TESIS PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM NOTARIS TERHADAP …
Transcript of TESIS PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM NOTARIS TERHADAP …
TESIS
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM NOTARIS TERHADAP
PEMBATALAN ISI AKTA MELALUI PUTUSAN HAKIM
NOTARY LEGAL LIABILITY AGAINST REVOCATION OF DEED THROUGH THE JUDGMENT OF JUDGES
Oleh:
AHMAD PERDANA PUTRA
B022171068
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
i
HALAMAN JUDUL
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM NOTARIS TERHADAP
PEMBATALAN ISI AKTA MELALUI PUTUSAN HAKIM
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister pada
Program Studi Magister Kenotariatan
Disusun dan diajukan oleh:
AHMAD PERDANA PUTRA
B022171068
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM NOTARIS TERHADAP
PEMBATALAN ISI AKTA MELALUI PUTUSAN HAKIM
Disusun dan diajukan oleh:
AHMAD PERDANA PUTRA
B022171068
Untuk Tahap SEMINAR HASIL PENELITIAN
Pada Tanggal……………………………
Menyetujui,
Komisi Penasehat:
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H. Dr. Andi Tenri Famauri Rifai, SH., MH. NIP. 196611301990021001 NIP. 197305082003122001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H NIP. 19641123 199002 2 001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Nama : Ahmad Perdana Putra
Nim : B022171068
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan tesis yang berjudul
Pertanggungjawaban Hukum Notaris Terhadap Pembatalan Isi Akta
Melalui Putusan Hakim adalah benar-benar karya saya sendiri, bukan
merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain dan hal yang
buka karya saya dalam penulisan tesis ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian
atau keseluruhan isi Tesis ini hasil karya orang lain atau dikutip tanpa
menyebut sumbernya, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut sesuai peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.
Makassar, 3 Januari 2021
Yang membuat pernyataan,
Ahmad Perdana Putra NIM. B022171068
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam yang selalu
melimpahkan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Shalawat dan taslim tak lupa kita kirimkan kepada baginda Rasulullah
Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan segala
kerendahan hati saya panjatkan syukur Alhamdulillah karena telah
diizinkan oleh Allas SWT., untuk menyelesaikan hasil penelitian ini dalam
rangka penyelesaian Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Salawat dan salam tak lupa pula saya panjatkan
kepada Baginda Muhammad SAW., nabi yang telah menunjukkan umat
manusia jalan yang lurus jauh dari kebatilan.
Penyelesaian penelitian ini tidak terlepas dari dukungan dan
bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan sumbangsih
begitu besar dan mendampingi penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini sesuai dengan waktu yang telah
ditargetkan. Terkhusus kepada Ibunda Fahrawati dan Ayahanda
Hasanuddin, S.Pd yang telah membesarkan penulis dengan penuh
perhatian dan kasih sayang, yang dengan sabar dan tabah merawat dan
menjaga penulis, menasehati, dan terus memberikan semangat, serta
do’a yang tak pernah putus. Kepada istri tercinta Adhe Fitria Masihu, SH.,
v
yang telah menemani penulis selama ini, memberikan dukungan dan
semangat yang tak lepas, dan telah mendampingi dengan tulus dan
penuh kasih.
Melalui kesempatan ini, penulis juga menghaturkan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina
Pulubuhu, S.Sos., M.A., beserta para Wakil Rektor dan
jajarannya.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Prof. Dr.
Muhammad Ali, S.E., M.S., beserta jajarannya.
3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr.
Farida Patittingi, S.H., M.Hum., beserta para Wakil Dekan dan
jajarannya.
4. Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H.
5. Komisi Penasehat yang telah membimbing, memberikan
masukan dan bantuan kepada penulis hingga terselesaikannya
tesis ini, Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H., selaku pembimbing
utama dan Dr. Andi Tenri Famauri Rifai, S.H., M.H selaku
pembimbing pendamping.
6. Komisi Penguji yang telah memberi saran dalam penyusunan
tesis ini, Prof. Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H., DFM.,
Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H., dan Dr. Sakka Pati, S.H., M.H.
vi
7. Dosen tim pengajar Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang selama ini telah
berbagi ilmu.
8. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin yang telah membantu dalam
kelancaran proses perkuliahan dan penyelesaian studi penulis.
9. Teman seperjuangan Auntentik 2017, atas kebersamaan dan
persaudaraan selama ini.
10. Seluruh teman-teman yang tidak sempat saya sebutkan satu
per satu, atas dukungan yang selama ini terus mengalir untuk
penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, namun
tetap berharap dapat memberikan manfaat bagi dunia keilmuan dan
semua pembaca tesis ini umumnya.
Makassar, 3 Januari 2021
Penulis
vii
ABSTRAK
AHMAD PERDANA PUTRA (B022171068) Pertanggungjawaban Hukum Notaris Terhadap Pembatalan Akta Melalui Putusan Hakim (dibimbing oleh Musakkir, dan Andi Tenri Famauri Rifai).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertanggungjawaban hukum Notaris terhadap pembatalan akta yang dibuatnya melalui putusan hakim, dan jaminan kepastian hukum bagi pihak yang dirugikan akibat dibatalkannya sebagian akad dalam akta yang dibuat Notaris.
Tipe penelitian yang digunakan yaitu tipe penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode pendekatan undang-undang yaitu dengan menelaah dan mengkaji beberapa undang-undang yang berkaitan dengan isu hukum yang dikaji, dan pendekatan konseptual yaitu menelaah pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan pembatalan akta Notaris melalui putusan pengadilan dan pertanggungjawaban Notaris. Adapun jenis bahan hukum berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, putusan hakim, buku dan jurnal, pendapat ahli, serta internet atau website resmi. Bahan hukum yang diperoleh dikumpulkan melalui metode studi kepustakaan yang dianalisis secara preskriptif dengan metode deduktif.
Hasil penelitian pertama, pertanggungjawaban hukum Notaris terhadap pembatalan isi akta dapat berupa pertanggungjawaban secara administrasi, secara perdata, maupun secara pidana sebagaimana ketentuan dalam UUJN. Dalam kasus yang diteliti, Notaris selaku Tergugat II tidaklah dibebankan pertanggungawaban sebagaimana disebutkan di atas. Karena dalam putusan majelis hakim hanya menghukum Notaris untuk patuh dan tunduk pada putusan tersebut. Kedua, dalam akta yang dibuat oleh Notaris tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak, karena dalam menjalankan jabatannya Notaris tersebut belum mampu menjaga integritasnya sebagai pejabat umum yang menghasil akta otentik dengan kekuatan pembuktian sempurna di pengadilan.
Kata Kunci: Notaris, Pembatalan Akta, Pertanggungjawaban Hukum,
Putusan Hakim
viii
ABSTRACT
AHMAD PERDANA PUTRA (B022171068) Notary Legal Liability Against
Revocation of Deed Through the Judgment of Judges (Supervised by
Musakkir, and Andi Tenri Famauri Rifai).
This research aims to analyze the legal liability of notary against the
cancellation of the deed made through the decision of the judge, and the
guarantee of legal certainty for the affected party due to insurance some of
the contract in notarized deed.
The type of research used is the type of normative legal research
using the method of law approach by reviewing and reviewing some laws
relating to the legal issues studied, and the conceptual approach is to
study the views and doctrines relating to the cancellation of notarial deed
through the decision of the notary and the notarized liability. The type of
legal material is the primary legal material, secondary legal material, and
non-legal materials that are sourced from legislation, judges, books and
journals, expert opinion, as well as the Internet or official website. The
acquired legal material is collected through a literature study method that
is analyzed prescriptively with deductive methods.
The first research result, notary legal liability against the
cancellation of the deed can be either an administrative, civil or criminal
liability as stipulated in the UUJN. In the case of investigation, notary as
defendant II shall not be held accountable as mentioned above. Because
in the judgment of the Tribunal judges only sentenced the notary to obey
and submit to the ruling. Secondly, in the deed made by the notary does
not provide legal certainty for the parties, because in the exercise of his
position the notary has not been able to maintain its integrity as a general
officer who proceeds authentic deed with the power of perfect proof in
court.
Keywords: Judge's Verdict, Legal Liability, Notary, Revocation of Deed.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................. ii
PENYATAAN KEASLIAN ................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................... vii
ABSTRACT ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 9
E. Orisinalitas Penelitian ..................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 13
A. Tinjauan Umum Tentang Notaris .................................................... 13
1. Notaris sebagai Pejabat Publik ................................................. 17
2. Kewenangan Notaris ................................................................. 18
3. Kewajiban dan Larangan Notaris .............................................. 22
B. Akta Notaris sebagai Akta Otentik .................................................. 30
C. Pembatalan Akta Notaris ................................................................ 37
D. Itikad Baik ....................................................................................... 44
E. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama ........................................ 46
1. Prinsip-Prinsip Dasar Kekuasaan Mengadili ............................. 46
2. Kekuasaan Kehakiman Peradilan Agama ................................. 47
F. Landasan Teori ............................................................................... 51
1. Teori Pertanggungjawaban Hukum ........................................... 51
2. Teori Kepastian Hukum ............................................................. 56
x
G. Kerangka Pikir ................................................................................ 58
H. Definisi Operasional ....................................................................... 58
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 61
A. Tipe Penelitian ................................................................................. 61
B. Jenis Pendekatan ............................................................................ 61
C. Sumber Bahan Hukum .................................................................... 62
D. Pengumpulan Bahan Hukum ........................................................... 63
E. Analisis Bahan Hukum .................................................................... 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 65
A. Pertanggungjawaban Hukum Notaris Terhadap Pembatalan
Isi Akta yang Dibuatnya Melalui Putusan Hakim ............................ 86
B. Jaminan Kepastian Hukum Bagi Pihak yang Dirugikan Akibat
Dibatalkannya Isi Akta yang Dibuat Notaris .................................... 87
BAB V PENUTUP ................................................................................ 96
A. Kesimpulan ..................................................................................... 96
B. Saran .............................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk individu senantiasa membutuhkan
hubungan dan menjalin kerja sama dengan manusia lain. Dalam hidup
bermasyarakat manusia mempunyai kebutuhan hidup yang
beranekaragam. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan manusia semakin
beragam yang menyebabkan hubungan maupun kerja sama yang terjadi
juga semakin kompleks. Dalam menjalin suatu hubungan maupun kerja
sama, yang terpenting adalah kata sepakat diantara kedua belah pihak.
Kesepakatan tersebut harus saling menguntungkan para pihak yang
bersepakat. Suatu kesepakatan akan mengikat kedua belah pihak dalam
suatu perjanjian, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya yang melibatkan dua orang atau lebih.
Awalnya perjanjian yang terjadi hanya berupa perjanjian lisan yang
hanya mengutamakan pada azas kepercayaan satu sama lain. Seiring
dengan berjalannya waktu, perjanjian lisan tidak dapat memenuhi
kebutuhan sebagai alat bukti di kemudian hari yang berupa akta otentik
dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum. Suatu kepastian
hukum itu dapat diperoleh dari perjanjian tertulis yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang, sehingga keotentikan akta sebagai bukti yang memiliki
kedudukan pembuktian di pengadilan terjamin. Salah satu pejabat yang
2
berwenang untuk membuat perjanjian tertulis yang dapat digunakan
sebagai alat bukti di kemudian hari adalah Notaris.
Peran notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh menteri
atau pejabat yang ditunjuk semakin besar terkait dengan semakin
maraknya orang-orang membuat perjanjian atau perikatan. Hal ini terjadi
karena notaris berwenang untuk membuat akta otentik yang mampu
memberi perlindungan kepada pihak-pihak yang melakukan perjanjian.
Undang-undang menyatakan bahwa notaris sebagai pejabat umum yang
diberi mandat untuk membuat akta otentik, sebab akta yang dibuat notaris
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, dikarenakan sifat otentik
yang dimiliki atas akta-akta yang dibuatnya.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut UUJN). Notaris merupakan suatu profesi yang dilatarbelakangi
dengan keahlian khusus yang ditempuh dalam suatu pendidikan dan
pelatihan khusus, hal ini menuntut notaris untuk memiliki pengetahuan
yang luas serta tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum.
Notaris dalam menjalankan tugasnya harus memegang teguh dan
menjunjung tinggi martabat profesinya. Dalam melayani kepentingan
umum, notaris dihadapkan dengan berbagai macam karakter manusia
serta keinginan yang berbeda-beda dari para pihak yang datang kepada
3
notaris untuk dibuatkan suatu akta otentik atau sekedar legalisasi sebagai
bukti tertulis atas suatu perjanjian yang dibuatnya. Notaris dalam
menjalankan tugasnya harus berdasar kepada Kode Etik Notaris dan
UUJN.
Kewenangan notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
UUJN dengan profesinya sebagai pembuat akta otentik disertai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat yang begitu pesat dan dinamis
telah meningkatkan intensitas dan kompleksitas hubungan hukum yang
tentunya memerlukan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum
yang berintikan kebenaran dan keadilan. Memahami syarat-syarat
otentisitas dan sebab-sebab kebatalan suatu akta notaris, sangat penting
untuk menghindari secara preventif adanya cacat yuridis akta notaris yang
dapat mengakibatkan hilangnya otentisitas dan batalnya akta notaris itu,
serta memudahkan setiap notaris dalam membuat akta-akta notaris
sesuai dengan UUJN dan aturan-aturan hukum lainnya yang berlaku.1
Notaris dibebankan tanggung jawab yang besar atas setiap
tindakan yang dilakukan berkaitan dengan pekerjaannya, dalam hal ini
mengenai pembuatan akta otentik. Tanggung jawabnya tidak hanya
terbatas saat pembuatan akta, melainkan sepanjang akta yang dibuat oleh
seorang Notaris digunakan para pihak maka sepanjang itu pula Notaris
harus selalu sedia bertanggung jawab atas keontetikan akta yang
dibuatnya. Bukan hanya itu, Notaris juga bertanggung jawab atas
1Peter E. Latumeten, Cacat Yuridis Akta Notaris Dalam Peristiwa Hukum Konkrit dan Implikasi
Hukumnya, Tuma Press, Jakarta, 2011, hal. 31
4
kebenaran isi akta yang dibuatnya agar tidak mengakibatkan kerugian
bagi salah satu pihak yang datang menghadap kepadanya.
Oleh sebab itu, seorang Notaris dituntut untuk bersikap hati-hati
dan teliti dalam membuat akta otentik bagi para pihak yang datang
menghadap kepadanya, agar akta yang dibuatnya tidak menimbulkan
kerugian bagi salah satu pihak yang mengakibatkan pihak yang merasa
dirugikan mengajukan pembatalan baik sebagian atau seluruhnya isi akta
melalui putusan pengadilan. Seperti contoh kasus pembatalan Akta Akad
Pembiayaan Investasi Pengalihan Pembiayaan dengan Menggunakan
Prinsip Murabahah2 tertanggal, 31 Juli 2013 dalam Putusan Nomor
1957/Pdt.G/2018/PA.JS. Dalam putusan tersebut Tergugat I dan Tergugat
II melakukan perubahan pada Akta Akad Pembiayaan Investasi
Pengalihan Pembiayaan dengan Menggunakan Prinsip Murabahah yang
mengakibatkan kerugian bagi Penggugat.
Berdasarkan salinan Putusan Nomor 1957/Pdt.G/2018/PA.JS.,
yang diakses dari website resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia
diketahui bahwa gugatan ini disebabkan adanya perbuatan melawan
hukum yang telah dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II yang
mengakibatkan kerugian bagi Penggugat. Tergugat I berdasarkan Surat
Persetujuan Pemberian Fasilitas Pembiayaan telah menyetujui
permohonan pengajuan pembiayaan Penggugat, dengan demikian telah
2Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal
dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan, bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
5
terjadi kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat I untuk melahirkan
suatu hubungan hukum berdasarkan Akad Pembiayaan Investasi
Pengalihan Pembiayaan dengan Menggunakan Prinsip Murabahah.
Dalam perjanjian tersebut, Penggugat memberikan jaminan berupa 10
(sepuluh) unit truk Isuzu FVM 34 Q (5450), 6x2 240 PS Plus tangki High
Blow with PTO; 13 (tiga belas) unit truck tronton (6x4) Merk Isuzu Giga
Fvz 34 P (baru) termasuk karoseri Dump Truck; 2 (dua) unit truck tronton
Isuzu Giga Fvz 34 P termasuk karoseri Fiat bed (Loss Bak); 2 (dua) unit
Hyundai Excavator R220-9SH; 20 (dua puluh) unit truck Merk Isuzu Giga,
dengan tipe FVM 34 Q (5450) 6x2 240 PS Plus Tangki High Blow with
PTO. Dengan demikian, Penggugat memberikan jaminan kendaraan
sebanyak 47 unit.
Selain jaminan berupa kendaraan dan alat-alat berat sebagaimana
disebutkan di atas, Tergugat juga mewajibkan Penggugat untuk
menyerahkan jaminan tambahan dengan alasan adanya restrukturisasi,
sehingga Penggugat dengan terpaksa menyerahkan jaminan tambahan
berupa Sertipikat Hak Milik seluas 13.676 m2 (tiga belas ribu enam ratus
tujuh puluh enam meter persegi) dan Sertipikat Hak Milik seluas 37.618
m2 (tiga puluh tujuh ribu enam ratus delapan belas meter persegi), yang
terletak di Kelurahan Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten
Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan.
Namun pada tanggal 23 November 2015 tanpa alasan yang sah
dan tanpa adanya permasalahan secara tiba-tiba Tergugat I menyodorkan
6
untuk ditandatangani Penggugat berupa Addendum Perjanjian
Pembiayaan Murabahah ,dan Addendum Jaminan Fiducia di mana isi
pokok dari Addendum Perjanjian Murabahah, dan Addendum Fiducia
tersebut menyebutkan bahwa “Merubah [sic] tentang Jaminan yang
awalnya berupa 47 Unit kendaraan dan alat berat menjadi 37 unit
kendaraan dan alat berat’’, padahal Tergugat telah memenuhi segala
peryaratan yang diwajibkan kepadanya. Hal yang kemudian
mengakibatkan kerugian bagi Penggugat yaitu dalam perjanjian terdapat
perubahan jumlah unit kendaraan dan alat berat yang semula 47 unit
menjadi 37 unit, namun jumlah yang harus dibayarkan oleh Penggugat
tetap dan tidak berubah yaitu seharga dengan 47 unit kendaraan dan alat
berat. Bahkan, sejak awal segala berkas-berkas perjanjian tidak pernah
diberikan kepada Penggugat. Hal ini tentu menunjukkan bahwa sejak awal
Tergugat I tidak memiliki itikad baik dalam melakukan perjanjian dengan
Penggugat. Ini tentunya bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan berdasarkan
asas itikad baik.
Di sisi lain, Tergugat I tidak hanya menunjukkan tidak adanya itikad
baik dalam melaksanakan perjanjian dengan Penggugat, akan tetapi
Tergugat I dan Tergugat II (Notaris yang membuat akta perjanjian fidusia
antara Tergugat I dan Penggugat) juga telah melakukan serangkaian
tindak kejahatan terhadap hak-hak orang lain yang mengakibatkan
kerugian. Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perubahan terhadap
7
akta Fidusia secara sepihak dengan mengubah jumlah unit kendaraan
dan alat berat yang harus diberikan kepada Penggugat, sementara jumlah
kewajiban yang harus dibayarkan Penggugat tidak berkurang dengan
tetap sejumlah dengan harga 47 unit kendaraan dan alat berat.
Majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan dari Penggugat
dalam putusan tersebut, yaitu menyatakan Tergugat I telah melakukan
perbuatan melawan hukum, menyatakan addendum perjanjian
pembiayaan Murabbahah, dan addendum fidusia, serta semua perjanjian
yang dibuat batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, serta menghukum Tergugat II Konvensi untuk tunduk dan patuh
terhadap putusan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik
untuk menganalisis terkait pertanggungjawaban Notaris dalam hal adanya
pembatalan akad atau isi dalam akta yang dibuatnya melalui putusan
pengadilan yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak. Karena
apabila melihat putusan tersebut sesungguhnya tidak ditemukan bentuk
pertangggungjawaban hukum apa yang diberikan majelis hakim kepada
Notaris selaku Tergugat II yang juga pada dasarnya telah melakukan
perbuatan melawan hukum. Hal ini perlu dianalisis dikarenakan tujuan
para pihak menggunakan jasa Notaris yaitu untuk mendapatkan kepastian
dan perlindungan hukum atas kesepakatan atau perjanjian yang telah
dilakukan keduanya, namun apabila akta Notaris yang dibuat tersebut
ternyata menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, artinya tujuan
utama menggunakan Notaris untuk mendapatkan perlindungan dan
8
kepastian hukum tidak terpenuhi. Hal ini berkaitan dengan profesionalitas
seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya, apalagi jika kerugian
yang timbul tersebut atas dasar kesengajaan dan kerjasama dengan salah
satu pihak.
Selain itu, penulis juga tertarik untuk menganalisis terkait kepastian
hukum yang diberikan kepada para pihak dalam kaitannya akta notaris
yang dibuat tidak akan merugikan sala h satu pihak. Kepastian hukum
merupakan hak konstitusional setiap warga Negara sebagaimana termuat
dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Karena kepastian hukum merupakan
hak konstitusional setiap Warga Negara Indonesia dan merupakan bagian
dari Hak Asasi Manusia (HAM), maka telah menjadi kewajiban bagi
Negara dan semua pihak untuk memastikan pemenuhannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pertanggungjawaban hukum Notaris terhadap
pembatalan isi akta yang dibuat melalui putusan hakim?
2. Apakah jaminan kepastian hukum bagi pihak yang dirugikan
akibat dibatalkannya sebagian akad dalam akta yang dibuat
Notaris?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis pertanggungjawaban hukum Notaris
terhadap pembatalan isi akta yang dibuatnya melalui putusan
hakim.
9
2. Untuk menganalisis jaminan kepastian hukum bagi pihak yang
dirugikan akibat dibatalkannya sebagian akad dalam akta yang
dibuaut Notaris.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dengan adanya
penelitian ini:
1. Teoretis
Secara teoretis, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah:
i. Menjadi masukan dan bahan referensi baru di bidang ilmu
hukum khususnya terkait dengan pembuatan atau penyusunan
akad dalam akta notaris sehingga tidak terjadi pembatalan
sebagian akad yang dapat merugikan salah satu pihak.
ii. Menjadi sumber pengetahuan baru bagi mahasiswa khususnya
mahasiswa kenotariatan mengenai hal-hal yang wajib
diperhatikan dalam pembuatan akta notaris sehingga dapat
memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang datang
mengahadap kepadanya.
2. Praktis
Secara praktis, manfaat yang dapat diperoleh yaitu:
i. Menjadi masukan bagi notaris dalam membuat akta agar tetap
memerhatikan kaidah-kaidah yang telah diatur, kode etika
10
jabatan notaris, dan hak-hak para pihak yang harus dilindungi
oleh notaris.
ii. Menjadi tambahan informasi bagi para pihak sebelum
menghadap kepada Notaris bahwa terdapat hak-hak mereka
yang dilindungi oleh hukum dan telah diberi jaminan kepastian
hukum.
E. Orisinalitas Penelitian
1) Tesis dengan Kedudukan Hukum Perubahan Salinan Akta
dalam Perjanjian Kerjasama, yang disusun oleh Andi Waffiyah
pada Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar Tahun 2019. Tulisan ini membahas dua
rumusan masalah yaitu Pertama, bagaimana kekuatan hukum
perubahan salinan akta dalam perjanjian kerjasama? Kedua,
bagaimana pertanggungjawaban notaris pengganti dalam
perubahan salinan akta yang dibuatnya? Pada tulisan ini juga
terdapat perbedaan terkait objek yang akan dikaji, yaitu pada
penelitian ini membahas terkait perubahan salinan akta dalam
perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Notaris Pengganti.
Sedangkan dalam penelitian yang penulis susun membahas
terkait kepastian hukum bagi para pihak dalam suatu perjanjian,
dan pertanggungjawaban hukum bagi notaris yang karena akta
yang dibuatnya mengakibatkan kerugian bagi pihak lain.
11
2) Tesis dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan
Akta Notaris Oleh Hakim Melalui Putusan Pengadilan, yang
disusun oleh Angga pada Program Studi Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar Tahun 2019. Tulisan
ini membahas dua rumusan masalah yaitu Pertama, Apa bentuk
pelanggaran yang menjadi penyebab pembatalan akta notaris
oleh hakim putusan pengadilan? Kedua, Bagaimanakah implikasi
hukum dari pembatalan akta notaris oleh hakim melalui putusan
pengadilan bagi para pihak? Pada tulisan ini meskipun sama-
sama membahas tentang pembatalan akta Notaris melalui
putusan hakim, akan tetapi yang menjadi objek kajian berbeda.
Objek kajian dalam tesis ini yaitu bentuk pelanggaran yang
menjadi penyebab pembatalan akta notaris oleh hakim putusan
pengadilan, dan implikasi hukum dari pembatalan akta notaris
oleh hakim melalui putusan pengadilan bagi para pihak.
Sedangkan penelitian yang penulis lakukan berkaitan dengan
tanggung jawab notaris dan jaminan kepastian hukum bagi para
pihak atas suatu perjanjian yang dibatalkan melalui putusan
hakim.
3) Jurnal dengan Judul Tanggung Jawab Notaris/PPAT terhadap
Akta yang Dibatalkan oleh Pengadilan, yang disusun oleh
Lidya Christina Wardhani pada Journal Lex-Renaissance UII:
Vol. 2, No.1 Januari 2017. Tulisan ini membahas dua rumusan
12
masalah yaitu Pertama, bagaimana tanggung jawab
Notaris/PPAT terhadap akta yang dibatalkan oleh pengadilan?
Kedua, bagaimana akibat hukum terhadap Notaris/PPAT karena
dibatalkannya suatu akta otentik oleh Pengadilan? Pada tulisan
ini juga terdapat perbedaan terkait objek yang akan dikaji.
Meskipun dalam jurnal tersebut juga membahas tentang
tanggung jawab notaris pada rumusan masalah pertama.
Namun pada usulan penelitian yang penulis susun
mengkhususkan pada pembatalan sebagian akad dalam akta
notaris, sehingga yang dibatalkan bukan akta notarisnya
melainkan sebagian akad yang terdapat dalam akta notaris.
Kemudian pada rumusan masalah kedua terdapat perbedaan
yaitu pada jurnal tersebut di atas, yang dibahas terkait akibat
hukum dari pembatalan akta terhadap Notaris/PPAT, sedangkan
pada penelitian yang penulis susun membahas kepastian hukum
terhadap pihak yang dirugikan sebagai akibat pembatalan
perjanjian dalam akta yang dibuat Notaris.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Notaris
Notaris dalam bahasa Inggris disebut dengan notary, sedangkan
dalam bahasa Belanda disebut dengan van notaris,3 secara kebahasaan
notaris berasal dari kata notarius untuk tunggal dan notarii untuk jamak.
Notarius merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Romawi
untuk menamai mereka yang melakukan pekerjaan menulis. Namum
fungsi notarius pada zaman tersebut berbeda dengan fungsi notaris pada
saat ini. Terdapat pendapat lain mengatakan, bahwa nama notarius
aslinya berasal dari nota literia yang artinya menyatakan suatu perkataan.4
Menurut Lumban Tobing G.H.S., notaris adalah pejabat umum yang
satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,
semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugas.5
3Salim HS, Peraturan Jabatan Notaris, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2018, hal14 4Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII
Press, Yogyakarta, 2016, hal.7-8 5G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1992, hal.31
14
Tan Thong Kie berpendapat bahwa seorang notaris biasanya
dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh
nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta
ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang
kuat dalam suatu proses hukum.6
Pengertian notaris tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yaitu:
”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”
Pengertian dalam UUJN di atas merujuk pada tugas dan wewenang
yang dijalankan oleh notaris, artinya notaris memiliki tugas sebagai
pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta
kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.7Sehingga dapat dipahami
bahwa notaris adalah pejabat umum yang secara khusus diberikan
wewenang oleh undang-undang untuk membuat suatu alat bukti yang
otentik
Kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-
Undang Jabaran Notaris, bahwa notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan
oleh perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
6Tan Thong Kie, 2011, Studi Notariat Dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta, PT, Ichtiar
Baru Van Hoeve, hal. 444 7Ibid., hal. 33
15
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Selain dari kewenangan tersebut di atas, notaris juga merupakan
suatu jabatan publik yang mempunyai karasteristik sebagai berikut:8
a. Sebagai jabatan, yang berarti bahwa notaris sebagai jabatan
merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat
oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertetnu
(kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai
suatu lingkungan pekerjaan tetap.
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu. Setiap wewenang yang
diberikan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar
jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan
wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian, jika seorang notaris
melakkan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan,
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri
yang membidangi kenotariatan. Notaris meskipun secara
administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak
berarti notaris menjadi subordinatif (bawahan) dari pemerintah.
8Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2008, hal. 32-36
16
Akan tetapi, notaris dalam menjalankan tugasnya harus bersifat
mendiri (autonomous), tidak memihaksiapapun (impartial), tidak
tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak
yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya,
meskipun notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah,
melainkan notaris hanya menerima honorariun atau imbalan jasa
dari masyarakat yang telah dilayaninya, dan memberikan
pelayanan cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu.
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat, dlaam bentuk
kehadirannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan dokumen hukum (akta) autentik dlaam bidang hukum
perdata. Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani
masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut
biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat
dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Pada asasnya setiap orang diangkat sebagai notaris adalah pejabat
umum, yang berwenang untuk membuat akta otentik tanpa terkecuali
sepanjang tidak ditunjuk pejabat lain oleh undang-undang yang secara
tegas memberikan kewenangan kepada pejabat lain tersebut.9
9Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta,
Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 8-9
17
1. Notaris Sebagai Pejabat Publik
Jabatan Notaris diatur dalam UUJN dan Kode Etik Notaris, maka
Notaris adalah suatu jabatan yang melaksanakan sebagian kegiatan tugas
negara dalam bidang hukum keperdataan dengan kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik yang diminta oleh para pihak yang
menghadap. Seorang Notaris diangkat dan diberhentikan oleh negara
dalam hal ini diwakili oleh pemerintah melalui menteri yang bidang tugas
dan tanggung jawabnya meliputi bidang Kenotariatan. Notaris sebagai
pejabat umum dalam melaksanakan jabatannya harus memiliki kriteria
sebagai berikut:1 0
1) Berjiwa Pancasila;
2) Taat kepada hukum, sumpah jabatan dan Kode Etik Notaris; dan
3) Berbahasa Indonesia yang baik.
Kedudukan seorang Notaris sebagai suatu fungsionaris dalam
masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani. Seorang Notaris
biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat
memperoleh nasihat hukum. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan
(konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam
proses hukum.1 1 Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur)
yang keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang
tandatangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat,
1 0Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010,
hal. 86 1 1Tan Thong Kie, Op.Cit.
18
seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya
(onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut dan yang membuat
suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan
datang.1 2
2. Kewenangan Notaris
Kewenangan sama artinya dengan wewenang yaitu hak dan
kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Wewenang (authority) sebagai hak
atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk memengaruhi
tindakan orang lain, agar sesuatu yang dilakukan sesuai dengan yang
diinginkan.1 3 Wewenang Notaris berdasarkan hukum administrasi dapat
diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang baru kepada suatu
jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum1 4
yang dulu kewenangan itu tidak atau belum dimiliki oleh organ atau
lembaga yang lain. Notaris memiliki kewenangan yang diciptakan serta
diberikan UUJN oleh karena itu kewenangan Notaris tidak diperoleh dari
lembaga lain, melainkan secara langsung diperoleh dari UUJN yang
mengatur secara tegas mengenai tugas jabatannya. Notaris memiliki
kewenangan berdasarkan Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.
Wewenang Notaris dapat dilaksanakan serta dijalankan hanya
sebatas pada yurisdiksi/wilayah hukum yang telah ditentukan dan
ditetapkan di dalam UUJN dan dalam kewenangannya tersebut seorang
1 2Ibid., hal. 448. 1 3Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan
Pengembangan Bahasa, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, hal. 1.170. 1 4M. Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan Tanggung Jawab Jabatan Notari, Yogyakarta,
UII Press, 2017, hal. 22.
19
Notaris dapat melaksanakan segala bentuk perbuatan hukum sesuai
keinginan para pihak yang membutuhkan selama keinginan tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang, Pancasila dan ketertiban umum.
Kewenangan Notaris dalam Pasal 15 UUJN tersebut dapat dibagi menjadi
3 kewenangan yaitu:1 5
a) Kewenangan Umum Notaris
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN ditentukan bahwa salah satu
kewenangan Notaris yaitu membuat akta secara umum. Akta yang harus
dibuat oleh seorang Notaris yaitu terkait dengan semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu aturan hukum untuk
dibuat dan yang dikehendaki oleh orang yang bersangkutan. Beberapa
akta otentik yang merupakan wewenang Notaris dan juga menjadi
wewenang pejabat atau instansi lain. Salah satu aktanya adalah akta
risalah lelang, khusus mengenai pembuatan akta tersebut Notaris harus
mengikuti berbagai tahapan dan prosedur yang kemudian dinyatakan lulus
oleh Kementerian Keuangan. Berdasarkan wewenang yang dimiliki
seorang Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN yakni
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memformulasikan
keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan
memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Kehendak para pihak
kemudian dituangkan ke dalam tulisan yang berbentuk akta Notaris yang
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, sehingga tidak perlu
1 5Habib Adjie, Hukum Notariat Indonesi, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, Bandung, Refika Aditama, 2007, hal.78.
20
dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti tulisan yang lainnya. Jika
misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar,
maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib membuktikan
pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Teori kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum1 6 menurut
utrech, teori tersebut mengandung dua pengertian yaitu:
1) Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
2) Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu.
b) Kewenangan Khusus Notaris
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UUJN telah diatur terkait kewenangan
khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu:
1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat dibawah tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu
buku khusus;
2) Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftarkannya
di dalam suatu buku khusus;
1 6J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta, PT Prennahlindo,
2001, hal.120.
21
3) Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana di tulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
4) Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan surat
aslinya;
5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
7) Membuat akta risalah lelang.
c) Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian
Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang akan ditentukan
kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang
akan datang kemudian (ius constituendum).1 7 Wewenang Notaris yang
akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai
peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2
UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara1 8 bahwa
yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-
undang ini adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum
yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah
baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara
umum
1 7Ibid., hal.82 1 8Ibid., hal.83
22
3. Kewajiban dan Larangan Notaris
Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya
mempunyai kewajiban yang ditentukan melalui hukum yang diatur di
dalam UUJN dan Kode Etik Notaris. Kewajiban notaris diatur dalam Pasal
16 ayat (1) UUJN yaitu:
a. Bertindak amanah jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak serta
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang
menentukan lain;
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah
akta tidak dapat dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta
akta, bulan, dan tahun pembuatannnya pada sampul setiap buku;
23
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam phuruf I
atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar
Wasiat pada kementrian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum, dalam waktu 5 (lima) hari pada
minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat
pada setiap akhir bulan;
l. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambing Negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada
saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; dan
n. Menerima magang Calon Notaris
Kewajiban notaris juga diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris yang
dikeluarkan oleh Ikatan Notaris Indonesia, seorang notaris wajib:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan
notaris
24
3. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung
jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi
sumpah jabatan notaris
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas
pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan
negara
7. Memberi jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk
masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium
8. Menetapkaan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor
tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi notaris yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/di lingkungan
kantornya dengan pilihan ukuran yaitiu 100 cm x 40 cm, 150 cm x
60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor surat keputusan pengangkatan yang
terakhir sebagai notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama
berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di
papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di
25
lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk
pemasangan papan nama dimaksud.
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh perkumpulan; menghormati, mematuhi,
melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan.
11. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat
yang meninggal dunia
13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium
ditetapkan perkumpulan
14. Menjalankan jabatan notaris terutama dlaam pembuatan,
pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan dikantornya,
kecuali alasan-alasan yang sah
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha
menjalin komunikasi dan tali silaturahmi
16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengna baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut
sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain
namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
26
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris
Indonesia.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 16 UUJN dan Pasal 3 Kode Etik
Notaris, maka notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, selain
memiliki kewajiban yang harus dijalankan juga harus tunduk pada
larangan yang harus dipatuhi dalam menjalankan tugas jabatannya.
Larangan bagi Notaris merupakan ketentuan-ketentuan yang melarang
Notaris untuk melakukan sesuatu hal. Pasal 17 UUJN menentukan
larangan bagi notaris, bahwa notaris dilarang:
1. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
2. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja
berturut- turut tanpa alasan yang sah;
3. Merangkap sebagai pegawai negeri;
4. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
5. Merangkap jabatan sebagai advokat;
6. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
7. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris.
27
8. Menjadi Notaris Pengganti; atau
9. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan
dan martabat jabatan Notaris.
Apabila seorang notaris melanggar larangan yang tersebut dalam
Pasal 17 ayat (1) UUJN tersebut diatas maka notaris tersebut dapat
dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. Peringatan tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat, atau
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Selanjutnya Kode Etik juga mengatur larangan terhadap notaris,
yang diatur dalam Pasal 4 yaitu notaris dan orang lain yang memangku
dan menjalankan jabatan notaris dilarang:
1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang
ataupun kantor perwakilan
2. Memasang pagan hama dan/atau tulisan yang berbunyi
“Notaris/Kantor Notaris” di luar lingkungan kantor
3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun
secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dna
jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau
elektronik, dalam bentuk:
a. Iklan;
28
b. Ucapan selamat;
c. Ucapan belasungkawa;
d. Ucapan terima kasih;
e. Kegiatan pemasaran;
f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan,
maupun olahraga;
4. Bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum yang pada
hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau
mendapatkan klien
5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah
dipersiapkan oleh pihak lain
6. Mengirim minuta kepada klien untuk ditanda tangani
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang
berpindah dari notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan
langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui
perantara orang lain
8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan
dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan
tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap
membuat akta padanya
9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung
yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat
dengan sesana rekan notaris
29
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dengan
jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan
perkumpulan
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus
karyawan kantor notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu
dari notaris yang bersangkutan
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan notaris atau akta
yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang notaris menghadapi
dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan
sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-
kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka
notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat
yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara
yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang
bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yangbbersifat
ekslusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu
instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi
notaris lain untuk berpartisipasi
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum
30
disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara
lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran
terhadap:
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
c. Isi sumpah jabatan notaris
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang
telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia
tidak boleh dilakukan oleh anggota.
B. Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte”
atau “akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed” menurut
pendapat umum mempunyai dua arti, yaitu: 1. Perbuatan (handling) atau
perbuatan hukum (rechtshandeling). 2. Suatu tulisan yang dibuat untuk
dipakai atau untuk digunakan sebagai perbuatan hukum tertentu yaitu
berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu.1 9
1 9Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2006, hal. 149
31
Pengertian akta berdasarkan Pasal 165 Staatsblad Tahun 1941
Nomor 84 adalah:
surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perhal pada akta itu.
Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan,
keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan
yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi.2 0
Dengan demikian, maka unsur penting untuk suatu akta ialah
kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan
tulisan itu. Syarat penandatangan akta tersebut dilihat dari Pasal 1874
KUHPerdata dan Pasal 1 Ordonansi No. 29 Tahun 1867 yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah
tangan yang dibuat oleh orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan
dengan mereka.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di
dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat
2 0Ibid., hal. 149
32
keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya
dan dilihat di hadapannya.2 1
Pasal 101 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta otentik adalah
surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang
menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa
atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
Kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta otentik,
untuk dapat suatu akta memiliki otensitasnya sebagai akta otentik maka
harus memenuhi ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam Pasal
1868 KUHPerdata, yaitu:2 2
a) Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (tenberstaan)
seorang pejabat umum, yang berarti akta-akta Notaris yang isinya
mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan harus menjadikan
Notaris sebagai pejabat umum.
b) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang, maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi
syarat ini maka akta tersebut kehilangan otensitasnya dan hanya
mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta
tersebut ditandatangani oleh para penghadap (comparanten).
2 1Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Yogyakarta, LaksbangPressindo,
2011, hal. 11 2 2Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung, PT. Refika Aditama, 2013,
hal. 10-17
33
c) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut dibuat,
harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab
seorang Notaris hanya dapat melakukan atau menjalankan
jabatannya di dalam daerah hukum yang telah ditentukan baginya.
Jika Notaris membuat akta yang berada di luar daerah hukum
jabatannya maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.
Menurut C. A. Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:2 3
a) Suatu tulisan dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan
bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di
dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang.
Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya
ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.
b) Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari
pejabat yang berwenang.
c) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi;
ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-
kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat
dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan atau jabatan
pejabat yang membuatnya)
2 3Irwan Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya, Arkola, 2003,
hal.148
34
d) Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat
dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam
menjalankan jabatannya.
e) Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat
adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.
Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata, suatu akta otentik
memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang
yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa
yang dimuat didalamnya. Akta otentik merupakan suatu bukti yang
sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu
penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat
dan sempurna.2 4
Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai
pembuktian sebagai berikut:2 5
1) Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan akta itu sendiri untuk
membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat dari
lahirnya sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum
yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta
tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya,
artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan
akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada
2 4Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta, PT, Pradnya Paramitha, 2005, hal. 27 2 5Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Bandung, Refika Aditama, 2008, hal. 72-74
35
pada pihak yang menyangkal keontetikan akta Notaris yang
bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta
adanya awal akta sampai dengan akhir akta.
2) Formal (Formale Bewisjskracht)
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian
dan fakta tersebut dalam akta benar dilakukan oleh Notaris atau
diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang
tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah
ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk
membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal bulan,
tahun, waktu menghadap, dan para pihak yang menghadap, saksi
dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan,
didengar oleh Notaris (pada akta berita acara), dan mencatatkan
keterangan atau pernyataan para pihak atau penghadap (pada akta
pihak). Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka
harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat
membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu
menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,
disaksikan, dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat
membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau kpeterangan para
pihak yang diberikan atau disampaikan dihadapan Notaris, dan
ketidakbenaran tanda tangan para pihak saksi, dan Notaris ataupun
ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata
36
lain, pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus
melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal
dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran
tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.
3) Materiil (Materiele Bewijskracht)
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa
yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah
terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang
mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian
sebaliknya. Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau
dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan
para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris
dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian
dituangkan atau dimuat dalam akta harus dinilai telah benar
berkata demikian. Jika ternyata pernyataan atau keterangan para
penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut
tanggungjawab para pihak sendiri. Dengan demikian isi akta
Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi
bukti yang sah di antara para pihak dan para ahli waris serta para
penerima hak mereka.
37
C. Pembatalan Akta Notaris
Alasan-alasan yuridis secara umum diluar dari aturan UUJN yang
mengakibatkan kebatalan dan pembatalan akta notaris yang pada
umumnya sama dengan alasan-alasan yuridis batalnya perjanjian.
Cacatnya akta notaris dapat menimbulkan kebatalan bagi suatu akta
notaris dan mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak
berlaku atau tidak mempunyai akibat hukumnya.
Adapun yang menjadi sebab-sebab tersebut kebatalan atau
pembatalan suatu akta Notaris dapat disebabkan oleh hal-hal berikut,
yaitu:2 6
1) Tidak memenuhi syarat objektif suatu perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata menegaskan bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat yaitu:
a) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b) cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c) mengenai suatu hal tertentu (objek perjanjian); dan
d) suatu sebab yang halal.
Subekti, membedakan syarat pertama dan kedua sebagai syarat subjektif
karena mengenai subjeknya yang mengadakan perjanjian dan jika syarat
ini tidak terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta
supaya perjanjian dibatalkan (voidable atau vernietigbaar), sedangkan
syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena mengenai
2 6Pieter E. Latumeten, Op.Cit.
38
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan dan jika syarat objektif ini
tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Syarat keempat kausa
yang halal maksudnya isi atau dasar perjanjian harus halal atau bukan
kausa yang terlarang atau kausa yang palsu yaitu kausanya tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan, hal ini
diatur dalam pasal 1335 KUHPerdata dan 1337 KUHPerdata. Selain
perjanjian dengan kausa yang terlarang atau kausa dimana perjanjian
yang dibuat tidak mengandung kausa atau tanpa adanya tujuan dalam
membuat perjanjian, seperti contoh orang membuat perjanjian untuk
membayar angsuran hutang tapi ternyata hutangnya sudah tidak ada lagi.
Dalam hal ini perjanjian yang dibuat tanpa kausa dan tujuan dari
perjanjian yang dibuat tidak mungkin tercapai. Perjanjian yang dibuat
dengan kausa yang terlarang atau kausa yang palsu atau tanpa kausa
mengakibatkan aktanya batal demi hukum.
2) Ketidakcakapan
Kecakapan bertindak dimuka hukum sebagai salah satu syarat
sahnya suatu perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
dipandang dari sudut kedewasaan atau kecakapan relative.
Ketidakcakapan dapat dibedakan dalam dua yaitu:
a) Ketidakcakapan absolut maksudnya ketidakcakapan karena
keadaan atau kenyataan. Contohnya orang yang sakit ingatan (gila)
atau Direksi yang melakukan tindakan ultra vires.
39
b) Ketidakcakapan relatif maksudnya ketidakcakapan menurut ukum
(secara yuridis). Contohnya anak dibawah umur (belum dewasa)
atau perbuatan Direksi yang menmerlukan persetujuan menurut
anggaran dasar tetapi dilakukan tanpa persetujuan. Terdapat istilah
tidak mampu secara faktual (onmachtig) untuk melakukan tindakan
hukum. Misalnya dalam hal sekalipun orang-orang tertentu tidak
berada dibawah pengampuan, ternyata mereka menderita sakit
jiwa, terhipnotis atau dibawah pengaruh narcoticum. Dalam hal
demikian orang-orang itu secara faktual tidak mampu menentukan
sendiri kehendak mereka. Implikasi terhadap ketidakcakapan
faktual mengakibatkan akta yang dibuatnya sejak semula menjadi
tidak sah atau batal demi hukum, sedangkan terhadap
ketidakcakapan relatif mengakibatnkan akta yang dibuatnya dapat
dimintakan pembatalan atau diratifikasi (disahkan) leh wakilnya
yang sah.
3) Ketidakwenangan bertindak
Undang-undang membedakan antara ketidakcakapan bertindak
(handeligson bekwaamheid) dan ketidakwenangan bertindak
(handelingson bevogdheid). Orang yang cakap melakukan tindakan
hukum, oleh undang-undang dapat diklasifikasikan sebagai orang yang
tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu. Ketidakwenangan
untuk melakukan tindakan hukum tertentu harus diatur dalam undang-
undang yang bersifat memaksa dan tidak dapat disimpangi. Bilamana
40
orang-orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak berwenang
melakukan tindakan hukum tertentu, dan tetap melakukan tindakan hukum
itu, maka aktanya menjadi batal demi hukum.
Ketidakwenangan melakukan tindakan hukum tertentu, dalam
undang-undang diatur dalam norma yang bervariasi yaitu:
a) Orang yang karena pekerjaan atau jabatannya oleh undang-
undang dilarang atau tidak berwenang melakukan tindakan hukum
tertentu, tanpa pengecualian, antara lain yang dimaksud dalam
Pasal 907, Pasal 1468, Pasal 1469, Pasal 1470 dan Pasal 1471
KUHPerdata;
b) Orang yang karena pekerjaan, jabatannya atau kedudukannya oleh
undang-undang dilarang atau tidak berwenang melakukan tindakan
hukum tertentu, tapi diberikan pengecualian dengan persyaratan
atau kualifikasi tertentu;
c) Undang-undang menetapkan persyaratan atau kualifikasi bagi
subjek hukum untuk melakukan tindakan hukum tertentu.
4) Bertentangan dengan UU
Ketertiban umum atau Kesusilaan Kausa yang halal merupakan
salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian,
artinya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan UU, Ketertiban Umum
dan Kesusilaan Baik. Perjanjian terlarang dapat ditinjau dari tiga aspek
yaitu:
41
a) Substansi perjanjian yang dilarang.
b) Pelaksanaan Perjanjian yang dilarang.
c) Motivasi atau maksud dan tujuan membuat perjanjian yang
dilarang.
Bertentangan dengan ketertiban umum maksudnya perbuatan yang
melanggar atau bertentangan dengan asas-asas pokok (fundamental) dari
tatanan masyarakat sedangkan bertentangan dengan kesusilaan baik
maksudnya perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan norma
kesusilaan suatu masyarakat dari kesusilaan baik ini dapat berubah
sesuai dengan tempat dan waktu.
Kriteria pelanggaran ketertiban umum dan kesusilaan baik ini
bersifat abstrak sehingga sulit untuk merumuskan bentuk-bentuk kasus
mana yang termasuk dalam kategori pelanggaran ini. Contoh pelanggaran
terhadap kesusilaan baik yaitu Perjanjian agar suami istri mau bercerai
dengan pembayaran sejumlah uang, termasuk dalam pelanggaran
kesusilaan baik. Perjanjian mengenai warisan yang belum terbuka
walaupun atas sepakatnya orang yang akan meninggalkan warisan
dilarang berdasarkan kesusilaan baik. Contoh bentuk pelanggaran
ketertiban umum yaitu kausa menjual yang dibuat untuk menjamin
perjanjian hutang piutang, tidak dapat dianggap sebagai suatu pemberian
kuasa secara sukarela dari pemberian jaminan atau debitur, dan kuasa
menjual ini menjadi tidak sah dan melanggar ketertiban umum, karena
42
merupakan penyelundupan hukum terhadap larangan bersifat memaksa
dimana jaminan harus dilakukan melalui pelelangan umum.
5) Terpenuhinya peristiwa hukum dalam perjanjian dengan syarat
batal
Perjanjan bersyarat (voorwaardelijke verbinbtenis) diatur dalam
Pasal 1253 KUHPerdata yang mengatakan suatu perikatan adalah
bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi
dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya
perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu maupun dengan cara
membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu.
Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena
syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan
pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata
lain perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga
ketitik awal perjanjian itu dibuat.
6) Cacat Kehendak
Kata sepakat merupakan essentialia atau unsur yang mutlak ada
untuk terbentuknya suatu perjanjian dan merupakan syarat subyektif untuk
sahnya perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kata
sepakat menjadi tidak sah jika menganduk cacat kehendak yang
dirumuskan dalam pasal 1321 upakan syarat subyektif untuk sahnya
perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
43
a) Adanya kekhilafan/kesesatan (dwaling).
b) Adanya paksaan (dwang).
c) Adanya penupuan (bedrog).
Secara limitatif cacat kehendak disebabkan karena kekhilafan,
penipuan dan paksaan. Perjanjian-perjanjian yang mengandung cacat
kehendak tetap sah dan mengikat dan hanya memberikan hak untuk
menuntut pembatalan melalui pengadilan, bukan batal demi hukum, dan
hal ini ditegaskan dalam Pasal 1449 Kitab Undang - Undang Hukum
Perdata yang menegaskan bahwa ada cacat kehendak tidak membawa
akibat batal demi hukum tapi pembatalannya harus dituntut dimuka
Pengadilan.
7) Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van omstandigheiden)
Penyalahgunaan keadaan merupakan salah satu alasan untuk
dilakukannya pembatalan, sebagai salah satu bentuk cacat kehendak
yang bukan termasuk dalam pengertian cacat kehendak dalam Pasal
1321 KUHPerdata, yang menyebutkan tiga alasan pembatalan perjanjian
yaitu kekhilafan/kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan
(bedrog).
8) Wanprestasi sebagai syarat batal
Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian
timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya
(wanprestasi) dan dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum
tetapi pembatalannya harus dimintakan kepada Hakim. Pembatalan
44
perjanjian timbale balik disebabkan karena salah satu pihak wanprestasi
diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata yang
berlaku untuk perjanjian timbal balik bukan perjanjian sepihak,
wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat batal dalam
perjanjian timbal balik, wanprestasi terjadi bukan karena keadaan
memaksa atau keadaan diluar kekuasaan (forje majeure atau overmacht),
tetapi terjadi karena kelalaian tergugat dan akibat wanprestasi, penggugat
dapat menuntut pembatalan perjanjian di depan Hakim, dengan demikian
perjanjian tersebut tidak batal demi hukum.
9) Tidak terpenuhinya bentuk perjanjian formil
Suatu perjanjian terdiri atas bagian essentialia, bagian naturalia,
dan bagian accidentalia. Bagian essentialia merupakan bagian mutlak
yang harus ada dalam suatu perjanjian, dimana tanpa adanya bagian
essentialia tersebut mengakibatkan perjanjian menjadi tidak ada (non
existent). Bagian naturalia artinya bagian perjanjian yang diatur dalam
undang-undang (perjanjian bernama), sebagai hukum yang mengatur atau
hukum menambah dan oleh para pihak dapat diganti atau disingkirkan.
Bagian accidentalia artinya bagian dalam suatu perjanjian yang
ditambahkan oleh para pihak, karena UU tidak mengaturnya.
D. Itikad Baik
Itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian. Ketentuan tentang asas itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338
ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
45
baik. Suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih, akan berhadapan
dengan suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik, dan
hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah
pihak harus bertindak dengan kepentingan-kepentingan yang wajar dari
pihak lain.2 7
Perkembangan asas itikad baik ini dapat dilihat pada asas sikap
hatihati kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian. Berdasarkan
asas sikap hati-hati dalam perjanjian tersebut dapat disimpulkan adanya
beberapa kewajiban seperti kewajiban meneliti, kewajiban untuk memberi
keterangan, kewajiban untuk membatasi kerugian, kewajiban untuk
membantu perubahan-perubahan dalam pelaksanaan perjanjian,
kewajiban untuk menjauhkan diri dari persaingan, kewajiban untuk
memelihara mesin-mesin yang dipakai, dan sebagainya.2 8 Pada dasarnya,
itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap
praperjanjian. Meskipun, secara umum itikad baik harus selalu ada pada
setiap tahapan perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu
dapat diperhatikan oleh pihak yang lainnya.
2 7Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak Cetakan ke-4, RajaGrafindo
Persada, 2011, Jakarta, hal. 5 2 8Ibid., hal. 6
46
E. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama
1. Prinsip-Prinsip Dasar Kekuasaan Mengadili
Secara empirik, kekuasan mengadili suatu pengadilan senantiasa
didasarkan atas 6 (enam) prinsip dasar. Prinsip dasar adalah kebenaran
yang menjadi pokok dasar dalam berfikir, bertindak, dan sebagainya.
Enam prinsip dasar dimaksud adalah bahwa:2 9
1) Kompetensi absolut setiap pengadilan didasarkan atas tujuan
dibentuk dan diselenggarakan pengadilan. Untuk apa suatu
pengadilan itu dibentuk jika tidak diberi kekuasaan sesuai
tujuannya;
2) Kompetensi absolut pengadilan didasarkan atas persesuaian
antara spesifikasi pengadilan dengan spesialisasi perkaranya;
3) Kompetensi absolut pengadilan bersifat monopoli;
4) Kompetensi absolut pengadilan atas suatu perkara bersifat utuh
(holistic/kaaffah) meliputi seluruh bagian dari sistem hukum setiap
jenis perkara;
5) Kompetensi absolut setiap pengadilan diatur dalam undang-
undang; dan
6) Dalam hal terjadi kekosongan undang-undang yang mengaturnya
maka penetapan kompetensi absolut atas suatu perkara
dikembalikan kepada prinsip dasar semula, yakni tujuan dibentuk
dan diselenggarakannya suatu pengadilan.
2 9A. Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Kajian Historis,
Filosofis, Ideologis, Politis, Yuridis, Futuris, dan Pragmatis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012, hal. 63 dan 293.
47
2. Kekuasaan Kehakiman Peradilan Agama
Kompetensi berarti kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan
(memutuskan) sesuatu. Kompetensi pengadilan artinya kewenangan atau
kekuasaan pengadilan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan suatu perkara. Kompetensi (kekuasaan) mengadili
merupakan implementasi dari kekuasaan kehakiman3 0 yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.3 1 Persoalan kekuasaan kehakiman yang berhubungan dengan
kompetensi Peradilan Agama berkenaan dengan adanya pengurangan
kewenangan, disparitas kewenangan antar Peradilan Agama dan
pembatasan kompetensi melalui hak opsi atau pilihan forum. Pembatasan
kompetensi melalui hak opsi atau pilihan forum3 2 terjadi pada perkara
pengangkatan anak, sengketa waris, sengketa hak milik dan sengketa
ekonomi syariah.
Hak opsi pada sengketa ekonomi syariah didasarkan pada
penjelasan Pasal 52 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa Peradilan
Umum dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, padahal Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU
3 0Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Rajawali Press, 2009, hal.
310. 3 1Lihat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 3 2Hak opsi menurut Abdullah Tri Wahyudi adalah hak untuk memilih sistem hukum yang
dikehendaki para pihak berperkara sebagai acuan hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara. (Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No.3 Tahun 2006, Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, Yogyakarta, UII Press, 2007, hal.51.
48
Peradilan Agama) menyatakan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi
syariah merupakan kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana
diatur dalam Pasal 49 huruf i. Terhadap hal ini, Abdul Gani
Abdullah mengemukakan analisis normatif-yuridis atas ketentuan tersebut.
Mengenai ayat (1) telah menjadi prinsip hukum bahwa penyelesaian
perkara perbankan syari’ah melalui proses litigasi menjadi kompetensi
absolut pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.3 3
Menurut A. Mukti Arto, Pengadilan Agama di Indonesia sejak
semula dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip dasar
peradilan syariah, yaitu:3 4
a) Dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan perintah syariah Islam.
b) Kedudukannya merupakan bagian dari sistem kekuasaan Negara.
c) Kelembagaannya merupakan simbol syariah Islam.
d) Dilakukan oleh aparat hukum yang beragama Islam sebagai bagian
dari pengamalan syariah Islam dan simbol syariah Islam.
e) Berfungsi memberi pelayanan hukum dan keadilan berdasarkan
syariah Islam, mengawal dan menegakkan serta mengembangkan
syariah Islam.
f) Setiap masalah yang terhadapnya berlaku ketentuan syariah Islam
wajib diselesaikan menurut hukum syariah Islam.
3 3Zulkarnain, Pergeseran Kompetensi Peradilan Agama dalam Hukum Positif di Indonesia,
2018, diakses dari https://pta-makassar.go.id/berita/pergeseran-kekuasaan-kehakiman-peradilan-agama#_ftn25, pada 12 November 2020
3 4A. Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012, hal. 38.
49
g) Setiap sengketa atau perkara yang tunduk kepada hukum syariah
Islam, penyelesaiannya menjadi kompetensi peradilan syariah
Islam.
Peradilan Agama sebagai peradilan Islam dapat diperhatikan pada
identifikasi berikut:3 5
1) Landasan teologis-filosofis Peradilan Islam. Peradilan Agama
dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan
hukum dan keadilan Allah dalam komunitas umat.
2) Secara yuridis, Peradilan Agama berkembang mengacu kepada
konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Negara Indonesia.
3) Secara historis, menurut para fuqaha, Peradilan Agama merupakan
salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan
sejak masa Rasulullah SAW.
4) Secara sosiologis menunjukkan bahwa Peradilan Agama
merupakan produk interaksi antara elit Islam dan elit politik yang
didukung serta dikembangkan oleh masyarakat Islam Indonesia
sejak lebih satu abad silam.
Pemulihan kompetensi Peradilan Agama sebagai peradilan syari’ah
Islam telah disiapkan pada rumusan Pasal 2 UU Peradilan Agama yang
mengubah kata “mengenai perkara perdata tertentu” menjadi “mengenai
perkara tertentu”. Penghapusan kata “perdata” menujukkan adanya
3 5Aden Rosadi,Peradilan Agama Di Indonesia Dinamika Pembenrukan Hukum , Bandung,
Simbiosa Rekatana Media, 2015, hal. 21.
50
peluang perluasan kompetensi absolut Pengadilan Agama ke bidang
“bukan perdata” sebagaimana terdapat pada Mahkamah Syar’iyah di
wilayah Provinsi Aceh yang memiliki kompetensi mengadili perkara
jinayah (pidana) tertentu.3 6
Selain memberi peluang menangani perkara “bukan perdata”, UU
Peradilan Agama memberi wewenang kepada Pengadilan Agama
mengadili perkara ekonomi syariah. Ini menggambarkan bahwa Peradilan
Agama telah masuk mengadili stelsel hukum muamalat (niaga).
Perkembangan ini memunculkan wacana tentang kemungkinan dan
perlunya diwujudkan dua pengadilan khusus di Peradilan Agama, antara
lain berupa Pengadilan Keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah; family
court) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa hukum keluarga dan
Pengadilan Mu’amalah Syar’iyyah (al-amwāl al-syar’iyah) yang bertugas
untuk menyelesaikan sengketa harta kekayaan yang berkaitan dengan
harta bersama, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syari’ah. Dalam era reformasi hukum sekarang ini, wacana
tersebut sudah saatnya digulirkan agar menjadi kenyataan untuk
mengantisipasi kebutuhan mendesak masyarakat pencari keadilan lewat
pengadilan khusus.3 7
3 6Zulkarnain, Op.Cit. 3 7Syamsuhadi Irsyad dalam Zulkarnain, Pergeseran Kompetensi Peradilan Agama dalam
Hukum Positif di Indonesia, 2018, diakses dari https://pta-makassar.go.id/berita/pergeseran-kekuasaan-kehakiman-peradilan-agama#_ftn25, pada 12 November 2020.
51
F. Landasan Teori
1. Teori Pertanggungjawaban Hukum
Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang secara
etimologi berarti kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi
menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain.
Pertanggungjawaban adalah suatu keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya (kalau ada hal yang boleh dituntut, dipersalahkan, dan
sebagainya). Notaris selaku pejabat umum, oleh penguasa yang
berwenang untuk kepentingan setiap warga Negara diangkat secara sah,
diberikan wewenang untuk memberikan otentisitas kepada tulisan-
tulisannya mengenai perbuatan-perbuatan, persetujuan-persetujuan, dan
ketetapan-ketetapan dari orang-orang yang menghadap kepadanya agar
masyarakat memperoleh kepastian hukum dari akta yang dibuat oleh
Notaris atas keinginan/kehendak para pihak yang semula keinginan
tersebut sudah disampaikan oleh para pihak kepada Notaris dan berniat
untuk dituangkan kedalam bentuk akta otentik.
Menurut Hans Kelsen pertanggungjawaban dibagi menjadi empat
macam yaitu:3 8
a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung
jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri.
3 8Hans Kelsen, terjemahan Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni, Bandung, Nuansa dan
Nusamedia, 2006, hal. 140.
52
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
orang lain.
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa
seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang
dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan
menimbulkan kerugian.
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
Pertanggungjawaban merupakan sikap atau tindakan untuk
menanggung akibat dari segala perbuatan atau sikap yang dilakukan
untuk menanggung segala risiko ataupun konsekuensi yang ditimbulkan
dari suatu perbuatan. Seorang Notaris, dalam menjalankan jabatannya
mempunyai tanggung jawab yang lahir dari adanya kewajiban dan
kewenangan yang diberikan kepadanya, kewajiban dan kewenangan
tersebut secara sah dan terikat mulai berlaku sejak Notaris mengucapkan
sumpah jabatannya sebagai Notaris. Sumpah yang telah diucapkan
tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala tindakan Notaris dalam
menjalankan jabatannya. Pertanggungjawaban Notaris dapat
dikelompokkan menjadi 3 yaitu:3 9
3 9Kunni Afifah, Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata
Terhadap Akta yang Dibuatnya, Tesis, Yogyakarta, Magister Kenotariatan Universita Islam Indonesia, 2017, hal. 82
53
1. Pertanggungjawaban Administrasi Notaris
Secara hukum administrasi, Undang-Undang Jabatan Notaris
memberikan kewenangan kepada Notaris, ketika ketentuan yang
diberikan tersebut tidak diindahkan maka akan menimbulkan akibat
hukum, akta yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi akta dibawah tangan.
Notaris merupakan Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik.
2. Pertanggungjawaban Perdata Notaris
Sebagai Notaris dalam melaksanakan kewenangannya, pertanggung
jawaban secara perdata dalah yang sangat berat, karena tuntutan
tersebut dalam jumlah yang besar, dapat terjadi disebabkan kesalahan
yang sebenarnya belum begitu dapat dipertanggung jawabkan Notarisnya.
Apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak
penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya
sesuai peraturan. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang
disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan
palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab
para pihak.4 0
4 0Andi Mamminanga, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam
Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2008, hal. 32.
54
Pertanggungjawaban Notaris secara perdata terhadap akta-akta
yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa akta yang dibuat oleh Notaris
berkaitan dengan masalah keperdataan yaitu mengenai perikatan yang
dibuat oleh dua pihak atau lebih meskipun memungkinkan dibuat secara
sepihak (sifatnya hanya menguatkan). Notaris bertanggung jawab
terhadap para pihak yang bersangkutan mana kala akta yang dihasilkan
terdapat cacat dalam bentuk, hanya merupakan suatu akta yang dibuat
dibawah tangan. Dalam semua hal tersebut Notaris memiliki kewajiban
untuk membayar ganti rugi.
Asnahwati H. Herwidi mengatakan bahwa, pada dasarnya Notaris
tidak bertanggung jawab terhadap isi akta yang dibuat di hadapannya
karena mengenai isi dari akta tersebut merupakan kehendak dan
kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Notaris hanya menuangkan
kesepakatan tersebut kedalam bentuk akta otentik sehingga dalam hal ini
Notaris hanya bertanggung jawab terhadap bentuk formal akta otentik
sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang.4 1 Meski demikian,
Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata
berdasarkan tuntutan adanya perbuatan melanggar hukum, artinya
walaupun Notaris hanya mengkonstatir keinginan dari para pihak atau
penghadap bukan berarti Notaris tidak melakukan perbuatan bertentangan
dengan hukum.4 2
4 1Kunni Afifah, Op.Cit., hal. 82 4 2Yusnani, Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi
Kasus di Kota Medan), Medan, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2007, hal. 61.
55
Perihal kerugian dalam perbuatan melanggar hukum secara perdata
Notaris dapat dituntut untuk menggati kerugian-kerugian para pihak yang
berupa kerugian materiil dan dapat pula berupa kerugian immaterial.
Kerugian dalam bentuk materiil, yaitu kerugian yang jumlahnya dapat
dihitung, sedangkan kerugian immaterial, jumlahnya tidak dapat dihitung,
misalnya nama baiknya tercemar, mengakibatkan kematian. Dengan
adanya akta yang dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
mengakibatkan timbulnya suatu kerugian, sehingga unsur harus ada
kerugian telah terpenuhi. Gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan
melanggar hukum apabila pelaku melakukan perbuatan yang memenuhi
keseluruhan unsur Pasal 1365 KUHPerdata, mengenai siapa yang
diwajibkan untuk membuktikan adanya perbuatan melanggar hukum.4 3
3. Pertanggung jawaban Pidana Notaris
Dalam mempertanggungjawabkan perbuatanya Notaris dapat
bertanggung jawab atas pidana, perdata maupun administatif sesuai
dengan pelanggaran ataupun kelalainya, dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang sekiranya dilanggar oleh Notaris.
Raden Soegondo Notodisoerjo menyatakan tentang apa yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh Notaris yaitu apabila penipuan atau tipu
muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri.4 4 Hal tersebut dapat terjadi
apabila seorang Notaris dalam suatu transaksi peralihan hak misalnya
4 3Kunni Afifah, Op.Cit. 4 4Loc.Cit
56
dalam akta jual beli dengan sengaja mencantumkan harga yang lebih
rendah dari harga yang sesungguhnya.
2. Teori Kepastian Hukum
Pengertian Kepastian Hukum menurut Sudikno Mertukusumo ialah
sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara
yang baik. Kepastian Hukum menghendaki adanya upaya pengaturan
hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh para pihak yang
berwenang dan beribawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek
yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi
sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.4 5
Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu
pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perubahan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua verupa
kemanan hukum bagi individu dari kesewenangan perintah karena dengan
adanya aturan hukum yang bersifat umum itu dapat mengetahui apa saja
yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dala putusan hakin antar putusan
hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang
telah diputuskan.4 6
4 5Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Edisi ke-2 Cetakan ke-5,
Liberty, Yogyakarta,2007, hal. 27 4 6Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Pranada, 2008, hlm.158
57
Kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan
kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan
hukum. Van Kant mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga
kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentungan itu tidak dapat
diganggu, berdasarkan anggapan Van Kant, Utrecht mengemukakan
pendapat bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum
(rechtzeker heid) dalam pergaulan manusia. Bagi dia hukum menjamin
kepada pihak yang satu terhadap pihak yang lain.4 7
Kepastian hukum ini merupakan pokok dari ajaran yuridis dogmatic
yang bersumber dari pemikiran positivistis di dunia hukum yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri
karena hukum tak lain hanya kumpulan aturan.4 8 Bagi penganut aliran ini
seperti Jhon Austin dan Van Kant, hukum dengan sifatnya yang hanya
membuat aturan hukum hanyalah sekedar untuk menjamin kepastian
hukum.4 9
G. Kerangka Pikir
Tesis ini membahas tentang hasil penelitian yang telah dilakukan
mengenai tangggung jawab notaris terhadap pembatalan akta melalui
putusan hakim. Pertanggungjawaban hukum bagi notaris dapat baik
secara administrasi, secara perdata, maupun secara pidana. Pada
dasarnya pertanggungjawaban hukum dimaksudkan untuk memberikn
4 7Chainur Arrasjid, 2008, Dasar – Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, hal. 42 4 8Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Edisi Kedua, Jakarta, Prenada Media Group, 2015, hal.
97 4 9Loc.,Cit.
58
kepastian hukum bagi pihak yang dirugikan akibat dibatalkannya suatu
akta melalui putusan hakim. Kepastian hukum yang dimaksud yaitu
kepastian hukum terhadap keabsahan akta yang dibuat, dan kepastian
hukum terhadap kesesuaian prosedur dalam pembuatan akta. Untuk lebih
jelasnya, berikut digambarkan dalam bentuk bagan di bawah ini.
Bagan Kerangka Pikir:
H. Definisi Operasional
1) Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik menjamin kepastian tanggal
TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBATALAN
PEMBATALAN AKTA MELALUI PUTUSAN HAKIM
Pertanggungjawaban hukum Notaris terhadap pembatalan akta melalui putusan hakim. Pertanggungjawaban hukum dapat berupa:
1. Secara Administratif; 2. Secara Perdata; dan 3. Secara Pidana.
Jaminan kepastian hukum bagi pihak yang dirugikan akibat dibatalkannya akta yang dibuat notaris melalui putusan hakim. Jaminan kepastian hukum terhadap:
1. Keabsahan Akta yang Dibuat; 2. Kesesuaian prosedur dalam
pembuatan akta.
Terwujudnya Pertanggungjawaban Hukum Notaris
dan Jaminan Kepastian Hukum Bagi Para Pihak
59
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosee, Salinan
dan kutipan akta.
2) Tanggung jawab Notaris sebagai Pejabat umum
meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri yang
berhubungan dengan akta. Sehubungan dengan kewenangannya
tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas
perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta otentik.
3) Pembatalan akta notaris adalah pernyataan batalnya suatu
tindakan hukum atas tuntutan dari pihak-pihak yang oleh undang-
undang dibenarkan untuk menuntut pembatalan seperti itu.
4) Pembatalan sebagian akta yaitu adanya pembatalan oleh hakim
sebagian dari isi gugatan terhadap isi akta yang mana karena
adanya penyalahgunaan kehendak sebagai alasan pembatalan isi
akta.
5) Perbuatan Melawan Hukum yang dimaksud dalam penelitian ini
yaitu Perbuatan Melanggar Hukum. Hal ini disebabkan karena
dalam putusan yang diteliti menggunakan frasa Perbuatan
Melawan Hukum, tetapi menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata
sebagai dasar hukum.
6) Akta Notaris adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris
menurut KUHPerdata pasal 1870 dan HIR pasal 165 yang
mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat.
60
7) Tanggung jawab dalam hukum perdata berupa tanggung jawab
akibat perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatigedaad) dan
tanggung jawab akibat perbuatan ingkar janji (wanprestasi).
8) Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk
menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah
terjadi.
9) pertanggung jawaban administrasi adalah melakukan perekapan
data, mengelola dokumen dan tentunya menyimpannya secara
terstruktur. Admin kantor juga perlu membangun hubungan baik
dengan setiap karyawan.
10) kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11) Para pihak merupakan dua pihak atau lebih yang mana mereka
mempunyai hubungan hukum isinya adalah hak dan kewajiban,
satu hak untuk menuntut sesuatu dan di lain pihak berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan tersebut.
12) Keabsahan akta yaitu, sahnya akta yang dibuat baik itu akta
dibawah tangan maupun akta otentik, dimana memenuhi seluruh
syarat sahnya perjanjian antara para pihak yang ingin
mengikatkan diri dalam suatu akta yang dibuat.