Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

19
1 Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut Karya Harijadi S. Hartowardojo: Kajian Sosiologi Sastra Novinka Praramadona Putri, Sunu Wasono Indonesian Studies Program, Faculty of Humanities, University of Indonesia, UI Campus Depok 16424 E-mail: [email protected] Abstrak Melalui novel Perjanjian dengan Maut (PDM) karya Harijadi S. Hartowardojo, pembaca mampu mendapatkan penggambaran mengenai dunia religi Kejawen, suatu religi yang dianut oleh orang Jawa. Hal ini mengingat bahwa dengan membaca karya sastra pembaca mampu mempelajari berbagai “dunia” karena karya sastra mencerminkan realitas. Berbagai konsep dan keyakinan terkandung dalam religi tersebut. Dalam tulisan ini penulis bermaksud mendeskripsikan dan menjelaskan konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel PDM. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsep dan keyakinan religi tersebut didominasi oleh hal-hal bersifat mistik. Concepts and Beliefs of Kejawen in Perjanjian dengan Maut By Harijadi S. Hartowardojo: Analysis of Sociology of Literature Abstract Through Perjanjian dengan Maut (PDM) by Harijadi S. Hartowardojo readers are able to get information about the world of religion of Kejawen, a Javanese people religion. This is because literature reflects the reality, so readers can learn “world” by reading literature. Kejawen consist of many concepts and beliefs. This study describes and explains those concepts and beliefs based on PDM. The result shows that concepts and beliefs are dominated by mystical things. Keywords: Religion of Kejawen, Mystical, Javanese People Pendahuluan Mulai dari masa Balai Pustaka hingga dewasa ini, berbagai macam kehidupan masyarakat tradisional Indonesia dijadikan sebagai latar cerita novel-novel Indonesia. Pada masa awal lahirnya sastra Indonesia modern, latar budaya Minang sangat mendominasi. Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, dan Salah Pilih (1928) karya Nur Sutan Iskandar merupakan beberapa novel yang berlatarkan kehidupan masyarakat Minang. Pada masa berikutnya, khazanah sastra Indonesia diperkaya dengan Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Transcript of Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

Page 1: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

1

Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut Karya Harijadi S. Hartowardojo: Kajian Sosiologi Sastra

Novinka Praramadona Putri, Sunu Wasono

Indonesian Studies Program, Faculty of Humanities, University of Indonesia, UI Campus Depok 16424

E-mail: [email protected]

Abstrak

Melalui novel Perjanjian dengan Maut (PDM) karya Harijadi S. Hartowardojo, pembaca mampu mendapatkan penggambaran mengenai dunia religi Kejawen, suatu religi yang dianut oleh orang Jawa. Hal ini mengingat bahwa dengan membaca karya sastra pembaca mampu mempelajari berbagai “dunia” karena karya sastra mencerminkan realitas. Berbagai konsep dan keyakinan terkandung dalam religi tersebut. Dalam tulisan ini penulis bermaksud mendeskripsikan dan menjelaskan konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel PDM. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsep dan keyakinan religi tersebut didominasi oleh hal-hal bersifat mistik.

Concepts and Beliefs of Kejawen in Perjanjian dengan Maut By Harijadi S. Hartowardojo: Analysis of Sociology of Literature

Abstract

Through Perjanjian dengan Maut (PDM) by Harijadi S. Hartowardojo readers are able to get information about the world of religion of Kejawen, a Javanese people religion. This is because literature reflects the reality, so readers can learn “world” by reading literature. Kejawen consist of many concepts and beliefs. This study describes and explains those concepts and beliefs based on PDM. The result shows that concepts and beliefs are dominated by mystical things. Keywords: Religion of Kejawen, Mystical, Javanese People

Pendahuluan

Mulai dari masa Balai Pustaka hingga dewasa ini, berbagai macam kehidupan

masyarakat tradisional Indonesia dijadikan sebagai latar cerita novel-novel Indonesia. Pada

masa awal lahirnya sastra Indonesia modern, latar budaya Minang sangat mendominasi. Sitti

Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, dan Salah Pilih

(1928) karya Nur Sutan Iskandar merupakan beberapa novel yang berlatarkan kehidupan

masyarakat Minang. Pada masa berikutnya, khazanah sastra Indonesia diperkaya dengan

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 2: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

2

terbitnya novel-novel, seperti Widyawati (1949) karya Arti Purbani dan Perjanjian dengan

Maut (PDM)1 (1976) karya Harijadi S. Hartowardojo yang berlatarkan kehidupan masyarakat

Jawa, Sang Guru (1973) karya Gerson Poyk yang berlatarkan kehidupan masyarakat Ternate,

Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan yang berlatarkan kehidupan masyarakat Dayak,

dan Tarian Bumi (2007) karya Oka Rusmini yang berlatarkan kehidupan masyarakat Bali.2

Dengan membaca novel-novel tersebut, pembaca mampu mendapatkan gambaran

berbagai kehidupan masyarakat tradisional. Misalnya, jika membaca novel-novel berlatarkan

masyarakat Minang, pembaca dapat mengetahui bagaimana kehidupan sosial masyarakat

Minang. Begitu pula ketika membaca novel yang berlatarkan kehidupan masyarakat Jawa,

pembaca dapat mengetahui bagaimana kehidupan sosial orang Jawa. Hal ini dapat terjadi

karena pada dasarnya karya sastra, khususnya novel “menyajikan kehidupan”, dan

“kehidupan” sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial, sebagaimana dikatakan oleh Wellek

dan Warren (2014:98). Dengan kata lain, apa yang diceritakan dalam karya sastra merupakan

cermin dari realitas atau berasal dari kenyataan.

Mayoritas novel-novel berlatarkan kehidupan tradisional menceritakan permasalahan

adat terkait pernikahan. Hal ini dapat ditemukan dalam Sitti Nurbaya (1922), Salah Asuhan

(1928), Salah Pilih (1928), Upacara (1978), dan Tarian Bumi (2007). Meskipun begitu, di

antara novel-novel yang mengisahkan persoalan pernikahan itu, ada novel yang mengisahkan

dunia religi. Novel tersebut adalah PDM (1976). Dunia religi yang dikisahkan dalam novel

tersebut adalah dunia religi Kejawen3 yang menurut Koentjaraningrat (1984:312) merupakan

suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik

yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Kisah mengenai dunia religi

seperti yang diceritakan dalam novel PDM jarang sekali ditemukan dalam karya-karya sastra

Indonesia. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahasnya dalam penelitian ini.

Studi terhadap karya sastra dapat menggunakan kajian sosiologi sastra. Kajian ini

menurut Damono (2010:2) merupakan suatu pendekatan terhadap sastra yang

mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Melalui kajian ini penelitian menyoroti aspek-

aspek sosial yang terdapat dalam suatu karya sastra. Ada tiga pendekatan yang dapat

digunakan dalam meneliti suatu karya sastra dengan kajian sosiologi sastra, yakni pendekatan

1 Selanjutnya digunakan singkatan PDM untuk menyebut novel Perjanjian dengan Maut dalam tulisan ini. 2 Lihat A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1989, hlm. 184—187 dan Maman S. Mahayana dkk., Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, PT Grasindo, Jakarta, 1995, hlm. 6 dan 15. 3 Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebutkan religi tersebut, antara lain “Kejawen” atau “Kejawaan” atau “Jawanisme” (Mulder, 2001); “Agami Jawi” (Koentjaraningrat, 1984); dan “Islam Kejawen” (Hariwijaya, 2006). Dalam tulisan ini, digunakan istilah “Kejawen” untuk menyebut religi tersebut.

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 3: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

3

terhadap pengarang, isi karya sastra, dan pembaca karya sastra. Dalam mengkaji novel PDM

penulis menggunakan pendekatan terhadap isi karya sastra. Dengan menggunakan pendekatan

itu, karya sastra dikaji dalam rangka melihat hubungan karya sastra dengan hal yang diacunya

di luar karya sastra. Penelitian ini dilandasi oleh adanya kenyataan bahwa setiap orang dapat

meneliti berbagai “dunia” dalam sebuah karya sastra: dunia cinta dan perkawinan, dunia

bisnis, dunia rohaniawan, dan dunia profesi, sebagaimana dikatakan oleh Wellek dan Waren

(2014:111). “Dunia” yang dapat diteliti melalui novel tersebut adalah dunia religi Kejawen.

Adapun sebagai suatu sistem religi, Kejawen memiliki berbagai konsep dan keyakinan.

Berdasarkan hal tersebut, muncullah permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini,

yaitu apa sajakah konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel PDM

karya Harijadi S. Hartowardojo dan bagaimanakah konsep dan keyakinan tersebut

digambarkan oleh pengarang dalam novel PDM? Dengan permasalahan yang demikian,

penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep dan keyakinan religi Kejawen yang

digambarkan dalam novel PDM karya Harijadi S. Hartowardojo dan menjelaskan

penggambaran konsep dan keyakinan tersebut.

Tinjauan Teoretis

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan

dalam novel PDM. Dalam mengungkap hal tersebut, pertama-tama dibahas unsur intrinsik

novel PDM. Unsur intrinsik dibahas karena pada dasarnya karya sastra merupakan suatu

struktur yang dibangun oleh berbagai unsur sehingga hal tersebut perlu dibahas dalam

penelitian ini. Melalui analisis unsur intrinsik, yakni analisis tokoh dan penokohan, alur, dan

latar, dapat ditemukan sejumlah hal yang berkaitan dengan religi Kejawen. Dengan kata lain,

analisis unsur intrinsik pun digunakan sebagai alat untuk mendeskripsikan dan menjelaskan

konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel tersebut.

Tokoh merupakan pelaku cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita tidaklah terlepas dari

adanya penokohan. Nurgiyantoro (2013:248) menjelaskan bahwa “penokohan” lebih luas

artinya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh

cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah

cerita. Tokoh dalam cerita dapat dibagi atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Dengan

melakukan analisis penokohan dapat diketahui kedudukan tokoh dalam cerita. Melalui

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 4: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

4

analisis tersebut diketahui bahwa tokoh utama novel PDM adalah tokoh laki-laki bernama

Wardjo, sedangkan tokoh tambahannya terdiri atas tokoh manusia, seperti Ling Ling; dan

tokoh makhluk halus, seperti Nyai Loro Kidul.

Secara sederhana, alur atau plot berarti jalan cerita. Di dalam alur terdapat berbagai

peristiwa. Menurut Kenney, plot reveals events to us, not only in their temporal, but also in

their causal relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in a

temporal series but also as an intricate pattern of cause and effect (1966:13—14). Alur

terbagi atas tiga tahap. Kenney (1966:14—19) menyebutkan bahwa alur terdiri atas beginning

(tahap awal), middle (tahap tengah), dan end (tahap akhir). Alur tidaklah selalu berturut-turut

dimulai dari tahap awal hingga tahap akhir. Namun, terkadang dapat dimulai pada tahap

tengah, tahap awal, dan diakhiri tahap akhir; atau dimulai dari tahap akhir, tahap awal, tahap

tengah, kembali ke tahap awal, dan diakhiri dengan tahap akhir. Alur yang demikian disebut

oleh Nurgiyantoro (2013:215) sebagai plot campuran. Lebih jelas, Nurgiyantoro (2013:215)

mengatakan bahwa plot dalam sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya,

betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Tahapan alur yang

seperti itu dapat ditemukan dalam novel PDM.

Unsur intrinsik yang selanjutnya dibahas dalam penelitian ini adalah latar atau setting.

Kenney (1966:38) mengatakan bahwa the term “setting” refers to the points in time and

space at which the events of the plot occur. Selain itu, Kenney (1966:40) juga menyebutkan

bahwa the religious, moral, intellectual, social, and emotional environtment of the characters

termasuk latar cerita. Dalam penelitian ini, dibahas latar tempat, waktu, dan sosial. Dalam

novel PDM, berbagai tempat di Pulau Jawa digunakan sebagai latar tempat terjadinya

berbagai peristiwa, sedangkan waktu yang memiliki kaitan dengan peristiwa sejarah Indonesia

dijadikan sebagai latar waktu, dan kehidupan sosial masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh

ajaran religi Kejawen dijadikan sebagai latar sosial.

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, penelitian ini terfokus pada pembahasan

mengenai konsep dan keyakinan religi Kejawen. Pembahasan mengenai hal tersebut

dilakukan dengan merujuk apa yang dibicarakan dalam novel PDM dengan hal-hal di luar

novel tersebut. Grebstein (Damono, 2010:6) pernah menyatakan bahwa karya sastra tidak

dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan

atau peradaban yang telah menghasilkannya. Berdasarkan hal itu, pembahasan terkait sistem

religi Kejawen dilakukan dengan melakukan studi literatur mengenai Kejawen.

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 5: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

5

Melalui studi literatur tersebut didapati bahwa dalam Kejawen terkandung berbagai

bentuk konsep dan keyakinan. Koentjaraningrat (1984:319) menyebutkan bahwa dalam

sistem religi tersebut terdapat konsep dan keyakinan sebagai berikut.

Setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa, terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti yakin akan adanya Allah, yakin bahwa Mohammad adalah Pesuruh Allah, yakin akan adanya nabi-nabi lain, yakin akan adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat, yakin akan adanya konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan alam, eskatologi, yakin akan adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta, memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek-moyang yang sudah meninggal, yakin akan adanya roh-roh penjaga, yakin akan adanya setan, hantu dan raksasa, dan yakin akan adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta ini.

Selain itu, didapati pula bahwa penganut religi Kejawen meyakini adanya perjanjian atau

kontrak kerja yang dibuat oleh manusia dengan makhlus halus, adanya pernikahan yang

terjadi antara manusia dengan makhluk halus, adanya konsep sangkan paraning dumadi4,

adanya tempat-tempat keramat, adanya benda-benda bertuah atau jimat, dan konsep mengenai

Ratu Adil. Sejumlah hal yang telah disebutkan dapat ditemukan dalam novel PDM, antara lain

melalui penggambaran tokoh, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan penggunaan tempat-

tempat tertentu sebagai latar peristiwa

Metode Penelitian

Penelitian yang menjadikan novel PDM karya Harijadi S. Hartowardojo sebagai bahan

analisis ini menggunakan metode deskriptif analitik sebagai metode penelitian. Metode

deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul

dengan analisis, sebagaimana dikatakan oleh Ratna (2013:53). Dalam penelitian ini, pertama-

tama penulis mengumpulkan fakta-fakta dari novel PDM terkait unsur intinsik maupun

konsep dan keyakinan religi Kejawen. Kemudian fakta-fakta tersebut dianalisis dengan

dilandasi oleh hasil kajian kepustakaan.

Konsep dan Keyakinan Religi Kejawen dalam PDM

Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dalam penelitian ini

dilakukan analisis terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik novel PDM. Pada bagian ini, secara 4 Sangkan paraning dumadi (Jw.): asal dan kembalinya segala makhluk hidup. (Utomo, 2009:414)

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 6: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

6

berurutan akan dipaparkan hasil penelitian serta pembahasan tokoh dan penokohan, alur, dan

latar novel PDM. Hasil penelitian dan pembahasan konsep dan keyakinan religi Kejawen

yang digambarkan dalam novel tersebut akan dipaparkan setelahnya.

Hasil analisis tokoh dan penokohan menunjukkan bahwa tokoh novel tersebut terdiri

atas satu tokoh utama dan sejumlah tokoh tambahan. Tokoh yang dimunculkan tidak hanya

tokoh manusia saja, tetapi ada pula tokoh makhluk halus. Berikut tabel yang memperlihatkan

hasil analisis tokoh dan penokohan novel PDM. Tabel 1. Tokoh dan Penokohan Novel PDM Nama Tokoh Keterangan Tokoh Utama

Wardjo - Seorang pelajar Sekolah Pelayaran Tegal yang kemudian menjadi anggota Barisan Keamanan Rakyat (BKR)

- Tokoh yang bersumpah kepada Nyai Loro Kidul dan menikahinya

- Tokoh yang dianggap sebagai Ratu Adil Tokoh Tambahan

Lelaki tua dan perempuan setengah tua

- Tokoh yang memberikan pertolongan kepada Wardjo

Embah Slamet - Tokoh makhluk halus yang memberikan pertolongan dan memberikan tongkat galih asam kepada Wardjo

Nyai Loro Kidul - Tokoh makhluk halus yang memberikan pertolongan kepada Wardjo

- Tokoh yang membuat Wardjo meyakini adanya Tuhan Ling Ling - Tokoh yang membuat Wardjo melanggar sumpahnya Dokter Fadil, Bu Sastro, dan Tong Dji

- Tokoh-tokoh yang mempertemukan Wardjo dengan Ling Ling

Ibu Wardjo, Bu Marto, dan Babah Jitu

- Tokoh-tokoh yang melarang Wardjo menikahi Ling Ling

Pater Sudijono - Tokoh yang membaptis Wardjo Sebagaimana ditunjukkan melalui tabel tersebut tokoh utama novel PDM adalah

Wardjo. Menurut Nurgiyantoro (2013:258), tokoh utama merupakan tokoh yang tergolong

penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita.

Wardjo tergolong sebagai tokoh utama dalam novel PDM karena Wardjo adalah tokoh

penting dalam novel tersebut. Pentingnya keberadaan Wardjo dibuktikan dengan

kehadirannya yang terus-menerus dalam cerita dan pada dasarnya cerita menyoroti segala hal

yang terjadi pada Wardjo. Pada awal kemunculannya, ia digambarkan sebagai seorang pelajar

Sekolah Pelayaran Tegal milik Jepang yang melakukan pembakaran kapal latih sekolah

tersebut. Aksi itu membuatnya menjadi buronan polisi Jepang sehingga ia harus hidup

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 7: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

7

berpindah tempat agar tidak tertangkap. Aksi pemberontakkannya itu pun membuatnya

dianggap sebagai sosok Ratu Adil. Ketika hidup berpindah tempat ia bertemu dengan

sejumlah tokoh yang tergolong tokoh tambahan. Salah satunya adalah Nyai Loro Kidul.

Pertemuannya dengan tokoh mitos Jawa itu membuatnya jatuh cinta sehingga pernikahan di

antara keduanya terjadi tanpa direncanakan dan ia pun mengucapkan sumpah yang dilarang

untuk diucapkan kepada Nyai Loro Kidul. Pada bagian lain dari cerita PDM, Wardjo berperan

sebagai anggota BKR yang selalu selamat dalam pertempuran revolusi karena memiliki

tongkat galih asam yang diberikan oleh Embah Slamet dan mendapat petunjuk-petunjuk untuk

memenangkan pertempuran dari Nyai Loro Kidul.

Sepanjang cerita, tokoh utama berinteraksi dengan sejumlah tokoh tambahan.

Sebagaimana tertera pada tabel tersebut, tokoh tambahan novel PDM terdiri atas lelaki tua,

perempuan setengah tua, Embah Slamet, Nyai Loro Kidul, Ling Ling, Dokter Fadil, Bu Sastro,

Tong Dji, Narto, Ibu Wardjo, Bu Marto, Babah Jitu, dan Pater Sudijono. Nurgiyantoro

(2013:258) menjelaskan bahwa tokoh tambahan merupakan tokoh yang hanya dimunculkan

sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang

relatif pendek. Berdasarkan hal tersebut tokoh-tokoh tersebut memanglah tergolong tokoh

tambahan karena mereka tidak menjadi fokus penceritaan. Ada beberapa tokoh yang hanya

dimunculkan pada awal atau akhir cerita dan ada yang hanya sesekali. Dengan kata lain,

tokoh-tokoh itu memiliki porsi penceritaan yang pendek. Tokoh-tokoh tambahan dalam novel

PDM itu pun memiliki peran sebagai pendukung tokoh utama.

Tokoh lelaki tua, perempuan setengah tua, dan Embah Slamet adalah tokoh yang

hanya dimunculkan pada bagian awal cerita. Keduanya berperan sebagai tokoh yang

memberikan pertolongan pada Wardjo selama menjadi buronan polisi Jepang. Tidak sekadar

memberikan pertolongan kepada Wardjo, Embah Slamet yang merupakan tokoh makhluk

halus dalam novel PDM juga memberikan tongkat galih asam yang merupakan jimat

keselamatan. Ketika Wardjo menjadi anggota BKR, tongkat tersebut selalu

menyelamatkannya dalam pertempuran melawan Belanda.

Tokoh Nyai Loro Kidul jugalah tokoh makhluk halus dalam novel PDM. Tokoh yang

dimunculkan beberapa kali dalam cerita itu pun berperan sebagai tokoh yang memberikan

pertolongan kepada Wardjo. Pertolongan diberikan tidak hanya ketika Wardjo sedang menjadi

buronan Jepang, tetapi juga ketika Wardjo menjadi anggota BKR. Selain itu, tokoh makhluk

halus itu juga berperan sebagai tokoh yang membuat Wardjo menyatakan sumpah bahwa laki-

laki itu akan selalu mencintainya dan tidak akan pernah mencintai bahkan menikahi

perempuan lain.

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 8: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

8

Dalam novel PDM diceritakan bahwa Wardjo tidak dapat memenuhi janjinya setelah

ia bertemu dengan tokoh Ling Ling yang baru muncul mulai dari pertengahan cerita. Wardjo

dipertemukan dengan Ling Ling atas bantuan tokoh Dokter Fadil, Bu Sastro, dan Tong Dji.

Dengan adanya pertemuan itu, Wardjo mulai jatuh cinta pada perempuan itu. Pada akhirnya,

ia pun menikahi Ling Ling. Dengan kata lain, ia telah melanggar sumpahnya sehingga ia

terkena kutukan yang membuatnya hampir meninggal. Jika saja Nyai Loro Kidul tidak

menyelamatkan Wardjo dari kematian dengan cara membantu laki-laki itu menemukan

keyakinan akan keberadaan Tuhan, Wardjo tidak akan selamat. Sebenarnya, Wardjo bisa saja

tidak terkena kutukan asalkan ia menuruti perkataan ibunya, Narto, Bu Marto, dan Babah Jitu

untuk tidak menikahi Ling Ling.

Sebelum Wardjo mendapat bantuan dari Nyai Loro Kidul dalam menemukan

keyakinan akan keberadaan Tuhan, Wardjo telah lebih dahulu dibaptis oleh Pater Sudijono

atas kemauannya sendiri. Hal ini karena ia meyakini bahwa Jesus adalah Tuhan yang

dimaksud oleh Nyai Loro Kidul. Namun ternyata, keyakinannya tidaklah sesuai dengan yang

dimaksud Nyai Loro Kidul.

Sementara itu, analisis alur menunjukkan bahwa alur novel PDM berplot campuran.

Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, plot campuran merupakan jenis alur

cerita yang mengandung sejumlah sorot balik di sela-sela jalan cerita yang berjalan progresif.

Secara garis besar, alur novel tersebut memiliki urutan sebagai berikut ini.

A—B1—C1—B2—C2—E2—C3—D—E1—E2

A merupakan tahap awal dari cerita tersebut. Tahap itu dimulai dengan kisah Wardjo

membakar kapal latih Sekolah Pelayaran Tegal hingga bersembunyi di gua karang yang ada di

Pantai Laut Selatan karena menjadi buronan polisi Jepang. B1 merupakan tahap tikaian.

Bagian tersebut dimulai dengan menceritakan pertemuan Wardjo dengan Nyai Loro Kidul

untuk pertama kalinya hingga menceritakan pertemuan Wardjo dengan Ling Ling untuk

pertama kalinya. Bagian itu termasuk pada tahap tikaian karena konflik sudah mulai muncul.

Terkait hal itu, Kenney (1966:17) menjelaskan bahwa we move from the end of the beginning

to the beginning of the middle as the elements tending towards instability in the initial

situation group themselves into what we recognize as a pattern of conflict. Konflik itu berupa

terjadinya pernikahan antara Wardjo dengan Nyai Loro Kidul tanpa direncanakan dan

terucapnya sumpah terlarang oleh Wardjo kepada Nyai Loro Kidul.

Seharusnya setelah B1, cerita masuk ke B2 yang mengisahkan jatuh cintanya Wardjo

kepada Ling Ling. Namun, sebelum masuk pada bagian itu, terlebih dahulu cerita masuk pada

C1 yang merupakan bagian dari tahap rumitan. Bagian itu termasuk tahap rumitan karena

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 9: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

9

terdapat konflik yang lebih kompleks atau rumit dibanding konflik yang terjadi pada tahap

sebelumnya. Terkait hal itu, Kenney (1966:18) menjelaskan bahwa the movement from the

initial statement of conflict to the climax is often referred to as complication. C1 menceritakan

kegundahan hati atau konflik batin dalam diri Wardjo karena ketika ia sudah membuat

sumpah kepada Nyai Loro Kidul bahwa ia tidak akan pernah mencintai perempuan lain, ia

justru mulai mencintai Ling Ling. Baru setelahnya, dengan sorot balik cerita masuk pada B2

yang mengisahkan awal mula Wardjo mencintai Ling Ling. Melanjutkan C1, awal bagian C2

mengisahkan konflik batin pada diri Wardjo. Bagian itu diakhiri dengan terjadinya

pertentangan antara Wardjo dengan sejumlah tokoh tambahan karena ia berniat menikahi Ling

Ling, padahal ia sudah bersumpah kepada Nyai Loro Kidul.

Setelahnya, cerita langsung masuk ke E2 yang merupakan tahap akhir cerita. E2

tergolong bagian tahap akhir karena di dalamnya berisi penyelesaian cerita. Terkait hal itu,

Kenney (1966:19) menyebutkan bahwa in our three-part division of the work of fiction, the

end consists of everything from the climax to the denouement, or outcome of the story.

Perpindahan tahap alur dari C2 ke E2 memberikan kesan ada bagian cerita yang hilang. Hal ini

karena E2 menceritakan apa yang terjadi pada Wardjo setelah menikahi Ling Ling. Padahal,

peristiwa menikahnya Wardjo dengan Ling Ling belum diceritakan. Bagian yang terkesan

hilang itu barulah diceritakan setelah E2. Dengan sorot balik cerita masuk ke C3. Bagian itu

menceritakan konflik yang terjadi antara tokoh utama dengan tokoh tambahan dan konflik

dalam diri tokoh utama sendiri karena berniat menikahi Ling Ling. Konflik-konflik tersebut

hampir mencapai puncak kerumitannya. Begitu konflik tersebut mencapai kerumitannya,

masuklah pada tahap D, yakni tahap klimaks, yang menceritakan peristiwa menikahnya

Wardjo dengan Ling Ling. D merupakan klimaks karena pada bagian itu konflik sudah

mencapai puncak kerumitannya sehingga perlu segera diselesaikan. Terkait hal itu, Kenney

(1966:18) menjelaskan bahwa the climax is reached when the complication attains its highest

point of intensity, from which point the outcome of the story is inevitable. Dari D, cerita pun

masuk pada tahap E1 yang merupakan awal tahap akhir sebelum E2 diceritakan pada bagian

sebelumnya. Bagian ini mengisahkan Wardjo dan Ling Ling yang sedang berada di Bandung

untuk berbulan madu. Cerita pun diakhiri dengan E2. Awal bagian ini menceritakan kisah

ditembaknya Wardjo oleh para pemberontak APRA. Sementara itu, akhir bagian ini

menceritakan keberhasilan Wardjo dalam menemukan keyakinan akan adanya Tuhan.

Analisis unsur intrinsik yang terakhir adalah analisis latar. Sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya, latar yang dibahas dalam penelitian ini adalah latar tempat, waktu,

dan sosial. Hasil analisis latar ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 10: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

10

Tabel 2. Hasil Analisis Latar Keterangan Latar Tempat - Berbagai kota di Pulau Jawa

- Gunung Slamet dan Laut Selatan - Alam gaib

Latar Waktu Tahun 1945—1950 yang berkaitan dengan peristiwa sejarah Indonesia

Latar Sosial Masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh ajaran religi kejawen Sesuai dengan yang ditunjukkan pada tabel, latar tempat yang digunakan dalam novel

PDM adalah berbagai tempat di Pulau Jawa. Berbagai kota di Jawa Barat, Jawa Tengah,

bahkan Jawa Timur dijadikan sebagai latar tempat dalam novel tersebut. Kota yang

mendominasi adalah Kota Solo. Selain kota, Gunung Slamet yang ada di Jawa Tengah dan

Laut Selatan yang ada di selatan Pulau Jawa juga dijadikan sebagai latar tempat. Gunung

Slamet dijadikan sebagai latar tempat bertemunya Wardjo dengan Embah Slamet. Sementara

itu, Laut Selatan dijadikan sebagai tempat terceburnya Wardjo ke laut sebelum ia bertemu

dengan Nyai Loro Kidul untuk pertama kalinya. Alam gaib, yang menurut Anwar dan MZ.

(1995:11) adalah alam yang tidak bisa dilihat dengan panca indera biasa, dijadikan pula

sebagai latar tempat terjadinya peristiwa. Peristiwa bertemunya Wardjo dengan Nyai Loro

Kidul merupakan peristiwa yang terjadi di alam gaib, tepatnya di keraton yang menjadi

tempat tinggal Nyai Loro Kidul.

Sementara itu, latar waktu yang digunakan dalam novel tersebut adalah latar waktu

yang berkaitan dengan peristiwa sejarah Indonesia antara tahun 1945—1950. Latar waktu

tersebut tidaklah digunakan sekadar sebagai “tempelan”. Latar waktu itu justru mengikat

segala perbuatan yang dilakukan tokoh-tokohnya. Ketika terjadi suatu peristiwa sejarah,

tokoh-tokoh dalam novel tersebut ikut mengalami akibat dari peristiwa tersebut. Misalnya,

ketika terjadi peristiwa pemberontakan APRA di Bandung pada tahun 1950, tokoh utama

menjadi korban dari pemberontakan itu.

Terakhir adalah latar sosial. Dalam novel tersebut latar sosial yang digunakan adalah

kehidupan masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh ajaran religi Kejawen. Secara tersurat

dikatakan bahwa tokoh memang hidup di antara orang-orang yang menganut Kejawen.

[. . .] Sebelum terlelap Wardjo mencoba juga berdoa. Meski ayah Wardjo seorang haji, ia disekolahkan di sekolah Zending atas permintaan ibunya. Ibu Wardjo pernah dipungut anak oleh seorang domine dan mendapat pendidikan yang matang dalam agama Kristen. Nasib jugalah yang mempertemukan dua orang yang berlainan agama itu, hingga menjadi sepasang suami isteri. Ayah Wardjo baru mengetahui, bahwa isterinya memeluk agama Kristen sesudah pernikahan mereka. Kakek Wardjo dari pihak ibu memang mengaku

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 11: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

11

beragama Islam, walau tidak pernah menjalankan ibadah selain menjalankan puasa dalam bulan Ramadan. Tapi sebagian cara hidup kakek dan nenek dari pihak ibu itu dikuasai oleh tradisi Kejawen yang tidak jelas lagi pangkal ujungnya. Ada unsur-unsur kuat berasal dari agama Islam. Sebaliknya, tidak sedikit kebiasaan sehari-hari yang menunjukkan pengaruh agama Hindu, Buddha bahkan juga pengaruh animisme dan dinamisme. (Hartowardojo, 1976:25)

Dengan adanya pengaruh ajaran religi tersebut, tokoh-tokoh yang dimunculkan memercayai

adanya makhluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib.

Dari analisis intrinsik yang dilakukan terhadap novel PDM diperoleh sejumlah

informasi yang memiliki kaitan dengan konsep dan keyakinan religi Kejawen. Ada delapan

konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel tersebut. Berikut tabel

yang memperlihatkan kedelapan hal tersebut. Tabel 3. Konsep dan Keyakinan Religi Kejawen dalam Novel PDM No. Konsep dan Keyakinan Religi

Kejawen

Penggambaran Konsep dan Keyakinan Religi

Kejawen dalam Novel PDM

1. Keyakinan akan adanya

makhluk halus

Muncul dua tokoh makhluk halus, yakni Embah

Slamet dan Nyai Loro Kidul yang diyakini dapat

memberikan keselamatan pada manusia

2. Keyakinan akan adanya

perjanjian antara manusia

dengan makhluk halus

Sumpah yang dikatakan oleh Wardjo (manusia)

kepada Nyai Loro Kidul (makhluk halus)

3. Keyakinan akan adanya

pernikahan antara manusia

dengan makhluk halus

Peristiwa menikahnya Wardjo (manusia) dengan

Nyai Loro Kidul (makhluk halus)

4. Konsep mengenai Tuhan Penyataan Nyai Loro Kidul mengenai sosok “Dia”

5. Konsep mengenai sangkan

paraning dumadi

Pernyataan Nyai Loro Kidul mengenai akan

kembalinya ia ke “alam Yang Telah

Menjadikannya” atau “alam asali abadi”

6. Keyakinan akan adanya tempat

keramat

Penggunaan Gunung Slamet dan wilayah Laut

Selatan yang dianggap keramat sebagai latar tempat

7. Keyakinan akan adanya benda

bertuah

Adanya tongkat galih asam dan jimat-jimat lain

yang mampu memberikan keselamatan bagi

pemiliknya

8. Konsep mengenai Ratu Adil Pemberian gelar Ratu Adil terhadap Wardjo

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 12: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

12

Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel tersebut, konsep dan keyakinan religi Kejawen yang

digambarkan dalam novel PDM terdiri atas keyakinan akan adanya makhluk halus, keyakinan

akan adanya perjanjian antara manusia dengan makhluk halus, keyakinan akan adanya

pernikahan antara manusia dengan makhluk halus, konsep mengenai Tuhan, konsep mengenai

sangkan paraning dumadi, keyakinan akan adanya tempat keramat, keyakinan akan adanya

benda bertuah, dan konsep mengenai Ratu Adil.

Poin pertama adalah keyakinan akan adanya makhluk halus. Orang Jawa sangatlah

memercayai adanya makhluk halus yang tidak kasatmata. Hal ini terbukti dengan adanya

penggolongan jenis makhluk halus ke dalam lima kelompok. Geertz (2013:23) menyebutkan

bahwa orang Jawa membagi makhluk halus menjadi golongan memedi, lelembut, tuyul, demit,

dan danyang. Dalam novel PDM, keyakinan terhadap hal tersebut diwujudkan dengan adanya

tokoh-tokoh makhluk halus, yakni Embah Slamet dan Nyai Loro Kidul. Kedua makhluk halus

tersebut merupakan danyang. Geertz (2013:23) menjelaskan bahwa danyang tinggal di suatu

tempat yang disebut pundhèn5. Sebagaimana ditunjukkan dalam novel PDM, kedua makhluk

halus itu tinggal di tempat keramat. Embah Slamet tinggal di Gunung Slamet yang ada di

Jawa Tengah sedangkan Nyai Loro Kidul tinggal di Laut Selatan yang ada di selatan Pulau

Jawa. Geertz (2013:23) pun mengatakan bahwa danyang tidak menyakiti orang, hanya

bermaksud melindungi. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Embah Slamet, sesuai

dengan namanya “Slamet” yang berarti ‘selamat’, mampu memberikan keselamatan kepada

manusia. Hal tersebut diakui oleh tokoh itu dalam pernyataannya berikut ini.

“Bukan sembarangan gunung ini dinamakan Gunung Slamet. Kalau bukan karena kesalahan sendiri, aku tak pernah membiarkan orang mendapat celaka di puncak gunungku ini. Nah, aku mau kembali ke gubukku di dalam kawah. Selamat tinggal dan selamat jalan untukmu. Sampaikan salamku kepada Nyai Loro Kidul.” (Hartowardojo, 1976:48)

Sama halnya dengan Embah Slamet, Nyai Loro Kidul pun juga demikian. Meskipun banyak

kisah menceritakan bahwa sosok Nyai Loro Kidul adalah sosok yang kejam, dalam novel

PDM ia justru digambarkan sebagai sosok yang baik hati dan memiliki niat untuk

menyelamatkan manusia. Penyelamatannya terhadap manusia salah satunya terjadi ketika ia

membantu Wardjo memenangkan pertempuran revolusi.

Di antara peristiwa-peristiwa yang aneh-aneh itu, hanya pasukan di bawah pimpinan Wardjo yang tetap utuh. Seperti juga dalam pengalamannya yang pertama di pinggiran kota sebelah Timur kota Bandung, tiap kali menghadapi saat yang kritis, ia selalu mendengar suara gamelan yang merdu dan merayu-rayu. Kemudian terdengar petunjuk-petunjuk Nyai Loro Kidul di telinganya. (Hartowardojo, 1976:85)

5 Pundhèn (Jw.): tempat keramat yang sangat dihormati. (Utomo, 2009:389)

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 13: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

13

Pada kenyataannya, orang Jawa yakin bahwa Nyai Loro Kidul adalah makhluk halus yang

berhati baik. Seorang paranormal di Jawa Tengah (Twikromo, 2000:61) pun menyatakan

bahwa sebenarnya Kanjeng Ratu itu sangat welas asih (penuh belas kasihan) pada manusia.

Yang sering menimbulkan korban itu Nyai Blorong dan prajurit Kanjeng Ratu. Nyai Blorong

sering memba-memba (bersalin wujud menyerupai) Kanjeng Ratu.

Hal kedua yang digambarkan dalam novel tersebut adalah keyakinan akan adanya

perjanjian antara manusia dengan makhluk halus. Keyakinan pada hal tersebut diwujudkan

dengan terucapnya sumpah atau “perjanjian dengan maut”. Sebagaimana telah disebutkan

sebelumnya, Wardjo (manusia) bersumpah kepada Nyai Loro Kidul (makhluk halus) bahwa ia

akan selalu mencintai makhluk halus itu dan tidak akan pernah mencintai perempuan lain.

Jika ia melanggarnya, ia siap menemui ajalnya dan ia siap menjadi budak makhluk halus itu

untuk selama-lama.

“Sebelum aku pergi, terimalah dahulu sumpahku. Akan kuberikan hatiku kepadamu seorang,” keluh Wardjo. Terlambat! Terlambat sudah! Ia tak sempat meletakkan jari telunjuk ke bibir pemuda itu. “Biarlah kutukmu jatuh atas diriku, jika aku mengkhianati sumpahku.” “Kelirulah kau, hai manusia yang tak kenal kelemahan dirinya,” kata Nyai Loro Kidul dengan suara seram. “Sumpahmu sudah terucapkan, tak dapat kau menariknya kembali. Baiklah, aku menerima sumpahmu. Karena itu dengarkan pesanku yang terakhir. Janganlah kauberikan hatimu kepada gadis mana pun sebelum kau mencapai umur dua puluh lima tahun. Jika kau mampu memenuhi syaratku ini, maka kutukku tidak akan turun atas dirimu.” (Hartowardojo, 1976:60)

Sumpah itu pun dibalas oleh Nyai Loro Kidul dengan kesediaannya melindungi Wardjo dari

bahaya.

[. . .] Nyai Loro Kidul masih sempat berkata kepadanya: “Dalam menghadapi bahaya, aku akan berada di sampingmu. Sebelum bahaya datang, aku akan memperingatkanmu. Jika berada dalam kesulitan, asal kaupanggil aku, tidak akan kuingkari panggilanmu.” (Hartowardojo, 1976:61)

Penganut Kejawen meyakini bahwa perjanjian antara manusia dengan makhluk halus

dapat terjadi. Dalam perjanjian itu terdapat kesepakatan. Manusia menjanjikan suatu hal

kepada makhluk halus dan sebagai gantinya makhluk halus melakukan sesuatu untuk manusia.

Endraswara menyebutkan hal semacam ini sebagai kontrak kerja. Ia menyatakan bahwa

kontrak kerja tak harus dibayar uang. Kontrak dapat dibayar dengan barang dan nyawa

(2004:116).

Ketika perjanjian sudah dibuat, baik manusia maupun makhluk halus harus melakukan

tugas masing-masing sesuai dengan yang dijanjikan. Endraswara mengatakan bahwa pada

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 14: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

14

saat melaksanakan eksekusi, hantu akan menjalankan semua kesepakatan awal. Dia tak akan

menambah dan mengurangi sedikitpun (2004:117). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa

makhluk halus akan melaksanakan tugasnya sesuai perjanjian dan tidak ada kemungkinan ia

akan mengingkari perjanjian itu. Namun, ada kemungkinan pihak manusia mengingkarinya.

Umumnya, pengingkaran itu terjadi karena manusia sudah tidak mampu lagi melakukan yang

dijanjikan. Oleh karena itu, orang yang melakukan kontrak kerja dengan makhluk halus

haruslah yang memiliki kesiapan fisik dan batin untuk melakukan apa yang disepakati sampai

masa kontrak kerja itu berakhir. Jika manusia mengingkari kontak kerja itu, ia haruslah siap

menanggung risikonya. Endraswara (2004:117) menyebutkan bahwa andaikata janji atau

kesepakatan tak ditepati oleh pihak user (manusia), tentu hantu itu akan berbalik

menyerangnya. Pengingkaran janji yang disebutkan oleh Endraswara terjadi dalam novel

PDM. Pernikahan yang terjadi antara Wardjo dengan Ling Ling merupakan wujud dari

pengingkaran sumpah yang diucapkan oleh Wardjo. Akibatnya, Wardjo pun hampir

meninggal setelah menjadi korban pemberontakan APRA.

Unsur religi Kejawen yang ditampilkan dalam novel PDM berikutnya adalah

keyakinan akan adanya pernikahan antara manusia dengan makhluk halus. Hal ini diwujudkan

melalui terjadinya pernikahan antara Wardjo (manusia) dengan Nyai Loro Kidul (makhluk

halus) sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut ini.

Gelombang laut bergulung masuk menyambar mereka dan menghempaskan mereka ke atas pelaminan. Hanya menambah kemarahan Nyai Loro Kidul belaka. Dan dalam kemurkaannya itu ia mencoba menolak terkaman gelombang laut, yang biasa tunduk kepada perintahnya. Yang tertangkap dalam genggamannya hanyalah Wardjo, yang tanpa dia sadari telah diremas, diredamkan, dan dilumatkannya. (Hartowardojo, 1976:58)

Para penganut Kejawen meyakini hal tersebut memang dapat terjadi. Keyakinan tersebut

berawal dari adanya kisah cinta antara Panembahan Senopati, Raja Kerajaan Mataram II,

dengan Nyai Loro Kidul yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi. Pada Babad Tanah Jawi

terdapat kalimat yang mengatakan bahwa Sang Senopati berada di Laut Selatan selama tiga

hari tiga malam, hidup sebagai suami-istri dengan Rara Kidul (Twikromo, 2000:63). Hal itu

menandakan bahwa telah terjadi pernikahan antara Panembahan Senopati (manusia) dengan

Nyai Loro Kidul (makhluk halus). Sampai saat ini, pernikahan itu diyakini oleh orang Jawa

sebagai suatu yang benar-benar terjadi.

Pembahasan mengenai religi tidaklah terlepas dari pembahasan mengenai konsep

Tuhan. Melalui novel PDM dapat diperoleh penjelasan mengenai konsep Tuhan. Penjelasan

tersebut dapat ditemukan melalui berbagai pernyataan Nyai Loro Kidul kepada Wardjo

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 15: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

15

mengenai Tuhan dan pendeskripsian wujudnya ketika Wardjo berhasil memiliki keyakinan

akan keberadaan Tuhan. Sebenarnya, dalam novel PDM Nyai Loro Kidul tidak sekali pun

menyebut kata “Tuhan”. Namun, ia sering kali menyebut kata “Dia”. Penulisan kata “Dia”

dengan menggunakan huruf d kapital (D) tentu merupakan suatu cara yang digunakan oleh

Nyai Loro Kidul untuk menyebut Tuhan.

Ada empat konsep Tuhan yang disebutkan dalam novel tersebut, yakni Tuhan Yang

Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Pencipta, Tuhan terletak di hati setiap manusia, dan Tuhan

Yang Maha Besar. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep Tuhan dalam pandangan

Kejawen. Sebagaimana dikatakan oleh Koentjaraningrat (1984:322) keyakinan orang Jawa

yang beragama Agami Jawi terhadap Tuhan sangat mendalam dan hal itu dituangkan dalam

suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos. Istilah tersebut memiliki maksud

bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kuasa. Koentjaraningrat (1984:322) pun menyebutkan

bahwa para penganut Agami Jawi dari daerah pedesaan mempunyai konsep yang sangat

sederhana, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta. Selanjutnya, Koentjaraningrat (1984:323)

menjelaskan bahwa Tuhan adalah keseluruhan alam dunia ini yang dilambangkan dengan

wujud makhluk dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati

sanubari orang, Tuhan sekaligus juga besar dan luas seperti samudra, tidak berujung dan tidak

berpangkal seperti angkasa.

Masih berkaitan dengan konsep Tuhan, orang Jawa meyakini pula akan adanya konsep

sangkan paraning dumadi atau konsep asal-muasal manusia. Konsep ini menyatakan bahwa

manusia berasal dari Tuhan dan suatu saat nanti akan kembali kepada Tuhan. Terkait hal ini,

Adiwardoyo (Hariwijaya, 2006:76) pun menyebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dalam

konsep Jawa merupakan asal-muasal dan tujuan seluruh penciptaan, atau sangkan paraning

dumadi. Konsep ini tidak hanya berlaku untuk manusia saja, tetapi juga berlaku untuk

makhluk halus yang jugalah makhluk ciptaan Tuhan. Hal tersebut dimunculkan dalam novel

PDM. Kemunculannya diwujudkan melalui pernyataan Nyai Loro Kidul yang mengaku

bahwa ia ingin kembali ke “alam Yang Telah Menjadikannya”.

Dalam hati Nyai Loro Kidul mengeluh, karena ia tahu ia terbebas dari kematian. Satu-satunya harapan yang ada ialah agar selekasnya diperkenankan pulang ke alam Yang Telah Menjadikannya. Berkali-kali ia sujud sesudah itu, jawab yang diperolehnya hanyalah kain layar putih mengembang di depan mata. (Hartowardojo, 1976:59—60)

Sebagaimana manusia, bagi makhluk halus Tuhan jugalah asal-muasal dan tujuan “hidup”-

nya. Oleh karena itu, ketika waktunya tiba, makhluk halus pun akan kembali pada Tuhan.

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 16: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

16

Keyakinan yang dimunculkan dalam novel PDM berikutnya adalah keyakinan akan

adanya tempat keramat atau pundhèn. Bentuk keyakinan terhadap hal tersebut diwujudkan

melalui penggunaan Gunung Slamet dan Laut Selatan sebagai latar tempat dalam novel PDM.

Pada kenyataannya, kedua tempat tersebut merupakan tempat keramat bagi para penganut

religi Kejawen. Keduanya dianggap keramat karena di sana berdiri keraton makhluk halus

yang tidak kasatmata, tempat tinggal makhluk halus. Terkait keberadaan keraton makhluk

halus itu, Twikromo menjelaskan bahwa Keraton Laut Selatan digambarkan mirip dengan

keraton yang ada di dunia nyata. Di dalam keraton tersebut terdapat istana, alun-alun,

tumbuh-tumbuhan, hewan, jalan, abdi dalem, dan sebagainya (2000:72). Hal demikian

berlaku pula untuk keraton makhluk halus yang ada di gunung-gunung berapi seperti Gunung

Slamet. Dalam novel PDM pun digambarkan bahwa Gunung Slamet ditempati oleh Embah

Slamet (makhluk halus) sedangkan Laut Selatan ditempati oleh Nyai Loro Kidul (makhluk

halus). Selain itu, digambarkan pula bahwa pertemuan Wardjo dengan Nyai Loro Kidul untuk

pertama kalinya terjadi di gubuk milik Nyai Loro Kidul yang berada di alam gaib. Dalam hal

ini, kata “gubuk” mengacu pada keraton makhluk halus yang menjadi tempat tinggal Nyai

Loro Kidul.

“Selamat datang ke gubukku yang buruk ini, pahlawanku. Dari tongkat yang kaubawa, dari jantung pohon asam, tahulah aku siapa yang mengirimmu kemari.” (Hartowardojo, 1976:54)

Dalam novel PDM dimunculkan pula keyakinan akan adanya benda bertuah atau jimat.

Triyogo (2005:8) menyatakan bahwa tuah artinya makna atau arti, tetapi bisa juga diartikan

sebagai manfaat. Bentuk keyakinan ini diwujudkan melalui adanya tongkat galih asam yang

dapat mendatangkan keselamatan bagi pemiliknya. Tongkat tersebut dimiliki oleh Wardjo. Ia

mendapatkannya dari Embah Slamet. Ketika terlibat dalam pertempuran revolusi, tongkat itu

selalu Wardjo bawa ke medan pertempuran dan digunakannya sebagai senjata. Tidak ada

senjata api maupun senjata tajam yang dibawa oleh Wardjo saat itu. Namun, ia selalu selamat

dan tidak terluka sedikit pun. Padahal, ia hanya membawa tongkat galih asam.

Tidak lagi ia membawa senjata. Pistol tidak, granat pun tidak. Hanya tongkatnya, yang menjadi suatu perlambang yang agung dan tempat pasukannya mempertaruhkan semua kepercayaannya. [. . .] (Hartowardojo, 1976:84)

Tongkat itu memanglah salah satu benda bertuah. Sebagaimana dikatakan oleh Embah

Slamet dalam novel tersebut, di dalam tongkat itu terdapat kekuatan gaib yang membuatnya

dapat memberikan keselamatan bagi pemiliknya.

“Hm, hm. Ya, aku yang keliru. Mengenai tongkat ini, ia akan jadi penyelamat bagimu sepanjang jalan. Dengan hidup dari Prana saja, aku mampu memasukkan tenaga gaib

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 17: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

17

ke dalam tongkat jantung asam itu, yang kelak akan memberikan jalan yang selamat kepada siapa pun yang membawanya.” (Hartowardojo, 1976:46)

Pada kenyataannya pun Triyogo (2005:38—107,117—132) menyatakan bahwa benda bertuah

dapat berupa bambu dari berbagai jenis, kayu dari berbagai jenis pohon, dan batu. Salah

satunya adalah galih asam atau teras pohon asam. Triyogo menjelaskan bahwa manfaat dari

teras ini bisa dimanfaatkan sebagai piandel6 dan bertuah untuk keselamatan. Selain itu,

mampu menolak jin jahat, dapat menolak tenung (santet), dan merupakan antidaya negatif

(2005:58).

Konsep terakhir yang dimunculkan dalam novel PDM adalah konsep mengenai Ratu

Adil. Konsep ini diwujudkan melalui pemberian gelar Ratu Adil untuk Wardjo oleh sejumlah

orang Jawa yang dimunculkan dalam novel tersebut. Ia mendapatkan gelar itu karena ia

pernah melakukan aksi kepahlawanan, yaitu membakar kapal latih Sekolah Pelayaran Tegal

yang telah dikuasai oleh Jepang. Ratu Adil memanglah sosok yang diyakini memiliki sifat

kepahlawanan. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika Wardjo mendapatkan gelar tersebut.

Koentjaraningrat (1984:332) menyebutkan bahwa sejak berabad-abad dalam alam pikiran

orang Jawa pada umumnya (kadang-kadang lebih, kadang-kadang kurang) ada suatu

keyakinan terpendam mengenai adanya seorang Ratu Adil yang akan tiba membawa keadilan

dan keteraturan di dunia ini. Bahkan, Aziz (2014:25) mengatakan bahwa historiografi

Nusantara mengenal kisah tentang Ratu Adil sebagai simbol untuk menolong bangsa ini dari

kegelapan menuju ke cahaya terang. Dengan kata lain, sosok Ratu Adil selalu memiliki

keterkaitan dengan keadaan carut-marut atau kehidupan yang sengsara. Ketika situasi

kehidupan sedang carut-marut, orang Jawa secara sadar ataupun tidak sadar mengharapkan

kedatangannya. Hal itu pun menjadi alasan mengapa istilah Ratu Adil muncul dalam novel

yang berlatarkan masa penjajahan Jepang di Indonesia.

Kesimpulan

Tidaklah dapat dipungkiri bahwa religi Kejawen erat kaitannya dengan hal-hal mistik.

Hal ini karena dari delapan unsur religi tersebut, sekiranya ada lima keyakinan yang memiliki

hubungan dengan makhluk halus. Melalui novel PDM tergambarkan bahwa orang Jawa

sangatlah bergantung pada hal-hal mistik itu. Ketergantungan itu sangat jelas terlihat melalui

pemilihan tempat bersembunyi tokoh utama saat menjadi buronan polisi Jepang, yakni di

6 Piandel (Jw.): tanggung jawab, kepercayaan, yang dipercaya. (Utomo, 2009:373)

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 18: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

18

Gunung Slamet dan wilayah Laut Selatan. Kedua tempat itu dipilih sebagai tempat

bersembunyi karena adanya anggapan bahwa keduanya merupakan tempat keramat yang

dapat mendatangkan keselamatan bagi orang yang berada di sana. Selain itu, tokoh utama pun

sangat memasrahkan keselamatan dirinya pada tongkat galih asam yang bertuah dan petunjuk-

petunjuk yang diberikan oleh Nyai Loro Kidul ketika ia ikut pertempuran revolusi.

Memang hal-hal mistik itu dapat mendatangkan keselamatan. Namun, sebagaimana

ditunjukkan dalam novel PDM, hal-hal itu juga dapat mendatangkan kerugian. Dalam novel

tersebut diceritakan bahwa sumpah yang diucapkan oleh Wardjo kepada Nyai Loro Kidul

awalnya memberikan manfaat baginya karena Nyai Loro Kidul selalu menolongnya ketika

dalam bahaya. Hanya saja, pada akhirnya sumpah itu justru membuatnya hampir meninggal

karena ia tidak sanggup memenuhinya. Melalui penggambaran itu secara tersurat maupun

tersirat menimbulkan kesan bahwa manusia tidak seharusnya bergantung pada hal-hal mistik

itu, tetapi pada Tuhan.

Dalam novel PDM diceritakan bahwa Nyai Loro Kidul meminta Wardjo untuk

menemukan keyakinan pada Tuhan agar laki-laki itu dapat membatalkan sumpahnya. Setelah

menemukan keyakian pada Tuhan yang sesuai dengan konsep-konsep mengenai Tuhan dalam

pandangan Kejawen, Wardjo pun terbebas dari sumpahnya sehingga ia selamat dari kematian.

Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah penyelamat manusia yang sesungguhnya.

Daftar Pustaka Anwar, Gatot M. Sahid dan Labib MZ. 1995. Ilmu Trawangan Meraga Sukma: Ajian

Penakluk dan Kadigdayan Disertai Cara Mempelajarinya. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

Aziz, Munawir. 2014. “Ratu Adil dan Simbol Pemimpin”. Suara Merdeka. 22 Juni 2014. http://epaper.suaramerdeka.com/read/2014/06/22/25EM22F14MGU.pdf (diakses pada 19 April 2015).

Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.

Endraswara, Suwardi. 2004. Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan Fantasi Kejawen. Yogyakarta: Narasi.

Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Hariwijaya, M. 2006. Islam Kejawen. Yogyakarta: Gelombang Pasang.

Hartowardojo, Harijadi S. 1976. Perjanjian dengan Maut. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015

Page 19: Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut ...

19

Kenney, William. 1966. How To Analyze Fiction. New York: Monarch Press.

Koentjaraningrat. 1984. Seri Etnografi Indonesia No. 2: Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Mahayana, Maman S. dkk. 1995. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: PT Grasindo.

Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern Jilid II. Jakarta: Pustaka Jaya.

Triyogo, Anan Hajid. 2005. Magis dan Kekuatan Gaib. Yogyakarta: Narasi.

Twikromo, Y. Argo. 2000. Ratu Kidul. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Utomo, Sutrisno Sastro. 2009. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015