pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/PROS_2007.pdf · Hadi...

149
Prosiding KINERJA DAN PROSPEK PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA ISBN: 978-979-3566-59-7 PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN (Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007 Penyunting : Kedi Suradisastra Yusmichad Yusdja Prajogo U. Hadi Performance and Prospect of Indonesia’s Agriculture Sector Development

Transcript of pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/PROS_2007.pdf · Hadi...

Prosiding

KINERJA DAN PROSPEK PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA

ISBN: 978-979-3566-59-7

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN(Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIANDEPARTEMEN PERTANIAN2007

Penyunting :

Kedi SuradisastraYusmichad YusdjaPrajogo U. Hadi

Performance and Prospect of Indonesia’s Agriculture Sector Development

ISBN: 978-979-3566-59-7

Prosiding KINERJA DAN PROSPEK PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA

Penyunting : Kedi Suradisastra Yusmichad Yusdja Prajogo U. Hadi

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007

Penyunting Pelaksana : Tita D. Permata Ashari Iwan Setiajie Anugrah Desain dan Tata Letak : Agus Suwito Diterbitkan oleh : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2007 Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161 Telp. : (0251) 333964, 325177 Fax. : (0251) 314496 E-mail : [email protected]. Website : http://www.pse.litbang.deptan.go.id

Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prosiding kinerja dan prospek pembangunan pertanian Indonesia / penyunting, Kedi Suradisastra, Yusmichad Yusdja, Prajogo U. Hadi, --- Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2007

150 hlm. ; 29,5 cm. ISBN : 979-3566-59-7 1. Ekonomi pertanian. I. Kedi Suradisastra. II. Yusmichad Yusdja. III. Prajogo U. Hadi.

338.1

i

KATA PENGANTAR

Perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah kebijakan dan pelaksanaan pembangunan pertanian saat ini maupun dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, strategi pembangunan pertanian saat ini dan di masa yang akan datang harus lebih mengedepankan peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil, serta berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal.

Sejalan dengan tuntutan tersebut, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melalui kegiatan Seminar Nasional, mencoba mengkaji kinerja pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan selama ini, sekaligus merumuskan langkah-langkah operasional yang harus dilakukan dalam memperkuat pencapaian pembangunan pertanian ke depan. Tujuan utama seminar tersebut adalah: (a) menganalisis indikator-indikator makro pembangunan pertanian tahun 2006 dan prospek 2007; (b) membahas kinerja pembangunan komoditas pangan, perkebunan, peternakan, dan hortikultura selama tahun 2006 dan prospek 2007, serta (c) merumuskan langkah-langkah operasional untuk mempertajam arah pembangunan pertanian tahun 2007.

Materi pendukung arah kebijakan dan pencapaian pelaksanaan pembangunan pertanian, didasarkan atas tujuh makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Kinerja Pembangunan Pertanian dan Prospek 2007” yang diselenggarakan di Hotel Bumi Karsa Bidakara, Jakarta, pada tanggal 20 Desember 2006. Dalam upaya untuk mengkomunikasikan dan menginformasikan hasil seminar dimaksud, makalah-makalah yang terkait dengan pembangunan pertanian tersebut, diterbitkan dalam bentuk prosiding.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada para penulis makalah, tim penyunting, penyunting pelaksana, dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terwujudnya penerbitan prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi para pengambil kebijakan yang terkait dengan pembangunan pertanian.

Bogor, Maret 2007

Kepala Pusat,

Dr. Tahlim Sudaryanto

ii

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

LAPORAN KETUA PANITIA ............................................................................................ iii

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN ....... v

RUMUSAN ....................................................................................................................... vii

Kinerja dan Masa Depan Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan.............................. 1 (Current Status and The Future of Food Crop Development) D.K.S. Swastika, J. Wargiono, B. Sayaka, A. Agustian, dan V. Darwis Posisi dan Masa Depan Pembangunan Perkebunan Indonesia ........................................ 23 (Current Position and Outlook of Indonesia’s Estate Crop Plantation) Prajogo U. Hadi, Supriyati, Amar K. Zakaria, Tjetjep Nurasa, Frans B.M. Dabukke dan Ening Ariningsih Pembangunan Peternakan: Pencapaian dan Prospek ...................................................... 44 (Livestock Production: Achievement and Prospect) Yusmichad Yusdja, Rosmijati Sajuti, Sri Wahyuning K. Sejati, Ikin Sodikin, Nyak Ilham dan Yulia F. Sinuraya Kinerja dan Prospek Pembangunan Hortikultura............................................................... 66 (Performance and Foresight of Horticulture Development) Bambang Irawan, Herlina Tarigan, Budi Wiryono, Juni Hestina dan Ashari Indikator Makro Sektor Pertanian Indonesia...................................................................... 81 (Macro Indicators of Indonesian Agriculture) Nizwar Syafa’at, Adreng Purwoto, Saktyanu K. Dermoredjo, Ketut Kariyasa, Mohamad Maulana dan Pantjar Simatupang Status dan Arah Pengembangan Kelembagaan Petani..................................................... 106 (Status and Trend of Farmer’s Institutional Development) Kedi Suradisastra, Edi Basuno dan Herlina Tarigan Kesejahteraan dan Pemikiran Penanggulangan Kemiskinan Petani ................................. 114 (Farmer’s Welfare and Thoughts on Poverty Alleviation) I Wayan Rusastra, Mewa Ariani dan Handewi P.S. Rachman

RANGKUMAN DISKUSI .................................................................................................. 126

DAFTAR PESERTA.......................................................................................................... 130

JADWAL SEMINAR NASIONAL ....................................................................................... 136

iii

LAPORAN KETUA PANITIA PADA

SEMINAR SEHARI ”KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2006 DAN PROSPEK 2007”

Jakarta, 20 Desember 2006

Yang terhormat :

• Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian

• Bapak Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

• Bapak/Ibu Pejabat lingkup Deptan maupun luar Deptan

• Para Pemakalah, Pembahas dan Moderator

• Undang dan Peserta Seminar

• Hadirian sekalian yang saya hormati,

Assalaamu’alaikum Warahkhmatulaahi Wabarakhaatuh,

Selamat Datang, salam hangat kami dari Panitia,

Sebagai umat beragama, marilah kira tidak henti-hentinya memanjatkan puji dan syukur ke hadiran Allah Subhanahu Wata’ala atas segala limpahan rakhmat dan karunia-Nya, dan kita masih diberikan nikmat sehat sehingga kita dapat menghadiri seminar hari ini.

Pada kesempatan ini, saya atas nama panitia mengucapkan selamat datang kepada peserta dengan harapan agar seminar ini bisa berjalan lancar dan sesuai harapan,

Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian dan Hadirian sekalian yang saya hormati,

Seminar ini merupakan salah satu kegiatan diseminasi dan advokasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Seminar pada tahun ini, mengambil topik ”Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007”. Melalui seminar ini diharapkan dapat melihat secara baik kinerja pembangunan pertanian tahun 2006 dan sebagai basis untuk merumuskan langkah-langkah operasional dalam mempertajam arah pembangunan pertanian tahun 2007. Dengan demikian seminar dengan topik yang sama direncanakan akan dilakukan secara terus menerus pada tahun mendatang.

Ada tujuh makalah yang akan didiskusikan dalam seminar kali ini, yaitu empat makalah yang terkait dengan kinerja pembangunan komoditas pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan) dan tiga makalah yang masing-masing terkait dengan isu indikator makro ekonomi pertanian, kemiskinan dan kesejahteraan petani, serta kelembagaan petani. Ketujuh makalah tersebut merupakan hasil penelitian analisis kebijakan dari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Berdasarkan daftar hadir yang ada di panitia, seminar ini dihadiri lebih dari 150 peserta dari berbagai kalangan, para pakar, birokrat, anggota DPR, pengusaha, dan pelaku agribisnis.

iv

Bapak Kabadan Litbang dan Hadirian sekalian yang saya hormati,

Sebelum saya mengakhiri sambutan ini, saya mohon Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian pada saatnya nanti untuk berkenan memberikan arahan dan sekaligus membuka acara resmi seminar ini. Kepada teman-teman panitia saya ucapkan terima kasih banyak telah mempersiapkan seminar ini dengan baik. Akhirnya kepada para peserta saya ucapkan selamat berseminar, semoga seminar ini mampu menghasilkan sesuatu yang baru dalam mempercepat pembangunan pertanian ke depan.

Demikian sambutan dari saya, terima kasih.

Ketua Panitia,

Dr. Nizwar Syafa’at

v

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

PADA

SEMINAR SEHARI ”KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2006 DAN PROSPEK 2007”

Jakarta, 20 Desember 2006

Yang saya hormati :

• Saudara Pejabat Eselon I dan II lingkup Departemen Pertanian dan Instansi Terkait

• Para Pembicara, Pembahas dan Moderator

• Para Peserta Seminar dan Hadirian sekalian yang berbahagia

Assalaamu’alaikum Warahkhmatulaahi Wabarakhaatuh,

Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT. atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga pada pagi hari ini kita dapat menghadiri acara ”Seminar Sehari Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007”. Seminar ini saya anggap sangat penting untuk bersama-sama secara kritis membahas kinerja pembangunan pertanian selama ini sebagai bahan untuk merumuskan upaya perbaikan kinerja ke depan. Saudara-saudara sekalian,

Perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian ke depan harus lebih memfokuskan peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. Sektor pertanian perlu terus dibangun agar memiliki tingkat produktivitas dan efisiensi yang tinggi sehingga mampu memberikan sumbangan lebih besar kepada pertumbuhan ekonomi, namun tetap selaras dengan aspek pemerataan dan dapat menjamin keberlanjutan usaha dan lingkungan.

Ketangguhan sektor pertanian telah teruji, seperti dapat kita lihat saat krisis ekonomi yang tetap mampu tumbuh secara positif dan memberikan kontribusi secara nyata, baik dari sisi penyerapan tenaga kerja maupun dalam memacu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sektor pertanian juga memberikan kontribusi tidak langsung yang tidak kita pahami dan kita perhitungkan dengan baik. Kontribusi tersebut meliputi: pemantapan ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, pelestarian lingkungan, dan pelestarian sosial budaya masyarakat.

Untuk memberikan pemahaman kepada semua pihak diperlukan forum sosialisasi dan diskusi, sehingga kita semua yakin bahwa sektor pertanian benar-benar mempunyai peran penting dan strategis terhadap perekonomian nasional, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sangat penting untuk diketahui bagaimana kinerja pembangunan pertanian yang dapat dilihat dari indikator-indikator pencapaian pembangunan pertanian selama ini (tahun 2006) dan selanjutnya dipakai sebagai basis untuk merumuskan langkah-langkah

vi

operasional yang harus dilakukan dalam meningkatkan kinerja pencapaian pembangunan pertanian pada tahun 2007. Saudara-saudara sekalian,

Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin mengemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan program pembangunan pertanian nasional dan dukungan Badan Litbang Pertanian dalam mempercepat pembangunan pertanian. Sebagaimana kita ketahui, Departemen Pertanian mempunyai tiga program utama, yaitu Pemantapan Ketahanan Pangan, Pengembangan Agribisnis, dan Peningkatan Kesejahteraan Petani. Ketiga program tersebut merupakan pilar pembangunan pertanian nasional yang sinergis satu sama lain.

Saudara-saudara sekalian,

Salah satu bentuk fasilitasi yang disediakan Departemen Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian dalam meningkatkan kinerja sektor pertanian yaitu dengan menghasilkan teknologi tinggi dan strategis, seperti benih unggul, alat dan mekanisasi pertanian inovatif, teknologi pascapanen inovatif, dan dukungan kelembagaan inovatif. Pusat-pusat atau balai-balai penelitian nasional bertugas untuk memperoleh galur-galur atau prototipe teknologi dasarnya yang selanjutnya diadaptasikan dan dimodifikasi menjadi teknologi spesifik lokasi oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang telah kita bangun di 30 provinsi. BPTP juga memegang peran penting dalam mempercepat pemasyarakatan teknologi inovatif, khususnya yang ditemukan Badan Litbang Pertanian.

Badan Litbang Pertanian menyadari, diseminasi teknologi merupakan tantangan serius untuk memfasilitasi para petani dan pengguna lain menerapkan berbagai inovasi yang telah dihasilkan. Oleh karena itu, mulai tahun 2005 Badan Litbang Pertanian telah melaksanakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan inovasi Teknologi Pertanian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Prima Tani. Pada tahun 2006, kegiatan Prima Tani telah dilaksanakan di 33 lokasi yang tersebar di 25 provinsi, dan pada tahun 2007 akan dilaksanakan di 201 lokasi yang meliputi 200 kabupaten/kota di 33 provinsi. Diharapkan pelaksanaan Prima Tani mampu memberikan kontribusi nyata dalam mempercepat pembangunan pertanian di pedesaan.

Hadirian yang saya hormati,

Mengakhiri sambutan ini, saya berharap seminar ini dapat membahas secara jernih permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian selama ini dan mampu menghasilkan rumusan untuk perbaikan kinerja pembangunan pertanian ke depan.

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim saya buka secara resmi ”Seminar Sehari Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007”. Kepada semua peserta saya ucapkan selamat berdiskusi. Semoga Allah SWT. senantiasa memberikan kemudahan bagi kita untuk dapat memberikan yang terbaik bagi pembangunan pertanian di tanah air.

Wassalaamua’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,

Kepala Badan,

Dr. Ir. Achmad Suryana

vii

RUMUSAN

SEMINAR SEHARI

KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2006 DAN PROSPEK 2007

1. Pembangunan pertanian masa depan memerlukan penyesuaian arah dan implementasi kebijakan pembangunan. Strategi pembangunan harus mengedepankan peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal.

2. Dukungan Litbang dalam pembangunan pertanian telah memberikan hasil-hasil yang nyata. Antara lain indeks daya beli dan indeks insentif berproduksi petani cenderung meningkat setelah anjlok akibat kenaikan hartga BBM Oktober 2005. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan Deptan berhasil mengkompensasi dampak buruk kenaikan BBM, bahkan mampu memperbaiki kesejahteraan petani.

3. Kendala dan tantangan yang dihadapi adalah persaingan global dalam pengembangan teknologi, perubahan kebijakan lembaga lender dan donor, perubahan kebijakan pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (PLN), investasi (SDM, fasilitas dan biaya penelitian) litbang yang dinilai mahal, dan keterbatasan penguasaan dan pemanfaatan iptek.

4. Badan Litbang Pertanian mendorong pembangunan pertanian melalui kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi varietas, sistem budidaya dan rancang bangun kelembagaan. Upaya-upaya tersebut mencakup peningkatan kapasitas produksi pertanian yang meliputi produktivitas, kualitas, sumber pertumbuhan baru dan pelestarian lingkungan.

5. Secara umum indikator makro pertanian tahun 2006 lebih baik dari 2005. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2007 diperkirakan akan meningkat lebih tinggi bila pemerintah mampu mengendalikan resiko produksi secara baik.

6. Pemerintah perlu meningkatkan alokasi dana pembangunan pertanian, terutama guna perluasan areal pertanian dan pengembangan jaringan irigasi. Lebih jauh lagi pemerintah perlu menekan laju konversi lahan pertanian.

7. Untuk memperlambat akselerasi peningkatan harga beras, pemerintah pada tahun 2007 hendaknya tidak menaikkan harga pokok penjualan (HPP) gabah dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk.

8. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan petani telah terjadi kontradiksi berbagai kebijakan makro ekonomi versus program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah juga dihadapkan pada pilihan yang sulit antara pembangunan berbasis efisiensi (growth) versus pemerataan (equity) dan pendekatan individu versus pemberdayaan komunitas.

9. Kompleksitas masalah penanggulangan kemiskinan menuntut ketegasan segmentasi sasaran kelompok miskin, pergeseran pendekatan parsial sektoral ke arah pendekatan holistik multi-sektor, dukungan kebijakan, fokus pembangunan, dan pengembangan aspek legalitas kaum miskin dan upaya penanggulangannya.

10. Dari sisi kelembagaan diperlukan pendekatan dan pengembangan kelembagaan petani yang sejalan dengan dinamika pembangunan spesifik wilayah dengan memanfaatkan

viii

strategi intrusif yang sesuai dengan ekologi kultural setempat. Kinerja kelembagaan pembangunan sektor pertanian masa depan harus didukung oleh kebijakan pemihakan (affirmative policy) yang merupakan komitmen pembangunan pihak pemerintah, memiliki strategi dan teknik implementasi kebijakan yang jelas dan terstruktur, serta memiliki tolok ukur kinerja yang jelas untuk kepentingan penyempurnaan strategi pembangunan pertanian nasional.

11. Pembangunan sub-sektor tanaman pangan tahun 2006 menunjukkan kinerja baik, sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan produksi pangan nasional, terutama komoditas padi sebagai komoditas strategis dan ubikayu sebagai komoditas pangan alternatif dan bahan baku industri. Dukungan yang diperlukan antara lain adalah perbaikan sarana irigasi, modal, peningkatan keterampilan petani, penggunaan varietas unggul, perbaikan sistem distribusi sarana produksi, pelibatan pihak swasta untuk berinvestasi di bidang agro-industri, mengembangkan pola kemitraan dan pemberlakuan tarif dan waktu impor yang didukung oleh penerapan hukum secara konsisten.

12. Penurunan laju konsumsi beberapa komoditas hortikultura (misalnya pisang dan bawang merah) merupakan suatu tantangan dalam mengembangkan produksi disamping ketidak mamp;uan bersaing dengan produk impor. Perubahan preferensi konsumen hendaknya dapat disubstitusi oleh produk olahan yang menggunakan bahan baku yang sama. Keran impor harus ditekan melalui pengaturan administrasi dan tarif yang melindungi produk dan harga produk domestik.

13. Luas areal, produktivitas, produksi dan ekspor komoditas perkebunan akan meningkat, kecuali luas areal perusahaan besar negara (PBN) dan perusahaan besar swasta (PBS) pada karet. Penggunaan minyak sawit untuk biodisel diharapkan tidak mengganggu pasokan dalam negeri dan luar negeri untuk industri non-biodisel. Pengembangan jarak pagar sebagai bahan baku biodisel di tingkat petani masih terhambat oleh harga biji jarak yang rendah. Prioritas dalam waktu dekat perlu diberikan kepada investor untuk membuka kebun jarak pagar dan mengolah hasilnya menjadi biodisel.

14. Kebijakan promosi dan proteksi untuk mengembangkan subsektor perkebunan yang selama ini ditempuh perlu dilanjutkan, baik pada aspek produksi maupun perdagangan. Indonesia dapat menggunakan Special Safeguard (SSG) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk melindungi industri gulanya dengan meningkatkan tarif impornya jika harga gula jatuh.

15. Komoditas peternakan memiliki peluang besar untuk mengisi pasar ternak hidup, daging, telur dan susu. Nilai ekspor ternak dan hasil ternak terus meningkat dengan rataan 17% per tahun. Di samping itu peluang ekspor hijauan makanan ternak (HMT) ke Australia terbuka lebar, terutama di musim kemarau. Hambatan pengembangan komoditas peternakan antara lain adalah inefisiensi pengadaan input peternakan, penguasaan teknologi bibit dan perbibitan, kebijakan pengembangan agro-industri yang tidak terkait pada budidaya peternakan domestik, dan tidak tersedianya data pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.

16. Kinerja pembangunan komoditas peternakan tahun 2007 sangat ditentukan oleh kebijakan yang tepat dalam pengaturan impor ternak hidup, daging, pajak, dan otonomisasi daerah. Dari sisi teknis diperlukan kebijakan pengaktifan RPH modern yang beroperasi di wilayah sentra produksi (WSP) guna melayani konsumen di pasar daging wilayah sentra konsumsi (WSK).

ix

17. Pemerintah seyogyanya memfokuskan program pembangunan peternakan ke arah pengembangan usahaternak komersil skala kecil dan menengah. Strategi ini hendaknya didukung oleh kebijakan pembangunan peternakan komersil tingkat daerah. Pemerintah diharapkan mengarahkan pengembangan kemitraan masyarakat dengan perusahaan peternakan secara terintegrasi dengan inti utama pelaksanaan biosekuriti dan pelayanan input dan output.

18. Terkait fenomena Avian Influenza (AI), pemerintah diharapkan merancang dan melaksanakan penelitian dampak sosial-ekonomi secara nasional untuk memperoleh gambaran yang bersifat komprehensif. Hasil penelitian ini diharapkan turut mendorong restrukturisasi peternakan secara rasional, efektif dan efisien.

19. Secara umum diperlukan perubahan paradigma pembangunan sektor menjadi paradigma pembangunan wilayah terintegrasi. Paradigma ini diimplementasikan dalam bentuk pendekatan pembangunan kewilayahan yang bersifat lintas sektor dan kelembagaan, lintas disiplin keilmuan dan lintas komoditas atau subsektor. Secara operasional pendekatan kewilayahan ini merupakan panduan pendekatan pembangunan di daerah tingkat otonom.

KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN

CURRENT STATUS AND THE FUTURE OF FOOD CROP DEVELOPMENT

D.K.S. Swastika1, J. Wargiono2, B. Sayaka1, A. Agustian1, dan V. Darwis1

1Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Jl. Merdeka No. 147 Bogor 16111

ABSTRACT

In the last 15 years, the production of rice, corn, sybean and cassava had always been lower than demand and, therefore, such production has always been in a deficit state. Yet, the overall performance of food crop production in 2005 was considered satisfactory. Such achievement was shown by the increasing production of rice, corn and soybean with the excemption of cassava which showed a one per cent decrease in 2004. in the coming year, Indonesia’s rice production is expected to improve, whereas corn, soybean and cassava production are predictably lower. The decrease of corn and soybean production in 2006 are due to too much rain that negatively affect the harvest areas. In year 2007, the country will continue apply the prior agriculture development program such as: (a) improving food security, (b) agribusiness development, and (c) farmer’s welfare improvement.

Key words : food crop, rice, corn, cassava, demand

ABSTRAK

Selama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah dari permintaan, sehingga selalu mengalami defisit. Kinerja pembangunan pertanian tanaman pangan tahun 2005 cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya produksi padi, jagung, dan kedelai dibandingkan dengan tahun 2004, kecuali ubi kayu yang menurun 1%. Dalam tahun 2006, produksi padi diramalkan meningkat, sedangkan produksi jagung, kedelai, dan ubi kayu diramalkan menurun. Penurunan produksi jagung dan kedelai disebabkan oleh banyaknya hujan tahun 2006, sehingga areal panen kedua komoditas tersebut menurun. Pada tahun 2007, program pembangunan pertanian masih melanjutkan program sebelumnya yaitu: (a) Peningkatan Ketahanan Pangan, (b) Pengembangan Agribisnis, dan (c) Peningkatan Kesejahteraan Petani.

Kata kunci : tanaman pangan, beras, jagung, ubi kayu, permintaan

PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan menda-sar bagi suatu negara, terutama negara berkem-bang. Kekurangan pangan yang terjadi secara meluas di suatu negara akan menyebabkan ke-rawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas negara tersebut. Pe-ngalaman menunjukkan bahwa kelangkaan pangan, terutama beras, yang menyebabkan melonjaknya harga pada tahun 1966 dan 1998 sangat berpengaruh terhadap krisis ekonomi, sosial dan politik, dan berujung pada penggan-tian pemerintah saat itu (Suryana, 2002). Oleh karena itu, sejak awal kemerdekaan, Indonesia selalu berupaya keras untuk meningkatkan pro-

duksi pangan, terutama beras. Sampai saat ini, baik secara psikologis maupun politis, kebijakan pangan di Indonesia masih merupakan isu yang sangat penting yang akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan (Amang et al., 2000).

Di antara komoditas pangan, beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95penduduk Indonesia. Usahatani padi menyediakan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta rumah tanggapertanian. Selain itu, beras juga merupakan komoditas politik yang sangat strategis, sehingga produksi beras dalam negeri menjadi tolok ukur ketersediaan pangan bagi Indonesia (Suryana, 2002). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika campur tangan pemerintah sangat besar dalam upaya peningkatan produksi dan stabilitas

2

harga dalam pemasaran beras. Kecukupan pangan (terutama beras) dengan harga yang terjangkau telah menjadi tujuan utama kebijakan pembangunan pertanian, guna menghindari kelaparan serta gejolak ekonomi dan politik (Sudaryanto et al., 1999). Bahkan pada zaman Orde Baru, keberhasilan dalam produksi beras di tiap daerah dijadikan barometer keberhasilan seorang gubernur dan bupati.

Berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi, seperti: pembangunan sarana irigasi; subsidi benih, pupuk, dan pestisida; kredit usahatani bersubsidi; serta pembangunan kelem-bagaan usahatani telah ditempuh. Kebijakan lain adalah bidang penelitian dan pengembangan pertanian, untuk menciptakan teknologi tepat guna, baik dalam hal varietas maupun komponen teknologi lainnya. Demikian juga dalam pema-saran hasil, pemerintah mengeluarkan kebijakan harga dasar gabah (HDG) atau harga dasar pembelian pemerintah (HDPP), untuk melindungi petani dari jatuhnya harga di bawah biaya pro-duksi. Sementara itu, kebijakan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, agar harga beras terjangkau oleh sebagian besar konsumen. Campur tangan yang sangat besar dan bersifat protektif telah membuahkan hasil, yaitu tercapainya swasem-bada beras pada tahun 1984. Namun demikian, swasembada yang dicapai hanya sesaat. Secara umum, selama lebih dari tiga dekade produksi beras dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan, sehingga masih tergantung pada impor. Kondisi ini diperburuk oleh konversi lahan yang terus berlangsung di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi cenderung menurun. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, diperlukan terobosan kebijakan untuk mening-katkan produksi, baik melalui peningkatan mutu intensifikasi maupun perluasan areal tanam padi pada lahan yang potensial.

Makalah ini bertujuan untuk melakukan tinjauan kinerja pembangunan pertanian tana-man pangan dan prospeknya dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, terutama dalam memperkuat ketahanan pangan dan meningkat-kan pendapatan petani. Komoditas pangan utama yang dikaji adalah padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu. Studi ini sebagian besar meman-faatkan hasil-hasil studi sebelumnya dengan melakukan pemutakhiran untuk data yang terse-dia sampai tahun 2005.

PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITAS PANGAN

Kinerja Produksi Pangan

Selama 15 tahun terakhir (1990-2005), areal panen keempat komoditas pangan di Indonesia mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda dan namun cenderung menurun (deminishing growth). Dalam periode 1990-1998, areal panen padi dan jagung tumbuh masingmasing 1,39% dan 2,45%/th. Sebaliknya, areal panen kedelai dan ubi kayu turun dengan pertumbuhan masing-masing -2,44% dan -1,05%/thSelama periode 1998-2005, pertumbuhan areal padi, jagung, dan kedelai menurun menjadi masing-masing 0,13%, -0,79%, dan -7,77%/thSedangkan pertumbuhan areal ubi kayu meningkat relatif rendah sekitar 0,10%/th.

Berdasarkan data pertumbuhan areal masing-masing komoditas, terlihat persaingan dalam penggunaan lahan. Kenaikan areal tanam jagung pada peiode 1990-1998 berdampak pada penurunan areal kedelai dan ubi kayu. Hal ini mencerminkan bahwa pada periode tersebut petani lebih tertarik menanam jagung daripada kedelai atau ubi kayu. Dengan kata lain, menanam jagung lebih kompetitif dibandingkan kedelai dan ubi kayu. Gonzales et al. (1993) menggunakan indikator DRCR dan Ditjentan (2004) menggunakan indikator R/C, melaporkan bahwa usahatani jagung lebih kompetitif dibandingkan dengan kedelai.

Produksi padi selama periode 1990-1998 meningkat rata-rata 1,08%/th. Rendahnya pertumbuhan produksi padi pada periode ini terutama disebabkan oleh adanya anomali iklim (ElNiño pada MH 1997/98) yang berdampak pada penurunan produktivitas tahun 1998. Produktivitas padi tahun 1998 turun sekitar 5,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada periode 1998-2005, produksi padi meningkat rata-rata 1,37%/th, yang merupakan sumbangan pertumbuhan areal 0,13% dan produktivitas 1,23%. Hal ini mengindikasikan periode pemulihan dari produksi padi.

Produksi jagung meningkat cukup tajam dengan pertumbuhan 5,29%/th selama periode 1990-1998. Pertumbuhan ini disebabkan oleh pertumbuhan areal (2,45%/th) dan pertumbuhan produktivitas (2,77% /th). Selanjutnya selama periode 1998-2005, meskipun areal panen menurun

dengan pertumbuhan -0,79%/th, namun produk-tivitas meningkat rata-rata 3,84%/th, sehingga produksi meningkat rata-rata 3,02%/th.

Berbeda dengan padi dan jagung, pro-duksi kedelai menurun makin tajam dengan pertumbuhan rata-rata -1,62%/th selama 1990-1998 dan -6,62%/th selama 1998-2005. Penu-runan ini disebabkan oleh tajamnya penurunan areal panen, meskipun produktivitas meningkat rata-rata 0,84%/th selama periode 1990-1998 dan 1,25%/th selama periode 1998-2005. Hal ini mencerminkan bahwa di satu pihak kemajuan teknologi meningkatkan produktivitas, namun di pihak lain kurangnya insentif menurunkan minat petani menanam kedelai.

Untuk ubi kayu, selama 1990-1998 pro-duksi menurun rata-rata 0,92%/th sejalan dengan penurunan areal. Namun pada peiode 1998-2005, produksi meningkat cukup nyata, yaitu rata-rata 3,99%/th. Peningkatan ini sebagian besar disumbang oleh peningkatan produktivitas (3,89%/th) dan hanya 0,10%/th disumbang oleh peningkatan areal panen. Tingginya pertum-buhan produktivitas mengindikasikan cepatnya kemajuan teknologi, terutama dengan ditemukan-nya varietas unggul berdaya hasil tinggi, seperti Adira-1 sampai Adira-4, dan varietas unggul lainnya. Selama periode ini produktivitas ubi kayu meningkat dari 12,19 ton/ha pada tahun 1998 menjadi 16,15 ton/ha pada tahun 2005. Namun

produktivitas tahun 2005 masih jauh dibawah potensi hasil yang mencapai 25-40 ton/ha (Wargiono et al., 2006).

Secara lebih rinci, perkembangan areal dan produksi tanaman pangan utama di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1, juga disajikan angka ramalan II (Aram-II) dari BPS tentang produksi keempat komoditas pangan yang dikaji. Angka ramalan ini ditentukan berdasarkan hasil pertemuan (rapat pleno) yang dihadiri berbagai pihak seperti: BPS, Badan Ketahanan Pangan (BKP), Ditjentan, Pusdatin Pertanian, Bulog, LAPAN, BMG, Menko Ekuin, dan Bappenas, serta Dinas Pertanian dan BPS Provinsi seluruh Indonesia.

Jika angka ramalan tersebut benar terwujud, maka akan terdapat penurunan produksi jagung dan kedelai, masing-masing 0,22% dan 3,07%, dibandingkan dengan produksi tahun 2005. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan areal panen masing-masing 1,17dan 2,86%, yang diduga merupakan akibat dari tingginya curah hujan, sehingga petani lebih cenderung menanam padi. Produksi padi diramalkan meningkat rata-rata 1,11% dan ubi kayumeningkat 3,80%, dibandingkan dengan produksi tahun 2005.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan melaporkan bahwa peningkatan produksi padi disebabkan oleh tersedianya air dalam jumlah

Tabel 1. Areal Panen dan Produksi Tanaman Pangan Utama di Indonesia, 1990-2005

Areal Panen (000 ha) Produksi (000 ton) Tahun Padi Jagung Kedelai Ubi kayu Padi Jagung Kedelai Ubi kayu

1990 10.502 3.158 1.334 1.312 45.179 6.734 1.487 15.830 1995 11.439 3.652 1.477 1.324 49.744 8.246 1.680 15.441 1997 11.141 3.355 1.119 1.243 49.377 8.771 1.357 15.134 1998 11.730 3.834 1.095 1.205 49.237 10.169 1.306 14.696 2000 11.793 3.500 825 1.284 51.898 9.677 1.018 16.089 2001 11.500 3.286 679 1.318 50.461 9.347 827 17.055 2002 11.521 3.127 545 1.277 51.490 9.654 673 16.913 2003 11.477 3.359 527 1.245 52.138 10.886 672 18.524

2004 * 11.923 3.356 565 1.256 54.088 11.225 723 19.425 2005 * 11.839 3.626 622 1.213 54.151 12.524 808 19.321

Aram II 2006* 11.867 3.584 604 1.242 54.751 12.496 784 20.055 Pertumb:

1990-1998 1,39 2,45 -2,44 -1,05 1,08 5,29 -1,62 -0,92 1998-2005 0,13 -0,79 -7,77 0,10 1,37 3,02 -6,62 3,99 1990-2005 0,80 0,93 -4,96 -0,52 1,21 4,22 -3,98 1,34

Sumber: FAO, 2005; * = BPS, 2006. diolah; Aram-II 2006 = Angka Ramalan II BPS untuk tahun 2006.

4

yang cukup, sebagai dampak dari curah hujan yang tinggi, disertai perbaikan saluran irigasi, sehingga areal panen meningkat 0,23% dan produktivitas meningkat 0,87%. Disamping itu, harga gabah yang lebih baik di tingkat petani pada tahun 2006 juga merupakan rangsangan bagi petani untuk menanam padi dengan tek-nologi yang lebih baik. (Ditjentan, 2006a).

Perkembangan Konsumsi Pangan Selama 15 tahun terakhir, konsumsi beras,

jagung, dan kedelai hampir selalu di atas produk-si dalam negeri, sehingga hampir tiap tahun mengalami defisit. Produksi bersih beras dalam periode 1990-2005 meningkat 1,22%/th. Sedang-kan total konsumsi dalam negeri meningkat rata-rata 1,0%/th. Selama periode tersebut, laju per-tumbuhan produksi sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan konsumsi, sehingga defisit beras menurun dari 0,89 juta ton pada tahun 1990 menjadi surplus lebih dari 0,10 juta ton pada tahun 2005. Namun demikian, ada indikasi bahwa defisit beras menurun rata-rata 10,8%/th selama periode 1990-2005. Kondisi ini meng-

gambarkan bahwa ke depan, jika pertumbuhan produksi dan konsumsi dapat dipertahankan, ketergantungan Indonesia pada beras impor akan berkurang, bahkan sangat potensial mencapai dan mempertahankan swasembada beras.

Untuk jagung, produksi dalam negeri meningkat dari 6,73 juta ton pada tahun 1990 menjadi 12,52 juta ton pada tahun 2005. Sementara itu, total konsumsi meningkat dari 6,60 juta ton pada tahun 1990 menjadi 12,41 juta ton pada tahun 2005. Dengan demikian, pada tahun 1990 terdapat surplus 0,13 juta ton. Selanjutnya terjadi defisit sampai tahun 2004. Namun pada tahun 2005 tercapai kembali surplus sebesar 0.11 juta ton. Berdasarkan perkembangan produksi dan konsumsi, ada kecenderungan defisit akan makin berkurang.

Kinerja yang lebih buruk adalah perkembangan produksi kedelai. Selama periode 19902005, produksi terus menurun dari 1,49 juta ton pada tahun 1990 menjadi hanya 0,81 juta ton pada tahun 2005, atau menurun rata-rata 3,98%/th. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan areal yang cukup tajam dari 1,33 juta ha

Tabel 2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras dan Jagung di Indonesia, 1990-2005

Beras (000 ton) Jagung (000 ton) Tahun Prod

uksi Konsumsi

Neraca

Produksi

Konsumsi

Neraca

1990

25.616

26.503 -887

6.73

4

6.60

1 133

1995

28.205

28.572 -367

8.24

6

8.22

6 20

1997

27.997

30.582

-2.58

5

8.77

1

9.85

0

-1.07

9

1998

27.917

30.548

-2,63

1

10.1

69

9.85

0 319

2000

29.426

31.595

-2,16

9

9.67

7

10.9

14

-1.23

7

2001

28.611

29.760

-1,14

9

9.34

7

10.2

92 -945

2002

29.195

30.687

-1,49

2

9.65

4

10.7

92

-1.13

8

2003

29.562

31.161

-1,59

9

10.8

86

11.8

31 -945

2004

30.668

30.627 41

11.2

25

11.9

11 -686

2005

30.704

30.599 105

12.5

24

12.4

11 113 Sumber: FAO, 2005; BPS, 1990-2005. Diolah.

pada tahun 1990 menjadi hanya 0,62 juta ha pada tahun 2005. Puncak produksi dicapai pada tahun 1992, yaitu 1,87 juta ton dari areal seluas 1,67 juta ha. Di lain pihak, total konsumsi dalam negeri berfluktuasi dan cenderung meningkat dari 1,54 juta ton pada tahun 1990 menjadi 1,81 juta ton pada tahun 2005. Dengan demikian, defisit kedelai terus meningkat dari 0,05 juta ton pada tahun 1990 menjadi 1,00 juta ton pada tahun 2005, atau sekitar 56% dari total kebutuhan tahun 2005.

Produksi ubi kayu selama 15 tahun terakhir meningkat dari 15,83 juta ton pada tahun 1990 menjadi 19,32 juta ton pada tahun 2005, atau meningkat rata-rata 1,34%/th. Sementara itu, total konsumsi juga meningkat dari 16,50 juta ton pada tahun 1990 menjadi 18,24 juta ton pada tahun 2005. Selama periode 1990-2003, Indone-sia mempunyai net ekspor ubi kayu dalam bentuk gaplek rata-rata 0,47 juta ton/th dan dalam bentuk tapioka 10,5 ribu ton, atau masing-masing setara dengan 1,18 juta ton dan 43,85 ribu ton ubi segar. Sementara itu, dalam bentuk tepung ubi kayu, ternyata neraca perdagangan defisit ra-

ta-rata hampir 47,3 ribu ton, atau setara dengan

0,13 juta ton/tahun. Perkembangan produksi dan konsumsi keempat komoditas pangan selama 15 tahun terakhir disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

PERDAGANGAN KOMODITAS PANGAN

Perdagangan Dalam Negeri

Komoditas beras, jagung, kedelai, dan ubi kayu diperdagangkan secara bebas di dalam negeri. Sejak tahun 2003, Bulog tidak lagi memonopoli perdagangan beras, jagung, dan kedelai, karena fungsinya lebih ditekankan untuk kepentingan komersial. Sekarang, hasil panen petani hanya sebagian kecil (sekitar 5%) yang dibeli oleh Bulog dengan harga dasar, selebihnya dibeli oleh pedagang umum dengan harga pasaFungsi pedagang umum lebih menonjol dalam hal pembelian dan pengolahan gabah petani hingga pemasaran kepada konsumen. Sedangkan fungsi stok masih dijalankan oleh Bulog pada volume minimal untuk menjaga stabilitas harga. Selama ini stok yang ada di Bulog untuk stabilitas harga dicadangkan sekitar 2,1 juta ton. Jika stok tersebut kurang dari 2,1 juta ton, maka Bulog akan menambahnya melalui impor. Saat ini target stok diturunkan dari 2,1 juta ton menjadi 1,35 juta ton karena sulitnya pengadaan beras (Tempo Interaktif, 2006).

Demikian pula perdagangan jagung yang sebagian besar permintaannya dari industri

pakan dan pangan. Bulog tidak lagi menjamin harga dasar sejak 1990. Hasil panen jagung petani dibeli oleh pedagang pengumpul, dan disalurkan ke industri pakan dan pangan. Sebagian kecil produksi jagung dalam negeri terutama pada panen raya diekspor. Sedangkan kekurangan pasokan jagung domestik dipenuhi dengan impor. Kebutuhan jagung untuk konsumsi rumah tangga umumnya dicukupi oleh produksi petani sendiri. Pada saat tidak panen

Tabel 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai dan Ubi kayu di Indonesia, 1990-2005

Kedelai (000 ton) Ubi kayu (000 ton) Tahun Produksi Konsumsi Neraca Produksi Konsumsi Neraca

1990 1.487 1.541 -54 15.830 16.500 -670

1995 1.680 2.031 -351 15.441 15.832 -391

1997 1.357 1.813 -456 15.134 14.038 1.096

1998 1.306 1.649 -343 14.696 13.925 771

2000 1.018 2.295 -1.277 16.089 16.740 -651

2001 679 1.822 -1.144 17.055 17.289 -234

2002 673 2.038 -1.365 16.913 17.711 -798

2003 672 1.856 -1.184 18.524 17.876 648

2004 723 1.831 -1.108 19.425 18.052 1.373

2005 808 1.854 -1.046 19.321 18.245 1.076 Smber: FAO, 2005; BPS, 1990-2006. Diolah.

6

dan kehabisan stok di rumah, petani akan membeli dari pasar lokal untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Kedelai dalam negeri banyak digunakan untuk industri tahu dan tempe. Relatif sedikitnya produksi dalam negeri mendorong pemerintah mengimpor kedelai dalam bentuk biji untuk industri pangan maupun bungkil kedelai untuk pakan ternak. Distribusi kedelai di dalam negeri, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor, tidak lagi dimonopoli oleh Bulog. Petani kedelai menjual kepada pedagang pengumpul, lalu disalurkan kepada industri pangan, seperti tahu dan tempe. Sedangkan kedelai impor disalurkan oleh importir ke industri pangan melalui koperasi pengrajin tahu dan tempe.

Untuk ubi kayu, sebagian besar dalam bentuk ubi segar dipasarkan oleh petani melalui pedagang pengumpul ke industri tapioka, dan untuk konsumsi rumah tangga. Sebagian lagi dipasarkan dalam bentuk gaplek, dari petani ke industri pakan untuk tujuan ekspor, dan industri tepung ubi kayu untuk industri makanan. Dari industi tapioka, produk ubi kayu dipasarkan ke industri lain seperti tekstil, kayu lapis, dan seba-gainya (Suharno, 1995).

Ekspor dan Impor

Kebutuhan beras, jagung, dan kedelai dalam negeri yang relatif besar belum bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri. Hal ini men-dorong pemerintah mengimpor bahan pangan tersebut dari pasar dunia. Produksi dalam negeri yang hampir selalu defisit membuat Indonesia dikenal sebagai importir beras, jagung, dan

kedelai. Hanya untuk ubi kayu Indonesia termasuk net ekspor. Indonesia juga mengekspor beras, jagung, dan kedelai, tetapi dengan volume dan nilai yang jauh lebih kecil dari impor. Semenjak Bulog tidak lagi menjadi importir tunggal bahan pangan, volume impor ketiga bahan pangan tersebut cenderung naik, karena harga di pasar internasional lebih murah dari pada harga di dalam negeri. Di lain pihak, ekspor bahan pangan relatif sulit menembus pasar dunia jika masih berupa bahan mentah.

Beras

Impor beras cenderung naik selama periode 1990-1998, dari 0,05 juta ton menjadi 2,89 juta ton, atau meningkat rata-rata 66,26%th. Pada periode berikutnya (1998-2005), turun rata-rata 32%/th. Walaupun demikian, selama lima belas tahun terkahir impor beras Indonesia naik rata-rata 9,36%/th (Tabel 4). Penurunan ini sebagian disebabkan oleh pembatasan impor.

Selama periode 1990-2004, ekspor beras Indonesia cenderung turun, dari 1.911 ton menjadi 904 ton atau penurunan rata-rata 5,21%th. Tetapi pada tahun 2005 terjadi lonjakan luar biasa dalam hal ekspor, yaitu meningkat menjadi 42,286 ton. Sehingga pertumbuhan ekspor dari tahun 1990 sampai 2005 menjadi rata-rata 23%th. Walaupun demikian, karena volume ekspor relatif sangat kecil dibandingkan dengan impor, maka neraca perdagangan beras selama 15 tahun terakhir tetap negatif (defisit).

Sebagian besar ekspor beras pada tahun 2005 ditujukan untuk negara Afrika Selatan

Tabel 4. Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Indonesia, 1990-2005

Ekspor Impor Neraca Tahun Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton)

1990 0,18 1.911 14,13 49.577 -13,96 -47.666

1995 0,01 5 885,24 3.157.700 -885,23 -3.157.695 1997 0,07 64 108,93 348.075 -108,87 -348.011 1998 1,30 1.981 861,12 2.894.958 -859,82 -2.892.977 2000 0,31 1.247 319,13 1.355.666 -318,82 -1.354.419 2001 0,79 4.010 134,91 644.733 -134,12 -640.723 2002 1,13 3.991 342,53 1.805.380 -341,40 -1.801.389 2003 0,32 676 291,42 1.428.506 -291,10 -1.427.830

2004 0,46 904 61,75 236.867 -61,30 -235.962 2005 8,66 42.286 51,50 189.617 -42,84 -147.331 Pertumb (%)

1990-1998 28,04 0,45 67,15 66,26 67,37 67,07 1998-2005 31,12 54,85 -33,13 -32,25 -34,85 -34,65 1990-2004 6,93 -5,21 11,11 11,82 11,15 12,10

1990-2005 29,46 22,93 9,00 9,36 7,76 7,81 Sumber: FAO (1990-1998); World Bank (2000-2005)

(99%) dan lainnya ke Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Sudan, Hong Kong, Kepulauan Cook, Micronesia, Australia, Tonga, dan Belanda. Impor beras paling banyak berasal dari Thailand (67%), Vietnam (24%), dan selebihnya berasal dari Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan India.

Jagung

Ekspor jagung Indonesia pada periode 1990-1998 naik dari 141.835 menjadi 632.515

ton, atau rata-rata meningkat 20,55%/th. Pada periode berikutnya (1998-2005) ekspor jagung turun rata-rata 29,64 %/th, menjadi 54.009 ton pada tahun 2005. Selama periode 1990-2005 ekspor cenderung turun rata-rata 6,23%/th (Tabel 5). Impor jagung cenderung naik dari 9.050 ton pada tahun 1990 menjadi 313.463 ton pada tahun 1998, atau meningkat rata-rata 55,76%/th. Sedangkan pada periode 1998-2005 impor ja-gung turun rata-rata 7,21%/th. Secara umum pada periode 1990-2005 impor jagung naik rata-rata 22,31%/th. Selama periode tersebut neraca perdagangan jagung hanya sempat mengalami surplus dua kali, yaitu pada tahun 1990 dan 1998, selebihnya selalu defisit.

Pada tahun 2005 ekspor jagung Indone-sia paling banyak ditujukan untuk Malaysia

(57%), Filipina (27%), Jepang (13%), dan selebihnya ke Hong Kong, Singapura, negara-negara Asia lainnya, dan Arab Saudi. Sedangkan impor jagung terbesar dari Argentina (71%), Thailand (19%), dan selebihnya dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, India, Malaysia, Cina, Singapura, dan Filipina.

Kedelai

Ekspor kedelai Indonesia relatif kecil dibanding impor sehingga neraca perdagangan

selalu defisit, kecuali pada tahun 2001 (Tabel 6Pada tahun 2005, misalnya, ekspor kedelai hanya 1,70 ribu ton, sedangkan impor 1,09 juta ton. Selama periode 1990-1998, ekspor kedelai turun dari 240 ribu ton menjadi tidak ada ekspor sama sekali, kemudian naik secara fluktuatif menjadi hanya 1,70 ribu ton pada tahun 2005. Selama periode 1990-2005, rata-rata ekspor turun 28 %/th (Tabel 6).

Di sisi impor, selama periode 1990-1998 sempat mengalami penurunan rata-rata hampir 5,54 %/th. Periode berikutnya (1998-2005) melonjak rata-rata 17,90 %/th. Selama kurun waktu 1990-2005, impor kedelai naik-rata 4,76 %/th. Pada periode yang sama (1990-2005), defisit kedelai meningkat lebih tajam rata-rata 8,92 %/th.

Tabel 5. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia, 1990-2005

Ekspor Impor Neraca Tahun Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton)

1990 16,78 141.835 1,70 9.050 15,08 132.785

1995 11,27 79.144 154,12 969.193 -142,85 -890.049 1997 10,89 18.957 171,68 1.098.354 -160,79 -1.079.397 1998 65,45 632.515 47,84 313.463 17,62 319.052

2000 4,98 28.066 157,95 1.264.575 -152,96 -1.236.509 2001 10,50 90.474 125,51 1.035.797 -115,01 -945.323 2002 3,33 16.306 137,98 1.154.063 -134,65 -1.137.757

2003 5,52 33.691 168,66 1.345.446 -163,14 -1.311.755 2004 9,07 32.679 177,67 1.088.928 -168,60 -1.056.248 2005 9,05 54.009 30,85 185.597 -21,80 -131.589

Pertumb (%)

1990-1998 18,55 20,55 51,76 55,76 - - 1998-2005 -24,62 -29,64 -6,08 -7,21 - - 1990-2005 -4,03 -6,23 21,32 22,31 - - Sumber: FAO (1990-1998), World Bank (2000-2005)

8

Ekspor kedelai Indonesia sebagian besar untuk tujuan Filipina (50%), negara-negara Asia lainnya (22%), Jepang (19%), dan yang lain ke Micronesia, Ghana, Arab Saudi, Brunei, Korea Selatan, Papua Nugini, Amerika, Malaysia dan Singapura. Sedangkan impor sebagian besar berasal dari Amerika (83%), Argentina (13%),

dan selebihnya dari Kanada, Swis, Malaysia, Singapura, India, Myanmar, Emirat Arab, Afrika Selatan dan Cina. Akhir-akhir ini impor kedelai cenderung turun karena membaiknya harga kedelai domestik, sehingga petani relatif terpacu menaikkan produknya.

Ubi kayu

Perdagangan internasional ubi kayu ber-beda dengan komoditas pangan lainnya. Neraca perdagangan komoditas ubi kayu sejak 1990 hingga 2005 selalu menunjukkan nilai surplus, baik volume maupun nilainya. Selama periode

1990-1998, ekspor ubi kayu turun 16,18%/th dari 1,28 juta ton menjadi 0,31 juta ton setara gaplek. Pada periode berikutnya (1998-2005), ekspor turun rata-rata 4,26%/th. Secara keseluruhan, selama periode 1990-2005, ekspor ubi kayu turun rata-rata 10,81%/th (Tabel 7).

Tabel 6. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedelai di Indonesia, 1990-2005

Ekspor Impor Neraca Tahun Nilai

(juta $) Volume

(000 ton) Nilai

(juta $) Volume

(000 ton) Nilai

(juta $) Volume

(000 ton)

1990 0,24 240 146,48 541 -146 -301

1995 0,03 83 180,59 607 -181 -524 1997 0,00 6 206,67 616 -207 -610 1998 0,00 0 98,69 343 -99 -343 2000 0,12 521 275,48 1.278 -275 -757 2001 0,34 1.188 239,32 1.136 -239 52 2002 0,15 235 299,22 1.365 -299 -1.130

2003 0,30 169 330,50 1.193 -330 -1.024 2004 0,50 1,30 416,93 1.116 -416 -1.115 2005 0,48 1,70 308,01 1.086 -308 -1.084

Pertumb (%) 1990-1998 - - -4,82 -5,54 11,04 18,92 1998-2005 - - 17,66 17,9 17,6 17,87 1990-2005 4,73 -28,11 5,08 4,76 5,1 8,92 Sumber: FAO (1990-1998), World Bank (2000-2005) Tabel 7. Perkembangan Ekspor dan Impor Ubi Kayu di Indonesia, 1990-2005

Ekspor Impor Neraca Tahun Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton)

1990 143,69 1.278.525 0,02 9 143,68 1.278.516 1995 631,07 509.344 68,94 150.925 562,13 358.419 1997 27,90 264.032 21,46 91.960 6,43 172.072 1998 50,41 311.641 17,33 71.388 33,08 240.253 2000 10,81 151.439 0,05 35 10,75 151.404 2001 13,69 177.075 0,08 65 13,60 177.010 2002 6,07 70.429 0,21 155 5,86 70.273

2003 2,00 21.999 0,48 2136 1,52 19.863 2004 20,40 234.169 0,40 1812 20,00 232.357 2005 25,44 229.789 0,07 53 25,37 229.736

Pertumb (%) 1990-1998 -12,27 -16,18 132,93 207,20 -16,77 -18,86 1998-2005 -9,31 -4,26 -54,50 -64,28 -3,72 -0,64 1990-2005 -10,90 -10,81 8,71 12,55 -10,92 -10,81 Sumber: FAO (1990-1998), World Bank (2000-2005)

10

Impor ubi kayu pada periode 1990-1998 naik drastis rata-rata 207%/th, yaitu dari 9 ton menjadi 71.338 ton. Walaupun demikian, impor cenderung menurun pada periode 1998-2005 sebesar 64,28%/th. Secara umum, sejak 1990 hingga 2005, impor ubi kayu sangat fluktuatif dan cenderung naik rata-rata 12,55 %/th.

Ekspor ubi kayu Indonesia terutama untuk Cina (81%) dan Korea (16%). Selebihnya, ekspor ubi kayu ditujukan untuk Malaysia, Inggris Raya, Hong Kong, Jepang, Vietnam, Singapura, Fili-pina, Belanda, Australia, Jerman, India, Arab Saudi, Emirat Arab, dan Brunei Darussalam. Impor ubi kayu terutama berasal dari Cina (79%) dan Amerika Serikat (17%). Selebihnya, impor komoditas ini berasal dari Jepang dan Singapura.

Globalisasi Perdagangan Pangan Dunia Beras merupakan bahan pangan yang banyak dikonsumsi penduduk di dunia, yang juga diperdagangkan secara internasional. Negara eksportir utama beras adalah Thailand, Vietnam, Amerika Serikat, Cina, India, dan Pakistan. Jumlah beras yang diperdagangkan secara inter-nasional relatif kecil, yaitu sekitar 5,5% dari total produksi selama periode 1990-2001 (Rachman dan Dermorejo, 2004). Tidak semua negara pro-dusen beras menjadi eksportir beras, misalnya Indonesia dan Myanmar. Volume perdagangan beras dunia relatif labil karena sangat dipenga-ruhi musim dan ketahanan pangan tiap negara produsen. Oleh karena itu, ketergantungan pada beras impor sangat melemahkan ketahanan pangan.

Komoditas pangan lainnya, yaitu jagung, kedelai, dan produk olahan ubi kayu juga diper-dagangkan secara internasional. Indonesia seba-gai net importir untuk jagung dan kedelai, tetapi net eksportir untuk ubi kayu. Amerika Serikat sebagai eksportir utama jagung dan kedelai, sedangkan Thailand sebagai negara eksportir utama ubi kayu.

Dalam rangka globalisasi perdagangan dunia, Indonesia pernah membebaskan tarif impor beras pada tahun 1999, karena tekanan IMF melalui Letter of Intent yang ditandatangani pemerintah dengan IMF. Isi kesepakatan terse-but adalah liberalisasi pasar beras domestik, penghapusan monopoli oleh BULOG dalam distribusi dan impor beras, serta penghapusan subsidi pupuk dan pembebasan tata niaga pupuk

(Erwidodo, 2004). Kemudian pada awal tahun 2000 tarif impor beras ditetapkan sebesar Rp430/kg (specific tariff), meskipun dalam kesepakatan WTO-1995 tarif yang diikat adalah 160% dalam bentuk ad valorem tariff (Sawit, 2005). Walaupun demikian, rendahnya harga dunia mendorong penyelundupan beras ke Indonesia. Bahkanjumlah beras yang diselundupkan pernah mencapai 40% dari total beras yang masuk ke Indonesia (Kompas, 2004).

Tarif impor jagung yang diikat dalam perjanjian pertanian WTO-1995 adalah 40%Akan tetapi, sampai dengan 2004 pelaksanaannya 0%. Mulai tahun 2005, tarif yang diusulkan yang disebut dengan harmonized tariff adalah 5% (Ditjend Bea Cukai, 2004). Hal ini sangat mempengaruhi produksi dalam negeri karena impor jagung pada taraf tertentu relatif murahdan tersedia hampir sepanjang tahun, serta lebih terjamin kualitasnya.

Bea masuk kedelai yang dalam perjanjian pertanian WTO-1995 ditetapkan sebesar 27%, sampai tahun 2004 penerapannya juga 0(seperti halnya jagung). Sejak 2005 tarif yandiusulkan adalah 10%. Jika tarif impor terlalu tinggi dapat mempersulit industri pangan berbasis kedelai, seperti tahu, tempe dan kecap, dalam memperoleh bahan baku (Media Indonesia, 2005). Namun demikian, tarif impor harus ditetapkan agar bisa menjaga keseimbangan impor dengan produksi dalam negeri.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PANGAN

Program Peningkatan Produksi Pangan

Departemen Pertanian telah menetapkan tiga program utama pembangunan pertanian tahun 2005-2009, yaitu: (a) program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP); (b) program Pengembangan Agribisnis; dan (c) program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Khusus program Peningkatan Ketahanan Pangan, bertujuan agar masyarakat memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat, dan halal. Kegiatan operasional program PKP tahun 2006 mencakup kegiatan pokok: (a) peningkatan produksi dan produktivitas; (b) peningkatan distribusi dan akses pangan; (c) konsumsi, difersifikasi, dan keamanan pangan; dan (d) kegiatan pendukung (Deptan RI, 2006).

11

Berkaitan dengan kegiatan peningkatan produksi pangan, Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan mengaktualisasikan beberapa kegiatan program dalam rangka peningkatan produksi tanaman pangan secara umum, yaitu (a) me-ningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, (b) meningkatkan luas areal tanam dan panen, dan (c) memberdayakan petani dan masyarakat pedesaan melalui pengembangan kelembagaan.

Permasalahan yang dihadapi dalam pe-ningkatan produksi padi yaitu: (a) terbatasnya terobosan teknologi baru terutama varietas unggul relatif terbatas; (b) penciutan lahan subur; (c) IP padi menurun, bersaing dengan komoditas lainnya; (d) gangguan OPT dan frekuensi dam-pak fenomena iklim meningkat; dan (e) kinerja kelembagaan petani yang masih lemah (Ditjen Tanaman Pangan, 2006b). Seiring dengan prog-ram peningkatan produksi dan produktivitas ta-naman pangan secara umum, maka program peningkatan produksi padi dapat ditempuh melalui: (a) peningkatan produktivitas padi de-ngan laju pertumbuhan 1–1,5%/th; (b) p-ning-katan areal panen padi melalui peningkatan intensitas tanaman (IP), dan (c) pengembangan di areal baru, termasuk tanaman sela di lahan perkebunan dan lahan bukaan baru.

Adapun upaya yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan produktivitas padi adalah peningkatan hasil mendekati potensi hasil varietas yang ada, dan perbaikan teknik budi-daya spesifik lokasi (PTT yang diperbaiki); dan percepatan inovasi teknologi melalui jaringan penelitian dan pengkajian (litkaji), serta disemina-si hasil litkaji.

Sementara itu, menurut Suryana dan Hermanto (2003), untuk memberi dukungan da-lam peningkatan produktivitas padi dan produksi beras nasional, maka diperlukan instrumen kebi-jakan meliputi: (a) pengembangan infrastruktur untuk mendukung usahatani padi; (b) pening-katan akses petani terhadap sarana produksi dan permodalan; (c) peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju; (d) ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa pasang surut, lebak dan daerah bukaan baru; dan (e) peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran.

Untuk memberikan insentif berproduksi bagi petani padi dalam rangka program inten-sifikasi usahatani padi, maka pada tahun 2006

pemerintah memberikan subsidi harga pupuk dan benih yang masing-masing mencapai Rp 3,004 triliun dan Rp 185 milyar. Subsidi ini diharapkan dapat meringankan beban biaya bagi petani dalam meningkatkan produktivitas serta produksi padi. Dukungan program lainnya adalah bantuan permodalan melalui skim kredit. Pada tahun 2005 (posisi hingga bulan Juli), pemerintah menyalurkan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) sebesar Rp 2,082 triliun. Dengan upaya perbaikan sistem penyampaiannya, diharapkan sistem kredit ini dapat membantu dan mendorong petani padi dalam mengakses lembaga permodalan.

Selanjutnya, terkait dengan produksi jagung nasional, data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2005 rataan produktivitas jagung nasional 3,49 ton/ha. Produktivitas ini masih rendah dibandingkan potensi hasilnya yang ratarata 6 ton/ha (Puslitbangtan, 2004). Upapeningkatan produksi menghadapi kendala seperti cekaman kekeringan, keterbatasan modal, kelangkaan tenaga kerja dan orientasi usahatani yang masih bersifat subsisten (Subandi, 1998). Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2006), permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan produksi jagung adalah (a) produktivitas rendah karena penggunaan benih bermutu dan pupuk yang belum optimal; (b) kualitas relatif rendah disebabkan oleh penanganan pascapanen belum memadai, dominan dihasilkan saat MH; dan (persaingan jagung lokal dengan jagung impor.

Menurut Rusastra dan Kasryno (2003) paling tidak terdapat beberapa kebijakan strategis yang perlu dilakukan dalam pengembangan usahatani jagung pada agroekosistem lahan kering khususnya, yaitu (a) introduksi varietas komposit yang berdaya hasil tinggi, berumur genjah, tipe tanaman pendek, dan berbatang kokoh; (b) penerapan teknologi usahatani konservasi sistem budidaya lorong; (c) pemanfaatan pupuk kandang untuk meningkatkan bahan organik tanah; (d) penanaman tepat waktu pada awal musim hujan; (e) introduksi teknologi tanpa olah tanah dan hemat tenaga kerja; serta (intensifikasi program penyuluhan untuk memperbaiki kemampuan manajemen petani.

Program peningkatan produktivitas jagung nasional Badan Litbang Pertanian (2005b) memerlukan upaya pemantapan produktivitas. Untuk meningkatkan hasil di areal yang tingkat produktivitasnya masih rendah (< 5,0 ton/ha), perlu program pergeseran penggunaan jagung

12

ke jenis hibrida dan komposit unggul dengan benih berkualitas. Dalam program pergeseran penggunaan jenis varietas dan benih tersebut diperlukan kegiatan, seperti (a) perbaikan pro-duksi dan distribusi benih berkualitas; (b) pem-bentukan penangkar benih berbasis komunal dan pedesaan; serta (c) penerapan teknologi budi-daya melalui pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), di antaranya varietas yang sesuai, pemupukan berdasarkan status hara tanah (spesifik lokasi), dan pengendalian OPT. Upaya tersebut perlu didukung dengan pene-rapan teknologi pascapanen untuk menjamin kualitas dan nilai tambah produksi.

Sementara itu, pengembangan produksi kedelai secara nasional masih menghadapi permasalahan, antara lain (a) relatif terbatas terobosan teknologi baru, terutama varietas ung-gul; (b) kesesuaian lahan, terutama lahan kering; (c) persaingan dengan komoditas lain, terutama jagung; dan (d) persaingan kedelai lokal dengan kedelai impor (Ditjen Tanaman Pangan, 2006a).

Adapun strategi peningkatan produksi kedelai dapat ditempuh melalui: (a) perluasan areal tanaman yang dapat dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman pada lahan sawah irigasi sederhana, lahan sawah tadah hu-jan atau lahan kering; dan (b) peningkatan pro-duktivitas, melalui perakitan dan pengembangan varietas unggul berdaya hasil tinggi serta toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik (Badan Litbang Pertanian. 2005c). Dalam periode 2001-2004, Badan Litbang Pertanian telah melepas 11 varietas unggul kedelai dengan tingkat produkti-vitas antara 2,5-2,7 ton/ha.

Dalam hal ubi kayu, dibutuhkan kebija-kan yang dapat menarik minat petani untuk me-nanam ubi kayu dengan teknologi maju. Potensi peningkatan produktivitas melalui perbaikan pe-nerapan teknologi masih sangat besar, mengi-ngat produktivitas aktual saat ini (16 ton/ha) masih jauh dari potensi hasilnya (25-40 ton/ha). Pada subsistem hilir (agroindustri), diperlukan kebijakan yang mendorong petani dan pelaku agribisnis lain untuk mengolah ubi kayu menjadi berbagai produk olahan, baik sebagai bahan baku industri, sebagai bahan pangan alternatif untuk mendukung program diversifikasi pangan, maupun sebagai komoditas ekspor untuk mence-gah makin penurunan ekspor produk olahan ubi kayu.

Langkah terobosan di bidang agroindustri yang telah ditempuh oleh pemerintah saat ini adalah kebijakan pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku Bioethanol, melalui Perpres No.5 dan Inpres No.1 tahun 2006. Implementasi kebijakan pengembangan agroindustri ubi kayu dapat dilakukan dengan membangun sistem kemitraan yang sinergis antara petani dengan pengusaha swasta, sehingga semua pihak mendapat nilai tambah yang adil dari agribisnis ubi kayu.

Kebijakan Pasar Komoditas Pangan

Pada era Orde Baru, stabilisasi harga beras merupakan salah satu kebijakan yang penting. Pada saat itu, berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk menstabilkan harga beras, baik pada tingkat usahatani maupun tingkat pasar konsumen. Di tingkat usahatani, kebijakan yang terpenting berupa perlindungan harga output (harga dasar gabah), subsidi harga input (benih, pupuk, pestisida), dan subsidi bunga kredit usahatani. Di tingkat pasar konsumen, kebijakan yang dilaksanakan berupa manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulogpenyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk operasionalisasi pengadaan beras oleh Bulog, Kredit Pengadaan Pangan bagi Koperasi/KUD, dan operasi pasar oleh Bulogsaat harga beras tinggi (Deptan RI, 2002).

Kebijakan harga dasar gabah bertujuan melindungi petani, agar harga gabah tidak jatuh dibawah biaya produksi. Manajemen stok merupakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi. Bulog hanya menguasai stok beras antara 4-8dari total produksi dalam negeri. Jumlah tersebut cukup untuk mempengaruhi pasar, dengan membeli pada saat panen raya dan melepaskan ke pasar pada saat paceklik. Selain itu, Bulog pada waktu itu mempunyai Captive market reguler bulanan PNS dan TNI/POLRI.

Seiring dengan dinamika lingkungan strategis global dan nasional, suatu payung kebijakan yang komprehensif telah disusun dan dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2001 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan. Secara spesifik, Inpres ini mengarahkan agar pejabat pemerintah daerah mendorong upaya-upaya: (a) peningkatan produktivitas petani dan produksi beras nasional, (pengembangan diversifikasi ekonomi untuk meningkatkan pendapatan petani, (c) stabilisasi

13

harga gabah pada panen raya melalui pembelian gabah oleh pemerintah pada tingkat ”HDPP”, (d) melindungi kepentingan petani dan konsumen melalui pengaturan tarif dan tata laksana impor, dan (e) penyediaan dan penyaluran pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat miskin dan rawan pangan.

Kebijakan perberasan yang diatur di dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2001 ini tidak me-nyerahkan ekonomi perberasan nasional kepada mekanisme pasar secara total, sebaliknya, juga tidak mengembalikan pada kontrol/intervensi pe-merintah. Kebijakan perberasan yang dikem-bangkan dalam Inpres ini menganut pendekatan ”ekonomi pasar terkendali” dalam upaya melin-dungi kepentingan produsen dan konsumen. Selama pasar dapat berfungsi secara baik dan efisien, maka sistem dan usaha agribisnis di bidang perberasan dikembangkan dengan me-manfaatkan mekanisme pasar. Tetapi, jika terjadi kegagalan pasar dalam melindungi produsen memperoleh harga yang wajar dan konsumen mendapatkan harga yang terjangkau, maka pemerintah akan melakukan intervensi, sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2001.

Dalam jangka panjang, kebijakan pangan nasional diarahkan pada upaya diversifikasi pa-ngan ke arah konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan sekaligus diversifikasi konsumsi pangan ke arah nonberas. Kebijakan harga relatif beras terhadap harga pangan pokok lainnya yang lebih tinggi, merupakan salah satu kebijakan yang dapat mempercepat proses diversifikasi konsumsi pa-ngan.

Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu hingga tahun 2005, harga gabah pembelian pemerintah (HPP) ditetapkan melalui Inpres No. 2 Tahun 2005, dan sudah dilaksanakan sejak Maret 2005. Sebagaimana diketahui, HPP terse-but terutama dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), sehingga waktu pemberlakuannya praktis bersamaan dengan penetapan kenaikan harga BBM. Pemerintah juga telah menaikkan kembali harga BBM pada awal tahun 2006. Sebagai langkah antisipatif, HPP tahun 2006 telah di-evaluasi dan disesuaikan. Selain penyesuaian besaran HPP, Inpres No. 2 Tahun 2005, juga mengandung beberapa perubahan mendasar dibanding rancangan HPP sebelumnya, seperti

penetapan harga pembelian untuk gabah kering panen dan rasionalisasi struktur harga antara gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG) dan beras. Kedua hal ini dimaksudkan agar kebijakan HPP lebih efektif dalam mengangkat harga gabah petani (Deptan RI, 2006).

Untuk komoditas jagung, instrumen kebijakan pemerintah dalam perdagangan komoditas pertanian terus berkembang dan berdampak terhadap ekonomi berbagai komoditas. Dalam konteks ini, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar untuk stabilisasi harga. Kebijakan harga dasar jagung dimulai pada tahun 1977/1978, dimaksudkan untuk melindungi petani dari penurunan harga yang berlebihan, terutama pada saat musim panen. Bulog diberi mandat untuk mengadakan jagung dari produksi dalam negeri dan impor untuk stok. Dalam perkembangannya, kebijakan harga dasar jagung dinilai tidak efektif dan kemudian dicabut pada tahun 1990, karena harga di tingkat petani berada di atas harga dasar. Tata niaga jagung dibebaskan, sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar. Sejak saat itu, Bulog tidak lagi melakukaintervensi dalam pemasaran jagung dengan pertimbangan: (a) intervensi memerlukan biaya besar, (b) kompetisi antarpedagang akan menciptakan keuntungan bagi petani, dan (permintaan jagung cukup tinggi sepanjang tahun (Badan Litbang Pertanian, 2005b).

Kebijakan lain untuk komoditas jagung adalah pengenaan tarif impor dengan tujuan melindungi petani jagung dalam negeri. Selama tahun 1974-1979, tarif impor jagung adalah 5%kemudian menjadi 10% selama tahun 19801993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi% pada tahun 1994, dan sejak 1995 ditiadakan (Badan Litbang Pertanian, 2005b). Sementara itu, pada komoditas kedelai, untuk meningkatkan daya saing, pengembangan kedelai diarahkan pada peningkatan produksi, perbaikan kualitasdan dayaguna produk olahan yang mampu bersaing dengan produk olahan dari bahan baku nonkedelai. Di samping itu, diperlukan dukungan kebijakan yang dapat melindungi harga kedelaai domestik, serta kebijakan pemberlakuan tarif impor dan pembatasan impor (Badan Litbang Pertanian, 2005c) .

Harga kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah, karena lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Harga nomi

14

nal kedelai di tingkat petani berfluktuasi, terutama pada saat panen raya harganya cenderung jatuh. Impor kedelai nasional cukup besar, sehingga harga didalam negeri menjadi rendah. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi kedelai nasional serta pengendalian impor yang disertai pengamanan pasar dalam negeri merupakan salah satu langkah strategis yang perlu menda-pat perhatian yang lebih besar.

Kinerja Pembangunan Pertanian 2005 dan Program 2006

Kemajuan yang dicapai dalam hal pro-duksi tanaman pangan tahun 2005 lebih baik dibanding tahun 2004. Pada tahun 2005 produksi padi mencapai 54,15 juta ton GKG, meningkat 0,12% dibanding tahun 2004 sebesar 54,09 juta ton. Peningkatan produksi ini terutama dicapai melalui peningkatan produktivitas sebesar 0,83%, dari 4,54 ton/ha pada tahun 2004 menjadi 4,57 ton/ha pada tahun 2005. Sementara itu, areal panen menurun 0,70%.

Dalam tahun 2005, produksi jagung me-ningkat sebesar 10,5%, dari 11,23 juta ton di tahun 2004 menjadi 12,41 juta ton di tahun 2005; produksi kedelai meningkat dari 723 ribu ton di tahun 2004 menjadi 808 ribu ton tahun 2005, atau meningkat 11,8%; produksi ubi kayu menu-run 1,0%, dari 19,425 juta ton pada tahun 2004 menjadi 19,231 juta ton tahun 2005; produksi kacang tanah menurun sebesar 0,2%, dari 838 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 834 ribu ton tahun 2005; produksi kacang hijau meningkat sebesar 2,5%, dari 310 ribu ton tahun 2004 menjadi 318 ribu ton pada tahun 2005; produksi ubi jalar menurun sebesar 2,4%, dari 1,902 juta ton pada tahun 2004 menjadi 1,857 juta ton tahun 2005 (Ditjen Tanaman Pangan, 2006a).

Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2006b), program subsektor tanaman pangan tahun 2006 meliputi: (a) program Optimalisasi Pemanfaatan Sarana-Prasarana; (b) program Akselerasi Pe-ningkatan Produktivitas; (c) program Pengem-bangan Perbenihan; (d) program Pengamanan Produksi; (e) program Optimalisasi Penanganan Pengolahan & Pemasaran Hasil; (f) program Pengembangan Kelembagaan; dan (g) program Pemantapan Manajemen Pembangunan. Prog-ram ini diharapkan dapat memantapkan bahkan memperbaiki pencapaian pembangunan pertani-an tanaman pangan pada tahun 2005.

Perkiraan Dampak 2007

Seperti telah diungkapkan di atas bahwa Departemen Pertanian telah menetapkan tiga program utama pembangunan pertanian yang sesuai dengan RPJMN tahun 2005-2009, yaitu: (a) Peningkatan Ketahanan Pangan, (b) Pengembangan Agribisnis, dan (c) Peningkatan Kesejahteraan Petani. Disamping ketiga program utama yang dilakukan tiap tahun, dalam rangka memperlancar fasilitasi pembangunan pertanian pada tahun 2007, juga telah ditetapkan 2 program pendukung, yaitu Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara, serta Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan. Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007, pembangunan pertanian yang dilaksanakan masih merupakan lanjutan dari tiga program tahunan sesuai dengan RPJMN.

Program Peningkatan Ketahanan Pangan diarahkan untuk fasilitasi peningkatan ketahanan pangan masyarakat melalui: (a) peningkatan keanekaragaman produk pertanian, ketersediaan dan konsumsi pangan, serta produk olahannya; (b) pengembangan usaha bisnis pangan yang kompetitif; (c) pengembangan budaya produksi dan konsumsi pangan lokal; dan (d) pengembangan kelembagaan pangan secara partisipatif, terpadu, dan berkelanjutan. Operasionalisasi Program Peningkatan Ketahanan Pangan dilaksanakan melalui: (a) peningkatan produksi pangan; (b) menjaga ketersediaan pangan yang cukup, aman, halal, dan terjangkau di tiap daerah setiap saat; dan (c) antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan (Deptan RI, 2006).

Program Pengembangan Agribisnis diarahkan untuk fasilitasi berkembangnya usahausaha agribisnis pada subsistem hulu, subsistem on-farm/budidaya, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran hasil, dan subsistem penunjangnya. Operasionalisasi Program Pengembangan Agribisnis dilaksanakan melalui Pengembangan Kawasan Agribisnis Komoditas Unggulan Tradisional dan Baru. Dalam implementasinya diperlukan keterpaduan baik dalam rumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, antarpelaku usaha agribisnis, sehingga mampu dihasilkan produk pertanian unggulan yang berdaya saing tinggi.

Program Peningkatan Kesejahteraan Petani, diarahkan untuk fasilitasi: (a) pemberdayaan masyarakat petani, (b) percepatan akses petani

15

terhadap sumberdaya produktif, dan (c) perlin-dungan petani dan kegiatan usahanya. Opera-sionalisasi Program Peningkatan Kesejahteraan Petani dilaksanakan melalui: (a) pemberdayaan penyuluhan, (b) pendampingan dan pembimbi-ngan, (c) penjaminan usaha, (d) perlindungan harga gabah, (e) kebijakan proteksi dan promosi lainnya, serta (f) kebijakan tata niaga produk pertanian yang kondusif.

Pada tahun 2007, sektor pertanian (sub-sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebun-an, dan peternakan) ditargetkan dapat tumbuh dengan laju 3,37%. Secara khusus subsektor tanaman pangan diharapkan menyumbang sebe-sar 1,08%.

Adapun sasaran kuantitatif komoditas utama tanaman pangan meliputi: padi sebesar 55,46 juta ton GKG; jagung, 12,87 juta ton; kedelai 0,90 juta ton; dan ubi kayu, 21,75 juta ton. Sasaran-sasaran tersebut tampaknya tidak terlalu jauh dari kondisi tahun 2005 dan angka ramalan II (Aram II) 2006, sehingga dipandang cukup realistik. Sesuai dengan sasaran tahun 2007, kegiatan akan difokuskan pada: (a) pe-ningkatan kualitas petani dan produktivitas per-tanian; (b) penguatan kelembagaan usaha perta-nian; (c) penerapan iptek dan good agricultural practices; (d) pengembangan pertanian di wila-yah tertinggal, perbatasan, rawan pangan, dan konflik; (e) peningkatan investasi dan penjaminan kredit pertanian; dan (f) pengembangan infra-struktur pertanian. Komoditas yang akan dikem-bangkan khusus untuk tanaman pangan, yaitu padi, kedelai, jagung, ubi kayu dan kacang tanah. Dengan pelaksanaan program tahun 2007 secara konsisten, diharapkan sasaran tersebut di atas tidak sulit untuk dicapai.

PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN

Potensi Sumberdaya Sumberdaya Lahan

Sebagian besar lahan sawah di Indone-sia mengalami sakit (deteriorasi) disebabkan oleh intensifiksi secara terus menerus selama revolusi hijau, sehingga terjadi pelandaian produktivitas yang terefleksi dari pertumbuhannya (0,4%/th) selama 15 tahun terakhir. Kondisi tersebut mem-berikan gambaran bahwa peningkatan produksi padi lebih bertumpu kepada penambahan areal

tanam, baik melalui ekstensifikasi maupun peningkatan indeks pertanaman (IP). Luas areal panen padi yang cenderung stagnan dan menurun untuk komoditas jagung, kedelai, dan ubi kayu memberikan gambaran perlunya strategi pemanfaatan lahan selain sawah.

a. Lahan sawah irigasi

Luas lahan sawah irigasi (teknis, semiteknis, dan nonteknis) di Indonesia sekitar 5,24 juta ha dengan intensitas penggunaan 1,24 juta ha untuk sekali padi setahun (IP100) dan 4,0 juta ha untuk dua kali atau lebih/th (> IP200). Lahan sawah dengan IP100 tersebut potensial dimanfaatkan dalam peningkatan produksi melalui peningkatan IP100 menjadi IP200, baik untuk padi maupun palawija. Peningkatan IP untuk padi bisa dilakukan dengan teknologi walik jerami dan persemaian kering. Berdasarkan hasil penelitiadi Nusa Tenggara dan Jawa, sistem tersebut mampu menghasilkan gabah kering giling sekitar 3,5 t/ha (Suyamto et al., 1992; Sasa, 2002). Di Jawa, lahan sawah umumnya telah mempunyai IP200 dengan pola padi-padi, padi-palawija, atau IP300 dengan pola padi-padi-palawija, atau padipadi sayuran. Dengan demikian, peluang pengembangan melalui peningkatan IP adalah di luar Jawa pada luasan sektiar 0,791 juta ha. Bila 70%, 20%, dan 10% masing-masing diproyeksi untuk padi, jagung, dan kedelai pada MK-I, maka akan diperoleh tambahan produksi sekitar 1,72 juta ton gabah kering giling, 425 ribu ton jagung pipilan kering, dan 95 ribu ton biji kedelai. Dengan kata lain, peningkatan IP tersebut mampu menyumbang tambahan produksi masing-masing sebesar 3,18%, 3,39%, dan 11,75% dari produksi padi, jagung, dan kedelai tahun 2005.

Di Jawa, lahan sawah dengan IP padi 100 yang potensial dimanfaatkan untuk penambahan areal tanam jagung dan kedelai adalah sekitar 337 ribu ha. Berdasarkan estimasi, lahan sawah yang telah digunakan untuk jagung dan kedelai adalah 30% dan 20% dari lahan sawah pada MK-I. Bila proyeksi pemanfaatan lahan tersebut 60% untuk jagung dan 40% untuk kedelai, maka akan diperoleh tambahan hasil sekitar 754 ribu ton untuk jagung dan 177 ribu ton untuk kedelai, atau masing-masing 6% dan 21,90dari produksi nasional tahun 2005. Dengan demikian, paningkatan dari IP100 menjadi IP200 pada lahan sawah irigasi di Jawa dan Luar Jawa akan mampu menyumbang produksi masing

16

masing sebesar 3,18%, 9,39% dan 33,65% dari produksi padi, jagung, dan kedelai nasional tahun 2005, suatu potensi yang cukup signifikan dalam mengurangi volume impor.

b. Lahan sawah tadah hujan

Luas sawah tadah hujan yang telah ditanami di Indonesia sekitar 1,86 juta ha, de-ngan intensitas penggunaan untuk padi 65% IP100 dan 35% IP200 dan IP250. Lahan tersebut tersebar di lima wilayah dengan variasi antara 4%-37% (Tabel 8). Lahan sawah tadah hujan IP100 padi potensial dimanfaatkan untuk mening-katkan areal panen melalui peningkatan IP dalam upaya meningkatkan produksi tanaman pangan. Peningkatan IP untuk padi dapat dilakukan de-ngan pendekatan penerapan sistem walik jerami + persemaian kering. Untuk jagung dan kedelai, dengan penerapan sistem pompanisasi, sedang-kan untuk ubi kayu dengan memanfaatkan sisa lahan yang tersedia.

Di Jawa IP200 (padi-padi) dengan sistem walik jerami telah berkembang, sehingga peluang untuk meningkatkan IP di Jawa relatif kecil. Oleh karena itu, peningkatan menjadi IP200 difokus-kan ke luar Jawa. Peningkatan produksi padi untuk mencapai ketahanan pangan yang mantap adalah memenuhi defisit beras sekitar 2,8%/th dan stok sektiar 1,5 juta ton atau setara dengan 3,85 juta ton GKG. Untuk mencapai target ter-sebut, bisa ditempuh strategi pemanfaatan seki-tar 75% dari sawah tadah hujan IP100 menjadi IP200 padi, 15% untuk jagung, dan 10% untuk kedelai pada MK-I. Berdasarkan luas dan pro-duktivitas tiap wilayah, akan diperoleh tambahan produksi sekitar 1,96 juta ton GKG.

Berdasarkan proyeksi pencapaian tam-bahan produksi padi 1,72 juta ton, dari pening-katan IP padi 100 menjadi IP 200 pada lahan sawah irigasi, model yang sama dari sawah

tadah hujan sebesar 1,96 juta ton GKG, maka peningkatan produksi sekitar 7% dari kondisi tahun 2005 dapat dicapai.

Tambahan areal panen melalui peningkatan IP tersebut adalah 15% dan 10% untuk jagung dan kedelai. Berdasarkan asumsi hasil yang akan dicapai minimal sama dengan rataan hasil/wilayah, maka akan diperoleh tambahan produksi 2% untuk jagung dan 10% untuk kedelai. Dengan demikian, secara kumulatif sumbangan peningkatan IP pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan untuk jagung dan kedelai masing-masing 11,39% untuk jagung dan 43,65untuk kedelai.

c. Lahan kering

Luas lahan kering di Indonesia berdasarkan topografi datar, bergelombang dan berbukit masing-masing 29,1 juta ha, 23,8 juta ha dan 34,4 juta ha, serta sekitar 60% di antaranya lahan kering masam (Abdurachman, 2005). Lahan kering yang digunakan untuk usaha pertanian dalam bentuk tegalan sekitar 13,4 juta ha dan sekitar 7,2 juta ha di antaranya untuk usahatani tanaman pangan (BPS, 2005).

Intensitas penggunaan lahan tegalan untuk tanaman pangan antarwilayah bervariasi, yaitu 31% (Sumatera), 128% (Jawa), 65% (Bali dan Nusa Tenggara), dan 35% (Kalimantan dan Sulawesi) (BPS, 2005). Kondisi tersebut memberikan gambaran adanya variasi potensi dalam penambahan areal tanam untuk mengatasi penurunan luas panen jagung, kedelai, dan ubi kayuPemanfaatan sumberdaya lahan kering dalam peningkatan produksi melalui penambahan areal tanam (PAT) dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan alang-alang yang terdiri dari dataran, volkan, dan perbukitan yang luasnya sekitar 4,88 jtua ha, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan NTT (Rochayati et al.

Tabel 8. Sebaran Lahan yang Potensial untuk Peningkatan Produksi secara Intensifikasi dan Ekstensifikasi di

Indonesia (000 ha)

Sawah irigasi 1 Sawah tadah hujan 1 Lahan kering 1 Rawa 2 Wilayah IP100 IP > 200 IP100 IP > 200 Tegalan Tidur P.Surut Lebak

Sumatera 334 956 47 310 3.984 2.786 2.784 413 Jawa 450 2.094 547 234 2.820 60 - - Bali + NT 139 224 62 9 857 842 - - Kalimantan 181 72 297 61 1.583 4.938 1.402 317 Sulawesi 137 657 244 46 1.836 1.569 - -

Total 1.241 4.003 1.197 660 11.080 10.195 4.186 730 Sumber: 1 Survei Pertanian 2003; dan 2 Abdurachman dan Ananto, 2000.

17

2005). Pemanfaatan tersebut bisa dalam bentuk sistem tumpangsari, wanatani, atau kombinasi sistem tumpangsari dan wanatani, serta peman-faatan lahan alang-alang dengan pengelolaan optimal (Wargiono et al., 2006).

d. Lahan rawa

Di Indonesia terdapat sekitar 33 juta ha lahan rawa, terdiri dari 20 juta ha lahan pasang surut dan sekitar 13 juta ha lahan rawa lebak. Dari lahan seluas tersebut, baru sekitar 4,19 juta ha lahan pasang surut dan 0,73 juta ha lahan lebak yang sudah direklamasi dan dapat diguna-kan untuk pertanian (Nugroho et al., 1993 dalam Abdurachman dan Ananto, 2000). Dari seluruh lahan rawa yang telah direklamasi, baru sekitar 0,90 juta ha lahan pasang surut dan 0,26 juta ha lahan lebak yang sudah ditanami dengan IP antara 100 dan 150 (Soekirman, 2000). Ini ber-arti bahwa masih terdapat sekitar 3,29 juta ha lahan pasang surut dan 0,47 juta ha lahan lebak yang sudah direklamasi tetapi belum dimanfaat-kan. Jika 10% dari lahan rawa tersebut (0,38 juta ha) dapat dimanfaatkan (ekstensifikasi) untuk menanam 1 kali padi per tahun, maka dengan produktivitas rata-rata 2,5 ton/ha (Puslitbangtan, 2005), sumbangan lahan tersebut untuk produksi padi mencapai 0,94 juta ton, atau sekitar 1,74% dari produksi padi tahun 2005. Jika 25% dari lahan ekstensifikasi tersebut (0,09 juta ha) dapat ditanami 1 kali jagung dan 25% lagi ditanami 1 kali kedelai, maka dengan produktivitas rata-rata jagung 2 ton/ha dan kedelai 1 ton/ha, maka sum-bangannya terhadap produksi adalah 180 ribu ton jagung dan 90 ribu ton kedelai tiap tahun. Kontribusi ini cukup berarti dalam mengurangi volume impor kadua komoditas palawija ini. Se-baran lahan yang potensial untuk peningkatan produksi tanaman pangan disajikan pada Tabel 8.

Sumberdaya Air

Ketesediaan air untuk pertumbuhan tanaman secara optimal dipengaruhi oleh pola curah hujan (iklim) untuk lahan kering dan sawah tadah hujan, sedangkan untuk sawah irigasi dipengaruhi sistem dan jenis irigasi.

a. Iklim

Secara umum iklim yang mendominasi lahan pertanian di Indonesia adalah iklim basah

dan iklim kering. Di daerah yang didominasi oleh iklim kering (tipe D dan E) ketersediaan air tergantung dari hujan (bulan basah) selama 3bulan, baik untuk lahan kering maupun sawah tadah hujan. Usahatani tanaman pangan yang prospektif untuk dikembangkan di daerah beriklim kering menggunakan pendekatan pemanfaatan tanaman toleran kekeringan dan efisien menggunakan air dan lahan. Tanaman pangan yang toleran terhadap kekeringan adalah ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tunggak, sedangkan tanaman yang efisien memanfaatkan air yang tersedia dalam waktu yang relatif pendek adalah padi, jagung dan kedelai berumur genjah. Efisiensi pengguanan lahan air, dan cahaya dapat dicapai melalui sistem tumpangsari (Wargiono, 2003). Sistem tumpangsari yang baik adalah ubi kayu + jagung genjah dan ubi kayu + kedelai genjah, atau ubi kayu + padi + jagung dan ubi kayu+kedelai+jagung.

Pemanfaatan air secara efisien untuk padi pada sawah tadah hujan atau sawah irigasi sederhana adalah penerapan sistem walik-jeramidan pesemaian kering dengan menggunakan varietas berumur genjah. Sedangkan untuk palawija setelah padi adalah pemanfaatan air yang tersisa dan sistem pompanisasi dengan memanfaatkan air hujan yang terakumulasi dalam embung atau sumur ladang.

b. Jenis dan sistem irigasi

IP100 padi pada lahan sawah irigasi disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranadalah: (a) tidak menggunakan varietas genjah, (b) tidak memanfaatkan teknologi hemat waktu melalui pesemaian kering dan walik-jerami untuk pola padi-padi, (c) sistem intermiten, (d) infrastruktur untuk pengairan sederhana yang tidak mampu menghemat air irigasi, serta (e) belum menggunakan bibit umur muda. Dengan memanfaatkan varietas umur genjah, pengelolaan tanah sistem walik jerami, persemaian kering bibit umur muda dapat menghemat waktu hingga 30%sehingga kebutuhan air sejak di pesemaian sampai panen dapat dihemat.

Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia (SDM) pertanian merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan daya saing sektor pertanian. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat dila

18

kukan melalui kebijakan dan program pengem-bangan SDM yang terencana secara baik, sesuai dengan kebutuhan pembangunan pertanian jangka menengah dan panjang, mulai dari aparat pengambil kebijakan, perencana, dan pelaksana pembangunan pertanian, penyuluh, sampai peta-ni. Menurut Pranadji (2004), kualitas SDM men-cakup beberapa aspek. antara lain (a) keteram-pilan individu yang bisa diandalkan, (b) kema-tangan emosional yang tinggi, (c) kemampuan bekerja secara tim yang baik, (d) kemampuan masyarakat mengapresiasi tata nilai maju, dan (e) memiliki sifat dan pengetahuan tentang pentingnya menjunjung tinggi penerapan mana-jemen futuristik dan organisasi kerja yang di-arahkan untuk menopang kemajuan masyarakat pedesaan.

Untuk menjadikan sektor pertanian mam-pu bersaing dengan negara lain, maka perlu program peningkatan kualitas SDM jangka me-nengah dan panjang, mulai dari peningkatan prioritas wajib belajar 12 tahun, pendidikan yang lebih tinggi bagi aparat pertanian, serta pelatihan di bidang tugas dan keahlian masing-masing.

Sumberdaya Kelembagaan

a. Kelembagaan permodalan

Modal yang terbatas dapat mengurangi gerak aktivitas sektor pertanian, sehingga diper-lukan kredit. Kredit pertanian juga berfungsi sebagai salah satu critical point of development (simpul kritis pembangunan yang efektif) yang perannya antara lain : (a) membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga yang relatif ringan; (b) mengurangi keter-gantungan petani pada pedagang perantara dan pelepas uang dan dengan demikian berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian; (c) mekanisme transfer penda-patan di antara masyarakat untuk mendorong pemerataan; dan (d) insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. (Syukur et al, 1998).

Secara garis besar sumber biaya usaha pertanian terdiri dari 4 kelompok, yaitu (a) pemi-lik usaha (modal sendiri), (b) kredit formal, (c) kredit informal, dan (d) kemitraan. Memang di-akui beberapa program kredit telah dapat men-capai tujuannya dalam meningkatkan produksi, tetapi ada indikasi bahwa kinerjanya tidak me-

muaskan, terutama pada lembaga keuangan sebagai pelaksana (Manurung, 1998).

Menurut Martowijoyo (2002), lemahnya kinerja lembaga keuangan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu (a) rendahnya tingkat pelunasan kredit; (b) rendahnya moralitas aparat pelaksanadan (c) rendahnya tingkat mobilisasi dana masyarakat. Kelemahan tersebut membawa konsekuensi pada tidak berlanjutnya (unsustainablelembaga keuangan yang terbentuk setelah program selesai. Akibatnya, peserta program umumnya akan kembali mengalami kekurangan modal usaha.

Lembaga keuangan yang memfasilitasi pembiayaan pertanian sampai sekarang masih sulit diakses oleh petani (faktor internal). Hal ini disebabkan oleh sistem dan prosedur penyaluran kredit dari perbankan masih rumit, birokratiserta kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosial budaya pedesaan. Rendahnya dukungan pembiayaan bagi sektor pertanian juga disebabkan oleh faktor eksternal dalam pembentukan Bank Pertanian atau lembaga keuangan yang khusus membiayai sektor pertanian belum terwujud.

b. Kelembagaan pemasaran

Para pelaku di dalam jaringan perdagangan pertanian di Indonesia sekurangnya dapat dibedakan menjadi tiga jenis pelaku berdasarkan keterlibatan modal dan risiko yang ditanggungnya. Mereka disebut sebagai pedagang biasa, pedagang kaki tangan, dan pedagang komisioner. Yang membedakan pedagang biasa dengan pedagang kaki tangan adalah pedagang biasa menyertakan modalnya sendiri didalam transaksi, sementara pedagang kaki tangan memakai modal orang lain, yaitu modal dari pedagang berikutnya (lebih di hilir) dalam jalur tata niaga tersebut. Sementara pedagang komisioner selain tidak menyertakan modal uangnya sendiri, juga tidak menetapkan harga, bahkan tidak membayar apapun pada saat transaksi. Secara terbatas perilaku tidak menetapkan harga serta tidak membayar secara tunai barang saat transasksi juga ditemui pada pedagang biasa dan pedagang kaki tangan.

Kelembagaan pemasaran yang berfungsi memasarkan produk primer tanaman pangan sampai saat ini belum ada. Pengembangan kelompok tani idealnya bisa dijadikan titik awal

19

membangun organisasi petani yang kuat, baik dalam penyediaan sarana produksi, usahatani, maupun dalam pemasaran hasil pertanian. Ke-lompok tani yang dibentuk untuk memperkuat daya tawar petani belum berperan dalam pema-saran hasil pertanian. Hingga sekarang masih berkembang anggapan bahwa kelompok tani yang dibentuk oleh pemerintah dua-tiga dekade lalu tidak memiliki kemandirian untuk berkem-bang sehat. Sebagian besar kelompok tani yang dikenal selama ini adalah yang dibentuk dan mendapat restu pemerintah. Kehidupan kelom-pok tani tersebut secara fisik memang tampak ada, namun ia tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan, apalagi berkembang secara mandiri (Pranadji dan Hastuti, 2004).

c. Kelembagaan tenaga kerja

Terdapat beberapa bentuk kelembagaan ketenagakerjaan yang mengatur hubungan anta-ra pemilik tanah dan buruh. Hubungan tersebut dapat bersifat (a) longgar atau lepas yang berarti tidak terdapat ikatan yang relatif permanen an-tara majikan dan buruh, (b) hubungan yang bersifat tetap dalam jangka waktu tertentu, dan (c) kelembagaan hubungan ketenagakerjaan yang bersifat saling bantu/sambatan/lebotan/ma-palus. Hubungan yang bersifat lepas diatur dengan sistem pengupahan harian, borongan, tebasan, mawiyan yange (Sulut), sedangkan hubungan ketenagakerjaan yang bersifat stabil, antara lain kedokan/gang-ganaan (Jawa Barat), patron klien / magersari / manggoloyudo (Jawa Tengah).

Beberapa kekuatan yang menjadi dasar kestabilan atau keberlanjutan kelembagaan ke-tenagakerjaan tradisional yang ada antara lain: (a) lahir dan terbentuk dari masyarakat sendiri, (b) proses seleksi anggota secara alamiah, (c) adanya masalah dan kebutuhan yang sama, (d) menjunjung tinggi aturan main yang telah disepakati, (e) struktur organisasi yang sangat sederhana, dan (f) azas keadilan (Hastuti, 2004)

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perubahan kelembagaan ketenagakerjaan, baik yang berasal dari dalam masyarakat (faktor internal), maupun yang berasal dari luar (faktor eksternal). Faktor internal yang mempengaruhi perubahan kelembagaan ketenagakerjaan antara lain bertambahnya jumlah penduduk, perubahan struktur pemilikan dan penguasan lahan, pem-bentukan lapisan dalam masyarakat, perubahan

kepentingan anggota lembaga, dan meningkanya pengetahuan masyarakat. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kelembagaan ketenagakerjaan adalah kebijakan pemerintah mengenai pemerintah desa, perkembangan teknologi pertanian, komersialisasi pertanian, dan pembangunan pertanian yang bersifat sentralistik (Nurmanaf et al., 2004). Kinerja kelembagaan ketenagakerjaan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program pengembangan tanaman pangan, karena tanaman pangan adalah tanaman semusim yang di Indonesia membutuhkan banyak tenaga kerja (labor intensive).

Prospek Peningkatan Produksi

Defisit pasokan beras, jagung, dan kedelai tahun 2005 sebesar 0,72 juta ton, 1,37 juta ton, dan 1,03 juta ton, dan penurunan ekspor produk olahan ubi kayu serta program pengembangan industri bioethanol mengindikasikan bahwa permintaan lebih tinggi daripada produksi dalam negeri. Implikasinya adalah diperlukan peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan bahan baku industri dalam negeri. Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui perbaikan mutu intensifikasi (PMI) dan penambahan areal tanam (PAT).

Pelandaian produktivitas yang terefleksi dari peningkatan produktivitas padi 0,41%/thmengindikasikan bahwa peningkatan produksi lebih bertumpu kepada perluasan areal tanam. Penyebab utama pelandaian produktivitas adalah deteriorasi tanah akibat intensifikasi secara terus menerus selama revolusi hijau. Oleh karena itu, diperlukan inovasi teknologi yang mampu mengatasi masalah utama tersebut, di antaranyapengembangan konsep pemupukan berimbanmelalui sistem integrasi tanaman ternak atau peningkatan produksi padi terpadu (P3T). Melalui pengembangan P3T tersebut, produktivitas padi dapat ditingkatkan sampai 1,42 ton/ha bila teknologi tersebut diadopsi petani (Adnyana, 2004). Pengembangan padi hibrida semula diharapkan dapat menjawab masalah pelandaian produktivitas. Akan tetapi, di Indonesia padi jenis ini belum mendapat respon positif dari petani (Sumarno, 2006). Ada beberapa hal yang menyebabkan padi hibrida belum berkembang di Indonesia. Pertama, sulit memperoleh benih, karena tidak didukung oleh industri benih yang memadai. Kedua, harga benih padi hibrida mahal dan tidak dapat ditanam berkali-kali seperti hal

20

nya nonhibrida. Ketiga, perbedaan produktivitas padi hibrida dengan padi nonhibrida tidak cukup menarik bagi petani.

Pencetakan sawah baru relatif mahal, sehingga peningkatan produksi secara ekstensifi-kasi sulit diimplementasikan. Salah satu cara peningkatan produksi adalah peningkatan IP pada lahan sawah IP100 padi, baik untuk sawah tadah hujan maupun irigasi dengan pengem-bangan sistem walik jerami, persemaian kering dan penggunaan bibit muda. Cara tersebut dapat memperpendek waktu 3-4 minggu dengan hasil sekitar 3 t/ha (Suyamto, 1992; Sasa 2002), se-hingga potensial untuk dikembangkan.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa strategi peningkatan IP di lahan sawah irigasi dan tadah hujan mampu meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai masing-masing 6,80%; 11,39%; dan 43,65%. Selain itu, dalam hal pe-ningkatan mutu intensifikasi, penerapan P3T di lahan irigasi juga akan memberi sumbangan yang sangat besar dalam peningkatan produksi padi. Komponen teknologi yang sangat prospektif dalam mendukung penerapan P3T adalah pe-ngembangan varietas unggul baru spesifik lokasi, yang selain berdaya hasil tinggi juga toleran terhadap berbagai cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Namun tetap perlu dipertimbangkan potensi lokal yang ada. Pada kondisi petani de-ngan sumberdaya terbatas, modifikasi teknologi lokal merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh. Semua strategi tersebut merupakan potensi dan sekaligus peluang yang sangat prospektif dalam program peningkatan produksi pangan ke depan.

Untuk ubi kayu, status Indonesia sebagai eksportir gaplek sebesar 1,3 juta ton pada tahun 1990, dan turun menjadi 0,02 juta ton pada tahun 2003, serta menjadi negara importir tepung dan tapioka merupakan tantangan yang perlu segera ditangani secara serius. Penanganannya perlu dipadukan dengan program pengembangan in-dustri bioethanol. Untuk mengembalikan status Indonesia sebagai eksportir gaplek dan tapioka serta mandiri dalam pemenuhan tepung dan bahan baku industri bioethanol, diperlukan tam-bahan produksi sekitar 12,5 juta ton ubi segar. Untuk itu, perlu adanya peningkatan produksi, baik melalui PAT maupun PMI. Berdasarkan per-tumbuhan produktivitas saat ini (3,9%/th), dan rataan produktivitas saat ini sekitar 50% dari po-tensi hasil, maka peningkatan produktivitas 5%/

th sangat mungkin dicapai. Dengan luas tanaman ubi kayu sekitar 1,2 juta ha, maka peningkatan produksi melalui PAT sekitar 3% dan PMI 5%/thberpeluang direalisasikan. Terlebih lagi ketersediaan sumberdaya lahan kering berupa lahan tidur sekitar 5,8 juta ha. Bila peningkatan produksi secara intensifikasi (PMI) dan ekstensifikasi (PAT) tersebut dapat direalisasikan, peluang posisi sebagai eksportir gaplek dan tapioka serta kemandirian terhadap tepung dan bahan baku industri bioethanol dapat terwujud sebelum 2015.

PENUTUP

Kinerja pembangunan pertanian tanaman pangan selama periode 1990-2005 cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh pertumbuhan produksi padi, jagung, dan ubi kayu yang rata-rata 1,22%, 4,22%, dan 1,34%/th. Hanya produksi kedelai yang menurun rata-rata 3,98%/th, yang disebabkan oleh terus menurunnya areal tanam, akibat kurang menariknya usahatani kedelai. Demikian juga produksi padi, jagung, dan kedelai tahun 2005 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2004, sebagai indikator kinerja yang positif dari pembangunan pertanian tanaman pangan tahun 2005.

Jika angka ramalan (Aram) II tahun 2006 tepat, maka kinerja pembangunan pertanian pada tahun 2006 juga baik. Hal ini tercermin dari adanya peningkatan produksi padi sebagai komoditas strategis, dan ubi kayu sebagai komoditas pangan alternatif dan bahan baku industri. Produksi jagung dan kedelai tahun 2006 diramalkan sedikit menurun, semata karena cuaca yang lebih basah.

Pencapaian produksi di atas belum cukup untuk menjadikan Indonesia berswasembada pangan, terutama jagung dan kedelai. Pertumbuhan penduduk, serta perkembangan industri pangan dan pakan menyebabkan volume dan laju pertumbuhan permintaan jagung dan kedelai lebih tinggi daripada volume dan laju pertumbuhan produksinya, sehingga ketergantungan pada impor masih tinggi. Jika tidak dilakukan upaya terobosan yang signifikan, ketergantungan pada impor akan makin meningkat. Untuk padi, laju pertumbuhan produksi sedikit lebih tinggi daripada permintaan, sehingga ke depan jika pertumbuhan ini dapat dipertahankan, Indonesia

21

sangat potensial untuk mencapai dan memper-tahankan kembali swasembada beras.

Dengan melihat potensi sumberdaya la-han, SDM, dan teknologi yang tersedia, potensi dan peluang peningkatan produksi pangan mela-lui perluasan areal tanam (PAT) dan peningkatan mutu intensifikasi (PMI) sangat terbuka. Pening-katan IP100 menjadi IP200 pada lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan diperkirakan mam-pu menyumbang produksi padi, jagung, dan ke-delai masing-masing 7%, 11,39%, dan 43,65%. Demikian juga pemanfaatan 10% lahan rawa tidur yang telah direklamasi dapat menyumbang produksi padi jagung dan kedelai masing-masing sekitar 1,74%, 1,44%, dan 11,14%. Jika tekno-logi P3T dapat diterapkan pada 5% dari sawah irigasi, maka sumbangan produksi akan lebih besar lagi, dan akan sangat besar artinya bagi upaya mengurangi ketergantungan pada impor.

Upaya peningkatan produksi tersebut memerlukan dukungan kebijakan seperti (a) per-baikan sarana irigasi; (b) penyediaan sumber modal yang mudah diakses petani (misal Bank Unit Desa); (c) pelatihan petani dalam pening-katan IP di lahan sawah irigasi, tadah hujan, dan lahan kering; (d) promosi penggunaan varietas unggul; (e) perbaikan sistem distribusi sarana produksi; (f) mendorong swasta untuk ber-investasi di bidang agro-industri di pedesaan; (g) membangun pola kemitraan yang sinergis antara petani dengan pengusaha swasta; (h) pem-berlakuan tarif dan pengaturan waktu impor, disertai penegakan hukum yang konsisten, serta promosi bahan pangan nonberas untuk mengu-rangi ketergantungan pada beras.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A. dan E. E. Ananto. 2000. Konsep

Pengemabngan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan pangan dan Pengembangan Agribisnis. Dalam Ananto, E.E, I.G. Ismail, Subagjo, Suwarno, A. Djajanegara dan H. Supriadi (Eds). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa. Cipayung 25-27 Juli 2000. Puslitbang Tana-man Pangan. Bogor.

Abdurachman, A. 2005. Rangkuman Bahasan Lahan Kering di Indonesia. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Adnyana, M.O. 2004. Analisis Dampak Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) dan Analisis Kebijakan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Amang, B. And N. Sapuan, 2000. Can Indonesia feed itself? In Arifin and Dillon (Eds). Asian Agriculture Facing The 21st Century. Proceeding The Second Conference of Asian Society of Agricultural Economists (ASAE). Jakarta.

Badan Litbang, 2005a. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Badan Litbang, 2005b. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Badan Litbang, 2005c. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

BPS, 2005. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Pangan. Jakarta.

Deptan RI. 2006. Rencana Kerja Anggaran (RKA) Tahun 2007, APBN-P 2006, dan BLN Deptan. Bahan Raker Mentan dengan Komisi IV DPRRI 19 Juli 2006.

Ditjen Tanaman Pangan, 2004. Profil Kedelai (Glycine max). Buku 1. Direktorat Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Tanaman Pangan, 2006a. Angka Tetap Tahun 2005 dan Angka Ramalan II tahun 2006 Produksi Tanaman Pangan. Memorandum. Jakarta.

Ditjen Tanaman Pangan. 2006b. Rencana Kerja Peningkatan Produksi Tanaman Pangan TA 2006. Ditjen Tanaman Pangan Deptan. Jakarta.

Kompas. 2004. Data Penyelundupan Beras Sangat Jelas dan Akurat. Jakarta. Edisi 8 April 2004.

Erwidodo. 2004. Analisis Harga Dasar Pembelian dan Tarif Impor Beras dalam Kasryno, F., E. Pasandaran dan A.M. Fagi (Eds). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

FAO. 2006a. Harvested Area and Production of Soybean. http://faostat.fao.org/faostat/ form? Collection.Production.crops.Primary&Domaindownloaded April 2006.

FAO, 2006b. Soybeans Import and Export http:// faostat.fao.org/faostat/servlet/XteServlet3?= Trade.CropsLivestockProducts&language=EN, downloaded June 2006.

Gonzales, L.A., F. Kasryno, N.D. Perez and M.W. Rosegrant, 1993. Economic Incentives and Comparative Advantage in Indonesian. Food

22

Crop Production Reseacrh Report 93. Intl. Food Polycy Resch Inst. Washinton DC.

Hastuti, E.L. Bentuk dan Dinamika Kelembagaan Ketenagakerjaan Tradisional di Masyarakat Pedesaan Icaserd Working Paper No. 35 Maret 2004. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Hilman, Y., A. Kasno, dan N. Saleh. 2004. Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian: Kontribusi ter-hadap Ketahanan Pangan dan Perkemba-ngan Teknologinya dalam Makarim, A.K., Hermanto, dan Sunihardi (Eds). Inovasi Per-tanian Tanaman Pangan. Puslitbang Tana-man Pangan. Bogor.

Manurung, V.T. 1998. Keragaan Kelembagaan Perkreditan Usaha Penangkapan Ikan Tuna Skala Kecil di Kawasan Indonesia Timur. FAE Vol 16 No 2 Desember 1998. Pusat Pene-litian Sosial Ekonomi Pertnaian. Hal 62-74

Media Indonesia. 2005. Mentan Puas Soal BM Pertanian. Jakarta. Edisi 3 Januari 2005.

Nurmanaf, A.R. E.L.Hastuti, H. Tarigan dan Supadi, 2004. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisio-nal Ketenagakerjaan Pertanian di Pedesaan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. La-poran Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Pranadji, T. dan E.L. Hastuti. 2004. Kelompok Tani dan Pengembangan (Transformasi) Keorga-nisasian Ekonomi Pedesaan.

Pranadji, T. 2004. Reformasi Kelembagaan dan Ke-mandirian Perekonomian Pedesaan: Kajian Pada Kasus Perekonomian Padi Sawah da-lam Buku Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian. Departemen Pertanian. Hal : 107-129

Puslitbangtan, 2004. Deskripsi Varietas Unggul Padi Palawija 2002-2004. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Puslitbangtan, 2005. Analisis Kebijakan Pengemba-ngan Tanaman Pangan di Lahan Marginal: Rawa. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Rochayati, S., Mulyani, dan J.S. Adiningsih. 2005. Pemanfaatan Lahan Alang-Alang. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Rachman, B. dan S.K. Dermorejo. 2004. Dinamika Harga dan Perdagangan Beras dalam Kasryno F., E. Pasandaran dan A.M. Fagi (Eds) Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Rusastra, IW. Dan F. Kasryno. 2003. Kebijakan Pe-ngembangan Agribisnis & Kinerja Pening-

katan Produksi dalam Kasryno et al. (Eds) Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Sasa, J. 2002. Alternatif Teknologi Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Prosiding Seminar: Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Subandi. 1998. Status Penelitian Jagung di Indonesia dalam Prosiding Lokakarya Nasional Jagung. Balitjas – Litbang Pertanian. Ujung Pandang.

Sudaryanto, T. 1996. Konsumsi Kedelai dalam AmangB., M.H. Sawit, dan A. Rachman (Eds). Ekonomi Kedelai Di Indonesia. IPB Press. Bogor.

Sudaryanto, T., P. Simatupang, A. Purwoto, M. Rosegrant, and M. Hossain. 1999. Could Indonesia Sustain Self-Sufficiency in Rice Production? Recent Trends and a Long-Term Outlook. Discussion Paper Series No. 99-03Social Sciences Division. IRRI. Makati. Philippines.

Suharno, P. 1005. The Dynamic Structure of Demand for Cassava in Indonesia and Its Implications for Policy. PhD Thesis. University of The Philippines Los Baños.

Sukirman, S. 2000. Konsep Pengembangan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis dalam Ananto, E.E., G. Ismail, Subagio, Suwarno, A. Djajanegara dan H. Supriadi (Eds). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa. Cipayung 25-27 Juli 2000. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Suryana, A. 2002. Keragaan Perberasan Nasionaldalam Pambudy et al. (Eds). Kebijakan Perberasan di Asia. Regional Meeting in Bangkok, October 2002.

Sumarno, 2006. Mengapa Hibrida Padi Tidak Sesukses Hibrida Jagung?. Sinar Tani Edisi 21-27 Juni 2006 No.3155. Tahun XXXVI.

Suryana dan Hermanto. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional dalam Kasryno, F., E. Pasandaran dan A.M. Fagi (Eds). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan LitbangPertanian. Jakarta.

Suyamto, dkk. 1992. Alternatif Pola Tanam pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Lombok Selatan. Prosiding Risalah Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani di Nusa Tenggara Barat. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Swastika, D.K.S. 2005. The Structural Change of Maize Consumption in Indonesia. SOCA.

23

Vol.5 No.2. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.

Syukur, M. Sumaryanto dan Sumedi, 1998. Kinerja Kredit Pertanian dan Alternatif Penyempur-naannya untuk Pengembangan Pertanian. dalam Analisis dan Prespektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Eko-nomi. Monograph Series No 20. Pusat Pene-litian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal : 221 – 246.

TEMPO Interaktif. 2006. Kepala Bulog: Stok Beras Terendah Saat Ini Sepanjang SejaraJakarta. Sabtu, 19 Agustus 2006

Wargiono, J. 2003. Pemupukan NPK dan Sistem Tanam Ubi kayu pada Tanah Ultisol, Lampung. Penelitian Tanaman Pangan Vol.22 No.2. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Wargiono, J., A. Hasanuddin, dan Suyamto. 2006. Teknologi Produksi Ubi kayu Mendukung Industri Bioethanol. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

23

POSISI DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN INDONESIA CURRENT POSITION AND OUTLOOK OF INDONESIA’S ESTATE CROP PLANTATION

Prajogo U. Hadi, Supriyati, Amar K. Zakaria, Tjetjep Nurasa, Frans B.M. Dabukke dan Ening Ariningsih

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Estate crop subsector shares significant contributions to the Indonesian economy; thus, it needs further development in the future. In this sense, the government always constructs annual development plans for each commodities. For 2007, there are three prioritized programs, namely: (a) Revitalization of three export commodities including oil palm, rubber and cocoa; (b) Acceleration of production and yield growth for import substitution commodity of sugar cane; and (c) Development of bio-energy source commodity of jatropha curcas. In this connection, the present paper aims to describe achievements of the past development of the four commodities by 2005-2006 and analyzing the future prospect of the commodities by 2007. The results show that, (a) the government policies are directed to promote growth of the commodities; (b) better development achievements indicated by increase in production of the four commodities, increase in the export of the three export commodities, decrease in the import and production deficit of the one import substitution commodity; and (c) by 2007, the four commodities would have better prospect due to increase in output price, and especially for oil palm, there will be new generated demand for biodiesel feedstuf. It is suggested therefore, that, first, promotion and protection policies to develop estate crop subsector need to be continued; second, the revitalizaiotn programs for oil palm, rubber and cocoa as well as the accerelation program for sugar cane by 2007 need to be facilitated with sufficient financial supports; and, third, the needs for development of farm diversification on estate crop lands. Key words : estate crops, past performance, future prospect

ABSTRAK

Subsektor Perkebunan mempunyai peranan sangat penting dalam perekonomian Indonesia,

sehingga perlu terus dikembangkan di masa datang. Setiap tahun pemerintah membuat rencana pembangunan untuk masing-masing komoditas. Untuk tahun 2007, ada tiga program utama, yaitu (a) revitalisasi pembangunan tiga komoditas ekspor, yaitu kelapa sawit, karet, dan kakao; (b) akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas komoditas substitusi impor yaitu tebu/gula; dan (c) pengembangan komoditas sumber bio-energi yaitu jarak pagar. Berkaitan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja pembangunan keempat komoditas tersebut pada tahun 2005-2006 dan melakukan analisis prospek tahun 2007. Hasil-hasil analisis adalah: pertama, kebijakan pemerintah sudah diarahkan untuk mendorong pertumbuhan subsektor perkebunan; kedua, kinerja pembangunan perkebunan makin baik, yang ditandai dengan meningkatnya produksi keempat komoditas, meningkatnya ekspor tiga komoditas ekspor, serta turunnya impor dan defisit produksi komoditas substitusi impor. Prospek keempat komoditas pada tahun 2007 akan lebih baik lagi karena terjadi peningkatan harga output, dan khususnya kelapa sawit ada permintaan untuk bahan baku biodisel. Disarankan agar (a) kebijakan promosi dan proteksi untuk mengembangkan subseksor perkebunan yang selama ini ditempuh perlu dilanjutkan; (b) program revitalisasi kelapa sawit, karet, dan kakao serta program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas tebu tahun 2007 perlu mendapatkan dukungan pendanaan yang memadai; dan (c) pengembangan diversifikasi usahatani pada lahan perkebunan. Kata kunci : komoditas perkebunan, kinerja, prospek

PENDAHULUAN

Subsektor Perkebunan mempunyai kon-tribusi sangat penting dalam perekonomian na-

sional. Pertama, sebagai salah satu sumber pendapatan nasional. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2004), pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor ini mencapai rata-rata

24

15,63% dari PDB sektor pertanian atau 2,46% dari PDB nasional1. Kedua, sebagai salah satu sumber devisa nonmigas, dimana sebagian be-sar komoditas perkebunan merupakan komoditas andalan ekspor. Ketiga, sebagai sumber penda-patan dan kesempatan kerja bagi jutaan pen-duduk pedesaan, baik pada kegiatan on-farm maupun off-farm. Keempat, memberikan kesem-patan investasi bagi pengusaha domestik dan asing di semua lini vertikal agribisnis komoditas perkebunan. Kelima, mendorong pertumbuhan berbagai sektor perekonomian lain melalui kaitan ke depan dan ke belakang. Keenam, agroindustri perkebunan merupakan pionir dalam proses industrialisasi pedesaan. Ketujuh, secara umum berdampak positif pada lingkungan hidup, dimana sebagian besar tanaman perkebunan adalah tanaman keras yang mempunyai sifat konservasi. Ke delapan, akhir-akhir ini beberapa komoditas perkebunan dijadikan sumber energi terbarukan, utamanya kelapa sawit dan jarak pagar untuk biodiesel sebagai pengganti solar dan tebu untuk bioethanol sebagai pengganti premium (Hadi et al., 2006). Oleh karena itu, Subsektor perkebunan perlu terus didorong un-tuk terus tumbuh dan berkembang di masa yang akan datang.

Dalam upaya membangun subsektor perkebunan, setiap tahun pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja pembangunan tahun berjalan dan kemudian membuat rencana untuk tahun berikutnya. Dalam kaitan itu, pada T.A. 2006 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebi-jakan Pertanian mencoba mendeskripsikan kiner-ja pembangunan tahun 2005-2006 dan meng-analisis prospek tahun 2007 untuk empat komo-ditas yang termasuk ke dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Perkebunan Tahun 2007 dari Direktorat Jenderal Perkebunan, yaitu (a) tebu melalui program Akselerasi Peningkatan Pro-duksi dan Produktivitas; (b) kelapa sawit, karet, dan kakao melalui program Revitalisasi Perke-bunan; dan (c) jarak pagar melalui program Pe-ngembangan Bahan Baku Bio-Energi (Ditjenbun, 2006a). Aspek-aspek yang dianalisis adalah produksi (termasuk luas areal dan produktivitas), perdagangan dan konsumsi dengan mengguna-kan kombinasi metode ekonometrik (antara lain Nerlove, 1958), dan deskriptif. Hasil analisis di-harapkan akan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan/masukan bagi pemerintah dalam

1 Statistik Indonesia 2003 dan 2004 (BPS), diolah.

menyusun rencana pembangunan komoditas-komoditas terpilih tersebut.

TUJUAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN 2005-2009

Tujuan dan Sasaran

Tujuan pembangunan perkebunan adalah (a) meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, dan daya saing perkebunan; (b) mningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan; (c) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perkebunan; (d) mningkatkan penerimaan dan devisa negara dari subsektor perkebunan; (e) meningkatkan peran subsektor perkebunan sebagai penyedia lapangan kerja; (f) memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri dalam negeri; (g) mendukung penyediaan pangan di wilayah perkebunan; dan (h) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong pengembangan wilayah (Ditjenbun, 2006c).

Sasaran pembangunan perkebunan antara lain adalah (a) meningkatnya produktivitas perkebunan hingga mencapai 75% dari potensi produksi di lapangan; (b) meningkatnya penerimaan devisa ekspor komoditas perkebunan menjadi sebesar US$ 9 milyar; (c) meningkatnya pendapatan petani yang mempunyai usaha pokok perkebunan hingga mencapai rata-rata US$ 2.000/KK (luas lahan 2 ha/KK), yang diikuti dengan peningkatan kualitas hidup petani dan masyarakat perkebunan; (d) meningkatnya kemampuan untuk menyerap tenaga kerja perkebunan dengan penyerapan tenaga kerja baru sebanyak 670 ribu orang; dan (e) pertumbuhan PDB perkebunan diproyeksikan sebesar 6,2%/thsebagai hasil upaya peningkatan produktivitas dan pengembangan baru (Ditjenbun, 2006c).

Kebijakan Umum dan Teknis

Kebijakan pembangunan perkebunan terdiri dari kebijakan umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah memberdayakan agribisnis perkebunan di hulu dan memperkuat di hilir guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing usaha perkebunan dengan pemberian insentif, penciptaan iklim usaha yang kondusifdan peningkatan partisipasi masyarakat perke

25

bunan, serta penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kebijakan teknis merupakan penjabaran dari kebijakan umum, antara lain kebijakan pe-ngembangan komoditas, kebijakan investasi usa-ha perkebunan, serta kebijakan pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha. Kebijakan pengembangan komoditas antara lain mencakup: (a) penerapan paket teknologi budidaya yang baik (good agricultural practices/GAP) melalui intensifikasi, rehabilitasi, ekstensifikasi, dan di-versifikasi; (b) mendorong pengembangan komo-ditas unggulan nasional dan lokal sesuai dengan peluang pasar, karakteristik, dan potensi wilayah dengan penerapan teknologi budidaya yang baik; (c) optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan, seperti lahan pekarangan, lahan pangan, lahan cadangan, dan lahan lainnya dengan pengemba-ngan cabang usahatani lain yang sesuai; (d) mendorong pengembangan aneka produk (pro-duct development) dan upaya peningkatan mutu untuk peningkatan nilai tambah; (e) peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pendukung pengembangan perkebunan; dan (f) meningkat-kan upaya pengembangan sistem informasi me-ngenai teknologi, peluang pasar, manajemen, dan permodalan.

Kebijakan investasi usaha mencakup: (a) fasilitasi, advokasi, dan bimbingan dalam mem-peroleh kemudahan akses untuk pelaksanaan investasi usaha; (b) mengembangkan sistem informasi, yang mencakup kemampuan memper-oleh dan menyebarluaskan informasi yang leng-kap mengenai peluang usaha tanaman perke-bunan, untuk mendorong dan menumbuhkan minat petani dan masyarakat; (c) menciptakan iklim investasi yang kondusif, yang mencakup pengembangan sistem pelayanan prima serta jaminan kepastian dan keamanan berusaha; dan (d) mendorong penggalian sumber dana dari komoditas untuk pengembangan komoditas.

Kebijakan pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha mencakup: (a) mendorong peningkatan kemampuan dan kemandirian ke-lembagaan petani untuk menjalin kerja sama usaha dengan mitra terkait, serta mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya yang tersedia; (b) mendorong terbentuknya kelemba-gaan komoditas yang tumbuh dari bawah; (c) mendorong penumbuhan kelembagaan keuang-an pedesaan; (d) mendorong lebih berfungsinya

lembaga penyuluhan; dan (e) mendorong kemitraan saling menguntungkan dan saling memperkuat antara petani, pengusaha, karyawan, dan masyarakat di sekitar perkebunan.

Disamping kebijakan yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perkebunan seperti tersebut di atas, juga ada kebijakan lintas sektor yang berkaitan dengan pengembangan perkebunan. Kebijakan yang dimaksud antara lain adalah (a) penyediaan kredit untuk kegiatan bongkar ratoon tebu rakyat sejak tahun 2003 dalam upaya akselerasi produksi gula nasional(Ditjenbun, 2006b); (b) penyediaan kredit dengan subsidi bunga untuk revitaliasi perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kakao), sehingga petani hanya membayar bunga 10%/th sejak 2006 (sisa bunganya ditanggung pemerintah) (Ditjenbun, 2006a); (c) penetapan harga patokan gula di tingkat produsen yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun; (d) pengenaan tarif impor untuk gula mentah dan gula putih, serta pengendalian impor guna memberikan perlindungan bagi petani dan industri gula nasional (Hadi dan Nuryanti, 2005); (e) penurunan pajak ekspor untuk CPO (pada tahun misalnya, dari 3% menjadi 1,5%) guna meningkatkan kegairahan produksi dan ekspor (Dradjad, 2006b); dan (pengembangan sistem pasar lelang untuk meningkatkan harga, mutu dan efisiensi pasar produk petani (Hadi et al., 2004).

Secara khusus dalam rangka pengembangan tanaman untuk bahan baku bio-energpemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, Instruksi Predisen RI Nomor 10 tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, dan RPP 148 Tahun 2006 tentang Pemberian Insentif Pajak untuk Bidang Usaha Bahan Bakar Nabati. Disamping itu juga, ada dukungan lain, seperti subsidi bunga, pembangunan infrastruktur, pengembangan bibit, dan lain-lain yang akan dibiayai dari APBN. Ada juga Peraturan Menteri ESDM tentang Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai peraturan pendukung.

Dalam Inpres Nomor 1 tahun 2006, ada 13 Menteri serta semua gubernur dan bupati/Walikota yang mendapat instruksi untuk melaksanakan tugas sesuai dengan mandatnya ma

26

sing-masing. Dalam hal ini, Menteri Pertanian diberi tanggungjawab sebagaimana tertuang pada pasal 3, yaitu (a) mendorong penyediaan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) termasuk benih dan bibitnya, (b) mela-kukan penyuluhan pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati, (c) memfasilitasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan baku bahan bakar nabati, dan (d) mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca- panen tanaman bahan baku bahan bakar nabati.

Kebijakan Spesifik Komoditas

Komoditas Kelapa Sawit

Peluang untuk pengembangan agribinis kelapa sawit masih cukup besar, terutama kare-na tersedianya sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi, dan tenaga ahli. Peluang itu perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, se-hingga posisi Indonesia yang semula menjadi negara produsen terbesar kedua setelah Malaysia meningkat menjadi produsen terbesar pertama (leading country) di masa yang akan datang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Ber-samaan dengan itu, upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani tetap dilakukan.

Berkaitan dengan itu, visi pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah “Pembangunan sistem dan usaha agribisnis kelapa sawit yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi”. Untuk melaksanakan visi ini, strategi yang tepat adalah memberdayakan bagian hulu dan memperkuat bagian hilir, yang didukung oleh organisasi semacam Sawit Board.

Pendekatan pengembangan kelapa sawit yang ditempuh adalah mekanisme pasar, dimana alokasi sumberdaya diarahkan oleh mekanisme insentif/disinsentif. Pendekatan ini diperlukan ka-rena kelapa sawit merupakan komoditas per-dagangan dunia, dimana keberhasilan untuk menembus pasar dunia sangat tergantung pada daya saingnya terhadap komoditas sejenis yang berasal dari negara lain. Dalam kaitan ini, peran pemerintah lebih bersifat sebagai pendorong terjadinya integrasi kegiatan dari hulu sampai dengan hilir, serta mengembangkan sistem dan mekanisme untuk memperkecil risiko dan keti-dakpastian. Melalui integrasi ini juga diharapkan bahwa nilai tambah dari komoditas lebih banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan kese-

jahteraan petani, karena selama 30 tahun terakhir harga produk primer cenderung menurun, harga produk-produk hilir cenderung meningkat.

Di masa datang, pengembangan agribisnis kelapa sawit akan lebih diarahkan ke Kawasan Timur Indonesia, khususnya di pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, serta daerahdaerah lain yang potensinya memungkinkan untuk pengembangan. Dari berbagai kajian teoritis dan empiris, pengembangan agribisnis kelapa sawit lebih efektif bila menggunakan pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun) dengan melibatkan petani dalam wadah koperasi/badan usaha yang secara bersama-sama dengan perusahaan mitra mengembangkan kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan prinsip saling menguntungkan (win-win solution).

a. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Hasil

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan mutu hasil kelapa sawit secara bertahap, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Kebijakan ini ditempuh dengan (a) mendorong pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar dengan peran serta swasta dan masyarakat; (pengembangan teknologi benih yang disesuaikan dengan kondisi wilayah, budidaya, dan sosial ekonomi masyarakat, serta keamanan lingkungan di wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit; (c) perlindungan plasma nutfah kelapa sawit; (d) peremajaan tanaman kelapa sawit secara bertahap yang didukung dengan perencanaan komprehensif; (e) pengembangan kemitraan kelapa sawit antara petani dan pengusaha; (mengupayakan dukungan sarana-prasarana pendukung untuk pengembangan kelapa sawit, antara lain permodalan, jalan/jembatan, tanki timbun dan pelabuhan yang memadai melalui kerja sama dengan pihak-pihak terkait; (g) pningkatan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan melalui berbagai kegiatan pendidikan, pelatihan, dan pendampingan; (h) revisi SNI dan olein; (i) mendorong peningkatan mutu produksi antara lain melalui panen tepat waktu, pengolahan tandan buah segar (TBS) yang lebih efisien, dan perbaikan jaringan transportasi TBS.

27

b. Kebijakan Pengembangan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah

Kebijakan ini bertujuan agar ekspor kela-pa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tetapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui: (a) fasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit (PKS) terpadu dengan refinery skala 5–10 ton TBS/jam, dan pendirian pabrik minyak goreng sawit (MGS) berskala kecil di lokasi produksi CPO yang belum ada pabrik MGS; (b) pengembangan industri hilir di berbagai sentra produksi; (c) peningkatan kerja sama di bidang promosi, penelitian, dan pengem-bangan serta pengembangan sumberdaya ma-nusia dengan negara lain penghasil CPO; (d) fasilitasi pengembangan biodiesel asal CPO; dan (e) pengembangan market research dan market inteligence untuk memperkuat daya saing.

c. Kebijakan Dukungan Pembiayaan

Kebijakan ini bertujuan untuk menyedia-kan berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembaga perbankan mau-pun nonbank (antara lain memanfaatkan penyer-taan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Kolektif, Resi Gudang dan lain-lain). Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan agribisnis kela-pa sawit yang efisien, produktif, dan berdaya saing tinggi untuk sebesar-besarnya kemakmur-an petani secara berkelanjutan akan dapat di-wujudkan.

Komoditas Karet

Strategi pengembangan agribisnis karet yang dipilih adalah meningkatkan manfaat secara optimal agribisnis karet melalui perolehan nilai tambah dan peningkatan daya saing secara adil dan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan aset-aset perkebunan yang sudah ada, maka strategi tersebut perlu dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang inovatif, kreatif, proporsional, dan profe-sional sehingga efektif dalam implementasinya. Untuk menciptakan manfaat optimal dari pem-bangunan agribisnis karet, maka arah kebijakan pengembangan agribisnis komoditas ini adalah sebagai berikut.

a. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Hasil

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan mutu karet secara bertahap, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui (a) peremajaan dan rehabilitasi tanaman karet tua/rusak secara bertahap (5%/th), dengan menggunakan klon unggul generasi ke-4 penghasil lateks dan kayu dengan penerapan teknologi secara tepat, sehingga dalam kurun waktu 20 tahun tanaman karet di Indonesia sudah dapat mencapai tingkat produktivitas optimal; (b) pengembangan industri benih karet berbasis teknologi dan pasar, dengan peran serta swasta dan masyarakat, melalui model waralaba benih; (c) perbaikan mutu bahan olahan karet (bokar) melalui sistem reward and punishment; (d) optimasi pelaksanaan pengurangan produksi karet, dengan cara sadap berlebihan (over tapping), melalui koordinasi dengan pemerintah daerah sentra produksi karet; (diversifikasi usaha melalui optimasi pemanfaatan lahan secara optimal sampai tahun ke-3, dilakukan dengan mengusahakan tanaman sela berupa tanaman semusim, dengan mengatur pola tanam dapat diusahakan ternak dan tanaman hijauan, dan pada batas kebun juga dapat diusahakan tanaman jati; (f) pelaksanaan peremajaan karet rakyat baik melalui proyek maupun swadaya, dilakukan secara berkelompok dalam satu hamparan, sehingga pengelolaan kayu karet menjadi lebih muda dan efisien, terutama dalam penjadwalan pembukaan lahan oleh perusahaan mitra yang akan membeli kayu; dan (g) pengembangan dan pemantapan kelembagaan petani, serta usaha melalui berbagai bentuk pelatihan dan pendampingan.

b. Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah

Kebijakan ini bertujuan agar nilai tambah hasil karet dapat dinikmati oleh petani dan produsen karet di dalam negeri. Seiring dengan pengembangan industri hilir berbahan baku karet, diharapkan ekspor Indonesia yang selama ini sebesar 90% terdiri atas produk primer/setengah jadi, seperti SIR, sheet dan lateks, dapat bergeser menjadi barang jadi. Diharapkan, ekspor karet Indonesia berupa barang jadi sudah mencapai 25% pada tahun 2010 dan menjadi 50%

28

pada tahun 2020. Kebijakan ini ditempuh, antara lain melalui (a) pengembangan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah produk dengan melibatkan petani guna meningkatkan penda-patan mereka; (b) pengembangan industri pe-ngolahan hasil sampingan berupa kayu karet (industri furniture berupa papan partikel, meja, dll, yang divacum) di sentra produksi karet yang dikaitkan dengan peremajaan tanaman karet dan kayu tanaman jati; (c) pembatasan pemanfaatan kayu karet tua melalui pengenaan pajak, dana reboisasi dan SAKO, sehingga pengembangan usaha pengolahan kayu karet di berbagai sentra peremajaan karet rakyat merupakan peluang usaha yang cukup menguntungkan; (d) identi-fikasi potensi kayu karet tua di daerah-daerah sentra pengembangan karet dikaitkan dengan skala ekonomi industri pengolahan kayu karet yang akan dikembangkan, untuk mencegah terjadinya idle capacity dari industri yang ada; dan (e) agar program peremajaan karet rakyat dapat dilakukan secara berkesinambungan, ma-ka diperlukan dukungan pemerintah sebagai fasi-litator, seperti kemudahan perizinan untuk indus-tri kayu karet.

c. Kebijakan Dukungan Pembiayaan

Kebijakan ini bertujuan untuk menyedia-kan berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan dan perema-jaan karet, baik yang berasal dari lembaga per-bankan maupun nonbank (antara lain meman-faatkan penyertaan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Kolektif, Resi Gudang dan lain-lain).

Komoditas Kakao

Mengacu kepada potensi yang ada, tantangan, peluang dan permasalahan yang ada, serta dikaitkan dengan perkembangan pena-waran dan permintaan dunia di masa yang akan datang, maka diperlukan upaya penanganan kakao Indonesia untuk meningkatkan kesejahte-raan petani. Di masa datang, pengembangan kakao secara global diarahkan untuk mewu-judkan agribisnis kakao yang efisien dan efektif, guna meningkatkan pendapatan petani kakao dan hasil kakao yang berdaya saing tinggi, mela-lui peningkatan produktivitas dan mutu hasil kakao secara terintegrasi dan berkelanjutan,

yang didukung dengan penguatan kelembagaan usaha dan pemberdayaan petani. Kebijakan pengembangan agribisnis kakao adalah sebagai berikut.

a. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Hasil

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao secara bertahap, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui (a) optimasi kegiatan penelitian, khususnya untuk memperoleh klon kakao yang tahan hama penggerek buah kakao (PBK), baik melalui eksplorasi tanaman kakao yang diduga tahan terhadap hama PBK maupun melalui rekayasa genetik; (b) gerakan pengendalian hama PBK secara serius yang didukung dengan dana dan sarana yang memadai; (c) peremajaan dan klonalisasi tanaman kakao, terutama dengan menggunakan benih unggul; (d) perbaikan mutu biji kakao melalui upaya perbaikan pengelolaan kebun dan fermentasi; (e) penerapan secara ketat persyaratan mutu biji kakao untuk ekspor dan revisi SNI; dan (f) peningkatan kemampuan dan pemberdayaan petani dan kelembagaan usaha.

b. Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah

Kebijakan ini bertujuan agar ekspor kakao Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (kacang), tetapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dapat dinikmati di dalam negeri. Kebijakan ini ditempuh antara lain melalui (a) pengembangan industri hilir kakao, khususnya pengolahan bubuk (cocoa powder) dan mentega kakao (cocoa butter), yang dapat dilakukan melalui kemitraan dengan 4 perusahaan besar yaitu Nestle, Mars, Hershe danCadbury; dan (b) mengembangkan kemitraan antara petani kakao dengan industri pengolahan di dalam negeri dan perusahaan luar negeri yang menguasai pasar kakao dunia.

c. Kebijakan Dukungan Pembiayaan

Kebijakan ini bertujuan untuk menyediakan berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kakao, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun nonbank (antara lain memanfaatkan penyertaan

29

dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Ko-lektif, Resi Gudang dan lain-lain).

Komoditas Jarak Pagar

Jarak pagar merupakan salah satu sum-ber bahan baku biodiesel, namun peran tersebut belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan yang diawali pada tahun 2005 baru terbatas pada inventarisasi dan seleksi pohon-pohon induk yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, pembangunan kebun bibit, berbagai percobaan dibidang budidaya ta-naman, serta penelitian mengenai teknik pasca-panen dan pengolahan minyak jarak kasar men-jadi biodiesel.

Sasaran nasional yang ditetapkan peme-rintah untuk tahun 2007 adalah penanaman se-luas 341.000 ha dengan produksi 341.000 ton biji kering. Pemerintah melalui APBN akan memberi kontribusi berupa pembangunan kebun bibit selus 50 ha, penanaman 5.000 ha, dan dukung-an pembiayaan sebesar Rp 21,2 milyar.

KINERJA PEMBANGUNAN TAHUN 2005-2006

Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Perkembangan Penyebaran Areal Menurut Wilayah

Perkembangan areal perkebunan empat komoditas terpilih yaitu kelapa sawit, karet, kakao dan tebu menurut wilayah selama 2003-2005 diperlihatkan pada Tabel 1. Untuk kelapa sawit, secara absolut pengembangan areal terbesar tetap di Sumatera (meningkat sekitar 200 ribu ha), tetapi secara relatif tercepat terjadi di Kalimantan (meningkat 10,62%). Sentra produksi utama tetap di Sumatera, namun Kalimantan sebagai sentra produksi kedua menjadi makin penting.

Untuk karet, secara absolut pengemba-ngan areal terbesar tetap di Sumatera (mening-kat sekitar 132 ribu ha), tetapi secara relatif tercepat terjadi di Kalimantan (meningkat 8,39%). Sentra produksi utama tetap di Sumatera, namun Kalimantan sebagai sentra produksi kedua men-jadi makin penting. Untuk kakao, secara absolut pengembangan areal terbesar juga berada di Sumatera (meningkat sekitar 7 ribu ha), namun secara relatif tercepat terjadi di Bali dan Nusa Tenggara (meningkat 11,04%). Sulawesi tetap mendominasi areal, namun hanya mengalami

perkembangan secara marjinal. Ini menunjukkan adanya pergeseran wilayah pengembangan kakao dari Sulawesi ke wilayah-wilayah lain (terutama Sumatera). Untuk tebu/gula, pengembangan areal secara absolut dan relatif masih tetap berada di Jawa dan berjalan cepat (sekitar 32 ribu ha atau 15,32%), sehingga secara konsisten wilayah ini makin mendominasi areal komoditas tersebut.

Perkembangan Luas Areal

Luas areal perkebunan empat komoditas terpilih, yaitu kelapa sawit, karet, kakao, dan tebu) pada tahun 2006, dan perkembangannya dibanding tahun 2005 diperlihatkan pada Tabel 2. Pada tahun 2006, luas areal meningkat lambat (kakao) sampai cukup cepat (tebu), sedangkan untuk karet menurun walaupun sangat lambat jika dibanding pada tahun 2005. Peningkatan luas areal yang cepat pada tebu bersumber terutama dari peningkatan luas areal pada PR yaitu 8,61%, sedangkan untuk PBN dan PBS masing-masing hanya 3,57% dan 4,55%/thPeningkatan luas areal ini merupakan respon positif dari petani produsen tebu terhadap peningkatan harga gula yang cukup signifikan, yaitu hampir 10% per tahun. Harga yang meningkat cepat ini merupakan dampak positif dari kebijakan perlindungan industri gula dalam negeriberupa pengenaan tarif dan pengendalian impor secara lebih ketat serta penetapan harga patokan pembelian gula yang cukup tinggi.

Untuk kelapa sawit, peningkatan luas areal yang cukup cepat tersebut bersumber terutama dari peningkatan luas areal PBS yaitu 4,36%, sedangkan untuk PR dan PBN masingmasing hanya 2,02% dan 2,75%/th. Peningkatan luas areal ini merupakan respon positif dari produsen kelapa sawit terhadap peningkatan harga minyak sawit di pasar dunia yang cepat yaitu 12,07%/th. Peningkatan harga ini disebabkan terutama oleh adanya permintaan tambahan terhadap minyak sawit di pasar dunia sebagai bahan baku biodiesel, disamping permintaan konvensional yang sudah ada sebagai bahan baku minyak goreng, dan lain-lain.

Perkembangan luas areal kakao nasional yang lambat terutama bersumber dari perkembangan luas areal PR, PBN, dan PBS yang semuanya lambat yaitu 1,23%, 0,06%, dan 1,41%th, padahal harga kakao dunia meningkat cepat yaitu 8,42%/th. Ini menunjukkan bahwa respon

30

Tabel 1. Perkembangan Luas dan Pangsa Areal Perkebunan Kelapa Sawit, Kakao, Karet, dan Tebu Menurut Wilayah 2003-2005

2003 2005 Perubahan

Komoditas & wilayah Ha % Ha % Ha %

Kelapa Sawit 1. Sumatera 4.079.618 77,21 4.280.094 76,47 200.476 4,912. Jawa 25.442 0,48 26.046 0,47 604 2,373. Kalimantan 1.001.931 18,96 1.108.288 19,80 106.357 10,624. Sulawesi 126.753 2,40 129.356 2,31 2.603 2,055. Papua 49.812 0,94 53.375 0,95 3.563 7,15Indonesia 5.283.557 100,00 5.597.158 100,00 313.601 5,94Kakao: 1. Sumatera 98.385 15,00 105.500 15,84 7.115 7,232. Jawa 37.036 5,65 36.306 5,45 -730 -1,973. Balinus** 24.405 3,72 27.100 4,07 2.695 11,044. Kalimantan 28.185 4,30 30.563 4,59 2.378 8,445. Sulawesi 411.842 62,77 412.089 61,88 247 0,066. Mamalutpa* 56.211 8,57 54.373 8,16 -1.838 -3,27Indonesia 656.064 100,00 665.931 100,00 9.867 1,50Karet: 1. Sumatera 1.706.607 72,81 1.838.297 72,80 131.690 7,722. Jawa 91.797 3,92 95.269 3,77 3.472 3,783. Balinus** 99 0,00 99 0,00 0 0,004. Kalimantan 526.115 22,45 570.242 22,58 44.127 8,395. Sulawesi 15.066 0,64 15.609 0,62 543 3,606. Mamalutpa* 5.323 0,23 5.678 0,22 355 6,67Indonesia 2.344.007 100,00 2.525.194 100,00 181.187 7,73Tebu/Gula: 1. Sumatera 110.134 32,80 124.504 32,59 14.370 13,052. Jawa 208.566 62,12 240.519 62,95 31.953 15,323. Sulawesi 17.025 5,07 17.060 4,46 35 0,21Indonesia 335.725 100,00 382.083 100,00 46.358 13,81

Sumber: Diolah dari Statistik Perkebunan 2003-2005 (Ditjen Perkebunan) untuk kelapa sawit, kakao, karet dan tebu. Keterangan: * Maluku, Maluku Utara dan Papua; ** Bali, NTB, NTT. Tabel 2. Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Kelapa Sawit, Karet, Kakao, dan Tebu Tahun 2006a)

Luas Areal Produktivitas Produksi Komoditas

ha % b) kg/ha % b) ton % b)

Kelapa sawit 5.785.505 3,37 4.030 1,86 15.795.581 5,52

Karet 3.278.277 -0,03 893 5,96 2.254.781 5,94

Kakao 1.004.470 1,21 999 1,97 675.014 3,47

Tebu 406.852 6,48 6.315 7,61 2.569.268 14,58Keterangan: a) Data 2006 adalah hasil proyeksi

b) Persentase perubahan dibanding tahun 2005.

31

produsen kakao terhadap harga kakao memang rendah dan lambat. Faktor penyebabnya ke-mungkinan besar adalah tingginya biaya inves-tasi kebun kakao, dan adanya serangan hama PBK yang dapat menimbulkan risiko gagal panen tinggi.

Berbeda dari tiga komoditas terdahulu, luas areal karet nasional menurun walaupun lambat. Penurunan ini bersumber dari penurunan luas areal PBN dan PBS, masing-masing 0,84% dan 0,22%, sedangkan untuk PR meningkat 0,05%/th, padahal harga karet meningkat hampir 16%/th, lebih cepat dibanding peningkatan harga minyak sawit. Ini menunjukkan bahwa respon produsen karet terhadap harga karet memang sangat rendah. Untuk PR, harga minyak sawit mempunyai dampak negatif terhadap luas areal karet, yang berarti petani karet mengkonversi sebagian areal karetnya menjadi kebun kelapa sawit. Hal yang sama mungkin terjadi juga pada PBN dan PBS. Peningkatan harga karet yang sangat cepat tersebut berkaitan erat dengan melonjaknya harga BBM fosil di pasar dunia (dari US$20 menjadi US$70/barrel), yang menyebab-kan harga bahan baku karet sintetis sebagai substitusi karet alam meningkat tajam, serta me-ningkatnya permintaan karet alam yang sangat cepat oleh Cina (China phenomena) dan nega-ra-negara industri lainnya yang sudah pulih dari resesi ekonomi, seperti Taiwan dan Korea Selatan.

Perkembangan Produktivitas Tanaman

Produktivitas (yield) kelapa sawit, karet, kakao dan tebu pada tahun 2006, dan tingkat perubahannya dibanding tahun 2005 diperlihat-kan pada Tabel 2 di muka. Produktivitas kelapa sawit dan kakao meningkat tetapi lambat, se-dangkan untuk karet cukup cepat. Lambatnya perkembangan produktivitas kelapa sawit, ter-utama disebabkan oleh belum diterapkannya kultur teknis secara baik pada kebun PR, teruta-ma penggunaan pupuk yang sangat rendah, disamping masih terbatasnya klon unggul. Ren-dahnya penggunaan pupuk disebabkan oleh ku-rangnya pengetahuan petani mengenai keguna-an pupuk, tidak tersedianya pupuk secara tepat lokasi, tepat waktu dan tepat harga, serta rendahnya kemampuan petani membeli pupuk. Produktivitas tertinggi terjadi pada PBN yaitu 4.508 kg, sedangkan yang terendah adalah PR yaitu 3.487 kg, dan PBS adalah 4.271 kg/ha/th.

Untuk PR, kebun plasma PIR yang ditanam tahun 1979/1980 yang kini berumur lebih dari 25 tahun sudah tidak berproduksi lagi, dan petani tidak mempunyai dana untuk melakukan peremajaan.

Untuk karet, produktivitas tertinggi terjadi pada PBS yaitu 1.234 kg, sedangkan yang terendah adalah PR yaitu 869 kg, dan PBN adalah 1.014 kg/ha/th. Walaupun terjadi peningkatan cukup cepat, tingkat produktivitas itu sendiri masih rendah, terutama PR, dimana sebagian besar kebun PR menggunakan benih asalan, kultur teknis yang buruk, dan cara penyadapan yang tidak sesuai dengan anjuran.

Untuk kakao, produktivitas tertinggi justru terjadi pada PR yaitu 1.007 kg, sedangkan yang terendah adalah PBN yaitu 869 kg, dan PBS adalah 930 kg/ha/th. Masalah utama yang dihadapi adalah serangan hama penggerek buah kakao (PBK) yang belum dapat diatasi sepenuhnya, yang diperberat lagi oleh serangan penyakit busuk buah kakao dan Virus Strip Dieback (VSD). Disamping itu, peremajaan kebun kakao sangat lambat sehingga sebagian besar tanaman kakao sudah berumur tua.

Tebu mengalami kemajuan sangat pesadalam produktivitas, yaitu meningkat 7,61% dibanding tahun 2005 sehingga menjadi 6.315 kg kristal/ha. Produktivitas tertinggi terjadi pada PBS yaitu 7.524 kg hablur, sedangkan PBN yang paling rendah yaitu 5.314 kg, dan bahkan PR lebih tinggi dibanding PBN yaitu 6.326 kg/ha/tCukup tingginya produktivitas PR terutama disebabkan oleh adanya program pemerintah bongkar ratoon sejak tahun 2003, dalam rangka akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas guna mencapai swasembada gula pada tahun 2009 untuk konsumsi langsung. Dalam program ini, petani mendapat bantuan modal dengan bunga tersubsidi, yaitu 10%/th dan menggunakan klon tebu unggul yang disertai dengan kultur teknis lebih baik. Disamping itu, sebagian pabrik gula juga direhabilitasi sehingga rendemen gula meningkat.

Perkembangan Produksi

Produksi kelapa sawit, kakao, karet, dan tebu pada tahun 2006 serta perubahannya dibanding pada tahun 2005 diperlihatkan pada Tabel 2 di muka. Keempat komoditas tersebut mengalami peningkatan produksi dengan pening

32

katan tertinggi pada tebu, kemudian disusul oleh karet, kelapa sawit dan yang terkecil adalah kakao. Produsen utama kelapa sawit adalah PBS yaitu 8,29 juta ton minyak sawit, disusul oleh PR 4,83 juta ton dan PBN 2,68 juta ton. Untuk karet, produsen utama adalah PR yaitu 1,99 juta ton, diikuti PBS 219,8 ribu ton, dan PBN 184,4 ribu ton. Untuk kakao, produsen utama adalah PR yaitu 605,1 ribu ton, diikuti oleh PBS 37,1 ribu ton dan PBN 33,6 ribu ton. Produsen tebu utama adalah PR yaitu sebesar 1,39 juta ton kristal, kemudian diikuti PBS 0,66 juta ton, dan PBN 0,51 juta ton.

Tanaman Jarak Pagar

Tanaman jarak pagar sudah mulai di-usahakan oleh berbagai pihak, terutama pengu-saha perseorangan dan perusahaan besar, se-dangkan petani sempit belum ada yang mena-nam. Tujuan perusahaan besar memproduksi jarak pagar adalah untuk diolah sendiri menjadi minyak bakar atau biodiesel untuk mencukupi kebutuhan pabriknya sendiri. Tujuan perusahaan perseorangan dalam jangka pendek adalah men-jual bibit, baik dalam bentuk biji maupun stek, yang harganya cukup menguntungkan karena permintaan yang sangat tinggi dan terus mening-kat, sedangkan pasokan masih sangat terbatas. Petani kecil belum ada yang menanam karena lahannya yang sangat terbatas, belum mengenal teknik budidaya dan pemerasan minyak, serta harga biji yang masih sangat rendah sehingga belum menguntungkan. Tim analisis ini belum berhasil mendapatkan data tentang luas areal tanam jarak pagar secara keseluruhan sehingga belum dapat dilihat perkembangannya.

Ekspor dan Impor

Volume dan nilai ekspor minyak sawit, kakao dan karet, serta impor gula pada tahun 2006, dan perkembangannya dibanding pada tahun 2005, diperlihatkan pada Tabel 3. Volume dan nilai ekspor minyak sawit pada tahun 2006, masing-masing meningkat cukup cepat dan sa-ngat cepat dibanding tahun 2005. Perkembangan volume ekspor yang cukup cepat tersebut disebabkan oleh peningkatan harga ekspor dan produksi yang cepat, sedangkan perkembangan nilai ekspor yang sangat cepat bersumber dari

efek ganda dari perpaduan peningkatan volume dan harga ekspor yang cepat. Tabel 3. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit, Kakao

dan Karet dan Impor Gula Tahun 2006a)

Volume Nilai Komoditas

Ton %b) US$'000 %b

Ekspor:

Minyak sawit 10.851.009 6,51 5.495.078 18

Kakao 389.735 3,07 750.066 17

Karet 2.065.754 4,98 3.283.695 22

Impor:

Gula 376.581 -42,01 102.555 -37Keterangan: a) Data 2006 adalah hasil proyeksi

b) Persentase perubahan dibanding tahun 2005

Untuk karet, volume dan nilai ekspornpada tahun 2006 masing-masing meningkat cukup cepat dan sangat cepat dibanding tahun 2005. Perkembangan volume ekspor tersebut disebabkan oleh perkembangan harga ekspor yang cepat, walaupun perkembangan produksinya tidak begitu cepat (lihat uraian di muka). Sedangkan perkembangan nilai ekspor yang sangat cepat (paling cepat di antara tiga komoditas yang dianalisis) bersumber dari peningkatan volume ekspor, dan terutama peningkatan harga ekspor yang sangat cepat.

Untuk kakao, volume dan nilai ekspornypada tahun 2006 masing-masing meningkat lambat dan sangat cepat dibanding tahun 2005. Perkembangan volume ekspor tersebut disebabkan oleh peningkatan harga ekspor yang cepat, walaupun perkembangan produksinya tidak begitu cepat. Sedangkan perkembangan nilai ekspor yang sangat cepat bersumber dari peningkatan volume ekspor, dan terutama peningkatan harga ekspor yang sangat cepat.

Berbeda dari tiga komoditas sebelumnya yang merupakan komoditas ekspor, gula merupakan komoditas impor bagi Indonesia. Volume dan nilai impor gula tahun 2006 dibanding tahun 2005 masing-masing menurun sangat cepat, dengan penurunan nilai impor lebih lambat dibanding volumenya. Penurunan volume impor yang cepat ini disebabkan oleh meningkatnya produksi gula nasional yang cepat (14,68%/th) dan meningkatnya harga impor (7,72%/th). Penurunan nilai impor yang cepat disebabkan oleh

33

menurunnya volume impor yang lebih cepat di-banding peningkatan harga impor.

Konsumsi

Analisis konsumsi hanya dilakukan untuk komoditas yang defisit neraca perdagangannya sangat besar, yaitu gula (kelapa sawit, karet, dan kakao neraca perdagangannya surplus sangat besar). Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2006 konsumsi gula meningkat lambat dibanding tahun 2005, sedangkan produksi meningkat sangat cepat. Perkembangan konsumsi tersebut bersumber dari laju kenaikan jumlah penduduk 1,25%/th dan kenaikan penggunaan gula untuk industri 5%/th. Hal ini menyebabkan defisit pro-duksi gula pada tahun 2006 sebesar 424.678 ton yang sudah mengalami penurunan sangat signifi-kan, yaitu 39,24% dibanding tahun 2005.

Tabel 4. Produksi, Konsumsi, dan Defisit Gula Tahun 2006

Uraian Volume (ton) Perubahan (%)*)

Produksi 2,569,268 14.58 Konsumsi 2,993,946 1.79 Defisit -424,678 -39.24

Keterangan: *) Persentase perubahan dibanding tahun 2005.

PROBLEM DAN PROSPEK TAHUN 2007

Problem Pada tahun 2007, masih akan ada cukup

banyak problem fundamental yang perlu dipecah-kan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit, kakao, karet, dan tebu, apalagi jarak pagar yang belum siap untuk dikembangkan dan masih merupakan tanaman baru. Problem yang umum dihadapi di tingkat usahatani (on farm) pada per-kebunan rakyat antara lain adalah produktivitas yang masih rendah (walaupun sudah meningkat). Faktor penyebabnya, antara lain adalah (a) ke-tersediaan bibit unggul masih terbatas, sehingga banyak petani yang menggunakan benih asalan; (b) ketersediaan pupuk masih terbatas dan mahal, sedangkan kemampuan petani membeli pupuk masih rendah; (c) adanya serangan orga-nisme pengganggu tanaman (OPT), dan khusus-nya hama PBK dan akhir-akhir ini penyakit busuk buah kao (virus VSD) pada kakao sangat menu-

runkan produktivitas; (d) kurang diterapkannya teknologi budidaya secara baik (good agricultural practices); (e) terbatasnya insfrastruktur sepertjalan desa dan jalan kebun; (f) banyak tanaman tua tetapi dukungan dana untuk peremajaan dan perluasan sangat kurang; (g) kelembagaan petani masih lemah; (h) kurangnya dukungan riset; (rendahnya mutu hasil, khususnya kakao rakyat yang tidak difermentasi dan karet rakyat yang masih dalam bentuk ojol; (j) khusus untuk tebu ketersediaan air untuk lahan sawah terbatas, proporsi yang tidak seimbang antara tanaman baru atau Plant Crop (PC) dan tanaman ratoon atau Ratoon Crop (RC) dengan frekuensi kepras lebih dari 4 kali, padahal idealnya hanya 3 kali(Hadi et al., 2004); dan (k) khusus untuk jarak pagar, belum tersedia data dan informasi pendukung, dan teknologi belum siap pakai (benih, budidaya, pengolahan hasil).

Pada tingkat off-farm, problem utamanya antara lain adalah sebagai berikut. Masalah pertama adalah belum berkembangnya industri hilir sehingga produk yang dihasilkan masih dalam bentuk primer dengan nilai tambah rendah. Untuk kelapa sawit, produk yang diekspor masih dalam bentuk CPO dan PKO. Disamping itu, berkembangnya PKS yang tidak mempunyai kebun kelapa sawit menyebabkan efisiensi PKS mitra dalam sistem PIR terganggu, karena kekurangan bahan baku sebagai akibat petani plasmanya menjual hasilnya kepada PKS lain, dengan tujuan utama untuk menghindari pemotongan kredit usahatani.

Untuk karet, produk yang diekspor sebagian besar masih dalam bentuk karet remah (crumb rubber) dari SIR20 yang harganya murah. Untuk merubah ini tampaknya sulit karena akan merubah peralatan pabrik yang nilai investasinya sangat mahal. Hanya PBN dan PBS yang dapat membuat produk dengan nilai lebih tinggi, yaitu RSS.

Untuk kakao, hasil petani masih dalam bentuk biji yang tidak difermentasi karena tidak adanya insentif harga yang memadai dari pihak pembeli (pedagang atau eksportir). Di AS, biji kakao asal Indonesia dikenakan diskon harga sekitar US$90-150/ton (atau Rp 825-1.350/kg dengan nilai tukar Rp 9.200/US$) karena tidak difermentasi, padahal jika difermentasi bisa mendapat premi harga sekitar US$200-285/ton (atau Rp 920-2.625/kg). Untuk fermentasi, petani (kasus di Sulawesi Tenggara) sebenarnya hanya

34

minta tambahan harga Rp 1.000/kg (Hadi et al., 2004). Dengan harga premi tersebut, eksportir sebenarnya lebih untung membeli dan menjual kakao biji hasil fermentasi. Seharusnya eksportir dapat memenuhi tuntutan petani. Namun negara konsumen kakao Indonesia saat ini memang sangat diuntungkan dengan harga murah, di-mana kakao Indonesia hanya sebagai bahan pencampur (blending), dengan kakao kualitas baik dari negara lain, untuk mendapatkan standar mutu yang sesuai untuk kebutuhan pabrik pengo-lah di negara-negara konsumen tersebut.

Untuk gula, pabrik gula yang ada banyak yang sudah tua, sehingga perlu direhabilitasi agar lebih tinggi rendemen gulanya, dan lebih efisien biaya penggilingannya. Perlu juga pendi-rian pabrik baru dengan teknologi yang lebih maju dan lebih efisien. Namun untuk itu perlu dukungan dana karena pembangunan pabrik ba-ru memerlukan dana sangat besar yaitu sekitar Rp 1 trilyun/ unit pabrik.

Masalah kedua adalah pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% terhadap hasil petani yang dijual ke pabrik pengolahan. Untuk kakao, kebijakan ini menyebabkan terham-batnya perkembangan industri pengolahan kakao (Hadi et al., 2004). Banyak pabrik pengolahan kakao di Indonesia yang berhenti beroperasi (50%), dan yang masih hidup hanya beroperasi 40-60%, dari kapasitas terpasangnya sebagai akibat kekurangan bahan baku karena harganya terlalu mahal (Puslit Koka Indonesia, 2006). Sebagian pabrik direlokasi ke Malaysia, padahal produksi kakao negara ini merosot tajam karena serangan PBK. Faktor penyebab terjadinya relo-kasi pabrik tersebut tidak lain adalah lebih mu-rahnya harga kakao biji asal Indonesia di negara itu karena kakao biji yang diekspor Indonesia tidak dikenakan PPN. Jika PPN dihapus, maka seluruh pabrik pengolahan akan bekerja pada kapasitas penuh dan penerimaan pemerintah dari pajak penghasilan (PPh) sebenarnya akan lebih besar daripada dari PPN (Dradjad, 2006a).

Pengenaan PPN pada sektor pertanian dan agroindustri, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini, memang merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah. Namun, penerimaan PPN dari produk agroindustri sebenarnya mem-bebani cash flow industri, bersifat diskriminatif, menimbulkan ketidakpastian hukum, serta men-ciptakan iklim usaha yang tidak kompetitif dan

tidak kondusif2. Sebagai contoh, industri pengolah biji kakao pada tahun 2003 terbebani cash flow dalam bentuk cost of money sebesar 100.000 ton x Rp 15 juta x 3/12 x 20% x 4 = Rp 300 milyar. Pengenaan PPN sebesar 10% terbukti memperburuk kinerja dan daya saing lima produk perkebunan Indonesia, yaitu minyak sawit, karet, kakao, kopi, dan teh. Dampak pengenaan PPN sebesar 10% pada lima produk perkebunan tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

1) Hasil simulasi historis 2001-2004 (PPN 10% versus 0%) menunjukkan bahwa subsektor perkebunan Indonesia kehilangan nilai produksi dan devisa, masing-masing sebesar Rp 5,1 milyar dan US$ 10,245 juta. Kehilangan nilai tambah sebesar Rp 1.242.540 juta/th, sedangkan penerimaan negara dari PPN hanya Rp 543.119 juta/th. Dengan kata lain, kehilangan nilai tambah tersebut sebesar 2,29 kali lipat penerimaan dari PPN. Disamping itu juga terjadi penurunan daya saing absolut kelima produk perkebunan tersebut di pasar dunia, dengan rata-rata per tahun sebesar 5,06% untuk kakao, 0,76% untuk kopi, 0,22% untuk minyak sawit, 0,28% untuk karet, dan 1,26% untuk teh. Hal yang sama terjadi penurunan daya saing relatif Indonesia terhadap negara-negara pesaing ekspor, yaitu Pantai Gading untuk kakao, Brazil untuk kopi, Malaysia untuk minyak sawit, Malaysia dan Thailand untuk karetdan India untuk teh.

2) Hasil simulasi peramalan tahun 2005-2008 menunjukkan bahwa penurunan pengenaan PPN dari 10% menjadi 0% akan berdampak sebagai berikut:

a. Mencegah kehilangan nilai produksi dan devisa masing-masing sekitar Rp 6.426 juta/th dan US$ 11,241 juta/th. Kehilangan nilai tambah yang dapat diperoleh dari pengenaan PPN 0% adalah Rp 1,432 trilyun/th, yang jauh lebih besar dibanding penerimaan dari PPN yang hanya sebesar Rp 655,1 milyar/th atau 2,19 berbanding 1. Disamping itu, terjadi kenaikan daya saing absolut rata-rata per tahun, yaitu 4,56% untuk kakao, 0,79% untuk kopi, 0,20% untuk minyak sawit, 0,31% untuk karet, dan 1,42%

2 CRPI (2006). Makalah Bahasan dalam lokakarya ini.

35

untuk teh. Kenaikan daya saing absolut tersebut juga diikuti dengan kenaikan daya saing relatif terhadap negara-negara pesaing ekspor, yang ditunjuk-kan adanya penurunan daya saing negara-negara pesaing ekspor, yaitu Pantai Gading untuk kakao, Brazil untuk kopi, Malaysia untuk minyak sawit, Malaysia dan Thailand untuk karet, dan India untuk teh.

b. Secara politis, pengenaan PPN tidak mendapat dukungan luas di kalangan petani dan pelaku bisnis pertanian yang tergabung dalam berbagai asosiasi pro-dusen dan pengekspor. Berbagai perma-salahan di atas sudah sering disampai-kan oleh para pengekspor produk per-kebunan dan instansi pemerintah, yang berada dalam lingkup Departemen Per-industrian dan Perdagangan, dan Depar-temen Pertanian. Berbagai asosiasi pro-dusen produk perkebunan juga telah beberapa kali mengajukan keberatan atas pengenaan PPN pada produk agro-industri.

c. Secara ekonomi, pengenaan PPN me-nimbulkan beban pajak bagi jutaan petani dan ribuan UKM yang tidak dike-tahui jumlahnya. Untuk produk agro-industri yang sebagian besar diekspor, termasuk produk primer perkebunan, pengenaan PPN menimbulkan inefisien-si. Pembayaran ke depan dan kesulitan restitusi menimbulkan beban biaya bagi pengekspor. Keadaan ini mengakibatkan PPN sama dengan pajak ekspor. Penge-naan PPN juga tidak netral terhadap perdagangan domestik dan internasional. Jumlah beban pajak yang ditanggung konsumen dan yang terkandung dalam harga produk agroindustri yang diekspor tidak dapat dihitung secara pasti.

Masalah ketiga adalah bahwa negara-negara maju pengimpor mengenakan kebijakan eskalasi tarif, yaitu menaikkan tingkat tarif secara progresif dengan makin tingginya tingkat trans-formasi produk. Tujuannya adalah untuk melin-dungi industri pengolahan dalam negeri. Kebija-kan ini juga menghambat perkembangan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) di Indonesia, terutama pada kakao.

Khusus untuk kelapa sawit, CPO Indonesia di pasar dunia terkena kampanye negatif dari negara pesaing karena mutunya di bawah standar internasional (Darmosarkoro, 2006). Dalam hal ini, CPO Indonesia hanya mempunyai kandungan beta karoten 450 ppm dan DOBI 2,6, sedangkan angka standar nasional masingmasing adalah 500 ppm dan 2,8. Kekurangan ini menyebabkan daya saing CPO Indonesia lebih rendah dibanding negara pesaing (Malaysia, dll). Dampak negatifnya adalah ekspor CPO Indonesia terkena diskon harga 10% sehingga negara menderita kerugian sebesar Rp 6,3 triliun (menurut harian Medan Bisnis 19 Februari 2007, ekspor tahun 2007 sebesar 11,7 juta ton dengan harga Rp 5.412/kg).

Upaya Pemerintah

Upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah on-farm tersebut untuk tahun 2007 adalah investasi/pembinaan dan regulasi untuk masing-masing komoditas, yang terbagi menjadi tiga program, yaitu (a) revitalisasi perkebunan untuk kelapa sawit, karet, dan kakao; (b) akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas tebu; dan (c) pengembangan jarak pagar (Ditjenbun, 2006a).

Revitalisasi Perkebunan

Untuk kelapa sawit, upaya pemerintah adalah pembinaan/investasi dan regulasi. Pembinaan/investasi mencakup penerapan teknik budidaya yang baik, perluasan areal dan peremajaan tanaman tua/tidak produktif, penguatan kelembagaan petani, perbaikan/pembangunan infrastruktur dan pemberian subsidi bunga untuk kredit investasi sebesar 10%/th kepada petani. Sedangkan regulasi berupa peraturan yang kondusif untuk mendukung iklim investasi, dan pembentukan Dewan Sawit Indonesia. Upaya oleh masyarakat adalah perusahaan pengelola PKS untuk mengintegrasikan pendirian PKS dengan pengembangan kelapa sawit rakyat, pembelian TBS petani dengan harga wajar, integrasi kebun dengan ternak, dan diversifikasi produk hilir. Adapun pihak perbankan menyediakan kredit untuk investasi. Sasaran nasional pada tahun 2007 adalah perluasan areal 350.000 ha dan peremajaan tanaman tua 1.700 ha (tetapi tidak jelas mana yang untuk PR, PBN dan PBS), dan tersedianya kredit perbankan sebesar Rp 3,7

36

triliun. Kontribusi APBN untuk itu adalah pem-berian subsidi bunga kredit investasi sebesar Rp 190,3 milyar, pembinaan/pendampingan Rp 40,8 milyar, pembangunan infrastruktur berupa ser-tifikasi lahan sebanyak 87.500 persil, pemba-ngunan jalan kebun sepanjang 19.250 km. Untuk mendorong produksi dan ekspor, pajak ekspor (PE) untuk CPO diturunkan dari 3% menjadi 1,5%.

Untuk karet, upaya pemerintah adalah pembinaan/invetasi dan regulasi. Pembinaan/ investasi terdiri dari penerapan teknik budidaya yan baik, penguatan kelembagaan petani, per-baikan infrastruktur, dan pemberian kredit inves-tasi dengan bunga bersubsidi sebesar 10%/th kepada petani. Regulasi terdiri dari peraturan yang kondusif, misalnya penghapusan restribusi/ pajak yang memberatkan dan pembentukan Dewan Karet Indonesia. Upaya oleh masyarakat adalah oleh pabrik crumb rubber yang terinteg-rasi dengan kebun karet rakyat dan perbankan yang menyediakan kredit. Sasaran nasional pada tahun 2007 adalah perluasan areal 20.000 ha peremajaan tanaman tua 90.000 ha (termasuk sasaran 2006 yang belum tercapai), serta kredit perbankan Rp 1,2 triliun. Kontribusi APBN untuk itu adalah subsidi bunga kredit investasi sebesar Rp 69,92 milyar, dana pembinaan Rp 8 milyar, serta pembangunan infrastruktur berupa sertifi-kasi lahan sebanyak 50.000 persil dan pemba-ngunan jalan kebun 440 km.

Untuk kakao, upaya yang akan dilakukan pemerintah adalah pembinaan/investasi dan re-gulasi. Pembinaan/investasi terdiri dari penera-pan teknik budidaya yang baik, perluasan areal, peremajaan dan rehabilitasi tanaman tua/rusak, penguatan kelembagaan petani, perbaikan infra-struktur, pengendalian OPT, pengembangan usa-ha melalui kemitraan, dan pemberian kredit investasi dengan bunga bersubsidi sebesar 10%/th kepada petani. Adapun regulasi terdiri dari penerapan SNI, pelarangan perdagangan kakao nonfermentasi pada daerah tertentu, dan pembentukan Dewan Kakao Indonesia. Upaya oleh masyarakat adalah perusahaan pengelola yang mengitegrasikan kegiatannya dengan ke-bun kakao rakyat, dukungan benih dan sarana produksi, insentif harga terhadap kualitas yang baik, dan pengembangan industri hilir. Sasaran nasional untuk tahun 2007 adalah perluasan areal 18.000 ha, peremajaan tanaman tua 13.000 ha, dan rehabilitasi kebun 8.000 ha (namun tidak jelas mana yang untuk PR, PBN

dan PBS), serta kredit perbankan Rp 807 milyar. Kontribusi APBN untuk itu adalah subsidi bunga kredit investasi sebesar Rp 64,64 milyar, dana pembinaan Rp 15,60 milyar, dan perluasan Sumbar untuk petani miskin Rp 10 milyar.

Akselerasi Peningkatan Produksi dan Produktivitas Tebu/Gula

Upaya pemerintah terdiri dari investasi/pembinaan dan regulasi. Kegiatan investasi/pembinaan meliputi: (a) pembangunan kebun bibit berjenjang seluas 3.430 ha; (b) bongkar ratoon seluas 128.165 ha, termasuk perguliran; (penumbuhan dan penguatan Kelompok Petani Tebu Rakyat (KPTR); (d) pengendalian OPT; (dukungan infrastruktur dan sarana produksi pertanian; dan (f) pemberian subsidi bunga Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Sementara regulasi terdiri dari (a) pengaturan impor gula, (Pengaturan harga, dan (c) kejelasan status P3GI. Disamping pemerintah, diharapkan ada juga upaya masyarakat, yaitu (a) pabrik gula atau perusahaan gula untuk melakukan pem-binaan areal tebunya sendiri seluas 170.632 ha dan rehabilitasi pabrik gula; dan (b) usaha swadaya tebu rakyat mandiri seluas 132.484 ha. Sasaran nasional pada tahun 2007 adalah total luas areal 400.505 ha tebu, dengan produksi 2,66 juta ton (namun tidak jelas mana yang untuk PR dan PBN atau PBS), dan kapasitas giling pabrik 207.000 ton TCD. Untuk itu, kontribusi APBN adalah untuk bongkar ratoon dan Kebun Tebu Giling seluas 22.757 ha ditambah guliran seluas 105.408 ha, dan untuk pembibitan 3.430 ha. Untuk mengamankan harga dalam negeri kebijakan proyeksi akan tetap dilanjutkan.

Pengembangan Jarak Pagar

Upaya pemerintah untuk tahun 2007 adalah investasi/pembinaan dan regulasi. Investasi/pembinaan adalah memacu pengembangan klon unggul, pembangunan kebun induk, pengembangan tanaman, sosialisasi, memacu ristek (benih, budidaya dan pengolahan), dan pengembangan industri pengolahan biodiesel. Sedangkan regulasi adalah kepastian pasar dan harga. Upaya oleh masyarakat adalah perusahaan pengelola untuk mendirikan pabrik biodiesel dan membeli hasil petani dengan harga pembelian yang wajar. Sasaran nasional untuk tahun 2007 adalah luas areal 341.000 ha dan produksi

37

biji 341.000 ton (tetapi tidak jelas mana yang untuk PR, PBN, dan PBS). Kontribusi APBN adalah pembibitan 50 hektar, penanaman 5.000 ha, dan pembiayaan Rp 21,2 milyar.

Prospek 2007

Faktor-faktor Pendorong Perkembangan

Prospek suatu komoditas ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor yang mendukung pengembangan produksi dan faktor yang men-dukung peningkatan permintaan. Di Indonesia, faktor-faktor yang mendukung pengembangan produksi adalah tersedianya sumberdaya alam (tanah dan air) yang luas dan iklim yang sesuai, tenaga kerja yang berlimpah dan relatif murah, tenaga ahli yang cukup banyak dan kebijakan pemerintah. Faktor-faktor yang mendukung per-mintaan terdiri dari faktor domestik dan faktor eksternal. Faktor domestik adalah meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Faktor ekternal adalah permintaan dari negara-negara lain dan harga dunia. Harga produk yang terbentuk dari kekuatan permintaan dan pena-waran merupakan indikator mengenai prospek suatu komoditas ke depan.

Perubahan harga ekspor minyak sawit, karet dan karet, serta harga gula dalam negeri pada tahun 2007 dibanding tahun 2006 diper-lihatkan pada Tabel 5. Terlihat bahwa untuk ta-hun 2007 harga ekspor minyak sawit, kakao, dan karet diproyeksikan akan meningkat seperti ter-lihat pada Tabel 5. Tabel 5. Trend Harga Ekspor untuk Minyak Sawit,

Kakao dan Karet, serta Harga Dalam Negeri untuk Gula Tahun 2006-2007 (%)

Komoditas Trend Harga (%) Komoditas Trend

Harga (%)

Minyak sawit 12,07 Kakao 8,42

Karet 15,99 Gula 9,99 Keterangan: Harga selain gula adalah harga ekspor

dalam rupiah; untuk gula adalah harga patokan.

Untuk jarak pagar, pasar dan harga biji masih merupakan wacana karena belum meru-pakan suatu komoditas. Namun prinsip ekonomi yang harus dipegang dalam menentukan harga biji jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel adalah harga jual biodieselnya maksimum harus sama dengan harga solar tanpa subsidi, karena

kedua jenis BBM ini saling mensubstitusi. Harga biodiesel tidak mungkin lebih mahal atau lebih murah daripada harga solar tanpa subsidi (Hadi et al., 2006).

Harga solar tanpa subsidi ditentukan oleh harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia (Indonesia Crude Price, ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta biaya dan konversi minyak mentah ke solar. Harga biji jarak pagar tergantung pada harga solar tanpa subsidi tersebut, konversi minyak jarak kasar dari biji, biaya ekstraksi minyak jarak kasar, biaya konversi minyak jarak kasar menjadi biodiesel, biaya esterifikasi-transesterifikasi (estrans) minyak jarak kasar menjadi biodiesel, serta biaya distribusi dan keuntungan pengusaha biodiesel. Pada harga minyak mentah Indonesia US$70/barel dan nilai tukar Rp 9.183/US$, konversi biji menjadi minyak jarak kasar 25%, biaya ekstraksi Rp 242/kg biji, konversi mintak jarak kasar ke biodiesel 90%, biaya estrans Rp 1.500/liter biodiesel, serta biaya distribusi dan keuntungan pengusaha Rp 500/liter biodiesel, maka harga biji jarak pagar di tingkat petani sangat rendah yaitu Rp 453/kg (Tabel 6). Jika konversi biji ke minyak jarak kasar bisa mencapai 30% maka harga biji bisa mencapai Rp 592/kg. Dengan harga ini, tidak ada usahatani jarak pagar yang secara finansial feasible, walaupun petani diberi subsidi benih 100%. Tabel 6. Harga Bahan Baku Biji Jarak Pagar per Kg

Berdasarkan Harga Minyak Mentah Dunia, Nilai Tukar Rupiah dan Konversi Biji-Minyak Jarak Kasar, Tahun 2006

Konversi Biji-Minyak

Kasar Uraian 25% 30% 35%

Harga biji tanpa subsidi solar (Rp/kg):

1. US$60/barel, NT Rp 9.183 309 419 530

2. US$70/barel, NT Rp 9.183 453 592 731

3. US$80/barel, NT Rp 9.183 597 765 933Harga biji dengan subsidi solar (Rp/kg) 276 379 483

Sumber: Hadi et al (2006).

Pemerintah telah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam RAPBN 2007 sebesar US$65/barel dengan produksi 1,0juta barrel per hari (sesuai dengan usulan RAPBN 2007 yang disampaikan dalam pidato Presiden RI di depan sidang pleno DPR RI

38

tanggal 16 Agustus 2006). Dengan harga ini, sesuai dengan hasil analisis dimuka, hanya perusahaan yang bisa bergerak dalam pengem-bangan jarak pagar untuk biodiesel, sedangkan petani tidak akan ada yang berminat karena harga biji akan terlalu rendah sehingga usaha-taninya tidak akan feasible. Harga biji jarak pagar akan jatuh lagi dan usahatani menjadi lebih tidak feasible lagi. Pengembangan jarak pagar oleh petani (rakyat) akan sangat terhambat oleh harga biji jarak pagar yang terlalu rendah dan belum jelasnya pihak yang akan membeli, disamping terlalu kecilnya skala penguasaan lahan.

Upaya yang paling mungkin dilakukan adalah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pengusaha untuk membuka kebun jarak pagar, yang kemudian mengolahnya sendiri menjadi biodiesel dan menggunakannya untuk keperluan perusahaan (pabrik) sendiri. Dengan cara ini, pengusaha cukup hanya memfokuskan perhatiannya pada harga pokok produksi biji jarak pagar, serta tidak perlu memperhitungan biaya distribusi biodiesel dan keuntungan pro-sesor. Harga pokok produksi biodiesel adalah sekitar Rp 4.584/l biodiesel untuk konversi biji ke minyak jarak kasar 25% dan Rp 4.070/l untuk konversi 30% (Tabel 7).

Dengan harga solar tanpa subsidi Rp 5.086/l, maka pengusaha biodiesel yang mem-

produksi biji jarak pagar sendiri dapat memperoleh penghematan biaya bahan bakar yang cukup besar, yaitu Rp 503/l dan Rp 1.017/l untuk masing-masing konversi biji ke minyak jarak kasar 25% dan 30%. Yang penting, pengusaha diberikan insentif agar bersedia untuk melakukan investasi, antara lain pemberian izin usaha secara mudah dan cepat, pembebasan pajak untuk sementara, pembebasan bea masuk untuk impor barang modal (mesin pengolah), penyediaan lahan, infrastruktur, dan lain-lain.

Proyeksi Luas Areal, Produktivitas dan Produksi

Proyeksi luas areal, produktivitas dan produksi kelapa sawit, kakao, karet, dan tebu diperlihatkan pada Tabel 8. Areal kelapa sawit tetap didominasi oleh PBS, sedangkan untuk karet, kakao dan tebu tetap didominasi oleh PR. Jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2006, luas areal, produktivitas dan produksi semua tipe manajemen untuk kelapa sawit, kakao dan tebu akan meningkat pada tahun 2007. Untuk karet luas areal, produktivitas dan produksi PBN akan menurun, sedangkan untuk PR dan PBS akan meningkat.

Proyeksi areal kelapa sawit tersebut lebih rendah daripada target program pemerintah

Tabel 7. Biaya Produksi per Liter Biodiesel dan Penghematan Biaya Bahan Bakar dengan Bahan Baku Biji Jarak

Pagar Produksi Sendiri oleh Perusahaan Besar pada Harga BBM Dunia US$70/barel, Nilai Tukar Rp 9.183/US$ dan Konversi Biji-Minyak Jarak Kasar 25%, 30% dan 35%.

Biaya Produksi Biji Biaya Pengolahan

Konversi Biji-Minyak Jarak Kasar Per kg

(Rp)

Per liter Biodiesel

(Rp)

Ekstraksi (Rp/lt

Biodisel)

Estrans (Rp/lt

Biodisel)

Total Biaya (Rp/lt

Biodisel)

Harga Solar DN

Tanpa Subsidi (Rp/lt)

Saving (Rp/lt

Biodisel)

25% 558 2.010 1.074 1.500 4.584 5.086 50330% 558 1.675 895 1.500 4.070 5.086 1.01735% 558 1.675 767 1.500 3.942 5.086 1.145

Sumber: Hadi et al (2006) Tabel 8. Proyeksi Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Komoditas Kelapa Sawit, Karet, Kakao dan Tebu Tahun

2007.

Komoditas Luas Areal (ha)

Produktivitas (kg/ha)

Produksi (ton)

Kelapa sawit 5.980.861 4.106 16.671.040 Karet 3.277.182 947 2.390.891 Kakao 1.016.644 1.014 694.834 Tebu 433.429 6.797 2.946.104

39

yaitu perluasan 350.000 ha pada tahun 2007, sedangkan menurut proyeksi ini peningkatan areal hanya 205.356 ha. Untuk karet, proyeksi ini juga lebih rendah daripada target program yaitu perluasan 20.000 ha pada tahun 2007, sedang-kan menurut proyeksi ini areal malahan akan menurun 1.505 ha. Demikian pula untuk kakao, proyeksi ini lebih rendah daripada target prog-ram, yaitu perluasan 18.000 ha pada tahun 2007; sedangkan menurut proyeksi ini peningkatan areal hanya 12.174 ha. Untuk tebu, proyeksi areal lebih tinggi daripada target program peme-rintah 400.505 ha, produksi 2,66 juta ton, dan produktivitas 6,642 kg/ha/th.

Untuk jarak pagar, proyeksi luas areal, produktivitas, dan produksi belum dapat dibuat, karena data belum terdokumentasikan secara baik. Namun dari uraian dimuka dapat di-nyatakan bahwa pengembangan jarak pagar untuk biodiesel sebaiknya diberikan kesempatan lebih dahulu kepada pengusaha, sedangkan untuk petani perlu menunggu harga biji yang cukup baik sehingga usahataninya layak untuk dijalankan.

Proyeksi Ekspor dan Impor

Proyeksi volume dan nilai ekspor minyak sawit, karet, dan kakao, serta impor gula di-tunjukkan pada Tabel 9. Volume dan nilai ekspor minyak sawit, kakao, dan karet pada tahun 2007 diproyeksikan akan meningkat dibanding tahun 2006, sedangkan volume dan nilai impor gula diproyeksikan akan menurun. Tabel 9. Proyeksi Volume dan Nilai Ekspor Minyak

Sawit, Kakao, dan Karet serta Impor Gula Tahun 2007

Komoditas Volume (ton)

Nilai (US$'000)

Ekspor: Minyak sawit 11.556.879 6.485.855 Kakao 401.704 878.680 Karet 2.168.716 4.030.074

Impor: Gula 218.383 64.064

Proyeksi Konsumsi

Proyeksi konsumsi hanya dilakukan untuk gula. Pada tahun 2007, konsumsi gula (konsumsi langsung dan kebutuhan industri)

akan meningkat menjadi 2.946.104 ton. Dengan produksi yang diproyeksikan akan meningkat menjadi 3.048.237 ton, maka defisit neraca gula pada tahun 2007 diproyeksikan akan turun menjadi hanya 102.133 ton. Dengan jumlah defisit yang akan terus menurun cepat, diharapkan swasembada gula pada tahun 2008 atau 2009 sudah dapat tercapai, baik untuk konsumsi langsung maupun untuk industri.

Bahan Bakar Nabati (Biofuel) dan Lingkungan Hidup

Bahan Bakar Nabati (BBN) sedang dan akan dikembangkan di Indonesia. Sumber bahan baku utama adalah kelapa sawit dan jarak pagar untuk memproduksi biodiesel sebagai pengganti solar, serta tebu dan ubi kayu untuk memproduksi bio-ethanol sebagai pengganti premium. Namun yang paling siap dalam waktu dekat ini adalah bodiesel asal minyak sawit, sedangkan yang paling belum siap adalah jarak pagar.

Menurut Menteri Pertanian RI, Indonesia merencanakan akan mengembangkan 3 juta ha areal baru kelapa sawit selama 5 tahun kedepan untuk memenuhi permintaan akan biodiesel yang meningkat. Sebanyak 2 juta ha di Kalimantan dan 3 juta di daerah lain. Ditargetkan tidak lama lagi Indonesia akan menjadi negara produsen terbesar minyak sawit di dunia. Para analis BBN mengatakan bahwa BBN akan menjadi faktor pendorong terbesar bagi pertumbuhan permintaan akan minyak sayur, terutama minyak sawit yang merupakan minyak sayur termurah dan termudah dikonversi menjadi bahan bakar.

Pemerintah Indonesia juga akan memberikan keringanan pajak kepada investor dalam usaha biodiesel, antara lain (1) pemberian tax allowance 30% dari nilai investasinya; (2) pemberian kemudahan atau keringanan bea masuk untuk barang modal; dan (3) menyediakan dana Rp 13 triliun dari APBN 2007 untuk pembangunan infrastruktur Rp 10 triliun, subsidi bunga Rp 1 triliun, dan pembentukan lembaga pembiayaan pengembangan BBN Rp 2 triliun. Investor asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang usaha biodiesel sudah banyak (antara lain Samsung, LBL dan CMC dari Korea; Mitsui, Hitochu dan Kamimatsu dari Jepang; dan Greenergy dari India) dan diperkirakan mencapai nilai investasi Rp 15-20 triliun yang diharapkan akan masuk pada tahun 2007. Investor domestik yang akan masuk dalam bisnis

40

biodiesel antara lain adalah Grup Bakrie, Grup Astra dan PTPN. US Trade Development Agency menyediakan grant kepada Indonesia untuk pe-ngembangan biodiesel di Indonesia. Negara lain yang sudah mulai lebih awal adalah Malaysia dan Singapura, yang memberikan dukungan sa-ngat kondusif bagi pengembangan industri bio-diesel di negara tersebut.

Untuk pengembangan BBN dibutuhkan dana Rp 200 triliun, yang 50% di antaranya untuk budidaya bahan baku (on farm), serta 50% untuk pengolahan, pemasaran, dan lain-lain (off farm). Diharapkan pada tahun 2010 BBN bisa meng-gantikan 10% dari konsumsi BBM konvensional, menciptakan lapangan kerja baru 3 juta orang, penghematan devisa US$ 10 milyar, dan peman-faatan lahan kritis seluas sekitar 5 juta ha.

Namun perlu diingat bahwa penggunaam minyak sawit untuk biodiesel jangan sampai mengganggu pasokan untuk kebutuhan minyak sawit dalam negeri dan ekspor, baik untuk minyak goreng maupun lainnya. Jika pasokan minyak goreng dalam negeri terganggu maka akan terjadi gejolak harga komoditas ini. Demi-kian pula jika pasokan ekspor terganggu, maka reputasi Indonesia akan menjadi buruk dan tidak lagi dapat dipercaya sebagai eksportir. Untuk itu, pemerintah telah merencanakan untuk mengem-bangkan dedicated area kelapa sawit untuk biodiesel.

Tebu juga dapat digunakan untuk mem-buat ethanol, yaitu cairan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Gasohol, yang merupakan campuran 10-25% ethanol dan gasolin (premium) telah dijual di banyak negara sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan. Ethanol dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar otomotif untuk mesin yang telah dirancang khusus untuk itu. Di Brazil, sekitar 40% dari mobil dirancang untuk menggu-nakan ethanol dan sisanya menggunakan gaso-hol sebagai dampak dari Brazilian Fuel Alcohol Program, salah satu projek energi biomasa komersial terbesar di dunia. Areal seluas sekitar 5 juta ha ditanami tebu. Hingga saat ini alkohol tidak mempunyai pasar internasional, tetapi da-pat menjadi sebuah komoditas.

Pada tahun 2007, biopremium berupa bioethanol sudah bisa digunakan di Indonesia. Sejauh ini penjualan jenis BBM ini oleh Per-tamina baru terbatas di Malang (Jawa Timur)

dengan harga yang sama dengan premium fosil yaitu Rp 4.500/l. Biopremium ini merupakan campuran bioethanol 5% dan premium 95% (disebut E5).

Namun akhir-akhr ini tuntutan terhadap pengembangan industri sawit berwawasan lingkungan gencar disuarakan oleh LSM. Misalnya, Principle and Criteria for Sustainable yang saat ini sedang disosialisaikan oleh Roundtable on Sustainable on Palm Oil (RSPO). Masalahnya adalah bahwa permintaan minyak sawit akan terus meningkat dan diperkirakan akan meningkat lebih cepat lagi, terutama untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel yang dipromosikan sebagai bentuk energi yang terbarukan yang dapat mengurangi emisi CO2 ke udara secara signifikan. Namun ada dampak terhadap lingkungan dari industri minyak sawit, yaitu pembabatan hutan tropis (reinforest) yang dapat mengurangi habitat bagi spesies yang terancam punah, seperti orang utan di Kalimantan dan Sumatera, serta harimau dan badak sumatera. Jika tidak dikelola dengan asas keberlanjutan, dalam waktu 12 tahun spesies-spesies itu diperkirakan akan punah.

Selain itu, ada juga keinginan pihak tertentu untuk mengkonversi lahan rawa, yang dapat mengeringkan gambut, yang tidak hanya melepaskan karbon di permukaan yang ada tanamannya, tetapi juga terjadi proses oksidasi karbon pada cadangan gambut dimana 5.000 10.000 tahun karbon bisa terikat dalam tanah. Pengeringan gambut juga rawan terhadap kebakaran hutan dan ada catatan yang jelas untuk Indonesia, dimana cara pembakaran digunakan untuk pembukaan lahan. Dikatakan bahwa biodiesel bukan sumberdaya yang sustainablejika ia berasal dari kelapa sawit yang ditanam dengan membuka hutan topis secara tebangbakar (slash and burn). Oleh karena itu, pemanfaatan hutan tropis untuk usaha perkebunan harus dilihat pada usaha untuk peningkatkan produktivitas lahan-lahan bekas HPH yang sudah tidak produktif lagi dan potensial untuk usaha perkebunan. Luas lahan yang sesuai untuk perkebunan di Indonesia lebih dari 20 juta ha, namun akses untuk usaha perkebunan masih menjadi kendala besar, terutama bagi perkebunan besar. Untuk itu diperlukan kebijakan yang jelas dan tegas dalam pemanfaatan lahan-lahan tersebut.

41

Tantangan lainnya adalah adanya peneli-tian dan kebijakan pemerintah kearah prioritas penggunaan kelapa sawit transgenik guna me-ningkatkan produktivitas tanaman dan adanya subsidi pemerintah (Malaysia sebesar RM 1.000/ ha) untuk percepatan peremajaan tanaman dengan menggunakan bibit sawit hasil GMO. Dari aspek kesehatan, produk minyak sawit yang dihasilkan dari tanaman sawit GMO adalah berbahaya.

Diversifikasi Usahatani

Untuk meningkatkan pendapatan petani, kelapa sawit dapat diintegrasikan dengan ternak (Duran, 1995). Pakan untuk ternak adalah hijau-an yang tumbuh di antara pepohonan kelapa sawit dan hasil sampingan pabrik minyak sawit yaitu bungkil sawit dan daun kelapa sawit, yang kaya akan nutrisi dan bermutu tinggi. Bungkil sawit yang mengandung 7,7-18,7% protein (ter-gantung pada metode pengolahan) sangat cocok untuk usaha penggemukan ternak (Jelan et al., 1986). Ternak sapi potong yang diberi pakan 6-8 kg bungkil sawit ditambah dengan sedikit mineral dan vitamin dapat menghasilkan rata-rata pe-ningkatan berat badan ternak 0,7-1,0 kg/hari/ ekor. Daun kelapa sawit yang diperoleh dari pemangkasan, mengandung 15% protein kasar yang sangat potensial untuk ruminansia. Namun kurang ekonomis jika tidak diubah dalam bentuk pelet. Pelet daun sawit berdiameter 9 mm dan panjang 3-5 cm dengan 33,3% total nutrisi yang dapat dicerna dapat meningkatkan berat badan ternak 0,93kg/hari/ekor (Hosan, 1995; Asada et al., 1991).

Hijauan yang berada di sekitar pohon kelapa sawit dapat dimakan langsung oleh ternak (grazing). Tanaman kelapa sawit yang sudah dewasa dapat dijarangkan untuk memberi ke-sempatan bagi rumput untuk tumbuh tanpa mengurangi produksi per hektar karena produksi per pohon meningkat. Tingkat penggembalaan ternak (stocking rate) adalah sekitar 0,3-3,0 satuan ternak (ST)/ha untuk sapi dan 2,0-14,0 ST/ha untuk domba. Ternak harus direlokasi sesudah 60% hijauan dimakan dengan tujuan untuk penyiangan dan regenerasi hijauan. Rotasi penggembalaan adalah 6-8 sekali seminggu. Di Kolombia, kelapa sawit dapat diintegrasikan de-ngan babi, domba dan ayam ras pedaging secara baik dan menguntungkan (Duran, 1995; Hutagalung, 1985).

PENUTUP

Kinerja pada tahun 2006 dibanding tahun 2005 menunjukkan bahwa kelapa sawit, kakaodan tebu mengalami peningkatan luas areal, sedangkan karet sedikit mengalami penurunan. Produksi dan produktivitas keempat komoditas tersebut juga meningkat (terutama tebu). Selanjutnya, volume dan nilai ekspor tiga komoditas (kelapa sawit, kakao, dan karet) meningkat, sedangkan volume dan nilai impor gula menurun karena meningkatnya produksi gula yang cepat. Konsumsi gula meningkat, tetapi defisit produksi menurun karena peningkatan produksi lebih cepat dibanding peningkatan konsumsi. Diharapkan pada tahun 2008 atau 2009, Indonesia sudah dapat mencapai swasembada gula nasional.

Untuk tahun 2007, pemerintah telah membuat program revitalisasi untuk kelapa sawit, kakao dan karet, program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas tebu, serta pengembangan BBN dari jarak pagar, dengan dukungan dana yang sangat besar. Prospek keempat komoditas pada tahun 2007 akan lebih baik lagi dibanding pada tahun 2006 karena terjadi peningkatan harga output.

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih serius, antara lain (a) pasokan minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor jangan sampai terganggu, baik untuk minyak goreng maupun lainnya (Dradjad, 2006c)(b) mendorong proses produksi CPO yang mengandung beta karoten dan DOBI minimal sama dengan standar internasional, yaitu masing-masing 550 ppm dan 2,8; (c) pengusaha/perusahaan besar perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menanam jarak pagar dan mengolah hasilnya menjadi biodiesel, sedangkan petani perlu dirangsang melalui pemberian subsidi benih 100%; (d) kebijakan promosi dan proteksi untuk mengembangkan subsektor perkebunan yang selama ini ditempuh perlu dilanjutkan, dan Indonesia dapat menggunakan Special Safeguard (SSG) dan Special Safeguard Mechanism(SSM) untuk melindungi industri gulanya dengan meningkatkan tarif impornya jika harga gula jatuh(Sawit et al., 2006); (e) PPN perlu diturunkan secara bertahap agar daya saing produk perkebunan meningkat dan penciptaan nilai tambah jauh lebih besar dibanding penerimaan pemerintah dari PPN; (f) program revitalisasi kelapa sawit, kakao dan karet, serta program akselerasi

42

peningkatan produksi dan produktivitas tebu, dan tahun 2007 perlu diimplementasikan dengan dukungan pendanaan yang benar-benar mema-dai; (g) dalam melakukan perluasan areal per-kebunan sebaiknya tidak membuka hutan tropis tetapi memanfaatkan areal hutan bekas HPH yang sudah ditinggalkan dan mempertimbangkan kelestarian sumberdaya alam; (h) posisi P3GI perlu diperjelas karena perannya sangat penting dalam menghasilkan bibit unggul tebu dan teknologi lainnya agar produktivitas tebu/gula lebih tinggi lagi; dan (i) untuk meningkatkan pendapatan petani pekebun perlu dilakukan diversifikasi usahatani melalui integrasi kelapa sawit dan ternak ruminansia.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjenbun. 2006a. Rencana Kegiatan Pembangunan

Perkebunan Tahun 2007. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjenbun 2006b. Swasembada Gula Nasional 2009. Makalah disampaikan pada Temu Koordinasi Kehumasan Deptan, di PG Jati Tujuh, tanggal 9-10 Juni 2006. Direktorat Jenderal Per-kebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjenbun. 2006c. Rencana Stratejik Pembangunan Perkebunan 2005-2009. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Disbun Jatim. 2006. Pelaksanaan Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional di Jawa Timur. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. Surabaya.

Asada, T., T. Konno and T. Saito. 1991. Study on Conversion of Oil Palm Leaves and Petioles into Feeds for Ruminants. Proceedings of Third Symposium on the Nutrition of Herbivores. Penang, Malaysia. p. 104.

Darmosarkoro, W. 2006. Usaha Sawit Banyak Tan-tangan. Kompas, 25 Februari 2006.

Dradjat, B. 2006a. Pajak Pertambahan Nilai dan Implikasi Pembebasannya pada Produk Pri-mer Pertanian. Tinjauan Komoditas Perke-bunan 6(1):53-57.

Dradjat, B. 2006b. Mencermati PP No. 35 tahun 2005 tentang Pungutan Ekspor (PE) (Kasus PE untuk CPO dan Produk Turunannya. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1):58-61.

Dradjat, B. 2006c. Aspek Ekonomi Pengembangan Biodiesel: Ada Trade Off dan perlu Dukungan Kebijakan Tambahan. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1):63-67.

Duran, A.O. 1995. The African Oil Palm in Integrated Farming Systems in Colombia: New Developments. University of the Llanos. Villavicencio. Colombia.

Hadi, P.U. dan S. Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 23(1):82-99.

Hadi, P.U., R.N Suhaeti, S. Nuryanti, T. Nurasa, dan J. Situmorang. 2004. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Pertanian Pasca AoA-WTO. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Hadi, P.U., A. Djulin, A.K. Zakaria, V. Darwis, dan J. Situmorang. 2006. Prospek Pengembangan Sumber Energi Alternatif (Biofuel): Fokpada Jarak Pagar. Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Hassan, O.A. 1995. Utilization of Oil Palm Trunks and Fronds. Proceedings of First Symposium on Integration of Livestock to Oil Palm Kernel Production. Kuala Lumpur, Malaysia. Pp. 129138.

Herman. 2006. Perkembangan dan Prospek Kakao Dunia. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1):8- 14.

Hutabarat, B., Kuntohartono, Nahdodin, dan Soedarsono. 2001. Restrukturisasi Industri Gula Nasional. Tim Pengembangan Industri Gula. Jakarta.

Hutagalung, R.I. 1985. Nutrient Availability and Utilisation of Unconventional Feedstuffs Used in Tropical Regions. Proceedings of Feeding Systems of Animals in Temperate Areas. Seoul, Korea. pp. 326-337.

Jelan, Z.A., S, Jalaludin, and P. Vijchulata. 1986. Final RCM on Isotope-Aided Studies on NonProtein Nitrogen and Agro-Industrial ByProducts Utilization by Ruminants. International Atomic Energy Agency. Australia. p.7.

Nerlove, M. 1958. Distributed Lags and Estimation of Long-run Supply and Demand Elasticities : Theoretical Considerations. Journal of Farm Economics 40(2) : 301-314.

Puslit Koka Indonesia. 2006. Peningkatan Daya Saing Kakao Indonesia melalui Peningkatan Produktivitas dan Kemitraan Usaha. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Pameran Kakao dan Cokelat Indonesia 2006. Jakarta, 12 Desember 2006. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta.

Sawit, M.H., S. Nuryanti, S. Bahri, dan FBM Dabukke. 2006. Special Safeguard (SSG), Special Safeguard Mechanism (SSM), dan Peran

43

Bantuan Domestik di Indonesia. Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Susila, W.R. 2006a. Harga Gula Tinggi: Sudah Sewajarnya. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1):15-18.

Susila, W.R. 2006b. Kebijakan Importasi. Pengadaan dan Penyaluran Gula. Tinjauan Komoditas Perkebunan 6(1):19-39.

44

PEMBANGUNAN PETERNAKAN: PENCAPAIAN DAN PROSPEK LIVESTOCK PRODUCTION: ACHIEVEMENT AND PROSPECT

Yusmichad Yusdja, Rosmijati Sayuti, Sri Wahyuning, Wahyuning K Sejati, Ikin Sodikin,

Nyak Ilham dan Yulia F. Sinuraya

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Livestock production and development has been recognized as a reasonable power on the country’s economic growth. Nevertheless, after the recovery of avian influenza break (AI) in 2003-2005, livestock production and development continuously face various problems. During 2006, the livestock sub-sector was unable to move from its appalling situation in the previous years. Population over extracting, feed and water shortage during the dry season, are the primary problems of livestock development. Such situation provides little hope of achievement in year 2007. The government is expected to alter such situation related to livestock development through the following steps: providing better service to livestock farmers in terms of developing livestock potential for the benefit of the people, providing and developing water supply system and feedstuff.

Key words : livestock industry, livestock production, economic growth

ABSTRAK

Subsektor peternakan memperlihatkan perkembangan yang terus membuktikan dirinya sebagai

sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat diandalkan. Namun demikian, setelah mengalami recovery dari dampak krisis ekonomi 1997 dan wabah penyakit AI (Avian Influenza) tahun 2003-2005, subsektor peternakan terus mengalami banyak masalah yang dapat menghambat pertumbuhannya. Hasil dari tinjauan peternakan 2006 memperlihatkan bahwa permasalahan peternakan yang dihadapi belum bergeser dari keadaan sebelumnya. Masalah pengurasan ternak, kesulitan memperoleh pakan, dan kesulitan air pada musim kemarau, merupakan masalah utama yang belum terpecahkan. Dengan kondisi peternakan tahun 2006 tersebut maka tidak akan banyak kemajuan yang dapat dicapai tahun 2007. Saran kebijakan untuk jangka pendek adalah pemerintah memberikan pelayanan sebesar-besarnya dalam pengembangan sumberdaya ternak, penyediaan air, dan hijauan makanan ternak.

Kata kunci : industri peternakan, produksi peternakan, pertumbuhan ekonomi

PENDAHULUAN

Industri peternakan kini memasuki era baru sebagai sumber pertumbuhan pertanian. Pembangunan industri peternakan dalam tiga tahun terakhir telah berhasil memberikan kon-tribusi PDB yang terus melonjak secara konsis-ten. Pertumbuhan PDB Peternakan pada tahun 2005 sebesar 7,9% melebihi tingkat pertum-buhan sektor pertanian (3,5%) dan pertumbuhan PDB nasional (5,5%). Pemerintah, untuk tahun 2007, telah menyutujui anggaran pembangunan peternakan sebesar Rp. 7,8 triliun melebihi ang-garan untuk tanaman pangan dan perkebunan, sebagai komitmen pemerintah dalam mendorong percepatan pembangunan industri peternakan.

Pemerintah akan terus meningkatkan anggaran pembangunan peternakan dengan tambahan yang semakin besar untuk mendapatkan populasi sapi sebanyak 16 juta ekor pada tahun 2010. Namun demikian, peningkatan anggaran pembangunan peternakan tidak akan banyak berguna jika tidak disertai dengan kemampuan menentukan arah pembangunan peternakan, kebijakan yang diperlukan, dan merumuskan program yang efektif. Menjawab tantangan itu, perlu dilakukan pemahaman yang komprehensif tetang permasalahan peternakan di tingkat mikro.

Industri peternakan mengalami pemulihan pada tahun 2000 setelah dilanda krisis moneter tahun 1997. Krisis ekonomi secara nyata telah menyebabkan subsektor peternakan modern khusus industri ayam ras dan usaha

45

penggemukan sapi potong mengalami penuru-nan produksi yang tajam. Kedua industri modern ini, ternyata mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap impor bibit dan bahan baku pakan. Sementara usaha peternakan domestik yang seharusnya mempunyai keunggulan kom-paratif ternyata tidak dapat meraih keuntungan dari situasi krisis tersebut, kecuali usaha sapi perah. Usaha sapi perah dapat menikmati kenaikan nilai tukar dolar yang terjadi tersebut karena peningkatan daya saing susu segar domestik.

Industri ayam ras ternyata dapat memu-lihkan diri pada tahun 2003, namun pada akhir tahun itu juga industri ayam ras kembali meng-hadapi krisis baru, yakni wabah AI (Avian Influensa). Wabah AI dapat menular dan menim-bulkan kematian yang tinggi pada manusia maupun unggas, sehingga masyarakat secara psikologis merasa sangat khawaatir. Pandemi AI, dalam waktu singkat telah menyebabkan produk-si ayam ras nasional turun 70% dan perusahaan peternakan (khususnya di Jabar) sebanyak 60% harus menutup usahanya. Industri peternakan ayam ras mengalami pemulihan pada tahun 2000, walau sampai saat ini, wabah AI masih terus menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, dan pada tahun 2006 ini wabah telah mencapai 30 provinsi di Indonesia. Wabah AI, masih tetap merupakan ancaman bagi industri ayam ras dan babi.

Keragaan industri peternakan pada tahun 2006, tidak lain merupakan vektor atau refleksi dari dua peristiwa besar tersebut dan ber-bagai peristiwa sebelumnya. Selain itu, menjadi pertanyaan besar bagaimana dengan perkemba-ngan komoditas tradisional, yakni ternak lokal? Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar populasi ternak lokal mengalami pengurasan yang terus menerus, sehingga pertumbuhan populasi minus diban-dingkan jumlah kelahiran atau pertambahan. Akibat pengurasan tersebut, beberapa jenis ternak seperti sapi potong, kambing, kerbau, dan ayam buras akan membutuhkan waktu 10 tahun untuk pemulihan kembali.

Tujuan penulisan makalah ini adalah pertama, melakukan tinjauan dan analisis per-kembangan industri peternakan yang telah dica-pai pada tahun 2006 mencakup sumberdaya ternak, sumberdaya alam yang terkait, manaje-men dan teknologi, serta kebijakan dan program

pemerintah. Tujuan kedua adalah mencoba membuat suatu pandangan atau estimasi tahun 2007 berdasarkan keadaan sekarang dengan fokus pada supply-demand, harga-harga, serta dampak kebijakan dan program. Penulisan review dan outlook peternakan ini pada akhirnya mempunyai tujuan besar, yakni memberikan informasi dan pandangan-pandangan ke depansehingga kebijakan pada tingkat makro dapat menyentuh simpul-simpul pembangunan peternakan pada tingkat mikro. Selama ini, kebijakan makro tidak dapat mendorong pembangunan peternakan karena sistem peternakan domestik belum berjalan.

REVIEW ANALISIS DAN KINERJA PETERNAKAN 2006

Situasi peternakan masa kini merupakan

refleksi tahun-tahun sebelumnya. Apa yang terjadi pada tahun 2006 merupakan vektor dari berbagai dampak kebijakan, program, perubahan lingkungan, dan perekonomian masa lalu. Hal tersebut, diperlihatkan dengan jelas dalam review berikut.

PDB, Kesempatan Kerja, dan Konsumsi

PDB Peternakan

Pertumbuhan PDB subsektor peternakan selama 15 tahun terakhir sangat dipengaruhi oleh perekonomian dunia. Tabel 1 memperlihatkan perkembangan PDB sektor pertanian dan subsektor peternakan 1993-2007. Pada kondisi puncak sebelum tahun 1997, pertumbuhan PDB subsektor peternakan lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian. Ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997 sampai tahun 2000, industri peternakan modern mengalami kebangkrutan. Krisis ekonomi membuktikan bahwa pertumbuhan tinggi belum tentu menjamin pertumbuhan yang stabil, khusus jika industri tidak mandiri dalam mengadakan kebutuhannya. Industri peternakan modern seperti perusahaan sapi feedlotter dan ayam ras mengalami kolaps karena mempunyai ketergantungan yang relatif tinggi terhadap bahan baku dan teknologi input dari impor. Sampai saat ini, Indonesia secara rutin mengimpor bibit ayam ras, sapi bakalan, beberapa jenis bahan baku pakan, feed suplement dan antibiotika, karena kesulitan atau belum mampu memproduksi dalam negeri.

46

Tahun 2000, industri ayam ras dan feed-lotter telah pulih kembali. Hal ini diperlihatkan oleh pencapaian tingkat produksi yang mulai meningkat dan tingkat pertumbuhan yang me-nyamai keadaan sebelum krisis wabah AI. Fenomena ini mengindikasikan bahwa dengan pengelolaan yang tepat, PDB subsektor peter-nakan akan mempunyai potensi masa depan yang mampu memicu pertumbuhan PDB sektor pertanian. Untuk tahun 2006-2007 pertumbuhan diramalkan akan mengalami peningkatan yang lebih tinggi, karena dampak AI ternyata tidak mempengaruhi konsumsi dan produksi pada tingkat nasional.

Adalah sangat penting menentukan pro-vinsi mana yang memberikan sumbangan PDB terbesar untuk sumber pengetahuan dalam mem-

buat kebijakan pengalokasian dana pembangunan peternakan. Gambar 1 memperlihatkan, lima provinsi terbesar sebagai penyumbang PDRB adalah Jatim, Jateng, Jabar, NAD dan Sumut dengan total kontribusi sebesar 63%. Provinsi Jatim dan Jateng merupakan wilayah sentra produksi daging, telur, dan susu dengan struktur agribisnis berbentuk usaha rakyat. Berbeda dengan Jabar sebagai sentra produksi daging broiler dan sapi potong yang sebagian besar dihasilkan oleh agribisnis usaha swasta. Pada sisi lain, Jabar dan DKI Jakarta merupakan wilayah sentra konsumsi terbesar yang selalu mengalami kekurangan.

NAD dan Sumut merupakan dua provinsi di Sumatera sebagai penghasil daging dan telur terbesar, namun beberapa tahun terakhir peran

Tabel. 1. Perkembangan PDB Sektor Petanian dan Subsektor Peternakan

% Pertumbuhan PDB % PDB Peternakan Thd Tahun PDB Peternakan Akhir Periode Peternakan Pertanian Nasional Pertanian Nasional

1993-1997 11.688 6,56 4,27 6,94 11,6 1,72 1997-1999 23.761 -1,98 -0,06 -6,7 10,5 1,8 2000-2004 40.600 4,98 3,55 4,45 12,71 1,94 2004-2006 48.233 7,92 na na na na 2006-2007 52.230 8,32 na na na na

Sumber: Statistik Peternakan 2006 Catatan: Data Tahun 2006 merupakan angka proyeksi

Sumber: Statistik Peternakan 2006

Gambar 1. Lima Besar Penghasil PDRB Peternakan di Indonesia, 2000-2005

7.3

10.2

16.1

18.7

11.0

0.0

2.0 4.0 6.0 8.0

10.0 12.0 14.0 16.0 18.0 20.0

Jatim Jateng Jabar NAD Sumut

47

NAD semakin menurun, sementara Sumut seba-gai sentra konsumsi tersebar di Sumatera selalu menjadi sasaran empuk bagi impor daging dan telur secara ilegal dari Malaysia dan Singapura. Bali, NTB, dan NTT merupakan pemasok terbe-sar sapi potong ke pusat konsumsi utama, yakni Jabar dan DKI Jakarta, memberikan sumbangan PDRB yang relatif besar bagi provinsi masing-masing, tetapi tidak mempunyai peran yang signifikan bagi sumbangan terhadap PDB. Kebi-jakan makro terutama kebutuhan anggaran pembangunan dan investasi memang tidak ba-nyak menyentuh ketiga provinsi penting ini.

Kesempatan Kerja Subsektor Peternakan

Peranan subsektor perternakan dalam penyerapan tenaga kerja dapat dilihat dari jumlah rumah tangga peternak (RTP). Selama 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan RTP yang relatif kecil dari 5,62 juta pada 1993 menjadi 5,63 juta pada tahun 2003. Sensus Pertanian (1983 dan 1993) menunjukkan bahwa usaha sapi potong melibatkan paling banyak RTP yaitu 2,95 juta, sedangkan ternak ayam ras melibatkan RTP yang relatif kecil. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa sebesar 80% produksi sapi potong merupakan usaha rakyat, dan sebaliknya 80% produksi ayam broiler merupakan usaha komersil padat modal dengan skala usaha lebih dari 500 ribu ekor. Sedangkan tingkat produksi daging ayam broiler dua kali lebih besar dibandingkan

produksi daging sapi. Jelas sekali keadaan ini menggambarkan bahwa industri ayam ras bukan lagi merupakan kesempatan berusaha bagi masyarakat banyak.

Investasi dan Mutu Pelayanan yang Rendah

Bahan diskusi berikut diambil dari Yusdja dan Ilham (2006). Peran investasi sangat dibutuhkan dalam meningkatkan agribisnis peternakan dan investasi publik. Investasi mendorong pertumbuhan usaha peternakan dan menimbulkan efek multiplier yang luas. Sumber investasi bagi pembangunan peternakan selama ini berasal dari dana pemerintah, PMDN, dan PMA. Namun, sejak masa reformasi dan kesulitan dana pembangunan, kegiatan pemerintah banyak difokuskan pada usaha memberikan pelayanan. Gambar 2 memperlihatkan perkembangan investasi dalam subsektor peternakan (PMDN, 2006). Investasi tertinggi dicapai tahun 2001 sebesar Rp 200 milyar lebih, namun kemudian terus menurun sampai tahun 2004, naik rendah pada tahun 2005, dan kemudian turun kembali pada tahun 2006. Berdasarkan jumlah investasi yang relatif kecil tersebut dibandingkan kebutuhan, dan juga berdasarkan bentuk fluktuasi kurva investasi yang cenderung menurun, memperlihatkan tiada gejala investasi subsektor peter-nakan akan berkelanjutan.

Jika dilihat lebih jauh ternyata investasi PMA yang terjadi dalam 5 tahun terakhir hanya

Gambar 2. Perkembangan Investasi Peternakan 1997-2006 (Rp Milyar)

0

50

100

150

200

250

1997 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005* 2006

48

10% dari total investasi peternakan. Jika inves-tasi peternakan dibandingkan dengan investasi pertanian, hanya sekitar 9%. Kesimpulan yang diambil dari perkembangan investasi tersebut adalah bahwa usaha peternakan dalam negeri tidak mempunyai daya saing yang tinggi sehing-ga tidak menarik para investor dalam menanam-kan modalnya. Bahkan dalam sektor pertanian sendiri usaha peternakan belum mempunyai po-sisi yang dapat diandalkan.

Perkembangan kemajuan investasi yang relatif tidak menggembirakan di atas dapat diting-katkan dengan meningkatkan daya saing industri peternakan terutama ternak domestik. Pening-katan daya saing antara lain melalui usaha-usaha peningkatan kemampuan ternak induk melalui rekayasa genetika pada tingkat ternak sumberdaya, penyediaan lahan dan air untuk penanaman hijauan dan butir-butiran yang dibu-tuhkan ternak, serta meningkatkan penggendali-an penyakit yang banyak menimbulkan angka kematian pada hewan, sehingga resiko ekonomi usahaternak dapat dikurangi (Wodzlcka, 1993). Saran-saran tersebut seharusnya sesuai dengan rencana roadmap peternakan yang diinginkan.

Perkembangan Konsumsi Produk Ternak

Krisis ekonomi memberikan dampak pe-nurunan daya beli masyarakat sehingga terjadi penurunan tren konsumsi daging dan telur. Pada periode setelah krisis, laju pertumbuhan kon-sumsi daging dan telur meningkat kembali, bahkan melampaui kondisi sebelum krisis. Demikian juga dengan konsumsi absolut, tahun 1999 merupakan saat konsumsi daging menurun mencapai titik terendah, dan tahun 1998 meru-pakan saat konsumsi telur menurun, namun kemudian meningkat kembali hingga tahun 2005. Secara umum pemulihan konsumsi produk ternak relatif cepat karena didukung oleh industri perunggasan nasional dan struktur perusahaan, dalam bentuk usaha komersil yang responsif terhadap perubahan-perubahan.

Jika dirinci menurut jenis daging, pendu-duk Indonesia lebih banyak mengkonsumsi da-ging ayam broiler dan sapi. Kebutuhan konsumsi daging sekitar 5% dipenuhi dari produk impor dan 25% berasal dari impor sapi bakalan. Dalam kondisi nilai tukar rupiah yang stabil, kecende-rungan impor semakin meningkat. Peningkatan impor tersebut dapat disebabkan permintaan da-ging berkualitas (prime cut) dan daging kelas

standar yang relatif lebih murah dibanding produk domestik. Gambaran ini memperlihatkan bahwa tren permintaan terhadap produk peternakan ke depan semakin meningkat, khususnya daging dan telur ayam. Pada masa depan sudah patut diperhatikan upaya peningkatan kualitas sesuai yang diinginkan konsumen.

Selama ini, pengadaan susu untuk dikonsumsi sebagian besar masih dipasok dari produk impor. Namun pada kondisi krisis ekonomi, harga susu domestik jauh lebih murah dari harga susu impor, sehingga walaupun tanpa kewajiban menyerap produksi susu segar domestik, peningkatan daya saing produk susu domestik saat itu menyebabkan industri pengolahan susu nasional menyerap sebagian besar pasokan domestikFenomena ini memberikan informasi bahwa jika harga produk susu domestik memiliki daya saing, secara kualitas sudah mampu dihandalkan sebagai bahan baku industri susu nasional. Bahkan pada masa krisis hingga sekarang Indonesia sudah melakukan ekspor produk susu olahan.

Sebelum krisis ekonomi, penyediaan susu per tahun untuk konsumsi sebesar 968ton meningkat menjadi 1043,3 pada masa krisisdan meningkat lagi setelah masa krisis yaitu 1377,8. Hal ini memperlihatkan bahwa laju peningkatan penyediaan susu sudah sulit ditingkatkan, karena (a) dari sisi suplai, produktivitas peternakan sapi perah rakyat sudah stagnan dan (b) permintaan domestik yang semakin jenuh akibat menurunnya daya beli masyarakat. Namun demikian, masalah permintaan domestik yang menurun dapat diatasi dengan melakukan ekspor produk susu olahan. Oleh karena ituyang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana meningkatkan produktivitas usaha sapi perah domestik.

Perkembangan Agribisnis Peternakan

a. Ternak Ruminansia Besar Penghasil Daging

Ternak ruminansia besar utama terdiri atas sapi, kerbau, dan kuda. Kelompok ternak ini berbadan besar, dapat mencapai 600-1000 kg berat hidup. Mulai melahirkan umur 2 tahun dan jumlah anak pada umumnya satu ekor per tahun. Karena ciri-cirinya itu, ternak ini membutuhkan pakan yang yang relatif tinggi, mempunyai pertumbuhan populasi yang relatif lambat dan produksi daging relatif tinggi (Singh and Moore,

49

1972). Sapi mempunyai peran terbesar dalam perekonomian dibandingkan komoditas ruminan-sia lain, karena jumlah populasi sapi mencapai 80% dari total ruminansia, dan tersebar hampir di seluruh provinsi.

Terdapat berbagai jenis sapi, yang uta-ma adalah sapi Bali (termasuk sapi Madura) dan sapi Onggol. Sapi Bali banyak berperan dalam perekonomian dengan jumlah populasi 6 juta atau 60% dari jumlah sapi. Sapi Bali mempunyai daya hidup tinggi, tahan penyakit, dan peng-gembalaan yang buruk, mempunyai perdagingan yang baik dan digemari konsumen. Sebaran sapi Bali sekitar 61% terdapat di Jatim, Jateng, Sulsel, Bali, NTT, dan NTB. Keenam wilayah ini sekali gus merupakan wilayah penghasil utama bagi kebutuhan wilayah konsumsi khususnya DKI dan Jabar.

Sebagian besar ternak sapi dipelihara secara tradisional dalam bentuk usaha rakyat. Ada tiga sistem pemeliharaan yang umum dilakukan yakni:

1. Sistem penggembalaan ternak (NTT, NTB, Bali, Kalsel, Sebagian Sumatera, dan seba-gian Kalimantan) sekitar 15% dari populasi. Pada sistem ini, pemeliharaan ternak tidak mempunyai tujuan yang jelas, selain untuk status sosial dan tabungan. Karena itu, ke-berhasilan pengembangan pada wilayah ini sangat tergantung pada pengelolaan padang penggembalaan itu.

2. Sistem tidak digembalakan, cut and carry (Jatim dan Jateng, sebagian Sulawesi), men-

cakup sekitar 52% dari total populasi. Pada sistem ini pengembangan peternakan sangat tergantung pada ketersediaan tenaga kerja keluarga yang setiap harinya berkeliling mencari HMT. Karena itu, pengembangan ternak dengan menyediakan HMT akan mengurangi tenaga kerja keluarga, dan karena itu skala usaha bisa meningkat. Tujuan produksi adalah tenaga kerja, dan peternak tidak begitu peduli dengan sistem pasar dan produksi.

3. Sistem kombinasi, ternak digembalakan pada areal terbatas dan kekurangan HMT diberikan di kandang. Sitem ini mencakup 23 % dari populasi dan menyebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar usaha penggemukan berada dalam sistem ini. Sistem ini bertujuan untuk produksi daging, susu, dan sapi bakalan.

Kebijakan pengembangan ternak sapi harus dilihat berdasarkan ketiga sistem tersebut, karena terdapat perbedaan masalah yang dihadapi, dan karena itu penanganannya juga berbeda (Yusdja dan Ilham, 2006).

Sistem pemasaran dan tata niaga yang ada tidak memberikan insentif yang layak kepada peternak, apalagi para peternak tidak mempunyai daya tawar. Peran pedagang sangat dominan dalam menentukan harga. Pada sisi lain, perdagangan antarpulau dan wilayah dalam bentuk ternak hidup membutuhkan biaya angkut dan risiko usaha yang lebih besar. Hal ini tidak dapat dihindarkan karena perdagangan karkas menggantikan ternak hidup, khususnya ternak rumi

Sumber: Statistik Peternakan, 2006. Gambar 3. Perkembangan Populasi Sapi Potong dan Kerbau 1994-2007 di Indonesia

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007*

Sapi Potong Kerbau

50

nansia belum layak dilakukan, karena infrastruk-tur yang tersedia belum memungkinkan. Gambar 3 memperlihatkan pola pertumbuhan sapi potong dan kerbau, dua komoditas utama penghasil da-ging merah. Pertumbuhan sapi relatif landai dan hampir konstan sedangkan kerbau terus tumbuh menurun.

Gambar (4) memperlihatkan tingkat per-tumbuhan populasi ruminasia besar dari tahun 1984 sampai tahun 2005. Tingkat pertumbuhan tersebut dihitung berdaarkan priode awal 1984, 1989, 1994 dan 1999 terhadap tahun 2005. Teknik perhitungan pertumbuhan dengan metode ini untuk mendapatkan angka proyeksi tahun 2006 dan 2007, dan dapat memperlihatkan

perubahan yang terjadi di antara tahun 1984 dan 2005.

Pada priode pertumbuhan 1984-2005 memperlihatkan pertumbuhan sapi potong yang yang relatif yakni kurang dari 1%, sedang kerbau dan kuda mengalami pertumbuhan minus. Pada priode 1994-2005 dan priode 1999-2005, sapi, kerbau, dan kuda mengalami pertumbuhan minus. Kemudian antara tahun 2004-2005 terjapertumbuhan positif bagi ketiga komoditas dengan besar kurang dari 2,5%. Sementara pertumbuhan yang diharapkan adalah 15%/th.

Gambar (5) memperlihatkan indeks pertumbuhan populasi dan pertumbuhan pemoto

Sumber: Statistik Peternakan, 2006

Gambar 4. Pertumbuhan Ternak Ruminansia Besar 1984-2005

Sumber: Statistik Peternakan, 2006 Gambar 5. Perkembangan Indeks Populasi dan Pemotonan Sapi, 1984-2005

-10

-7.5

-5

-2.5

0

2.5

5

7.5

10

1984-2005 1989-2005 1994-2005 1999-2005 2004-2005

Sapi Potong Kerbau Kuda

80

90

100

110

120

130

140

150

160

170

180

1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005*

Populasi Pemotongan

51

ngan sapi dari tahun 1984-2005. Indeks pertum-buhan populasi mempunyai pertambahan yang relatif lambat dibandingkan indeks pemotongan yang terus melaju tajam.

Keadaan ini mendorong pengurasan sapi lokal. Jika perkembangan ini berlangsung terus tanpa ada kebijakan atau program yang dapat mengubah situasi, akan terjadi nilai indeks popu-lasi akan mendekati angka 100.

b. Ternak Ruminansi Kecil

Kelompok ternak ruminansia kecil utama adalah kambing dan domba atau disebut kado. Ternak kado berukuran 10 kali lebih kecil diban-dingkan sapi dan kebutuhan HMT juga kecil, sehingga ternak ini mempunyak banyak pengge-mar di pedesaaan, terutama pada wilayah lahan kering. Pada lahan kering tersedia banyak HMT yang sesuai dengan selera ternak kambing dan domba. Sebagian besar ternak kambing dan domba diusahakan sebagai usaha rakyat (Wodzicka et al., 1993). Gambar 6 memperli-hatkan jumlah kambing dan domba di Indonesia

Secara umum, Indonesia sampai saat ini dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan sampai saat ini belum ada investor

berminat mengimpor kambing dan domba. Sebagaimana diketahui, Australia merupakan negara terbesar dalam mengekspor kambing dan domba ke berbagai negara Arab dan Asia, rata-rata 5 juta ekor per tahun sama besar dengan populasi domba di Indonesia. Indonesia tidak mengimpor kambing dan domba, walaupun terdapat gejala pengurasan kambing dan domba di Indonesia. Hasil penelitian memperlihatkan beberapa provinsi seperti Jatim dan Jabar populasi kado mengalami pengurasan dalam 10 tahun terakhir. Indikator lain dapat dilihat dari perkembangan harga kambing dan domba yang terus meningkat dengan tingkat relatif tinggi yakni 40%/tahun, merupakan indikasi ada kelangkaan ternak kado.

Perusahaan swasta usaha ternak kambing dan domba sulit berkembang, karena penyebaran dan penetrasi usaha rakyat sedemikian rupa sehingga mempersempit pasar bagi usaha swasta. Pengembangan peternakan kado komersil skala swasta hanya mungkin jika pasar ekspor terbuka. Konsekuensinya jelas, yakni usaha skala besar dan tersedia padang penggembalaan serta manajemen dan iptek yang maju. Selama ini, para investor kurang berminat mengusahakan ternak kambing dan domba karena tidak memahami bisnis ini, risiko usaha relatif

Sumber: Statistik Peternakan, 2006

Gambar 6. Perkembangan Populasi Ruminansia Kecil, 1984-2006

7,659 9,025

10,996

12,77013,560

12,781 13,182 13,351

4,071 4,698 5,910

6,7417,226

8,075 8,307 8,534

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

1979 1984 1989 1994 1999 2004 2005 2006 Kambing Domba

52

tinggi, ternak kado lokal kurang produkif diban-dingkan kado Australia misalnya. Atas dasar itu, pemecahan masalah pengembangan agribisnis kado perlu ditekankan pada pengembangan usa-ha rakyat melalui strategi dan program-program yang efektif.

c. Ternak Unggas

Kelompok ternak unggas yang banyak diusahakan adalah ayam buras, ayam ras, itik, dan puyuh. Perkembangan ayam ras di Indo-nesia dimulai sejak tahun 1976 telah mencapai pertumbuhan fantastis melalui program penana-man modal asing (PMA). Pengembangan yang luar biasa ini banyak didukung oleh pengem-bangan infrastruktur industri yang relatif lengkap mulai dari hulu sampai ke hilir. Sampai saat ini, ayam ras memberikan sumbangan produksi da-ging terbesar merebut posisi daging sapi. Namun demikian, pertumbuhan yang dicapai ayam ras tersebut pada umumnya rapuh karena ditunjang oleh impor yang besar. Ketika terjadi krisis eko-nomi tahun 1997-2000, industri ayam ras di Indonesia mengalami kebangkrutan dan produksi turun hingga 80% (Yusdja et al., 2005). Industri kembali bangkit dengan cepat pada tahun 2000. Dua tahun kemudian yakni tahun 2003 sampai pada saat ini, industri ayam ras kembali meng-hadapi masalah besar yakni epidemi penyakit AI.

Ancaman AI tidak saja datang dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Jika epidemi AI terjadi pula di negara-negara eksportir bibit GPS, maka kelangsungan hidup industri ayam ras dalam negeri terancam. Berdasarkan fakta di atas dapat disimpulkan bahwa penanganan dan pengembangan ayam ras adalah terletak pada kebijakan ekonomi makro, pengendalian penya-kit yang mencakup kerja sama internasional dan kerja sama dengan peternak, serta menegakkan azas kemandirian secara bertahap. Azas keman-dirian dapat dimulai dari pengadaan pakan dalam negeri ,sehingga dalam 10 tahun ke depan dapat diharapkan Indonesia telah mempunyai stok induk yang dapat memproduksi GPS.

Sementara itu, pertumbuhan ayam broi-ler dari tahun 2003 dan 2006 hanya 1,9% relatif sangat kecil dibandingkan pertumbuhan sebelum krisis antara 2002-2003 sebesar 18,2%/th. Wa-bah AI pada ayam broiler memang jauh lebih parah dibandingkan ayam petelur. Dari 4 sentra produksi ayam broiler yakni Jatim, Jabar, Sumut,

dan Jateng, hanya populasi ayam broiler yang mengalami pertumbuhan spektakuler yakni 86%sedangkan dua provinsi sentra produksi yang lain hanya berkisar 2%.

Tahun 2006 ternyata memperlihatkan penurunan populasi broiler terjadi pada 10 provinsi terkena wabah antara 20 sampai 81%Penurunan paling besar terjadi di Provinsi Jatim, Banten, Bali, Jateng, dan Sulsel yang mencapai jumlah 94 juta ekor. Kerugian AI tidak hanya terlihat dari angka kematian tetapi juga perlu diperhitungkan kegagalan karena hilangnya suatu harapan yang mestinya terjadi. Penurunan populasi ini terjadi karena dampak penurunan konsumsi broiler di berbagai daerah dan sebagian peternak broiler pindah ke ayam petelurserta sebagian peternakan sektor 3 dan sebagian sektor 2 menutup usahanya khususnya di Kab. Bandung, Bogor, dan Tanggerang.

Ayam buras tidak umum diusahakan secara intensif, karena tidak menguntungkan. Kelemahan ayam buras ini adalah produksi telur relatif rendah, pertumbuhan lambat, dan angka kematian tinggi. Namun demikian, ayam buras mempunyai daya tahan tinggi terhadap penyakit dan keadaan cuaca yang buruk, serta memungkinkan setiap orang dapat memeliharanya secara ekstensif dengan biaya hampir nol. Dengan pola dan sistem pemeliharaan ekstensif seperti itu, maka pertumbuhan populasi ayam buras relatif sangat lambat, apalagi jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ternak ayam buras diindikasikan mengalami pengurasan relatif besar sekitar 15%/th, bahkan di beberapa pusat konsumsi, pengurasan itu mencapai titik parah.

d. Ternak Babi

Ternak babi merupakan kelompok ternak pemakan butir-butiran dan hijauan, termasuk hewan prolifik karena itu cepat sekali berkembang. Ternak ini secara komersil banyak diusahakan di Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan beberapa provinsi lain. Sangat disayangkan data statitistik babi tidak membedakan jenis babi lokal dan babi hibrid. Salah satu pembatas pengembangan usaha ternak babi adalah pasar konsumsi yang sempit, karena sebagian penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga wilayah-wilayah pengembangannya juga sangat terbatas. Babi lokal dapat hidup lebih baik pada wilayah-wilayah non

53

muslim. Perkembangan populasi babi diperlihat-kan dalam Gambar 7.

Pemenuhan kebutuhan konsumsi daging babi dalam negeri tidak banyak bermasalah, bahkan mencapai titik jenuh. Salah satu indikasi adalah harga daging babi yang tidak banyak bergerak dari tahun ke tahun. Namun demikian, Indonesia memiliki wilayah luas yang sesuai bagi pengembangan ternak dalam bentuk usaha ko-mersil skala menengah dan besar, terutama untuk ekspor. Indonesia mempunyai peluang be-sar untuk memenuhi ekspor, apalagi hubungan perdagangan internasional telah dibina. Salah satu strategi merebut pasar adalah membangun peternakan babi pada kawasan khusus, bekerja sama dengan para pedagang babi di Singapura. Kerja sama dalam bentuk kemitraan telah banyak dilakukan di Sumatera Utara. Kerja sama pro-duksi dan perdagangan ini layak dilakukan, dibandingkan memproduksi sendiri, karena pasar yang tertutup.

Perkembangan Produksi Daging, Telur dan Susu

a. Produksi Daging

Total produksi daging tahun 1984 adalah 553 ribu ton, meningkat menjadi 893 ribu ton pada tahun 1999, dan terus meningkat secara

konsisten menjadi 1764 ribu ton tahun 2005. Indonesia mempunyai 8 jenis komoditas yang memberikan banyak peran dalam menyumbangkan konsumsi daging, yakni sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi, ayam petelur, dan ayam broiler. Produksi daging ini tidak termasuk ayam buras dan itik, karena data tidak jelas bagaimana menghitungnya dan jumlahnya relatif besar, padahal populasi diduga terus menurun. Pertumbuhan produksi daging pada tahun 2005 dibandingkan 1984 dan 1999 adalah 10,4 dan 16,2%.

Tabel 2 memperlihatkan produksi daging menurut sumber ternak. Tahun 1984, sekitar 80% dari produksi daging total merupakan sumbangan ternak sapi (29,2%), ayam buras (24,1%), babi (16%), dan broiler (10,6%). Pada tahun 2005, keempat komditas utama penghasil daging tetap merupakan penyumbang besar tetapi telah terjadi perubahan posisi, yakni broiler (41,8%), sapi (21,9%), buras (14,7%), dan babi (9,4%) (Gambar 8). Ternyata sumbangan produksi lebih besar dari sisi ternak modernsedangkan ternak tradisional terus menurun. Ini sangat memprihatinkan, karena proses produksi ternak modern sangat tergantung pada impor.

Dari ke 8 komoditas tersebut selama 1984-2005, 6 komoditas di antaranya terus mengalami penurunan kontribusi. Hanya 2 komoditas yang memberikan peningkatan kontribusi yakni broiler dan petelur. Segera dapat dilihat

Sumber: Statistik Peternakan, 2006 Keterangan: Garis Gelap: Populasi. Garis Terang: Proyeksi

Gambar 7. Perkembangan dan Proyeksi Populasi Babi, 1994-2006

0

3,000

6,000

9,000

12,000

1979 1984 1989 1994 1999 2004 2005 2006* 2007*

`

54

bahwa penerapan manajemen dan teknologi bi-bit, serta pakan yang maju telah mengangkat kedua komoditas ini. Sementara 6 komoditas lain merupakan usaha secara tradisonal, teknologi rendah, serta pemberian pakan yang tidak ber-mutu dan tidak terorganisir. Berdasarkan nilai indeks pertumbuhan terlihat jelas nilai indeks yang terus menurun, sedangkan produksi total mengalami pertumbuhan 8,8% memperlihatkan adanya ketimpangan dalam pertumbuhan.

Dampak manajemen dan teknologi yang rendah telah menyebabkan tingkat pengurasan yang relatif tinggi pada komoditas ternak tradi-sional. Berdasarkan penelitian PSEKP telah ter-jadi pengurasan untuk ternak sapi, kerbau, kam-bing, dan ayam buras. Dikhawatirkan beberapa komoditas sampai pada titik ambang keseim-

bangan, dimana angka kelahiran tidak mungkin lagi menjamin konsumsi, maka dalam situasi semacam ini, akan mendorong kepunahan komoditas.

b. Produksi Telur

Secara nasional populasi ayam petelur tahun 2005 dibandingkan 2003 naik dengan nyata sebesar 24,5%. Angka pertumbuhan ini relatif lebih besar dibandingkan pertumbuhan sebelum masa AI antara tahun 2001-2003 sebesar 6,4% per tahun. Hal ini jelas memperlihatkan, bahwa wabah AI tidak memberikan dampak berkepanjangan terhadap populasi dan usaha ayam petelur, justru kini meningkat tajam melampaui keadaan sebelum wabah AI. Pertanyaan pertama

Sumber: Statistik Peternakan, 2006

Gambar 8. %tase Kontribusi Daging Menurut Sumber Ternak, 1984 dan 2006 Tabel 2. Produksi Daging (000 ton) Menurut Komoditas Ternak (1984-2005)

Tahun Sapi Kerbau Kambing Domba Babi Kuda Petelur Broiler Total1984 216,4 48,2 48,3 28,8 119,1 1,7 12,2 78,5 5531989 252,8 43,1 62,9 32,2 136,3 1,4 16,7 210,4 7551994 336,5 48,2 57,1 42,6 183,6 2,3 22,6 498,5 11911999 308,8 48,1 45 32,3 136,8 2,3 25,7 294,5 8932004 447,6 40,2 57,1 66,1 194,7 1,6 48,4 846,1 17012005 463,8 40,8 58,9 66,5 198,2 1,7 51,2 883,4 1764r 1984 dan 2005 5,4 (0,7) 1,0 6,2 3,2 - 15,2 48,8 10r 1999 dan2005 8,4 (2,5) 5,1 17,6 7,5 (4,3) 16,5 33,3 16

Sumber: Statistik Peternakan, 2006

Sapi39%

Kerbau9%Kambing

9%

Domba5%

Babi22%

Petelur2%

Broiler14%

Kuda0%

Sapi26%

Kerbau2%

Kambing3%

Domba4%

Babi11%Petelur

3%

Broiler51%

Kuda0%

1984 2006

55

mengapa dan di mana peningkatan populasi itu terjadi?

Di Indonesia, terdapat 5 wilayah provinsi sebagai sentra produksi penghasil telur dengan menyumbang sebesar 70% dari total populasi ayam ras petelur nasional. Kelima provinsi itu secara berurutan adalah Jatim, Sumut, Jabar, Jateng dan Banten. Kelima provinsi ini meru-pakan wilayah tertular AI berat pada tahun 2004. Data Statistik Peternakan memperlihatkan bahwa ke lima provinsi sentra populasi ayam ras petelur mengalami pertumbuhan populasi ayam petelur yang cukup spektakuler, yakni 30% antara tahun 2003 dan 2005. Pertumbuhan yang spektakuler ini telah menciptakan tambahan populasi ayam petelur sebesar 14 juta ekor. Pertumbuhan popu-lasi ayam petelur terbesar terjadi di Jatim, de-ngan peningkatan sebesar 71,8% sehingga men-dongkrak populasi hampir dua kali dibanding se-belum AI. Pertumbuhan populasi terbesar kedua terjadi di Jateng, dengan peningkatan sebesar 46,6%.

Data dan informasi di lapang memper-lihatkan sebagian peternak pindah usaha dari ayam broiler menjadi ayam petelur. Pertimba-ngan mereka adalah bahwa produksi telur lebih aman dibandingkan menghasilkan daging broiler yang sarat dengan berita AI. Jika ada wabah AI, maka dampak pemberitaan terbesar adalah pada

konsumsi karkas bukan pada telur. Pada sisi lain, wabah AI lebih banyak menyerang ayam broiler. Kecenderungan perubahan usaha ini sangat nyata terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat.

Sebaliknya di provinsi Banten, yang merupakan wilayah pertama tertular AI pada tahun 2003, dan merupakan wilayah utama sebagai usaha komersil petelur ternyata tidak mampu memulihkan populasi seperti semula. Peternak skala besar ternyata enggan meningkatkan skala usaha karena masih cemas wabah AI. Aspek psikologis wabah AI di Banten memang cukup berat, apalagi wilayah ini pula untuk pertama wabah AI menyerang keluarga Iwan sehingga meninggal dunia awal Tahun 2005.

Selain itu, hal yang lain yang juga sangat penting menjadi perhatian adalah produktivitas ayam petelur tersebut. Gambar 9 memperlihatkan perkembangan produktivitas ayam petelur dari tahun 1999-2005. Perkembangan produktivitas ternyata lebih lambat dibandingkan pertumbuhan populasi ayam petelur. Hal ini dapat disebabkan berbagai hal antara lain mutu petelur yang memburuk, sistem replacement stock yang tidak seimbang, dan pemberian pakan yang tidak sesuai. Perbaikan produktivitas sangat dibutuhkan untuk masa mendatang dengan cara memperbaiki sistem manajemen ayam petelur.

Sumber: Statistik Peternakan, 2006

Gambar 9. Perkembangan Populasi dan Produktivitas Ayam Petelur, 1999-2005

-

20

40

60

80

100

120

140

160

1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005* Produktivitas Layer

56

Kesehatan Ternak dan Keamanan Makanan

Dari sisi suplai pengamanan mutu pro-duk akan menjamin keberlanjutan usaha. Tanpa adanya upaya menghasilkan mutu produk yang aman dapat meragukan konsumen, sehingga menyebabkan permintaan terhadap produk akan berkurang. Dari sisi konsumen, pengamanan produk peternakan berkaitan dengan ketahanan pangan. Seperti diketahui bahwa ketahanan pangan tidak hanya mencakup berapa kuantitas bahan pangan yang dikonsumsi, tetapi juga berkaitan dengan kualitas pangan dan keamanan bahan pangan tersebut.

Lemahnya pengamanan mutu produk ternak berakibat merugikan pihak produsen dan konsumen. Oleh karena itu, perlu adanya kebi-jakan pengamanan mutu produk. Kebijakan ter-sebut mencakup menciptakan perangkat per-aturan dan sanksi hukum yang tegas bagi yang melanggar, membangun jaringan lembaga yang mempunyai otoritas pengujian keamanan produk peternakan, melakukan pengujian secara berkala terhadap keamanan produk yang beredar di pasar, dan mensosialisasikan hasil pengujian secara berkala.

Gangguan keamanan produk dapat ter-jadi sejak proses produksi hingga dikonsumsi. Kesehatan ternak dan penggunaan obat-obatan/ feed suplement tanpa prosedur yang standar saat kegiatan budidaya, dapat menyebabkan produk ternak mengandung bibit penyakit yang berasal dari infeksi dan keracunan mikroorga-nisme saat ternak masih hidup, dan mengandung residu yang berbahaya bagi kesehatan. Pena-nganan produk sejak di panen hingga dipasar-kan dapat juga menyebabkan produk peternakan kurang aman untuk dikonsumsi. Karena produk peternakan sangat mudah terkontaminasi. Bah-kan, dengan tujuan untuk mendapat keuntungan, banyak produk peternakan yang diperlakukan tidak wajar, seperti penggunaan formalin untuk pengawetan produk ternak. Ditingkat konsumen akhir, pengolahan produk yang tidak memper-hatikan kebersihan lingkungan dapat menyebab-kan keracunan.

Kondisi saat ini Indonesia telah memiliki banyak perangkat peraturan yang berkaitan dengan masalah pangan diantaranya adalah UU No 6 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan. UU tersebut didu-kung oleh PP dan peraturan lain hingga ketingkat

program seperti adanya program ASUH (AmanSehat-Utuh-Halal) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan.

Dampak Ekonomi AI Wabah AI (Avian Influensa) atau flu burung telah mengalami masa 3 tahun di Indonesia dan belum terlihat tanda-tanda wabah ini akan berhenti. Fakta memperlihatkan bahwa daerah tertular wabah terus berkembang, sekalipun angka kematian atau pemusnahan akibat AI semakin berkurang, khususnya pada ayam ras. Pada sisi lain, penularan AI pada manusia di Indonesia semakin meluas dan telah mencapai kematian 44 orang dari 87 orang penderita. Hal ini menyebabkan isu AI tidak lagi pada industri perunggasan tetapi lebih kepada isu keselamatan manusia. Karena itu, berita AI menyerang manusia menimbulkan efek psikologis bagi seluruh bangsa dan dunia, sehingga memberikan dampak luas pada industri perunggasan, terutama penurunan konsumsi hasil unggas.

Wabah AI menyerang seluruh jenis unggas, terutama ayam ras dan buras. Wabah AI pada ayam ras telah menyebabkan kematian lebih dari 16 juta ekor dalam masa 2003 sampai awal 2005. Wabah AI telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi bangsakhususnya industri perunggasan. Serangan wabah AI berat pada peternakan ayam ras terjadi pada priode tahun 2003 dan 2004, kemudian menurun pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 boleh dikatakan tidak ada lagi kasus, kecuali pada ayam buras. Data Statistik Peternakan memperlihatkan bahwa industri peternakan secara nasional telah mengalami recovery tahun 2006. Dengan demikian, tepat saatnya untuk melihat bagaimana dampak wabah AI terhadap ekonomi industri peternakan saat ini.

Dampak AI terhadap perekonomian AI secara nasional dapat dikatakan tidak ada sejak tahun 2005. Populasi ayam petelur terus meningkat bahkan tumbuh spektakuler. Sedangkan populasi broiler juga mengalami pertumbuhan sekalipun relatif lebih kecil dibandingkan tingkat pertumbuhan sebelum AI. Dengan demikian, peningkatan populasi secara otomatis disertai dengan peningkatan produksi telur juga meningkat. Dapat dikatakan, kegiatan perekonomian usaha ayam petelur telah berjalan kembali normal. Dampak AI secara nyata adalah pada penyusutan kesempatan kerja dan kesempatan

57

usaha dala berbagai bidang, mulai dari budi-daya, perdagangan, pengusaha PS, dan peru-sahan rumah potong ayam.

Wabah AI, yang telah memberikan keru-gian yang besar bagi industri, telah mengarahkan perubahan struktur industri secara alami, yakni ke arah yang sesuai dengan permintaan pasar yang bebas dari intervensi pemerintah. Restruk-turisasi alam yang terjadi adalah terjadinya aku-mulasi produksi broiler dan telur pada beberapa kelompok usaha bermodal, sedangkan usaha rakyat terutama yang mandiri telah menutup usahanya. Artinya, produksi total mengalami kenaikan, sedangkan jumlah peternak berkurang, maka skala usaha per peternak akan meningkat. Beberapa kriteria terdapat di lapang yang dapat menjelaskan hal tersebut: (a) peternak mandiri, sebagian besar telah berhenti paling tidak pada daerah sentra produksi yang diteliti; (b) kemit-raan terjadi secara terbatas; dan (c) pengem-bangan skala besar.

Tahun 2006 dapat dikatakan bahwa industri ayam ras telah pulih dari pengaruh negatif wabah AI (Gambar 10). Sekalipun wabah AI masih muncul di beberapa tempat dan terus menerus, namun sebagian besar terjadi pada peternakan sektor 4, sedangkan pada sektor 3 hampir tidak ada lagi. Pemulihan itu diperlihatkan

oleh tingkat produksi yang telah mencapai lebih tinggi dibandingkan sebelum wabah AI meledak. Dari sisi konsumsi, hanya sebagian kecil masyarakat yang masih kuatir mengkonsumsi daging ayam ras, karena pengaruh berita-berita TV dan surat kabar tentang penularan AI pada manusia.

Permasalahan, Kebijakan, Strategi dan Program

Bahan diskusi berikut sebagian besar disarikan dari Usulan Renstra Peternakan 20052009 (Yusdja et al., 2005). Dua lingkungan strategis, yang patut mendapat perhatian dalam kerangka perkembangan industri agribisnis ternak dalam negeri, adalah perubahan globalisasi dan permintaan pangan hasil ternak dalam negeri. Perubahan-perubahan tersebut dapat memberikan keuntungan, atau sebaliknya, akan sangat tergantung bagaimana sikap yang diambil oleh Indonesia. Untuk pengembangan industri agribisnis yang sangat tergantung pada impor,

maka dampak perubahan globalisasi ekonomi sangat nyata, tetapi mungkin tidak berpengaruh nyata pada industri peternakan yang sebagian besar menggunakan input dalam negeri.

Sebelumnya perlu ada pemahaman bahwa sebagian besar jenis ternak dan berbagai hasilnya merupakan komoditas dunia, baik nega

Sumber: Statistik Peternakan 2006

Gambar 10. Perkembangan Populasi Broiler di Jawa, Sumatera dan Kalimantan Setelah Krisis Ekonomi dan Flu Burung, 1999-2005

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

1999 2004 2005 Jawa Sumatera Kalimantan

58

ra maju maupun negara berkembang. Pasar dunia ternak dan hasil ternak diisi oleh banyak negara. Indonesia adalah salah satu negara da-lam percaturan dunia sebagai negara konsumen, karena sebagai produsen hasil ternak peran Indonesia relatif kecil. Dalam pasar global, Indonesia adalah negara yang sangat membu-tuhkan input teknologi peternakan untuk meng-gerakan proses produksi dalam negeri, dan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dalam negeri.

Industri peternakan yang mempunyai ketergantungan tinggi pada bahan baku dan teknologi impor membawa berbagai ancaman dalam negeri. Seperti yang dialami dalam masa krisis moneter, yang telah memporakporandakan industri ayam ras dan sapi potong. Ancaman lain bisa datang dari negara eksportir teknologi tersebut, khususnya, jika mereka mendapat gangguan dalam negeri atau hubungan bilateral. Dalam hal ini, setiap saat negara tersebut dapat menghentikan ekspor teknologi. Seperti kasus wabah AI, setiap negara yang terkena epidemi akan menghentikan ekspor bibit Grand Parent Stock (GPS) unggas ke Indonesa, maka dalam masa satu tahun industri ayam ras dalam negeri akan bangkrut. Atau, jika Australia mendapat masalah cuaca, sehingga mereka terpaksa menghentikan ekspor sapi bakalan ke Indonesia, maka dalam 3 tahun akan terjadi kepunahan ternak sapi lokal. Demikian juga dengan anca-man kesulitan impor susu, dapat memberikan dampak kelaparan pada jutaan bayi. Ketergan-tungan pada impor, jika tidak ditunjang oleh usaha-usaha membangun kemandirian, akan mendorong ketergantungan semakin mendalam dan sulit dipecahkan.

Pembangunan peternakan tentu harus disertai berbagai usaha konkrit untuk mengurangi impor. Pengurangan impor secara bertahap dapat dimulai dari beberapa produk impor yang dapat dihasilkan sendiri dan dalam waktu relatif singkat misalnya 2-3 tahun. Item impor yang diperkirakan dapat dihasilkan sendiri adalah impor sapi bakalan, impor kulit, impor daging dan jeroan, serta impor bahan baku pakan, karena segera dapat diisi oleh produk dalam negeri. Diperlukan berbagai progam terobosan jangka menengah menghadapi penurunan impor terse-but dengan memanfaatkan keunggulan kompara-tif, seperti plasma nutfah, persediaan pakan hijauan makan ternak (HMT) yang berlimpah se-

panjang tahun, teknologi budidaya, dan keunggulan wilayah sebagai daerah bebas penyakit.

Pada sisi ekspor, Indonesia mempunyai peluang besar mengisi pasar ternak hidup, daging, telur, dan susu. Indonesia dianggap sebagai negara produsen yang aman, karena produk ternak yang masih murni alami, serta bebas penyakit mulut dan kuku. Sampai saat ini ekspor hasil perternakan Indonesia relatif kecil dibandingkan nilai impor, tetapi tetap menggembirakan karena ekspor terus mengalami pertumbuhan 17%/th. Posisi Indonesia sebagai eksportir ternak sebenarnya sangat diharapkan oleh negaranegara Islam dunia. Mereka membutuhkan 5 juta ekor kambing setiap tahun, dan berharap Indonesia dapat mengisi sebagian kebutuhan tersebut. Jika Indonesia mampu mengisi 5% saja dari kebutuhan tersebut, atau sekitar 250 ribu ekormerupakan permulaan yang baik. Selain itu, kerjasama dengan negara-negara Islam perlu dikembangkan terutama dalam hal pengadaan dan pemotongan ternak untuk kebutuhan ibadah haji. Pengadaan dan pemotongan ternak dapat dilakukan di Indonesia, sehingga mengurangi beban negara Arab Saudi dalam membagikan daging korban yang melimpah.

Peluang ekspor daging ke Malaysia danBrunei Darussalam sangat besar, karena masyarakat negeri ini sangat menggemari daging sapi bali dibandingkan daging sapi hibrid. Betapapun kecilnya permintaan kedua negara tersebut, Indonesia harus berusaha memenuhinya, sebagai satu langkah menuju langkah besar dalam meningkatkan daya saing agribsinis ternak. Sementara itu, ekspor ayam ras terlihat terus berkembang sehingga memperlihatkan peluang lain yang harus diraih. Peluang ekspor lain, adalah pakan HMT yang berlimpah dalam negeri untuk tujuan Australia. Australia pernah menjajaki kemungkinan impor HMT dari Indonesia, terutama pada musim kemarau panjang yang melanda negara itu, namun Indonesia belum bisa merespon peluang tersebut. Padahal, Indonesia adalah negara pengimpor sapi bakalan terbesar dari Australia, sehingga mempunyai insentif besar untuk mendapatkan peluang kerja sama dengan Australia.

Masalah Umum Pembangunan Peternakan

Struktur industri peternakan untuk semua komoditas ternak domestik sebagian besar (6080%) tetap bertahan dalam bentuk usaha rakyat.

59

Usaha rakyat mempunyai ciri-ciri, antara lain tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konventional, lokasi ternak menyebar luas, skala usaha relatif kecil, serta pengadaan input utama yakni HMT yang masih tergantung pada musim, tenaga kerja keluarga, penguasaaan lahan HMT yang terbatas, produksi butir-butiran terbatas, dan sebagian tergantung pada impor.

Faktor penghambat utama bagi perkem-bangan peternakan rakyat adalah ketersediaan HMT dan butir-butiran. Indonesia memproduksi HMT untuk ruminansia secara berlimpah, dan tersebar diseluruh wilayah, namun sebagian be-sar terbuang. Pada sisi lain, peternak membutuh-kan tenaga kerja untuk mencari HMT. Pengada-an input yang tidak efektif seperti itu dilakukan oleh jutaan peternak. Jika tidak ada lembaga jasa penyedia HMT, maka kesulitan tenaga kerja akan menjadi pembatas pengembangan ternak dan skala usaha untuk ternak sapi potong, sapi perah, kerbau, dan kambing di tingkat peternak. Mereka tidak mempunyai modal untuk membayar tenaga upahan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan skala usaha melebihi ke-mampuan ketersediaan tenaga kerja justru membuat usaha menjadi tidak efisien.

Atas dasar itu, ketersediaan lembaga pelayanan pengadaan HMT oleh pihak ketiga akan mendorong peningkatan skala usaha dari minimal 3 ekor menjadi maksimal 30 ekor. Peningkatan ini pada akhirnya meningkatkan produksi peternakan dan akan terjadi pening-katan produksi lebih dari 200%. Pelayanan pe-ngadaan pakan dapat disamakan dengan penga-daan air irigasi untuk tanaman pangan. Selama ini, ketiadaan pelayanan HMT oleh pihak ketiga, khususnya oleh pemerintah, telah terbukti tidak mendorong perkembangan industri peternakan. Usaha tradisional tetap tradisional dan tidak ada kemajuan dalam usaha pembibitan. Jika pelaya-nan itu tersedia, maka diharapkan dari 2 juta peternak rakyat, 10% dapat bangkit menjadi pe-ngusaha-pengusaha skala menengah, 2% men-jadi usaha skala besar, dan sisanya adalah usaha rakyat dengan skala usaha lebih dari 10 ekor per RT. Pengembangan peternakan yang berdayasaing haruslah dimulai dari sini.

Faktor penghambat kedua adalah tekno-logi bibit. Hampir semua jenis ternak domestik tidak mendapat sentuhan teknologi pembibitan yang intensif. Mutu ternak semakin buruk karena

ternak yang baik selalu terpilih untuk dipotong. Berbagai penelitian skala kecil tentang pembibitan telah banyak dilakukan, tetapi belum dapat disosialisasikan dalam skala besar. Dalam hal inikomunikasi antara Badan Litbang Pertanian maupun Peguruanan Tinggi dengan para perumus kebijakan di Direktorat Jenderal Peternakan belum terjalin dengan baik. Hambatan lain, adalah bahwa peternak rakyat tidak mempunyai insentif nyata dalam mengadopsi teknologi baru, apalagi pemanfaatan teknologi baru selalu disertai dengan peningkatan biaya dan perbaikan manajemen. Pada sisi lain, peternak melakukan budidaya dengan untung-untungan dan biaya mendekati nol.

Untuk merespon permasalahan bagaimana kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan manfaat dan nilai tambah sumberdaya ternak domestik. Banyak gagasan berkembang, antara lain mendorong investor skala besar untuk mengambil alih usaha rakyat itu. Namun, pengusaha besar lebih menyukai menggunakan manajemen dan teknologi impor seperti apa yang dilakukan perusahaan feedlot sapi potong, perusahaan peternakan ayam modern, perusahaan sapi perah, dan babi. Namun demikian, pemerintah tidak dapat berpaling dari sumberdaya ternak domestik yang bernilai tinggi dan yang sudah terbukti berperan besar dalam perekonomian pedesaan. Untuk jangka menengah, pemerintah diharapkan menjadi satu-satunya investor bagi terciptanya pelayanan bagi pengembangan usaha rakyat. Pemerintah merupakan lembaga yang saat ini layak mengantarkan industri peternakan rakyat pada pintu gerbang siap landas.

Masalah ketiga berkaitan dengan agroindisutri peternakan. Kebijakan pembangunan agroindustri peternakan selama ini secara umum tidak terkait ke belakang, yakni pada budidaya peternakan dalam negeri. Sebagai contoh, industri pengolahan susu, sebagian besar menggunakan input dari negara asal; industri peralatan rumah tangga dan aksesories, mengimpor kulit dari berbagai negara; dan industri perhotelan membutuhkan daging asal impor. Dengan demikian pertumbuhan agroindustri tidak turut mendorong pertumbuhan subsektor peternakan.

Masalah keempat adalah belum tersedianya data yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan keabsahan informasi yang diberikansekalipun instansi yang mempublikasikan data itu mempunyai kredibilitas tinggi. Dampak dari kele

60

mahan pengadaan data ini adalah pertama, pemerintah tidak bisa membuat kebijakan spe-sifik sesuai permasalahan, kebijakan selalu bersi-fat umum; kedua, dampak kebijakan tidak bisa dianalisis, sehingga pengalaman yang diperoleh dari implementasi program tidak dapat diman-faatkan. Pemerintah sebaiknya mulai melakukan pendataan sensus, survei tentang populasi ter-nak secara lengkap dan bertahap sesuai kebu-tuhan, misalnya, dimulai dari wilayah pengemba-ngan strategis, atau dimulai dari suatu wilayah kecil, kemudian berkembang secara bertahap ke wilayah yang lebih luas dan akhirnya secara nasional.

Otonomi Daerah dan Manajemen Pembangunan

Pembangunan Peternakan mencakup pembangunan semua aspek yang dimulai sejak proses produksi, distribusi, hingga konsumsi. Agar pembangunan tersebut memberikan manfa-at kepada semua pihak diperlukan peran peme-rintah. Dalam era Otonomi Daerah (Otda) peran tersebut dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Sejak era Otda banyak Dinas Peternakan lingkup provinsi, kota, dan kabupaten semakin melemah fungsinya. Hal tersebut disebabkan oleh digabungkannya Dinas Peternakan di beberapa kabupaten/kota dan bahkan provinsi dengan Dinas Lingkup Per-tanian lainnya. Dengan kondisi yang demikian, maka program yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat veteriner makin terabaikan. Padahal, di masa depan masalah ini semakin komplek dan konsumen makin menuntut kualitas pangan yang baik.

Perkembangan RPH/RPA dalam bentuk Badan Usaha Daerah dan Privat yang kecende-rungannya berorientasi profit semata, sehingga mengabaikan fungsinya melaksanakan program ASUH. Jika kecenderungan ini tidak diantisipasi akan makin sulit melakukan pengawasan dan pengendalian penyakit dan mutu produk ternak. Termasuk dalam hal ini adalah jaringan kerja pengawasan dan pengendalian penyakit hewan, serta pengawasan mutu produk ternak yang lintas daerah membutuhkan koordinasi antar-daerah. Jika tidak, maka akan sulit menghindari penyebaran penyakit menular antardaerah.

Perdagangan ternak dari daerah produk-si ke daerah konsumsi melintasi beberapa wila-yah administratif. Kegiatan tersebut membutuh-

kan biaya, baik resmi maupun tidak resmi, sehingga meningkatkan harga jual produk. Di sisi lain, perdagangan yang mengglobal memungkinkan masuknya produk ternak asal impor. Jika hal tersebut tidak diperhatikan, produk domestik akan kalah bersaing dengan produk impor di daerah konsumen. Akibatnya, produk peternakan disentra produsen akan menurun nilai tambahnya dan pada akhirnya akan mengurangi aktivitas ekonomi peternakan di sentra produksi, sehingga merugikan daerah itu sendiri.

Perijinan impor dan ekspor produk ternak harus mengikuti pedoman nasional. Hal ini dilakukan karena bukan hanya semata berkaitan dengan masalah ekonomi, tetapi juga penyebaran penyakit. Kebebasan daerah melakukan impor hanya berdasarkan kebutuhan konsumsitanpa memperhatikan aspek-aspek karantinadapat menimbulkan penyakit pada daerah tersebut dan daerah sekitarnya. Upaya ini juga akan mengganggu kelangsungan usaha domestik di daerah tersebut dan daerah sekitarnya. Karena jika suatu daerah melakukan impor, kemungkinan akan terjadi perembesan produk impor tersebut ke daerah sekitarnya.

Perdagangan ternak bibit harus berpedoman pada sistem pembibitan nasional. Suatu daerah akan melakukan ekspor bibit dengan alasan ekonomi atau alasan lainnya, kegiatan tersebut dapat melanggar sistem pembibitan terutama yang berkaitan dengan plasma nutfah. Demikian juga impor jenis ternak ras tertentu tanpa terkendali dapat menggangu kemurnian plasma nutfah yang ada di daerah.

Dari masalah-masalah tersebut, diperlukan penegasan pengaturan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan Pembangunan Peternakan. Oleh karena itu, dalam era otonomi daerah manajemen pembangunan perlu melibatkan semua pemangku kepentingan. Manajemen pembangunan dalam era otonomi daerah adalah: formulasi suatu kebijakan kedepan harus melalui proses bottom up dan konsultasi publik yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Selanjutnya, hasil formulasi kebijakan tersebut disosialisasikan ke masyarakat luas dan dijalankan secara konsisten. Perubahan-perubahan kebijakan yang dilakukan haruslah berdasarkan kondisi yang terjadi di lapang, mengutamakan kepentingan masyarakat banyak, layak secara teknis, ekonomis dan sosial.

61

PROSPEK PETERNAKAN 2007

PDB, Kesempatan Kerja, dan Konsumsi

PDB Peternakan tahun 2006 dan 2007 mengalami penurunan sebagai akibat dampak AI ternyata tidak terbukti. AI yang terjadi pada akhir tahun 2003, hanya memberikan dampak psiko-logis selama periode bulan Januari sampai Juni 2004. Setelah itu, konsumsi kembali bergerak normal. Penyebab kedua adalah wabah flu burung pada ayam ras telah dapat ditanggulangi. Sehingga persitiwa wabah flu burung yang terjadi tahun 2005 dan 2006 sebagian besar hanya ditemukan pada unggas liar, ayam buras, itik, angsa, dan burung liar.

Peningkatan PDB tahun 2006 akan meningkatkan pendapatan per kapita, sehingga konsumsi hasil peternakan khususnya daging sapi akan meningkat. Meningkatnya impor sapi bakalan akan mendor0ng peningkatan PDB Peternakan. Dengan demikian, diperkirakan PDB peternakan yang sebagian besar disumbang oleh ayam ras diproyeksikan naik 7,92% dan 8,31%. PDB tahun 2007 diperkirakan sebesar Rp 52 triliun berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau jika dihitung berdasarkan harga yang berlaku sekitar Rp 61,9 triliyun.

Keberhasilan pembangunan peternakan tahun 2007 akan ditentukan oleh kebijakan yang

tepat dalam pengaturan impor (termasuk impor illegal) ternak hidup, daging dan pajak PPN, serta otonomisasi daerah. Situasi yang masih mengancam tahun 2007 adalah wabah AI, sapi gila dan penyakit mulut-kuku. Jika Indonesia berhasil mengendalikan AI tahun 2006, akan memberikan dampak luas pada pandangan positif dunia internasional, dan dampak positif domestik adalah peningkatan pada konsumsi serta pengembangan usaha. Peningkatan anggaran pembangunan peternakan hendaknya dapat diarahkan pada simpul-simpul pembangunan peternakan, sebagai investasi publik, sehingga dapat mendorong investor membuka usaha komersil.

Harga Hasil Ternak : Karkas, Broiler, dan Broiler Hidup Peternak menjual produksi ayam broiler kepada pedagang dalam bentuk hidup. Kemudian pedagang menjualnya kepada RPA (Rumah Potong Ayam). RPA memproduksi karkas broiler dan menjualnya ke berbagai pedagang eceran. Pedagang eceran menjual langsung kepada konsumen. Dengan demikian, ada tiga tingkat harga yang patut diamati, yakni harga broiler hidup, harga karkas produsen (RPA), dan harga karkas konsumen. Gambar 10 memperlihatkan perkembangan ketiga tingkat harga tersebut dan harga proyeksi bulanan untuk akhir tahun 2006 dan sepanjang tahun 2007. Proyeksi harga kar

Sumber: Berbagai Sumber al. Laporan Dinas Peternakan Kab. Blitar, Bogor dan Cianjur

Gambar 11. Perkembangan Harga Karkas Broiler, 2003-2006

3,000

5 ,000

7 ,000

9 ,000

11 ,000

13 ,000

15 ,000

17 ,000

19 ,000

21 ,000

J ,03 A J O J ,04 A J O J ,05 A J O J,06 A J O J,07 A J O

K a r k a s K o n s Karkas P L i v e P

J a b o t a b e k Pro

yeks

i 2 0

07

62

kas khusus untuk Jabotabek mendapat koreksi lebih sebesar 10%. Harga karkas juga mendapat koreksi sebesar 13% pada bulan menjelang le-baran. Beberapa informasi yang dapat diambil dari Gambar 11 adalah:

1. Harga broiler hidup yang diterima peternak relatif stabil pada tingkat Rp 6.000 sampai Rp 7.000 per kg, sekalipun harga karkas tingkat konsumen cenderung terus menga-lami kenaikan. Perbedaan antara harga broiler hidup dengan karkas konsumen relatif besar yakni sekitar Rp 4.000 sampai Rp 6.000. Keadaan ini membuktikan bahwa posisi peternak relatif lemah, penanggung beban biaya dan risiko usaha yang tinggi, sementara keuntungan terbesar diperoleh RPA dan Pedagang.

2. Harga karkas tingkat konsumen akan terus meningkat sampai bulan November 2007. Proyeksi harga broiler pada bulan Oktober menjelang lebaran mencapai Rp 18.000 sampai Rp 19.000 per kg. Kemudian menu-run pada bulan Desember 2006.

Harga Input Utama: DOC Broiler, DOC Petelur, dan Pakan Harga DOC broiler telah diketahui mengi-kuti harga karkas broiler konsumen, sehingga pola perubahannya menyamai pola perubahan harga karkas broiler tingkat konsumen. Gambar 12 memperlihatkan indeks perkembangan harga DOC broiler dan harga karkas tingkat konsumen. Jelas terlihat perkembangan indeks harga DOC broiler mirip dengan pola perkembangan harga karkas, kecuali pada krisis wabah AI. Sedangkan Gambar 13 memperlihatkan perkembangan har-ga pakan yang relatif konstan. Sehingga proyeksi harga DOC dapat dikaitkan dengan harga karkas broiler.

Permintaan DOC petelur sangat menu-run pada awal 2006 hingga saat ini. Penurunan permintaan telah menyebabkan stok DOC ber-lebih dibandingkan permintaan, sehingga harga DOC petelur turun drastis sebesar 70%. Seba-liknya harga telur meningkat sekitar 10 sampai 20%. Kenaikan harga telur ini dipicu oleh pening-katan permintaan pada bulan puasa. Sementara itu, penurunan permintaan DOC disebabkan oleh keengganan peternak mengafkir ayam yang tua yang ternyata masih produktif, dan ada perasaan was-was akan muncul kembali wabah AI sebagai akibat dari pemberitaan pers tentang serangan

wabah AI pada manusia. Kejadian penurunan permintaan terjadi mulai awal tahun 2006. Diprediksi harga telur ayam akan mencapai Rp 9.000 sampai Rp 10.000 per kg pada awal tahun 2007, karena sebagian besar ayam petelur diafkir sementara tingkat replacement stock sangat rendah.

Sebaliknya, permintaan DOC broiler pada saat ini meningkat sebesar 250% dari harga normal, karena persediaan DOC broiler menurun. Penurunan suplai DOC broiler karena penurunan impor ayam PS dan FS, dan pada sisi lain, karena dampak AI telah terjadi penurunan suplai DOC broiler itu sendiri. Sebagaimana telah dilaporkan di atas bahwa usaha ayam broiler masih gamang terhadap wabah AI dibanding ayam petelur. Selain itu, permintaan DOC selalu meningkat dua bulan sebelum lebaran dan turun lagi sebulan setelah lebaran. Namun, dengan harga yang demikian mahal, tetap saja tidak mudah menemukan DOC di pasar, karena penjualan DOC diutamakan bagi peternak bermitra, sedangkan peternak mandiri dapat dikatakan tidak mendapat jatah. Keadaan ini memaksa usaha peternak mandiri menutup usahanya, walau sementara. Keadaan ini merupakan dampak atau indikasi monopoli atau oligolipoli dalam perdagangan DOC.

Jika dilihat berdasarkan data impor DOC PS dan FS, maka sejak tahun 2004 Indonesia menghentikan impor. Pada tahun 2002, nilai impor DOC PS adalah US$ 11.129,8 dengan laju pertumbuhan dari tahun 1998 sebesar 42%/thmengalami penurunan drastis (Statistik Peternakan, 2005). Sebagai akibatnya, produksi DOsejak tahun 2006 semakin menurun khususnya ayam broiler. Pada sisi lain, ekspor DOC PS sejak tahun 2004 sudah berhenti karena negara importir tidak lagi mengimpor dari Indonesia sebagai dampak wabah AI. Namun demikiannilai impor relatif kecil dibandingkan nilai ekspor yakni sekitar 10%.

Dampak wabah AI yang dinilai positiadalah pengembangan produk daging brolier menjadi berbagai produk olahan. Pada saat wabah AI sedang berjangkit dan masyarakat menolak mengkonsumsi daging ayam, maka ribuan ton daging broiler yang tadinya terancam dibuang, diolah oleh industri pengolahan bahan makanan. Sejak tahun 2005, produk olahan asal unggas meningkat karena pasar menerima dengan produk baru ini. Pada saat ini, produk olahan daging unggas seperti nugget, baso, ke

63

Rupuk, dan sebagainya memperlihatkan phase baru kemajuan produk olahan, setelah wabah AI.

PENUTUP

Kebijakan Perdagangan

Impor Sapi Bakalan

Kebijakan impor sapi bakalan ternyata telah mulai memberikan dampak negatif bagi produksi dalam negeri. Namun demikian, sisi

positif dari impor sapi bakalan ini adalah pertama mengurangi pengurasan ternak di wilayah WSP dan pada sisi lain kebutuhan daging terpenuhi di WSK sehingga inflasi dapat ditekan. Oleh karena itu, jumlah impor sapi bakalan harus mempertimbangkan tingkat pengurasan dan tingkat kemampuan produksi dalam negeri. Jumlah impor sapi bakalan pada angka lebih dari angka 400 ribu ekor di duga telah dapat mencegah pengurasan di WSP, tetapi jumlah itu telah memberikan dampak terhadap banyak perusahaan perdagangan ternak antarpulau yang terpaksa

Sumber: Berbagai Sumber al. Laporan Dinas Peternakan Kab. Blitar, Cianjur dan Bogor Gambar 12. Perkembangan Indeks Harga DOC dan Harga Karkas Broiler, 2003-2006

Sumber: Berbagai Sumber al. Laporan Dinas Peternakan Kab. Blitar, Cianjur dan Bogor

Gambar 13. Perkembangan Harga Karkas Broiler, DOC dan Pakan, 2003-2006

3,000

5,000

7,000

9,000

11,000

13,000

15,000

17,000

19,000

21,000

J ,03 A J O J,04 A J O J ,05 A J O J ,06 A J O J , 0 7 A J O

K a r k a s K o n s Karkas P L i v e P

J a b o t a b e k Pro

y eks

i 2 0

07

-

40

80

120

160

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47

Karkas Kons DOC B

64

harus menutup usahanya. Untuk menjawab bera-pa jumlah impor yang layak dari tahun ke tahun perlu dilakukan penelitian tentang besaran para-meter suplai dan permintaan dalam negeri teruta-ma untuk WSP dan WSK.

Perdagangan Karkas Menggantikan Perdagangan Ternak Hidup

Pada masa datang perdagangan ternak hidup di dalam negeri mungkin tidak layak lagi. Perdagangan ternak hidup tidak menguntungkan, terlalu banyak pengeluaran retribusi dan pu-ngutan, serta risiko kematian dalam perjalanan. Untuk meningkatkan efisiensi dalam perdagang-an ternak, maka layak bagi pemerintah menye-diakan RPH yang modern di WSP. Pemba-ngunan RPH modern yang telah dilakukan pemerintah di berbagai provinsi ternyata tidak berjalan. Oleh karena itu, untuk antisipasi masa depan, paling tidak RPH modern yang ada di WSP harus kembali dihidupkan untuk tujuan melayani pasar daging khususnya di WSK.

Kebijakan Sistem Produksi Kebijakan Tidak Lagi Fokus pada Usaha Rakyat

Dalam review yang telah disampaikan di atas telah diperlihatkan bahwa industri ayam ras dan usaha pengemukan sapi potong hanya bisa berkembang jika dikelola secara komersil dalam bentuk usaha swasta. Dengan kata lain, peme-rintah harus meninggalkan cara-cara lama dalam pengembangan peternakan, seperti strategi dan program yang difokuskan pada usaha peter-nakan rakyat. Sudah terbukti selama 20 tahun pembangunan peternakan dengan strategi mem-bangun usaha rakyat ternyata tidak berhasil.

Ada dua cara yang saat ini dapat segera dilakukan, yakni pemerintah memfokuskan prog-ram-program pembangunan peternakan untuk meningkatkan kemampuan usaha ternak skala kecil (bukan usaha rakyat) yang bersifat komersil hingga skala menengah dengan strategi pen-dekatan agribisnis seperti yang disarankan Davis and Goldberg (1957). Untuk itu, pemerintah pada tingkat kabupaten diharapkan melakukan pen-dataan tentang keberadaan usaha penggemukan skala kecil dan skala menengah ini. Langkah selanjutnya adalah membuat kebijakan pemba-ngunan peternakan komersil di wilayahnya ma-sing-masing. Pemerintah sendiri berperan men-

ciptakan lingkungan yang kondusif dan memberikan pelayanan seperti penyediaan pelayanan investasi yang cukup dan memberikan porsi perhatian yang tinggi terhadap pembangunan peternakan.

Berbagai program yang selama ini diterapkan seperti IB, program bantuan seperti CLS, BLM, Ketahanan Pangan, dan sebagainya, sebaiknya difokuskan pada wilayah sentra produksi, sehingga program-program itu mempunyai skala yang besar, dan diharapkan dapat mempengaruhi secara efektif terhadap populasi dan produktivitas di wilayah produksi. Kebiasaan membagikan program berdasarkan pemerataan di seluruh tempat sebaiknya tidak dilakukan lagi. Program-progam diimplementasikan pada wilayah-wilayah yang diunggulkan.

Saran Kebijakan Menyangkut AI

Perlu dipertimbangkan memberikan sertifikat bebas AI tingkat kabupaten untuk memacu pencapaian Indonesia bebas AI tahun 2009. Pemberian sertifikat bebas AI akan sangat membantu lalu lintas perdagangan peternakan ke arah yang lebih sehat. Pada sisi lain, perusahaan industri hilir dan hulu yang berada pada wilayah tertular akan terdorong untuk bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat lebih intensif dalam membebaskan wilayah dari wabah AI.

Restrukturisasi industri perunggasan yang saat ini terjadi secara alami akan mengarah pada pembentukan industri perunggasan skala besar, padat modal, dan terintegrasi. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah, apakah harus demikian? Jika pemerintah tetap berpegang pada komitmen peternakan sebagai usaha rakyatmaka sistem kemitraan yang saat ini terjadi harus ditata ulang kembali, sehingga kemitraan menjadi media bersama mencari laba yang adil.

Pada masa mendatang usaha ternak mandiri sektor 3 diprediksi tidak akan ada lagi, sebaliknya bentuk kemitraan dengan perusahaan peternakan (bukan pedangan seperti PS) akan menjadi pilihan utama bagi masyarakat. Disarankan supaya pemerintah mengarahkan bentuk kemitraan tersebut ke dalam bentuk terintegrasi dengan inti terutama dalam pelaksanaan biosekuriti, pelayanan input dan output. Dalam hal ini, peternak mitra haruslah menjadi bagian yang terintegrasi dalam proses produksi perusahaan inti. Dengan demikian, kemitraan yang saling menguntungkan dapat dicapai.

65

Pemerintah perlu merancang dan melak-sanakan penelitian dampak sosial ekonomi AI di seluruh daerah di Indonesia untuk mendapat gambaran yang lebih komprehensif dan menda-lam. Penelitian ini perlu untuk mendorong re-strukturisasi yang rasional, efektif, dan efisien. Pemerintah pusat diharapkan dapat mengge-rakan dinas peternakan pada tingkat kabupaten untuk melakukan pendataan usaha peternakan yang lebih rinci. Pada saat ini, Dinas Peternakan hanya fokus pada pelayanan peningkatan po-pulasi.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 1983. Sensus Pertanian. Badan Pusat Statistik.

Jakarta.

BPS. 1993. Sensus Pertanian. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

CBS. 2006. Import and Eksport Live Stock From Australia. Central Bureau of Statitik, Austalia. Sydney.

Davis. J. And R. Goldberg. 1957. A Concept of Agribussiness. Harvard University. Boston. USA.

Dinas Peternakan Kabupaten Blitas. 2006. Laporan Harga Komoditas Peternakan. Cianjur

Dinas Peternakan Kabupaten Cianjur. 2006. Laporan Harga Komoditas Peternakan. Cianjur

Dinas Peternakan Kabupaten Majalengka. 2006. Laporan Harga Komoditas Peternakan. Cianjur.

PMDN. 2006. Laporan Perkembangan Investasi. PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). Jakarta.

Sensus Peternakan 1993. Seri Peternakan Ayam. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

Sensus Peternakan 2003. Seri Peternakan Ayam. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

Singh. H and E. N. Moore. 1972. Livestock and Poultry Production. Prentice-Hall of India Private Limited. New Delhi.

Statistik Peternakan. 2006. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Wodzlcka. T., A. Djajanegara., S. Gardiner, T. R. Wiradarya dan I. M. Mastika. 1993. Small Ruminant Production in The Humid Trapics (With special reference to Indonesia). Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Yusdja. Y dan N. Ilham. 2006. Strategi Kebijakan Pembangunan Peternakan. Jurnal AKP (Analisis Kebijakan Pertanian) 4(1). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor

Yusdja. Y dan N. Ilham. 2007. Gagasan Peternakan Masa Depan. Laporan Teknis. Belum Diterbitkan. Arsip: Jurnal FAE (Forum Agro Ekonomi). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor

Yusdja. Y, N. Ilham, Sayuti, R., S. Wahyuning., I. Sodokin., Yulia. 2006. Usulan Bahan Untuk Renstra Perternakan. Makalah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor.

Yusdja. Y., E. Basuno dan I. W. Rusastra. 2005. Socio-Economic Impact Assesment of Avian Influenza Crisis on Poultry Production, with Particular Focus on Independent Smallholders. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

66

KINERJA DAN PROSPEK PEMBANGUNAN HORTIKULTURA PERFORMANCE AND FORESIGHT OF HORTICULTURE DEVELOPMENT

Bambang Irawan, Herlina Tarigan, Budi Wiryono, Juni Hestina dan Ashari

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Horticulture development expressed in growths of production and yield, prices stabilities, balance of trade in 2000-2005 and the achievement of production target in 2007 indicates an unsucces performances. During the periode of Kabinet Indonesia Bersatu, acceleration of production growth observed for commodities with decreasing tren in consumption and the dependency of production growth on harvested area tend to increase, this situation can lead to higher competition with other crops in area usages. Growths of yield tend to decrease for banana and orange, the opposite for shallot and orchide. The products prices are more fluctuated due to particularly a spectaculaire price increase in January 2006, while defisit trade of horticulture products tend to increase with an increasing rate. Production target of shallot seem to be difficult to achieve and more easy for orange, but it should be noted that this situation may come from inaccurate data of orange production target. To increase shallot production a special program of shallot in dryland area, which includes the developments of better varieties, local seed producers and incentive system, should be conducted. Implementations of SOP, GAP and GHP are also important to produce better quality of exported products particularly, while institutions development should be conducted to improve the competitiveness of agribussiness system. Key words : consumption, production, yield, prices stability, trade, horticulture.

ABSTRAK

Pembangunan hortikultura yang diekspresikan dalam pertumbuhan produksi, produktivitas, stabilitas

harga, dan neraca perdagangan selama tahun 2000-2005, serta pencapaian sasaran produksi tahun 2007 menunjukkan kinerja yang tidak begitu baik. Sejak masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, laju pertumbuhan produksi justru semakin cepat pada jenis komoditas yang konsumsinya cenderung turun dan pertumbuhan produksi semakin tergantung pada perluasan areal tanam yang dapat menimbulkan persaingan dengan komoditas lain. Laju peningkatan produktivitas juga semakin lambat pada komoditas pisang dan jeruk, meskipun mengalami peningkatan pada komoditas anggrek dan bawang merah. Stabilitas harga juga tidak semakin baik akibat lonjakan harga yang sangat tinggi pada Januari 2006. Defisit perdagangan hortikultura semakin besar dengan laju pertumbuhan defisit yang semakin tinggi pada tahun-tahun terkahir. Pencapaian sasaran produksi tahun 2007 diperkirakan cukup sulit diwujudkan pada bawang merah, meskipun pada komoditas jeruk jauh melampaui sasaran, tetapi hal itu tampaknya lebih disebabkan oleh akurasi sasaran produksi yang lemah. Dalam rangka mengatasi produksi bawang merah yang terus mengalami penurunan dan menekan impor yang cenderung naik, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengembangkan budidaya bawang merah di lahan kering. Dalam kaitan tersebut, perlu dikembangkan suatu program khusus yang sedikitnya melibatkan pengembangan benih unggul dan penangkaran benih secara in situ, di samping pengembangan insentif dan subsidi untuk mendorong adopsi teknologi. Penerapan SOP, GAP, dan GHP perlu ditempuh untuk meningkatkan mutu produk hortikultura terutama yang berorientasi ekspor atau substitusi impor, di samping pengembangan kelembagaan agribisnis yang mengarah pada kelembagaan sistem agribisnis yang berdaya saing. Kata kunci : konsumsi, produksi, produktivitas, stabilitas harga, perdagangan, hortikultura

PENDAHULUAN

Pembangunan sektor pertanian secara umum ditujukan untuk mencapai enam tujuan, yaitu (a) mendorong pertumbuhan ekonomi, (b) meningkatkan lapangan kerja, (c) meningkatkan

perolehan devisa, (d) meningkatkan ketahanan pangan, (e) mengurangi jumlah penduduk miskindan (f) menciptakan pemerataan pendapatan. Subsektor hortikultura yang meliputi empat kelompok komoditas sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan biofarmaka memiliki peranan penting dalam perolehan devisa dan ketahanan

67

pangan rumah tangga. Misalnya, selama tahun 1980-2000 nilai ekspor sayuran dan buah me-nyumbang sekitar 12% - 17% nilai ekspor bahan pangan yang dihasilkan oleh sektor pertanian dan sektor perikanan (Irawan, 2003). Sementara itu, dalam konsumsi gizi rumah tangga yang merupakan indikator bagi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, komoditas sayuran dan buah-buahan merupakan sumber mineral dan vitamin yang utama. Walaupun sumbangannya terhadap konsumsi kalori dan protein relatif kecil dibanding komoditas pangan lain terutama beras.

Meningkatnya permintaan produk horti-kultura pada dasarnya merupakan faktor penarik bagi pertumbuhan agribisnis hortikultura. Dalam jangka panjang, permintaan komoditas hortikul-tura diperkirakan akan terus meningkat, dengan laju lebih cepat dibanding komoditas pangan lainnya. Di samping akibat meningkatnya jumlah penduduk, hal tersebut dapat dirangsang oleh beberapa faktor lain, yaitu (a) Dengan pertim-bangan kesehatan konsumsi pangan cenderung bergeser pada bahan pangan nonkolesterol ter-utama pada kelompok rumah tangga berpenda-patan tinggi atau di negara-negara maju. Pada tataran dunia hal tersebut ditunjukkan oleh ada-nya peningkatan pangsa perdagangan produk hortikultura terhadap total nilai perdagangan bahan pangan yaitu dari 13,4% pada tahun 1980 menjadi 26,1% pada tahun 2000 (Irawan, 2003). (b) Permintaan produk hortikultura umumnya le-bih elastis terhadap pendapatan dibanding per-mintaan produk pangan lainya, sehingga kenaik-an pendapatan rumah tangga akan diikuti de-ngan kenaikan permintaan produk hortikultura pada laju yang lebih besar daripada produk pangan lain. (c) Konsumsi per kapita produk hortikultura dan laju kenaikan pendapatan rumah tangga umumnya lebih tinggi di daerah kota daripada daerah pedesaan. Konsekuensinya adalah berkembangnya daerah perkotaan akan mendorong peningkatan permintaan produk horti-kultura. (d) Berkembangnya kawasan wisata yang akhir-akhir ini menjadi salah satu fokus pembangunan nasional akan diikuti dengan pe-ningkatan kebutuhan produk hortikultura seperti tanaman hias dan buah-buahan. Sementara ber-kembangnya industri farmasi dapat merangsang peningkatan kebutuhan produk biofarmaka.

Dalam kerangka revitalisasi pertanian dan pedesaan, subsektor hortikultura merupakan salah satu andalan sumber pertumbuhan sektor pertanian. Pada tahun 2007 PDB sektor pertani-

an diharapkan naik sebesar 3,37% dan subsektorhortikultura diharapkan dapat memberikan sumbangan sebesar 3,27%. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan sektor pertanian tersebut maka pada tahun 2007 subsektor hortikultura diharapkan dapat menghasilkan PDB sebesar 67,4 triliun rupiah atau naik sebesar 6,02% (Ditjen Hortikultura, 2006). Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran tersebut dan mengoptimalkan pembangunan subsektor hortikultura, maka diperlukan suatu evaluasi terhadap kinerja pembangunan hortikultura yang sudah dilaksanakanagar dapat dipahami berbagai peluang yang tersedia dan kelemahan yang dihadapi, beserta solusi kebijakan dan strategi pembangunan yang perlu disempurnakan.

Makalah ini bertujuan untuk melakukan tinjauan kinerja pembangunan hortikultura yang telah dilaksanakan hingga tahun 2005. Tinjauan tersebut dilakukan pada aspek konsumsi, produksi, perdagangan, dinamika harga, dan prospek pengembangan komoditas hortikultura pada tahun 2007. Agar pembahasan lebih fokus, pengkajian secara detail hanya dilakukan untuk empat komoditas hortikultura yang termasuk unggulan nasional yaitu jeruk, pisang, bawang merah, dan anggrek.

DINAMIKA KONSUMSI KOMODITAS HORTIKULTURA

Meningkatnya kebutuhan konsumsi akibat peningkatan konsumsi per kapita, jumlah penduduk, dan perubahan preferensi konsumen pada dasarnya merupakan faktor penarik bagi pertumbuhan agribisnis hortikultura. Faktor lain yang dapat mempengaruhi permintaan komoditas hortikultura adalah harga komoditas tersebut, harga komoditas lain baik yang berperan sebagai subsitusi maupun komplemen, dan tingkat pendapatan penduduk. Pada umumnyakonsumsi sayuran dan buah memiliki elastisitas pendapatan lebih besar dibandingkan konsumsi bahan pangan lain, terutama bahan pangan sumber karbohidrat dan nilai elastisitas tersebut semakin besar pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka pembangunan ekonomi yang selanjutnya berdampak pada kenaikan pendapatan penduduk akan meningkatkan konsumsi komoditas hortikultura dengan laju kenaikan lebih tinggi dibanding bahan pangan lainnya.

68

Pada tahun 2005, konsumsi buah dan sayuran mencapai 31,56 kg/kap/th dan 35 kg/ kap/th, dan tingkat konsumsi tersebut masing-masing mengalami peningkatan sebesar 16,02% dan 5,40% dibanding tahun sebelumnya (Ditjen Hortikultura, 2006). Laju peningkatan konsumsi per kapita sayur dan buah tersebut lebih tinggi di daerah kota daripada daerah pedesaan. Semen-tara itu, untuk mencapai kecukupan konsumsi pangan dengan komposisi gizi berimbang FAO memperkirakan bahwa konsumsi sayur dan buah bagi penduduk Indonesia seyogyanya sekitar 75 kg/kapita/th. Jika dibandingkan dengan rekomen-dasi konsumsi tersebut, maka konsumsi sayuran dan buah pada tahun 2005 masih jauh lebih rendah.

Sejalan dengan meningkatnya penda-patan rumah tangga dan membaiknya kesadaran masyarakat tentang gizi, konsumsi sayur dan buah di masa mendatang diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Data Susenas me-nunjukkan bahwa selama tahun 1987-2005 kon-sumsi jeruk dan bawang per kapita rata-rata naik sebesar 45,82%/th dan 4,06%/th (Tabel 1). Tingginya laju pertumbuhan konsumsi jeruk ter-utama disebabkan oleh adanya lonjakan kon-sumsi pada tahun 2005, yaitu dari sekitar 1 kg/kapita/th selama tahun 1990-2002 menjadi 4 kg/kapita/th pada tahun 2005. Namun hal ini perlu dicermati mengingat data Susenas yang diterbitkan oleh BPS memiliki kelemahan yaitu: (a) Data konsumsi rumah tangga yang dikum-pulkan adalah banyaknya konsumsi pada se-minggu yang lalu, terhitung sejak tanggal penca-cahan atau pengumpulan data. Untuk komoditas yang produksinya bersifat musiman, data terse-but memiliki kelemahan jika diekstrapolasi menja-di konsumsi per tahun. Hal ini karena jika pada saat survei dilakukan sedang musim panen buah atau sayuran tertentu, maka konsumsi buah dan sayuran tersebut akan tinggi dan sebaliknya un-tuk jenis buah dan sayuran lainnya. (b) Konsumsi sayuran dan buah biasanya berbeda dari minggu ke minggu untuk menghindari menu makanan rumah tangga yang membosankan. Konse-kuensinya adalah data konsumsi untuk periode satu minggu pengamatan tidak selalu dapat diekstrapolasi secara langsung menjadi kon-sumsi per tahun. Hal ini terutama berlaku untuk konsumsi oleh penduduk di daerah kota yang umumnya memperoleh sayuran dan buah melalui pasar dan bukan dari hasil produksi sendiri.

Tabel 1. Konsumsi per Kapita Komoditas Pisang, Jeruk, dan Bawang Merah (kg/kap/th)

Tahun Pisang Jeruk Bawang Merah

1987 12,95 0,73 1,96 1990 13,83 0,88 1,92 1993 12,58 0,94 1,96 1996 9,05 1,30 1,96 1999 8,27 1,20 1,49 2002 8,92 1,11 2,15 2005 5,82 4,01 2,33

Pertumbuhan (%) -9,63 45,82 4,06 Sumber : Susenas, BPS.

Berkebalikan dengan konsumsi jeruk dan

bawang merah yang mengalami peningkatan, konsumsi pisang justru turun sebesar -9,63%/thTurunnya konsumsi pisang tersebut dapat disebabkan oleh adanya pergeseran konsumsi buahbuahan dari jenis buah yang dinilai kurang bergengsi, seperti pisang, ke jenis buah lain yang dinilai lebih bergengsi, seperti jeruk dan durian. Faktor lain yang dapat menyebabkan turunnya konsumsi pisang per kapita adalah berkurangnya pasokan pisang di dalam negeri akibat lapeningkatan ekspor yang lebih tinggi daripada laju pertumbuhan produksi dan impor pisang. Selama tahun 2000-2005 volume ekspor pisang naik rata-rata 109,7%/th, sedangkan pertumbuhan produksi pisang hanya sebesar 6,99%/thpada kurun waktu yang sama.

DINAMIKA HARGA KOMODITAS HORTIKULTURA

Fluktuasi harga yang tinggi merupakan isu sentral yang paling sering muncul dalam pemasaran komoditas hortikultura, di samping isu impor buah dan sayuran yang cenderung meningkat akhir-akhir ini. Fluktuasi harga yang tinggi menyebabkan penerimaan petani dari hasil penjualannya sangat berfluktuasi. Kondisi demikian tidak kondusif bagi pengembangan agribisnis hortikultura, karena keuntungan yang diperoleh dari kegiatan agribisnis hortikultura menjadi tidak stabil dan tidak selalu dapat diperkirakan dengan baik. Padahal, tingkat keuntungan yang tinggi dan stabil umumnya justru merupakan daya tarik utama bagi pelaku bisnis untuk melakukan investasi dan memperluas usahanya.

69

Gambar 1 memperlihatkan perkembang-an harga bulanan pisang, jeruk, dan bawang merah selama Januari 2000 hingga Agustus 2006. Tampak bahwa selama tahun 2000-2005, harga bulanan ketiga komoditas tersebut ber-fluktuasi dan berkisar antara Rp 3.000/kg - Rp 6.000/kg. Namun pada bulan Januari 2006 terjadi lonjakan harga dimana harga pisang naik dari Rp 5.822h/kg pada Desember 2005 menjadi Rp 13.263 /kg pada Januari 2006, atau mengalami peningkatan sekitar 128%. Sementara harga jeruk naik dari Rp 6.232/kg menjadi Rp 11.377 /kg (naik 83%) dan harga bawang merah naik paling tinggi yaitu dari Rp 6.607 /kg menjadi Rp 19.188 /kg (naik 190%). Selama tahun 2000-2006, lonjakan harga tersebut merupakan yang paling tinggi, karena pada periode 2000-2005, kenaikan harga bulanan tertinggi hanya men-capai 23% pada komoditas pisang, 42% pada ko-moditas jeruk, dan 55% pada komoditas bawang merah.

Lonjakan harga yang terjadi pada Janua-ri 2006 agak berbeda dengan pola lonjakan

harga yang terjadi selama periode sebelumnya. Selama tahun 2000-2005 kenaikan harga bawang merah yang tinggi (di atas 15%) biasanya terjadi pada bulan Oktober/November dan bulan Februari/Maret, terkait dengan pola produksi dan pola kelangkaan pasokan dalam negeri kedua komoditas tersebut (Tabel 2). Pada komoditas jeruk lonjakan harga biasanya terjadi pada bulan Oktober/November dan bulan Maret, sedangkan pada komoditas pisang terjadi pada bulan Maret/April. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diduga bahwa terjadinya lonjakan harga bawang merah, jeruk, dan pisang pada bulan Januari tahun 2006 kemungkinan bukan hanya disebabkan oleh kelangkaan pasokan yang terkait dengan pola produksi di dalam negeri tetapi juga disebabkan oleh kelangkaan pasokan impor.

Di antara ketiga komoditas hortikultura tersebut diatas, harga bawang merah paling berfluktuasi dibanding harga pisang dan jeruk. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien variasi harga bulanan bawang merah yang relatif tinggi dibanding koefisien variasi harga pisang dan jeruk

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

1-00 7-00 1-01 7-01 1-02 7-02 1-03 7-03 1-04 7-04 1-05 7-05 1-06 7-06

Bulan-TahunH

arg

a (r

p/k

g)

Pisang Jeruk Bw.merah

Gambar 1. Perkembangan Harga Pisang, Jeruk dan Bawang Merah di Pasar Kramat Jati Selama Bulan Januari 2000-Agustus 2006

70

(Tabel 3). Selama tahun 2000-2006, koefisien variasi harga bulanan bawang merah rata-rata sebesar 23,83%, sedangkan pada komoditas pisang dan jeruk sebesar 13,75% dan 15,15%. Jika dibandingkan antara periode 2000-2003 dan periode 2004-2006 tampak bahwa koefisien va-riasi harga ketiga komoditas tersebut mengalami peningkatan, terutama pada harga jeruk, dimana koefisien variasi harga bulanan meningkat dari 11,48% pada 2000-2003 menjadi 20,03% pada 2004-2006, dengan kata lain ketidakstabilan har-ga jeruk meningkat hampir dua kali lipat. Tabel 2. Perubahan Harga Bulanan pada Komoditas

Pisang, Jeruk dan Bawang Merah, Rata-Rata 2000-2005 dan Tahun 2006 (%)

Bulan Pisang Jeruk Bawang merah

Rata-rata 2000-2005 Januari -9,4 -2,4 -11,7 Februari -6,3 -4,8 39,3 Maret 8,4 7,8 21,0 April 6,5 1,2 -7,1 Mei -0,2 -5,1 2,6 Juni 3,1 5,0 -5,1 Juli 2,2 -2,4 -12,1 Agustus 1,8 -11,4 -10,7 September -0,9 7,1 -7,9 Oktober 1,7 10,7 25,3 November 1,4 11,2 18,1 Desember -0,5 -2,0 4,0 Tahun 2006 Januari 127,8 82,6 190,4 Februari -52,9 -50,6 -50,5 Maret -26,0 17,8 -3,9 April 18,9 17,0 0,0 Mei 4,5 -6,5 -5,5 Juni 8,7 -20,7 -1,4 Juli -4,0 -28,3 -5,9 Agustus -2,1 -9,1 -29,7

Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa data harga yang dianalisis pada tahun 2006 hanya meliputi bulan Januari hingga Agustus. Dengan demikian, jika data tahun 2006 tidak diperhitungkan, maka stabilitas harga ketiga ko-moditas tersebut sebenarnya semakin baik. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien variasi harga yang semakin kecil antara periode 2000-2003 dan periode 2004-2005. Pada komoditas pisang koe-

fisien variasi harga bulanan mengalami penurunan dari 11,19% pada periode 2000-2003 menjadi 5,50% pada periode 2004-2005, sedangkan pada komoditas bawang merah turun dari22,80% menjadi 17,16% dan pada komoditas jeruk relatif sama yaitu sebesar 11,48% dan 11,65%. Tabel 3. Koefisien Variasi Harga Bulanan Pisang,

Jeruk, dan Bawang Merah, 2000-2006

Tahun Pisang Jeruk Bawang merah

2000 6,19 10,58 24,88 2001 14,26 8,10 17,55 2001 16,16 10,79 23,07 2003 8,16 16,45 25,69 2004 2,91 2,15 19,58 2005 8,08 21,14 14,74

2006 *) 40,47 36,80 41,34 Rata-rata 2000-2006 13,75 15,15 23,83 Rata-rata 2000-2003 11,19 11,48 22,80 Rata-rata 2004-2005 5,50 11,65 17,16 Rata-rata 2004-2006 17,15 20,03 25,22

*) Harga selama Januari-Agustus 2006

Pada dasarnya fluktuasi harga komoditas terjadi akibat ketidakseimbangan antara volume penawaran dan volume permintaan. Ketidakseimbangan pasokan dapat disebabkan oleh ketidakmampuan produsen dalam mengatur volume penawaran yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Jika dibandingkan dengan harga komoditas pangan lain, harga komoditas sayuran dan buah umumnya lebih berfluktuasi. Selama tahun 1992-2003 koefisien variasi harga bulanan beras, jagung, dan ubikayu hanya sekitar 6,11,7%, sedangkan pada komoditas jeruk, pisang, bawang merah, cabai, kentang, dan kubis sekitar 7,3-29,6% (Irawan et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan produsen dalam menyesuaikan pasokannya dengan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas hortikultura daripada komoditas pangan lainnya.

Fluktuasi harga yang tinggi tidak menguntungkan bagi pengembangan agribisnis hortikultura karena dapat berpengaruh negatif terhadap keputusan pemilik modal untuk melakukan investasi akibat ketidakpastian penerimaan yang akan diperoleh (Hutabarat, 1999; Irawan et al2001). Fluktuasi harga tersebut seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena

71

petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya pada tingkat harga yang mengun-tungkan, sedangkan pedagang dapat mengatur pola pasokannya sesuai dengan kebutuhan konsumen atau dinamika harga. Di samping itu, transmisi harga oleh pedagang kepada petani umumnya bersifat asimetris, sehingga jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen, maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga (Simatupang, 1999). Oleh karena itu, dapat dipahami jika keuntungan pedagang dalam tata niaga sayuran dan buah biasanya cukup besar dan berkisar antara 14% - 50% dari harga di tingkat konsumen untuk berbagai jenis sayuran (Sudaryanto et al., 1993; Adiyoga dan Hardjanto, 1996).

DINAMIKA PRODUKSI HORTIKULTURA

Dinamika Produksi Tahun 2000-2005

Fluktuasi harga jangka pendek atau har-ga bulanan komoditas pertanian pada umumnya sangat terkait dengan fluktuasi produksi komodi-tas yang bersangkutan. Pada komoditas hortikul-tura keterkaitan tersebut umumnya relatif erat, mengingat produk hortikultura sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk segar, sedangkan pro-duk hortikultura, seperti sayuran dan buah, justru relatif cepat busuk. Kondisi demikian menye-babkan, setelah dipanen, petani harus segera memasarkan hasil panennya, agar ketika sampai di tingkat konsumen produk yang dipasarkan masih dalam keadaan segar. Pola pemasaran demikian yang tidak melibatkan kegiatan penyim-panan menyebabkan fluktuasi pasokan produk hortikultura di pasar konsumen sangat terkait dengan fluktuasi produksi yang dihasilkan petani.

Keeratan hubungan antara fluktuasi harga dan fluktuasi produksi, misalnya dapat disimak pada komoditas pisang dibanding komoditas jeruk seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Produksi pisang yang relatif tersebar sepanjang tahun (indeks penyebaran produksi sebesar 1,3823) memiliki fluktuasi harga yang lebih rendah (koefisien variasi harga sebesar 13,75%) dibanding fluktuasi harga jeruk (koefisien variasi harga sebesar 15,15%) yang produksinya lebih terkonsentrasi pada bulan April-Juni (indeks penyebaran produksi sebesar 1,3554). Hal ini menunjukkan bahwa jika produksi suatu komoditas lebih tersebar sepanjang tahun maka fluktuasi harga cenderung semakin kecil. Dengan kata lain, pengaturan pola produksi yang relatif merata sepanjang tahun merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menekan fluktuasi harga komoditas yang tidak menguntungkan bagi petani maupun konsumen.

Selama tahun 2000-2005, produksi pisang, jeruk, dan anggrek mengalami peningkatan, kecuali produksi bawang merah yang turun sebesar 0,81%/th (Tabel 5). Peningkatan produksi anggrek adalah yang paling tinggi, yaitu sekitar 112%/th, sedangkan produksi pisang naik sebesar 6,99%/th, dan produksi jeruk naik sebesar 28,06%/th. Jika dibandingkan antara periode 2000-2003 dan periode 2004-2005 (awal masa Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu) tampak bahwa laju pertumbuhan produksi tersebut umumnya semakin kecil, kecuali pada komoditas pisang yang mengalami peningkatan laju pertumbuhan produksi dari sebesar 4,00%/th menjadi 11,47%/th. Sementara itu, laju pertumbuhan produksi jeruk turun dari sebesar 31,37%/th pada periode 2000-2003 menjadi 23,08%/th pada periode 2004-2005, dan laju pertumbuhan produksi anggrek turun drastis dari sekitar 182 %/th (2000-2003) menjadi hanya sekitar 7%/th. Se

Tabel 4. Produksi Pisang, Jeruk, dan Anggrek per Triwulan, Rata-rata 2000-2005

Pisang Jeruk Anggrek Triwulan Produksi

(000 ton) %

(%) Produksi (000 ton)

% (%)

Produksi (000 tangkai)

% (%)

1 (Jan-Mar) 1.210,4 27,2 296,5 22,3 1.609,3 30,6 2 (Apr-Jun) 1.044,2 23,5 421,1 31,6 1.289,8 24,5 3 (Jul-Sep) 1.057,5 23,8 321,1 24,1 1.100,0 20,9 4 (Okt-des) 1.131,6 25,5 292,9 22,0 1.259,5 24,0 Total 4.443,7 100,0 1.331,7 100,0 5.258,7 100,0 Indeks penyebaran produksi menurut triwulan *) 1,3823 1,3554 1,3385

*) Indeks entropi

72

mentara itu produksi bawang merah mengalami penurunan dengan laju yang semakin tajam, yaitu dari -0,02% (2000-2003) menjadi -1,99% (2004-2005).

Uraian di atas mengungkapkan bahwa sejak masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu pada tahun 2004, dinamika produksi pisang, jeruk, anggrek, dan bawang merah me-nunjukkan kinerja yang semakin buruk. Secara agronomis, dinamika produksi pangan selama tahun 2000-2005 tersebut pada dasarnya dapat disebabkan oleh dua variabel, yaitu perubahan luas panen dan perubahan produktivitas usaha-tani.

Perubahan luas panen dapat disebabkan oleh (a) perubahan luas baku lahan yang ter-sedia untuk komoditas yang bersangkutan; (b) perubahan pola tanam yang dirangsang oleh perubahan harga relatif antarkomoditas; (c) perubahan iklim yang berdampak pada peru-bahan luas area tanam yang mengalami keru-sakan akibat banjir, kekeringan, serta serangan hama; dan (d) perubahan luas lahan beririgasi yang berdampak pada perubahan intensitas ta-nam per tahun. Adapun perubahan produktivitas dapat disebabkan oleh perubahan tingkat tekno-logi yang dilakukan petani, yang pada intinya meliputi dua unsur utama, yaitu daya produksi varitas yang digunakan dan kualitas usahatani, seperti cara penanaman, cara pengolahan, dan sebagainya. Jenis varitas yang digunakan akan menentukan produktivitas potensial atau produk-tivitas maksimal yang dapat dicapai petani, se-dangkan kualitas usahatani yang diterapkan

akan menentukan sejauh mana produktivitapotensial yang melekat pada varitas yang digunakan dapat dieksploitasi oleh petani.

Tabel 6 memperlihatkan laju pertumbuhan jumlah pohon/luas panen dan laju pertumbuhan produktivitas pisang, jeruk, anggrekdan bawang merah selama tahun 2000-2005. Tampak bahwa pertumbuhan produktivitas usahatani pada keempat komoditas tersebut umumnya lebih rendah daripada pertumbuhan jumlah pohon atau luas panen, artinya sebagian besar pertumbuhan produksi selama tahun 2000-2005 bukan dirangsang oleh inovasi teknologi. Misalnya, selama tahun 2000-2005 pertumbuhan produktivitas pisang sebesar 1,50%, sedangkan pertumbuhan jumlah pohon pisang sebesar 5,40%. Dengan kata lain, sekitar 22% pertumbuhan produksi pisang berasal dari pertumbuhan produktivitas dan 78% berasal dari pertumbuhan jumlah pohon. Pola yang sama juga terjadi pada komoditas jeruk, anggrek, dan bawang merah yang sebagian besar pertumbuhan produksinya bersumber dari peningkatan jumlah pohon atau peningkatan luas panen, dan bukan berasal dari peningkatan produktivitas usahatani. Untuk pembangunan pertanian nasional, kecenderungan demikian tidak menguntungkan, mengingat luas lahan pertanian semakin terbatas akibat konversi lahan, sehingga pertumbuhan produksi hortikultura, yang banyak mengandalkan pada peningkatan luas panen, dapat menghambat pertumbuhan produksi komoditas pertanian lainnya akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan.

Tabel 5. Dinamika Produksi Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah, 2000-2005.

Tahun Pisang (000 ton)

Jeruk (000 ton)

Anggrek (000 tangkai)

Bawang merah (000 ton)

2000 3.747,0 644,1 3.260,9 7.72,8

2001 4.300,4 791,4 4.450,8 861,2

2002 4.384,4 968,1 1.006,1 7.66,6

2003 4.177,2 1.441,7 6.904,1 7.62,8

2004 4.874,5 1.994,8 8.027,7 7.57,4

2005 5.178,6 2.150,2 7.902,4 7.32,6

Pertumbuhan (%/th)

2000-2005 6,99 28,06 112,01 -0,81

2000-2003 4,00 31,37 181,78 -0,02

2004-2005 11,47 23,08 7,36 -1,99

73

Jika dibandingkan antara periode 2000-2003 dan periode 2004-2005, ketergantungan pertumbuhan produksi terhadap peningkatan jumlah pohon atau luas tanam cenderung se-makin tinggi. Pada periode 2000-2003, sekitar 47% pertumbuhan produksi pisang bersumber dari peningkatan jumlah pohon dan pada periode 2004-2005 naik menjadi 94%. Dengan demikian, hampir seluruh peningkatan produksi pisang ber-asal dari peningkatan jumlah pohon. Ketergan-tungan produksi yang semakin besar terhadap peningkatan jumlah pohon juga terlihat pada komoditas jeruk, dimana sumbangan peningkat-an jumlah pohon terhadap pertumbuhan produksi naik dari sekitar 60% pada 2000-2003 menjadi sekitar 64% pada 2004-2005. Tetapi, pada komo-ditas anggrek ketergantungan tersebut cende-rung turun dari sekitar 86% menjadi 44%. Pada komoditas bawang merah terjadi perubahan yang cukup drastis, dimana pada 2000-2003 sebagian besar penurunan produksi disebabkan oleh penurunan produktivitas, tetapi pada periode 2004-2005 lebih disebabkan oleh penurunan luas panen.

Peningkatan produktivitas usahatani yang relatif tinggi terutama terjadi pada komoditas jeruk dan anggrek. Selama tahun 2000-2003, prduktivitas jeruk dan anggrek naik rata-rata sebesar 12,20% dan 20,69%, sedangkan produk-tivitas pisang hanya naik sebesar 2,08%/th, dan produktivitas bawang merah turun sebesar 1,39%/th. Hal ini menunjukkan bahwa difusi teknologi yang berdampak pada peningkatan produktivitas usahatani lebih berkembang pada

usahatani jeruk dan anggrek daripada usahatani pisang dan bawang merah. Namun, pada periode 2004-2005, kecenderungan tersebut semakin lemah pada komoditas pisang dan jeruk yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan produktivitas yang semakin kecil pada kedua komoditas tersebut. Sementara itu, komoditas anggrek dan bawang merah laju pertumbuhan produktivitas pada periode 2004-2005 justru semakin tinggi dibanding periode 2000-2003 (Tabel 6).

Perkiraan Produksi Tahun 2007 Peningkatan produksi dalam rangka me

ningkatkan ketersediaan pasokan dalam negeri dan merangsang ekspor merupakan salah satu tujuan dalam pembangunan horikultura. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2007 produksi pisang diharapkan meningkat dan dapat mencapai sasaran produksi sebesar 5,640 juta ton, sedangkan sasaran produksi jeruk dan bawang merah masing-masing sebesar 1,887 juta ton dan 910 ribu ton (Ditjen Hortikultura, 2006). Secara agronomis, peningkatan produksi tersebut dapat dirangsang melalui peningkatan produktivitas usahatani dan/atau peningkatan luas tanaman/jumlah pohon, sedangkan peningkatan produktivitas dapat didorong melalui inovasi teknologi budidaya, seperti penggunaan benih berkualitas, penggunaan varitas unggul dan seterusnya.

Tabel 7 memperlihatkan perkiraan pencapaian sasaran produksi tersebut di atas. Dalam Tabel 7 tersebut perkiraan produksi tahun 2007

Tabel 6. Dinamika Jumlah Pohon/Luas Tanaman dan Produktivitas Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah, 2000-2005

Pisang Jeruk Anggrek Bawang merah

Tahun

Jumlah pohon meng-

hasilkan (000)

Produk- tivitas

(kg/phn)

Jumlah Pohon meng-

hasilkan (000)

Produk- tivitas

(kg/phn)

Luas tanam

(000 m2)

Produk- tivitas

(tangkai/m2)

Luas tanam

(000 ha)

Produktivitas

(ton/ha)

2000 250.418 14,96 34.107 18,88 951 3,43 84,04 9,202001 260.605 16,50 39.608 19,98 845 5,27 82,15 10,482002 257.580 17,02 51.859 18,67 218 4,62 79,87 9,602003 264.448 15,80 56.225 25,64 1.238 5,58 88,03 8,672004 299.603 16,27 66.157 30,15 2.260 3,55 88,71 8,542005 323.934 15,99 72.876 29,51 1.222 6,47 83,61 8,76Pertumbuhan (%/th) 2000-2005 5,40 1,50 16,66 10,41 83,89 21,58 0,04 -0,602000-2003 1,86 2,08 18,49 12,20 127,59 20,69 1,73 -1,392004-2005 10,71 0,63 13,91 7,72 18,34 22,91 -2,49 0,58

74

dihitung dengan menggunakan dua skenario yaitu: (a) skenario 1, perkiraan produksi 2007 dihitung berdasarkan tren pertumbuhan jumlah pohon menghasilkan atau luas panen dan tren pertumbuhan produktivitas jangka panjang sela-ma periode 2000-2005; (b) skenario 2, perkiraan produksi 2007 dihitung berdasarkan tren per-tumbuhan jumlah pohon menghasilkan atau luas panen dan tren pertumbuhan produktivitas jang-ka panjang selama periode 2000-2005, tetapi data dasar yang digunakan diekspresikan dalam data rata-rata bergerak 2 tahunan (moving average tren analysis). Pendekatan ini diguna-kan mengingat fluktuasi data jumlah pohon atau luas panen dan data produktivitas usahatani relatif tinggi, terutama pada komoditas anggrek.

Pada tahun 2007 produksi pisang diper-kirakan mencapai sekitar 5,327 juta ton (skenario 2) hingga 5,598 juta ton (skenario 1). Jika di-bandingkan dengan sasaran produksi 2007 (5,640 juta ton), maka tingkat produksi tersebut sangat mendekati, yaitu sekitar 95-99%. Dengan kata lain, pencapaian sasaran produksi pisang tahun 2007 diperkirakan antara 95% hingga 99%. Seperti diperlihatkan dalam Tabel 8, pe-ningkatan produksi pisang pada tahun 2007 tersebut diperkirakan akan terjadi akibat pening-katan jumlah pohon dan produktivitas sebesar 4,74% dan 3,22% dibanding situasi pada tahun 2005 (skenario 1) atau peningkatan jumlah po-hon dan produktivitas sebesar 1,27% dan 1,57% (skenario 2).

Produksi jeruk pada tahun 2007 diperkirakan sekitar 3,043 juta ton (skenario 2) hingga 3,162 juta ton (skenario 1). Dibandingkan dengan sasaran produksi tahun 2007 (1,887 juta tonmaka tingkat produksi tersebut lebih tinggi sekitar 61% - 68%. Namun perlu digarisbawahi bahwa pencapaian sasaran produksi yang sangat tinggi tersebut dapat disebabkan oleh data sasaran produksi 2007 yang kurang akurat. Pada tahun 2004 dan 2005, produksi jeruk sudah mencapai 1,995 juta ton dan 2,150 juta ton, tetapi sasaran produksi yang ingin dicapai pada tahun 2007 hanya sebesar 1,887 juta ton atau sekitar 12,2%lebih rendah dibanding produksi jeruk yang telah dicapai pada tahun 2005.

Berbeda dengan komoditas pisang dan jeruk yang memperlihatkan perkiraan produksi 2007 yang cukup optimis, produksi bawang merah pada tahun 2007 diperkirakan tidak dapat mencapai sasaran produksi yang direncanakan. Pada tahun 2007, sasaran produksi bawang merah yang direncanakan adalah sekitar 910 ribu ton, sedangkan hasil analisis tren menunjukkan bahwa produksi bawang merah pada tahun tersebut hanya sekitar 695 ribu ton hingga 707 ribu ton, atau sekitar 22-24% lebih rendah. Jika dibandingkan dengan produksi yang telah dicapai pada tahun 2005 (733 ribu ton), maka tingkat produksi tersebut lebih rendah atau mengalami penurunan sekitar 3,5-5,1%. Penurunan produksi tersebut terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas sekitar 8-12% dibanding tahun 2005

Tabel 7. Perkembangan Produksi 2000-2005 dan Perkiraan Tahun 2007 pada Komoditas Pisang, Jeruk, Anggrekdan Bawang Merah

Tahun Pisang (000 ton)

Jeruk (000 ton)

Anggrek (000 tangkai)

Bawang merah (000 ton)

2000 3.747,0 644,1 3.260,9 772,8 2001 4.300,4 791,4 4.450,8 861,2 2002 4.384,4 968,1 1.006,1 766,6 2003 4.177,2 1.441,7 6.904,1 762,8 2004 4.874,5 1.994,8 8.027,7 757,4 2005 5.178,6 2.150,2 7.902,4 732,6 Perkiraan 2007 -Skenario 1 5.598,4 3.162,3 12.302,6 706,7 -Skenario 2 5.327,0 3.042,8 11.845,6 694,6 Sasaran produksi 2007 5.640,0 1.887,0 t.a 909,9 Pencapaian sasaran 2007 (%) -Skenario 1 99,3 167,6 - 77,7 -Skenario 2 94,5 161,3 - 76,3

75

meskipun luas tanam bawang merah diperki-rakan meningkat sekitar 5-7% (Tabel 8).

Dibandingkan dengan komoditas sayur-an lainnya, upaya peningkatan produksi bawang merah akhir-akhir ini memang relatif sulit. Hal ini terutama karena sejak tahun 2001 produktivitas bawang merah terus mengalami penurunan secara konsisten dari 10.48 ton/ha menjadi 8,76 ton/ha pada tahun 2005. Pada kondisi produk-tivitas usahatani yang terus menurun maka upa-ya perluasan tanaman bawang merah merupa-kan pendekatan yang paling dapat diandalkan. Namun, upaya tersebut juga tidak mudah di-realisasikan, karena upaya perluasan tanaman bawang merah dapat mengancam produksi beras, karena sebagian besar usahatani bawang merah dilakukan di lahan sawah beririgasi teknis akibat kebutuhan air yang relatif tinggi.

Pada kondisi dimana produksi bawang merah di lahan sawah semakin sulit ditingkatkan, baik akibat produktivitas usahatani yang terus turun atau akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan dengan usahatani padi, maka perluasan usahatani bawang merah di lahan kering meru-pakan pilihan yang tak dapat dihindari. Dalam kaitan tersebut maka pengembangan teknik budi-daya bawang merah di lahan kering merupakan strategi yang harus ditempuh. Pengembangan

teknik budidaya tersebut terutama yang berkaitan dengan pengembangan varitas unggul bawang merah lahan kering dan pengembangan penangkaran benih secara in situ di daerah sentra produksi, mengingat pengadaan benih merupakan masalah utama dalam pengembangan usahatani bawang merah (Saptana et al., 2004). Dalam rangka mempercepat difusi teknologi tersebut maka perlu dikembangkan program khusus yang didukung dengan penyediaan modal usahatani karena biaya tradable input pada usahatani bawang merah relatif tinggi.

DINAMIKA PERDAGANGAN KOMODITAS HORTIKULTURA

Nilai impor yang semakin kecil dan nilai ekspor yang semakin besar merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap negara dalam melakukan perdagangan antarnegara. Secara empirik situasi tersebut dicerminkan oleh meningkatnya nilai surplus perdagangan atau mengecilnya nilai defisit perdagangan suatu negara. Namun, seberapa jauh tujuan tersebut dapat dicapai, sangat tergantung kepada seberapa besar daya saing produk yang diperdagangkan. Jika daya saing produk yang diperdagangkan

Tabel 8. Perkembangan Jumlah Pohon/Luas Panen dan Produktivitas 2000-2005 dan Perkiraan Tahun 2007 pada Komoditas Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah.

Pisang Jeruk Anggrek Bawang merah

Tahun Jumlah pohon (000)

Produk- tivitas

(kg/phn)

Jumlah pohon (000)

Produk- tivitas

(kg/phn)

Luas (000 m2)

Produk- tivitas

(tangk/m2)

Luas (000 ha)

Produk- tivitas

(ton/ha) 2000 250.418 14,96 34.107 18,88 951 3,43 84,04 9,20 2001 260.605 16,50 39.608 19,98 845 5,27 82,15 10,48 2002 257.580 17,02 51.859 18,67 218 4,62 79,87 9,60 2003 264.448 15,80 56.225 25,64 1.238 5,58 88,03 8,67 2004 299.603 16,27 66.157 30,15 2.260 3,55 88,71 8,54 2005 323.934 15,99 72.876 29,51 1.222 6,47 83,61 8,76

Perkiraan 2007 -Skenario 1 339.283 16,50 89.197 35,45 1.973 6,23 87,71 8,06 -Skenario 2 328.061 16,24 85.779 35,47 2.291 5,17 89,91 7,73 Perubahan dibanding 2005 -Skenario 1 15.349 0,51 16.321 5,95 752 -0,24 4,09 -0,70 (4,74) (3,22) (22,40) (20,16) (61,56) (-3,64) (4,90) (-8,03) -Skenario 2 4127 0,25 12903 5,97 1070 -1,30 6,30 -1,04 (1,27) (1,57) (17,70) (20,23) (87,57) (-20,08) (7,53) (-11,83)

Keterangan : ( ) % perubahan

76

relatif lemah dibandingkan negara lain, maka akan terjadi defisit perdagangan, dengan kata lain, nilai impor lebih tinggi daripada nilai ekspor.

Dalam perdagangan komoditas hortikul-tura, sebagian besar perolehan devisa dihasilkan dari ekspor buah-buahan yang memiliki sum-bangan terhadap total nilai ekspor rata-rata 62,4% selama tahun 2000-2005 (Tabel 9). Begitu pula sebagian besar nilai impor hortikultura, berasal dari impor buah-buahan yang memiliki pangsa nilai impor rata-rata sebesar 61,1% pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan buah-buahan memiliki peran paling penting dalam perdagangan komoditas hortikul-tura, dengan kata lain, kinerja perdagangan ko-moditas hortikultura akan sangat dipengaruhi oleh kinerja perdagangan buah-buahan. Posisi

kedua ditempati oleh komoditas sayuran, sedangkan komoditas tanaman hias memiliki peran yang masih relatif rendah.

Selama tahun 2000-2005, perdagangan hortikultura mengalami defisit sekitar US$ 72 juta hingga US$ 164 juta per tahun (Tabel 9). Defisit perdagangan tersebut terus meningkat secara konsisten, dari sebesar US$ 72.4 juta pada tahun 2000 menjadi US$ 157.6 juta pada tahun 2005, dengan kata lain, dalam jangka waktu 6 tahun defisit perdagangan hortikultura naik lebih dari dua kali lipat. Secara rata-rata, defisit nilai perdagangan tersebut naik sebesar 20,7%/thdengan laju pertumbuhan yang meningkat, dari 17,3%/th pada periode 2000-2003 menjadi 25,8%/th pada periode 2003-2005. Hal ini menunjukkan bahwa sejak masa pemerintah Kabi

Tabel 9. Nilai Perdagangan Komoditas Hortikultura, 2000-2005 (juta US$)

Tahun Pertumbuhan (%/th) Komoditas

2000 2001 2002 2003 2004 2005 00-05 00-03 04-05

Tan.hias

-Ekspor 9,40 9,83 12,13 13,87 14,45 14,18 8,9 14,1 1,

-Impor 1,43 1,05 1,02 1,15 1,34 2,08 11,0 -5,5 35,

-Neraca 7,97 8,78 11,11 12,72 13,10 12,10 9,3 17,1 -2,Sayuran

-Ekspor 66,35 63,08 56,94 59,24 59,47 58,26 -2,5 -3,5 -0,

-Impor 99,16 108,79 115,24 114,95 136,14 149,77 8,8 5,1 14,

-Neraca -32,81 -45,71 -58,30 -55,71 -76,67 -91,51 23,9 20,8 28,Buah

-Ekspor 94,70 100,63 138,37 131,50 122,84 148,30 10,6 12,9 7,

-Impor 145,06 147,10 220,25 195,01 224,59 232,14 11,6 13,2 9,

-Neraca -50,35 -46,47 -81,88 -63,51 -101,75 -83,84 17,7 15,3 21,Total -Ekspor 174,51 175,66 209,66 207,95 200,38 229,25 6,0 6,4 5,

-Impor 246,92 258,35 338,42 313,34 364,08 386,85 10,1 9,4 11,

-Neraca -72,40 -82,69 -128,76 -105,39 -163,70 -157,60 20,7 17,3 25,

Pangsa ekspor (%)

-Tan.hias 5,51 5,67 5,85 6,78 7,34 6,42 0,2 0,4 -0,

-Sayuran 38,93 36,35 27,45 28,95 30,22 26,39 -2,5 -3,3 -1,

-Buah 55,56 57,98 66,70 64,27 62,43 67,19 2,3 2,9 1,

Pangsa impor (%)

-Tan.hias 0,58 0,41 0,30 0,37 0,37 0,54 0,0 -0,1 0,

-Sayuran 40,37 42,34 34,25 36,95 37,60 39,00 -0,3 -1,1 1,

-Buah 59,05 57,25 65,45 62,68 62,03 60,46 0,3 1,2 -1,Sumber: Statistik FAO, diolah

77

net Indonesia Bersatu yang dimulai pada tahun 2004 kinerja perdagangan komoditas hortikultura tidak semakin baik.

Terjadinya defisit perdagangan hortikul-tura yang terus membesar, terutama disebabkan oleh meningkatnya defisit perdagangan sayuran dengan laju pertumbuhan sebesar 23,9%/th pada periode 2000-2005, dan pada periode 2003-2005 mencapai 28,5%/th. Neraca perdagangan buah-buahan juga mengalami defisit, tetapi memiliki laju pertumbuhan yang lebih kecil, yaitu sebesar 17,7%/th, dan pada periode 2003-2005 menca-pai 21,3%/th. Hanya tanaman hias yang memiliki surplus perdagangan selama tahun 2000-2005, meskipun dengan nilai yang relatif kecil, yaitu sekitar US$ 12 juta pada tahun 2005. Namun, pada periode 2003-2005, nilai surplus perdaga-ngan tersebut cenderung turun sebesar 2,3%/th, padahal pada periode 2000-2003 mengalami kenaikan sebesar 17,1%/th.

Uraian di atas mengungkapkan bahwa kinerja perdagangan hortikultura selama tahun 2000-2005 cenderung semakin buruk. Kecende-rungan tersebut semakin kuat sejak tahun 2004, dan hal ini ditunjukkan oleh surplus perdagangan tanaman hias yang semakin kecil, sementara

defisit perdagangan sayuran dan buah-buahan semakin besar. Kecenderungan demikian juga terjadi pada empat komoditas hortikultura yang dianalisis yaitu pisang, jeruk, anggrek, dan bawang merah. Dari keempat komoditas tersebut hanya perdagangan anggrek dan pisang yanmengalami surplus, sedangkan perdagangan bawang merah dan jeruk mengalami defisit (Tabel 10). Namun, nilai surplus perdagangan anggrek dan pisang (sekitar US$ 1 juta pada tahun 2005) sangat kecil dibanding nilai defisit perdagangan bawang merah dan jeruk yang pada tahun 2005 mencapai US$ 13.89 juta dan US$ 19.91 juta.

Selama tahun 2000-2003 surplus perdagangan anggrek mengalami kenaikan rata-rata sebesar 24,9%/th, tetapi pada tahun 2003-2004 cenderung turun sebesar -21,4%/th. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada perdagangan pisang, dimana laju pertumbuhan surplus perdagangan pisang semakin kecil pada tahuntahun terakhir. Sebaliknya, laju pertumbuhan defisit perdagangan bawang merah justru meningkat, dari sebesar 1,9% pada periode 2000-2003 menjadi 18,3%/th pada periode 2003-2004. Sementara itu, laju pertumbuhan defisit perdagangan jeruk mengalami penurunan, dari 25,6%/pada 2000 -2003 menjadi 9,2%/th pada 2003

Tabel 10. Nilai Perdagangan Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah, 2000-2005 (juta US$)

Tahun Pertumbuhan (%/th) Komoditas

2000 2001 2002 2003 2004 2005 00-05 00-03 04-05

Anggrek

-Ekspor 1.14 1.44 1.19 1.71 1.33 1.43 7.6 17.6 -7.3

-Impor 0.35 0.42 0.18 0.23 0.35 0.54 19.5 -3.4 53.9

-Neraca 0.79 1.01 1.01 1.48 0.98 0.89 6.4 24.9 -21.4

Bw.merah

-Ekspor 1.84 1.67 2.19 2.42 1.89 1.52 -1.8 10.9 -20.7

-Impor 12.91 12.48 9.07 12.37 14.24 15.41 5.8 1.9 11.7

-Neraca -11.08 -10.80 -6.88 -9.95 -12.35 -13.89 8.5 1.9 18.3

Pisang

-Ekspor 0.53 0.09 1.08 0.51 0.78 1.29 222.2 331.4 58.5

-Impor 0.03 0.06 0.10 0.40 0.19 0.40 105.0 155.3 29.5

-Neraca 0.50 0.02 0.98 0.11 0.59 0.89 890.1 1321.6 242.9

Jeruk

-Ekspor 0.15 0.34 0.29 0.28 1.23 0.49 76.9 38.2 134.9

-Impor 12.80 8.16 15.27 18.79 27.75 20.40 19.0 24.6 10.6

-Neraca -12.65 -7.82 -14.97 -18.51 -26.53 -19.91 19.0 25.6 9.2Sumber: Statistik FAO, diolah

78

2005. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun-tahun terakhir hanya perdagangan jeruk yang memperlihatkan kecenderungan membaik, mes-kipun neraca perdagangan komoditas tersebut masih mengalami defisit yang cukup besar.

Semakin baiknya kinerja perdagangan jeruk pada tahun-tahun terakhir, terutama dise-babkan oleh kuantitas ekspor jeruk yang mening-kat tajam dari 14,6%/th pada 2000-2003 menjadi 102,1%/th pada tahun 2003-2005, meskipun per-tumbuhan kuantitas impor jeruk juga mengalami kenaikan dari 13,5%/th menjadi 40,1%/th untuk periode yang sama (Tabel 11). Namun, pening-katan laju pertumbuhan kuantitas ekspor yang tinggi tersebut masih belum mampu menutupi kuantitas impor, mengingat kuantitas ekspor je-ruk (sekitar 400 ribu – 1,3 juta ton/th) sangat kecil dibanding kuantitas impor (sekitar 15-54 juta ton/th), yaitu hanya sekitar 2%. Konsekuensinya adalah neraca perdagangan jeruk dalam kuanti-tas masih tetap berada pada posisi defisit de-ngan laju pertumbuhan defisit yang semakin tinggi pada periode 2003-2005.

Kecenderungan yang semakin baik da-lam kuantitas perdagangan pada tahun-tahun

terakhir juga terjadi pada komoditas pisangdimana laju pertumbuhan ekspor pisang semakin cepat (dari -15,2%/th menjadi 296,9%/th), sedangkan laju pertumbuhan impor semakin kecil (318,4%/th menjadi -9,4%/th). Tetapi, pada perdagangan bawang merah yang masih mengalami defisit perdagangan, terjadi kecenderungan yang semakin buruk. Laju pertumbuhan kuantitas impor bawang merah semakin tinggi (dari -6,4%/th pada 2000-2003 menjadi 12,5%/th pada 20032005), sedangkan laju penurunan ekspor semakin cepat, yaitu dari -6,1%/th menjadi -11,1%/thpada periode yang sama.

PENUTUP

Sejalan dengan meningkatnya penda

patan rumah tangga dan membaiknya kesadaran masyarakat tentang gizi, konsumsi sayur dan buah di masa mendatang akan terus meningkat. Peningkatan konsumsi tersebut diperkirakan lebih cepat di daerah kota daripada daerah pedesaan. Namun, konsumsi beberapa komoditas sayuran dan buah yang dinilai kurang ber

Tabel 11. Volume Perdagangan Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah, 2000-2005 (juta ton).

Tahun Pertumbuhan (%/th) Komoditas

2000 2001 2002 2003 2004 2005 00-05 00-03 04-05

Anggrek

-Ekspor 0,67 0,76 0,74 0,71 0,43 0,53 -2,1 2,1 -8,4

-Impor 0,04 0,05 0,08 0,10 0,14 0,12 28,3 39,9 10,8

-Neraca 0,63 0,71 0,67 0,61 0,29 0,40 -3,1 -1,1 -6,2

Bw.merah

-Ekspor 6,75 5,99 6,82 5,40 4,64 4,26 -8,1 -6,1 -11,1

-Impor 56,71 47,95 32,93 42,01 48,93 53,07 1,2 -6,4 12,5

-Neraca -49,96 -41,95 -26,11 -36,61 -44,29 -48,81 3,5 -4,5 15,6

Pisang

-Ekspor 2,22 0,29 0,59 0,24 1,20 3,65 109,7 -15,2 296,9

-Impor 0,01 0,08 0,10 0,56 0,41 0,44 187,2 318,4 -9,4

-Neraca 2,21 0,21 0,48 -0,32 0,79 3,20 -34,6 -43,9 -20,6

Jeruk

-Ekspor 0,40 0,84 0,60 0,38 1,30 0,77 49,6 14,6 102,1

-Impor 21,38 14,38 23,50 25,79 54,57 37,32 24,1 13,5 40,1

-Neraca -20,98 -13,54 -22,90 -25,41 -53,27 -36,55 24,6 14,9 39,1 Sumber: Statistik FAO, diolah

79

gengsi dan relatif murah, seperti pisang, akan semakin kecil dan disubstitusikan oleh jenis buah-buahan lainnya. Peningkatan permintaan sayuran dan buah secara agregat akan dirang-sang oleh naiknya pendapatan, pergeseran pola konsumsi pangan, serta berkembangnya daerah perkotaan dan pariwisata.

Kinerja perdagangan luar negeri komo-ditas hortikultura sebagian besar dicerminkan oleh kinerja perdagangan buah dan sayuran, serta hanya sebagian kecil yang dipengaruhi oleh perdagangan tanaman hias. Selama tahun 2000-2005, hanya perdagangan tanaman hias yang menghasilkan surplus perdagangan, sedangkan perdagangan buah dan sayuran mengalami de-fisit. Pada tahun-tahun terakhir ini, surplus per-dagangan hortikultura yang diperoleh dari tanam-an hias semakin kecil, tetapi defisit perdagangan buah dan sayuran semakin besar. Konsekuensi-nya adalah neraca perdagangan hortikultura secara keseluruhan mengalami defisit dengan nilai defisit yang cenderung semakin besar, dengan kata lain, kinerja perdagangan hortikul-tura akhir-akhir ini semakin buruk.

Fluktuasi harga komoditas hortikultura umumnya relatif tinggi dan kondisi demikian tidak kondusif bagi pengembangan agribisnis hortikul-tura, karena dapat menghambat masuknya investor baru akibat ketidakpastian keuntungan usaha. Pada dasarnya fluktuasi harga tersebut disebabkan oleh disinkronisasi antara kuantitas permintaan dan kuantitas pasokan. Pada komo-ditas hortikultura, fluktuasi pasokan sangat terkait dengan fluktuasi produksi, karena sebagian be-sar komoditas hortikultura dikonsumsi dalam bentuk segar dan kurang melibatkan kegiatan penyimpanan. Berdasarkan hal tersebut, maka perencanaan produksi antarwaktu yang bersifat lintas daerah produsen perlu dikembangkan, dalam rangka menekan fluktuasi harga yang selanjutnya dapat merangsang investasi baru.

Perdagangan komoditas hortikultura ak-hir-akhir ini menunjukkan kinerja yang semakin buruk, dimana neraca perdagangan mengalami defisit dalam kuantitas maupun nilai perdaga-ngan, dan defisit perdagangan tersebut semakin besar. Kondisi demikian terutama terjadi pada perdagangan buah dan sayuran yang justru merupakan tulang punggung dalam perdagangan luar negeri komoditas hortikultura. Kondisi ter-sebut pada dasarnya terjadi karena daya saing produk hortikultura produksi lokal kalah bersaing

dengan negara lain, baik dalam mutu produk maupun harga jual. Dalam rangka meningkatkan mutu produk maka penerapan SOP (StandarOperational Procedure), GAP (Good Agricultural Practices), dan GHP (Good Handling Practicesmerupakan upaya yang harus ditempuh. Disamping itu, pengembangan pertanian organik secara selektif komoditas, terutama komoditas bernilai tinggi juga perlu ditempuh untuk mengantisipasi kebutuhan golongan berpendapatan tinggi yang cenderung lebih mempertimbangkan masalah higines produk yang dikonsumsi.

Upaya peningkatan mutu dan daya saing produk hortikultura secara menyeluruh akan melibatkan seluruh pelaku agribisnis hortikulturamulai dari pedagang input hingga pedagang output. Dalam kaitan tersebut maka pengembangan komoditas hortikultura harus dilaksanakan dengan pendekatan sistem agribisnis yang pada intinya meliputi empat unsur utama yaitu: (membangun elemen agribisnis yang dibutuhkan, (b) membangun keterkaitan fungsional yang harmonis diantara elemen agribisnis yang dapat ditempuh melalui pengembangan kerja sama usaha diantara pelaku agribisnis, (c) meningkatkan efisiensi usaha agribisnis yang dapat ditempuh melalui inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan, dan (d) meningkatkan efisiensi sistem agribisnis yang dicirikan oleh kemampuan merespon dinamika kebutuhan konsumen secara tepat waktu, kuantitas, dan kualitas menurut segmen pasar, serta menghasilkan produk berharga murah di tingkat konsumen.

Pengembangan komoditas hortikulturadengan pendekatan sistem agribisnis, akan membutuhkan pengembangan kelembagaan sistem agribisnis, dalam rangka menciptakan sistem agribisnis berdaya saing, yang dicirikan oleh adanya keterkaitan fungsional yang harmonis diantara pelaku agribisnis. Upaya tersebut tidak mudah dilakukan, mengingat struktur agribisnis umumnya bersifat dispersal atau tersekat-sekat, dalam pengertian setiap pelaku agribisnis mengambil keputusan usaha sendiri-sendiri. Untuk mendorong dan mencari formula kelembagaan sistem agribisnis yang ideal, maka perlu dilakukan action research (kaji tindak) yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dalam kaitan ini program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMATANI) yang merupakan salah satu program Deptan dan juga menggunakan pendekatan sistem agribisnis dapat dimanfaatkan sebagai media kajian.

80

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga M. dan Hardjanto T. 1996. Usahatani Cabai.

Dalam Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ditjen Hortikultura. 2006. Evaluasi Kegiatan Pengem-bangan Agribisnis Hortikultura Tahun Ang-garan 2005. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Hortikultura. 2006. Evaluasi Kinerja Pemba-ngunan Agribisnis Hortikultura Tahun 2005. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta

Ditjen Hortikultura. 2006. Matrik Kegiatan Pengemba-ngan Hortikutura 2007. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.

Hutabarat B. 1999. Sistem Komoditas Bawang Merah dan Cabai Merah. Monograph Series No.7. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Irawan B., A.R. Nurmanaf, E. Lestari, V. Darwis, Y. Supriyatna, C. Muslim. 2001. Studi Kebijak-sanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas

Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Irawan B. 2003. Agribisnis Hortikultura : Peluang dan Tantangan Dalam Era Perdagangan Bebas. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, SOCA , Vol.3 No.2. Juli 2003. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Saptana, M. Siregar, S. Wahyuni, S.K. Dermoredjo, Ariningsih dan V. Darwis. 2004. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Simatupang P. 1999. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Dalam Dinamika Inovasi Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku-2. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Sudaryanto T. dan Pasandaran E. 1993. Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

81

INDIKATOR MAKRO SEKTOR PERTANIAN INDONESIA MACRO INDICATORS OF INDONESIAN AGRICULTURE

Nizwar Syafa’at, Adreng Purwoto, Saktyanu K. Dermoredjo, Ketut Kariyasa, Mohamad Maulana, dan Pantjar Simatupang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Macro indicator is often applied to predict future agriculture development and performance. During the year 2006, the sector’s performance is considered satisfactory and is expected to play strategic roles in the year to come. Such a statement is based upon several significant macro indicators as follows: (a) the relatively larger portion of investment permits on agriculture sector, (b) the ability of the sector in terms of labor accessibility, (c) surplus in agricultural commodity trade, (d) the increase on farmer’s exchange value indicators during the period of 2005-06, and (e) the nation’s improving consumption. Yet, on he other side, people’s accessibility to the staple food remains a great problem. Key words : agriculture, macro indicators.

ABSTRAK

Kinerja sektor pertanian selama ini dilihat dari beberapa indikator makro, yang dipakai sebagai dasar

untuk melihat prospek ke depan. Secara umum, kinerja sektor pertanian pada tahun 2006 cukup baik, dan diperkirakan tetap mempunyai peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan. Hal ini tercermin dari beberapa indikator makro sektor pertanian, seperti (a) persetujuan investasi pada sektor pertanian relatif lebih besar dibanding sektor lainnya, (b) kemampuan sektor pertanian dalam penyediaan tenaga kerja cukup besar, (c) surplus dalam perdagangan komoditas pertanian, (d) peningkatan indikator NTP pada periode 2005-06, dan (e) peningkatan konsumsi penduduk baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun demikian, aksesibilitas penduduk terhadap pangan masih merupakan masalah besar. Kata kunci : pertanian, indikator makro.

PENDAHULUAN

Indikator makro sektor pertanian adalah petunjuk yang termasuk kategori peubah makro ekonomi, yang mencermikan tentang kondisi sek-tor pertanian. Indikator makro sektor pertanian terdiri atas indikator makro primer dan indikator makro sekunder. Indikator makro primer adalah petunjuk dalam kategori peubah makro ekonomi yang mencerminkan kondisi sektor pertanian, dimana kondisi tersebut adalah hasil sebagian besar kebijakan langsung yang dikendalikan oleh Departemen Pertanian. Sedangkan indikator makro sekunder adalah kondisi sektor pertanian yang dihasilkan dari resultante antara kebijakan sektor pertanian dengan kebijakan di luar sektor pertanian. Dengan demikian, indikator sekunder ini bukanlah petunjuk yang mencerminkan secara

murni hasil kebijakan Departemen Pertanian. Indikator makro primer diturunkan dari fungsi kapasitas produksi sektor pertanian yang menjadi mandat utama Departemen Pertanian. Kapasitas produksi pertanian merupakan fungsi dari kapital dan tenaga kerja, dimana makin banyak kapital dan tenaga kerja, maka makin tinggi kapasitas produksi pertanian. Dengan demikian, indikator primer meliputi (a) investasi (mencerminkan kapital), (b) tenaga kerja, dan (c) produksi. Oleh karena dalam kegiatan produksi sektor pertanian, selain ada input, yaitu kapital, dan tenaga kerja, juga ada komponen lain, yaitu (a) gaji dan upah(b) keuntungan usaha, dan (c) pajak dan transfer (subsidi). Ketiga komponen tersebut adalah nilai tambah dari kegiatan usaha pertanian, maka indikator makro primer ditambah dengan pembentukan nilai tambah. Nilai tambah tersebut dalam ekonomi makro dikenal dengan PDB (Produk

82

Domestik Bruto). Dengan demikian, ada empat indikator makro primer sektor pertanian, yaitu (a) investasi, (b) tenaga kerja, (c) produksi, dan (d) PDB.

Indikator makro sekunder sektor perta-nian diturunkan dari perbaikan kondisi kesejah-teraan petani, yaitu (a) nilai tukar petani (NTP), (b) pendapatan rumah tangga tani, dan (c) insi-den kemiskinan. NTP adalah rasio indeks yang diterima petani dengan indeks yang dibayar peta-ni. NTP berbanding lurus dengan indeks yang diterima petani, dan berbanding terbalik dengan indeks yang dibayar petani. Artinya, makin tinggi indeks yang diterima petani, makin tinggi pula NTP-nya. Sebaliknya, makin tinggi indeks yang dibayar petani, makin rendah NTP-nya. Indeks yang diterima petani merupakan produk dari ke-bijakan harga Departemen Pertanian, sedangkan indeks yang dibayar petani (misalnya, indeks harga makanan, perumahan, dan aneka barang) merupakan produk dari kebijakan makro di luar kendali Departemen Pertanian. Dengan demi-kian, upaya untuk meningkatkan NTP tidak hanya ditentukan oleh kenaikan indeks yang di-terima petani, tetapi juga ditentukan oleh penu-runan indeks yang dibayar petani. Apabila laju kenaikan indeks yang diterima petani lebih kecil dibanding kenaikan indeks yang dibayar petani, maka NTP akan mengalami penurunan. Dengan kata lain, upaya untuk meningkatkan NTP dibu-tuhkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan De-partemen Pertanian dengan departemen lain yang terkait di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Ekonomi. Indikator makro lain sektor pertanian yang dipakai sebagai petunjuk kondisi sektor pertanian, yaitu ketahanan pangan dan pembentukan devisa adalah variasi perhitungan dari indikator produksi. Produksi pangan yang meningkat sampai pada tingkat surplus akan meningkatkan ketahanan pangan, dan produksi pertanian secara umum surplus juga akan me-ningkatkan sumbangan sektor pertanian terha-dap pembentukan devisa negara.

INVESTASI

Sumber-sumber pembiayaan investasi di sektor pertanian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu (a) usaha pertanian rakyat (petani), (b) perusahaan pertanian swasta (swas-ta), dan (c) pemerintah. Menurut hasil kajian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian (PSEKP) (1997), investasi di sektor pertanian sebagian besar berasal dari petanipemerintah (82,1%), dan sisanya berasal dari swasta (17,9%). Walaupun pangsa investasi swasta di sektor pertanian adalah relatif kecil, namun karena investasi oleh swasta biasanya dimotivasi oleh prospek keuntungan yang akan diraih, maka peningkatan investasi swasta akan mencerminkan bahwa sektor pertanian merupakan tujuan investasi yang menjanjikan keuntungan relatif tinggi.

Swasta yang melakukan investasi di sektor pertanian berasal dari perusahaan dalam negeri lewat penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan perusahaan luar negeri lewat, penanaman modal asing (PMA). Salah satu indikator aliran investasi swasta di sektor pertanian adalah persetujuan investasi di sektor bersangkutanbaik dalam bentuk PMDN maupun PMA. Selama periode tahun 2004-2005, persetujuan investasi swasta di sektor pertanian lewat PMDN tumbuh sebesar 126%, sedangkan melalui PMA tumbuh sebesar 122% (BKPM, 2006). Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, persetujuan investasi swasta secara agregat lewat PMDN hanya tumbuh 13,7%, sedangkan melalui PMA hanya tumbuh sebesar 30,4%. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa dalam periode tahun 20042005 sektor pertanian merupakan tujuan investasi yang relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian lainnya.

Untuk tahun 2006, sampai dengan 31 Agustus, persetujuan investasi swasta di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan lewat PMDN tumbuh berturut-turut sebesar 103%-62%, dan -71%, sedangkan lewat PMA tumbuh berturut-turut sebesar 105%, -99%, dan 505(BKPM, 2006). Dengan demikian, dalam lingkup pertanian dalam arti luas (pertanian, kehutanandan perikanan), berkenaan dengan persetujuan investasi swasta lewat PMDN, sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan positif. Sementara itu, berkenaan dengan persetujuan investasi swasta lewat PMA, sektor pertanian bersama dengan sektor perikanan merupakan sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan positif. Fakta ini mengindikasikan bahwa untuk tahun 2006 (hingga 31 Agustus)sektor pertanian tetap merupakan tujuan investasi yang relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan sektor kehutanan maupun sektor perikanan.

83

KESEMPATAN KERJA

Selama periode tahun 2000-2004, jumlah pengangguran terbuka naik dari 5,8 juta orang atau 6,08% pada tahun 2000 menjadi 10,3 juta orang atau 9,86% pada tahun 2004 (Tabel 1). Sementara itu, dalam kurun waktu 2004-2006, jumlah pengangguran terbuka naik dari 10,3 juta orang atau 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,9 juta orang atau 9,86%. Dengan demikian, dalam 2 tahun terakhir jumlah pengangguran terbuka praktis tidak menurun bahkan meningkat.

Pada tahun 2004, laju pertumbuhan ke-sempatan kerja hanya sebesar 0,98%/th, se-dangkan laju pertumbuhan angkatan kerja men-capai 1,31%/th. Dari segi jumlah, tambahan jum-lah kesempatan kerja hanya sebesar 911.245 orang, sedangkan tambahan jumlah angkatan kerja 1.342.585 orang. Dengan demikian, pada tahun 2004, hanya sekitar 68% dari tambahan angkatan kerja yang memperoleh kesempatan kerja. Demikian pula pada tahun 2005, dari segi laju pertumbuhan, laju pertumbuhan kesempatan kerja hanya 1,31%/th, sedangkan laju pertumbu-han angkatan kerja mencapai 1,76%/th. Dari segi jumlah, tambahan jumlah kesempatan kerja ha-nya 1.226.082 orang, sedangkan tambahan jum-lah angkatan kerja mencapai 1.828.985 orang. Jadi, pada tahun 2005 hanya 67% dari tambahan angkatan kerja yang memperoleh kesempatan kerja.

Pada tahun 2004, sektor pertanian prak-tis tidak menyediakan tambahan kesempatan kerja. Sementara itu, dari tambahan kesempatan kerja pada tahun 2005 sebanyak 1.226.082

orang, sebanyak 98,38% disediakan oleh sektor pertanian, dan sisanya sebesar 1,62% disediakan oleh sektor nonpertanian. Fakta ini mengindikasikan bahwa selama periode tahun 20042005, baik sektor pertanian maupun sektor nonpertanian sama-sama memiliki kemampuan menyediakan tam-bahan kesempatan kerja.

Selama periode tahun 2004-2006, dari 94.710.051 orang yang bekerja, apabila dirinci menurut sektornya, 43% bekerja di sektor pertanian dan sisanya 57% bekerja di sektor nonpertanian. Perlu diketahui bahwa 43% orang yang bekerja di sektor pertanian tersebut, mereka itu adalah yang bekerja pada kegiatan sektor pertanian primer saja. Apabila tenaga kerja yang bekerja pada sektor sekunder dan tersier sepanjang alur vertikal agribisnis diperhitungkan, maka kemampuan sektor pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja akan lebih besar lagi.

Pada tahun 2004, tambahan kesempatan kerja sebanyak 911.245 orang, dan PDB nasional tumbuh sebesar 5,05%/th, sehingga 1% pertumbuhan PDB nasional pada tahun 2004 memberikan tambahan kesempatan kerja sebanyak 180.445 orang, atau tambahan kesempatan kerja 180.445 orang per 1% pertumbuhan PDB nasional. Sementara itu, pada tahun 2005, tambahan kesempatan kerja sebanyak 1.226.082 orang, dan PDB nasional tumbuh sebesar 5,60%th, sehingga 1% pertumbuhan PDB nasional pada tahun 2005 memberikan tambahan kesempatan kerja sebanyak 218.943 orang, atau tambahan kesempatan kerja 218.943 orang per 1pertumbuhan PDB nasional. Secara rata-rata, 1% pertumbuhan PDB nasional akan memberikan tambahan kesempatan kerja sebanyak

Tabel 1. Perkembangan Kesempatan Kerja Pertanian dan Nonpertanian, 1999-2005

Bekerja (orang) Pengangguran terbuka (orang) Tahun Pertanian Nonpertanian Total bekerja

Total angkatan kerja (orang) Jumlah (%)

1999 38.378.133 50.438.726 88.816.859 94.847.178 6.030.319 6,36

2000 40.676.713 49.161.017 89.837.730 95.650.961 5.813.231 6,08

2001 39.743.908 51.063.509 90.807.417 98.812.448 8.005.031 8,10

2002 40.633.627 51.013.539 91.647.166 100.779.270 9.132.104 9,06

2003 43.042.104 49.768.687 92.810.791 102.630.802 9.820.011 9,57 2004 40.608.019 53.114.017 93.722.036 103.973.387 10.251.351 9,86 2005 41.814.197 53.133.921 94.948.118 105.802.372 10.854.254 10,26

2006 40.140.000 55.320.000 95.460.000 106.390.000 10.930.000 10,27

2007 40.757.482 55.805.482 96.562.964 108.416.182 11.853.218 10,93 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006.

84

199.694 orang atau sekitar 200 ribu orang. Jadi, kalau pada tahun 2007 PDB nasional ditargetkan tumbuh 6,5%, maka kesempatan kerja hanya akan bertambah sebanyak 1,3 juta orang.

PRODUK DOMESTIK BRUTO

Dinamika PDB sektor pertanian berkore-lasi positif dengan dinamika tingkat produksi sektor pertanian. Di pihak lain, dinamika produksi sektor pertanian dipengaruhi terutama oleh aspek permintaan dan aspek investasi. Dalam hubungan ini, tingkat produksi sektor pertanian akan mengalami ekspansi, apabila di satu sisi terjadi dorongan permintaan ke depan, dan di sisi lain terjadi peningkatan investasi. Sebaliknya, tingkat produksi sektor pertanian akan menga-lami kontraksi, apabila di satu sisi terjadi doro-ngan permintaan ke belakang, dan di sisi lain ter-jadi penurunan investasi.

Selama periode tahun 2004-2005, per-tumbuhan PDB sektor pertanian (tanaman pa-ngan, perkebunan, dan peternakan) mengalami penurunan dari 2,83%/th menjadi 2,55%/th. Penurunan pertumbuhan PDB sektor pertanian tersebut akibat penurunan pertumbuhan PDB subsektor tanaman pangan dan peternakan. Pertumbuhan PDB subsektor tanaman pangan turun, dari 2,89%/th menjadi 2,57%/th, dan per-tumbuhan PDB subsektor peternakan turun, dari 3,35%/th menjadi 2,87%/th. Satu-satunya sub-sektor dalam sektor pertanian yang mengalami kenaikan PDB adalah subsektor perkebunan yang tumbuh dari 2,21%/th menjadi 2,23%/th (BPS, 2006).

Kontribusi produksi padi dalam pemben-tukan PDB subsektor tanaman pangan relatif besar. Demikian pula kontribusi produksi unggas dalam pembentukan PDB subsektor peternakan juga besar. Dalam hubungan ini, penurunan PDB subsektor tanaman pangan dalam kurun waktu 2004-2005 diduga karena produksi padi menga-lami kontraksi, yaitu tumbuh dari 3,74%/th men-jadi -0,06%/th. Begitu juga penurunan PDB subsektor peternakan dalam kurun waktu yang sama diduga karena produksi unggas mengalami kontraksi, yaitu tumbuh dari 0,05%/th menjadi -5,08%/th (BPS, 2006).

Berbeda dengan periode tahun 2004-2005, selama periode tahun 2005-2006 pertum-buhan PDB sektor pertanian justru cenderung

meningkat. Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian tersebut merupakan resultante pningkatan pertumbuhan PDB subsektor tanaman pangan, perkebunan, maupun peternakan. Dalam hubungan ini, PDB subsektor tanaman pangan tumbuh dari 2,57%/th menjadi 2,89%/th (BPS, 2006). PDB subsektor perkebunan tumbuh dari 2,53%/th menjadi 5,12%/th. Sementara ituPDB subsektor peternakan tumbuh dari 2,87%/th menjadi 3,99%/th (BPS, 2006).

Dengan menetapkan PDB tahun 2000 sama dengan 100 dapat ditunjukkan bahwa selama periode tahun 2000-2005, indeks PDB sektor pertanian, maupun beberapa subsektoryang tercakup di dalamnya, meningkat secara konsisten (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun dalam kurun waktu tersebut sektor pertanian menghadapi sejumlah kendala, namun PDB sektor pertanian masih tumbuh secara konsisten.

PERDAGANGAN LUAR NEGERI PERTANIAN

Pengolahan data perkembangan perdagangan luar negeri yang bersumber pada WITS, World Bank (data sampai April 2006) menunjukkan perkembangan ekspor pertanian meningkat dari US$ 4,2 milyar pada tahun 2000 menjadi US$ 9,6 milyar pada tahun 2005. Selama periode tersebut, pertumbuhan ekspor pertanian untuk tahun 2000-2004 mencapai 18.93%/th, sedangkan, tahun 2004-2005 16,28%. Walaupun periode 2004-2005 memiliki pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan periode 2000-2004, namun ekspor masing-masing subsektor menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, yaitu bisa melebih 10%/th. Analisis terhadap data pangsa ekspor-impor komoditas pertanian dari sumber yang sama (WITS, World Bank, 2006) menunjukkan bahwa ekspor pertanian terbesar dialami oleh subsektor perkebunan, yaitu US$ 9,3 milyarth, atau sekitar 96%, dengan tingkat pertumbuhan 2004-2005 sekitar 16,41%. Pertumbuhan yang tinggi juga dialami oleh tanaman pangan hingga mencapai 21%/th.

Selain itu, kalau dilihat dari sisi perkembangan impor pertanian, juga mengalami peningkatan, yaitu dari US$ 2,4 milyar pada tahun 2000 menjadi US$ 2,8 milyar pada tahun 2005.Selama periode tersebut pertumbuhan impor pertanian untuk tahun 2000-2004 mencapai 4,55%/

85

th, sedangkan tahun 2004-2005 sebesar 0,002%. Artinya, pada periode 2004-2005, pemerintah dapat menekan impor, khususnya untuk tanaman pangan, hingga -21,37%. Pangsa impor sub-sektor tanaman pangan masih tertinggi diban-dingkan lainnya, yaitu mencapai 44,04% tahun 2005, diikuti oleh peternakan 24,68%, perke-bunan 19,59%, dan hortikultura 11,69%. Walau-pun demikian, pada tahun 2006, pangsa impor tanaman pangan mulai mengalami penurunan hingga 39,73%.

Dengan demikian, Indonesia mengalami peningkatan surplus, dimana pada tahun 2000 mencapai net ekspor pertanian sebesar US$ 1,8 milyar dan pada tahun 2005 mencapai US$ 6,8 milyar. Selama periode tersebut, pertumbuhan net perdagangan ekspor-impor pertanian untuk tahun 2000-2004 mencapai 30,42%/th, sedang-kan tahun 2004-2005 sebesar 23,72%. Artinya, Indone-sia masih mengalami tekanan impor yang besar pada komoditas tertentu, khususnya peternakan dan hortikultura.

Selama lima tahun terakhir (2000-2005) komoditas ekspor utama untuk perkebunan ada-lah kelapa sawit, karet, coklat, dan kopi (WITS, World Bank, 2006). Secara keseluruhan, komodi-tas ekspor yang terbesar adalah kelapa sawit, dengan produk utamanya yaitu minyak kelapa sawit yang mencapai nilai ekspor US$ 3,7 milyar, minyak kernel kelapa sawit mentah US$ 448 juta, dan minyak kernel kelapa sawit dimurnikan sebesar US$ 138 juta. Urutan kedua ditempati

oleh karet dengan berbagai olahannya hingga mencapai US$ 2,58 milyar. Kedua komoditasKelapa Sawit dan Karet ini mencapai pertumbuhan ekspor 25%/th. Sedangkan komoditas lainnya, seperti coklat dan kopi, masing-masing hanya mencapai pertumbuhan 10,62 dan 12,26%/th, dengan nilai ekspor di tahun 2005 sebesar 667 dan 504 juta US dolar. Artinya, komoditas utama tersebut masih perlu mendapat perhatian dalam pengembangan produk di masa mendatang.

Lain halnya dengan komoditas lain dari ketiga subsektor tanaman pangan, hortikulturadan peternakan. Komoditas ekspor utama di ketiga sektor ini tidak lebih dari US$ 100 juta, komoditas utama subsektor peternakan dari peternakan susu (dengan gula) hanya US$ 86 juta, kelompok hewan dari berbagai jenis US$ 35 juta, babi US$ 26 juta, dan daging dari berbagai jenis US$ 12 juta. Komoditas hortikultura yang mencapai lebih dari US$ 10 juta hanya jenis buah tempurung dari berbagai jenis (almond, hezelnut, walnut, chestnut, pistachio, biji pinang)yaitu sebesar US$ 51 juta. Sedangkan untuk komoditas tanaman pangan hanya ubi kayu yang menunjukkan ekspor yang cukup tinggi, bisa mencapai US$ 25 juta.

Seiring dengan perkembangan ekspor, komoditas yang terlihat memiliki impor tinggi untuk peternakan adalah susu dan sapi (bakalan/bibit), masing-masing mencapai US$ 386 juta dan US$ 110 juta (WITS, World Bank, 2006).

95.00

100.00

105.00

110.00

115.00

120.00

125.00

130.00

135.00

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Indek

(200

0=10

0)

Pertanian Sempit Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan

Gambar 1. Indeks PDB Sektor Pertanian, 2000 – 2005 (2000=100)

86

Sedangkan untuk subsektor hortikultura cende-rung beragam diantaranya bawang putih, apel, strowberi, pir, dan anggur dengan kisaran nilai impor US$ 32-67 juta. Selain itu, untuk impor utama komoditas perkebunan adalah gula hingga mencapai US$ 235 juta, tembakau US$ 180 juta, dan coklat US$ 85 juta. Seiring dengan pening-katan jumlah penduduk, maka terjadi nilai impor pangan yang cukup tinggi, yang pertama adalah gandum hingga US$ 790 juta, kedelai US$ 308 juta, dan lainnya dibawah US$ 100 juta yaitu beras US$ 51 juta, kacang tanah US$ 39 juta, dan jagung US$ 30 juta.

NILAI TUKAR PETANI

Nilai tukar petani (NTP) merupakan sa-lah satu penanda (indikator) ekonomi rumah tangga tani yang paling tua, dan dipublikasikan berkala secara konsisten oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga telah amat populer di Indonesia. NTP-BPS tersebut digunakan sebagai penanda kesejahteraan ekonomi rumah tangga tani. Kesejahteraan ekonomi lazim diukur seba-gai daya beli pendapatan atas barang konsumsi.

NTP-BPS tidak cocok dijadikan sebagai penanda kesejahteraan petani karena mengan-dung dua kelemahan mendasar. Secara konsep-tual, NTP-BPS tidak memiliki hubungan langsung dan tegas dengan nilai maupun daya beli pen-dapatan petani. Masalah pokoknya terletak pada penggabungan indeks harga konsumsi rumah tangga dan indeks harga input usahatani dalam menghitung indeks harga yang dibayar petani, yang digunakan sebagai penyebut dalam per-hitungan NTP. Secara empiris, NTP-BPS hanya mengakomodir pendapatan rumah tangga tani dari usahatani tanaman (bahan makanan dan perkebunan rakyat). Dalam realitasnya, sebagian besar rumah tangga tani di Indonesia memper-oleh pendapatan terbesar dari luar usahatani tanaman (peternakan, perikanan, dan nonperta-nian). Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pangsa pendapatan rumah tangga tani tanaman hanya 28% dari total pendapatannya.

Untuk menutupi sebagian kelemahan konseptual NTP-BPS, dalam uraian ini ditambah-kan dua ukuran nilai tukar petani, yaitu rasio indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga konsumsi rumah tangga tani dan nilai tukar faktor produksi usahatani (NTFP).

Pada intinya, NTP mengukur daya beli per unit hasil produksi usahatani atas barang konsumsi/jasa rumah tangga tani. Nilai tukar konsumsi petani (NTKP), ceteris paribus, berpengaruh positif terhadap daya beli pendapatan dari usahatani, yang berarti pula terhadap kesejahteraan ekonomi petani. Nilai tukar faktor produksi usahatani (NTFP) adalah rasio indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga input usahatani. NTFP, ceteris paribus, berpengaruh positif terhadap produksi dan laba usahatani, yang berarti pula terhadap kesejahteraan rumahtangga tani.

Kedua alat ukur nilai tukar petani yang diusulkan tersebut dapat dihitung langsung dari data yang selama ini diterbitkan BPS. Pada dasarnya, usulan tersebut bermanfaat ganda, di satu sisi memberikan tambahan informasi yang amat berguna dalam menarik kesimpulan mengenai pengaruh perubahan struktur harga terhadap kesejahteraan petani; di sisi lain, data yang selama ini disediakan dapat digunakan lebih optimal.

Ketiga penanda nilai tukar petani konsisten kian memburuk pada tahun 2005. Dihitung dengan indeks pada tahun dasar 1993=100, NTP-BPS menurun dari 103,00 pada tahun 2004 menjadi 100,95 pada tahun 2005, NTKP dari 108,95 pada tahun 2004 menjadi 105,88 pada tahun 2005. NTFP dari 90,30 pada tahun 2004 menjadi 89,66 pada tahun 2005. Kesejahteraan petani (murni) tanaman mengalami penurunan pada tahun 2005. Harga yang diterima petani sebenarnya meningkat cukup tinggi (9%). Masalah pokoknya adalah inflasi barang konsumsi dan inflasi faktor produksi yang lebih tinggi dari peningkatan harga yang diterima petani (Tabel 2).

Pada tahun 2006, NTP-BPS sedikit membaik, meningkat dari 100,95 pada tahun 2005 menjadi 101,27 pada tahun 2006. Perbaikan yang lebih signifikan terjadi untuk NTFP yang meningkat dari 89,66 pada tahun 2005 menjadi 91,72 pada tahun 2006. Namun NTKP sedikit menurun dari 105,88 pada tahun 2005 menjadi 105,29 tahun 2006. Tidak dapat dipastikan apakah kesejahteraan petani meningkat atau tidak. Dari peningkatan NTFP dapat disimpulkan insentif berusahatani semakin membaik, sehingga profitabilitas usahatani kemungkinan besar meningkat. Namun dari penurunan NTKP, mungkin saja daya beli pendapatan petani mengalami

87

Tabel 2. Perkembangan Nilai Tukar Barter Petani (NTP-BPS), 2003 – 2006 (1993=100).

No. Indeks harga 2003 2004 2005 2006* 1 Harga yang dibayar petani 416,42 438,54 487,19 543,88 (5,31) (11,09) (11,64)

2 Harga yang diterima petani 444,94 451,70 491,66 550,79 (1,52) (8,85) (12,03)

3 Nilai tukar petani bruto 106,85 103,00 100,95 101,27 (-3,60) (-1,99) (0,32)

Keterangan : - *) Sampai Juni. - Angka dalam kurung menunjukkan %tase perubahan Tabel 3. Perkembangan Nilai Tukar Konsumsi Petani (NTKP), 2003 – 2006 (1993 = 100).

No. Uraian 2003 2004 2005 2006*

I Indeks harga yang diterima

1 Pertanian (seluruh komoditas) 444,94 451,7 491,66 550,79 (1,52) (8,85) (12,03)

2 Tanaman bahan makanan 440,96 448,16 486,83 537,35 (1,63) (8,63) (10,38)

A Padi 440,5 430,29 470,61 529,17 (-2,32) (9,37) (12,44)

B Palawija 412,55 421,5 465,47 507,12 (2,17) (10,43) (8,95)

C Sayuran 392,07 412,74 477,74 545,79 (5,27) (15,75) (14,24)

D Buah-buahan 540,48 583,28 617,66 660,12 (7,92) (5,89) (6,87)

3 Tanaman perkebunan rakyat 411,81 421,18 456,63 531,85 (2,28) (8,42) (16,47)

II Indeks harga konsumsi 399,37 414,57 464,34 523,13 (3,81) (12,01) (12,66)

III Nilai tukar konsumsi

1 Pertanian (seluruh komoditas) 111,41 108,95 105,88 105,29 (-2,21) (-2,82) (-0,56)

2 Tanaman bahan makanan 110,42 108,1 104,85 102,72 (-2,10) (-3,01) (-2,03)

A Padi 110,3 103,79 101,35 101,16 (-5,90) (-2,35) (-0,19)

B Palawija 103,3 101,67 100,24 96,94 (-1,58) (-1,41) (-3,29)

C Sayuran 98,17 99,56 102,89 104,33 (1,42) (3,34) (1,40)

D Buah-buahan 135,33 140,69 133,02 126,19 (3,96) (-5,45) (-5,13)

3 Tanaman Perkebunan Rakyat 103,12 101,59 98,34 101,67 (-1,48) (-3,20) (3,39)

Keterangan: - *) Sampai Juni. - Angka dalam kurung menunjukkan %tase perubahan.

88

nurunan. Inflasi barang konsumsi masih tetap menjadi penghambat utama peningkatan kese-jahteraan rumah tangga tani.

Jika dilihat menurut kelompok komoditas, usahatani palawija dan padi adalah yang paling buruk kinerja nilai tukarnya. NTKP palawija dan padi menurun secara konsisten pada tahun 2005-2006. NTKP buah-buahan menurun pada tahun 2005, namun, pada tahun 2006, keduanya mengalami peningkatan. Kelompok buah-buahan adalah satu-satunya yang secara konsisten me-nikmati peningkatan nilai tukar pada tahun 2005-2006. Dengan demikian, rumah tangga petani yang terburuk kesejahteraannya adalah rumah tangga petani spesialis palawija dan padi (Tabel 3).

NTFP mengalami peningkatan untuk semua kelompok input usahatani dalam dua tahun terakhir, kecuali untuk upah buruh yang menurun tajam pada tahun 2005. Melonjaknya upah buruh tani pada tahun 2005 merupakan penyebab utama dari penurunan NTFP pada tahun tersebut. NTFP untuk buruh tani adalah satu-satunya yang masih di bawah indeks dasar tahun 1993=100, yakni hanya 76,54 pada tahun 2005 dan 76,86 tahun 2006. Dengan demikian, peningkatan upah buruh tani merupakan sumber utama inflasi biaya usahatani dalam dua tahun terakhir. Peningkatan upah buruh tani jelas di luar kendali pemerintah. Tidak dipungkiri, perbaikan NTFP pada tahun 2006 antara lain adalah berkat kebijakan pemerintah mengendalikan harga pupuk dan gabah (Tabel 4).

Tabel 4. Perkembangan Nilai Tukar Faktor Produksi Usahatani (NTFP), 2003 – 2006 (1993=100)

No. Uraian 2003 2004 2005 2006*

I Indeks harga yang diterima 444,94 451,7 491,66 550,79

(1,52) (8,85) (12,03)

II Indeks harga biaya produksi

Total 461,2 500,2 548,39 600,52

(8,46) (9,63) (9,51)

A. Bibit, pupuk & sewa tenaga 461,98 465,66 483,51 520,84

(0,80) (3,83) (7,72)

B. Upah buruh 481,31 558,56 642,37 716,58

(16,05) (15,00) (11,55)

C. Pengeluaran lain 261,09 278,86 298,57 312,5

(6,81) (7,07) (4,67)

D. Penambahan barang modal 330,63 342,23 359,89 383,19

(3,51) (5,16) (6,47)

III Nilai tukar faktor produksi

Total 96,47 90,3 89,66 91,72

(-6,40) (-0,71) (2,30)

A. Bibit, pupuk & sewa tenaga 96,31 97,00 101,69 105,75

(0,72) (4,84) (3,99)

B. Upah buruh 92,44 80,87 76,54 76,86

(-12,52) (-5,35) (0,42)

C. Pengeluaran lain 170,42 161,98 164,67 176,25

(-4,95) (1,66) (7,03)

D. Penambahan barang modal 134,57 131,99 136,61 143,74

(-1,92) (3,50) (5,22) Keterangan : - *) Sampai Juni. - Angka dalam kurung menunjukkan %tase perubahan.

89

INSIDEN KEMISKINAN

Salah satu aspek berkenaan dengan insiden kemiskinan yang menarik untuk dibahas adalah perkembangan jumlah penduduk miskin, baik secara absolut maupun persentase di wila-yah perkotaan maupun pedesaan. Selama perio-de tahun 2004-2006, secara absolut maupun persentase, jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan maupun pedesaan berfluktuasi de-ngan kecenderungan meningkat. Di wilayah pe-desaan dalam kurun waktu tersebut, secara absolut maupun persentase, jumlah penduduk miskin menurun, dari 24,8 juta orang, atau 20,11%, pada tahun 2004 menjadi 22,70 juta orang atau, 19,51% pada tahun 2005, namun kemudian meningkat kembali menjadi 24,76 juta orang, atau 21,90%, pada tahun 2006 (Tabel 5).

Dalam kurun waktu yang sama, secara persentase, jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan turun dari 12,13% pada tahun 2004 menjadi 11,37% pada tahun 2005, namun naik kembali menjadi 13,36% pada tahun 2006. Se-mentara itu, secara absolut, jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan naik secara konsis-ten dari 11,40 juta orang pada tahun 2004 men-jadi 12,40 juta orang pada tahun 2005, dan seterusnya naik lagi menjadi 14,29 juta orang pada tahun 2006. Fakta ini mengindikasikan bah-

wa selama periode tahun 2004-2006, pemerintah belum berhasil menurunkan prevalensi jumlah penduduk miskin.

Aspek lainnya berkenaan dengan insiden kemiskinan yang menarik untuk dibahas adalah pangsa penduduk miskin di masing-masing wilayah. Selama periode tahun 2004-2006, ratarata pangsa penduduk miskin di wilayah pedesaan dan perkotaan masing-masing sebesar 65,6dan 34,4%. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari penduduk miskin berada di wilayah pedesaan. Mata pencaharian sebagianbesar dari mereka sudah barang tentu bergantung pada sektor pertanian. Oleh karena itudalam konteks insiden kemiskinan di wilayah pedesaan, sektor pertanian memiliki dua peran yang saling berlawanan. Di satu sisi, sektor pertanian merupakan salah satu di antara sekian sektor yang memiliki andil terhadap terjadinya insiden kemiskinan di wilayah pedesaan, namudi sisi lain, sektor pertanian juga dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen dalam pengentasan kemiskinan di wilayah bersangkutan. Perlu diketahui bahwa insiden kemiskinan merupakan produk kebijakan multisektoral, sehingga pengentasan kemiskinan harus pula menjadi tanggung jawab semua sektor.

Pemerintah telah berupaya untuk menurunkan jumlah masyakarat miskin dengan melak

Tabel 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin 1981-2006 (juta orang).

Penduduk Miskin (%) Jumlah Penduduk Miskin (juta orang) Tahun

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

1981 28,10 26,50 26,90 9,30 31,30 40,60

1984 23,10 21,20 21,60 9,30 25,70 35,00

1987 20,10 16,10 17,40 9,70 20,30 30,00

1990 16,80 14,30 15,10 9,40 17,80 27,20

1993 13,40 13,80 13,70 8,70 17,20 25,90

1996 9,70 12,30 11,30 7,20 15,30 22,50

1998 21,90 25,70 24,20 17,60 31,90 49,50

1999 19,50 26,10 23,50 15,64 32,33 48,40

2000 14,60 22,38 19,14 12,30 26,40 38,70

2001 9,79 24,84 18,41 8,60 29,30 37,90

2002 14,46 21,10 18,20 13,30 25,10 38,40

2003 13,57 20,23 17,42 12,20 25,10 37,30

2004 12,13 20,11 16,66 11,40 24,80 36,10

2005 11,37 19,51 15,97 12,40 22,70 35,10

2006 13,36 21,90 17,75 14,29 24,76 39,10

90

sanakan berbagai program, seperti bantuan beras untuk masyarakat miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT), dan lain sebagainya. Para-digma penanggulangan kemiskinan ke depan difokuskan pada pemberdayaan masyarakat, yaitu dengan cara memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi dan sumberdaya yang dimiliki, sehingga rumah tangga miskin mampu menolong dirinya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraannya (Nainggolan, 2006). Strategi-nya adalah mengurangi beban pengeluaran ma-syarakat miskin dan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin.

KONSUMSI PANGAN PENDUDUK

Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan penduduk biasanya direpresentasikan oleh ting-kat konsumsi energi dan protein. Selama periode tahun 2004-2005, konsumsi energi penduduk kota dan desa mengalami peningkatan, dari 1986 kkal/kapita/hr pada tahun 2004 menjadi 1996 kkal/kapita/hr pada tahun 2005, atau meningkat 10 kkal/kapita/hr (Susenas, BPS, 2006). Demiki-an pula dalam kurun waktu yang sama, konsumsi protein juga mengalami peningkatan, dari 54,7 gr/kapita/hr pada tahun 2004 menjadi 55,3 gr/ kapita/hr pada tahun 2005, atau naik 0,6 gr/ kapita/hr (0,09 %). Walaupun tingkat konsumsi energi mengalami peningkatan, namun tingkat konsumsi energi tersebut masih dibawah tingkat konsumsi normatif (anjuran) sebesar 2000 kkal/kapita/hr. Sebaiknya, tingkat konsumsi pro-tein telah melampaui tingkat konsumsi normatif (anjuran) sebesar 52 gr/kapita/hr. Jadi, ditinjau dari kuantitas dan kualitasnya, tingkat konsumsi pangan penduduk Indonesia selama periode tahun 2004-2005 secara umum semakin baik.

Aspek lain konsumsi pangan penduduk yang menarik untuk dibahas adalah mutu dan keanekaragaman konsumsi pangan penduduk. Mutu dan keanekaragaman konsumsi pangan penduduk biasanya direpresentasikan oleh skor pola pangan harapan (PPH). Skor PPH pendu-duk kota dan desa pada tahun 2005 mencapai 79,10, atau 2,20 lebih tinggi dibandingkan de-ngan skor pada tahun 2004 (Susenas, BPS, 2006). Hal ini semakin memperkuat fakta bahwa selama periode tahun 2004-2005 tingkat kon-sumsi pangan penduduk Indonesia secara umum semakin baik.

Aksesibilitas penduduk terhadap pangan direpresentasikan oleh jumlah penduduk yang masuk kategori rawan pangan maupun sangat rawan pangan. Menurut Maxwell dan Frankenberger (1992), rawan pangan transien adalah kondisi rawan pangan yang dihadapi rumah tangga, karena untuk sementara waktu tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka. Selama periode tahun 2004-2005, jumlah penduduk kategori rawan pangan turun dari 74.695.770 orang pada tahun 2004 menjadi 54.297.060 orang pada tahun 2005, sedangkan jumlah penduduk kategori sangat rawan pangan meningkat dari 15.600.330 orang pada tahun 2004 menjadi 51.053.240 orang pada tahun 2005 (BPS, 2006). Fenomena ini mengindikasikan bahwa ada penduduk yang sebelumnya masuk kategori rawan pangan, namun karena mengalami penurunan daya beli akhirnya masuk kategori sangat rawan pangan. Secara agregat, jumlah penduduk yang masuk kategori rawan pangan dan sangat rawan pangan naik dari 90.296.100 orang pada tahun 2004 menjadi 105.350.300 orang pada tahun 2005. Angka ini secara implisit menunjukkan bahwa, selama periode tahun 2004-2005, aksesibilitas penduduk terhadap pangan masih menjadi masalah besar. Perlu diketahui bahwa kerawanan pangan berkorelasi positif dengan kemiskinan. Dengan demikian, fokus pembangunan pada saat ini diarahkan pada penanganan masalah kerawanan pangan dan kemiskinan (Hermanto, 2005). Sejalan dengan hal tersebut, salah satu rencana aksi program ketahanan pangan masyarakat adalah penurunan tingkat kemiskinan pedesaan dan pemenuhan kebutuhan pangan sampai tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan diwujudkan bersama oleh masyarakat dan dikembangkan mulai tingkat rumah tangga. Bila setiap rumah tangga sudah mencapai ketahanan pangan, maka secara otomatis ketahanan pangan masyarakat, daerah, dan nasional akan tercapai.

HARGA GABAH DAN BERAS

Perkembangan harga internasional (FOB Bangkok 25% broken) selama periode 20012006 cenderung meningkat dengan pola yang berbeda antartahun, yaitu tahun 2001-2003 cenderung meningkat landai, tahun 2004 meningkat tajam, dan tahun 2005-2006 kembali meningkat dengan landai (Gambar 2). Hal ini menunjukkan

91

bahwa permintaan beras internasional semakin meningkat seiring dengan meningkatnya per-tumbuhan penduduk.

Beras merupakan barang dagangan (tradeable goods) yang dapat diperdagangkan, baik lintas negara dalam tatanan pasar interna-sional maupun antarwilayah dalam tatanan pasar domestik. Keterpaduan pasar direfleksikan dalam keterkaitan harga (price linkages) antarpasar se-cara spasial (Blyn, 1973; Ravallion, 1986; Heytens, 1986; Timmer, 1987; Mendoza and Rosegrant, 1995; Tschirley, 1995), karena harga mengandung informasi tentang kondisi pasar dan sekaligus menjadi salah satu variabel penyesuaian keseim-bangan pasar. Hasil proyeksi didasarkan pada mekanisme koreksi kesalahan (ECM = Error Correction Mechanism) seperti yang digunakan Klitgaard (1999), Taylor et al. (1996), Diakos-savvas (1995), Goletti and Babu (1994). Hasil dari model ECM di atas menunjukkan nilai yang relatif landai di sekitar US$ 273/ton selama tiga bulan ke depan (Desember 2006-Februari 2007). Arti-nya, kecenderungan harga di tingkat internasio-nal cenderung stabil, dan ini menunjukkan gejala yang baik dalam perencanaan dalam negeri untuk tiga bulan ke depan.

Perkembangan harga dalam negeri me-nunjukkan pola yang berbeda dengan interna-sional, dimana sejak tahun 2001 pola pening-

katan harga perdagangan beras cenderung meningkat landai hingga tahun 2004, tahun 2005 kembali meningkat tajam, dan di tahun 2006 kembali meningkat landai (Gambar 3). Kondisi ini menunjukkan pola harga yang terjadi mulai mengikuti pola harga internasional. Artinya, harga dalam negeri sudah mulai terintegrasi dengan internasional. Pola perkembangan harga perdagangan beras seperti ini juga diikuti oleh gambaran yang mirip dengan apa yang terjadi di tingkat petani dengan harga GKP (Gambar 4). Pola yang terjadi kecenderungan harga meningkat landai antartahun 2001-2004, tetapi setelah itu meningkat tajam dari tahun 2005 hingga 2006.

Untuk memperoleh nilai proyeksi harga perdagangan besar tergantung dengan permintaan konsumen dalam negeri. Perilaku pedagang beras dalam negeri akan menaikkan harga barang dagangannya bila permintaan meningkatdan tergantung juga dengan perkembangan harga internasional dan tingkat petani. Hasil proyeksi menunjukkan tiga bulan kedepan (Desember 2006-Februari 2007) cenderung meningkat tajam hingga lebih dari Rp 5000/kg. Dengan demikian, disarankan harga pembelian pemerintah (HPP) tidak perlu dinaikkan. Demikian pula dengan proyeksi harga GKP di tingkat petani. Semakin besar harga di tingkat perdagangan besar, maka harga di tingkat petani juga meningkat, dimana proyeksi tiga bulan kedepan

Gambar 2. Grafik Perkembangan Harga Beras Internasional (2001-2006) dan Proyeksinya

120 140 160 180 200 220 240 260 280 300

Janu

ari 2

001

Mar

et 2

001

Mei

200

1 Ju

li 20

01

Sep

tem

ber 2

001

Janu

ari 2

002

Mar

et 2

002

Mei

200

2 Ju

li 20

02

Sep

tem

ber 2

002

Nov

embe

r 20

02

Janu

ari 2

003

Mar

et 2

003

Mei

200

3 Ju

li 20

03

Sep

tem

ber 2

003

Nov

embe

r 20

03

Janu

ari 2

004

Mar

et 2

004

Mei

200

4 Ju

li 20

04

Sep

tem

ber 2

004

Nov

embe

r 20

04

Janu

ari 2

005

Mar

et 2

005

Mei

200

5 Ju

li 20

05

Sep

tem

ber 2

005

Nov

embe

r 20

05

Janu

ari 2

006

Mar

et 2

006

Mei

200

6 Ju

li 20

06

Sep

tem

ber

2006

Nov

embe

r 20

06

Janu

ari 2

007

Bulan

($/T

on)

Aktual Dugaan

Nov

embe

r 20

01

92

(Desember 2006-Februari 2007) cenderung me-ningkat tajam hingga lebih dari Rp 2400. De-ngan demikian, disarankan pula HPP tidak perlu dinaikkan.

Berkaitan dengan proyeksi di atas, harga gabah ditingkat petani (kualitas GKP dan GKG) terus menunjukkan peningkatan seiring dengan peningkatan harga dasar yang ditetapkan peme-rintah. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Bulog periode 2000–2006 menunjukkan bahwa harga GKP ditingkat petani rata-rata berada diatas harga dasar (HPP). Pencapaian persen-tase harga GKP diatas HPP-nya secara konsis-ten meningkat sejak tahun 2000. Sementara un-

tuk harga GKG, yang sejak tahun 2000 berada dibawah HPP, menunjukkan konsistensi yang terus meningkat, hingga pada periode 2005–2006 rata-ratanya bisa berada diatas HPP.

Harga eceran beras kualitas medium selama periode 2002–2004 menunjukkan perkembangan yang stagnan (Gambar 5). Kenaikan yang sangat signifikan baru terjadi pada tahun 2005-2006 seiring dengan keputusan pemerintah menaikkan HPP gabah lebih dari 25%, yaitu GKP dari Rp 1.230/kg menjadi Rp 1.730/kg. Sepanjang tahun 2005, harga beras mencapai rata–rata Rp 3.478/kg atau meningkat Rp 628/kg, dibandingkan rata-rata tahun 2004.

Gambar 3. Grafik Perkembangan Harga Perdagangan Besar Beras (2001-2006) dan Proyeksinya

Gambar 4. Grafik Perkembangan Harga GKP Tingkat Petani (2001-2006) dan Proyeksinya

2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 5500

Janu

ari 2

001

Mar

et 2

001

Mei

200

1 Ju

li 20

01

Sep

tem

ber

2001

Nov

embe

r 20

01

Janu

ari 2

002

Mar

et 2

002

Mei

200

2 Ju

li 20

02

Sep

tem

ber

2002

Nov

embe

r 200

2 Ja

nuar

i 200

3 M

aret

200

3

Mei

200

3 Ju

li 20

03

Sep

tem

ber

2003

Nov

embe

r 200

3 Ja

nuar

i 200

4 M

aret

200

4

Mei

200

4 Ju

li 20

04

Sep

tem

ber

2004

Nov

embe

r 200

4 Ja

nuar

i 200

5 M

aret

200

5

Mei

200

5 Ju

li 20

05

Sep

tem

ber

2005

Nov

embe

r 200

5 Ja

nuar

i 200

6 M

aret

200

6 M

ei 2

006

Juli

2006

Sep

tem

ber

2006

Nov

embe

r 20

06

Janu

ari 2

007

Bulan

Rp/

Kg

Aktual Dugaan

1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400 2600

Janu

ari 2

001

Apr

il 20

01

Juli

2001

Okt

ober

200

1 Ja

nuar

i 200

2 A

pril

2002

Juli

2002

Okt

ober

200

2 Ja

nuar

i 200

3 A

pril

2003

Juli

2003

Okt

ober

200

3 Ja

nuar

i 200

4 A

pril

2004

Juli

2004

Okt

ober

200

4 Ja

nuar

i 200

5 A

pril

2005

Juli

2005

Okt

ober

200

5 Ja

nuar

i 200

6 A

pril

2006

Juli

2006

Okt

ober

200

6 Ja

nuar

i 200

7

Bulan

Rp/

Kg

Aktual

Dugaan

93

IMPOR BERAS

Usaha pemerintah untuk mewujudkan kembali kondisi swasembada beras diwujudkan dengan upaya peningkatan produksi padi na-sional, dan melarang impor beras yang sejak tahun 2005 hingga pertengahan 2006 masih efektif diberlakukan. Larangan impor beras ini berdampak terhadap perkembangan impor beras secara keseluruhan pada periode 2004-2005. Dibandingkan periode 2000-2004, impor beras menurun drastis pada periode 2004-2005. Jika pada periode 2000-2004, volume impor beras

yang telah menunjukkan pertumbuhan -9,63%/thmaka pada periode 2004-2005 penurunan impor beras mencapai -66,87% (Tabel 6).

Peningkatan harga pembelian pemerintah (HPP) GKP ditingkat petani dari Rp 1.330/kg menjadi Rp 1.730/kg. Kenaikan harga pupuk bersubsidi yang cukup wajar dan terus diberlakukannya larangan impor beras telah meningkatkan gairah petani padi untuk meningkatkan usahataninya. Tak terkecuali juga adanya petani nonpadi beralih untuk menanam padi karena meningkatnya HPP tersebut. Oleh sebab itu, mo

-

500,00

1.000,00

1.500,00

2.000,00

2.500,00

3.000,00

3.500,00

4.000,00

1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

( Rp/kg )

Harga Beras Medium Eceran Gambar 5. Perkembangan Harga Eceran Beras Kualitas Medium 1983 – 2006

Tabel 6. Perkembangan Impor Beras 1999 – 2005 (Juta kg).

Tahun Beras Berkulit (Padi/Gabah)

Beras Digiling

Beras 1/2 Digiling

Beras Pecah Total Beras

1999 - 768,38 3.055,41 918,07 4.741,86 2000 - 160,49 803,36 390,02 1.353,87 2001 7,33 26,31 286,59 324,50 642,04 2002 19,66 81,75 986,63 717,34 1.798,14 2003 3,07 123,32 630,68 671,43 1.427,38 2004 6,26 24,04 163,42 43,15 234,56 2005 1,92 0,002 61,68 53,99 116,89

Rata-rata: 2000-2004 7,26 83,18 574,14 429,29 1.091,20

2004-2005 4,09 12,02 112,55 48,57 175,73

Trend (% / tahun) 2000 - 2004 62,58 3,67 (0,79) (10,65) (9,63)

2004 - 2005 17,29 (90,25) (68,17) (34,23) (66,87)

Sumber : Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2006. Keterangan : Total Beras = Beras Digiling + Beras ½ Digiling + Beras Pecah + 63,2% Beras Berkulit.

94

mentum yang sangat berharga ini harus terus dijaga agar tujuan swasembada beras dapat diwujudkan.

Faktor Risiko Produksi dan Antisipasinya

Sumberdaya Lahan dan Air

Data BPS menunjukkan bahwa selama periode 1982-2003, neraca lahan pertanian di Indonesia mengalami peningkatan sekitar 12,57 juta ha, dengan sumber peningkatan diurut dari yang terbesar adalah areal untuk perkebunan sebesar 10,00 juta ha; tegal/kebun/ladang huma sebesar 2,26 juta ha; sawah sebesar 0,45 juta ha, dan pekarangan sebesar 0,56 juta ha. Sela-ma periode tersebut proses konversi yang terjadi di Jawa memang diakui telah menyebabkan neraca lahan sawah berkurang sekitar 166.253 ha, namun pada saat bersamaan neraca lahan sawah di Luar Jawa mengalami peningkatan sebagai hasil program ekstensifikasi sebesar 619.474 ha (BPS, 1984 dan 2004), sehingga neraca lahan sawah nasional bertambah sebesar 453.221 ha.

Perhitungan yang lebih rinci yang dilaku-kan Irawan et al. (2001) dengan menggunakan data Survei Pertanian BPS, menunjukkan bahwa

selama periode 1981-1999, lahan sawah di Jawa dan Luar Jawa yang dikonversi masing-masing sebesar 1.002.005 dan 625.459 ha. Penambahan lahan sawah di Jawa dan di Luar Jawa pada periode yang sama masing-masing sebesar 518.224 dan 2.702.939 ha. Dengan demikianneraca lahan sawah pada periode yang sama di Jawa berkurang sekitar 483.831 ha. Di Luar Jawa lahan sawah bertambah sekitar 2.077.480 ha. Dengan demikian, selama periode 19811999, neraca lahan sawah di Indonesia bertambah sekitar 1.593.649 ha (Irawan et al., 2001; Sutomo, 2004). Namun demikian, neraca sawah selama periode 1999-2004 (Sutomo, 2004), baik di Jawa maupun di Luar Jawa, mengalami defisit masing-masing -107.482 dan -274.732 ha, dan secara keseluruhan mencapai defisit -423.857 h. Ini berarti bahwa selama periode 1999-2002 luasan sawah yang dikonversi lebih besar dibanding luasan sawah yang dicetak. Fakta itu pula membuktikan bahwa laju konversi lahan sawah baik di Jawa maupun di Luar Jawa makin meningkat, dan penambahan sawah baru tidak mampu mengkompensasi kehilangan akibat konversi.

Kemampuan pemerintah mencetak lahan sawah baru selama lima tahun (2005-2009)

Sumber : Puslitbangtanak (2002)

Gambar 6. Distribusi Konversi Lahan di Pulau Jawa dan Madura s/d Tahun 1998.

SAWAH S/D TH.1998: 3.247.000 HA

SAWAH YANG BERALIH FUNGSI 495.000 HA

95

hanya seluas 279.680 ha. Luasan ini lebih kecil dibanding luasan yang dikonversi (Departemen Pekerjaan Umum, 2006), padahal, dari 6,7 juta total lahan irigasi menyumbang 80-85% produksi beras nasional. Ini memberikan bukti bahwa, apabila kemampuan pemerintah dalam mencetak sawah ke depan seperti yang direncanakan, hampir pasti dalam lima tahun ke depan sawah sebagai basis produksi tanaman pangan khusus-nya padi akan terancam.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi masalah yang mungkin timbul, antara lain adalah mengerem laju konversi dan meningkatkan kemampuan pemerintah mencetak sawah baru. Ada dua faktor yang mendorong akselerasi konversi lahan sawah, yaitu pertum-buhan penduduk dan ekonomi yang membutuh-kan tapakan infrastruktur, seperti perumahan, jalan, dan lainnya; dan kesenjangan pertumbuh-an ekonomi perkotaan dan pedesaaan yang mencapai tiga kali lipat (Simatupang et al., 2002) yang mendorong pertumbuhan penduduk per-kotaan sangat tinggi sekitar 5%, tertinggi didunia setelah Cina. Kondisi tersebut mendorong pen-duduk untuk melakukan konversi walaupun per-aturan melarang hal tersebut.

Hingga saat ini pemerintah telah banyak mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan pelarangan konversi lahan sawah ke pengguna-an nonpertanian. Selama periode 1981-1994, ada sekitar sembilan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, dan sejak tahun 1994 pemerintah tidak lagi mengeluarkan peraturan pengendalian, mungkin ini berkaitan dengan tidak efektifnya peraturan–peraturan tersebut.

Hasil kajian Irawan et al. (2001) menun-jukkan bahwa peraturan pemerintah yang telah dikeluarkan ada beberapa kelemahannya dianta-ranya adalah :

a) Sistim perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian konversi lahan sawah sebagian besar bersifat implisit, sehingga pada aplikasinya di lapangan masih banyak celah-celah yang bisa diupayakan dikonversi tanpa melanggar peraturan tersebut.

b) Peraturan dan perundangan yang satu de-ngan lainnya bersifat dualistik dan paradox. Disatu sisi, peraturan hendak melindungi pengalihgunaan lahan sawah, namun disisi lain pemerintah mendorong pertumbuhan industri yang pada kenyataanya terjadi pada sumberdaya yang baik (sawah).

c) Peraturan tersebut terputus antara peraturan yang satu dengan lainnya dalam sektor yang berbeda, sehingga tidak meliputi dan mendorong kerangka kerja yang integratif dan koordinatif.

d) Peraturan tersebut hanya bersifat enforcement, tetapi tidak diikuti oleh kontrol dan penegakan supremasi hukum. Dengan demikian, dijadikan celah-celah oleh aparat daerah untuk memperoleh keuntungan sesaat.

e) Peraturan yang ada cenderung hanya bersifat melarang pengalihan penggunaan lahan sawah, tanpa memberikan alternatif pemecahannya. Sementara upaya pengembangan industri kadang kala terpaksa dilakukan di persawahan. Misalnya, pada Surat Edaran Mentari Agraria/Kepala BPN No. 460-1594 tanggal 5 Juni 1996, secara implisit terkandung makna bahwa sawah yang sudah kering seolah-olah boleh dialihfungsikan menjadi nonpertanian.

Kekuatan hukum peraturan yang dibuat kadang-kadang tidak mendudukkan status hukum sesuai dengan porsinya. Misalnya, undangundang diatur kembali oleh Kepres atau Kepmen, atau yang seharusnya diperdakan ternyata cukup dengan mengeluarkan SK. Dengan demikianmemberikan celah-celah untuk melakukan pelanggaran dengan tidak terjerat oleh hukum karena sulit untuk dibuktikan (alibi). Sebagai contohKeppres No. 55/1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal UU Pokok Agraria No. 5/1996 pasal 18, hal-hal seperti di atas seharusnya diatur oleh undang-undang. Berdasarkan permasalahan diatas beberapa saran tindak lanjut adalah sebagai berikut: a) Mengkaji kembali seluruh produk hukum dan

membuat peraturan pengendalian baru yang konsisten dan operasional.

b) Mengembangkan infrastruktur sarana jalan, komunikasi, dan lainnya untuk menyebarkan pusat-pusat pengembangan industri dan kota baru ke wilayah luar Jawa, pedesaan, dan ke wilayah lahan kering.

c) Membuat kebijakan pengembangan perumahan yang hemat lahan dengan membekan kemudahan ijin pembangunan perumahan bertingkat.

d) Membuat kebijakan konpensasi melalui sistem saham bagi pemilik lahan pertanian yang terkonversi untuk penggunaan nonpertanian

96

e) Memberikan alokasi dana APBN lebih besar untuk mengoptimalkan lahan pertanian, pe-ngembangan, penelitian, dan penerapan tek-nologi pertanian.

f) Memberikan alokasi dana APBN lebih besar untuk pembukaan lahan pertanian baru di Luar Jawa, serta memberikan insentif bagi usaha swasta untuk melaksanakan hal yang sama.

Data secara nasional menunjukkan bah-wa lebih dari 10,5 juta (53%) rumah tangga petani menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, dan lebih dari 6 juta (30%) menguasai lahan kurang dari 0,25 ha. Dari hasil Sensus Pertanian (SP) 1993, jumlah rumah tangga tani sebanyak 20 juta rumah tangga (RT) pada SP 2003 meningkat menjadi 25,4 juta RT. Jumlah RT petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta kepala keluarga (KK) tahun 1993 menjadi 13,7 juta KK tahun 2003 (2,6%/th). Per-sentase RT petani gurem terhadap RT pertanian pengguna lahan juga meningkat, dari 52,7% (1993) menjadi 56,5% (2003). Kondisi pengua-saan lahan di Jawa makin memprihatinkan kare-na tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Hasil penelitian Patanas (2000) menunjukkan bahwa di Jawa, sekitar 88% rumah tangga petani menguasai

lahan sawah kurang dari 0,5 ha dan sekitar 76menguasai lahan sawah kurang dari 0,25 ha.

Sawah masih menjadi basis produksi pangan dan hortikultura ke depan. Sebagian besar (41%) jaringan irigasi berlokasi di Jawa (Tabel 7), sementara laju konversi lahan sawah di Jawa terus berlangsung untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan tapakan infrastruktur. Dari 6,7 juta ha jaringan irigasi yang terbangun, 1,5 juta ha (22 %) diantaranya rusak. Sebagian besar (90%) sumber air irigasi berasal dari sungai yang dibendung sebanyak 11.547 buah, diantaranya 49 buah rusak. Sisanya (10%), sumber air irigasi berasal dari waduk dan embung sebanyak 273 buah, diantaranya 19 buah rusak (Tabel 8). Kerusakan jaringan dan sumber air irigasi selain disebabkan minimnya biaya operasional dan pemeliharaan, juga disebabkan oleh rusaknya catchment area (daerah tangkapan air) akibat penggundulan hutan dan praktek pertanian di wilayah berlereng yang seharusnya bukan untuk kegiatan budidaya tanaman. Berdasarkan Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum, sasaran rehabilitasi jaringan irigasi selama periode 2005-2009 adalah (a) rehabilitasi jaringan yang rusak seluas 2.679.450 ha, (pembangunan atau peningkatan seluas 700.000 ha, (c) operasional dan pemeliharaan seluas 3.490.500 ha, dan (d) pencetakan sawah seluas 279.680 ha. Realisasi perbaikan jaringan irigasi

Tabel 7. Penyebaran Jaringan Irigasi Berdasarkan Pulau, 2006.

Provinsi Luas lahan %

Jawa 3.27 48.09 Sumatera 1.83 26.91 Sulawesi 0.79 11.62 Kalimantan 0.46 6.76 Nusa Tenggara – Bali 0.39 5.74 Maluku – Papua 0.06 0.88 Total 6.80 100.00

Sumber : Ditjen Sumberdaya Air, Departemen pekerjaan Umum, 2006. Tabel 8. Kondisi Jaringan Irigasi, 2006

Kondisi Keandalan Air Prasarana Terbangun Jumlah Unit

Rusak berat Rusak ringan Waduk Non WadukJaringan irigasi 6.771.826 Hektar 341.327 1.178.548 719.173 6.052.653 (0,05%) (17,4%) (10,62) (89,38)Bendung 11.547 BH 49 - - (0,24%) Waduk 273 BH 14 5 - (5,1%) (1,8)

Sumber : Ditjen Sumberdaya Air, Departemen pekerjaan Umum, 2006.

97

tersebut diharapkan akan memperkuat basis pro-duksi lima tahun ke depan.

Rusaknya daerah tangkapan air, akibat penggundulan hutan dan praktek pertanian di wi-

layah berlereng yang seharusnya bukan untuk kegiatan budidaya tanaman, juga telah menyebabkan kerusakan sumberdaya air untuk irigasi dan kebutuhan industri serta rumah tangga. Sam

Tabel 9. Ketersediaan Air dan Permintaan Aktual Untuk Keperluan Rumah Tangga, Perkotaan, Industri dan Irigasi

Permintaan Saat Ini (2002) No Provinsi Ketersediaan

Rata-rata R.Tangga Perkotaan Industri Irigasi Total

- m3/det - 1 NNAADD 3.042,21 9,34 3,98 - 126,54 139,862 Sumatra Utara 2.948,79 87,46 37,32 9,42 166,51 300,71

3 Sumatra Barat 1.670,69 8,00 3,41 93,01 - 104,424 Riau 5.020,67 15,76 6,73 - 74,42 96,915 Jambi 2.680,65 6,17 2,63 - 31,14 39,946 Sumsel (Bangka/Belitung) 4.793,82 26,96 11,50 - 62,67 101,137 Bengkulu 1.662,20 2,97 1,27 - 41,96 46,208 Lampung 1.528,41 17,82 7,60 - 94,67 120,09 SUMATRA 23.347,44 174,48 74,44 102,43 597,91 949,269 DKI Jakarta 317,45 31,41 13,77 14,14 75,85 135,17

10 Banten 252,38 1,11 0,49 1,59 29,05 32,2411 Jawa Barat 2.171,14 24,00 9,00 20,00 372,00 425,0012 Jawa Tengah 1.665,18 17,95 7,87 - 337,28 363,1013 DI Yogyakarta 175,23 3,89 1,71 - 50,01 55,6114 Jawa Timur 1.354,95 24,99 10,96 11,55 419,26 466,76

JAWA 5.936,33 103,35 43,80 47,28 1.283,45 1.477,88 JAWA+BALI 6.109,24 105,25 44,59 47,28 1.374,40 1.571,52

15 Kalbar 10.154,14 3,51 1,47 - 5,17 10,1516 Kalsel 5.668,41 5,69 2,38 - 7,18 15,2517 Kalteng 5.824,04 8,96 3,75 - 0,38 13,0918 Kaltim 10.318,37 14,41 6,03 - 3,26 23,70

KALIMANTAN 31.964,96 32,57 13,63 0,00 15,99 62,1919 Bali 172,91 1,90 0,79 90,95 93,6420 NTB 404,90 1,90 0,79 - 164,65 167,3421 NTT 907,98 1,52 0,64 - 23,70 25,86

BALI+ N.TENGGARA 1.485,79 5,32 2,22 0,00 279,30 286,84 N.TENGGARA 1.312,88 3,42 1,43 0,00 188,35 193,20

22 Sulawesi Utara 1.003,93 2,13 0,89 - 42,69 45,7123 Gorontalo 221,91 0,81 0,34 - 11,22 12,3724 Sulteng 3.683,12 8,92 3,74 - 71,97 84,6325 Sultra 217,69 0,71 0,30 - 6,04 7,0526 Sulsel 2.698,76 9,05 3,79 1,10 232,03 245,97

SULAWESI 7.825,41 21,62 9,06 1,10 363,95 395,7327 Maluku Utara 1.324,00 0,28 0,12 - 0,80 1,2028 Maluku 1.994,17 5,78 2,42 - 10,02 18,2229 Irian 27.786,00 13,41 5,62 - 2,32 21,35

MALUKU dan IRIAN 31.104,17 19,47 8,16 0,00 13,14 40,77 INDONESIA 101.664,10 356,81 151,31 150,81 2.553,74 3.212,67Sumber: Sub Direktorat Hidrologi, Direktorat Pemanfaatan Sumberdaya Air, Dep.Kimpraswil (2003).

98

pai tahun 2020 permintaan air masih dapat dipe-nuhi. Permintaan air pada tahun 2020 hanya 17.839 m3/detik, jauh di bawah ketersediaan air yang mencapai 101.664 m3/detik.

Walaupun ketersedian air secara nasio-nal sampai tahun 2020 diperkirakan masih me-madai, namun Indonesia dalam jangka panjang akan menghadapi ancaman kekurangan air untuk pertanian bagi wilayah-wilayah yang padat pen-duduk, seperti di Jawa, seiring dengan menurun-nya fungsi hidrologis daerah aliran sungai (DAS) karena over utilization dan rusaknya jaringan irigasi (Tabel 9). Oleh karena itu, dalam jangka panjang diperlukan upaya pengelolaan dan rehabilitasi DAS dan jaringan irigasi yang rusak.

Patut dicatat UU sumberdaya air yang ada saat ini dikhawatirkan akan mendorong swastanisasi pemanfaatan air yang dapat me-ngurangi pasokan air untuk pertanian. Untuk itu, Departemen Pertanian bersama Departemen Pe-kerjaan Umum perlu mengusulkan rancangan peraturan pemerintah tentang penggunaan dan pengelolaan air irigasi.

Selama ini, perbaikan dan peningkatan jaringan irigasi diikuti oleh pemanfaatan teknologi peningkatan produktivitas, seperti penggunaan varietas unggul dan sistem budidaya yang efi-sien. Upaya tersebut telah mampu meningkatkan produktivitas tanaman. Sebagai contoh, selama periode 1979-1999, produktivitas padi di Jawa meningkat dari 45,48 kw/ha menjadi 48,42 kw/ ha, sedangkan di Luar Jawa meningkat dari 32,18 kw/ha menjadi 37,03 kw/ha (Tabel 10). Selain produktivitas, intensitas tanam yang ditun-jukkan oleh indek tanam juga meningkat. Dalam jangka pendek dan panjang, Indonesia meng-hadapi empat ancaman serius yang berkaitan de-ngan sumberdaya lahan dan air, yaitu peningkatan laju konversi baik di Jawa maupun Luar Jawa, rusaknya jaringan irigasi, rusaknya beberapa sis-tem hidrologi DAS, dan penguasaan lahan yang

sempit. Oleh karena itu, dalam jangka pendek dan panjang diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi tekanan pemanfaatan lahan, sekaligus meningkatkan produktivitas lahan di Jawa melalui pengembangan produksi komoditas yang bernilai tinggi dengan muatan teknologi yang tinggi pulameningkatkan alokasi fiskal untuk pembangunan jaringan irigasi dan pencetakan sawah baru; danperbaikan sistem hidrologi DAS yang rusak. Sdangkan untuk mencapai skala ekonomi minimum diperlukan upaya rekayasa kelembagaan kerjasama antarpetani.

Penyediaan Pupuk

Pemberian subsidi melalui input lebih mudah mengakselerasi adopsi teknologi revolusi hijau dengan alasan sebagian besar petani Indonesia adalah petani yang menghadapi kendala biaya produksi, sehingga keputusan petani dalam usahanya didasarkan cost minimization bukan profit maximization (kondisi dimana tidak ada kendala biaya produksi). Ini berarti bahwa insentif input lebih sesuai dengan kondisi anggaran petani kita dibanding insentif output. Dengan orientasi cost minimization dan instrumen teknologi untuk meningkatkan hasil per hektar yang signifikan adalah input pupuk, maka insentif input lebih mudah mengakselerasi adopsi teknologi guna meningkatkan produktivitas.

Ada tiga aspek kebijakan untuk meningkatkan penggunaan pupuk di tingkat petaniyaitu (a) kebijakan meningkatkan kemampuan negara dalam penyediaan pupuk di pasar dalam negeri dengan membangun pabrik pupuk; (kebijakan meningkatkan penggunaan pupuk di tingkat petani dengan insentif harga; dan (c) kebijakan efektivitas penyaluran dengan pengendalian penyaluran.

Untuk meningkatkan penggunaan pupuk di tingkat petani, dan dengan pertimbangan penggunaan pupuk masih di bawah dosis yang

Tabel 10. Perkembangan Indeks Tanam, 1979-2003

Intensifikasi di Jawa Intensifikasi di Luar Jawa Periode Produktivitas

(kw/ha) Indeks Tanam Produktivitas (kw/ha) Indeks Tanam*) Indeks Tanam**)

1979 – 84 45,48 1,43 32,18 1,0 0,501984 – 89 49,58 1,45 34,85 1,2 0,491989 – 94 51,28 1,50 36,16 0,9 0,501994 – 99 48,42 1,70 37,03 1,1 0,501999 – 06 49,02 1,89 38,40 1,2 0,60

*) Sumatera; **) Sulawesi

99

dianjurkan, serta kemampuan petani membiayai usahataninya terbatas, maka pemerintah mem-berikan subsidi harga dimana harga yang dibeli petani di bawah harga pasar.

Dalam perkembangannya, dana subsidi pupuk yang dikeluarkan pemerintah makin mem-bengkak, sejalan peningkatan biaya produksi pu-puk karena meningkatnya harga gas. Kalau pada tahun 2003, biaya subsidi pupuk sebesar Rp 0,9 trilyun, maka pada tahun 2006 meningkat men-jadi Rp 3,0 trilyun (Tabel 11), bahkan pada tahun 2007 diperkirakan membengkak menjadi Rp 6,0 trilyun. Indeks biaya subsidi meningkat jauh lebih tinggi dibanding indeks volume maupun harga (Gambar 7). Ini berarti, peningkatan biaya subsidi tidak menambah volume pupuk yang disalurkan. Dengan kata lain, ada inefisiensi dan efektivitas dalam pemberian subsidi pupuk. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, apalagi keuangan pemerintah makin terbatas.

Subsidi Pupuk Tahun 2007

Selain mempertimbangkan kebutuhan pupuk bersubsidi untuk pengembangan luas are-

al, perhitungan subsidi pupuk tahun 2007 juga mempertimbangkan kebutuhan pupuk bersubsidi berdasarkan harga pupuk dan harga gabah yang ditetapkan oleh pemerintah, karena kedua hal terakhir tersebut sangat berpengaruh pada keputusan petani untuk menggunakan pupuk. Mengingat perbandingan HPP dan HET pupuk saat ini telah tepat, bila pemerintah suatu saat meningkatkan HPP, maka HET pupuk sebaiknya ditingkatkan pula secara bersamaan.

Apabila kemampuan dana pemerintah untuk subsidi pupuk tahun 2007 sebesar Rp 5,8 trillium, maka yang paling mungkin dilakukan dengan asumsi harga pokok penjualan naik 10% adalah menaikkan HET dan HPP, masingmasing 10%. Dengan skenario seperti itu, maka kebutuhan pupuk bersubsidi sebanyak 6.307.441 ton (dengan rincian untuk urea sebesar 4.509.650 ton, SP-36 sebesar 753.285 ton, ZA sebanyak 629.894 ton, dan NPK sejumlah 414.612 ton) dan total subsidi sebesar Rp 5.895.876.211.000 (Bahan dengar pendapat PT Pusri dengan Komisi-XI DPR, Juli 2006).

0

50

100

150

200

250

300

350

%

2003 2004 2005 2006

Gambar 7. Perkembangan Indeks Subsidi, Harga, dan Volume Pupuk

Tabel 11. Perkembangan Subsidi (Rp milyar), Volume (Juta ton), Harga TSP, dan Urea (US$, Rp/ton), 2003-2006.

Harga (US$/ton) Harga (Rp/ton) Tahun Subsidi Volume TSP UREA TSP UREA

2003 900 5.526 149,33 138,91 1.279.889 1.190.606 2004 1.592 5.785 185,86 178,66 1.670.052 1.605.357 2005 2.593 5.693 201,48 219,02 1.964.539 2.135.561 2006 3.004 6.000 200,85 223,68 1.835.568 2.044.242

100

Dalam upaya peningkatan penyediaan pupuk di pasar dalam negeri, pemerintah sejak tahun 1974–1986 telah mendirikan pabrik pupuk di berbagai lokasi. Namun dalam perkemba-ngannya, kemampuan penyediaan pupuk yang berasal dari pabrik dalam negeri, khususnya pupuk urea cenderung menurun. Selama periode 2000-2006 produksi pupuk urea mengalami penurunan, dari 6,3 juta ton menjadi 5,5 juta ton, yang disebabkan utilisasi pabrik makin menurun karena umur pabrik sudah tua di atas 20 tahun.

Penyediaan pupuk urea sangat penting karena kontribusi terhadap peningkatan produkti-vitas cukup tinggi. Pupuk urea sangat dibutuhkan untuk peningkatan kapasitas produksi pertanian. Program ekstensifikasi, intensifikasi, serta reha-bilitas membutuhkan dukungan penyediaan pu-puk urea. Namun demikian, penggunaan di ting-kat petani perlu diefisiensikan karena kelebihan urea tercuci oleh air hujan, dan tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

Selain urea, SP-36 juga menjadi sumber hara tanaman yang penting untuk meningkatkan isi dan mutu buah. Selama periode 2000-2006, kapasitas terpasang pabrik SP-36 tidak menga-lami perubahan, yaitu 800.000 ton, sementara kebutuhan meningkat dari 652.013 ton pada ta-hun 2000 menjadi 980.000 ton pada tahun 2006 (Tabel 13). Sampai saat ini, kebutuhan SP-36 dalam negeri belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sebagian diimpor. Selama periode 2000-2005 impor cenderung meningkat.

Seperti halnya urea dan SP-36, ZA juga menjadi sumber hara tanaman yang penting un-tuk meningkatkan produksi dan penyedia unsur mikro sulfur. Selama periode 2000-2006, kapasi-tas terpasang pabrik ZA tidak mengalami peru-bahan, yaitu 600.000 ton, sementara kebutuhan

meningkat dari 669.889 ton pada tahun 2000 menjadi 764.749 ton pada tahun 2006 (Tabel 14). Sampai saat ini kebutuhan ZA dalam negeri belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sebagian diimpor. Selama periode 2000-2005 impor cenderung meningkat.

Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, pemerintah mengembangkan pupuk majemuk NPK. Diharapkan petani dapat memperoleh pupuk sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman. Selama periode 2000-2006, kapasitas terpasang pabrik NPK tidak mengalami perubahan, yaitu 400.000 ton, sementara kebutuhan terhadap pupuk NPK meningkat dari 157.510 ton pada tahun 2000 menjadi 400.000 ton pada tahun 2006 (Tabel 15). Sampai saat ini, kebutuhan ZA dalam negeri belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sebagian diimpor. Selama periode 2000-2005 impor cenderung meningkat.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa dalam aspek penyediaan pupuk, kita menghadapi ancaman penyediaan pupuk ke depan, karena pabrik yang ada sudah tua dan efisiensinya rendah. Dukungan pabrik pupuk yang efisien sangat diperlukan dalam rangka peningkatan kapasitas produksi pertanian.

Penyediaan Benih

Perbenihan merupakan subsitem replikasi inovasi yang sangat vital dalam pengembangan kapsitas produksi. Kelemahan dalam sistem ini akan berakibat fatal, bukan hanya pada kuantitas produksi, tetapi juga pada kualitas produksi yang berakibat penurunan daya saing produk di pasar. Saat ini, sistem perbenihan nasional, kecuali untuk padi dan jagung, boleh dikata

Tabel 12. Kapasitas, Produksi, dan Kebutuhan Pupuk Urea 2000-2006 (ton)

Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006ren Kapasitas

6.732.000

6.732.000

7.302.000

7.302.000

6.732.000

7.302.000 7.872.000

Produksi 6.294.178 5.306.499 5.992.872 5.729.169 5.671.645 5.884.672 5.456.021Utilisasi (%) 93,50 78,83 82,07 78,46 84,25 80,59 69,31Kebutuhan DN 4.009.306 4.218.134 4.153.193 4.588.700 5.015.642 5.210.661 5.512.733Subsidi 3.652.082 3.904.815 3.783.983 3.911.255 4.210586 3.989.487 4.300.000Nonsubsidi 357.224 313.319 369.210 677.445 805.056 1.221.174 1.212.733 Ekspor 1.491.151 975.788 745.024 939.716 495.373 797.538

Catatan : *) Tidak ada ekspor tahun 2006. Pupuk urea dalam negeri diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pupuk Bersubsidi. Kekurangan untuk pertanian nonsubsidi dan industri diimpor oleh swasta.

101

kan belum mapan. Sistem perbenihan padi ba-nyak mendapatkan bantuan dari pemerintah me-

lalui pemberian subsidi harga, namun jangkauannya masih sangat terbatas. Untuk benih padi ba

Tabel 13. Kapasitas, Produksi, dan Kebutuhan Pupuk SP-36, Tahun 2000-2006

Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006ren

Kapasitas

800.000

800.000

800.000

800.000

800.000

800.000 800.000

Produksi 482.769 650.820 567.497 608.744 685.523 822.858 703.954

Utilisasi (%) 60,35 81,35 70,94 76,09 85,69 102,86 87,99

Kebutuhan DN

Subsidi 587.629 654.379 522.855 727.192 787.595 797.506 700.000

Nonsubsidi 64.394 10.347 80.651 45.446 172.850 183.304 5.498

Jumlah : 652.013 664.726 603.506 772.638 960.445 980.810 705.498

Impor *) 64.394 10.347 80.651 45.446 172.275 161.122 60.000

Catatan : *) Impor Superphosphate Tabel 14. Kapasitas, Produksi, dan Kebutuhan Pupuk ZA, Tahun 2000-2006.

Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006ren

Kapasitas

650.000

650.000

650.000

650.000

650.000

650.000 650.000

Produksi 528.692 .514.843 454.224 382716 481.141 664.642 740.897

Utilisasi (%) 81,34 79,21 69,88 58,88 74,02 102,25 113,98

Kebutuhan DN

Subsidi 506.663 470.286 392.460 510.427 633.580 592.700 600.000

Nonsubsidi 163.226 228.513 282.128 244.169 107.269 285.046 164.769

Jumlah : 669.889 698.799 674.588 754.596 740.849 877.746 764.769Impor 136.628 183.344 247.623 227.067 106.824 172.762 30.000

Catatan : Rencana Impor tahun 2006 oleh PT. Petrokimia Gresik. Tabel 15. Kapasitas, Produksi, dan Kebutuhan Pupuk NPK, Tahun 2000-2006

Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006ren

Kapasitas

400.000

400.000

400.000

400.000

400.000

400.000 400.000

Produksi 29.727 56.191 43.796 109.996 194.039 264.543 410.716Utilisasi (%) 7,43 14,05 10,95 27,50 48,51 66,14 102,68Kebutuhan DN

Subsidi 2.888 13.541 39.934 100.288 192.464 262.187 400.000Nonsubsidi 154.622 140.802 210.442 181.676 321.399 227.510 -

Jumlah : 157.510 154.343 250.376 281.964 513.863 489.697 400.000Impor 144.747 131.440 200.724 171.763 321.399 221.539 *)

Catatan : *) Belum ada data Kebutuhan nonsubsidi dipenuhi oleh pihak swasta dengan kapasitas 350.000 ton dari impor.

102

ru sekitar 37% (Tabel 16), sedangkan untuk jagung jauh lebih rendah lagi yaitu hanya 2% (Tabel 17). Hasil kajian Sayaka et al. (2006) menun-jukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005), secara nasional, rata-rata luas penggunaan benih padi, jagung, dan kedelai ber-label masih rendah, yaitu berturut-turut 22,0%, 7,0%, dan 2,8%. Sementara itu, pada periode yang sama penggunaan benih berlabel untuk ketiga komoditas tersebut di Jawa Timur relatif lebih tinggi dibanding rata-rata nasional, dengan luas berturut-turut 38,0%, 12,0%, dan 3,0% ter-hadap luas pertanaman padi, jagung, dan kedelai di Jawa Timur. Namun demikian, walaupun peng-gunaan benih berlabel khususnya untuk padi masih rendah, tetapi realitasnya benih yang di-gunakan petani dari hasil penangkaran sendiri

cukup baik setara dengan benih berlabel1. Hal ini mengindikasikan penggunaan benih padi di tingkat petani di wilayah Jawa telah mempunyai kualitas yang baik.

Walaupun fakta menunjukkan bahwa benih hasil penangkaran sendiri petani cukup baik, namun dalam jangka panjang kualitasnya belum dapat dijamin, utamanya kemurnian varietasnya. Selain itu, dalam jangka panjang tidak mungkin petani akan menanam dengan benih SS (stock seed) secara terus menerus karena persediaannya terbatas.

Sistem perbenihan untuk jeruk dan pisang sama sekali belum berkembang secara baik. Sistem pembibitan sapi potong dan kam

1 Petani menangkar sendiri benih padi yang berasal dari

tanaman yang menggunakan benih SS (Stock Seedsehingga benih yang dihasilkan petani tersebut masuh dalam kategori benih ES (Extention Seed) yang biasa dijual oleh perusahaan dalam bentuk benih berlabel.

Tabel 16. Cakupan Subsidi Benih Padi, 1997-2006.

Jumlah Benih Bersubsidi

Besar Subsidi Benih Per kg Tahun

Kebutuhan Benih Potensial

(ton) (ton) %

Harga Benih Bersubsidi

(Rp/Kg) Rp. % 1997 281.219 110.743 39,38 900 185 20,56 1998 286.090 86.605 30,27 2.135 400 18,74 1999 305.443 94.446 30,92 2.135 400 18,74 2000 303.955 102.024 33,57 2.135 400 18,74 2001 296.391 80.747 27,24 2.135 400 18,74 2002 296.397 96.4 76 32,55 2.400 400 16,67 2003 295.808 101.578 34,34 2.675 500 18,69 2004 312.978 109.868 35,10 2.675 500 18,69 2005 310.246 111.000 35,78 2.675 500 18,69 2006 315.358 117.500 37,26 3.750 500 13,33

Sumber : Ditjen Tanaman Pangan (2006) Tabel 17. Cakupan Subsidi Benih Jagung, 2004-2006.

Jumlah Benih Bersubsidi Besaran Subsidi Benih/Kh

Tahun Kebutuhan

Benih Potensial (ton) %

Harga Benih di Pasaran

(Rp)

Harga Benih Bersubsidi

(Rp) Rp % Jagung Hibrida

2004 21.148 - 0 22.000 11.950 4.750 39,75 2005 30.217 2.907 9,62 26.000 11.950 4.750 39,75 2006 28.647 3.000 10,47 26.000 14.700 4.750 32,31

Jagung Komposit 2004 74.109 421 0,56 5.500 4.350 1.000 22,99 2005 67.990 1.000 1,47 6.000 4.350 1.000 22,99 2006 56.865 1.600 2,81 7.500 6.200 1.000 16,12

Sumber : Ditjen Tanaman Pangan (2006)

103

bing/domba menghadapi persoalan besar, yang berkaitan dengan pengurasan populasi, karena pertumbuhan populasi tidak mampu mengimba-ngi perumbuhan permintaan, sehingga kemam-puan penyediaan bibit untuk sapi potong dan kambing/domba makin menurun. Kurangnya mi-nat swasta untuk berusaha di sektor pembibitan sapi potong karena keuntungan usaha pembi-bitan sapi potong hanya sekitar 6%, jauh lebih kecil dibanding bunga pasar yang mencapai 18%. Ini persoalan besar yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah untuk mendorong pe-ngembangan sistem pembibitan sapi potong dan kambing/domba.

Sistem pembibitan ayam ras didukung oleh ketersediaan parent stock yang cukup, se-hingga sistem pembibitan ayam ras tidak banyak mengalami permasalahan. Namun demikian, ka-rena bibit yang dibeli berasal dari perusahaan multinasional, maka keuntungan usaha peter-nakan ayam ras banyak tersedot oleh perusaha-an multinasional tersebut.

PROSPEK INDIKATOR MAKRO SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2007

Setelah membahas kinerja sejumlah indikator makro primer maupun sekunder sektor pertanian selama periode tahun 2004-2006, langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah memprediksi prospek kinerja indikator-indikator bersangkutan pada tahun 2007. Hal ini didasar-kan atas pertimbangan bahwa apabila prospek tersebut tidak sesuai dengan harapan, maka sedini mungkin dapat diambil langkah-langkah untuk mengantisipasinya. Sementara itu, untuk memprediksi prospek itu sendiri akan digunakan pendekatan tren. Pendekatan ini diambil karena sebelumnya telah dibahas kinerja indikator-indi-kator tersebut selama periode tahun 2004-2006. Perlu diketahui bahwa logika yang mendasari pendekatan tren adalah bahwa pertumbuhan indikator-indikator tersebut berhubungan erat dengan waktu dengan suatu pola hubungan tertentu dan tetap selama cakupan waktu rentang proyeksi. Dalam hal ini hubungan antara indika-tor-indikator tersebut dengan waktu diduga ber-dasarkan perilaku indikator-indikator bersang-kutan sebelumnya. Pada kesempatan ini tiga indikator makro sektor pertanian yang akan di-bahas prospeknya pada tahun 2007 adalah (a)

produk domestik bruto (PDB), (b) kesempatan kerja, serta (c) harga gabah dan beras.

Produk Domestik Bruto (PDB) Tahun 2007

Prospek arah dan tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian tahun 2007 berdasarkan pendekatan tren sangat ditentukan oleh arah dan tingkat pertumbuhan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan PDB sektor pertanian itu sendiri, terutama selama periode tahun 20052006. Secara teoritis, PDB sektor pertanian dipengaruhi, terutama oleh tingkat permintaan atas produk sektor pertanian, tingkat investasi di sektor pertanian, dan tingkat produksi sektor pertanian. Tingkat permintaan atas produk sektor pertanian dapat direpresentasikan oleh tingkat investasi, karena biasanya swasta melakukan investasi di sektor pertanian apabila ada prospek peningkatan permintaan atas produk sektor pertanian. Sebagaimana telah disebutkan bahwa investasi berperan penting dalam memperbesar potensi sumberdaya (kapasitas produksi). Semakin besar kapasitas produksi berarti akan semakin besar tingkat penyerapan tenaga kerja dan sekaligus tingkat produksi sektor pertanian. Selanjutnya, semakin besar tingkat produksi sektor pertanian berarti akan semakin besar pula PDB sektor pertanian.

Sebagaimana telah dibahas bahwa selama periode tahun 2005-2006 investasi swasta di sektor pertanian yang direpresentasikan oleh persetujuan investasi swasta mengalami pertumbuhan sebesar 126%/th untuk PMDN dan 122%th untuk PMA. Begitu pula produksi sejumlah komoditas utama subsektor tanaman pangan (misal, padi), perkebunan (misal, kelapa sawit)dan subsektor peternakan (misal, unggas) selama periode tahun 2005-2006 juga mengalami per-tumbuhan positif. Komoditas padi mengalami pertumbuhan sebesar 0,37%/th, komoditas kelapa sawit mengalami pertumbuhan sebesar 5,0%th, dan komoditas unggas mengalami pertumbuhan sebesar 1,87%/th. Berdasarkan arah dan tingkat pertumbuhan investasi swasta di sektor pertanian maupun produksi sejumlah komoditas utama sektor pertanian tersebut, maka PDB sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunandan peternakan) pada tahun 2007 diprediksi tetap tumbuh positif dengan tingkat pertumbuhan yang semakin tinggi. Agar prediksi ini dapat terealisir maka yang perlu dilakukan pemerintah adalah paling tidak mempertahankan seluruh

104

kebijakan selama periode tahun 2004-2006 yang dipandang memberikan kontribusi positif bagi terciptanya kondisi kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya PDB sektor pertanian.

Kesempatan Kerja

Berdasarkan pendekatan tren, prospek arah dan tingkat pertumbuhan kesempatan kerja di sektor pertanian tahun 2007 sangat ditentukan oleh arah dan tingkat pertumbuhan faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja itu sendiri, terutama selama periode tahun 2005-2006. Secara teoritis, faktor utama yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja adalah PDB. Perlu diketahui bahwa besarnya PDB nasional merepresentasikan tingkat penda-patan masyarakat secara nasional. Dalam hubu-ngan ini semakin besar PDB nasional berarti akan semakin tinggi tingkat permintaan masya-rakat akan produk yang dihasilkan oleh pereko-nomian negara bersangkutan. Semakin tinggi tingkat permintaan masyarakat akan produk yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara ma-ka tingkat produksi perekonomian negara ber-sangkutan akan bergerak semakin tinggi. Selan-jutnya, semakin tinggi tingkat produksi yang diha-silkan oleh perekonomian suatu negara, berarti akan semakin tinggi permintaan akan tenaga kerja. Oleh karena itu, secara ringkas dapat dikatakan bahwa semakin tinggi PDB nasional, berarti akan semakin tinggi kesempatan kerja di tingkat nasional. Hal ini akan berlaku pula di tingkat sektoral, misalnya, di sektor pertanian. Maksudnya, semakin tinggi PDB sektor pertanian maka semakin tinggi pula kesempatan kerja di sektor bersangkutan.

Sebagaimana telah dibahas bahwa sela-ma periode tahun 2005-2006, PDB sektor per-tanian (tanaman pangan, perkebunan, dan peter-nakan) dan seluruh subsektor yang tercakup di dalamnya mengalami pertumbuhan positif. Sek-tor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 3,50%/th. Sementara itu, subsektor tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan mengalami pertumbuhan berturut-turut sebesar 2,89%/th, 5,12%/th, dan 3,99%/th. Berdasarkan arah dan tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian mau-pun subsektor-subsektor yang tercakup di dalam-nya maka kesempatan kerja di sektor pertanian pada tahun 2007 diprediksi tetap tumbuh positif dengan tingkat pertumbuhan yang semakin ting-gi. Perlu diingatkan kembali bahwa dari tam-

bahan kesempatan kerja secara nasional sebanyak 1.226.082 orang pada tahun 2005 sebesar 98% disediakan oleh sektor pertanian, dan sisanya oleh sektor nonpertanian. Agar prediksi tersebut dapat terelisir, maka yang perlu dilakukan pemerintah adalah paling tidak mempertahankan seluruh kebijakan selama periode tahun 20042006, yang dipandang memberikan kontribusi positif bagi terciptanya kondisi kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya kesempatan kerja di sektor pertanian.

Harga Gabah Dan Beras

Perkembangan harga beras, baik di tingkat internasional maupun dalam negerisudah mulai terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan pola yang sama dengan meningkatnya harga yang landai pada tahun 2001-2003. Perbedaannya terjadi pada peningkatan yang tajam pada harga internasional di tahun 2004, sedangkan harga dalam negeri, baik di tingkat perdagangan besar dan petani, meningkat tajam baru terjadi pada tahun 2005. Selanjutnya, harga internasional melandai di tahun 2005-2006, harga perdagangan besar melandai di tahun 2006akan tetapi harga GKP tingkat petani cenderung terus menaik hingga tahun 2006. Hasil proyeksi untuk tiga bulan ke depan (Desember 2006Februari 2007), untuk harga beras internasionalcenderung stabil pada harga US$ 273/ton, sedangkan harga dalam negeri cenderung meningkat tajam, dimana untuk harga beras di tingkat perdagangan besar dapat mencapai lebih dari Rp 5.000 per kg, sedangkan harga GKP lebih dari Rp 2.400 per kg. Dengan demikian, disarankan tidak perlu menaikan HPP.

PENUTUP

Selama periode tahun 2004-2006, sektor pertanian menempati prioritas utama di mata investor swasta yang diindikasikan oleh pertumbuhan persetujuan investasi, baik lewat PMDN maupun PMA di sektor bersangkutan, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di sektor-sektor perekonomian lainnya. Perkembangan ekspor pertanian dalam periode 2004-2005 memiliki pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan periode 2000-2004, namun ekspor masing-masing subsektor menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, yaitu bisa melebihi 10%/th

105

Sedangkan pada sisi impor, pertumbuhan impor pertanian untuk tahun 2000-2004 lebih besar dari 2004-2005. Di sisi lain, NTP-BPS tidak cocok dijadikan sebagai penanda kesejahteraan petani karena mengandung dua kelemahan mendasar. Secara konseptual NTP-BPS tidak memiliki hu-bungan langsung dan tegas dengan nilai maupun daya beli pendapatan petani. Secara empiris ,NTP-BPS hanya mengakomodir pendapatan ru-mah tangga tani dari usahatani tanaman (bahan makanan dan perkebunan rakyat).

Selama periode tahun 2004-2005, tingkat konsumsi penduduk Indonesia secara umum semakin baik, ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya yang direpresentasikan oleh pening-katan konsumsi energi dan protein, maupun dari segi keanekaragamannya yang direpresentasi-kan oleh peningkatan skor pola pangan pangan harapan (PPH). Namun demikian, aksesibilitas penduduk terhadap pangan selama periode tahun 2004-2005 masih merupakan masalah besar, yang diindikasikan oleh masih relatif besar penduduk Indonesia yang masuk ke dalam kategori rawan pangan maupun sangat rawan pangan.

Pola perkembangan harga beras, baik di tingkat internasional maupun dalam negeri, sudah terintegrasi. Harga dalam negeri, baik di tingkat perdagangan besar dan petani, mening-kat tajam pada tahun 2005. Harga internasional melandai di tahun 2005-2006, harga perdagang-an besar melandai di tahun 2006, akan tetapi harga GKP tingkat petani terus menaik hingga tahun 2006. Dalam kaitannya dengan produksi, upaya akselerasi produksi dipengaruhi beberapa risiko utama, yaitu sumberdaya lahan dan air, kemampuan produksi industri pupuk nasional, serta sistem perbe-nihan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Blyn, G. 1973. Price Series Correlation As a Measures of Market Integration. Indian Journal of Agricultural Economics 28(2):56-59.

Diakossavvas, D. 1995. How Integrated are World Beef Markets? The Case of Australian and U.S. Beef Markets. Agricultural Economics 12:37-53.

Goletti, F. and S. Babu. 1994. Market Liberalization and Integration of Maize Markets in Malawi. Agricultural Economics 11:311-324.

Hermanto. 2005. Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Heytens, P.J. 1986. Testing Market Integration. Food Reearch Institute Studies 20(1):25-41.

Honma, M. And T. Hagino. 2001. A Comparative Study on Agricultural Exports of Three Southeast Asian Countries. JCER DISCUSSION PAPER No.71. Japan Center For Economic Research. Tokyo, Japan

Klitgaard, T. 1999. Exchange Rates and Profit Margins: The Case of the Japanese Exporters. Federal Reserve Bank of New York Economic Policy Review 5(1):41-54.

Maxwell, S. and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurement. A Technical Review. Jointly Sponsored by United Nation Children’s Fund and International Fund for Agricultural Development.

Mendoza, M.S. and M.W. Rosegrant. 1995. Pricing Conduct of Spatially Differentiated Markets. G.J. Scott (Ed.), Prices, Products, and People. Analyzing Agricultural Markets in Developing Countries, p.343-357. Lynne Rienner Publishes, Boulder, USA, in cooperation with the International Potato Center (CIP), Lima, Peru.

Nainggolan K. 2006. Program Akselerasi Pemantapan Ketahanan Pangan Berbasis PedesaanDalam Prosiding Seminar Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan Analisis, hal 114121. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal Agricultural Economics 68(1):102-109.

Taylor, E.L., D.A. Bessler, M.L. Waller, and M.E. Rister. 1996. Dynamic Relationship Between US and Thai Rice Prices. Agricultural Economics 14:123-133.

Timmer, C.P. 1987. Corn Marketing. In C.P. Timmer (Ed.), The Corn Economy of Indonesia, p.201-234. University Press, Ithaca, N.Y., U.S.A.

Tschirlcy, D.L. 1995. Using Microcomputer Spreadsheets for Spatial and Temporal Price Analysis: An Application to Rice and Maize in Ecuador. In G.J. Scott (Ed.), Prices, Products, and People: Analyzing Agricultural Markets in Developing Countries, p.277-300. Lynne Riener Publishes, Boulder, USA in cooperation with the International Potato Center (CIP), Lima, Peru.

106

STATUS DAN ARAH PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PETANI STATUS AND TREND OF FARMER’S INSTITUTIONAL DEVELOPMENT

Kedi Suradisastra, Edi Basuno dan Herlina Tarigan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Agriculture sector’s institutional function was strongly influenced by the government’s coercive policy. So far, technology has been used as coercive tool to bind farmers in groups or institutions that support the government’s sector development program. Such coercion was also in line with the government’s political commitment. Yet, in certain conditions, such coercive strategy was able to boost agricultural production. The reform era offers a consensus to develop macro policy that functions as general guidance for sector development. At the local level, a micro initiative should also be developed to support the ongoing local development program. The formation and implementation of boith macro- and micro-initiative should be suitable to the existing cultural ecology. Key words : institutions, institutional function, coercion

ABSTRAK

Kinerja kelembagaan sektor pertanian di masa lalu sangat dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan koersif (coercive policy). Selama ini teknologi dimanfaatkan sebagai alat koersi (pemaksa) untuk menghimpun petani dalam kelompok atau kelembagaan yang mendukung program pembangunan sektor. Koersi lembaga-lembaga pembangunan sektor juga dilaksanakan sejalan dengan komitmen politik pemerintah. Namun demikian dalam beberapa kondisi, strategi koersif ini mampu meningkatkan produksi sektor pertanian. Era pascareformasi menawarkan konsensus untuk mengembangkan inisiatif atau kebijakan makro sebagai panduan umum bagi pengembangan kelembagaan sektor. Di tingkat lokal, dimana kelembagaan lokal melakukan aktifitasnya, dikembangkan kebijakan atau inisiatif mikro yang sesuai dengan kondisi setempat dan dapat diimplementasi-kan secara operasional. Dalam implementasinya diperlukan strategi pendekatan kelembagaan yang sesuai dengan ekologi kultural setempat. Kata kunci : kelembagaan, fungsi kelembagaan, koersi

PENDAHULUAN

Sejauh ini, upaya peningkatan produksi dan produktivitas sektor pertanian nasional sangat dipengaruhi oleh penerapan teknologi, yang diran-cang untuk memenuhi kebutuhan target produksi dalam konteks ruang dan waktu. Sebagai suatu avant-garde dalam upaya peningkatan produksi sektor, teknologi pertanian mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Akan tetapi, teknologi juga bekerja seperti pisau bermata dua: dalam waktu yang bersamaan mampu meningkatkan produksi sektor pertanian, sekaligus menyingkirkan kelompok yang tidak memiliki pengetahuan, ke-terampilan, dan kemampuan finansial untuk meng-adopsi dan menerapkannya. Dari sisi kelembaga-

an pertanian, teknologi telah berperan sebagsalah satu alat pemaksa (coercive tool) untuk mengubah dan membentuk kelembagaan yang disesuaikan dengan arah dan tujuan program tertentu.

Pembangunan pertanian nasional selama ini memanfaatkan teknologi sebagai alat koersi(pemaksa) untuk menghimpun petani dalam kelompok atau kelembagaan yang mendukung program pembangunan sektor. Koersi lembaga-lembaga pembangunan sektor dilaksanakan sejalan dengan komitmen politik pemerintah, termasuk pembentukan dan pengembangan kelembagaan baru, seperti lembaga organisasi kelompok tani, BUUD dan KUD, serta lembaga kebijakan Kredit Usaha Tani (KUT), dan lain-lain. Lembaga-lembaga tersebut difungsikan sebagai distributor sap

107

rotan, membantu proses pemasaran, dan pembi-naan petani. Di tingkat nasional, disusun kebijakan pembangunan pertanian nasional sebagai kelem-bagaan tata pengaturan dan dasar hukum bagi implementasi dan operasionalisasi program pe-ngembangan pertanian di berbagai hierarki.

Strategi koersif di atas diterapkan dengan pertimbangan bahwa pengetahuan dan keteram-pilan teknis, dan penguasaan teknologi di kalangan petani masih rendah. Pemahaman petani akan pentingnya peran kelembagaan produksi juga masih lemah. Sebagian besar masyarakat petani saat itu belum memiliki platform sosial untuk mengembangkan inisiatif kelembagaan berdasar kebutuhan komunal. Lebih jauh lagi, pihak penyu-sun kebijakan cenderung mengabaikan potensi kelembagaan kemasyarakatan lokal, sehingga sering terjadi kesulitan dalam implementasi kebi-jakan dan operasionalisasinya di tingkat pelaksa-naan. Kondisi demikian turut mempengaruhi kiner-ja kelembagaan pertanian di berbagai hierarki, baik kelembagaan organisasi maupun kelembagaan norma dan tata peraturan. Pada hakekatnya, ki-nerja kelembagaan atau organisasi pertanian tidak terpisahkan dari konteks sejarah dan budaya bertani di berbagai hierarki, terutama dalam kaitannya dengan lingkungan sosial para peng-guna teknologi dan konteks kebijakan pemba-ngunan sektor. Lingkungan sosial dan kebijakan demikian merupakan suatu ekologi kultural yang akan menentukan karakteristik strategi pemba-ngunan dan kinerja kelembagaan pembangunan sektor tertentu.

STRATEGI DAN KINERJA KELEMBAGAAN PERTANIAN

Strategi Pemerintahan Orde Baru

Selama periode 1969-90, pemerintah memberikan perhatian besar terhadap produksi beras. Tahun 1969 diluncurkan program Pelita I yang memusatkan pembangunan pertanian pada upaya swasembada beras. Pelita I dan II memu-satkan pengembangan kelembagaan sektoral, terutama yang berkaitan dengan peningkatan produksi beras. Pelita III, yang dimulai tahun 1979, memperluas perhatian pada komoditas jagung, kacang tanah, dan kedelai; disusul oleh Pelita-IV (1984-89) yang mengandung crash program untuk mendorong produktivitas ubi kayu, kedelai, dan jagung.

Periode 1970-88 merupakan periodeinvestasi padat yang mencapai jumlah US$ milyar (dalam US$ 1985) dengan tujuan, antara lain untuk merehabilitasi dan mengembangkan lahan beririgasi. Dalam periode ini, dibangun sarana irigasi dan disediakan peralatan yang berkaitan dengan kebutuhan tingkat mikro. Petani dan kelompok tani tingkat lokal dikontrol dalam pengaturan dan distribusi air, serta pemeliharaan sarana irigasi. Era ini merupakan era strategi pemaksaan (coercive strategy) dalam pendekatan pembangunan.

Dalam dekade 1980-an dan awal 1990-anterjadi paradoks dalam kebijaksanaan ekonomi pertanian. Pemerintah tetap mempertahankan strategi koersif dalam upaya pengembangan ekonomi pedesaan, melalui kewenangan lembaga koperasi dalam pengadaan input dan pembelian output pertanian, namun pemerintah juga memberikan hak monopsoni dan monopoli terhadap komoditas cengkeh dan monopsoni jeruk di Kalimantan. Hal ini merupakan suatu varian dalam langkah-langkah pelonggaran yang dilakukan pemerintah saat ituwalaupun pelaksanaan kebijakan tersebut tetap menerapkan strategi koersif.

Pada tahun 1992 terlihat gejala peningkatan keterlibatan pemerintah daerah dalam menentukan target pengembangan produksi tanaman pangan, menyusul pengurangan subsidi kredit dan bahan kimia. Hal ini secara berangsur-angsumempengaruhi perilaku produksi dan harga, yang lebih jauh lagi akan menentukan arah liberalisasi penanaman komoditas pertanian.

Pendekatan Teknologi vs Eksistensi Kelembagaan Masa Orde Baru

Dalam masa Orde Baru, kelembagaan pertanian “ditelikung” dan kemudian “disesuaikan” dengan kondisi pembangunan saat itu. Tidak saja kelembagaan sosial pembangunan pertanian yang mengalami perombakan dan kerusakan, namun juga kelembagaan ekonomi kemasyarakatan, seperti lembaga koperasi dan kelembagaan terkait lainnya. Pembentukan lembaga organisasi BUUD dan KUD merupakan contoh lembaga koersif yang dibentuk pemerintah untuk mendukung program pembangunan sektor (Palmer, 1976; Palmer,1977; Sawit dan Manwan, 1991; Winarto, 1993)

Seluruh kebijakan diatas diimplementasikan secara top-down oleh lembaga-lembaga bentukan pemerintah. Namun, secara positif upaya

108

koersif tersebut mampu membawa Indonesia kedalam kondisi swasembada beras pada tahun 1985 (Kartasubrata, 1993). Secara kuantitatif, pro-duksi beras dalam negeri meningkat dari 12,2 juta ton pada tahun 1969 menjadi 24 juta ton pada tahun 1983 dan 34,6 juta ton pada tahun 1991 (Orde Baru Dalam Angka, 1992). Lebih jauh lagi, produktivitas lahan meningkat sejalan dengan meningkatnya adopsi inovasi teknologi pertanian. Produktivitas lahan untuk komoditas padi mening-kat, dari 3 ton/ha pada 1969 menjadi 4,5 ton/ha pada 1991. Pada komoditas jagung, ubi kayu, dan ubi jalar peningkatan tersebut masing-masing ada-lah 0,94 ke 2,15 ton/ha, 7,4 ke 12 ton/ha, dan 6,1 ke 9,6 ton/ha.

Kinerja positif kebijakan koersif pemerintah dalam implementasi teknologi secara sangat inten-sif sekaligus menimbulkan dampak negatif terha-dap kualitas lingkungan. Penggunaan berbagai teknologi secara intensif (pemupukan, teknik pem-bukaan dan pengolahan lahan, dll.) memberikan beban berat terhadap kualitas sumberdaya lingku-ngan, yang antara lain dicirikan oleh peningkatan kadar garam (salinitas) dan tingkat erosi. Gejala pelambatan pertumbuhan produksi (levelling-off) komoditas tertentu tidak dapat dihindari. Hal ter-sebut ditunjukkan oleh peningkatan produktivitas pada Pelita III sebesar 6%, yang menurun menjadi 1,3% dan 1,6% pada Pelita IV dan Pelita V. Upaya perluasan areal yang terus ditingkatkan masing-masing sebesar 2,1% dan 1,3% per tahun pada periode yang sama tetap diikuti penurunan produksi beras tahunan, dari 6,6% pada Pelita III menjadi 3,4% pada Pelita IV dan 2,9% pada Pelita V (Orde Baru Dalam Angka, 1992). Hal ini meng-gambarkan bahwa kinerja kelembagaan kebijakan yang bersifat kualitatif tidak selalu berjalan seiring dengan kinerja teknis dan teknologi yang bersifat kuantitatif.

Pendekatan teknologi yang didukung sepenuhnya oleh kekuatan politik telah menafikan peran dan eksistensi kelembagaan pembangunan pertanian yang telah beroperasi di kalangan ma-syarakat petani. Berbagai kelembagaan lokal yang bersifat tekno-sosial, seperti lembaga penyimpan-an atau koperasi lokal, dan lembaga kerja sama petani (kombong di Sulawesi Selatan, posad dan mapalus, di Sulawesi Utara, rencak di NTT, dll.), mengalami penurunan peran secara dramatis. Lembaga-lembaga kerja sama tersebut digantikan oleh lembaga serupa yang bersifat formal, dikon-trol, dan mendapat dukungan politis pemerintah. Secara tidak langsung, sikap partisipatif aktif

masyarakat tani berangsur-angsur diubah dan diarahkan ke sikap partisipatif pasif menurut arahan penguasa. Di masa Orde Baru, partisipasi masyarakat diukur melalui keikutsertaan fisik dalam suatu lembaga atau organisasi yang sejalan dengan kebijakan pembangunan sektor. Sering terjadi dimana keberhasilan dan perkembangan kelompok swadaya masyarakat mengalami pembatasan ruang gerak karena pemerintah menerapkan kebijakan “pembinaan” agar “menyesuaikan diri” dengan kebijakan dan program pembangunan sektor.

Sintesis Dampak Koersi Kelembagaan Penerapan Teknologi

Kinerja teknis pembangunan sektor tidak selalu berjalan seiring dengan kondisi kelembagaan dan kemasyarakatan setempat. Selain meningkatkan kinerja kelembagaan pembangunan, strategi koersi yang dianut, juga menimbulkan kerusakan pada struktur sosial kemasyarakatan. Setiap kali dilakukan penerapan teknologi dengan strategi yang dilembagakan, semakin banyak petani atau pekerja tani yang kehilangan kesempatan kerja, karena tuntutan keterampilan dan pengetahuan teknis yang dibutuhkan untuk menangani teknologi baru tidak dapat dipenuhi oleh mereka. Di tingkat lokal terjadi perubahan struktur sosial dan isolasi kelembagaan tradisional yang pernah berperan dalam proses pembangunan sektor. Dari sisi demografi terjadi rural exodus syndrome, dimana penduduk desa bermigrasi ke perkotaan untuk mencari nafkah yang lebih menjanjikan daripada bekerja sebagai buruh tani di desa mereka (Suradisastra, 2000). Kelembagaan lokal tradisional juga terkooptasioleh program pemerintah atau lenyap, karena tidak mampu menahan arus perubahan nilai dan makna sosial baru.

Kebingungan dan kekurangmampuan masyarakat petani untuk memahami dan mengintegrasikan diri ke dalam sistem kelembagaan yang diintroduksikan pemerintah, melalui berbagai program pembangunan, tergambarkan dalam kajian Soetrisno (1982), dimana 60% petani padi di beberapa lokasi Jawa Tengah mengemukakan bahwa: “Pembangunan membuat petani berada dalam posisi yang sulit”. Petani bisa memahami pentingnya memanfaatkan teknologi baru, tetapi umumnya mereka tidak mampu memahami ketatnya penerapan peraturan dan pelaksanaan kegiatan yang dilembagakan dalam upaya meningkatkan produksi.

109

“Posisi yang sulit” juga dialami oleh pe-tani berbagai etnis Papua. Etnis Dani yang hidup di wilayah pegunungan Jayawijaya mengem-bangkan budaya bertanam ubi jalar (hipere) di lahan datar (yabu) secara monokultur. Di lahan kering diusahakan wen-hipere (kombinasi hipere dan pemeliharaan ikan lele). Di lahan dengan kemiringan di atas 30% dikenal wen-wanggawi, yaitu kegiatan pertanaman ubi jalar tanpa kon-servasi (Dimyati, Suradisastra dan Taher, 1991). Etnis-etnis Papua menanam ubi jalar dalam sistem lumbung, yaitu dalam satu areal lahan dilakukan penanaman secara berurut dalam waktu yang berdekatan sehingga panen bisa dilakukan setiap waktu. Hal ini merupakan suatu strategi untuk menjamin ketersediaan ubi segar setiap saat sepanjang tahun. Kini teknik bertanam ubi jalar dianjurkan untuk dilakukan secara serentak dalam satu areal tanam, untuk memudahkan pengelolaan dan kontrol penyakit, serta menjamin tingkat keberhasilan. Akan tetapi, di sisi lain hal ini tidak menjamin ketersediaan pangan secara berkelanjutan karena panen harus dilakukan sekaligus, sedangkan mereka belum menguasai teknik pengawetan ubi jalar di samping telah terjadinya degradasi bibit ubi jalar yang ditanam.

Era Reformasi

Era reformasi, yang diawali pada akhir dekade 1990-an, membawa perubahan besar da-lam pola pikir dan strategi pendekatan pemba-ngunan sektor. Kehadiran Balai Pengkajian Tek-nologi Pertanian (BPTP) pada pertengahan dekade 1990-an membuka terobosan baru guna lebih mendorong laju pertumbuhan pertanian regional. Sejalan dengan perubahan paradigma manajemen, pola dan strategi pendekatan kelem-bagaan pembangunan sektor pertanian mulai bergeser dari sifat koersif dan instruktif ke pen-dekatan kelembagaan aspiratif bilateral.

Iklim reformasi yang menawarkan kon-sensus, seyogyanya ditanggapi dengan upaya penggabungan pemikiran dan penyusunan prog-ram pembangunan, serta strategi implementasi-nya secara berimbang. Di tingkat nasional (dalam hal ini pemerintah c/q sektor pembangunan) mengembangkan inisiatif atau kebijakan makro sebagai panduan umum bagi pengembangan kelembagaan sektor. Mendukung gagasan ini, di tingkat lokal, dimana kelembagaan lokal mela-kukan aktifitasnya, dikembangkan kebijakan atau

inisiatif mikro yang sesuai dengan kondisi setempat dan dapat diimplementasikan secara operasional. Dalam kondisi ini, diharapkan timbul sinergi kelembagaan dan kebijakan pembangunan sektor yang mengarah pada tujuan pembangunan nasional, tanpa mengabaikan kondisi dan tuntutan pembangunan lokal.

STRATEGI DAN KINERJA MASA DEPAN

Pemahaman Ekologi Kultural

Dalam menghadapi era pembangunan pertanian di masa depan diperlukan pemahaman kondisi dan elemen-elemen sosial kemasyarakatan yang memiliki potensi positif sebagai penggerak atau pendorong laju adopsi-inovasi teknologi. Metode, teknik, dan strategi komunikasi serta pendekatan stakeholder pembangunan pertanian hendaknya disesuaikan dengan kondisi ekologi kultural masyarakat (Suradisastra dan Lubis, 2000), sekaligus memanfaatkan elemen social interplay (Suradisastra, 2005a) di lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, diperlukan kejelian dalam mencari celah masuk atau entrypoint kegiatan pembangunan, sekaligus menentukan karakteristik strategi pembangunan yang sejalan dengan kondisi tekno-sosio-ekonomi setempat. Metode dan strategi pendekatan pembangunan harus mampu menembus daya lenting sosial (social resilience) masyarakat setempatdan mampu menggugah minat mereka untuk berpartisipasi dalam program pembangunan sektor (Suradisastra, 2005b).

Sejalan dengan budaya bertani tradisional yang bersifat survival agriculture atau land-tomouth agriculture, perkembangan kelembagaan juga berjalan ke arah social survivability dan social stability yang mendukung tujuan dan kegiatan produktif masyarakat petani. Sejauh inihampir tidak terdapat kelembagaan tradisional yang mengembangkan orientasi komersil dalam kegiatan produktif untuk bertahan hidup. Dalam paradigma land-to-mouth existence, kegiatan pertanian didukung oleh lembaga-lembaga pengaturan bercocok tanam, lembaga mobilisasi tenaga dan massa, serta lembaga pengatur norma dan perilaku sosial sesuai dengan tingkat evolusi sosial setempat. Introduksi lembaga bayang berorientasi ekonomi, seperti lembaga pasar dan pemasaran, koperasi, lembaga perkreditan dan lembaga lainnya harus mencari celah dan

110

waktu yang tepat agar bisa diterima oleh masya-rakat dan norma setempat. Introduksi inovasi (baik berupa teknologi maupun introduksi kelem-bagaan baru) yang dilakukan tanpa mempertim-bangkan fungsi kelembagaan lokal, norma, dan budaya masyarakat, serta kebiasaan fisik sering-kali mengalami kegagalan, atau memerlukan waktu lama untuk diadopsi. Pemahaman ter-hadap fungsi dan bentuk kelembagaan lokal, berikut pemahaman pola evolusi kelembagaan lokal, sangat membantu dalam menentukan ce-lah masuk atau entry point inovasi kelembagaan. Kekurang pedulian terhadap pentingnya mene-mukan entry point kelembagaan bisa menimbul-kan kebingungan dalam rekayasa kelembagaan yang sesuai dengan tujuan produksi pertanian. Evolusi kelembagaan yang mendukung pertum-buhan sektor memerlukan waktu lama, sehingga dibutuhkan suatu program pembangunan sektor yang bersifat longitudinal (multi years) dan konsisten dalam upaya mencapai tujuannya. Sebagai gambaran adalah kasus upaya evolusi kelembagaan produksi pertanian melalui program SUP (Sistem Usaha Pertanian), SUTPA (Sistem Usaha Pertanian Berbasis Padi), Corporate Farming, Sistem dan Usahatani Agribisnis, P3T (Program Pengembangan Pertanian Terpadu), dan akhirnya program Prima Tani. Perubahan program ini terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun, sedangkan perubahan norma dan kelembagaan memerlukan waktu be-berapa dekade sebelum stakeholder pemba-ngunan pertanian benar-benar memahaminya.

Strategi Pendekatan Kelembagaan Masa Depan.

Strategi pendekatan kelembagaan masa depan seyogyanya meliputi pemahaman dan pe-nguasaan yang mendalam dalam memanfaatkan, memobilisasi, dan memadukan potensi kelemba-gaan lokal dengan kelembagaan yang dibentuk pemerintah (state-imposed institution) menjadi suatu alat percepatan pembangunan pertanian spesifik lokasi. Hambatan fisik dan ekologis dalam upaya introduksi state-imposed institution umum-nya dapat diatasi dengan relatif mudah, tetapi hambatan sosial-budaya jauh lebih sulit untuk dikendalikan. Konsekuensinya adalah bila state-imposed institution tidak dapat diterapkan, maka terbuka peluang memberdayakan kelembagaan self-imposed institution (lembaga kemasyarakatan lokal yang masih berfungsi), atau mengembang-

kan kelembagaan baru yang memiliki keseimbangan elemen-elemen keduanya.

Secara umum terdapat dua ekstrim dampak pendekatan kelembagaan koersif seperti itu, yaitu mempercepat pertumbuhan kelembagaan, atau sebaliknya melemahkan kelembagaan lokal. Telah diungkap pula bahwa pendekatan koersif memiliki potensi berbahaya, seperti mempersempit atau mencekik inisiatif dan tanggung jawab lokal, atau mengendalikan inisiatif dan sumberdaya lokal untuk kepentingan lain. Sering terjadi, tokoh politik lokal mengambil alih sukses yang dicapai oleh suatu lembaga atau organisasi lokal untuk kepentingan sendiri (vested interest)Padahal di sisi lain, tidak seluruh inisiatif lokal secara otomatis menjadi sah atau legitimate dalam pandangan masyarakat setempat.

Orstrom (1990) dan Roling (1994) menyarankan agar pembentukan kelembagaan pada suatu komunitas hendaknya dilakukan secara organik dan tidak terlalu cepat. Artinya, upaya revitalisasi kelembagaan seyogyanya diselaraskan dengan kondisi sosio-budaya, norma, dan kebiasaan masyarakat, dan dilakukan secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan pergesekan nilai yang berdampak buruk pada berbagai aspek yang terlibat. Lebih jauh lagiSuradisastra (2005b) menyarankan konsep pendekatan intrusif sebagai suatu strategi pendekatan dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan pertanian.

Improvisasi pendekatan kelembagaan sekarang dan masa mendatang mengarah kepada pencapaian dampak positif yang akan dicapai sejalan dengan tujuan pembangunan setempat. Dalam era pembangunan otonom, metode dan strategi revitalisasi kelembagaan berada dalam konteks kewilayahan. Artinya, implementasi kebijakan pembangunan pertanian hendaknya senantiasa berada dalam ramburambu kebutuhan wilayah yang bersifat holistik dan terintegrasi secara lintas sektor dan komoditas. Implikasi positif dari kebijakan pembangunan kewilayahan terintegrasi ini antara lain adalah berkurangnya pendekatan parsial dengan ego kesektoran yang tinggi. Dalam hal ini terbuka pilihan dua alternatif strategi dasar (basic strategy), yaitu strategi intrusif dan strategi introduksi.

a. Strategi Intrusif Strategi intrusif menerapkan paradigma

evolusi sesuai dengan perjalanan evolusi kelem

111

bagaan secara alami, dimana inovasi kelemba-gaan dilakukan sedekat mungkin dengan bentuk dan struktur kelembagaan lokal yang masih ber-jalan (Suradisastra, 2005b). Strategi ini memakan waktu relatif lama dan perubahan terjadi secara bertahap, karena kelompok stakeholder diberi cukup waktu untuk memahami dan melakukan eksperimentasi penerapan inovasi secara gradual.

b. Strategi Introduksi

Strategi introduksi menerapkan paradigma revolusi, dimana kelembagaan lokal yang ada digantikan secara total dengan lembaga baru dengan struktur yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini terjadi dalam era Orde Baru, dimana berbagai kelembagaan lokal, seperti lembaga norma kegiatan bertani digantikan oleh lembaga organisasi penyuluhan; lembaga kepala suku digantikan secara total oleh lembaga ke-pemimpinan formal (organisasi struktural pemerin-tahan). Dalam beberapa kondisi strategi ini memberikan hasil yang diharapkan, namun dalam kenyataan lebih banyak keberhasilan yang bersifat artifisial karena sifat pendekatan koersif top-down dalam pembentukan lembaga baru tersebut.

Implementasi Grand Strategy

Implementasi strategi pendekatan kelem-bagaan melibatkan seluruh stakeholder kelemba-gaan petani, lembaga struktural pemerintahan, dan lembaga-lembaga terkait. Masyarakat petani se-bagai stakeholder utama, bersama dengan ke-lompok ilmuwan, lembaga penyuluhan, lembaga perancang pembangunan daerah, dan elemen-elemen pembangunan lain bersama-sama meran-cang bentuk dan pola kelembagaan baru yang diarahkan guna mengembangkan, mengubah, atau mengintroduksi nilai dan norma sosial yang diperlukan. Upaya penyusunan strategi diawali dengan diagnosa situasi lintas sektor dan lintas aspek terhadap elemen-elemen terkait di suatu wilayah. Dalam tahap ini, kelompok perekayasa kelembagaan (peneliti dan ilmuwan) merupakan aktor utama dalam proses identifikasi dan diagnosa masalah lapangan. Semakin jauh wak-tu berjalan dan semakin dekat proses ke fase terakhir, semakin menurun peran peneliti dan ilmuwan. Sebaliknya, peran penyuluh semakin meningkat sehingga pada akhirnya keberhasilan proses rekayasa kelembagaan sangat dipenga-ruhi oleh pengetahuan dan kemampuan berko-

munikasi petugas lapang. Tahap diagnostik dilanjutkan dengan tahap rancang bangun atau designing stage, dimana peran lembaga penyuluhan meningkat secara teknis, dan lembaga perancang pembangunan secara politis mulai berperan dalam kegiatan koordinasi dan administratif kewilayahan. Lembaga-lembaga sektor di tingkat otonom merancang kegiatan uji lapang di lokasi-lokasi percontohan. Fase selanjutnya adalah tahap uji lapang, dimana seluruh komponen pembangunan kelembagaan mengevaluasi dan memantau proses perubahan sosial di lingkungan setempat. Strategi (intrusif atau introduksi) dipilih dan disepakati dalam fase uji lapang. Fase verifikasi dan implementasi merupakan tahap terakhir, di mana lembaga penyuluhan beserta aparatnya memikul tanggung jawab terbesar dalam sosialisasi dan penyebaran kelembagaan, serta norma sosial yang baru.

Dukungan Kebijakan Pemihakan (Affirmative Policy)

Sejauh ini, dijumpai implementasi kebijakan yang secara operasional kurang memihak, atau bahkan membebani petani sebagai mitra pembangunan utama sektor pertanian. Contoh aktual saat ini adalah kontradiksi kebijakan subsidi harga pupuk dengan fakta meningkatnya harga eceran pupuk di tingkat lapang, serta tidak berimbangnya permintaan dan ketersediaan. Penerapan strategi pendekatan kelembagaan pertanian perlu menekankan sikap keberpihakan (affirmative attitude), guna meningkatkan konsentrasi kebijakan dan implementasinya ke arah peningkatan produktivitas sektor dan kesejahteraan petani. Sikap keberpihakan merupakan motor penggerak untuk lebih mengembangkan pemikiran dan strategi pembangunan pertanian, termasuk didalamnya upaya penyelarasan dan integrasi program sektor pertanian ke dalam program pembangunan wilayah dengan tetap menempatkan produktivitas lahan dan kesejahteraan petani sebagai tujuan utama pembangunan sektor pertanian.

Sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan yang berorientasi wilayah dan keberpihakan, dibutuhkan suatu upaya yang berimbang (orchestrated endeavor) antara berbagai pihak guna memanfaatkan kelembagaan lokal, baik lembaga lokal (self-imposed institution) maupun state-imposed institution untuk mempercepat

112

proses pembangunan pertanian wilayah. Ran-cang-bangun atau disain pembangunan pertani-an sebagai bagian tujuan pembangunan wilayah hendaknya didasarkan kepada kebutuhan petani sebagai mitra pembangunan. Proses pemba-ngunan bukanlah suatu proses yang hanya memiliki masa lalu, melainkan suatu “ageless process” yang harus disempurnakan dari waktu ke waktu.

Tolok Ukur Kinerja Kelembagaan

Pembangunan pertanian, melalui pende-katan kelembagaan, hendaknya memiliki tolok ukur yang jelas dan dapat dicapai, baik tolok ukur terhadap kinerja kelembagaan secara kualitatif, maupun tolok ukur kuantitatif keberhasilan pem-bangunan sektor itu sendiri. Dalam konteks pembangunan sektor diidentifikasi tiga komponen utama yang dapat dijadikan tolok ukur keberha-silan dan kinerja kelembagaan, yaitu (a) parti-sipasi petani, (b) dampak yang jelas dan dapat dicapai, serta (c) sistem pendukung.

a. Partisipasi Petani

Partisipasi petani dalam pembangunan sektor hendaknya dipahami secara mendalam, terutama peran dan dampaknya dalam proses pembangunan. Partisipasi aktif dan bersifat inter-aktif akan lebih memperkuat eksistensi, posisi, dan peran kelembagaan dalam proses pemba-ngunan sektor. Partisipasi interaktif juga men-dorong berkembangnya manajemen aspiratif yang bersifat horisontal. Tingkat partisipasi petani dalam proses pembangunan pertanian, melalui kelembagaan tempat mereka bergabung, meru-pakan tolok ukur kuantitatif akan kinerja kelemba-gaan dalam menyalurkan aspirasi petani dan mencapai tujuan pembangunan sektor.

b. Dampak yang Jelas dan dapat Dicapai

Kelembagaan pembangunan sektor hen-daknya memiliki tujuan yang jelas dan dapat dicapai oleh kelembagaan yang dimiliki oleh anggotanya sebagai tolok ukur kualitatif kinerja kelembagaan tersebut. Petani atau stakeholder pembangunan hanya akan berpartisipasi dalam suatu organisasi atau program yang menurut pemikiran mereka memberi dampak positif ter-hadap usaha dan rumah tangganya. Petani dan

stakeholder pembangunan lainnya hanya akan menginvestasikan waktu, gagasan, dan ikhtiar mereka bila melihat peluang keberhasilan yang besar.

c. Sistem Pendukung

Dalam suatu social setting terdapat beberapa komponen yang mampu memperlancar proses interaksi, namun dibebankan kepada stakeholder itu sendiri, misalnya sikap (attitudeterhadap lembaga tata peraturan baru, pengetahuan dan keterampilan, serta kesediaan bekerja sama. Selain itu, dijumpai pula komponen di luar stakeholder yang mempengaruhi sikap dan kesediaan berinteraksi, seperti infrastruktur lembaga organisasi formal dan nonformal, pengaruh local leaders, situasi politik lokal, dan lain-lain. Kemampuan suatu kelembagaan pembangunan dalam memanfaatkan komponen pendukung merupakan tolok ukur kualitatif terhadap kinerja kelembagaan tersebut dalam mengikuti irama pembangunan dalam sistem yang sedang berjalan.

PENUTUP

Pembangunan sektor pertanian, melalui pendekatan koersif kelembagaan, menunjukkan kinerja positif dalam pencapaian teknis dan kuantitatif, yang ditunjukkan oleh peningkatan produksi dan produktivitas sektor, namun secara kualitatif merusak struktur dan kelembagaan sosial yang selama ini menjadi pemandu kehidupan bertani di lingkungan masyarakat. Era reformasi dan pascareformasi masih mencari bentuk pendekatan dan pengembangan kelembagaan yang sejalan dengan dinamika pembangunan spesifik wilayah otonom, namun terbuka peluang memanfaatkan strategi intrusif dan strategi lain yang sesuai dengan kondisi setempat.

Kinerja kelembagaan pembangunan sektor pertanian masa depan akan berhasil baik bila didukung oleh kebijakan pemihakan (affirmative policy) yang merupakan komitmen pembangunan pihak pemerintah, memiliki strategi dan teknik implementasi kebijakan yang jelas dan terstruktur, serta memiliki tolok ukur kinerja yang jelas untuk kepentingan penyempurnaan strategi pembangunan pertanian nasional.

113

DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, A., K. Suradisastra, A. Taher. 1991.

Sumbangan Pemikiran bagi Pembangunan Pertanian di Irian Jaya (73 halaman). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Kartasubrata, J. 1993. Indonesia. In Sustainable Agriculture and the Environtment in the Humid Tropics. National Academy Press, Washington DC.

Knipscheer, H.C., and Kedi Suradisastra. 1986. Farmer Participation in Indonesian Livestock Farming Systems by Regular Research Field Hearing (RRFH). Agricultural Administration 22 (1986): 205-16. Elsevier Applied Science Publishers.

Orde Baru Dalam Angka. 1992. Hasil-hasil Pemba-ngunan Jangka Panjang Tahap Pertama. Sekretariat Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya. Jakarta.

Orstrom, E. 1990. Governing the Commons: the Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press, Cambridge.

Palmer, I. 1976. The New Rice in Asia: Conclusions from Four Country Studies. UNRISD, Geneva.

Palmer, I. 1977. The New Rice in Indonesia. UNRISD, Geneva.

Roling, N. 1994. Platforms for Decision Making About Ecosystems. In Fresco L. (ed.), The Furure of the Land. John Wiley and Sons, Chichester.

Salazar, R. 1992. Community Plant Genetic Resources Management: Experiences in Southeast Asia. In Cooper D., Vellve R. and Hobbelink H. (eds.), Growing Diversity: Genetic Resources and Local Food Security. IT Publications, London.

Sawit, M.H., and I. Manwan. 1991. The Beginnings of the New Supra Insus Rice Intensification Programme: the Case of North East of West Java and South Sulawesi. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 27(1): 81-103.

Soetrisno, L. 1982. Further Agricultural Intensification in Indonesia: Who Gains and Who Loses? Meeting on Agricultural Intensification in Indonesia. June 25-27.

Suradisastra, K. 1999. Perspektif Keterlibatan Wanitdi Sektor Pertanian. Forum Agro Ekonomi, Desember 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Suradisastra, K. 2000. Implikasi Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 (PP25/2000) terhadap Manajemen Pembangunan Pertanian. Makalah Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 9-10 November 2000. (Unpublished).

Suradisastra, K. 2005a. Aplikasi Metode Komunikasi dan Edukasi dalam Diseminasi Inovasi Teknologi. Makalah Temu Tugas Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Agustus 2005. (Unpublished).

Suradisastra, K. 2005b Dinamika Kelembagaan Masyarakat Lahan Marginal. Makalah Utama disajikan dalam Seminar Nasional Pemayarakatan Inovasi Teknologi dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal. Balai Pengkjian Teknologi Pertanian Mataram. Mataram, 30-31 Agustus 2005. (Unpublished).

Suradisastra, K., dan A.M. Lubis. 2000. Animal Biotechnology and Cultural Ecology. Wartazoa, Vol. 10 No. 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Suradisastra, K., W.K. Sejati, Y. Supriatna, dan D. Hidayat. 2002. Institutional Description of the Balinese Subak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 21 No.1, 2002. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Winarto, Y. 1993. Farmers’ Agroecological Knowledge Construction: The Case of Integrated Pest Management among Rice Farmers on the North Coast of West Java. Rural People’s Knowledge, Agricultural Research and Extension Practice. Research Series, Vol. I, No. 3, IIED, London.

114

KESEJAHTERAAN DAN PEMIKIRAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PETANI FARMER’S WELFARE AND THOUGHTS ON POVERTY ALLEVIATION

I Wayan Rusastra, Mewa Ariani dan Handewi P.S. Rachman

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

The state of development and nature of poverty in developing countries differs to that in developed countries. In Indonesia, poverty is divided into two categories: chronic and transient poverty, each requiring a different intervention. Social-safety net programs should be devoted to the chronically poor, while a sustainable community development approach is more appropriate for the transient poor, aimed at empowering them within a finite time frame. This paper proposes holistic community empowerment and development as an alternative approach to poverty alleviation. This can be done in the following ways: (a) changing individual- or partial-sector programs to multi-sector community development; (b) mainstreaming informal employment and promoting gender equality; (c) legally empowering poor people; and (d) to provide support to minimize negative impacts of trade liberalization on income and employment of the poor. The implementation of this approach is hoped to transform the rural-urban structure which further help the government’s focus on macroeconomic growth and social-safety net programs devoted to the elderly, infirm and the chronically poor.

Key words : poverty, transient poverty, chronic poverty

ABSTRAK

Tingkat perkembangan dan sifat kemiskinan di negara berkembang berbeda dengan di negara maju. Kemiskinan di Indonesia terdiri atas kemiskinan kronis dan temporer (sementara). Program-program jaring pengaman sosial seharusnya ditujukan kepada masyarakat dengan kemiskinan kronis, sedangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan lebih tepat bagi kelompok miskin temporer. Makalah ini mengajukan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sebagai salah satu alternatif upaya pengentasan kemiskinan. Hal tersebut dapat dicapai dengan jalan sebagai berikut: (i) mengubah program pengembangan kemasyarakatan dari pendekatan individu ke multi-sektor, (ii) pengembangan tenaga kerja informal dan kesetaraan gender, (iii) pemberdayaan kelompok miskin, dan (iv) menyediakan dukungan untuk meminimalisir dampak negatif perdagangan bebas terhadap pendapatan dan kesempatan bekerja kelompok miskin. Implementasi pendekatan ini diharapkan mampu mentransformasi struktur desa-kota, yang selanjut-nya membantu pemerintah memusatkan perhatian pada pertumbuhan mikro-ekonomi, serta pengembangan program jaring pengaman sosial yang dikembangkan untuk kelompok manula, cacat atau sakit, dan kelompok miskin kronis. Kata kunci : kemiskinan, kemiskinan temporer, kemiskinan kronis

PENDAHULUAN

Kompleksitas penanganan masalah ke-miskinan mencakup beberapa dimensi pokok, yaitu (a) bersifat lintas dan multi-sektoral, (b) eksistensi kendala internal dan eksternal, (c) koordinasi dan variasi kinerja pelaksanaan pe-nanggulangan sejalan dengan pelaksanaan de-sentralisasi pembangunan, (d) keterbatasan

persepsi dan antisipasi penanggulangannya di lapangan.

Banyak pihak yang berpendapat bahwa penanggulangan kemiskinan hanya dapat dilakukan melalui fasilitasi kebijakan/program terhadap aktivitas sumber peningkatan pendapatan. Dalam Millenium Development Goals (MDG) (UNESCAP, 2006), secara tegas dinyatakan bahwa terdapat delapan dimensi yang bersifat komplementer dan inklusif dalam pencapaian sasaran

115

pengentasan kemiskinan. Delapan dimensi MDG tersebut adalah (a) pengentasan kemiskinan dan kelaparan; (b) perolehan pendidikan dasar se-cara universal, (c) kesetaraan gender dan pem-berdayaan perempuan; (d) penurunan angka kematian bayi (dibawah lima tahun); (e) per-baikan kesehatan ibu melahirkan; (f) pembe-rantasan HIV/AIDS, malaria, dan jenis penyakit menular lainnya; (g) adanya kepastian kelesta-rian lingkungan; dan (h) pengembangan kerja sama global dalam pembangunan.

Keberhasilan program penanggulangan kemiskinan juga dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan strategis, seperti pelaksanaan desentralisasi dan globalisasi ekonomi. Berbagai kritik terhadap perencanaan dan kinerja program pengentasan kemiskinan selama ini menunjuk-kan keterbatasan pemahaman dan persepsi ter-hadap kompleksitas permasalahan penanggula-ngan kemiskinan. Terdapat indikasi kuat peru-bahan kebijakan/program pengentasan kemiskin-an kearah berbasis masyarakat, bersifat partisi-patif dan pemberdayaan, melalui pendekatan multisektoral.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penulisan paper ini adalah (a) mendiskripsikan tingkat kesejahteraan dan ke-miskinan masyarakat pedesaan, (b) membahas karakteristik dan kritik terhadap pendekatan penanggulangan kemiskinan, (c) membahas alternatif strategis keluar dari kemiskinan, (d) menganalisis kinerja program dan pembelajaran penanggulangan kemiskinan, serta (e) merumus-kan kebijakan strategis penanggulangan kemis-kinan

TINGKAT KESEJAHTERAAN DAN KEMISKINAN MASYARAKAT

PEDESAAN

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan Terdapat empat indikator yang diguna-kan untuk menampilkan dinamika kesejahteraan masyarakat pedesaan, yaitu pangsa pengeluaran pangan, nilai tukar petani (NTP), proporsi rumah tangga rawan pangan, dan indeks pembangunan SDM (HDI). Berdasarkan pada pangsa penge-luaran pangan nampak bahwa krisis ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat (Rusastra et al., 2005). Dalam periode 1996-2002, pangsa pengeluaran pangan masyarakat

pedesaan meningkat dari 63,3% menjadi 66,6%, sementara di perkotaan meningkat dari 48,1% menjadi 52,8%. Dengan mengacu pada pengeluaran pangan > 60% (indikasi rawan pangan), nampak bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan dalam kondisi kurang menggembirakan.

Dalam periode 2001-2004, NTP di Jawa meningkat dari 112,8 menjadi 122,3, sementara di luar Jawa stagnan pada tingkat 107,3 (Hermanto, 2005). NTP beberapa daerah seperti NAD, Sumut, Sumbar, Lampung, dan NTB nilai umumnya dibawah 100. Nampak bahwa kesejahteraan petani, khususnya di luar Jawa kurang menggembirakan, dan tidak ada perbaikan yang berarti dalam empat tahun terakhir ini.

Menarik untuk dikemukakan, yaitu perkembangan rumah tangga rawan pangan dengan menggunakan dua indikator inklusif pangsa pengeluaran pangan > 60% dan konsumsi energi < 80% standar kebutuhan 2150 kalori/kapita/hari (Bourgeois et al., 2006). Secara agregat (total rumah tangga desa dan kota), selama periode 1996-2002, rumah tangga rawan pangan mengalami penurunan cukup signifikan dari 30,74% menjadi 10,8%. Bagi kelompok rumah tangga dengan 40% pendapatan terendah di pedesaan, proporsi rumah tangga rawan pangan mencapai 51,4% (1996), menurun menjadi 35,6% tahun 2002, dan bagi masyarakat perkotaan menurun dari 42,4% menjadi 19,7%. Walaupun terjadi perbaikan tingkat kesejahteraan selama enam tahun terakhir ini (1996-2002), tetapi sekitar sepertiga masyarakat pedesaan berpendapatan rendah mengalami kondisi rawan pangan.

Indeks pembangunan SDM (HDI) merupakan indikator kesejahteraan yang secara inklusif mempertimbangkan empat indikator utama, yaitu tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, dan pengeluaran per kapita (Rusastra et al., 2005). Terdapat empat kategori kinerja pencapaian HDI, yaitu rendah (<50), menengah kebawah (50-65,91), menengah keatas (66 – 79,99), dan tinggi (> 80). Hasil analisis menunjukkan bahwa selama periode 1999-2002, secara agregat nasional, pertumbuhan HDI Indonesia relatif lambat, yaitu dari 64,3 menjadi 65,8 (0,8%/th). Disamping ituterdapat variasi yang relatif besar dalam pencapaian kinerja HDI antarprovinsi. Sebagai ilustrasi pada tahun 1999, variasi HDI antarprovinsi adalah 54,2 – 72,5, dan pada tahun 2002 adalah

116

57,8 – 75,6. Secara agregat, HDI Indonesia termasuk kategori kedua terendah (menengah kebawah), dan variasi antarprovinsi dari kategori menengah kebawah sampai dengan menengah keatas. Masih banyak upaya yang perlu ditem-puh untuk meningkatkan indeks pembangunan sumberdaya manusia Indonesia.

Tingkat Kemiskinan Masyarakat Pedesaan

Bahasan ini mengungkap tiga hal penting terkait dengan perkembangan kemiskinan di pedesaan yaitu (a) perkembangan kemiskinan absolut dan relatif selama periode 1993-2006, (b) perkembangan lima indikator utama indeks kemiskinan (HPI) selama periode 1999-2002, dan (c) perkembangan HPI nasional dan provinsi selama periode 1999-2002. Kondisi sebelum krisis (1993-1996), tingkat kemiskinan absolut menurun sebesar 13,1%, dari 25,9 juta menjadi 22,5 juta orang. Tingkat penurunan kemiskinan di pedesaan nampak lebih besar dibandingkan dengan di perkotaan (1,9 juta vs. 1,5 juta orang) (BPS, 2004; Pasaribu, 2006).

Karena krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997, tingkat kemiskinan nasional meningkat menjadi 49,5 juta, dimana sekitar 64,4% (31,9 juta orang) ada di pedesaan. Dalam periode 1998 – 2004, kemiskinan relatif menurun cukup tajam, dari 24,2% menjadi 16,7%, namun kemiskinan absolut tahun 2004 tetap tinggi, yaitu 36,1 juta, dimana 68,7% tinggal di pedesaan (Pasaribu, 2006). Fakta empirik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan secara konsisten lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Daerah pedesaan mengalami keterbatasan pe-ngembangan infrastruktur (fisik dan kelembaga-an). Disamping itu, kebijakan pembangunan bias pada daerah perkotaan, khususnya untuk sektor industri, perdagangan, dan jasa (Sajogyo, 2002).

Fakta terakhir, berdasarkan data BPS, menunjukkan bahwa kemiskinan meningkat dari 15,97% (Februari 2005) menjadi 17,75% Maret 2006, atau meningkat sebanyak 3,95 juta (11,3%) menjadi 39,05 juta orang (Kompas, 15 November 2006). Penyebabnya adalah karena adanya kenaikan harga minyak (Oktober 2005 129%) dan tekanan inflasi sektoral. Lebih spesifik, Bank Dunia memperkirakan sekitar 3,1 juta (75,0%) menjadi miskin sebagai akibat kenaikan harga beras yang mencapai 33,0%. Dasar perhitungannya, 75% orang miskin adalah konsumen bersih beras (rice net-consumer), dan

menggunakan 25% pendapatannya untuk membeli beras.

Indeks kemiskinan (HPI) memberikan gambaran keragaan kemiskinan dengan lebih komprahensif. HPI secara inklusif mempertimbangkan lima indikator utama, yaitu harapan hidup tidak sampai 40 tahun, tingkat buta huruf, tidak akses air bersih, tidak akses fasilitas kesehatan, dan malnutrisi anak dibawah lima tahun. Dalam periode 1999-2002, empat indikator mengalami penurunan dengan kisaran 0,62% (harapan hidup tidak sampai 40 tahun) s/d 2,45%/th (tidak akses air bersih). Sementara ituindikator ”tidak akses fasilitas kesehatan” meningkat sebesar 1,24%/th yang akan menyumbang pada peningkatan HPI. HPI dibedakan menjadi empat kategori, yaitu rendah (< 10)menengah kebawah ( 10 - 25), menengah keatas (25,1 - 40,0), dan tinggi ( > 40).

Perkembangan HPI nasional dan provinsi selama periode 1999-2002 menunjukkan beberapa indikasi sebagai berikut: (a) HPI nasional mengalami penurunan sebesar 1,5%/th, dari 25,2 menjadi 22,7; (b) pada tahun 1999 kisaran HPI 26 provinsi adalah 15,5–38,7, dimana 12 provinsi termasuk kategori menengah kebawah dan sisanya (14 provinsi) termasuk kategori menengah keatas; (c) pada tahun 2002 kisaran HPI 30 provinsi adalah 13,2 – 38,0, dimana masingmasing 15 provinsi termasuk kategori menengah kebawah dan menengah keatas. Nampak bahwa secara agregat nasional, Indonesia termasuk kategori menengah kebawah, tetapi sebagian besar provinsi termasuk dalam kategori menengah keatas. Jadi, masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk menurunkan indeks kemiskinan di tanah air.

KARAKTERISTIK DAN PENDEKATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Karakteristik Penduduk Miskin Dimensi kemiskinan, secara dinamis me

ngalami perubahan dengan mempertimbangkan aspek nonekonomi masyarakat miskin. Sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan (Sudaryanto dan Rusastra, 2006), yaitu (a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (papan, sandang, dan perumahan); (b) aksessibilitas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan,

117

pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih, dan transportasi); (c) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital; (d) rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun masal; (e) rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan sumber-daya alam; (f) ketidak terlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan; (h) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan; (i) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental; dan (j) mengalami ketidak mampuan dan ketidak beruntungan sosial.

Karakteristik penduduk miskin secara le-bih spesifik, diantaranya dicirikan oleh beberapa hal (Pasaribu, 2006) sebagai berikut: (a) masya-rakat miskin sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60,0%), (b) sebagian besar (60%) penduduk berpenghasilan rendah mengkonsumsi energi kurang dari 2.100 kkal/ hari, (c) berdasarkan indikator silang proporsi pengeluaran pangan (> 60%) dan kecukupan gizi (energi <80%), diperoleh proporsi rumah tangga rawan pangan nasional mencapai sekitar 30,0%, dan (d) penduduk miskin dengan tingkat SDM yang rendah, umumnya tinggal di wilayah de-ngan karakteristik marjinal, dukungan infra-struktur terbatas, dan tingkat adopsi teknologi rendah.

Dalam konteks karakteristik kemiskinan masyarakat petani pedesaan, menarik untuk di-kemukakan keterkaitan penguasaan lahan de-ngan tingkat kemiskinan. Terdapat korelasi kuat antara skala penguasaan lahan terhadap indeks kemiskinan dan indeks rumpang kemiskinan (poverty gap). Semakin luas penguasaan lahan, semakin rendah tingkat kemiskinan (LPEM-FEUI, 2004). Bagi tuna kisma (petani tanpa lahan) tingkat kemiskinan mendekati 31,0%, dan bagi petani dengan penguasaan lahan kurang dari 0,10 ha, tingkat kemiskinan mencapai 28,3%. Tingkat kemiskinan mengalami penurunan seca-ra konsisten menjadi 5,6% bagi rumah tangga petani yang menguasai lahan antara 2,0 dan 5,0 ha.

Kritik Penanggulangan Kemiskinan

Kritik umum terhadap penanggulangan kemiskinan selama ini adalah kurangnya pe-mahaman karakteristik penduduk miskin, tidak mengacu pada permasalahan riil yang dihadapi

masyarakat miskin, berbasis individu dan tidak berkelanjutan.

Koreksi pendekatan penanggulangan kemiskinan hendaknya mengacu kepada beberapa indikator penting (Mubyanto, 2002; Santosa et al., 2003), berikut ini: (a) indikator keberhasilan individu perlu dikomplemen dengan kemajuan/prestasi kelompok dan masyarakat; (b) indikator kemiskinan konvensional, perlu dikoreksi dengan kondisi lokal yang bersifat lokasi spesifik; (c) paradigma penanggulangan kemiskinan dengan pengakuan terhadap potensi partisipatif dan pemberdayaan kaum miskin sebagai aktor utama dalam perang melawan kemiskinan; (d) kinerja penanggulangan kemiskinan bukan ditentukan oleh ketepatan kriteria/indikator, tetapi oleh kepedulian dan komitmen pelaku program; (e) ketidak berlanjutan program yang dinilai baik dan berhasil menyebabkan program penanggulangan kemiskinan tidak efektif dan kurang efisien; (f) Program penanggulangan kemiskinan akan ditentukan oleh basis partisipatif masyarakat desa, dengan memperhatikan modal sosial kaum miskin untuk mengembangkan diri.

Secara lebih spesifk, Adiyoga dan Hermiati (2003) mengemukakan langkah strategis pemberdayaan penduduk miskin dan penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat sebagai acuan kedepan. Langkah pemberdayaan penduduk miskin hendaknya didasarkan pada reorientasi fokus dan pendekatan berikut: (a) fokus pemberdayaan keluarga miskin pada kebutuhan pangan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan; (b) fokus kebijakan pada transformasi struktural sektor pertanian ke sektor nonpertanian; (c) menumbuhkan keswadayaan penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan komunitas penduduk miskin; (d) melakukan reposisi peran pihak-pihak luar desa dari agen pembangunan menjadi fasilitator pemberdayaan.

Landasan praktis operasional di lapangan dalam penanggulangan kemiskinan berbasis komunitas dapat mengacu pada beberapa landasan pokok sebagai berikut: (a) kewenangan menentukan sendiri aktivitas penanggulangan kemiskinan (aktivitas relevan, sesuai kebutuhan dan kontekstual, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal), dan meniadakan ego sektoral yang bersifat tumpang-tindih, tidak efektif dan kurang efisien; (b) pelaksanaan penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pihak luar (teknis, informasi, teknologi,

118

dan lain-lain); (c) menumbuhkan sendiri prinsip transparansi dan akuntabilitas (kontrol publik) ditingkat masyarakat desa dalam aktivitas pe-nanggulangan kemiskinan.

STRATEGI KELUAR DARI KEMISKINAN

Bank Dunia (2006) dalam studinya ”Revitalizing the Rural Economy: an Assessment of the Rural Investment Climate in Indonesia” menyatakan ada dua jalan utama dan dua masa transisi keluar dari kemiskinan (Gambar 1). Dua jalan utama keluar dari kemiskinan tersebut adalah : (a) Transformasi pertanian subsisten ke pertanian modern. Transformasi pertanian ini memungkinkan adanya peningkatan produktivitas melalui intensifikasi pertanian, diversifikasi per-tanian, dan peningkatan tingkat upah di sektor pertanian. (b) Transformasi aktivitas nonpertani-an subsisten (di pedesaan maupun di perkotaan) kepada usaha formal yang lebih produktif dan menguntungkan. Transformasi sektoral ini me-mungkinkan diperolehnya stastus formal (dimensi kualitatif ketenagakerjaan), serta tingkat upah dan pendapatan yang lebih tinggi.

Masa transisi keluar dari kemiskinan mencakup dua pola, (Gambar 1), yaitu : (a) Transformasi pertanian subsistem ke usaha

informal nonpertanian di pedesaan. Dalam masa transisi ini, dalam jangka pendek peningkatan pendapatan mungkin akan tidak signifikan. (Migrasi (lebih tepat integrasi) desa-kota. Pada masa transisi ini rumah tangga petani subsistem dan rumah tangga usaha informal nonpertanian di pedesaan akan mencari kesempatan kerja dan berusaha (paruh waktu atau permanen) di perkotaan. Kedua masa transisi ini membutuhkan fasilitasi dari pemerintah dalam memantapkan masa transisi dengan sasaran menjaga stabilitas pendapatan dan minimisasi keresahan temporer praintegrasi dengan ekonomi perkotaan.

Dari Gambar 1 di atas dapat dipetik pembelajaran penting keluar dari kemiskinan di pedesaan, yaitu (a) strategi keluar dari kemiskinan bersifat multisektoral, dan secara kontektual peranan sektor pertanian dinilai dominan; (b) kemandegan investasi dan pengembangan sektor riil di luar sektor pertanian, sehingga masa/strategi transisi dalam jangka pendek merupakan sektor pengaman dan perlu difasilitasi; (c) pengembangan pertanian modern/komersial dan sektor formal nonpertanian (di pedesaan dan perkotaan) merupakan strategi jangka panjang keluar dari kemiskinan; (d) karena sifatnya yang multisektoral, maka dibutuhkan kelembagaan koordinasi oleh institusi yang memiliki otoritas koordinatif secara struktural di pusat maupun di daerah.

Sumber : Revitalizing the Rural Economy (World Bank, 2006)

Gambar 1. Pendorong Utama Perubahan Pedesaan dan Transisi Keluar dari Kemiskinan

B

Produktivitas rendah

Produktivitas tinggi

Pertanian komersial

1

Aktivitas formal nonpertanian

2

Pertanian subsisten

A

Aktivitas informal

nonpertanian

Aktivitas formal nonpertanian 2

Aktivitas informal nonpertanian

Produktivitas rendah

Produktivitas tinggi

Pedesaan

Perkotaan

Pangsa pendapatan nonpertanian

119

McCulloch et al. (2006) dalam penelitian-nya dengan menggunakan data IFLS (Indonesia Family Life Survey) periode 1993-2000 melalui pengamatan pergerakan masuk dan keluar dari kemiskinan dalam usaha nonpertanian pedesaan (Rural Non-Farm Enterprise/RNFE), mendapat-kan bahwa: (a) Perbaikan produktivitas per-tanian dinilai tetap relevan/penting dalam stra-tegis keluar dari kemiskinan. Sekitar 80% responden petani kecil tetap bekerja di sektor pertanian dan sepenuhnya mampu keluar dari perangkap kemiskinan. (b) Aktivitas nonpertanian di pedesaan adalah sebagai batu loncatan keluar dari kemiskinan. Kelompok ini memiliki tingkat mobilitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok miskin yang bekerja di pertanian. Dapat dinyatakan hampir separuh dari mereka dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan tetap tinggal di pedesaan. (c) Aktivitas non-pertanian di perkotaan adalah yang paling stabil. Hampir 90% dari mereka dalam kategori ini tetap dalam sektor yang sama di perkotaan. Ada dua kemungkinan akan hal ini yaitu tingkat penda-patan yang lebih tinggi atau ada kesulitan untuk kembali ke desa.

Dapat disimpulkan bahwa diversifikasi aktivitas ekonomi di pedesaan memiliki keter-kaitan dengan dinamisasi aktivitas nonpertanian. Pemerintah perlu mendorong proses transfor-masi ini. Pada tingkat pusat dan daerah, kebi-jakan pemerintah yang selama ini dinilai kurang kondusif, perlu diarahkan untuk mendorong iklim investasi di sektor nonpertanian di pedesaan maupun di perkotaan.

Dalam pemahaman proses dan tahapan finalisasi pencapaian sasaran pengentasan ke-miskinan dan kaitannya dengan antisipasi isu penanganan kemiskinan kedepan, menarik untuk diacu pendapat Gardner (2002) dan Timmer (2005) sebagai berikut: (a) tahapan final trans-formasi struktural pedesaan akan diindikasikan oleh integrasi penuh rumah tangga pedesaan dengan sektor ekonomi modern di perkotaan; (b) proses tahapan dan pemantapan integrasi desa-kota ini membutuhkan eksistensi kinerja fasilitasi fungsi pasar modal dan tenaga kerja yang kondusif; (c) tahapan final transformasi dicirikan oleh hilangnya karakteristik spesifik spasial dan sektoral seperti perbedaan pendapatan dan tingkat kemiskinan antarsektor serta antardaerah pedesaan dan perkotaan; (d) pada tahap finali-sasi transformasi struktural ini, isu kemiskinan akan fokus pada pelaksanaan program jaring

pengaman sosial (JPS), khususnya bagi lanjut usia, orang cacat, dan masyarakat ekonomi lemah (in-firm). Dengan demikian, kebijakan pembangunan ekonomi dapat difokuskan pada pencapaian efisiensi dan produktivitas dengan sasaran pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

KINERJA PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Program Raskin

Operasi pasar khusus beras (OPK beras) yang dilaksanakan pemerintah tahun 1998 (sebagai respon dari krisis ekonomi), merupakan cikal bakal dari program Raskin (beras untuk rakyat miskin). Program Raskin melakukan perubahan mendasar dari subsidi harga umum menjadi subsidi harga beras langsung bagi kaum miskin (Suryana dan Hermanto, 2004). Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2002 merupakan payung hukum yang memberikan jaminan penyediaan dan pelaksanaan program Raskin. Dalam periode 1998-2003, melalui OPK beras dan program Raskin, pemerintah mendistribusikan tidak kurang dari sepuluh juta ton beras (rata-rata 1,7 juta ton/th) kepada sekitar 7,1 juta rumah tangga miskin secara nasional.

Rusastra dan Saliem (2006) dalam evaluasinya terhadap perencanaan, pelaksanaan dan antisipasi penyempurnaan program Raskin kedepan menyatakan bahwa:

1. Peningkatan kesejahteraan penduduk miskin (termasuk petani) perlu dilihat secara holistik dan inklusif dimana program Raskin, JPSdan BLT perlu disinerjikan dengan program peningkatan ketahanan pangan dan program pencapaian sasaran MDG’s yang dilaksanakan pemerintah. Selama ini, perencanaan dan implementasinya masih bersifat parsial, sehingga efektifitasnya belum berjalan secara maksimal.

2. Berbagai pihak terkait (Bulog, DPR-RI, Pemda, dan Perguruan Tinggi) sepakat melanjutkan dan memantapkan program Raskin. Program Raskin telah dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program Ketahanan Pangan dan perlu dijaga konsistensi komitmen dan perencanaannya, serta dilakukan koreksi dalam implementasinya. Kapasitas dan konsistensi program Raskin ini

120

akan dimantapkan dalam rangka memberikan dukungan operasional bagi pelaksananya di lapangan.

3. Program Raskin pada hakekatnya adalah strategi preventif dalam mengatasi perma-salahan yang dihadapi oleh kelompok miskin rawan pangan. Program ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma keta-hanan pangan rumah tangga berkelanjutan (SHFSP). Sebelum akar permasalahan ke-miskinan/rawan pangan dapat dipecahkan dan pemberdayaan serta kemandirian masya-rakat pedesaan belum dapat diwujudkan, ma-ka program Raskin perlu tetap dilaksanakan. Raskin ini perlu dilakukan secara inklusif dan sinergis dengan program pengentasan ke-miskinan lainnya dan program peningkatan ketahanan pangan. Inklusifitas ini dapat diwujudkan dalam bentuk ”Kartu Miskin” sebagai instrumen pelayanan integratif bagi kaum miskin, yang dapat dinilai sebagai cikal bakal ”Food Stamps” di negara maju.

4. Dari sisi penguasaan infrastruktur dan pengalaman, Bulog merupakan institusi yang memiliki kapasitas dalam perencanaan dan implementasi program raskin ini. Berdasarkan pada permasalahan operasional di lapangan, perlu terus dilakukan penyempurnaan Pandu-an Umum dan Petunjuk Pelaksanaan Raskin oleh Bulog. Instansi terkait dari pusat sampai ke daerah (Bulog, Depdagri, Deptan, dll) perlu terus meningkatkan keterkaitan fungsional dan institusionalnya dengan target meman-tapkan pencapaian sasaran Raskin ini. Dalam rangka transparansi pelaksanaan Raskin, ta-hap perencanaan sampai dengan pelaksana-an dan pemantauan perlu mengikutsertakan perguruan tinggi dan atau LSM daerah, mau-pun kelembagaan masyarakat lainnya. Mere-ka perlu dilibatkan dalam tahap pengawasan dari titik distribusi sampai ke penerima man-faat dari Raskin.

5. Secara lebih spesifik, diperlukan penyempur-naan pelaksanaan program Raskin sebagai berikut: (a) melakukan evaluasi kriteria pene-tapan rumah tangga penerima Raskin dan memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat setempat untuk menentukan ru-mah tangga penerima Raskin secara obyektif; (b) mensinergiskan program Raskin dengan program peningkatan produktivitas rumah tangga melalui perluasan program food for

work dan bantuan pinjaman modal usaha khususnya pada kelompok rumah tanggarawan pangan transien; (c) meningkatkan partisipasi Pemda dalam mendukung pelaksanaan program Raskin yang diwujudkan dalam pengalokasian anggaran untuk transportasi beras dari titik distribusi sampai ke rumah tangga penerima; (d) menyusun perencanaan target waktu akhir bantuan bagi rumah tangga dengan merumuskan kriteria dan indikator pada saat kapan rumah tangga tersebut sudah termasuk tidak miskin, sehingga bantuan pangan dapat dihentikan; (e) terkait dengan terminasi program Raskin perlu disusun data base tentang kinerja rumah tangga penerima raskin dan melakukan monitoring dan evaluasi secara baik, konsisten, dan berkesinambungan tentang keragaan tingkat pendapatan, konsumsi, dan dampak dari bantuan pangan yang diterima.

Program dan Kebijakan UMKM Pada tahun 2005, pemerintah mengimplementasikan program aksi pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro/kecil dan menengah (UMKM) sejalan dengan pelaksanaan ”Indonesia Micro Finance Year of 2005”. Tahun 2005 terdapat 41,3 juta unit UMKM dengan target penyaluran kredit Rp 60,44 triliun (Jakarta Post, June 2, 2004). Sumber pembiayaan UMKM lainnya adalah dari alokasi keuntungan BUMN sebesar 1 – 3% (senilai Rp 1,47 triliun), dan dana kompensasi kenaikan harga BBM 2005 sebesar Rp 250 milyar. Total alokasi dana tersebut didedikasikan untuk pemberdayaan UMKM dalam rangka peningkatan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Tingkat pengembalian kredit UMKM 2004 mencapai 96,7%, dan dinilai sukses dalam pengentasan kemiskinan.

Kebijakan iklim investasi dalam rangka mendorong pengembangan UMKM di Indonesia yang perlu dipertimbangkan, diantaranya (World Bank, 2006) adalah (a) kebebasan pergerakan barang antardaerah dalam rangka memperoleh manfaat keunggulan komparatif dan keuntungan ekonomi perdagangan regional (trade policy), (b) menjaga keseimbangan kepentingan buruh dan perluasan kesempatan kerja (labor policy); (c) peningkatan akses, tingkat, dan kualitas pendidikan dalam rangka pengembangan potensi dan kualifikasi SDM-UMKM (educational policy), (d)

121

perbaikan infrastruktur jalan, listrik, telekomu-nikasi, pelabuhan, dll di tingkat kabupaten (infrastracture policy), (e) memfasilitasi dan men-dorong kompetisi secara bebas dan sehat (competition policy); (f) perbaikan perencanaan dan implementasi bantuan teknis dan mana-jemen (participative and more client-driven’s technology policy), (g) komplementasi sistem informasi, pelayanan, dan subsidi bunga program kredit bagi UMKM (Credit policy), (h) revitalisasi pertanian dalam rangka mendorong pertum-buhan ekonomi dan pemberdayaan UMKM di pedesaan (agricultural policy), dan (i) kecukupan alokasi anggaran pembangunan daerah sebagai insentif pertumbuhan di tingkat lokal.

Program Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Pada tahun 2005, pemerintah meng-alokasi nilai BLT sebesar Rp 7,3 triliiun (US$ 784 juta), dengan sasaran mengurangi beban masya-rakat miskin sebagai dampak dari peningkatan harga BBM (Hudiono, 2005). Dana BLT tersebut merupakan sebagian dari total dana Rp 17,8 triliun sebagai hasil dari pengurangan subsidi (kenaikan harga 29,0%) BBM di dalam negeri. Program bantuan bagi kelompok miskin menca-kup bantuan pendidikan, kebutuhan pangan (beras), pelayanan kesehatan, dan pengembang-an infrastruktur pedesaan. Sejak sepuluh bulan terakhir (s/d 4 September 2006), nilai BLT telah mencapai US$ 1,500 juta, yang mencakup 19 juta rumah tangga miskin atau sekitar 76 juta orang (Jakarta Post, 4 September 2006).

Belakangan ini efektivitas program BLT dipertanyakan berbagai pihak dengan adanya peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 39,05 juta (periode Februari 2005-Maret 2006), dimana sekitar 19,2 juta orang adalah kemis-kinan transiten (the brink of proverty). Penyebab-nya adalah adanya kenaikan harga minyak (BBM) dan tekanan inflasi sektoral. Disamping itu, juga terkait dengan perencanaan dan efek-tifitas pendekatan program penanggulangan kemiskinan yang diterapkan selama ini.

Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat

Secara nasional terdapat dua proyek terkait dengan program ini, yaitu Proyek Pe-ngembangan Kecamatan (Kecamatan Develop-ment Project/KDP) dan Proyek Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan (Urban Poverty Alleviation Proyect/UPAP). Berbeda dengan BLT dan JPS dengan fokus pemenuhan kebutuhan primer (harian) masyarakat miskin (peoples daily needs), maka KDP dan UPAP memiliki karakteristik sebagai berikut (Jakarta Post, 2006): (a) berbasis masyarakat, bersifat partisipatif dan pemberdayaan; (b) orientasi investasi dengan pendekatan program pengembangan dari bawah(c) bersifat demokratis, serta menumbuhkan transparansi dan akuntabilitas peserta program(d) program ini dinilai efektif, efisien, tingkat kebocoran rendah, dengan tingkat keberlanjutan yang relatif tinggi.

Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat KDP dan UPAP dimulai sejak tahun 1998/1999 dengan antisipasi 10 tahun. Pendanaannya bersumber dari APBN dikomplementasi dengan dana bantuan/pinjaman luar negeri senilai US$ 1,5 milyar. Dana disalurkan secara transparan melalui kompetisi ketat antardesa dengan sistem ”block grant” Rp 500 juta s/d Rp 1.500 juta/kecamatan. Pengambilan keputusan dalam perencanaan dan implementasi proyek bersifat partisipatif dan relevan kontekstual sesuai dengan permasalahan dan prioritas penanganan di lapangan. Aktivitas bersifat multisektoral, yang mencakup pengembangan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, air bersih, agribisnis, dan ramah lingkungan.

PEMBELAJARAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Pengalaman dari Kawasan Cina Seperti negara berkembang pada umumnya, Cina juga mengalami sejarah panjang, hampir satu dasawarsa (1986-1996), dalam mencari bentuk yang tepat dalam perumusan dan implementasi program pengentasan kemiskinan. Dalam periode tersebut, pemerintah Cina mengimplementasi program parsial-sektoral, mulai dari tingkat pusat-provinsi dan daerah pada tingkatan yang lebih rendah. Pendekatan ini dinilai gagal dan tidak memberikan hasil yang optimal (UNESCAP, 2005).

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sejak 1996, pemerintah Cina membangun kelembagaan khusus pengentasan kemiskinan di pusat dan daerah, yang disebut dengan Leading Group Office for Poverty Reduction (LGPR). Lembaga

122

ini membangun jaringan kelembagaan di lapa-ngan sebagai badan pelaksana yang disebut PADO (Poor Area Development Office). Pada setiap tingkatan secara spasial, sasaran LGPR adalah (a) melakukan koordinasi dan kohesi program lintas sektoral, (b) percepatan pertum-buhan ekonomi di daerah miskin, (c) melakukan koordinasi pendanaan program pengentasan kemiskinan.

Pendekatan baru pengentasan kemis-kinan di Cina ini mencakup beberapa elemen pokok, seperti (a) pendekatan berbasis proyek multisektoral, (b) program investasi terpadu pertanian dan nonpertanian, (c) fasilitasi akses pendidikan dasar dan kesehatan sebagai kebu-tuhan dasar membangun kapasitas dan potensi sumberdaya manusia, dan (d) fasilitasi kredit mikro dan kelembagaan keuangan pedesaan.

Dampak Liberalisasi dan Komplementasi Kebijakan

Dampak liberalisasi ekonomi terhadap kinerja sektor pertanian dan ekonomi pedesaan, khususnya bagi negara berkembang (Wilson Center, 2006) adalah (a) petani kecil di daerah terpencil dengan kondisi infrastruktur marginal dan efisiensi pemasaran rendah akan menerima dampak negatif liberalisasi; (b) pelaksanaan liberalisasi akan berdampak buruk terhadap tenaga kerja tidak terdidik yang bekerja pada usahatani padat tenaga kerja dengan orientasi ekspor, tetapi memiliki tingkat keunggulan kom-paratif yang rendah; (c) kaum perempuan di negara berkembang yang memikul tanggung jawab ekonomi keluarga dan mengalami ketidak-setaraan status sosial dan ekonomi, akan me-ngalami keterbatasan kemampuan dalam meng-hadapi dampak liberalisasi; (d) secara umum dinyatakan bahwa dalam jangka panjang, perdagangan bebas nampaknya akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan, tetapi analisis data lintas negara tidak memberikan fakta empiris yang menyakinkan dalam jangka pendek.

Beberapa kebijakan komplementasi da-lam mengantisipasi dampak negatif liberalisasi terhadap kemiskinan dan perekonomian pedesa-an (Wilson Center, 2006) adalah (a) minimisasi dampak transisi kehilangan kesempatan kerja dan pendapatan bagi penduduk miskin, melalui instrumen perbaikan pendidikan, investasi infra-struktur, fasilitasi penelitian dan penyuluhan pertanian, dan pengembangan JPS yang efektif;

(b) pengembangan kebijakan perdagangan yang berpihak bagi kelompok miskin antarnegara berkembang, melalui penurunan tarif dan peningkatan kerja sama perdagangan selatan-selatan; (c) bagi negara berkembang yang mengalami keterbatasan kinerja perdagangan komoditas pertanian dan keterbatasan kemampuan petani dalam merealisasikan marketable surplus, disarankan untuk meningkatkan investasi dalam bidang R dan D melalui pengembangan bioteknologi (NHYV) dalam rangka peningkatan potensi hasil dan produktifitas komoditas pertanian; (d) dampak positif liberalisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dapat ditempuh melalui pengembangan sistem perdagangan yang berbasis regulasi, terbuka dan adil, serta pengembangan SDyang handal untuk perolehan dampak positif yang maksimal; (e) negara berkembang perlu secara konsisten melakukan upaya peningkatan perdagangan dan akses pasar global komoditas pertanian, serta menetapkan trade sebagai basis agenda pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Pengarustamaan Gender dan Kesempatan Kerja Informal

Dalam kondisi tidak adanya kompensasi penggunaan dan terbatasnya jaring pengaman sosial, tidak ada pilihan lain bagi kaum miskin kecuali bekerja, betapa pun kecil tingkat upah yang mereka terima. Sebagian besar penduduk miskin yang bekerja di sektor informal, tidak mampu keluar dari perangkap kemiskinan, karena besarnya risiko finansial dan keterasingan sosial, serta rendahnya kapasitas SDM dan tingkat upah yang diterima. Selama ini permasalahan yang dihadapi pekerja informal kelompok miskin kurang mendapatkan perhatian dalam perumusan strategi pengentasan kemiskinan.

Chen et al. (2004), dalam studinya tentang pengarustamaan gender dan kesempatan kerja sektor informal dalam konteks pengentasan kemiskinan, mengemukakan ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu pendekatan kebijakan strategis, basis pencapaian sasaran kebijakan, dan proses perumusan kebijakan. Pemahaman pendekatan kebijakan strategis perlu mempertimbangkan tiga aspek: (a) urgensi dan eksistensi dampak kebijakan (sosial ekonomi) terhadap sektor informal; (b) diferensiasi dampak kebijakan yang berbeda menurut status

123

pekerjaan (formal atau informal), dan menurut gender (pria dan wanita); (c) pengakuan kebu-tuhan pengembangan, penguatan, pengakuan organisasi dan hak pekerja informal dalam pe-rumusan kebijakan yang menentukan perjalanan hidupnya.

Basis pencapaian sasaran kebijakan per-lu mempertimbangkan aspek berikut: (a) promosi dan fasilitasi kesetaraan peluang yang mencakup dukungan modal, teknologi, pelatihan, dan inter-vensi kebijakan; (b) jaminan hak dan kesetaraan atas dukungan legislasi, organisasi dan fasilitasi kebijakan sistem insentif dengan sektor formal/ modern; (c) proteksi tenaga kerja informal melalui jaminan asuransi yang mencakup bidang kese-hatan, melahirkan, cacat (disability), jaminan hari tua/kematian, dengan melakukan pembentukan skema baru dan pengembangan skema yang telah ada.

Berdasarkan pada pendekatan dan basis kebijakan tersebut diatas, maka proses peru-musan kebijakan kesetaraan gender dan kesem-patan kerja informal dalam penanggulangan kemiskinan perlu mempertimbangkan dimensi berikut: (a) Pemahaman urgensi peranan eko-nomi pekerja informal, melalui dukungan statistik tentang skala, komposisi, kontribusi ekonomi sektor informal. (b) Mempertimbangkan sensi-tifitas peranan dan tanggung jawab gender dalam ekonomi sektor informal. Pekerja wanita cenderung memperoleh pendapatan dan proteksi sosial yang lebih rendah, sehingga perlu men-dapatkan dukungan kebijakan yang lebih besar. (c) Perlu mempertimbangkan aspek spesifik kontektual menurut kategori pekerja informal. Secara faktual terdapat diferensiasi pekerja informal menurut lokasi dan jenis industri serta pelaku industri (self- employed) dan pekerja (paid worker) dalam ekonomi sektor informal. (d) Bersifat inklusif dan partisipatif, dimana peru-musan kebijakan mengikutsertakan dan memper-timbangkan pendapat pekerja informal. Pemben-tukan organisasi pengusaha/pedagang dan pe-kerja sektor informal dalam bentuk kelembagaan asosiasi dan koperasi perlu didorong dan didu-kung oleh berbagai pihak terkait.

Pemberdayaan Legalitas Penanggulangan Kemiskinan

Menurut Singh (2006), Direktur Eksekutif ”The Commission for Legal Empowerment of the Poor”, terdapat empat faktor kunci secara hukum

yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pemberdayaan kaum miskin dan membantu mereka keluar dari kemiskinan. Keempat faktor tersebut adalah :

(a) Penegakan hukum dan perbaikan akses terhadap peradilan formal. Sistem peradilan nampaknya tidak berpihak pada kaum miskin, yang pada akhirnya mereka mengambil pilihan solusi informal yang cenderung merugikan.

(b) Kelompok miskin membutuhkan sistem hak kepemilikan yang bersifat inklusif. Dalam kenyataannya masyarakat miskin dihadapkan pada ragam pemilikan aset yang relatif tinggi, dan membutuhkan jaminan proteksi dalam penggunaan aset tersebut. Sistem dan payung hukum hak pemilikan dibutuhkan dengan antisipasi agar dapat digunakan sebagai dasar membangun kepercayaan, akses kredit, akses pasar, dan kepentingan usaha/bisnis lainnya.

(c) Pengembangan dan promosi sistem tenaga kerja formal bagi masyarakat miskin. Transformasi kesempatan kerja ini, mereka butuhkan untuk memperoleh jaminan penerapan upah minimum, asuransi, dan kepastian santunan keamanan kerja,

(d) Pengembangan dan pengakuan kewirausahaan kaum miskin. Kemampuan kewirausahaan masyarakat miskin ini merupakan faktor riil yang perlu dihargai dan didorong. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam memanfaatkan setiap kesempatan ekonomi, dan mereka tetap eksis, walaupun tantangan yang mereka hadapi relatif besar dengan fasilitasi minimal,

PENUTUP

Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dihadapkan pada kenyataan kompleksitas permasalahan dan tingginya tingkat, ragam, dan karakteristik penduduk miskin. Kompleksitas tersebut diindikasikan oleh beberapa hal, yaitu (a) kontradiksi kebijakan makro ekonomi vs program penanggulangan kemiskinan, (b) sulitnya melakukan pilihan secara tegas dan eksklusif dalam kebijakan ekonomi apakah berbasis efisiensi (growth) atau pemerataan (equity), (c) pilihan program penanggulanan kemiskinan antara JPS yang menyebabkan ketergantungan

124

vs pendekatan investasi dengan sasaran pem-berdayaan, (d) pilihan program berbasis pende-katan individu vs pemberdayaan kelompok/ko-munitas.

Berdasarkan komplektisitas tersebut per-lu dipertimbangkan reorientasi kebijakan strategi dalam penanggulangan kemiskinan dengan mempertimbangkan beberapa aspek berikut: (a) ketegasan segmentasi sasaran kelompok miskin, yaitu target sasaran JPS vs pemberdaya-an/pendekatan investasi; (b) reorientasi pende-katan parsial sektoral kepada pendekatan yang bersifat holistik multisektoral berbasis komunitas dan bersifat partisipatif; (c) dukungan komple-mentasi kebijakan untuk mengeliminir dampak transisi globalisasi khususnya bagi penduduk miskin; (d) fokus pada kesempatan kerja (informal) dan kesetaraan gender, disamping program revitalisasi pertanian dan UMKM; (e) pengembangan aspek legalitas kaum miskin dan penanggulangannya.

Berdasarkan reorientasi kebijakan strate-gis di atas, antisipasi program penanggulangan kemiskinan yang perlu dipertimbangkan adalah (a) JPS dengan pendekatan individu dengan target kelompok sasaran lansia/orang cacat/ infirm (kemiskinan kronis); (b) pendekatan inves-tasi melalui pemberdayaan kelompok dan bersifat partisifatif dengan target keluarga miskin di luar JPS (kemiskinan transient); (c) antisipasi program ke depan (di luar JPS) adalah program pemberdayaan berbasis masyarakat yang dinilai berhasil (best practice), adalah Program Pemba-ngunan / Pemberdayaan Pertanian Terpadu (PIDRA, Desa Mandiri Pangan, dan sejenisnya); Proyek Pengembangan Kecamatan (KDP); Pro-yek Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (UPHP); dan Proyek Program Gerdu Taskin (Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan); (d) pemantapan posisi Badan Pemberdayaan Masyarakat (BAPEMAS, Depdagri sebagai koor-dinator program multisektoral pengentasan ke-miskinan (pusat, provinsi, kabupaten); (e) revitali-sasi sektor pertanian/aktivitas informal nonperta-nian (di pedesaan + perkotaan) dinilai strategis ke luar dari kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, IDBM, dan E. Hermiati. 2003. Pola Nafkah

Local : Acuan Mengkaji Kemiskinan di Era Otonomi Daerah (Kasus Provinsi Nusa

Tenggara Timur). Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun I No. 12 Februari 2003. Jakarta. www.ekonomirakyat.org.

Bourgeois, R., IW. Rusastra, and T.A. Napitupulu. 2006. The Impact of Export Suport on Food Security in Indonesia. UN-CAPSA and CIRAD, 2006

Chen, M.A., J. Vanek, and M. Carr. 2004. Mainstreaming Informal Employment and Gender in Poverty Reduction : A Hand book for Policy Makers and Other Stakeholders. Commonwealth Secretariat, Marlborugh House, Pall Mall, London. www.thecommonwealth.org/gender; 8 October 2006.

Gardner, B.L. 2006. American Agriculture in the Twentieth Century: How it Flourished and What it Cost. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Hermanto. 2005. Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Hudiono, U. 2005. Government to Start Disbursing Funds for the Poor. The Jakarta Post, March 8, 2005. Jakarta.

Jakarta Post, 2006. Poverty Increase 11 Percent. The Jakarta Post, September 4, 2006. Jakarta

Jakarta Post. 2004. Proverty Reduction Strategy. The Jakarta Post. Wednesday, June 2, 2004. Jakarta.

Kompas. 2006. Kemiskinan Akibat Beras. Harian Kompas, Rabu, 15 November 2006. Jakarta.

Mc Cullock, N., J. Weisbroad and C.P. Timmer. 2006. The Pathways out of Rural Poverty in Indonesia. Paper for the Indonesia’s Poverty Assessment, World Bank, Jakarta.

Mubyarto. 2002. Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Tengah dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Thn. I No. 7, November 2002. Jakarta. www.ekonomirakyat.org.

Pasaribu, B. 2006. Poverty Profile and the Alleviation Programme in Indonesia. Paper Presented on “Asian Regional Seminar on Poverty Alleviation”, Held by AFPPD and IFAD, 5April 2006, Hanoi, Vietnam.

Rusastra, IW, Sumaryanto, and P. Simatupang. 2005. Agricultural Development Policy Strategies for Indonesia : Enhancing the Contribution of Agriculture to Poverty Reduction and Food Security. Paper presented in “ The Workshop on Linking Agricultural Policies with Food Security and Poverty Reduction”, FAO Hg., Rome, June 1-2, 2005.

125

Rusastra, IW., dan H.P. Saliem. 2006. Kebijakan dan Perlindungan Petani (Padi) Menghadapi Panen Raya dan Peningkatan Kesejahteraan Petani Miskin. Mimeo. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Rusastra, IW., Supriyati, E. Suryani, K.M. Noekman, M. Suryadi, dan R.Elizabeth. 2005. Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Santosa, A., D.G. Hidayat, dan P. Indroyono. 2003. Program Penanggulangan Kemiskinan Ber-sasaran di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun II. No.2 April 2002, Jakarta. www. ekonomirakyat.org.

Sayogyo, 2002. Pertanian dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun 1 No. 2, Jakarta.

Singh, N. 2006. Legally Empower the Poor, Unlock Human Capital. Jakarta Post, 25 September 2006, Jakarta.

Sudaryanto, T. dan IW. Rusastra. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Seminar Internasional Multi-fungsi Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Per-

tanian, 27-28 Juni 2006. Lido Lake Resort & Conference, Bogor.

Suryana dan Hermanto. 2005. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Timmer, C.P. 2005. Operationalizing for Poor Growth: A Country Case Study of Indonesia. PREM/World Bank, Washington, D.C. USA.

UNESCAP, 2005. Income Generation and Proverty Reduction : Experiences of Selected Asian Countries. Development Paper No. 26. United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP), New York, 2005.

UN-ESCAP. 2006. Technical Cooperation. Yearbook, 2005..United Nation –ESCAP, Bangkok.

Wilsoncenter. 2005. Summary of Proceedings of a Conference on “The Impact of Trade Liberalization on Poverty” Organized on 15 April 2005. USAID and Woodron Wilson International Center for Scholars, W.W. Washington, D.C. [www.wilsoncenter.org/tradeand poverty]

World Bank. 2006. Revitalizing the Rural Economy: An Assessment of the Rural Investment Climate in Indonesia. The World Bank Office, Jakarta.

126

RANGKUMAN DISKUSI

Sesi-1

1. Indikator Makro Sektor Pertanian (Dr. Nizwar Syafaat)

2. Kesejahteraan dan Penanggulangan Kemiskinan Petani di Pedesaan (Dr. I Wayan Rusastra)

3. Kinerja dan Arah Pengembangan Kelembagaan Petani (Dr. Kedi Suradisastra)

Rangkuman diskusi:

1. Kapasitas produksi komoditas tanaman pangan berkaitan erat dengan berbagai faktor, antara lain ketersediaan dan kondisi jaringan irigasi, luas lahan tersedia yang berkaitan dengan konversi lahan, ketersediaan dan dinamika tenaga kerja sektor pertanian, dan lain-lain. Di sisi indikator makro pertanian, harga dan kebijakan harga masih merupakan salah satu faktor insentif produksi. Secara umum pihak Departemen Pertanian hendaknya terus melakukan pembukaan lahan baru yang didukung kebijakan yang layak. Dalam hal tenaga kerja, pemerintah seyogyanya mengembangkan kebijakan yang lebih akomodatif dan luwes.

2. Data investasi sektor tetap diperlakukan sebagai salah satu indikator karena investasi merupakan salah satu penggerak pembangunan sektor pertanian. Peningkatan HPP hendaknya disertai kawalan kebijakan proteksi dan standarisasi. Tanah sebagai bioreaktor dan penggunaan pupuk merupakan paradigma yang berbeda sehingga layak dilakukan pengkajian yang seksama. Masalah pupuk memiliki bobot yang berat karena banyak pihak yang bermain didalamnya. Secara ringkas diperlukan jaringan kerja sama pembangunan secara lintas sektor dan lintas komoditas.

3. Program-program bantuan pemberdayaan sektor nonpertanian di pedesaan harus dikelompokkan dalam segmen-segmen yang jelas. Program-program tersebut hendaknya dikhususkan untuk daerah miskin kronis. Program bantuan pemberdayaan harus memiliki sasaran yang tegas dan dapat dicapai.

4. Pembangunan pertanian harus dilakukan secara terintegrasi dan aspek kewilayahan hendaknya menjadi panduan arah pembangunan sektor masa depan. Untuk mengatasi krisis pertanian diperlukan penerapan paradigma terintegrasi lintas sektor, lintas disiplin ilmu, dan lintas mitra pembangunan (stakeholder). Dari sisi kebijakan umum layak dipertimbangkan kebijakan yang berfokus pada situasi perbenihan, pertanahan dan sumberdaya manusia.

Sesi-2

1. Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di Indonesia (Dr. Dewa K.S. Swastika).

2. Kinerja Pembangunan Komoditas Hortikultura dan Prospek 2007 (Ir. Herlina Tarigan, M.Si.).

127

Rangkuman diskusi:

1. Analisis peningkatan produksi seyogyanya disertai dengan analisis penurunan konsumsi. Pengembangan produksi lebih banyak diarahkan ke daerah-daerah yang sudah mapansehingga ke depan perlu melihat kondisi daerah-daerah yang mempunyai banyak masalah sebagai suatu tantangan. Fokus penelitian juga selayaknya diarahkan ke teknologi-teknologi lebih spesifik untuk pengembangan varietas-varietas baru.

2. Upaya meningkatkan kapasitas produksi tanaman secara berkelanjutan, antara lain adalah dengan meningkatkan pemanfaatan lahan marginal secara optimal. Di sisi lain, diperlukan pengembangan varietas unggul spesifik lokasi untuk mempercepat pembangunan pertanian. Salah satu contoh adalah mengembangkan padi yang tahan terhadap cekaman air tinggi untuk pemanfaatan lahan-lahan kering. Selain itu perlu juga mengembangkan tanaman sela seperti: padi gogo, kedelai, talas, dan lain-lain.

3. Optimalisasi teknik budidaya lahan marginal hendaknya disertai dengan upaya optimalisasi teknologi berbasis kearifan lokal dan penggunaan kerabat-kerabat liar di lahan marginal. Disarankan agar fokus penelitian diarahkan pada lahan marginal (lahan kering, lahan basah, dan lahan-lahan di bawah tegakan), melaksanakan riset kolaboratif antardisiplin ilmu, misalnya fisiologi, genetika, pemuliaan, biologi molekuler, dan agronomi.

4. Produk lokal harus dapat dimanfaatkan secara baik untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor. Salah satu saran tindak mengembangkan produk lokal adalah membentuk modern farm dengan tenaga-tenaga terdidik skala 5-100 hektar di luar Jawa sebagai kawasan sentra produksi dengan pencetakan lahan bukaan baru. Zona sentra produksi komoditas berada pada wilayah yang permanen dan khusus (kawasan sentra). Standardisasi teknologi terletak di sentra tradisional, mencakup penerapan standar prosedur operasional, penerapan manajemen mutu, dan agroteknologi yang aman dikonsumsi. Dalam sistem ini kelembagaan petani berfungsi sebagai lembaga usaha dan lembaga pemasaran.

5. Dalam mengembangkan komoditas hortikultura hendaknya diperhatikan keseimbangan supply dan demand guna mengontrol harga agar tidak jatuh terlalu drastis. Secara garis besar keberhasilan pengembangan komoditas hortikultura lebih banyak tergantung pada peran pemerintah karena minat swasta untuk berinvestasi sangat sedikit. Selain itu, dalam pengembangan komoditas ini masalah lahan sangat menentukan, baik kepemilikan maupun penguasaannya, dan biaya sewa lahan yang harus dikeluarkan penggarap sangat besar nilainya.

6. Indonesia masih merupakan net importir untuk komoditas hortikultura, walaupun ada beberapa program yang dilakukan untuk pengembangan komoditas hortikultura untuk kepentingan ekspor seperti kentang untuk sayur, makanan ringan (chip), dan kentang goreng (french fries). Selain itu diekspor juga cabai merah yang diolah menjadi saus.

7. Indonesia masih sangat tergantung pada impor buah-buahan (seperti apel dan anggur), serta tanaman obat-obatan (seperti bawang putih dan ginseng). Beberapa produk buah-buahan lokal yang sudah diekspor namun sering dianggap produk impor adalah pisang cavendishyang dikembangkan di Lampung. Hal serupa dijumpai pula pada kasus durian monthong. Komoditas yang masih sulit ditahan laju impornya adalah jeruk mandarin. Kesulitan ini antara lain disebabkan oleh kesepakatan tarif. Kesepakatan tarif impor dengan Pakistan yang semula diberlakukan oleh Pakistan 25% dan Indonesia 5%, kini menjadi 20% untuk pihak Pakistan dan 0% bagi pihak Indonesia. Komoditas bawang merah juga masih mengandalkan

128

impor khususnya benih, tapi pada kenyataannya bawang merah yang tadinya untuk bibit malah jatuhnya ke supermarket.

8. Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengembangan komoditas hortikultura antara lain adalah kondisi iklim, perubahan daya beli masyarakat, iklim investasi yang belumendukung.

9. Faktor-faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan pertanian tanaman pangan, antara lain adalah (a) keseimbangan antara produksi dan konsumsi; (b) pemanfaatan lahan marginal, lahan pasang surut dan lahan kering; (c) mengembangkanvarietas baru; dan (d) menggunakan teknologi sesuai dengan kearifan lokal. Salah satu cara mengatasi kekurangan produksi antara satu jenis komoditas tanaman pangan dengan tanaman lainnya di suatu daerah adalah dengan peningkatan IP.

10. Hal mendasar yang membedakan perkembangan komoditas tanaman pangan dan hortikultura adalah keberanian petani hortikultura menanggung risiko dan keaktifan melakukan pengelolaan tanamannya dengan baik sehingga mereka tetap berusaha mencari bibit yang terbaik, antara lain dengan tetap menggunakan bibit impor agar hasilnya lebih baik.

11. Masalah sanitary dan phytosanitary merupakan syarat mutlak pengimpor, contohnya kasus jeruk medan. Sangat sulit jeruk medan masuk ke pasar Singapura karena importir Singapura mengatakan bahwa jeruk medan banyak mengandung residu pestisida, bentuk dan rasa yang tidak sesuai dengan konsumen di Singapura. Konsumen luar negeri lebih mengutamakan masalah kesehatan, sedangkan rasa merupakan urutan ketiga. Urutan pertama adalah kesehatan, urutan kedua tampilan (bentuk), dan ketiga adalah rasa. Selera bisa berubah dengan cepat sehingga diperlukan market intelligence agar informasi mengenai keinginan pasar dapat diinformasikan dengan cepat ke produsen.

12. Upaya peningkatan produksi komoditas pertanian secara umum masih memerlukan peningkatan teknologi, antara lain penggunaan pupuk berimbang, varietas unggul dan pengelolaan yang intensif. Impor komoditas tertentu perlu disesuaikan dengan kondisi petani. Masalah kehilangan hasil harus segera diatasi dengan baik, antara lain dengan melakukan perbaikan mesin-mesin penggilingan padi.

13. Untuk meluruskan pemahaman konsumen hortikultura, perlu dilakukan rebranding komoditas hortikultura seperti kasus pisang cavendish agar konsumen mengetahui produk lokal yang kualitasnya tidak kalah dengan produk impor. Lebih jauh lagi diperlukan pula upaya treatmentkhusus agar sifat komoditas hortikultura yang mudah rusak dapat diminimalkan sehingga mengurangi dampak kerugian besar bagi produsen.

14. PSE-KP perlu mengkaji alokasi biaya riset untuk aspek tanaman pangan dan hortikultura dibanding dengan peningkatan nilai tambah (value added) masing-masing. Pernyataan Komisi-IV DPR bahwa pengeluaran pembiayaan untuk komoditas tanaman dan dibanding komoditas lain tidak berimbang memerlukan ketegasan dari PSE-KP, Deptan, dan pihak terkait lainnya tentang prospek pengembangan pertanian masa depan.

Sesi-3

1. Kinerja Pembangunan Komoditas Perkebunan (Drs. Prayogo Utomo Hadi, M.Ec.)

2. Kinerja Pembangunan Komoditas Peternakan (Dr. Yusmichad Yusdja)

129

Rangkuman diskusi:

1. Produktivitas tanaman perkebunan sangat erat kaitannya dengan musim. Kemarau panjang terjadi tahun 2006 akan memiliki dampak terhadap produksi tahun 2007, terutama bagi komoditas kelapa sawit dan kakao. Sedangkan komoditas karet tidak akan terlaluterpengaruh. Namun masalah PBK pada komoditas kakao masih merupakan kendala besar di tahun 2007. Kondisi ini diperparah lagi dengan serangan penyakit busuk buah kakao dan virus strip dieback (VSD).

2. Pertumbuhan produksi komoditas karet cukup baik dan sudah mendekati prediksi RoadmapKomoditas Perkebunan yang dibahas di Bali. Bagi komoditas karet perlu diperhatikan perubahan harga yang dapat mempengaruhi strategi pengelolaan kebun oleh petani. Dalam menghadapi gejolak harga, petani mempunyai beberapa pilihan: (a) mengkonversi kebun menjadi lahan nonkaret, (b) meningkatkan intensitas penyadapan untuk mempertahankan pendapatan, dan (c) meninggalkan kebun dan mencari pendapatan diluar kebun. Peningkatan harga karet yang terjadi diakibatkan oleh melonjaknya harga karet sintetis dan fenomena demand Cina. Pemerintah harus mampu membaca situasi ini agar dapat mengembangkan program yang tepat untuk mengatasi kondisi dan situasi tersebut.

3. Masalah mendasar dalam revitalisasi perkebunan adalah masalah penyediaan lahan tanam, terutama untuk karet dan kakao. Kelapa sawit sudah memiliki potensi penyediaan benih di atas 100 juta pohon per tahun.

4. Pengembangan biodiesel menunjukkan tren yang meningkat. Pihak swasta sudah banyak yang berminat (Bakrie, Astra dan PPDF). Dalam hal ini diperlukan perbaikan iklim investasi dan penyediaan insentif untuk menarik dan meningkatkan minat investor. Kelapa sawit dan jarak merupakan sumber biofuel potensial untuk dikembangkan. Namun demikian pengembangan jarak pagar belum terlalu menjanjikan karena masalah harga yang belum jelas. Informasi terakhir mengenai usaha pengembangan jarak pagar adalah penanaman 400 ha jarak pagar di Bekasi sebagai kebun induk yang dikelola PT Sinar Mas.

5. Puslitbang Perkebunan sudah menghasilkan benih unggul jarak pagar yang mampu menghasilkan 5 ton biji per hektare dengan kadar minyak 32%. Residu minyak jarak sebesar 68% dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan briket arang. Minyak kasar jarak pagar (crude oil) masih mengandung gliserin untuk bahan sabun. Harga minyak jarak sangat dipengaruhi oleh antara lain harga minyak diesel (solar) di pasar luar negeri, rendemen, dan nilai tukar rupiah terhadap US dolar. Dari sisi agronomi, jarak pagar dapat ditanam secara intercropping dengan jagung, terutama untuk kawasan timur Indonesia.

6. Potensi ternak sapi di Indonesia mengalami degradasi yang disebabkan antara lain oleh larangan perdagangan antarpulau bagi sapi yang beratnya dibawah 250 kg sehingga terjadi pengurasan sapi yang besar-besar. Hal ini mengakibatkan penurunan mutu dan populasi sapi di Indonesia. Peluang pengembangan ternak sapi di kawasan timur Indonesia sudah menurun, kecuali di NTB. Perkembangan peternakan sapi di NTB masih bertahan karena peternak sapi di NTB sudah memahami teknik-teknik pengembangan ternak seperti pemanfaatan sistem kalender dalam upaya reproduksi sapi. Masalah lain dalam pengembangan ternak sapi adalah kenaikan tingkat pemotongan tidak sebanding dengan laju perkembangan populasi. Upaya yang dilakukan lebih berorientasi pada impor ternak dari Australia.

7. Domba dan ayam menunjukkan peningkatan populasi yang lebih baik karena kedua jenis ternak ini relatif mudah memeliharanya. Namun restrukturisasi unggas (terutama ayam) sangat dipengaruhi oleh kejadian penyakit AI (Avian Influenza). Akan tetapi masalah AI sudah berkurang dan usahaternak unggas sudah mendekati kondisi normal lagi.

130

DAFTAR PESERTA

No. Nama Instansi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

M. Maulana

Chairul Muslim

Krishna P. Panolih

Maxdegul Sola

Budhi Lestari

Chairani Lubis

Andi Askin

Tri Jilis

Triyanti

Nizwar Syafa’at

Tahlim Sudaryanto

Tjetjep Nurasa

Achmat Sakera

Reni Kustiari

Agung Sunusi

Dewa Sadra

Prajogo U. Hadi

Waluyo

Achmad Suryana

Sri Wahyuni

Veronica

Handewi P. Saliem

Rita Nur Suhaeti

Budiman Hutabarat

Henny Mayrowani

Bambang Sayaka

Sirajuddin

M. Thoyib

Suhardi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Litbang KOMPAS

Dewan Jagung Nasional

BPTP Yogyakarta

Ditjen Perkebunan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Media Indonesia

Badan Karantina Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Sekditjen Hortikultura

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Kepala Badan Litbang Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Balai Penelitian Perikanan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Pusat Perlindungan Varietas Tanaman

Itjen Departemen Pertanian

131

No. Nama Instansi

30.

31.

32.

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

41.

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

51.

52.

53.

54.

55.

56.

57.

58.

59.

60.

Masduki

Dedi Soleh Effendi

L. Bistok

Amar K. Zakaria

Kedi Suradisastra

Khairina M. Noekman

Hendiarto

Noviana

Tania P. Dhani

Haswar Dany

Sukardi

Darsono

Joko T.

Haryono

Syahyuti

A. Rozany Nurmanaf

Herlina Tarigan

Julia F. Sinuraya

Herman S.

Mei Rochyat

Wisnu Broto

Yusmichad Yusdja

Yuli H.Bahar

Endah M.

Rusli

Marhendro

Ikin Sadikin

Murwati

M. Iqbal

Valeriana Darwis

Dianagustin

Itjen Departemen Pertanian

Puslitbang Perkebunan

Kadep II Ekonomi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Media Indonesia

Distanhut Bogor

Ditjen Hortikultura

Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia

Kantor Menko Perekonomian

BULOG

PDP-Badan Ketahanan Pangan

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi

Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Ditjen Hortikultura

Bappenas

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Sekretariat Badan Litbang Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

BPTP Yogyakarta

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Itjen Departemen Pertanian

132

No. Nama Instansi

61.

62.

63.

64.

65.

66.

67.

68.

69.

70.

71.

72.

73.

74.

75.

76.

77.

78.

79.

80.

81.

82.

83.

84.

85.

86.

87.

88.

89.

Puspaningrum

Elfa

Bandung R.

Jarot Indarto

Bambang Jaya

MT Felix Sitorus

Roosgandha Elizabeth

Ign. Maria H.

Humuntar L. Gaol

Maman Haeruman K.

Ening Ariningsih

Rusfian

I Wayan Rusastra

Marsetyo

Hermanto

Syaifuddin

Fran BM.

Agus L.N.

M. Rahmat

Pantjar Simatupang

Erizal Jamal

Supriandi

Ratna Sri W.

Wayan Sudana

J. Wargiono

Gede Wibawa

Delima H. Azahari

Moh. Syahril Zain

Ketut Kariyasa

Itjen Departemen Pertanian

KP-KIAT

PT. Sang Hyang Seri

Bappenas

Dit. Budidaya Serealia Tanaman Pangan

FEMA Institut Pertanian Bogor

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Kementerian Perekonomian

Dewan Beras

Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

DPN- Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Sekretaris Badan Ketahanan Pangan

P. HKTI

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Distanak Banten

Ditjen. Hortikultura

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Litbang Kompas

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Puslitbang Tanaman Pangan

Lembaga Riset dan Perkebunan Indonesia

Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Kerjasama Luar Negeri

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

133

No. Nama Instansi

90.

91.

92.

93.

94.

95.

96.

97.

98.

99.

100.

101.

102.

103.

104.

105.

106.

107.

108.

109.

110.

111.

112.

113.

114.

115.

116.

117.

118.

Yuni Marisa

Rosmijati Sajuti

Supadi

Budihardjo

Mulyanto

M. Saad

Sri Sayekti

Sri Hartoyo

Tri Batuti I.

A. Basit

Yasid Taufik

Tjeppy Sudjana

Sri Nuryanti

Ahmad

Amiruddin Syam

Mewa Ariani

Muslimin

M. Suryadi

M. Rahmat

Nur K. Agustin

Eti S.

Adreng Purwoto

Supriyati

Yana Supriyatna

Wahyuning K. Sejati

Kurni Suci I.

Edi Ahmad Saubari

Agus Abdul Syukur

Susi Susilowati

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian

Pusat Informasi dan Keamanan Hayati, Badan Karantina Pertanian

Pasdam PPHP

Badan Pusat Statistik

Institut Pertanian Bogor

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Biro Perencanaan Setjen Departemen Pertanian

Pusat Data dan Informasi Pertanian

Ditjen Peternakan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

BPTP Sulawesi Tenggara

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

EPN-Institut Pertanian Bogor

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

134

No. Nama Instansi

119.

120.

121.

122.

123.

124.

125.

126.

127.

128.

129.

130.

131.

132.

133.

134.

135.

136.

137.

138.

139.

140.

141.

142.

143.

144.

145.

146.

147.

148.

Eni Darwati

Mellyani

Iyus Rusmiyati

Djulaeha

Yani Mulyani

Juni Hestina

Ishak

Agus Subekti

Entin Kustini

Iskandar

Sudarsono

Maman Surachman

Saptana

Gatoet Sroe Hardono

Edi Basuno

Sutrisno

Sahat M. Pasaribu

Rudi S. Rivai

Budi Wiryono

Sunarsih

Supena Friyatno

Abdurachman

Sugeng

Sumaryanto

Sri Sunari

Ibnu Salman

Masdjidin Siregar

Tita Dvijati Permata

Adi Setiyanto

Kardjono

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

135

No. Nama Instansi

149.

150.

151.

152.

153.

154.

155.

Eddy S. Yusuf

Agus Suwito

Gelar Satya Budhi

Tri Pranadji

Wartiningsih

Dedeh Sulianti

Armen Zulham

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

JADWAL SEMINAR

Sesi/Jam Makalah Pembicara Moderator Pembahas Sekretaris Sidang

08.00 – 09.00 Registrasi Peserta

09.00 – 09.15 Laporan Ketua Panitia Dr. Nizwar Syafa’at

09.15 – 10.15 Pengarahan dan Pembukaan dilanjutkan dengan Keynote Speech oleh Kepala Badan Litbang Pertanian: Dukungan Litbang Pertanian Terhadap Kinerja Pembangunan Pertanian

Dr. Achmad Suryana

Dr. Tahlim Sudaryanto

10.15 – 10.30 Rehat

Sesi I

10.30 – 13.00 • Indikator Makro Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007

Prof. Dr. Pantjar Simatupang

• Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan Petani

Dr. I Wayan Rusastra

• Pengembangan Kelembagaan Petani: Kinerja Saat Ini dan Arah Kedepan

Prof. Dr. Kedi Suradisastra

Dr. Endah Murniningtyas

• Dr. Sri Hartoyo

• Tri Juli Sukaryana

• Dr. MT. Felix Sitorus

M. Maulana, SP

13.00 – 14.00 ISHOMA

Sesi II

14.00 – 15.20 • Kinerja Pembangunan Komoditas Pangan 2006 dan Prospek 2007

Dr. Dewa Sadra Swastika

• Kinerja Pembangunan Komoditas Hortikultura 2006 dan Prospek 2007

Dr. Bambang Irawan Dr. Delima Azhari

• Prof. Dr. Supiandi Sabihan

• Dr. Muchjidin Rachmat

Ir. Adang Agustisn, MP

Sesi III

15.20 – 16.40 • Kinerja Pembangunan Komoditas Perkebunan 2006 dan Prospek 2007

Prajogo Utomo Hadi, M.Ec

• Kinerja Pembangunan Komoditas Peternakan 2006 dan Prospek 2007

Dr. Yusmichad Yusdja

Dr. Iskandar Andi Nuhung

• Prof. Dr. Tjeppy Sudjana

• Dr. Didiek H. Gunadi

Ir. Ening Ariningsih, Msi

16.40 – 16.50 Pembacaan Rumusan Tim Perumus

16.50 – 17.00 Penutupan Kepala Pusat PSEKP