POTENSI USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT...

17
63 POTENSI USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI: ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN FARMING SYSTEM POTENTIAL ON DEGRADED PEATLAND: SOCIAL ECONOMIC AND ENVIRONMENTAL ANALYSES Mamat H.S. 1 , Neneng L. Nurida 2 , Irawan 2 , Sukarman 1 , Anny Mulyani 1 , Meli Fitriani 1 , Arsil Saleh 1 , Irsal Las 1 1 Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114. 2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114. Abstrak. Saat ini terdapat 3,7 juta ha lahan gambut yang belum dimanfaatkan dan dikategorikan sebagai lahan terdegradasi. Sebagian besar dari lahan tersebut sesuai untuk penggunaan pertanian, tetapi harus dikelola secara lestari dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Teknologi ramah lingkungan yang layak secara sosial ekonomi perlu dikembangkan sehingga lahan gambut tersebut tetap bermanfaat untuk generasi mendatang. Analisis sosial ekonomi dan lingkungan dilakukan untuk menilai kelayakan dan keberlanjutan dari aplikasi model usahatani seperti yang dirakit oleh program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di lahan gambut terdegradasi. Metode penelitian melalui survei terstruktur terhadap petani responden di Kalteng, Riau, Jambi, dan Kalbar, yang bertujuan untuk mendapatkan data usahatani dan indeks keberlanjutan model demplot ICCTF. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa dalam satu tahun pengamatan (2013), pendapatan bersih yang diperoleh dari usahatani karet dan kelapa sawit ditambah tanaman sela nenas dan pemberian amelioransekitar Rp. 9,4 juta/ha/th hingga minus Rp 500 ribu/ha/th. Biaya variabel yang diperlukan untuk menurunkan emisi 1 t CO 2 /ha/th sangat bervariasi antara Rp 338.891Rp 6.234.809. Nilai opportunity cost semua model pengelolaan berkisar antara 12 sampai 332 $US/t CO 2 yang berarti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1 ton CO 2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar US$ 12-332. Nilai tertinggi opportunity cost diperoleh dari pola usahatani karet+nenas yang diberi Pugam di Kalimantan Tengah. Indeks keberlanjutan model usahatani di Kalteng, Jambi, dan Kalbar tergolong cukup yaitu masing-masing 66,69; 60,41; dan 57,40, sedangkan model usahatani di Riau tergolong kurang berkelanjutan dengan nilai indeks 45,61. Berdasarkan analisis kepekaan (leverage analysis) diketahui bahwa faktor yang sensitif terhadap keberlanjutan model usahatani adalah intensitas penyuluhan, cara membuka lahan/mengolah tanah, potensi penerapan teknologi kelestarian lingkungan, persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial), kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi profit, tingkat keuntungan usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air 4

Transcript of POTENSI USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT...

63

POTENSI USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI: ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN

FARMING SYSTEM POTENTIAL ON DEGRADED PEATLAND: SOCIAL ECONOMIC AND ENVIRONMENTAL ANALYSES

Mamat H.S.1, Neneng L. Nurida2, Irawan2, Sukarman1, Anny Mulyani1, Meli Fitriani1, Arsil Saleh1, Irsal Las1

1 Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.

2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.

Abstrak. Saat ini terdapat 3,7 juta ha lahan gambut yang belum

dimanfaatkan dan dikategorikan sebagai lahan terdegradasi. Sebagian besar

dari lahan tersebut sesuai untuk penggunaan pertanian, tetapi harus dikelola

secara lestari dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Teknologi

ramah lingkungan yang layak secara sosial ekonomi perlu dikembangkan

sehingga lahan gambut tersebut tetap bermanfaat untuk generasi

mendatang. Analisis sosial ekonomi dan lingkungan dilakukan untuk

menilai kelayakan dan keberlanjutan dari aplikasi model usahatani seperti

yang dirakit oleh program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)

di lahan gambut terdegradasi. Metode penelitian melalui survei terstruktur

terhadap petani responden di Kalteng, Riau, Jambi, dan Kalbar, yang

bertujuan untuk mendapatkan data usahatani dan indeks keberlanjutan

model demplot ICCTF. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa dalam

satu tahun pengamatan (2013), pendapatan bersih yang diperoleh dari

usahatani karet dan kelapa sawit ditambah tanaman sela nenas dan

pemberian amelioransekitar Rp. 9,4 juta/ha/th hingga minus Rp 500

ribu/ha/th. Biaya variabel yang diperlukan untuk menurunkan emisi 1 t

CO2/ha/th sangat bervariasi antara Rp 338.891–Rp 6.234.809. Nilai

opportunity cost semua model pengelolaan berkisar antara 12 sampai 332

$US/t CO2 yang berarti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1 ton

CO2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan

sebesar US$ 12-332. Nilai tertinggi opportunity cost diperoleh dari pola

usahatani karet+nenas yang diberi Pugam di Kalimantan Tengah. Indeks

keberlanjutan model usahatani di Kalteng, Jambi, dan Kalbar tergolong

cukup yaitu masing-masing 66,69; 60,41; dan 57,40, sedangkan model

usahatani di Riau tergolong kurang berkelanjutan dengan nilai indeks

45,61. Berdasarkan analisis kepekaan (leverage analysis) diketahui bahwa

faktor yang sensitif terhadap keberlanjutan model usahatani adalah

intensitas penyuluhan, cara membuka lahan/mengolah tanah, potensi

penerapan teknologi kelestarian lingkungan, persepsi masyarakat terhadap

pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial),

kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi

profit, tingkat keuntungan usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air

4

Mamat H.S. et al.

64

di lahan petani, dan perubahan tingkat dekomposisi gambut (dimensi

lingkungan/ekologi).

Kata kunci: Gambut, indeks berkelanjutan, opportunity cost, faktor sensitif

Abstract. Currently there is about 3.7 million ha of abandoned peatland

and is categorized as degraded land. Most of the lands are suitable for

agricultural uses. However, they must be managed in a sustainable manner

by taking into account the environmental aspect. It is required to develop

environmentally friendly technologies that are socio-economically feasible

so that the peatlands remain useful for the next generations. Socio-

economic and environmental analyses were conducted to assess the feasible

and sustainable application of degraded peatland farming models such as

those developed by the Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)

programme. Research, through a structured survey on respondent farmers

in Central Kalimantan, Riau, Jambi, and West Kalimantan, was to obtain

data on farm activities and assess their sustainability indices. The analysis

indicated that in one year observation (2013), net income from farming of

rubber and oil palm, intercropped with pineapple and with ameliorants

application, ranged from around Rp9.4 million/ha/yr to minus Rp 500

thousand/ha/yr. Variable costs required to reduce emissions of 1 ton

CO2/ha/yr varied between Rp 338,891 to Rp6,234,809. The opportunity

costs of all management models ranged from US$ 12 to 332 per ton CO2

meaning that the forgone benefits for reduction of every 1 ton CO2 ranged

from US$ 12 to 332. The highest value of opportunity cost was obtained

from rubber intercropped with pineapple with ‘peat fertilizer’ application

in Central Kalimantan. Sustainability indices of farming models in Central

Kalimantan, Jambi, and West Kalimantan locations were ‘satisfactory’

with the values of 66.69, 60.41, and 57.40, respectively, while the farm

model in Riau location was unsatisfactory with the value of 45.61. Based on

the sensitivity analysis (leverage analysis), the sensitive factors to the

sustainability of the farm model were social dimension (i.e. extension

intensity, method of land clearing and tillage, the potential for

implementation of environmental management technologies, public

perception on peat management, togetherness of farmers’ groups),

economic dimension (i.e. price stability at harvest time, profit-oriented

farms, the level of farm profit), and environment/ecology dimension (i.e.

fluctuations of water discharge on farmers' fields, and changes in peat

decomposition rate).

Key words: Peatland, sustainability index, opportunity cost, sensitive factor

PENDAHULUAN

Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian dikhawatirkan akan menimbulkan

dampak negatif, antara lain : mengganggu potensi karbon yang sangat tinggi tersimpan

dalam gambut, kemampuan gambut dalam menimbun karbon (carbon sink),

Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

65

keanekaragaman hayati gambut, serta adanya kekhawatiran bahwa perubahan penggunaan

lahan gambut tersebut akan mengemisikan gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar.

Kondisi aktual di lapangan saat ini memperlihatkan bahwa deforestasi sudah cukup luas

terjadi dan selanjutnya dibuka untuk kegiatan pertanian. Sekitar 56 % (8,3 juta ha dari

14,9 juta ha) luas lahan gambut Indonesia masih tertutup oleh hutan alami dan primer, dan

15% (2,2 juta ha) lahan gambut sudah dimanfaatkan untuk pertanian, yakni untuk kelapa

sawit (1,5 juta ha) dan pertanian tanaman pangan dan hortikultura (0,7 juta ha). Lahan

gambut lainnya (seluas 3,7 juta ha atau 25 %) saat ini berupa lahan gambut terdegradasi

yang ditumbuhi semak belukar, dan 0,6 juta ha berupa lahan bekas tambang (Wahyunto et

al., 2014). Sebagian dari 3,7 juta ha lahan gambut terdegradasi masih terregistrasi sebagai

areal hutan walaupun saat ini hanya ditumbuhi semak belukar. Daripada dibiarkan

terlantar, pada umumnya lahan tersebut secara biofisik dapat digunakan untuk lahan

pertanian, yang dapat memberikan manfaat lebih baik. Namun demikian, pemanfaatan

lahan gambut terdegradasi untuk penggunaan pertanian harus memperhatikan kaidah-

kaidah kelestarian lingkungan mengingat lahan gambut bersifat sangat fragile (mudah

rusak). Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi pemanfaatan lahan gambut untuk

usaha pertanian di tingkat global.

Usahatani berkelanjutan di lahan gambut merupakan salah satu model pertanian

yang berbasis kelestarian lingkungan. Usahatani akan berkelanjutan jika (dalam jangka

panjang bahkan sampai generasi yang akan datang) menguntungkan (aspek ekonomi),

kondisi gambut lestari atau kualitasnya tidak menurun (aspek lingkungan), dan model

yang dikembangkan dapat diterima atau diadopsi oleh berbagai pihak (aspek sosial).

Keraf (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan lahan akan berkelanjutan jika dalam

implementasinya mengintegrasikan dan memberikan bobot yang sama pada aspek

ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Dengan mempertimbangan hal-hal tersebut di atas, maka sejak tahun 2010

BBSDLP telah mengaplikasikan model usahatani berkelanjutan pada lahan gambut

terdegradasi di 4 lokasi, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, dan Jambi.

Penelitian ini bertujuan: (1) melakukan analisis usahatani terhadap efisiensi aplikasi

ameliorasi dan opportunity cost, (2)mengetahui indeks dan faktor sensitif yang

mempengaruhi keberlanjutan model usahatani ICCTF, dan (3) menyusun implikasi

kebijakan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lokasi demplot ICCTF di Desa Jabireun, Kab. Pulangpisau,

Kalimantan Tengah; Desa Rasau Jaya 2, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat; Desa Lubuk

Mamat H.S. et al.

66

Ogong, Kab. Pelalawan, Riau; dan Desa Arang-arang, Kab. Muara Jambi, Jambi pada

tahun 2012-2014. Data primer (mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan)

dikumpulkan melalui survei terstruktur yang dipandu dengan kuisioner. Data sosial

ekonomi dikumpulkan pada bulan Mei - Juni tahun 2013 (awal kegiatan ICCTF tahap 2)

dan pada bulan Mei – Juni 2014 (akhir kegiatan). Khusus data dimensi lingkungan,

sebagian besar diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran para peneliti bidang

terkait.

Jumlah responden sebanyak 30 orang petani yang terdiri atas petani kooperator dan

non-kooperator di masing-masing lokasi demplot ICCTF. Petani kooperator adalah petani

pemilik lahan yang dijadikan demplot ICCTF dan petani non-kooperator adalah petani di

sekitar lokasi demplot ICCTF yang berinteraksi/berkomunikasi dengan petani kooperator

atau petani yang berlokasi satu dusun/desa dengan lokasi demplot ICCTF.

Kerangka Analisis

Analisis usahatani mengkaji pendapatan usahatani jangka pendek, efisiensi biaya

aplikasi teknologi jangka pendek, dan nilai opportunity cost. Pendapatan bersih jangka

pendek dianalisis dengan cara menghitung input dan output selama periode 2013. Pada

analisis ini diasumsikan bahwa tipe penggunaan lahan awal berupa pola kebiasaan petani,

yakni tidak mengembangkan tanaman sela di antara tanaman pokok dan tidak

menggunakan bahan amelioran. Efisiensi biaya aplikasi teknologi dianalisis dengan cara

menghitung biaya variabel (unit cost) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di

lokasi demplot pada periode 2013, yakni membandingkan biaya variable (setelah

dikurangi pendapatan bersih) dengan penurunan tingkat emisi CO2 setiap perlakuan pada

sebelum dan sesudah atau secara matematis dirumuskan sebagai berikut:

TVC – NB

Unit cost per satuan emisi = -------------

E1 – E2

dimana :

TVC = total variabel cost (Rp)

NB =net benefit (Rp)

E1 = tingkat emisi CO2 sebelum perlakuan (t CO2/ha/th)

E2 = tingkat emisi CO2 setelah perlakuan (t CO2/ha/th)

Opportunity cost (Herman et al., 2011) adalah suatu pendekatan untuk menilai

tingkat emisi yang terjadi akibat perubahan penggunaan lahan atau inovasi teknologi

Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

67

dibandingkan dengan pendapatan bersih jangka panjang (NPV), atau secara matematis

sebagai berikut:

n

t 0ti)(1

CtBtNPV

dimana:

NPV = Net Present Value(US $/t CO2/ha/th),

Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t (US$/ha/th)

Ct = biaya pada tahun t (US$/ha/th)

i = tingkat diskonto atau bunga bank yang berlaku (%),

n = umur ekonomis proyek tanaman (th)

Analisis keberlanjutan dilakukan dengan pendekatan multi dimentional scaling

(MDS) terhadap model usahatani demplot ICCTF. Data MDS diolah dengan software

rapfish (Fisheries Communication, 1999) untuk mendapatkan dua indikator penting, yaitu

nilai indeks keberlanjutan (Ikb) dan leverage analysis. Nilai Ikb (skala nilai 0–100) dibagi

menjadi 4 kelompok nilai : 0–25 = buruk, >25–50 = kurang, >50–75 = cukup, dan >75–

100 = baik. Leverage analysis menunjukkan atribut atau parameter yang sensitif dapat

mempengaruhi tingkat keberlanjutan atau adopsi model usahatani ICCTF.

Nilai indeks keberlanjutan (Ikb) merupakan fungsi dari dimensi ekonomi (DE),

dimensi sosial (DS), dan dimensi lingkungan (DL), dan secara sederhana dapat

diformulasi menjadi :

Ikb = f(DE, DS, DL)

Dimensi ekonomi berisi 11 atribut usahatani yang terdiri atas : 1. potensi tenaga

kerja, 2. kecukupan tenaga keluarga, 3. penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan, 4.

minat berusahatani, 5. tujuan berusahatani, 6. keuntungan, 7. kestabilan harga hasil

produksi petani, 8. kemudahan pemasaran, 9. ketersediaan material lokal sebagai input,

10. kontribusi terhadap pendapatan petani total, dan 11. produktivitas lahan/keuntungan

finansial (R/C ratio). Dimensi sosial berisi 12 atribut usahatani yang terdiri atas : 1. status

lahan usaha, 2. pengetahuan dan pengalaman masyarakat tentang perubahan iklim dan

lahan gambut, 3. persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut, 4. intensitas dan

efektivitas penyuluhan, 5. eksistensi kelompok tani, 6. kebersamaan kelompok tani, 7.

langkah petani yang berindikasi melestarikan gambut, 8. cara membuka lahan, 9.

potensial menerapkan teknologi melestarikan lahan gambut, 10. kearifan lokal terkait

dengan pertanian berkelanjutan, 11 kebijakan pemerintah dalam pengelolaan gambut, dan

Mamat H.S. et al.

68

12. keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan usahatani. Dimensi lingkungan

berisi 11 atribut pada awal dan akhir observasi yang terdiri atas : 1. perkembangan tingkat

emisi GRK di lahan observasi, 2. tingkat subsiden lahan observasi, 3. cadangan karbon

lahan observasi, 4. elevasi muka air tanah, 5. fluktuasi debit air di lahan observasi, 6. pH

tanah lahan observasi, 7. pH air di lahan observasi, 8. perubahan tingkat dekomposisi, 9.

keberadaan tanaman cover crop di areal pertanaman, 10. kejadian kebakaran, dan 11.

dominasi vegetasi di lahan demplot. Data ini sebagian besar dikumpulkan dari hasil

kegiatan penelitian sebelum dan sesudah perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Usahatani

Model usahatani yang diaplikasikan di empat lokasi demplot adalah pengembangan

tanaman sela nenas di antara tanaman karet (Kalimantan Tengah), tanaman nenas di antara

tanaman kelapa sawit (Riau dan Jambi), dan usahatani tanaman semusim (Kalimantan

Barat) yang disertai aplikasi beberapa amelioran pada masing-masing lokasi. Amelioran

yang diaplikasikan adalah : pupuk gambut (Pugam), pupuk kandang (Pukan), tandan buah

kosong (Tankos) sawit, tanah mineral, dan dolomit.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa pendapatan bersih usahatani kelapa sawit di Jambi

masih relatif rendah dan bahkan ada yang negatif/rugi (amelioran tankos) karena tanaman

kelapa sawit baru mulai berproduksi. Model usahatani di Kalimantan Tengah, Riau, dan

Kalimantan Barat memberikan pendapatan bersih relatif cukup besar, dan penggunaan

pugam pada lahan gambut di lokasi ICCTF Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat

memberikan pendapatan bersih usahatani yang cukup tinggi (> Rp 5 juta/ha). Fakta

tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pugam pada lahan gambut bersifat spesifik

lokasi dan berkaitan dengan kondisi gambut dan jenis komoditas yang dikembangkan.

Penggunaan pukan sangat menguntungkan, terutama di lokasi ICCTF Riau (Rp 9,489

juta/ha) dan Kalimantan Tengah (Rp 5,756 juta/ha), namun penelitian di lokasi ICCTF

Jambi dan Kalimantan Barat menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penggunaan

dolomit sebagai amelioran pada lahan gambut di Kalimantan Barat memberikan hasil

yang beragam atau masih belum stabil yang terlihat dari nilai simpangan baku (standard

deviation - SD). Penggunaan amelioran lainnya (seperti tankos) masih belum

memberikan hasil yang memuaskan di mana pendapatan bersih usahataninya masih

kurang dari Rp 1 juta/ha.

Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

69

Tabel 1. Pendapatan usahatani jangka pendek (Rp/ha) pada demplot ICCTF, tahun 2013

Perlakuan Kalimantan Tengah Riau Jambi Kalimantan Barat

Rataan SD Rataan SD Rataan SD Rataan SD

------------------------------------------------- Rp / ha ---------------------------------------------

Pugam 6.332.252 619.865 3.418.429 884.140 677.572 123.617 5.210.797 1.937.486

Pukan 5.756.321 1.018.808 9.489.593 898.226 509.990 375.171 755.855 3.056.087

Tanah

mineral 308.201 401.648 - - - - - -

Tankos - - 513.414 507.302 (500.499) 209.341 - -

Dolomit - - - - - - 4.190.700 3.827.722

Kontrol

tanpa

dolomite

- - - - - - 5.280.730 2.091.886

Kontrol

cara petani - - - - - - 3.487.269 3.491.110

Kontrol 6.834.853 619.865 7.297.795 880.976 (1.720.27) 296.437 - -

SD = simpangan baku (standard deviation)

Efisiensi Aplikasi Teknologi Jangka Pendek

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya yang diperlukan untuk menurunkan 1 ton

emisi CO2 bervariasi berkisar antara Rp. 338.891 sampai Rp. 6.234.809. Berdasarkan

data tersebut maka model yang paling efisien adalah pola usahatani kelapa sawit di Riau

dengan tanaman sela nenas dan aplikasi ameliorasi pupuk kandang. Sedangkan aplikasi

amelioran di Jambi ternyata tidak dapat menurunkan emisi CO2.

Tabel 2. Biaya variable yang diperlukan untuk menurunkan 1 ton CO2

Lokasi

Biaya yang diperlukan untuk menurunkan emisi pada setiap perlakuan

Pugam Pukan Tankos Tanah

mineral Kontrol Dolomit

Cara

petani

---------------------------------------------- Rp / ton CO2 ----------------------------------------------

Kalteng 761.102 843.005 - 624.502 195.296 - -

Riau 1.215.274 338.891 1.583.481 - Emisi naik

(32,04- 33,31)

- -

Jambi Emisi naik

6,15-12,22 @)

Emisi naik

6,15-19,35 @)

Emisi naik

6,1517,83 @) - Emisi naik

6,15– 6,06 @)

Kalbar 3.486.141 6.234.809 1.444.898 2.823.599 2.797.761

Keterangan : @) adalah emisi sebelum perlakuan dan setelah perlakuan di lokasi Jambi.

Mamat H.S. et al.

70

Opportunity Cost

Opportunity cost adalah kerugian atau kehilangan kesempatan mendapatkan

keuntungan ekonomi dari suatu lahan akibat petani terhambat oleh suatu ketentuan atau

peraturan. Opportunity cost didekati dengan perhitungan nilai bersih terkini (net present

value, NPV) atau dapat pula disajikan dalam kehilangan mendapatkan keuntungan per

penurunan emisi CO2-e. Hasil analisis opportunity cost untuk semua pola usahatani lokasi

demplot ICCTF yaitu berkisar antara 12 sampai 332 US$/ton CO2 (Tabel 3). Nilai

opportunity cost tersebut mengandung arti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1

ton CO2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar US$ 12-

332. Semakin tinggi nilai opportunity cost maka semakin besar kehilangan kesempatan

pendapatan dari lahan gambut bila emisi diturunkan 1 tCO2. Nilai opportunity cost

tertinggi diperoleh pada aplikasi Pugam pada usahatani karet+nenas di Kalimantan

Tengah (yaitu sebesar US$ 332 /ton CO2), sedangkan nilai terrendah diperoleh dari Jambi

pada usahatani kelapa sawit tanpa amelioran. Di Kalimantan Barat, usahatani tanaman

jagung memberikan nilai opportunity cost yang masih relatif tinggi, yaitu nilai 218 untuk

kontrol cara petani, 175 untuk ameliorasi pupuk gambut, dan 159 untuk pemberian

dolomit.

Tabel 3. Nilai Opportunity Cost pada demplot ICCTF di 4 provinsi

Lokasi Perlakuan Net present value a)

Emisi b) Nilai Opportunity cost

Rp 000/ha/th US$/ha/th t CO2/ha/th US$/t CO2

Kalteng

Pugam 69.452 6.314 19,0 332

Pukan 67.333 6.121 22,0 278

Tnh mineral 17.266 1.570 19,0 83

Kontrol 58.165 5.288 20,0 264

Riau

Pugam 50.069 4.552 31,0 147

Pukan 25.855 2.350 25,0 94

Tankos 18.092 1.645 17,0 97

Kontrol 22.166 2.015 28,0 72

Jambi

Pugam 9.837 894 19,0 47

Pukan 22.106 2.010 17,0 118

Tankos 8.885 808 12,0 67

Kontrol 2.193 199 16,0 12

Kalbar

Pugam 5.211 474 2,7 175

Pukan 756 69 2,4 29

Dolomit 4.191 381 2,4 159

Kontrol 5.281 480 2,2 218

Cara petani 3.487 317 2,2 144

Sumber :a)diolah dari data primer; b)Setyanto et al. (2014)

Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

71

Faktor Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan

Dimensi Sosial

Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di Kalimantan Tengah menunjukkan

bahwa intensitas penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengelolaan gambut

merupakan faktor yang sangat sensitif mempengaruhi keberlanjutan model usahatani

demplot, yang ditunjukkan oleh skala > 5 pada Tabel 4. Selain itu cara pembukaan

lahan/pengolahan tanah dan langkah petani yang potensial melestarikan usahatani lahan

gambut tergolong atribut yang cukup sensitif (skala > 3). Sedangkan untuk Riau, hasil

leverage analysis menunjukkan bahwa cara membuka lahan atau mengolah tanah dan

potensi menerapkan teknologi untuk melestarikan lingkungan merupakan faktor yang

sangat sensitif (skala >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani demplot.

Membuka lahan atau mengolah tanah dengan cara tidak membakar menjadi faktor penting

dalam menjaga kelestarian lahan gambut terdegradasi, terutama terkait dengan tingkat

emisi gas rumah kaca dan hilangnya biodiversitas akibat membakar lahan. Demikian juga

respon petani untuk mengadopsi teknologi yang diaplikasikan di demplot usahatani

ICCTF berpotensi terhadap keberlanjutan usahatani. Selain itu ada beberapa atribut yang

tergolong cukup sensitif (skala >3) mempengaruhi tingkat keberlanjutan model usahatani,

yakni kebersamaan kelompok tani, eksistensi kelompok tani, langkah petani yang

mengindikasikan melestarikan lahan gambut (kearifan lokal), persepsi masyarakat

terhadap pengelolaan lahan gambut, dan penyuluhan tentang pengelolaan lahan gambut

berkelanjutan.

Tabel 4. Hasil analisis sensitivitas dimensi sosial di 4 lokasi demplot ICCTF

No. Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar

1 Keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan usahatani

2,20 1,67 0,51 0,98

2 Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan gambut 2,64 1,80 1,68 0,62

3 Kearifan lokal terkait dengan pertanian berkelanjutan 2,89 2,54 1,84 0,42

4 Potensial menerapkan teknologi melestarikan gambut 1,37 5,67 0,38 0,23

5 Cara membuka lahan/mengolah tanah 3,11 6,49 0,70 2,33

6 Langkah petani yang berindikasi melestarikan

usahatani lahan gambut 3,12 4,04 0,74 0,17

7 Kebersamaan kelompok tani 2,28 4,42 2,44 0,05

8 Eksistensi kelompok tani 2,69 4,22 0,65 2,30

9 Intensitas dan efektifitas penyuluhan kepada masyarakat tentang pengelolaan gambut

5,11 3,50 1,63 0,21

10 Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut 2,24 3,51 2,72 1,85

11 Pengetahuan dan pengalaman petani tentang

perubahan iklim 2,48 1,73 0,91 0,39

12 Status lahan usahatani 2,52 1,22 1,24 1,14

Mamat H.S. et al.

72

Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di lokasi Jambi menunjukkan bahwa

tidak ada atribut atau faktor yang mempunyai nilai sensitifitas >5 dalam mempengaruhi

keberlanjutan model usahatani demplot, tetapi ada dua atribut yang paling sensitif (skala

nilai >2) yaitu persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lahan dan kebersamaan

kelompok tani. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden ternyata persepsi

masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut sangat menentukan tingkat keberlanjutan

usahatani di lahan gambut terdegradasi. Persepsi dimaksud adalah pemahaman

masyarakat bahwa lahan gambut adalah satu-satunya andalan untuk bertani dan jika lahan

tersebut tidak dikelola dengan mengutamakan kelestarian lingkungan maka lahan tersebut

akan rusak dan tidak bisa menopang kehidupan untuk jangka panjang. Demikian juga

kebersamaan petani dalam kelompok tani menjadi penting dalam keberlanjutan usahatani,

mengingat lahan petani berada dalam satu hamparan atau satu kawasan sehingga

kebersamaan kelompok untuk menangani dan mengelola lahan gambut dapat lebih efektif

dan efisien. Kebersamaan petani dalam kelompok tani tersebut terutama terkait dengan

pemasaran hasil dan penyediaan input untuk usahatani, seperti pupuk yang didatangkan

dan dibeli bersama-sama dari luar wilayah akan lebih efisien daripada membeli pupuk

secara sendiri-sendiri.

Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di lokasi Kalimantan Barat

menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor dimensi sosial yang bernilai > 5, namun

ada dua atribut yang paling dominan (dengan skala nilai >2) mempengaruhi keberlanjutan

model usahatani demplot, yaitu cara mengolah tanah tanpa bakar dan keberadaan

kelompok tani.

Dimensi Ekonomi

Hasil leverage analysis di lokasi Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa

kestabilan harga hasil produksi petani pada saat panen dan usahatani yang berorientasi

profit merupakan dua atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan usahatani (Tabel

5). Pengamatan di lapangan menunjukkan harga jual produk petani sangat fluktuatif dan

cenderung merugikan petani karena nilai tukarnya yang rendah terutama pada saat panen.

Selain itu, petani yang berorientasi profit (bukan subsisten) pada umumnya berpikir

bagaimana agar usahatani yang dilakukannya dapat menopang kehidupan keluarganya

untuk jauh ke depan dan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat ini.

Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

73

Tabel 5. Hasil analisis sensitivitas dimensi ekonomi di 4 lokasi demplot ICCTF

No. Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar

1 Produktivitas lahan/keuntungan finansial (RC ratio) usahatani

1,52 1,36 3,01 3,22

2 Kontribusi petani terhadap pendapatan total petani

2,32 1,24 1,51 2,38

3 Ketersediaan material lokal sebagai input usahatani

3,58 3,27 2,43 1,19

4 Kemudahan pemasaran hasil produksi usahatani 4,05 4,17 2,59 0,87

5 Kestabilan harga hasil produksi petani pada saat

periode panen 7,37 1,39 8,58 0,79

6 Keuntungan dari usahatani 2,73 5,85 4,63 2,71

7 Orientasi/tujuan berusahatani 6,43 4,04 2,74

8 Minat untuk berusahatani 4,22 1,56 2,75

9 Penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan 3,67 3,55 2,31 2,84

10 Kecukupan tenaga kerja keluarga untuk usahatani

2,46 2,19

11 Potensi tenaga kerja keluarga dalam usahatani 1,09 1,12 1,53 2,81

Untuk lokasi Riau, hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) menunjukkan

bahwa faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan model

usahatani yaitu tingkat keuntungan usahatani. Tingkat keuntungan usahatani menjadi

faktor yang memotivasi petani untuk berkonsentarsi atau tidak dalam usahatani. Jika

tingkat keuntungan usahatani tinggi, maka petani cenderung lebih berkonsentrasi

memelihara lahan usahataninya secara intensif mengingat bertani adalah andalan

kehidupan untuk masa depan. Selain itu, terdapat beberapa atribut lain yang cukup sensitif

(skala nilai >3) mempengaruhi tingkat keberlanjutan model usahatani, yakni kemudahan

pemasaran hasil usahatani, orientasi berusahatani, penguasaan lahan dan intensitas

pengelolaan, dan ketersediaan material lokal sebagai input usahatani.

Hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di lokasi Jambi menunjukkan bahwa

kestabilan harga pada saat panen merupakan faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5)

mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Hasil wawancara dengan responden menjelaskan

bahwa kestabilan harga dan nilai tukar yang tinggi menjadi faktor penting yang

memotivasi petani untuk mengelola lahan gambut dengan intensif. Selama ini petani

bekerja juga pada perusahaan sawit yang menjadi perusahaan inti. Namun demikian,

harga hasil usahatani yang stabil dan nilai tukar petani yang tinggi akan dapat mendorong

petani agar lebih berkonsentrasi mengelola lahan usahataninya dibanding menjadi buruh

pada perusahaan inti.

Hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di Kalimantan Barat menunjukkan

bahwa tidak ada atribut atau faktor dimensi ekonomi yang berskala > 5, namun

ketersediaan alat mekanisasi untuk pertanian (skala nilai 4,31) merupakan faktor yang

paling peka di antara 11 atribut. Atribut tersebut sangat penting dalam dimensi ekonomi,

Mamat H.S. et al.

74

khususnya terkait dengan aspek intensitas pengelolaan lahan usahatani pada kondisi

tenaga kerja yang sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dicari penanggulangan masalah

tenaga kerja yang terbatas tersebut melalui mekanisasi pertanian yang adaptif pada

kondisi gambut.

Dimensi Lingkungan

Berdasarkan hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di Kalimantan Tengah,

Riau, dan Kalimantan Barat terlihat bahwa fluktuasi debit air di lahan petani dan

perubahan tingkat dekomposisi sebagai dua atribut atau faktor yang sangat sensitif (skala

nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani (Tabel 6). Kedua faktor tersebut

sangat mempengaruhi kelestarian lingkungan, khsususnya terkait dengan emisi gas rumah

kaca. Selain itu, di Kalteng dan Riau masih terdapat beberapa atribut lain yang tergolong

cukup sensitif (skala nilai >3) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani, yakni

cadangan karbon, keberadaan tanaman penutup tanah, dan elevasi muka air tanah.

Hasil analisis di lokasi Jambi menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor

yang sangat peka (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Akan tetapi

perubahan tingkat dekomposisi merupakan faktor yang paling sensitif (skala nilai > 4) di

antara 11 atribut yang dianalisis.

Tabel 6. Hasil analisis sensitivitas dimensi lingkungan di 4 lokasi demplot ICCTF

No Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar

1 Dominansi vegetasi 1,07 1,07 0,06 1,53

2 Kejadian kebakaran 2,74 2,74 1,36 2,24

3 Keberadaan cover crop di areal pertanaman

4,08 4,08 2,92 4,01

4 Perubahan tingkat dekomposisi 6,27 6,27 4,18 5,19

5 pH air lahan observasi pada awal dan

akhir pengamatan 0,04 0,04 0,69 0,64

6 pH tanah lahan observasi pada awal

dan akhir pengamatan 0,80 0,8 1,05 1,19

7 Fluktuasi debit air lahan observasi

pada awal dan akhir pengamatan 6,71 6,71 1,19 5,25

8 Elevasi muka air tanah pada awal dan

akhir pengamatan 3,75 3,75 1,10 1,31

9 Cadangan karbon lahan observasi

pada awal dan akhir pengamatan 4,22 4,22 0,84 3,7

10 Tingkat subsiden lahan observasi pada

awal dan akhir pengamatan 0,49 0,49 0,53 1,04

11 Perkembangan tingkat emisi GRK demplot E1-E2 pada sebelum dan

sesudah pengamatan

0,16 0,16 0,17 1,36

Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

75

Potensi Keberlanjutan

Analisis potensi keberlanjutan merupakan analisis tentang peluang apakah suatu

model usahatani yang dikembangkan akan berkelanjutan atau akan diadopsi oleh petani

sekitarnya, seberapa besar tingkat keberlanjutan dari model tersebut. Tingkat

keberlanjutan dimaksud dapat dijadikan indikator, apakah model usahatani yang

dikembangkan di lokasi demplot akan diadopsi oleh petani sekitarnya. Nilai indeks

keberlanjutan tersebut merupakan integrasi dari skala nilai dimensi sosial, ekonomi, dan

dimensi lingkungan/ekologi.

Hasil analisis multidimensi (menggunakan software rapfhis), yang terdiri atas

dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan sebanyak 34 atribut atribut atau

parameternya, menghasilkan nilai indeks keberlanjutan 66,69 atau dalam skala nilai

(rapfhis) tergolong cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut

merupakan kontribusi dari tiga dimensi, yaitu dimensi sosial (72,65), dimensi ekonomi

(68,11), dan dimensi ekologi (57,25). Berdasarkan hasil analisis di atas, model usahatani

yang dikembangkan di lokasi Kalimantan Tengah berpeluang untuk diadopsi oleh petani

sekitar, dengan memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, dan aspek sosial (Tabel 7).

Tabel 7. Indeks Keberlanjutan Usahatani Setiap Dimensi

Lokasi Indeks Keberlanjutan Usahatani

Multi Dimensi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Lingkungan

Kalimantan Tengah 68,11 72,65 57,25 66,69

Riau 65,74 27,81 57,25 45,65

Jambi 80,36 54,27 53,71 60,41

Kalimantan Barat 72,17 53,49 54,94 57,40

Analisis multidimensi terhadap usahatani di lokasi Riau menghasilkan nilai indeks

keberlanjutan 45,61 atau tergolong kurang berkelanjutan. Kontribusi dimensi sosial,

dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi terhadap nilai keberlanjutan multidimensi masing-

masing sebesar 27,81; 65,74; dan 57,25. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

keberlanjutan atau peluang petani sekitar untuk mengadopsi model usahatani yang

dikembangkan di lokasi Pelalawan Riau tergolong kurang, terutama kontribusi dimensi

sosial yang relatif paling rendah (yakni 27,81).

Hasil analisis multidimensi terhadap usahatani di lokasi Jambi menunjukkan bahwa

nilai indeks keberlanjutan sebesar 60,41 atau tergolong cukup berkelanjutan. Nilai

keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi dari dimensi sosial, dimensi

ekonomi, dan dimensi ekologi masing-masing sebesar 54,27; 80,36; dan 53,71. Dimensi

ekonomi memberikan kontribusi tertinggi (yakni sebesar 80,36) terhadap indeks

keberlanjutan model usahatani di Muaro Jambi.

Mamat H.S. et al.

76

Analisis multidimensi terhadap model usahatani yang dikembangkan di

Kalimantan Barat menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 57,40 atau tergolong

cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi

dari dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi masing-masing sebesar 53,49;

72,17; dan 54,94.

Implikasi Kebijakan

Luas lahan gambut di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua) sekitar

14,9 juta ha, di mana sekitar 8,3 juta ha masih berupa hutan primer dan hutan alami.

Sisanya seluas 6,6 juta ha merupakan lahan yang sudah dibuka dan terdiri atas 1,5 juta ha

sudah dimanfaatkan untuk perkebunan, 0,7 juta ha untuk pertanian tanaman pangan dan

hortikultura, 3,7 juta ha merupakan lahan gambut terdegradasi yang ditumbuhi semak

belukar, serta 0,6 juta ha lahan bekas tambang. Dengan kondisi lahan gambut seperti

tersebut di atas, perlu dibuat kebijakan untuk masing-masing penggunaan lahan. Lahan

gambut yang masih berupa hutan primer perlu dipertahankan sebagai hutan dimanapun

keberadaannya, baik di kawasan hutan maupun di kawasan non hutan (areal penggunaan

lain). Sebaliknya, lahan yang sudah terdegradasi berupa semak belukar dan secara biofisik

sesuai untuk pengembangan pertanian, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan

pertanian di masa yang akan datang, dengan pengelolaan lahan yang berkelanjutan (Las,

2014). Terkait dengan hal tersebut, tim peneliti telah melakukan penelitian sosial ekonomi

dan lingkungan untuk melihat keberlanjutan dari kegiatan model usahatani ICCTF dalam

pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, dan Kalimantan

Barat. Pendekatan multi dimentional scaling (MDS) digunakan untuk memperoleh

informasi tentang nilai keberlanjutan usahatani seperti disajikan pada Tabel 7, sedangkan

faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan usahatani di lahan gambut

disajikan pada Tabel 8.

Hasil analisis menunjukkan bahwa urutan tingkat keberlanjutan usahatani dari

paling tinggi sampai terrendah adalah di lokasi Provinsi Kalimantan Tengah, diikuti oleh

Provinsi Jambi, Kalimantan Barat, dan Riau dengan nilai keberlanjutan berturut-turut

66,69; 60,41; 57,40; dan 45,65. Tingkat keberlanjutan model usahatani di Provinsi

Kalimantan Tengah dipengaruhi oleh dimensi sosial dan ekonomi di mana faktor yang

paling sensitif mempengaruhinya adalah intensitas penyuluhan dan stabilitas harga.

Artinya tingkat penyuluhan yang intensif serta adanya stabilitas harga untuk komoditas

yang diusahakan menjadi titik ungkit dalam keberlanjutan model usahatani dalam

pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah. Sebaliknya Provinsi Riau dan

Kalbar mempunyai nilai keberlanjutan paling rendah yang dipengaruhi oleh dimensi

sosial, terutama kebiasaan petani membakar hutan dalam pembukaan lahan. Artinya,

Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

77

masyarakat di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat sudah terbiasa membakar hutan untuk

pengembangan lahannya, padahal dari aspek lingkungan pembakaran hutan ini tidak

dikehendaki. Oleh karena itu, penyuluhan secara intensif sangat diperlukan untuk

mengubah kebiasaan petani dalam membuka lahan tanpa membakar hutan gambut.

Namun disadari, sampai saat ini belum ada cara membuka lahan yang paling praktis selain

dengan cara membakar, apalagi kedua provinsi tersebut mempunyai keterbatasan tenaga

kerja. Oleh karena itu, ke depan diperlukan inovasi teknologi dan alat mekanisasi

pertanian yang cocok untuk pembukaan lahan gambut, sehingga pembakaran hutan

gambut dapat dihindari.

Tabel 8. Faktor Sensitif yang Mempengaruhi Tingkat Keberlanjutan

Lokasi Faktor yang paling sensitif mempengaruhi kelanjutan

Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Lingkungan

Kalimantan Tengah Stabilitas harga + Penyuluhan + Fluktuasi debit air +

Riau Keuntungan usahatani + Kebiasaan membakar

hutan - Fluktuasi debit air +

Jambi Stabilitas harga +

Persepsi terhadap

pengelolaan lahan gambut +

Perubahan tingkat dekomposisi

Kalimantan Barat Ketersediaan alat

mekanisasi +

Kebiasaan membakar hutan & keberadaan

kelompok tani

Penggunaan Pugam pada lahan gambut, khususnya di lokasi ICCTF Kalimantan

Tengah dan Kalimantan Barat, memberikan pendapatan bersih usahatani dalam jangka

pendek dan nilai opportunity cost yang cukup tinggi, sedangkan di Riau dalam jangka

pendek nilai tertinggi diperoleh dari pemberian amelioran pupuk kandang dan opportunity

cost amelioran pugam, walaupun nilai tersebut jauh di bawah Kalimantan Tengah dan

Kalimantan Barat. Fakta di atas menunjukkan bahwa penggunaan Pugam pada lahan

gambut bersifat spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi tanah gambut dan jenis komoditas

yang dikembangkan.

Penggunaan pupuk kandang sebagai amelioran pada lahan gambut sangat

menguntungkan, terutama di lokasi ICCTF Riau dan Kalimantan Tengah. Sebaliknya

penggunaan pupuk kandang di lokasi ICCTF Jambi dan Kalimantan Barat tampak tidak

konsisten dengan nilai simpangan baku yang tinggi dan rata-rata pendapatan bersih

usahatani yang relatif rendah. Penggunaan dolomit sebagai amelioran pada lahan gambut

di Kalimantan Barat masih belum konsisten atau beragam dimana nilai standar deviasi

pendapatan bersih usahataninya mencapai 90% lebih tinggi daripada nilai rata-rata.

Penggunaan amelioran lainnya, seperti kompos tankos masih belum memberikan hasil

yang memuaskan di mana pendapatan bersih usahataninya kurang dari Rp 1 juta/ha.

Mamat H.S. et al.

78

Jika penggunaan amelioran dan pupuk kandang dalam jangka panjang dapat

menghasilkan nilai opportunity cost yang tinggi berarti amelioran tersebut memberikan

nilai pendapatan yang baik dibandingkan dengan emisi CO2 yang terjadi. Untuk itu

teknologi ini perlu dikembangkan pada tingkat lokal agar dapat memperoleh bahan

tersebut dengan mudah dan murah. Untuk kebutuhan pupuk kandang disarankan

pengembangan peternakan ayam dan pelatihan pembuatan pupuk kandang. Untuk pupuk

gambut disarankan lisensor teknologi pupuk gambut tersebut mengembangkan pabrik

pembuatannya di sentra-sentra gambut.

KESIMPULAN

Analisis usahatani terkait aplikasi amelioran menunjukkan bahwa pupuk kandang

dan pupuk gambut merupakan amelioran dengan nilai pendapatan bersih tertinggi.Dalam

upaya menurunkan emisi ternyata semua aplikasi amelioran di Jambi tidak bisa

menurunkan emisi, bahkan emsisi CO2 menjadi naik.Sedangkan perlakuan amelioran di

Riau menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang yang paling efisien menurunkan

emisi.Disamping itu aplikasi amelioran di Riau relatif baik dalam menurunkan emisi.Hasil

analisis opportunity cost untuk semua model pengelolaan berkisar antara 12-332$US/t

CO2. Nilai tertinggi (332) yaitu pola usahatani tanaman karet dengan tanaman sela di

Kalimantan Tengah pada perlakuan pupuk gambut, artinya setiap kenaikan emisi 1 ton

CO2 akan menghasilkan pendapatan sebesar 332$US, dan seterusnya diikuti oleh

perlakuan pupuk kandang. Demikian juga di lokasi lain menunjukkan hasil yang beragam

berdasarkan pola usahatani maupun aplikasi ameliorasi. Khusus untuk lokasi Kalimantan

Barat dengan mengusahakan tanaman musiman yaitu jagung menunjukkan bahwa

perubahan tingkat emisi sebelum dan sesudah perlakuan relatif kecil, yaitu dari sekitar

3,94 ton CO2/ha/th menjadi 2,18 – 2,71 ton CO2/ha/th. Dengan emisi yang relatif rendah

tersebut, maka menghasilkan nilai opportunity cost yang relatif tinggi, yaitu masing-

masing 218, 175, dan 159 untuk kontrol cara petani, ameliorasi pupuk gambut, dan

dolomit.

Potensi usahatani berkelanjutan di lahan gambut terdegradasi yang didasarkan pada

nilai indeks keberlanjutan MDS di lokasi demplot menunjukkan bahwa lokasi Kalteng

cukup berkelanjutan (nilai indeks 66,69) dengan kontribusi 72,65; 68,11; dan 57,25

masing-masing untuk dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan/ekologi. Lokasi Riau

kurang berkelanjutan (nilai indeks 45,61) dengan kontribusi 27,81;65,74; dan 57,25

masing-masing untuk dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Lokasi Jambi cukup

berkelanjutan (nilai indeks 60,41) dengan kontribusi 54,27;80,36; dan 53,71 masing-

masing untuk dimensi social, ekonomi, dan lingkungan/ekologi. Lokasi Kalbar cukup

Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

79

berkelanjutan (nilai indeks 57,40) dengan kontribusi 53,49;72,17; dan 54,94 masing-

masing untuk dimensi social, ekonomi, dan lingkungan.

Di lokasi demplot Kalteng, terdapat beberapa faktor yang sensitif mempengaruhi

indeks keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi, yaitu intensitas penyuluhan

(dimensi sosial), kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi

profit (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air di lahan petani, perubahan tingkat

dekomposisi (dimensi lingkungan/ekologi). Lokasi Riau : cara membuka lahan/mengolah

tanah, potensi menerapkan teknologi pelestarian (dimensi sosial), tingkat keuntungan

usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air, perubahan tingkat dekomposisi (dimensi

lingkungan/ekologi).Sedangkan untuk lokasi Jambi adalah persepsi masyarakat terhadap

pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial), kestabilan harga jual

hasil petani pada saat panen (ekonomi).Agar model demplot yang diaplikasikan di lokasi

ICCTF diadopsi oleh petani sekitar lokasi demplot, maka atribut atau faktor yang sensitif

mempengaruhi keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi harus direspon

dengan upaya-upaya yang diperlukan.

Terdapat beberapa opsi untuk memanfaatkan lahan gambut terdegradasi, dengan

mempertimbangkan manfaat ekonomi, dampak lingkungan khususnya emisi GRK,

pengaruh terhadap keanekaragaman hayati, manfaat sosial, pengaruh terhadap terjadinya

kebakaran, biaya investasi yang diperlukan serta jangka waktu yang diperlukan untuk

setiap opsi tersebut. Salah satu opsi tersebutadalah mengembangkan lahan gambut

terdegradasi menjadi lahan pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Herman, F. Agus, I G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, dan I. Las.2011. Analisis Keragaan

Usahatani dan Opportunity Cost Emisi CO2 Pertanian Lahan Gambut Kabupaten

Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Las, I. 2014. Rekomendasi Kebijakan Umum Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi.

Laporan Kerjasama Balitbangtan – ICCTF (Unpublished).

Setyanto, P., A. Wihardjaka, T. Soepiawati, T.A. Adriyani, A. Pramono, A. Hervani, dan

S. Wahyuni. 2014. Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut dan

Pemberian Amelioran. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian.

Wahyunto dan K. Nugroho. 2014. Gambaran Umum Lahan Gambut di Indonesia.

Makalah Kebijakan ICCTF. BBSDLP, Bogor (Unpublished).