PENGGUNAAN FIKOSIANIN DARI MIKROALGA...
Transcript of PENGGUNAAN FIKOSIANIN DARI MIKROALGA...
PENGGUNAAN FIKOSIANIN DARI MIKROALGA
Spirulina platensis SEBAGAI LIGHT HARVESTING PADA SEL
SURYA NANOPARTIKEL TiO2 ANATASE
IDAWATI SUPU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Penggunaan Fikosianin
dari Mikroalga Spirulina platensis sebagai Light Harvesting pada Sel Surya
Nanopartikel TiO2 Anatase” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Idawati Supu
NRP. G751110141
RINGKASAN
IDAWATI SUPU. Penggunaan fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis
sebagai light harvesting pada sel surya nanopartikel TiO2 anatase. Dibimbing oleh
AKHIRUDDIN MADDU dan IRIANI SETYANINGSIH.
Pembuatan dye sensitized solar cell (DSSC) dilakukan menggunakan film
hibrid nanopartikel tatanium oksida (TiO2)/fikosianin. Sintesis TiO2 dengan
metode sol gel dari titanium klorida (TiCl4) sebagai prekursor melalui tahap
hidrolisis menggunakan asam sulfat (H2SO4). Selanjutnya dipanaskan pada tanur
(furnace) selama 2,5 jam dengan suhu berbeda (400oC, 600
oC, 800
oC, dan
1000oC). Pola XRD menunjukkan bahwa fase yang muncul pada suhu pemanasan
400oC sampai 800
oC hanya anatase. Ketika suhu dinaikkan sampai 1000
oC, terjadi
transformasi fase dari anatase menjadi rutil. Berdasarkan hasil XRD diperoleh
ukuran kristal dan partikel masing-masing 13,75 nm, 20,79 nm, 25,25 nm, 48,88
nm dan SEM diperoleh ukuran partikel 43,06 nm, 44,91 nm dan 64,99 nm dan
80,40 nm. Ukuran kristal dan ukuran partikel meningkat seiring dengan
peningkatan suhu. Pengukuran sifat optik film TiO2 dan hibrid TiO2/fikosianin
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Penambahan fikosianin mampu
menambah lebar serapan dari daerah ultraviolet (UV) sampai daerah tampak
(visible).
Energi celah dapat ditentukan dari hasil karakteristik film optik, yaitu
berdasarkan perpotongan kurva bagian linear dengan sumbu energi (hv). Pada
penelitian ini, hanay dibatasi pada fase anatase saja. Hal ini disebabkan karena
energi gap anatase yang lebih lebar jika dibandingkan fase rutil. Dengan demikian,
sangat berarti dalam aplikasi sel surya seperti dye sensitized solar cell (DSSC).
Hasil perhitugan koefisien absorpsi rata-rata dari masing-masing suhu kalsinasi
400oC, 600
oC, 800
oC berturut-turut adalah 8,1600x10
2, 1,7535x10
3, dan
4,0154x102 lebih kecil dari 10
4 sehingga termasuk transisi langsung. Nilai energi
celah pada kalsinasi 400oC, 600
oC, 800
oC masing-masing 3,79 eV, 3,58 eV dan
3,35 eV. Peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan penurunan energi celah
semikonduktor TiO2.
Kultivasi Spirulina platensis dilakukan dengan media MT (media teknis
modifikasi Hastuti). Kepadatan sel optimum ( fase stasioner) pada hari ke-8
dengan nilai OD > 0,5. Pada keadaan tersebut, kultur dapat dipanen. Inokulum
S.platensis yang dikultur dari 80 liter dihasilkan berat kering biomassa 10,46 gram
dan bobot fikosianin dalam bentuk bubuk kering 5,50 gram. Daerah serapan
tertinggi fikosianin berada pada panjang gelombang 619,36 nm (daerah visible)
dengan energi relaksasi 2,945 eV. Spektrum emisi tertinggi pada panjang
gelombang 708,55 nm dengan energi relaksasi 2,793 eV. Nilai pergeseran Stokes
berdasarkan perbedaan transisi absorpsi dan emisi fikosianin adalah 0,152 eV.
Integrasi antara protein pemanen cahaya dengan permukaan semikonduktor
TiO2 memiliki peranan penting dalam meningkatkan performa sebagai material
sel surya. Gugus karboksilat (-COOH) dapat menjadikan dye lebih efisien karena
melekat pada permukaan ampoter oksida TiO2. Pigmen fikosianin memiliki gugus
karboksilat sehingga bereaksi dengan permukaan oksida dengan membentuk ester.
Gugus karboksilat tersebut dapat menaikkan pasangan elektronik dye dari tingkat
eksitasi (molekul orbital yang memiliki orbital p anti bonding) menuju tingkat
akseptor semikonduktor (pita konduksi TiO2).
Sampel yang telah dibuat berdasarkan variasi suhu masing-masing dibentuk
sel surya. Selanjutnya sel surya dirangkai untuk pengujian karakteristik arus-
tegangan (I-V) di bawah sinar matahari langsung sebagai sumber cahaya dengan
intensitas ± 120 Watt/m2. Kurva terdiri atas beberapa parameter seperti arus
hubungan singkat Isc (short circuit) yaitu arus ketika potensial sama dengan nol,
tegangan rangkaian terbuka Voc (open circuit voltage) yaitu tegangan ketika beban
luar diberikan sangat besar, Vmax yaitu tegangan yang memberikan nilai daya
maksimum, dan Imax yaitu arus yang memberikan nilai daya maksimum. Faktor
pengisi atau fill factor (FF) adalah perbandingan antara perkalian arus maksimum
dan tegangan maksimum dengan perkalian Voc dan Isc. Efisiensi merupakan
perbandingan antara daya yang dihasilkan sel surya dengan daya cahaya yang
mengenai sel surya tersebut.
Kemampuan sel mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik
dengan efisiensi tertinggi dihasilkan dari sel dengan kalsinasi 800oC yaitu 1,04%.
Pada suhu 400oC, efisiensi yang dihasilkan yaitu 0,06 lebih kecil jika
dibandingkan sel pada suhu 600oC sebesar 0,29%. Dari ketiga jenis sel diperoleh
nilai tegangan open-circuit (Voc) dan rapat arus (Isc) semakin meningkat seiring
dengan peningkatan suhu kalsinasi TiO2. Semakin tinggi suhu kalsinasi TiO2
maka efisiensi yang dihasilkan makin meningkat.
Kata kunci: anatase, sel surya tersensitisasi dye, efisiensi, energi gap, fikosianin
SUMMARY
IDAWATI SUPU. Application of phycocyanin from microalgae Spirulina
platensis as light harvesting in anatase TiO2 nanoparticle solar cell. Supervised by
AKHIRUDDIN MADDU and IRIANI SETYANINGSIH.
The dye sensitized solar cell (DSSC) has been assemblied used hybrid
titanium oxide (TiO2) film/phycocyanin. The TiO2 film was synthesized by sol gel
method with titanium chlorida (TiCl4) as precursor by hydrolysis used sulfuric
acid (H2SO4). Furthermore, it calcinated for 2,5 hours in variation of annealing
temperature (400oC, 600
oC, 800
oC, dan 1000
oC). In XRD patterns exhibited
which annealing temperature at 400oC to 800
oC were anatase phase all. When
annealed at temperature 1000oC, it caused phase transformation from anatase to
rutile. The crystals size according to XRD patterns were 13,75 nm, 20,79 nm,
25,25 nm, 48,88 nm and particle size from SEM images were 43,06 nm, 44,91 nm
dan 64,99 nm, 80,40 nm, respectively. The crystals and particle size increased
with annealing temperature. The film thickness influenced material absorption.
The optical measurement of TiO2 film and TiO2/phycocyanin hybrid film used
UV-Vis spectrophotometer. Additional phycocyanin caused peak width of
absorbed region from ultraviolet to visible region.
The band gap energy of TiO2 can be calculated using the cut off wavelength
obtained from the absorbance spectrum of a nanoparticles TiO2 films. Based on
intersection between linear and energy (hv) axis. In this study just limited for
anatase phase. It was caused anatase band gap is wider than rutile phase. That’s
meaningful for solar cell application such as dye sensitized solar cell (DSSC). The
absorption coefficient average at difference annealing temperature such as at
400oC, 600
oC, 800
oC were 8,1600x10
2, 1,7535x10
3 and 4,0154x10
2, where α <
104
include to direct transition. Band gap energy 400oC, 600
oC, 800
oC were 3,79
eV, 3,59 eV, and 3,35 eV, respectively. Based on this result, exhibition that band
gap energy of TiO2 semiconductor film decreased with increasing annealing
temperature.
Spirulina platensis was cultivated in technical modification (Hastuti) with
aeration under light intensity about 3000 lux. The cell density (stationer phase) for
eighth day which OD value was more than 0,5. It means, the culture can be
harvested. In 80 liters Spirulina platensis culture have been produced biomass dry
about 10,46 gram and extracted phycocyanin in dry powders was 5,50 gram. The
phycocyanin absorption spectrum at the wavelength of 619,36 nm (visible region)
which had relaxation energy was 2,945 eV. The emission peak at the wavelength
of 708,55 nm with relaxation energy about 2,793 eV. The Stokes shift based on
difference energy absorption and emission calculated about 0,152 eV. Both of this
showed phycocyanin can absorbed and radiated the sun light which received. This
choice characteristic pigment was a good one related to sensitizer in solar cell
application.
Integration between light harvesting protein and TiO2 semiconductor surface
had important role in improving of output as solar cell materials. The presence of
carboxylate group (-COOH) made pigment be more efficient was due to anchored
to the surface of TiO2 ampoter. The phycocyanin pigment had carboxylate group
which reacted with TiO2 surface formed ester. The carboxylate group increased of
dye electronics couple from excited state (p anti bonding orbital) to
semiconductor acceptor state (TiO2 conduction band).
The samples which made based on annealing temperature variation formed
be solar cell respectively. Furthermore, cells be assembled for current-voltage (I-
V) measurement under direct sun light with intensity about 120 Watt/m2. The
measurement result consists of Isc (short circuit) if voltage was zero, Voc (open
circuit voltage) where external load was highest, Vmax when voltage provided
maximum power and Imax when current produced maximum power. The fill factor
(FF) was ratio between Vmax Imax and Voc Isc. The efficiency be calculated by
comparison between power of solar cell result and light power which attracted.
The cell potentiality converted sunlight into electrical energy with highest
efficiency resulted for cell at 800oC calcinated temperature was 1,04%. The
annealing temperature at 400oC lesser than cell calcinated at 600
oC was 0,29%.
From the result, Voc and Isc increased with increasing of TiO2 annealing
temperature. Moreover, increasing of annealing temperature increased to the
efficiency result.
Keywords: anatase, dye sensitized solar cell, efficiency, gap energy, phycocyanin
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biofisika
PENGGUNAAN FIKOSIANIN DARI MIKROALGA
Spirulina platensis SEBAGAI LIGHT HARVESTING PADA SEL
SURYA NANOPARTIKEL TiO2 ANATASE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
IDAWATI SUPU
Judul Tesis : Penggunaan fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis sebagai
light harvesting pada sel surya nanopartikel TiO2 anatase
Nama : Idawati Supu
NRP : G751110141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Akhiruddin Maddu,SSi MSi
Ketua
Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biofisika
Dr Agus Kartono, MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 23 Januari 2014
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)
Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Penggunaan fikosianin dari mikroalga spirulina platensis sebagai light
harvesting pada sel surya nanopartikel TiO2 anatase”. Penelitian ini dibuat sebagai
salah satu syarat kelulusan pada program pascasarjana Mayor S2 Biofisika di
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak, adik
serta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan do’a, nasehat dan semangat
serta kasih sayang kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
Bapak Dr. Akhiruddin Maddu, SSi MSi dan ibu Dr. Ir. Iriani setyaningsih, MS
selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan
angkatan 2011 dan 2012 mahasiswa pascasarjana S2 Biofisika IPB, Endang,
Wahidin, Farly, Otto, Surianty, Sugianto, Nur Aisyah, Masrur, TB Gamma,
Ridwan, Aminullah, Nurlaeli, Kania, dan Agus serta seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan selama
proses pengambilan dan pengumpulan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014
Idawati Supu
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN Error! Bookmark not defined.
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM
OXIDE (TiO2) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL
Pendahuluan 3
Bahan dan Metode 4
Hasil 7 6
Pembahasan 7
Simpulan 12
3 POTENSI FIKOSIANIN DARI MIKROALGA Spirulina platensis
SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC
Pendahuluan 12
Bahan dan Metode 14
Hasil 17
Pembahasan 17
Simpulan 20
4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DSSC TiO2/FIKOSIANIN
Pendahuluan 21
Bahan dan Metode 23
Hasil 26
Pembahasan 26
Simpulan 31
5 PEMBAHASAN UMUM 31
6 SIMPULAN DAN SARAN 32
DAFTAR PUSTAKA 33
LAMPIRAN 36
RIWAYAT HIDUP 46
DAFTAR TABEL
1. Beberapa penelitian tentang perubahan ukuran kristal TiO2 akibat pengaruh
suhu kalsinasi 8
2. Nilai performa dari setiap sel 28
3. Nilai efisiensi dari dye organik pada beberapa penelitian DSSC 31
DAFTAR GAMBAR
1. Pengukuran absorbansi dengan spektroskopi UV-Vis 5
2. Diagram alir sintesis nanopartikel TiO2 metode sol gel 6
3. Pola difraksi sinar-X pada TiO2 fase antase (A) dan rutil (R) untuk setiap
kenaikan suhu kalsinasi (A) 400oC, (B) 600
oC, (C) 800
oC dan (D) 1000
oC 7
4. Foto SEM dari film TiO2 (a) dengan perbedaan suhu kalsinasi (fase anatase)
400oC (b), 600
oC (c), 800
oC (d), dan fase rutil 1000
oC (e) 9
5. Spektrum absorpsi film TiO2 anatase pada suhu kalsinasi masing-masing
4000o
C, 600oC dan 800
oC 10
6. Plot energi (hv) terhadap (αhv)2 film TiO2 pada suhu kalsinasi masing-
masing 400oC, 600
oC dan 800
oC 11
7. Plot energi foton (hv) terhadap perubahan suhu kalsinasi film TiO2 pada
suhu kalsinasi yang berbeda 11
8. Struktur molekul fikosianin 14
9. Diagram alir kultivasi dan ekstrak fikosianin mikroalga Spirulina platensis 16
10. Sel fikosianin Spirulina platensis 17
11. Pertumbuhan S. platensis pada media MT 17
12. Perbandingan spektrum absorpsi dan emisi fikosianin 19
13. Plot energi (hv) vs absorbansi dan flouresens fikosianin 20
14. Interaksi antara gugus fikosianin dengan permukaan TiO2 22
15. Rangkaian terbuka [Voc] (a), Rangkaian pengukuran arus- tegangan (I -V)
sel surya (b) 24
16. Kurva arus-tegangan (I-V) 25
17. Proses perakitan (assembly) sel surya hibrid TiO2/fikosianin 25
18. Daerah spektrum absorpsi film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin 26
19. Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 400oC 27
20. Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 600oC 28
21. Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 800oC 28
22. Plot nilai arus hubungan singkat (Isc) terhadap perubahan suhu kalsinasi
TiO2 29
23. Plot nilai tegangan rangkaian terbuka (Voc) terhadap perubahan suhu
kalsinasi TiO2 30
DAFTAR LAMPIRAN
1. Media modifikasi teknis (MT) untuk pertumbuhan S. platensis 36
2. Data JCPDS (21-1272) kristal TiO2 fase anantase 37
3. Data JCPDS (21-1276) kristal TiO2 fase rutil 38
4. Data hasil XRD TiO2 pada suhu 400oC 39
5. Data hasil XRD TiO2 pada suhu 600oC 40
6. Data hasil XRD TiO2 pada suhu 800oC 41
7. Data hasil XRD TiO2 pada suhu 1000oC 42
8. Karakteristik performa sel pada suhu 400oC 43
9. Karakteristik performa sel pada suhu 600oC 44
10. Karakteristik performa sel pada suhu 800oC 45
11. Riwayat hidup penulis 46
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis energi di era teknologi merupakan salah satu tantangan yang sedang
dihadapi sehingga perlu upaya untuk mengembangkan berbagai energi alternatif
yaitu energi terbarukan. Potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah
mendukung namun belum dimanfaatkan secara maksimal misalnya biomassa,
panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera. Energi
surya merupakan salah satu energi yang banyak dikembangkan saat ini, misalnya
teknologi sel surya. Sel surya mulai menarik banyak perhatian para peneliti karena
diperkirakan dapat menjadi kandidat sumber pembangkit listrik di masa depan
terutama untuk daerah-daerah terpencil yang masih sulit dijangkau oleh jaringan
listrik. Sel surya juga merupakan sumber energi yang ramah lingkungan karena
dalam konversinya tidak menghasilkan polutan sama sekali.
Saat ini, teknologi sel surya yang banyak dikembangkan masih didominasi
oleh sel surya berbasis silikon amorf dan kristal namun harga bahan dasar dan
biaya produksi yang mahal menjadikan harga jual sel surya di pasaran relatif
tinggi (Fahlman dan Salaneck 2002). Pengembangan metode-metode sederhana
dalam fabrikasi sel surya banyak dilakukan untuk menekan biaya produksinya.
Oleh sebab itu, mulai dikembangkan dye sensitiser solar cell (DSSC) dengan
menggunakan bahan organik. Jika dibandingkan dengan fotovoltaik berbasis
Silikon (Si), DSSC memiliki keuntungan yaitu tidak sensitif terhadap cacat dalam
semikonduktor seperti cacat di dalam struktur Si, mudah terbentuk dan biayanya
lebih efektif untuk produksi serta lebih memungkinkan terjadinya transfer energi
langsung dari foton menjadi energi kimia (Wei 2010).
Salah satu semikonduktor yang sering digunakan dalam DSSC adalah
titanium oksida (TiO2). Titania relatif murah, banyak dijumpai dan juga tidak
beracun (Grätzel 2003). Produk dari DSSC adalah energi listrik namun banyak
faktor yang menyebabkan cahaya yang diproses di dalam sel surya mampu
dikonversi menjadi energi listrik. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya
nilai efisiensi sel surya jenis DSSC adalah konsentrasi ekstrak dye yang secara
langsung berhubungan dengan besarnya tingkat absorbansinya terhadap panjang
gelombang sinar yang terserap.
Sel surya jenis DSSC merupakan sel tersensitisasi dye dan berbeda dari
perangkat semikonduktor konvensional karena dalam proses absorpsi cahaya dan
separasi muatan listrik terjadi dalam proses yang terpisah. Absorpsi cahaya
dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik
nanokristal yang memiliki celah pita besar. Dye sensitiser menyerap sinar
matahari dan memanfaatkan energi cahaya untuk menginduksi reaksi transfer
elektron. Dye yang digunakan sebagai sensitiser dapat berupa dye sintesis maupun
dye alami. Dye sintesis yaitu jenis ruthenium complex yang telah mencapai
efisiensi 10%, namun ketersediaan dan harganya yang mahal sehingga perlu
adanya alternatif lain pengganti dye jenis ini yaitu dye alami. Dye alami dapat
diekstraksi dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, atau buah. Berbagai
2
jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosensitiser pada sistem sel
surya tersensitisasi dye. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai
fotosensitiser pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Zat warna alami tersebut
telah terbukti mampu memberikan efek fotovoltaik walaupun efisiensi yang
dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis.
Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitiser
dalam sistem DSSC antara lain berupa ekstrak antosianin (Cherepy et al. 1997;
Dai et al. 2002), klorofil (Mabrouki et al. 2002), karoten (Yamazaki et al. 2006),
buah mulberry hitam (Chang et al. 2010), cryptophyta (Doust et al. 2006), kol
merah (Maddu et al. 2007), phycoerythrin (Kathiravan et al. 2009), bunga
bougainville, lobak cina merah dan buah pear (Calogero et al. 2010) serta Zhou et
al. (2011) telah menggunakan 20 warna alami dari tumbuhan untuk aplikasi
DSSC. Selain pigmen dari tanaman darat, pigmen juga dapat diekstraksi dari
mikroalga yaitu berupa fikosianin. Hall dan Rao (1992) menyatakan bahwa
fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang
mampu menangkap radiasi yang tersedia dari matahari paling efisien dan
bermanfaat dalam proses fotosintesis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
fikosianin mampu menyerap cahaya tampak paling banyak, dengan demikian
perlu dikaji lebih dalam tentang kemampuan fikosianin sebagai sensitiser dalam
DSSC.
Rumusan Masalah
Biaya produksi yang mahal dalam fabrikasi teknologi sel surya menjadikan
harga jual di pasaran relatif tinggi sehingga DSSC merupakan salah satu jenis sel
surya yang banyak dikembangkan sebagai alternatif dari sel surya konvensional.
Sel surya yang menggunakan dye sintetis sangat mahal dalam fabrikasinya
sehingga mendorong para peneliti untuk menggunakan dye alami pemanen
cahaya pada organisme yang cenderung lebih mudah diperoleh.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah penggunaan dye fikosianin dari mikroalga
Spirulina platensis sebagai light harvesting dalam pembuatan DSSC.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1 Kultivasi Spirulina platensis untuk memperoleh dye fikosianin
2 Sintesis nanopartikel TiO2
3 Pembuatan larutan elektrolit PEG/kitosan
4 Perakitan dan pengukuran performa sel surya
3
2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL
TITANIUM OXIDE (TiO2) MENGGUNAKAN METODE
SOL-GEL
Pendahuluan
Bahan semikonduktor titanium oxide (TiO2) merupakan material yang
banyak digunakan dalam berbagai aplikasi misalnya sel surya (Qin et al.2013),
sensor kimia (Li et al.2013), sel fotoelektrokimia (Koyzyukin et al. 2013),
fotokatalis (Macak et al. 2007), dan perangkat elektronik (Bach et al. 2002). Hal
itu dikarenakan TiO2 memiliki fase kristal yang reaktif terhadap cahaya, eksitasi
elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai
cahaya dengan energi yang lebih besar daripada celah energinya.
Aplikasi dari semikoduktor TiO2 berupa nanopartikel (Kathiravan dan
Renganathan 2009, Meen et al. 2009), nanokristal (Wenbing Li et al. 2011),
nanorods (Song et al. 2005), nanofiber (Onozuka et al. 2006), nanotubes (Cui et
al. 2012) dan nanowires ( Kumar et al. 2010 ) sebagai elektroda pada DSSC
mampu menghasilkan efisiensi yang baik. TiO2 memiliki tiga fase kristal yaitu
rutil, anatase, dan brookit. Namun yang paling banyak digunakan dalam proses
fotoelektrokimia adalah rutil dan anatase, keduanya memiliki struktur kristal
tetragonal, dengan parameter kisi a = 4,593 Ǻ dan c = 2,959Ǻ untuk rutil dengan
energi gap sebesar 3,0 serta anatase memiliki parameter kisi a = 3,785 Ǻ dan c =
9,513 Ǻ, energi gap sebesar 3,2 eV.
Aplikasi dari nanopartikel TiO2 sebagai elektroda pada DSSC dengan
ukuran partikel 8-10 nm dengan fase anatase (suhu 600 0C) menunjukkan
performa yang sangat bagus. Salah satu metode pembuatan nano TiO2 yang halus
dan berpori dalam bentuk film tipis (ketebalan 4 𝜇m) yaitu melalui metode sol gel
spin-coating (Meen et al. 2009). Fase anatase lebih efektif digunakan dalam
aplikasi fotokatalisis dan sel surya karena band gap yang lebih lebar jika
dibandingkan dengan fase rutil (Mills dan Hunte 1997) .
Ahmadi (2011) melakukan riset tentang beberapa parameter yang
mempengaruhi pembentukan nanopartikel TiO2, yaitu pH larutan, suhu kalsinasi,
waktu aging, suhu aging, serta perbandingan konsentrasi pereaksi. Parameter
tersebut berkaitan erat dengan sifat material seperti ukuran partikel dan jenis fase
yang terbentuk. Pada penelitian ini, pembentukan nanopartikel TiO2 dilakukan
dengan metode sol gel dengan perlakuan variasi suhu kalsinasi dan menggunakan
TiCl4 sebagai prkursor melalui tahap hidrolisis. Pereaksi logam klorida seperti
TiCl4 cenderung banyak digunakan dalam metode sol gel karena mampu
menghasilkan produk akhir berupa oksida logam TiO2. Proses pembentukan
oksida logam tersebut dapat terjadi melalui tiga tahap yaitu: hidrolisis,
polimerisasi dan pertumbuhan partikel.
4
Bahan dan Metode
Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan semikonduktor TiO2 adalah
titanium klorida (TiCl4), asam sulfat (H2SO4), amonia (NH3), akuabides, kertas
saring (whatman 0,45 µm), perak nitrat (AgNO3) 0,1 M.
Metode
Pembuatan bubuk TiO2 dilakukan menggunakan metode sol-gel melalui
tahap hidrolisis TiCl4 dengan menggunakan H2SO4 (Wenbing et al. 2011).
Pencampuran diawali dengan bahan TiCl4 (1 ml) sebagai prekursor ditambahkan
H2SO4 (2 ml). Kedua bahan dicampur dalam wadah berisi es sambil diaduk
dengan stirrer magnetic (350 rpm) selama 30 menit. Selanjutnya dipanaskan pada
suhu sekitar 600C selama 1 jam sampai membentuk larutan bening sambil tetap
diaduk. Larutan didiamkan pada temperatur ruang, kemudian larutan ditetesi
dengan amonia sampai membentuk gel berwarna putih dengan pH 7 sambil tetap
diaduk sampai 12 jam sampai homogen. Larutan disaring dengan kertas saring
whatman (0,45 μm) sampai bebas klorida. Cairan bening yang keluar dari kertas
saring ditetesi dengan larutan AgNO3 0,1 M (sebagai indikator bebas klorida).
Jika tidak berwarna keruh (putih) menandakan bebas klorida. Endapan putih pada
kertas saring dikeringkan pada suhu ruang sampai kering. Selanjutnya digerus
sampai halus dan dipanaskan pada tanur (furnace) selama 2,5 jam dengan suhu
berbeda (400oC, 600
oC, 800
oC, dan 1000
oC).
Pelapisan TiO2 dilakukan dengan metode casting. Kaca TCO (tebal: 2
mm) dibersihkan dengan aquadest/etanol di dalam ultrasonic bath, kemudian
dikeringkan. Sebanyak 0,2 gram bubuk TiO2 ditetesi dengan 1 ml asam asetat 3%
sambil digerus pada mortar sampai homogen membentuk koloid. Kaca TCO
dengan permukaan yang konduktif dilapisi dengan selotip Scotch dengan
menyisakan bagian tengah berukuran 1 cm x 1cm. Bagian yang terbuka ditetesi
dengan koloid TiO2 dan diratakan menggunakan batang gelas bersih sampai
menutupi semua bagian yang terbuka, dibiarkan beberapa menit sampai agak
mengering. Lapisan Scoth pada masing-masing tepi kaca TCO dilepas secara
perlahan, kemudian dikeringkan pada suhu ≥ 4000C selama dua jam.
Film tipis yang terbentuk dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis
(ocean optic spectrophotometer) untuk menentukan sifat optik yaitu nilai
absorbansi. Pengukuran kristalintas menggunakan x-ray diffraction (XRD-GBC
EMMA) dan scanning electron microscope (SEM) untuk melihat bentuk
morfologi serta ukuran partikel TiO2. Diagram alir proses pembuatan TiO2
disajikan pada Gambar 2.
5
Gambar 1 Pengukuran absorbansi dengan spektroskopi UV-Vis
Penentuan karakteristik sifat optik film TiO2 menggunakan alat
spektroskopi OceanOpticTM
4000 untuk rentang frekuensi UV-Vis. Film TiO2
berbentuk transparan sehingga dapat terukur dengan baik. Performa alat
karakterisasi sifat optik dapat dilihat pada gambar 1. Pengukuran absorbansi
tersebut dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer UV-Vis
ke komputer yang telah diinstal software SpectraSuite (Ocean Optics).
Selanjutnya, holder kuvet dihubungkan langsung dengan spektrofotometer dan
sumber cahaya.
Proses pengukuran ini diawali dengan membuka program SpectraSuite.
Holder sampel berisi kaca TCO sebagai blanko, kemudian lampu sebagai sumber
cahaya dinyalakan. Kurva blanko diatur dengan menyesuaikan fiber optic
terhadap cahaya lampu. Setelah itu lampu dimatikan tanpa membuat fiber optic
bergeser, kemudian kuvet blanko diganti dengan film TiO2. Lampu dinyalakan
kembali dan dapat dilihat kurva absorbansi yang terbentuk pada komputer. Data
yang diperoleh dari karakterisasi ini berupa data nilai aborbansi pada masing-
masing panjang gelombang (ultraviolet). Pengukuran dilakukan pada setiap
sampel dengan suhu kalsinasi yang berbeda.
Karakterisasi XRD dilakukan pada TiO2 dalam bentuk bubuk (powder) pada
sudut 2θ : 20o sampai 80
o. Alat ini menggunakan sinar-X dengan panjang
gelombang 0,154059 nm sebagai sumber radiasi. Sampel pada holder diradiasi
langsung yang terintegrasi dengan tabung XRD. Alat tersebut terhubung langsung
dengan komputer yang dilengkapi dengan software GBC-EMMA. Dari hasil XRD
dapat diperoleh intensitas, sistem kristal, ukuran kristal, parameter kisi, jarak antar
bidang kristal, jenis fase kristal berdasarkan database (JCPDS) TiO2.
Karakterisasi SEM dilakukan untuk melihat bentuk permukaan film TiO2
dengan pembesaran seragam pada semua sampel (40.000 kali). Selain ukuran
partikel, ketebalan masing-masing film juga dapat diperoleh dari hasil SEM. Nilai
ketebalan film tersebut digunakan dalam menentukan energi gap berdasarkan data
spektroskopi optik yang diperoleh.
Sumber cahaya
Sampel
Alat
spektroskopi Kabel Fiber Optic Komputer
6
Gambar 2 Diagram alir sintesis nanopartikel TiO2 metode sol gel
TiCl4 + H2SO4 (10%)
Pengadukan (stirring 350 rpm; suhu= 0oC; waktu=30 menit)
Pembentukan larutan sol (stirring 350 rpm; suhu=60oC; waktu=1 jam
Pembentukan gel (warna putih, pH 7)
Pengujian bebas klorida
(AgNO3 0,1 M)
Penambahan amonia/NH3H2O (stirring 350 rpm; suhu ruang)
Pengeringan dengan inkubator
(suhu= 27oC; waktu=12 jam)
Nanokristal TiO2 (bubuk)
Karakterisasi (UV-Vis, SEM)
Pencucian (aquabidest)
Penyaringan
(Whatman 45μm)
Kalsinasi
(suhu=400oC-1000oC;laju=5oC/menit; waktu=2 jam)
Pelapisan film tipis (kaca TCO)
Karakterisasi XRD
7
Hasil dan Pembahasan
Pola XRD TiO2
Pola XRD pada Gambar 3 menunjukkan fase TiO2 yang muncul pada
pemanasan dari suhu 400oC-800
oC hanya anatase, semua puncak muncul dengan
jelas. Ketika suhu dinaikkan sampai 1000oC, terjadi transformasi fase dari anatase
menjadi rutil. Puncak anatase tertinggi pada sudut 2𝜃= 25,33o yang bersesuain
dengan bidang difraksi (101) (JCPDS 21-1272) dan rutil dengan intensitas
tertinggi pada sudut 2𝜃= 27,46o yang bersesuain dengan bidang difraksi (110)
(JCPDS 21-1276). Pada setiap kenaikan suhu, hanya terdapat satu jenis fase yang
muncul disebut fase tunggal (single phase), karena tidak terdapat puncak difraksi
lain (pengotor).
2 (derajat)
20 40 60 80
Inte
nsita
s (a
.u.)
A (
101)
A (
103)
A (
004)
A (
112)
A (
200)
A (
105)
A
(211)
A (
204)
A (
220)
R (
110)
R
(101)
R (
211)
A (
116)
A (
215)
R (
200)
R (
111)
R (
210)
R (
220)
R (
002)
R (
310)
R (
301)
R
(112)
R (
202)
A
B
C
D
Ganbar 3 Pola difraksi sinar-X pada TiO2 fase antase (A) dan rutil (R) untuk
setiap kenaikan suhu kalsinasi (A) 400oC, (B) 600
oC, (C) 800
oC dan
(D) 1000oC
Ukuran kristal dihitung dengan persamaan Debye–Scherrer:
𝜎 =0,9 𝜆
𝛽 𝑐𝑜𝑠 𝜃 (1)
σ adalah ukuran kristal, λ adalah panjang gelombang sumber sinar-X ( Cu Kα
adalah 0,154059 nm). Nilai β yang digunakan adalah setengah nilai puncak
difraksi (dalam radian), nilai puncak maksimum disebut FWHM (full width at half
maximum ) dan θ adalah sudut difraksi Bragg.
8
Ukuran kristal (Tabel 1) pada suhu 800oC lebih besar dibanding dengan
ukuran kristal pada suhu 400oC. Ukuran kristal bertambah besar karena proses
sintering yaitu peningkatan suhu akibat adanya energi tambahan pada material
tersebut berupa energi panas. Energi panas menyebabkan material-material
tersebut memiliki energi lebih untuk memperbesar ukuran kristal (penumbuhan
kristal) melalui proses difusi antar partikel-partikel TiO2. Suhu kalsinasi yang
semakin meningkat akan merubah ikatan interatomik di dalam partikel dan
merusak ikatan –OH, sehingga ukuran semakin bertambah besar. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian tentang pengaruh suhu
kalsinasi terhadap ukuran kristal TiO2 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa penelitian tentang perubahan ukuran kristal TiO2 akibat
pengaruh suhu kalsinasi
Suhu
kalsinasi (oC)
Ukuran
kristal (𝐴 )
400
13,75
600
20,79
800
25,25
1000
48,88
Penelitian
sekarang
Suhu
kalsinasi (oC)
350 400 450 500 525 Gonzales
dan
Santiago
(2007) Ukuran
kristal (𝐴 ) 15,6 16,1 16,3 17,9 20
Suhu
kalsinasi (oC)
400 500 600 700 Ahmadi et
al. 2011 Ukuran
kristal (nm) 13,96 17,60 20,68 26,44
Morfologi TiO2
Bentuk permukaan film TiO2 pada suhu kalsinasi berbeda yaitu 400
oC,
600oC dan 800
oC memiliki ketebalan yang berbeda berturut-turut adalah 780,16
nm, 328,57 nm, dan 588,27 nm. Bentuk morfologi permukaan dari film TiO2
dengan pembesaran 40.000 kali dapat diamati pada Gambar 3.
Hasil SEM menunjukkan permukaan dari film tipis TiO2 pada suhu yang
berbeda dari 400oC, 600
oC, 800
oC dan 1000
oC. Pada Gambar 4 dapat diketahui
bahwa ukuran butir partikel TiO2 semakin bertambah besar dengan meningkatnya
suhu kalsinasi yaitu 43,06 nm, 44,91 nm dan 64,99 nm dan 80,40 nm. Pada suhu
400oC belum terlihat batas antar butir dengan jelas karena permukaan yang
hampir seragam dan rapat sehingga permukaan film terlihat rata, sedangkan pada
suhu 1000oC terlihat batas antar butir secara jelas sehingga membentuk pori.
9
(a) (b)
(c) (d)
(e)
Ganbar 4 Foto SEM dari film TiO2 (a) dengan perbedaan suhu kalsinasi (fase
anatase) 400oC (b), 600
oC (c), 800
oC (d), dan fase rutil 1000
oC (e)
Sifat Optik dan Energi Band Gap TiO2
Film TiO2 yang ditumbuhkan di atas substrat kaca dikarakterisasi sifat
optik untuk mengetahui spektrum serapan, dilanjutkan dengan penentuan energi
celah pita optik. Spektrum serapan TiO2 anatase dikalsinasi pada suhu yang
berbeda ditunjukkan pada Gambar 5. Daerah absorpsi pada kisaran ultraviolet
(UV) bergeser pada setiap kenaikan suhu. Perbedaan nilai tersebut menunjukkan
adanya serapan optik pada panjang gelombang UV. Tepi pita serapan bergeser ke
10
wilayah panjang gelombang lebih panjang atau frekuensi lebih kecil. Ketika TiO2
menyerap energi foton yang lebih besar atau sama dengan energi gap yang
dimiliki, maka elektron akan tereksitasi dari pita valensi menuju pita konduksi,
kemampuan absorpsi menjadi meningkat untuk panjang gelombang yang sesuai
dengan energi celah.
Energi celah dapat ditentukan berdasarkan koefisien absorpsi dalam
persamaan Tauc (1972) yaitu:
𝛼ℎ𝑣 = 𝐴 ℎ𝑣 − 𝐸𝑔 𝑛
(2)
dimana A adalah konstanta optik, α adalah koefisien absorpsi, hv adalah
energi foton, Eg adalah energi celah, dan n adalah nilai transisi yang bergantung
pada jenis transisi (transisi langsung n=1/2 dan transisi tidak langsung n=2).
Jika dalam proses transisi, momen elektron kekal (konservatif) maka
terjadi transisi langsung, namun jika sebaliknya dalam proses transisi tidak
konservatif maka harus disertai dengan energi fonon disebut sebagai transisi tidak
langsung (Islam et al. 2012).
Panjang gelombang (nm)
300 400 500 600 700 800 900
Abs
orba
nsi (
a.u)
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
400oC
600oC
800oC
Gambar 5 Spektrum absorpsi film TiO2 anatase pada suhu kalsinasi masing-
masing 400oC, 600
oC dan 800
oC
Jenis transisi film TiO2 dapat ditentukan berdasarkan nilai koefisien
absorpsi. Jika nilai koefisien lebih besar dari 104 termasuk transisi tidak langsung,
sebaliknya jika koefisien absorpsi kurang dari 104 merupakan transisi langsung
(Tauc 1972). Pada penelitian ini, hasil perhitungan koefisien absorpsi rata-rata
dari masing-masing suhu kalsinasi 400oC, 600
oC, 800
oC berturut-turut adalah
8,160x102, 1,754x10
3, dan 4,015x10
2 lebih kecil dari 10
4 sehingga termasuk
transisi langsung. Koefisien absorpsi dapat ditentukan menggunakan persamaan,
𝛼 =2,303 𝐴
𝑑 (3)
A adalah absorbansi, α adalah koefisiens absorpsi, dan d adalah ketebalan
film TiO2.
11
hv (eV)
1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5
( hv
)2(c
m-1
. eV
)2
0
1e+8
2e+8
3e+8
4e+8
4000C
6000C
8000C
Gambar 6 Plot energi (hv) terhadap (αhv)2 film TiO2 pada suhu kalsinasi masing-
masing 400oC, 600
oC dan 800
oC
Gambar 7 Plot energi foton (hv) terhadap perubahan suhu kalsinasi film TiO2
pada suhu kalsinasi yang berbeda
Energi celah (Gambar 6) ditentukan berdasarkan perpotongan kurva
bagian linear dengan sumbu energi (hv). Nilai energi celah pada kalsinasi 400oC,
600oC, 800
oC masing-masing 3,79 eV, 3,58 eV dan 3,35 eV. Berdasarkan hasil
tersebut dapat diketahui bahwa perubahan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
300 400 500 600 700 800 900
hv
(eV
)
Suhu (oC)
12
energi celah semikonduktor TiO2. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan ukuran
partikel-partikel TiO2.
Berdasarkan hasil plot kurva (Gambar 7) diketahui bahwa nilai energi celah
menurun terhadap peningkatan suhu kalsinasi. Gao et al. (2003) dan Ge et al.
(2006) menyatakan bahwa perubahan energi celah disebabkan oleh perubahan
ukuran pertikel karena adanya efek ukuran kuantum (quantum size effect). Hal ini
disebabkan oleh perubahan nilai quantum confinement yang menyebabkan
peningkatan energi kinetik pada medan kuantum yang diiluminasi, sehingga
energi celah meningkat seiring dengan penurunan ukuran partikel. Peristiwa
tersebut dikenal sebagai efek ukuran quantum. Beberapa penelitian sebelumnya
dilaporkan bahwa nilai energi celah TiO2 anatase yaitu 3,78 (Karabay et al. 2012),
3,6 eV (Gonz´alez dan Santiago 2007), 3,67 eV (Li et al. 2000), variasi suhu
kalsinasi 400oC sampai 700
oC masing-masing 3,67 eV , 3,40 eV, 3,80 eV, 3,65
eV (Gao et al. 2003), 3,36 eV (Reddy et al. 2002), dan 3,5-3,8 eV (Hasan et al.
2008).
Simpulan
Peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan struktur TiO2, terjadi
transformasi fase serta semakin kristal. Ukuran kristal sangat dipengaruhi oleh
lebar puncak difraksi yang tertinggi dari setiap fase. Selain itu, peningkatan suhu
sangat berpengaruh pada ukuran butir dan keterikatan antar butir TiO2. Semakin
tinggi suhu maka ukuran butir semakin meningkat, demikian halnya dengan
ukuran makin bertambah besar. Sifat optik TiO2 menunjukkan berada pada daerah
UV, dengan koefisien absorpsi yang mengindikasikan terjadinya transisi langsung.
Nilai energi gap sangat bergantung pada jenis transisi elektroniknya. Setiap
perubahan kenaikan suhu menyebabkan energi gap menjadi semakin berkurang.
3 POTENSI FIKOSIANIN DARI MIKROALGA Spirulina
platensis SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC
Pendahuluan
Fikosianin dapat dihasilkan dari beberapa jenis mikroalga yang
mengandung pigmen biru yaitu kelas mikroalga Cyanophyceae. Fikosianin dan
allofikosianin terdapat di dalam group Cyanobacteria yang mempertahankan
hidupnya pada lapisan permukaan danau, rawa, kolam dan perairan laut. Lebih
lanjut Hall dan Rao (1992) menyatakan bahwa fikosianin merupakan salah satu
dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi yang
tersedia dari matahari paling efisien dan bermanfaat dalam proses fotosintesis.
Fikosianin merupakan kompleks pigmen protein yang saling berhubungan dan
13
terlibat dalam pemanenan cahaya, energi transduksi dan dapat bertindak sebagai
bahan penyimpan nitrogen dan asam amino karena konsentrasi fikosianin tinggi
bila ditumbuhkan dalam kondisi nitrogen yang optimal. Protein kompleks yang
terdapat dalam Spirulina platensis lebih dapat dijadikan sumber kehidupan bagi
makhluk hidup dan merupakan prekursor bagi klorofil dan hemoglobin karena
mengandung magnesium dan besi yang merupakan pigmen biru yang secara
struktural mirip dengan karoten, yang telah diketahui mampu meningkatkan aksi
sistem kekebalan dan berperan aktif melindungi tubuh dari penyakit tertentu.
Pigmen ini mempunyai fungsi sebagai pewarna alami untuk makanan (Yoshida et
al. 1996), kosmetik (Cohen 1986), penelitian biomedis (Glazer 1994) dan obat-
obatan khususnya sebagai pengganti pewarna sintetik dan mampu mengurangi
obesitas (Bhat dan Madyastha 2001).
Fikosianin adalah pigmen yang paling banyak pada Spirulina (alga hijau
biru) dan jumlahnya lebih dari 20% berat kering alga (Vonshack 1997).
Fikosianin mempunyai absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang
546 nm. Berat bobot molekul fikosianin (C-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa,
namun ditemukan bobot molekul yang lebih besar (262 kDa) dari ekstrak
fikosianin segar pada banyak spesies. Bobot molekul yang lebih besar ini diduga
disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom (Ó Carra et al. 1976).
Spirulina sp. merupakan organisme multiseluler yang merupakan alga hijau-
biru. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak
bercabang dan mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan
protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Hasil
analisis asam amino dari Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer
ditemukan 18 asam amino (Oliverira et al. 2009). Spirulina sp. memiliki membran
tilakoid. Pada membran tilakoid terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang
terdiri dari fikobiliprotein yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan diduga
dapat melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya
berintensitas tinggi.
Spirulina dapat hidup di perairan tawar (S. fusiformis) maupun di air laut
(S.platensis, S.maxima, dll). Jenis Spirulina tersebut dapat menghasilkan pigmen
klorofil dan fikosianin. Pigmen fikosianin berwarna biru tua yang dapat
memancarkan warna merah tua. Biliprotein atau biasa dikenal dengan
fikobiliprotein adalah kelompok pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga
merah), Cyanophyta (alga hijau-biru) dan Cryptophyta (alga crytomonad). Pigmen
ini berfungsi sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis. Fikosianin
termasuk golongan biliprotein. Kelompok pigmen ini diantaranya adalah R-
phycoerythrin, C-phycoerythrin, B-phycoerythrin, allofikosianin, R-phycocyanin
dan C-phycocyanin. Bentuk lain dari fikosianin adalah allofikosianin, yang
merupakan pelengkap biliprotein dalam jumlah sedikit pada mikroalga merah dan
hijau-biru, sebagai penyalur energi di lokasi antara lamella klorofil-a dan
fikobilisom lainnya. Energi cahaya yang diterima fikobilisom siap ditransmisikan
oleh allofikosianin ke pusat reaksi. Allofikosianin dan C-fikosianin terdapat dalam
semua jenis mikroalga yang mengandung fikobiliprotein (Li et al. 2007).
14
Gambar 8 Struktur molekul fikosianin (Kathiravan dan Renganathan 2009)
Keberadaan gugus kromofor dan kemampuan fikosianin dalam menangkap
cahaya matahari yang tinggi serta gugus karboksil fikosianin (-COOH) yang
berperan penting untuk berikatan dengan permukaan semikonduktor tertentu
(misalnya TiO2). Kedua faktor ini mendorong penelitain lebih lanjut untuk
menjadikan fikosianin sebagai salah satu komponen dye sensitiser dalam
pembuatan DSSC.
Bahan dan Metode
Bahan
Bahan yang digunakan untuk proses kultivasi dan pemanenan alga Spirulina
platensis adalah air laut, NaOCl (klorin), Na2C2O3 (Natrium thiosulfat), media
Zarrouk teknis modifikasi (MgSO4, CaCl2, FeCl3, EDTA/ Ethylenediaminetetra
acetic, Urea, ZA, NaHPO4, Vitamin B12), larutan bufer sodium fosfat 10 mM
pH7 (Na2HPO4 dan NaH2POH2O), aluminium foil, inokulum kultur Spirulina
platensis, etanol, aquades.
Metode
Proses kultivasi diawali dengan persiapan air meliputi penyaringan air laut
menggunakan filter (50µm), penurunan salinitas air laut menjadi 15 ppt
menggunakan water quality measurement (WQM) sambil ditambahkan air tawar
untuk memperoleh salinitas yang diinginkan. Air laut yang telah diturunkan
salinitasnya diaerasi 24 jam setelah ditambahkan NaOCl 60 ppm. Kemudian
NaOCl dinetralkan kembali dengan menambahkan Na2C2O3 20 ppm sambil tetap
diaerasi selama 24 jam.
Kultivasi Spirulina platensis dilakukan di dalam ruangan (di Laboratorium
Bioteknologi Hasil Perairan II), menggunakan pupuk yang terdiri dari MgSO4,
CaCl2, FeCl3, EDTA, Urea, ZA, NaHPO4,Vitamin B12. Kultivasi dilakukan pada
suhu ruang. Selama kultivasi dilakukan pengukuran rapat optis (optical density
(OD)) kultur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
670 nm. Pengukuran rapat optis dilakukan setiap hari pada jam yang sama untuk
menentukan waktu pemanenan.
15
Pemanenan Spirulina platensis. dilakukan saat kepadatan sel sudah cukup
tinggi (rapat optis kultur >0,5). Pemanenan dilakukan dengan cara menyaring
biomasa menggunakan kain nylon mesh dengan kerapatan 20 μm. Pengeringan
biomasa S. platensis. dilakukan pada suhu ruang (25-300C).
Fikosianin diekstraksi (metode Lorenz) dari biomassa Spirulina sp.
menggunakan larutan buffer fosfat 10 mM pH 7. Prosedur ekstraksi dilakukan
dengan cara menambahkan larutan buffer fosfat ke dalam biomassa kering S.
platensis. yang akan diekstraksi. Campuran biomassa dan buffer fosfat dengan
perbandingan 0.04 gr/1 ml (Lorenz 1998) dikocok menggunakan vorteks agar
homogen. Sampel disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 10oC selama 24
jam. Selanjutnya disentrifugasi untuk memisahkan fikosianin dari biomasa
Spirulina sp dengan kecepatan minimum 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu
10oC. Kemudian memisahkan supernatan (bagian atas) cairan fikosianin berwarna
biru dan natan (bagian bawah) berupa padatan. Fikosianin dikeringkan dengan
cara freeze drying sampai pada suhu -50oC selama ± 104 jam, bentuk akhir berupa
serbuk kering siap digunakan sebagai dye dalam perakitan sel surya.
Fikosianin hasil ekstraksi dengan massa 0,2 gram diencerkan dalam buffer
posfat 2 ml sebanyak 3 kali pengenceran. Selanjutnya sampel tersebut diukur
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 615 nm dan 620 nm,
nilai optical density (OD) yang diperoleh pada masing-masing panjang gelombang
untuk mengetahui konsentrasi fikosianin (PC) dengan menggunakan persamaan
Bennet dan Bogorad (1973), yaitu:
𝑃𝐶 =(𝑂𝐷615 ) − 0,474 𝑂𝐷620
5,34 (4)
PC adalah konsentrasi fikosianin (mg/ml), OD615 adalah nilai absorbansi
pada panjang gelombang 615 nm, dan OD620 adalah nilai absorbansi pada
panjang gelombang 620 nm. Selanjutnya mengukur absorbansi dan emisi
fikosianin menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Diagram alir proses kultivasi
dan ekstrak fikosianin disajikan pada Gambar 9.
Pengukuran fluoresensi menggunakan spektrofotometer (Ocean Optics USB
4000), dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer ke
komputer yang telah diinstal program SpectraSuite. Setelah itu tempat kuvet
dihubungkan ke spektrofotometer, lalu dihubungkan juga dengan sumber cahaya.
Proses pengukuran ini merupakan lanjutan dari pengukuran absorbansi (Gambar
1), akan tetapi sumber cahaya yang digunakan adalah laser. Laser disinari
langsung terhadap kuvet yang berisi larutan klorofil tersebut, sehingga diperoleh
kurva fluoresensi yang terbentuk pada komputer. Kurva fluoresensi yang
terbentuk ditandai dengan adanya pendaran cahaya merah pada larutan fikosianin
yang terkena laser tersebut. Data yang diperoleh adalah nilai fluoresensi dari
konsentrasi fikosianin yang terukur.
16
Gambar 9 Diagram alir kultivasi dan ekstrak fikosianin mikroalga S. platensis
Inokulum Spirulina
Kultivasi
Pemanenan dan penyaringan
Biomassa basah
Pengeringan (suhu oven=300C; waktu=48 jam)
Penambahan buffer fosfat
(10 mM,0.04 gr/1ml)
Ekstraksi dengan sentrifuse
(12.000 rpm; waktu=15 menit)
Penggerusan
Pengadukan dengan vortex
(waktu=20 menit)
Pengeringan dengan freeze dryer
(suhu= -500C; waktu =104 jam)
Fikosianin (kering)
Karakterisasi (UV-Vis)
17
Hasil dan Pembahasan
Rendemen Fikosianin S. platensis
Kultivasi dilakukan dengan media MT (media teknis modifikasi Hastuti)
dengan pemberian aerasi serta intensitas cahaya 3000 lux. Salinitas air laut yang
digunakan sebesar 15 ppt. Kandungan garam yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan inokulum tidak mampu untuk bertahan hidup. Pertumbuhan kultur
ditandai dengan perubahan nilai optical density (OD) yang meningkat dan
mengindikasikan jumlah sel yang semakin padat. Kandungan nutrien dari media
MT yang digunakan berupa nitrogen (berasal dari urea) merupakan salah satu
faktor yang memicu pertumbuhan sel.
Gambar 10 Sel fikosianin Spirulina platensis
Waktu (Hari)
0 2 4 6 8 10 12
OD
67
0 n
m (a
.u)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
Gambar 11 Pertumbuhan S.platensis pada media MT
18
Bentuk sel berupa benang yang memanjang, filamen berwarna hijau-biru
berbentuk silinder dan tidak bercabang (Gambar 10). Pengamatan kepadatan sel
dilakukan setiap 24 jam pada jam yang sama dengan menggunakan
spektrofotometer. Kepadatan sel optimum ( fase stasioner) pada hari ke-8 dengan
nilai OD > 0,5. Pada keadaan tersebut, kultur dapat dipanen dengan menggunakan
nylon mesh.
Pemisahan pigmen fikosianin dari biomassa tersebut dilakukan melalui
proses yang disebut ekstraksi. Achmadi (1992) menyatakan bahwa proses
ekstraksi bertujuan untuk memperoleh ekstrak murni atau ekstrak yang hanya
terdiri dari satu komponen tunggal. Ekstraksi dapat dilakukan dengan
menggunakan aquades dan bufer posfat. Pada penelitian ini digunakan bufer
posfat 10 mM dengan pH 7 dengan cara organic phase. Hal ini bertujuan untuk
menentukan konsentrasi fikosianin (PC) dan kemurnian fikosianin (Silveira et al.
2007). Inokulum S.platensis yang dikultur dari 80 liter dihasilkan berat kering
biomassa 10,46 gram dan bobot fikosianin dalam bentuk bubuk kering 5,50 gram.
Berdasarkan jumlah bobot kering yang dihasilkan menunjukkan bahwa metode
MT cukup optimum untuk menghasilkan fikosianin. Bahan yang digunakan
cenderung lebih murah (bahan teknis) serta kultivasi dapat dilakukan di dalam
ruangan.
Sifat Optik Fikosianin
Fikosianin adalah penyimpan cadangan nitrogen dan asam amino serta
merupakan pigmen fotosintetik utama pada Spirulina. Fikosianin merupakan
protein yang bersifat larut air yang dapat dibebaskan secara sederhana yaitu oleh
penghancuran mekanis, seperti perlakuan pembekuan kemudian dicairkan (freeze-
thaw). Fikosianin banyak digunakan sebagai pewarna alami untuk bahan pangan.
Keberadaan pigmen fikosianin ini mampu menyerap cahaya yang datang.
Pigmen fikosianin merupakan kelompok pigmen fikobiliprotein yang
dipisahkan menjadi dua kelompok utama berdasarkan warnanya. Kelompok
pertama adalah fikoeritrin, yaitu pigmen berwarna merah bila terkena cahaya dan
memancarkan cahaya pendar berwarna kuning-oranye. Kelompok kedua adalah
fikosianin, yaitu pigmen berwarna biru dan memancarkan cahaya pendar merah
kuat. Pigmen ini di Spirulina berfungsi sebagai pigmen asesoris yang membantu
klorofil sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis (Ó Carra & Ó hEocha
1976).
Serapan merupakan kuantitas yang menyatakan kemampuan bahan dalam
menyerap cahaya. Senyawa organik mampu menyerap cahaya karena
mengandung elektron valensi yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih
tinggi. Salah satu senyawa organik tersebut adalah fikosianin. Spektrum serapan
yang diperoleh dari hasil ekstrak fikosianin dengan warna biru pekat ditunjukkkan
pada Gambar 12.
19
Panjang gelombang (nm)
400 500 600 700 800 900
Abso
rban
si (
a.u)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Em
isi (
a.u)
-5000
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000Absorbsi
Emisi619,36
708,55
Gambar 12 Perbandingan spektrum absorpsi dan emisi fikosianin
Ketika fikosianin diiluminasi cahaya maka akan menyerap foton sehingga
terjadi eksitasi elektron ke level LUMO. Elektron kembali ke keadaan dasar
sambil mengemisikan cahaya (fluoresensi). Gambar 12 memperlihatkan serapan
dan emisi sampel larutan pigmen fikosianin yang diukur dari panjang gelombang
400 nm hingga 700 nm. Pada gambar tampak jelas bahwa karakteristik puncak
serapan berada pada wilayah spektrum cahaya tampak (visible). Spektrum serapan
(absorpsi) dan emisi (fluoresens) ekstrak fikosianin ditunjukkan pada Gambar 12.
Soret band fikosianin berada pada panjang gelombang 619,36 nm dan Q band
maksimum pada panjang gelombang 708,55 nm. Soret band merupakan keadaan
fikosianin yang mampu menyerap foton dan bergeser pada panjang gelombang
yang lebih pendek atau energi yang lebih besar. Q band adalah keadaan
maksimum ketika fikosianin bergeser pada panjang gelombang yang lebih besar
atau energi yang lebih kecil. Hal ini disebabkan adanya perbedaan keadaan
elektronik fikosianin ketika diiluminasi cahaya.
Gambar 13 memperlihatkan perbedaan energi relaksasi antara keadaan
absorpsi dan emisi fikosianin. Nilai pergeseran Stokes berdasarkan perbedaan
transisi absorpsi dan emisi fikosianin adalah 0,152 eV. Keadaan absorpsi dengan
energi relaksasi 2,945 eV dan spektrum emisi tertinggi yang bersesuaian dengan
energi relaksasi 2,793 eV. Pergeseran Stokes ini terjadi karena struktur relaksasi
fikosianin pada keadaan dasar (ground state) berbeda jika dibandingkan dengan
struktur relaksasi pada keadaan tereksitasi. Nilai pergeseran panjang gelombang
tersebut menunjukkan bahwa fikosianin mampu memanen cahaya tampak yang
paling banyak dipancarkan oleh sinar matahari. Berbeda dengan dye sintetis yang
mampu menyerap sampai panjang gelombang infra merah, sehingga akumulasi
elektron juga lebih besar.
20
Energi (eV)
2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0
Inte
nsi
tas
Flu
ore
sens
(a.u
)
-5000
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000A
bso
rbansi
(a.u
)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Emisi
Absorbsi
2,793
2,945
Gambar 13 Plot energi (hv) vs absorbansi dan flouresens fikosianin
Transisi elektronik merupakan penyebab terjadinya transisi absorpsi
tersebut. Lebar spektrum ditentukan transisi elektron dari satu keadaan energi ke
keadaan yang lain, serta meliputi beberapa keadaan vibrasi. Peristiwa ini terjadi
karena perbedaan energi antara dua keadaan yang berdekatan karena keadaan
vibrasi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan keadaan elektroniknya. Kedua
karakteristik ini menunjukkan bahwa fikosianin mampu menyerap cahaya yang
datang serta memancarkan kembali cahaya yang diterima. Hal ini merupakan
salah satu karakteristik pigmen yang cocok digunakan sebagai sensitiser dalam sel
surya.
Simpulan
Fikosianin yang dikarakterisasi berdasarkan sifat optiknya, diperoleh bahwa
daerah absorpsi dan emisi berada pada daerah cahaya tampak. Jenis fikosianin
tersebut adalah C-fikosianin sehingga menyerap kuat pada panjang gelombang
kuning dan orange serta memancarkan cahaya pendar merah. Hasil karakterisasi
menunjukkan bahwa fikosianin merupakan salah satu pigmen yang mampu
dijadikan sebagai dye sensitiser dalam pembuatan sel surya DSSC.
21
4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DSSC
TiO2/FIKOSIANIN
Pendahuluan
Integrasi antara protein pemanen cahaya dan molekul fotosintesis lainnya
dengan permukaan semikonduktor memiliki peranan penting dalam meningkatkan
performa sebagai material sel surya. Prinsip DSSC didasarkan pada fotosensitisasi
yang diproduksi oleh pewarna pada celah pita lebar semikonduktor logam oksida
mesopori, sensitisasi ini disebabkan adanya penyerapan zat warna dari bagian
spektrum cahaya tampak (Martínez et al. 2012). Fikosianin mempunyai absorpsi
cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm, merupakan salah satu
protein yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan tersebut karena fikosianin
termasuk ke dalam kelompok fikobilisom yang bersifat sebagai pemanen cahaya.
Dengan struktur partikel yang nano maka permukaan dari TiO2 yang dilapiskan
menjadi lebih luas sehingga memperbanyak dye yang terserap dan elektron yang
tereksitasi. Semakin banyak dye yang terserap dan elektron yang tereksitasi maka
akan mengakibatkan meningkatnya efisiensi.
Penggunaan pigmen alami seperti klorofil dan porfirin (Wang dan Kitao
2012) dan antosianin (Cherepy et al. 1997; Dai dan Rabani 2002) sebagai
sensitiser pada DSSC telah dilakukan. Selain itu pada tahun sebelumnya telah
dilakukan penelitian tentang fenomena transport muatan pada beberapa
pikobiliprotein yaitu fikosianin dan pikoeritrin melalui analisis efek fotovoltaik
arus photo dan arus-tegangan pada kondisi gelap pada lapisan Au-pikobiliprotein-
Au, karena pikobiliprotein merupakan antenna protein-pigmen yang berperan
dalam pemanenan cahaya (Beladekere et al. 1993). Beberapa kriteria fikosianin
sehingga cocok digunakan sebagai dye dalam DSSC karena absorpsi yang
signifikan pada cahaya tampak dan memiliki gugus karboksilat (-COOH) sebagai
grup pengikat antara dye dan permukaan TiO2. Fikosianin mengandung beberapa
bilin kromofor dan koefisien absorbansi tinggi di wilayah visible (𝜆 = 615 nm),
fluoresensi quantum yield tinggi (Φ= 0,8) tidak bergantung pada pH, memiliki
absorpsi kuat di sekitar 615 nm dan emisi yang kuat pada 642 nm, memiliki
fluoresens life time (nano detik) dibandingkan dye yang banyak digunakan seperti
pewarna berbasis N3 atau N719 Ru.
Fikosianin sangat larut dalam air dan stabil dalam larutan bersuhu rendah
juga sebagai fase padat, sehingga dapat disimpan untuk waktu yang lama (Benko
et al. 2002; Hara et al. 2005; Katoh et al. 2007). Gugus karboksilat dapat
menjadikan dye lebih efisien karena melekat pada permukaan ampoter oksida
TiO2 dapat bereaksi dengan permukaan oksida dengan membentuk ester dan dapat
menaikkan pasangan elektronik dye dari tingkat eksitasi (molekul orbital yang
memiliki orbital p anti bonding) menuju tingkat akseptor semikonduktor (pita
konduksi TiO2) (Kalyanasundaram et al. 1998).
Kathiravan dan Renganathan (2009) telah meneliti tentang proses transfer
elektron dari fikosianin tereksitasi ke pita konduksi TiO2. Kemampuan eksitasi
fikosianin untuk menginjeksi elektron ke dalam pita konduksi TiO2 ditentukan
22
oleh perbedaan energi antara pita konduksi pada TiO2 dan potensial oksidasi pada
keadaan eksitasi fikosianin. Sesuai dengan persamaan:
𝐸𝑠∗/𝑠+= 𝐸𝑠/𝑠+
− 𝐸𝑠 (5)
Potensial oksidasi pada keadaan eksitasi fikosianin adalah -1,41 vs SCE
(saturated calomel electrode), dimana 𝐸𝑠/𝑠+adalah potensial oksidasi fikosianin
0,53 V vs SCE, 𝐸𝑠 merupakan keadaan energi tereksitasi 1,94 eV keadaan energi
eksitasi dari fikosianin yang ditentukan dari fluoresens maksimum bedasarkan
metode yang dilaporkan (Shin et al. 2002). Level energi dari pita konduksi TiO2
adalah -0,52 V vs SCE (Ramakrishna et al. 2001).
Gambar 14 Interaksi antara gugus fikosianin dengan permukaan TiO2 (Kathiravan
dan Renganathan 2009)
Peningkatan arus foto berkaitan erat dengan penyerapan cahaya yang
disempurnakan dari film semikonduktor setelah terintegrasi dengan protein,
seperti terlihat melalui karakterisasi spektrum UV-Vis dan spektrum arus-foto.
Perakitan menunjukkan stabilitas jangka panjang sehingga merupakan foto anoda
hibrida menjanjikan untuk aplikasi fotoelektrokimia (Bora et al. 2012). Hal ini
menunjukkan bahwa transfer elektron dari keadaan tereksitasi fikosianin ke pita
konduksi TiO2 merupakan transfer energi yang sangat baik.
Prinsip sel surya sambungan p-n, ketika semikonduktor tipe-p dan tipe-n
disambungkan maka akan terjadi difusi hole dari tipe-p menuju tipe-n. Difusi
tersebut akan meninggalkan daerah yang lebih positif pada batas tipe-n dan daerah
lebih negatif pada batas tipe-p. Batas tempat terjadinya perbedaan muatan pada
sambungan p-n disebut dengan daerah deplesi. Adanya perbedaan muatan pada
daerah deplesi akan mengakibatkan munculnya medan listrik yang mampu
menghentikan laju difusi selanjutnya. Medan listrik tersebut mengakibatkan
munculnya arus drift (Wei et al. 2007).
Sel surya p-n ketika tidak disinari mirip dengan karakteristik hubungan arus
tegangan diode ideal:
23
𝐼 = 𝐼0 𝑒𝑥𝑝 −𝑞𝑉
𝑘𝑇 − 1 (6)
Arus yang mengalir pada persambungan p-n ketika disinari cahaya adalah:
𝐼 = 𝐼𝑝ℎ + 𝐼0 𝑒𝑥𝑝 −𝑞𝑉
𝑘𝑇 − 1 (7)
Pada rangkaian terbuka (open circuit), I=0 maka:
𝑉𝑜𝑐 =𝑘𝑇
𝑞𝑙𝑛
𝐼𝑝ℎ
𝐼0 (8)
q adalah elemen muatan, k adalah konstanta Boltzman, T adalah temperatur
mutlak, I0 adalah intensitas awal dan I adalah arus jenuh (saturasi) persambungan.
Elektron adalah partikel bermuatan yang mampu dipengaruhi oleh medan
listrik. Kehadiran medan listrik pada elektron dapat mengakibatkan elektron
bergerak. Hal inilah yang dilakukan pada sel surya sambungan p-n, yaitu dengan
menghasilkan medan listrik pada sambungan p-n agar elektron dapat mengalir
akibat kehadiran medan listrik tersebut. Ketika sambungan semikonduktor ini
terkena cahaya matahari, maka elektron mendapat energi dari cahaya matahari
untuk melepaskan dirinya dari semikonduktor n, daerah deplesi maupun
semikonduktor. Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole pada daerah yang
ditinggalkan oleh elektron yang disebut dengan fotogenerasi elektron-hole
(electron-hole photogeneration) yakni, terbentuknya pasangan elektron dan hole
akibat cahaya matahari (Kayes 2009).
Bahan dan Metode
Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan sel surya tersensitisasi dye
fikosianin adalah TCO, bubuk fikosianin, bubuk TiO2, etanol, asam asetat 3%,
elektrolit polimer PEG/kitosan, karbon konduktif.
Metode
Proses pembuatan sel surya diawali dengan membersihkan kaca preparat
(TCO) dengan aquadest/etanol di dalam ultrasonic bath, kemudian dikeringkan.
Masing-masing bubuk TiO2 dan fikosianin ditimbang dengan perbandingan 1:1
(0,2 gram). Bubuk TiO2 ditetesi dengan asam asetat 3% sambil digerus dengan
mortar sampai homogen membentuk koloid. Kemudian ditambahkan bubuk
fikosianin sambil ditetesi dengan etanol (5-6 tetes) sambil tetap digerus sampai
merata. Kaca TCO dengan permukaan yang konduktif dilapisi dengan selotip
Scotch dengan menyisakan bagian tengah berukuran 1cm x 1cm. Bagian yang
terbuka ditetesi dengan koloid TiO2-fikosianin dan diratakan menggunakan batang
gelas yang bersih sampai menutupi semua bagian yang terbuka secara merata,
dibiarkan beberapa menit sampai agak mengering. Lapisan selotip Scoth pada
masing-masing tepi kaca TCO dilepas secara perlahan, kemudian dikeringkan
pada suhu ruang selama 12 jam.
24
Kaca TCO yang lain (sebagai counter electrode) setengah sisi konduktif
dilapisi karbon dengan menggosokkan ujung pensil karbon (Monolith HB) secara
merata. Permukaan film TiO2/fikosianin ditetesi dengan larutan elektrolit polimer
PEG/kitosan (perbandingan konsentrasi garam alkali iodida 0,5 M dan I2 0,05 M).
Perakitan sel surya dilakukan dengan menempelkan kedua kaca (bagian yang dilapisi
TiO2/fikosianin dengan counter electrode) secara berhadapan sambil dijepit pada sisi
kiri dan kanan.
Sel surya dirangkai untuk pengujian karakteristik arus-tegangan (I-V)
(Gambar 13). Pengukuran nilai arus dan tegangan dilakukan dengan
menggunakan amperemeter digital dalam orde mikroampere serta voltmeter
digital dalam orde milivolt. Nilai keluaran I-V sel diukur menggunakan sinar
matahari langsung dengan intensitas ± 120 Watt/m2.
Karakteristik I-V menjelaskan bagaimana DSSC tersebut mampu bekerja
di bawah cahaya langsung. Hal tersebut dapat terlihat pada kurva yang terdiri atas
beberapa parameter seperti arus hubungan singkat Isc (short circuit) yaitu arus
ketika potensial sama dengan nol, tegangan rangkaian terbuka Voc (open circuit
voltage) yaitu tegangan ketika beban luar diberikan sangat besar, Vmax yaitu
tegangan yang memberikan nilai daya maksimum, dan Imax yaitu arus yang
memberikan nilai daya maksimum.
𝑃𝑚𝑎𝑥 = 𝑉𝑚𝑎𝑥 𝐼𝑚𝑎𝑥 = 𝑉𝑜𝑐 𝐼𝑠𝑐𝐹𝐹 (9)
Faktor pengisi atau fill factor (FF) adalah perbandingan antara perkalian arus
maksimum dan tegangan maksimum dengan perkalian Voc dan Isc.
𝐹𝐹 =𝐼𝑚𝑎𝑥 𝑉𝑚𝑎𝑥
𝐼𝑠𝑐𝑉𝑜𝑐 (10)
Efisiensi merupakan perbandingan antara daya yang dihasilkan sel surya
dengan daya sinar/cahaya yang mengenai sel surya tersebut. Adapun hubungan
dari parameter tersebut adalah:
𝜂 =𝑃𝑚𝑎𝑥
𝑃𝑖𝑛 𝑥 100% (11)
Pmax adalah daya maksimum yang dihasilkan sel surya dan Pin adalah daya sumber
cahaya yang digunakan (Maddu et al. 2007). Rangkaian komponen untuk
mengukur keluaran sel surya disajikan pada gambar 15. Diagram alir perakitan sel
surya dapat disajikan pada Gambar 17.
(a) (b)
Gambar 15 Rangkaian terbuka [Voc] (a), Rangkaian pengukuran arus- tegangan
(I -V) sel surya (b)
25
Gambar 16 Kurva arus-tegangan (I-V)
Gambar 17 Proses perakitan (assembly) sel surya hibrid TiO2/fikosianin
TiO2 + Fikosianin (bubuk) (1:1)
Penambahan larutaan (etanol 96%, asam asetat 3%)
Homogenisasi (Penggerusan dengan mortar )
Pelapisan pada kaca TCO (1cm x 1cm; tebal 2 mm)
Penambahan elektroda lawan
(TCO dilapisi karbon)
Pengeringan
(suhu ruang; 6-12 jam)
Sel surya (DSSC)
Penambahan elektrolit (PEG/kitosan/KI/I2)
Penambahan elektrolit (PEG-kitosan/KI/I2)
Pengukuran sel surya (I-V)
26
Hasil dan Pembahasan
Sifat Optik Hybrid TiO2/Fikosianin
Pigmen fikosianin merupakan kelompok pigmen fikobiliprotein yang
diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama berdasarkan warnanya. Kelompok
pertama adalah fikoeritrin, yaitu pigmen berwarna merah bila terkena cahaya dan
memancarkan cahaya pendar berwarna kuning-orange. Kelompok kedua adalah
fikosianin, yaitu pigmen berwarna biru dan memancarkan cahaya pendar merah
kuat. Pigmen ini di Spirulina berfungsi sebagai pigmen asesoris yang membantu
klorofil sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis (Ó Carra dan Ó hEocha
1976).
Panjang Gelombang (nm)
300 400 500 600 700 800 900
Abso
rban
si (
a.u)
0,22
0,24
0,26
0,28
0,30
0,32
0,34
0,36
Abso
rban
si (a
.u)
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
TiO2/Fikosianin
TiO2
Gambar 18 Daerah spektrum absorpsi film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin
Karakteristik penting dari bahan dye yang digunakan untuk DSSC yaitu mampu
menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi TiO2. Daerah
spektrum serapan film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin disajikan pada
Gambar 18. Gambar tersebut mengindikasikan bahwa gugus karboksil (-COOH)
pada gugus molekul fikosianin mampu berikatan dengan permukaan TiO2 ditandai
dengan perbedaan daerah serapan antara kedua sampel. Serapan film TiO2
(sebelum ditambahkan fikosianin) sekitar 300 nm sedangkan serapan film hibrid
TiO2/fikosianin melebar dari 300 nm sampai 700 nm atau hampir meliputi seluruh
spektrum tampak. Hal ini menunjukkan bahwa pelebaran spektrum serapan film
hibrid TiO2/fikosianin sangat dipengaruhi oleh fikosianin.
Fikosianin berperan sebagai sensitiser, karena keberadaan fikosianin pada
film tersebut mampu berikatan dengan TiO2 serta diharapkan menyerap lebih
banyak jenis cahaya tampak dari matahari yang datang ketika diiluminasi. Semakin banyak cahaya yang terserap sehingga semakin banyak pula elektron yang
di transfer dari level LUMO ke pita konduksi TiO2. Hal ini menyebabkan kuantitas
transfer elektron makin meningkat sehingga efisiensi sel surya yang dihasilkan juga
semakin meningkat. Luas daerah spektrum absorpsi yang semakin meningkat
mengindikasikan bahwa semakin baik untuk aplikasi sel surya. Gratzel (2003)
27
menyatakan bahwa efisiensi yang dihasilkan dye alami masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan dye sintetis N3 (ruthenium). Hal ini disebabkan karena
ketidakmampuan dalam menyerap panjang gelombang infra red (IR) atau near infra
red (NIR)
Karakteristik Sel Surya
Karakteristik arus–tegangan (I-V) dari masing-masing sel yang dibuat
berdasarkan variasi suhu kalsinasi TiO2 menunjukkan bahwa ketiga sampel
tersebut telah merespon cahaya ketika diiluminasi. Performa sel surya ditentukan
dari parameter-parameter sel surya yang diperoleh melalui karakterisasi arus–
tegangan. Tabel 2 menunjukkan karakteristik I-V ketika sel diiluminasi di bawah
sinar matahari langsung dengan intensitas 120 Watt/m2 pada masing-masing sel,
dengan suhu kalsinasi TiO2 pada 400oC, 600
oC dan 800
oC.
Penyinaran dengan cahaya pada masing-masing sel dapat meningkatkan
arus maju. Pada keadaan tersebut, fikosianin sebagai donor elektron mampu
membangkitkan lebih banyak eksiton. Eksiton tersebut akan terpisah menjadi
elektron dan hole karena adanya medan listrik yang muncul pada persambungan
TiO2 dan fikosianin. Akibatnya, pasangan muatan elektron-hole tersebut bergerak
menuju elektroda. Hole menuju anoda sedangkan elektron menuju katoda.
Perbedaan jumlah muatan antara kedua elektroda tersebut menimbulkan beda
potensial. Tegangan ketika rangkaian terbuka disebut open circuit voltage (Voc).
Selanjutnya, arus listrik mengalir dari anoda menuju katoda akibat pemberian
beban pada sel, arus ini disebut short circuit current (Isc).
Tegangan (mV)
10 20 30 40 50
Rapat A
rus
(mA
/cm
2)
( x 1
0-3
)
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
Gambar 19 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi
400oC
Kualitas sel surya dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan fill factor (FF).
Nilai FF dikalkulasi dengan menggunakan data keluaran berupa arus dan tegangan,
disubstitusi ke dalam persamaan (10). Sel surya dikatakan sempurna jika nilai FF
adalah 1. Kurva yang dihasilkan pada Gambar 19 mendekati kurva ideal dari
karakteristik arus tegangan sel surya. Nilai FF yang dihasilkan adalah 0,54 dengan
efisiensi 0,06% (berdasarkan persamaan 11).
28
Tegangan (mV)
20 40 60 80 100 120 140 160
Rap
at A
rus
(mA
/cm
2)
( x
10
-3)
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
Gambar 20 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi
600oC.
Nilai FF sel pada Gambar 20 bentuk kurva yang dihasilkan kurang ideal
jika dibandingkan dengan sel pada Gambar 19. Kemampuan sel dalam
mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dapat dilihat dari besarnya
efisiensi yang dihasilkan yaitu 0,29%, lebih besar jika dibandingkan sel pada
perlakuan kalsinasi 400oC sebesar 0,06%. Hal ini mengindikasikan bahwa
performa sel dipengaruhi oleh perubahan suhu kalsinasi.
Tegangan (mV)
50 100 150 200 250 300 350
Rap
at A
rus
(mA
/cm
2 )
( x 1
0-3)
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Gambar 21 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi
800oC
Pada Gambar 21, nilai FF yang dihasilkan 0,64 paling tinggi dari dua sel
lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas sel surya pada suhu kalsinasi
800oC lebih ideal. Efisiensi yang dihasilkan 1,04% paling tinggi dari dua sel
lainnya. Proses transfer elektron dalam rangkain lebih optimum, sehingga
keluaran yang dihasilkan juga lebih tinggi.
Tabel 2 Nilai performa dari setiap sel
Suhu kalsinasi
(oC)
Isc
(mA)
Voc
(mV)
Pmaks
(mW)
Fill factor
(FF)
Efisiensi
(%)
400oC
600oC
800oC
2,6 x 10-4
6,8 x 10-4
8,9 x 10-4
53,4
144,3
318
0,01
0,10
0,28
0,54
0,35
0,64
0,06
0,29
1,04
29
Kemampuan sel mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik pada
efisiensi tertinggi (Tabel 2) pada sel dengan kalsinasi 800oC yaitu 1,04%.
Semakin tinggi suhu kalsinasi TiO2 maka efisiensi yang dihasilkan makin
meningkat. Nilai efisiensi yang dihasilkan belum optimum. Hal ini diduga karena
banyak faktor, misalnya jarak antara level LUMO (Lowest Unoccupied Molecular
Orbital) dan level pita konduksi TiO2 merupakan faktor penting dalam
menentukan rapat arus (Jsc). Energi celah yang semakin besar menandakan bahwa
jarak antara pita konduksi dan level LUMO juga semakin besar. Level energi
LUMO harus lebih negatif yang bersesuaian dengan pita konduksi TiO2. Masalah
agregasi dan posisi energi yang tidak sesuai pada level LUMO fikosianin yang
terlalu rendah, sehingga proses terjadinya transfer elektron ke pita konduksi TiO2
yang sangat jauh. Hal ini menyebabkan pengumpulan elektron sulit terjadi dari
proses transfer elektron sehingga rapat arus yang dihasilkan menjadi lebih kecil.
Rapat arus yang kecil menyebabkan efisiensi yang dihasilkan pada DSSC juga
menjadi kecil.
Gambar 22 Plot nilai arus hubungan singkat (Isc) terhadap perubahan suhu
kalsinasi TiO2
Nilai arus terhubung singkat (Isc) pada sel 400oC adalah 0,26 mA lebih kecil
jika dibandingkan dua sel lainnya, sel 600oC sebesar 0,68 mA dan sel 800
oC
sebesar 0,89 mA. Hal ini sebanding dengan peningkatan nilai Voc, semakin tinggi
suhu kalsinasi maka ukuran partikel semakin kecil dan semakin kristal. Semakin
banyak sensitizer (dye fikosianin) yang terjerap. Dengan demikian akumulasi
elektron yang dialirkan menuju elektroda akan semakin meningkat sehingga arus
semakin besar.
Demikian pula dengan tegangan open circuit (Voc) untuk sel pada suhu
kalsinasi 400oC adalah 53,4 mV lebih rendah jika dibandingkan pada sel 600
oC
144 mV dan sel 800oC sebesar 318 mV. Nilai Voc yang kecil disebabkan karena
ukuran partikel TiO2 yang masih besar sehingga luasan permukaannya rendah.
Dengan demikian jumlah molekul dye yang terjerap pada permukaan partikel
masih rendah. Hal ini menyebabkan jumlah muatan elektron yang ditransfer ke
pita konduksi TiO2 relatif sedikit, sehingga nilai beda potensial antara kedua
0
0.0001
0.0002
0.0003
0.0004
0.0005
0.0006
0.0007
0.0008
0.0009
0.001
300 400 500 600 700 800 900
Isc
(mA
)
Suhu ( oC)
30
ujung elektroda sel 400oC lebih kecil jika dibandingkan dengan dua sel lainnya
yang cenderung meningkat (Gambar 23).
Gambar 23 Plot nilai tegangan rangkaian terbuka (Voc) terhadap perubahan suhu
kalsinasi TiO2
Nilai tegangan open-circuit (Voc) dan rapat arus (Isc) yang diperoleh dari
ketiga jenis sel semakin meningkat seiring dengan peningkatan suhu kalsinasi
TiO2.
Peningkatan suhu kalsinasi selain menyebabkan perubahan ukuran partikel
juga menyebabkan ukuran pori semakin besar sehingga memungkinkan lebih
banyak dye yang terjerap. Faktor stabilitas dye yang digunakan yaitu dye mudah
terdegradasi sehingga mengurasi kinerja dalam proses transfer elektron. Faktor
proses redoks pada elektrolit yaitu terdapat kebocoran elektrolit sehingga proses
pertukaran elektron tidak mampu mengimbangi pengisian kekosongan muatan
pada fikosianin yang berlangsung secara siklik. Faktor lain misalnya molekul dye
yang terjerap ke partikel TiO2 relatif masih sedikit sehingga jumlah elektron yang
terakumulasi lebih sedikit pula, dengan demikian beda potensial yang terukur
antara kedua ujung elektroda akan semakin kecil.
Performa DSSC paling efisien yang banyak dikembangkan menggunakan
dye sintetis berbasis ruthenium yang mengandung pewarna metal-organik yang
teradsorpsi pada nanokristalin TiO2. Hasil terbaik yang pernah dilaporkan dari sel
dalam mengubah energi matahari menjadi energi listrik mampu menghasilkan
efisiensi 10-11% (Argazzi et al. 2004). Dye organik banyak dikembangkan
dalam penelitian karena lebih murah dari ruthenium kompleks, memiliki koefisien
absorbsi besar karena transisi intramolekul 𝛿 − 𝛿∗ dan tidak ada kekhawatiran
tentang sumber daya yang terbatas serta tidak mengandung logam mulia seperti
ruthenium (Kathiravan et al. 2009). Beberapa penelitian yang menggunakan dye
organik sebagai sensitiser dalam DSSC disajikan pada Tabel 3.
0
50
100
150
200
250
300
350
300 400 500 600 700 800 900
Voc
(mV
)
Suhu ( oC)
31
Tabel 3 Nilai efisiensi dari dye organik pada beberapa penelitian DSSC
Jenis dye alami Efisiensi (%) Keterangan
ZnO-Klorofil
ZnO-Porfirin
2,7
2,9
Wang dan Kitao (2012)
Buah Murbei 0,548 Chang dan Lo (2010)
Antosianin (kol merah) 0,055 Maddu et al. 2007
Karatenoid:
1. Crocetin
2. Crocin
0,56
0,16
Yamazaki et al. 2006
Antosianin (buah blackberry) 0,56 Cherepy et al. 1997
Optimasi dari DSSC masih merupakan tugas yang menantang karena
merupakan interaksi sistem molekul yang sangat kompleks. Permukaan kation-
teradsorpsi memberikan pengaruh besar pada efisiensi DSSC. Selanjutnya,
konsentrasi kation antarmuka juga mempengaruhi stabilitas keterikatan
permukaan sensitizer.
Simpulan
Fikosianin yang terjerap pada permukaan TiO2 mampu menyerap panjang
gelombang tampak sehingga memperlebar daerah serapan akibatnya
meningkatkan jumlah elektron yang tereksitasi ke pita konduksi TiO2. Elektron
tersebut dialirkan untuk menghasilkan keluaran berupa arus-tegangan. Proses
transfer elektron dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya stabilitas dye,
kebocoran elektrolit, dan posisi energi yang tidak sesuai pada level LUMO dye
dan pita konduksi semikonduktor TiO2. Hal tersebut menyebabkan performa dari
sel yang dihasilkan belum optimum. Nilai efisiensi sel surya semakin meningkat
seiring dengan kenaikan suhu kalsinasi.
5 PEMBAHASAN UMUM
Sintesis nanopartikel TiO2 dilakukan melalui metode sol gel melalui tahap
hidrolisis. Peningkatan suhu kalsinansi mampu merubah ukuran partikel dan
ukuran kristal TiO2. Ukuran partikel semakin besar seiring dengan peningkatan
suhu kalsinasi, demikian pula dengan ukuran kristal. Hal tersebut disebabkan oleh
adanya proses sintering. Perubahan ukuran partikel juga mempengaruhi nilai
energi gap, di mana energi gap semakin besar seiring dengan penurunan ukuran
partikel. Peristiwa tersebut lebih dikenal dengan efek ukuran kuantum (quantum
size effect).
Fikosianin merupakan salah satu dye yang memiliki absorpsi kuat pada
wilayah visible. Metode kultivasi Spirulina platensis menggunakan media MT
32
mampu menghasilkan bobot fikosianin optimum untuk aplikasi sel surya jenis
DSSC. Bahan teknis yang digunakan lebih mudah untuk diperoleh, murah serta
proses kultivasi dapat dilakukan dalam ruangan. Sifat optik fikosianin yang
mampu mengabsorpsi dan mengemisikan cahaya merupakan salah satu
karakteristik penting sebagai dye sensitiser dalam DSSC. Dye fikosianin jika
dipasangkan dengan semikonduktor (energi gap yang sesuai), sangat berpotensi
untuk meningkatkan daerah serapan optik semikonduktor dari daerah UV melebar
ke daerah visible.
Sel surya hibrid nanopartikel TiO2/fikosianin dapat mengkonversi energi
matahari menjadi energi listrik. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan beberapa
komponen yang terdapat di dalam sel. Misalnya, dye fikosianin yang berperan
sebagai pemanen cahaya dan mengeksitasi elektron menuju ke pita konduksi TiO2.
Film hibrid memiliki pita serapan yang jauh lebih lebar dibandingkan film TiO2
saja. Salah satu tujuan fotosensitisasi adalah memperlebar pita serapan sehingga
lebih banyak foton tampak (visible) yang dapat diserap. Karakteristik lain yang
diperlukan pada fotosensitisasi adalah kesesuain tingkat-tingkat energi antara
bahan semikonduktor yang digunakan dengan fotosensitiser. Kemampuan
fikosianin sebagai sensitiser merupakan salah satu penunjang dalam devais untuk
menghasilkan efisiensi yang optimum.
Nilai efisiensi dari setiap sel semakin meningkat dengan kenaikan suhu
kalsinasi. Namun, perubahan suhu kalsinasi pada setiap sel tidak berpengaruh
signifikan terhadap performa sel surya yang dihasilkan, karena efisiensi optimum
hanya mencapai sekitar 1,04%. Hal ini diduga adanya kebocoran pada elektrolit
sehingga proses reduksi-oksidasi pada sistem transfer elektron menjadi terhambat.
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perubahan suhu kalsinansi mampu merubah struktur dan spektrum absorpsi
TiO2 yang berada pada daerah UV dapat ditingkatkan dengan penambahan
fikosianin sehingga mampu mencapai daerah visible. Dye fikosianin dapat
digunakan sebagai sensitiser pada sel surya. Nilai energi celah fikosianin yang
bersesuain dengan TiO2 sangat mendukung dalam proses transfer elektron.
Namun performa sel surya yang dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan
suhu kalsinasi.
Saran
Pengukuran performa dari DSSC melibatkan beberapa komponen yang
sangat kompleks sehingga perlu diteliti lebih lanjut tentang optimasi elektrolit
33
serta kajian lebih jauh tentang fikosianin dan interaksinya dengan TiO2. Selain itu,
proses pengadukan TiO2 dapat dilakukan pada autoclave reaktor hydrothermal
sehingga suhu lebih terkontrol (vakum).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi M, Ghasemi MR, Rafsanjani HH. 2011. Study of different parameters in
TiO2 nanoparticle formation. J Mat Sci Eng. 5: 87-93.
Argazzi R, Iha NYM, Zabri H, Odobel F, Bignozzi CA. 2004. Design of
molecular dyes for application in photoelectrochemical and electrochromic
devices based on nanocrystalline metal oxide semiconductors. Coordination
Chemistry Reviews. 248: 1299–1316.
Bach U, Corr D, Lupo D, Pichot F, Ryan M. 2002. Nanomaterials-Based
Electrochromics for Paper- Quality Displays. Adv Mater B. 14: 845-848.
Bennet A, Bogoard L. 1973. Complementary chromatic adaptation in a
filamentous blue-green. J Cell Biol. 58: 419-435.
Bhat VD, Madyastha KM. 2001. Scavenging of peroxynitrite by phycocyanin and
phycocyanobilin from Spirulina platensis : protection against oxidative
damage to DNA. Biochem Biophys Res Commun. 285:262-266.
Calogero G, Marco GD, Cazzanti S, Caramori S, Argazzi R, Carlo AD, Bignozzi
CA. 2010. Efficient dye-sensitized solar cells using red turnip and purple
wild sicilian prickly pear fruits. Int J Mol Sci. 11: 254-267.
Chang H, Lo YJ. 2010. Pomegranate leaves and mulberry fruit as natural
sensitisers for dye-sensitized solar cells. Sol Energy. 84: 1833–1837.
Cherepy NJ, Smestad GP, Gratzel M, Zhang JZ. 1997. Ultrafast electron injection:
implications for a photoelectrochemical cell utilizing an anthocyanin dye-
sensitized TiO2 nanocrystalline electrode. J Phys Chem. 101: 9342-9351.
Cohen Z. 1986. Products from microalgae. In: Richmond, A. (Ed.), Handbook of
Microalgal Mass Culture. CRC Press Inc, Boca Raton, FL, pp. 421-454.
Cui L, Hui KN, Hui KS, Lee SK, Zhou W , Wan ZP, Thuc CH. 2012. Facile
microwave-assisted hydrothermal synthesis of TiO2 nanotubes. Mater
Letters. 75: 175–178
Dai Q, Rabani J. 2002. Photosensitization of nanocrystalline TiO2 films by
anthocyanin dyes. J Photochem Photobiol A: Chem. 148 : 17–24.
Doust AB., Wilk KE, Curmi PMG, Scholes GD. 2006. The photophysics of
cryptophyte light-harvesting. J Photochem Photobil A: Chem. 184: 1–17.
Fahlman M, Salaneck WR. 2002. Surface and interfaces in polymer-based
electronic. J Surf Sci. 500: 904-922.
Gao Y, Masuda Y, Peng Z, Tetsu Yonezawa and Kunihito Koumoto. 2003. Room
temperature deposition of a TiO2 thin film from aqueous peroxotitanate
solution. J Mater Chem. 13: 608–613.
Ge L, Xu M, Fang H, Sun M. 2006. Preparation of TiO2 thin film from autoclaved
sol containing needle-like anatase crystals. Appl Surf Sci. 253: 720-725.
Glazer AN. 1994. Phycobiliproteins a family of valuable, widely used
fluorophores. J Appl Phycol. 6:105-112.
34
Gonz´alez AE, Santiago SG. 2007. Structural and optoelectronic characterization
of TiO2 films prepared using the sol–gel technique. Semicond Sci Technol
22: 709–716.
Grätzel M. 2003. Dye-sensitized solar cells. J Photochem Photobiol 4:145–153.
Hall DO, Rao KK. 1999. Photosynthesis Sixth Edition. United Kingdom at the
University Press, Cambridge, hlm 40-47.
Hasan M.M., Haseeb A. S. M. A., Saidur R, Masjuki HH. 2008. Effects of
annealing treatment on optical properties of anatase TiO2 thin films. Int J
Chem Biol Eng. 1(2): 92-96.
Islam MA, Mir Julfiker Haither, Imran Khan, Momtazul Islam. 2012. Optical and
structural characterization of TiO2 nanoparticles. J Electric Electron Eng
IOSR-JEEE. 3(2): 2278-1676 .
Karabay I, Yüksel SA, Ongül F, Öztürk S, Aslı M. 2012. Structural and Optical
Characterization of TiO2 Thin Films Prepared by Sol–Gel Process. Acta
Phys Pol A. 121(1): 265-267.
Kathiravana A, Chandramohan M, Renganathan R, Sekar S. 2009. Photoinduced
electron transfer from phycoerythrin to colloidal metal semiconductor
nanoparticles. Spectro Acta Part A. 72: 496–501.
Kathiravan A, Renganathan R. 2009. Photosensitization of colloidal TiO2
nanoparticles with phycocyanin pigment. J Coll Interf Sci. 335: 196–202.
Kayes BM. 2009. Radial pn Junction, Wire Array Solar Cells (thesis). California
Institute of Technology: Pasadena, California, hlm 1-20.
Koyzyukin S A, Grinberg VA, Baranchikov AE, Ivanov VK, Emets VV, Klyuev
AL. 2013. Photoelectrochemical cells based on nanocrystalline TiO2
syntesized by high temperature hydrolysis of ammonium
dihydroxodilactatotitanate (IV). Russian J Electrochem. 49(5): 423-427.
Kumar A, Anuj R. Madaria, Zhou C. 2010. Growth of aligned single-crystalline
rutile TiO2 nanowires on arbitrary substrates and their application in dye-
sensitized solar cells. J Phys Chem C. 114: 7787–7792.
Li GH, Yang L, Jin YX, Zhang LD. 2000. Structural and optical properties of
TiO2 thin film and TiO2 + 2 wt.% ZnFe2O4 composite film prepared by r.f.
sputtering. Thin Sol Films. 368: 163-167.
Li H, Yang S, Xie Y, Zhao J. 2007. Probing the connection of PBSs to the
photosystems in Spirulina platensis by artificially induced fluorescence
fluctuations. J. Lumin. 122–123: 294–296.
Li Y, Hagen J, Schaffrath W, Otschik P, Haarer D. 1999. Titanium dioxide films
for photovoltaic cells derived from a sol-gel process. Sol Energy Mater Sol
Cells. 56 (2): 167-174.
Mabrouki M, Oueriagli A, Outzourhit A, Ameziane EL, Hotchandani S, Leblanc
RM. 2002. Dark signals and photovoltaic properties of Al/chlorophyll a/Ag
cells. Phys Stat Sol 191(1): 345–354.
Macak JM, Zlamal M, Krysa J, Schmuki P. 2007. Self-organized TiO2 nanotubes
layers as highly efficient photocalayst. Small. 3(2): 300-304.
Maddu A, Zuhri M, Irmansyah. 2007. Penggunaan ekstrak antosianin kol merah
sebagai fotosensitiser pada sel surya TiO2 nanokristal tersensitisasi dye.
Makara Teknol. 11(2): 78-84.
35
Martinez ARH, Estevez M, Vargas S, Quintanilla F, Rodriguez R. 2012. Natural
pigment based dye sensitized solar cells. J Appl Research and Technology.
1(1): 38-47.
Meen TH, Water W, Chen WR, Chao SM, Ji LW, Huang CJ. 2009. Application of
TiO2 nano-particles on the electrode of dye-sensitized solar cells. J Phys
Chem Sol. 70: 472–476.
Mills A, hunte S Le. J Photochem Photobiol A Chem. 1997; 108: 1.
Mills A, Hunte SL. 1997. An overview of semiconductor photocatalysis. J
Photochem Photobiol A Chem. 108: 1-35.
Ó Carra P, Ó hEocha C 1976. Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW,
editor. 1976. Terjemahan dari: Chemistry and Biochemistry of Plant
Pigments. London: Academic press inc. Hal 328-371.
Oliverira EG, Rosa GS, Moraes MA, Pinto LAA. 2009. Characterization of thin
layer drying of Spirulina platensis utilizing perpendicular air flow.
Bioresour. Technol. 100: 1297–1303.
Onozuka K, Ding B, Tsuge Y, Naka T, Yamazaki M, Sugi S, Ohno S, Yoshikawa
M, Shiratori S. 2006. Electrospinning processed nanofibrous TiO2
membranes for photovoltaic applications. Nanotechnol. 17: 1026–1031.
Reddy KM, Manorama SV, Reddy AR. 2002. Bandgap studies on anatase
titanium dioxide nanoparticles. Mater Chem Phys. 78: 239–245.
Silveira ST, Burkert JFM, Costa JAV, Burkert CAV, Kalil SJ. 2007. Optimization
of phycocyanin extraction from Spirulina platensis using factorial design.
Bioresource Technol. 98 : 1629–1634.
Song MY, Ahn YR, Seong MJ, Kim DY. 2005. TiO2 single-crystalline nanorod
electrode for quasi solid state dye sensitized solar cells. Appl Phys Letters.
87: 1-3.
Tauc J. 1972. States in the gap. J non crystal Sol. 8(10): 569-585.
Vonshak A. 1997. Spirulina platensis (Arthrospira). Physiology, Cellbiology and
Biotechnology. Taylor & Francis, London. ISBN 0-2035-8670-0.
Wang XF, Kitao O.2012. Natural Chlorophyll-Related Porphyrins and Chlorins
for Dye-Sensitized Solar Cells. Molecules. 17: 4484-4497.
Wei D. 2010. Dye Sensitized Solar Cells. Int J Mol Sci. 11:1103-1113.
Wei Qin, Songtao Lu, Xiaohong Wu, Song Wang. 2013. Dye sensitized solar cell
based on N-doped TiO2 electrodes prepared on titanium. Int J Electrochem
Sci. 8:7984-7990.
Wenbing Li, Zeng T. 2011. Preparation of TiO2 anatase nanocrystals by TiCl4
hydrolysis with additive H2SO4. PLoS ONE . 6: 1-6.
Yamazaki E, Murayama M, Nishikawa N, Hashimoto N, Shoyama M, Kurita O.
2007. Utilization of natural carotenoids as photosensitisers for dye-
sensitized solar cells. Sol energy. 81: 512–516.
Yoshida A, Takagaki Y, Nishimune T. 1996. Enzyme immunoassay for
phycocyanin as the main component of Spirulina color in foods. Biosci
Biotechnol Biochem. 60:57-60.
Zhaohui Li, Dongyan Ding, Qiang Liu, Congqin Ning. 2013. Hydrogen sensing
with Ni-Doped TiO2 nanotubes. Sensors. 13 : 8393-8402.
Zhou H, Wu L, Gao Y, Ma T. 2011. Dye-sensitized solar cells using 20 natural
dyes as sensitisers. J Photochem Photobiol A: Chem. 219 : 188-194.
36
Lampiran 1 Media modifikasi teknis (MT) untuk pertumbuhan S. platensis
Bahan Jumlah (g/L)
(Hastuti 2011)
MgSO4 0,02
CaCl2 0,004
Na2EDTA 0,008
K2SO4 0,04
FeCl3 0,001
NaHCO3 2
(NH4)2 CO 0,13
(NH4)2 SO4 0,06
Na2HPO4 0,04
Vit B12 1 mL
39
Lampiran 4 Data XRD pada suhu kalsinasi 400oC
2θ θ θ
(rad) FWHM
FWHM
(rad) cos θ σ (nm)
σ rata-
rata (nm) h k l d hkl (A) a (A) c (A)
25,32 12,66 0,22 0,6044 0,0105 0,9757 13,3218
13,7549
1 0 1 2,4969
3,6577 10,0012
37,76 18,88 0,33 0,6593 0,0115 0,9462 12,5932 0 0 4 1,3127
48,12 24,06 0,42 0,6489 0,0113 0,9131 13,2585 2 0 0 1,0728
53,94 26,97 0,47 0,6600 0,0115 0,8912 13,3555 1 0 5 1,9849
62,70 31,35 0,55 0,7400 0,0129 0,8540 12,4310 2 0 4 1,9146
68,74 34,37 0,60 0,6200 0,0108 0,8254 15,3511 1 1 6 1,8193
75,02 37,51 0,65 0,6200 0,0108 0,7932 15,9735 2 1 5 1,7505
α ϒ δ sin^2θ α^2 ϒ^2 δ^2 αϒ αδ ϒδ αsin^2θ ϒsin^2θ δsin^2θ
0 0 1,8290 0,0347 0 0 3,3454 0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0634
0 0 3,7498 0,0037 0 0 14,0609 0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0139
1 1 5,5435 0,7045 1 1 30,7300 1 5,5435 5,5435 0,7045 0,7045 3,9055
0 0 6,5351 0,2581 0 0 42,7078 0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 1,6868
1 1 7,8964 0,0173 1 1 62,3532 1 7,8964 7,8964 0,0173 0,0173 0,1365
2 4 8,6852 0,1342 4 16 75,4328 8 17,3704 34,7408 0,2684 0,5367 1,1654
1 1 9,3319 0,1364 1 1 87,0838 1 9,3319 9,3319 0,1364 0,1364 1,2725
∑ 7 43,571 1,28884 7 19 315,714 11 40,1422 57,5126 1,1265 1,3949 8,2440
40
Lampiran 5 Data XRD pada suhu kalsinasi 600oC
2θ θ θ
(rad) FWHM
FWHM
(rad) cos θ σ (nm)
σ rata-rata
(nm) h k l d hkl (A) a (A) c (A)
25,36 12,68 0,2213 0,4823 0,0084 0,9756 16,8833
20,7964
1 0 1 5,5168
3,0895 10,5706
37,78 18,89 0,3297 0,5170 0,0090 0,9461 16,2407 0 0 4 1,3182
48,08 24,04 0,4196 0,4962 0,0087 0,9133 17,5307 2 0 0 1,4171
53,88 26,94 0,4702 0,5518 0,0096 0,8915 16,1495 1 0 5 1,9884
54,94 27,47 0,4794 0,5518 0,0096 0,8873 16,2264 2 1 1 1,0498
62,62 31,31 0,5465 0,6495 0,0113 0,8544 14,3162 2 0 4 1,9147
68,72 34,36 0,5997 0,4927 0,0086 0,8255 19,5321 1 1 6 1,8182
69,76 34,88 0,6088 0,1800 0,0031 0,8204 53,7997 2 2 0 1,8182
74,98 37,49 0,6543 0,6072 0,0106 0,7935 16,4891 2 1 5 1,7515
α ϒ δ sin^2θ α^2 ϒ^2 δ^2 αϒ αδ ϒδ αsin^2θ ϒsin^2θ δsin^2θ
1 1 1,8344 0,0482 1 1 3,3652 1 1,8344 1,8344 0,0482 0,0482 0,0884
0 16 3,7532 0,1048 0 256 14,0863 0 0,0000 60,0507 0,0000 1,6770 0,3934
4 0 5,5365 0,1660 16 0 30,6531 0 22,1461 0,0000 0,6638 0,0000 0,9188
1 25 6,5252 0,2053 1 625 42,5776 25 6,5252 163,1288 0,2053 5,1315 1,3394
7 1 6,7003 0,2128 49 1 44,8934 7 46,9018 6,7003 1,4895 0,2128 1,4257
4 16 7,8850 0,2701 16 256 62,1734 64 31,5401 126,1602 1,0802 4,3209 2,1294
3 36 8,6828 0,3185 9 1296 75,3918 108 26,0485 312,5825 0,9556 11,4673 2,7658
12 0 8,8032 0,3270 144 0 77,4957 0 105,6380 0,0000 3,9243 0,0000 2,8788
7 25 9,3284 0,3704 49 625 87,0187 175 65,2987 233,2095 2,5930 9,2605 3,4554
∑ 120 59,0490 2,02303 285 3060 437,6553 380 305,9327 903,6665 10,9598 32,1183 15,3951
41
Lampiran 6 Data XRD pada suhu kalsinasi 800oC
2θ θ θ
(rad) FWHM
FWHM
(rad) cos θ σ (nm)
σ rata-rata
(nm) h k l d hkl (A) a (A) c (A)
25,4 12,7 0,2217 0,2907 0,0051 0,9755 28,0133
25,2476
1 0 1 1,3975
3,7812 10,2243
36,9 18,45 0,3220 0,2931 0,0051 0,9486 28,5728 1 0 3 1,3060
37,86 18,93 0,3304 0,3025 0,0053 0,9459 27,7635 0 0 4 1,4127
37,96 18,98 0,3313 0,3218 0,0056 0,9456 26,1062 1 1 2 1,9800
48,08 24,04 0,4196 0,3169 0,0055 0,9133 27,4495 2 0 0 1,0463
53,88 26,94 0,4702 0,4177 0,0073 0,8915 21,3342 1 0 5 1,9104
55,04 27,52 0,4803 0,3482 0,0061 0,8868 25,7261 2 1 1 1,8156
62,68 31,34 0,5470 0,3451 0,0060 0,8541 26,9526 2 0 4 1,8156
68,66 34,33 0,5992 0,4482 0,0078 0,8258 21,4637 1 1 6 1,7468
70,31 35,16 0,6136 0,4192 0,0073 0,8176 23,1788 2 2 0 1,9885
74,98 37,49 0,6543 0,4731 0,0083 0,7935 21,1629 2 1 5 1,0463
α ϒ δ sin^2θ α^2 ϒ^2 δ^2 αϒ αδ ϒδ αsin^2θ ϒsin^2θ δsin^2θ
1 1 1,8399 0,0483 1 1 3,3851 1 1,8399 1,8399 0,0483 0,0483 0,0889
1 9 3,6050 0,1002 1 81 12,9963 9 3,6050 32,4454 0,1002 0,9014 0,3611
0 16 3,7667 0,1052 0 256 14,1880 0 0,0000 60,2671 0,0000 1,6839 0,3964
3 4 3,7836 0,1058 9 16 14,3158 12 11,3509 15,1345 0,3173 0,4231 0,4002
4 0 5,5365 0,1660 16 0 30,6531 0 22,1461 0,0000 0,6638 0,0000 0,9188
1 25 6,5252 0,2053 1 625 42,5776 25 6,5252 163,1288 0,2053 5,1315 1,3394
7 1 6,7167 0,2135 49 1 45,1135 7 47,0166 6,7167 1,4945 0,2135 1,4340
4 16 7,8936 0,2705 16 256 62,3083 64 31,5742 126,2970 1,0821 4,3283 2,1354
3 36 8,6758 0,3180 9 1296 75,2687 108 26,0273 312,3272 0,9541 11,4498 2,7593
12 0 8,8648 0,3315 144 0 78,5842 0 106,3773 0,0000 3,9784 0,0000 2,9390
7 25 9,3284 0,3704 49 625 87,0187 175 65,2987 233,2095 2,5930 9,2605 3,4554
∑ 133 66,5360 2,2348 295 3157 466,4094 401 321,7611 951,3660 11,4370 33,4404 16,2279
42
Lampiran 7 Data XRD pada suhu kalsinasi 1000 0C
2θ θ θ (rad) FWHM FWHM
(rad) cos θ σ (nm)
σ rata-rata
(nm) h k l
d hkl
(A) a (A) c (A)
27,5 13,75 0,2400 0,1698 0,0030 0,9713 48,1662
48,8846
1 1 0 1,8946
4,9935 2,2243
36,14 18,07 0,3154 0,1877 0,0033 0,9507 44,5199 1 0 1 1,3074
39,2 19,6 0,3421 0,2044 0,0036 0,9421 41,2566 2 0 0 1,4139
41,28 20,64 0,3602 0,2120 0,0037 0,9358 40,0430 1 1 1 0,9810
44,06 22,03 0,3845 0,2073 0,0036 0,9270 41,3408 2 1 0 1,0472
54,38 27,19 0,4746 0,2389 0,0042 0,8895 37,3845 2 1 1 0,9112
56,66 28,33 0,4945 0,2343 0,0041 0,8802 38,5198 2 2 0 0,8163
62,94 31,47 0,5493 0,1739 0,0030 0,8529 53,5609 0 0 2 0,8163
64,06 32,03 0,5590 0,2756 0,0048 0,8478 32,0022 3 1 0 1,2546
69,02 34,51 0,6023 0,1702 0,0030 0,8240 56,6436 3 0 1 0,7475
69,76 34,88 0,6088 0,1614 0,0028 0,8204 59,9996 1 1 2 1,2460
75,4 37,7 0,6580 0,1316 0,0023 0,7912 76,2952 2 0 2 1,3007
α ϒ δ sin^2θ α^2 ϒ^2 δ^2 αϒ αδ ϒδ αsin^2θ ϒsin^2θ δsin^2θ
3 0 2,1321 0,0565 9 0 4,5459 0 6,3964 0,0000 0,1695 0,0000 0,1205
1 1 3,4782 0,0962 1 1 12,0977 1 3,4782 3,4782 0,0962 0,0962 0,3346
4 0 3,9946 0,1125 16 0 15,9569 0 15,9784 0,0000 0,4501 0,0000 0,4495
3 1 4,3526 0,1243 9 1 18,9448 3 13,0577 4,3526 0,3728 0,1243 0,5408
7 0 4,8360 0,1407 49 0 23,3866 0 33,8518 0,0000 0,9849 0,0000 0,6804
7 1 6,6080 0,2088 49 1 43,6660 7 46,2562 6,6080 1,4616 0,2088 1,3797
12 0 6,9793 0,2252 144 0 48,7111 0 83,7520 0,0000 2,7024 0,0000 1,5717
0 4 7,9304 0,2725 0 16 62,8920 0 0,0000 31,7218 0,0000 1,0902 2,1614
13 0 8,0872 0,2813 169 0 65,4034 0 105,1341 0,0000 3,6572 0,0000 2,2751
9 1 8,7181 0,3210 81 1 76,0046 9 78,4625 8,7181 2,8888 0,3210 2,7983
3 4 8,8032 0,3270 9 16 77,4957 12 26,4095 35,2127 0,9811 1,3081 2,8788
4 4 9,3646 0,3740 16 16 87,6959 16 37,4584 37,4584 1,4959 1,4959 3,5020
∑ 16 75,2843 2,5400 552 52 536,8005 48 450,2351 127,5497 15,2603 4,6443 18,6929
43
Lampiran 8 Performa sel kalsinasi 400oC
Voc Isc Isc P FF η (%)
(mV) (µA) (mA) (mWatt)
5,2 0,26 0,00026 0,001352 0,544 0,06
6,3 0,26 0,00026 0,001638
7,8 0,26 0,00026 0,002028
9,7 0,26 0,00026 0,002522
10,9 0,26 0,00026 0,002834
11,8 0,26 0,00026 0,003068
12,7 0,26 0,00026 0,003302
13,9 0,26 0,00026 0,003614
20,815 0,2559 0,000256 0,005327
30,762 0,2374 0,000237 0,007303
33,849 0,2232 0,000223 0,007555
40,709 0,1394 0,000139 0,005675
50,999 0,0217 0,0000217 0,001107
53,4 0,0179 0,0000179 0,000956
44
Lampiran 9 Performa sel kalsinasi 600oC
Voc Isc Isc P FF η (%)
(mV) (µA) (mA) (mWatt)
6 0,61 0,00061 0,003660 0,352 0,29
11,2 0,66 0,00066 0,007392
20,7 0,65 0,00065 0,013455
36,9 0,63 0,00063 0,023247
49,7 0,59 0,00059 0,029323
55,4 0,58 0,00058 0,032132
67 0,51 0,00051 0,034170
78,9 0,45 0,00045 0,035505
90 0,37 0,00037 0,033300
98,8 0,33 0,00033 0,032604
107,9 0,27 0,00027 0,029133
120,1 0,22 0,00022 0,026422
130,7 0,15 0,00015 0,019605
134,4 0,13 0,00013 0,017472
45
Lampiran 10 Performa sel kalsinasi 800oC
Voc Isc Isc P FF η (%)
(mV) (µA) (mA) (mWatt)
19,8 0,89 0,00089 0,017622 0,640 1,04
39,2 0,89 0,00089 0,034888
68,2 0,89 0,00089 0,060698
121 0,84 0,00084 0,101640
130 0,83 0,00083 0,107900
148,8 0,82 0,00082 0,122016
152,5 0,81 0,00081 0,123525
154,1 0,81 0,00081 0,124821
157 0,77 0,00077 0,120890
158,2 0,76 0,00076 0,120232
167,4 0,72 0,00072 0,120528
176,9 0,67 0,00067 0,118523
208,9 0,46 0,00046 0,096094
229,9 0,38 0,00038 0,087362
239,9 0,34 0,00034 0,081566
249,7 0,27 0,00027 0,067419
260,1 0,23 0,00023 0,059823
280 0,16 0,00016 0,044800
296 0,12 0,00012 0,035520
318 0,02 0,00002 0,006360
46
Lampiran 11 Riwayat hidup penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palopo pada tanggal 20 Desember 1986, sebagai anak
ke empat dari pasangan Supu dan Nursia. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi fisika, Fakultas Matemamatika dan Ilmu Pengetahuan Alam
UNHAS, lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program
Studi Biofisika pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun
2014. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIKTI selama satu tahun.
Penulis bekerja sebagai pengajar fisika pada salah satu kampus sekolah
kesehatan di Makassar. Bidang keilmuan yang diajarkan adalah Fisika Kesehatan.
Selama mengikuti program S-2, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa
Pascasarjana Makassar IPB.