PERPANJANGAN IJIN - lembahdempo.ac.id · 114 analisa perlindungan konsomen ditinjau dari aspek...
Transcript of PERPANJANGAN IJIN - lembahdempo.ac.id · 114 analisa perlindungan konsomen ditinjau dari aspek...
114
ANALISA PERLINDUNGAN KONSOMEN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM
PERDATA (HUKUM DAGANG), ASPEK PRODUK LIABILITI DAN PERJANJIAN
BAKU YANG DILARANG
Mastriati Hini Hermala Dewi.,S.E.,M.H
ABSTRACT
Agreement is set on the third book of the Civil Code of the engagement. Agreement
described in article 1313 of the Civil Code which states that the treaty is an act by which one
or more persons bind themselves to one or more other people. Related to consumer
protection, the rights and obligations as well as the different responsibilities of each party in
the agreement as well as aspects of the product usually liabiliti dibuabaik of aspects of civil
(commercial law) t in the form of standard contract made businesses. This has led to an
agreement that imposed directly to consumers and reduce the liability of the company. And
how the legal protection of the consumer as a result of lost or damaged goods in the
agreement between businesses and consumers. The research method in this study is
descriptive by using empirical juridical approach. Sources of data obtained by gathering
data sekunder.sedangkan secondary data obtained through primary legal materials, legal
materials and secondary legal materials tertiary.
Keywords: agreement, consumers, civil law, product, liabiliti and standard clauses.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perlindungan konsumen
merupakan bagian yang tidak
terpisakan dari kegiatan usaha/ bisnis
yang sehat. Kegiatan bisnis yang sehat
apabila adanya keseimbangan
perlindungan hukum antara konsumen
dengan produsen, apabila tidak ada
keseimbangan antara produsen dan
konsumen berdapak dengan posisi
konsumen yang lemah sehingga
kemungkinan kerugian yang akan
diderita konsumen itu berawal dari
hubungan hukum yang disepakati oleh
produsen dan konsumendan
kadangkalah dapat juga disebabkan
oleh perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh produsen.
Perjanjian yang dilakukan
antara para pihak tidak selamanya
berjalan mulus dan baik, adakalahnya
para pihak satu sama lain tidak puas
karena tidak sesuai dengan apa yang
mereka perjanjikan, baik yang terjadi
karena kesengajaan maupun karena
kelalaian (wan prestasi), kerugian
dapat juga terjadi karena perbuatan
melanggar hukum yang dapat berupa
kerusakan barang, musnanya barang
atau barang yang diterima cacat.
Hukum perlindungan
konsumen menurut undang-undang
nomor: 8 tahun 1999 adalah setiap
pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia baik untuk kepentingan
sendiri, keluarga, orang lain, dan tidak
untuk dan tidak untuk
diperdagangkan, meningat pengertian
115
itu sehingga saat ini perlindungan
konsumen mendapat perhatian khusus
karena berhubungan dengan aturan-
aturan guna mensejahtrakan
masyarakat namun demikian tidak
hanya konsumen produsenpun punya
hak yang sama untuk mendapatkan
perlindungan dari pemerintah.
Pemerintah berperan penting dalam
menentukan perlindungan bagi
masyarakat, misalnya dengan
mengatur, mengawasi dan mengontrol
kegiatan yang dilakukan oleh
produsen dan konsumen.
Mengutif pendapat Cristyan
Saputra
http://blogingria.blogspot.com/2012/1
2/ makalah- hukum- perlindungan-
konsumen .html diakses tanggal 10
desember 2012. Di indonesia, gerakan
perlindungan konsumen bergema dari
gerakan serupa di Amerika serikat.
Ylki yang popoler dipandang sebagai
perintis advokasi konsumen di
indonesia berdiri pada kurun waktu
itu, yakni 11 mei 1973. Gerakan di
indonesia ini termasuk sangat
resiponsive terhadap keadaan, bahkan
lewat dewan ekonomi dan sosial PPB
(ECOSOC) No.2111 tahun 1978
tentang perlindungan konsumen. Dari
latar belakang diatas penulisana ini
berjudul “Analisa Perlindungan
Konsomen Ditinjau Dari Aspek
Hukum Perdata (Hukum Dagang) dan
Aspek Produk Liabiliti”
1.2.Permasalahan
1) Bagaimana perlindungan
konsumen ditinjau dari aspek
perdata (hukum dagang)?
2) Bagaimana perlindungan
konsumen ditinjau dari aspek
Produk Liabiliti?
3) Klausula apa saja yang dilarang
dalam perjanjian baku?
1.3. Tujuan penelitian
1) Untuk menjelaskan dan
menganalisa perlindungan
konsumen ditinjau dari aspek
perdata (hukum dagang).
2) Untuk menjelaskan dan
menganalisa perlindungan hukum
ditinjau dari aspek Produk Liabiliti.
3) Untuk menjelaskan klausula yang
dillarang dalam perjanjian baku.
1.4. Metode penelitian
Penelitian ini mengunakan
metode analisis kualitatif, yaitu
“dengan cara memaparkan,
menguraikan , menjelaskan, data
secara bermutu dalam bentuk kalimat
yang teratur, runtun dan tidak
tumpang tindih serta efektif sehingga
mempermudah pemahaman dan
interprestasi data. Analisis kualitatif
ini yang digunakan untuk
menganalisis fenomena di lapangan
perlindungan konsumen ditinjau dari
aspek perdata (hukum dagang) dan
aspek produk liabiliti.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Landasan teori
Yang menjadi landasan teori
dalam penulisan ini adalah undang-
undang nomor: 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen.
2.2.Pengertian.
Perlindungan konsumen adalah
perangkat hukum yang diciptakan
untuk me;lindungi kepentingan dan
hak-hak konsumen. Undang-undang
perlindungan konsumen Republik
Indonesia nomor: 8 tahun 1999
menjelaskan bahwa hak konsumen
diantaranya adalah hak kenyamanan,
keamanan, keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa,
hak untuk mendapatkan ganti rugi,
hak untuk mendapatkan pembinaan
dan pendidikan konsumen.
Istilah dan defenisi product
liability di kalangan para pakar dan
sejumlah peraturan diartikan secara
berbeda-beda. Product liability sering
diistilahkan dengan tanggung gugat
produk, tanggung jawab produk, atau
tanggung jawab produsen. Mengenai
116
pengertiannya, para pakar
memberikan penekanan dan lingkup
yang bervariasi sebagaimana dapat
dilihat dalam berbagai definisi di
bawah ini.
NE Algra & HR HWR Gokkel
memberikan definisi product
liability sebagai berikut: tanggung
jawab pemilik pabrik untuk barang-
barang yang dihasilkannya, misalnya
yang berhubungan dengan kesehatan
pembeli, pemakai (konsumen) atau
keamanan produk.
Agnes m Toar mengartikannya
sebagai tanggung jawab produsen
untuk produk yang dibawanya ke
dalam peradaran, yang menimbulkan
kerugian karena cacat yang melekat
pada produk tersebut. Agnes
menafsirkan produk sebagai barang,
baik yang bergerak maupun tidak
bergerak.
Endang Saefullah memperluas
cakupan dari yang disebut dengan
pengertiannya sebagai berikut:
“product liability adalah tanggung
jawab secara hukum dari orang atau
badan yang menghasilkan suatu
produk (producer, manufacture) atau
dari orang atau badan yang
menghasilkan suatu produk atau dari
orang atau badan yang menjual atau
mendistribusikan produk tersebut.”
Teori perlindungan hukum
hukum menurut Philipus M.Hadjon ,
dalam (Muhamad Djapar Saidi:
2007:14) “ bahwa perlindungan
hukum bagi rakyat dapat dibedakan
atas dua macam yaitu:
1. Perlindungan hukun
refresif, bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa
2. Perlindungan hukum
preventif, pada
perlindungan hukum
preventif ini rakyat
diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan
(inspraak) atau pendapat
sebelu keputusan
pemerintah mendapat
bentuk yang difenitif,
perlindungan hukum ini
bertujuan untuk mencegah
terjadi sengketa
2.3.Asas dan tujuan
2.3.1. Asas Perlindungan Konsumen
Seperti dikutif elsi kartika sari
(2007:120) Perlindungan
konsumen diselengarakan
sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 asas yang
relevan dengan pembangunan
nasional
a. Asas manfaat; segala upaya
dalam penyelengaraan
perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan
para pelaku secara
keseluruhan.
b. Asas keadilan, memberi
kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan
kewajiban secara adil.
c. Asas keseimbangan;
memberi keseimbangan
antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha
dan pemerintah dalam arti
materiil maupun spritual.
d. Asas keamanan dan
keselamatan konsumen;
untuk memberi jaminan
atas keselamatan konsumen
dalam pengunaan,
pemakaian, dan
pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum;
baek pelaku maupun
konsumen mentaati hukum
dan memperoleh keadilan
danlam penyelengaraan
perlindungan konsumen
117
serta negara menjamin
kepastian hukum.
2.3.2. Tujuan perlindungan konsumen
Seperti dikutif Elsi Kartika Sari
(2007:120), adapun tujuan
perlindungan konsumen adalah:
a. Meningkatkan kesadaran,
kemampuan, kemandirian
konsumen untuk
melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan
cara menghindari dari ekses
negatif pemakai barang
dan/atau jasa;
c. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen
dalam memilih,
menentukan, dan menuntuk
hak-haknya sebagai
konsumen.
d. Menetapkan unsur
perlindungan konsumen
mengandung unsur
kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapat
informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran
pelaku usahamengenai
pentingnya perlindungan
konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur
dan bertanggungjawab.
f. Meningkatkan kualitas
barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan
usaha produki barang
dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan,
keselamatan konsumen.
2.4. Hak dan Kewajiban
2.4.1. Hak konsumen
Seperti dikutif Elsi
Kartika Sari (2007:120), hak-
hak konsumen antara lain:
sesuai dengan pasal 5 undang-
undnag perlindungan
konsumen, hak-hak konsumen
meliputi:
a. Hak atas kenyaman,
keamanan, keselamatan,
dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang
dan.atau jasa serta
mendapatkan barang
dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang
benar, jelas dan jujur
mengenai kondisiserta
jaminan barang dan/jasa
d. Hak untuk didengar
pendapat dan keluhan atas
barang/dan atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan
konsumen dan upaya
penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen
secara patut.
f. Hak untuk mendapat
pembinaan dan pendidikan
konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara jujur,
dan tidak diskriminatif. Hak
untuk diperlakukan secara
jujur, tidak diskriminasi
berdasarkan suku, agama,
budaya, daerah, pendidikan,
kaya,miskin,dan status
sosialnya lain lainya.
h. Hak untuk mendapatkan
kompensasi
2.4.2 Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan pasal 5
Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, kewajiban
konsumen anata lain adalah:
a. Membaca atau mengikuti
petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau
118
pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
b. Beritikat baik melakukan
transaksi pembelian barang
dan /atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan
nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya
penyelesaian hukum
sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
3. PEMBAHASAN
3.1.Perlindungan Konsumen Ditinjau
Dari Aspek Keperdataan( Hukum
Dagang)
Hukum perdata adalah hukum
yang mengatur hubungan hukum
antara orang dengan orang lain ,
hukum perdata dalam arti luas
meliputi hukum harta kekayaan
termasuk hukum dagang serta kaidah-
kaidah yang ada di berbagai peraturan
perundangan lainnya, baik hukum
perdata tertulis maupun hukum perdata
tidak tertulis (hukum adat). Kaidah –
kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masala hukum antara
pelaku usaha penyedia barang dan/atau
jasa dengan konsumenmasing-masing
diatur dalam:
1) KUH Perdata, termuat dalam buku
kedua,ketiga dan keempat.
2) KUHD, buku kesatu dan buku
kedua
3) Berbagai peraturan perundang-
undangan lain yang berisi kaidah-
kaidah hukum bersifat perdata
tentang subyek-subyek hukum,
hubungan hukum dan masalah
penyedia barang dan/atau
jasatertentu dan konsumen.
Mengutif pendapat Cristyan
Saputra Beberapa hal yang dinilai
penting dalam hubungan konsumen
dan penyedia barang dan/atau
penyelenggara jasa (pelaku usaha)
antara lain sebagai berikut:
1. Hal-Hal yang Berkaitan dengan
Informasi
Bagi konsumen, informasi tentang
barang dan/atau jasa merupakan
kebutuhan pokok, sebelum ia
menggunakan sumber dananya
(gaji, upah, honor atau apa pun
nama lainnya) untuk mengadakan
transaksi konsumen dimaksudkan
diadakannya hubungan hukum
(jual beli, beli-sewa, sewa-
menyewa, pinjam-meminjam, dan
sebagainya) tentang produk
konsumen dengan pelaku usaha
itu.
Informasi dari kalangan
pemerintah dapat diserap dari
berbagai penjelasan, siaran,
keterangan, penyusun peraturan
perundang-undangan secara
umum atau dalam rangka
deregulasi, dan/atau tindakan
pemerintah pada umumnya atau
tentang suatu produk konsumen.
Dari sudut penyusunan peraturan
perundang-undangan terlihat
informasi itu termuat sebagai
suatu keharusan. Beberapa
diantranya, ditetapkan harus
dibuat, baik secara dicantumkan
pada maupun dimuat di dalam
wadah atau pembungkusnya
(antara lain label dari produk
makanan dalam kemasan).
Sedang untuk produk hasil
industri lainnya, informasi tentang
produk itu terdapat dalam bentuk
standar yang ditetapkan oleh
pemerintah, standar internasional,
atau standar lain yang ditetapkan
oleh pihak yang berwenang.
2. Beberapa Bentuk Informasi
Di antara berbagai
informasi tentang barang atau jasa
konsumen yang diperlukan
konsumen, tampaknya yang
paling berpengaruh pada saat ini
adalah informasi yang bersumber
dari kalangan pelaku usaha.
119
Terutama dalam bentuk informasi
pengusaha lainnya.
Iklan adalah bentuk
informasi yang umumnya bersifat
sukarela, sekalipun pada akhir-
akhir ini termasuk juga yang diatur
di dalam Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen (pasal 9,
10, 12, 13, 17, dan pasal 20).
a. Tentang Iklan
KUHPerdata (Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata) dan/atau KUHD
(Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang), keduanya
diumumkan pada tanggal 30
April 1847 dalam Staasblad
No. 23 dengan segala
tambahan dan/atau
perubahannya, tidak
memberikan pengertian
dan/atau memuat kaidah-
kaidah tentang periklan.
Menurut ketentuan dari
UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Pasal
9 ayat (1) berbunyi:
Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan,
meng-iklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak
benar dan/atau seolah-olah…
dan seterusnya.
Sayangnya dalam
undang-undang ini tidak
dicantumkan apa yang
dimaksud dengan ikaln. Yang
terdapat dalam perundang-
undangan ini hanyalah
berbagai larangan dan suruhan
berkaitan dengan periklanan
saja. Departemen Kesehatan
menetapkan sebagai “iklan
adalah usaha dengan cara apa
pun untuk meningkatkan
penjualan, baik secara
langsung maupun tidak
langsung”.(Jhon Lenon dalam
Cristyan Saputra
http://blogingria.blogspot.com/
2012/12/ makalah- hukum-
perlindungan-konsumen .html
diakses tanggal 10 desember
2012
Adapun sistem
penyiaran nasional pasal 1
butir (5) merumuskan siaran
iklan adalah siaran informasi
yang bersifat komersial dan
layanan masyarakat tentang
tersedianya jasa, barang, dan
gagasan yang dapat
dimanfaatkan oleh khalayak
dengan atau tanpa imbalan
kepada lembaga penyiaran
yang bersangkutan. Pasal 1
butir (6) menyatakan siaran
iklan niaga adalah siaran iklan
komersial yang disiarkan
melalui penyiaran radio atau
televisi dengan tujuan
memperkenalkan,
memasyarakatkan, dan/atau
mempromosikan barang atau
jasa kepada khalayak sasaran
untuk memengaruhi konsumen
agar menggunakan produk
yang ditawarkan .
b. Tentang Label
Informasi produk
konsumen yang bersifat wajib
ini, ditetapkan dalam berbagai
peraturan perundang-
undangan. Pengaturan tentang
informasi yang disebut dengan
berbagai istilah seperti
penandaan, label, atau etiket.
Mengenai Pasal 30 ayat (2) e
dalam penjelasan Undang-
Undang Pangan Jhon Lenon
dalam Cristyan Saputra
http://blogingria.blogspot.com/
2012/12/ makalah- hukum-
perlindungan-konsumen .html
diakses tanggal 10 desember
2012 disebutkan bahwa
keterangan halal untuk suatu
produk pangan sangat penting
bagi masyarakat Indonesia
120
yang mayoritas memeluk
agama islam. Ketentuan
tersebut terdapat dalam
berbagai peraturan perundang-
undangan. Namun
pencantumannya pada label
pangan baru merupakan
kewajiban apabila setiap orang
yang memproduksi pangan
dan/atau memasukkan pengan
ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan
menyatakan bahwa pangan
yang bersangkutan adalah halal
bagi umat islam.
Konsumsi daging bagi
konsumen di Indonesia yang
mayoritas beragama Islam,
walaupun secara ilmiah daging
tersebut sehat dikonsumsi,
namun konsumen yang
beragama Islam masih
memebutuhkan persyaratan
lain yang dapat menentramkan
hatinya. Hal ini harus
diperhatikan, karena salah satu
keharusan bagi importer
dan/atau pengedar daging yang
berasal dari luar negeri adalah
mencegah timbul dan
menjalarnya penyekit hewan
yang dapat ditularkan melalui
daging yang diimpor dan/atau
diedarkannya, serta ikut
bertanggung jawab atas
keamanan dan ketentram batin
konsumen. Untuk menjaga
ketentraman batin konsumen
tersebut, maka pemasukan
daging untuk konsumsi umum
atau diperdagangkan harus
berasal dari ternak yang
pemotongannya dilakukan
menurut syariat islam dan
dinyatakan dalam sertifikat
halal.
Salah satu contoh
pemberian informasi untuk
kepentingan konsumen yang
beragama Islam adalah adanya
ketentuan bahwa:
1) Pada wadah atau bungkus
makanan yang diproduksi
di dalam negeri maupun
yang berasal dari impor
yang yang mengandung
bahan yang berasal dari
babi harus dicantumkan
tanda peringatan
2) Tanda peringatan tersebut
yang dimaksud ayat (1)
harus berupa gambar babi
dan tulisan yang berbunyi:
“Mengandung Babi” dan
harus ditulis dengan huruf
besar berwarna merah
dengan ukuran sekurang-
kurangnya univers
medium corp 12.
Keterangan yang harus
dimuat pada label/etiket tersebut
ditetapkan (Pasal 7 ayat (1) dan (2)
terdiri atas:
- Nama makanan dan/atau merk
dagang,
- Komposisi, kecuali makanan
yang cukup diketahui
komposisinya secara umum,
- Isi netto,
- Nama dan alamat perusahaan
yang memproduksi atau
mengedarkan,
- Nomor pendaftaran,
- Kode produksi,
- Untuk jenis makanan tertentu
yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan, harus dicantumkan
tanggal kadaluarsa, nilai gizi,
petunjuk penggunaan dan cara
penyimpanannnya.
Masa daluwarsa suatu produk
(tanggal, bulan dan tahun)
dicantumkan pada label
makanan dimaksudkan agar
konsumen mendapat informasi
yang jelas mengenai produk
yang dibelinya atau
dikonsumsinya. Akan tetapi
tanggal yang biasanya
121
tercantum pada label produk
tersebut tidak hanya masa
daluwarsa, namun tanggal-
tanggal lain. Beberapa jenis
tanggal pada label adalah:
a. Diproduksi atau dikemas
tanggal (manufacturing or
packing date),
b. Dijual paling lama tanggal
(sell by date),
c. Digunakan paling lama
tanggal (use by date),
d. Sebaiknya digunakan
sebelum tanggal (date of
minimum durability) atau
(best before).
Berkaitan dengan
pencantuman tanggal daluwarsa
pada label suatu produk, perlu
mendapat perhatian agar tidak
terjadi salah pengertian, karena
tanggal daluwarsa tersebut bukan
merupakan batas mutlak suatu
produk dapat digunakan atau
dikonsumsi, karena tanggal
daluwarsa tersebut hanya
merupakan perkiraan produsen
berdasarkan studi atau
pengamatannya, sehingga barang
yang sudah dilewati masa
daluwarsa pun masih dapat
dikonsumsi sepanjang dalam
kenyataanya produk tersebut masih
aman untuk dikonsumsi,
sebaliknya, suatu produk dapat
menjadi rusak atau berbahaya
untuk dikonsumsi sebelum tanggal
daluwarsa yang tercantum pada
label tersebut.
Perbuatan mengedarkan
makanan tanpa label sebagaimana
dimaksudkan dalam peraturan
Menteri Kesehatan tersebut
dinyatakan dilarang dan dapat
diancam dengan sanksi-sanksi
sebgaimana termuat dalam KUHP
dan/atau tindakan administrative
berupa penarikan nomor daftar
produk itu dan/atau tindakan lain
berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku. Perbuatan
mengedarkan makanan tanpa label
dinyatakan sebagai tindak pidana
pelanggaran dengan ancaman
pidana kurungan maksimum satu
tahun dan/atau denda maksimum
Rp. 15.000.000,00 (Pasal 84 jo.
Pasal 85).
c. Hal-Hal yang Berkaitan dengan
Perikatan
Sistem hukum perdata
mengenal asas kebebasan berkontrak,
sebagaimana dianut di dalam
KUHPerdata. Asas ini disebut
dengan freedom of
contract atau laissez faire, yang di
dalam Pasal 1338 KUHPerdata
dinyatakan, semua perjanjian yang
dibuat secara sah, berlaku halnya
sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat, sama kekuatannya
dengan undang-undang, bagi mereka
yang melakukan perjanjian. Dalam
KUHPerdata Buku ke-III, tentang
Perikatan, termuat ketentuan-
ketentuan tentang subjek-subjek
hukum dari perikatan, syarat-syarat
perikatan, tentang resiko-resiko jenis
perikatan tertentu, syarat-syarat
pembatalannya, dan berbagai bentuk
perikatan yang dapat diadakan (Pasal
1233). Perjanjian berlaku bagi pihak
yang melakukan perjanjian itu,
mempunyai konsekuensi bahwa hanya
kepada pihak yang ikut melakukan
perjanjian itulah berlaku perjanjian
itu.
Dengan demikian, pihak ketiga
atau pihak luar tidak dapat menuntut
suatu hak berdasarkan perjanjian yang
dilakukan pihak-pihak yang
melakukan perjanjian tersebut.
Berlakunya perjanjian hanya kepada
pihak-pihak yang melakukan suatu
perjanjian disebut dengan privities of
contract. Dapat diartikan kira-kira
bahwa perjanjian tersebut hanya
merupakan kepentingan ptivat atau
122
ptibadi dari pihak-pihak pembuat
perjanjian itu saja. Perikatan yang
terjadi karena undang-undang, baik
karena undang-undang
maupun sebagai akibat perbuatan
seseorang.
Namun kendati asas kebebasan
berkontrak dijamin di dalam hukum
perdata, suatu perjanjian dapat
dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu,
sebagaimana dapat dilihat di dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. Mengutif
pendapat Jhon Lenon dalam Cristyan
Saputra
http://blogingria.blogspot.com/2012/1
2/ makalah- hukum- perlindungan-
konsumen .html diakses tanggal 10
desember 2012
Dikatakan pasal ini bahwa
sahnya suatu perjanjian, apabila
didasarkan kepada:
1. Kesepakatan dari mereka yang
mengikat diri (agreement),
2. Kecakapan dari pihak-pihak
(capacity),
3. Mengenai hal tertentu (certainty
of terms),
4. Suatu sebab yang halal
(consideration).
Dalam perikatan yang timbul
karena perjanjian, tidak dipenuhi atau
dilanggarnya butir-butir perjanjian itu,
setelah dipenuhinya syarat tertentu, dapat
mengakibatkan terjadinya cedera janji
(wanprestatie). Perbuatan cedera janji ini
memberikan hak pada pihak yang
dicederai janji untuk menggugat ganti rugi
berupa biaya, kerugian, dan bunga (Pasal
1236 dalam hal perjanjian memberikan
sesuatu, Pasal 1239, dan Pasal 1242 dalam
hal perjanjian berbuat atau tidak berbuat
sesuatu, Pasal 1234, 1244, 1246) dan
seterusnya. Kerugian-kerugian itu selain
dari biaya-biaya yang sungguh-sungguh
telah dikeluarkan, kerugian yang telah
dialami, juga termasuk keuntungan
(winstderving) yang diharapkan yang tidak
diterima karena perbuatan ingkar janji
tertentu.
Apabila seseorang dirugikan
karena perbuatan seseorang lain, sedang
diantara mereka itu terdapat sesuatu
perjanjian (hubungan hukum perjanjian),
maka berdasarkan undang-undang dapat
juga timbul atau terjadi hubungan hukum
antara prang tersebut dan orang yang
menimbulkan kerugian itu. Pasal 1365
KUHPerdata berbunyi:
“setiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian itu.”
Kesepakatan yang dibuat secara semu atau
tidak murni harus dianggap batal secara
yuridis. Pasal 1321 KUHPerdata
menentukan persetujuan, yang bersifat
semu atau tidak murni ialah persetujuan
yang dibuat karena adanya kesilapan
(dwaling, mistake), adanya paksaan
(dwang, duress), dan adanya penipuan
(bedrog, misrepresentation).
4.2. Perlindungan Konsumen Dari
Aspek Produk Liabiliti
Menurut Johannes Gunawan tujuan
utama dari dunia hukum
memperkenalkan product liability adalah:
a. Memberikan perlindungan kepada
konsumen
b. Agar terdapat pembebanan risiko yang
adil antara produsen dan konsumen.
Dari Kewajiban kepada
Tanggungjawab
a. Kewajiban Karena UU
Berbicara tentang tanggung
jawab pelaku usaha, maka terlabih
dahulu harus dibicarakan mengenai
kewajibannya. Dari kewajiban (duty,
obligation) akan lahir tanggung jawab.
Tanggung jawab timbul karena
seseorang atau suatu pihak
mempunyai suatu kewajiban,
termasuk kewajiban karena undang-
undang dan hukum.
Dalam kaitan UUPK, produsen
berkewajiban untuk beritikad baik
dalam aktivitas produksinya (Pasal 7
butir a UUPK). Rumusnya
123
mengandung suatu keharusan atau
kewajiban yang tidak boleh tidak
harus dilaksanakan. Dari sudut hukum
perikatan, terdapat suatu unsur
kewajiban yang harus dipenuhi untuk
melaksanakan suatu prestasi. Pasal
1234 KUHPerdata menetukan, tiap-
tiap perikatan bertujuan:
1. Memberikan sesuatu,
2. Berbuat sesuatu,
3. Tidak bernuat sesuatu.
Prestasi dalam tiga bentuk di
atas, merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan penyandang perjanjian.
Kewajiban melaksanakan macam-
macam prestasi di atas, tidak hanya
karena adanya perikatan bagi pihak-
pihak yang melakukan perjanjian.
Lebih dari itu, perikatan juga lahir dari
undang-undang atau hukum (Pasal
1233 KUHPerdata). Setiap orang yang
mengalami kerugian, berhak
mengajukan tuntutan
kompensasi/ganti rugi kepada pihak
yang melakukan perbuatan itu.
Kompensasi tersebut, menurut pasal
19 ayat 2 meliputi:
- Pengembalian sejumlah uang,
- Penggantian barang atau jasa
yang sejenis atau yang setara,
- Perawatan kesehatan,
- Pemberina santunan sesuai
ketentuan perundang-undangan.
b. Kewajiban Produk
Merujuk UUPK, jika suatu
produk merugikan konsumen, maka
produsen bertanggung jawab untuk
mengganti kerugian yang diderita
konsumen. Kewajiban itu tetap
melekat pada produsen meskipun
antara pelaku dan korban tidak
terdapat perserujuan terlebih dahulu.
Penjual berkewajiban
menenggung penderitaan korban
berdasarkan perbuatan melawan
hukum, sebagaimana ditentukan di
dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Kewajiban lebih merupakan rumusan
abstarak yang melahirkan tanggung
jawab sementara tanggung jawab
merupakan sikap konkret. Harus
diingat pula, tidak selamanya rumusan
tentang kewajiban dan tanggung
jawab secara eksplisit menggunakan
kata kewajiban ataupun tanggung
jawab.
Kewajiban mengenai
Persyaratan Produk dalam UUPK
aturan mengenai hak dan kewajiban
konsumen dan hak produsen selaku
pelaku usaha dirumuskan dalam Bab
III, butir-butir kewajiban pelaku usaha
yang tercantum dalam Pasal 7 di atas
mengatur kewajiban produk dari
pelaku usaha. Sebelum UUPK
berlaku, sudah dibuat beberapa
ketentuan mengenai kewajiban pelaku
usaha untuk mentaati persyaratan atas
produk-produk (barang dan jasa) yang
dibuatnya. Hal itu bisa kita lihat dalam
UU No 2 Tahun 1966 tentang
Hygiene, UU No 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, UU No 7 Tahun
1996 tentang Pangan atau dalam PP
No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan
.
3.3. Klausula Baku Yang Dilarang
Dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Ketentuan mengenai
pencantuman klausula baku
{perjanjian sepihak} ini diatur
dalam pasal 18 Undang – Undang
Perlindungan Konsumen, yang
menyebutkan:
1. Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/ atau
jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian
apabila:
a. Menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku
usaha
b. Menyatakan bahwa pelaku
usaha berhak menolak
124
penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku
usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang
dan/ atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian
kuasa dari konsumen
kapada pelaku usaha baik
secara langsung maupun
tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan
dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara
angsuran;
e. Mengatur perihal
pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku
usaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya
konsumen kepada aturan
yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan, dan/
atau pengubahan lanjutan
yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa
konsumen memberi kuasa
kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau
hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku
yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit
dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib
menyesuaikan klausula baku
yang bertentangan dengan
undang-undang ini.
Dengan adanya larangan
mengenai pencantuman klausula
baku yang tidak memenuhi syarat
ini, hendaknya menjadikan posisi
konsumen lebih baik , baik
sebagai perseorangan maupun
sebagai masyarakat konsumen
yang sadar akan hak- haknya.
Selain dari pada
masyarakat konsumen, tentunya
yang berperan tidak kalah
pentingnya adalah pihak pelaku
usaha, dalam hal ini di butuhkan
kesadaran pihak pelaku usaha
untuk menjalankan kewajibannya,
menghormati hak – hak
konsumen, dan atau
melaksanakan ketentuan –
ketentuan yang telah digariskan,
karna kita sadari bersama bahwa
pelaku usaha pun sesungguhnya
adalah bagian dari pada
masyarakat konsumen secara
pribadi.
Saksi terhadap
pelanggaran klausula baku yang
dimuat dalam pasal 62 ayat (1),
dengan ancaman penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,0( dua miliar
rupiah.)
125
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1.Kesimpulan
1. Yang dimaksudkan hukum perdata
yakni dalam arti luas, termasuk
hukum perdata, hukum dagang
serta kaidah-kaidah keperdataan
yang termuat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan
lainnya. Kesemuanya itu baik
hukum perdata tertulis maupun
hukum perdata tidak tertulis
(hukum adat). Kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan
dan masalah hukum antara pelaku
usaha penyedia barang dan/atau
penyelenggara jasa dengan
konsumennya masing-masing
termuat dalam:
2. Product liability adalah tanggung
jawab secara hukum dari orang
atau badan yang menghasilkan
suatu produk (producer,
manufacture) atau dari orang atau
badan yang menghasilkan suatu
produk atau dari orang atau badan
yang menjual atau
mendistribusikan produk tersebut.”
3. Larangan mengenai pencantuman
klausula baku yang tidak
memenuhi syarat ini, hendaknya
menjadikan posisi konsumen lebih
baik , baik sebagai perseorangan
maupun sebagai masyarakat
konsumen yang sadar akan hak-
haknya. Selain dari pada
masyarakat konsumen, tentunya
yang berperan tidak kalah
pentingnya adalah pihak pelaku
usaha, dalam hal ini di butuhkan
kesadaran pihak pelaku usaha
untuk menjalankan kewajibannya,
menghormati hak-hak konsumen,
dan atau melaksanakan ketentuan-
ketentuan yang telah digariskan,
karna kita sadari bersama bahwa
pelaku usaha pun sesungguhnya
adalah bagian dari pada masyarakat
konsumen secara pribadi
4.2. Saran
1. Perlindungan hukum bagi
konsumen di Indonesia, walaupun
telah mengalami kemajuan,
terutama setelah lahirnya UUPK,
namun masih perlu adanya langkah
peningkatan, terutama aspek-aspek
yang diatur secara tegas dalam
UUPK, sehingga akan semakin
mendekati berbagai perinsip yang
memberikan perlindungan
konsumen di Negara maju.
2. Demikian pula kekurangan-
kekurangan dalam UUPK agar
segera direvisi, dengan tetap
mengacu pada tiga prinsip
perlindungan hukum bagi
konsumen di Indonesia, serta
melengkapi peraturan-peraturan
pelaksanaan dari UUPK, agar
konsumen betul-betul dapat
menikmati perlindungan hukum
sebagaimana yang diharapkan.
3. Hendakanya para pelaku usaha
didukung oleh undang- undang dan
pemerintah benar- benar
memperhatikan larangan klausula
baku agar tidak terjadi pelanggaran
terhadap klausula baku
DAFTAR RUJUKAN
Buku:
Elsi kartika sari dan simatopang,advendi,
Hukum Dalam Ekonomi,grasindo,jakarta
2007.
Kristiyanti, Cellina Tri Siwi. Hukum
Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta. 2009
Ahmadi Miru, SH, MH, Prinsip-Prinsip
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, hlm 20
.......................Prinsip-prinsip
Perlindungan Bagi
Konsumen Di Indonesia,
126
PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. 2011
Muhamad Djapar Saidi, Perlindungan
Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak, Penerbit Raja Gradindo
Persada, Jakarta 2007, Hlm 14
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen
Perlindungan Konsumen Dan
Tanggung Jawab Produk,
Penerbit Panta Rei, Jakarta.
2005
Simatupang, Richard Burton, Aspek
Hukum Dalam Bisnis, Rineka
Cipta, 2007
Undang-Undang
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
Undang-undang No 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran
Internet:
Cristyan Saputra
http://blogingria.blogspot.com/2012/12/
makalah- hukum- perlindungan-konsumen
.html diakses tanggal 10 desember 2012