ULAMA TELADAN UMAT - stityamaltangerang.files.wordpress.com fileDua hadis itulah yang menghantarkan...
Transcript of ULAMA TELADAN UMAT - stityamaltangerang.files.wordpress.com fileDua hadis itulah yang menghantarkan...
1
ULAMA TELADAN UMAT
Oleh: Maddais, S.Pd.I., MA1
Abstract:
Many scholars are successful in the exam the world with all its power
so that they remain istiqomah in truth. They are the ones who are always
illuminating lamp human world with the truth. While on the other hand, not a
few scholars who fell and lost the trials and temptations of the world with all
its charm.
The cleric heir to the Prophet and the Prophet was sent as a mercy to
the worlds (rahmatan lil 'Alamin). On the other side, scholars in charge of
communicating the message of the Prophet told his people to be directions
for achieving happiness in this world and in the Hereafter. Therefore, it
should be exemplary scholars (uswah) people. More and more scholars are
also exemplary people, the brighter this world, and the clearer separation
between the Truth with falsehood.
Key words: clergy, khushu ', Su, exemplary, and the people
Intisari:
Banyak ulama yang sukses dalam menghadapi ujian dunia dengan segala
daya tariknya sehingga mereka tetap istiqomah dalam kebenaran. Mereka-lah pelita
dunia yang selalu menerangi manusia dengan kebenaran. Sedangkan di sisi lain,
tidak sedikit ulama yang jatuh dan kalah terhadap ujian dan godaan dunia dengan
segala pesonanya.
Ulama itu pewaris para Nabi dan Nabi diutus sebagai rahmat bagi semesta
alam (rahmatan lil 'ālamīn). Pada segi yang lain, ulama bertugas menyampaikan
risalah yang dibawa Nabi kepada umatnya agar menjadi petunjuk guna mencapai
kebahagiaan hidup di dunia ini dan di akhirat kelak. Oleh karena itu, sudah
seharusnya ulama menjadi teladan (uswah) umat. Semakin banyak ulama teladan
umat semakin terang pula dunia ini, dan semakin jelas pemisahan antara yang haq
dengan yang bathil.
Key words: ulama, khushu’, sū, teladan, dan umat
2
PENDAHULUAN
Ulama adalah seorang public figure yang ucapannya, perbuatannya, dan
akhlaknya selalu menjadi teladan umat. Fatwa-fatwanya didengar dan diikuti. Pada
intinya, figur ulama adalah seorang yang ahli dalam bidang ilmu agama dan
fatwanya bagaikan setetes embun di hati yang gersang.2
Namun, sekarang masihkah ulama patut menjadi harapan umat untuk
meneteskan sepercik embun di hati mereka yang gersang? Agaknya kini zaman telah
berubah. Orang-orang yang mendapat julukan ulama bukan lagi orang-orang yang
hanya taat pada hukum-hukum al-Qur'an dan hadis. Kini julukan ulama bukan hanya
diberikan kepada orang arif yang ahli dalam bidang keagamaan. Lulusan akademi,
artis, hartawan yang mendirikan pondok pesantren, asal mereka bisa berkhutbah
dengan dalil-dalil, bisa membaca al-Qur'an, dengan mudah diberi julukan ulama
kepada mereka.
Menyandang predikat ulama sama artinya dengan memikul amanat yang
tidak ringan, karena di situ terpikul amanah kepercayaan, jika seseorang itu dapat
memikul amanat tadi dengan benar-benar amanah, ia dapat dikatakan sebagai
‘ulama khushu’ (ulama takwa), sebaliknya jika orang itu lalai dalam memikul
amanah itu ia disebut sebagai ‘ulama sū (ulama jahat).
Al-Ghazali (w. 1111 M) mensinyalir klasifikasi Nabi saw atas ulama
menjadi dua: ulama akhirat (penyandang ilmu yang benar) dan ulama sū
(penyandang ilmu yang lacur).3
Rasulullah saw bersabda:
)رواه ابن ماجو(إن العلمآء ورثة األنبياء
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. (HR. Ibnu Mājah)
كم()رواه احلا ويل ألمت من علمآء السوء
Celakalah umatku karena ulama (ahli ilmu) yang jahat. (HR. Hakim)
Dua hadis itulah yang menghantarkan penulis untuk membuat artikel
tentang Ulama Teladan Umat, dan mudah-mudahan setelah kita mencermatinya,
kita dapat berlaku lebih arif dan bijaksana.
3
PEMBAHASAN
Di Indonesia hampir semua umat Islam mengenal istilah ulama. Hal ini
karena di Indonesia terdapat ormas Islam yang langsung menamakan dirinya dengan
menyebutkan kata ulama, yaitu Nahdlatul Ulama (NU)4 dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI).5 Namun demikian, belum banyak umat Islam yang mengetahui
siapakah ulama itu, bagaimana ciri-cirinya, apa tugas dan peranannya, dan ulama
manakah yang patut diteladani.
A. Pengertian Ulama, Teladan, dan Umat
A.1. Pengertian Ulama
Istilah “ulama” berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata „ālim yang
berarti kelompok (orang-orang) yang mempunyai pengetahuan (berilmu)
yang jelas tentang sesuatu, baik bidang itu agama atau umum;6 beriman dan
khashyah (takut) kepada Allah.
Adapun pola pembentukan kata ‟ālim ( عال ), secara derivasi
( اشتقاقى تصريف ) berasal dari kata „alima ( علم ).7 Jelasnya adalah sebagai
berikut:
- ال ت علم - اعلم -معلوم - عال -معلما - علما -ي علم - علم
معلم -معلم
Dan dari masing-masing kata tersebut bisa di kembangkan lagi
dengan cara infleksi ( تصريف إعراب ), Sebagai contoh kata „ulama adalah
bentukan kata dari isim fa‟il ‟ālim.8 Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
عالم ا
عالمانا
عالمونا
4
عالمة ا
عالمتانا
عالمات ا
علماء
Istilah "ulama" sejak awal penggunaan kata ini pada dasarnya
merupakan istilah "gender neutral". Dalam bahasa Arab tidak ada padanan
muannats ("perempuan") nya. Artinya, istilah "ulama" bisa mengacu pada
ulama laki-laki ataupun perempuan tanpa harus menambahkan kata "laki-
laki" atau "perempuan" di belakangnya.9
Pengertian ulama akhir-akhir ini muncul menjadi topik
pembicaraan, menyusul isu pendangkalan agama dan krisis ulama. Prof. Dr.
H. Harun Nasution (1919-1998)10
misalnya mengatakan bahwa pengertian
ulama sekarang ini bergeser, terbatas kepada orang yang ahli dalam ilmu
fikih. Padahal dulu yang disebut ulama adalah orang yang ahli ilmu naqli
(ilmu yang berhubungan dengan wahyu) dan ilmu aqli (ilmu hasil usaha akal
manusia, di antaranya ilmu fisika dan ilmu alam). Walaupun begitu menurut
dia, orang yang ilmunya hanya tingkat S-1 (sarjana) tidak dapat disebut
ulama, apalagi yang lebih rendah dari itu.11
Sementara itu, K.H. Zainuddin
MZ (1951-2011)12
berpendapat bahwa ulama itu adalah orang yang betul-
betul memahami agama Islam. Ilmunya diakui umat, akhlaknya jadi panutan
dan perjuangannya menjadi contoh. Dan legitimasi ulama itu berada di
tangan umatnya. Meskipun ada pengkaderan ulama, tapi apabila umat tidak
mengakui, tetap saja tidak dapat dikatakan ulama.13
Dalam pandangan masyarakat yang lazim disebut ulama adalah
kelompok (orang-orang) yang memperdalam penyelidikannya di bidang
agama, sebagaimana firman Allah SwT:
5
Tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu pergi semuanya )ke
medan perang(. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka suatu kelompok yang akan memperdalam
penyelidikan mereka dalam masalah agama, supaya mereka
memberi peringatan kepada kaum mereka apabila telah pulang (dari
berperang) agar mereka itu mawas diri. (QS. at-Taubah [9]: 122)
Kata „ulama, walaupun secara harfiah berlaku bagi sekelompok
orang yang berilmu, namun kata-kata „ālim dan „ulama telah umum terpakai
untuk orang yang ahli dalam agama Islam.
A.2. Pengertian Teladan (Uswah)
Bila kata teladan berarti perbuatan, barang, dan sebagainya yang
patut ditiru/dicontoh. Maka keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru
atau dicontoh.14
Dalam pandangan Charles Schaefer mengemukakan bahwa teladan
atau modeling adalah berhubungan dengan contoh teladan dari orangtua
untuk anak-anak, dengan perbuatan atau tindakan sehari-hari.15
Dalam
bahasa Albert Bandura dan Skinner, teladan adalah proses imitasi (peniruan)
kehidupan nyata untuk terbinanya moral seseorang.16
Pembinaan akhlak melalui keteladanan memang cukup refresentatif
untuk diterapkan dalam pembinaan akhlak umat. Sehingga jika disbanding-
kan dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat simbol verbal, maka teladan
ini jauh lebih efektif (fasih). Demikian ungkapan Nurcholis Madjid antara
lain: “Bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan”. (Lisān -
ul-hāl-i afṣah-u min lisān-i maqāl-i).17
A.3. Pengertian Umat
Para ulama dari abad 2-6 H berbeda pendapat tentang makna umat.
Al-Laith ibn Sa'ad (w. 175 H) mengkaitkan umat dengan kaum nabi-nabi.
Abu Ja'far al-Tabari (w. 310 H) memaknainya sebagai sekelompok manusia
yang terkait pada satu madhhab atau agama. Tapi al-Khalil bin Ahmad al-
Farahidi (w. 175 H) menambahkan terkait dalam arti ingkar atau taat. Hanya
al-Raghib al-Isfahani (w. 502 H) memperluas maknanya tidak hanya terkait
sepenuhnya dengan agama. Umat baginya adalah setiap kumpulan yang
bersatu baik pada satu masalah, satu agama, satu zaman tertentu, ataupun
tempat tertentu, baik itu alami atau direkayasa. Al-Raghib lalu diikuti oleh
pakar bahasa. Dalam tradisi ilmu bahasa Arab "ummah" memiliki sepuluh
makna: asal sesuatu atau tempat rujukan, jama'ah (kumpulan), jalan atau
6
agama, keadaan, orang yang beragama secara benar, tujuan, kerabat,
bangunan, zaman, dan buta huruf.18
Dari perbedaan-pendapat ini, E W Lane, dalam karyanya Arabic-
English Lexicon, meringkas makna umat menjadi dua makna. Pertama,
orang-orang, masyarakat, suku, kaum keluarga/kerabat, atau partai. Kedua,
masyarakat dari agama tertentu, masyarakat yang menerima utusan nabi-
nabi, orang-orang beriman dan tidak beriman. TB Irving seorang professor
Muslim Amerika secara singkat memaknai ummah dengan pengertian
komunitas atau bangsa.19
Dalam al-Qur'an al-Karim terdapat 49 kata ummah yang memiliki
arti: 1. kelompok yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah
kemunkaran (QS. Ali Imrān [3]: 104); 2. agama tauhid (QS. al-Mu'minūn
[23]: 52); 3. kaum (QS. Hūd [11]: 8); 4. waktu; 5. jalan, cara atau gaya
hidup (QS. az-Zukhruf [43]: 22); 6. jin dan manusia (QS. al-Ahqaf [46]: 11,
QS. Fuṣilat [41]: 25); 7. golongan orang yang shaleh dan durhaka (QS. Hūd
[11]: 63); 8. golongan orang-orang mukmin (QS. Hūd [11]: 49); 9.
kelompok binatang dan burung-burung (QS. Hūd [11]: 63); 10. umat yang
moderat (QS. al-Baqarah [2]: 143); 11. seorang pemimpin/ imam (QS. al-
Naḥl [16]: 120); dan 12. umat yang baik (QS. Ali Imrān [3]: 110).20
Kata ummah sebagaimana terdapat pada QS. Ali Imran [3]: 110
berasal dari kata amma yaummu yang berarti jalan dan maksud. Dari asal
kata ini dapat diketahui bahwa umat/masyarakat adalah kumpulan
perorangan yang memiliki keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun
diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan bersama.21
Firman Allah SwT:
Kamu sekalian adalah umat yang terbaik (khairu ummah)22
yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS. Ali
Imrān [3]: 110)
Selanjutnya dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, masyarakat
diartikan sebagai suatu kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama,
waktu, tempat, baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri.23
Murtaḍa Muṭahhari berpendapat bahwa masyarakat adalah
kumpulan dari manusia yang antara satu dan lainnya saling terkait oleh
7
sistem nilai, adat istiadat, ritus-ritus serta hukum-hukum tertentu dan
bersama-sama berada dalam suatu iklim dan bahan makanan yang sama.24
Namun demikian, Murtaḍa Muṭahhari tidak sependapat jika kata
ummah diartikan masyarakat. Menurutnya, istilah ummah sebagai konotasi
masyarakat Islam, tidak dapat diterjemahkan dan harus diterima dalam
bentuk Arabnya yang asli. Ia tidak seperti dengan rakyat, bangsa atau
Negara, ungkapan-ungkapan yang selalu ditentukan entah oleh ras, geografi,
bahasa atau sejarah, serta pertimbangan-pertimbangan geografi lainnya.
Wilayah ummah bukan hanya seluruh bumi, melainkan seluruh alam
semesta. Selain itu, ummah juga tidak terbatas pada ras tertentu. Konsep
ummah bersifat trans-rasial dan menganggap seluruh umat manusia sebagai
anggota-anggotanya yang aktual dan potensial. Ummah juga bukan negara
karena dia adalah negara dunia yang trans-statal, dan dapat mencakup
beberapa atau banyak negara. Demikian pula bagian-bagian dari ummah
juga merupakan ummah, meskipun mereka tidak berada di bawah
kedaulatan politik suatu negara. Bahkan negara Islam sekalipun. Ummah
adalah tata sosial Islam; dan gerakan yang mengupayakannya, atau berusaha
meng-aktualisasikan tujuan-tujuannya, adalah ummatisme.25
B. Ulama (Secara Umum dan Khusus)
Mengenai hadis Nabi saw yang berbunyi:
ة األنبياء )رواه ابن ماجو(إن العلمآء ورث Sesunggunya ulama itu pewaris para Nabi. (HR. Ibnu Majah)
Sebuah hadis yang menimbulkan beberapa pendapat ulama tentang
keshahihannya.26
Tanpa mengurangi, namun dapat dijadikan alasan yang kuat bahwa hadis
di atas ada relevansinya dengan ayat al-Qur‟an berikut ini:
Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami. (QS. Fāṭir [35]: 32)
Dengan adanya pewarisan ilmu kepada ulama, di maksudkan bahwa
Allah telah memilih hamba-hamba-Nya sebagai pewaris dan sebagai manusia
pilihan, seperti kelebihan Nabi dengan manusia lainnya dari umatnya.
8
Ulama mewarisi sifat-sifat para Nabi yaitu ṣiddiq (jujur), amānah
(terpercaya), tabligh (berani menyampaikan, transparant), dan faṭonah
(cerdas).27
Para ulama senantiasa berkata jujur, tegas, dan tidak "controversial".
Berani menyampaikan kebenaran dan memiliki kredibilitas moral yang tinggi
serta tidak mem-bingungkan umat. Jernih pikirannya dan cerdas dalam menye-
lesaikan masalah karena senantiasa dibimbing oleh kebenaran Islam. Sehingga
ulama senantiasa menjadi pemimpin umat dalam kebajikan dan menjadi referensi
(sumber rujukan) dalam setiap permasalahan yang dihadapi.
B.1. Ulama (Secara umum)
Kata ulama dalam al-Qur‟an, terulang hanya dua kali.
Pertama, dalam konteks ajakan al-Qur‟an untuk memperhatikan
turunnya hujan dari langit, beraneka ragamnya buah-buahan, gunung-
gunung, hewan, dan manusia, kemudian diakhiri dengan kata “ulama”.
Sebagaimana firman Allah berikut:
Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari
langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang
beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada
garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan
ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fāthir[35]: 27-28)
Kedua, dalam konteks pembicaraan al-Qur‟an yang kebenaran
kandungannya telah diakui (diketahui) oleh ulama-ulama Bani Israil.
Sebagaimana firman-Nya:
9
Dan sesungguhnya al-Qur‟an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-
kitab orang yang terdahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti
bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahui-nya. (QS.
ash-Shu‟ara [26]: 196-197)
Menurut Sayyid Quṭub, bahwa yang dimaksud ulama Bani Israil
dalam ayat tersebut ialah Salman al-Farisi dan Abdullah bin Salam.28
Dari ayat-ayat tersebut dapat difahami, bahwa yang dimaksud
“ulama” ialah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat
Allah, baik yang bersifat Kauniyah dan atau Qur‟aniyah.
Ayat ke- 28 dari Surat Fāṭir [35] seperti yang telah disebutkan,
membatasi bahwa orang yang takut kepada Allah itu hanyalah ulama, dari
disiplin ilmu apapun yang ditekuni. Dan dengan ayat ini pula dapat
diketahui adanya garis pemisah antara sarjana, cendikiawan, dengan ulama.
B.2. Ulama (Secara tertentu)
Seperti yang telah dikemukakan, bahwa ayat al-Qur‟an yang
langsung menyebut kata “ulama” hanya dua kali, yaitu pada (QS. Fāṭir [35]:
28) dan (QS. ash-Shu‟ara [26]: 197). Kalau pada (QS. 35: 28) diartikan
ulama bidang umum, pada (QS. 26: 197) tertentu pada para ulama Bani
Israil yang mengetahui kebenaran kandungan al-Qur‟an (Qur‟aniyah).
Pengakuan ulama-ulama Bani Israil yang telah mendapatinya
melalui kitab mereka sejalan dengan yang dinyatakan al-Qur‟an, ketika Isa
putra Maryam berkata:
Dan, ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan
kitab (yang turun) sebelum ku, yaitu Taurat dan memberi kabar
gembira dengan datangnya seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad). Maka tatkala rasul
10
itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata,
mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. aṣ-Ṣaff [61]: 6)
Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, bahwa sesungguhnya ulama
Bani Israil mendapatinya dalam kitab-kitab mereka tentang sifat-sifat Nabi
Muhammad saw, baik tempat ia lahir maupun keadaan umatnya. Di antara
ulama-ulama yang telah mengetahuinya itu ialah Salman al-Farisi dan
Abdullah bin Salam.29
Al-Ṭabaṭaba‟i lebih jelas dalam tafsirnya mengatakan bahwa
„Ulama Bani Israil itu telah mengetahui pemberitaan mengenai Nabi
Muhammad saw, dengan jalan pemberitaan yang menggembirakan, melalui
kitab Nabi-Nabi terdahulu tentang kebenaran Nabi Muhammd saw.30
Di kemukakan dalam al-Qur‟an Surat al-Baqarah [2]: 89.
Dan setelah datang kepada mereka al-Qur‟an dari Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka (maksudnya: kedatangan
Nabi Muhammad saw yang tersebut dalam Taurat dimana
diterangkan sifat-sifatnya), padahal sebelumnya mereka biasa
memohon kedatangan Nabi untuk mendapat kemenangan atas
orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang
telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allah atas orang-orang yang ingkar itu. (QS. al-Baqarah [2]: 89)
Dari penafsiran ayat pada (QS. ash-Shu‟ara [26]: 197), kemudian
lebih dijelaskan dalam (QS. al-Baqarah [2]: 89), maka dapat dipahami
bahwa pengertian “ulama” pada pengertian tertentu ini ialah mereka yang
telah mengetahui kitab-kitab samawiyah.
C. Existensi ‘Ulama khushu’ dan ‘Ulama sū
Dalam perjalanan peradaban Islam pasca wafatnya Rasulullah saw (w. 11
H./ 632 M.),31
ulama selalu tampil di garis terdepan menyampaikan nilai-nilai
Islam kepada umat manusia. Mereka memimpin manusia dalam kebenaran dan
cahaya Islam. Ulama senantiasa memberikan contoh teladan yang terbaik dalam
perkataan dan perbuatan. Barisan para ulama tak henti-hentinya menerangi jalan
kebenaran kepada umat manusia. Mulai dari masa sahabat, tabi’in,32
tabi’ut
tabi’in33
dan generasi berikutnya sampai sekarang. Di antara mereka banyak yang
gugur dalam melaksanakan risalahnya, menyebarkan Islam ke tengah
11
masyarakat. Maka dikenalah dalam sejarah riwayat hidup para ṣahabat, tabi‟in,
tabi‟ut tabi‟in, dan para „ulama ṣalih lainnya.
Dikatakan: Ada lima budi pekerti yang menjadi ciri khas ulama akhirat,
kelima budi pekerti itu dipahami berdasarkan ayat al-Qur'an, yaitu:
1. Punya rasa takut kepada Allah di mana saja ia berada (QS. Fāṭir [35]: 28)
2. Khushu‟ dalam segala tingkah laku (QS. Ali Imrān [3]: 199)
3. Tawaḍu, merendahkan diri di hadapan Allah maupun di hadapan makhluk-
Nya, tidak punya rasa takabur dan menyombongkan diri (QS. al-Hijr [15]:88)
4. Bagus akhlaknya terhadap Allah maupun terhadap makhluk-Nya (QS. Ali
Imrān [3]: 159)
5. Memilih akhirat daripada dunia sebagai tempat kembalinya yang abadi. Oleh
karena itu, ia tidak banyak mencurahkan hidupnya untuk mencari
kesenangan dunia semata, sebab harta dunia suatu saat akan ditinggalkannya
(QS. al-Qaṣaṣ [28]: 80).34
Namun demikian, dunia adalah tempat ujian dan cobaan. Banyak ulama
yang sukses dalam menghadapi ujian dunia dengan segala daya tariknya sehingga
mereka tetap istiqomah dalam kebenaran. Mereka-lah pelita dunia yang selalu
menerangi manusia dengan kebenaran. Sedangkan di sisi lain, tidak sedikit ulama
yang jatuh dan kalah terhadap ujian dan godaan dunia dengan segala pesonanya.
Ulama seperti ini dalam terminologi Islam disebut ‘Ulama Sū (ulama jahat). Ciri
khas mereka yang utama adalah mencintai dan mengutamakan dunia (hubb al-
dunya). Akibatnya mereka tidak dapat berkata benar dalam mengeluarkan
pernyataan dan fatwanya, karena hukum Allah senantiasa bertentangan dan
bertolak belakang dengan syahwat manusia dan kecintaan mereka terhadap
dunia, seperti kecintaan terhadap harta, kekuasaan, wanita, dll.
Ulama jahat akan senantiasa melakukan bid’ah untuk membenarkan
kejahatannya. Maka berkumpulah kepada mereka sifat buruk, mengikuti hawa
nafsu yang mematikan mata hatinya, sehingga tidak dapat membedakan antara
yang haq (benar) dan yang baṭil (salah). Mereka pandai bersilat lidah, bahkan
memutar balikan antara yang haq dan yang baṭil, sehingga melihat yang haq itu
baṭil dan melihat yang baṭil itu haq. Demikianlah kejahatan ulama jika sudah
lebih mencintai dunia (materialistis), shahwat, dan hawa nafsu dari akhirat.
Rasulullah saw bersabda:
عت رسول اهلل عن عبد ي قول: إن صلى اهلل عليو وسلم اهلل بن عمرو بن العاص ي قول: سرك اهلل ال ي قبض العلم انتزاعا ي نتزعو من الناس ولكن ي قبض العلم بقبض العلمآء إذا ل ي ت
الما اتذ الناس رءوسا جهاال فسئلوا فأف ت وا بغي علم فضلوا وأضلوا )رواه مسلم(ع
12
Dari „Abdullah bin „Amru bin „Ash katanya ia mendengar Rasulullah
saw bersabda: Allah tidak akan menghapus ilmu (agama) dengan cara
mencabutnya dari dada seluruh manusia, tetapi dengan jalan mewafatkan
para ulama. Apabila ulama telah habis, umat manusia mengangkat orang-
orang bodoh menjadi pemimpin mereka. Lalu mereka bertanya kepada
para pemimpin yang bodoh itu. Si pemimpin memberi fatwa tanpa
pengetahuan, menyesatkan orang banyak, maka sesatlah mereka
semuanya. (HR. Muslim)
Allah menganugerahkan ilmu kepada manusia mempunyai tujuan sakral
yang mesti diperhatikan dan di agungkan. Karena manifestasi ilmu dapat
membawa pemiliknya ke taraf yang tinggi di sisi Allah SwT. Dan kita harus
mengetahui, ilmu yang bagaimana yang dapat mengangkat derajat pemiliknya
sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur‟an Surat al-Mujādalah [58] ayat
11:
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang berilmu beberapa derajat
Kiranya kita sepakat bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam ayat tersebut
adalah ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun
orang lain.
Seorang muslim yang berilmu dituntut untuk menerangi orang lain.
Menuntun manusia agar bisa berjalan merambahi dunia ini dengan sinar ilmunya
dan manusia bisa hidup sejahtera karena bimbingannya. Dan sebaliknya,
kesesatan akan tiba bila orang yang berilmu sudah tidak mampu memberikan
penerangan kepada orang banyak. Atau kalaupun bisa memberikan fatwa, itu
hanyalah fatwa yang mengharapkan keuntungan pribadi semata.
Dengan demikian, suatu tantangan juga bagi orang yang berilmu (baca:
ulama) dalam mencari ilmu yang benar-benar dapat menerangi umat dan
membawa mereka pada jalan yang benar, dan kehidupan yang diridhai Allah
SwT.
Rasulullah saw telah memberikan gambaran tentang ilmu yang mesti
dimiliki. Dalam sabdanya:
1). Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
ل اهلل لو طري قا إل النة من سلك طري قا ي لتمس فيو علما سه
13
Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah
akan mempermudah jalan baginya menuju surga.35
2). Diriwayatkan dari Abu Darda ra., ia berkata: Aku pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda:
م ن س لك طري ق ا ي بتغ في و علم ا س لك اهلل ل و طري ق ا إل الن ة وإن الم ك ة لتض ال ليست غفر ل و م ن الس مواو وم ن األر أجنحت ها رضاء لطالب العلم وإن الع
حت احليتان الماء وفضل العال على العابد كفضل القم ر عل ى س ا ر الكواك ب إن ا ورث وا العل م فم ن أ ذ العلم اء ورث ة األنبي اء إن األنبي اء ل ا إا ر ي ن ارا وال ي ورث وا
وافر بو أ ذ بظ
Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
mempermudah jalan baginya ke surga. Sesungguhnya para malaikat
membentangkan sayap mereka sebagai tanda ridha kepada orang-
orang yang menuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan
ampun untuknya oleh semua yang ada di langit dan semua yang ada
di bumi, bahkan hiu yang ada di lautan sekali pun. Orang alim itu
lebih utama daripada ahli ibadah, ibarat bulan dibandingkan bintang-
bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak
pernah mewariskan Dinar dan Dirham, mereka hanya mewariskan
ilmu, jadi orang yang mengambilnya berarti telah mengambil sesuatu
yang banyak lagi mencukupi.36
3). Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:
من رج طلب العلم ف هو سبيل اهلل حت ي رج Barangsiapa keluar demi menuntut ilmu, maka ia berada di jalan
Allah hingga pulang kembali.37
4). Diriwayatkan dari Mu‟awiyah bin Abi Sufyan ra., ia berkata: Aku pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda:
را ي فقهو ف الدين من ير اهلل بو ي
14
Barangsiapa dikehendaki oleh Allah ada kebaikan baginya, niscaya
Allah memberinya pemahaman tentang agama.38
5). Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
كل مسلم طلب العلم فريضة على
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.39
نو وب ي األنبياء ف ال ة ن من جاء الموو وىو يطلب العلم ليحي بو اإلس م كان ب ي رجة واحدة )رواه الطرباىن والدارمى(
Barangsiapa didatangi kematian pada saat dia sedang mencari ilmu,
yang dengan ilmu itu dia hendak menghidupkan Islam, maka antara
dia dan para Nabi hanya ada satu derajat di surga. (HR. At-Ṭabrani
dan Darimi)
Perlu diperhatikan bahwa dorongan-dorongan dan anjuran-anjuran
agama untuk menuntut dan mengolah ilmu telah mendapatkan sambutan yang
antusiasme yang begitu dahsyat dari putra putri terbaik umat, hampir di seluruh
bidang ilmu yang bisa di jamah dan di expklorasi, baik ilmu alam maupun ilmu-
ilmu sosial, tanpa ada dikotomi antara ilmu-ilmu tersebut.
Sebagai pewaris dan pelanjut risalah dakwah Nabi Muhammad saw
sudah sepatutnya para ulama melaksanakan amar ma‟rūf nahi munkar dengan
tetap bertawakal kepada Allah.
Para ulama adalah pewaris para Nabi. Tidak ada martabat yang lebih
tinggi dari martabat kenabian, dan tidak ada derajat yang lebih mulia dari derajat
para pewaris kenabian. Sedangkan besarnya tanggung jawab sesuai dengan
besarnya kedudukan.
Seorang yang benar-benar „ālim tidak mungkin dikuasai oleh tipuan dan
tidak akan diperbudak oleh kesombongan (membanggakan diri), sebab ia tahu
persis dan yakin sekali bahwa dunia keilmuan adalah ibarat lautan yang amat luas
tidak terbatas, dan tak ada seorangpun yang akan mencapai dasarnya. Maka
Maha Benar Allah yang telah berfirman:
Dan tidaklah kamu sekalian diberi ilmu kecuali hanya sedikit (QS. al-Isra
[17]: 85)
15
Dan di atas tiap-tiap orang yang berilmu, ada yang lebih 'ālim (QS.
Yūsuf [12]:76)
Dan seorang „ālim tahu bahwa kafilah-kafilah ilmu dan para ulama
merupakan serentetan mata rantai yang sangat panjang, selalu terikat dengan
masa yang telah lampau dan berhubungan erat dengan masa sekarang, bahkan
terus mengestafet (menyambung) dengan masa yang akan datang. Oleh karena
itu ia hanyalah merupakan salah satu dari sekian rangkaian tersebut. Maka
tidaklah pantas baginya untuk menutupi (tidak menganggap) kelebihan orang-
orang yang mendahuluinya dan menganggap sepi usaha-usaha yang dilakukan
oleh orang-orang yang tampil setelah dirinya.
Rasulullah saw bersabda:
زه إهان و وأم ا المر من ف يح من ا وال مر ركا فأم ا الم رك ف يقم و إىن ال أتوف على أم ت مس ان ي ق ول م ا ت عرف ون وي عم ل م ا ت نك رون )رواه كفره ولك ن أت وف عل يهم منافق ا عام ل الل
الطرباىن(Aku tidak takut atas umatku dari orang mu‟min ataupun orang kafir,
karena yang beriman akan di tegur oleh imannya dan yang kafir akan
diingatkan oleh kekufurannya. Tetapi yang aku takuti adalah orang
munafiq yang pandai bersilat lidah, ia mengatakan apa yang kamu
ketahui, tetapi dia berbuat apa yang kamu benci. (HR. Ṭabrani)
Rasulullah saw bersabda:
ويل ألمت من علمآء السوء
Celakalah umatku karena ulama yang jahat. (HR. Hakim)
Para ulama tidak sepatutnya hanya pandai ceramah (NATO: No Action
Talk Only), bertausiah pada orang banyak, mengajak bersuluk Islami, atau
merasa cukup dengan hanya melaksanakan ibadah-ibadah ritual saja tanpa
menghiraukan apa yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Mereka seharusnya
peduli dengan lingkungannya dan tetap konsekwen (istiqomah) dengan ajaran
Islam.
Bila ulama mengajarkan untuk berakhlak baik, jujur, tawaḍu‟, rendah
hati, istiqomah, patuh dan taat, sementara di luar majelis ia lupa predikat dirinya
16
sebagai obor masyarakat, berbuat yang tidak Islami, bertingkah kekanak-
kanakan, senang bergurau, lalai akan tugas-tugas dari Allah, berperilaku bobrok,
khianat, angkuh, besar kepala, cepat goyah dan pembangkang, maka ulama
demikian bukanlah tipe ulama yang diharapkan al-Islam.
Nabi saw bersabda:
بطن و ف ي دور كم ا ي دور ا حلم ار ف ي وتى بالرج ل ي وم القيام ة ف ي لق ى ف الن ار ف ت ن دلب اق ت اتم علي و أى ل الن ار ف ي قول ون ي ا ف ن م ا ل ك أل تك ن ت أمر ب المعروف وت نه ى الرح ى ف ي)رواه ع ن المنك ر ف ي ق ول: ب ل كن ت أم ر ب المعروف وال أتي و وأ ى ع ن المنك ر وأتي و
البخارى ومسلم(
Akan didatangkan pada hari qiamat seseorang, lalu dia dicampakkan
kedalam api Jahannam, maka berhamburanlah isi perutnya dan dia
berputar-putar sebagaimana keledai berputar-putar pada gilingan. Maka
datanglah penghuni-penghuni Jahannam dan bertanya kepadanya: Hai
Fulan, apakah yang telah terjadi atas dirimu? Bukankah kamu dahulu
menyuruh yang baik dan mencegah yang munkar? Dia menjawab:
Memang aku dahulu menyuruh yang baik tetapi aku sendiri tidak
melaksanakan kebaikan itu, dan aku menyuruh mencegah yang munkar
tetapi aku sendiri melakukannya. (HR. Bukhari - Muslim)
D. Ulama Teladan Umat
Ulama adalah pewaris Nabi dan Nabi diutus dengan membawa petunjuk
(al-huda) dan agama yang benar (dien al-haq). Nabi pun diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia dan menjadi suri teladan yang baik (uswah al-
hasanah).40
Ulama itu pewaris para Nabi dan Nabi diutus sebagai rahmat bagi
semesta alam. Pada segi yang lain, ulama bertugas menyampaikan risalah yang
dibawa Nabi kepada umatnya agar menjadi petunjuk guna mencapai kebahagiaan
hidup di dunia ini dan di akhirat kelak. Oleh karena itu, ulama harus menjadi
teladan (panutan) umat. Semakin banyak ulama semakin terang pula dunia ini,
semakin jelas pemisahan antara yang haq dengan yang baṭil.
Di antara Imam yang empat, yaitu Imam Malik bin Anas, mengatakan:
و ان م ز اج ر س اء م ل ع ل ا Ulama itu adalah pelita dari zamannya.
41
17
Ulama membawa terang bagi alam yang berada di sekelilingnya. Kalau
70 tahun lalu lampu yang di kelilingnya baru lampu minyak tanah, maka ulama
adalah patromaks. Di zaman sekarang, lampu-lampu listrik banyak ukuran 100
watt, ulama hendaklah 1.000 watt.
Nabi saw pernah menerangkan tentang “terang” atau “nūr” itu. Ada Nūr
itu yang ditegakkan di Mekkah, cahayanya ke Selatan sampai ke Yaman dan ke
Utara sampak Irak. Bahkan, ada yang tadinya cahayanya cemerlang, bercahaya
jauh sekali, tetapi kian lama kian susut dan akhirnya hilang, laksana lampu
kehabisan minyak.
Rasulullah saw bersabda:
ي هتدى با ظلماو الب ر والبحر فإذا ء آم الس م و الن ل ث م ك ر أل ا اء م ل ع ال ل ث م ن إ وم أوشك أن تض انطمست ل اهلداة الن
Perumpamaan ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit
yang memberi petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia
terbenam maka jalan akan kabur. (HR. Imam Ahmad)
Tugas ulama sebenarnya hanya sekedar menyampaikan ajaran yang
dibawa Nabi saw (al-Qur‟an dan as-Sunnah),42
tidak bertugas membuat ajaran
baru, karena telah cukup apa yang terdapat dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah
sebagai petunjuk. Sabda Nabi saw:
اهلل وسنة رسولو ت ركت فيكم امرين لن تض ل ابدا ما ان تسكتم بما كتاAku tinggalkan kepadamu dua perkara, selamanya kamu tidak akan
tersesat bila tetap berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. al-Hakim)
Ulama panutan (bukan manutan) umat adalah tempat orang bertanya43
dan sebagai kelompok yang paling takut kepada Allah atas murka-Nya44
karena
mengatakan perkara yang tidak diperbuatnya.45
Rasa takut kepada Allah ini pula
yang membedakan jenjang dan derajat (maqam) ulama di hadapan Allah SwT.
Peran dan tugas para ulama dengan "ilmu syari'atnya" sangat sentral dalam
menerangi jalan hidup manusia. Sebab, mereka diwasiatkan Rasulullah saw
menjalankan peran dan tugas warisan para Nabi dalam keteladanan. Pada saat
mereka menjalankan peran tersebut, Allah akan tundukkan alam semesta dan
isinya berdasarkan ilmu dan keyakinan yang dimiliki para ulama, seperti Nabi
Musa yang menaklukkan Fir'aun, Nabi Daud yang menaklukkan Jalut, Nabi
Sulaiman yang menaklukkan angin, jin, dan hewan.
Rasulullah saw bersabda:
18
إن الع ال ليس ت غفر ل و م ن الس مواو وم ن األر ح ت احليت ان الم اء وفض ل العال على العابد كفضل القمر على سا ر الكواكب إن العلماء ورثة األنبياء
Seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di
dalam air, semuanya beristigfar untuk para ulama. Sesungguhnya,
kedudukan orang alim sama dengan mulianya bulan di tengah-tengah
bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi. (HR. Abu
Dawud dan Tirmidhi)
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa ketika menafsir-kan kata ulil amri
dalam surah an-Nisa ayat 59 menjelaskan bahwa ulil amri itu ada dua golongan,
ulama dan umara, yang keduanya harus ditaati. Lebih jauh, Ibnu Qayim dalam
kitabnya I'lamul Muwaqqi'in menjelaskan, para umara ditaati perintahnya
berdasarkan ilmu para ulama.46
Jadi, menaati umara berarti menaati ulama,
ketaatan terhadap sebuah perintah hanya dalam hal yang makruf dan berdasarkan
ilmu, sebagaimana menaati ulama karena ketaatan kepada Rasul maka menaati
umara karena menaati ulama. Begitu pentingnya tugas dan peran ulama di tengah
umat dalam memberikan peringatan kepada umatnya.
Oleh karena itu, ulama harus mengimani dan meng-amalkan al-Islam
sebelum ia mendakwahkannya. Ulama harus memberikan contoh akhlak (khas)
Islam yang baik seperti: berpakaian rapi, menghargai hasil kerja yang baik,
datang tepat waktu, hidup sederhana, tata krama/santun berbicara, makan/minum
dengan tangan kanan, membaca basmallah dan hamdalah, mengucapkan salam,
mendoakan orang yang bersin, masuk ke kamar mandi dengan kaki kiri dan ke
luar dengan kaki kanan, masuk ke masjid dengan kaki kanan dan ke luar dengan
kaki kiri, berdoa ketika ke luar rumah dan sebagainya. Sehingga, selain
mendapatkan penjelasan agama, umat pun mendapatkan figur teladan sebagai
ikutan dan percontohan.
Secara lebih rinci K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi
memberikan beberapa contoh akhlak Islam/ kesopanan (uswah yang layak untuk
diteladani) mulai dari cara berpakaian, berkendaraan, bertamu, menerima tamu,
meminjam barang, dan sebagainya.47
1. Sopan santun berpakaian
Pakaian yang sopan tidak mesti mewah, cukup yang sederhana, meski
bukan berarti tidak boleh berpakaian yang bagus. Dalam berpakaian, yang
penting adalah rapih dan bersih sesuai dengan situasi dan kondisinya. Jangan
berpakaian asal tidak najis, sehingga tidak memperhatikan kerapihan.
Dalam berpakaian, perlu diperhatikan kombinasi nya, letaknya,
tempatnya, dan kebersihannya, sebagai contoh saja, baju kaos dan celana
19
pendek, kapan pantas dipakai? Pakaian tersebut hanya untuk pakaian dalam,
dan di dalam kamar. Kain sarung, pantolan, jas dan kopiah, bagaimana cara
memakaianya? Intinya harus disesuaikan dengan keadaan. Umpamanya
janganlah memakai sarung dan piama tatkala ke kantor, atau pakai bakiak ke
super market, jangan pula memakai dasi sedang baju dikeluarkan.
2. Sopan santun bepergian/ berkendaraan
Hal yang harus diingat ketika bepergian yaitu, berjalanlah yang lurus,
tidak menengok kiri-kanan dengan pandangan liar. Di jalan besar, berjalanlah
di sebelah kiri. Jangan menunjuk-nunjuk kepada sesuatu, cukup dengan
isyarat. Karena kalau bertepatan mengenai orang yang tak suka ditunjuk dapat
menjadi perkara.
Di dalam kendaraan, duduk harus sopan, tanyakan terlebih dahulu
kepada penumpang yang ada, apakah tempat duduk disebelahnya masih
kosong. Terhadap penumpang yang lebih tua atau wanita, tolong untuk
mengangkatkan barang-barang sekiranya perlu, asal tidak ada udang di balik
batu. Kalau terpaksa tertidur di dalam kendaraan, tutuplah muka dengan sapu
tangan. Begitu pula ketika masuk hotel atau restoran, berlakulah secara sopan,
jangan memerintah semau-maunya.
3. Sopan santun dalam majelis
Dalam majelis ada juga tata kramanya. Duduklah secara sopan.
Janganlah menggoyang-goyangkan kursi atau bersandar seenaknya. Jangan
sekali-sekali meletakkan satu kaki di atas kaki yang lain, itu tidak sopan.
Apalagi dihadapan orang yang lebih tua atau orang yang lebih tinggi
kedudukannya. Tundukkan muka sedikit, pasang telinga ketika mendengarkan
pembicaraan orang lain. Kalau memang tepat untuk menyambut, jangan
memborong pembicaraan, jangan pula menonjol-nonjolkan pembicaraan
ketika orang lain belum selesai bicara. Tapi kalau tidak mengerti, tidak tahu
permasalahannya, lebih baik diam.
Tidak sopan di dalam majelis melakukan hal-hal, seperti
membersihkan kaki, telinga, mata, mengorek hidung, membuang ingus,
meludah. Tidak sopan pula, menguap dengan mulut terbuka luas, bersendawa
dengan dipaksa-paksa, menggeliat, menunjuk-nunjuk, dan yang lebih tidak
sopan lagi adalah membuang angin (lebih-lebih bersuara). Di hadapan orang
yang lebih tua sebaiknya tidak merokok. Kalau terpaksa merokok, buanglah
abu rokok pada tempatnya, tidak sopan membuang sembarangan.
Termasuk tercela menanyakan tingkat pangkat atau gaji seseorang
atau menanyakan harga pakaian yang sedang dipakainya. Jika terpaksa
memakai kata-kata asing harus tepat benar, baik ucapannya maupun
pemakaiannya. Kalau tidak yakin, jangan pakai ucapan kata asing. Kesalahan
menunjukkan kedangkalan pengetahuan. Dalam mem-bantah atau tidak
20
menyetujui pembicaraan orang lain, harus lebih hati-hati dan sopan, dan
dengan kata-kata yang lebih halus, umpamanya: “Kalau tidak salah …”,
“Menurut pendapat saya …”, dan sebagainya.
4. Sopan santun terhadap tamu
Dalam menerima tamu harus dengan cara yang ramah, manis muka
dan (kalau ada) berikan suguhan ala kadarnya. Di dalam percakapan baik
kiranya untuk menanyakan atau memberitakan tentang kesehatan, kejadian-
kejadian yang lalu, dan lain-lain. Tapi janganlah sekali-sekali menanyakan:
“Di mana saudara nanti bermalam…?”, “Akan ke mana sesudah di sini…?”
atau “Apa maksud saudara datang ini …?”
Bila tamu minta izin untuk pulang, perlu dinyatakan perasaan sayang
dan menyesal atas pertemuan yang begitu singkat. Antarkan tamu ke muka
pintu dan kemukakan pengharapan atas kedatangannya di hari-hari yang akan
datang.
Tatkala menjadi tamu, kalau tidak diterima atau sepertinya terasa
tidak diterima dengan baik, tinggalkanlah rumah itu cepat-cepat dengan tanpa
menunjukkan kekecewaan. Sebaliknya kalau sudah diterima dengan baik,
janganlah berbuat di rumah itu dengan seenaknya, sekalipun sudah dikatakan
oleh tuan rumah, anggaplah rumah ini sebagai rumah sendiri. Di rumah orang
jangan pula berbuat sembarangan dan ingin tahu segalanya. Itu tidak baik.
5. Sopan santun bertamu
Bagaimana sopan santun berkunjung? Tatkala memperkenalkan diri
umpamanya, berjabatan tanganlah sekadarnya. Kepada orang yang lebih tua,
tundukkan badan.
Untuk memberikan selamat, tunjukkan bahwa kita pun turut
bergembira, dan nyatakan ucapan selamat atas nikmat yang diperolehnya.
Sebaliknya dalam menjenguk orang sakit, hiburlah dan berilah pengharapan
serta semoga lekas sembuh. Ketika (ta’ziyah) kematian, nyatakan ikut
bersedih atas musibah itu, tenangkan dan sabarkanlah keluarga yang
ditinggalkan.
6. Sopan santun meminjam barang
Kalau meminjam sesuatu, janganlah dipinjamkan lagi kepada orang
lain. Pinjaman harus dikembalikan dalam keadaan baik, bila rusak atau hilang,
harus diganti dan juga minta maaf. Jangan lupa ucapan terima kasih atas
pertolongan yang telah diberikannya.
Jangan sekali-sekali mencari-cari rahasia orang lain. Termasuk dalam
hal ini, mengambil sesuatu tanpa pengetahuan si empunya, membaca-baca
buku atau HP-nya, melihat-lihat isi sakunya.
21
Demikian beberapa contoh akhlak Islam/sopan santun yang
selayaknya diketahui dan dipraktekkan, masih banyak sebenarnya masalah
kesopansantunan, termasuk dalam hal-hal yang tampak sederhana dalam
pergaulan, umpamanya bagaimana cara berkirim surat, menulis surat, tata
krama meletakkan prangko, membalas surat dan lain sebagainya.
Di dalam Islam, akhlak bukanlah kumpulan teori filsafat yang sulit
untuk dipahami dan diamalkan. Akhlak bukan pula untuk diwacanakan, tetapi
untuk dipraktekkan. Barometer yang bisa dijadikan contoh pun telah ada,
yaitu Rasulullah saw.
Dalam status apapun, seorang Muslim harus melaksanakan akhlak
Islam dengan benar. Baik sebagai guru, murid, orangtua maupun anak. Ia
merupakan bukti keberagamaan seorang Muslim. Karena, iman tanpa amal
shaleh (akhlak) tidak akan berarti apa-apa. Manusia yang baik dan bermanfaat
adalah yang berakhlak mulia, ilmu biarpun tinggi tetapi bila budi pekerti dan
akhaknya buruk, pudarlah cahaya ilmu yang dimiliki.
Ada suatu ungkapan yang mengatakan bahwa Negara yang baik
berasal dari masyarakat yang baik, masyarakat yang baik berasal dari
keluarga-keluarga yang baik, dan keluarga yang baik berasal dari pribadi-
pribadi yang berprilaku baik. Ini artinya bila keadaan yang makro ingin baik
harus di awali dengan memperbaiki yang mikro lebih dahulu. Sebagaimana
sabda Nabi Muhammad saw:
)رواه مسلم والنساء والبيهقى(ابدأ بن فسك
Mulailah dari dirimu sendiri (Mulailah dari yang terkecil dan
Mulailah dari sekarang). (HR. Muslim, Nasā‟i, Baihaqi)48
Dengan demikian, perubahan-perubahan yang akan terjadi
membutuhkan waktu yang lama dan bertahap.
PENUTUP
Para ulama namanya harum insha Allah, mulia dan terhormat di sisi Allah
SwT sekaligus di mata manusia. Barometer (ukuran) para ulama adalah al-Qur‟an
dan as-Sunnah. Karena itu, bila ada keganjilan (kelainan) pada siapa saja yang
mendapat gelar ulama, hemat penulis hendaknya mengundurkan diri saja! Sebab
ulama yang memiliki kelainan (ulama jahat) adalah sumber keburukan dan
malapetaka.
Demikianlah pembahasan makalah ini, semoga tidak sia-sia usaha-usaha
yang telah, sedang, dan akan kita lakukan dan mudah-mudahan Allah SwT.
meriḍainya. Āmīn.
22
DAFTAR PUSTAKA
Adlani, A. Nazri, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, diterbitkan oleh
MUI, 1997
Albani, Muhammad Nashiruddin al-. Irwaul Gholil Fī Takhrīj Ahāditsi Manaris
Sabīl. Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1979, Juz 3
As'ad, Mahrus. "Pembaharuan Pendidikan Nahdlatul Ulama", Disertasi Doktor
Pengkajian Islam SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
Azra, Azyumardi. Biografi Sosial-Intelektual Ulama Perempuan Pemberdayaan
Historiografi dalam Ulama Perempuan Indonesia/ Jajat Burhanudin
(editor). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002
Baijuri, Syekh Ibrahim al-. As-Sanusiyah. T.tp: Menara Kudus, t.th
Djahiri, A. Kosasih. Menelusuri Dunia Afektif (Pendidikan Nilai dan Moral).
Bandung: Laboratorium IKIP, 1996
Fadjar, A. Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, Ahmad Barizi
(ed.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
Ghazali, Abu Hamid al-. Ihya ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz I
Hadariansyah, "KH. Hasan Basri (1920-1998) Kajian Biografi Tokoh Majelis Ulama
Indonesia", Disertasi Doktor Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2001
HD, Kaelany. Gontor dan Kemandirian (Pondok, Santri, dan Alumni). Jakarta: PT.
Bina Utama Publishing, 2002, cet. II.
HS, Moh. Matsna. Karakteristik dan Problematika Pengajaran Bahasa Arab di
Madrasah Tsanawiyah. Makalah disampaikan pada Penataran Guru Bidang
Studi Bahasa Arab Madrasah Tsanawiyah di Ciloto Jawa Barat, 16-17 November
2000
Irsyam, Mahrus. Ulama dan Partai Politik Upaya Mengatasi Kritis. Jakarta:
Yayasan Perkhidmatan, 1984
Kauma, Fuad. Noda-Noda Ulama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002
"Legitimasi Ulama di Tangan Umat", Panji Masyarakat No. 666, 21-30 November
1990
Madjid, Nurcholis. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997
Ma‟shum bin Ali, Syekh Muhammad. Al-Amthilah al-Taṣrifiyah. Semarang: Pustaka
al-Alawiyah, t.th
23
Nurhidayat Muh. Said. Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia: Studi Pemikiran
Harun Nasution. Jakarta: Pustaka Mapan, 2006
Muṭahhari, Murtaḍa. Masyarakat dan Sejarah (terjemah) M. Hashem dari judul asli
Society and History. Bandung: Mizan, 1986
Nasir, Bachtiar. "Tugas dan Peranan Ulama", Konsultasi Agama, Republika,
(Jakarta), 17 Februari 2012
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001, Cet. II
-------. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir al-Āyāt al-Tarbawiy). Jakarta: Rajawali
Pers, 2009, Ed. 1
"Pengertian Ulama yang Bergeser", Panji Masyarakat No. 666, 21-30 November
1990
Qardlawi, Yusuf al-. Anatomi Masyarakat Islam (terjemah) Setiawan Budi Utomo,
dari judul asli Malamih al-Mujtama' al-Muslim alladhi Nashduhu. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1999.
Qurasy, Abū al-Fidā Ismāil Ibn Katsīr al-. Tafsīr al-Qur’an al-Aẓim III
Quṭub, Sayyid. Fi Zhilāl al-Qur’an IV
Schaefer, Charles. How to Influence Children (Bagaimana Membimbing, Mendidik
dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif) Alih Bahasa: Turman Sirait.
Jakarta: Restu Agung, 1997
Segaf, Husein, dkk. Ulama dan Pembangunan. Jakarta: Panitia Munas I MUI, 1976
Suma, M. Amin. Lima Pilar Islam. Jakarta: Kholam Publishing, 2007
Syari'ati, Ali. Tentang Sosiologi Islam. Jakarta: Ananda, 1982
Ṭabāṭabā‟i, Muhammad Husein al-. Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur’an XV
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. IX.
Zarkasyi, Hamid Fahmy, "Umat", Islamia Jurnal Pemikiran Islam, Republika,
(Jakarta), 19 April 2012.
24
ENDNOTES
1Maddais, S.Pd.I., MA. NIK/NIDN. 510209203/2107057901 adalah Dosen Tetap
Sejarah Pendidikan Islam STIT YA‟MAL Tangerang dan Mahasiswa S-3 SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Pendidikan Islam, pernah menjadi Ketua STIT YA‟MAL
Tangerang Periode 12 Juni 2010 – 25 Juli 2012. 2Fuad Kauma, Noda-Noda Ulama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), iv.
3A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, Ahmad Barizi
(ed.) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 122. 4Nahdlatul Ulama (NU), pada waktu kelahirannya ditulis dengan ejaan lama –
Nahdlatoel Oelama– yang disingkat N.O., didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 oleh
kalangan ulama penganut madhhab yang seringkali menyebut dirinya sebagai golongan
ahlussunah wal jama'ah. Terdapat dua alasan pokok yang melandasi kesepakatan para ulama
tersebut untuk mendirikan organisasi NU itu. Pertama, timbulnya keperluan yang mendesak
bagi kaum penganut madhhab untuk melembagakan persatuan di antara mereka guna
menghadapi pesatnya perkembangan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia khususnya di
pulau Jawa terutama yang dilancarkan oleh Muhammadiyah. Gerakan pembaharuan yang
lain dilakukan oleh Persis dan Al-Irsyad, namun intensitas gerakan Muhammadiyah lebih
sering menimbulkan perbenturan dengan kaum ahlussunah wal jama'ah tersebut. Kedua,
timbulnya keperluan yang mendesak untuk mengadakan audiensi guna menyampaikan
resolusi dari kaum ahlussunah wal jama'ah di Indonesia kepada penguasa baru di Saudi
Arabia yang dipegang oleh dinasti Suud dari kaum Wahabi. Resolusi itu meminta agar
pemerintah baru tersebut tidak menghapus-kan tradisi-tradisi yang dipandang sebagai ibadah
oleh kaum ahlussunah wal jama'ah. Lihat, Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik Upaya
Mengatasi Kritis (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), 5-6. Lihat juga, Mahrus As'ad,
"Pembaharuan Pendidikan Nahdlatul Ulama", Disertasi Doktor Pengkajian Islam UIN Syarif
Hidayatullah (Jakarta: Perpustakaan SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008), 103, t.d. 5Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada tanggal 17 Rajab 1395 H.
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M. oleh Musyawarah Nasional ke 1 Majelis Ulama
se Indonesia di Jakarta adalah wadah musyawarah para ulama, zu'ama' dan cendikiawan
muslim. Lihat, A. Nazri Adlani dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, diterbitkan
oleh MUI, 1997, 1. Lebih jelasnya tentang latar belakang berdirinya MUI, lihat
Hadariansyah, "KH. Hasan Basri (1920-1998) Kajian Biografi Tokoh Majelis Ulama
Indonesia", Disertasi Doktor Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta:
Perpustakaan PPs IAIN Syarif Hidayatullah, 2001), 239. Lihat juga, Mahrus Irsyam, Ulama
dan Partai Politik Upaya Mengatasi Kritis, 68. 6Lihat, QS. Fāṭir [35]: 28 dan QS. asy-Syu‟arā [26]: 197.
7Syekh Muhammad Ma‟shum bin Ali, Al-Amtsilah al-Tashrifiyah (Semarang:
Pustaka al-Alawiyah, t.th), 4. 8Moh. Matsna HS, Karakteristik dan Problematika Pengajaran Bahasa Arab di
Madrasah Tsanawiyah, makalah disampaikan pada Penataran Guru Bidang Studi Bahasa
Arab Madrasah Tsanawiyah di Ciloto Jawa Barat, 16-17 November 2000, 4. 9Azyumardi Azra, Biografi Sosial-Intelektual Ulama Perempuan Pemberdayaan
Historiografi dalam Ulama Perempuan Indonesia/Jajat Burhanudin (ed.) (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2002), xxviii.
25
10
Harun Nasution Lahir pada hari Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar
Sumatera Utara. Dia merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya adalah seorang
ulama zaman dahulu yang mengetahui kitab-kitab Jawi, namanya Abdul Jabbar Ahmad.
Ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang sewaktu gadisnya pernah bermukim
di Mekah sehingga dapat berbahasa Arab. Harun Nasution adalah Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (1973-1984), setelah berhenti dari jabatan Rektor IAIN Jakarta, beliau
mengabdikan dirinya menjadi Direktur Program Pascasarjana IAIN Jakarta hingga akhir
hayatnya pada hari Jum'at, 18 September 1998 (79 tahun). Lihat, Nurhidayat Muh. Said,
Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia: Studi Pemikiran Harun Nasution (Jakarta:
Pustaka Mapan, 2006), 9 & 19. 11
Lihat, "Pengertian Ulama yang Bergeser", Panji Masyarakat No. 666, 21-30
November 1990, 34. 12
Zainudin MZ Lahir pada hari Senin 2 Maret 1951 sekitar pukul 09.00 WIB, di
sebuah rumah sederhana yang di kelilingi kebun karet di Gang Cemara, Kelurahan Kramat
Pela, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia merupakan anak tunggal dari
pasangan Turmudzy dan Zainabun yang berasal dari keluarga Betawi asli. Zainudin MZ
meninggal dunia pada Selasa, 5 Juli 2011 tepat pukul 09.20 WIB (60 tahun) di Rumah Sakit
Pusat Pertamina, Jakarta, karena serangan jantung. Lihat, "Akhir Hayat Dai Sejuta Umat,"
Republika, (Jakarta), 6 Juli 2011/ 4 Sya'ban 1432 H, 1 & 11. 13
Lihat, "Legitimasi Ulama di Tangan Umat", Panji Masyarakat No. 666, 21-30
November 1990. Sebagai catatan, Zainuddin MZ pada 1970-an pernah Kuliah di Jurusan
Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN
Jakarta). Namun, kuliahnya tidak selesai/terhenti sewaktu mempersiapkan Skripsi (belum
selesai S-1) dan juga belum mempunyai pesantren. 14
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), cet. IX, 1025. 15
Charles Schaefer, How to Influence Children (Bagaimana Membimbing, Mendidik
dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif) Alih Bahasa: Turman Sirait (Jakarta: Restu Agung,
1997), 13. 16
A. Kosasih Djahiri, Menelusuri Dunia Afektif (Pendidikan Nilai dan Moral)
(Bandung: Laboratorium IKIP, 1996), 50. 17
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997), 91. 18
Hamid Fahmy Zarkasyi, "Umat", Islamia Jurnal Pemikiran Islam, Republika,
(Jakarta), 19 April 2012, 26. 19
Hamid FahmyZarkasyi, "Umat", 26. 20
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsīr al-Āyāt al-Tarbawiy) (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), Ed. 1, 235. 21
Ali Syari'ati, Tentang Sosiologi Islam (Jakarta: Ananda, 1982), 159. 22
Umat terbaik adalah yang menjaga kehidupan umat manusia dari kerusakan
(mafsadah) berarti mengedepankan kebaikan (maslahah). Kebaikan, dalam rumusan al-
Syatibi ada lima: baik untuk menjaga harta (mal), akal (aql), jiwa (nafs), keturunan (nasab),
dan agama (din) manusia. Lihat, Hamid Fahmy Zarkasyi, "Umat", 26. 23
Ali Syari'ati, Tentang Sosiologi Islam, 325-326. 24
Murtaḍa Muṭahhari, Masyarakat dan Sejarah (terjemah) M. Hashem dari judul
asli Society and History (Bandung: Mizan, 1986), cet. I, 15.
26
25
Yusuf al-Qarḍawi, Anatomi Masyarakat Islam (terjemah) Setiawan Budi Utomo,
dari judul asli Malamih al-Mujtama' al-Muslim alladzi Nasyduhu (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1999), cet. I, 3. 26
Lihat, Fatḥ al-Bāry, Ahmad ibn Ali Hajar al-Asqalāny, I,160. Lihat juga, Sunan
Abi Dāwūd, III, 317; Sunan Ibnu Mājah, I, 87. 27
Lihat, Syekh Ibrahim al-Baijuri, As-Sanūsiyah (T.tp: Menara Kudus, T.th), 37. 28
Lihat, Sayyid Quṭub, Fi Zhilāl al-Qur’an, IV, 114. 29
Abū al-Fidā Ismāil Ibn Kathīr al-Qurasy, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, III, 347. 30
Muhammad Husein al-Ṭabāṭabā‟i, Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur’an, XV, 320. 31
M. Amin Suma, Lima Pilar Islam (Jakarta: Kholam Publishing, 2007), 99. 32
Tabi’in artinya adalah pengikut, yaitu orang Islam awal yang masa hidupnya
setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu
saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa
Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi. 33
Atau Atbaut Tabi’in artinya pengikut Tabi’in, adalah orang Islam kawan
sepergaulan dengan Tabi’in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi. Tabi’ut tabi’in
disebut juga murid Tabi’in. 34
Fuad Kauma, Noda-Noda Ulama, 26-29. 35
Ṣahih Muslim (pembahasan tentang dhikir, bab: Keutamaan berkumpul, no. 2699,
17/24), Sunan At-Tirmidhi (pembahasan tentang ilmu, bab: Keutamaan Menuntut Ilmu, no.
2648, 7/300-301), Sunan Abu Dawud (pembahasan tentang ilmu, bab: Motivasi untuk
Menuntut Ilmu, no. 2643, 4/59), dan Musnad Ahmad (no. 7418, 2/332, 8292, 2/429). 36
Ṣahiḥ At-Tirmidhi, (Bab: Ilmu, no. 2683), Sunan Abu Dawud (pembahasan tentang
ilmu, bab: Anjuran Menuntut Ilmu, no. 3641, 4/57-58), Sunan Ibnu Mājah (mukadimah, bab:
Mengambil Manfaat dari Ilmu serta Mengamalkannya, no. 240, 1/48), Musnad Ahmad bin
Hanbal (2/251, no. 21709). 37
Sunan At-Tirmidhi, (pembahasan tentang ilmu, bab: Keutamaan Ilmu, no. 2649,
7/301), Sunan Ibnu Mājah (Mukadimah, bab: Mengambil Manfaat dari Ilmu dan
Mengamalkannya, no. 240, 1/48), Musnad Ahmad (2/551, no. 9393), dan Jami’Al-Uṣul,
(8/7). 38
Ṣahiḥ Bukhari (Pembahasan tentang ilmu, no. 71, 1/221) dan Ṣahiḥ Muslim
(Pembahasan tentang zakat, bab: Larangan Banyak Bertanya, no. 1037, 7/134-135). 39
Sunan Ibnu Mājah (dalam Muqaddimah, no. 237, 1/48). Ilmu pengetahuan yang
wajib dipelajari menurut Az-Zarnuji terbagi dua. Pertama ilmu farḍu ‘ain, yaitu ilmu yang
setiap Muslim secara individual wajib mempelajarinya, seperti ilmu fiqih dan ilmu ushul
(dasar-dasar agama). Kedua ilmu farḍu kifayah, yaitu ilmu di mana setiap umat Islam
sebagai suatu komunitas, bukan sebagai individu diharuskan menguasainya, seperti ilmu
pengobatan, ilmu astronomi dan lain sebagainya. Lebih jelasnya lihat, Abuddin Nata,
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), cet. II,
109. Pernyataan Az-Zarnuji tersebut senada dengan yang dinyatakan imam Ghazali dalam
kitabnya Ihya Ulūm al-Dīn (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), bahwa mencari ilmu dapat
digolongkan sebagai ilmu ushul dan ilmu furu‟. Mempelajari ilmu ushul hukumnya adalah
farḍu ‘ain. Kita harus tahu bagaimana berwuḍu yang benar, bagaimana berṣalat yang benar,
berpuasa yang benar dan lain sebagainya. Sedangkan mencari atau mempelajari ilmu
kauniyah yang berguna bagi masyarakat hukumnya paling tidak farḍu kifayah. Sebab ilmu
kedokteran, ilmu hukum, ilmu militer, ilmu teknik, dan lain-lainnya diperlukan untuk
27
keselamatan, keamanan, dan tegaknya masyarakat muslim. Lebih jelasnya lihat, Abu Hamid
al-Ghazali, Ihya ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Fikr, t.th), Juz I, 14. 40
Nabi Muhammad saw yang diyakini oleh umat Islam sebagai pembawa risalah
Tuhan yang terakhir, sudah sejak awal abad ke-7 Masehi secara tegas telah menyatakan
bahwa tugas utamanya adalah sebagai penyempurna akhlak manusia.
Dalam al-Qur‟an terdapat pula pernyataan, bahwa Nabi Muhammad saw adalah
seorang yang berakhlak agung (QS. al-Qalam [68]: 4). Karena itu, ia patut dijadikan contoh
teladan (QS. al-Aḥzab [33]: 21). 41
Hamka, “Jasa-jasa Ulama dalam Perjuangan Bangsa” dalam Husein Segaf, dkk,
Ulama dan Pembangunan (Jakarta: Panitia Munas I MUI, 1976), 341. 42
QS. al-Ghaṣiyah [88]: 21-22. 43
QS. an-Naḥl [16]: 43. Bila ulama hatinya telah teracuni oleh hubbud dunya
(materialistis) atau masih menomorsatukan dunia daripada kepentingan akhiratnya, ulama
seperti ini telah menjadikan ilmunya sebagai perantara untuk memperoleh kebahagiaan di
dunia. Ia pandai memutarbalikkan dalil dan ayat-ayat Allah untuk menutupi kebusukan
hatinya, sehingga dari luar tidak tampak kalau dirinya itu sebenarnya adalah orang yang
hubbud dunya. Fatwa-fatwa ulama seperti ini bisa dipesan asalkan dirinya merasa
diuntungkan, apakah itu dalam bentuk fasilitas, pengaruh, jabatan, atau dalam bentuk materi.
Inilah tipe Ulama Manutan bukan Ulama Panutan. Lihat, Fuad Kauma, Noda-Noda Ulama,
18. 44
QS. Fāṭir [35]: 28. 45
QS. aṣ-Ṣaff [60]: 2-3. 46
Bachtiar Nasir, "Tugas dan Peranan Ulama", Konsultasi Agama Republika, 17
Februari 2012, 12. 47
Contoh-contoh akhlak Islam/ sopan santun tersebut merupakan nasihat/ wejangan
dari K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor. Lihat, Kaelany
HD., Gontor dan Kemandirian (Pondok, Santri, dan Alumni) (Jakarta: PT. Bina Utama
Publishing, 2002), cet. II, 38-42. 48
Muhammad Naṣiruddin al-Albani, Irwaul Gholil Fī Takhrīj Ahāditsi Manaris
Sabīl (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1979), Juz 3, No. Hadis 833, 315.