran
inkuiri berbasis budaya lokal.
2.9 Kerangka Pikir
Budaya lokal perlu digali dan ditanamkan kepada peserta
didik melalui sebuah pembelajaran sosiologi yang konstruktif,
artinya peserta didik perlu menggali sendiri potensi-potensi
34
daerah melalui terjun langsung ke lapangan, melakukan
pengamatan, wawancara dengan nara sumber dan mengambil
makna dari sebuah pembelajaran tersebut. Harapannya akan
tumbuh kesadaran dan kepekaan tentang pentingnya
pelestarian budaya lokal. Pembelajaran inkuri berbasis
budaya lokal merupakan suatu alternatif pembelajaran yang
secara langsung memberikan peluang besar bagi peserta didik
untuk aktif menemukan sendiri melalui eksplorasi secara
kelompok di luar kelas. Pembelajaran berbeda jauh dengan
pembelajaran yang hanya monoton di dalam kelas,
mendengarkan penjelasan guru, peserta didik tidak
mengalami secara langsung dan tidak bersentuhan langsung
dengan budaya lokal yang ada.
Pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal ini perlu
disebarluaskan pada guru-guru sosiologi melalui pelatihan
yang tepat. Menjadi hal yang penting untuk dilakukan,
karena berdasarkan hasil wawancara pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan oleh guru sosiologi anggota
MGMP Sosiologi Kabupaten Kendal masih terpusat di kelas
dan belum banyak memberikan keleluasaan pada keaktifan
peserta didik. Pengembangan pelatihan guru sosiologi tentang
pembelajaran model inkuiri berbasis budaya lokal merupakan
kerangka konseptual dari pelatihan guru sosiologi yang
mengacu pada indikator kompetensi pedagogik. Pelatihan ini
bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru
sosiologi SMA tentang model pembelajaran inkuiri berbasis
budaya lokal dilaksanakan dengan menggunakan pedoman
prinsip-prinsip dasar, unsur manajemen dan tahap pelatihan,
yaitu: (1) perencanaan pelatihan; (2) pelaksanaan pelatihan;
dan (3) evaluasi pelatihan.
Pelatihan manajemen pelatihan dilaksanakan dengan
menggunakan: (1) model acuan buku panduan manajemen
35
pelatihan; (2) model pelatihan, silabus, RPP dan (3) modul
pelatihan. Pelatihan ini untuk meningkatkan kompetensi
pedagogik guru sosiologi, dengan menggunakan model
pelatihan yang dilaksanakan dengan menggunakan prinsip
manajemen yang melalui tahapan pelatihan yaitu: (1)
perencanaan pelatihan; (2) pelaksanaan pelatihan; dan (3)
evaluasi pelatihan.
Manajemen pelatihan sosiologi ini dirancang dengan
menggunakan model manajemen pelatihan dengan
menggunakan paket pelatihan berupa buku panduan yang
berisi cara penggunaan model, manajemen pelatihan (tugas
pengelola, instruktur dan peserta pelatihan, materi,
silabus,dan RPP. Adapun modul pelatihan terdiri dari materi
pembelajaran inkuiri berbasis budaya lokal, contoh-contoh
RPP, contoh pelaksanaan pembelajaran berupa video dan
evaluasi. Model pelatihan ini dirancang untuk meningkatkan
kompetensi pedagogik bagi guru sebagai pedoman dalam
melaksanakan pembelajaran inkuiri berbasis inkuiri.
Gambar 2.5. Kerangka Pikir
Budaya Lokal
Pembelajaran Sosiologi
Guru
Perangkat Pembelajarann
Pelatihan
Perencanaan
Model Pelatihan
Prosedur Pelatihan
Materi Pelatihan
Evaluasi
36
37
Top Related